tag:blogger.com,1999:blog-2719946311510196222024-02-08T04:27:29.417-08:00jp.bond19 WORLdjp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-64949856950620269212008-11-22T22:14:00.000-08:002008-11-22T22:26:31.819-08:00Kebudayaan TionghoaSuku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.<span class="fullpost"><br />Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).<br /><br />A. KRONOLOGI SEJARAH<br /> .<br />Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.<br />Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.<br /><br />Asal kata<br />Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.<br />Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.<br /><br />Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia<br />Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.<br />Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.<br />Daerah asal di Tiongkok<br /> <br /><br />Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:<br />• Hakka<br />• Hainan<br />• Hokkien<br />• Kantonis<br />• Hokchia<br />• Tiochiu<br />Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.<br />Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.<br />Daerah konsentrasi di Indonesia<br /> <br /> Daerah Pecinan di Banjarmasin.<br />Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.<br />• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.<br />• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.<br />• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.<br />• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.<br />• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).<br />• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).<br /><br />Peran politik Tionghoa<br />a. Pra kemerdekaan<br />Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.<br />Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740, melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.<br />Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.<br />Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.<br />Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.<br />Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata ada hikmahnya itu menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.<br />Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.<br />Sebetulnya pada era kolonial kelompok Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik sendiri maupun bersama etnis lain, melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama etnis Jawa, kelompok ini berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.<br />Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.<br />Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.<br />Pada masa revolusi tahun 1945-an kita menyaksikan perjuangan Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian meninggal dalam status sebagai warganegara asing, padahal ia ikut merancang UUD 1945. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.<br /><br />b. Pasca kemerdekaan<br />Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.<br />Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".<br /><br />Peran ekonomi Tionghoa<br />Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat etnis tionghoa memiliki peranan yang amat penting dalam perekonomian di indonesia. Kita bisa menyaksikan urat sendi perekonomian di indonesia kebanyakan dikuasai oleh orang-orang dari etnis tionghoa. Hal utama yang membuat pentingnya percaturan masyarakat tionghoa dalam perekonomian indonesia adalah karena mereka sangat pandai dalam berusaha.<br /><br />Peran sosial budaya Tionghoa<br />Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.<br />Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.<br />Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya lebih kurang 50 milyar rupiah<br /><br />Tionghoa saat ini<br /> <br />Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi dilarang atau paling tidak "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun akhir-akhir ini bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Hasyim Muzadi menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.<br /><br />Penggunaan kata "Cina"<br />Di Indonesia penggunaan kata "Cina" oleh penduduk asli Indonesia untuk menunjuk kepada ras atau suku atau pribadi sering dianggap sebagai hal yang sangat kasar sekali (seperti kata "nigger" untuk orang berkulit hitam di Amerika), karenanya, penggunaannya untuk menunjuk ras atau suku atau pribadi merupakan hal yang dapat diartikan sikap sangat rasial.Pada survei terbatas yang dilakukan oleh Metro TV dalam acara Padamu Negeri, organisasi INTI dan Jaringan Muda Tionghoa menyatakan menolak penggunaan kata "Cina", namun tidak keberatan dan tidak terganggu dengan penggunaan tersebut. <br />Asal konotasi buruk yang dibawa kata "Cina" ini, menurut sebuah tulisan di KOMPAS, adalah dari orang-orang di Tiongkok Daratan yang menganggap kata "Cina" itu diasosiasikan dengan kata zhina, sebuah kata yang lazim digunakan oleh orang Jepang untuk menghina orang Tionghoa sejak Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Selain itu, kata "Cina" dapat berasal dari kata Belanda atau Inggris China, yang berasal dari kata Qin, dari dinasti Qin, dinasti pertama yang menyatukan wilayah tersebut (221–206 SM). <br />Lebih jauh lagi studi yang dilakukan Asim Gunawan (1999) menunjukkan bahwa pada masa sekarang, kata "Cina" tidak lagi mengandung konotasi negatif, dengan pengecualian bagi generasi tua Tionghoa. Sebagian besar dari generasi muda Tionghoa maupun penduduk pribumi, tidak merasakan kata "Cina" bermakna peyoratif ataupun mengandung penghinaan. <br />Namun demikian, pemerintah Republik Rakyat Cina sendiri tidak menyukai penggunaan kata "Cina" untuk merujuk kepada negara tersebut, dan keberatan ketika pemerintah Indonesia mengganti istilah Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Cina pada 1967. Sebagai alternatif, kata Tionghoa atau kadang China dapat digunakan untuk menunjuk kepada pribadi, suku atau ras. Pihak Kedubes RRT di Indonesia sendiri lebih menyukai kata "Tiongkok" (atau setidaknya "China" yang dibaca seperti dalam Bahasa Inggris) daripada "Cina".<br /><br />Tionghoa<br />Tionghoa (dialek Hokkien, yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan.<br />Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.<br />Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik China (Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.<br />Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.<br />Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />II. SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN<br />Agama <br /> Sebagian besar Budha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas yang beragama Islam<br /><br /> <br /><br /> Dewi Kwan Im (Guan Ying). Kwan Im adalah salah satu Dewi dalam agama tradisional Tionghoa.<br /> Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu.<br /> Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu:<br />• Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Dilakukan dengan cara penyembahan dari orang yang masih hidup kepada para leluhur mereka yang nama-namanya diletakkan di atas meja abu—sudut di dalam rumah tempat memperingati dan memuja leluhur keluarga<br />• Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup. Kegiatan pemujaan kepada para dewa yang biasanya dilakukan di rumah maupun di klenteng.Selain itu, pada saat tertentu, seperti pada hari , para dewa diarak dengan sangat meriah dari klenteng-klenteng untuk berkeliling kota.<br /> <br />Kepercayaan tradisional ini sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya. Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu.<br />Kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini<br />Pandangan terhadap alam semesta dalam kepercayaan tradisional.Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi2. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian1) dan bumi (Di4) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun4 Dun4). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan2 Gu3 mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.<br />Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan2 Gu3 Kai1 Tian1 Di4) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.<br />Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu3 Wa1 yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu2 Xi1 yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba1 Gua4 (8 diagram) dan Shen2 Nung2 yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh.<br />Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian1 Jie4), alam Bumi (Ming2 Jie4) dan alam Baka (You1 Jie4).<br /><br />Tiga Alam <br />Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing2 dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.<br />Alam Langit (Tian1 Jie4) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja2 Langit (Tian1 Wang2) dan dewa-dewi langit (Tian1 Shen2). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang2 besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar2 legendaris seperti Yao2, Xun4 dan Yu3 adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain.<br />Alam Bumi (Ming2 Jie4) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang2 Jian1 ataupun Ren2 Jian1.<br />Alam Baka (You1 Jie4) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh2 (Ling2) dan hantu2 (Gui3) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi2 Dian4 Yan2 Luo2) dan 18 Tingkat Neraka (Shi2 Ba1 Ceng2 Di4 Yu4). <br />Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng4 Po1 dan melewati jembatan Nai4 He2. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.<br />Buddhism ke Tiongkok , terjadi transformasi Buddhism yang memiliki ciri khas tersendiri.<br />Sejak masuknya <br />1. Buddha Contohnya adalah Sakyamuni Buddha , Bhaisajyaguru Buddha , Amitabha Buddha, Dipankara Buddha . Dari segala Buddha , yang terkenal dan amat dipuja adalah Amitabha Buddha. Bahkan sampai ada istilah Setiap rumah ada Guan Yin , setiap mulut menyebut Amitabha. 1.2 Bunda Buddha atau Fo Mu misalnya Da Bai Gai shan Fo Mu<br />2. Bodhisatva Bodhisatva merupakan dewa yang amat sangat banyak dipuja oleh orang- orang Tionghua , terutama Avalokitesvara Bodhisatva yang dipercaya menolong manusia dan welas asih. Selain itu masih ada bodhisatva lainnya seperti Ksitigarbha bodhisatva, Manjusri Bodhisatva, Maha Cundi Bodhisatva dan lain-lain. Rata-rata bodhisatva memiliki metta karuna untuk menyelamatkan segala mahluk.<br />3. Pelindung Dharma. Dewa pelindung dharma kadang suka rancu menjadi bodhisatva. Qie Lan Pu Sa yang sering disebut orang , padahal merupakan kumpulan dari 18 shan shen .Lebih tepat menyebutnya Qie Lan Shen . Figur Qie Lan dalam Buddhisme Tiongkok adalah tokoh pahlawan terkenal Guan YunZhang . Qie Lan Shen adalah pelindung umat Buddhism. Yang lain adalah Wei Tuo Shen atau kadang sering disebut Wei Tuo Pusa , Wei Tuo Tian . Dipercaya Beliau merupakan pelindung vihara. Selain yang diatas masih ada lagi yang disebut Tian Long Ba Bu , tapi ingat yang dimaksud Tian Long Ba Bu itu bukan cerita silat karangan Jin Yong. Yang tercakup adalah: a. Tian Zhong ,dewa-dewa yang dilangit seperti Da Fan Tian , Di Shi Tian dan lain-lain. b.Long Zhong , misalnya Nan Tuo Long Wang c.Ye Cha d.Gan Tha Po e. A Xiu Luo f.Jia Lou Luo g.Jin Na Luo h.Mo Hou Luo Jia<br />4. Raja Langit Dari banyak raja langit dalam Buddhism , ada 4 yang terkenal yaitu 4 raja langit yang berkuasa di 4 arah. <br />5. murid Sidharta Gautama yang terkenal. ada beberapa murid Gautama Buddha yang kemudian juga diangkat menjadi dewa Tiongkok , misalnya Mu Lian Zun Zhe <br />6. Arahat Disamping murid-murid Buddha yang menjadi arahat yang kadang disebut Zun Zhe masih ada 18 arahat yang menjadi ciri khas Buddhisme Tiongkok. Yang menarik disini adalah ada kaisar Liang Wu Di yang menjadi arahat, selain itu adalah BodhiDharma ,Ji Gong , Fu Hu , xiang long dan lain-lain.<br />7. Para sesepuh Buddhisme di Tiongkok. Misalnya Qing Shui Zu Shi , Xuan Zang , Pu An , Dao Ji<br />8. Ming Wang Banyak Ming Wang tercakup , dan menurut saya Ming Wang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori Bodhisatva. Bu Dong Ming Wang atau Acalanatha , Kong Que Ming Wang atau Maha maruya vidya rajni , Da Wei De Ming Wang atau Yamantaka dan lain-lain.<br /><br />Ajaran kongfusius <br />Ajaran Kongfusianisme atau Kong Hu Cu ( Kong Fu Tse atau Kongfusius) dalam bahasa Tionghoa istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar, dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memanglah bukan pencipta agama ini melainkan beliau hanyalah menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahiran nya seperti apa yang beliau sabdakan: ”Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut.”<br />Meskipun orang kadang-kadang mengira bahwa Kong Hu Cu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatakan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau agama Kong Hu Cu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Kong Hu Cu juga terdapat ritual yang harus dilakukan oleh penganutnya. Agama Kong Hu Cu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia dan disebut ” Ren Dae ” dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik / Pencipta Alam Semesta ( Tian Dao) yang disebut dengan istilah ” Tian ” atau ” Shang Di ”.<br />Ajaran Falsafah ini diasasakan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM di Chiang Tsai yang saat itu berumur 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun. Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusastraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal pada tahun 479 SM.<br /><br />Ajaran Agama Taoisme<br />Tao ( ) tidak berbentuk, merupakan "Sesuatu" yang sudah ada sebelum semuanya ada. Arti Tao sulit dipahami, artinya sangat luas sehingga sulit diterangkan secara jelas dan rinci melalui sebuah kalimat atau kata-kata. Arti Tao yang paling sederhana adalah "Jalan". Ada juga yang mengartikannya "Kelogisan", "Hukum", "Pedoman" atau "Aturan"<br />Agama Tao ( ) adalah agama tertua di dunia. Merupakan agama yang berke-Tuhanan, yaitu mengakui dan menyembah adanya Thian Kung / Ie Wang Ta Ti / Yang Maha Kuasa / Tuhan. Selain Thian Kung, masih banyak lagi Dewa-Dewi yang disembah, seperti Guan Gong / Kwan Kong ( ), Er Lang Shen ( ), Jiu Tian Xuan Nu ( ) dan lain-lain .<br />Agama Tao merupakan Agama yang berasal dari Tiongkok. Dari data-data yang ada, maka Agama Tao termasuk agama yang tertua di dunia ini, umumnya diakui sudah ada sejak 7000 tahun yang silam, dan juga merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa, ini tercermin dari tulisan LU XUN seorang budayawan kondang, dimana beliau menulis bahwa Agama Tao adalah agama dan akar utama dari kebudayaan Tionghoa <br />AGAMA TAO menggunakan BA KUA DAI CHI sebagai lambang agamanya, dimana gambar DAI CHI melambangkan matahari dan bulan, juga melambangkan Yin Yang serta melambangkan posisi Atas dan Bawah, sedangkan BA KUA melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, juga melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru 8 arah. <br />Cara perhitungan hari / penanggalan dalam kehidupan sehari-hari umat Agama TAO, umumnya menggunakan penanggalan IMLEK yang merupakan hasil karya tokoh Agama TAO yang bernama Khuang Cheng Zi sejak 2703 tahun yang lalu.<br />Dalam ajaran agama Tao ( ), kita menghormati Dewa-Dewi. Hal ini menyebabkan banyak berdiri kelenteng-kelenteng yang didirikan untuk memuja Dewa-Dewi. Tujuan utama berdirinya kelenteng adalah sebagai tempat pemujaan dimana masyarakat yang percaya meletakkan patung dari Dewa-Dewi dan menghormatinya. Sebagai sarana untuk mengingat tauladannya dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menolong sesamanya. Itulah sebenarnya tujuan utama didirikannya kelenteng.