November 22, 2008

Kebudayaan Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).

A. KRONOLOGI SEJARAH
.
Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.

Asal kata
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.

Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.
Daerah asal di Tiongkok


Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Daerah konsentrasi di Indonesia

Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Peran politik Tionghoa
a. Pra kemerdekaan
Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.
Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740, melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata ada hikmahnya itu menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.
Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Sebetulnya pada era kolonial kelompok Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik sendiri maupun bersama etnis lain, melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama etnis Jawa, kelompok ini berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.
Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.
Pada masa revolusi tahun 1945-an kita menyaksikan perjuangan Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian meninggal dalam status sebagai warganegara asing, padahal ia ikut merancang UUD 1945. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.

b. Pasca kemerdekaan
Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Peran ekonomi Tionghoa
Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat etnis tionghoa memiliki peranan yang amat penting dalam perekonomian di indonesia. Kita bisa menyaksikan urat sendi perekonomian di indonesia kebanyakan dikuasai oleh orang-orang dari etnis tionghoa. Hal utama yang membuat pentingnya percaturan masyarakat tionghoa dalam perekonomian indonesia adalah karena mereka sangat pandai dalam berusaha.

Peran sosial budaya Tionghoa
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya lebih kurang 50 milyar rupiah

Tionghoa saat ini

Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi dilarang atau paling tidak "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun akhir-akhir ini bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Hasyim Muzadi menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.

Penggunaan kata "Cina"
Di Indonesia penggunaan kata "Cina" oleh penduduk asli Indonesia untuk menunjuk kepada ras atau suku atau pribadi sering dianggap sebagai hal yang sangat kasar sekali (seperti kata "nigger" untuk orang berkulit hitam di Amerika), karenanya, penggunaannya untuk menunjuk ras atau suku atau pribadi merupakan hal yang dapat diartikan sikap sangat rasial.Pada survei terbatas yang dilakukan oleh Metro TV dalam acara Padamu Negeri, organisasi INTI dan Jaringan Muda Tionghoa menyatakan menolak penggunaan kata "Cina", namun tidak keberatan dan tidak terganggu dengan penggunaan tersebut.
Asal konotasi buruk yang dibawa kata "Cina" ini, menurut sebuah tulisan di KOMPAS, adalah dari orang-orang di Tiongkok Daratan yang menganggap kata "Cina" itu diasosiasikan dengan kata zhina, sebuah kata yang lazim digunakan oleh orang Jepang untuk menghina orang Tionghoa sejak Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Selain itu, kata "Cina" dapat berasal dari kata Belanda atau Inggris China, yang berasal dari kata Qin, dari dinasti Qin, dinasti pertama yang menyatukan wilayah tersebut (221–206 SM).
Lebih jauh lagi studi yang dilakukan Asim Gunawan (1999) menunjukkan bahwa pada masa sekarang, kata "Cina" tidak lagi mengandung konotasi negatif, dengan pengecualian bagi generasi tua Tionghoa. Sebagian besar dari generasi muda Tionghoa maupun penduduk pribumi, tidak merasakan kata "Cina" bermakna peyoratif ataupun mengandung penghinaan.
Namun demikian, pemerintah Republik Rakyat Cina sendiri tidak menyukai penggunaan kata "Cina" untuk merujuk kepada negara tersebut, dan keberatan ketika pemerintah Indonesia mengganti istilah Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Cina pada 1967. Sebagai alternatif, kata Tionghoa atau kadang China dapat digunakan untuk menunjuk kepada pribadi, suku atau ras. Pihak Kedubes RRT di Indonesia sendiri lebih menyukai kata "Tiongkok" (atau setidaknya "China" yang dibaca seperti dalam Bahasa Inggris) daripada "Cina".

Tionghoa
Tionghoa (dialek Hokkien, yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan.
Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik China (Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.
Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.










II. SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN
Agama
Sebagian besar Budha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas yang beragama Islam



Dewi Kwan Im (Guan Ying). Kwan Im adalah salah satu Dewi dalam agama tradisional Tionghoa.
Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu.
Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu:
• Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Dilakukan dengan cara penyembahan dari orang yang masih hidup kepada para leluhur mereka yang nama-namanya diletakkan di atas meja abu—sudut di dalam rumah tempat memperingati dan memuja leluhur keluarga
• Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup. Kegiatan pemujaan kepada para dewa yang biasanya dilakukan di rumah maupun di klenteng.Selain itu, pada saat tertentu, seperti pada hari , para dewa diarak dengan sangat meriah dari klenteng-klenteng untuk berkeliling kota.

Kepercayaan tradisional ini sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya. Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu.
Kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini
Pandangan terhadap alam semesta dalam kepercayaan tradisional.Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi2. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian1) dan bumi (Di4) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun4 Dun4). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan2 Gu3 mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.
Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan2 Gu3 Kai1 Tian1 Di4) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.
Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu3 Wa1 yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu2 Xi1 yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba1 Gua4 (8 diagram) dan Shen2 Nung2 yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh.
Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian1 Jie4), alam Bumi (Ming2 Jie4) dan alam Baka (You1 Jie4).

Tiga Alam
Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing2 dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.
Alam Langit (Tian1 Jie4) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja2 Langit (Tian1 Wang2) dan dewa-dewi langit (Tian1 Shen2). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang2 besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar2 legendaris seperti Yao2, Xun4 dan Yu3 adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain.
Alam Bumi (Ming2 Jie4) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang2 Jian1 ataupun Ren2 Jian1.
Alam Baka (You1 Jie4) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh2 (Ling2) dan hantu2 (Gui3) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi2 Dian4 Yan2 Luo2) dan 18 Tingkat Neraka (Shi2 Ba1 Ceng2 Di4 Yu4).
Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng4 Po1 dan melewati jembatan Nai4 He2. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.
Buddhism ke Tiongkok , terjadi transformasi Buddhism yang memiliki ciri khas tersendiri.
Sejak masuknya
1. Buddha Contohnya adalah Sakyamuni Buddha , Bhaisajyaguru Buddha , Amitabha Buddha, Dipankara Buddha . Dari segala Buddha , yang terkenal dan amat dipuja adalah Amitabha Buddha. Bahkan sampai ada istilah Setiap rumah ada Guan Yin , setiap mulut menyebut Amitabha. 1.2 Bunda Buddha atau Fo Mu misalnya Da Bai Gai shan Fo Mu
2. Bodhisatva Bodhisatva merupakan dewa yang amat sangat banyak dipuja oleh orang- orang Tionghua , terutama Avalokitesvara Bodhisatva yang dipercaya menolong manusia dan welas asih. Selain itu masih ada bodhisatva lainnya seperti Ksitigarbha bodhisatva, Manjusri Bodhisatva, Maha Cundi Bodhisatva dan lain-lain. Rata-rata bodhisatva memiliki metta karuna untuk menyelamatkan segala mahluk.
3. Pelindung Dharma. Dewa pelindung dharma kadang suka rancu menjadi bodhisatva. Qie Lan Pu Sa yang sering disebut orang , padahal merupakan kumpulan dari 18 shan shen .Lebih tepat menyebutnya Qie Lan Shen . Figur Qie Lan dalam Buddhisme Tiongkok adalah tokoh pahlawan terkenal Guan YunZhang . Qie Lan Shen adalah pelindung umat Buddhism. Yang lain adalah Wei Tuo Shen atau kadang sering disebut Wei Tuo Pusa , Wei Tuo Tian . Dipercaya Beliau merupakan pelindung vihara. Selain yang diatas masih ada lagi yang disebut Tian Long Ba Bu , tapi ingat yang dimaksud Tian Long Ba Bu itu bukan cerita silat karangan Jin Yong. Yang tercakup adalah: a. Tian Zhong ,dewa-dewa yang dilangit seperti Da Fan Tian , Di Shi Tian dan lain-lain. b.Long Zhong , misalnya Nan Tuo Long Wang c.Ye Cha d.Gan Tha Po e. A Xiu Luo f.Jia Lou Luo g.Jin Na Luo h.Mo Hou Luo Jia
4. Raja Langit Dari banyak raja langit dalam Buddhism , ada 4 yang terkenal yaitu 4 raja langit yang berkuasa di 4 arah.
5. murid Sidharta Gautama yang terkenal. ada beberapa murid Gautama Buddha yang kemudian juga diangkat menjadi dewa Tiongkok , misalnya Mu Lian Zun Zhe
6. Arahat Disamping murid-murid Buddha yang menjadi arahat yang kadang disebut Zun Zhe masih ada 18 arahat yang menjadi ciri khas Buddhisme Tiongkok. Yang menarik disini adalah ada kaisar Liang Wu Di yang menjadi arahat, selain itu adalah BodhiDharma ,Ji Gong , Fu Hu , xiang long dan lain-lain.
7. Para sesepuh Buddhisme di Tiongkok. Misalnya Qing Shui Zu Shi , Xuan Zang , Pu An , Dao Ji
8. Ming Wang Banyak Ming Wang tercakup , dan menurut saya Ming Wang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori Bodhisatva. Bu Dong Ming Wang atau Acalanatha , Kong Que Ming Wang atau Maha maruya vidya rajni , Da Wei De Ming Wang atau Yamantaka dan lain-lain.

Ajaran kongfusius
Ajaran Kongfusianisme atau Kong Hu Cu ( Kong Fu Tse atau Kongfusius) dalam bahasa Tionghoa istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar, dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memanglah bukan pencipta agama ini melainkan beliau hanyalah menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahiran nya seperti apa yang beliau sabdakan: ”Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut.”
Meskipun orang kadang-kadang mengira bahwa Kong Hu Cu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatakan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau agama Kong Hu Cu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Kong Hu Cu juga terdapat ritual yang harus dilakukan oleh penganutnya. Agama Kong Hu Cu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia dan disebut ” Ren Dae ” dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik / Pencipta Alam Semesta ( Tian Dao) yang disebut dengan istilah ” Tian ” atau ” Shang Di ”.
Ajaran Falsafah ini diasasakan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM di Chiang Tsai yang saat itu berumur 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun. Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusastraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal pada tahun 479 SM.

Ajaran Agama Taoisme
Tao ( ) tidak berbentuk, merupakan "Sesuatu" yang sudah ada sebelum semuanya ada. Arti Tao sulit dipahami, artinya sangat luas sehingga sulit diterangkan secara jelas dan rinci melalui sebuah kalimat atau kata-kata. Arti Tao yang paling sederhana adalah "Jalan". Ada juga yang mengartikannya "Kelogisan", "Hukum", "Pedoman" atau "Aturan"
Agama Tao ( ) adalah agama tertua di dunia. Merupakan agama yang berke-Tuhanan, yaitu mengakui dan menyembah adanya Thian Kung / Ie Wang Ta Ti / Yang Maha Kuasa / Tuhan. Selain Thian Kung, masih banyak lagi Dewa-Dewi yang disembah, seperti Guan Gong / Kwan Kong ( ), Er Lang Shen ( ), Jiu Tian Xuan Nu ( ) dan lain-lain .
Agama Tao merupakan Agama yang berasal dari Tiongkok. Dari data-data yang ada, maka Agama Tao termasuk agama yang tertua di dunia ini, umumnya diakui sudah ada sejak 7000 tahun yang silam, dan juga merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa, ini tercermin dari tulisan LU XUN seorang budayawan kondang, dimana beliau menulis bahwa Agama Tao adalah agama dan akar utama dari kebudayaan Tionghoa
AGAMA TAO menggunakan BA KUA DAI CHI sebagai lambang agamanya, dimana gambar DAI CHI melambangkan matahari dan bulan, juga melambangkan Yin Yang serta melambangkan posisi Atas dan Bawah, sedangkan BA KUA melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, juga melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru 8 arah.
Cara perhitungan hari / penanggalan dalam kehidupan sehari-hari umat Agama TAO, umumnya menggunakan penanggalan IMLEK yang merupakan hasil karya tokoh Agama TAO yang bernama Khuang Cheng Zi sejak 2703 tahun yang lalu.
Dalam ajaran agama Tao ( ), kita menghormati Dewa-Dewi. Hal ini menyebabkan banyak berdiri kelenteng-kelenteng yang didirikan untuk memuja Dewa-Dewi. Tujuan utama berdirinya kelenteng adalah sebagai tempat pemujaan dimana masyarakat yang percaya meletakkan patung dari Dewa-Dewi dan menghormatinya. Sebagai sarana untuk mengingat tauladannya dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menolong sesamanya. Itulah sebenarnya tujuan utama didirikannya kelenteng.

Delapan Dewa ( Tiongkok)

Delapan dewa atau dalam bahasa Mandarin disebut Ba Xiang berasal dari Mitologi Taoisme, dan termasuk dewa-dewi terkenal dalam kisah klasik Tionghoa. Mereka adalah symbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Masing-masing Dewa mewakili 8 kondisi kehidupan: anak muda, lansia, kemiskinan, kekayaan, rakyat jelata, ningrat, pria, dan wanita. Diceritakan bahwa sebagian besar dilahirkan di zaman dinasti Tang dan dinasti Sung. Walaupun penjelasan mengenai mereka telah ada sejak dinasti Tang, namun pengelompokan ke dalam kategori delapan dewa baru terjadi pada masa dinasti Ming. Kedelapan dewa tersebut adalah:
 Zhong li Quan
 Li tie guai
 Lu dong bin
 Zhang guo lao
 He xiang gu
 Lan cai he
 Han xiang zi
 Cao gao jiu
Delapan dewa tersebut adalah salah satu tema favorit dari seniman-seniman Tiongkok dan kebanyakan menjadi objek yang digambarkan dalam keramik dan porselen. Mereka juga banyak muncul dam literatur tiongkok.

Asal Usul Adanya Sam Seng Dan Persembahan Pada Dewa
Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Tao Se - Tao Se (Guru-guru Tao) untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.
Tetapi pada bulan-bulan tertentu Tao Se - Tao Se itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Untuk itu para Tao Se membuat Sam Seng supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Tao Se nya tidak berada di tempat.
Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Tao Se - Tao Se tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Tao Se - Tao Se tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.
Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.
Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarang pun masih ada.
Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.

Hu
Hu atau jimat merupakan sesuatu yang dipercaya akan memberikan sesuatu efek / keajaiban yang bermanfaat kepada penggunanya. Penggunanya adalah para umat Taoisme an sebagian besar umat Budha Mahayana. Hu biasanya dituliskan dalam sebuah kertas atau kain dengan ukuran tertentu yang berwarna kuning, hijau, putih atau merah. Seiap warna ada perbedaan dalam meggunakannya. Hu dibuat oleh Tatung atau seorang yang mengerti ilmu Taoismedengan mengukir tulisan / aksara / mantra yang kemudian diberkati dengan mantra lisan dan stempel dewa tertentu. Hu biasanya dibuat di depan altar Dewa.
Keperluan Hu bermacam-macam, hu diminum dibuat dengan menggunakan kertas warna kuning; warna hijau untuk keperluan umum seperti hu anti maling; hu pelindung tubuh;hu anti mahluk halus dan lain-lain. Sedangkan warna warna merah biasanya dipakai untuk membuat hu pelaris untuk usaha dagang. Warna putih jarang digunakan karena hanya aliran Taoisme tertentu yang menggunakannya.
Dalam penggunaanya, hu bisa dibakar,ditempel atau dilipat dan ditaruh ke tempat yang telah ditentukan. Hu juga mempunyai batas waktu manfaat, rata-rata adalah 1 tahun, dan dapat lagi diisi kekuatannya agar manfaatnya bekerja lagi.

Imlek: Antara Perayaan Budaya dan Perayaan Agama
Perdebatan mengenai soal apakah Imlek ritus keagamaan atau bukan keagamaan, bukanlah barang baru. Imlek adalah hari yang dirayakan secara meriah dan besar-besaran oleh seluruh orang Tionghoa, bukan saja yang tinggal di Tiongkok,Taiwan, dan Hong Kong,tetapi oleh mereka yang berada di wilayah lain di seluruh dunia.
Imlek adalah hari pergantian tahun berdasarkan penanggalan Imlek (dalam bahasa Mandarin Yinli), yang perhitungannya didasarkan pada perputaran bulan. Rangkaian acara yang dilaksanakan oleh orang Tionghoa dalam menyambut tahun baru ini berlangsung selama kurun waktu sekitar dua pekan. Ritual itu diawali perayaan Imlek itu sendiri, yang jatuh pada tanggal satu bulan satu, dan diakhiri dengan keriaan pada hari ke-15 yang di Indonesia dikenal sebagai perayaan cap go meh.
Seperti juga tradisi di kalangan etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah dunia lain, di Indonesia Imlek biasanya disambut dengan pesta besar-besaran.Perhelatan ini biasanya mencakup pula rangkaian upacara keagamaan yang dilaksanakan di klenteng atau bio. Rangkaian upacara ini biasanya diikuti oleh acara pawai mengarak dewa-dewa mengelilingi kota sebelum akhirnya ditempatkan kembali di klenteng-klenteng asalnya.
Di Indonesia, acara ini dikenal dengan istilah gotong toapekong. Sejak pertengahan 1960-an, selama kurun waktu sekitar 30 tahun,kemeriahan Imlek di Indonesia terputus dengan adanya berbagai peraturan yang mengatur dan mengawasi kehidupan orangorang Tionghoa di Indonesia. Salah satu di antaranya, Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat orang Tionghoa di Indonesia. Peraturan itu membatasi acara-acara yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat orang Tionghoa di luar rumah ibadat mereka.
Selain itu, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Orde Baru mengategorikan agama dan tradisi Tionghoa,seperti Kong Hu Cu dan Tao, sebagai agama Buddha dan semua klenteng dikonversi menjadi vihara, tempat para pemeluk Buddha melakukan ritual agama mereka.Tentu saja dengan sendirinya acara gotong toapekong dan berbagai acara meriah lain, seperti permainan barongsai, tidak lagi dilakukan,paling tidak secara terbuka.
Perubahan politik Indonesia sejak pascakrisis ekonomi 1997 telah mengembalikan praktik perayaan Imlek seperti sedia kala. Para penyelenggara negara pasca-Orde Baru kini bersedia mengizinkan adanya perayaan Imlek dan praktik keagamaan Tionghoa secara lebih terbuka. Kelonggaran yang diberikan kepada masyarakat Tionghoa ini muncul dengan keluarnya keputusan tentang pencabutan Instruksi Presiden No 14/1967 di atas oleh Keputusan Presiden No 6/2000 yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid.
Langkah yang diambil pemerintahan Wahid itu mengakibatkan Imlek yang pada waktu itu jatuh bersamaan dengan pergantian milenium, kembali dirayakan dengan meriah.Tak lama kemudian, kegembiraan dan kemeriahan tersebut mencapai puncaknya ketika Presiden Megawati menyatakan Imlek sebagai hari libur nasional yang dianggap sejajar dengan hari-hari libur nasional lain.
Namun, keputusan pemerintah untuk menjadikan Imlek sebagai hari raya nasional telah mendatangkan tanda tanya baru,walaupun isunya sudah ada sejak lama.Pertanyaan yang muncul umumnya didasarkan pada asumsi bahwa hari libur nasional yang terkait dengan agama biasanya merupakan hari raya dari agama-agama yang ada di Indonesia dan diakui oleh pemerintah. Karenanya, pertanyaan mengenai apakah Imlek hari raya agama tertentu atau hari raya orang Tionghoa secara keseluruhan, muncul kembali.

Tradisi Perayaan Imlek
Pendapat umum mengatakan, perayaan Imlek tak lain sebagai bagian dari kegiatan pemeluk agama Kong Hu Cu. Pendapat itu sebenarnya kurang tepat, mengingat perayaan Imlek sesungguhnya sudah menjadi tradisi Tionghoa sejak jauh hari sebelum Kong Hu Cu (Kong Fuzi) lahir.
Sebagai sebuah bangsa yang tinggal di negeri dengan musim dingin yang sangat ”menggigit”, orang Tionghoa sangat menghargai berakhirnya musim itu dan menyambut dengan meriah dimulainya musim semi. Periode pergantian musim itu mereka rayakan dengan penuh suka cita dan kebetulan perayaan pergantian musim ini jatuh bertepatan dengan pergantian tahun kalender Tiongkok, yaitu tahun Imlek (Yinli). Sebab itu, perayaan tersebut, selain dikenal sebagai pesta musim semi (Chunjie), juga disebut perayaan Imlek.
Dalam merayakan Imlek, kegiatan yang dilakukan bukan hanya pesta pora semata, melainkan juga ada rangkaian aktivitas yang mengandung makna sesuai dengan tradisi. Kegiatan tersebut mencakup hubungan antarmanusia dan hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural. Faktor hubungan antarmanusia terlihat pada saat mereka menjadikan hari besar itu sebagai momen untuk mengunjungi sanak saudara dan handai tolan untuk bersilaturahmi.
Hal yang umum dilakukan adalah kunjungan dari anak-anak pada orangtuanya, di mana si anak biasanya datang untuk melakukan penghormatan pada orangtua atau orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang tua yang dikunjungi biasanya memberikan hadiah berupa amplop merah (angpao) yang berisi uang atau perhiasan pada sang anak ataupun mereka yang lebih muda. Dalam tradisi orang Tionghoa di Indonesia, angpao biasanya hanya diberikan kepada anakanak muda yang belum menikah.
Secara umum, kegiatan bersilaturahmi di atas juga diperluas dengan kunjungan dari sanak saudara yang berusia lebih muda kepada mereka yang lebih tua. Sering kali, orang-orang lebih muda yang masih satu keluarga berkumpul di rumah orang yang paling tua dari keluarga tersebut dan mengadakan perjamuan makan dan melakukan ritual agama.
Bila diperhatikan, kegiatan yang berkenaan dengan penghormatan orang muda pada orang yang lebih tua, saling memberi selamat dan saling memberi hadiah, ini banyak kesamaannya dengan hari raya Idul Fitri. Mungkin, itulah sebabnya di kalangan masyarakat Indonesia, Imlek populer dengan sebutan ”Lebaran Cina”. Hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat keagamaan.
Ada dua hal yang biasanya dilakukan berkaitan dengan ritual agama ini. Pertama, penyembahan dari orang yang masih hidup kepada para leluhur mereka yang nama-namanya diletakkan di atas meja abu—sudut di dalam rumah tempat memperingati dan memuja leluhur keluarga. Kemudian ada juga kegiatan pemujaan kepada para dewa yang biasanya dilakukan di rumah maupun di klenteng.Selain itu, pada saat tertentu, seperti pada hari cap go meh, para dewa diarak dengan sangat meriah dari klenteng-klenteng untuk berkeliling kota.
Berbagai kegiatan di atas telah dilakukan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Bahkan, selama Orde Baru, ketika pemerintah sangat membatasi kegiatan keagamaan mereka, ritual tersebut tetap dilaksanakan di lingkungan terbatas. Kegiatan yang mempererat silaturahmi tentu dapat dilakukan di rumah, sedangkan kegiatan pemujaan, selain di rumah, juga dilakukan di dalam vihara. Dapat dikatakan, selama Orde Baru berkuasa, vihara menjadi tempat di mana tradisi Tionghoa yang mengandung unsurunsur Budha,Tao, dan Kong Hu Cu (disebut juga sebagai San Jiao/San Kauw) berlindung atau terpelihara.(*)

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI),
Pembina Iman Tauhid Islam adalah sebuah organisasi Islam. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961. PITI tidak bertalian dengan organisasi sosial politik manapun. Ketua PITI saat ini adalah H. Trisno Adi Tantiono, yang terpilih pada tahun 2005.
Program PITI adalah menyampaikan tentang (dakwah) Islam khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan, kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya serta pembelaan/ perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya.
PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional berfungsi sebagai tempat singgah, tempat silahturahmi untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa yang tertarik dan ingin memeluk agama Islam serta tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang baru masuk Islam.
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin. PITI merupakan gabungan dari Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dipimpin oleh Alm Abdusomad Yap A Siong dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) dipimpin oleh Kho Goan Tjin. PIT dan PTM yang sebelum kemerdekaan Indonesia mula-mula didirikan di Medan dan di Bengkulu, masing-masing masih bersifat lokal sehingga pada saat itu keberadaan PIT dan PTM belum begitu dirasakan oleh masyarakat baik muslim Tionghoa dan muslim Indonesia.
Karena itulah, untuk merealisasikan perkembangan ukhuwah Islamiyah di kalangan muslim Tionghoa, maka PIT yang berkedudukan di Medan dan PTM yang berkedudukan di Medan merelakan diri pindah ke Jakarta dengan bergabung dalam satu wadah yakni PITI.
PITI didirikan pada waktu itu, sebagai tangapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah K.H. Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.
Dalam perjalanan sejarah keorganisasiannya, ketika di era tahun 1960-1970 an khususnya setelah meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) di mana di saat itu Indonesia sedang menggalakkan gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, nation and character building, simbol-simbol/identitas yang bersifat disosiatif (menghambat pembauran) seperti istilah, bahasa dan budaya asing khususnya Tionghoa dilarang atau dibatasi oleh Pemerintah, PITI terkena dampaknya yaitu nama Tionghoa pada kepanjangan PITI dilarang. Berdasarkan pertimbangan kebutuhan bahwa gerakan dakwah kepada masyarakat keturunan Tionghoa tidak boleh berhenti, maka pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI, merubah kepanjangan PITI menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.
Pada bulan Mei 2000, dalam rapat pimpinan organisasi menetapkan kepanjangan PITI dikembalikan menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Mulai banyaknya pembangunan masjid-masjid berarsitektur Tiongkok mengikuti jejak pendirian Masjid Cheng Ho di Surabaya, seperti di Purbalingga, Masjid Ja’mi An Naba KH Tan Shin Bie di Purwokerto, di Kota Palembang Masjid Cheng Ho Sriwijaya dan Kota Semarang, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah dan Islamic Center di Kota Kudus.

Klenteng

Istilah klenteng hanya ditemui di Indonesia. Diperkirakan istilah ini berasal dari bunyi instrumen sembahyang (lonceng/genta) yang berbunyi teng-teng. yang kemudian oleh penduduk sekitar dipakai untuk menyebut tempat sembahyang tersebut sebagai Kelenteng. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Kelenteng berasal dari Kuan Im Ting (Mandarin: GuanYinTing). Pendapat ini lemah karena terlalu dipaksakan. Selain itu, tidak semua kelenteng mempunyai altar untuk memuja Kuan Im
Ada juga yang mengatakan bahwa istilah kelenteng berasal dari minyak biji kapuk yang disebut lenteng. Argumen ini lemah karena tidak semua pelita di kelenteng menggunakan minyak biji kapok (bahkan sedikit yang menggunakan minyak biji kapok).
1. Asal muasal menurut makna dan fungsi
Sejarah mencatat kata untuk kelenteng dalam bentuk awalnya adalah huruf BIO (MIAO) yang muncul dalam NgoKing (WuJing) maupun SuSi (SiShu) sebagai tempat ibadah kepada Tian (langit), Di (bumi), dan leluhur. Menurut SuHai (CiHai) mengacu SuGuan (CiYuan) , menyimak SuHue (CiHui), BIO terdiri dari dua radikal yaitu: menyatakan tempat terbuka (bandingkan dengan radikal wei yang berarti di dalam atau radikal bian [bagian atas karakter jia (rumah) yang berarti menaungi,melukiskan batasan dari waktu (untuk hari: pagi/fajar, untuk: hidup: awal) yang menyatakan mula, dini, ke arah,menghadap, suatu kiblat.
Sehingga, BIO berarti: tempat terbuka (umum) untuk tidak melupakan asal-usul atau cikal-bakal yang berhubungan dengan awal dan akhir. Dengan melihat uraian tentang peribadatan bisa ditelusuri bagaimana ini kemudian menjadi CoBio (ZuMiao) , lalu Su (Ci). Dalam perkembangannya bio yang merupakan tempat sembahyang kepada Langit, Bumi, dan Leluhur, juga menjadi sarana ibadah agama Ji To Sek (RuDaoShi) (artinya: Agama Khonghucu, Taoisme, Buddhisme). Pengaruh agama RuDaoShi ini menjadi landasan umat SamKao (SanJiao,Tridharma), yang melengkapi bio dengan SinBing (ShenMing) , Sian (Xian) dan Hud (Fo). Kemudian, seiring perjalan waktu, Bio mengalami derivatif makna dan fungsi. Walaupun demikian asal-muasal dan pengertian dasarnya perlu dijaga supaya kebenaran yang sebenarnya tidak terlupakan.

2. Perkembangan kelenteng dalam macam dan jenis
Secara fisik sejak semula memang ada sebutan untuk membedakan kelenteng yang ada:
Kiong (Gong) bangunannya megah (besar), dibangun oleh raja/pejabat/pembesar, dengan makna dan fungsi yang luas daripada Bio Su (Ci) dibangun oleh marga/keluarga lebih untuk menghormati leluhur Sementara Bio tetap dipergunakan sebagai tempat ibadah/sembahyang yang baku. Kemudian makna dan fungsi terus berkembang, dan istilah kelentengpun mengikuti perkembangan sesuai dengan macam dan jenis, diantaranya: Bila ada pelajaran, taman baca, atau taman komunikasi sosial: Yni (Yuan) terkadang juga ditulis Wan (Yuan) contoh: KimTekYi (JinDeYuan) di JakartaBila ada fungsi pelayanan keagamaan, upacara/ritual disebut: Tong (Tang). Bila berfungsi sebagai pendopo, tempat pemujaan disebut Ting (Ting). Bila berfungsi sebagai tempat pengasingan, menenangkan disebut An (An). Bila lebih sebagai sarana yang umum/kemasyarakatan disebut Kuan (Guan). Setelah masuknya Buddhisme, kelenteng yang berfungsi sebagai vihara disebut Si (Si) dan vihara untuk bhikshuni disebut Am (An). Ada juga nama yang dikaitkan dengan bentuk kuil seperti Tong (Dong) (=goa),contoh: SamPoTong (SanBaoDong) di Semarang kelenteng SamPoKong SamPoTaiJin. Bila bangunan kelentengnya didominasi pahatan bebatuan dinamakan Si (Shi) (=batu).
Sejak dinasti Tong (Tang) quot; ada klasifikasi yang lebih jelas, sehingga dikenal: Bagi Rujiao yang berdasarkan Te (Di) dan Co (Zu) ada Bio (Miao) dan Su (Ci). Bagi Daojiao yang lebih tinggi derajatnya disebut Kiong (Gong) dan yang lebih rendah disebut Kuan (Guan) Bagi Buddhisme, untuk bhikshu: Si (Si) dan untuk bhikshuni Am (An) Untuk SinBing (ShenMing) bila lebih menunjuk satu SinBing (sebagai pendopo). Bila jamak cenderung memakai nama Yni (Yuan)atau ada juga yang menggunakan huruf Wan (Yuan) .
Untuk Pelayanan keagamaan bisa:
• Yni (Yuan) taman baca/belajar
• Tong (Tang) tempat ibadah/upacara/ritual
• Kuan (Guan) sarana pelayanan kemasyarakatan
Kendati pembagian ini pada awalnya demikian, kemudian istilah -istilah ini tercampur baur, tidak ada lagi acuan baku, bahkan terkesan rancu.

III. SISTEM KEKERABATAN
a) Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang, yaitu masa bujang danmasa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah. Oleh Karena itu, upacara perkawinan haris mahal, rumit, dan agung. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda dengan upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan. Sampai saat ini perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak mengetahui calon pasangan hidupnya, mereka baru saliong melihat pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi.

b) Pantangan Pemilihan Jodoh
Dalam pemilihan jodoh orang tionghoa peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Namun, kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat dibolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang. Sebaliknya, perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat diterima. Hal ini disebabkan bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari isterinya.
Peraturan lainnya adalah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Akan tetapi, adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.

c) Mas Kawin
Setelah seorang laki-laki memilih jodohnya dan merundingkan hari perkawinannya, orang tua pihak laki-laki mengantarkan ang-pao (bunkusan merah), yaitu uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini dinamakan uang tetek. Maksudnya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh orang tua gadis, untuk mengasuh dan membesarkannya. Namun , uang tetek ini biasanya ditolak karena dengan menerimanya, orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya, kecuali jika keluarga pihak perempuan berada dalam keadaan miskin.
Menjelang hari perkawinan, keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim utusan ke rumah keluarga si gadis unuk menyampaikan uang ang-pao, beberapa potong pakian, dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya akan menolak pemberian ini dengan halus, tetapi keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian saja.

d) Adat Menetap Sesudah Menikah
Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat kaitannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya tidak terkat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

e) Bentuk Rumah Tangga
Berdasarkan sistem kekerabatan orang Tionghoa maka bentuk rumah tangganya adalah keluarga luas. Keluarga luas tionghoa ini, terbagi ke dalam dua bentuk yaitu :
1. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta isteri dan anak-anaknya dan saudaranya yang belum kawin.
2. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing-masing
Kini karena pengaruh luar dari pendidikan sekolah, maka bentuk rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menjadi umum.

f) Kelompok Kekerabatan
Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga-batih, tetapi keluarga-luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah adalah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga ibu sama eratnya dengan pihak ayah.

g) Perceraian
Perceraian dalanm tradisi orang Tionghoa diizinkan dengan beberapa alasan. Meskipun demikian perceraiain jarang terjadi karena perceraian dianggap sebagai perbuatan tercela dan akan mencemarkan nama keluarga. Perceraian dapat terjadi karena si isteri tudak dapat memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami, atau dapat juga karena si isteri tidak mau tinggal bersama dengan isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.



h) Poligami
Dalam adat Tionghoa, seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai isteri mudanya. Namun, isteri pertama tetap menjadi isteri yang utama, yang menagtur rumah tangga, yang mendampingi suaminya dalam pertemuan-pertemuan serta menjadi ibu dari semua anak-anak, baik anaknya sendriri maupun anak dari isteri lain. Isteri muda hanya berperan sebagai pemabntunya saja. Terkadang mengambil isteri muda, adalah anjuran isteri yang pertama, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki. Kebiasaan ini sudah jarang terjadi, dan orang Tionghoa umumnya kawin monogami.

i) Kedudukan Wanita
Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di dalam rumah.
Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan terkadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tua wanita secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki-laki.

j) Tata Panggilan Menurut Adat Istiadat Tionghoa
Adat istiadat panggilan atau tradisi panggilan yang termasuk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan suatu hal yang sangat indah dan sudah tua. Mengapa dikatakan demikian? Karena dengan mendengar panggilan seseorang dalam sebuah keluarga, maka dapat kita ketahui kedudukan orang tersebut dalam keluarga. Di dunia internasionalpun mengakui bahwa kebudayaan Tionghoa merupakan suatu kebudayaan yang kuno dan antik. Tata panggilan ini sekarang mulai sirna, karena generasi mudanya memilih hal-hal yang dianggap praktis dan modern misalnya mengikuti panggilan orang Belanda terhadap keluarga mereka yaitu Oom dan Tante. Namun masih untung ada juga yang ingin mengetahui apa arti panggilan tersebut. Secara garis besar dapat dikatakan sebagai berikut :
1. Orang Tionghoa sangat menghormati orang-orang yang lebih tua (leluhur)
2. Kekerabatan orang Tionghoa sangat erat dan saling mendukung
3. Setiap orang yang lebih tua untuk pria dipanggil "Coo", untuk wanita dipanggil "Poo", misalnya : untuk panggilan kakek buyut : Kongco, untuk panggilan nenek buyut : Popoo atau Apo
4. Untuk besan pria dipanggil : Cengkeh, untuk besan wanita dipanggil : Ceem
5. Urutan-urutan panggilan : yang paling besar : taa, yang nomor dua: ji, yang nomor tiga : saa, dst
6. Saudara pihak ayah dipanggil: "ncek", Saudara pihak ibu dipanggil : "ie", misalnya : kakak ibu I : taie, kakak ibu II : jiie , kakak ibu III : saie
7. Kakak ipar laki-laki dipanggil : "cihu", kakak ipar perempuan dipanggil : "nso (taso, jiso, saso)"
8. Adik ipar laki-laki dipanggil : ntio , adik ipar perempuan dipanggil : ncim
9. Silsilahnya adalah sebagai berikut :
Kakek buyut
(Kongco) Nenek buyut
(Papoo) Generasi I
Kakek
(nkong) Nenek
(apo/ama) Generasi II
Ayah
(tia-tia/papa) Ibu
(nene/mama) Generasi III
Anak I
(tacek) Istri
(tacim) Anak II
(jicek) Istri
(jicim) Anak III
(takoh) Suami
(tatio) Generaasi IV
Anak I
(tapek) Istri
(taem) Generasi V
• Anak I pria dipanggil : tapek. Istrinya dipanggil : taem. Anak II pria dipanggil : jipek. Istrinya dipanggil : jiem. Anak III pria dipanggil : sapek. Istrinya dipanggil : saem dst sesuai urutan dan nomor Tionghoa
• Anak I wanita dipanggil : takoh. Suaminya dipanggil : ntio. Anak II wanita dipanggil : jikoh. Suaminya dipanggil : jitio. Anak III wanita dipanggil : sakoh. Suaminya dipanggil : satio dst sesuai urutan dan nomor Tionghoa
• Antar ipar : Anak I pria dipanggil : tacek. Istrinya dipanggil : tacim. Anak II pria dipanggil : jicek. Isterinya dipanggil : jicim. Anak III pria dipanggil: sacek. Isterinya dipanggil : sacim
• Pada umumnya : Orang tua pria dapat dipanggil : ncek. Orang tua wanita dipanggil : ncim. Kalau masih muda pria dipanggil : ngkoh/akoh. Kalau masih muda wanita dipanggil : ncie/acih. Saudara ibu dipanggil: ie/aie
k) Panggilan Kekerabatan Dalam Tradisi Tionghua









Keterangan:
L: lelaki
P: perempuan
|: hubungan orang tua-anak
-: hubungan saudara
x: hubungan perkawinan


l) Nama Tionghoa


Karakter Xingming yang berarti nama dan marga
Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan dengan karakter Han (Hanzi). Nama ini digunakan secara luas oleh warga negara Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Hong Kong, Makau dan keturunan Tionghoa di negara-negara lainnya.
Nama Tionghoa biasanya terdiri dari 2 karakter sampai 4 karakter, walaupun ada yang lebih dari 4 karakter, namun umumnya nama seperti itu adalah mengambil terjemahan dari bahasa lain sehingga tidak dianggap sebagai nama Tionghoa.
Nama Tionghoa mengandung marga dan nama. Marga Tionghoa diletakkan di depan nama, biasanya 1 sampai 2 karakter; nama mengikuti marga.

Evolusi Nama Tionghoa
Di zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada peraturan bahwa nama seorang anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah kelahirannya. Namun pada praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan setelah kelahiran sang anak, bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya. Juga ada yang telah menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang anak.
Di zaman Dinasti Shang, orang-orang masih menggunakan nama dengan 1 karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga dan juga karena jumlah penduduk yang tidak banyak.
Sebelum zaman Dinasti Han, biasanya nama Tionghoa hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1 karakter marga dan 1 karakter nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang mulai memiliki sebuah nama lengkap yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter marga dan 2 karakter nama) selain daripada nama resmi mereka yang 2 karakter itu.
Di zaman Dinasti Jin, orang-orang baru memakai nama dengan 3 karakter seperti yang kita kenal sekarang.
Nama menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusius tentang pentingnya penamaan bagi penonjolan karakter seseorang.

Nama Generasi
Di dalam nama dengan 3 karakter, biasanya kita mengenal adanya nama generasi. Nama yang mengandung nama generasi adalah 1 karakter marga, 1 karakter generasi dan 1 karakter marga. Pada tingkatan generasi yang sama dalam satu keluarga besar biasanya memiliki nama generasi yang sama.
Nama generasi ditetapkan oleh leluhur dengan mengambil sebuah puisi atau bait di dalamnya untuk penamaan generasi turun-temurun. Biasanya sebuah puisi berisikan 16, 20 atau bahkan 24 karakter buat 16, 20 atau 24 generasi ke bawah. Sampai generasi ke-17, 21 atau 25, nama generasi akan dimulai kembali dari karakter generasi pertama.
Nama generasi ini tidak lazim digunakan di semua keluarga karena biasanya hal seperti ini merupakan monopoli orang terpelajar. Karena pendidikan tidak umum bagi rakyat biasa di zaman dulu di Tiongkok, maka banyak pula keluarga yang tidak menggunakan nama generasi dalam pemberian nama.

Nama Tionghoa Di Indonesia
Suku Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim daripada dialek-dialek lainnya.
Di zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan; sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.
Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian rupa. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa.
Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada anti-Tionghoa yang menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan RRT di Indonesia ke negara leluhurnya.
Ganti nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama Indonesia asli.

MARGA
Sne (dulu she atau seh) atau marga dalam bahasa Indonesia dan xing dalam Mandarin, merupakan bagian penting dalam budaya Tionghoa.Dengan mengetahui sne orang bisa menelusur asal usulnya atau disebut xungen yang berarti mencari akar. Sne Tionghoa mencapai ribuan jumlahnya, tapi yang masih ada sekarang, menurut statistik resmi di Tiongkok hanya sekitar 3500. Jangan lupa statistik itu tak tepat, jadi kita tidak tahu berapa tepatnya, hanya tahu sekitar 3500 yang berarti lebih dari 3500. Populasinya sangat tidak merata, ada sne Li nomor satu jumlahnya di Tiongkok, yang jumlahnya sekitar 7,9% penduduk Tiongkok. Dapat dihitung 7,9% kali 1,3 milyar berarti lebih dari 100 juta! Sne Wang, atau ong raja nomor dua, dll. Ada sne yang sangat sedikit jumlahnya, dan hanya ada di suatu kampung tertentu, hingga orang Tiongkok sendiri banyak yang tak tahu. Misalnya sne Niang (niang dari nona = guniang), baru orang sadar, setelah ada salah seorang anggota Kongres Rakyat Nasional (parlemen) RRT yang bersne Niang. Ada sne Jiu (arak) di Taiwan, yang ketika diwawancarai wartawan, mengatakan mereka sendiri belum pernah bertemu orang sama snenya. Untuk memudahkan dipilih 300 sne terbanyak. Yang menjadi runyam adalah cara membaca sne, ada yang dengan dialek Hokkian, ada yang Konghu, ada yang Kheq, ada Hokchnia dll. Sudah dialeknya tak sama, ejaannya tak sama lagi, misalnya Liao, Liau, Liauw ada Leau, ada Leow dll. Itu baru satu sne. Hal ini menjadi agak mudah kalau kita tahu huruf Tionghoanya. Buku tentang sne dalam bahasa Tionghoa sangat banyak, baik terbitan, RRT, Taiwan, maupun Hongkong. Kalau tidak tahu huruf Tionghoa, agak berabe. Di Amerika ada orang bertanya melalui milis. Ia adalah orang Tionghoa yang sudah beberapa turunan tinggal di sana, sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa, juga sudah tak tahu huruf Tionghoa, ia hanya tahu sne Tiv. Setelah bertanya ke mana-mana, tidak ada yang tahu, karena tidak pernah ada sne Tiv. Penulis pernah memberi kemungkinan padanya, sbb: v dalam fonetik internasional bisa sebagai konsonan bisa vokal. Vokal v berbunyi ketika gigi atas kita ditempelkan pada bibir bawah v, lalu ucapkan e. Di negara barat sendiri dahulu kala v adalah u, oleh karena itu huruf w yang berasal dari dua v, yaitu vv dinamakan double u, bukan double v. Universitas nomor wahid di bidang engineering MIT, di gerbang depannya masih terpampang nama Massachvssetts Institvte of Technology. Dilihat dari segi ini maka Tiv bisa berbunyi mirip Tie (e nya e dalam kata sekolah) atau Tiu. Karena yang paling dulu menyeberang ke luar negeri adalah orang Hokkian, dengan asumsi kemungkinan besar leluhurnya adalah orang Hokkian, maka yang paling mendekati adalah Tio. Tio ini dalam logat Zhangzhou (Ciangciu) dibaca Tio dengan o seperti dalam kata balok, sedang dalam logat Quanzhou (Cuanciu) o dibaca setelah o setengah eu dalam bahasa Sunda. Jadi kemungkinan besar ia sne Tio.




Macam-macam Marga
1. Marga Feng
Marga Feng (mandarin), Pang (hokkian), Fung (kanton) atau Pung (hakka) berasal dari marga Ji dan telah ada sejak zaman Dinasti Zhou (abad 11 SM). Anak ke-15 dari Raja Zhou Wen Wang yang bernama Bi Gong Gao dihadiahkan wilayah Bi, selanjutnya berkuasa di kota Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan). Keturunannya kemudian mengambil nama kota sebagai marga mereka dan merupakan leluhur orang bermarga Feng yang pertama. Masuk ke zaman Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM~5 SM), ada seorang bermarga Gui yang menjadi pejabat di negara Zheng. Karena dihadiahkan wilayah Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan) maka ia mengganti marganya menjadi Feng. Ia kemudian dikenal dengan nama Feng Jian-ze dan keturunannya kemudian bermarga Feng. Tokoh2 terkenal dari marga ini semisal Feng Meng-long, seorang sastrawan dari dinasti Ming dan Feng Yu-xiang yang merupakan jenderal terkenal dalam perang melawan Jepang dan pernah menjabat sebagai Gubernur Henan di masa republik nasionalis.