<br /> <br /> Delapan Dewa ( Tiongkok)<br /> <br />Delapan dewa atau dalam bahasa Mandarin disebut Ba Xiang berasal dari Mitologi Taoisme, dan termasuk dewa-dewi terkenal dalam kisah klasik Tionghoa. Mereka adalah symbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Masing-masing Dewa mewakili 8 kondisi kehidupan: anak muda, lansia, kemiskinan, kekayaan, rakyat jelata, ningrat, pria, dan wanita. Diceritakan bahwa sebagian besar dilahirkan di zaman dinasti Tang dan dinasti Sung. Walaupun penjelasan mengenai mereka telah ada sejak dinasti Tang, namun pengelompokan ke dalam kategori delapan dewa baru terjadi pada masa dinasti Ming. Kedelapan dewa tersebut adalah:<br /> Zhong li Quan<br /> Li tie guai<br /> Lu dong bin<br /> Zhang guo lao<br /> He xiang gu<br /> Lan cai he<br /> Han xiang zi<br /> Cao gao jiu<br />Delapan dewa tersebut adalah salah satu tema favorit dari seniman-seniman Tiongkok dan kebanyakan menjadi objek yang digambarkan dalam keramik dan porselen. Mereka juga banyak muncul dam literatur tiongkok.<br /><br />Asal Usul Adanya Sam Seng Dan Persembahan Pada Dewa<br />Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Tao Se - Tao Se (Guru-guru Tao) untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.<br />Tetapi pada bulan-bulan tertentu Tao Se - Tao Se itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.<br />Untuk itu para Tao Se membuat Sam Seng supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Tao Se nya tidak berada di tempat.<br />Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Tao Se - Tao Se tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Tao Se - Tao Se tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.<br />Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.<br />Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarang pun masih ada.<br />Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.<br /><br />Hu<br />Hu atau jimat merupakan sesuatu yang dipercaya akan memberikan sesuatu efek / keajaiban yang bermanfaat kepada penggunanya. Penggunanya adalah para umat Taoisme an sebagian besar umat Budha Mahayana. Hu biasanya dituliskan dalam sebuah kertas atau kain dengan ukuran tertentu yang berwarna kuning, hijau, putih atau merah. Seiap warna ada perbedaan dalam meggunakannya. Hu dibuat oleh Tatung atau seorang yang mengerti ilmu Taoismedengan mengukir tulisan / aksara / mantra yang kemudian diberkati dengan mantra lisan dan stempel dewa tertentu. Hu biasanya dibuat di depan altar Dewa.<br />Keperluan Hu bermacam-macam, hu diminum dibuat dengan menggunakan kertas warna kuning; warna hijau untuk keperluan umum seperti hu anti maling; hu pelindung tubuh;hu anti mahluk halus dan lain-lain. Sedangkan warna warna merah biasanya dipakai untuk membuat hu pelaris untuk usaha dagang. Warna putih jarang digunakan karena hanya aliran Taoisme tertentu yang menggunakannya.<br />Dalam penggunaanya, hu bisa dibakar,ditempel atau dilipat dan ditaruh ke tempat yang telah ditentukan. Hu juga mempunyai batas waktu manfaat, rata-rata adalah 1 tahun, dan dapat lagi diisi kekuatannya agar manfaatnya bekerja lagi.<br /><br />Imlek: Antara Perayaan Budaya dan Perayaan Agama<br />Perdebatan mengenai soal apakah Imlek ritus keagamaan atau bukan keagamaan, bukanlah barang baru. Imlek adalah hari yang dirayakan secara meriah dan besar-besaran oleh seluruh orang Tionghoa, bukan saja yang tinggal di Tiongkok,Taiwan, dan Hong Kong,tetapi oleh mereka yang berada di wilayah lain di seluruh dunia. <br />Imlek adalah hari pergantian tahun berdasarkan penanggalan Imlek (dalam bahasa Mandarin Yinli), yang perhitungannya didasarkan pada perputaran bulan. Rangkaian acara yang dilaksanakan oleh orang Tionghoa dalam menyambut tahun baru ini berlangsung selama kurun waktu sekitar dua pekan. Ritual itu diawali perayaan Imlek itu sendiri, yang jatuh pada tanggal satu bulan satu, dan diakhiri dengan keriaan pada hari ke-15 yang di Indonesia dikenal sebagai perayaan cap go meh. <br />Seperti juga tradisi di kalangan etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah dunia lain, di Indonesia Imlek biasanya disambut dengan pesta besar-besaran.Perhelatan ini biasanya mencakup pula rangkaian upacara keagamaan yang dilaksanakan di klenteng atau bio. Rangkaian upacara ini biasanya diikuti oleh acara pawai mengarak dewa-dewa mengelilingi kota sebelum akhirnya ditempatkan kembali di klenteng-klenteng asalnya. <br />Di Indonesia, acara ini dikenal dengan istilah gotong toapekong. Sejak pertengahan 1960-an, selama kurun waktu sekitar 30 tahun,kemeriahan Imlek di Indonesia terputus dengan adanya berbagai peraturan yang mengatur dan mengawasi kehidupan orangorang Tionghoa di Indonesia. Salah satu di antaranya, Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat orang Tionghoa di Indonesia. Peraturan itu membatasi acara-acara yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat orang Tionghoa di luar rumah ibadat mereka. <br />Selain itu, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Orde Baru mengategorikan agama dan tradisi Tionghoa,seperti Kong Hu Cu dan Tao, sebagai agama Buddha dan semua klenteng dikonversi menjadi vihara, tempat para pemeluk Buddha melakukan ritual agama mereka.Tentu saja dengan sendirinya acara gotong toapekong dan berbagai acara meriah lain, seperti permainan barongsai, tidak lagi dilakukan,paling tidak secara terbuka. <br />Perubahan politik Indonesia sejak pascakrisis ekonomi 1997 telah mengembalikan praktik perayaan Imlek seperti sedia kala. Para penyelenggara negara pasca-Orde Baru kini bersedia mengizinkan adanya perayaan Imlek dan praktik keagamaan Tionghoa secara lebih terbuka. Kelonggaran yang diberikan kepada masyarakat Tionghoa ini muncul dengan keluarnya keputusan tentang pencabutan Instruksi Presiden No 14/1967 di atas oleh Keputusan Presiden No 6/2000 yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid. <br />Langkah yang diambil pemerintahan Wahid itu mengakibatkan Imlek yang pada waktu itu jatuh bersamaan dengan pergantian milenium, kembali dirayakan dengan meriah.Tak lama kemudian, kegembiraan dan kemeriahan tersebut mencapai puncaknya ketika Presiden Megawati menyatakan Imlek sebagai hari libur nasional yang dianggap sejajar dengan hari-hari libur nasional lain. <br />Namun, keputusan pemerintah untuk menjadikan Imlek sebagai hari raya nasional telah mendatangkan tanda tanya baru,walaupun isunya sudah ada sejak lama.Pertanyaan yang muncul umumnya didasarkan pada asumsi bahwa hari libur nasional yang terkait dengan agama biasanya merupakan hari raya dari agama-agama yang ada di Indonesia dan diakui oleh pemerintah. Karenanya, pertanyaan mengenai apakah Imlek hari raya agama tertentu atau hari raya orang Tionghoa secara keseluruhan, muncul kembali. <br /><br />Tradisi Perayaan Imlek <br />Pendapat umum mengatakan, perayaan Imlek tak lain sebagai bagian dari kegiatan pemeluk agama Kong Hu Cu. Pendapat itu sebenarnya kurang tepat, mengingat perayaan Imlek sesungguhnya sudah menjadi tradisi Tionghoa sejak jauh hari sebelum Kong Hu Cu (Kong Fuzi) lahir. <br />Sebagai sebuah bangsa yang tinggal di negeri dengan musim dingin yang sangat ”menggigit”, orang Tionghoa sangat menghargai berakhirnya musim itu dan menyambut dengan meriah dimulainya musim semi. Periode pergantian musim itu mereka rayakan dengan penuh suka cita dan kebetulan perayaan pergantian musim ini jatuh bertepatan dengan pergantian tahun kalender Tiongkok, yaitu tahun Imlek (Yinli). Sebab itu, perayaan tersebut, selain dikenal sebagai pesta musim semi (Chunjie), juga disebut perayaan Imlek. <br />Dalam merayakan Imlek, kegiatan yang dilakukan bukan hanya pesta pora semata, melainkan juga ada rangkaian aktivitas yang mengandung makna sesuai dengan tradisi. Kegiatan tersebut mencakup hubungan antarmanusia dan hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural. Faktor hubungan antarmanusia terlihat pada saat mereka menjadikan hari besar itu sebagai momen untuk mengunjungi sanak saudara dan handai tolan untuk bersilaturahmi. <br />Hal yang umum dilakukan adalah kunjungan dari anak-anak pada orangtuanya, di mana si anak biasanya datang untuk melakukan penghormatan pada orangtua atau orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang tua yang dikunjungi biasanya memberikan hadiah berupa amplop merah (angpao) yang berisi uang atau perhiasan pada sang anak ataupun mereka yang lebih muda. Dalam tradisi orang Tionghoa di Indonesia, angpao biasanya hanya diberikan kepada anakanak muda yang belum menikah.<br />Secara umum, kegiatan bersilaturahmi di atas juga diperluas dengan kunjungan dari sanak saudara yang berusia lebih muda kepada mereka yang lebih tua. Sering kali, orang-orang lebih muda yang masih satu keluarga berkumpul di rumah orang yang paling tua dari keluarga tersebut dan mengadakan perjamuan makan dan melakukan ritual agama. <br />Bila diperhatikan, kegiatan yang berkenaan dengan penghormatan orang muda pada orang yang lebih tua, saling memberi selamat dan saling memberi hadiah, ini banyak kesamaannya dengan hari raya Idul Fitri. Mungkin, itulah sebabnya di kalangan masyarakat Indonesia, Imlek populer dengan sebutan ”Lebaran Cina”. Hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat keagamaan.<br />Ada dua hal yang biasanya dilakukan berkaitan dengan ritual agama ini. Pertama, penyembahan dari orang yang masih hidup kepada para leluhur mereka yang nama-namanya diletakkan di atas meja abu—sudut di dalam rumah tempat memperingati dan memuja leluhur keluarga. Kemudian ada juga kegiatan pemujaan kepada para dewa yang biasanya dilakukan di rumah maupun di klenteng.Selain itu, pada saat tertentu, seperti pada hari cap go meh, para dewa diarak dengan sangat meriah dari klenteng-klenteng untuk berkeliling kota. <br />Berbagai kegiatan di atas telah dilakukan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Bahkan, selama Orde Baru, ketika pemerintah sangat membatasi kegiatan keagamaan mereka, ritual tersebut tetap dilaksanakan di lingkungan terbatas. Kegiatan yang mempererat silaturahmi tentu dapat dilakukan di rumah, sedangkan kegiatan pemujaan, selain di rumah, juga dilakukan di dalam vihara. Dapat dikatakan, selama Orde Baru berkuasa, vihara menjadi tempat di mana tradisi Tionghoa yang mengandung unsurunsur Budha,Tao, dan Kong Hu Cu (disebut juga sebagai San Jiao/San Kauw) berlindung atau terpelihara.(*)<br /><br />Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), <br />Pembina Iman Tauhid Islam adalah sebuah organisasi Islam. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961. PITI tidak bertalian dengan organisasi sosial politik manapun. Ketua PITI saat ini adalah H. Trisno Adi Tantiono, yang terpilih pada tahun 2005.<br />Program PITI adalah menyampaikan tentang (dakwah) Islam khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan, kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya serta pembelaan/ perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya.<br />PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional berfungsi sebagai tempat singgah, tempat silahturahmi untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa yang tertarik dan ingin memeluk agama Islam serta tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang baru masuk Islam.<br />Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin. PITI merupakan gabungan dari Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dipimpin oleh Alm Abdusomad Yap A Siong dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) dipimpin oleh Kho Goan Tjin. PIT dan PTM yang sebelum kemerdekaan Indonesia mula-mula didirikan di Medan dan di Bengkulu, masing-masing masih bersifat lokal sehingga pada saat itu keberadaan PIT dan PTM belum begitu dirasakan oleh masyarakat baik muslim Tionghoa dan muslim Indonesia.<br />Karena itulah, untuk merealisasikan perkembangan ukhuwah Islamiyah di kalangan muslim Tionghoa, maka PIT yang berkedudukan di Medan dan PTM yang berkedudukan di Medan merelakan diri pindah ke Jakarta dengan bergabung dalam satu wadah yakni PITI.<br />PITI didirikan pada waktu itu, sebagai tangapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah K.H. Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.<br />Dalam perjalanan sejarah keorganisasiannya, ketika di era tahun 1960-1970 an khususnya setelah meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) di mana di saat itu Indonesia sedang menggalakkan gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, nation and character building, simbol-simbol/identitas yang bersifat disosiatif (menghambat pembauran) seperti istilah, bahasa dan budaya asing khususnya Tionghoa dilarang atau dibatasi oleh Pemerintah, PITI terkena dampaknya yaitu nama Tionghoa pada kepanjangan PITI dilarang. Berdasarkan pertimbangan kebutuhan bahwa gerakan dakwah kepada masyarakat keturunan Tionghoa tidak boleh berhenti, maka pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI, merubah kepanjangan PITI menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.<br />Pada bulan Mei 2000, dalam rapat pimpinan organisasi menetapkan kepanjangan PITI dikembalikan menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.<br />Mulai banyaknya pembangunan masjid-masjid berarsitektur Tiongkok mengikuti jejak pendirian Masjid Cheng Ho di Surabaya, seperti di Purbalingga, Masjid Ja’mi An Naba KH Tan Shin Bie di Purwokerto, di Kota Palembang Masjid Cheng Ho Sriwijaya dan Kota Semarang, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah dan Islamic Center di Kota Kudus.<br /><br />Klenteng<br /> <br />Istilah klenteng hanya ditemui di Indonesia. Diperkirakan istilah ini berasal dari bunyi instrumen sembahyang (lonceng/genta) yang berbunyi teng-teng. yang kemudian oleh penduduk sekitar dipakai untuk menyebut tempat sembahyang tersebut sebagai Kelenteng. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Kelenteng berasal dari Kuan Im Ting (Mandarin: GuanYinTing). Pendapat ini lemah karena terlalu dipaksakan. Selain itu, tidak semua kelenteng mempunyai altar untuk memuja Kuan Im <br />Ada juga yang mengatakan bahwa istilah kelenteng berasal dari minyak biji kapuk yang disebut lenteng. Argumen ini lemah karena tidak semua pelita di kelenteng menggunakan minyak biji kapok (bahkan sedikit yang menggunakan minyak biji kapok). <br />1. Asal muasal menurut makna dan fungsi <br />Sejarah mencatat kata untuk kelenteng dalam bentuk awalnya adalah huruf BIO (MIAO) yang muncul dalam NgoKing (WuJing) maupun SuSi (SiShu) sebagai tempat ibadah kepada Tian (langit), Di (bumi), dan leluhur. Menurut SuHai (CiHai) mengacu SuGuan (CiYuan) , menyimak SuHue (CiHui), BIO terdiri dari dua radikal yaitu: menyatakan tempat terbuka (bandingkan dengan radikal wei yang berarti di dalam atau radikal bian [bagian atas karakter jia (rumah) yang berarti menaungi,melukiskan batasan dari waktu (untuk hari: pagi/fajar, untuk: hidup: awal) yang menyatakan mula, dini, ke arah,menghadap, suatu kiblat. <br />Sehingga, BIO berarti: tempat terbuka (umum) untuk tidak melupakan asal-usul atau cikal-bakal yang berhubungan dengan awal dan akhir. Dengan melihat uraian tentang peribadatan bisa ditelusuri bagaimana ini kemudian menjadi CoBio (ZuMiao) , lalu Su (Ci). Dalam perkembangannya bio yang merupakan tempat sembahyang kepada Langit, Bumi, dan Leluhur, juga menjadi sarana ibadah agama Ji To Sek (RuDaoShi) (artinya: Agama Khonghucu, Taoisme, Buddhisme). Pengaruh agama RuDaoShi ini menjadi landasan umat SamKao (SanJiao,Tridharma), yang melengkapi bio dengan SinBing (ShenMing) , Sian (Xian) dan Hud (Fo). Kemudian, seiring perjalan waktu, Bio mengalami derivatif makna dan fungsi. Walaupun demikian asal-muasal dan pengertian dasarnya perlu dijaga supaya kebenaran yang sebenarnya tidak terlupakan. <br /><br />2. Perkembangan kelenteng dalam macam dan jenis <br />Secara fisik sejak semula memang ada sebutan untuk membedakan kelenteng yang ada: <br />Kiong (Gong) bangunannya megah (besar), dibangun oleh raja/pejabat/pembesar, dengan makna dan fungsi yang luas daripada Bio Su (Ci) dibangun oleh marga/keluarga lebih untuk menghormati leluhur Sementara Bio tetap dipergunakan sebagai tempat ibadah/sembahyang yang baku. Kemudian makna dan fungsi terus berkembang, dan istilah kelentengpun mengikuti perkembangan sesuai dengan macam dan jenis, diantaranya: Bila ada pelajaran, taman baca, atau taman komunikasi sosial: Yni (Yuan) terkadang juga ditulis Wan (Yuan) contoh: KimTekYi (JinDeYuan) di JakartaBila ada fungsi pelayanan keagamaan, upacara/ritual disebut: Tong (Tang). Bila berfungsi sebagai pendopo, tempat pemujaan disebut Ting (Ting). Bila berfungsi sebagai tempat pengasingan, menenangkan disebut An (An). Bila lebih sebagai sarana yang umum/kemasyarakatan disebut Kuan (Guan). Setelah masuknya Buddhisme, kelenteng yang berfungsi sebagai vihara disebut Si (Si) dan vihara untuk bhikshuni disebut Am (An). Ada juga nama yang dikaitkan dengan bentuk kuil seperti Tong (Dong) (=goa),contoh: SamPoTong (SanBaoDong) di Semarang kelenteng SamPoKong SamPoTaiJin. Bila bangunan kelentengnya didominasi pahatan bebatuan dinamakan Si (Shi) (=batu). <br />Sejak dinasti Tong (Tang) quot; ada klasifikasi yang lebih jelas, sehingga dikenal: Bagi Rujiao yang berdasarkan Te (Di) dan Co (Zu) ada Bio (Miao) dan Su (Ci). Bagi Daojiao yang lebih tinggi derajatnya disebut Kiong (Gong) dan yang lebih rendah disebut Kuan (Guan) Bagi Buddhisme, untuk bhikshu: Si (Si) dan untuk bhikshuni Am (An) Untuk SinBing (ShenMing) bila lebih menunjuk satu SinBing (sebagai pendopo). Bila jamak cenderung memakai nama Yni (Yuan)atau ada juga yang menggunakan huruf Wan (Yuan) . <br />Untuk Pelayanan keagamaan bisa: <br />• Yni (Yuan) taman baca/belajar <br />• Tong (Tang) tempat ibadah/upacara/ritual <br />• Kuan (Guan) sarana pelayanan kemasyarakatan <br />Kendati pembagian ini pada awalnya demikian, kemudian istilah -istilah ini tercampur baur, tidak ada lagi acuan baku, bahkan terkesan rancu.<br /><br />III. SISTEM KEKERABATAN<br />a) Perkawinan<br />Perkawinan merupakan peristiwa menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang, yaitu masa bujang danmasa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah. Oleh Karena itu, upacara perkawinan haris mahal, rumit, dan agung. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda dengan upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan. Sampai saat ini perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak mengetahui calon pasangan hidupnya, mereka baru saliong melihat pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi.<br /><br />b) Pantangan Pemilihan Jodoh<br />Dalam pemilihan jodoh orang tionghoa peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Namun, kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat dibolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang. Sebaliknya, perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat diterima. Hal ini disebabkan bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari isterinya.<br />Peraturan lainnya adalah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Akan tetapi, adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.<br /><br />c) Mas Kawin<br />Setelah seorang laki-laki memilih jodohnya dan merundingkan hari perkawinannya, orang tua pihak laki-laki mengantarkan ang-pao (bunkusan merah), yaitu uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini dinamakan uang tetek. Maksudnya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh orang tua gadis, untuk mengasuh dan membesarkannya. Namun , uang tetek ini biasanya ditolak karena dengan menerimanya, orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya, kecuali jika keluarga pihak perempuan berada dalam keadaan miskin. <br />Menjelang hari perkawinan, keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim utusan ke rumah keluarga si gadis unuk menyampaikan uang ang-pao, beberapa potong pakian, dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya akan menolak pemberian ini dengan halus, tetapi keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian saja.<br /><br />d) Adat Menetap Sesudah Menikah<br />Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat kaitannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya tidak terkat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).<br /><br />e) Bentuk Rumah Tangga<br />Berdasarkan sistem kekerabatan orang Tionghoa maka bentuk rumah tangganya adalah keluarga luas. Keluarga luas tionghoa ini, terbagi ke dalam dua bentuk yaitu :<br />1. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta isteri dan anak-anaknya dan saudaranya yang belum kawin.<br />2. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing-masing<br />Kini karena pengaruh luar dari pendidikan sekolah, maka bentuk rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menjadi umum.<br /><br />f) Kelompok Kekerabatan<br />Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga-batih, tetapi keluarga-luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah adalah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga ibu sama eratnya dengan pihak ayah.<br /><br />g) Perceraian<br />Perceraian dalanm tradisi orang Tionghoa diizinkan dengan beberapa alasan. Meskipun demikian perceraiain jarang terjadi karena perceraian dianggap sebagai perbuatan tercela dan akan mencemarkan nama keluarga. Perceraian dapat terjadi karena si isteri tudak dapat memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami, atau dapat juga karena si isteri tidak mau tinggal bersama dengan isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.<br /><br /><br /><br />h) Poligami<br />Dalam adat Tionghoa, seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai isteri mudanya. Namun, isteri pertama tetap menjadi isteri yang utama, yang menagtur rumah tangga, yang mendampingi suaminya dalam pertemuan-pertemuan serta menjadi ibu dari semua anak-anak, baik anaknya sendriri maupun anak dari isteri lain. Isteri muda hanya berperan sebagai pemabntunya saja. Terkadang mengambil isteri muda, adalah anjuran isteri yang pertama, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki. Kebiasaan ini sudah jarang terjadi, dan orang Tionghoa umumnya kawin monogami.<br /><br />i) Kedudukan Wanita <br />Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di dalam rumah. <br />Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan terkadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tua wanita secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki-laki. <br /><br />j) Tata Panggilan Menurut Adat Istiadat Tionghoa<br />Adat istiadat panggilan atau tradisi panggilan yang termasuk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan suatu hal yang sangat indah dan sudah tua. Mengapa dikatakan demikian? Karena dengan mendengar panggilan seseorang dalam sebuah keluarga, maka dapat kita ketahui kedudukan orang tersebut dalam keluarga. Di dunia internasionalpun mengakui bahwa kebudayaan Tionghoa merupakan suatu kebudayaan yang kuno dan antik. Tata panggilan ini sekarang mulai sirna, karena generasi mudanya memilih hal-hal yang dianggap praktis dan modern misalnya mengikuti panggilan orang Belanda terhadap keluarga mereka yaitu Oom dan Tante. Namun masih untung ada juga yang ingin mengetahui apa arti panggilan tersebut. Secara garis besar dapat dikatakan sebagai berikut : <br />1. Orang Tionghoa sangat menghormati orang-orang yang lebih tua (leluhur) <br />2. Kekerabatan orang Tionghoa sangat erat dan saling mendukung <br />3. Setiap orang yang lebih tua untuk pria dipanggil "Coo", untuk wanita dipanggil "Poo", misalnya : untuk panggilan kakek buyut : Kongco, untuk panggilan nenek buyut : Popoo atau Apo <br />4. Untuk besan pria dipanggil : Cengkeh, untuk besan wanita dipanggil : Ceem <br />5. Urutan-urutan panggilan : yang paling besar : taa, yang nomor dua: ji, yang nomor tiga : saa, dst <br />6. Saudara pihak ayah dipanggil: "ncek", Saudara pihak ibu dipanggil : "ie", misalnya : kakak ibu I : taie, kakak ibu II : jiie , kakak ibu III : saie <br />7. Kakak ipar laki-laki dipanggil : "cihu", kakak ipar perempuan dipanggil : "nso (taso, jiso, saso)" <br />8. Adik ipar laki-laki dipanggil : ntio , adik ipar perempuan dipanggil : ncim <br />9. Silsilahnya adalah sebagai berikut : <br />Kakek buyut <br />(Kongco) Nenek buyut <br />(Papoo) Generasi I <br />Kakek <br />(nkong) Nenek <br />(apo/ama) Generasi II <br />Ayah <br />(tia-tia/papa) Ibu <br />(nene/mama) Generasi III <br />Anak I <br />(tacek) Istri <br />(tacim) Anak II <br />(jicek) Istri <br />(jicim) Anak III <br />(takoh) Suami <br />(tatio) Generaasi IV <br />Anak I <br />(tapek) Istri <br />(taem) Generasi V <br />• Anak I pria dipanggil : tapek. Istrinya dipanggil : taem. Anak II pria dipanggil : jipek. Istrinya dipanggil : jiem. Anak III pria dipanggil : sapek. Istrinya dipanggil : saem dst sesuai urutan dan nomor Tionghoa <br />• Anak I wanita dipanggil : takoh. Suaminya dipanggil : ntio. Anak II wanita dipanggil : jikoh. Suaminya dipanggil : jitio. Anak III wanita dipanggil : sakoh. Suaminya dipanggil : satio dst sesuai urutan dan nomor Tionghoa <br />• Antar ipar : Anak I pria dipanggil : tacek. Istrinya dipanggil : tacim. Anak II pria dipanggil : jicek. Isterinya dipanggil : jicim. Anak III pria dipanggil: sacek. Isterinya dipanggil : sacim <br />• Pada umumnya : Orang tua pria dapat dipanggil : ncek. Orang tua wanita dipanggil : ncim. Kalau masih muda pria dipanggil : ngkoh/akoh. Kalau masih muda wanita dipanggil : ncie/acih. Saudara ibu dipanggil: ie/aie <br />k) Panggilan Kekerabatan Dalam Tradisi Tionghua<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Keterangan:<br />L: lelaki<br />P: perempuan<br />|: hubungan orang tua-anak<br />-: hubungan saudara<br />x: hubungan perkawinan<br /><br /><br />l) Nama Tionghoa<br /> <br /><br />Karakter Xingming yang berarti nama dan marga<br />Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan dengan karakter Han (Hanzi). Nama ini digunakan secara luas oleh warga negara Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Hong Kong, Makau dan keturunan Tionghoa di negara-negara lainnya.<br />Nama Tionghoa biasanya terdiri dari 2 karakter sampai 4 karakter, walaupun ada yang lebih dari 4 karakter, namun umumnya nama seperti itu adalah mengambil terjemahan dari bahasa lain sehingga tidak dianggap sebagai nama Tionghoa.<br />Nama Tionghoa mengandung marga dan nama. Marga Tionghoa diletakkan di depan nama, biasanya 1 sampai 2 karakter; nama mengikuti marga.<br /><br />Evolusi Nama Tionghoa<br />Di zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada peraturan bahwa nama seorang anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah kelahirannya. Namun pada praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan setelah kelahiran sang anak, bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya. Juga ada yang telah menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang anak.<br />Di zaman Dinasti Shang, orang-orang masih menggunakan nama dengan 1 karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga dan juga karena jumlah penduduk yang tidak banyak.<br />Sebelum zaman Dinasti Han, biasanya nama Tionghoa hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1 karakter marga dan 1 karakter nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang mulai memiliki sebuah nama lengkap yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter marga dan 2 karakter nama) selain daripada nama resmi mereka yang 2 karakter itu.<br />Di zaman Dinasti Jin, orang-orang baru memakai nama dengan 3 karakter seperti yang kita kenal sekarang.<br />Nama menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusius tentang pentingnya penamaan bagi penonjolan karakter seseorang.<br /><br />Nama Generasi<br />Di dalam nama dengan 3 karakter, biasanya kita mengenal adanya nama generasi. Nama yang mengandung nama generasi adalah 1 karakter marga, 1 karakter generasi dan 1 karakter marga. Pada tingkatan generasi yang sama dalam satu keluarga besar biasanya memiliki nama generasi yang sama.<br />Nama generasi ditetapkan oleh leluhur dengan mengambil sebuah puisi atau bait di dalamnya untuk penamaan generasi turun-temurun. Biasanya sebuah puisi berisikan 16, 20 atau bahkan 24 karakter buat 16, 20 atau 24 generasi ke bawah. Sampai generasi ke-17, 21 atau 25, nama generasi akan dimulai kembali dari karakter generasi pertama.<br />Nama generasi ini tidak lazim digunakan di semua keluarga karena biasanya hal seperti ini merupakan monopoli orang terpelajar. Karena pendidikan tidak umum bagi rakyat biasa di zaman dulu di Tiongkok, maka banyak pula keluarga yang tidak menggunakan nama generasi dalam pemberian nama.<br /><br />Nama Tionghoa Di Indonesia<br />Suku Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim daripada dialek-dialek lainnya.<br />Di zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan; sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.<br />Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian rupa. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa.<br />Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada anti-Tionghoa yang menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan RRT di Indonesia ke negara leluhurnya.<br />Ganti nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama Indonesia asli.<br /><br />MARGA<br />Sne (dulu she atau seh) atau marga dalam bahasa Indonesia dan xing dalam Mandarin, merupakan bagian penting dalam budaya Tionghoa.Dengan mengetahui sne orang bisa menelusur asal usulnya atau disebut xungen yang berarti mencari akar. Sne Tionghoa mencapai ribuan jumlahnya, tapi yang masih ada sekarang, menurut statistik resmi di Tiongkok hanya sekitar 3500. Jangan lupa statistik itu tak tepat, jadi kita tidak tahu berapa tepatnya, hanya tahu sekitar 3500 yang berarti lebih dari 3500. Populasinya sangat tidak merata, ada sne Li nomor satu jumlahnya di Tiongkok, yang jumlahnya sekitar 7,9% penduduk Tiongkok. Dapat dihitung 7,9% kali 1,3 milyar berarti lebih dari 100 juta! Sne Wang, atau ong raja nomor dua, dll. Ada sne yang sangat sedikit jumlahnya, dan hanya ada di suatu kampung tertentu, hingga orang Tiongkok sendiri banyak yang tak tahu. Misalnya sne Niang (niang dari nona = guniang), baru orang sadar, setelah ada salah seorang anggota Kongres Rakyat Nasional (parlemen) RRT yang bersne Niang. Ada sne Jiu (arak) di Taiwan, yang ketika diwawancarai wartawan, mengatakan mereka sendiri belum pernah bertemu orang sama snenya. Untuk memudahkan dipilih 300 sne terbanyak. Yang menjadi runyam adalah cara membaca sne, ada yang dengan dialek Hokkian, ada yang Konghu, ada yang Kheq, ada Hokchnia dll. Sudah dialeknya tak sama, ejaannya tak sama lagi, misalnya Liao, Liau, Liauw ada Leau, ada Leow dll. Itu baru satu sne. Hal ini menjadi agak mudah kalau kita tahu huruf Tionghoanya. Buku tentang sne dalam bahasa Tionghoa sangat banyak, baik terbitan, RRT, Taiwan, maupun Hongkong. Kalau tidak tahu huruf Tionghoa, agak berabe. Di Amerika ada orang bertanya melalui milis. Ia adalah orang Tionghoa yang sudah beberapa turunan tinggal di sana, sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa, juga sudah tak tahu huruf Tionghoa, ia hanya tahu sne Tiv. Setelah bertanya ke mana-mana, tidak ada yang tahu, karena tidak pernah ada sne Tiv. Penulis pernah memberi kemungkinan padanya, sbb: v dalam fonetik internasional bisa sebagai konsonan bisa vokal. Vokal v berbunyi ketika gigi atas kita ditempelkan pada bibir bawah v, lalu ucapkan e. Di negara barat sendiri dahulu kala v adalah u, oleh karena itu huruf w yang berasal dari dua v, yaitu vv dinamakan double u, bukan double v. Universitas nomor wahid di bidang engineering MIT, di gerbang depannya masih terpampang nama Massachvssetts Institvte of Technology. Dilihat dari segi ini maka Tiv bisa berbunyi mirip Tie (e nya e dalam kata sekolah) atau Tiu. Karena yang paling dulu menyeberang ke luar negeri adalah orang Hokkian, dengan asumsi kemungkinan besar leluhurnya adalah orang Hokkian, maka yang paling mendekati adalah Tio. Tio ini dalam logat Zhangzhou (Ciangciu) dibaca Tio dengan o seperti dalam kata balok, sedang dalam logat Quanzhou (Cuanciu) o dibaca setelah o setengah eu dalam bahasa Sunda. Jadi kemungkinan besar ia sne Tio. <br /><br /><br /><br /><br />Macam-macam Marga<br />1. Marga Feng<br />Marga Feng (mandarin), Pang (hokkian), Fung (kanton) atau Pung (hakka) berasal dari marga Ji dan telah ada sejak zaman Dinasti Zhou (abad 11 SM). Anak ke-15 dari Raja Zhou Wen Wang yang bernama Bi Gong Gao dihadiahkan wilayah Bi, selanjutnya berkuasa di kota Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan). Keturunannya kemudian mengambil nama kota sebagai marga mereka dan merupakan leluhur orang bermarga Feng yang pertama. Masuk ke zaman Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM~5 SM), ada seorang bermarga Gui yang menjadi pejabat di negara Zheng. Karena dihadiahkan wilayah Feng (sekarang di kabupaten Ying-yang, propinsi Henan) maka ia mengganti marganya menjadi Feng. Ia kemudian dikenal dengan nama Feng Jian-ze dan keturunannya kemudian bermarga Feng. Tokoh2 terkenal dari marga ini semisal Feng Meng-long, seorang sastrawan dari dinasti Ming dan Feng Yu-xiang yang merupakan jenderal terkenal dalam perang melawan Jepang dan pernah menjabat sebagai Gubernur Henan di masa republik nasionalis.