2. Marga Guan
Marga Guan1 (mandarin), Kuan (hokkian), Kwan (kanton) dan Kuan (hakka) adalah marga yang telah sangat tua umurnya. Menurut catatan sejarah, telah mulai ada sejak akhir Dinasti Xia (abad 18 SM) sehingga telah berumur lebih 3700 tahun. Marga Guan yang tertua adalah berasal dari keturunan seorang menteri negara di zaman Dinasti Xia akhir. Menteri yang bernama Huan Long Feng yang mengabdi pada Kaisar Jie (kaisar terakhir Dinasti Xia) dibunuh oleh sang kaisar karena menasehatinya untuk menghentikan kelaliman dan ketidakpeduliannya pada pemerintahan negara. Karena karakter Huan dan Guan bernada sama pada masa itu, maka kemudian sejarah ada mencatat nama menteri tersebut sebagai Guan Long Feng. Keturunan sang menteri kemudian menggunakan Guan sebagai marga mereka. Marga Guan yang lain berasal dari masa Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM ~ 5 SM) dari seorang pejabat bernama Yin Xi. Ia merupakan komandan Gu Guan (pos yang menghubungkan antara satu kota dengan kota lainnya) dan jabatan seperti itu disebut sebagai Guan Ling pada masa itu. Yin Xi ini kemudian menjadi terkenal setelah menyebarluaskan kitab Tao Te Ching yang ditulis Lao Zi dan dihadiahkan kepadanya sewaktu Lao Zi melewati pos tersebut. Keturunannya kemudian menggunakan nama jabatannya (Guan) sebagai marga. Tokoh terkenal dari marga ini adalah Guan Yu (Kuan Kong) yang merupakan jenderal terkenal dari negara Shu pada masa Tiga Negara (Samkok). Juga ada perdana menteri Guan Bo pada zaman Dinasti Tang. Sekarang ini ada olahragawati (peselancar es) tingkat dunia yang terkenal Guan Ying-shan (Michelle Kwan). Rinto Jiang

3. Marga Wu
Marga Wu2 (mandarin) = Go/Goh (hokkian) = Ng (kanton) adalah marga yang telah sangat tua sejarahnya. Marga ini telah ada tercatat sebelum zaman Dinasti Xia di zamannya Kaisar Shun4 (abad 23 SM).Dikisahkan, keturunan Kaisar Shun ada yang berkuasa di daerah Yu dan dikarenakan Yu bernada hampir sama dengan Wu, maka keturunannya itu kemudian ada yang bermarga Wu.Ada pula marga Wu yang berasal dari keturunan Raja Dinasti Zhou bermarga Ji. Gu-gong Dan-fu adalah kakek dari pendiri Dinasti Zhou (Zhou Wen-wang) mempunyai 3 anak, Tai Bo, Zhong Yung dan Ji Li. Karena Gu-gong Dan-fu menginginkan cucunya Ji Chang (yang nantinya bertahta dengan gelar Zhou Wen-wang) meneruskan tahtanya, maka kedua anaknya yang lain, Tai Bo dan Zhong Yung kemudian setuju dengan keputusan ayah mereka untuk menjadikan Ji Li sebagai penerusnya untuk kemudian meneruskannya kepada Ji Chang. Kedua bersaudara tadi kemudian mencari daerah baru ke selatan (Jiang Nan) dan mendirikan negara Wu (sekarang di propinsi Jiangsu). Keturunan mereka kemudian mengambil nama negara sebagai marga mereka.Tokoh terkenal dari marga ini seperti Wu Qi, seorang ahli perang dari zaman Negara2 Berperang dan Wu Cheng-en yang menulis novel klasik Xi You Ji (Perjalanan ke Barat) dari zaman Dinasti Ming. Di zaman sekarang ini ada PM Singapura, Goh Chok-tong atau Wu Zuo-dong (mandarin).

Daftar Nama Marga Tionghoa Yang Diindonesiakan
Daftar ini belumlah lengkap. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.
Marga Tionghoa Dibaca Ejaan Latin / Pelatinan Versi Indonesia / Pengindonesiaan
陈 (Chen) Jen Tan, Tjhin (Hakka) Tanto, Tanoto, Tanu, Tanutama, Soetanto, Cendana, Tanudisastro, Tandiono,
Tanujaya, Santoso, Tanzil, Tanasal, Tanadi, Tanusudibyo, Tanamal,
郭 (Guo) Kuo Kwee, Kwik
韩 (Han) Han Han Handjojo, Handaya
黄 (Huang) Huang Oei, Oey, Ng Wibowo, Wijaya, Winata
江 (Jiang) Ciang Kang/Kong Kangean
李 (Li) Lhi Li, Lie, Lee Lijanto, Liman, Liedarto, Rusli
梁 (Liang) Lhiang Nio
林 (Lin) Lhin Liem, Lim Halim, Salim, Limanto, Limantoro, Limijanto, Wanandi, Liemena, Alim, Limawan
劉/刘 (Liu) Lhiu Lau, Lauw Mulawarman, Lawang, Lauwita
陆 (Lü) Liw Liok, Liuk (Hakka) Loekito, Loekman
吕 (Lü) Liw Loe, Lu Loekito, Luna, Lukas
司徒 (Situ) Sê Dhu Sieto, Szeto, Seto, Siehu, Suhu Lutansieto, Suhuyanli, Suhuyanly
苏 (Su) Su Souw, So, Soe Soekotjo, Soehadi, Sosro, Solihin, Soeganda
王 (Wang) Whang Ong, Wong Ongko, Wangsadinata, Wangsa, Radja, Wongsojoyo, Ongkowijaya
温 (Wen) Whên Oen, Boen, Woen Benjamin, Bunjamin, Budiman, Gunawan, Basiroen, Bunda, Wendi, Unang
吴 (Wu) Whu Go, Gouw, Goh, Ng (Hakka) Gondo , Sugondo, Gozali, Wurianto, Gunawan, Gotama, Utama
许 (Xu) Xiw Kho, Khouw, Khoe Kosasih, Komar, Kurnia, Kusnadi
謝 (Xie) Shie Cia/Tjia
杨 (Yang) Yang Njoo, Nyoo, Jo, Yong (Hakka) Yongki, Yoso, Yohan
曾 (Zeng) Ceng Tjan Tjandra, Chandra, Chandrawinata, Candrakusuma
张 (Zhang) Chang Thio, Tio, Chang, Theo, Teo Canggih, Setyo, Sulistio and variants
郑 (Zheng) Cheng Te, The Suteja, Teja, Teddy, Tedjokumoro, Tejarukmana, Tejawati
Yap/Jap, Djiaw, Lo, Pek, Auwjong, Poo, Keng
Siauw, Sie, Tjoa, Tjong, Tjun, Tjiam, Tong, Belum dikelompokkan: Kurniawan, Ojong

Nama Tionghoa Dan Romanisasinya
Sekarang ini, biasanya untuk memudahkan orang yang memiliki nama Tionghoa juga memiliki romanisasi dari lafal nama Tionghoa mereka ataupun memiliki nama Barat. Sistem romanisasi yang paling baku dan paling banyak digunakan sekarang ini adalah sistem Hanyu Pinyin. Tata cara penulisan nama Tionghoa dalam bentuk romanisasi yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan memisahkan antara suku-kata marga dan nama.
• Mao Zedong; Mao adalah marga 1 karakter, Zedong adalah nama 2 karakter
• Jiang Zemin; Jiang adalah marga 1 karakter, Zemin adalah nama 2 karakter
• Sima Yi; Sima adalah marga 2 karakter, Yi adalah nama 1 karakter
• Auwjong Pengkoen (dialek Hokkian); Auwjong adalah marga 2 karakter, Pengkoen adalah nama 2 karakter
Ada pula penulisan dengan tata cara penulisan nama Barat, di mana nama pemberian ditulis terlebih dahulu dan nama keluarga mengikuti di belakang. Nama keluarga di Barat dapat disamakan dengan marga di kalangan Tionghoa.
• Zemin, Jiang; Zemin adalah nama pemberian, Jiang adalah nama keluarga (marga)
Nama barat berikut ini disertai oleh marga Tionghoa di belakang nama Barat tersebut sesuai dengan kaidah penamaan di Barat yang menempatkan nama keluarga di belakang nama pemberian.
• James Soong Chuyu; James adalah nama Barat, Soong adalah marga Tionghoa, Chuyu adalah nama Tionghoa
• Jacky Cheung; Jacky adalah nama Barat, Cheung adalah marga Tionghoa dalam dialek Kantonis

IV. SISTEM KEMASYARAKATAN
1. Stratifikasi social
Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonsia ada perbedaaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya, tetapi perbedaan ini tidak sangat mencolok Karen golongan buruh tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.
Tionghoa peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.
Sekarang ini, dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa menyebabkan anggapan bahwa orang yang tidak segolongan dengannya sebagai golongan rendah. Dengan kata lain, stratifikasi social orang Tionghoa di Indonesia berdasrkan perbedaan tingkat dan tingkat kekayaannya.

2. Pimpinan Masyarakat Tionghoa
Bagi maysrakat Tionghoa di suatu daerah, pemerintah Belanda dulu mengangkat seorang yang dipilih dari masyarakat itu sebagai pimpinan, pemimpin-pemimpin itu memakai pangkat majoor (pangkat tertinggi), kapitein, luitenant, dan wijkmeester (sekarang ketua RW). Pemimpin-pemimpin ini bertugas sebagai perantara yang menghubungkan orang Tionghoa yang ingin mengurus sesatu hal dengan pemerintah Belanda. Para pemimp[in orang Tionghoa sendiri disebut kongkoan. Sebenarnyakat kongkoan adalah kantor di mana para pemimpin tadi untuk kepentingan orang Tionghoa.
Tugas utama dari para pemimpin ini adalah menjaga ketertiban dan keamanan dari masyarakat Tionghoa yang terdapat di suatu daerah atau kota, mengurus hal adat istiada, kepercayaan, perkawinan dan perceraian, dan memutuskan segala hal. Mereka mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, serta mengangkat sumpah. Kongkoa mengadili sagala perkara di antara orang Tionghoa. Mereka juga berfungsi sebagai penasihat pada pemerintah Belanda, terutama dalam masalah penarikan pajak, dan merupakan saluran-saluran dari peraturan-peraturan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa. Umumnya pemimpin-pemimpin itu dipilih karena mereka mempunyai pengaruh yang besar dan dihormati oleh orang-orang Tionghoa dan orang kaya.

3. Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa
Pada mulanya, orang tionghoa di beberpa kota besar mendirikan perkumpulan “Kamar Dagang” yang disebut dengan Sianghwee. “Kamar Dagang” ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Tionghoa yang bekerja untuk kepenyingan anggoat-anggotanya, terutamg mengurus pajak. Di samping itu, da perkumpulan yang berdasarkan “asal satu desa di Negara Cina”.
Mulai awal abad ke-20, nasinalisme orang Cina cepat sekali menjalar. Hal ini disebabkan Karen kekecewaan orang Tionghoa ini terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1900 didirikan suatu perkumpulan yang bertujuan memajukan nasionalisme Cina berdasrkan religi Kung Fu Tse dan menyatukan orang Tionghoa yang masih provinsialistis. Perkumpulan itu mula-mulr ada di Jakerta, tetapi kemudian juga timbul cabang-cabangnya di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1927, kaum cendekian Peranakan yang memperoleh pendidikan Belanda mendirikan suatu organisasi yang disebut Chung Hwa Hul yang mewakili orang Tionghoa di Volksraad.
Kemudian setelah Indonesia merdeka organisasi-organisasi yang sebelumnya ada dibubarkan dan dilebur ke dalam suatu organisasi yang mewakili orang Tionghoa Peranakan dalam Dewan Perwakilan. Di samping itu ada perkumpulan-perkumpulan agama Kristen, Sam Kauw, dan lain-lain.



V. TRADISI & PERAYAAN
A. TRADISI
1. Budaya Teh Tionghoa

Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Tiongkok, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Bahkan, berlanjut di Jepang sejak masa Kamakaru (1192 – 1333) oleh pengikut Zen.
Tujuan minum teh, agar mereka mendapatkan kesegaran tubuh selama meditasi yang bisa memakan waktu berjam-jam. Pada akhirnya, tradisi minum teh menjadi bagian dari upacara ritual Zen.
Selama abad ke-15 hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk mendiskusikan berbagai hal.
Meski saat itu belum bisa dibuktikan khasiat teh secara ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah, setelah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung lemak.
Mereka juga percaya, minum teh dapat melancarkan buang air seni, menghambat diare, dan sederet kegunaan lainnya.

Dewa Penjaga Pintu
Kebiasaan menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari Tahun Baru Imlek bermula pada Dinasti Han. Sejak masa Dinasti Tang, Jenderal Qin Shubao dan Yuchi Jingde yang mengabdi kepada Kaisar Li Shimin dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.
Legenda mengatakan bahwa pada masa Dinasti Tang terdapat seorang peramal yang hebat dan sangat tepat dalam meramal, terutama dalam hal perikanan. Keahlian tersebut merisaukan Raja Naga yang menguasai Sungai Jing.
Pada awalnya Raja Naga ingin melenyapkan peramal tersebut, namun setelah mendapat nasehat sang Raja Naga berkeinginan mempermalukan sang peramal. Maka Raja Naga yang naik ke darat dan menjelma menjadi manusia menemui peramal tersebut. Raja Naga menantang sang peramal untuk meramal kapan jatuhnya hujan. Jika ramalan tepat akan diberi hadiah 50 keping perak. Jika salah, semua peralatan ramal yang dimiliki akan dihancurkan dan sang peramal tidak diperbolehkan meramal sepanjang hidupnya. Sang peramal mengatakan bahwa besok akan hujan dan juga meramalkan besarnya hujan tersebut beserta waktunya.
Sang Raja Naga merasa kemenangan di depan mata karena semua urusan mendatangkan hujan adalah wewenangnya. Namun pada saat dia kembali, utusan Kaisar Langit datang membawa perintah agar Raja Naga menurunkan hujan, tepat seperti yang dikatakan oleh sang peramal. Karena tidak ingin mengakui kekalahan, maka Raja Naga mengubah waktu dan jumlah hujan yang diturunkan.
Setelah menurunkan hujan, Raja Naga lalu menemui sang peramal dan mulai menghancurkan peralatan ramal yang ada. Raja Naga mengatakan bahwa ramalan yang diberikan tidak benar. Dengan tenangnya sang peramal berkata bahwa sejak awal dia sudah mengetahui bahwa yang datang adalah Raja Naga. Dan Raja Naga, yang merubah waktu dan besar hujan yang diturunkan, membuat Kaisar Langit marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Naga.
Raja Naga langsung tertegun mendengar hal itu. Akhirnya dia memohon agar sang peramal bersedia menyelamatkan dirinya. Sang peramal mengatakan agar Raja Naga pergi meminta bantuan Kaisar Li Shimin agar terus menemani Perdana Menteri Wei He, yang diutus untuk membunuh Raja Naga, hingga tengah malam.
Sang Kaisar bersedia menemani Wei He bermain catur hingga larut malam. Dan membuat Wei He tertidur. Kaisar Li merasa Wei He tidak akan dapat melakukan tugasnya karena telah tertidur. Namun dalam tidurnya, Wei He mendatangi Raja Naga dan memberikan hukuman. Arwah dari Raja Naga sangat marah dan menganggap Kaisar Li lalai sehingga dia terus mengganggu tidur sang kaisar setiap malam.
Dua orang jenderal, Qin Shubao dan Yuchi Jingde, yang melihat penderitaan sang kaisar bersedia menjaga semalam suntuk di depan kamar tidur kaisar agar kaisar dapat tidur nyenyak. Dengan adanya dua orang jenderal tersebut, sang kaisar dapat tidur dengan tenang dan nyenyak.
Pada keesokan harinya sang kaisar sangat berterima kasih kepada dua jenderal tersebut. Namun dia menyadari bahwa tidak mungkin terus menerus meminta Jenderal Qin dan Yuchi agar terus berjaga setiap malam. Akhirnya sang kaisar memiliki ide dengan menggambar kedua jenderal dan menempelkannya di depan pintu kamar.
Lama kelamaan kebiasaan kaisar ini tersebar luas dan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan bangsa Tionghoa. Sehingga Jenderal Qin dan Yuchi dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.

2. Memakan Kue Bulan
Pada jaman Dinasti Yuan, rakyat Han pada saat itu menentang pemerintahan Mongol dari Dinasti Yuan, dan para pemberontak, dipimpin oleh Shu Yuan Zhang, merencanakan untuk mengambil alih pemerintahan. Shu bingung memikirkan bagaimana cara menyatukan rakyat untuk memberontak pada hari yang sama tanpa diketahui oleh pemerintah Mongol.
Salah seorang penasehat terpercayanya akhirnya menemukan sebuah ide. Sebuah berita disebarkan bahwa akan ada bencana besar yang akan menimpa negeri Tiongkok dan hanya dengan memakan kue bulan yang dibagikan oleh para pemberontak dapat mencegah bencana tersebut. Kue bulan tersebut hanya dibagikan kepada rakyat Han, yang akan menemukan pesan “Revolusi pada tanggal lima belas bulan delapan” pada saat membukanya.
Karena pemberitahuan itu, rakyat bersama-sama melakukan aksi pada tanggal yang ditentukan untuk menggulingkan Dinasti Yuan. Dan sejak saat itu kue bulan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perayaan Pertengahan Musim Gugur.



3. Memakan Yuan Xiao
Salah satu kebiasaan yang dilakukan pada saat merayakan Perayaan Lentera adalah memakan Yuan Xiao, atau dinamakan Tang Yuan pada bagian selatan Tiongkok, yang menjadi simbol dari kebahagiaan dan persatuan.
Tang Yuan Setiap daerah memiliki cara masing-masing dalam membuat Yuan Xiao, namun semuanya memakai nasi yang lengket dengan diberi isi, seperti tepung kacang, bijan, daging ikan, dan lainnya.
Yuan Xiao dipadatkan dengan diremas-remas lalu dibungkus daun bambu. Sehingga bisa menghasilkan kue nasi lengket yang hampir bulat dan dapat dimakan.

4. Memandang bulan hingga tengah malam
Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu ada sebuah keluarga, keluarga Yang, yang menikahkan anak lelakinya, yang masih anak kecil, dengan Yao, anak perempuan ke enam dari keluarga Yao.
Keluarga Yang memperlakukan Yao seperti budak sejak hari pernikahan. Dari mulai mencuci, menenun, memasak dan banyak lagi. Apabila pekerjaan yang diberikan tidak dapat diselesaikan, maka perlakuan kasar akan diterima Yao.
Suatu hari pada tanggal lima belas bulan delapan Imlek, keluarga Yang memberikan 7 keranjang kapas kepada Yao untuk ditenun menjadi kain dan harus selesai pada keesokan harinya.
Sepanjang hari Yao terus menenun untuk menyelesaikan 7 keranjang yang diberikan. Pada kira-kira tengah malam, minyak yang dipakai untuk penerangan habis. Ditengah kebingungan, Yao melihat terangnya bulan saat itu sehingga memindahkan alat tenun ke halaman rumah untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai dengan diterangi cahaya bulan.
Pada saat Yao sedang menenun, di langit melintas sebuah perahu naga besar berisi para Dewa yang sedang menikmati terangnya bulan. Mereka melihat Yao sedang menenun. Salah seorang Dewa berkata agar tidak perlu menenun lagi dan beristirahat.
Yao berkata bahwa dirinya harus menyelesaikan tenunan apabila tidak ingin mendapat perlakuan kasar. Tiba-tiba angin menerpa dengan keras dan cahaya terang bulan tidak ada lagi. Yao dengan terpaksa berhenti menenun dan memindahkan alat tenunnya ke dalam rumah, lalu beristirahat.
Pada pagi hari, Yao sudah membayangkan perlakuan kasar yang akan menimpa dirinya. Namun saat keluarga Yang melihat alat tenun yang ada, mereka terkejut dan heran karena alat tenun yang biasa dipakai Yao telah berubah menjadi alat tenun yang terbuat dari emas. Ketika Yao ditanya, dia hanya menceritakan kejadian semalam. Akhirnya keluarga Yang menyadari bahwa Yao adalah seorang yang sangat baik dan beruntung. Sejak saat itu keluarga Yang selalu memperlakukan Yao dengan baik.
Cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi sehingga memandang bulan pada Perayaan Pertengahan Musim Gugur hingga larut malam menjadi sebuah tradisi. Dengan harapan dapat melihat perahu naga para Dewa.

5. Membunyikan Petasan
Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.
Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran. Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.
Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.
Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu.
Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan. Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung. Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.

6. Menggantung Lentera Merah
Pada masa akhir Dinasti Ming, Li Zicheng, pemimpin pemberontak, bersama tentaranya sedang mempersiapkan diri untuk menguasai kota Kaifeng.
Demi mendapatkan informasi yang akurat, Li menyamar sebagai penjual beras masuk ke Kaifeng. Setelah mendapat gambaran yang jelas, maka Li menyebarkan berita untuk kalangan rakyat jelata bahwa tentara pemberontak tidak akan mengganggu setiap rumah yang menggantung lentera merah di pintu depan.
Sekembalinya Li ke markas, dia membuat rencana penyerangan. Para penjaga kota Kaifeng mulai mendapat serangan gencar dari tentara Li dan membuat mereka kewalahan. Tidak berdaya membuat pasukan penjaga kota Kaifeng mengambil jalan pintas membuka bendungan dengan harapan tentara Li tersapu banjir dan hancur. Namun banjir juga melanda rumah penduduk.
Banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri naik ke atap rumah. Bagi rakyat jelata, mereka hanya membawa lentera merah. Sedangkan kaum bangsawan dan pejabat berusaha menyelamatkan harta benda. Banjir terus meninggi dan membuat orang-orang mulai putus asa.
Demi melihat penderitaan yang akan dialami banyak rakyat jelata, Li memerintahkan anak buahnya menyelamatkan rakyat dengan rakit dan perahu. Yang membawa lentera merah tentunya.
Untuk memperingati kebaikan hati Li dalam menyelamatkan rakyat jelata, maka bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting, seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.

7. Menyembunyikan sapu
Menurut legenda, pada jaman dahulu kala terdapat seorang pedagang bernama Ou Ming yang selalu berpergian menggunakan perahu untuk menjalankan usahanya.
Suatu hari Ou sedang naik perahu di Danau Pengze. Tiba-tiba badai menghadang, sehingga perahu terdampar pada sebuah pulau. Ditengah kebingungan karena perahu rusak berat dan tidak dapat dipakai untuk meneruskan perjalanan, datang seorang bernama Qing Hongjun, pemilik dari pulau tersebut.
Qing mengundang Ou ke kediamannya dan menjamu Ou dengan hangat. Sebagai kenang-kenangan atas kunjungan Ou, Qing berminat memberikan sebuah tanda mata. Ou dipersilahkan memilih barang yang disukainya dari begitu banyak barang permata yang ada di rumah Qing.
Pada saat seorang pelayan Qing menghidangkan teh bagi Ou, secara tidak sadar terucap bahwa Ru Yuan adalah harta yang paling berharga. Ou mendengarkan hal itu dan berpikir siapakah Ru Yuan itu. Namun dia memastikan bahwa Ru Yuan sangat berharga.
Akhirnya Ou meminta Ru Yuan kepada Qing. Meskipun pada awalnya Qing ragu, namun akhirnya Ru Yuan diberikan kepada Ou. Ternyata Ru Yuan adalah seorang pembantu wanita di rumah Qing yang sangat cantik.
Qing lalu mempersiapkan perahu untuk Ou. Pada saat perpisahan, Qing memberikan satu peti permata kepada Ru Yuan. Melihat permata yang sangat banyak, timbul pikiran jahat pada Ou untuk memiliki permata tersebut bagi dirinya sendiri.
Setibanya di rumah, Ou melayani Ru Yuan sangat baik. Sehingga lama kelamaan Ru Yuan terlena dan memberikan kunci peti permata kepada Ou.
Begitu mendapatkan kunci peti permata, sifat Ou langsung berubah total. Ru Yuan diperlakukan secara buruk dan disuruh bekerja keras siang dan malam. Menghidangkan teh, memasak, mencuci pakaian, dan banyak lainnya.
Suatu hari pada hari pertama Perayaan Tahun Baru Imlek, Ou berpikir bahwa Ru Yuan terlalu malas, karena baru bangun pada saat ayam berkokok, sehingga memukuli Ru Yuan. Tidak tahan, Ru Yuan lari. Ou tidak tinggal diam, dia mengejar.
Melihat sebuah sapu tersandar pada pohon, Ru Yuan memutuskan untuk menghilang kedalam sapu. Bersamaan dengan menghilangnya Ru Yuan, semua harta benda dan permata yang ada di rumah Ou turut terbang dan menghilang ke dalam sapu. Ou hanya bisa terpaku menyaksikan semuanya. Melaratlah Ou sejak saat itu.
Sesudah itu, setelah membersihkan rumah untuk menyambut Tahun Baru Imlek, orang-orang menyembunyikan sapu, dan segala macam pembersih lainnya, untuk menghindari segala hal yang diharapkan hilang tersapu.

8. Angpau

Angpau, sampul merah atau paket merah ialah hadiah berbentuk uang yang ditukarkan ketika musim perayaan atau peristiwa khas dalam masyarakat Cina
Penggunaan
Ang pau sering diberikan pada perkumpulan sosial dan keluarga seperti jamuan perkahwinan Cina atau ketika perayaan seperti Tahun Baru Cina. Salah satu konteksnya adalah bahawa angpau dikenali sebagai yāsuì qián (Cina Tradisional, Cina Ringkas) yang bererti “uang ditekan" atau "uang menahan umur".
Warna merah sampul ini melambangkan tuah. Jumlah uang yang terkandung dalamnya lazimnya dikehendaki bermula dengan angka genap kerana angka ganjil dikaitkan dengan uang yang diberi ketika upacara kematian (bahasa Cina; pinyin: bó jīn; secara harfiah "uang sutera"). Jumlah uang yang diberi pada majlis perkawinan biasanya adalah untuk melitupi perbelanjaan hadirin serta membantu pasangan pengantin baru.
Pada perayaan Tahun Baru Cina, angpau biasanya diberi oleh yang sudah menikah kepada yang belum menikah. Sesiapa yang belum menikah layak menerimanya tanpa terbatas usia.

Asal-usul
Tiadanya sumber bertulis jelas yang menyatakan sejarah angpau pertama kali digunakan. Ketika zaman Dinasti Qing, para warga tua menguntai syiling dengan benang merah. Benda ini dipanggil yāsuì qián dan dipercayai melindungi orang tua daripada keuzuran dan kematian.
Tradisi ini berubah menjadi sampul merah moden setelah mesin percetakan semakin laris di China setelah penubuhan Republik China pada tahun 1911.

B. PERAYAAN HARI-HARI TERTENTU
1. Cao E
Berdasarkan legenda, pada suatu tahun di hari ke lima bulan ke lima Imlek selama masa pemerintahan Kaisar An Di dari Dinasti Han Timur, terdapat seorang pria bernama Cao Ding yang sedang menikmati suara ombak.
Suara ombak sungai bagi Cao Ding jauh lebih indah dibandingkan suara dedaunan tertiup angin, juga dibandingkan kemeriahan laskar tentara yang sedang menikmati kemenangan.
Ditengah keasyikannya, secara tiba-tiba Cao Ding tersapu ombak dan menghilang.Anak Cao Ding, Cao-E, hanya dapat menemukan kipas sang ayah. Cao-E sangat sedih menyadari bahwa sang ayah telah meninggalkan dirinya. Kesedihan semakin bertambah demi menyadari bahwa dirinya tidak dapat menemukan jasad sang ayah.
Para nelayan memberikan nasehat agar Cao-E pulang dan beristirahat, dan jasad sang ayah kemungkinan besar akan muncul ke permukaan setelah dua hari. Tetapi tekad Cao-E sudah bulat untuk terus menunggu jasad sang ayah. Penantian selama tujuh hari dan tujuh malam tanpa hasil. Di tengah rasa putus asa dan penyesalan yang sangat mendalam, Cao-E menceburkan diri ke dalam sungai.
Tiga hari kemudian, jasad Cao-E dan sang ayah ditemukan pada saat dan tempat yang sama. Apa yang dilakukan Cao-E membuat rakyat sekitar sangat terharu. Oleh sebab itu, pada setiap hari ke lima bulan ke lima Imlek, pada Perayaan Perahu Naga, mereka mendayung perahu naga yang membawa patung Cao-E demi mengenang pengorbanan yang dilakukan Cao-E.


2. Chang-E
Menurut legenda Tionghoa, pernah terdapat 10 buah matahari di bumi ini dan masing-masing matahari secara bergiliran menerangi dan memberikan kehangatan ke bumi. Tetapi suatu saat semua matahari muncul secara bersama-sama sehingga menyebabkan bumi hangus karena terlalu panas. Bumi dapat diselamatkan berkat adanya seorang pemanah pemberani bernama Hou Yi yang berhasil memanah jatuh sembilan buah matahari.
Hou Yi berhasil mendapatkan ramuan kehidupan untuk menyelamatkan rakyat dari pemerintahan yang kejam, namun sang istri meminumnya. Sehingga membuat istri Hou Yi terbang ke bulan. Lalu mulailah legenda adanya perempuan di bulan, yang mana gadis-gadis Cina merayakannya sebagai Perayaan Pertengahan Musim Gugur.
Legenda ini semasa pemerintahan Tai Kang dari Dinasti Xia
Yu mendapatkan takhta dari Shun karena kemampuannya dalam mengendalikan banjir. Ketika Yu telah berusia lanjut, dia memiliki keinginan untuk menyerahkan takhta kepada salah seorang menterinya, Po Yi. Namun para ketua suku menginginkan agar Yu memberikan posisi tersebut kepada Chi, salah seorang putra Yu. Setelah kejadian ini maka posisi ketua dari ketua atau raja menjadi sesuatu yang turun temurun. Tai Kang adalah putra dari Chi.
Yu memiliki jasa besar karena berhasil menghentikan banjir dan mendidik rakyat untuk bertani. Hal ini menyebabkan Kaisar Langit di surga memerintahkan sepuluh orang putranya menjadi sepuluh matahari. Ini dimaksudkan agar mereka dapat secara bergantian mengelilingi langit setiap hari sehingga dapat membantu rakyat untuk berternak dan bertani.
Namun sepuluh orang muda tersebut tidak mematuhi perintah dan mereka keluar secara bersamaan yang menyebabkan panas dari sepuluh matahari secara bersama-sama menyinari bumi dan mengakibatkan panas yang sangat hebat. Banyak manusia dan binatang meninggal, sungai-sungai menjadi kering, hutan-hutan terbakar, dan berbagai penderitaan hebat lainnya.
Rakyat memohon agar surga memberikan kasihnya. Dan permohonan ini didengar oleh Kaisar Langit, yang lalu memerintahkan Hou Yi, seorang Dewa yang gagah, untuk turun ke bumi menyelesaikan masalah tersebut.
Hou Yi adalah Dewa yang pemberani dan beruntung. Istrinya adalah Chang-E yang penyendiri, dan mereka sangat saling mencintai dan tidak terpisahkan. Mereka terkenal dengan nama “Sepasang Dewa”. Namun hidup diantara manusia tidak semudah hidup di surga, dan Chang-E tidak berkeinginan untuk itu. Namun Hou Yi tidak dapat menentang perintah dari Kaisar Langit, dan Chang-E tidak ingin berpisah dari suaminya. Maka dengan perasaan berat, dia mendampingi Hou Yi ke daerah liar di timur.
Hou Yi adalah seorang pemanah yang hebat, dan dari surga membawa busur gaib yang dapat memanah apa saja di langit diluar jangkauan manusia. Kemudian rakyat dari daerah timur mengangkatnya sebagai ketua.
Bagaimanapun juga posisi tersebut tidaklah membawa bahagia bagi Hou Yi, karena harus menghadapi kenyataan bahwa sepuluh matahari terus menerus menghanguskan tanaman, menyebabkan binatang-binatang ternak mati kelaparan, mengeringkan sungai-sungai, meluasnya penyakit-penyakit, dan banyak rakyat meninggal. Melihat hebatnya penderitaan rakyat, dia mendaki Gunung Tienshan dan berbicara dengan sepuluh matahari.
“Kasihanilah rakyat dan keluarlah hanya satu secara bergantian, jangan keluar
secara bersamaan”, mohon Hou Yi.
“Kenapa kita harus begitu?”, tanya salah satu matahari.
“Karena jika kalian semua muncul secara bersamaan, cahaya dan panas kalian membuat rakyat dan mahluk hidup lainnya menderita”, jawab Hou Yi.
Tanya matahari yang lain, “apa urusan manusia dengan kami?”
“Ya benar! Kami sepuluh bersaudara sangat senang bermain bersama setiap hari di langit. Betapa hampa dan membosankan bila kami mengelilingi langit secara bergantian”, tambah matahari lainnya.
“Namun Surga sangat sayang kepada mahluk hidup, dan saya berbicara kepada kalian atas perintah Kaisar Langit”, kata Hou Yi.
Meskipun Hou Yi berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk memberikan penjelasan, tetapi mereka tidak menghiraukan.
Salah seorang berkata dengan sombong “Kami adalah putra dari Kaisar Langit, dan siapakah kamu berani mencampuri urusan kami?”
Lalu kesepuluh matahari dengan sombongnya mengeluarkan panasnya ke bumi, yang mengakibatkan hutan-hutan terbakar, burung dan binatang berlarian menghindar dan manusia berusaha untuk menyelamatkan hidup.
Perbuatan tersebut membuat Hou Yi kehilangan kesabaran, sehingga dia mengambil busur dan panahnya, dan memanah matahari tersebut satu per satu. Pada saat Hou Yi akan memanah matahari yang terakhir, sang matahari memohon agar Hou Yi memberikan pengampunan, dan matahari tersebut berjanji mematuhi semua tugas yang diberikan dan hanya akan keluar pada siang hari.
Setelah kejadian itu, rakyat sangat menikmati hidup mereka, mereka bekerja pada siang hari dan beristirahat pada malam hari.
Hou Yi lalu melaporkan semua yang dilakukannya kepada Kaisar Langit, yang sangat marah karena Hou Yi membunuh sembilan putranya dengan kejam. Kaisar Langit menolak Hou Yi kembali ke surga. Kaisar Langit mengatakan bahwa Hou Yi sangat dinantikan oleh rakyat di kawasan timur yang telah mengangkatnya sebagai ketua dari suku-suku tersebut, dan menginginkan agar Hou Yi dapat berjuang untuk kesejahteraan umat manusia.
Maka Hou Yi tidaklah dapat pulang ke surga, dan di bumi sangat banyak pekerjaan yang harus dilakukannya.
Jika seseorang ingin menguasai alam, yaitu dengan berkuasa atas serangga dan binatang buas, maka dia pertama-tama harus belajar untuk bertarung. Maka Hou Yi mulai melatih rakyat memanah.
Hou Yi sangat sibuk dengan semua pekerjaan yang ada sehingga dia jarang pulang ke rumah, dan ini menyebabkan Chang-E merasa ditelantarkan dan kesepian. Yang paling membuat Chang-E sedih adalah kenyataan bahwa dia sekarang adalah seorang manusia, yang tidak dapat menghindari penderitaan manusia, seperti melahirkan, menjadi tua, sakit dan meninggal. Chang-E sangat marah terhadap perbuatan Hou Yi yang memanah jatuh matahari-matahari yang merupakan putra dari Kaisar Langit tersebut.
Hou Yi sangat mencintai istrinya, dan untuk menghindari pertengkaran yang selalu terjadi, maka dia berkelana sendirian. Dengan cara ini dia lebih dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan dunia.
Dalam pengembaraan, Hou Yi melakukan banyak perbuatan baik. Salah satu perbuatan baik Hou Yi yang sangat terkenal adalah membunuh seekor monster berkepala sembilan. Semua perbuatan baik yang dilakukan membuat nama Hou Yi semakin terkenal.
Beberapa kali Hou Yi memohon kepada Kaisar Langit agar dia dan istrinya dapat kembali ke surga, namun Kaisar Langit tetap tidak memaafkan perbuatan Hou Yi. Sehingga lama kelamaan, Hou Yi dan Chang-E harus berusaha keras agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia.
Manusia tidak dapat menghindar dari sakit, derita, kesedihan, dan kecemasan. Maka saat Hou Yi berkelana, yang bertujuan untuk melakukan banyak perbuatan baik bagi rakyat jelata, semakin terdapat jarak antara dia dengan sang istri.
Pada saat itulah Hou Yi bertemu dengan Mi Fei, yang merupakan salah satu wanita tercantik yang ada. Mi Fei merupakan salah satu keturunan dari Fu Shi, penguasa legendaris Cina. Dahulu, Mi Fei kehilangan keseimbangan dan tenggelam di sungai Lo, yang kemudian membuat Mi Fei menjadi Dewi Lo. Mi Fei menikah dengan Feng Yi, Dewa Air, yang mengendalikan Sembilan Sungai.
Mi Fei sedang bermain di sungai suatu hari pada saat Hou Yi sedang mengendari kuda. Karena Mi Fei telah menikah dan tidak ingin orang asing melihatnya, maka dia menyelam ke dalam air. Namun Hou Yi telah melihat Mi Fei dan mengira Mi Fei tenggelam, maka Hou Yi meloncat ke sungai untuk menyelamatkan Mi Fei. Secara tidak disadari, Mi Fei merasa senang pada saat ditolong oleh Hou Yi.
“Kamu lebih baik pergi, karena jika suamiku melihatmu maka kamu akan mati”, kata Mi Fei memperingatkan Hou Yi.
“Suamimu? Kamu memiliki suami?”,tanya Hou Yi dengan penuh kekecewaan.
“Siapakah dia?”
“Feng Yi, Dewa Air.”
“Oh dia!”, kata Hou Yi sambil tertawa karena mendengar nama Feng Yi yang memiliki reputasi buruk. Dalam hati, Hou Yi sangat menyayangkan kenyataan bahwa wanita cantik ini ternyata memiliki suami semacam Feng Yi.
“Bagaimana kamu bisa tertawa? Suamiku memiliki sifat yang buruk, dan dia pasti akan membunuhmu.”
“Maka apakah kamu adalah Dewi Lo?”, tanya Hou Yi.
“Ya!”
“Itu tidak apa-apa! Jika Feng Yi memang bisa membunuhku, saya tidak akan keberatan selama saya bisa bersama wanita cantik sepertimu”, kata Hou Yi.
“Namun saya meragukan kemampuan Feng Yi bisa menandingi kemampuan seseorang yang mampu membunuh matahari di langit”.
Mi Fei melihat busur dan panah gaib yang ada dan menyadari siapakah Hou Yi sebenarnya. Mungkin karena Mi Fei menyukai Hou Yi, atau karena Mi Fei merasa kesepian sekian lama, maka Mi Fei tiba-tiba menangis di pundak Hou Yi. Hou Yi juga melupakan sang istri di rumah.
Hou Yi melupakan Chang-E, Mi Fei melupakan Feng Yi.
Namun percintaan mereka tidak kekal. Pada suatu hari saat mereka sedang berbincang-bincang dengan mesra di tepi sungai, Feng Yi memergoki mereka. Dia sangat marah dan merubah diri menjadi seekor naga putih. Lalu mengamuk, menyapu semua kuda-kuda dan menghancurkan ladang pertanian yang ada di sekitar sungai.
Berpikir bahwa naga itu adalah seekor naga yang jahat, Hou Yi mengambil busurnya dan melepaskan sebuah panah. Mi Fei berusaha menghentikan Hou Yi, karena dia mengetahui penyamaran suaminya, namun dia terlambat. Panah itu membutakan satu mata Feng Yi, yang lalu melaporkan kejadian itu kepada Kaisar Langit.
Karena Hou Yi telah banyak melakukan perbuatan baik dan menghadapai kenyataan bahwa sebenarnya Hou Yi sedang menjalani hukuman karena membunuh sembilan matahari, maka Kaisar Langit hanya mengatakan agar Hou Yi tidak menemui Mi Fei lagi.
Patah hati! Maka satu-satunya yang bisa dilakukan Hou Yi adalah pulang ke rumah. Namun, Chang-E tidak menyambut dengan gembira.
“Bagaimana bisa kamu pulang kesini setelah apa yang kamu lakukan? Pulanglah kamu ke perempuan yang tidak tahu malu itu!”, kata Chang-E. Hou Yi tidak berkata apa-apa, karena menyadari bahwa dirinya memang bersalah.
Sementara itu Feng Yi yang masih tidak puas dengan keputusan Kaisar Langit, memanggil para naga dari Sembilan Sungai dan memerintahkan mereka membuat awan dan hujan selama satu bulan penuh. Bencana ini menandingi bencana yang pernah ditimbulkan sepuluh matahari. Semua binatang dan tanaman tenggelam, yang menyebabkan rakyat kelaparan.
Maka sekali lagi Hou Yi memanggul busur dan panahnya, memanggil semua pengikutnya dan pergi berburu burung, binatang, dan ikan untuk memberi makan Chang-E dan para anggota sukunya.
Chang-E tidak merasa senang dengan memakan binatang-binatang liar ini. Dia ingin makan buah-buahan dan dia meminta Hou Yi menunjukkan kegagahannya.
“Saya dahulu dapat mengambil bintang untukmu”, kata Hou Yi, “namun sekarang kita adalah manusia dan seluruh daerah dilanda banjir dan semuanya mati, dimana kamu mengharapkan saya bisa mendapatkan buah-buahan?”
“Itu semua salahmu! Kenapa kamu harus membunuh sembilan matahari itu? Seharusnya kamu sadar bahwa mereka adalah anak dari Kaisar Langit. Dan bagaimana kamu bisa juga bermesraan dengan Mi Fei yang telah menikah dengan Feng Yi? Kamu tidak tahu malu!”, teriak Chang-E sambil menangis.
Hou Yi menyadari bahwa dirinya memang salah.
“Baiklah, itu semua salahku. Tenanglah. Marah akan membuat kamu cepat menjadi tua”, kata Hou Yi dengan penuh kesabaran.
Mendengar kata “tua”, Chang-E tertegun dan melihat bayangannya di air. Dan Chang-E terkejut menyaksikan kerut-kerut pada mukanya.
Dia menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang wajar pada manusia, dan kejadian itu tidak dapat dihindarinya. Chang-E berteriak-teriak histeri.
“Saya tidak ingin berubah! Saya tidak ingin menjadi jelek! Saya ingin kembali ke surga!”
“Itu tidak mungkin”, kata Hou Yi, “Kaisar Langit tidak mengijinkan kita kembali.”
“Saya tidak mau tahu! Saya tidak mau menjadi tua! Saya tidak mau menjadi jelek! Kamu harus menemukan cara agar saya tetap abadi dan cantik!”
“Baik, baik. Saya akan memikirkan caranya”, kata Hou Yi.
Hou Yi kebingungan. Dimana dia bisa mendapatkan cara membuat seseorang abadi dan tetap cantik?
Namun bila dia tidak mendapatkannya, itu akan berterusan tanpa akhir. Maka dia pergi dan tidak berani pulang ke rumah. Hou Yi ingin pergi ke tempat Mi Fei namun dia takut melanggar perintah Kaisar Langit, itu membuat semangatnya semakin turun dari hari ke hari.
Hou Yi menjadi pemabuk, dan mulai menunjukkan sifat kasar. Hou Yi mulai bersikap kasar kepada para murid dan anggota sukunya. Dan itu membuat orang-orang tidak menyukai Hou Yi, terutama Feng Meng dan seorang anak buah Feng Meng, Han Cho.
Feng Meng telah lama belajar memanah dari Hou Yi, dan merasa bahwa dirinya sudah melebihi Hou Yi. Dia secara rahasia menyukai Chang-E, namun tidak berani bertindak apa-apa karena dia takut akan busur dan panah gaib yang dimiliki Hou Yi.
Sedangkan Han Cho adalah seorang tamak yang menginginkan menjadi ketua menggantikan Hou Yi, tentunya jika Hou Yi dibinasakan.
Maka mereka berdua merencanakan hal jahat terhadap Hou Yi dan Chang-E. Mereka mengatakan kepada Hou Yi bahwa Ibu Raja yang tinggal di puncak Gunung Kunlun memiliki ramuan yang dapat membuat seorang abadi dan tetap cantik.
Demi Chang-E, Hou Yi mendaki Gunung Kunlun yang penuh dengan bahaya, dimana akhirnya dia bisa menjumpai Ibu Raja. Karena pengorbanan yang dilakukan oleh Hou Yi begitu besar untuk mencapai puncak Gunung Kunlun, Ibu Raja memberikan sebuah pil keabadian.
Seseorang yang memakan pil ini akan dapat ke surga, Ibu Raja berkata kepada Hou Yi, namun jika dua orang membaginya, maka mereka berdua dapat hidup abadi.
Mereka harus memakan pil itu tepat pada tanggal 15 bulan 8, ketika bulan penuh, demikian kata Ibu Raja lebih lanjut.
Hou Yi sangat gembira mengetahui hal tersebut, dan segera pulang ke rumah untuk memberitahu Chang-E. Mereka membagi pil tersebut menjadi dua dan akan memakannya pada waktu yang telah diberitahu, sehingga mereka berdua dapat menjadi abadi.
Saat itu adalah tanggal 12 bulan 8, tiga hari kemudian merupakan hari yang ditunggu. Namun Hou Yi mendengar adanya “ramuan permata” di Gunung Tienshan yang dapat membuat wanita semakin cantik. Maka untuk membuat Chang-E bahagia dan menebus kesalahan yang pernah dilakukan, Hou Yi pergi untuk mendapatkan ramuan tersebut.
Menurut perhitungan Hou Yi, dia akan mendapatkan ramuan itu dan kembali ke rumah dalam waktu tiga hari. Karena Hou Yi ingin memberi kejutan kepada Chang-E, dia tidak mengatakan apa-apa mengenai kepergiannya.
Tiga hari berlalu dan Chang-E melihat bahwa Hou Yi tidak akan kembali. Dia bertanya kepada Feng Meng mengenai hal itu, dan Feng Meng berkata bahwa dia tidak diperbolehkan untuk berkata apa-apa.
Karena ditanya terus menerus, maka Feng Meng dengan liciknya mengatakan bahwa, “Hou Yi tidak mengijinkan saya berkata apa-apa”.
“Mengapa tidak? Kemana dia pergi?”, tanya Chang-E.
“Saya tidak dapat mengatakannya. Hou Yi akan membunuh saya!”
“Tidak. Hou Yi tidak akan melakukan apa-apa terhadapmu. Katakan saja”, desak Chang-E.
“Dia….dia pergi untuk mencari Mi Fei”, bohong Feng Meng.
Chang-E tertegun. Betapa tidak tahu budi suaminya. Chang-E sangat marah mendengarkan hal itu. Dan saat bulan mulai muncul, Chang-E mengambil pil keabadian yang telah diberikan oleh Hou Yi, perlahan-lahan menuju ke halaman dan memandang ke langit.
Dia mengenang semua kehidupan bahagia yang pernah dinikmati di surga. Tidak ada banjir, tidak ada sakit, tidak ada penderitaan, dan tidak ada kesedihan. Manusia harus mengalami semuanya.
Betapa enak hidup di surga, pikir Chang-E. Sekarang Chang-E memiliki pil keabadian. Namun, apakah Hou Yi akan pulang? Chang-E berpikir, mungkinkah Hou Yi berencana untuk memakan pil itu berdua dengan Mi Fei dan meninggalkan dirinya?
Kebahagian di surga, dan penderita di dunia. Hati Chang-E dipenuhi dengan berbagai kemelut emosi. Tiba-tiba, Chang-E mendengar suara derap tapak kuda, dan menebak bahwa itu pasti suaminya pulang. Dengan penuh kebingungan, dia meminum pil itu semuanya, dan saat itu juga dia merasa tubuhnya semakin ringan dan mulai melayang di udara.
“Chang-E! Chang-E!”, teriak Hou Yi sambil memegang erat ramuan permata yang didapatkan dari Gunung Tienshan. Namun Chang-E tidak menghiraukannya.
Chang-E terus melayang semakin cepat dan cepat. Dengan penuh kemarahan Hou Yi melempar ramuan permata dan mengambil busur serta panah gaibnya, namun dia tidak berani untuk memanah.
Chang-E ingin pergi ke surga, namun para Dewa-Dewi di surga telah menyaksikan penghianatannya terdapat sang suami dan mencelanya. Maka dia menjadi takut dan merubah arah ke bulan yang dingin dan sepi.
Hou Yi menyaksikan semuanya dari bumi, dan berpikir bahwa dia dapat memanah jatuh bulan. Dia dapat melakukan hal itu, namun dia tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia akan membunuh istrinya yang tersayang.
Maka, dengan penuh kemarahan, dia mematahkan busur dan panah gaibnya. Kenapa harus tetap memiliknya, jika dia ternyata tetap tidak dapat menolong istrinya?
Feng Meng dan Han Cho melihat semua kejadian dari tempat tersembunyi, dan tersenyum bahagia. Hou Yi begitu sedih. Dengan satu perintah, dua orang itu bersama empat pengikut mereka mendatangi dan membunuh Hou Yi.
Chang-E yang berada di bulan menyaksikan bagaimana sang suami dibunuh secara kejam, dan dia sangat menyesali apa yang telah dilakukan. Namun sudah terlambat, tidak hanya dia sekarang telah dibuang dari surga, dia juga harus hidup abadi sendirian di bulan.
Li Shang Yin (A.D. 812-858), seorang penyair dari Dinasti Tang, menulis cerita sedih Chang-E tiga ribu tahun kemudian, dan cerita itu menjadi sebuah legenda, terutama bagi bangsa Tionghoa.
Setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek, ketika bulan menunjukkan keindahan secara penuh, orang Tionghoa melihat ke bulan dan mengingat Chang-E dan legendanya.
Perayaan ini dikenal sebagai Perayaan Pertengahan Musim Gugur, juga dikenal sebagai Perayaan Bulan.

3. Hari Chap Goh Mei
Lima belas hari selepas Tahun Baru Cina merupakan hari Chap Goh Mei disambut sebagai menandakan berakhirnya perayaan Tahun Baru Cina. Pesta Chap Goh Mei disambut dengan mengadakan upacara sembahyang secara besar-besaran, di mana colok besar akan dibakar dan juga diadakan makan besar bersama keluarga. Bunga api dibakar dan tanglung dinyalakan bagi meraikan Chap Goh Mei.
Chap Goh Mei juga dianggap sebagai malam mencari pasangan di mana para gadis akan berpakaian serba indah dan mengunjungi kuil untuk berdoa agar mendapat pasangan yang secucuk. Terdapat juga amalan melontar buah limau ke dalam laut atau sungai dengan doa untuk mendapat pasangan. Buah limau yang basah membawa pesanan agar mereka mendapat pasangan yang sesuai
Persembahan kebudayaan Cina akan diadakan pada waktu malam bagi menandakan perayaan Chap Goh Mei seperti perarakan tanglung, tarian naga atau singa, opera Cina, dan mengimbang bendera besar "Chingay".

4. Hari Sembilan Maharaja Dewa
Perayaan Sembilan Maharaja Dewa juga dikenali sebagai Kow Wong Yeh disambut pada hari kesembilan pada bulan sembilan dalam kalender lunar Cina. Penganut kepercayaan Taoist akan berkumpul di kuil untuk menyambut perayaan ini.

5. Perayaan Tahun Baru Imlek
Dalam jutaan orang Tionghoa yang ada di dunia ini, ternyata yang mengetahui sejarah dan asal usul Tahun Baru Imlek memang tidak banyak. Biasanya mereka hanya merayakannya dari tahun ke tahun bila kalender penanggalan Imlek telah menunjukan tanggal satu bulan satu. Jenis dan cara merayakannya pun bisa berbeda dari satu suku dengan yang lain.
Hal ini dikarenakan luasnya daratan Tiongkok dengan beraneka ragamnya kondisi alam, lingkungan baik secara geografis maupun demografis, belum lagi secara etnis. Ada yang dimulai dengan sembahyang kepada Thian dan para Dewa, serta leluhur, ada pula yang dimulai dengan makan ronde, maupun kebiasaan-kebiasaan lain sebelum saling berkunjung antar sanak saudara sambil tidak lupa membagi-bagi “Ang Pau” untuk anak-anak, yang tentu saja menerimanya dengan penuh kegembiraan.
Sebenarnya penanggalan Tionghoa dipengaruhi oleh 2 system kalender, yaitu sistem Gregorian dan sistem Bulan-Matahari, dimana satu tahun terbagi rata menjadi 12 bulan sehingga tiap bulannya terdiri dari 29 ½ hari. Penanggalan ini masih dilengkapi dengan pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam, sehingga pembagian musim ini terbukti amat berguna bagi pertanian dalam menentukan saat tanam maupun saat panen.
Di bawah ini adalah beberapa contoh dari pembagian 24 musim tersebut:
• Permulaan musim semi.Hari pertama pada musim ini adalah hari pertama Perayaan Tahun Baru, atau saat dimulainya Perayaan Musim Semi (Chun Jie).
• Musim hujan. Di mana hujan mulai turun.
• Musim seranggaSerangga mulai tampak setelah tidur panjangnya selama musim dingin.
• dll (Masih terdapat 21 musim lain yang terlalu panjang untuk dibahas satu persatu)
Selain dari pembagian musim di atas, dalam penanggalan Tionghoa juga dikenal istilah Tian Gan dan Di Zhi yang merupakan cara unik dalam membagi tahun-tahun dalam hitungan siklus 60 tahunan. Masih ada lagi hitungan siklus 12 tahunan, yang kita kenal dengan “Shio”, yaitu Tikus, Sapi, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi.
Kesimpulannya, penanggalan Tionghoa tidak hanya mengikuti satu sistem saja, tetapi juga ada beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu musim, 5 unsur, angka langit, shio, dll. Walaupun demikian, semua perhitungan hari ini dapat terangkum dengan baik menjadi satu sistem “Penanggalan Tionghoa” yang baik, lengkap dan harmonis bahkan hampir bisa dikatakan sempurna karena sudah mencakup “Koreksi” -nya juga, sebagai contoh adalah “Lun Gwe”, merupakan bulan untuk mengkoreksi setelah satu periode tertentu.
Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan sebuah perayaan besar bagi masyarakat Tionghoa. Menggantung lentera merah, membunyikan petasan dan menyembunyikan sapu adalah salah satu keunikan dari perayaan ini. Disamping itu, masyarakat Tionghoa juga akan mulai menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari perayaan ini.





6. Perayaan Lentera
Perayaan Lentera kadang dikenal sebagai Shang Yuan atau Xiao Guo Nian, Tahun Baru Kecil. Dirayakan 15 hari setelah Perayaan Tahun Baru Imlek, atau pada tanggal 15 bulan satu Imlek.
Bermula pada masa pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han. Di istana Wu Di tinggal seorang pembantu istana bernama Yuanxiao. Yuanxiao ingin menjenguk keluarganya, namun aturan istana melarang semua pembantu meninggalkan istana.
Beruntung Yuanxiao memiliki teman seorang menteri bernama Shuo Dongfang. Dia adalah seorang yang cerdik dan menetapkan dirinya untuk membantu pembantu yang tidak berdaya itu.
Shuo berkata kepada kaisar bahwa Dewa Surga telah memerintahkan kepada Dewa Api untuk menghancurkan kota Changan pada tanggal 15 bulan 1 tahun Imlek. Dia berkata kepada Wu Di bahwa satu-satunya cara untuk menenangkan sang Dewa adalah dengan memberikan persembahan kembang api, membunyikan petasan dan mempertontonkan lentera-lentera berwarna merah. Untuk membuat persembahan memuaskan hati sang Dewa maka semua orang di kota harus turut ikut serta.
Dewa Api juga sangat menyukai kue nasi lengket, khususnya yang dibuat oleh Yuanxiao, yang mana dianjurkan oleh Shou agar dipersembahkan secara langsung. Beruntung, sang kaisar mempercayai kebohongan itu dan memerintahkan agar kota Changan mempersiapkan semuanya.
Pada hari yang ditentukan, penduduk kota menyalakan kembang api dan memasang lentera-lentera. Mereka bergembira ria sepanjang malam. Dan Yuanxiao mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan istana dan mengunjungi keluarganya.
Sang Kaisar, yang sangat senang atas perayaan tersebut, memerintahkan agar perayaan yang sama dilakukan pada tahun berikutnya dan Yuanxiao diperintahkan untuk membuat kue nasi lengket.
Pada Perayaan Lentera Maka pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek menjadi sebuah hari bagi perayaan besar sampai hari ini, merayakan bulan penuh pertama pada tahun yang baru dan berkumpulnya keluarga serta kehidupan yang bahagia.
Kue nasi lengket yang dimakan sampai saat ini dinamakan Yuan Xiao untuk mengingat pembantu istana tersebut.
Anda mungkin mengetahui bahwa pada beberapa lentera terdapat tulisan. Itu adalah Teka-Teki pada Lentera, juga dinamakan Singa Lentera karena menjawab teka-teki yang ada sama susahnya dengan menembak singa.
Tanyakan kepada teman-teman anda mengenai asal usul Perayaan Lentera dan Yuanxiao. Lalu perhatikan wajah mereka terkagum-kagum pada saat anda menceritakan asal-usul sebenarnya.

Teka-Teki pada Lentera
Teka-Teki pada lentera adalah, seperti namanya, sebuah teka-teki yang ada pada permukaan lentera untuk ditebak oleh orang-orang pada saat menikmati Perayaan Lentera.
Teka-teki yang ada dapat berupa satu huruf, sebuah puisi, sebuah nama tempat, atau sebuah nama benda. Karena menebak teka-teki yang ada bisa sesusah menembak singa, maka proses asah otak ini dinamakan “Singa Lentera”.
Pada masa sekarang, teka-teki lentera semakin luas jangkauan topiknya dan menjadi sebuah kesegaran tersendiri dari berbagai jenis, sehingga dapat menambah kegembiraan, semangat, dan perhatian pada kegiatan Perayaan Lentera.
Koran, majalah, dan toko-toko menampilkan banyak teka-teki untuk dipecahkan oleh masyarakat umum. Bersamaan dengan Perayaan Lentera yang diadakan di kuil-kuil pada malam hari, kegiatan ini semakin menyemarakkan perayaan yang ada.

7. Perayaan Perahu Naga
Perayaan perahu naga selalu menjadi simbol dalam semangat dan kebudayaan bangsa Tionghoa. Merupakan salah satu dari perayaan besar bangsa Tionghoa yang diadakan setiap tahun, dan saat ini bisa disaksikan dari seluruh penjuru dunia. Berpartisipasi dalam perayaan perahu naga, baik sebagai peserta ataupun penonton, merupakan sesuatu yang menyenangkan dan dapat dinikmati oleh setiap orang.
Anda dapat menyaksikan perahu-perahu yang beraneka warna, dengan dihiasi kepala naga, ekor naga dan lukisan sepanjang badan perahu. Anda dapat menyaksikan para peserta yang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang pertama sampai pada garis akhir. Penonton yang berteriak dan memberi semangat bagi perahu pilihan mereka, sementara itu pemukul gendang memukul gendangnya dan berteriak untuk memberikan semangat dan menyelaraskan irama dayung bagi setiap peserta dalam perahunya. Perayaan ini jangan diharapkan sebagai suatu perayaan yang tenang, namun sebuah perayaan yang ceria dan menyenangkan, sebuah pesta besar.
Untuk mengetahui asal usul dari perayaan perahu naga ini banyak yang tidak atau kurang mengetahuinya. Bahkan banyak orang hanya mengatakan asal usulnya adalah “pada jaman dahulu kala”.
Sebenarnya asal usul perayaan perahu naga ini bermula dari sekitar 2000 tahun yang lalu ketika para penganut kepercayaan yang ada mempercayai bahwa pertandingan perahu dapat membawa kemakmuran dan kesuburan tanaman.
Perayaan mengambil waktu pada saat musim panas, waktu dimana banyak terjadi bencana dan kematian, dan dimana manusia merasa tidak berdaya atas kekuasaan alam. Pertandingan itu menjadi simbol atas perlawanan manusia menghadapi alam dan pertarungannya melawan musuh-musuh.
Ada pula beberapa kisah yang mendasari asal muasal perayaan ini, seperti kisah Qu Yuan dan Cao-E.
Perayaan perahu naga dirayakan pada saat “lima dari lima”, yaitu hari ke-lima dari bulan ke-lima penanggalan Cina. Merah mendominasi warna dari perahu yang bertanding, karena merah adalah warna dari angka lima dan merupakan simbol dari panas, musim panas, dan api. Panjang dari perahu naga antara 30 sampai 100 kaki, dan cukup lebar untuk menampung dua orang secara sejajar.
Beberapa ritual asli masih dilakukan sampai saat ini, seperti “membangunkan sang naga” dengan memberikan tanda titik pada kepala naga disetiap perahu. Perayaan ini dilakukan untuk memberikan berkah kepada daerah sekitar, para perahu yang bertanding, dan para pesertanya. Juga memberikan para perahu dan pesertanya kekuatan dari sang Naga dan berkah dari Dewi Laut.
Sekalipun demikian, banyak yang sudah berubah dalam perayaan itu. Seperti para penonton tidak lagi melemparkan batu kepada perahu saingannya, dan tidak lagi menenggelamkan satu orang, yang mengejutkan adalah pengorbanan itu dahulu dianggap sebagai pengorbanan terhadap dewa dan sebagai tanda keberuntungan.
Perayaan perahu naga saat ini lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Tidak lagi diperuntukkan bagi mengusir kejahatan dan mendatangkan tahun yang baik, tetapi bagi memberikan sedikit hiburan dan pendidikan kepada rakyat tentang sejarah dan kebudayaan bangsa Tionghoa.
Sekarang tidak lagi seperti dahulu, yang mana sangat ketahyulan, namun tetap terdapat kegembiraan dalam perayaan tersebut.

Qu Yuan
Kisah Qu Yuan menjadikan Perayaan Perahu Naga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Tionghoa. Abad ke-empat sebelum masehi dikenal sebagai “masa berbahaya” bagi Tiongkok. Pada saat itu terjadi peperangan besar antara tokoh-tokoh kuat dan pemerintah yang banyak dilanda korupsi. Banyak kerajaan-kerajaan akhirnya menghilang, kecuali kerajaan Chu, yang merupakan salah satu dari kerajaan terkuat pada saat itu.
Qu Yuan dilahirkan pada 340 BC dan merupakan salah satu anggota keluarga dari tiga keluarga terhormat pada Kerajaan Chu. Qu Yuan adalah seorang penasehat bagi Raja Huai yang memerintah dari 328 BC sampai 299 BC.
Karena kepandaian dan kejujuran dari Qu Yuan, banyak pejabat korup yang iri dan ingin menyingkirkan Qu Yuan.
Persekutuan antara Chu dan Qin yang telah terjalin lama putus ketika Qin mengumumkan perang terhadap Chu dan mengambil alih sebagian wilayah Chu. Di tengah masa pertempuran tersebut, Qin mengajukan usul gencatan senjata kepada Chu dan menginginkan diadakannya pertemuan membahas perdamaian.
Qu Yuan menasehati agar Raja Huai tidak bersedia datang ke Qin untuk berunding. Namun bujukan dari para pejabat korup lebih berpengaruh di pikiran Raja Huai sehingga dia bersedia datang. Raja Huai langsung ditangkap pada saat tiba dan meninggal setelah tiga tahun dalam penjara.
Anak tertua Raja Huai, Qin Xiang menjadi raja. Sedangkan anak lainnya, Zi Lian, menjadi perdana menteri. Saat kedua orang itu berkuasa, Qu Yuan langsung disingkirkan dan diusir dari istana.
Dalam pengasingannya Qu Yuan banyak mengabdikan hidup kepada rakyat dan membantu rakyat, sehingga rakyat sangat cinta dan hormat terhadap Qu Yuan.
Pada 278 BC tentara Qin menguasai Ying, Ibukota Kerajaan Chu. Berita ini membuat Qu Yuan sangat berduka. Qu Yuan sangat menyesali dirinya sendiri bahwa tidak satu hal juga yang dapat dilakukan demi menyelamatkan Kerajaan Chu. Rasa sedih dan putus asa yang mendalam menyebabkan Qu Yuan memutuskan bunuh diri dengan menceburkan diri di Sungai Miluo.
Mengetahui bahwa Qu Yuan bunuh diri, ramai orang berusaha mencari jenasah Qu Yuan. Mereka memukul-mukul genderang untuk mengusir ikan-ikan agar tidak mengganggu jenasah Qu Yuan. Pencarian yang dilakukan tidak memberikan hasil.
Pada keesokan harinya, mereka membungkus nasi dengan daun dan melemparkan ke sungai agar ikan-ikan yang ada menjadi kenyang dan tidak mengusik jenasah Qu Yuan.
Demi mengenang Qu Yuan, kebiasaan yang dilakukan ini menjadi sebuah perayaan besar bagi bangsa Tiongkok dan dikenal sebagai Perayaan Perahu Naga.

8. Perayaan Pertengahan Musim Gugur
Perayaan Pertengahan Musim Gugur berpusat pada sekitar bulan dan banyak cerita yang mendasarinya. Dipercayai bahwa asal muasal Perayaan Musim Gugur lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Karena pada saat itu Tiongkok merupakan negara pertanian, maka perayaan ini bertepatan dengan panen musim gugur.
Ada pula sebuah legenda yang dipercaya masyarakat Tiongkok sebagai awal dari perayaan ini, yaitu legenda mengenai Chang-E.
Pada perayaan itu secara umum langit sangat cerah dan cuaca nyaman, sehingga semakin menambah semarak rakyat yang merayakan.
Selama masa Dinasti Song, karena pengaruh orang-orang terpelajar, berdoa terhadap bulan menjadi sebuah kebiasaan. Memakan Kue Bulan menjadi hal yang tidak terpisahkan sejak akhir masa Dinasti Yuan, demikian pula dengan memandang bulan hingga tengah malam. Perayaan ini memberikan arti tersendiri dan tidak terpisahkan.


9. Perayaan Hantu
Perayaan Hantu ialah sebuah perayaan Cina yang disambut oleh orang Cina di merata dunia. Dalam kalendar Cina (kalendar lunisolar), Perayaan Hantu jatuh pada malam ke-14 bulan ke-7.
Mengikuti adat resam Cina, hari ke-13 bulan ke-7 dalam kalendar qamari bergelar Hari Hantu dan bulan ketujuh secara amnya dianggap sebagai Bulan Hantu (yaitu apabila hantu-hantu dan roh-roh, termasuklah para leluhur yang lama meninggal, keluar dari alam ghaib. Ketika perayaan Qingming ahli keluarga yang masih hidup memberi penghormatan kepada leluhur mereka manakala pada Hari Hantu yang meninggal menziarahi yang hidup. Pada hari ke-13 ketiga-tiga alam Syurga, Neraka dan fana dibuka dan pada masa ini penganut agama Tao dan Buddha melaksanakan uapcara amal untuk mengubah dan membebaskan penderitaan orang yang meninggal. Ciri-ciri terpenting dalam Bulan Hantu ialah penyembahan nenek moyang, yang mana ketaatan para keturunan disambungkan kepada para leluhur walaupun selepas kematian mereka. Kegiatan yang dijalankan pada bulan ini termasuk menyediakan persembahan makanan secara ritual, pembakaran wang neraka dan bungkusan yang mendandungi kain untuk memberi penghormatan kepada roh-roh leluhur yang menziarah, iaitu melayan orang yang meninggal seolah-olah mereka masih hidup. Makanan dihidangkan dengan kerusi kosong bagi setiap ahli yang meninggal dalam keluarga. keraian yang lain termasuk melepaskan perahu kertas kecil dan tanglung di atas air, yang menandakan tindakan membantu roh-roh sesat mencari jalan

10. Perayaan Qing Ming
Pemberian nama Qing Ming dimulai dari masa Dinasti Han karena cuaca selama bulan ketiga Imlek cerah dan bersih. Dimulai dari masa Dinasti Tang, Qing Ming menjadi perayaan. Di kemudian hari, membersihkan makam menjadi identik dengan perayaan Qing Ming.

11. Qi Xi
Qi Xi (bahasa Cina: pinyin: qī xī; secara harfiah "The Night of Sevens"), kadangkala digelar Hari Valentine Cina, jatuh pada hari ketujuh dalam bulan ketujuh kalendar Cina; maka demikianlah namanya. Mengikut tradisi, gadis muda memamerkan kemahiran seni mereka, terutamanya mengukir tembikai, pada hari ini serta meluahkan hajat agar bersuamikan lelaki yang baik. Nama-nama lain bagi pesta ini termasuk:
• Perayaan Hajat untuk Kemahiran (qǐ qiǎo jié)
• Hari Jadi Saudari Ketujuh (qī jiě dàn)
• Malam Kemahiran (qiǎo xī)
Pada tahun 2007, perayaan ini diadakan pada 19 Ogos.
Cerita Gembala Lembu dan Gadis Penenun
Pada akhir musim panas, bintang Altair dan Vega tinggi menyinar di langit malam, dan orang Cina menceritakan cerita rakyat berikut:
Niulang (bahasa Cina: pinyin: niú láng; secara harfiah "gembala lembu", bintang Altair) bertembung dengan tujuh pari-pari bersaudari yang sedang bermandi dalam tasik. Setelah dihasut oleh temannya iaitu si lembu, Niulang mencuri pakaian mereka dan menunggu apa yang beralku seterusnya. Pari-pari bersaudari tersebut memilih yang termuda dan paling jelita antara mereka, iaitu Zhinü (Cina Ringkas: Cina Tradisional: pinyin: zhī nǚ, "gadis penenun", bintang Vega) untuk mendapatkan semula pakaian mereka. Maka dia pun melakukan tugasnya, tetapi oleh sebab dapat diintai dalam keadaan telanjang oleh Niulang, dia mesti merestui lamaran jejaka tersebut. Zhinü terbukti menjadi seorang isteri yang bagus, manakala Niulang seorang suami yang baik, maka berbahagialah mereka berdua bersama. Namun begitu, Dewi Kayangan (dalam sesetengah versi, iaitu bonda Zhinü) murka setelah mendapati bahawa seorang manusia biasa telah mengahwini salah seorang pari-parinya. (Dalam satu versi yang lain, Dewi tersebut memaksa pari-pari penenun tersebut kembali ke tugas lamanya untuk menenun awan berwarna-warni di angkasa kerana dia tidak boleh melakukan tugas itu ketika berkahwin dengan manusia.) Dewi tersebut menanggalkan cuck sanggulnya lalu mencakar sebatang sungai yang luas di angkasa untuk memisahkan kedua-dua kekasih itu buat selamanya (maka terbentuknya Bima Sakti yang memisahkan Altair dan Vega).
Zhinü terpaksa duduk di sebelah sungai dan menenun dengan rasa pilu buat selamanya, sementara Niulang merenunginya dari jauh dan menjaga kedua-dua anaknya (iaitu bintang-bintang β dan γ Aquilae yang mengapit Altair).
Akan tetapi, setahun sekali semua burung murai di dunia meluahkan rasa simpati kepada kedua-dua kekasih itu dan terbang ke kayangan untuk membentuk sebatang jambatan ( "jambatan murai", Que Qiao) di atas bintang Deneb pada buruj Cygnus agar pasangan itu bersama lagi selama semalam, yaitu malam ketujuh dalam bulan ketujuh.

Tradisi
Pada malam Qi Xi, seulas hiasan berangkai diletakkan pada halaman rumah dan wanita yang belum atau sudah baru berkahwin dalam rumah tangga menghidangkan persembahan yang terdiri daripada buah-buahan, bunga-bunga, teh dan bedak muka kepada Niulang dan Zhinü. Setelah persembahan itu, separuh bedak tersebut ditaburkan pada bumbung rumah dan separuh lagi dibahagikan antara wanita-wanita lain. Adalah dipercayai bahwa melalui amalan ini wanita-wanita diabadikan dengan kecantikan bersama Zhinü.
Satu lagi tradisi ialah bagi gadis muda untuk mencampakkan jarum jahitan kedalam sebiji mangkuk yangpenuh diisi air pada malam Qi Xi sebagai ujian kemahiran menyulam. Jika jarum itu terapung, adalah dipercayai bahawa gadis itu memang mahir menyulam.

12. Hari Raya Yuan Xiao: Valentine Day Orang Tionghoa
(Tanggal 15 Imlek (tgl 21 February 2008) adalah malam bulan pertama di tahun baru (Tikus) ini (red.: Di Indonesia terkenal dengan HARI RAYA CAP GO MEH), pada umumnya sesuatu yang pertama selalu diperhatikan orang dan selalu dimuati dengan harapan khusus. Lagi pula saat ini, suasana pesta kegembiraan tahun baru Imlek belum seluruhnya sirna, di masyarakat tradisional (Tionghoa) dikatakan: “Belum melalui tanggal 15 maka tahun baru belumlah sempurna.” Malam itu orang-orang pada kesempatan tersebut merayakannya dengan berjalan-jalan di bawah sinar rembulan sambil menikmati lampion, bermain tebak-tebakan (yang terlukis pada) lampion, menyiapkan sesajen, menyambut dewata, sangat-sangat sibuk.
Valentine Day Orang Tionghoa
Selama perayaan lampion Yuan Xiao (baca: Yuèn Siao), juga adalah peluang baik bagi para muda-mudi untuk saling berjumpa dengan kekasih mereka.
Sajak Ouyang Xiu berbunyi: “Tahun lalu di malam Yuan Xiao, lampion kota kembang terang bagai siang; rembulan menapaki pucuk pohon Yangliu, orang-orang berjanjian sesudah petang.” Xin Qiji (baca: Sin Jici) menulis: “Mencarinya ribuan kali di dalam kerumunan, pada akhirnya menoleh ke belakang, ternyata orang itu di dekat lampion temaram yang nyaris padam.” Ternyata itu semua melukiskan suasana malam Yuan Xiao, sedangkan Chen San dan Wu Niang dll ………di dalam cerita klasik opera tradisional (red.: Romeo and Yuliet ala Tiongkok kuno) jatuh cinta pada pandangan pertamannya pada hari raya Yuan Xiao di saat menikmati lampion aneka warna-warni Maka dari itu dikatakan bahwa hari raya Yuan Xiao juga adalah Valentine Day orang Tionghoa.

Makan Yuan Xiao (semacam ronde di Indonesia)
Pada tanggal 15 kalender Imleek makan Yuan Xiao, “Yuan Xiao dijadikan sebagai hidangan, sejarahnya sudah cukup lama di Tiongkok. Zaman dinasti Song (960-1279), di masyarakat telah beredar satu macam hidangan baru yang menakjubkan yang disantap sewaktu perayaan Yuan Xiao. Hidangan tersebut, pada awalnya disebut “Fu Yuan Zi baru kemudian dinamakan “Yuan Xiao”, kaum pedagang menyebutnya dengan nama artistic: “Yuan Bao”. Yuan Xiao atau disebut juga “Tang Yuan” isinya terbuat dari: gula, mawar, wijen, Taosa, Huang Gui, biji walnut, biji buah-buahan, bidara yang dilumatkan, dll, juga ada yang menggunakan: ham, daging segar, coklat sebagai isinya, memakai bubuk ketan dijadikan sebagai adonan bulat, bisa juga dibuat khusus untuk kaum vegetarian, dengan aneka cita rasa. Bisa direbus, digoreng dan di-tim; kapan Yuan Xiao dihidangkan berlainan di daerah utara dan selatan, di selatan dihidangkan pada tanggal 1 (Imlek). “Jual Tang Yuan, jual Tang Yuan, Tang Yuan saya bulat dan sempurna......” begitulah teriakan penjaja makanan Tang Yuan, saat perayaan Yuan Xiao memakan Tang Yuan bermakna agar bisa mudik untuk berkumpul bersama keluarga tercinta dan makanan tersebut sangat digemari masyarakat.

Pesta Lampion
Saat hari Yuan Xiao adalah perayaan dalam satu tahun dengan penerangan lampion yang paling benderang, kerap dilukiskan dengan: “Langit tanpa malam diterangi pepohonan api dan bunga perak”. Yang dimaksud lampu ialah lampu dari lampion; yang dimaksud dengan api, ialah memasang api unggun.
Konon, adat istiadat pesta lampion bermula dari zaman dinasti Han-barat (206SM - 23) dan mencapai puncaknya pada zaman dinasti Sui dan Tang (581-907). Sesudah zaman Sui/Tang, mode pesta lampion selalu marak dan diteruskan hingga sekarang. Sedangkan tanggal 15 penanggalan Imleek adalah puncak acara pesta lampion dan menyulut api unggun dalam setahun. Oleh karenanya perayaan Yuan Xiao juga disebut “Perayaan lampion”, di malam tanggal 15, seluruh jalanan dan gang, lampion merah menjulang tinggi, ada lampion istana, lampion kepala hewan, lampion untuk menunggang kuda, lampion perdu dan bunga, lampion burung dll. sangat menarik perhatian para pelancong. Lampion semangka yang bundar itu melambangkan panen pertanian, lampion ikan emas yang bisa melompat-lompat menandakan setiap tahun selalu ada rezeki berlebih; lampion istana tradisional yang berwibawa, lampion lotus pusaka yang cantik mungil menawan. Yang paling disukai anak-anak kecil tetap saja lampion menunggang kuda yang selalu berubah-ubah.

Tebakan Pada Lampion
Tebakan lampion adalah sebuah kegiatan yang ditambahkan sesudah pesta Yuan Xiao, muncul semenjak dinasti Song. Sewaktu zaman Song-selatan (1127-1279), ibu kota Lin An setiap perayaan Yuan Xiao, orang yang membuat dan ikutan menebak sangat banyak. Pada mulanya ialah si empunya ide menuliskan teka-tekinya pada secarik kertas, ditempelnya pada lampion warna warni dipamerkan untuk ditebak oleh khalayak. Karena bahasa tebakan bisa menginspirasi kecerdasan juga membuat orang tertarik, oleh karena itu di dalam proses penyebarannya disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat.
Berjalan Merontokkan Seratus Penyakit
Hari raya Yuan Xiao selain merayakan kegiatan perayaan, juga terdapat kegiatan yang besifat keagamaan. Itu adalah yang disebut “Berjalan merontokkan seratus penyakit” juga disebut “Seratus penyakit dipanggang habis” dan “Buyarkan seratus penyakit.” Pesertanya kebanyakan kaum perempuan, mereka berjalan berkelompok atau melewati sisi dinding, atau melewati jembatan atau berjalan ke luar kota, tujuannya ialah mengusir penyakit dan menyingkirkan musibah. Seiring dengan bergesernya zaman, kegiatan hari Yuan Xiao semakin lama semakin banyak, di banyak tempat sewaktu perayaan telah ditambahkan tarian seperti: Bermain lampion Naga, bermain dengan singa, naik enggrang, mengayuh perahu Jung, lagu bercocok tanam, menabuh genderang keselamatan dll.

13. Cap Go Meh
Cap Go Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15. Sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan. Artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu. Capgome mulai dirayakan di Indonesia sejak abad ke 17, ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan. Semasa dinasti Han, pada malam capgome tsb, raja sendiri khusus keluar istana untuk turut merayakan bersama dengan rakyatnya.
Setiap hari raya baik religius maupun tradisi budaya ada asal- usulnya. Pada saat dinasti Zhou (770 - 256 SM) setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman.
Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu. Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgome.
Di barat Capgome dinilai sebagai pesta karnavalnya etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari Kelenteng. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah "Tri Dharma" (Buddhism , Taoism dan Confuciusm). Nama Kelenteng sekarang ini sudah dirubah menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah agama Buddha. Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Kong Hu Chu sebagai agama.
Sedangkan sebutan nama Kelenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan "kelintingan" - lonceng kecil, karena bunyi2an inilah yang sering keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya Kelenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Kelenteng itu, sebagai Bio baca Miao. Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.
Cagomeh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang sudah tua. "Da Bo Gong" ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa. Jadi istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.
Cagomeh tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsay atau tarian singa biasanya disebut "Nong Shi".

VI. UPACARA ADAT
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas marga / suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya. Tulisan ini membahas dua upacara adat yang cukup dominan dalam kehidupan yaitu tentang adat pernikahan dan adat kematian (editor: adat kematian ada di posting terpisah).

1. Adat Pernikahan
Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya; yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.
Umumnya orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Salah satu adat yang seharusnya mereka taati adalah keluarga yang satu marga (shee ) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan suku. Misalnya : marga Lie dilarang menikah dengan marga Lie dari keluarga lain, sekalipun tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya : pernikahan dengan anak bibi (tidak satu marga, tapi masih satu nenek moyang.
Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat pernikahan yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.

Upacara-Upacara Yang Dilaksanakan Dalam Pernikahan
Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara antara lain:

A. Upacara menjelang pernikahan :
Upacara ini terdiri atas 5 tahapan yaitu :
• Melamar : Yang memegang peranan penting pada acara ini adalah mak comblang. Mak comblang biasanya dari pihak pria.
• Penentuan : Bila keahlian mak comblang berhasil, maka diadakan penentuan bilamana antaran/mas kawin boleh dilaksanakan.
• “Sangjit”/ Prosesi Seserahan Adat Tionghoa
Pada hari yang sudah ditentukan, pihak pria/keluarga pria dengan mak comblang dan kerabat dekat mengantar seperangkat lengkap pakaian mempelai pria dan mas kawin. Mas kawin dapat memperlihatkan gengsi, kaya atau miskinnya keluarga calon mempelai pria. Semua harus dibungkus dengan kertas merah dan warna emas. Selain itu juga dilengkapi dengan uang susu (ang pauw) dan 2 pasang lilin. Biasanya “ang pauw” diambil setengah dan sepasang lilin dikembalikan.

Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atau Sangjit
Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah.
“Secara harfiah, Sangjit dalam bahasa Indonesia berarti proses seserahan. Atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria dengan membawa persembahan ke pihak mempelai wanita,” jelas Anthony S. dari Anthony S. Musical Connections.
“Prosesi ini biasanya dihadiri rombongan pria yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga besar (saudara dari orang tua, sepupu) atau teman-teman dekat jika dibutuhkan,” ungkap Henry dari Wine Wedding Planner. Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan sampai 1 minggu sebelum acara resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 11.00 sampai dengan 13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang.

Tata Caranya
Wakil keluarga wanita beserta para penerima seserahan (biasanya anggota keluarga yang telah menikah) menunggu di depan pintu rumah.
Dipimpin oleh anggota keluarga yang dituakan, rombongan pria pun datang membawa seserahan ke rumah si wanita. Rombongan ini terdiri dari: wakil keluarga serta para gadis/pemuda yang belum menikah pembawa nampan seserahan. Oh iya, di beberapa adat orang tua pria tidak ikut dalam prosesi ini. Seserahan diberikan 1 per 1 secara berurutan, mulai dari seserahan untuk ke-2 orang tua mempelai wanita, lalu untuk mempelai wanita, dan seterusnya.
Barang seserahan yang sudah diterima oleh pihak mempelai wanita dibawa ke dalam kamar untuk diambil sebagian. (lihat paragraf berikut)
Dilanjutkan dengan ramah tamah.
Pada akhir kunjungan, barang-barang seserahan yang telah diambil sebagian diserahkan kembali pada para pembawa seserahan. Dan sebagai balasannya, keluarga wanita pun memberikan seserahan pada keluarga pria berupa manisan (seperti permen/coklat) dan berbagai keperluan pria (baju, baju dalam, sapu tangan. Wakil keluarga wanita juga memberikan ang pao ke tiap-tiap pembawa seserahan yang biasanya terdiri dari para gadis/pemuda yang belum menikah tersebut (ang pao diberikan dengan harapan agar enteng jodoh). Jumlahnya variatif, biasanya sekitar Rp. 20.000 – Rp. 50.000.



Barang-barang seserahan Sangjit
Sebelum keluarga calon pengantin pria memutuskan barang apa yang akan dibawa, sebaiknya didiskusikan bersama keluarga si wanita terlebih dahulu. Barang-barang ini tentu saja memiliki makna simbolis yang juga disesuaikan dengan kondisi ekonomi mempelai pria. Setelah ditentukan, barang-barang tersebut diletakkan dalam nampan-nampan yang berjumlah genap, biasanya maksimal berjumlah 12 nampan.
Hal yang menarik saat acara ini adalah bahwa sebagian besar barang-barang seserahan ini sebaiknya sebagian dikembalikan lagi pada keluarga pengantin pria. Karena, bila keluarga wanita mengambil seluruh barang yang ada, artinya mereka menyerahkan pengantin wanita sepenuhnya pada keluarga pria dan tak akan ada hubungan lagi antara si pengantin wanita dan keluarganya. Namun bila keluarga wanita mengembalikan separuh dari barang-barang tersebut ke pihak pria artinya keluarga wanita masih bisa turut campur dalam keluarga pengantin.

Barang-barang seserahan biasanya terdiri dari :
Alat-alat kecantikan dan perhiasan untuk mempelai wanita (kadang-kadang juga sepatu untuk hari H)
Pakaian/kain untuk mempelai wanita. Maksudnya adalah segala keperluan sandang si gadis akan dipenuhi oleh si pria.
Uang susu (ang pao) dan uang pesta (masing-masing di amplop merah). Pihak mempelai wanita biasanya hanya mengambil uang susu, sedangkan untuk uang pesta hanya diambil jumlah belakangnya saja, sisanya dikembalikan. Contoh uang pesta sebesar: Rp. 1.680.000,- namun yang diambil hanya Rp. 80.000,- Apabila keluarga wanita mengambil seluruh uang pesta, artinya pesta pernikahan tersebut dibiayai keluarga wanita.
Tiga nampan masing-masing berisikan 18 buah (apel, jeruk, pear atau buah yang manis lainnya sebagai lambang kedamaian, kesejahteraan dan rejeki). Pihak mempelai wanita mengambil separuhnya, sisanya dikembalikan.
2 pasang lilin merah yang cukup besar diikat dengan pita merah, sebagai simbol perlindungan untuk menghalau pengaruh negatif. Lilin motif naga dan burung hong lebih disukai. Pihak mempelai wanita mengambil 1 pasang saja.
Sepasang kaki babi (jika tidak ada dapat digantikan dengan makanan kaleng) beserta 6 kaleng kacang polong. Pihak mempelai wanita mengambil separuhnya.
Satu nampan berisikan kue mangkok berwarna merah sebanyak 18 potong, sebagai lambang kelimpahan dan keberuntungan. Pihak mempelai wanita mengambil separuhnyan.
Satu nampan berisikan dua botol arak atau sampanye. Pihak mempelai wanita mengambil semuanya, dan ditukar dengan dua botol sirup merah dan dikembalikan ke pihak mempelai pria. Seniman kain dan pakar batik Obin ternyata juga seorang tokoh yang sangat concern dan mendalami adat istiadat Tionghoa. Selain barang-barang di atas, menurutnya proses Sangjit ini bisa juga ditambah dengan :
Kue satu, terbuat dari kacang hijau yang dijual satu-satu, artinya dua kebahagiaan menjadi satu.
Kaca, artinya berkaca pada diri sendiri, self conscious-morality. Uang-uangan dari emas yang di-emboss kata ‘fuk’, yang dalam bahasa Indonesia berarti hoki/untung. Dua bundel pita berupa huruf Cina yang berarti double happiness, artinya agar happy sampai tua nanti.
Buah-buahan
Buah atep yang disepuh merah, artinya agar tetap langgeng sampai kapan pun.
Buah ceremai, artinya agar rumah tangganya rame, happy, banyak sahabat dan keturunan.
Buah leket, artinya agar nempel dan lengket sampai kapan pun.
Buah atapson dari Kalimantan yang tumbuh di atas atap. Kalau sudah mulai muntah, mual-mual dikasih buah ini untuk memancing kehamilan.
Buah pala, tumbuh tegak lurus dimana pun dia ditanam, artinya kalau lurus, baik-baik saja maka dimana pun dia berada tetap tidak berubah.
• Tunangan : Pada saat pertunangan ini, kedua keluarga saling memperkenalkan diri dengan panggilan masing-masing, seperti yang telah diuraikan pada Jelajah No. 3.
• Penentuan Hari Baik, Bulan Baik : Suku Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.
B. Upacara pernikahan :
 3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan “memajang” keluarga mempelai pria dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai wanita sampai hari H.
 Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara “Liauw Tiaa”. Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran sampai jauh malam. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar).

C. Upacara Sembahyang Tuhan (”Cio Tao”)
Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara Sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio Tao ini terdiri dari :
. Penghormatan kepada Tuhan
. Penghormatan kepada Alam
. Penghormatan kepada Leluhur
. Penghormatan kepada Orang tua
. Penghormatan kepada kedua mempelai.
Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, Srikaya, lambang kekayaan. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.
Kedua mempelai memakai pakaian upacara kebesaran Cina yang disebut baju “Pao”. Mereka menuangkan teh sebagai tanda penghormatan dan memberikan kepada yang dihormati, sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan memberikan arti secara simbolik.

D. Ke Kelenteng
Sesudah upacara di rumah, dilanjutkan ke Klenteng. Di sini upacara penghormatan kepada Tuhan Allah dan para leluhur.

E. Penghormatan Orang tua dan Keluarga
Kembali ke rumah diadakan penghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, kerabat dekat. Setiap penghormatan harus dibalas dengan “ang pauw” baik berupa uang maupun emas, permata. Penghormatan dapat lama, bersujud dan bangun. Dapat juga sebentar, dengan disambut oleh yang dihormati.

F. Upacara Pesta Pernikahan
Selesai upacara penghormatan, pakaian kebesaran ditukar dengan pakaian “ala barat”. Pesta pernikahan di hotel atau tempat lain.
Usai pesta, ada upacara pengenalan mempelai pria ( Kiangsay ). Mengundang kiangsay untuk makan malam, karena saat itu mempelai pria masih belum boleh menginap di rumah mempelai wanita.

G. Upacara sesudah pernikahan
Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari :
1. Cia Kiangsay
2. Cia Ce’em
Pada upacara menjamu mempelai pria (”Cia Kiangsay”) intinya adalah memperkenalkan keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal bersama.
Sedangkan “Cia Ce’em” di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga besar mempelai wanita.Tujuh hari sesudah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumah-rumah famili yang ada orang tuanya. Mempelai wanita memakai pakaian adat Cina yang lebih sederhana.