<br /><br />2. Marga Guan<br />Marga Guan1 (mandarin), Kuan (hokkian), Kwan (kanton) dan Kuan (hakka) adalah marga yang telah sangat tua umurnya. Menurut catatan sejarah, telah mulai ada sejak akhir Dinasti Xia (abad 18 SM) sehingga telah berumur lebih 3700 tahun. Marga Guan yang tertua adalah berasal dari keturunan seorang menteri negara di zaman Dinasti Xia akhir. Menteri yang bernama Huan Long Feng yang mengabdi pada Kaisar Jie (kaisar terakhir Dinasti Xia) dibunuh oleh sang kaisar karena menasehatinya untuk menghentikan kelaliman dan ketidakpeduliannya pada pemerintahan negara. Karena karakter Huan dan Guan bernada sama pada masa itu, maka kemudian sejarah ada mencatat nama menteri tersebut sebagai Guan Long Feng. Keturunan sang menteri kemudian menggunakan Guan sebagai marga mereka. Marga Guan yang lain berasal dari masa Musim Semi dan Gugur (abad 8 SM ~ 5 SM) dari seorang pejabat bernama Yin Xi. Ia merupakan komandan Gu Guan (pos yang menghubungkan antara satu kota dengan kota lainnya) dan jabatan seperti itu disebut sebagai Guan Ling pada masa itu. Yin Xi ini kemudian menjadi terkenal setelah menyebarluaskan kitab Tao Te Ching yang ditulis Lao Zi dan dihadiahkan kepadanya sewaktu Lao Zi melewati pos tersebut. Keturunannya kemudian menggunakan nama jabatannya (Guan) sebagai marga. Tokoh terkenal dari marga ini adalah Guan Yu (Kuan Kong) yang merupakan jenderal terkenal dari negara Shu pada masa Tiga Negara (Samkok). Juga ada perdana menteri Guan Bo pada zaman Dinasti Tang. Sekarang ini ada olahragawati (peselancar es) tingkat dunia yang terkenal Guan Ying-shan (Michelle Kwan). Rinto Jiang<br /><br />3. Marga Wu<br />Marga Wu2 (mandarin) = Go/Goh (hokkian) = Ng (kanton) adalah marga yang telah sangat tua sejarahnya. Marga ini telah ada tercatat sebelum zaman Dinasti Xia di zamannya Kaisar Shun4 (abad 23 SM).Dikisahkan, keturunan Kaisar Shun ada yang berkuasa di daerah Yu dan dikarenakan Yu bernada hampir sama dengan Wu, maka keturunannya itu kemudian ada yang bermarga Wu.Ada pula marga Wu yang berasal dari keturunan Raja Dinasti Zhou bermarga Ji. Gu-gong Dan-fu adalah kakek dari pendiri Dinasti Zhou (Zhou Wen-wang) mempunyai 3 anak, Tai Bo, Zhong Yung dan Ji Li. Karena Gu-gong Dan-fu menginginkan cucunya Ji Chang (yang nantinya bertahta dengan gelar Zhou Wen-wang) meneruskan tahtanya, maka kedua anaknya yang lain, Tai Bo dan Zhong Yung kemudian setuju dengan keputusan ayah mereka untuk menjadikan Ji Li sebagai penerusnya untuk kemudian meneruskannya kepada Ji Chang. Kedua bersaudara tadi kemudian mencari daerah baru ke selatan (Jiang Nan) dan mendirikan negara Wu (sekarang di propinsi Jiangsu). Keturunan mereka kemudian mengambil nama negara sebagai marga mereka.Tokoh terkenal dari marga ini seperti Wu Qi, seorang ahli perang dari zaman Negara2 Berperang dan Wu Cheng-en yang menulis novel klasik Xi You Ji (Perjalanan ke Barat) dari zaman Dinasti Ming. Di zaman sekarang ini ada PM Singapura, Goh Chok-tong atau Wu Zuo-dong (mandarin).<br /><br />Daftar Nama Marga Tionghoa Yang Diindonesiakan<br />Daftar ini belumlah lengkap. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.<br />Marga Tionghoa Dibaca Ejaan Latin / Pelatinan Versi Indonesia / Pengindonesiaan<br />陈 (Chen) Jen Tan, Tjhin (Hakka) Tanto, Tanoto, Tanu, Tanutama, Soetanto, Cendana, Tanudisastro, Tandiono,<br />Tanujaya, Santoso, Tanzil, Tanasal, Tanadi, Tanusudibyo, Tanamal,<br />郭 (Guo) Kuo Kwee, Kwik <br />韩 (Han) Han Han Handjojo, Handaya<br />黄 (Huang) Huang Oei, Oey, Ng Wibowo, Wijaya, Winata<br />江 (Jiang) Ciang Kang/Kong Kangean<br />李 (Li) Lhi Li, Lie, Lee Lijanto, Liman, Liedarto, Rusli<br />梁 (Liang) Lhiang Nio <br />林 (Lin) Lhin Liem, Lim Halim, Salim, Limanto, Limantoro, Limijanto, Wanandi, Liemena, Alim, Limawan<br />劉/刘 (Liu) Lhiu Lau, Lauw Mulawarman, Lawang, Lauwita<br />陆 (Lü) Liw Liok, Liuk (Hakka) Loekito, Loekman<br />吕 (Lü) Liw Loe, Lu Loekito, Luna, Lukas<br />司徒 (Situ) Sê Dhu Sieto, Szeto, Seto, Siehu, Suhu Lutansieto, Suhuyanli, Suhuyanly<br />苏 (Su) Su Souw, So, Soe Soekotjo, Soehadi, Sosro, Solihin, Soeganda<br />王 (Wang) Whang Ong, Wong Ongko, Wangsadinata, Wangsa, Radja, Wongsojoyo, Ongkowijaya<br />温 (Wen) Whên Oen, Boen, Woen Benjamin, Bunjamin, Budiman, Gunawan, Basiroen, Bunda, Wendi, Unang<br />吴 (Wu) Whu Go, Gouw, Goh, Ng (Hakka) Gondo , Sugondo, Gozali, Wurianto, Gunawan, Gotama, Utama<br />许 (Xu) Xiw Kho, Khouw, Khoe Kosasih, Komar, Kurnia, Kusnadi<br />謝 (Xie) Shie Cia/Tjia <br />杨 (Yang) Yang Njoo, Nyoo, Jo, Yong (Hakka) Yongki, Yoso, Yohan<br />曾 (Zeng) Ceng Tjan Tjandra, Chandra, Chandrawinata, Candrakusuma<br />张 (Zhang) Chang Thio, Tio, Chang, Theo, Teo Canggih, Setyo, Sulistio and variants<br />郑 (Zheng) Cheng Te, The Suteja, Teja, Teddy, Tedjokumoro, Tejarukmana, Tejawati<br /> Yap/Jap, Djiaw, Lo, Pek, Auwjong, Poo, Keng<br />Siauw, Sie, Tjoa, Tjong, Tjun, Tjiam, Tong, Belum dikelompokkan: Kurniawan, Ojong<br /><br />Nama Tionghoa Dan Romanisasinya<br />Sekarang ini, biasanya untuk memudahkan orang yang memiliki nama Tionghoa juga memiliki romanisasi dari lafal nama Tionghoa mereka ataupun memiliki nama Barat. Sistem romanisasi yang paling baku dan paling banyak digunakan sekarang ini adalah sistem Hanyu Pinyin. Tata cara penulisan nama Tionghoa dalam bentuk romanisasi yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan memisahkan antara suku-kata marga dan nama.<br />• Mao Zedong; Mao adalah marga 1 karakter, Zedong adalah nama 2 karakter<br />• Jiang Zemin; Jiang adalah marga 1 karakter, Zemin adalah nama 2 karakter<br />• Sima Yi; Sima adalah marga 2 karakter, Yi adalah nama 1 karakter<br />• Auwjong Pengkoen (dialek Hokkian); Auwjong adalah marga 2 karakter, Pengkoen adalah nama 2 karakter<br />Ada pula penulisan dengan tata cara penulisan nama Barat, di mana nama pemberian ditulis terlebih dahulu dan nama keluarga mengikuti di belakang. Nama keluarga di Barat dapat disamakan dengan marga di kalangan Tionghoa.<br />• Zemin, Jiang; Zemin adalah nama pemberian, Jiang adalah nama keluarga (marga)<br />Nama barat berikut ini disertai oleh marga Tionghoa di belakang nama Barat tersebut sesuai dengan kaidah penamaan di Barat yang menempatkan nama keluarga di belakang nama pemberian.<br />• James Soong Chuyu; James adalah nama Barat, Soong adalah marga Tionghoa, Chuyu adalah nama Tionghoa<br />• Jacky Cheung; Jacky adalah nama Barat, Cheung adalah marga Tionghoa dalam dialek Kantonis<br /><br />IV. SISTEM KEMASYARAKATAN <br />1. Stratifikasi social<br />Dalam masyarakat orang Tionghoa di Indonsia ada perbedaaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan orang miskin dan golongan orang kaya, tetapi perbedaan ini tidak sangat mencolok Karen golongan buruh tidak menyadari akan kedudukannya, demikian juga sebaliknya. Hal ini disebabkan sering masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.<br />Tionghoa peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok karena menganggap Tionghoa Totok umumnya berasal dari kuli dan buruh. Sebaliknya Tionghoa Totok memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.<br />Sekarang ini, dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa menyebabkan anggapan bahwa orang yang tidak segolongan dengannya sebagai golongan rendah. Dengan kata lain, stratifikasi social orang Tionghoa di Indonesia berdasrkan perbedaan tingkat dan tingkat kekayaannya.<br /><br />2. Pimpinan Masyarakat Tionghoa<br />Bagi maysrakat Tionghoa di suatu daerah, pemerintah Belanda dulu mengangkat seorang yang dipilih dari masyarakat itu sebagai pimpinan, pemimpin-pemimpin itu memakai pangkat majoor (pangkat tertinggi), kapitein, luitenant, dan wijkmeester (sekarang ketua RW). Pemimpin-pemimpin ini bertugas sebagai perantara yang menghubungkan orang Tionghoa yang ingin mengurus sesatu hal dengan pemerintah Belanda. Para pemimp[in orang Tionghoa sendiri disebut kongkoan. Sebenarnyakat kongkoan adalah kantor di mana para pemimpin tadi untuk kepentingan orang Tionghoa.<br />Tugas utama dari para pemimpin ini adalah menjaga ketertiban dan keamanan dari masyarakat Tionghoa yang terdapat di suatu daerah atau kota, mengurus hal adat istiada, kepercayaan, perkawinan dan perceraian, dan memutuskan segala hal. Mereka mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, serta mengangkat sumpah. Kongkoa mengadili sagala perkara di antara orang Tionghoa. Mereka juga berfungsi sebagai penasihat pada pemerintah Belanda, terutama dalam masalah penarikan pajak, dan merupakan saluran-saluran dari peraturan-peraturan pemerintah terhadap masyarakat Tionghoa. Umumnya pemimpin-pemimpin itu dipilih karena mereka mempunyai pengaruh yang besar dan dihormati oleh orang-orang Tionghoa dan orang kaya.<br /><br />3. Perkumpulan dan Organisasi Orang Tionghoa<br />Pada mulanya, orang tionghoa di beberpa kota besar mendirikan perkumpulan “Kamar Dagang” yang disebut dengan Sianghwee. “Kamar Dagang” ini merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Tionghoa yang bekerja untuk kepenyingan anggoat-anggotanya, terutamg mengurus pajak. Di samping itu, da perkumpulan yang berdasarkan “asal satu desa di Negara Cina”.<br />Mulai awal abad ke-20, nasinalisme orang Cina cepat sekali menjalar. Hal ini disebabkan Karen kekecewaan orang Tionghoa ini terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1900 didirikan suatu perkumpulan yang bertujuan memajukan nasionalisme Cina berdasrkan religi Kung Fu Tse dan menyatukan orang Tionghoa yang masih provinsialistis. Perkumpulan itu mula-mulr ada di Jakerta, tetapi kemudian juga timbul cabang-cabangnya di seluruh Indonesia.<br />Pada tahun 1927, kaum cendekian Peranakan yang memperoleh pendidikan Belanda mendirikan suatu organisasi yang disebut Chung Hwa Hul yang mewakili orang Tionghoa di Volksraad.<br />Kemudian setelah Indonesia merdeka organisasi-organisasi yang sebelumnya ada dibubarkan dan dilebur ke dalam suatu organisasi yang mewakili orang Tionghoa Peranakan dalam Dewan Perwakilan. Di samping itu ada perkumpulan-perkumpulan agama Kristen, Sam Kauw, dan lain-lain.<br /><br /><br /><br />V. TRADISI & PERAYAAN<br />A. TRADISI<br />1. Budaya Teh Tionghoa<br /> <br />Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Tiongkok, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Bahkan, berlanjut di Jepang sejak masa Kamakaru (1192 – 1333) oleh pengikut Zen.<br />Tujuan minum teh, agar mereka mendapatkan kesegaran tubuh selama meditasi yang bisa memakan waktu berjam-jam. Pada akhirnya, tradisi minum teh menjadi bagian dari upacara ritual Zen.<br />Selama abad ke-15 hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk mendiskusikan berbagai hal.<br />Meski saat itu belum bisa dibuktikan khasiat teh secara ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah, setelah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung lemak.<br />Mereka juga percaya, minum teh dapat melancarkan buang air seni, menghambat diare, dan sederet kegunaan lainnya.<br /><br />Dewa Penjaga Pintu<br />Kebiasaan menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari Tahun Baru Imlek bermula pada Dinasti Han. Sejak masa Dinasti Tang, Jenderal Qin Shubao dan Yuchi Jingde yang mengabdi kepada Kaisar Li Shimin dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.<br />Legenda mengatakan bahwa pada masa Dinasti Tang terdapat seorang peramal yang hebat dan sangat tepat dalam meramal, terutama dalam hal perikanan. Keahlian tersebut merisaukan Raja Naga yang menguasai Sungai Jing.<br />Pada awalnya Raja Naga ingin melenyapkan peramal tersebut, namun setelah mendapat nasehat sang Raja Naga berkeinginan mempermalukan sang peramal. Maka Raja Naga yang naik ke darat dan menjelma menjadi manusia menemui peramal tersebut. Raja Naga menantang sang peramal untuk meramal kapan jatuhnya hujan. Jika ramalan tepat akan diberi hadiah 50 keping perak. Jika salah, semua peralatan ramal yang dimiliki akan dihancurkan dan sang peramal tidak diperbolehkan meramal sepanjang hidupnya. Sang peramal mengatakan bahwa besok akan hujan dan juga meramalkan besarnya hujan tersebut beserta waktunya.<br />Sang Raja Naga merasa kemenangan di depan mata karena semua urusan mendatangkan hujan adalah wewenangnya. Namun pada saat dia kembali, utusan Kaisar Langit datang membawa perintah agar Raja Naga menurunkan hujan, tepat seperti yang dikatakan oleh sang peramal. Karena tidak ingin mengakui kekalahan, maka Raja Naga mengubah waktu dan jumlah hujan yang diturunkan.<br />Setelah menurunkan hujan, Raja Naga lalu menemui sang peramal dan mulai menghancurkan peralatan ramal yang ada. Raja Naga mengatakan bahwa ramalan yang diberikan tidak benar. Dengan tenangnya sang peramal berkata bahwa sejak awal dia sudah mengetahui bahwa yang datang adalah Raja Naga. Dan Raja Naga, yang merubah waktu dan besar hujan yang diturunkan, membuat Kaisar Langit marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Naga.<br />Raja Naga langsung tertegun mendengar hal itu. Akhirnya dia memohon agar sang peramal bersedia menyelamatkan dirinya. Sang peramal mengatakan agar Raja Naga pergi meminta bantuan Kaisar Li Shimin agar terus menemani Perdana Menteri Wei He, yang diutus untuk membunuh Raja Naga, hingga tengah malam.<br />Sang Kaisar bersedia menemani Wei He bermain catur hingga larut malam. Dan membuat Wei He tertidur. Kaisar Li merasa Wei He tidak akan dapat melakukan tugasnya karena telah tertidur. Namun dalam tidurnya, Wei He mendatangi Raja Naga dan memberikan hukuman. Arwah dari Raja Naga sangat marah dan menganggap Kaisar Li lalai sehingga dia terus mengganggu tidur sang kaisar setiap malam.<br />Dua orang jenderal, Qin Shubao dan Yuchi Jingde, yang melihat penderitaan sang kaisar bersedia menjaga semalam suntuk di depan kamar tidur kaisar agar kaisar dapat tidur nyenyak. Dengan adanya dua orang jenderal tersebut, sang kaisar dapat tidur dengan tenang dan nyenyak.<br />Pada keesokan harinya sang kaisar sangat berterima kasih kepada dua jenderal tersebut. Namun dia menyadari bahwa tidak mungkin terus menerus meminta Jenderal Qin dan Yuchi agar terus berjaga setiap malam. Akhirnya sang kaisar memiliki ide dengan menggambar kedua jenderal dan menempelkannya di depan pintu kamar.<br />Lama kelamaan kebiasaan kaisar ini tersebar luas dan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan bangsa Tionghoa. Sehingga Jenderal Qin dan Yuchi dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.<br /><br />2. Memakan Kue Bulan<br />Pada jaman Dinasti Yuan, rakyat Han pada saat itu menentang pemerintahan Mongol dari Dinasti Yuan, dan para pemberontak, dipimpin oleh Shu Yuan Zhang, merencanakan untuk mengambil alih pemerintahan. Shu bingung memikirkan bagaimana cara menyatukan rakyat untuk memberontak pada hari yang sama tanpa diketahui oleh pemerintah Mongol.<br />Salah seorang penasehat terpercayanya akhirnya menemukan sebuah ide. Sebuah berita disebarkan bahwa akan ada bencana besar yang akan menimpa negeri Tiongkok dan hanya dengan memakan kue bulan yang dibagikan oleh para pemberontak dapat mencegah bencana tersebut. Kue bulan tersebut hanya dibagikan kepada rakyat Han, yang akan menemukan pesan “Revolusi pada tanggal lima belas bulan delapan” pada saat membukanya.<br />Karena pemberitahuan itu, rakyat bersama-sama melakukan aksi pada tanggal yang ditentukan untuk menggulingkan Dinasti Yuan. Dan sejak saat itu kue bulan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perayaan Pertengahan Musim Gugur.<br /><br /><br /><br />3. Memakan Yuan Xiao<br />Salah satu kebiasaan yang dilakukan pada saat merayakan Perayaan Lentera adalah memakan Yuan Xiao, atau dinamakan Tang Yuan pada bagian selatan Tiongkok, yang menjadi simbol dari kebahagiaan dan persatuan.