Perubahan Yang Biasa Terjadi Pada Adat Upacara Pernikahan
 Ada beberapa pengaruh dari adat lain atau setempat, seperti: mengusir setan atau mahkluk jahat dengan memakai beras kunyit yang ditabur menjelang mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Demikian juga dengan pemakaian sekapur sirih, dan lain-lain.
 Pengaruh agama, jelas terlihat perkembangannya. Sekalipun upacara Sembahyang Tuhan / Cio Tao telah diadakan di rumah, tetapi untuk yang beragama Kristen tetap ke Gereja dan upacara di Gereja. Perubahan makin tampak jelas, upacara di Kelenteng diganti dengan di gereja.
 Pengaruh pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dari kepraktisan upacara. Dewasa ini orang-orang lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara yang berbelit-belit. Apalagi kehidupan di kota-kota besar yang telah dipengaruhi oleh teknologi canggih.
Sebagai suatu pranata adat yang tumbuh dan mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terlibat di dalamnya, sasaran pelaksanaan adat pernikahan Tionghoa mengalami masa transisi. Hal ini ditandai dengan terpisahnya masyarakat dari adat pernikahan tersebut melalui pergeseran motif baik ke arah positif maupun negatif dan konflik dalam keluarga.
Dewasa ini masyarakat Tionghoa lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara adat. Hampir semua peraturan yang diadatkan telah dilanggar. Kebanyakan upacara pernikahan berdasarkan dari agama yang dianut.

Cadar Merah Pada Pengantin Wanita
Pada pesta pernikahan tradisional Tionghoa, pengantin wanita terlihat memakai cadar berwarna merah untuk menutupi muka. Cadar itu biasanya terbuat dari sutra.
Cadar Merah pada Pengantin Wanita Tradisi ini berasal dari masa Dinasti Utara dan Selatan. Dimana pada masa itu para petani wanita mengenakan kain pelindung kepala untuk perlindungan dari terpaan angin atau panasnya matahari ketika sedang bekerja di ladang. Kain itu dapat berwarna apa saja, yang penting mampu menutupi bagian atas kepala. Kebiasaan ini lambat laun menjadi sebuah tradisi.
Pada awal Dinasti Tang, kain tersebut menjadi sebuah cadar panjang hingga ke bahu. Dan tidak lagi hanya dipakai oleh petani wanita. Pada saat pemerintahan Kaisar Li Jilong dari Dinasti Tang, ia membuat keputusan bahwa semua pembantu wanita istana yang masih dalam masa penantian harus mengenakan cadar untuk menutupi muka. Tidak lama kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi.
Lama kelamaan kebiasaan memakai cadar itu diterapkan pada pesta pernikahan. Pemakaian cadar pada pengantin wanita dengan tujuan agar kecantikan pengantin wanita tidak menjadi perhatian lelaki lain, dan pengantin pria ingin agar pengantin wanita terlihat anggun. Pengantin wanita menerima pemakaian cadar itu untuk menunjukkan kesetiaan kepada pengantin pria.
Sejak masa Lima Dinasti (Later Jin), pemakaian cadar menjadi sebuah keharusan pada setiap pesta pernikahan. Warna cadar itu selalu merah yang mewakili kebahagiaan.

Kebahagiaan Ganda
Sebuah karakter Tionghoa yang banyak dikenal, Kebahagiaan Ganda, yang tertera pada kertas merah atau potongan kertas selalu ada pada saat pernikahan. Terdapat asal usul dibalik itu.
Pada masa Dinasti Tang, terdapat seorang pelajar yang ingin pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian negara, dimana yang menjadi juara satu dapat menempati posisi menteri.
Sayangnya, pemuda itu tersebut jatuh sakit di tengah jalan saat melintasi sebuah desa di pegunungan. Untung seorang tabib dan anak perempuannya membawa pemuda itu ke rumah mereka dan merawat sang pelajar. Pemuda tersebut dapat sembuh dengan cepat berkat perawatan dari tabib dan anak perempuannya.
Setelah sembuh, pelajar itu harus meninggalkan tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Namun pelajar itu mengalami kesulitan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak perempuan sang tabib, begitu juga sebaliknya. Mereka saling mencintai.
Maka gadis itu menulis sepasang puisi yang hanya sebelah kanan agar pemuda itu melengkapinya, “Pepohonan hijau dibawah langit pada hujan musim semi ketika langit menutupi pepohonan dengan gerhana”
Setelah membaca puisi tersebut, sang pelajar berkata, “Baiklah, saya akan dapat mencapainya meskipun bukan hal yang mudah. Tetapi kamu harus menunggu sampai aku selesai ujian”. Sang gadis mengangguk-angguk.
Pada ujian negara, sang pelajar mendapatkan tempat pertama, yang mana sangat dihargai oleh kaisar. Pemuda itu juga bercakap-cakap dan diuji langsung oleh kaisar. Keberuntungan ternyata pada pihak sang pemuda. Kaisar menyuruh pemuda itu agar membuat sepasang puisi.
Sang kaisar menulis: “Bunga-bunga merah mewarnai taman saat angin memburu ketika taman dihiasai warna merah setelah sebuah ciuman”.
Pemuda itu langsung menyadari bahwa puisi yang ditulis oleh sang gadis sangat cocok dengan puisi kaisar, maka ia menulis puisi sang gadis sebagai pasangan puisi kaisar.
Kaisar sangat senang melihat bahwa puisi yang ada merupakan sepasang puisi yang harmonis dan serasi sehingga ia menobatkan pemuda itu sebagai menteri di pengadilan dan mengijinkan pemuda itu untuk mengunjungi kampung halamannya sebelum menduduki posisinya.
Pemuda itu menjumpai sang gadis dengan gembira dan memberitahu kepada sang gadis puisi dari kaisar.Tidak lama kemudian mereka menikah.
Untuk pesta perayaan pernikahan, sepasang karakter Tionghoa, bahagia, dipasang bersamaan pada selembar kertas merah dan ditempel di dinding untuk menunjukkan kebahagiaan dari dua kejadian yang bersamaan, pernikahan dan pengangkatan sang pemuda.
Sejak saat itu, tulisan Kebahagiaan Ganda menjadi sebuah tradisi yang dilakukan pada setiap pesta pernikahan.


Tandu Pengantin
Tandu merupakan salah satu kendaraan yang sering digunakan pada jaman dahulu oleh orang-orang Tionghoa yang kaya, sedangkan yang kurang mampu biasanya naik keledai atau berjalan kaki.
Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri jika naik tandu dibandingkan keledai yang seringkali ribut. Pada perayaan-perayaan tertentu, seperti pesta pernikahan, tandu digunakan untuk menghantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria, baik oleh orang kaya maupun orang miskin. Ada asal usul mengapa tandu digunakan pada pesta pernikahan.
Terdapat seorang kaisar bijaksana yang sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Suatu saat sang kaisar dan para anak buahnya sedang berlalu di sebuah perbukitan, tiba-tiba pemandu memberi tahu bahwa iring-iringan akan terhalang oleh iring-iringan lain.
Maka sang kaisar keluar dari tandu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sebuah iring-iringan pernikahan penuh kegembiraan sedang berjalan dengan pengantin wanita mengendarai keledai. Melihat kejadian menggembirakan itu, sang kaisar turut bergembira.
Pada saat kedua rombongan bertemu , rombongan pengantin wanita yang tidak mengetahui bahwa rombongan didepan adalah rombongan kaisar, tidak bersedia mengalah, demikian pula rombongan sang kaisar.
Akhirnya sang kaisar menemukan sebuah ide, ia berkata kepada pengantin wanita, “Tidak hanya aku akan memberikan jalan kepadamu, aku juga akan meminjamkan tanduku jika kamu bisa membuat puisi saat ini juga.”
Pengantin wanita lalu berpuisi, “Melihat rombonganmu, melihat rombonganku. Bukan masalah siapakah pemilik jalan ini. Melihat tandumu, melihat keledaiku. Tidak peduli manakah yang terbaik untuk pesta pernikahanku. Anda haruslah bermurah hati dengan meminjamkan tandu anda. Siapa dapat berkata bahwa saya adalah orang sederhana dan anda orang terhormat. Tidak ada perbedaan disini, hanya sekelompok orang yang ada.”
Sang kaisar sangat terkesan dengan puisi itu, sehingga ia meminjamkan tandunya. Adanya hal itu membuat pesta pernikahan yang ada menjadi semakin menarik perhatian orang ramai. Sejak itu, setiap pesta pernikahan selalu menggunakan tandu, meskipun terkadang hanya sebuah tandu sederhana. Meskipun saat ini sudah sangat jarang pesta pernikahan yang menggunakan tandu, namun tandu tetap digunakan pada perayaan-perayaan tradisional.

2. Upacara Kematian
Kita sering melihat upacara kematian Suku Tionghoa di tempat-tempat / ruang duka di rumah-rumah sakit. Kelihatannya begitu ramai oleh aneka perhiasan rumah-rumahan dengan perlengkapannya dan upacara yang bising serta pakaian duka cita yang dipakai oleh anak, menantu dan cucu-cucunya.
Adat upacara kematian suku Tionghoa dilatarbelakangi oleh kepercayaan mereka. Mereka mempercayai bahwa dalam relasi seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, berlaku hal-hal sebagai berikut :
 Adanya reinkarnasi bagi semua manusia yang telah meninggal (cut sie)
 Adanya hukum karma bagi semua perbuatan manusia, antara lain tidak mendapat keturunan (ko kut)
 Leluhur yang telah meninggal (arwah leluhur) pada waktu-waktu tertentu dapat diminta datang untuk dijamu (Ce'ng be'ng).
 Menghormati para leluhur dan orang pandai (tuapekong).
 Kutukan para leluhur, melalui kuburan dan batu nisan yang dirusak (bompay).
 Apa yang dilakukan semasa hidup (di dunia) juga akan dialami di alam akhirat. Kehidupan sesudah mati akan berlaku sama seperti kehidupan di dunia ini namun dalam kualitas yang lebih baik.

Upacara-Upacara Yang Dilaksanakan Dalam Kematian
Upacara kematian terdiri atas empat tahap yaitu :
A. Belum masuk peti
 Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat ) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.
 Mayat dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum/almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis.
 Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.
 Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain.
B. Upacara masuk peti dan penutupan peti
 Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung.
 Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (uhaouw). Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.
 Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hwee shio atau cayma. Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca / cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.
 Bagi anak cucu yang "berada" (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.
 Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki.
 Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup.
 Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 atau 4 hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.
 Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.
C. Upacara pemakaman
 Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan.
 Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum.
 Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang ?2 sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah "sam seng", yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar.
 Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Cina, biasa disebut "Hoe". Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.
 Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai penguburan.
 Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon kepada dewa bumi ("toapekong" tanah) agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat.
 Semua anak - cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal / segenggam tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong.
 Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almarhum.

D. Upacara sesudah pemakaman
 Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, oranye.
 Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal,
 Untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama 2 tahun.
 Untuk nenek dan kakek dilakukan selama 1 tahun.
 Untuk saudara dilakukan selama 3 atau 6 bulan.
 Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup.
 Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :
 Meniga hari (3 hari sesudah meninggal) Sesudah 3 hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengan air kembang.
 Menujuh hari (7 hari sesudah meninggal) Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan ). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa ( hio ) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar; dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal / segenggam diambil, diserakkan ke atasnya.
 40 hari sesudah meninggal Pada hari ke 40 ini kembali anak - cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenasah berada ( kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalam keadaan berkabung, namun telah rela melepaskan arwah si almarhum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas; berupa sepotong kain blacu dan goni.
 Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperingati oleh anak cucunya dengan melakukan " soja dan kui" sebagai tanda berbakti dan menghormati. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah "samseng" 2 pasang, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus dinyalakan lilin merah berpasang-pasang tergantung pada jumlah orang / leluhur yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kertas perak dan kertas emas ).
VI. PRODUK BUDAYA
1. PATUNG SINGA
Singa merupakan binatang yang memiliki arti penting bagi bangsa Tiongkok. Sepasang patung singa, jantan dan betina, sering terlihat di depan gerbang bangunan-bangunan tradisional bangsa Tiongkok. Sang jantan berada di sebelah kiri dengan cakar kanannya berada di bola, dan sang betina di sebelah kanan dengan cakar kirinya membelai anak singa.
Singa dianggap sebagai raja dari para binatang, yang juga melambangkan kekuatan dan pengaruh. Bola yang berada pada patung singa jantan melambangkan kesatuan seluruh negeri, dan anak singa pada patung singa betina merupakan sumber kebahagiaan.
Patung singa juga digunakan untuk menunjukkan peringkat atau kedudukan seorang pejabat negara dengan melihat jumlah gundukan yang diperlihatkan oleh rambut keriting pada kepala singa. Rumah dari pejabat tingkat satu memiliki 13 gundukan dan jumlah itu menurun satu gundukan setiap turun satu peringkat. Pejabat dibawah tingkat tujuh tidak diperbolehkan memiliki patung singa di depan rumah mereka.
Yang sangat menarik adalah singa bukanlah binatang asli dari negeri Tiongkok. Ketika Kaisar Zhang dari Han Timur memerintah pada A.D. 87, Raja Parthia mempersembahkan singa kepada sang kaisar. Singa lainnya dipersembahkan oleh sebuah negara di daerah tengah asia pada tahun berikutnya. Patung singa pertama kali dibuat pada permulaan Dinasti Han Timur.
Adanya patung singa pada jembatan juga merupakan sebuah hal yang umum. Sebuah jembatan terkenal, Lugouqiao, dibangun dari A.D. 1189 sampai A.D. 1192 memiliki patung-patung singa yang berjumlah sekitar 498 sampai 501. Sebuah pepatah terkenal berbunyi “Singa dari Lugouqiao tidak terhitung banyaknya”.

2. FENG SUI
Salah satu kebudayaan tertua di dunia adalah kebudayaan Tionghoa, yang sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran Tao dan Khonghucu. Perkembangan peradaban yang pesat dimulai ribuan tahun sebelum masehi, melahirkan terciptanya berbagai penemuan awal di segala bidang penghidupan. Pada kurun waktu antara tahun 2000 SM sampai tahun 1000 SM bangsa Tiongkok kuno telah mengenal dunia kedokteran, ilmu ketatanegaraan, ilmu ekonomi, serta teknologi lainnya, diantaranya adalah terciptanya methodology peramalan serta analisa tata letak ruang yang dikenal dengan nama Feng Shui. Diperkirakan ilmu Feng Shui ini adalah perkembangan dari konsep naskah I Ching yang disusun sebagai buku pegangan peramalan pada saat itu.
Kata Feng Shui sendiri berasal dari gabungan kata Feng yang berarti angin (arah) dan Shui yang berarti air (tempat). Jika dianalisa dari kata Feng Shui, maka kemungkinan besar ilmu ini sudah ada dan berkembang bahkan sebelum bangsa Tiongkok kuno mengenal kompas, dimana penentuan kondisi suatu tempat yang baik pada mulanya hanya melihat perpaduan unsur air dan angin saja.
Berkembang pesatnya Tao pada saat itu menumbuhkan berbagai bidang ilmu Tao yang salah satunya adalah Feng Shui. Feng Shui berkonsep pada penalaran yang sangat logis dan ilmiah. Konon ilmu peramalan ini sangat dipercaya oleh raja-raja Tiongkok, sehingga para ahlinya dijadikan penasehat kerajaan. Ahli peramalan pada saat itu adalah kedudukan yang penting karena dipercaya mempunyai kekuatan supranatural dan mengetahui rahasia alam. Untuk melindungi posisi ini maka ilmu peramalan ini tidak diajarkan secara luas, hanya diajarkan secara turun-temurun.
Feng Shui dapat dibagi menjadi dua yaitu Feng Shui kuburan dan Feng Shui rumah / bangunan.

Logika dasar dari Feng Shui itu singkatnya sebagai berikut:
Alam ini adalah susunan gabungan unsur-unsur yang berada dalam suatu dimensi ruang dan waktu yang terus berubah, karena adanya energi yang saling bereaksi satu sama lain secara alami menuju keseimbangan. Manusia yang hidup di alam (bumi) ini pun mempunyai energi. Jika seseorang tinggal di suatu tempat yang mempunyai energi baik serta perpaduan unsur yang cocok maka orang itu akan mendapat pengaruh yang baik, begitu pula sebaliknya. Hal demikian berlaku juga untuk kuburan, tetapi yang mendapat pengaruh dari kuburan (orang yang dikubur) adalah anak-anaknya karena mempunyai hubungan dan unsur genetik yang sama.


Feng Shui Kuburan
Dalam kebudayaan Tionghoa, kuburan seseorang itu sangat penting, karena kuburan seseorang dapat mempengaruhi keadaan keluarganya yang masih hidup. Kuburan harus dibuat sebaik mungkin selain karena hal tersebut diatas juga adalah sebagai bukti besarnya penghormatan kepada orang tua, selain itu kuburan orang tua juga dianggap sebagai suatu tempat / sarana ikatan tali persaudaraan antara sanak-cucu keluarga sehingga setiap tahun diperingati pada hari Ching Ming (Ceng Beng) dengan berkumpul dan sembahyang dikuburan leluhur. Dalam Feng Shui kuburan hal-hal yang diperhatikan antara lain: Naga - Liang - Gundukan - Air - Arah. Selain itu bentuk kuburan, batu nisan, waktu penguburan juga diperhitungkan. Baik buruknya Feng Shui kuburan itu biasanya akan langsung terlihat dalam tempo satu tahun berpengaruh pada keturunan laki-laki. Biasanya orang pantang untuk merubah-rubah kuburan, jika kuburan itu sudah dianggap baik atau minimal tidak buruk. Tetapi jika ada tanda-tanda atau pengaruh buruk terasa, maka secepatnya kuburan akan diperiksa lagi (tentunya oleh ahli Feng Shui) dan jika memungkinkan diperbaiki supaya pengaruh buruk tersebut hilang atau bahkan berubah jadi baik. Dijaman sekarang penerapan Feng Shui kuburan secara sempurna sudah relatif sulit karena perkembangan jaman yang ada serta lingkungan alamnya.

Feng Shui Rumah / Bangunan
Dewasa ini Feng Shui rumah / bangunan kelihatan lebih menarik dan lebih umum diminati orang. Mungkin karena Feng Shui rumah dirasakan lebih kuat pengaruhnya dalam menunjang kehidupan seseorang sebab penerapannya memang lebih nyata dalam mempengaruhi pola kehidupan. Membuat rencana tata letak / ruang yang baik dalam Feng Shui rumah / bangunan harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: pencahayaan, sirkulasi udara, keindahan, aspek keamanan, kebersihan, kenyamanan, dan warna (masalah psikologi). Tentunya arah, bentuk dan lokasi tanah serta rumah / bangunan itu haruslah baik dan sesuai fungsinya sebagai langkah awal. Selain itu sehubungan dengan Feng Shui rumah juga dikenal berbagai benda / bentuk tertentu yang sering digunakan sebagai atribut pelengkap sebuah rumah seperti misalnya: kaca cermin cekung atau cembung, dll. Benda-benda tersebut sebenarnya adalah atribut dari Tao yang mungkin sudah jarang dipakai di rumah / bangunan modern dewasa ini, tetapi tidak jarang bentuk-bentuk yang mewakili benda-benda tersebut tetap dipakai untuk maksud mendatangkan kebaikan atau menolak hal-hal yang negatif.
Nah, itu tadi adalah sekilas ulasan mengenai Feng Shui. Masing-masing dari kita tentunya punya pandangan sendiri-sendiri terhadap masalah Feng Shui ini. Akan tetapi, tentunya kita diharapkan bisa punya pandangan yang lebih “terpelajar”.
Organisasi-ruang sebuah rumah, sebagian bisa diperbaiki melalui kemasan/dekor, akan tetapi sebagian dikarenakan permasalahan komposisi gedung itu sendiri, dari sononya sudah dibatasi tentu sulit untuk dirombak lagi, oleh karena itu dalam pemilihan sebuah bangunan, harus diteliti terlebih dahulu, agar sesudah kejadian tidak perlu lagi memeras otak demi memperbaiknya.
Fengshui yang tidak baik dalam komposisi sebuah bangunan, ada beberapa point yang harus diperhatikan sebagai berikut:
Kemajuan teknik bangunan masa kini, mengakibatkan bentuk rumah yang beragam, tidak lagi dibatasi dengan bentuk yang serba kotak dan teratur, aneka gaya bentuk ditilik dari konsep sudut pandang estetika modern adalah baik, namun dipandang dari Fengshui tradisional, sebagian bentuk adalah pantangan, lebih baik bisa dihindari.
1) Bangunan Berbentuk Tower
Bangunan berbentuk tower/pagoda tidak sesuai untuk keperluan niaga dan tidak sesuai sebagai kediaman. Bangunan berbentuk tower/pagoda (misalnya: the jewel of east dari Shanghai), tunggal menjulang tinggi, memudahkan orang mempunyai perasaan tidak stabil, ditempati dalam jangka waktu lama bisa berakibat syaraf lemah, hanya sesuai untuk ajang perniagaan dengan banyak orang yang hilir mudik, misalkan rumah makan, berbagai jenis hiburan, tidak cocok dipergunakan untuk tempat tinggal.
2) Bangunan Dengan Bentuk Luar Bagian Atas Lebih Lebar
Bangunan dengan bentuk luar bagian atas melebar, bawah mengecil, kepalanya berat kaki ringan, sedangkan area pada sisi tepi bisa dikarenakan dampak gaya tarik bumi dan timbul gejala tidak stabil yang membentuk syndrom medan magnet.
3) Bangunan Yang Tampak Luarnya Seperti Sel Penjara
Tampak depan bangunan bagai kerangkeng, peruntungan penghuni sulit berkembang.
Bangunan yang tampak luarnya seperti kurungan, nampak dari luar tidak diketahui mana akses utamanya, arah bangunan tidak jelas, Qi (hawa-murni) tak mampu berkembang, melambangkan manusianya tak mampu berkembang, tampak luar bangunan paling baik ialah kemegahan dan akses masuknya cukup besar, kelihatannya jadi berkarakter lapang, membuat orang merasakan mampu membuat gebrakan besar.
4) Bangunan Dengan Tampak Luar Melengkung Ke Dalam
Tampak depan gedung cekung, penghuni tak mampu menghadapi tantangan dari luar.
Bangunan dengan tampak depan cekung ke dalam, kelihatannya seperti perut yang kempes dan tidak kenyang, bangunan semacam ini terhadap luar tidak memiliki tenaga perlawanan dan daya juang, paling bagus kalau memilih gedung dengan tampak depan cembung atau hanya cembung bagian balkonnya saja, karena bangunan dengan cembung ke arah luar bagaikan orang yang baru saja makan kenyang, memiliki tenaga untuk menghadapi tantangan dari luar.
5) Gedung Berbentuk Salip-Dobel Apabila Dilihat Dari Arah Atas
Bangunan dengan bentuk salip-dobel, kelihatannya bagaikan sebuah kereta dorong, yang disebut “syndrome kereta dorong”, terkadang orang yang tinggal didalamnya harus bekerja dengan sangat menderita, banyak masalah tapi pendapatan kecil, dengan mengeluarkan tenaga berlipat hasil sedikit, hal baik banyak terkikis.
6) Bentuk Atap Piramida
Banyak villa atau skylight, membuat atap dengan bentuk piramida, hal ini di Fengshui disebut syndrome pundak dingin (Han Jian Sha), melambangkan hawa keberuntungan tidak mengumpul, semakin piramidanya meruncing, pengaruh negatifnya semakin besar.
7) Bentuk Bangunan Seperti Huruf U
Bentuk luar bangunan mirip huruf U, penghuni serasa terikat tangan dan kakinya sulit untuk berkembang. Bentuk luar bangunan seperti huruf U, maka mirip kedua tangan orang yang diikat di belakang tubuh, menandakan popularitas rendah, dalam formasi sendirian berjuang melawan banyak lawan, baik sebagai tempat hunian atau kantor sama-sama kurang sesuai, terutama anggota pemerintahan tingkat tinggi paling berpantangan memilih jenis bangunan semacam ini.
8) Bangunan Mengawang
Sebagian bangunan gedung tinggi yang mengelompok demi keindahan tampak luar, bisa saja sebagian unit hunian dirancang bagai mengawang, sebelah bawah kemungkinan akses jalan, aula, bangunan penghubung.
Dalam memilih, sebaiknya menghindari unit yang mengawang, menempatinya mudah timbul gejala tidak nyaman, gejala hati/jiwa tidak tenang, juga akibatnya bisa saja di bawah ketergesaan menimbulkan salah mengambil keputusan.
Sebagian tempat hunian berhubung persyaratan lokasi menimbulkan bentuk denah bangunan tidak persegi, ada kemungkinan depan lebar belakang sempit, bahkan muncul situasi dengan sudut terpotong。Hal tersebut di atas di dalam Fengshui bisa saja menimbulkan pengaruh negative bagi anggota keluarga penghuni rumah itu, oleh karenanya sewaktu memilih tempat hunian hendaknya menghindari hal tersebut.
Bagaimanakah semestinya menentukan yang disebut “sudut terpotong”? Pertama, tambal/isilah sudut terpotong bangunan tersebut, lalu cari titik beratnya maka bisa ditentukan arah dari sudut terpotong tersebut.
Sudut terpotong terletak di arah timur:
Sudut terpotong pada bagian timur, menandakan anggota penghuni mudah mengalami penyakit pada kaki, juga bisa mempengaruhi anak sulung, atau terjadi masalah sulit memperoleh keturunan anak lelaki.
Sudut terpotong di bagian barat:
Bagian barat rumah ada sudut terpotong, anggota penghuni rumah mudah terkena penyakit system saluran pernafasan pada bagian paru-paru, atau berdampak pada anak gadis dalam keluarga, di antaranya pada putri bungsu paling mudah terjadi masalah.
Sudut terpotong di bagian selatan:
Bagian selatan rumah terdapat sudut terpotong, anggota keluarga mudah terkena penyakit sirkulasi darah atau seputar jantung dan penyakit bagian saluran darah, putri kedua dalam keluarga mudah terjadi sesuatu.
Sudut terpotong di bagian utara:
Bagian utara rumah ada sudut terpotong, anggota keluarga mudah terkena penyakit ginjal, kandung kemih dll system urologi, putra ke dua dalam keluarga paling mudah terkena dampak.

Sudut terpotong pada bagian tenggara:
Bagian tenggara rumah ada sudut terpotong, anggota keluarga mudah terserang penyakit yang berkaitan dengan hati empedu dan urat syaraf tulang duduk, berbarengan dengan itu bisa mempengaruhi putri sulung.
Sudut terpotong pada bagian barat laut:
Bagian barat laut bangunan, anggota keluarga mudah terkena penyakit bagian kepala, bersamaan itu pengaruh terhadap penghuni pria senior, seperti ayah, kakek lebih besar.
Sudut terpotong di bagian timur laut:
Bagian timur laut rumah ada sudut terpotong, anggota keluarga mudah terjangkiti penyakit tangan, tengkuk dan punggung, bersamaan dengan itu terhadap anak lelaki terbaik misalkan anak bungsu dampaknya paling besar.
Sudut terpotong di bagian barat daya:
Bagian barat daya rumah terdapat sudut terpotong, anggota keluarga mudah terkena penyakit usus dan maag serta bagian perut dll, berbarengan dengan itu wanita yang tertua, misalkan terhadap ibu, dampaknya terbesar.
Sedangkan bentuk rumah yang seperti depan lebar belakang sempit (bentuk tangga terbalik), membentuk yang dinamakan “Cekungan pengki”, aliran Qi (baca: Chi, energi murni) tak mudah berkumpul, mudah boros dalam materi. Selain daripada itu, pada prinsip Fengshui dianggap rumah yang bergerigi dan bersudut (runcing), mudah terjadi masalah sial, contohnya sebagian kediaman dengan bentuk tidak teratur, sebaiknya dihindari. Pengorganisasian ruang yang tidak benar, perlambang terjadi ketidak-akuran di dalam, penghuni rumah tersebut mudah timbul perselisihan dan bermuram-durja, juga sebisa mungkin dihindari.
Gedung zaman sekarang pada umumnya dilengkapi dengan lahan parkir di lantai basement, tetapi apabila di depan ruang terbuka hunian, terdapat akses jalan menuju basement, maka Qi masuk melalui opening/bukaan tersebut, ini di dalam Fengshui dinamakan “Bala/Pantangan Cekung”, mudah menimbulkan sakit di bagian kepala dan ancaman bangkrut, lebih baik dihindari.

Basement dilengkapi dengan kolam renang atau kolam air
Perencanaan bangunan zaman sekarang, diutamakan yang serba fungsional, atau pengelolaan dan daya guna ala restaurant, maka dari itu acap kali di basement direncanakan kolam renang. Akan tetapi kolam renang dibangun di basement, mudah mendatangkan Bala/pantangan Yin, selain itu pencahayaan di basement tidak baik, sarat hawa Yin, mudah didatangi roh gentayangan, sehingga membuat penghuni tidak tenteram, oleh karena itu juga harus sebisa mungkin dihindari.
Pintu besar/masuk dengan Ruang Terbuka Luar dan Ruang Terbuka Dalam menentukan karir, peruntungan dan hubungan antar manusia. Oleh karena itu posisi, ukuran dan perencanaan dll dari Ruang Terbuka Luar dan Ruang Terbuka Dalam harus ekstra diperhatikan.
1. Ruang Terbuka Luar
Yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Luar ialah ruang kosong di luar pintu masuk, juga biasa disebut Lapangan Masukan Qi (baca: Ji; energi) masuk, ia harus lapang, terang, bersirkulasi udara, tidak berhadapan dengan benda pantangan/Chong Sha, maka dari itu paling baik jangan menumpuk aneka barang bekas. Selain itu jikalau memungkinkan, paling baik jangan dipakai bersamaan dengan orang lain, akan tetapi gedung atau apartemen zaman sekarang, biasanya dipakai bersamaan dengan orang lain, jikalau seperti itu harus diperhatikan, penggunaan Ruang Terbuka Luar dengan orang lain, biasanya juga bisa saja dalam kondisi pintu saling berhadapan dengan pintu.
Jikalau kedua pintu tersebut ukurannya sama, maka berarti kedua pintu tersebut menggunakan satu Ruang Terbuka Luar yang sama, jikalau ternyata satu pintu besar satunya lagi kecil, maka bisa terkondisikan pintu besar tersebut “memakan” pintu kecil, maka penghuni dengan pintu kecil keberuntungannya bisa berangsur melemah, dalam melakukan pekerjaan mudah terjadi penekanan dari orang lain, berurusan dengan orang berniat buruk, tentu saja keberuntungan materi juga bisa terpengaruh. Namun apabila kedua pintu tersebut sudah berjarak lima meter, maka penghambat menjadi tidak terlalu besar.
Ruang Terbuka Luar persis berpepetan dengan tangga (artinya sehabis ruang tsb. langsung tangga naik), ini adalah sebuah tanda mengundang pekerjaan, menyebabkan karir membutuhkan energi dan waktu yang lebih banyak, paling baik juga dihindari, kalau tidak maka harus dinetralisir. Selain daripada itu, Ruang Terbuka Luar paling pantang dimana terdapat benda pantangan/Chong Sha, seperti jalan tusuk sate, tembok bersudut runcing , tiang listrik, berhadapan dengan ujung sudut rumah seberang, tower listrik tegangan tinggi dll, hal ini bisa tidak menguntungkan perkembangan usaha, maka dari itu sebisa mungkin dihindari.
2. Ruang Terbuka Dalam
Yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Dalam ialah ruang yang terdapat di belakang pintu masuk, juga bisa disebut sebagai: Lapangan Penerima Qi, biasanya juga dikatakan sebagai letak Xuan Guan (baca: Süan Kuan / Lintasan Muskil). Lapangan Penerima Qi berfungsi menerima dan menyerap arus Qi yang masuk dari Lapangan Masukan Qi, volume Qi yang diterima menentukan keberuntungan atau kejayaan, sedangkan besar kecilnya Lapangan Penerima Qi, akan menentukan daya serap /tampung sebuah rumah tinggal, juga sama-sama menentukan kunci menuju keberuntungan dan kejayaan. Oleh sebab itu besar-kecil dan baik-buruknya keberuntungan /rezeki sebuah rumah, ukuran Ruang Terbuka Luar dan Ruang Terbuka Dalam sangat penting, ukuran keduanya juga harus saling berselaras, baru bisa memerankan fungsi secara maksimal.
Ruang Terbuka Dalam , juga harus terang dan lapang, selain itu jalur lintas juga harus dapat dilalui dengan lancar, sangat pantang dengan tumpukan barang tak terpakai. Tempat tinggal pada umumnya jikalau memiliki Xuan Guan, seringkali ada tumpukan barang bekas atau rak sepatu, bahkan sepatu-sepatu berserakan di lantai, hal seperti ini Feng Shui-nya tidak baik.
Selain itu, Ruang Terbuka Dalam paling pantang terhadap balok atap terletak melintang di atas (pintu), menandakan peruntungan materi terhambat; Ruang Terbuka Dalam paling bagus juga jangan mepet dengan tangga, karena bisa terjadi tekanan besar pada usaha kerja; selain itu apabila mepet pintu WC juga mudah mengalami kerugian; seperti yang telah disebutkan di atas, Ruang Terbuka Dalam jikalau sarat Qi buangan akan membuat peruntungan materi tidak lancar, itulah kenapa di buku Feng Shui selalu ditekankan, jangan menumpuk sepatu di lokasi Xuan Guan, apabila sepatu ditaruh di lokasi Xuan Guan, juga harus senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan menghindari timbulnya bau yang tidak sedap.

Delapan Pantangan Interior
• Pantangan ke 1: Pantangan "Menembus Ruang"
Pintu masuk dengan balkon belakang membentuk satu garis,
disebut sebagai “Bala/Pantangan Menembus Ruangan”
Yang disebut “Bala/Pantangan Menembus Ruangan” ialah pintu masuk utama dengan pintu belakang atau balkon belakang terhubung menjadi satu garis, selain itu di tengahnya juga tak ada halangannya, udara, angin, pencahayaan dengan langsung mengalir menembus ruang tamu, ilmu Feng Shui pada dasarnya menghendaki harus “Mengumpulkan angin – menghimpun Qi”, Bala Menembus Ruangan bisa mengakibatkan medan Qi/energi terus menerus menerima gangguan, sehingga penghuni sukar mengumpulkan harta dan juga bencana berupa kehabisan sumber penghasilan, disebut “Pantangan Utama Hunian Apartemen”.
• Pantangan ke 2: Pantangan "Menembus Hati"
Terdapat belandar/balok di atas pintu masuk utama, disebut “Pantangan Menembus Hati”
Yang dimaksud dengan “Pantangan Menembus Hati” ialah merujuk pada blandar/balok kayu di atas pintu masuk utama, selain itu balok tersebut dari luar menembus ke dalam rumah dan tegak lurus dengan pintu masuk, bahkan menembus bagian atas pintu kamar tidur dan pintu dapur. Pintu masuk utama identik dengan karir, pantangan menembus hati mudah mengakibatkan penghuni tak mudah mengatakan apa yang ia derita dan menelan air mata, giat tapi hasil tak terlihat dan nafsu besar tenaga kurang.
• Pantangan ke 3: WC, Dapur dan Tangga Terletak di Pusat Denah (Zhong Gong 中宮)
Titik Pusat Kediaman, disebut “Zhong Gong / baca: Cung Kung 中宮”
Zhong Gong dari tempat tinggal bagaikan jantung manusia, ialah posisi terpenting dari seluruh rumah, juga adalah tempat utama yang paling mempengaruhi peruntungan materi dalam keluarga, sedangkan WC adalah tempat untuk membuang kotoran, WC mutlak tidak diperbolehkan mencemari titik pusat dari tempat tinggal, jikalau WC terletak di Zhong Gong, akan mudah terkena penyakit pada bagian pembuluh jantung dll.
Dapur termasuk elemen api, jikalau kompor gas terletak pada Zhong Gong sebuah rumah, maka terbentuk suatu denah “Api membakar Zhong Gong”, salah satu penghuni mudah terserang penyakit yang berkaitan dengan system pencernaan, terlebih lagi bagi tuan rumah, mutlak perlu diperhatikan.
Juga rumah bertingkat di dalam gedung, atau bangunan yang di-ekspan ke atas, menara dlsb tentu dirancang juga ruang tangganya.
Untuk itu hal yang paling pantang adalah merencana ruang tangga pada titik pusat rumah, atau bordes tangga terletak pada titik pusat rumah. Ini adalah denah paling buruk dalam Feng Shui. Tangga, bagaimanapun adalah tempat untuk naik dan turun lantai, membuat orang mengaktifkan otot, bisa menimbulkan letih, ruang tangga terletak di Zhong Gong menandakan tuan rumah bisa sangat sibuk, bersamaan itu juga bisa terserang penyakit persendian tulang, bahkan dengan kondisi tekanan darah tinggi.
• Pantangan ke 4: Denah Dengan Ruang Tamu Pada Bagian Belakang Rumah
Ruang tamu menjauhi pintu masuk rumah, terletak di bagian belakang rumah, bahkan harus melalui dulu kamar tidur, dapur, WC dll, tidak selaras dengan kebiasaan penggunaan pada umumnya, sesuatu yang mengarah kepada luar sebagai Yang, yang mengarah ke dalam sebagai Yin, luar-dalam menjadi terbalik, Yin-Yang keliru tempatnya, menandakan dalam hati gundah dan gangguan dari luar tiada henti.
• Pantangan ke 5: Kayu Blandar Saling Silang atau Plafon Terlalu Rendah (Tian Luo)
Posisi plafon yang terlalu rendah, disebut “Lay out Tian Luo”
Pada umumnya rumah memiliki blandar/balok, tetapi kebanyakan terletak di empat sisi, lantas apabila perletakan blandar-blandar di dalam rumah sangat banyak dan melintang tak karuan, hal ini di dalam Feng Shui disebut sebagai “Lay out Tian Luo”, bisa mengakibatkan perasaan tertekan yang hebat.
Selain itu, ada lagi satu macam lay out Tian Luo yakni posisi/level plafon yang terlalu rendah, hal ini bisa berakibat penghuni rumah terhambat di dalam perkembangan karirnya, sulit untuk berkembang.
• Pantangan ke 6: Layout "Kamar dalam Kamar"
Di dalam kamar tidur terdapat sebuah kamar tidur lainnya, misalkan melalui kamar-tidur A memasuki kamar-tidur B, seperti inalah yang dimaksud dengan lay out kamar dalam kamar, melambangkan situasi yang “lepas dari rel”, mudah menimbulkan perasaan jengkel sehingga mudah membuat keputusan keliru.
• Pantangan ke 7: Mulut Tangga dalam Ruang Tepat Menghadap Pintu Utama
Tangga di dalam rumah menghadap tepat ke arah pintu masuk, harta benda mudah mengalir keluar/boros.
Diam bagai gunung, bergerak bagai air”, tangga berfungsi sebagai pergerakan penghuni untuk naik turun ke dan dari lantai atas, melambangkan unsur “Air” di dalam rumah, tangga di dalam apartemen jikalau menghadap tepat ke arah pintu masuk, maka menandakan (unsur) air mengalir ke arah luar, air mewakili harta-benda, dalam hal tersebut sudut tangga semakin besar maka menandakan kehilangan harta-benda semakin cepat.
• Pantangan ke 8: Pintu Belakang Rumah Tinggal (Juga Pintu Balkon) Diubah Menjadi Situasi Tanpa Pintu Belakang
Rumah (apartemen) semestinya memiliki balkon, baru di dalam karirnya ada ruang gerak untuk bernegosiasi.
Pintu belakang sebuah rumah tidak baik jikalau ukurannya lebih besar daripada pintu depan, bersamaan dengan itu penghuni juga tidak boleh menutup pintu masuk, yang kemudian akses keluar-masuk rumah diganti melalui pintu belakang, hal semacam ini terutama akan berdampak kesepian.
Rumah tinggal lebih mengharamkan tidak memiliki pintu belakang (dewasa ini gedung atau apartemen, pintu akses dari dapur ke balkon dimaksudkan sebagai pintu belakang padahal bukan), terutama berdampak: di dalam karir hanya mengenal maju, tak mengenal istilah mundur, melakukan pekejaan selalu sendirian, tak ada koridor untuk berunding ataupun berbelok arah, efek terhadap butuh maka mudah terserang penyakit gangguan sirkulasi darah pada pembuluh darah jantung.

3. ASTROLOGI TIONGHOA

1) Kalender Matahari Dan Kalender Bulan
Pada umumnya kita mengenal dua sistem kalender yaitu kalender matahari (kalender solar) dan kalender bulan (kalender lunar).
Kalender matahari ditentukan berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Waktu yang diperlukan untuk satu kali revolusi adalah satu tahun kalender matahari, kira-kira 365 1/4 hari. Perubahan musim di bumi ditentukan oleh posisi bumi terhadap matahari, maka kalender matahari ini sesuai dengan perubahan musim.
Contoh:
Pada saat matahari mencapai garis balik utara (tropic of Cancer), kira-kira pada tanggal 21 Juni, belahan bumi selatan mengalami musim dingin, dan pada saat matahari mencapai garis balik selatan (tropic of Capicorn), kira-kira tanggal 22 Desember, bumi belahan utara mengalami musim dingin. Contoh kalender matahari adalah kalender Gregorian.
Sedangkan kalender bulan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Waktu yang diperlukan untuk satu kali revolusi adalah satu bulan kalender bulan, kira-kira 29 1/2 hari. Contoh kalender bulan adalah kalender Hijriyah dan kalender Jawa.

2) Kalender Tionghua
Bangsa Tionghua mengenal kalender matahari (Yangli[Yonglek/Yanglek]) dan kalender bulan (Yinli [Yimlek]). Kalender matahari terdiri 24 jieqi [cuekhui] (musim matahari) yaitu:
No. Nama Musim Tanggal Kld. Gregorian
1. lichun [lipchun] 4,5 Februari
2. yushui [wusui] 18,19 Februari
3. jingzhe [kingtip] 5,6 Maret
4. chunfen [chunhun] 20,21 Maret
5. qingming [chni'mia/chingbing] 4,5 Apr
6. guyu [kokwu] 19,20 April
7. lixia [liphe] 5,6 Mei
8. xiaoman [siaobuan] 21,22 Mei
9. mangzhong [bongcing] 5,6 Juni
10. xiazhi [heci] 21,22 Juni
11. xiaoshu [siaosu] 7,8 Juli
12. daxhu [taisu] 22,23 Juli
13. liqiu [lipchiu] 7,8 Agustus
14. chushu [chusu] 23 Agustus
15. bailu [peklo] 7,8 September
16. qiufen [chiuhun] 22,23 September
17. hanlu [hanlo] 8,9 Oktober
18. shuangjiang [sngkang] 23,24 Oktober
19. lidong [liptang] 7,8 November
20. xiaoxue [siaosuat] 22,23 November
21. daxue [taisuat] 7,8 Desember
22. dongzhi [tangci/tangcue] 21,22 Desember
23. xiaohan [siaohan] 5,6 Januari
24. dahan [taihan] 20,21 Januari

Catatan:
1. 24 jieqi ini sebenarnya terdiri atas 12 bulan tahun matahari, urutan ganjil (lichun, jingzhe, dst...) adalah awal bulan, urutan genap (yushui, chunfen, dst...) adalah tengah bulan.
2. Jieqi yang paling sering dirayakan di Indonesia adalah [chingbing] (ziarah ke makam leluhur) dan [tangcue] (memakan ronde [yni'a thng]).
3. Coba diperhatikan persamaan tanggal tengah bulan dengan tanggal horoskop barat.
Sedangkan kalender bulan terdiri dari 12 bulan, ada bulan besar 30 hari dan bulan kecil 29 hari. Satu tahun terdiri dari 12 bulan sehingga jumlah hari pertahun adalah 354 hari. Karena jumlah tahun matahari kira-kira 365 1/4 hari, maka akan ada selisih sebesar 11 1/4 hari pertahun. Untuk menyesuaikan kalender dengan kalender Yangli, ditambahkan bulan kabisat runyue [lun'ge]. Sehingga satu tahun terdiri dari 13 bulan. Penambahan bulan kabisat ini dilakukan 7 kali dalam 19 tahun.
Jadi, sistem kalender Tionghua adalah kombinasi antara kalender bulan dan kalender matahari (kalender lunisolar).

Kombinasi Tiangan Dizhi
Semua komponen waktu (jam, hari, bulan, tahun) adalah kombinasi dari 10 tiangan [thiankan] (batang langit) dan 12 dizhi [teci] (cabang bumi). Jadi, untuk setiap komponen ada 60 kombinasi. Berikut ini adalah urutan tiangan dan dizhi:

No. tiangan unsur
1 jia [ka] kayu
2 yi [yit] kayu
3 bing [pnia] api
4 ding [ting] api
5 wu [mo] tanah
6 yi [ki] tanah
7 geng [king] logam
8 xin [sin] logam
9 ren [jim] air
10 gui [kui] air

No. dizhi unsur xiao [snio] jam
1 zi [cu] air tikus 23 - 01
2 chou [thiu] tanah sapi 01 - 03
3 yin [yin] kayu macan 03 - 05
4 mao [bao] kayu kelinci 05 - 07
5 chen [sin] tanah naga 07 - 09
6 si [su] api ular 09 - 11
7 wu [ngo] api kuda 11 - 13
8 wei [bi] tanah kambing 13 - 15
9 shen [sin] logam monyet 15 - 17
10 you [yu] logam ayam 17 - 19
11 xu [sut] tanah anjing 19 - 21
12 hai [hai] air babi 21 - 23
Setiap tahun (juga bulan, hari, dan jam) adalah kombinasi dari tiangan dan dizhi. Jadi kalau hari ini adalah hari jiazi, besok adalah hari yichou, kemarin adalah hari guihai.

CAP JI SNIO
Horoskop Tionghua [cap ji snio] yang dikenal oleh banyak orang adalah kombinasi tiangan dan dizhi pada komponen tahun. Sebagai contoh: tahun ini adalah tahun xinsi, yang disebut tahun ular logam, tahun lalu adalah tahun gengchen = naga logam, tahun depan adalah tahun renwu = kuda api.
Sesungguhnya perhitungan peruntungan seseorang, kuranglah lengkap jika hanya melihat dari snio-nya saja. Karena, snio adalah salah satu dari empat komponen kelahiran seseorang. Jadi, kita harus memperhitungkan kombinasi tiangan-dizhi dari tahun, bulan, hari, dan jam kelahiran seseorang. Selanjutnya, akan diperoleh 4 pasang kombinasi dari komponen tahun, bulan, hari, dan jam kelahirannya, yang bisa dianalisis peruntungan orang tsb. Empat pasang kombinasi tiangan-dizhi ini disebut bazi [pueji] (delapan huruf).
Selama ini banyak orang menganggap bahwa horoskop Tionghua 'hanya' mengenal 60 kombinasi (berdasarkan tahun kelahiran saja). Sesungguhnya setiap komponen kelahiran (tahun, bulan, hari, jam) mempunyai 60 kombinasi., sehingga total ada 60 x 60 x 60 x 60 = 12.960.000 kombinasi yang berbeda.

Imlek (lafal Hokkian dari, pinyin: yin li, yang artinya kalender bulan) atau Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari.
Kalender Tionghua sekarang masih digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional Tionghua dan memilih hari yang paling menguntungkan untuk perkawinan atau pembukaan usaha. Kalender Tionghua dikenal juga dengan sebutan lain seperti "Kalender Agrikultur" (nónglì), "Kalender Yin" (karena berhubungan dengan aspek bulan), "Kalender Tua" (jìulì) setelah "Kalender Baru" (xīnlì) yaitu kalender masehi, diadopsi sebagai kalender resmi dan "Kalender Xià " yang pada hakekatnya tidak sama dengan kalender saat ini.

Sejarah
Huang Di
Kalender Tionghua mulai dikembangkan pada millenium ketiga sebelum masehi, konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Huáng Dì, yang memerintah antara tahun 2698 SM - 2599 SM. Dan dikembangkan lagi oleh penguasa legendaris keempat, Kaisar Yáo. Siklus 60 tahun (gānzhī atau liùshí jiǎzǐ) mulai digunakan pada millennium kedua sebelum masehi. Kalender yang lebih lengkap ditetapkan pada tahun 841sm pada zaman Dinasti Zhōu dengan menambahkan penerapan bulan ganda dan bulan pertama satu tahun dimulai dekat dengan titik balik matahari pada musim dingin.

Dinasti Qin
Kalender Sìfēn (empat triwulan), yang mulai diterapkan sekitar tahun 484sm, adalah kalender Tionghua pertama yang memakai perhitungan lebih akurat, menggunakan penanggalan matahari 365¼ hari, dengan siklus 19 tahun (235 bulan), yang dalam ilmu pengetahuan Barat dikenal sebagai Peredaran Metonic. Titik balik matahari musim dingin adalah bulan pertamanya dan bulan gandanya disisipi mengikuti bulan ke 12. Pada tahun 256sm, kalender ini mulai digunakan oleh negara Qín, kemudian diterapkan di seluruh negeri Tiongkok setelah Qín mengambil alih keseluruhan negeri Tiongkok dan menjadi Dinasti Qín. Kelender ini tetap digunakan sepanjang separuh pertama Dinasti Hàn Barat.

Dinasti Han
Kaisar Wǔ dari Dinasti Han Barat memperkenalkan reformasi kalender baru. Kalender Tàichū (Permulaan Agung) pada tahun 104sm mempunyai tahun dengan titik balik matahari musim dingin pada bulan ke 12 dan menentukan jumlah hari untuk penanggalan bulan (satu bulan 29 atau 30 hari) dan bukan sesuai dengan prinsip terminologi matahari (yang secara keseluruhan sama dengan tanda zodiak). Sebab gerakan matahari digunakan untuk mengkalkulasi Jiéqì (ciri-ciri musim).

Dinasti Tang
Sedangkan pada zaman Dinasti Jin dan Dinasti Tang juga sempat dikembangkan Kalender Dàyǎn dan Huángjí, walaupun tidak sempat dipergunakan. Dengan pengenalan ilmu astronomi Barat ke Tiongkok melalui misi penyebaran agama Kristen, gerakan bulan dan matahari mulai dihitung pada tahun 1645 dalam Kalender Shíxiàn Dinasti Qīng, yang dibuat oleh Misioner Adam Schall.

Cara perhitungan
Kalender Tionghua memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan kalender umum, seperti ; perhitungan bulan adalah rotasi bulan pada bumi. Berarti hari pertama setiap bulan dimulai pada tengah malam hari bulan muda astronomi. (Catatan, "hari" dalam Kalender Tionghua dimulai dari jam 11 malam dan bukan jam 12 tengah malam). Satu tahun ada 12 bulan, tetapi setiap 2 atau 3 tahun sekali terdapat bulan ganda (rùnyuè, 19 tahun 7 kali). Berselang satu kali jiéqì (musim) tahun matahari Tiongkok adalah setara dengan satu pemulaan matahari ke dalam tanda zodiak tropis. Matahari selalu melewati titik balik matahari musim dingin (masuk Capricorn) selama bulan 11.

Penerapan di masa kini
Penggunaan utama dalam kegiatan sehari-hari adalah menentukan fase bulan, yang penting bagi petani dan dimungkinkan karena setiap hari dalam kalender sesuai dengan fase tertentu dalam suatu bulan. Kalender tradisional Asia Timur lainnya mirip, atau sama, dengan kalender Tionghoa: kalender Korea sama, dalam kalender Vietnam digunakan kucing, bukan kelinci dalam shionya, dan kalender Jepang tradisional menggunakan metode penghitungan yang berbeda, sehingga ada ketidaksesuaian antara kedua kalender itu dalam tahun-tahun tertentu.

Dua belas shio
Kedua belas binatang (shíèr shēngxiào, atau shíèr shǔxiāng) yang melambangkan kedua belas Cabang Bumi adalah, sesuai urutannya:
• tikus
• kerbau
• macan
• kelinci
• naga
• ular
• kuda
• kambing
• kera
• ayam
• anjing
• babi


Bintang Dahan
Duniawi Yin/Yang Trine Unsur tetap Sifat positif Sifat negative
Tikus
子 zǐ Yang 1 Air terus terang, berdisiplin, sistematik, cermat, berkarisma, rajin, menawan, petah, suka bergaul, pintar bermanipulasi, kejam, suka memerintah, tegar, mementingkan diri, degil, kritis, bercita-cita terlalu tinggi, tidak berhati perut, tidak bertoleransi, licik
Lembu
丑 chǒu Yin 2 Air boleh diharapkan, tenteram, berperaturan, sabar, rajin, bercita-cita, konvensional, tenang, sopan, lojik, tegas, kuat degil, berfikiran sempit, materialistik, tegar, suka mendesak
Harimau
寅 yín Yang 3 Kayu sukar diduga, suka melawan, berwarna-warni, sangat berkuasa, berkobar-kobar, berani, mengikut gerak hati, penuh bersemangat, merangsang, ikhlas, pengasih, berperikemanusiaan, murah hati mudah gelisah, semberono, tidak sabar, cepat berang, degil, mementingkan diri
Arnab
卯 mǎo Yin 4 Kayu baik budi, baik hati, peka, lemah lembut, ramah, berbudi bahasa, berat mulut, berwaspada, berjiwa seni, teliti, manis, yakin pada diri sendiri, panjang akal, belas kasihan, fleksibel ada angin, menyendiri, cetek pemikiran, suka mengurut nafsu, oportunis, pemalas
Naga
辰 chén Yang 1 Kayu baik hati, penuh bersemangat, kuat, yakin pada diri sendiri, megah, terus terang, penuh hasrat, bersemangat, berapi-api, berkobar-kobar, tegas, perintis, bercita-cita, murah hati, setia sombong, zalim, suka mendesak, eksentrik, dogmatik, suka menguasai orang lain, terburu-buru, kasar
Ular
巳 sì Yin 2 Api berfikir panjang, bijaksana, mistik, lemah lembut, lemah lembut, sensual, kreatif, cermat, pintar, bercita-cita, berbudi bahasa, berwaspada, bertanggungjawab, tenteram, kuat, setia, tekad penyendiri, komunikasi teruk, cemburu, hedonis, ragu diri, sentiasa menaruh kesangsian terhadap orang lain, pendusta
Kuda
午 wǔ Yang 3 Api periang, popular, tajam akal, bertukar-tukar, biasa dan berterus terang, perseptif, suka bercakap, lincah, cerdas, kuat daya penariknya, cerdik, panjang akal, fleksibel, berfikiran terbuka tidak tetap hati, cemas, biadab, mudah terpedaya, degil, kurang stabil, kurang tabah
Kambing
未 wèi Yin 4 Api salih, ikhlas, bersimpati, lemah lembut, pemalu, berjiwa seni, kreatif, lembut, belas kasihan, bertimbang rasa, keibuan, tekad, mencintai kedamaian, murah hati, mencari perlindungan ada angin, tidak tegas, terlalu pasif, perisau, pesimis, mudah tersinggung, suka merungut
Kera
申 shēn Yang 1 Logam pencipta, pendorong, suka mengimprovisasi, tajam akal, suka ingin tahu, fleksibel, inovatif, penyelesai masalah, yakin pada diri sendiri, suka bergaul, sopan, menimbulkan rasa hormat, suka bersaing, objektif, faktual, intelektual egoistik, angkuh, mementingkan diri, licik, iri hati, mudah sangsi
Ayam
酉 yǒu Yin 2 Logam tajam, kemas, cermat, terurus, yakin pada diri sendiri, tegas, konservatif, kritis, mementingkan kesempurnaan, berjaga-jaga, bersemangat, praktis, saintifik, bertanggungjawab terlalu fanatik dan kritis, bagaikan pendakwah, egoistik, kasar, terlalu yakin akan pendapatnya
Anjing
戌 xū Yang 3 Logam jujur, cerdik, terus-terang, setia, penegak keadilan, menarik, ramah, tidak menunjuk-nunjuk, suka bergaul, berfikiran terbuka, idealistik, moralistik, praktis, pengasih, gigih sinis, pemalas, dingin, judgmental, pesimis, perisau, degil, suka bergaduh
Babi
亥 hài Yin 4 Air jujur, sederhana, gagah berani, tegap, suka bergaul, mencintai kedamaian, sabar, setia, rajin, mudah percaya, ikhlas, tenteram, bertimbang rasa, prihatin, berkobar-kobar, cerdik naif, terlalu bergantung kepada orang lain, suka mengurut nafsu, mudah terpedaya, fatalistik, materialistic
Dalam astrologi Cina, bintang hewan yang ditentukan oleh tahun melambangkan bagaimana anda dipandang orang lain atau cara anda menonjolkan diri.Banyak yang salah sangka bahawa bintang hewan hanya ditentukan melalui tahun, sebaliknya ada juga lambang hewan yang ditentukan melalui bulan (hewan dalaman) dan jam seharian (hewan rahasia).
Pendek kata, sungguhpun seseorang berbintang Naga semata-mata kerana lahir pada tahun naga, namun dia juga boleh berbintang Ular secara dalaman dan juga berbintang Lembu secara rahsia. Maka itu, terdapat sejumlah 8,640 kombinasi yang boleh (lima unsur x 12 hewan dalam kitaran 60 tahun (12 x 5 = 60), 12 bulan, 12 waktu sehari) menentukan seseorang. Semua ini dipandang berat demi pengamalan astrologi Cina yang sebetulnya.

Hari-hari libur
Berikut adalah hari-hari perayaan Tionghoa. Tanggal-tanggal berdasarkan penanggalan Tionghoa.
Tanggal Nama Bahasa Indonesia Nama Mandarin Keterangan
bulan 1
hari 1 Tahun Baru Imlek
atau Festival Musim Semi 春節
chūnjié Pertemuan keluarga dan perayaan besar selama tiga hari; secara tradisional selama 15 hari
bulan 1
hari 15 Festival Lampion,
sebuah hari kasih sayang 元宵節
yuánxiāojié Memakan Yuanxiao
dan pemasangan lampion
4 atau
5 Apr Festival Membersihkan Makam,
atau Ching Ming/Cheng Beng 清明節
qīngmíngjié Pertemuan keluarga,ziarah ke makam keluarga/leluhur
bulan 5
hari 5 Festival Perahu Naga
端午節
duānwǔjié Lomba perahu naga
dan memakan zhongzi
bulan 7
hari 7 Festival Meminta Ketrampilan,
sebuah hari kasih sayang 乞巧節
qǐqiǎojié Para gadis mempelajari ketrampilan rumah tangga dan 'meminta' perkawinan yang baik
bulan 7
hari 15 Festival Hantu atau Festival Para Roh 中元節
zhōngyuánjié
bulan 8
hari 15 Festival Pertengahan Musim Gugur
中秋節
zhōngqiūjié Pertemuan keluarga
dan memakan kue bulan
bulan 9
hari 9 Festival Yang Ganda
重陽節
chóngyángjié Mendaki gunung
dan pertunjukan bunga
21 atau
22 Des Festival Titik Balik Matahari Musim Dingin
冬節
dōngjié Pertemuan keluarga

Lima unsur
Yin atau Yang dipecah menjadi Lima Unsur (Kayu, Api, Tanah, Logam, dan Air) di samping kitaran haiwan. Ini merupakan pengubah yang mempengaruhi sifat-sifat setiap 12 bintang haiwan. Maka itu, setiap bintang haiwan ini bernaung di bawah satu unsur serta satu arah Yin-Yang.
Walaupun diterjemah sebagai 'unusr', namun perkataan xing dalam bahasa Cina membawa erti lebih kurang 'perubahan keadaan dalam kewujudan', 'permutasi' atau 'metamorfosis kewujudan'. [1] Sebenarnya ahli Sinologi masih tercari-cari terjemahan tunggal yang sesuai. Maka, konsepsi Cina bagi 'unsur' agak berbeza berbanding di Barat. Unsur-unsur Barat dilihat sebagai asas kepada jirim. 'Unsur-unsur' Cina pula dilihat sebagai daya atau tenaga yang sentiasa berubah atau bergerak.
Imbangan yin dan yang dan lima unsur dalam pembentukan seseorang banyak mempengaruhi apa yang berfaedah dan berkesan untuknya dari segi feng shui, iaitu bentuk Cina bagi ramalan. Ini adalah kerana setiap unsur dihubungkan dengan arah dan musim tertentu, serta jenis qì atau daya hidup yang berbeza.
Unsur 木
Kayu 火
Api 土
Tanah 金
Logam 水
Air
Arah Timur Selatan Tengah Barat Utara
Musim Bunga Panas Peralihan musim Luruh Sejuk
Makhluk mitos[1]
Naga Biru Langit (青龍) Burung Merah Merona (朱雀) Naga Kuning (黃龍) Hairmau Putih (白虎) Kura-kura Hitam (玄武)
Planet Musytari
Marikh
Zuhal
Zuhrah
Utarid

Warna Hijau Merah Kuning Putih Hitam
Organ manusia Hati dan pundi hempedu
Sistem peredaran dan jantung
Sistem penghadaman, limpa dan perut
Sistem pernafasan dan paru-paru
Rangka, sistem perkumuhan dan paru-paru

Sifat Murah hati, mesra, mayakinkan, bekerjasama, mahu berkembang, idealistik, beretika, ghairah, suka meneroka Dinamik, kemanusiaan, bertenaga, berkobar-kobar, berdaya usaha, suka mengembara, tidak mudah puas hati, berdaya saing, berkemahiran dalam memimpin, kuat, sepenuh jiwa raga, suka jenaka Sabar, ketenteraan, cermat, stabil, boleh dipercayai, rajin, bercita-cita, degil, penuh tenaga, berdisiplin, kuat, lojik, sedia berkhidmat untuk orang lain Tekun, berdikari, keras hati, kuat, kuat, tegas dan bersemangat, berat mulut, memerlukan ruang bersendiri, sofistikated, suka mncari keseronokan, prihatin, menghormati orang lain Berahsia, menawan, intuitif, belas kasihan, peka, kreatif, fleksibel, patuh, petah, intelek
Bintang zodiak naungan Harimau, Arnab, Naga Ular, Kuda, Kambing Lembu, Naga, Kambing, Anjing[2]
Kera, Ayam, Anjing Khinzir, Tikus, Lembu

Kitaran unsur
Doktrin lima fasa ini menghuraikan dua Kitaran Imbangan, iaitu satu kitaran penghasilan (shēng) dan satu kitaran pemusnahan (kè).
Penghasilan
• Kayu membuka Api
• Api menghasilkan Tanah (abu)
• Tanah menyimpan Logam
• Logam mengumpul Air
• Air menyuburkan Kayu Pemusnahan
• Kayu membelah Tanah
• Tanah menyerap Air
• Air memadam Api
• Api meleburkan Logam
• Logam memotong Kayu

4. PAKAIAN ADAT
Dalam tradisi bangsa Tionghoa, banyak hal yang dapat ditemukan asal usulnya, baik berupa cerita atau catatan sejarah. Kadang kala kita juga dapat mengetahuinya dari cerita-cerita rakyat dan legenda.

a. Baju Doudu
Pada kesempatan ini, marilah kita mengetahui sebuah latar belakang mengenai anak-anak bangsa Tionghoa yang memakai Baju Doudu yang telah mengukir kebiasaan pada anak-anak bangsa Tionghoa sampai saat ini.
Baju Doudu merupakan baju yang sederhana. Kesan yang ada saat pertama melihat adalah kesederhanaan, namun baju itu membutuhkan waktu untuk membuatnya. Pertama-tama anda harus memasang tali, lalu menggambar dan setelah itu menyulam dengan benang sutera yang berwarna-warni. Pernah juga keindahan baju itu menjadi ukuran keahlian seorang ibu dalam menyulam.
Saat ini, Doudu masih merupakan hal yang istimewa pada beberapa daerah, yang dapat menunjukkan kelincahan seorang anak dan kegembiraan menikmati udara sejuk pada musim panas, disamping itu juga merupakan tanda kesopanan dihadapan orang-orang. Tentunya ada satu hal utama yang membuat Doudu menjadi istimewa, semangat turun temurun. Salah satu cerita yang mendasari kejadian tersebut diulas pada tulisan ini.
Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu hiduplah seorang janda yang memiliki satu orang anak laki-laki di sebuah desa terpencil. Pada suatu musim dingin, sang ibu terkena penyakit aneh. Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit itu adalah sejenis ikan merah di sungai. Anak laki-lakinya yang baru berusia 4 tahun terlalu kecil untuk melaksanakan tugas itu. Namun anak itu ingin memperoleh ikan merah tersebut demi menyelamatkan sang ibu tercinta. Sungai yang ada tertutup oleh es yang tebal dan bahkan sangat susah bagi orang dewasa untuk menghadapinya. Anak itu menemukan sebuah cara unik yang diyakini dapat untuk menangkap ikan merah tersebut.
Pada alam yang bersalju, anak laki-laki kecil itu telanjang dan duduk pada es di permukaan sungai. Ketika orang-orang ingin mengetahui kenapa anak itu berbuat demikian. Demi mendapatkan ikan dalam es, anak laki-laki itu berusaha mencairkan es menjadi sebuah lubang menggunakan panas tubuhnya. Waktu seakan tidak berakhir, namun anak laki-laki itu terus berusaha.
Pada saat anak laki-laki itu sudah tidak dapat melawan dinginnya alam, datanglah seorang tua dengan janggut yang panjang. Orang tua itu memberikan anak tersebut sebuah baju indah, yang akhirnya dikenal dengan nama Baju Doudu, dan meminta anak itu mengenakannya, lalu orang tua itu pergi.
Itu adalah pemberian ajaib. Meskipun hanya merupakan sebuah baju kecil, baju tersebut dapat membuat anak laki-laki tersebut tidak kedinginan, kehangatan menyelimuti anak laki-laki itu, bahkan es yang ada lama kelamaan meleleh dan membentuk sebuah lubang.
Anak laki-laki itu menangkap ikan merah dan memberikan kepada sang ibu, dan kemudian ibunya dapat sembuh.
Cerita keberanian anak laki-laki itu tersebar luas. Dan dikagumi oleh seluruh orang tua.
Sejak saat itu, para orang tua mengenakan baju Doudu pada anak-anak mereka. Mereka berharap agar sang anak dapat menjadi anak yang berbakti dan berani menghadapi masalah kehidupan.
Berjalannya waktu membuat beberapa perubahan terjadi pada baju Doudu tersebut, termasuk model yang ada. Saat ini baju tersebut hampir bisa dikatakan dibuat seluruhnya oleh mesin produksi.

b. Sepatu Harimau
Sepatu harimau biasa dipakai pada bayi di beberapa suku bangsa Tionghoa. Seluruh bagian dari sepatu terbuat dari kain dan ujungnya berbentuk kepala harimau. Ada cerita di balik kebiasaan itu.
Cerita dari mulut ke mulut mengatakan. Pada jaman dahulu, di kota Yangzhou hidup seorang nelayan bernama Big Yang. Big Yang merupakan orang yang baik hati dan siap menolong siapa saja. Karena kebaikan hatinya, Big Yang mendapatkan sebuah hadiah berupa lukisan dari seorang perempuan yang pernah ditolongnya. Pada lukisan tersebut, seorang wanita cantik sedang menyulam sepasang sepatu berkepala harimau. Big Yang sangat menyukai lukisan tersebut. Setibanya di rumah, Big Yang memasang lukisan itu di tembok.
Suatu sore, wanita dalam lukisan itu keluar dari lukisan dan menemui Big Yang. Sejak itu mereka bertemu setiap malam. Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya mereka mempunyai anak yang banyak menambah kebahagiaan.
Sayangnya, lukisan yang ada di rebut oleh seorang pejabat serakah yang mendengar cerita mengenai kecantikan wanita dalam lukisan tersebut. Big Yang sangat marah namun tidak dapat berbuat apa-apa. Sang pejabat serakah memasang lukisan tersebut di rumahnya dan menanti kedatangan sang wanita setiap malam. Namun penantian sang pejabat tidak membawa hasil.
Sementara itu, sang anak terus menangis karena ditinggal sang Ibu. Big Yang berusaha membuat sebuah cerita bohong bahwa sang Ibu pergi ke barat. Namun sang anak terus memaksa untuk bertemu sang Ibu.
Akhirnya sang anak melakukan pengembaraan untuk mencari sang Ibu. Dia berjalan ke arah barat siang dan malam, dan akhirnya dia menemukan sang Ibu pada sebuah kolam bersama-sama dengan peri-peri lain.
“Anakku, kamu telah mencariku sampai sejauh ini”, kata sang Ibu sambil menyeka air mata sang anak.
“Ibu, ayo kita pulang. Tahukah bahwa aku sangat merindukanmu”, kata sang anak.
“Kita tidak akan bisa pulang bersama sampai kamu bisa melihat langsung lukisan Ibu di rumah pejabat serakah itu dan kamu harus memakai sepatu harimau yang Ibu buat untukmu.”
“Anakku. Tutuplah matamu dan aku akan mengirim kamu pulang terlebih dahulu.”
Pada saat membuka mata, sang anak terkejut menyadari bahwa dirinya sudah berada di rumah. Lalu sang anak mendatangi rumah pejabat yang dimaksud dan mengatakan bahwa dia bisa memanggil wanita dalam lukisan tersebut. Mendengar kabar tersebut, sang pejabat sangat senang karena dia bisa memuaskan apa yang telah diidamkan selama ini.
Lalu tanpa membuang-buang waktu, anak tersebut dihantar masuk menuju ruangan tempat dia menggantung lukisan tersebut. Setelah sang anak melihat lukisan sang Ibu, dia berkata kepada lukisan tersebut, “Ibu, ayo kita pergi.”
Saat itu juga sang Ibu keluar dari lukisan. Ibu dan anak langsung ingin pulang ke rumah, namun sang pejabat menghalangi mereka. Sang pejabat ingin agar wanita cantik dihadapan dirinya menjadi selirnya, namun ditolak. Sang pejabat sangat marah dan menyerang Ibu dan anak tersebut. Sang anak melawan dengan gagah berani. Ketika mereka sedang bertempur, sepatu yang dikenakan sang anak terlepas secara tidak sengaja dan seketika itu juga berubah menjadi harimau yang besar.
Harimau itu lalu meloncat ke arah pejabat yang tidak tahu diri. Panggilan permintaan tolong dan raungan harimau yang marah bercampur jadi satu, yang dapat didengar oleh semua orang di kota Yangzhou.
Adalah sepatu harimau yang berhasil menyelamatkan Ibu dan anak tersebut, sehingga satu keluarga dapat bersatu kembali. Sejak saat itu, banyak orang membuat sepatu harimau untuk bayi mereka dengan harapan keluarga dan bayi mereka dilindungi

c. Cheongsam
Cheongsam adalah pakaian wanita dengan corak bangsa Tionghoa dan menikmati kesuksesan dalam dunia busana internasional.
Nama “Cheongsam” berarti “pakaian panjang”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari dialek Propinsi Guangdong (Canton) di Tiongkok. Pada daerah lain, termasuk Beijing, dikenal dengan nama “Qipao”, yang terdapat asal usul dibelakangnya.
Pada awal bangsa Manchu (Dinasti Qing) menguasai Tiongkok, mereka mengorganisasi rakyat, terutama bangsa Manchu, ke dalam “panji” (qi) dan disebut “rakyat panji” (qiren), yang lalu menjadi sebutan bagi seluruh bangsa Manchu. Wanita bangsa Manchu mengenakan pakaian yang lalu dinamakan “qipao” atau “pakaian panji”. Revolusi tahun A.D. 1911 menggulingkan kekuasaan bangsa Manchu, namun kebiasaan pakaian wanita bangsa Manchu tetap bertahan, kemudian dikembangkan dan menjadi pakaian tradisional wanita bangsa Cina.
Mudah dikenakan dan nyaman, bentuk pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh wanita bangsa Tionghoa. Leher tinggi, lengkung leher baju tertutup, dan lengan baju bisa pendek, sedang atau panjang, tergantung musim dan selera. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar, selayak di pinggang, dan dibelah dari sisi, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita yang mengenakannya.
Cheongsam tidak terlalu sudah dibuat. Tidak pula memiliki banyak perlengkapan, seperti sabuk, atau selendang.
Kecantikan lain dari Cheongsam adalah dapat dibuat dari berbagai macam bahan dan memiliki keragaman panjang, dapat digunakan secara santai atau resmi. Juga menampilkan kesederhanaan dan keanggunan, kemewahan dan kerapian. Tidak mengherankan banyak disukai oleh wanita, tidak hanya di Tiongkok namun juga di negara-negara lain di dunia.

5. AKSARA TIONGHOA

Aksara Tionghoa adalah bentuk-bentuk tertulis bahasa Tionghoa, dan dalam jumlah yang lebih kecil; bahasa Jepang dan bahasa Korea (hanya di Korea Selatan). Aksara Tionghoa telah menghilang dari bahasa Vietnam — di mana mereka digunakan hingga abad ke-20 — dan Korea Utara, di mana mereka telah digantikan sepenuhnya oleh Hangul.
Aksara Tionghoa disebut hànzì dalam bahasa Mandarin, kanji dalam bahasa Jepang, hanja atau hanmun dalam bahasa Korea, dan hán tư (juga digunakan dalam tulisan chu nom) dalam bahasa Vietnam.
Asal mula aksara mandarin (han zhi) Pada tahun 1899 di An Yang propinsi HeNan ditemukan situs purbakala yang penting, yaitu kota YinXv(dinasti Shang) dan tulisan JiaGuWen. Sejak itu pengetahuan mengenai YinShang memasuki babak baru.
Berdasarkan itu , para ahli tulisan kuno beranggapan bahwa tulisan Jia GuWen adalah tulisan purba yang termasuk lengkap dan baik. Hingga hari ini telah diketahui lebih dari 3000 aksara jia guwen, termasuk kata benda , kata kerja , kata ganti , kata kerja pembantu. Ini membuktikan telah adanya susunan tata bahasa. Bahkan bisa dibuat suatu bentuk narasi lebih dari 170 huruf. Dari fakta-fakta ini , para ahli berpendapat bahwa jia guwen bukanlah asal mula aksara mandarin, sebelumnya pasti telah melewati suatu proses yang panjang.
Darimana asal mula aksara mandarin , ini telah menimbulkan suatu perdebatan. Sejarawan senior dan ahli bahasa kuno yaitu Guo MoRuo dan Yv ShengWu beranggapan bahwa kelahiran aksara mandarin berasal dari kebudayaan kuno Tiongkok yaitu BanBo YangShao (cat: yang sering disebut YangShao WenHua) yang telah berumur lebih dari 6 ribu tahun. Guo MoRuo beranggapan bahwa 20 hingga 30 ideograph atau simbol yang terdapat di gerabah merupakan cikal bakal aksara mandarin. Demikian pula pendapat Yv ShengWu. Tapi belakangan ini penelitian beberapa ahli beranggapan bahwa tulisan aksara pada YangShao dan kebudayaan Da WenKhou (cat:propinsi ShanDong , Da WenKhou WenHua) tidak memiliki hubungan langsung dengan aksara mandarin, proses perubahan dan pembentukan aksara mandarin berkisar 3000 BC.
Pendapat ini menurut Zhang Rong adalah tidak relevan. Perlu diketahui bahwa 7500 tahun yang lampau telah ada sistem pertanian dan peternakan , terutama di sepanjang sungai Chang Jiang. Bahkan pada masa itu jawawut telah digunakan sebagai pakan ternak. Dan banyak ahli telah memiliki suatu pandangan bahwa kisah kaisar purba yaitu Shen Nong dan FuXi merupakan suatu era atau masa. Misalnya sistem penghitungan dan administrasi Fu Xi merupakan sistem yang digunakan para peternak dan petani untuk menghitung dan administrasi.
Berdasarkan beberapa penemuan terakhir , awal sejarah aksara mandarin telah berumur 8500 tahun yang lampau. Walau terdapat beberapa perbedaaan kecil antara aksara kebudayaan Yang Shao dan HongShan (CMIIW), tapi ini tidak menjadi suatu rintangan dalam pembentukan Han Zhi.
Disini kita bisa mengetahui bahwa ternyata sejarah Han Zhi itu memiliki umur yang panjang

Asal mula aksara mandarin (han zhi)
Pada tahun 1899 di An Yang propinsi HeNan ditemukan situs purbakala yang penting, yaitu kota YinXv (dinasti Shang) dan tulisan JiaGuWen ? ? ?. Sejak itu pengetahuan mengenai YinShang memasuki babak baru.
Berdasarkan itu , para ahli tulisan kuno beranggapan bahwa tulisan Jia GuWen adalah tulisan purba yang termasuk lengkap dan baik.
Hingga hari ini telah diketahui lebih dari 3000 aksara jia guwen, termasuk kata benda, kata kerja, kata ganti, kata kerja pembantu. Ini membuktikan telah adanya susunan tata bahasa. Bahkan bisa dibuat suatu bentuk narasi lebih dari 170 huruf.
Dari fakta-fakta ini, para ahli berpendapat bahwa jia guwen bukanlah asal mula aksara mandarin, sebelumnya pasti telah melewati
suatu proses yang panjang.
Darimana asal mula aksara mandarin , ini telah menimbulkan suatu perdebatan. Sejarawan senior dan ahli bahasa kuno yaitu Guo MoRuo dan Yv ShengWu (cat:salah satu telah meninggal) beranggapan bahwa kelahiran aksara mandarin berasal dari kebudayaan kuno Tiongkok yaitu BanBo YangShao (cat:yang sering disebut YangShao WenHua) yang telah berumur lebih dari 6 ribu tahun. Guo MoRuo beranggapan bahwa 20 hingga 30 ideograph atau simbol yang terdapat di gerabah merupakan cikal bakal aksara mandarin. Demikian pula pendapat Yv ShengWu.
Tapi belakangan ini penelitian beberapa ahli beranggapan bahwa tulisan aksara pada YangShao dan kebudayaan Da WenKhou (cat:propinsi ShanDong, Da WenKhou WenHua) tidak memiliki hubungan langsung dengan aksara mandarin, proses perubahan dan pembentukan aksara mandarin berkisar 3000 BC.

Teka-Teki Aksara Mandarin (1)
Penjelasan dan latar belakang bahasa-gambar berusia ribuan tahun Tiongkok
Tulisan Mandarin paling kuno terukir pada tulang - ramalan
Aksara Mandarin sesuai legendanya diciptakan oleh Cang Jie pada 4000 tahun silam. Di kalangan rakyat Tiongkok terwariskan turun temurun kisah sbb.: „Cang Jie mencipta tulisan, karena itu turun hujan biji jawawut dari langit, dan roh-roh jahat menangis pada tengah malam.“
Penulis dan pelukis Zhang Yanyuan menjelaskan pada zaman dinasti Tang (618 - 907) cerita turun temurun itu seperi berikut ini: Langit tidak dapat lagi menyembunyikan rahasiaNya kepada manusia. Melalui belajar tentang tulisan tersebut manusia akan mengenali tanda-tanda rahasia langit. Konon itu adalah sikon kebahagiaan yang sama dan seolah-olah langit telah menjatuhkan biji-bijian jawawut.
Roh-roh jahat kini tak dapat lagi bersembunyi, oleh karena umat manusia melalui aksara tersebut, dapat mengenali dasar-dan prinsip-prinsip dunia. Oleh karena itu tidak memungkinkan lagi bagi para roh jahat, menipu dan mendustai umat manusia. Tinggallah bagi roh jahat sebagai pelampiasan, menangis diam-diam pada tengah malam.
Aksara Mandarin ialah inti pusaka dari kebudayaan Tionghoa. Orang Tionghoa berpedoman pada „Kemanunggalan antara Tuhan dan manusia“ yang terefleksikan juga oleh aksara Mandarin. Aksara Mandarin berisikan ajaran Yi Jing (baca: Yi Cing), 5 unsur (api, air, kayu, logam, tanah) dan Yin-Yang dari kaum Taois, mereka memuat informasi lengkap dari langit, bumi, manusia, kejadian dan materi, yang keterkaitannya melalui perangkaian goresan-goresan disajikan dalam bentuk grafis.
Maka dari itu tercipta peramalan/orakel di Tiongkok kuno yang berbasiskan aksara. Xu Shen (baca: Su Shen), seorang peneliti aksara Mandarin pada zaman dinasti Han Timur (25-220) telah menganalisa struktur aksara Mandarin berdasarkan basis dari ajaran Yi Jing dan 5 unsur dan mengarang buku terpenting tentang aksara Mandarin berjudul „Penjelasan Tulisan dan Analisa Pictogram [Shuo Wen Jie Zi].“
Di dalam bukunya, Xu Shen membagi aksara Mandarin dalam 6 kategori: Xiàngxíng (baca: Siang Sing), „Pictogram“, yang diilustrasikan sesuai wujud tampilannya (misalkan: Shan = gunung); Zhǐshì, „Pemaknaan (suatu) keadaan“ – simbol, ideogram; Huìyì, „Kesatuan arti“ – aksara, yang terdiri dari dua atau beberapa tanda dipersatukan dengan berbagai arti dan isinya berkaitan dengan isi baru secara keseluruhan; Xíngsheng, “Bentuk dan bunyi” – goresan yang dipersatukan dan terdiri dari tanda bunyi dan tanda indikasi-arti (Phonogramme). Salah satu contohnya ialah aksara Ma (mama). Komponen sebelah kanan (mǎ = kuda) memberikan lafal, sementara itu komponen sebelah kiri (nǚ = perempuan) menunjukkan artinya. Komponen-komponen yang bermuatan arti sering kali juga merupakan radikal yang disusun seseuai tandanya di dalam kamus; Jiǎjiè, „dibawah sebutan palsu“ – aksara, yang dengan lafal sama tapi dipergunakan untuk pengertian yang beda; Zhuǎnzhù, „Memutar dan menuangkan“ – sinonimSekitar 90% dari keseluruhan aksara Mandarin ter-kategori sebagai phonogram di grup Xingsheng „Bentuk dan Bunyi“.

Laki-Laki Dan Perempuan
Tanda ini 男berarti laki-laki. Aksara ini lagi-lagi terdiri dari gabungan 2 aksara. Goresan di bagian paruh atas – berarti Sawah, sedangkan bagian paruh bawah – berarti tenaga. Lelaki adalah sebagai tenaga, yang bekerja di sawah, bisa dimaklumi, begitulah penjelasan dari kamus asal usul bahasa Tionghoa „Penjelasan aksara dan analisa tulisan [Shuo Wen Jie Zi]“ tentang arti aksara lelaki. Tiongkok kuno disebutkan: “Lelaki mengatur urusan di luar” – maka dari itu pekerjaan di sawah, pemimpin militer, pegawai dan melakukan perdagangan termasuk urusan kaum lelaki. Seorang lelaki pertama-tama ialah putra dari orang tuanya; kemudian, jikalau ia menikah, ia lelakinya si istri, dan apabila keduanya beranak-pinak, sebagai bapak dari anak-anaknya.
Semua tulisan, yang terdiri dari, pasti segala sesuatunya berhubungan dengan wanita, seperti (Qi/isteri), (Fu/ibu rumah tangga) dan (Mu/ibu). Dalam pada itu tulisan (Qi/isteri), bagian atasnya terdiri dari Sapu, dan bagian bawah dari (wanita), digabungkan, menjadi istri, yang memegang sapu di tangan. Dibandingkan dengan para lelaki, para wanita pada zaman Tiongkok kuno mengatur urusan dalam rumah tangga, seperti memasak, membersihkan dan menjahit.

Yi = Keadilan, Kejujuran, Kesetiaan
Yi , mempunyai arti luas, seperti keadilan, kejujuran, setia, pemenuhan janjinya sendiri. Aksara itu terdiri dari bagian paruh atas 羊 (kambing) dan aksara bagian bawah ialah (saya). Kambing bersifat penurut dan baik hati, daging kambing terasa enak dan bergizi. Maka dari itu kambing di zaman dulu ialah simbol dari rezeki dan kebaikan. Manusia menggunakan daging kambing sebagai hewan kurban, untuk ber-terimakasih kepada bumi, langit dan dewata. (saya) asalnya dari tulisan ramalan pada tulang dan disitu berarti alat bertempur dengan gigi gergaji. saya adalah kambing, berarti, bahwa diri sendiri dapat berkorban demi keadilan, persis seperti ketika orang mengkurbankan daging kambing kepada Tuhannya. Dengan aksara seharusnya orang menyadari, kesiapan seseorang untuk memiliki dan bagaimana orang seharusnya menjalani kehidupannya. Oleh karena itu termasuk bagian kategori „Zhiyi" – „Persatuan arti“ – aksara, yang terdiri dari dua atau beberapa aksara dengan gabungan dari arti-kata yang berbeda-beda dan pengertiannya berkaitan dengan pengertian menyeluruh sebagai akumulasi darinya.

Teka-Teki Aksara Mandarin (2)
(Yao) – Jamu, Pengobatan, Ketabiban, Obat
Aksara Yao 藥dalam bahasa Tionghoa memiliki makna-makna: jamu, pengobatan, ketabiban, obat. Di dalam mitologi Tiongkok disebutkan bahwa Shen Nong, petani setengah dewata, melalui eksperimen kepada diri sendiri, telah menemukan khasiat ratusan tanaman herbal. Dari situ diwariskan, bahwa tanaman (Cao/baca: Jao) dapat menyembuhkan. Akan tetapi disamping ideogram (Tulisan atau simbol yang bermakna sama, biasanya dengan bentuk lebih ringkas) pada paro atasnya untuk tanaman yakni: paro bawah dari aksara tersebut, yakni: (le atau Yue) disamping bermakna: Kegembiraan dan suka-cita, juga berarti: Musik. Di dalam metode pengobatan Tionghoa, selain penggunaan ekstrak/sari tanaman herbal juga penggunaan musik berperan cukup penting.
Sesuai mitologi Tiongkok pada suatu ketika kaisar Kuning - Huang Di (baca: Huang Ti) ditantang oleh penentangnya: Chi You. Mengikuti petunjuk dari mimpi, kaisar Kuning mempergunakan genderang kulit sapi, untuk menundukkan lawan terbesarnya yang juga dipersenjatai dengan meriam besi dan perunggu. Bukan hanya serdadu Chi You yang bergelimpangan pingsan dan tewas secara massal, juga pasukan dari kaisar berada dalam kondisi sekarat. Pada akhirnya seorang pakar musik dari sang kaisar dengan menggunakan busur dari serdadu yang dikencang-tegangkan dengan sebatang kayu memainkan musik yang digandrungi oleh para serdadu Huang Di dan memberikan kepada mereka energi kehidupan baru.
Semenjak saat itu pengobatan Tiongkok juga dikaitkan/tertanam dengan pemahaman ini. Penggunaan musik sebagai penyembuh diwakili juga oleh aksara (Bai/baca: Pai) yang terletak di tengah-tengah aksara Yao. Bukannya Bai (baca: Pai) bermakna warna Putih sesuai lafal yang diucapkan, tetapi dalam hal ini bermakna: Plektron, suatu jenis alat musik yang untuk membunyikannya memerlukan pemetikan dawai-dawai.

6. BAHASA
1) Bahasa Tionghoa
Bahasa Tionghoa
Dituturkan di: Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan komunitas Tionghoa lainnya di seluruh dunia
Wilayah:
Jumlah penutur: 1,2 miliar
Urutan ke:
1 (jika dianggap satu bahasa)
Klasifikasi rumpun bahasa:
Sino-Tibet
Bahasa Tionghoa
Status resmi
Bahasa resmi di: Tiongkok, Taiwan, Singapura

Diatur oleh: di Tiongkok: berbagai badan(dalam bahasa Tionghoa)
di Taiwan: Mandarin Promotion Council

Kode bahasa
ISO 639-1
zh
ISO 639-2 chi (B) / zho (T)
SIL
--
Lihat pula: Bahasa - Daftar bahasa


Bentuk karakter cetak kuno dari zhongwen
Bahasa Tionghoa (pinyin: hànyǔ, huáyǔ, atau zhōngwén) adalah bagian dari kelompok bahasa Sino-Tibet. Meskipun kebanyakan orang Tionghoa menganggap berbagai varian bahasa Tionghoa lisan sebagai satu bahasa, variasi dalam bahasa-bahasa lisan tersebut sebanding dengan variasi-variasi yang ada dalam bahasa Roman; bahasa tertulisnya juga telah berubah bentuk seiring dengan perjalanan waktu, meski lebih lambat dibandingkan dengan bentuk lisannya, dan oleh sebab itu mampu melebihi variasi-variasi dalam bentuk lisannya.
Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa Tionghoa sebagai penutur asli - bahasa Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di dunia. Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin) adalah bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa resmi Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB.
Istilah dan konsep yang digunakan orang Tionghoa untuk berpikir tentang bahasa berbeda dengan yang digunakan orang-orang Barat; ini disebabkan oleh efek pemersatu aksara Tionghoa yang digunakan untuk menulis dan juga oleh perbedaan dalam perkembangan politik dan sosial Tiongkok dibandingkan dengan Eropa. Tiongkok berhasil menjaga persatuan budaya dan politik pada waktu yang bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Romawi, masa di mana Eropa terpecah menjadi negara-negara kecil yang perbedaannya ditentukan oleh bahasa.
Sebuah perbedaan utama antara konsep Tiongkok mengenai bahasa dan konsep Barat akan bahasa, ialah bahwa orang-orang Tionghoa sangat membedakan bahasa tertulis (wen) dan bahasa lisan (yu). Pembedaan ini diperluas sampai menjadi pembedaan antara kata tertulis (zi) dan kata yang diucapkan (hua). Sebuah konsep untuk sebuah bahasa baku yang berbeda dan mempersatukan bahasa lisan dengan bahasa tertulis ini dalam bahasa Tionghoa tidaklah terlalu menonjol. Ada beberapa varian bahasa Tionghoa lisan, di mana bahasa Mandarin adalah yang paling penting dan menonjol. Tetapi di sisi lain, hanya ada satu bahasa tertulis saja. (Lihat paragraf di bawah ini).
Bahasa Tionghoa lisan adalah semacam bahasa intonasi yang berhubungan dengan bahasa Tibet dan bahasa Myanmar, tetapi secara genetis tidak berhubungan dengan bahasa-bahasa tetangga seperti bahasa Korea, bahasa Vietnam, bahasa Thailand dan bahasa Jepang. Meskipun begitu, bahasa-bahasa tersebut mendapat pengaruh yang besar dari bahasa Tionghoa dalam proses sejarah, secara linguistik maupun ekstralinguistik. Bahasa Korea dan bahasa Jepang sama-sama mempunyai sistem penulisan yang menggunakan aksara Tionghoa, yang masing-masing dipanggil Hanja dan Kanji. Di Korea Utara, Hanja sudah tidak lagi digunakan dan Hangul ialah satu-satunya cara untuk menampilkan bahasanya sementara di Korea Selatan Hanja masih digunakan. Bahasa Vietnam juga mempunyai banyak kata-kata pinjam dari bahasa Tionghoa dan pada masa dahulu menggunakan aksara Tionghoa.