<br />Tang Yuan Setiap daerah memiliki cara masing-masing dalam membuat Yuan Xiao, namun semuanya memakai nasi yang lengket dengan diberi isi, seperti tepung kacang, bijan, daging ikan, dan lainnya.<br />Yuan Xiao dipadatkan dengan diremas-remas lalu dibungkus daun bambu. Sehingga bisa menghasilkan kue nasi lengket yang hampir bulat dan dapat dimakan.<br /><br />4. Memandang bulan hingga tengah malam<br />Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu ada sebuah keluarga, keluarga Yang, yang menikahkan anak lelakinya, yang masih anak kecil, dengan Yao, anak perempuan ke enam dari keluarga Yao.<br />Keluarga Yang memperlakukan Yao seperti budak sejak hari pernikahan. Dari mulai mencuci, menenun, memasak dan banyak lagi. Apabila pekerjaan yang diberikan tidak dapat diselesaikan, maka perlakuan kasar akan diterima Yao.<br />Suatu hari pada tanggal lima belas bulan delapan Imlek, keluarga Yang memberikan 7 keranjang kapas kepada Yao untuk ditenun menjadi kain dan harus selesai pada keesokan harinya.<br />Sepanjang hari Yao terus menenun untuk menyelesaikan 7 keranjang yang diberikan. Pada kira-kira tengah malam, minyak yang dipakai untuk penerangan habis. Ditengah kebingungan, Yao melihat terangnya bulan saat itu sehingga memindahkan alat tenun ke halaman rumah untuk melanjutkan pekerjaan yang belum selesai dengan diterangi cahaya bulan.<br />Pada saat Yao sedang menenun, di langit melintas sebuah perahu naga besar berisi para Dewa yang sedang menikmati terangnya bulan. Mereka melihat Yao sedang menenun. Salah seorang Dewa berkata agar tidak perlu menenun lagi dan beristirahat.<br />Yao berkata bahwa dirinya harus menyelesaikan tenunan apabila tidak ingin mendapat perlakuan kasar. Tiba-tiba angin menerpa dengan keras dan cahaya terang bulan tidak ada lagi. Yao dengan terpaksa berhenti menenun dan memindahkan alat tenunnya ke dalam rumah, lalu beristirahat.<br />Pada pagi hari, Yao sudah membayangkan perlakuan kasar yang akan menimpa dirinya. Namun saat keluarga Yang melihat alat tenun yang ada, mereka terkejut dan heran karena alat tenun yang biasa dipakai Yao telah berubah menjadi alat tenun yang terbuat dari emas. Ketika Yao ditanya, dia hanya menceritakan kejadian semalam. Akhirnya keluarga Yang menyadari bahwa Yao adalah seorang yang sangat baik dan beruntung. Sejak saat itu keluarga Yang selalu memperlakukan Yao dengan baik. <br />Cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi sehingga memandang bulan pada Perayaan Pertengahan Musim Gugur hingga larut malam menjadi sebuah tradisi. Dengan harapan dapat melihat perahu naga para Dewa.<br /><br />5. Membunyikan Petasan<br />Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.<br />Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran. Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.<br />Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.<br />Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu.<br />Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan. Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung. Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.<br /><br />6. Menggantung Lentera Merah<br />Pada masa akhir Dinasti Ming, Li Zicheng, pemimpin pemberontak, bersama tentaranya sedang mempersiapkan diri untuk menguasai kota Kaifeng.<br />Demi mendapatkan informasi yang akurat, Li menyamar sebagai penjual beras masuk ke Kaifeng. Setelah mendapat gambaran yang jelas, maka Li menyebarkan berita untuk kalangan rakyat jelata bahwa tentara pemberontak tidak akan mengganggu setiap rumah yang menggantung lentera merah di pintu depan.<br />Sekembalinya Li ke markas, dia membuat rencana penyerangan. Para penjaga kota Kaifeng mulai mendapat serangan gencar dari tentara Li dan membuat mereka kewalahan. Tidak berdaya membuat pasukan penjaga kota Kaifeng mengambil jalan pintas membuka bendungan dengan harapan tentara Li tersapu banjir dan hancur. Namun banjir juga melanda rumah penduduk.<br />Banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri naik ke atap rumah. Bagi rakyat jelata, mereka hanya membawa lentera merah. Sedangkan kaum bangsawan dan pejabat berusaha menyelamatkan harta benda. Banjir terus meninggi dan membuat orang-orang mulai putus asa.<br />Demi melihat penderitaan yang akan dialami banyak rakyat jelata, Li memerintahkan anak buahnya menyelamatkan rakyat dengan rakit dan perahu. Yang membawa lentera merah tentunya.<br />Untuk memperingati kebaikan hati Li dalam menyelamatkan rakyat jelata, maka bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting, seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.<br /><br />7. Menyembunyikan sapu<br />Menurut legenda, pada jaman dahulu kala terdapat seorang pedagang bernama Ou Ming yang selalu berpergian menggunakan perahu untuk menjalankan usahanya.<br />Suatu hari Ou sedang naik perahu di Danau Pengze. Tiba-tiba badai menghadang, sehingga perahu terdampar pada sebuah pulau. Ditengah kebingungan karena perahu rusak berat dan tidak dapat dipakai untuk meneruskan perjalanan, datang seorang bernama Qing Hongjun, pemilik dari pulau tersebut.<br />Qing mengundang Ou ke kediamannya dan menjamu Ou dengan hangat. Sebagai kenang-kenangan atas kunjungan Ou, Qing berminat memberikan sebuah tanda mata. Ou dipersilahkan memilih barang yang disukainya dari begitu banyak barang permata yang ada di rumah Qing.<br />Pada saat seorang pelayan Qing menghidangkan teh bagi Ou, secara tidak sadar terucap bahwa Ru Yuan adalah harta yang paling berharga. Ou mendengarkan hal itu dan berpikir siapakah Ru Yuan itu. Namun dia memastikan bahwa Ru Yuan sangat berharga.<br />Akhirnya Ou meminta Ru Yuan kepada Qing. Meskipun pada awalnya Qing ragu, namun akhirnya Ru Yuan diberikan kepada Ou. Ternyata Ru Yuan adalah seorang pembantu wanita di rumah Qing yang sangat cantik.<br />Qing lalu mempersiapkan perahu untuk Ou. Pada saat perpisahan, Qing memberikan satu peti permata kepada Ru Yuan. Melihat permata yang sangat banyak, timbul pikiran jahat pada Ou untuk memiliki permata tersebut bagi dirinya sendiri.<br /> Setibanya di rumah, Ou melayani Ru Yuan sangat baik. Sehingga lama kelamaan Ru Yuan terlena dan memberikan kunci peti permata kepada Ou.<br />Begitu mendapatkan kunci peti permata, sifat Ou langsung berubah total. Ru Yuan diperlakukan secara buruk dan disuruh bekerja keras siang dan malam. Menghidangkan teh, memasak, mencuci pakaian, dan banyak lainnya.<br />Suatu hari pada hari pertama Perayaan Tahun Baru Imlek, Ou berpikir bahwa Ru Yuan terlalu malas, karena baru bangun pada saat ayam berkokok, sehingga memukuli Ru Yuan. Tidak tahan, Ru Yuan lari. Ou tidak tinggal diam, dia mengejar.<br />Melihat sebuah sapu tersandar pada pohon, Ru Yuan memutuskan untuk menghilang kedalam sapu. Bersamaan dengan menghilangnya Ru Yuan, semua harta benda dan permata yang ada di rumah Ou turut terbang dan menghilang ke dalam sapu. Ou hanya bisa terpaku menyaksikan semuanya. Melaratlah Ou sejak saat itu.<br />Sesudah itu, setelah membersihkan rumah untuk menyambut Tahun Baru Imlek, orang-orang menyembunyikan sapu, dan segala macam pembersih lainnya, untuk menghindari segala hal yang diharapkan hilang tersapu.<br /><br />8. Angpau<br /> <br />Angpau, sampul merah atau paket merah ialah hadiah berbentuk uang yang ditukarkan ketika musim perayaan atau peristiwa khas dalam masyarakat Cina<br /> Penggunaan<br />Ang pau sering diberikan pada perkumpulan sosial dan keluarga seperti jamuan perkahwinan Cina atau ketika perayaan seperti Tahun Baru Cina. Salah satu konteksnya adalah bahawa angpau dikenali sebagai yāsuì qián (Cina Tradisional, Cina Ringkas) yang bererti “uang ditekan" atau "uang menahan umur".<br />Warna merah sampul ini melambangkan tuah. Jumlah uang yang terkandung dalamnya lazimnya dikehendaki bermula dengan angka genap kerana angka ganjil dikaitkan dengan uang yang diberi ketika upacara kematian (bahasa Cina; pinyin: bó jīn; secara harfiah "uang sutera"). Jumlah uang yang diberi pada majlis perkawinan biasanya adalah untuk melitupi perbelanjaan hadirin serta membantu pasangan pengantin baru.<br />Pada perayaan Tahun Baru Cina, angpau biasanya diberi oleh yang sudah menikah kepada yang belum menikah. Sesiapa yang belum menikah layak menerimanya tanpa terbatas usia.<br /><br />Asal-usul<br />Tiadanya sumber bertulis jelas yang menyatakan sejarah angpau pertama kali digunakan. Ketika zaman Dinasti Qing, para warga tua menguntai syiling dengan benang merah. Benda ini dipanggil yāsuì qián dan dipercayai melindungi orang tua daripada keuzuran dan kematian.<br />Tradisi ini berubah menjadi sampul merah moden setelah mesin percetakan semakin laris di China setelah penubuhan Republik China pada tahun 1911.<br /><br />B. PERAYAAN HARI-HARI TERTENTU<br />1. Cao E<br />Berdasarkan legenda, pada suatu tahun di hari ke lima bulan ke lima Imlek selama masa pemerintahan Kaisar An Di dari Dinasti Han Timur, terdapat seorang pria bernama Cao Ding yang sedang menikmati suara ombak.<br />Suara ombak sungai bagi Cao Ding jauh lebih indah dibandingkan suara dedaunan tertiup angin, juga dibandingkan kemeriahan laskar tentara yang sedang menikmati kemenangan.<br />Ditengah keasyikannya, secara tiba-tiba Cao Ding tersapu ombak dan menghilang.Anak Cao Ding, Cao-E, hanya dapat menemukan kipas sang ayah. Cao-E sangat sedih menyadari bahwa sang ayah telah meninggalkan dirinya. Kesedihan semakin bertambah demi menyadari bahwa dirinya tidak dapat menemukan jasad sang ayah.<br />Para nelayan memberikan nasehat agar Cao-E pulang dan beristirahat, dan jasad sang ayah kemungkinan besar akan muncul ke permukaan setelah dua hari. Tetapi tekad Cao-E sudah bulat untuk terus menunggu jasad sang ayah. Penantian selama tujuh hari dan tujuh malam tanpa hasil. Di tengah rasa putus asa dan penyesalan yang sangat mendalam, Cao-E menceburkan diri ke dalam sungai.<br />Tiga hari kemudian, jasad Cao-E dan sang ayah ditemukan pada saat dan tempat yang sama. Apa yang dilakukan Cao-E membuat rakyat sekitar sangat terharu. Oleh sebab itu, pada setiap hari ke lima bulan ke lima Imlek, pada Perayaan Perahu Naga, mereka mendayung perahu naga yang membawa patung Cao-E demi mengenang pengorbanan yang dilakukan Cao-E.<br /><br /><br />2. Chang-E<br />Menurut legenda Tionghoa, pernah terdapat 10 buah matahari di bumi ini dan masing-masing matahari secara bergiliran menerangi dan memberikan kehangatan ke bumi. Tetapi suatu saat semua matahari muncul secara bersama-sama sehingga menyebabkan bumi hangus karena terlalu panas. Bumi dapat diselamatkan berkat adanya seorang pemanah pemberani bernama Hou Yi yang berhasil memanah jatuh sembilan buah matahari.<br />Hou Yi berhasil mendapatkan ramuan kehidupan untuk menyelamatkan rakyat dari pemerintahan yang kejam, namun sang istri meminumnya. Sehingga membuat istri Hou Yi terbang ke bulan. Lalu mulailah legenda adanya perempuan di bulan, yang mana gadis-gadis Cina merayakannya sebagai Perayaan Pertengahan Musim Gugur.<br />Legenda ini semasa pemerintahan Tai Kang dari Dinasti Xia<br />Yu mendapatkan takhta dari Shun karena kemampuannya dalam mengendalikan banjir. Ketika Yu telah berusia lanjut, dia memiliki keinginan untuk menyerahkan takhta kepada salah seorang menterinya, Po Yi. Namun para ketua suku menginginkan agar Yu memberikan posisi tersebut kepada Chi, salah seorang putra Yu. Setelah kejadian ini maka posisi ketua dari ketua atau raja menjadi sesuatu yang turun temurun. Tai Kang adalah putra dari Chi.<br />Yu memiliki jasa besar karena berhasil menghentikan banjir dan mendidik rakyat untuk bertani. Hal ini menyebabkan Kaisar Langit di surga memerintahkan sepuluh orang putranya menjadi sepuluh matahari. Ini dimaksudkan agar mereka dapat secara bergantian mengelilingi langit setiap hari sehingga dapat membantu rakyat untuk berternak dan bertani.<br />Namun sepuluh orang muda tersebut tidak mematuhi perintah dan mereka keluar secara bersamaan yang menyebabkan panas dari sepuluh matahari secara bersama-sama menyinari bumi dan mengakibatkan panas yang sangat hebat. Banyak manusia dan binatang meninggal, sungai-sungai menjadi kering, hutan-hutan terbakar, dan berbagai penderitaan hebat lainnya.<br />Rakyat memohon agar surga memberikan kasihnya. Dan permohonan ini didengar oleh Kaisar Langit, yang lalu memerintahkan Hou Yi, seorang Dewa yang gagah, untuk turun ke bumi menyelesaikan masalah tersebut.<br />Hou Yi adalah Dewa yang pemberani dan beruntung. Istrinya adalah Chang-E yang penyendiri, dan mereka sangat saling mencintai dan tidak terpisahkan. Mereka terkenal dengan nama “Sepasang Dewa”. Namun hidup diantara manusia tidak semudah hidup di surga, dan Chang-E tidak berkeinginan untuk itu. Namun Hou Yi tidak dapat menentang perintah dari Kaisar Langit, dan Chang-E tidak ingin berpisah dari suaminya. Maka dengan perasaan berat, dia mendampingi Hou Yi ke daerah liar di timur.<br />Hou Yi adalah seorang pemanah yang hebat, dan dari surga membawa busur gaib yang dapat memanah apa saja di langit diluar jangkauan manusia. Kemudian rakyat dari daerah timur mengangkatnya sebagai ketua.<br />Bagaimanapun juga posisi tersebut tidaklah membawa bahagia bagi Hou Yi, karena harus menghadapi kenyataan bahwa sepuluh matahari terus menerus menghanguskan tanaman, menyebabkan binatang-binatang ternak mati kelaparan, mengeringkan sungai-sungai, meluasnya penyakit-penyakit, dan banyak rakyat meninggal. Melihat hebatnya penderitaan rakyat, dia mendaki Gunung Tienshan dan berbicara dengan sepuluh matahari.<br />“Kasihanilah rakyat dan keluarlah hanya satu secara bergantian, jangan keluar<br />secara bersamaan”, mohon Hou Yi.<br />“Kenapa kita harus begitu?”, tanya salah satu matahari.<br />“Karena jika kalian semua muncul secara bersamaan, cahaya dan panas kalian membuat rakyat dan mahluk hidup lainnya menderita”, jawab Hou Yi.<br />Tanya matahari yang lain, “apa urusan manusia dengan kami?”<br />“Ya benar! Kami sepuluh bersaudara sangat senang bermain bersama setiap hari di langit. Betapa hampa dan membosankan bila kami mengelilingi langit secara bergantian”, tambah matahari lainnya.<br />“Namun Surga sangat sayang kepada mahluk hidup, dan saya berbicara kepada kalian atas perintah Kaisar Langit”, kata Hou Yi.<br />Meskipun Hou Yi berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk memberikan penjelasan, tetapi mereka tidak menghiraukan.<br />Salah seorang berkata dengan sombong “Kami adalah putra dari Kaisar Langit, dan siapakah kamu berani mencampuri urusan kami?”<br />Lalu kesepuluh matahari dengan sombongnya mengeluarkan panasnya ke bumi, yang mengakibatkan hutan-hutan terbakar, burung dan binatang berlarian menghindar dan manusia berusaha untuk menyelamatkan hidup.<br />Perbuatan tersebut membuat Hou Yi kehilangan kesabaran, sehingga dia mengambil busur dan panahnya, dan memanah matahari tersebut satu per satu. Pada saat Hou Yi akan memanah matahari yang terakhir, sang matahari memohon agar Hou Yi memberikan pengampunan, dan matahari tersebut berjanji mematuhi semua tugas yang diberikan dan hanya akan keluar pada siang hari.<br />Setelah kejadian itu, rakyat sangat menikmati hidup mereka, mereka bekerja pada siang hari dan beristirahat pada malam hari.<br />Hou Yi lalu melaporkan semua yang dilakukannya kepada Kaisar Langit, yang sangat marah karena Hou Yi membunuh sembilan putranya dengan kejam. Kaisar Langit menolak Hou Yi kembali ke surga. Kaisar Langit mengatakan bahwa Hou Yi sangat dinantikan oleh rakyat di kawasan timur yang telah mengangkatnya sebagai ketua dari suku-suku tersebut, dan menginginkan agar Hou Yi dapat berjuang untuk kesejahteraan umat manusia.<br />Maka Hou Yi tidaklah dapat pulang ke surga, dan di bumi sangat banyak pekerjaan yang harus dilakukannya.<br />Jika seseorang ingin menguasai alam, yaitu dengan berkuasa atas serangga dan binatang buas, maka dia pertama-tama harus belajar untuk bertarung. Maka Hou Yi mulai melatih rakyat memanah.<br />Hou Yi sangat sibuk dengan semua pekerjaan yang ada sehingga dia jarang pulang ke rumah, dan ini menyebabkan Chang-E merasa ditelantarkan dan kesepian. Yang paling membuat Chang-E sedih adalah kenyataan bahwa dia sekarang adalah seorang manusia, yang tidak dapat menghindari penderitaan manusia, seperti melahirkan, menjadi tua, sakit dan meninggal. Chang-E sangat marah terhadap perbuatan Hou Yi yang memanah jatuh matahari-matahari yang merupakan putra dari Kaisar Langit tersebut.