• Bahasa Tionghoa tertulis
Bahasa Tionghoa tertulis menggunakan aksara-aksara Han (漢字/汉字 pinyin hànzì), yang dinamakan dari kebudayaan Han yang merupakan sumber dari bahasa ini. Huruf Tionghoa sepertinya berasal dari dinasti Shang sebagai piktogram yang menggambarkan benda nyata. Contoh-contoh pertama dari huruf Tionghoa adalah tulisan/gambaran pada tulang ramalan (oracle bones), yang kadang-kadang berupa domba scapula tetapi seringkali berupa kura-kura plastron yang digunakan untuk meramal. Dalam periode zaman dinasti Zhou dan Han, huruf-huruf ini berubah menjadi lebih bergaya. Selain itu, terdapat juga komponen-komponen tambahan yang ditambahkan sehingga banyak karakter huruf memiliki satu elemen yang memberikan tanda (atau dulunya memberikan tanda) untuk pengejaan, dan sebuah komponen lain (yang disebut "radikal") memberikan tanda untuk kategori artian umum yang menunjukkan arti dari kata tersebut. Di dalam bahasa Tionghoa modern, mayoritas huruf-huruf berbasis fonetik (bunyi) dan bukan berbasis logografik (gambaran). Sebagai sebuah contoh, karakter huruf 按 àn yang berarti "mendorong ke bawah", mengandung 安 an (damai), yang berfungsi sebagai komponen fonetik dari kata tersebut, dan 手 shǒu (tangan), yang menandakan bahwa itu merupakan suatu pekerjaan yang pada umumnya menggunakan tangan.
Terdapat banyak gaya kaligrafi Tiongkok yang berkembang selama berabad-abad, misalnya zhuanshu , caoshu, lishu dan kaishu.
Di Jepang dan Korea, aksara Han diadopsi dan diintegrasikan ke dalam bahasa mereka dan menjadi Kanji dan Hanja. Jepang masih menggunakan Kanji sebagai bagian yang penting dalam sistem penulisan mereka namun penggunaan Hanja telah berkurang banyak di Korea (di Korea Utara sudah tidak digunakan sama sekali).
Dalam bidang perangkat lunak komputer dan internasionalisasi komunikasi, CJK adalah istilah kolektif untuk bahasa Tionghoa, bahasa Jepang dan bahasa Korea, dan istilah CJKV yang lebih jarang dipakai merujuk kepada kumpulan yang sama ditambah bahasa Vietnam; kesemuanya merupakan bahasa byte-ganda, karena mempunyai lebih dari 256 karakter di dalam "alfabet" mereka. Pemrosesan aksara Tionghoa yang dikomputerisasi melibatkan beberapa masalah khusus di input dan skema pengkodean aksara, karena keyboard standar dengan 100 lebih karakter tidak mampu memasukkan karakter sebanyak itu dengan menekan sebuah tombol sekali.
Sistem penulisan bahasa Tionghoa sebagian besar adalah logografis, artinya setiap aksara mengekspresikan sebuah bagian kata yang merupakan suku kata tunggal. 90% daripada bagian-bagian kata dalam bahasa Tionghoa adalah bersuku kata tunggal. Tetapi mayoritas kata-kata modern mempunyai suku kata lebih dari satu (multisyllabic) dan multigrafis. Kata-kata multisyllabic mempunyai logogram terpisah untuk setiap suku kata. Beberapa - bukan semua - aksara Han adalah ideograf, namun kebanyakan aksara Han mempunyai bentuk yang berdasarkan pengucapannya daripada artinya, jadi mereka tidak langsung mengekspresikan idenya.

• Bahasa Tionghoa lisan
Kebanyakan pakar bahasa menganggap semua varian bahasa Tionghoa sebagai bagian dari rumpun bahasa Sino-Tibet dan mereka percaya bahwa dahulu kala pernah ada sebuah bahasa proto yang mirip situasinya dengan bahasa proto Indo-Eropa di mana semua bahasa-bahasa Tionghoa, Tibet dan Myanmar adalah bahasa turunannya. Relasi antara bahasa Tionghoa, di satu sisi dengan bahasa Sino-Tibet lainnya masih belum begitu jelas berbeda dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Para pakar masih secara aktif merekonstruksi bahasa proto Sino-Tibet. Kesulitan utamanya ialah bahwa meskipun banyak sekali dokumentasi di mana kita bisa merekonstruksi bunyi-bunyi bahasa Tionghoakuna, tidak ada dokumentasi mengenai sejarah perkembangan dari bahasa proto Sino-Tibet menjadi bahasa-bahasa Tionghoa. Selain itu banyak bahasa yang bisa membantu kita merekonstruksi bahasa proto Sino-Tibet, kurang didokumentasikan dan masih belum dikenal dengan baik.

Hubungan antara Bahasa Tionghoa Lisan dan Tertulis
Hubungan antara bahasa Tionghoa lisan dan tertulis cukup kompleks - kompleksitas hubungan ini makin dipersulit dengan adanya bermacam-macam variasi bahasa Tionghoa lisan yang telah melewati evolusi selama berabad-abad sejak setidaknya zaman akhir-dinasti Han. Meskipun begitu, bentuk tulisannya tidak mengalami perubahan yang sebesar itu.
Hingga abad ke-20, kebanyakan tulisan Tionghoa yang formal berbentuk Tionghoa Klasik (wenyan) yang sangat berbeda dari semua varian lisan Tionghoa seperti halnya bahasa Latin Klasik berbeda dari bahasa Roman modern. Aksara Tionghoa yang lebih mirip dengan bahasa lisannya digunakan untuk menulis karya-karya informal seperti novel-novel yang mengandung bahasa sehari-hari.
Sejak Gerakan 4 Mei (1919), standar formal tulisan Tionghoa adalah baihua (Bahasa Tionghoa Vernakular), yang mempunyai tata bahasa dan kosa kata yang mirip - namun tidak sama - dengan tata bahasa dan kosa kata bahasa Tionghoa lisan modern. Meskipun hanya sedikit karya baru yang ditulis dalam Tionghoa Klasik, Tionghoa Klasik masih dipelajari di tingkat SMP dan SMU di Tiongkok dan menjadi bagian dari ujian tes masuk universitas.
Aksara Tionghoa adalah huruf-huruf yang tidak berubah meskipun cara pengucapannya berbeda. Jadi meskipun "satu" dalam bahasa Mandarin adalah "yi", dalam bahasa Kantonis adalah "yat" dan dalam bahasa Hokkien adalah "tsit/cit", mereka semua berasal dari satu kata Tionghoa yang sama dan masih menggunakan satu huruf yang sama: 一. Namun demikian, cara penggunaan huruf-huruf tersebut tidak sama dalam setiap dialek Tionghoa. Kosa kata yang digunakan dalam dialek-dialek tersebut juga telah diperluas. Selain itu, meski kosa kata yang digunakan dalam karya sastra masih sering mempunyai persamaan antara dialek-dialek yang berbeda (setidaknya dalam penggunaan hurufnya karena cara bacanya berbeda), kosa kata untuk bahasa sehari-hari seringkali mempunyai banyak perbedaan.
Interaksi yang kompleks antara bahasa Tionghoa tertulis dan lisan bisa digambarkan melalui bahasa Kantonis. Terdapat dua bentuk standar yang digunakan untuk menulis bahasa Kantonis: Kantonis tertulis formal dan Kantonis tertulis biasa (bahasa sehari-hari). Kantonis tertulis formal sangat mirip dengan bahasa Tionghoa tertulis dan bisa dimengerti oleh seorang penutur bahasa Tionghoa tanpa banyak kesulitan, namun Kantonis tertulis formal cukup berbeda daripada Kantonis lisan. Kantonis tertulis biasa lebih mirip dengan Kantonis lisan tapi sulit dimengerti oleh penutur bahasa Tionghoa yang belum terbiasa.
Bahasa Kantonis mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah non-Tionghoa lainnya karena mempunyai bentuk tulisan standar yang digunakan secara luas. Bahasa-bahasa daerah lainnya tidak mempunyai bentuk tulisan standar alternatif seperti Kantonis namun mereka menggunakan huruf-huruf lokal atau menggunakan huruf-huruf yang dianggap kuno di "baihua".
Selain bahasa diatas, ada pula jenis bahasa Tionghoa lain yang dituturkan seperti bahasa Hakka atau khek dan bahasa Tiochiu.

• Bahasa Tionghoa Klasik
Bahasa Tionghoa Klasik atau Bahasa Tionghoa Sastra adalah sebuah gaya tradisional dari bahasa Tionghoa Tertulis yang didasarkan pada tatabahasa dan kosakata bahasa Tionghoa Kuna, sehingga membuatnya berbeda dari semua bentuk bahasa Tionghoa lisan. Namun perbedaan antara bahasa klasik sastra dan bahasa umum sastra tidak besar. Bahasa Tionghoa Klasik suatu ketika dipakai untuk segala bentuk korespondensi resmi sampai awal abad ke-20, tidak hanya di Tiongkok saja tapi (selama beberapa lama pada masa yang berbeda-beda) juga di Korea, Jepang, dan Vietnam. Di antara penutur bahasa Tionghoa, bahasa Tionghoa Klasik terutama sudah diganti perannya oleh bahasa Tionghoa sehari-hari(báihuà). Bahasa ini memiliki gaya penulisan yang mirip dengan bahasa Mandarin modern, sementara para penutur non-bahasa Tionghoa ini sekarang telah meninggalkan bahasa Tionghoa Klasik dan menggunakan bahasa mereka sendiri.

• Bahasa Tionghoa Kuno

Bahasa Tionghoa Kuna (sederhana; tradisional; pinyin: shànggǔ hànyǔ), atau Bahasa Tionghoa Arkais seperti digunakan oleh ahli linguis Bernhard Karlgren, merujuk kepada bahasa Tionghoa yang dipertuturkan dari masa Dinasti Shang (berakhir pada sekitar tahun 1045 SM menurut penelitian terkini), sampai ke masa Dinasti Han pertama (206 SM sampai 9 M). Ada beberapa sub-periode yang berbeda dalam waktu lama ini. Istilah ini yang beroposisi dengan bahasa Tionghoa Pertengahan dan bahasa Tionghoa Modern, biasanya dipakai dalam bidang fonologi sejarah bahasa Tionghoa, yang mencoba merekonstruksi pengucapan bahasa Tionghoa Kuna.
Karena bahasa Tionghoa Kuna merupakan bahasa yang dipertuturkan oleh bangsa Tionghoa ketika karya-karya sastra seperti Si Shu ditulis dan merupakan bahasa resmi kekaisaran Dinasti Qin yang dipersatukan dan Dinasti Han yang berlanjut lama, maka bahasa Tionghoa Kuna dilestarikan selama 2.000 tahun sebagai bahasa Tionghoa Klasik, sejenis gaya penulisan bahasa Tionghoa yang mencoba meniru tatabahasa dan kosakata bahasa Tionghoa Kuna seperti tertulis di karya-karya sastra di atas ini.
Bahasa Tionghoa Klasik digunakan selama 2.000 tahun sebagai bahasa resmi tidak hanya di Tiongkok saja, tapi juga di Korea, Jepang, dan Vietnam. Walau begitu banyak terdapatkan variasi pula dalam bahasa ini, terutama berdasarkan fakta kapan dan di mana karya sastra tertentu ditulis. Lalu bahasa Tionghoa Klasik yang ditulis agak mutakhir ini dan juga yang ditulis di luar Tiongkok kemungkinan besar agak sulit dimengerti oleh orang-orang yang hidup pada masa Kong Hu Cu.

Fonologi
Karena bahasa Tionghoa ditulis menggunakan karakter logografis, bukan huruf, maka tidaklah mudah bagi orang Tionghoa untuk mengamati bahwa bunyi-bunyi bahasa ini telah berubah. Kisah cerita rekonstruksi bahasa Tionghoa Kuna bermula dengan resitasi Shijing, khazanah sajak tertua dan termulia di Tiongkok. Beberapa generasi sastrawan Tiongkok terheran-heran bahwa banyak bait-bait Shijing tidaklah berima secara halus. Mereka tidak mengerti bahwa bunyi-bunyi bahasa Tionghoa telah lama bergeser. Ilmuwan seperti Zhu Xi mengusulkan bahwa orang-orang kuna ini memiliki cara tersendiri untuk meresitasikan sajak: mereka akan mengubah pembacaan sebuah karakter secara sementara supaya sesuai dengan kaidah rima metrum. Resitasi semacam ini disebut xieyin (harafiah "harmonisasi bunyi").
Jiao Hong dan Chen Di dari Dinasti Ming merupakan yang pertama yang secara koheren menyatakan bahwa bait-bait Shijing ini tidak berima karena bunyinya telah bergeser. Rekonstruksi bahasa Tionghoa Kuna dimulai ketika Gu Yanwu dari Dinasti Qing membagi bunyi-bunyi bahasa Tionghoa Kuna menjadi 10 kelompok suku kata (yunbu). Ilmuwan Qing lain mengikuti langkap Gu dan memperhalus pembagian ini. Ilmuwan bahasa Tionghoa yang berasal dari Swedia, Bernhard Karlgren, merupakan yang pertama yang bisa merekonstruksi bahasa Tionghoa Kuna dengan huruf Latin (bukan IPA).
Bunyi bahasa Tionghoa Kuna sulit untuk direkonstruksi, karena sistem penulisan bahasa Tionghoa yang tidak berdasarkan pengucapan seperti sebuah alfabet. Para ilmuwan yang mencoba merekonstruksi fonologi bahasa Tionghoa Kuna harus menggunakan bukti tidak langsung. Mereka terutama mempelajari teks-teks berima dari masa pra-Qin, terutama Shijing, dan petunjuk dari fakta bahwa karakter-karakter yang memiliki komponen fonetis yang sama, dahulu adalah homofon atau hampir-homofon ketika karakter-karakter ini diciptakan.
Walau begitu masih banyak pertentangan mengenai fonologi bahasa Tionghoa Kuna. Dewasa ini para pakar telah setuju bahwa bahasa Tionghoa Kuna memiliki gugusan konsonan seperti *kl- dan *gl-, yang tidak ada pada dialek-dialek modern. Namun, isyu-isyu di bawah ini masih diperdebatkan:
• bahwa bahasa Tionghoa Kuna memiliki konsonan yang difaringalisasikan atau ciri khas aneh/langka lainnya[1]
• bahwa bahasa Tionghoa Kuna tidak monosilabis (ekasukukata).
• bahwa bahasa Tionghoa Kuna Awal bukan sebuah bahasa bernada.
Nada-nada dalam bahasa Tionghoa Pertengahan berkembang dari konsonan-konsonan Tionghoa Kuna yang telah bergeser bunyinya atau bahkan hilang.

Kosakata
Pendapat tradisional ialah bahwa bahasa Tionghoa merupakan bahasa analitis tanpa infleksi atau tasrifan. Namun semenjak studi pelopor Henri Maspero,[2] telah ada beberapa ilmuwan yang secara serius mempelajari morfologi bahasa Tionghoa Kuna. Sagart (1999) memberikan ringkasan dari usaha-usaha ini.
Tatabahasa
Tatabahasa Tionghoa Kuna tidaklah sama dengan tatabahasa Tionghoa Klasil. Banyak kebiasaan yang ditemukan pada bahasa Tionghoa Klasik, tidak ada pada bahasa Tionghoa Kuna. Sebagai contoh, kata (qí) bisa dipakai sebagai kata ganti pronomina ketiga (ia) dalam bahasa Tionghoa Klasik, tetapi tidak dalam bahasa Tionghoa Kuna di mana kata ini hanya digunakan sebagai adjektiva posesif atau kata ganti kepemilikan ketiga (-nya).
Dalam bahasa Tionghoa Kuna tidak ada kopula, kopula (shì) di bahasa Tionghoa Pertengahan dan Modern adalah sebuah kata tunjuk dalam bahasa Tionghoa Kuna ("ini", yang sama dengan (zhè) dalam bahasa Tionghoa Modern).

Perkembangan Bahasa Tionghoa
Kategorisasi perkembangan bahasa Tionghoa masih menjadi perdebatan di antara para ahli-ahli bahasa. Salah satu sistem yang pertama diciptakan oleh ahli bahasa Swedia bernama Bernhard Karlgren; sistem yang sekarang dipakai merupakan revisi dari sistem ciptaannya.
Bahasa Tionghoa Lama adalah bahasa yang umum pada zaman awal dan pertengahan dinasti Zhou (abad ke-11 hingga 7 SM) - hal ini dibuktikan dengan adanya ukiran pada artifak-artifak perunggu, puisi Shijing, sejarah Shujing, dan sebagian dari Yijing (I Ching). Tugas merekonstruksi Bahasa Tionghoa Lama dimulai oleh para filologis dinasti Qing. Unsur-unsur fonetis yang ditemukan dalam kebanyakan aksara Tionghoa juga menunjukkan tanda-tanda cara baca lamanya.
Bahasa Tionghoa Pertengahan adalah bahasa yang digunakan pada zaman dinasti Sui, dinasti Tang dan dinasti Song (dari abad ke-7 hingga 10 Masehi). Bahasa ini dapat dibagi kepada masa awalnya - yang direfleksikan oleh tabel rima Qieyun (601 M) dan masa akhirnya pada sekitar abad ke-10 - yang direfleksikan oleh tabel rima Guangyun. Bernhard Karlgren menamakan masa ini sebagai 'Tionghoa Kuno'. Ahli-ahli bahasa yakin mereka dapat membuat rekonstruksi yang menunjukkan bagaimana bahasa Tionghoa Pertengahan diucapkan. Bukti cara pembacaan bahasa Tionghoa Pertengahan ini datang dari berbagai sumber: varian dialek modern, kamus-kamus rima, dan transliterasi asing. Sama seperti bahasa Proto-Indo-Eropa yang bisa direkonstruksi dari bahasa-bahasa Eropa modern, bahasa Tionghoa Pertengahan juga bisa direkonstruksi dari dialek-dialek modern. Selain itu, filologis Tionghoa zaman dulu telah berjerih payah dalam merangkum sistem fonetis Tionghoa melalui "tabel rima", dan tabel-tabel ini kini menjadi dasar karya ahli-ahli bahasa zaman modern. Terjemahan fonetis Tionghoa tehadap kata-kata asing juga memberikan banyak petunjuk tentang asal-muasal fonetis bahasa Tionghoa Pertengahan. Meskipun begitu, seluruh rekonstruksi bahasa tersebut bersifat sementara; para ahli telah membuktikan misalnya, melakukan rekonstruksi bahasa Kantonis modern dari rima-rima musik Kantonis (Cantopop) modern akan memberikan gambaran yang sangat tidak tepat mengenai bahasanya.
Perkembangan bahasa Tionghoa lisan sejak masa-masa awal sejarah hingga sekarang merupakan perkembangan yang sangat kompleks. Klasifikasi di bawah menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok utama bahasa Tionghoa berkembang dari satu bahasa yang sama pada awalnya.

Hingga pertengahan abad ke-20, kebanyakan orang Tiongkok yang tinggal di selatan Tiongkok tidak dapat berbahasa Tionghoa. Bagaimanapun juga, walaupun adanya campuran antara pejabat-pejabat dan penduduk biasa yang bertutur dalam berbagai dialek Tionghoa, Mandarin Nanjing menjadi dominan setidaknya pada masa dinasti Qing yang menggunakan bahasa Manchu sebagai bahasa resmi. Sejak abad ke-17, pihak Kekaisaran telah membentuk Akademi Orthoepi (Zhengyin Shuyuan) dalam usaha untuk membuat cara pembacaan mengikuti standar Beijing (Beijing adalah ibukota Qing), namun usaha-usaha tersebut kurang berhasil. Mandarin Nanjing akhirnya digantikan penggunaannya di pengadilan kekaisaran dengan Mandarin Beijing dalam 50 tahun terakhir dinasti Qing pada akhir abad ke-19. Bagi para penduduk biasa, meskipun berbagai variasi bahasa Tionghoa telah dituturkan di Tiongkok pada waktu itu, bahasa Tionghoa yang standar masih belum ada. Penutur-penutur non-Tionghoa di selatan Tiongkok juga terus berkomunikasi dalam dialek-dialek daerah mereka dalam segala aspek kehidupan.
Keadaan berubah dengan diciptakannya (di Tiongkok dan Taiwan) sistem pendidikan sekolah dasar yang mempunyai komitmen dalam mengajarkan bahasa Tionghoa. Hasilnya, bahasa Tionghoa sekarang dituturkan dengan lancar oleh hampir semua orang-orang di Tiongkok Daratan dan Taiwan. Di Hong Kong, bahasa pendidikan masih tetap bahasa Kantonis namun bahasa Tionghoa semakin menunjukkan kepentingannya.

2) Bahasa HAN
Bahasa Tionghoa (Hua Yu) yang kita kenal sebenarnya adalah bahasa Han (Han Yu). Selain itu, bahasa Han juga dikenal dengan sebutan bahasa nasional (Guo Yu), bahasa China (Chung Wen). Bahasa ini karena penggunaannya sangat luas sehingga juga mempengaruhi bahasa lainnya di sekitarnya seperti bahasa Jepang, Vietnam dan Korea yang masih mempergunakan banyak frase dan tulisan Han dalam bahasa mereka.
Bahasa Han adalah salah satu dari bahasa piktograf dunia yang berkembang sempurna. Walaupun pelafalan (prononsiasi) tiap2 dialek sangat berbeda namun dalam penulisannya (literatur), bahasa Han mempunyai tata dan struktur bahasa yang sama. Sebelum peristiwa 4 Mei (Wu Shi Yun Dong) tahun 1919, literatur (penulisan) karakter bahasa Han disebut "Wen Yan" atau literatur klasik dan setelah itu, bahasa Han dalam tulisan yang kita kenal sekarang adalah bentuk "Bai Hua" atau bentuk umum yaitu bahasa yang dipergunakan sehari2. "Bai Hua Wen" ini didasarkan atas tata bahasa Han dialek Utara.
Bahasa Han yang kita kenal sebagai bahasa Mandarin sekarang menggunakan dialek Beijing sebagai dasar pelafalan (intonasi), kosa kata dan tata bahasa. Sekarang ini digunakan sebagai bahasa resmi di Mainland China, Taiwan dan Singapura. Sedangkan HK dan Macau menggunakan dialek Kanton sebagai bahasa resmi mereka selain bahasa Inggris dan Portugis. Namun dalam literatur, Mainland China dan Singapura menggunakan Simplified Chinese (Jian Ti Zih) sedangkan Taiwan, HK dan Macau menggunakan Traditional Chinese (Fan Ti Zih). Simplified Chinese diperkenalkan oleh pemerintah Komunis pada tahun 50-an sebagai penyederhanaan dari Traditional Chinese.
Karena wilayah Tiongkok yang luas, walaupun literatur yang dipergunakan ada keseragaman dan bisa dimengerti oleh semua orang Chinese di baik di utara maupun selatan, namun dalam perkembangannya, pelafalan dan logat yang berbeda menghasilkan dialek yang berbeda juga. Malah bila sekilas didengar, maka setiap dialek sama sekali tak ada hubungannya dengan dialek lain maupun bahasa Han itu sendiri. Di utara, penduduk yang menggunakan bahasa Han dialek utara walaupun terpisah ratusan kilometer, masih bisa saling mengerti satu sama lain. Namun, di selatan terutama di propinsi Fujian, kadang2 penduduk yang sama2 menggunakan bahasa Min (Hokkian) yang terpisah puluhan kilometer antara satu desa dengan desa lainnya tak dapat mengerti satu sama lain, inilah yang dibahas dalam tulisannya tentang logat2 dalam dialek Hokkian.

3) Bahasa Hakka
Bahasa Hakka (Hanzi: Pinyin: Kèjiāhuà; secara harafiah berarti "bahasa keluarga tamu") atau di Indonesia umumnya dipanggil Khek adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Hakka yang merupakan suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka yang agak berbeda tergantung provinsi dan juga bagian gunung sebelah mana mereka tinggal.
Bahasa Hakka
Dituturkan di: Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan komunitas Tionghoa Hakka lainnya di seluruh dunia
Wilayah: Sebagian besar pegunungan di timur laut, timur dan selatan Provinsi Guangdong, barat daya dan selatan Fujian dan tenggara Guangxi di Tiongkok

Jumlah penutur: 34 juta
Urutan ke:
30
Klasifikasi rumpun bahasa:
Sino-Tibet
Bahasa Tionghoa
Bahasa Hakka

4) Bahasa Hokkien
Bahasa Hokkien atau bahasa Hokkian (Sederhana: 闽南语, Tradisional: 閩南語) yang kita kenal sebenarnya adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas di provinsi Fujian (Hokkien), Taiwan (Taiwan), sebelah utara Guangdong (Kengtang) dan di Asia Tenggara di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan.
Bahasa Hokkien ini sendiri terbagi atas banyak logat di antaranya logat Ciangciu (Zhangzhou), logat Cuanciu (Quanzhou) dan logat Emui (Xiamen, dulu Amoy). Bahasa Tiochiu (Chaozhou) adalah juga salah satu logat dalam bahasa Hokkien, namun karena penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong utara, maka bahasa Tiochiu kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Kanton menjadi logat dalam bahasa Hokkien yang dekat dengan bahasa Kanton (lihat bahasa Kantonis).
Di Indonesia sendiri, bahasa Hokkien umumnya dikenal sebagai bahasa ibu (mother tongue) komunitas Tionghoa di Medan, Pekanbaru, Palembang dan beberapa daerah lainnya.
Bahasa Hokkien
Dituturkan di: Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Singapura, Indonesia, Malaysia dan daerah lain di mana komunitas Hokkien menetap
Wilayah: Provinsi Fujian selatan; daerah Chaozhou-Shantou di provinsi Guangdong; bagian paling selatan provinsi Zhejiang; hampir seluruh Taiwan; hampir seluruh Hainan (jika Qiong Wen ikut dihitung); Semenanjung Leizhou di provinsi Guangdong

Jumlah penutur: 49 juta
Urutan ke:
21 (jika Qiong Wen ikut dihitung)
Klasifikasi rumpun bahasa:
Sino-Tibet
Dialek Tionghoa
Min
Min Nan/Hokkien

5) Bahasa Kanton
Bahasa Kanton atau Yuè (secara harafiah: bahasa Guangdong; di Indonesia sering disebut bahasa Konghu) adalah salah satu dari dialek bahasa Tionghoa yang dituturkan di barat daya China, Hong Kong, Makau, masyarakat keturunan Tionghoa di Asia Tenggara dan juga masyarakat Tionghoa di belahan dunia lain.
Bahasa Kanton merupakan bahasa perdagangan kebanyakan orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar negeri - dituturkan oleh hampir 70 juta orang di seluruh dunia, jumlah yang hanya bisa disaingi di luar China oleh Bahasa Hokkien yang mempunyai sekitar 40 juta penutur.
Sejarah dialek Kanton ini dapat ditarik balik ke zaman Dinasti Tang. Menurut penelitian dari ahli bahasa Han di Tiongkok, dialek Kanton merupakan salah satu dialek bahasa Han tertua yang masih tersisa sekarang ini. Dialek Kanton digunakan secara luas pada zaman Dinasti Tang. Itu makanya anggapan bahwa melafalkan puisi Li Bai, Du Fu yang hidup pada zaman Dinasti Tang dengan dialek Kanton adalah lebih cocok daripada melafalkannya dengan bahasa Mandarin yang kita kenal sekarang ini.
Bahasa Kanton ini juga punya pembicara di kalangan Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, bahasa Kanton biasa dikenal dengan sebutan bahasa Konghu.
Bahasa Kanton
Dituturkan di: China, Singapura, Indonesia, Malaysia, Kanada, Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain yang ditinggali oleh migran-migran Kantonis.
Wilayah: di China: provinsi Guangdong bagian tengah (Delta Sungai Mutiara (Pearl River) termasuk Hong Kong dan Makau); bagian timur Daerah Otonomi Guangxi

Jumlah penutur: 66 juta
Urutan ke:
16
Klasifikasi rumpun bahasa:
Sino-Tibet
Bahasa Tionghoa
Yue

6) Bahasa Mandarin
Bahasa Mandarin dengarkan(Tradisional: Sederhana: Hanyu Pinyin: Běifānghuà, harafiah: "bahasa percakapan Utara" atau 北方方言 Hanyu Pinyin: Běifāng Fāngyán, harafiah: "dialek Utara") adalah dialek Bahasa Tionghoa yang dituturkan di sepanjang utara dan barat daya Republik Rakyat Tiongkok. Kata "Mandarin", dalam bahasa Inggris (dan mungkin juga Indonesia), digunakan untuk menerjemahkan beberapa istilah Tionghoa yang berbeda yang merujuk kepada kategori-kategori bahasa Tionghoa lisan.
Dalam pengertian yang sempit, Mandarin berarti Putonghua dan Guoyu yang merupakan dua bahasa standar yang hampir sama yang didasarkan pada bahasa lisan Beifanghua* (lihat di bawah). Putonghua adalah bahasa resmi Tiongkok dan Guoyu adalah bahasa resmi Taiwan. Putonghua - yang biasanya malah dipanggil Huayu - juga adalah salah satu dari empat bahasa resmi Singapura.
Dalam pengertian yang luas, Mandarin berarti Beifanghua (secara harafiah berarti "bahasa percakapan Utara"), yang merupakan sebuah kategori yang luas yang mencakup beragam jenis dialek percakapan Tionghoa yang digunakan sebagai bahasa lokal di sebagian besar bagian utara dan barat daya Tiongkok, dan menjadi dasar bagi Putonghua dan Guoyu. Beifanghua mempunyai lebih banyak penutur daripada bahasa apapun yang lainnya dan terdiri dari banyak jenis termasuk versi-versi yang sama sekali tidak dapat dimengerti.
Seperti ragam-ragam bahasa Tionghoa lainnya, ada banyak orang yang berpendapat bahwa bahasa Mandarin itu merupakan semacam dialek, bukan bahasa.
Bahasa Mandarin
Dituturkan di: Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan komunitas Tionghoa lainnya di seluruh dunia
Wilayah: Sebagian besar bagian utara dan barat daya Tiongkok; dimengerti secara luas di bagian lainnya.
Jumlah penutur: 867.2 juta
Urutan ke:
1
Klasifikasi rumpun bahasa:
Sino-Tibet
Bahasa Tionghoa
Bahasa Mandarin
• Dalam bahasa Indonesia dibaca: Peifanghua
7) Bahasa Tiochiu
Bahasa Tiochiu atau Tiociu (Hanzi) atau teochew adalah sebuah bahasa yang termasuk rumpun bahasa bahasa Sino-Tibet. Bahasa ini cukup mirip dengan bahasa Hokkien (Tiochiu dan Hokkien/Min-nan diklasifikasikan dalam rumpun Min) dan penutur kedua bahasa dapat cukup mengerti kedua bahasa meski tidak seluruhnya.
Bahasa Tiochiu boleh dikatakan adalah dialek Hokkian yang dipengaruhi oleh dialek Kantonis dikarenakan letak geografisnya yang berada di utara propinsi Guangdong dekat perbatasan dengan propinsi Fujian.
Di Indonesia, terdapat banyak penutur Tiochiu di Pontianak dan Ketapang, Kalimantan Barat; Jambi, Riau, Kepri dan Sumatera Utara serta Selatan.
Bahasa Tiochiu
Dituturkan di: Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand dan daerah lainnya di dunia di mana komunitas Tionghoa Tiochiu menetap
Wilayah: Provinsi Fujian selatan; daerah Chaozhou-Shantou di provinsi Guangdong

Jumlah penutur: Sekitar 10 juta di Chaoshan. Sekitar 2-5 juta di luar negeri.
Urutan ke:
Tidak diketahui
Klasifikasi rumpun bahasa:
Sino-Tibet
Tionghoa
Min
Tiochiu
Status resmi
Bahasa resmi di: tidak ada
Diatur oleh: tidak ada
Kode bahasa
ISO 639-1
zh
ISO 639-2 chi (B) / zho (T)
SIL
CFR
Lihat pula: Bahasa - Daftar bahasa


7. SENI MUSIK
Kategori:Musik di Tiongkok
a. Diskografi Faye Wong
Halaman ini memuat diskografi dari penyanyi pop Tiongkok Faye Wong. Judul China adalah resmi; tidak ada judul dalam bahsa Inggris. Tetapi ada beberapa album seperti Di-Dar dan Coming Home dalam bahasa Inggris.

b. Alat musik tradisional Tiongkok.
1) Banhu
Banhu (Hanzi: ban3 hu2 baca: pan3 hu2) adalah salah satu alat musik gesek tradisional Tiongkok dari keluarga instrumen huqin. Banhu biasanya digunakan di daerah utara Tiongkok. Kata 'ban' berarti sepotong kayu dan 'hu' adalah kependekan dari huqin.
Seperti erhu dan gaohu, banhu juga memiliki dua senar, namun banhu berbeda dari erhu sebab kotak suaranya terbuat dari batok kelapa, bukan dari kayu, dan penutupnya menggunakan papan kayu tipis, bukan kulit ular.
Yehu, sebuah alat musik gesek Tiongkok lainnya yang menggunakan tempurung kelapa dan papan kayu, kebanyakan digunakan di Tiongkok selatan.

2) Dahu
Dahu (Hanzi: da4 hu2 baca: ta4 hu2) adalah sebuah instrumen tradisional Tiongkok. Bentuk dan ukuran dahu mirip dengan erhu maupun zhonghu, tetapi dahu berukuran lebih besar daripada zhonghu dan erhu. Biasanya ditune dengan nada G - D atau A - E.

3) Erhu
Erhu (Hanzi: er4 hu2) merupakan alat musik tradisional Tiongkok yang paling populer disamping Guzheng dan Dizi.
Secara umum, keluarga alat musik gesek ini dikenal juga dengan istilah huqin yang berarti "alat musik orang barbar", dinamakan demikian karena diperkenalkan oleh orang barbar yang berasal dari Asia Tengah.
Huqin telah berumur sekitar 500 tahun. Mulai populer pada zaman dinasti Sung (960-1279 AD), yang kemudian berlanjut ke zaman dinasti Ming (1368-1644) dan dinasti Qing (1644-1911) dimana dalam kurun waktu tersebut huqin telah berkembang menjadi bermacam-macam jenis, termasuk yang kita kenal sekarang sebagai erhu.
Pada mulanya, erhu menggunakan dua senar yang terbuat dari sutra, tetapi sekarang erhu menggunakan senar dari logam. Erhu biasanya menggunakan membran dari kulit ular piton, tetapi ada juga yang menggunakan bahan lain. Kotak suara dapat berbentuk segi enam, segi delapan, atau bulat.
Erhu digesek dengan busur yang terbuat dari bambu dan rambut ekor kuda, ekor kuda itu ditempatkkan diantara kedua senar sehingga memudahkan perpindahan menggesek antara kedua senar. Rambut ekor kuda tersebut digosok dengan damar sehingga terasa kesat waktu digesek.
Erhu biasa disetel dengan nada D - A atau C - G.

4) Gaohu
Gaohu (Hanzi: gao4 hu2) adalah alat musik yang paling penting dalam musik tradisional Guangdong, RRT, bisa dikatakan bahwa gaohu adalah "jiwa" dari musik Guangdong.
Walaupun tidak mutlak, tapi salah satu ciri khas gaohu adalah ukiran kepala naga pada bagian atas alat musik dan bentuk kotak suara yang bulat.
Ada pula gaohu versi utara yang berbeda dengan gaohu versi selatan (Guangdong), gaohu versi utara merupakan modifikasi dari erhu untuk mendapatkan nada suara yang lebih tinggi dari erhu, gaohu versi utara ini dimainkan seperti erhu. Biasanya bentuk gaohu utara ini lenih menyerupai erhu dan tidak memakai ukiran kepala naga dibagian atas gagangnya.
Gaohu dimainkan dengan cara dijepit diantara kaki pemainnya. Suara yang dihasilkan dari alat musik ini lebih tinggi dari erhu.
Gaohu biasa disetel dengan nada A - E atau G - D.

5) Gehu
Gehu (Hanzi: 革胡 ge2 hu2 baca: ke2 hu2) adalah alat musik gesek bersenar empat dan kadang-kadang posisinya sering digantikan oleh cello. Gehu bisa dimainkan dengan cara digesek atau dipetik. Gehu biasanya disetel dengan nada C - G - D - A.

6) Jinghu
Jinghu (Hanzi: 京胡 jing1 hu2) merupakan alat musik utama dalam Jingju (Opera Beijing) dan pemainnya merupakan pemimpin dalam sebuah orkes musik Opera Beijing.
Cara memainkan jinghu berbeda dengan erhu, jinghu biasanya diletakkan agak ke depan dekat lutut.
Jinghu biasa disetel dengan nada G - D.

7) Matouqin
Matouqin' (Hanzi: 马头琴 ma3 tou3 qin2) atau dalam bahasa Mongol dikenal sebagai Morin Khuur adalah alat musik gesek khas Mongolia yang memakai 2 senar, dan telah ada sejak abad ke-12.
Sesuai dengan namanya, ciri khas matouqin adalah ukiran kepala kuda (Hanzi: 马头 ma3 tou3) pada bagian atas gagangnya, berbeda dengan keluarga huqin, ekor kuda penggesek tidak ditempatkan diantara kedua senar, cara memainkan matouqin ini mirip dengan cello.
Matouqin adalah alat musik yang sangat penting bagi musik tradisional Mongol, sering pula disebut sebagai "Cello Padang Rumput".

8) Sihu
Sihu (Hanzi: 四胡 si4 hu2 baca: se4 hu2) adalah alat musik Mongolia, yang menggunakan empat senar.
Senar 1 dan 3 atau yang biasa disebut neixian atau "senar dalam" disetel dengan nada G, sedangkan senar 2 dan 4 yang biasa disebut waixian atau "senar luar" disetel dengan nada D.

9) Yehu
Yehu (Hanzi: 椰胡 ye1 hu2) adalah sebuah instrumen yang mempunyai usia sejarah sekitar 300 tahun yang berasal dari daerah Chaozhou, RRT, dan merupakan alat musik utama dalam musik khas Chaozhou. Alat musik ini juga digunakan dalam musik Guangdong.
Yehu menggunakan tempurung (batok) buah kelapa sebagai resonator (kotak suara) dan senar dari sutra, tetapi terkadang kita menjumpai pula penggunaan senar dari nilon ataupun logam.
Pada umumnya Yehu menggunakan jembatan yang terbuat dari kerang tetapi ada juga yang menggunakan bambu. Yehu bisa disetel dengan nada G - D atau C - G.

10) Zhonghu
Zhonghu (Hanzi: 中胡 zhong1 hu2) mirip sekali dengan erhu, tetapi ukurannya saja yang lebih besar.
Suara yang dihasilkan oleh zhonghu lebih rendah dari suara erhu, mirip dengan perbandingan suara viola dan suara biola. Zhonghu biasa disetel dengan nada G - D.
8. LEGENDA DAN CERITA RAKYAT
a. Menggantung Lentera Merah
Pada masa akhir Dinasti Ming, Li Zicheng, pemimpin pemberontak, bersama tentaranya sedang mempersiapkan diri untuk menguasai kota Kaifeng. Demi mendapatkan informasi yang akurat, Li menyamar sebagai penjual beras masuk ke Kaifeng. Setelah mendapat gambaran yang jelas, maka Li menyebarkan berita untuk kalangan rakyat jelata bahwa tentara pemberontak tidak akan mengganggu setiap rumah yang menggantung lentera merah di pintu depan.
Sekembalinya Li ke markas, dia membuat rencana penyerangan. Para penjaga kota Kaifeng mulai mendapat serangan gencar dari tentara Li dan membuat mereka kewalahan. Tidak berdaya membuat pasukan penjaga kota Kaifeng mengambil jalan pintas membuka bendungan dengan harapan tentara Li tersapu banjir dan hancur.
Namun banjir juga melanda rumah penduduk. Banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri naik ke atap rumah. Bagi rakyat jelata, mereka hanya membawa lentera merah. Sedangkan kaum bangsawan dan pejabat berusaha menyelamatkan harta benda.
Banjir terus meninggi dan membuat orang-orang mulai putus asa. Demi melihat penderitaan yang akan dialami banyak rakyat jelata, Li memerintahkan anak buahnya menyelamatkan rakyat dengan rakit dan perahu. Yang membawa lentera merah tentunya.
Untuk memperingati kebaikan hati Li dalam menyelamatkan rakyat jelata, maka bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting, seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.

b. Memandang Bulan Hingga Tengah Malam
Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.
Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran. Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.
Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.
Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu.
Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan. Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung.
Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.

c. Kertas Lima Warna
Selama masa pergolakan untuk mendirikan Dinasti Han, Liu Bang dibantu oleh banyak pejabat berbakat dan akhirnya memegang takhta. Pergolakan yang terjadi membuat banyak keluarga tercerai-berai. Demikian pula dengan makam para leluhur, banyak yang hancur dan tidak dikenali. Setelah menjadi kaisar, Liu Bang terus memikirkan nasib dari makam orang tuanya yang entah dimana posisinya.
Pencarian terus dilakukan dengan gigih, namun karena luasnya daerah pemakaman dan kondisi makam-makam yang sudah hancur dan tercampur baur membuat usaha pencarian tidak memberikan hasil. Bahkan Liu Bang turun tangan sendiri untuk mencari makam orang tuanya. Namun tetap tidak berhasil juga.
Kemudian pada suatu hari saat Liu Bang sedang berusaha mencari makam orang tuanya, wajahnya terterpa kertas-kertas yang berterbangan. Liu Bang menanyakan apakah kertas itu kepada pegawainya. Sang pegawai mengatakan bahwa kertas itu oleh rakyat dinamakan Kertas Lima Warna. Dan terdapat tulisan dalam kertas itu yang digunakan untuk tujuan tertentu dan permohonan kepada Langit agar tujuan tersebut dapat tercapai.
Liu Bang akhirnya menyuruh para pegawainya membawa Kertas Lima Warna dengan tulisan harapan agar dapat menemukan makam orang tuanya. Lalu Liu Bang sambil berdoa agar ia dapat menemukan makam orang tuanya, ia melemparkan kertas-kertas itu ke udara.
Angin membawa kertas-kertas itu terbang. Ternyata kertas-kertas itu terbang ke suatu arah tertentu. Begitu Liu Bang mengikuti kemana arah kertas-kertas itu jatuh, ia dapat menemukan batu makam dari orang tuanya. Liu Bang sangat bergembira atas hal itu.
Sejak saat itu, ketika orang-orang membersihkan makam selama Perayaan Qing Ming, mereka selalu memastikan bahwa kondisi sekitar makam bersih dan meletakkan Kertas Lima Warna pada batu makam untuk menunjukkan penghormatan dan pengabdian.

d. Menyembunyikan Sapu
Menurut legenda, pada jaman dahulu kala terdapat seorang pedagang bernama Ou Ming yang selalu berpergian menggunakan perahu untuk menjalankan usahanya.
Suatu hari Ou sedang naik perahu di Danau Pengze. Tiba-tiba badai menghadang, sehingga perahu terdampar pada sebuah pulau. Ditengah kebingungan karena perahu rusak berat dan tidak dapat dipakai untuk meneruskan perjalanan, datang seorang bernama Qing Hongjun, pemilik dari pulau tersebut.
Qing mengundang Ou ke kediamannya dan menjamu Ou dengan hangat. Sebagai kenang-kenangan atas kunjungan Ou, Qing berminat memberikan sebuah tanda mata. Ou dipersilahkan memilih barang yang disukainya dari begitu banyak barang permata yang ada di rumah Qing.
Pada saat seorang pelayan Qing menghidangkan teh bagi Ou, secara tidak sadar terucap bahwa Ru Yuan adalah harta yang paling berharga. Ou mendengarkan hal itu dan berpikir siapakah Ru Yuan itu. Namun dia memastikan bahwa Ru Yuan sangat berharga.
Akhirnya Ou meminta Ru Yuan kepada Qing. Meskipun pada awalnya Qing ragu, namun akhirnya Ru Yuan diberikan kepada Ou. Ternyata Ru Yuan adalah seorang pembantu wanita di rumah Qing yang sangat cantik.
Qing lalu mempersiapkan perahu untuk Ou. Pada saat perpisahan, Qing memberikan satu peti permata kepada Ru Yuan. Melihat permata yang sangat banyak, timbul pikiran jahat pada Ou untuk memiliki permata tersebut bagi dirinya sendiri.
Setibanya di rumah, Ou melayani Ru Yuan sangat baik. Sehingga lama kelamaan Ru Yuan terlena dan memberikan kunci peti permata kepada Ou. Begitu mendapatkan kunci peti permata, sifat Ou langsung berubah total. Ru Yuan diperlakukan secara buruk dan disuruh bekerja keras siang dan malam. Menghidangkan teh, memasak, mencuci pakaian, dan banyak lainnya.
Suatu hari pada hari pertama Perayaan Tahun Baru Imlek, Ou berpikir bahwa Ru Yuan terlalu malas, karena baru bangun pada saat ayam berkokok, sehingga memukuli Ru Yuan. Tidak tahan, Ru Yuan lari. Ou tidak tinggal diam, dia mengejar.
Melihat sebuah sapu tersandar pada pohon, Ru Yuan memutuskan untuk menghilang kedalam sapu. Bersamaan dengan menghilangnya Ru Yuan, semua harta benda dan permata yang ada di rumah Ou turut terbang dan menghilang ke dalam sapu. Ou hanya bisa terpaku menyaksikan semuanya. Melaratlah Ou sejak saat itu.
Berdasarkan cerita di atas setelah membersihkan rumah untuk menyambut Tahun Baru Imlek, orang-orang menyembunyikan sapu, dan segala macam pembersih lainnya, untuk menghindari segala hal yang diharapkan hilang tersapu.

e. Makanan Kue Bulan
Pada jaman Dinasti Yuan, rakyat Han pada saat itu menentang pemerintahan Mongol dari Dinasti Yuan, dan para pemberontak, dipimpin oleh Shu Yuan Zhang, merencanakan untuk mengambil alih pemerintahan. Shu bingung memikirkan bagaimana cara menyatukan rakyat untuk memberontak pada hari yang sama tanpa diketahui oleh pemerintah Mongol.
Salah seorang penasehat terpercayanya akhirnya menemukan sebuah ide. Sebuah berita disebarkan bahwa akan ada bencana besar yang akan menimpa negeri Tiongkok dan hanya dengan memakan kue bulan yang dibagikan oleh para pemberontak dapat mencegah bencana tersebut. Kue bulan tersebut hanya dibagikan kepada rakyat Han, yang akan menemukan pesan “Revolusi pada tanggal lima belas bulan delapan” pada saat membukanya.
Karena pemberitahuan itu, rakyat bersama-sama melakukan aksi pada tanggal yang ditentukan untuk menggulingkan Dinasti Yuan. Dan sejak saat itu kue bulan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perayaan Pertengahan Musim Gugur.

f. Menyembunyikan Petasan
Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.
Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran. Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.
Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.
Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu. Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan. Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung.
Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.

g. Makanan dan Para Ahli
Kaisar sedang merenovasi salah satu istananya, dan sangat puas akan hasil kerja yang ada. Maka ia berkeinginan untuk memberi gelar “Ahli” kepada para pekerja.
“Tuanku, semua perabotan kayu dibuat oleh kami para tukang kayu, maka kami adalah ahli sesungguhnya”, kata para tukang kayu.
“Benar. Maka aku memberikan gelar Ahli kepada semua tukang kayu”, kata kaisar.
“Tuanku, semua struktur batu dibuat oleh tukang batu, maka kami merasa bahwa kami adalah ahli yang sesungguhnya”, kata para tukang batu.
“Tuanku, jika bukan karena kami tukang cat, maka tidak ada keindahan warna dalam istana”, kata para tukang cat.
“Tuanku, kami tukang besi……”
“Tuanku, kami para tukang emas……”
Semua pekerja meminta dirinya mendapat gelar Ahli. Akhirnya kaisar dengan bijaksana mengatakan bahwa semua orang mendapat gelar Ahli. Berita itu sampai ke para tukang masak. Dan tukang masak juga merasa bahwa memasak adalah sebuah keahlian. Maka kepala tukang masak menghadap kaisar.
Namun semua tukang tidak memandang memasak sebagai keahlian. Bahkan mereka menganggap bahwa memasak adalah mudah dan jika tukang masak diberi gelar Ahli, maka gelar itu tidak ada artinya lagi.
Dengan kesal, kepala tukang masak kembali ke dapur. Lalu ia menyuruh semua anak buahnya berhenti memasak. Mendapat gelar Ahli membuat semua tukang bekerja dengan penuh semangat. Pada saat istirahat tiba, mereka berbondong-bondong masuk ke ruang makan. Namun alangkah terkejutnya mereka saat melihat bahwa tidak ada satu pun makanan yang terhidang. Gandum, sayur, dan lain-lainnya masih belum diolah. Semua tukang itu kebingungan. Tidak ada satu pun yang tahu bagaimana mengolah bahan-bahan mentah itu agar dapat menjadi hidangan yang sedap.
Akhirnya mereka melaporkan hal itu kepada kaisar. Kaisar sangat heran dan terkejut karena begitu banyak ahli yang ada namun tidak ada satu orang pun yang dapat membuat hidangan. Lalu kaisar bertanya apakah mereka sekarang menganggap bahwa memasak adalah keahlian. Pada mulanya mereka keberatan, namun karena dorongan perut semakin kuat, akhirnya mereka setuju bahwa memasak adalah sebuah keahlian.
Kaisar lalu menyuruh agar para tukang masak dipanggil. Ketika para tukang masak tiba, kepala tukang masak berkata bahwa ratusan ahli tidak dapat menyiapkan makanan, maka sudah sepantasnya gelar yang akan diterimanya lebih tinggi dari mereka.
Dengan tersenyum, sang kaisar mengatakan bahwa gelar kepala tukang masak adalah Ahli Besar. “Lalu bagaimana dengan para pembantuku?”, tanya kepala tukang masak. Kaisar lalu memberi mereka gelar Ahli Besar Tingkat Dua. Kepala tukang masak lalu berkata kepada semua orang bahwa besok adalah hari Dong Zhi dan ia akan membuat bola tepung lengket. Sejak saat itu, makanan tersebut menjadi hal yang tidak terpisahkan dari Perayaan Dong Zhi.

h. Chang E – legenda yang menyebabkan orang Tiong Hoa melihat bulan pada tanggal 15 bulan 8 Penanggalan Imlek.
Menurut legenda Tionghoa, pernah terdapat 10 buah matahari di bumi ini dan masing-masing matahari secara bergiliran menerangi dan memberikan kehangatan ke bumi. Tetapi suatu saat semua matahari muncul secara bersama-sama sehingga menyebabkan bumi hangus karena terlalu panas. Bumi dapat diselamatkan berkat adanya seorang pemanah pemberani bernama Hou Yi yang berhasil memanah jatuh sembilan buah matahari.
Hou Yi berhasil mendapatkan ramuan kehidupan untuk menyelamatkan rakyat dari pemerintahan yang kejam, namun sang istri meminumnya. Sehingga membuat istri Hou Yi terbang ke bulan. Lalu mulailah legenda adanya perempuan di bulan, yang mana gadis-gadis Cina merayakannya sebagai Perayaan Pertengahan Musim Gugur.
Legenda ini semasa pemerintahan Tai Kang dari Dinasti Xia. Yu mendapatkan takhta dari Shun karena kemampuannya dalam mengendalikan banjir. Ketika Yu telah berusia lanjut, dia memiliki keinginan untuk menyerahkan takhta kepada salah seorang menterinya, Po Yi. Namun para ketua suku menginginkan agar Yu memberikan posisi tersebut kepada Chi, salah seorang putra Yu. Setelah kejadian ini maka posisi ketua dari ketua atau raja menjadi sesuatu yang turun temurun. Tai Kang adalah putra dari Chi.
Yu memiliki jasa besar karena berhasil menghentikan banjir dan mendidik rakyat untuk bertani. Hal ini menyebabkan Kaisar Langit di surga memerintahkan sepuluh orang putranya menjadi sepuluh matahari. Ini dimaksudkan agar mereka dapat secara bergantian mengelilingi langit setiap hari sehingga dapat membantu rakyat untuk berternak dan bertani.
Namun sepuluh orang muda tersebut tidak mematuhi perintah dan mereka keluar secara bersamaan yang menyebabkan panas dari sepuluh matahari secara bersama-sama menyinari bumi dan mengakibatkan panas yang sangat hebat. Banyak manusia dan binatang meninggal, sungai-sungai menjadi kering, hutan-hutan terbakar, dan berbagai penderitaan hebat lainnya.
Rakyat memohon agar surga memberikan kasihnya. Dan permohonan ini didengar oleh Kaisar Langit, yang lalu memerintahkan Hou Yi, seorang Dewa yang gagah, untuk turun ke bumi menyelesaikan masalah tersebut.
Hou Yi adalah Dewa yang pemberani dan beruntung. Istrinya adalah Chang-E yang penyendiri, dan mereka sangat saling mencintai dan tidak terpisahkan. Mereka terkenal dengan nama “Sepasang Dewa”. Namun hidup diantara manusia tidak semudah hidup di surga, dan Chang-E tidak berkeinginan untuk itu. Namun Hou Yi tidak dapat menentang perintah dari Kaisar Langit, dan Chang-E tidak ingin berpisah dari suaminya. Maka dengan perasaan berat, dia mendampingi Hou Yi ke daerah liar di timur.
Hou Yi adalah seorang pemanah yang hebat, dan dari surga membawa busur gaib yang dapat memanah apa saja di langit diluar jangkauan manusia. Kemudian rakyat dari daerah timur mengangkatnya sebagai ketua.
Bagaimanapun juga posisi tersebut tidaklah membawa bahagia bagi Hou Yi, karena harus menghadapi kenyataan bahwa sepuluh matahari terus menerus menghanguskan tanaman, menyebabkan binatang-binatang ternak mati kelaparan, mengeringkan sungai-sungai, meluasnya penyakit-penyakit, dan banyak rakyat meninggal. Melihat hebatnya penderitaan rakyat, dia mendaki Gunung Tienshan dan berbicara dengan sepuluh matahari. “Kasihanilah rakyat dan keluarlah hanya satu secara bergantian, jangan keluar secara bersamaan”, mohon Hou Yi. “Kenapa kita harus begitu?”, tanya salah satu matahari. “Karena jika kalian semua muncul secara bersamaan, cahaya dan panas kalian membuat rakyat dan mahluk hidup lainnya menderita”, jawab Hou Yi. Tanya matahari yang lain, “apa urusan manusia dengan kami?” “Ya benar! Kami sepuluh bersaudara sangat senang bermain bersama setiap hari di langit. Betapa hampa dan membosankan bila kami mengelilingi langit secara bergantian”, tambah matahari lainnya. “Namun Surga sangat sayang kepada mahluk hidup, dan saya berbicara kepada kalian atas perintah Kaisar Langit”, kata Hou Yi. Meskipun Hou Yi berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk memberikan penjelasan, tetapi mereka tidak menghiraukan. Salah seorang berkata dengan sombong “Kami adalah putra dari Kaisar Langit, dan siapakah kamu berani mencampuri urusan kami?”
Lalu kesepuluh matahari dengan sombongnya mengeluarkan panasnya ke bumi, yang mengakibatkan hutan-hutan terbakar, burung dan binatang berlarian menghindar dan manusia berusaha untuk menyelamatkan hidup.
Perbuatan tersebut membuat Hou Yi kehilangan kesabaran, sehingga dia mengambil busur dan panahnya, dan memanah matahari tersebut satu per satu. Pada saat Hou Yi akan memanah matahari yang terakhir, sang matahari memohon agar Hou Yi memberikan pengampunan, dan matahari tersebut berjanji mematuhi semua tugas yang diberikan dan hanya akan keluar pada siang hari.
Setelah kejadian itu, rakyat sangat menikmati hidup mereka, mereka bekerja pada siang hari dan beristirahat pada malam hari. Hou Yi lalu melaporkan semua yang dilakukannya kepada Kaisar Langit, yang sangat marah karena Hou Yi membunuh sembilan putranya dengan kejam. Kaisar Langit menolak Hou Yi kembali ke surga. Kaisar Langit mengatakan bahwa Hou Yi sangat dinantikan oleh rakyat di kawasan timur yang telah mengangkatnya sebagai ketua dari suku-suku tersebut, dan menginginkan agar Hou Yi dapat berjuang untuk kesejahteraan umat manusia. Maka Hou Yi tidaklah dapat pulang ke surga, dan di bumi sangat banyak pekerjaan yang harus dilakukannya.
Jika seseorang ingin menguasai alam, yaitu dengan berkuasa atas serangga dan binatang buas, maka dia pertama-tama harus belajar untuk bertarung. Maka Hou Yi mulai melatih rakyat memanah.
Hou Yi sangat sibuk dengan semua pekerjaan yang ada sehingga dia jarang pulang ke rumah, dan ini menyebabkan Chang-E merasa ditelantarkan dan kesepian. Yang paling membuat Chang-E sedih adalah kenyataan bahwa dia sekarang adalah seorang manusia, yang tidak dapat menghindari penderitaan manusia, seperti melahirkan, menjadi tua, sakit dan meninggal. Chang-E sangat marah terhadap perbuatan Hou Yi yang memanah jatuh matahari-matahari yang merupakan putra dari Kaisar Langit tersebut.
Hou Yi sangat mencintai istrinya, dan untuk menghindari pertengkaran yang selalu terjadi, maka dia berkelana sendirian. Dengan cara ini dia lebih dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan dunia.
Dalam pengembaraan, Hou Yi melakukan banyak perbuatan baik. Salah satu perbuatan baik Hou Yi yang sangat terkenal adalah membunuh seekor monster berkepala sembilan. Semua perbuatan baik yang dilakukan membuat nama Hou Yi semakin terkenal.
Beberapa kali Hou Yi memohon kepada Kaisar Langit agar dia dan istrinya dapat kembali ke surga, namun Kaisar Langit tetap tidak memaafkan perbuatan Hou Yi. Sehingga lama kelamaan, Hou Yi dan Chang-E harus berusaha keras agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia.
Manusia tidak dapat menghindar dari sakit, derita, kesedihan, dan kecemasan. Maka saat Hou Yi berkelana, yang bertujuan untuk melakukan banyak perbuatan baik bagi rakyat jelata, semakin terdapat jarak antara dia dengan sang istri.
Pada saat itulah Hou Yi bertemu dengan Mi Fei, yang merupakan salah satu wanita tercantik yang ada. Mi Fei merupakan salah satu keturunan dari Fu Shi, penguasa legendaris Cina. Dahulu, Mi Fei kehilangan keseimbangan dan tenggelam di sungai Lo, yang kemudian membuat Mi Fei menjadi Dewi Lo. Mi Fei menikah dengan Feng Yi, Dewa Air, yang mengendalikan Sembilan Sungai.
Mi Fei sedang bermain di sungai suatu hari pada saat Hou Yi sedang mengendari kuda. Karena Mi Fei telah menikah dan tidak ingin orang asing melihatnya, maka dia menyelam ke dalam air. Namun Hou Yi telah melihat Mi Fei dan mengira Mi Fei tenggelam, maka Hou Yi meloncat ke sungai untuk menyelamatkan Mi Fei. Secara tidak disadari, Mi Fei merasa senang pada saat ditolong oleh Hou Yi. “Kamu lebih baik pergi, karena jika suamiku melihatmu maka kamu akan mati”, kata Mi Fei memperingatkan Hou Yi. “Suamimu? Kamu memiliki suami?”, tanya Hou Yi dengan penuh kekecewaan. “Siapakah dia?”. “Feng Yi, Dewa Air.”. “Oh dia!”, kata Hou Yi sambil tertawa karena mendengar nama Feng Yi yang memiliki reputasi buruk. Dalam hati, Hou Yi sangat menyayangkan kenyataan bahwa wanita cantik ini ternyata memiliki suami semacam Feng Yi.“Bagaimana kamu bisa tertawa? Suamiku memiliki sifat yang buruk, dan dia pasti akan membunuhmu.”.“Maka apakah kamu adalah Dewi Lo?”, tanya Hou Yi.“Ya!”
“Itu tidak apa-apa! Jika Feng Yi memang bisa membunuhku, saya tidak akan keberatan selama saya bisa bersama wanita cantik sepertimu”, kata Hou Yi.
“Namun saya meragukan kemampuan Feng Yi bisa menandingi kemampuan seseorang yang mampu membunuh matahari di langit”.
Mi Fei melihat busur dan panah gaib yang ada dan menyadari siapakah Hou Yi sebenarnya. Mungkin karena Mi Fei menyukai Hou Yi, atau karena Mi Fei merasa kesepian sekian lama, maka Mi Fei tiba-tiba menangis di pundak Hou Yi. Hou Yi juga melupakan sang istri di rumah. Hou Yi melupakan Chang-E, Mi Fei melupakan Feng Yi.
Namun percintaan mereka tidak kekal. Pada suatu hari saat mereka sedang berbincang-bincang dengan mesra di tepi sungai, Feng Yi memergoki mereka. Dia sangat marah dan merubah diri menjadi seekor naga putih. Lalu mengamuk, menyapu semua kuda-kuda dan menghancurkan ladang pertanian yang ada di sekitar sungai.
Berpikir bahwa naga itu adalah seekor naga yang jahat, Hou Yi mengambil busurnya dan melepaskan sebuah panah. Mi Fei berusaha menghentikan Hou Yi, karena dia mengetahui penyamaran suaminya, namun dia terlambat. Panah itu membutakan satu mata Feng Yi, yang lalu melaporkan kejadian itu kepada Kaisar Langit.
Karena Hou Yi telah banyak melakukan perbuatan baik dan menghadapai kenyataan bahwa sebenarnya Hou Yi sedang menjalani hukuman karena membunuh sembilan matahari, maka Kaisar Langit hanya mengatakan agar Hou Yi tidak menemui Mi Fei lagi.
Patah hati! Maka satu-satunya yang bisa dilakukan Hou Yi adalah pulang ke rumah. Namun, Chang-E tidak menyambut dengan gembira. “Bagaimana bisa kamu pulang kesini setelah apa yang kamu lakukan? Pulanglah kamu ke perempuan yang tidak tahu malu itu!”, kata Chang-E. Hou Yi tidak berkata apa-apa, karena menyadari bahwa dirinya memang bersalah.
Sementara itu Feng Yi yang masih tidak puas dengan keputusan Kaisar Langit, memanggil para naga dari Sembilan Sungai dan memerintahkan mereka membuat awan dan hujan selama satu bulan penuh. Bencana ini menandingi bencana yang pernah ditimbulkan sepuluh matahari. Semua binatang dan tanaman tenggelam, yang menyebabkan rakyat kelaparan.
Maka sekali lagi Hou Yi memanggul busur dan panahnya, memanggil semua pengikutnya dan pergi berburu burung, binatang, dan ikan untuk memberi makan Chang-E dan para anggota sukunya. Chang-E tidak merasa senang dengan memakan binatang-binatang liar ini. Dia ingin makan buah-buahan dan dia meminta Hou Yi menunjukkan kegagahannya.
“Saya dahulu dapat mengambil bintang untukmu”, kata Hou Yi, “namun sekarang kita adalah manusia dan seluruh daerah dilanda banjir dan semuanya mati, dimana kamu mengharapkan saya bisa mendapatkan buah-buahan?”
“Itu semua salahmu! Kenapa kamu harus membunuh sembilan matahari itu? Seharusnya kamu sadar bahwa mereka adalah anak dari Kaisar Langit. Dan bagaimana kamu bisa juga bermesraan dengan Mi Fei yang telah menikah dengan Feng Yi? Kamu tidak tahu malu!”, teriak Chang-E sambil menangis. Hou Yi menyadari bahwa dirinya memang salah.
“Baiklah, itu semua salahku. Tenanglah. Marah akan membuat kamu cepat menjadi tua”, kata Hou Yi dengan penuh kesabaran. Mendengar kata “tua”, Chang-E tertegun dan melihat bayangannya di air. Dan Chang-E terkejut menyaksikan kerut-kerut pada mukanya.
Dia menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang wajar pada manusia, dan kejadian itu tidak dapat dihindarinya. Chang-E berteriak-teriak histeri. “Saya tidak ingin berubah! Saya tidak ingin menjadi jelek! Saya ingin kembali ke surga!”. “Itu tidak mungkin”, kata Hou Yi, “Kaisar Langit tidak mengijinkan kita kembali.”. “Saya tidak mau tahu! Saya tidak mau menjadi tua! Saya tidak mau menjadi jelek! Kamu harus menemukan cara agar saya tetap abadi dan cantik!”. “Baik, baik. Saya akan memikirkan caranya”, kata Hou Yi.
Hou Yi kebingungan. Dimana dia bisa mendapatkan cara membuat seseorang abadi dan tetap cantik? Namun bila dia tidak mendapatkannya, itu akan berterusan tanpa akhir. Maka dia pergi dan tidak berani pulang ke rumah. Hou Yi ingin pergi ke tempat Mi Fei namun dia takut melanggar perintah Kaisar Langit, itu membuat semangatnya semakin turun dari hari ke hari.
Hou Yi menjadi pemabuk, dan mulai menunjukkan sifat kasar. Hou Yi mulai bersikap kasar kepada para murid dan anggota sukunya. Dan itu membuat orang-orang tidak menyukai Hou Yi, terutama Feng Meng dan seorang anak buah Feng Meng, Han Cho.
Feng Meng telah lama belajar memanah dari Hou Yi, dan merasa bahwa dirinya sudah melebihi Hou Yi. Dia secara rahasia menyukai Chang-E, namun tidak berani bertindak apa-apa karena dia takut akan busur dan panah gaib yang dimiliki Hou Yi. Sedangkan Han Cho adalah seorang tamak yang menginginkan menjadi ketua menggantikan Hou Yi, tentunya jika Hou Yi dibinasakan. Maka mereka berdua merencanakan hal jahat terhadap Hou Yi dan Chang-E. Mereka mengatakan kepada Hou Yi bahwa Ibu Raja yang tinggal di puncak Gunung Kunlun memiliki ramuan yang dapat membuat seorang abadi dan tetap cantik.
Demi Chang-E, Hou Yi mendaki Gunung Kunlun yang penuh dengan bahaya, dimana akhirnya dia bisa menjumpai Ibu Raja. Karena pengorbanan yang dilakukan oleh Hou Yi begitu besar untuk mencapai puncak Gunung Kunlun, Ibu Raja memberikan sebuah pil keabadian.
Seseorang yang memakan pil ini akan dapat ke surga, Ibu Raja berkata kepada Hou Yi, namun jika dua orang membaginya, maka mereka berdua dapat hidup abadi. Mereka harus memakan pil itu tepat pada tanggal 15 bulan 8, ketika bulan penuh, demikian kata Ibu Raja lebih lanjut.
Hou Yi sangat gembira mengetahui hal tersebut, dan segera pulang ke rumah untuk memberitahu Chang-E. Mereka membagi pil tersebut menjadi dua dan akan memakannya pada waktu yang telah diberitahu, sehingga mereka berdua dapat menjadi abadi.
Saat itu adalah tanggal 12 bulan 8, tiga hari kemudian merupakan hari yang ditunggu. Namun Hou Yi mendengar adanya “ramuan permata” di Gunung Tienshan yang dapat membuat wanita semakin cantik. Maka untuk membuat Chang-E bahagia dan menebus kesalahan yang pernah dilakukan, Hou Yi pergi untuk mendapatkan ramuan tersebut.
Menurut perhitungan Hou Yi, dia akan mendapatkan ramuan itu dan kembali ke rumah dalam waktu tiga hari. Karena Hou Yi ingin memberi kejutan kepada Chang-E, dia tidak mengatakan apa-apa mengenai kepergiannya.
Tiga hari berlalu dan Chang-E melihat bahwa Hou Yi tidak akan kembali. Dia bertanya kepada Feng Meng mengenai hal itu, dan Feng Meng berkata bahwa dia tidak diperbolehkan untuk berkata apa-apa. Karena ditanya terus menerus, maka Feng Meng dengan liciknya mengatakan bahwa, “Hou Yi tidak mengijinkan saya berkata apa-apa”.. “Mengapa tidak? Kemana dia pergi?”, tanya Chang-E. “Saya tidak dapat mengatakannya. Hou Yi akan membunuh saya!”. “Tidak. Hou Yi tidak akan melakukan apa-apa terhadapmu. Katakan saja”, desak Chang-E. “Dia….dia pergi untuk mencari Mi Fei”, bohong Feng Meng.
Chang-E tertegun. Betapa tidak tahu budi suaminya. Chang-E sangat marah mendengarkan hal itu. Dan saat bulan mulai muncul, Chang-E mengambil pil keabadian yang telah diberikan oleh Hou Yi, perlahan-lahan menuju ke halaman dan memandang ke langit.
Dia mengenang semua kehidupan bahagia yang pernah dinikmati di surga. Tidak ada banjir, tidak ada sakit, tidak ada penderitaan, dan tidak ada kesedihan. Manusia harus mengalami semuanya. Betapa enak hidup di surga, pikir Chang-E. Sekarang Chang-E memiliki pil keabadian. Namun, apakah Hou Yi akan pulang? Chang-E berpikir, mungkinkah Hou Yi berencana untuk memakan pil itu berdua dengan Mi Fei dan meninggalkan dirinya? Kebahagian di surga, dan penderita di dunia.
Hati Chang-E dipenuhi dengan berbagai kemelut emosi. Tiba-tiba, Chang-E mendengar suara derap tapak kuda, dan menebak bahwa itu pasti suaminya pulang. Dengan penuh kebingungan, dia meminum pil itu semuanya, dan saat itu juga dia merasa tubuhnya semakin ringan dan mulai melayang di udara.
“Chang-E! Chang-E!”, teriak Hou Yi sambil memegang erat ramuan permata yang didapatkan dari Gunung Tienshan. Namun Chang-E tidak menghiraukannya.
Chang-E terus melayang semakin cepat dan cepat. Dengan penuh kemarahan Hou Yi melempar ramuan permata dan mengambil busur serta panah gaibnya, namun dia tidak berani untuk memanah. Chang-E ingin pergi ke surga, namun para Dewa-Dewi di surga telah menyaksikan penghianatannya terdapat sang suami dan mencelanya. Maka dia menjadi takut dan merubah arah ke bulan yang dingin dan sepi.
Hou Yi menyaksikan semuanya dari bumi, dan berpikir bahwa dia dapat memanah jatuh bulan. Dia dapat melakukan hal itu, namun dia tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia akan membunuh istrinya yang tersayang. Maka, dengan penuh kemarahan, dia mematahkan busur dan panah gaibnya. Kenapa harus tetap memiliknya, jika dia ternyata tetap tidak dapat menolong istrinya?
Feng Meng dan Han Cho melihat semua kejadian dari tempat tersembunyi, dan tersenyum bahagia. Hou Yi begitu sedih. Dengan satu perintah, dua orang itu bersama empat pengikut mereka mendatangi dan membunuh Hou Yi.
Chang-E yang berada di bulan menyaksikan bagaimana sang suami dibunuh secara kejam, dan dia sangat menyesali apa yang telah dilakukan. Namun sudah terlambat, tidak hanya dia sekarang telah dibuang dari surga, dia juga harus hidup abadi sendirian di bulan.
Li Shang Yin (A.D. 812-858), seorang penyair dari Dinasti Tang, menulis cerita sedih Chang-E tiga ribu tahun kemudian, dan cerita itu menjadi sebuah legenda, terutama bagi bangsa Tionghoa. Setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek, ketika bulan menunjukkan keindahan secara penuh, orang Tionghoa melihat ke bulan dan mengingat Chang-E dan legendanya.

i. Cao E, legenda yang membuat orang Tiong Hoa mendayung perahu naga sambil membawa patung Cao-E pada hari kelima bulan kelima Imlek.
Berdasarkan legenda, pada suatu tahun di hari ke lima bulan ke lima Imlek selama masa pemerintahan Kaisar An Di dari Dinasti Han Timur, terdapat seorang pria bernama Cao Ding yang sedang menikmati suara ombak. Suara ombak sungai bagi Cao Ding jauh lebih indah dibandingkan suara dedaunan tertiup angin, juga dibandingkan kemeriahan laskar tentara yang sedang menikmati kemenangan. Ditengah keasyikannya, secara tiba-tiba Cao Ding tersapu ombak dan menghilang.
Anak Cao Ding, Cao-E, hanya dapat menemukan kipas sang ayah. Cao-E sangat sedih menyadari bahwa sang ayah telah meninggalkan dirinya. Kesedihan semakin bertambah demi menyadari bahwa dirinya tidak dapat menemukan jasad sang ayah.\ Para nelayan memberikan nasehat agar Cao-E pulang dan beristirahat, dan jasad sang ayah kemungkinan besar akan muncul ke permukaan setelah dua hari.
Tetapi tekad Cao-E sudah bulat untuk terus menunggu jasad sang ayah. Penantian selama tujuh hari dan tujuh malam tanpa hasil. Di tengah rasa putus asa dan penyesalan yang sangat mendalam, Cao-E menceburkan diri ke dalam sungai. Tiga hari kemudian, jasad Cao-E dan sang ayah ditemukan pada saat dan tempat yang sama.
Apa yang dilakukan Cao-E membuat rakyat sekitar sangat terharu. Oleh sebab itu, pada setiap hari ke lima bulan ke lima Imlek, pada Perayaan Perahu Naga, mereka mendayung perahu naga yang membawa patung Cao-E demi mengenang pengorbanan yang dilakukan Cao-E.
j. Asal Usul Adanya Ciam Sie dan Persembahan Pada Dewa
Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Guru-Guru agama untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.
Tetapi pada bulan bulan-bulan tertentu, para Guru itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Untuk itu para Guru membuat Ciam Sie supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Gurunya tidak berada di tempat.
Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Guru tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Guru-Guru tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.
Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.
Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarangpun masih ada.

k. Wang Wenzheng
Dahulu kala di China, ada seorang hakim bernama Wang Wenzheng. Dia terkenal akan kesabaran, toleransi dan pemaaf. Tak pernah ada yang melihatnya marah-marah dengan orang lain atau menggerutu. Suatu hari keluarganya ingin mengetes taraf kesabarannya. Mereka menghidangkan semangkuk nasi putih yang bersih dan semangkuk sop daging dengan kotoran diatasnya. Saat Wang Wenzheng melihat kotoran tersebut, dia tidak menyentuh sup itu. Dia dengan tenang hanya makan semangkuk nasi tanpa lauk sampai habis.
Saat tetangga Wang membangun rumahnya, ia menumpukkan bahan bangunan dan gunungan semen di depan pagar Wang, sehingga Wang tidak bisa masuk ke rumah melalui pagar depan. Wang harus masuk melalui pintu samping yang kecil dan pendek sehingga setiap kali masuk dia harus merunduk. Namun Wang tidak komplain kepada tetangganya atau menggerutu kepada siapapun juga. Terus hingga tetangga Wang selesai membangun rumahnya dan pintu depan sudah bisa digunakan kembali.
Toleransi dan sifat memaafkan yang ditunjukkan Wang adalah teladan bagi manusia sekarang yang umumnya tidak terima apabila dirugikan oleh orang lain.

l. Wu Kang Menebang Pohon Cassia
Seorang lelaki yang pandai, Wu Kang, mula-mulanya adalah seorang petani. Melihat tanamannya dapat tumbuh dengan mudah, dia menganggap bahwa bertani tidak cukup menantang, maka dia berguru pada seorang pembuat perabotan. Karena diberi tahu oleh gurunya bahwa dia akan dapat membuat perabotan yang baik dalam waktu tiga sampai lima tahun mendatang, dia menyerah. Lalu dia bekerja pada sebuah toko dimana kejadian yang serupa dialaminya, sehingga membuatnya menyerah dan memutuskan untuk menjadi Dewa.
Wu Kang lalu hidup di pegunungan dimana dia selalu membuat susah seorang Dewa yang dimintanya untuk mengajarinya. Pertama-tama sang Dewa mengajari mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit, namun tiga hari kemudian sifat malasnya muncul dan meminta sang Dewa mengajarkan hal lain. Lalu sang Dewa mengajarinya bermain catur, tetapi dalam waktu singkat Wu Kang menjadi tidak bersemangat lagi.
Lalu dia diberi sebuah buku keabadian untuk dipelajari. Namun Wu Kang menjadi bosan kembali dalam waktu beberapa hari, dan dia meminta pergi ke tempat yang baru dan menyenangkan. Sang Dewa tanpa ragu menyarankan pergi ke bulan, dan pada saat kesabaran sang Dewa habis karena tingkah laku Wu Kang, maka sang Dewa meninggalkannya untuk memotong pohon cassia. Pohon cassia tidaklah dapat ditumbangkan dalam waktu satu hari, dan akan tumbuh seperti sediakala pada keesokan harinya. Dan keajaiban itu membuat Wu Kang kehabisan kesabaran untuk menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat pulang ke bumi. Sampai saat ini Wu Kang masih terus berusaha menumbangkan pohon tersebut.
9. MAKANAN TRADISIONAL
Masakan Tionghoa-Indonesia
Masakan Tionghoa-Indonesia mempunyai ciri khas campuran antara masakan Tionghoa dengan masakan tradisional Indonesia. Masakan ini biasanya mirip dengan masakan Tionghoa yang dimodifikasi dengan cabai, santan dan bumbu-bumbu dari masakan Indonesia. Beberapa masakan dan kue menyerupai masakan di Malaysia.
Masakan Tionghoa-Indonesia juga dapat bervariasi tergantung dari tempat. Sebagai contoh di berbagai tempat di pulau Jawa, masakan ini menjadi bagian dari budaya setempat. Di Jawa Timur masakan ini cenderung agak manis. Di Medan, Sumatra Utara masakan tradisional Tionghoa masih lebih mudah ditemukan.
Ada beberapa jenis gaya masakan Tionghoa di Indonesia:
• Masakan Tionghoa gaya baru dengan koki dari Tiongkok, Hongkong atau Taiwan.
• Masakan Tionghoa tradisional seperti masakan Tiochiu, Hokkian dan Hakka.
• Masakan Tionghoa-Indonesia dengan pengaruh barat (Belanda).
• Masakan Tionghoa yang diadaptasi ke budaya setempat, seperti menggantikan babi dengan ayam atau sapi untuk membuatnya halal.

Masakan Tionghoa-Indonesia antara lain:
a. Abon
Abon adalah daging cincang yang telah dihaluskan, dididihkan, dan kemudian digoreng. Penampilanya biasanya berwarna cokelat terang hingga kehitaman. Abon tampak seperti serat, karena didominasi oleh serat-serat otot yang mengering. Daging yang biasa digunakan untuk membuat abon berasal dari sapi, sehingga orang mengenal 'abon sapi'. Sumber lain yang digunakan adalah ayam atau babi.







b. Ayam Kung Pao


Ayam Kung Pao (tradisional; sederhana; pinyin: gōngbǎo jīdīng / gōngbào jīdīng; juga dieja ayam Kung Po) adalah makanan yang berasal dari provinsi Sichuan, RRT.

c. Bakcang

Bakcang atau bacang (Hanzi:hanyu pinyin: rouzong) adalah penganan tradisional masyarakat Tionghoa. Kata 'bakcang' sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di antara suku Tionghoa di Indonesia.
Bakcang menurut legenda pertama kali muncul pada zaman Dinasti Zhou berkaitan dengan simpati rakyat kepada Qu Yuan yang bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo. Pada saat itu, bakcang dilemparkan rakyat sekitar ke dalam sungai untuk mengalihkan perhatian makhluk-makhluk di dalamnya supaya tidak memakan jenazah Qu Yuan. Untuk kemudian, bakcang menjadi salah satu simbol perayaan Peh Cun atau Duanwu.
Bakcang secara harfiah berarti cang yang berisi daging, namun pada prakteknya, cang juga ada yang berisikan sayur-sayuran atau yang tidak berisi. Yang berisi sayur-sayuran disebut chaicang dan yang tidak berisi biasanya dimakan bersama dengan serikaya atau gula disebut kicang.
Bakcang dibuat dari beras ketan sebagai lapisan luar; daging, jamur, udang kecil, seledri dan jahe sebagai isi. Ada juga yang menambahkan kuning telur asin. Untuk perasa biasanya ditambahkan sedikit garam, gula, merica, penyedap makanan, kecap dan sedikit minyak nabati.
Tentunya yang tidak kalah penting adalah daun pembungkus dan tali pengikat. Daun biasanya dipilih daun bambu panjang yang harus dimasak terlebih dahulu untuk detoksifikasi. Bakcang biasanya diikat berbentuk prisma segitiga

d. Bakmi
Bakmi adalah salah satu jenis mi yang dibawa oleh pedagang-pedagang Tionghoa ke Indonesia. Bakmi juga merupakan makanan yang terkenal terutama di daerah-daerah pecinan di Indonesia. Biasanya bakmi telah diadaptasi dengan menggunakan bumbu-bumbu Indonesia. Tebalnya bakmi adalah antara Mian Tiongkok dan Udon Jepang, selain itu ada berbagai variasi bakmi di Indonesia.
Bakmi yang paling umum adalah yang terbuat dari tepung terigu atau bakmi kuning. Jenis kedua yang juga terkenal adalah kwetiaw, yang dibuat dari beras dan bentuknya lebih lebar serta lebih tipis dari bakmi. Kedua variasi ini biasa digoreng atau direbus sebelum disajikan.

Cara memasak
Apabila bakmi hendak digunakan dalam kuah, biasanya bakmi direbus secara terpisah. Mi yang digunakan umumnya telah dicampur dengan minyak. Kemudian mi ini disajikan dengan lauk seperti ayam, bok choy atau juga bakso. Kuah akan dihidangkan dalam mangkuk tersendiri dan baru akan dicampur dengan mie sesuai selera sendiri-sendiri.
Bakmi dapat juga digoreng. Umumnya bakmi direbus terlebih dahulu sebelum digoreng dengan sayuran, kecap manis dan daging. Perkecualian adalah untuk I fu Mie, di mana bakmi yang telah digoreng disajikan dengan sayuran, daging dan saus.
Kata Mie dan Bami dalam bahasa Belanda dan bahasa Jerman berasal dari Bakmi dan diperkenalkan selama masa kolonial Belanda di Indonesia. Masakan Indonesia sangatlah populer di Belanda dan Bakmi adalah salah satu makanan yang sangat terkenal.

e. Bakpao

Bakpao (Hanzi: 肉包, hanyu pinyin: roubao) merupakan makanan tradisional Tionghoa. Dikenal sebagai bakpao di Indonesia karena diserap dari bahasa Hokkian yang dituturkan mayoritas orang Tionghoa di Indonesia.
Bakpao sendiri berarti harfiah adalah baozi yang berisikan daging. Baozi sendiri dapat diisi dengan banyak isian lainnya seperti daging, sayur-sayuran, serikaya manis, selai kacang kedelai atau kacang merah dan sebagainya sesuai selera.
Kulit bakpao dibuat dari adonan tepung terigu yang setelah diberikan isian, lalu dikukus sampai mengembang dan matang.
f. Bakpia

Bakpia adalah makanan yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus dengan tepung lalu dipanggang. Di beberapa daerah di Indonesia, makanan yang terasa legit jika dimakan ini dikenal dengan nama pia atau kue pia. Isi bakpia bisa menyesuaikan dengan keinginan konsumen di antaranya cokelat, keju, kumbu hijau, dan kumbu hitam. Bakpia yang cukup dikenal salah satunya berasal dari daerah Pathok, Yogyakarta.
Isilah bakpia sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian (Hanzi: 肉餅), yang secara harfiah berarti roti berisikan daging.

g. Bakso

Bakso adalah makanan berupa bola daging. Dibeberapa tempat seperti di Jakarta, bakso kerap ditulis baso. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi dan tepung, tetapi ada juga baso yang terbuat dari daging ayam atau ikan. Dalam penyajiannya bakso biasa dicampur dengan kuah bening dan mi. Dalam proses pembuatanya biasa dicampurkan boraks atau bleng untuk membuat tepung menjadi lebih kenyal mirip daging, hal ini membuat bakso pernah dianggap makanan yang kurang aman oleh BPOM.
Bakso sangat populer di Indonesia, tempat yang terkenal menjadi sentra Bakso adalah Solo dan Malang. Dipercaya bakso awalnya berasal dari Republik Rakyat Cina

h. Bebek Peking

Bebek Peking (bahasa Mandarin: 北京烤鸭, pinyin: beijing kaoya) adalah makanan tradisional di Tiongkok yang berasal dari Beijing. Bebek panggang Beijing/ Peking merupakan salah satu hidangan bebek panggang yang terkenal. Catatan mengenai asal usul hidangan bebek panggang dapat terlihat jejaknya pada masa Dinasti Utara dan Selatan, ketika memasak bebek tertera dalam karya sastra.
Makanan bebek Peking ini juga ditemui di Taiwan, dibawa oleh pemerintahan nasionalis Kuomintang yang kalah perang saudara dan mundur ke Taiwan tahun 1949.
Bebek Peking orisinal (bebek Peking di Beijing) dibuat menggunakan daging bebek khusus diternakkan untuk makanan ini. Bebek-bebek digemukkan dengan cara memberikan makanan bergizi, pada saat bebek-bebek kekenyangan, peternak-peternak mungkin saja memasukkan makanan ke dalam kerongkongan sang bebek secara paksa. Ini yang kemudian menjadikan bebek Peking juga dikenal dengan nama bebek isi.
Bebek tadi disajikan setelah dipanggang dengan kayu-kayu bakar khusus yang akan menentukan wangi atau tidak bebek yang dipanggang tadi.

i. Cahkwe

Cahkwe (Hanzi: hanyu pinyin: you tiao) adalah salah satu penganan tradisional Tionghoa. Cahkwe adalah dialek Hokkian yang berarti hantu yang digoreng. Nama ini berhubungan erat dengan asal-usul penganan yang kecil namun sarat akan nilai sejarah ini.
Cahkwe mulai populer di zaman Dinasti Song, berawal dari matinya Jenderal Yue Fei yang terkenal akan nasionalismenya akibat fitnahan Perdana Menteri Qin Kuai. Mendengar kabar kematian Yue Fei, rakyat Tiongkok kemudian 2 batang kecil dari adonan tepung beras yang melambangkan Qin Kuai dan istrinya lalu digoreng untuk dimakan. Ini dilakukan sebagai simbolisasi kebencian rakyat atas Qin Kuai.
Cahkwe ini populer sebagai makanan untuk sarapan pagi bersama-sama susu kedelai. Di Indonesia, cahkwe dijual di toko atau dijajakan oleh pedagang kaki lima. Biasanya dimakan dengan sambal asam cair.
j. Cap cai

Cap cai (hanyu pinyin: za sui) adalah dialek Hokkian yang berarti harfiah "aneka ragam sayur". Cap cai adalah nama hidangan khas Tionghoa yang populer yang khas karena dimasak dari banyak macam sayuran. Jumlah sayuran tidak tentu, namun banyak yang salah kaprah mengira bahwa cap cai harus mengandung 10 macam sayuran karena secara harfiah adalah berarti "sepuluh sayur". Cap di dalam dialek Hokkian juga berarti "sepuluh".

k. Dim sum
Dim sum (tradisional, sederhana: hanyu pinyin: dianxin) adalah istilah dari bahasa Kantonis dan artinya adalah "makanan kecil". Biasanya dim sum dimakan sebagai sarapan atau brunch. Namun karena dimsum populer ke dunia dari Hongkong maka istilah dimsum lebih populer dibandingkan dianxin.
Dimsum terdiri dari berbagai macam penganan kecil-kecil yang biasanya merupakan makanan bersama teh. Orang Kanton sendiri sangat mementingkan acara minum teh yang disebut yamcha (hanyu pinyin: yincha).

l. Fu yong hai
Fu yong hai adalah masakan Tionghoa yang dibuat dari telur yang didadar dengan campuran berupa sayuran, dan/atau ayam, makanan laut berupa kepiting, dan lain-lain dan disiram dengan saus asam manis yang biasanya terbuat dari tomat dan kacang polong tetapi ada juga saus yang disertai dengan potongan nanas di dalamnya.






m. Fung zau


Fung zu yang dihidangkan pada sebuah restoran.
Fung zau atau Ceker Ayam atau dalam bahasa Inggris biasanya dieja sebagai fon chauw (Hanzi: fung zau, (Sederhana) pinyin: fèngzhua) adalah sejenis makanan dim sum yang terbuat dari cakar ayam. Cakar ayam ini diberi bumbu-bumbu yang kemudian dikukus dan dihidangkan. Bumbunya terutama adalah saus tiram. Sebagai dim sum fung zau juga populer di Indonesia.

n. Ifu mie


Ifu mie adalah sejenis makanan Tionghoa. Makanan ini berbentuk bakmie yang telah direbus lalu digoreng lagi sampai garing berbentuk sarang. Kemudian di atasnya disiram dengan tumisan sayuran, biasanya cap cay.
Ifu mie juga populer di Indonesia dan seringkali dimakan pada acara-acara khusus.

o. Jiaozi

Jiaozi adalah nama makanan di kawasan RRT
p. Kue Bulan


Kue bulan tradisional
Kue bulan (Hanzi, pinyin: yuèbǐng) adalah penganan tradisional Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal dalam dialek Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia.
Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.

Asal mula
Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.
Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait pada perayaan festival musim gugur tadi.
Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri.

Kategori
• menurut cara pembuatan: Guangdong, Beijing, Taiwan, Hongkong, Chaozhou.
• menurut rasa: manis, asin, pedas
• menurut isi: kuning telur, tausa (kacang merah), buah-buahan, kacang hijau, es krim
• menurut bahan kulit: tepung gandum, gula dan es
Pembuatan kue bulan di Indonesia pada dasarnya berasal dari gaya pembuatan Guangdong dan Chaozhou. Juga ada lokalisasi dengan cara pencampuran bahan-bahan yang mudah didapatkan di Indonesia, semisal daun pandan sebagai perasa.
Dan masih banyak kategori-kategori lainnya hasil inovasi gaya pembuatan kue bulan gaya baru di pasaran.

q. Kwetiau


Kwetiau kuah
Kwetiau (guotiao; juga disebut shā hé fěn) adalah sejenis mi Tionghoa berwarna putih yang terbuat dari beras. Dapat digoreng ataupun dimasak berkuah. Kwetiau merupakan makanan yang cukup populer di Indonesia, terutama di daerah Jakarta dan tempat-tempat lain yang banyak didiami warga keturunan Tionghoa.
Kwetiau pada umumnya identik dengan etnis Hokkian dan Tio Ciu. Dalam penyebarannya di Indonesia, etnis Hokkian dan Tio Ciu berbeda dalam hal penyajian kwetiau. Etnis Hokkian yang banyak berdiam di Sumatra terkenal dengan Kwetiau Medan yang memakai baso ikan, lapchiong (sosis babi), dan telur bebek. Sedangkan etnis Tio Ciu yang banyak berdiam di Kalimantan terkenal dengan Kwetiau Sapi yang memakai daging sapi dan jeroannya seperti babat.

r. Lumpia


Sajian lumpia disebuah restoran
Lumpia atau kadangkala dieja sebagai lun pia (Hanzi: 潤餅, hanyu pinyin: run bing) adalah sejenis penganan tradisional Tionghoa. Lumpia sendiri adalah dialek Hokkian dari pelafalan runbing dalam dialek Utara.
Lumpia adalah lembaran tipis dari tepung gandum yang dijadikan kulit, lalu digunakan sebagai pembungkus isian yang biasanya terdiri dari rebung, telur, sayuran segar, daging maupun makanan laut.

s. Nasi ayam Hainan
Nasi ayam Hainan


Nasi ayam Hainan dihidangkan di medan selera

Tulisan Tradisional:
海南雞飯

Tulisan Ringkas:
海南鸡饭

Maksud harfiah: Nasi ayam Hainan

Daging ayam Hainan
Nasi ayam Hainan merupakan makanan Cina yang sering dikaitkan dengan makanan Malaysia atau Singapura, dan juga ditemui di negara berjiran Thailand, serta juga di wilayah Hainan, China. Nasi ayam Hainan yang dinamakan sedemikian kerana asal-usulnya dalam makanan Hainan dan pengamalannya oleh populasi orang Cina seberang laut bersuku Hainan dalam kawasan Nanyang, versi makanan ini yang didapati di Malaysia/Singapura menggabungkan unsur-unsur masakan Hainan dan Kantonis ditambah lagi dengan citarasa pemakanan di Asia Tenggara. Nasi ayam Hainan berasal dari China, maka asal-usulnya juga di sana.