<br />Hou Yi sangat mencintai istrinya, dan untuk menghindari pertengkaran yang selalu terjadi, maka dia berkelana sendirian. Dengan cara ini dia lebih dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan dunia.<br />Dalam pengembaraan, Hou Yi melakukan banyak perbuatan baik. Salah satu perbuatan baik Hou Yi yang sangat terkenal adalah membunuh seekor monster berkepala sembilan. Semua perbuatan baik yang dilakukan membuat nama Hou Yi semakin terkenal.<br />Beberapa kali Hou Yi memohon kepada Kaisar Langit agar dia dan istrinya dapat kembali ke surga, namun Kaisar Langit tetap tidak memaafkan perbuatan Hou Yi. Sehingga lama kelamaan, Hou Yi dan Chang-E harus berusaha keras agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia.<br />Manusia tidak dapat menghindar dari sakit, derita, kesedihan, dan kecemasan. Maka saat Hou Yi berkelana, yang bertujuan untuk melakukan banyak perbuatan baik bagi rakyat jelata, semakin terdapat jarak antara dia dengan sang istri.<br />Pada saat itulah Hou Yi bertemu dengan Mi Fei, yang merupakan salah satu wanita tercantik yang ada. Mi Fei merupakan salah satu keturunan dari Fu Shi, penguasa legendaris Cina. Dahulu, Mi Fei kehilangan keseimbangan dan tenggelam di sungai Lo, yang kemudian membuat Mi Fei menjadi Dewi Lo. Mi Fei menikah dengan Feng Yi, Dewa Air, yang mengendalikan Sembilan Sungai.<br />Mi Fei sedang bermain di sungai suatu hari pada saat Hou Yi sedang mengendari kuda. Karena Mi Fei telah menikah dan tidak ingin orang asing melihatnya, maka dia menyelam ke dalam air. Namun Hou Yi telah melihat Mi Fei dan mengira Mi Fei tenggelam, maka Hou Yi meloncat ke sungai untuk menyelamatkan Mi Fei. Secara tidak disadari, Mi Fei merasa senang pada saat ditolong oleh Hou Yi.<br />“Kamu lebih baik pergi, karena jika suamiku melihatmu maka kamu akan mati”, kata Mi Fei memperingatkan Hou Yi.<br />“Suamimu? Kamu memiliki suami?”,tanya Hou Yi dengan penuh kekecewaan.<br />“Siapakah dia?”<br />“Feng Yi, Dewa Air.”<br />“Oh dia!”, kata Hou Yi sambil tertawa karena mendengar nama Feng Yi yang memiliki reputasi buruk. Dalam hati, Hou Yi sangat menyayangkan kenyataan bahwa wanita cantik ini ternyata memiliki suami semacam Feng Yi.<br />“Bagaimana kamu bisa tertawa? Suamiku memiliki sifat yang buruk, dan dia pasti akan membunuhmu.”<br />“Maka apakah kamu adalah Dewi Lo?”, tanya Hou Yi.<br />“Ya!”<br />“Itu tidak apa-apa! Jika Feng Yi memang bisa membunuhku, saya tidak akan keberatan selama saya bisa bersama wanita cantik sepertimu”, kata Hou Yi.<br />“Namun saya meragukan kemampuan Feng Yi bisa menandingi kemampuan seseorang yang mampu membunuh matahari di langit”.<br />Mi Fei melihat busur dan panah gaib yang ada dan menyadari siapakah Hou Yi sebenarnya. Mungkin karena Mi Fei menyukai Hou Yi, atau karena Mi Fei merasa kesepian sekian lama, maka Mi Fei tiba-tiba menangis di pundak Hou Yi. Hou Yi juga melupakan sang istri di rumah.<br />Hou Yi melupakan Chang-E, Mi Fei melupakan Feng Yi.<br />Namun percintaan mereka tidak kekal. Pada suatu hari saat mereka sedang berbincang-bincang dengan mesra di tepi sungai, Feng Yi memergoki mereka. Dia sangat marah dan merubah diri menjadi seekor naga putih. Lalu mengamuk, menyapu semua kuda-kuda dan menghancurkan ladang pertanian yang ada di sekitar sungai.<br />Berpikir bahwa naga itu adalah seekor naga yang jahat, Hou Yi mengambil busurnya dan melepaskan sebuah panah. Mi Fei berusaha menghentikan Hou Yi, karena dia mengetahui penyamaran suaminya, namun dia terlambat. Panah itu membutakan satu mata Feng Yi, yang lalu melaporkan kejadian itu kepada Kaisar Langit.<br />Karena Hou Yi telah banyak melakukan perbuatan baik dan menghadapai kenyataan bahwa sebenarnya Hou Yi sedang menjalani hukuman karena membunuh sembilan matahari, maka Kaisar Langit hanya mengatakan agar Hou Yi tidak menemui Mi Fei lagi.<br />Patah hati! Maka satu-satunya yang bisa dilakukan Hou Yi adalah pulang ke rumah. Namun, Chang-E tidak menyambut dengan gembira.<br />“Bagaimana bisa kamu pulang kesini setelah apa yang kamu lakukan? Pulanglah kamu ke perempuan yang tidak tahu malu itu!”, kata Chang-E. Hou Yi tidak berkata apa-apa, karena menyadari bahwa dirinya memang bersalah.<br />Sementara itu Feng Yi yang masih tidak puas dengan keputusan Kaisar Langit, memanggil para naga dari Sembilan Sungai dan memerintahkan mereka membuat awan dan hujan selama satu bulan penuh. Bencana ini menandingi bencana yang pernah ditimbulkan sepuluh matahari. Semua binatang dan tanaman tenggelam, yang menyebabkan rakyat kelaparan.<br />Maka sekali lagi Hou Yi memanggul busur dan panahnya, memanggil semua pengikutnya dan pergi berburu burung, binatang, dan ikan untuk memberi makan Chang-E dan para anggota sukunya.<br />Chang-E tidak merasa senang dengan memakan binatang-binatang liar ini. Dia ingin makan buah-buahan dan dia meminta Hou Yi menunjukkan kegagahannya.<br />“Saya dahulu dapat mengambil bintang untukmu”, kata Hou Yi, “namun sekarang kita adalah manusia dan seluruh daerah dilanda banjir dan semuanya mati, dimana kamu mengharapkan saya bisa mendapatkan buah-buahan?”<br />“Itu semua salahmu! Kenapa kamu harus membunuh sembilan matahari itu? Seharusnya kamu sadar bahwa mereka adalah anak dari Kaisar Langit. Dan bagaimana kamu bisa juga bermesraan dengan Mi Fei yang telah menikah dengan Feng Yi? Kamu tidak tahu malu!”, teriak Chang-E sambil menangis.<br />Hou Yi menyadari bahwa dirinya memang salah.<br />“Baiklah, itu semua salahku. Tenanglah. Marah akan membuat kamu cepat menjadi tua”, kata Hou Yi dengan penuh kesabaran.<br />Mendengar kata “tua”, Chang-E tertegun dan melihat bayangannya di air. Dan Chang-E terkejut menyaksikan kerut-kerut pada mukanya.<br />Dia menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang wajar pada manusia, dan kejadian itu tidak dapat dihindarinya. Chang-E berteriak-teriak histeri.<br />“Saya tidak ingin berubah! Saya tidak ingin menjadi jelek! Saya ingin kembali ke surga!”<br />“Itu tidak mungkin”, kata Hou Yi, “Kaisar Langit tidak mengijinkan kita kembali.”<br />“Saya tidak mau tahu! Saya tidak mau menjadi tua! Saya tidak mau menjadi jelek! Kamu harus menemukan cara agar saya tetap abadi dan cantik!”<br />“Baik, baik. Saya akan memikirkan caranya”, kata Hou Yi.<br />Hou Yi kebingungan. Dimana dia bisa mendapatkan cara membuat seseorang abadi dan tetap cantik?<br />Namun bila dia tidak mendapatkannya, itu akan berterusan tanpa akhir. Maka dia pergi dan tidak berani pulang ke rumah. Hou Yi ingin pergi ke tempat Mi Fei namun dia takut melanggar perintah Kaisar Langit, itu membuat semangatnya semakin turun dari hari ke hari.<br />Hou Yi menjadi pemabuk, dan mulai menunjukkan sifat kasar. Hou Yi mulai bersikap kasar kepada para murid dan anggota sukunya. Dan itu membuat orang-orang tidak menyukai Hou Yi, terutama Feng Meng dan seorang anak buah Feng Meng, Han Cho.<br />Feng Meng telah lama belajar memanah dari Hou Yi, dan merasa bahwa dirinya sudah melebihi Hou Yi. Dia secara rahasia menyukai Chang-E, namun tidak berani bertindak apa-apa karena dia takut akan busur dan panah gaib yang dimiliki Hou Yi.<br />Sedangkan Han Cho adalah seorang tamak yang menginginkan menjadi ketua menggantikan Hou Yi, tentunya jika Hou Yi dibinasakan.<br />Maka mereka berdua merencanakan hal jahat terhadap Hou Yi dan Chang-E. Mereka mengatakan kepada Hou Yi bahwa Ibu Raja yang tinggal di puncak Gunung Kunlun memiliki ramuan yang dapat membuat seorang abadi dan tetap cantik.<br />Demi Chang-E, Hou Yi mendaki Gunung Kunlun yang penuh dengan bahaya, dimana akhirnya dia bisa menjumpai Ibu Raja. Karena pengorbanan yang dilakukan oleh Hou Yi begitu besar untuk mencapai puncak Gunung Kunlun, Ibu Raja memberikan sebuah pil keabadian.<br />Seseorang yang memakan pil ini akan dapat ke surga, Ibu Raja berkata kepada Hou Yi, namun jika dua orang membaginya, maka mereka berdua dapat hidup abadi.<br />Mereka harus memakan pil itu tepat pada tanggal 15 bulan 8, ketika bulan penuh, demikian kata Ibu Raja lebih lanjut.<br />Hou Yi sangat gembira mengetahui hal tersebut, dan segera pulang ke rumah untuk memberitahu Chang-E. Mereka membagi pil tersebut menjadi dua dan akan memakannya pada waktu yang telah diberitahu, sehingga mereka berdua dapat menjadi abadi.<br />Saat itu adalah tanggal 12 bulan 8, tiga hari kemudian merupakan hari yang ditunggu. Namun Hou Yi mendengar adanya “ramuan permata” di Gunung Tienshan yang dapat membuat wanita semakin cantik. Maka untuk membuat Chang-E bahagia dan menebus kesalahan yang pernah dilakukan, Hou Yi pergi untuk mendapatkan ramuan tersebut.<br />Menurut perhitungan Hou Yi, dia akan mendapatkan ramuan itu dan kembali ke rumah dalam waktu tiga hari. Karena Hou Yi ingin memberi kejutan kepada Chang-E, dia tidak mengatakan apa-apa mengenai kepergiannya.<br />Tiga hari berlalu dan Chang-E melihat bahwa Hou Yi tidak akan kembali. Dia bertanya kepada Feng Meng mengenai hal itu, dan Feng Meng berkata bahwa dia tidak diperbolehkan untuk berkata apa-apa.<br />Karena ditanya terus menerus, maka Feng Meng dengan liciknya mengatakan bahwa, “Hou Yi tidak mengijinkan saya berkata apa-apa”.<br />“Mengapa tidak? Kemana dia pergi?”, tanya Chang-E.<br />“Saya tidak dapat mengatakannya. Hou Yi akan membunuh saya!”<br />“Tidak. Hou Yi tidak akan melakukan apa-apa terhadapmu. Katakan saja”, desak Chang-E.<br />“Dia….dia pergi untuk mencari Mi Fei”, bohong Feng Meng.<br />Chang-E tertegun. Betapa tidak tahu budi suaminya. Chang-E sangat marah mendengarkan hal itu. Dan saat bulan mulai muncul, Chang-E mengambil pil keabadian yang telah diberikan oleh Hou Yi, perlahan-lahan menuju ke halaman dan memandang ke langit.<br />Dia mengenang semua kehidupan bahagia yang pernah dinikmati di surga. Tidak ada banjir, tidak ada sakit, tidak ada penderitaan, dan tidak ada kesedihan. Manusia harus mengalami semuanya.<br />Betapa enak hidup di surga, pikir Chang-E. Sekarang Chang-E memiliki pil keabadian. Namun, apakah Hou Yi akan pulang? Chang-E berpikir, mungkinkah Hou Yi berencana untuk memakan pil itu berdua dengan Mi Fei dan meninggalkan dirinya?<br />Kebahagian di surga, dan penderita di dunia. Hati Chang-E dipenuhi dengan berbagai kemelut emosi. Tiba-tiba, Chang-E mendengar suara derap tapak kuda, dan menebak bahwa itu pasti suaminya pulang. Dengan penuh kebingungan, dia meminum pil itu semuanya, dan saat itu juga dia merasa tubuhnya semakin ringan dan mulai melayang di udara.<br />“Chang-E! Chang-E!”, teriak Hou Yi sambil memegang erat ramuan permata yang didapatkan dari Gunung Tienshan. Namun Chang-E tidak menghiraukannya.<br />Chang-E terus melayang semakin cepat dan cepat. Dengan penuh kemarahan Hou Yi melempar ramuan permata dan mengambil busur serta panah gaibnya, namun dia tidak berani untuk memanah.<br />Chang-E ingin pergi ke surga, namun para Dewa-Dewi di surga telah menyaksikan penghianatannya terdapat sang suami dan mencelanya. Maka dia menjadi takut dan merubah arah ke bulan yang dingin dan sepi.<br />Hou Yi menyaksikan semuanya dari bumi, dan berpikir bahwa dia dapat memanah jatuh bulan. Dia dapat melakukan hal itu, namun dia tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia akan membunuh istrinya yang tersayang.<br />Maka, dengan penuh kemarahan, dia mematahkan busur dan panah gaibnya. Kenapa harus tetap memiliknya, jika dia ternyata tetap tidak dapat menolong istrinya?<br />Feng Meng dan Han Cho melihat semua kejadian dari tempat tersembunyi, dan tersenyum bahagia. Hou Yi begitu sedih. Dengan satu perintah, dua orang itu bersama empat pengikut mereka mendatangi dan membunuh Hou Yi.<br />Chang-E yang berada di bulan menyaksikan bagaimana sang suami dibunuh secara kejam, dan dia sangat menyesali apa yang telah dilakukan. Namun sudah terlambat, tidak hanya dia sekarang telah dibuang dari surga, dia juga harus hidup abadi sendirian di bulan.<br />Li Shang Yin (A.D. 812-858), seorang penyair dari Dinasti Tang, menulis cerita sedih Chang-E tiga ribu tahun kemudian, dan cerita itu menjadi sebuah legenda, terutama bagi bangsa Tionghoa.<br />Setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek, ketika bulan menunjukkan keindahan secara penuh, orang Tionghoa melihat ke bulan dan mengingat Chang-E dan legendanya.<br />Perayaan ini dikenal sebagai Perayaan Pertengahan Musim Gugur, juga dikenal sebagai Perayaan Bulan.<br /><br />3. Hari Chap Goh Mei<br />Lima belas hari selepas Tahun Baru Cina merupakan hari Chap Goh Mei disambut sebagai menandakan berakhirnya perayaan Tahun Baru Cina. Pesta Chap Goh Mei disambut dengan mengadakan upacara sembahyang secara besar-besaran, di mana colok besar akan dibakar dan juga diadakan makan besar bersama keluarga. Bunga api dibakar dan tanglung dinyalakan bagi meraikan Chap Goh Mei.<br />Chap Goh Mei juga dianggap sebagai malam mencari pasangan di mana para gadis akan berpakaian serba indah dan mengunjungi kuil untuk berdoa agar mendapat pasangan yang secucuk. Terdapat juga amalan melontar buah limau ke dalam laut atau sungai dengan doa untuk mendapat pasangan. Buah limau yang basah membawa pesanan agar mereka mendapat pasangan yang sesuai<br />Persembahan kebudayaan Cina akan diadakan pada waktu malam bagi menandakan perayaan Chap Goh Mei seperti perarakan tanglung, tarian naga atau singa, opera Cina, dan mengimbang bendera besar "Chingay".<br /><br />4. Hari Sembilan Maharaja Dewa<br />Perayaan Sembilan Maharaja Dewa juga dikenali sebagai Kow Wong Yeh disambut pada hari kesembilan pada bulan sembilan dalam kalender lunar Cina. Penganut kepercayaan Taoist akan berkumpul di kuil untuk menyambut perayaan ini.<br /><br />5. Perayaan Tahun Baru Imlek<br />Dalam jutaan orang Tionghoa yang ada di dunia ini, ternyata yang mengetahui sejarah dan asal usul Tahun Baru Imlek memang tidak banyak. Biasanya mereka hanya merayakannya dari tahun ke tahun bila kalender penanggalan Imlek telah menunjukan tanggal satu bulan satu. Jenis dan cara merayakannya pun bisa berbeda dari satu suku dengan yang lain.<br />Hal ini dikarenakan luasnya daratan Tiongkok dengan beraneka ragamnya kondisi alam, lingkungan baik secara geografis maupun demografis, belum lagi secara etnis. Ada yang dimulai dengan sembahyang kepada Thian dan para Dewa, serta leluhur, ada pula yang dimulai dengan makan ronde, maupun kebiasaan-kebiasaan lain sebelum saling berkunjung antar sanak saudara sambil tidak lupa membagi-bagi “Ang Pau” untuk anak-anak, yang tentu saja menerimanya dengan penuh kegembiraan.<br />Sebenarnya penanggalan Tionghoa dipengaruhi oleh 2 system kalender, yaitu sistem Gregorian dan sistem Bulan-Matahari, dimana satu tahun terbagi rata menjadi 12 bulan sehingga tiap bulannya terdiri dari 29 ½ hari. Penanggalan ini masih dilengkapi dengan pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam, sehingga pembagian musim ini terbukti amat berguna bagi pertanian dalam menentukan saat tanam maupun saat panen.<br />Di bawah ini adalah beberapa contoh dari pembagian 24 musim tersebut:<br />• Permulaan musim semi.Hari pertama pada musim ini adalah hari pertama Perayaan Tahun Baru, atau saat dimulainya Perayaan Musim Semi (Chun Jie).<br />• Musim hujan. Di mana hujan mulai turun.<br />• Musim seranggaSerangga mulai tampak setelah tidur panjangnya selama musim dingin.<br />• dll (Masih terdapat 21 musim lain yang terlalu panjang untuk dibahas satu persatu)<br />Selain dari pembagian musim di atas, dalam penanggalan Tionghoa juga dikenal istilah Tian Gan dan Di Zhi yang merupakan cara unik dalam membagi tahun-tahun dalam hitungan siklus 60 tahunan. Masih ada lagi hitungan siklus 12 tahunan, yang kita kenal dengan “Shio”, yaitu Tikus, Sapi, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, Babi.<br />Kesimpulannya, penanggalan Tionghoa tidak hanya mengikuti satu sistem saja, tetapi juga ada beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu musim, 5 unsur, angka langit, shio, dll. Walaupun demikian, semua perhitungan hari ini dapat terangkum dengan baik menjadi satu sistem “Penanggalan Tionghoa” yang baik, lengkap dan harmonis bahkan hampir bisa dikatakan sempurna karena sudah mencakup “Koreksi” -nya juga, sebagai contoh adalah “Lun Gwe”, merupakan bulan untuk mengkoreksi setelah satu periode tertentu.<br />Perayaan Tahun Baru Imlek merupakan sebuah perayaan besar bagi masyarakat Tionghoa. Menggantung lentera merah, membunyikan petasan dan menyembunyikan sapu adalah salah satu keunikan dari perayaan ini. Disamping itu, masyarakat Tionghoa juga akan mulai menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari perayaan ini.<br /><br /><br /><br /><br /><br />6. Perayaan Lentera<br />Perayaan Lentera kadang dikenal sebagai Shang Yuan atau Xiao Guo Nian, Tahun Baru Kecil. Dirayakan 15 hari setelah Perayaan Tahun Baru Imlek, atau pada tanggal 15 bulan satu Imlek.<br />Bermula pada masa pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han. Di istana Wu Di tinggal seorang pembantu istana bernama Yuanxiao. Yuanxiao ingin menjenguk keluarganya, namun aturan istana melarang semua pembantu meninggalkan istana.<br />Beruntung Yuanxiao memiliki teman seorang menteri bernama Shuo Dongfang. Dia adalah seorang yang cerdik dan menetapkan dirinya untuk membantu pembantu yang tidak berdaya itu.<br />Shuo berkata kepada kaisar bahwa Dewa Surga telah memerintahkan kepada Dewa Api untuk menghancurkan kota Changan pada tanggal 15 bulan 1 tahun Imlek. Dia berkata kepada Wu Di bahwa satu-satunya cara untuk menenangkan sang Dewa adalah dengan memberikan persembahan kembang api, membunyikan petasan dan mempertontonkan lentera-lentera berwarna merah. Untuk membuat persembahan memuaskan hati sang Dewa maka semua orang di kota harus turut ikut serta.<br />Dewa Api juga sangat menyukai kue nasi lengket, khususnya yang dibuat oleh Yuanxiao, yang mana dianjurkan oleh Shou agar dipersembahkan secara langsung. Beruntung, sang kaisar mempercayai kebohongan itu dan memerintahkan agar kota Changan mempersiapkan semuanya.<br />Pada hari yang ditentukan, penduduk kota menyalakan kembang api dan memasang lentera-lentera. Mereka bergembira ria sepanjang malam. Dan Yuanxiao mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan istana dan mengunjungi keluarganya.<br />Sang Kaisar, yang sangat senang atas perayaan tersebut, memerintahkan agar perayaan yang sama dilakukan pada tahun berikutnya dan Yuanxiao diperintahkan untuk membuat kue nasi lengket.<br />Pada Perayaan Lentera Maka pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek menjadi sebuah hari bagi perayaan besar sampai hari ini, merayakan bulan penuh pertama pada tahun yang baru dan berkumpulnya keluarga serta kehidupan yang bahagia.<br />Kue nasi lengket yang dimakan sampai saat ini dinamakan Yuan Xiao untuk mengingat pembantu istana tersebut.<br />Anda mungkin mengetahui bahwa pada beberapa lentera terdapat tulisan. Itu adalah Teka-Teki pada Lentera, juga dinamakan Singa Lentera karena menjawab teka-teki yang ada sama susahnya dengan menembak singa.<br />Tanyakan kepada teman-teman anda mengenai asal usul Perayaan Lentera dan Yuanxiao. Lalu perhatikan wajah mereka terkagum-kagum pada saat anda menceritakan asal-usul sebenarnya.<br /><br />Teka-Teki pada Lentera<br />Teka-Teki pada lentera adalah, seperti namanya, sebuah teka-teki yang ada pada permukaan lentera untuk ditebak oleh orang-orang pada saat menikmati Perayaan Lentera.<br />Teka-teki yang ada dapat berupa satu huruf, sebuah puisi, sebuah nama tempat, atau sebuah nama benda. Karena menebak teka-teki yang ada bisa sesusah menembak singa, maka proses asah otak ini dinamakan “Singa Lentera”.<br />Pada masa sekarang, teka-teki lentera semakin luas jangkauan topiknya dan menjadi sebuah kesegaran tersendiri dari berbagai jenis, sehingga dapat menambah kegembiraan, semangat, dan perhatian pada kegiatan Perayaan Lentera.<br />Koran, majalah, dan toko-toko menampilkan banyak teka-teki untuk dipecahkan oleh masyarakat umum. Bersamaan dengan Perayaan Lentera yang diadakan di kuil-kuil pada malam hari, kegiatan ini semakin menyemarakkan perayaan yang ada.<br /><br />7. Perayaan Perahu Naga<br />Perayaan perahu naga selalu menjadi simbol dalam semangat dan kebudayaan bangsa Tionghoa. Merupakan salah satu dari perayaan besar bangsa Tionghoa yang diadakan setiap tahun, dan saat ini bisa disaksikan dari seluruh penjuru dunia. Berpartisipasi dalam perayaan perahu naga, baik sebagai peserta ataupun penonton, merupakan sesuatu yang menyenangkan dan dapat dinikmati oleh setiap orang.<br />Anda dapat menyaksikan perahu-perahu yang beraneka warna, dengan dihiasi kepala naga, ekor naga dan lukisan sepanjang badan perahu. Anda dapat menyaksikan para peserta yang berusaha sekuat tenaga untuk menjadi yang pertama sampai pada garis akhir. Penonton yang berteriak dan memberi semangat bagi perahu pilihan mereka, sementara itu pemukul gendang memukul gendangnya dan berteriak untuk memberikan semangat dan menyelaraskan irama dayung bagi setiap peserta dalam perahunya. Perayaan ini jangan diharapkan sebagai suatu perayaan yang tenang, namun sebuah perayaan yang ceria dan menyenangkan, sebuah pesta besar.<br />Untuk mengetahui asal usul dari perayaan perahu naga ini banyak yang tidak atau kurang mengetahuinya. Bahkan banyak orang hanya mengatakan asal usulnya adalah “pada jaman dahulu kala”.<br />Sebenarnya asal usul perayaan perahu naga ini bermula dari sekitar 2000 tahun yang lalu ketika para penganut kepercayaan yang ada mempercayai bahwa pertandingan perahu dapat membawa kemakmuran dan kesuburan tanaman.<br />Perayaan mengambil waktu pada saat musim panas, waktu dimana banyak terjadi bencana dan kematian, dan dimana manusia merasa tidak berdaya atas kekuasaan alam. Pertandingan itu menjadi simbol atas perlawanan manusia menghadapi alam dan pertarungannya melawan musuh-musuh.<br />Ada pula beberapa kisah yang mendasari asal muasal perayaan ini, seperti kisah Qu Yuan dan Cao-E.<br />Perayaan perahu naga dirayakan pada saat “lima dari lima”, yaitu hari ke-lima dari bulan ke-lima penanggalan Cina. Merah mendominasi warna dari perahu yang bertanding, karena merah adalah warna dari angka lima dan merupakan simbol dari panas, musim panas, dan api. Panjang dari perahu naga antara 30 sampai 100 kaki, dan cukup lebar untuk menampung dua orang secara sejajar.<br />Beberapa ritual asli masih dilakukan sampai saat ini, seperti “membangunkan sang naga” dengan memberikan tanda titik pada kepala naga disetiap perahu. Perayaan ini dilakukan untuk memberikan berkah kepada daerah sekitar, para perahu yang bertanding, dan para pesertanya. Juga memberikan para perahu dan pesertanya kekuatan dari sang Naga dan berkah dari Dewi Laut.<br />Sekalipun demikian, banyak yang sudah berubah dalam perayaan itu. Seperti para penonton tidak lagi melemparkan batu kepada perahu saingannya, dan tidak lagi menenggelamkan satu orang, yang mengejutkan adalah pengorbanan itu dahulu dianggap sebagai pengorbanan terhadap dewa dan sebagai tanda keberuntungan.<br />Perayaan perahu naga saat ini lebih banyak berfungsi sebagai hiburan. Tidak lagi diperuntukkan bagi mengusir kejahatan dan mendatangkan tahun yang baik, tetapi bagi memberikan sedikit hiburan dan pendidikan kepada rakyat tentang sejarah dan kebudayaan bangsa Tionghoa.<br />Sekarang tidak lagi seperti dahulu, yang mana sangat ketahyulan, namun tetap terdapat kegembiraan dalam perayaan tersebut.<br /><br />Qu Yuan<br />Kisah Qu Yuan menjadikan Perayaan Perahu Naga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Tionghoa. Abad ke-empat sebelum masehi dikenal sebagai “masa berbahaya” bagi Tiongkok. Pada saat itu terjadi peperangan besar antara tokoh-tokoh kuat dan pemerintah yang banyak dilanda korupsi. Banyak kerajaan-kerajaan akhirnya menghilang, kecuali kerajaan Chu, yang merupakan salah satu dari kerajaan terkuat pada saat itu.<br />Qu Yuan dilahirkan pada 340 BC dan merupakan salah satu anggota keluarga dari tiga keluarga terhormat pada Kerajaan Chu. Qu Yuan adalah seorang penasehat bagi Raja Huai yang memerintah dari 328 BC sampai 299 BC.<br />Karena kepandaian dan kejujuran dari Qu Yuan, banyak pejabat korup yang iri dan ingin menyingkirkan Qu Yuan.<br />Persekutuan antara Chu dan Qin yang telah terjalin lama putus ketika Qin mengumumkan perang terhadap Chu dan mengambil alih sebagian wilayah Chu. Di tengah masa pertempuran tersebut, Qin mengajukan usul gencatan senjata kepada Chu dan menginginkan diadakannya pertemuan membahas perdamaian.<br />Qu Yuan menasehati agar Raja Huai tidak bersedia datang ke Qin untuk berunding. Namun bujukan dari para pejabat korup lebih berpengaruh di pikiran Raja Huai sehingga dia bersedia datang. Raja Huai langsung ditangkap pada saat tiba dan meninggal setelah tiga tahun dalam penjara.<br />Anak tertua Raja Huai, Qin Xiang menjadi raja. Sedangkan anak lainnya, Zi Lian, menjadi perdana menteri. Saat kedua orang itu berkuasa, Qu Yuan langsung disingkirkan dan diusir dari istana.<br />Dalam pengasingannya Qu Yuan banyak mengabdikan hidup kepada rakyat dan membantu rakyat, sehingga rakyat sangat cinta dan hormat terhadap Qu Yuan.<br />Pada 278 BC tentara Qin menguasai Ying, Ibukota Kerajaan Chu. Berita ini membuat Qu Yuan sangat berduka. Qu Yuan sangat menyesali dirinya sendiri bahwa tidak satu hal juga yang dapat dilakukan demi menyelamatkan Kerajaan Chu. Rasa sedih dan putus asa yang mendalam menyebabkan Qu Yuan memutuskan bunuh diri dengan menceburkan diri di Sungai Miluo.<br />Mengetahui bahwa Qu Yuan bunuh diri, ramai orang berusaha mencari jenasah Qu Yuan. Mereka memukul-mukul genderang untuk mengusir ikan-ikan agar tidak mengganggu jenasah Qu Yuan. Pencarian yang dilakukan tidak memberikan hasil.<br />Pada keesokan harinya, mereka membungkus nasi dengan daun dan melemparkan ke sungai agar ikan-ikan yang ada menjadi kenyang dan tidak mengusik jenasah Qu Yuan.<br />Demi mengenang Qu Yuan, kebiasaan yang dilakukan ini menjadi sebuah perayaan besar bagi bangsa Tiongkok dan dikenal sebagai Perayaan Perahu Naga.<br /><br />8. Perayaan Pertengahan Musim Gugur<br />Perayaan Pertengahan Musim Gugur berpusat pada sekitar bulan dan banyak cerita yang mendasarinya. Dipercayai bahwa asal muasal Perayaan Musim Gugur lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Karena pada saat itu Tiongkok merupakan negara pertanian, maka perayaan ini bertepatan dengan panen musim gugur.<br />Ada pula sebuah legenda yang dipercaya masyarakat Tiongkok sebagai awal dari perayaan ini, yaitu legenda mengenai Chang-E.<br />Pada perayaan itu secara umum langit sangat cerah dan cuaca nyaman, sehingga semakin menambah semarak rakyat yang merayakan.<br />Selama masa Dinasti Song, karena pengaruh orang-orang terpelajar, berdoa terhadap bulan menjadi sebuah kebiasaan. Memakan Kue Bulan menjadi hal yang tidak terpisahkan sejak akhir masa Dinasti Yuan, demikian pula dengan memandang bulan hingga tengah malam. Perayaan ini memberikan arti tersendiri dan tidak terpisahkan.<br /><br /><br />9. Perayaan Hantu<br />Perayaan Hantu ialah sebuah perayaan Cina yang disambut oleh orang Cina di merata dunia. Dalam kalendar Cina (kalendar lunisolar), Perayaan Hantu jatuh pada malam ke-14 bulan ke-7.<br />Mengikuti adat resam Cina, hari ke-13 bulan ke-7 dalam kalendar qamari bergelar Hari Hantu dan bulan ketujuh secara amnya dianggap sebagai Bulan Hantu (yaitu apabila hantu-hantu dan roh-roh, termasuklah para leluhur yang lama meninggal, keluar dari alam ghaib. Ketika perayaan Qingming ahli keluarga yang masih hidup memberi penghormatan kepada leluhur mereka manakala pada Hari Hantu yang meninggal menziarahi yang hidup. Pada hari ke-13 ketiga-tiga alam Syurga, Neraka dan fana dibuka dan pada masa ini penganut agama Tao dan Buddha melaksanakan uapcara amal untuk mengubah dan membebaskan penderitaan orang yang meninggal. Ciri-ciri terpenting dalam Bulan Hantu ialah penyembahan nenek moyang, yang mana ketaatan para keturunan disambungkan kepada para leluhur walaupun selepas kematian mereka. Kegiatan yang dijalankan pada bulan ini termasuk menyediakan persembahan makanan secara ritual, pembakaran wang neraka dan bungkusan yang mendandungi kain untuk memberi penghormatan kepada roh-roh leluhur yang menziarah, iaitu melayan orang yang meninggal seolah-olah mereka masih hidup. Makanan dihidangkan dengan kerusi kosong bagi setiap ahli yang meninggal dalam keluarga. keraian yang lain termasuk melepaskan perahu kertas kecil dan tanglung di atas air, yang menandakan tindakan membantu roh-roh sesat mencari jalan<br /><br />10. Perayaan Qing Ming<br />Pemberian nama Qing Ming dimulai dari masa Dinasti Han karena cuaca selama bulan ketiga Imlek cerah dan bersih. Dimulai dari masa Dinasti Tang, Qing Ming menjadi perayaan. Di kemudian hari, membersihkan makam menjadi identik dengan perayaan Qing Ming.<br /><br />11. Qi Xi<br />Qi Xi (bahasa Cina: pinyin: qī xī; secara harfiah "The Night of Sevens"), kadangkala digelar Hari Valentine Cina, jatuh pada hari ketujuh dalam bulan ketujuh kalendar Cina; maka demikianlah namanya. Mengikut tradisi, gadis muda memamerkan kemahiran seni mereka, terutamanya mengukir tembikai, pada hari ini serta meluahkan hajat agar bersuamikan lelaki yang baik. Nama-nama lain bagi pesta ini termasuk:<br />• Perayaan Hajat untuk Kemahiran (qǐ qiǎo jié) <br />• Hari Jadi Saudari Ketujuh (qī jiě dàn) <br />• Malam Kemahiran (qiǎo xī) <br />Pada tahun 2007, perayaan ini diadakan pada 19 Ogos.<br />Cerita Gembala Lembu dan Gadis Penenun<br />Pada akhir musim panas, bintang Altair dan Vega tinggi menyinar di langit malam, dan orang Cina menceritakan cerita rakyat berikut:<br />Niulang (bahasa Cina: pinyin: niú láng; secara harfiah "gembala lembu", bintang Altair) bertembung dengan tujuh pari-pari bersaudari yang sedang bermandi dalam tasik. Setelah dihasut oleh temannya iaitu si lembu, Niulang mencuri pakaian mereka dan menunggu apa yang beralku seterusnya. Pari-pari bersaudari tersebut memilih yang termuda dan paling jelita antara mereka, iaitu Zhinü (Cina Ringkas: Cina Tradisional: pinyin: zhī nǚ, "gadis penenun", bintang Vega) untuk mendapatkan semula pakaian mereka. Maka dia pun melakukan tugasnya, tetapi oleh sebab dapat diintai dalam keadaan telanjang oleh Niulang, dia mesti merestui lamaran jejaka tersebut. Zhinü terbukti menjadi seorang isteri yang bagus, manakala Niulang seorang suami yang baik, maka berbahagialah mereka berdua bersama. Namun begitu, Dewi Kayangan (dalam sesetengah versi, iaitu bonda Zhinü) murka setelah mendapati bahawa seorang manusia biasa telah mengahwini salah seorang pari-parinya. (Dalam satu versi yang lain, Dewi tersebut memaksa pari-pari penenun tersebut kembali ke tugas lamanya untuk menenun awan berwarna-warni di angkasa kerana dia tidak boleh melakukan tugas itu ketika berkahwin dengan manusia.) Dewi tersebut menanggalkan cuck sanggulnya lalu mencakar sebatang sungai yang luas di angkasa untuk memisahkan kedua-dua kekasih itu buat selamanya (maka terbentuknya Bima Sakti yang memisahkan Altair dan Vega).<br />Zhinü terpaksa duduk di sebelah sungai dan menenun dengan rasa pilu buat selamanya, sementara Niulang merenunginya dari jauh dan menjaga kedua-dua anaknya (iaitu bintang-bintang β dan γ Aquilae yang mengapit Altair).<br />Akan tetapi, setahun sekali semua burung murai di dunia meluahkan rasa simpati kepada kedua-dua kekasih itu dan terbang ke kayangan untuk membentuk sebatang jambatan ( "jambatan murai", Que Qiao) di atas bintang Deneb pada buruj Cygnus agar pasangan itu bersama lagi selama semalam, yaitu malam ketujuh dalam bulan ketujuh.<br /><br />Tradisi<br />Pada malam Qi Xi, seulas hiasan berangkai diletakkan pada halaman rumah dan wanita yang belum atau sudah baru berkahwin dalam rumah tangga menghidangkan persembahan yang terdiri daripada buah-buahan, bunga-bunga, teh dan bedak muka kepada Niulang dan Zhinü. Setelah persembahan itu, separuh bedak tersebut ditaburkan pada bumbung rumah dan separuh lagi dibahagikan antara wanita-wanita lain. Adalah dipercayai bahwa melalui amalan ini wanita-wanita diabadikan dengan kecantikan bersama Zhinü.<br />Satu lagi tradisi ialah bagi gadis muda untuk mencampakkan jarum jahitan kedalam sebiji mangkuk yangpenuh diisi air pada malam Qi Xi sebagai ujian kemahiran menyulam. Jika jarum itu terapung, adalah dipercayai bahawa gadis itu memang mahir menyulam.