Penyediaan

Nasi ayam.
Daging ayam disediakan melalui kaedah tradisional Hainan iaitu merebus seluruh seekor ayam dalam pati tulang ayam atau khinzir, mengguna semula air rebusan berbanyak kali dan hanya mengisi semula dengan air jika perlu, segalanya menurut citarasa orang Cina terhadap penghasilan "pati asal". Pati ini tidak digunakan untuk penyediaan nasi, yang sebaliknya melibatkan pati ayam yang dihasilkan khusunya untuk tujuan tersebut, maka hasilnya nasi yang berminyak dan berperisa yang kadang-kadang digelar "nasi minyak". Sesetengah tukang masak membubuh santan kelapa ke dalam nasi, meniru gaya penyediaan nasi lemak.
Orang Hainan lebih gemar ayam yang matang dan gempal untuk memaksimumkan amaun minyak yang diekstrak, maka terhasilnya sajian yang lebih kuat rasanya. Lama-kelamaan, sajian ini mula menerapkan unsur-unsur gaya pemasakan Kantonis seperti menggunakan ayam yang lebih muda untuk daging yang lebih lembut. Dalam satu variasi yang lain, ayam dicelup dalam ais setelah dimasak untuk menghasilkan kulit selicin jeli, iaitu Báijī atau "ayam putih", berbanding dengan Lǔjī ("ayam pati") yang lebih tradisional, juga dikenali sebagai Shāojī atau "ayam panggang". Di Singapura, di mana arus pemodenan menyukarkan pengekalan dan penyimpanan pati asal jangka masa panjang, daging dimasak melalui perebusan dalam air berperisa bawang putih dan halia, kemudian pati yang dihasilkan diguna dalam penyediaan nasi dan juga dalam sup yang mengiringinya.
Sajian ini sering dihidangkan beserta sebilangan cecahan, termasuk sos cili dan serbuk halia. Di Hainan juga sering dihidangkan sos ketiga yang beramuankan sos tiram bercampur dengan bawang putih, manakala kicap pekat lebih diutamakan di Malaysia/Singapura. Versi Malaysian/Singapura bagi cili pula lebih pedas, mencerminkan pengaruh Asia Tenggara, dan boleh juga melibatkan campuran cili dengan bawang putih. Kebanyakan hidangan nasi ayam ini disajikan dengan hirisan timun, iaitu bayangan bagi citarasa orang Cina yang gemar kepelbagaian untuk sajian yang lebih lengkap.

t. Nasi goreng


Nasi goreng
Nasi goreng adalah sebuah komponen penting dari masakan tradisional Tionghoa, menurut catatan sejarah sudah mulai ada sejak 4000 SM. Nasi goreng kemudian tersebar ke Asia Tenggara dibawa oleh perantau-perantau Tionghoa yang menetap di sana dan menciptakan nasi goreng khas lokal yang didasarkan atas perbedaan bumbu-bumbu dan cara menggoreng.
Nasi goreng sebenarnya muncul dari beberapa sifat dalam kebudayaan Tionghoa, yang tidak suka mencicipi makanan dingin dan juga membuang sisa makanan beberapa hari sebelumnya. Makanya, nasi yang dingin itu kemudian digoreng untuk dihidangkan kembali di meja makan.

u. Selai kacang merah

Selai kacang merah dari kaleng
Selai kacang merah adalah selai yang dibuat dengan merebus kacang azuki hingga empuk, dan dimasak dengan gula hingga kental. Seringkali setelah direbus, kulit ari kacang merah dibuang dan disaring untuk menghasilkan selai yang lebih halus. Madu dan tepung kadang-kadang ditambahkan sewaktu memasak kacang merah. Selai kacang merah digunakan sebagai isi berbagai kue Tionghoa, Jepang, dan Korea. Selai kacang merah siap pakai bisa dibeli dalam kemasan kaleng atau kantong plastik.
Selai kacang merah berasal dari Tiongkok dan disebut dalam bahasa Tionghoa sebagai pinyin: hóngdòushā/dòushā, atau angtaosa dalam bahasa Hokkien. Dalam bahasa Jepang, selai kacang merah disebut An, Anko, atau Ogura. Anko berasal dari bahasa Tionghoa; pinyin: xiànzi yang berarti isi kacang merah dari bakpao. Dalam bahasa Korea, selai kacang merah disebut pat.

v. Susu kacang

Susu kacang disajikan dalam gelas ataupun kemasan kaleng
Susu kacang adalah semacam minuman yang dibuat daripada kacang kuning, mendapat namanya karena minuman ini berwarna putih kekuningan mirip dengan susu.
Susu kacang lazim sebagai hidangan sarapan pagi bersama dengan penganan lainnya seperti youtiao.

Asal mula
Susu kacang telah ada di Tiongkok selama ribuan tahun, tepatnya 1900 tahun lalu. Tercatat bahwa Raja Huainan, Liu An dari Dinasti Han karena sang ibu sakit tak dapat mengunyah makanan keras, Liu An kemudian menggiling kacang kuning yang telah direndam selama beberapa waktu menjadi cairan yang kemudian dikenal sebagai susu kacang.
Penyakit sang ibu kemudian berangsur membaik menyebabkan susu kacang kemudian menyebar luas ke masyarakat. Susu kacang menjadi minuman umum di dalam kebudayaan Tionghoa karena cocok diminum sepanjang tahun.
w. Tahu

Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Berbeda dengan tempe yang asli dari Indonesia, tahu berasal dari China, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) (hanyu pinyin: doufu) yang secara harfiah berarti "kedelai yang difermentasi". Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An yang merupakan seorang bangsawan, cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang yang mendirikan Dinasti Han.

x. Tahu busuk

Tahu busuk

Warung tahu busuk
Tahu busuk (hanyu pinyin: chou doufu) adalah salah satu penganan tradisional Tionghoa. Tahu busuk adalah sejenis tahu yang difermentasikan lebih lanjut sehingga menjadi berbau tidak enak. Penyajiannya bermacam-macam, dapat digoreng, dikukus, direbus atau dipanggang. Yang unik, setelah digoreng, direbus, dikukus atau dipanggang, tahu ini tidak berbau busuk lagi dan dapat menjadi sebuah penganan yang sangat enak.
Penganan ini pada masanya pernah menjadi hidangan kekaisaran, menjadi penganan favorit Maharatu Ci Xi di masa Dinasti Qing.

y. Tauhue

Tauhue sebagai penganan populer di Tainan, Taiwan
Tauhue (hanyu pinyin: douhua), di Indonesia lebih umum dikenal dengan nama kembang tahu, adalah sebuah penganan kecil tradisional Tionghoa. Tauhue adalah dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di kalangan Tionghoa-Indonesia.
Tauhue erat hubungannya dengan tahu karena bahan dan cara pembuatan yang hampir sama. Kacang kedelai yang diperas menghasilkan susu kacang kedelai. Ke dalam susu ini kemudian ditambahkan sedikit gipsum untuk menghasilkan bentuk yang lebih padat namun lunak. Jadilah tauhue ini sejenis tahu yang sangat lunak.
Tauhue sangat populer di selatan Tiongkok. Biasanya dihidangkan bersama dengan air gula. Di Taiwan, tauhue biasanya juga dihidangkan bersama kacang merah, air jeruk nipis untuk menambah keragaman rasa.

z. Xiaolongbao

Xiaolongbao
Xiaolongbao adalah makanan yang berasal dari Shanghai, RRT. Xiaolongbao umumnya dikukus dalam keranjang bambu

10. TARIAN
a. Tarian singa


Kostum tarian singa selatan.
Tarian Singa (bahasa Cina: pinyin: wǔshī) adalah sebahagian daripada tarian tradisional dalam adat warisan masyarakat Cina, yang mana penari akan meniru pergerakan singa dengan menggunakan kostum singa. Kostum singa itu dimainkan oleh dua penari iaitu seorang memainkan di bahagian hadapan dengan menggerakan kepala kostum, manakala pasangan penari akan memainkan bahagian belakang kostum singa tersebut. Kedua-dua penari itu akan bergerak seakan-akan singa di atas pentas yang disediakan. Tarian singa ini akan diiringi oleh gong, dram, dan dentuman mercun yang dikatakan akan membawa tuah.

Sejarah
Sejarah singa dianggap sebagai pelindung dalam kebanyakan adat orang Asia, terutamanya bagi mereka yang berketurunan orang Cina. Tarian singa menjadi adat di negara China, Taiwan, Jepun, Korea, Thailand, dan Vietnam. Setiap negara tersebut mempunyai corak dan bentuk tarian yang berbeza. Namun tarian ini lebih terkenal sebagai warisan orang Cina, kerana dikatakan sejarahnya bermula lebih 1,000 tahun lalu. Dua tarian singa yang amat popular ialah "Tarian Singa Utara" dan "Tarian Singa Selatan".
Tarian Singa Utara adalah berasal dari bahagian utara China yang menggunakan tarian ini sebagai hiburan diraja. Kostum singa mereka menggunakan warna merah, jingga dan kuning (hijau bagi kostum singa betina). Tarian Singa Utara adalah lebih banyak pergerakan akrobatik dan bertujuan sebagai hiburan.
Tarian Singa Selatan lebih membawa perlambangan alam sekitar. Tarian ini selalu dipersembahkan sebagai istiadat upacara membuang semangat jahat dan upacara meminta tuah. Tarian Singa Selatan menggunakan pelbagai warna dan kepala kostum mempunyai mata yang lebih besar daripada Singa Utara, dan mempunyai cermin serta sebatang tanduk di hadapan kepalanya.

b. Tarian naga

Kepala pakaian beragam penari tarian naga.


Persatuan Pemuda Cina Melbourne (Australia), membuat persembahan Tahun Baru China - menunjukkan asas pusingan skrew 'corkscrew'


Tarian naga berkembar di Chongqing, China, 28 September 2002, semasa seminggu ulang tahun pada Hari kebangsaan China moden (1st Oktober)
Tarian naga (Cina Tradisional: Cina Ringkas, pinyin: wǔ lóng) ialah sebentuk tarian dan persembahan tradisional dalam budaya Cina. Sepertilah tarian singa, tarian naga sering dipersembahkan pada musim perayaan. Orang Cina selalu menyebut "Keturunan Naga" (Cina Tradisional, Cina Ringkas, pinyin: lóng de chuán rén) sebagai lambang identiti etnik.
Dalam tarian ini, sepasukan orang Cina memegang sebatang "naga" — iaitu imej naga Cina — dengan tiang. Penari-penari hadapan mengangkat, mencelup, membidas, dan menyapu kepala naga, yang boleh memiliki ciri-ciri animasi yang dikawal oleh seorang penari dan kadang-kala dikawal untuk mengeluarkan asap dari alat-alat piroteknik. Pasukan tarian meniru apa yang dipercayai sebagai gerakan semangat sungai ini secara berbelok-belok dan beralun-alun.
Gerakan-gerakan dalam persembahan ini secara tradisinya melambangkan peranan-peranan naga yang menunjukkan kuasa dan maruah. Tarian naga ialah satu acara utama sambutan Tahun Baru Cina.
Naga dipercayai membawa tuah kepada orang, seperti yang dicerminkan dalam sifat-sifat naga termasuk kuasa besar, maruah, kesuburan, kebijaksanaan dan tuah. Kemunculan naga sungguhpun menakutkan namun membawa kecenderungan hati murni, maka menjadi jata yang melambangkan kekuasaan maharaja.



c. Barongsai


Barongsai adalah tarian tradisional Tiongkok dengan mengunakan sarung yang menyerupai singa[1]. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi[2].

Sejarah
Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda[3].

Tarian dan gerakan
Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa[2].

Barongsai di Indonesia
Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan[3].
Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta[2].
Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlik), barongsai dari keenam perguruan di Semarang, dipentaskan. Keenam perguruan tersebut adalah:
1. Sam Poo Tong, dengan seragam putih-jingga-hitam (kaos-sabuk-celana), sebagai tuan rumah
2. Ho Hap dengan seragam putih-hitam
3. Djien Gie Tong (Budi Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam
4. Djien Ho Tong (Dharma Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau
5. Hauw Gie Hwee dengan seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam merah-kuning=merah
6. Porsigab (Persatuan Olah Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru
Walaupun yang bermain barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Padang dan Lampung. Di kelenteng Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).

11. MITOS CINA
Laman-laman dalam kategori "Mitos Cina"
Terdapat 3 laman dalam kategori ini.
• Cai Shen
• Maharaja Jed
Maharaja Jed (bahasa Cina: pinyin: Yù Huáng atau 玉帝, pinyin: Yù Dì), dalam kepercayaan Tao, ialah pemerintah Syurga dan segala alam kewujudan di bawahnya termasuk alam Manusia dan Neraka menurut mitos Cina. Maharaja inilah salah satu dewa yang terpenting dalam kepercayaan Tao Cina.
Menurut kitab Memahami Syurga dan Neraka dan Jamuan Peach Abadi, Maharaja Jed dipilih oleh satu barisan dewa-dewi yang perlu lulus satu ujian oleh pendahulunya. Maharaja Jed ialah salah satu tuhan yang pentin dalam panteon Tao dan Konfusianisme Cina.
Sebuah kawah di Rhea, sebiji bulan planet Zuhal yang ditemui kapal angkasa Voyager 2, dinamakan sempena Maharaja ini.


• Nian

Tarian singa China Selatan menyerupai raksasa Nian
Untuk kegunaan lain, sila lihat: Pemberontakan Nien.
Dalam mitos Cina, raksasa Nian (Cina Tradisional: 年獸, Cina Ringkas: 年兽, pinyin: nián shòu) ialah seekor makhluk yang muncul pada musim bunga. Perkataan bahasa Cina bagi tahun berdasarkan ketibaan makhluk ini. Satu ungkapan untuk menyambut Tahun Baru Cina, guo nian (Cina Tradisional: 過年, Cina Ringkas: 过年, pinyin: guò nián) bererti perempuhan raksasa Nian. Adalah dipercayai bahawa raksasa Nian tinggal di dasar laut dan tiba di daratan untuk menyerang manusia pada masa yang sama setiap tahun. Tradisi Cina berhias serba merah, membakar mercun, dan tarian singa yang diiringi gendang dan gong kuat bertujuan mengusir makhluk ini.
Raksasa Nian
Raksasa Nian selalu tiba di China lalu memakan sesiapa yang dijumpainya, namun dalam sesetengah kisah, seorang dewa dikatakan memperguna kuasa-kuasa raksasa Nian (memakan ular berbisa dan membunuh haiwan buas seperti harimau dan singa) sebelum menjinakkan raksasa itu (dengan menunjukkan pakaian merahnya untuk menakutkan raksasa Nian yang mtakut akan warna merah). Semenjak itu, orang ramai memasang kuplet merah untuk menghindari kembalinya raksasa Nian.
Ketika Tahun Baru Cina, terdapat dua jenis tarian singa. Singa utara Rui Shi (Cina Tradisional: Cina Ringkas:, pinyin: ruì shī) berambut panjang, bertelinga terkulai dan berkepala bulat tanpa tanduk. Namanya diterjemah sebagai singa, tetapi semestinya bukan sejenis dengan singa di Afrika. Singa utara ini berasaskan rupa singa penjaga agung. Singa selatan pula, terutamanya yang Kantonis, bertanduk satu pada dahinya. Singa Kantonis ini berasaskan rupa Nian, tetapi tidak sama dengan singa utara. Sesetengah legenda menceritakan bahawa tarian singa Kantonis ialah lakonan semula kisah Bu Dai menjinakkan raksasa Nian.

Nian gaya selatan yang bercirikan singa, unikorn dan lembu (Ming)

12. PERIBAHASA TIONGKOK

Chengyu ditulis dalam Hanzi
Peribahasa Tiongkok dalam bahasa asalnya disebut sebagai chengyu (Hanzi: 成語), mempunyai sejarah sangat tua seiring dengan sejarah peradaban Tiongkok dan perkembangan bahasa Tionghoa. Peribahasa Tiongkok biasanya terbentuk dari 4 karakter yang membentuk satu kesatuan peribahasa. Keempat karakter ini punya struktur tertentu yang tidak boleh diubah-ubah untuk tidak menimbulkan kerancuan.
Rata-rata peribahasa Tiongkok mempunyai asal-usul cerita yang menarik, bisa dari mitologi atau acuan sejarah faktual, bisa pula muncul dari hasil karya sastra dari berbagai dinasti dalam sejarah Tiongkok.
Dalam halaman peribahasa Tiongkok ini, peribahasa akan ditampilkan dalam hanyu pinyin bersama lafal nada dan diurut menurut karakter latin awal kata pertama dari peribahasa tersebut. Kemudian di belakang akan ditampilkan pula karakter Han dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

13. SASTRA JAWA-TIONGHOA

Serat Sam Kok atau Kisah Tiga Negara dalam bahasa Jawa
Sastra Jawa-Tionghoa adalah karya sastra dalam bahasa Jawa yang ditulis oleh orang Tionghoa di daerah Jawa. Karya-karya sastra ini terutama menyangkut cerita-cerita dari Tiongkok yang dialihbahasakan atau digubah ulang dalam bahasa Jawa. Selain itu ada pula karya-karya asli dalam bahasa Jawa yang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan komunitas Tionghoa di Jawa.
Karya sastra Jawa yang ditulis oleh orang Jawa mengenai orang Tionghoa tidaklah termasuk sastra Jawa-Tionghoa. Karya-karya ini antara lain adalah Babad Bangun Tapa (atau Babad Nonah Kuwi)[1] dan Babad Geger Pacinan[2]

Latar belakang
Bangsa Tionghoa telah berhubungan dengan Jawa tidak hanya selama ratusan tahun tetapi mungkin sudah ribuan tahun. Bukti tertua hubungan (budaya) antara Jawa dan Tiongkok ialah sebuah laporan oleh I Ching, seorang rohaniawan Tionghoa yang ingin mempelajari agama Buddha. Ia lalu belajar bahasa Sansekerta kepada seorang Jawa bernama Jñanabhadra.
Lalu pada sebuah prasasti berbahasa Jawa yang berasal dari abad ke-9 disebutkan frasa juru Cina yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai "Kepala bangsa China/Tionghoa". Hal ini membuktikan bahwa saat itupun sudah banyak warga dari Tiongkok yang menetap di pulau Jawa. Mereka lambat laun berbaur dengan penduduk setempat terutama di daerah-daerah pesisir. Lalu pada abad ke-18 dan terutama akhir abad ke-19 banyak pendatang dari Tiongkok yang bermukim di tanah Jawa.
Para pendatang ini di Jawa setelah sekian lama tidak semata-mata hanya menggunakan bahasa Tionghoa untuk berkomunikasi namun lalu juga menggunakan bahasa Jawa. Lalu merekapun akhirnya meniru bangsa Jawa dan mulai menuliskan karya sastra Tionghoa tidak hanya dalam bahasa Jawa namun juga menggunakan konvensi Jawa; yaitu menulis dalam bentuk tembang.
1. Karya ini mengenai pembuangan Sunan Pakubuwana VI di Ambon dan pernikahannya dengan seorang wanita Tionghoa bernama Kuwi
2. Karya ini merupakan karya sejarah mengenai pembantaian orang Tionghoa di Batavia dan pemberontakan mereka yang akhirnya mengakibatkan Keraton Mataram di Karasura dihancurkan.


14. PENGOBATAN TRADISIONAL TIONGHOA


Gerai obat tradisional Tionghoa di Tsim Sha Tsui, Hong Kong.
Pengobatan tradisional Tionghoa adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Tiongkok dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.
Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.
Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Tiongkok tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.

Sejarah
Sebagian besar filosofi pengobatan tradisional Tiongkok berasal dari filsafat Taois dan mencerminkan kepercayaan purba Tiongkok yang menyatakan pengalaman pribadi seseorang memperlihatkan prinsip kausatif di lingkungan. Prinsip kausatif ini berhubungan dengan takdir dari surga.
Selama masa kejayaan Kekaisaran Kuning pada 2696 sampai 2598 SM, dihasilkan karya yang terkenal yakni Neijing Suwen atau Pertanyaan Dasar mengenai Pengobatan Penyakit Dalam, yang dikenal juga sebagai Huangdi Neijing.
Ketika masa dinasti Han, Chang Chung-Ching, seorang walikota Chang-sa, pada akhir abad ke-2 Masehi, menulis sebuah karya Risalat Demam Tifoid, yang mengandung referensi pada Neijing Suwen. Ini adalah referensi ke Neijing Suwen terlama yang pernah diketahui.
Pada masa dinasti Chin, seorang tabib akupunktur, Huang-fu Mi (215-282 Masehi), juga mengutip karya Kaisar Kuning itu pada karyanya Chia I Ching. Wang Ping, pada masa dinasti Tang, mengatakan bahwaia memiliki kopi asli Neijing Suwen yang telah ia sunting.
Bagaimanapun, pengobatan klasik Tionghoa berbeda dengan pengobatan tradisional Tionghoa. Pemerintah nasionalis, pada masanya, menolak dan mencabut perlindungan hukum pada pengobatan klasiknya karena mereka tidak menginginkan Tiongkok tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Selama 30 tahun, pengobatan klasik dilarang di Tiongkok dan beberapa orang dituntut oleh pemerintah karena melakukan pengobatan klasik. Pada tahun 1960-an, Mao Zedong pada akhirnya memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat melarang pengobatan klasik. Ia memerintahkan 10 dokter terbaik untuk menyelidiki pengobatan klasik serta membuat sebuah bentuk standar aplikasi dari pengibatan klasik tersebut. Standarisasi itu menghasilkan pengibatan tradisional Tionghoa.
Kini, pengobatan tradisional Tionghoa diajarkan hampir di semua sekolah kedokteran di Tiongkok, sebagian besar Asia, dan Amerika Utara.
Walauapun kedokteran dan kebudayaan Barat telah menyentuh Tiongkok, pengobatan tradisional belum dpata tergantikan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor sosiologis dan antropologis. Pengobatan tradisional dipercaya sangat efektif, dan terkadang dapat berfungsi sebagai obat paliatif ketik kedokteran Barat tidak mampu menangani lagi, seperti pengobatan rutin pada kasus flu dan alergi, serta menangani pencegahan keracunan.
Tiongkok sangat dipengaruhi oleh marxisme. Pada sisi lain, dugaan supranatural bertentantangan pada kepercayaan Marxis, materialisme dialektikal. Tiongkok modern membawa pengobatan tradisional Tiongkok ke sisi ilmiah dan teknologi serta meninggalkan sisi kosmologisnya.

Praktek pengobatan
Pada dunia Barat, pengobatan tradisional Tionghoa dianggap sebagai pengobatan alternatif. Bagaimanapun, di Republik Rakyat Tiongkok dan Taiwan, hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan sistem kesehatan.
Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pada abd ke-19, para praktisi pengobatan tradisional ini masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai penyakit infeksi, dan pemahaman ilmu kedokteran Barat seperti biokimia. Mereka menggunakan teori-teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis.
Tidak seperti beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan tradisional Tionghoa kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian sistem kesehatan di Tiongkok. Dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak ahli kedokteran Barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa ini.
Pengobatan tradisional Tiongkok sering diterapkan dalam membantu penanganan efek samping kemoterapi, membantu perawatan keteragantungan obat terlarangan, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh pengobatan konvensional dianggap mustahil untuk disembuhkan.

Diagnosis
Terdapat empat macam metoe diagnosis pada pengobatan tradisional Tionghoa: mengamati (wàng), mendengar dan menghidu (wén), menanyakan riwayat (wèn), dan menyentuh (qiè).[1] The pulse-reading component of the touching examination is so important that Chinese patients may refer to going to the doctor as "Going to have my pulse felt"[2]

Teknik diagnosis
• Palpasi atau merasakan denyut nadi arteri rasialis pasien pada enam posisi
• Mengamati keadaan lidah pasien
• Mengamati wajah pasien
• Menyentuh tubuh pasien, terutama bagian abdomen
• Mengamati suara pasien
• Mengamati permukaan telinga
• Mengamati pembuluh darah halus pada jalur telunjuk kanak-kanak
• Membandingkan kehangatan relatif atau suhu pada beberapa bagian tubuh
• Mengamati bau badan pasien
• Menanyakan efek permasalahannya
• Pemeriksaan lain tanpa alat dan melukai pasien

Teknik perawatan
Dalam sejarahnya, terdapat delapan cara pengobatan:
1. Tui na - terapi pijat
2. Akupunktur
3. Obat herbal Tionghoa
4. Terapi makanan Tionghoa
5. Qigong dan latihan meditas - pernapasan lainnya
6. T'ai Chi Ch'uan dan seni bela diri Tionghoa lainnya
7. Feng shui
8. Astrologi Tionghoas















TEMPAT WISATA
PECINAN YOGYAKARTA




Sebuah kampung bersejarah sebenarnya selalu dilewati banyak orang jika berjalan ke selatan Malioboro, namun kadang pesonanya terlewatkan karena orang sudah terlalu asyik berbelanja. Kampung bernama Kampung Pecinan (kini Jalan Pecinan diganti dengan nama Jalan Ahmad Yani) itu adalah tempat dimulainya kesuksesan pedagang Tionghoa di Yogyakarta disana terdapat beberapa toko dan kios bersejarah yang berusia puluhan tahun.
Anda bisa memulai perjalanan keliling dari bagian samping kampung itu, tepatnya di jalan sebelah Toko Batik Terang Bulan. Sampai di gang pertama, Anda bisa berbelok ke kiri untuk menemukan tempat pengobatan Tiongkok yang cukup legendaris. Di tempat itulah dulu seorang tabib ampuh mengobati penyakit patah tulang, hanya bermodalkan bubuk campuran tanaman obat yang ditempelkan pada permukaan kulit bagian tubuh yang tulangnya patah.
Berjalan keluar dari gang itu dan menuju arah timur, Anda bisa menemukan berbagai kios-kios barang dan jasa dengan dinding umumnya berwarna putih. Salah satunya adalah kios permak gigi tradisional Tiongkok yang melayani pemutihan gigi, penambahan aksesoris gigi untuk mempercantiknya hingga bermacam perawatan untuk menjadikannya semakin menawan. Kios jasa perawatan gigi itu biasanya memiliki tembok berwarna krem dengan jendela depan bergambar gigi

Selain kios jasa perawatan gigi, Anda pun bisa menemukan kios-kios yang menjual masakan Tionghoa seperti bakmi, cap cay, kwe tiau dan sebagainya. Kios-kios lain hingga kini bertahan dengan barang dagangan bahan-bahan kue, bakal pakaian, aksesoris dan sembako.
Dari toko Terang Bulan, bila Anda berjalan ke barat, tepatnya menyusuri Jalan Pajeksan, Anda juga akan menemui kios-kios serupa. Namun yang khas, di ujung jalan itu Anda akan menemui rumah yang digunakan sebagai tempat berkumpul anggota Perhimpunan Fu Ching. Perhimpunan itu beranggotakan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang tinggal atau berdagang di wilayah itu.
Pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya Imlek, anggota perhimpunan itu menggelar acara kesenian tradisional Tiongkok.

Usai menyusuri kawasan tersebut, Anda bisa menuju ke arah selatan dari toko batik Terang Bulan. Anda akan menemui sebuah toko roti bernama ‘Djoen’. Sejak hampir seratus tahun lalu, toko bernama lengkap ‘Perusahaan Roti dan Kuwe Djoen’ itu telah menjadi kebanggaan masyarakat Yogya. Ketuaan usianya bisa dilihat jika Anda berdiri di seberang jalannya, ditandai dengan nama toko yang tertulis di temboknya, sebuah ciri toko-toko di kawasan itu pada masa lalu. Kini, produknya telah menyesuaikan dengan selera pasar dengan mempertahankan beberapa yang khas, misalnya kue bantal, yaitu roti tawar bertabur wijen yang berbentuk pipih oval.
Sampai di kawasan Lor Pasar, Anda bisa menemui kios-kios tradisional yang menjual berbagai kebutuhan, mulai dari elektronik, peralatan menjahit dan aksesoris pakaian, peralatan memasak hingga perhiasan emas. Kawasan ini sejak lama telah dikenal masyarakat Yogya sebagai salah satu tempat mendapatkan kebutuhan dengan harga murah. Selain menjual barang-barang baru, beberapa kios juga menjual barang bekas.

Di kawasan Pecinan yang terletak di seberang Pasar Beringharjo, terdapat sebuah toko obat yang sudah cukup lama berdiri, yaitu ‘Toko Obat Bah Gemuk’. Di toko obat itulah dijual berbagai macam obat tradisional Tiongkok yang kemanjurannya telah dikenal di seluruh penjuru dunia.
Meski kini citra kawasan Pecinan ini sedikit memudar, namun adanya beberapa kios yang hingga kini masih bertahan menjadikan kawasan ini masih tetap menarik untuk dikunjungi.
Pecinan Semarang

NGISOR ASEM
Kampung yang dimaksud berada di Kelurahan Kuningan, Semarang Utara, tepatnya di sebelah utara Pabrik Anggur Kolesom cap Orang Tua.
Akibat penggantian nama, kampung itu sekarang berubah menjadi Darat Lasimin. Namun, secara informal, orang masih kerap menyebutnya dengan nama lama, Kampung Cina. Unik, meski menggunakan nama Cina, tak satu pun warga kampung tersebut beretnis China.
Dari sisi historis dan pemaknaan, kawasan tersebut berbeda dengan Pecinan. Jika Pecinan sengaja dibentuk VOC untuk memutus rantai koalisi dengan penduduk pribumi, Kampung Cina tidak demikian. Menurut penuturan sesepuh warga setempat, Abdul Rahman (76), ihwal nama kampung itu dapat dirunut dari sang pemilik tanah, Liem Mo Lien, yang beretnis China.
Pada masa lalu, tuan tanah yang tinggal di Kampung Petudungan tersebut menyewakan tanahnya kepada warga yang membutuhkan untuk membangun rumah. Mungkin karena pemiliknya orang China, kampung ini dinamakan Kampung Cina.
Tanah itu dikaveling-kaveling dalam berbagai ukuran, sesuai keinginan dan kemampuan penyewa. Abdul Karim, ayah Abdul Rohman, yang berasal dari Banjarmasin misalnya, menyewa tanah kepada Liem Mo Lien dengan ukuran 9 x 32 meter. ''Waktu kecil, saya ingat bapak membayar uang sewa 3 ketip atau 30 sen per bulan. Yang melakukan penarikan namanya Bah Kodok, anak buah Liem Mo Lien,'' ungkap Abdul Rahman.
Penghuni Kampung Cina berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Selain Banjarmasin, ada pula orang Madura, serta pendatang dari luar kota, seperti Kendal, Demak, Ungaran, Kudus, dan Pekalongan.
Mereka datang ke kota ini untuk beroleh pencaharian. Maklum, Semarang yang sejak 1906 berubah stasus menjadi Staad Gementee berkembang menjadi kota industri. Pemegang otoritas memberi kemudahan pendirian pabrik-pabrik baru. Nah, warga pendatang mencari peruntungan, dengan bekerja di pabrik-pabrik itu sebagai buruh atau menjadi pekerja sektor informal.
Pada awal pendirian, Kampung Cina masih berada di daerah pinggiran. Tanah di sebelah utara kampung masih berupa areal persawahan dan pertambakan. Seiring perkembangan zaman, sawah-sawah dan tambak tersebut juga dijadikan permukiman.
Pada masa Jepang, pemilik tanah tidak lagi menarik uang sewa. Namun, Abdul Rahman tidak tahu alasan yang melatarinya. Memasuki zaman kemerdekaan, tanah di Kampung Cina diambil alih oleh negara. Sejak itu, warga penyewa membayar PBB.
Baru pascareformasi, mereka mengajukan status hak milik atas tanah yang mereka tinggali tersebut, dan Badan Pertanahan Nasional (BTN) mengabulkannya. Kampung Cina sendiri makin ramai setelah 1960-an. Bangunan rumah yang semula jarang-jarang menjadi rapat. Kini, di sana nyaris tak ada tanah sisa.
Mesjid Pecinan Tinggi

Mesjid Pecinan Tinggi, seperti namanya dibagun didaerah pemukiman cina pada masa kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 500 meter ke arah Barat dari mesjid Agung Banten atau 400 meter ke arah selatan dari Benteng Spelwijk. Tidak banyak literatur yang menjelaskan asal usul didirikannya mesjid ini, kecuali hanya menjelaskan bahwa Mesjid Pecinan Tinggi ini merupakan mesjid yang pertama kali di bangun oleh Sultan Hasanudin sebelum kemudian mendirikan Mesjid Agung Banten.
Berbeda dengan Mesjid Agung Banten yang masih berdiri dengan kokoh, Mesjid Pecinan Tinggi bisa dikatakan tinggal puing-puingnya saja. Selain sisa fondasi bangunan induknya yang terbuat dari batu bata dan batu karang, juga masih ada bagian dinding mihrabnya. Disamping itu, dihalaman depan disebelah kiri (utara) mesjid tersebut, masih terdapat pula sisa bangunan menaranya yang berdenah bujur sangkar. Menara ini terbuat dari bata dengan fondasi dan bagian bawahnya terbuat dari batu karang. Bagian atas menara ini sudah hancur, sehingga wujud secara keseluruhan / utuh dari bangunan ini sudah tidak nampak lagi. Tidak jauh dari menara tersebut dan masih dalam area yang sama terdapat pula sebuah makam cina. Entah apa kaitannya antara makam tersebut dengan mesjid pecinan tinggi, yang jelas makam tersebut hanyalah satu-satunya yang terdapat di lokasi ini. Tulisan cina yang ada di makam tersebut masih terpatri dengan jelas. Atas bantuan seorang teman yang paham dengan huruf cina, tulisan menjelaskan bahwa yang dikuburkan disana adalah pasangan suami istri (TioMo Sheng + Chou Kong Chian) yang berasal dari desa Yin Shao dan batu nissan tersebut didirikan pada tahun 1843 Bisa jadi kedua orang itu adalah imam / ustadz / pemuka agama sehingga layak dimakamkan disamping Mesjid PecinanTinggi.
Dengan kondisi yang mengenaskan tersebut, praktis peninggalan budaya Mesjid Pecinan Tinggi jauh dari minatkunjungan wisata. Suasana yang terik dan tidak adanya pepohonan semakin menambah keengganan untuk mengunjunginya. Memang Mesjid Pecinan Tinggi bukanlah suatu objek wisata yang menarik untuk dikunjungi, terlebih bagi wisatawan keluarga. Namun bila anda berkunjung ke wilayah banten lama, tidak ada salahnya untuk meninjau sejenak ke lokasi ini, setidaknya bisa menjadi suplemen pengetahuan / kunjungan disamping objek wisata budaya banten lama lainnya.
Pecinan Glodok, Jakarta

Jakarta meski telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan gedung pencakar langit serta sarana transportasi modern ternyata hingga kini masih menyimpan peninggalan sejarah, yaitu berupa bangunan kuno berikut adat istiadat dan budaya yang kental dengan pengaruh Tionghoa-nya yang dapat kita jumpai di Pecinan Glodok.
Sisi kota tua Jakarta ini terdiri dari belasan gedung perkantoran, pemukiman yang mayoritas dihuni WNI keturunan Tionghoa dan bangunan tua peninggalan Belanda yang kemudian dijadikan museum oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Beberapa bangunan di kota tua Jakarta yang kini dijadikan museum antara lain Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Museum Wayang dan Museum Fatahillah.
Bagi para pelancong lokal maupun mancanegara yang berwisata di kota tua ini dapat memberikan pengalaman tersendiri seolah kembali ke masa silam. Namun, dalam perjalanan waktu kini bangunan-bangunan tua di kawasan kota tua Jakarta itu berada dalam kondisi merana dan nyaris tidak terawat.
Hal ini akhirnya disadari oleh Pemerintah DKI yang mulai melakukan program revitalisasi kota tua Jakarta yang telah dicanangkan pada awal tahun 1990-an. Masyarakat pemilik gedung dapat tetap memanfaatkan bangunannya sejauh mematuhi ketentuan undang-undang dan SK gubernur tersebut yang diatur lengkap dalam Perda 9 tahun 1999 mengenai pemanfaatan lingkungan bangunan bersejarah.

Memang sangat jelas tanpa peran serta masyarakat, program yang bertujuan memelihara lingkungan bangunan bersejarah dan sekaligus menghidupkan kembali ekonomi kawasan tersebut itu, sulit mencapai sasaran.
Pecinan Jakarta dari Glodok Hingga Beos
Perjalanan menyusuri kota Jakarta Tempoe Doeloe dimulai dari kawasan Pecinan yang populer dengan sebutan Petak Sembilan serta Pancoran Glodok yang sejak berabad lalu memang merupakan pusat perniagaan yang terus bertahan hingga kini.
Meski Pemprov Jakarta telah beberapa kali melakukan penataan kawasan tersebut namun pemerintah daerah meminta agar bangunan-bangunan toko disana yang kental dengan arsitektur Cina tetap dipertahankan dengan tidak mengubah bentuk bangunan yang ada.
Hal itu terlihat di kawasan Glodok Pancoran misalnya dapat ditemui jejeran toko barang pecah belah hingga makanan kering yang merupakan bangunan lama berarsitektur Cina. Beberapa toko seperti Gloria yang telah berusia lebih dari 30 tahun dan toko Kawi, selain mencantumkan tahun berdirinya toko seperti sejak 1964 pada papan merek toko juga masih mempertahankan penataan barang dagangan dengan gaya zaman dulu yakni masih meletakan dagangan di atas rak-rak atau lemari-lemari kayu berukuran besar dengan kaca dorong.
Dari kawasan perniagaan Pancoran Glodok, bangunan tua bersejarah yang kental dengan pengaruh arsitektur Belanda dan Cina dapat disaksikan di ujung jalan Gajah Mada atau yang dilebih dikenal dengan sebutan Beos.
Di kawasan ini dapat ditemukan perpaduan antara arsitektur Belanda dan Cina pada gedung-gedung tua yang masih tegak berdiri seperti gedung pusat Bank Indonesia kini menjadi museum Bank Mandiri, Toko Merah, jembatan Kota Intan dan bekas Galangan VOC.
Salah satu gedung tua berarsitektur Cina dibuat dari batu bata warna merah sehingga disebut Toko Merah didirikan pada 1730 sebagai tempat kediaman Gubernur Jenderal VOC Baton Van Imhoff. Tiga belas tahun kemudian, bangunan ini menjadi Akademi Angkatan Laut hingga 1755. Setelah itu pemiliknya berganti-ganti dan kini ditempati sebagai kantor PT Dharmaniaga.
Sedangkan Jembatan Intan yang dulu dikenal Jembatan Jungkit. Sesuai dengan namanya, setiap kali kapal besar hendak melintas jembatan ini diangkat dulu. Sayangnya di masa Orde Baru jembatan ini dipugar dan dibuat permanen dan tidak bisa lagi dijungkitkan. Alasannya bisa jadi karena sekarang tak ada lagi kapal besar yang bisa berlabuh.
Kawasan kota tua Jakarta memang layak dijadikan hanya obyek wisata sejarah sebab tidak hanya kaya oleh bangunan-bangunan tua yang kini dijadikan museum tetapi perkampungan tua yang kental dengan nuansa Tionghoa, seperti Kampoeng Kramat Loear Batang, Kampoeng Pekodjan dan Kampoeng Petjinan yang berada di kawasan Tambora, Glodok Jakarta Barat.
Di perkampungan tersebut para pelancong bisa menikmati suasana Jakarta tempo dulu yang dikenal sebagai kota jasa dan niaga karena dekat dengan pelabuhan laut. Selain melihat-lihat pemukiman penduduk yang kental dengan arsitektur Cina, wisatawan di akhir perjalanan juga dapat menikmati wisata kuliner khas Tionghoa baik berupa makanan siap saji maupun bahan-bahan kebutuhan rumah tangga hingga makanan kering impor dari negara tetangga Malaysia, Singapura, Cina dan Thailand yang sejak beberapa tahun belakangan menyerbu kawasan tersebut.
Di kawasan Glodok Pancoran dengan mudah ditemui di sepanjang lorong-lorong pecinan, kios-kios penjual buah-buah segar maupun manisan berbaur dengan kios-kios penjual masakan Cina dan makanan Betawi seperti sup dan telur penyu, bakso, bakpau, siomay, kwetiau, ketupat sayur dan soto Betawi atau bubur kembang tahu yang disiram air gula berbumbu jahe serta minuman teh dingin Oolong tea yang dijajakan di atas gerobak dorong
Kampung Cina Cibubur
Pada hari-hari di seputar perayaan Imlek, tidak hanya tempat ibadah saja yang mendapat banyak kunjungan. Tempat-tempat wisata menjadi penuh, terutama tempat-tempat yang menyajikan hiburan dan pernak-pernik khas masyarakat Tionghoa. Salah satunya adalah kampung-kampung Cina, seperti yang berada di Kota Wisata Cibubur.
Banyak yang bisa dinikmati di Kampung Cina ini. Begitu masuk, kita akan disambut berbagai patung khas dari dari banyak negara. Pada hari-hari liburan terutama Imlek, sajian atraksi naga dan barongsai menyedot perhatian pengunjung.
Bila ingin mendapatkan berbagai suvenir khas negeri Cina, semua lengkap tersedia di sini. Gantungan-gantungan kecil yang berbentuk boneka dari bahan kayu, tempat lipstik, dompet bercorak kehidupan masyarakat Cina, payung cantik atau bahkan kaos bertuliskan bahasa Mandarin dan sebagainya. Hanya saja Anda mesti lihai dalam melakukan tawar menawar harga. Bila Anda cukup cermat, barang-barang unik dan antik bisa Anda dapatkan.

Kota Wisata, tempat Kampung Cina berada, dikembangkan oleh beberapa perusahaan yaitu PT Duta Pertiwi Tbk (Indonesia), Marubeni (Jepang), LG (Korea), dan Land Houses (Thailand). Konsep hunian yang dirancang saat itu memang berbeda dengan yang lain. Bangunan rumah bertema klasik dari bermacam negara seperti Indonesia, Cina, Amerika, dan Jepang terdapat di sini. Nah, tempat tinggal ini dilengkapi dengan pusat jajan dan cinderamata internasional yang disebut Kampung Wisata. Salah satunya adalah Kampung Cina dengan lebih dari 200 buah kios cindera mata.

Hanya saja, bila Anda berkunjung saat Imlek, bersiap-siaplah menghadapi kemacetan dan banyaknya pengunjung. Saat perayaan Imlek tahun lalu, jalanan masuk kawasan Cibubur sudah macet beberapa kilo meter. Sesampai di Kampung Cina, jumlah pengunjung tidak kalah dengan tempat-tempat wisata lain di Jakarta, penuh dan padat



























BAB III
PENUTUP



Kebudayaan tionghoa merupakan salah satu kebudayaan terbesar di Dunia. Jika ditinjau dari keberadaan etnis tionghoa ini di Indonesia, dapat dilihat bahwa etnis tionghoa ini berada hampir di seluruh pelosok Indonesia. Meskipun keberadaan etnis ini berpencar-pencar dan berada dimana-mana, akan tetapi adat istiadat dan identitas budaya tionghoa melekat pada masing-masing warganya.
Keberadaan etnis Tionghoa ini di Indonesia sudah sejak lama dan semakin berkembang dari hari ke hari. Etnis ini telah menjadi salah satu bagian kebudayaan yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia.
Keberadaan etnis ini semakin terakui dengan direncanakannya didirikan miniatur dan didedikasikan kebudayaan tionghoa di TMII.
Kebudayaan Tionghoa ini memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan kebudayaan lainnya. Kebudayaan ini memiliki adat istiadat yang khas.
Akan tetapi, masih terdapat berbagai permasalahan berkaitan dengan keberadaan etnis tionghoa ini di Indonesia. Untuk mengatasi ini, pemerintah telah melakukan berbagai hal dan mencoba membawa etnis agar lebih menyatu dengan kebudayaan Indonesia.











DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa
www.wikipedia.com
http://iccsg.wordpress.com/kategori/essay-makalah
www.w3.org
www.tionghoa.com
http://iccsg.wordpress.com/category/serba-serbi

www.geocities.com/CollegePark/Hall/1981/imlek_1.htm
http://iccsg.wordpress.com/category/serba-serbi/
































Read More......