<br /><br />12. Hari Raya Yuan Xiao: Valentine Day Orang Tionghoa<br />(Tanggal 15 Imlek (tgl 21 February 2008) adalah malam bulan pertama di tahun baru (Tikus) ini (red.: Di Indonesia terkenal dengan HARI RAYA CAP GO MEH), pada umumnya sesuatu yang pertama selalu diperhatikan orang dan selalu dimuati dengan harapan khusus. Lagi pula saat ini, suasana pesta kegembiraan tahun baru Imlek belum seluruhnya sirna, di masyarakat tradisional (Tionghoa) dikatakan: “Belum melalui tanggal 15 maka tahun baru belumlah sempurna.” Malam itu orang-orang pada kesempatan tersebut merayakannya dengan berjalan-jalan di bawah sinar rembulan sambil menikmati lampion, bermain tebak-tebakan (yang terlukis pada) lampion, menyiapkan sesajen, menyambut dewata, sangat-sangat sibuk. <br />Valentine Day Orang Tionghoa <br />Selama perayaan lampion Yuan Xiao (baca: Yuèn Siao), juga adalah peluang baik bagi para muda-mudi untuk saling berjumpa dengan kekasih mereka. <br />Sajak Ouyang Xiu berbunyi: “Tahun lalu di malam Yuan Xiao, lampion kota kembang terang bagai siang; rembulan menapaki pucuk pohon Yangliu, orang-orang berjanjian sesudah petang.” Xin Qiji (baca: Sin Jici) menulis: “Mencarinya ribuan kali di dalam kerumunan, pada akhirnya menoleh ke belakang, ternyata orang itu di dekat lampion temaram yang nyaris padam.” Ternyata itu semua melukiskan suasana malam Yuan Xiao, sedangkan Chen San dan Wu Niang dll ………di dalam cerita klasik opera tradisional (red.: Romeo and Yuliet ala Tiongkok kuno) jatuh cinta pada pandangan pertamannya pada hari raya Yuan Xiao di saat menikmati lampion aneka warna-warni Maka dari itu dikatakan bahwa hari raya Yuan Xiao juga adalah Valentine Day orang Tionghoa. <br /><br />Makan Yuan Xiao (semacam ronde di Indonesia)<br />Pada tanggal 15 kalender Imleek makan Yuan Xiao, “Yuan Xiao dijadikan sebagai hidangan, sejarahnya sudah cukup lama di Tiongkok. Zaman dinasti Song (960-1279), di masyarakat telah beredar satu macam hidangan baru yang menakjubkan yang disantap sewaktu perayaan Yuan Xiao. Hidangan tersebut, pada awalnya disebut “Fu Yuan Zi baru kemudian dinamakan “Yuan Xiao”, kaum pedagang menyebutnya dengan nama artistic: “Yuan Bao”. Yuan Xiao atau disebut juga “Tang Yuan” isinya terbuat dari: gula, mawar, wijen, Taosa, Huang Gui, biji walnut, biji buah-buahan, bidara yang dilumatkan, dll, juga ada yang menggunakan: ham, daging segar, coklat sebagai isinya, memakai bubuk ketan dijadikan sebagai adonan bulat, bisa juga dibuat khusus untuk kaum vegetarian, dengan aneka cita rasa. Bisa direbus, digoreng dan di-tim; kapan Yuan Xiao dihidangkan berlainan di daerah utara dan selatan, di selatan dihidangkan pada tanggal 1 (Imlek). “Jual Tang Yuan, jual Tang Yuan, Tang Yuan saya bulat dan sempurna......” begitulah teriakan penjaja makanan Tang Yuan, saat perayaan Yuan Xiao memakan Tang Yuan bermakna agar bisa mudik untuk berkumpul bersama keluarga tercinta dan makanan tersebut sangat digemari masyarakat.<br /><br />Pesta Lampion <br />Saat hari Yuan Xiao adalah perayaan dalam satu tahun dengan penerangan lampion yang paling benderang, kerap dilukiskan dengan: “Langit tanpa malam diterangi pepohonan api dan bunga perak”. Yang dimaksud lampu ialah lampu dari lampion; yang dimaksud dengan api, ialah memasang api unggun. <br />Konon, adat istiadat pesta lampion bermula dari zaman dinasti Han-barat (206SM - 23) dan mencapai puncaknya pada zaman dinasti Sui dan Tang (581-907). Sesudah zaman Sui/Tang, mode pesta lampion selalu marak dan diteruskan hingga sekarang. Sedangkan tanggal 15 penanggalan Imleek adalah puncak acara pesta lampion dan menyulut api unggun dalam setahun. Oleh karenanya perayaan Yuan Xiao juga disebut “Perayaan lampion”, di malam tanggal 15, seluruh jalanan dan gang, lampion merah menjulang tinggi, ada lampion istana, lampion kepala hewan, lampion untuk menunggang kuda, lampion perdu dan bunga, lampion burung dll. sangat menarik perhatian para pelancong. Lampion semangka yang bundar itu melambangkan panen pertanian, lampion ikan emas yang bisa melompat-lompat menandakan setiap tahun selalu ada rezeki berlebih; lampion istana tradisional yang berwibawa, lampion lotus pusaka yang cantik mungil menawan. Yang paling disukai anak-anak kecil tetap saja lampion menunggang kuda yang selalu berubah-ubah.<br /><br />Tebakan Pada Lampion<br />Tebakan lampion adalah sebuah kegiatan yang ditambahkan sesudah pesta Yuan Xiao, muncul semenjak dinasti Song. Sewaktu zaman Song-selatan (1127-1279), ibu kota Lin An setiap perayaan Yuan Xiao, orang yang membuat dan ikutan menebak sangat banyak. Pada mulanya ialah si empunya ide menuliskan teka-tekinya pada secarik kertas, ditempelnya pada lampion warna warni dipamerkan untuk ditebak oleh khalayak. Karena bahasa tebakan bisa menginspirasi kecerdasan juga membuat orang tertarik, oleh karena itu di dalam proses penyebarannya disambut dengan sangat hangat oleh masyarakat.<br />Berjalan Merontokkan Seratus Penyakit <br />Hari raya Yuan Xiao selain merayakan kegiatan perayaan, juga terdapat kegiatan yang besifat keagamaan. Itu adalah yang disebut “Berjalan merontokkan seratus penyakit” juga disebut “Seratus penyakit dipanggang habis” dan “Buyarkan seratus penyakit.” Pesertanya kebanyakan kaum perempuan, mereka berjalan berkelompok atau melewati sisi dinding, atau melewati jembatan atau berjalan ke luar kota, tujuannya ialah mengusir penyakit dan menyingkirkan musibah. Seiring dengan bergesernya zaman, kegiatan hari Yuan Xiao semakin lama semakin banyak, di banyak tempat sewaktu perayaan telah ditambahkan tarian seperti: Bermain lampion Naga, bermain dengan singa, naik enggrang, mengayuh perahu Jung, lagu bercocok tanam, menabuh genderang keselamatan dll. <br /> <br />13. Cap Go Meh<br />Cap Go Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15. Sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan. Artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu. Capgome mulai dirayakan di Indonesia sejak abad ke 17, ketika terjadi migrasi besar dari China Selatan. Semasa dinasti Han, pada malam capgome tsb, raja sendiri khusus keluar istana untuk turut merayakan bersama dengan rakyatnya.<br />Setiap hari raya baik religius maupun tradisi budaya ada asal- usulnya. Pada saat dinasti Zhou (770 - 256 SM) setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman. <br />Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu. Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgome.<br />Di barat Capgome dinilai sebagai pesta karnavalnya etnis Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari Kelenteng. Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah "Tri Dharma" (Buddhism , Taoism dan Confuciusm). Nama Kelenteng sekarang ini sudah dirubah menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah ibadah agama Buddha. Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui keberadaannya agama Kong Hu Chu sebagai agama. <br />Sedangkan sebutan nama Kelenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa China, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan "kelintingan" - lonceng kecil, karena bunyi2an inilah yang sering keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya Kelenteng. Orang Tionghoa sendiri menamakan Kelenteng itu, sebagai Bio baca Miao. Wen Miao adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati Guan Gong.<br />Cagomeh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang sudah tua. "Da Bo Gong" ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa. Jadi istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.<br />Cagomeh tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit. Tarian barongsay atau tarian singa biasanya disebut "Nong Shi".<br /><br />VI. UPACARA ADAT<br />Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilinial yang terdiri atas marga / suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial, yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka kebanyakan masih membawa dan mempercayai adat leluhurnya. Tulisan ini membahas dua upacara adat yang cukup dominan dalam kehidupan yaitu tentang adat pernikahan dan adat kematian (editor: adat kematian ada di posting terpisah).<br /><br />1. Adat Pernikahan<br />Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya; yaitu disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.<br />Umumnya orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Salah satu adat yang seharusnya mereka taati adalah keluarga yang satu marga (shee ) dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan suku. Misalnya : marga Lie dilarang menikah dengan marga Lie dari keluarga lain, sekalipun tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya : pernikahan dengan anak bibi (tidak satu marga, tapi masih satu nenek moyang.<br />Ada beberapa yang sekalipun telah memeluk agama lain, seperti Katolik namun masih menjalankan adat istiadat ini. Sehingga terdapat perbedaan di dalam melihat adat istiadat pernikahan yaitu terutama dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.<br /><br />Upacara-Upacara Yang Dilaksanakan Dalam Pernikahan<br />Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara antara lain:<br /><br />A. Upacara menjelang pernikahan :<br />Upacara ini terdiri atas 5 tahapan yaitu :<br />• Melamar : Yang memegang peranan penting pada acara ini adalah mak comblang. Mak comblang biasanya dari pihak pria.<br />• Penentuan : Bila keahlian mak comblang berhasil, maka diadakan penentuan bilamana antaran/mas kawin boleh dilaksanakan.<br />• “Sangjit”/ Prosesi Seserahan Adat Tionghoa <br />Pada hari yang sudah ditentukan, pihak pria/keluarga pria dengan mak comblang dan kerabat dekat mengantar seperangkat lengkap pakaian mempelai pria dan mas kawin. Mas kawin dapat memperlihatkan gengsi, kaya atau miskinnya keluarga calon mempelai pria. Semua harus dibungkus dengan kertas merah dan warna emas. Selain itu juga dilengkapi dengan uang susu (ang pauw) dan 2 pasang lilin. Biasanya “ang pauw” diambil setengah dan sepasang lilin dikembalikan.<br /><br />Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atau Sangjit<br />Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah.<br />“Secara harfiah, Sangjit dalam bahasa Indonesia berarti proses seserahan. Atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria dengan membawa persembahan ke pihak mempelai wanita,” jelas Anthony S. dari Anthony S. Musical Connections.<br />“Prosesi ini biasanya dihadiri rombongan pria yang terdiri dari keluarga inti dan keluarga besar (saudara dari orang tua, sepupu) atau teman-teman dekat jika dibutuhkan,” ungkap Henry dari Wine Wedding Planner. Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan sampai 1 minggu sebelum acara resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 11.00 sampai dengan 13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang.<br /><br />Tata Caranya<br />Wakil keluarga wanita beserta para penerima seserahan (biasanya anggota keluarga yang telah menikah) menunggu di depan pintu rumah. <br />Dipimpin oleh anggota keluarga yang dituakan, rombongan pria pun datang membawa seserahan ke rumah si wanita. Rombongan ini terdiri dari: wakil keluarga serta para gadis/pemuda yang belum menikah pembawa nampan seserahan. Oh iya, di beberapa adat orang tua pria tidak ikut dalam prosesi ini. Seserahan diberikan 1 per 1 secara berurutan, mulai dari seserahan untuk ke-2 orang tua mempelai wanita, lalu untuk mempelai wanita, dan seterusnya. <br />Barang seserahan yang sudah diterima oleh pihak mempelai wanita dibawa ke dalam kamar untuk diambil sebagian. (lihat paragraf berikut) <br />Dilanjutkan dengan ramah tamah. <br />Pada akhir kunjungan, barang-barang seserahan yang telah diambil sebagian diserahkan kembali pada para pembawa seserahan. Dan sebagai balasannya, keluarga wanita pun memberikan seserahan pada keluarga pria berupa manisan (seperti permen/coklat) dan berbagai keperluan pria (baju, baju dalam, sapu tangan. Wakil keluarga wanita juga memberikan ang pao ke tiap-tiap pembawa seserahan yang biasanya terdiri dari para gadis/pemuda yang belum menikah tersebut (ang pao diberikan dengan harapan agar enteng jodoh). Jumlahnya variatif, biasanya sekitar Rp. 20.000 – Rp. 50.000. <br /><br /><br /><br />Barang-barang seserahan Sangjit<br />Sebelum keluarga calon pengantin pria memutuskan barang apa yang akan dibawa, sebaiknya didiskusikan bersama keluarga si wanita terlebih dahulu. Barang-barang ini tentu saja memiliki makna simbolis yang juga disesuaikan dengan kondisi ekonomi mempelai pria. Setelah ditentukan, barang-barang tersebut diletakkan dalam nampan-nampan yang berjumlah genap, biasanya maksimal berjumlah 12 nampan.<br />Hal yang menarik saat acara ini adalah bahwa sebagian besar barang-barang seserahan ini sebaiknya sebagian dikembalikan lagi pada keluarga pengantin pria. Karena, bila keluarga wanita mengambil seluruh barang yang ada, artinya mereka menyerahkan pengantin wanita sepenuhnya pada keluarga pria dan tak akan ada hubungan lagi antara si pengantin wanita dan keluarganya. Namun bila keluarga wanita mengembalikan separuh dari barang-barang tersebut ke pihak pria artinya keluarga wanita masih bisa turut campur dalam keluarga pengantin.<br /><br />Barang-barang seserahan biasanya terdiri dari :<br />Alat-alat kecantikan dan perhiasan untuk mempelai wanita (kadang-kadang juga sepatu untuk hari H) <br />Pakaian/kain untuk mempelai wanita. Maksudnya adalah segala keperluan sandang si gadis akan dipenuhi oleh si pria. <br />Uang susu (ang pao) dan uang pesta (masing-masing di amplop merah). Pihak mempelai wanita biasanya hanya mengambil uang susu, sedangkan untuk uang pesta hanya diambil jumlah belakangnya saja, sisanya dikembalikan. Contoh uang pesta sebesar: Rp. 1.680.000,- namun yang diambil hanya Rp. 80.000,- Apabila keluarga wanita mengambil seluruh uang pesta, artinya pesta pernikahan tersebut dibiayai keluarga wanita. <br />Tiga nampan masing-masing berisikan 18 buah (apel, jeruk, pear atau buah yang manis lainnya sebagai lambang kedamaian, kesejahteraan dan rejeki). Pihak mempelai wanita mengambil separuhnya, sisanya dikembalikan. <br />2 pasang lilin merah yang cukup besar diikat dengan pita merah, sebagai simbol perlindungan untuk menghalau pengaruh negatif. Lilin motif naga dan burung hong lebih disukai. Pihak mempelai wanita mengambil 1 pasang saja. <br />Sepasang kaki babi (jika tidak ada dapat digantikan dengan makanan kaleng) beserta 6 kaleng kacang polong. Pihak mempelai wanita mengambil separuhnya. <br />Satu nampan berisikan kue mangkok berwarna merah sebanyak 18 potong, sebagai lambang kelimpahan dan keberuntungan. Pihak mempelai wanita mengambil separuhnyan.<br /> Satu nampan berisikan dua botol arak atau sampanye. Pihak mempelai wanita mengambil semuanya, dan ditukar dengan dua botol sirup merah dan dikembalikan ke pihak mempelai pria. Seniman kain dan pakar batik Obin ternyata juga seorang tokoh yang sangat concern dan mendalami adat istiadat Tionghoa. Selain barang-barang di atas, menurutnya proses Sangjit ini bisa juga ditambah dengan :<br />Kue satu, terbuat dari kacang hijau yang dijual satu-satu, artinya dua kebahagiaan menjadi satu.<br />Kaca, artinya berkaca pada diri sendiri, self conscious-morality. Uang-uangan dari emas yang di-emboss kata ‘fuk’, yang dalam bahasa Indonesia berarti hoki/untung. Dua bundel pita berupa huruf Cina yang berarti double happiness, artinya agar happy sampai tua nanti. <br />Buah-buahan <br />Buah atep yang disepuh merah, artinya agar tetap langgeng sampai kapan pun. <br />Buah ceremai, artinya agar rumah tangganya rame, happy, banyak sahabat dan keturunan. <br />Buah leket, artinya agar nempel dan lengket sampai kapan pun. <br />Buah atapson dari Kalimantan yang tumbuh di atas atap. Kalau sudah mulai muntah, mual-mual dikasih buah ini untuk memancing kehamilan. <br />Buah pala, tumbuh tegak lurus dimana pun dia ditanam, artinya kalau lurus, baik-baik saja maka dimana pun dia berada tetap tidak berubah. <br />• Tunangan : Pada saat pertunangan ini, kedua keluarga saling memperkenalkan diri dengan panggilan masing-masing, seperti yang telah diuraikan pada Jelajah No. 3.<br />• Penentuan Hari Baik, Bulan Baik : Suku Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus; hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.<br />B. Upacara pernikahan :<br /> 3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan “memajang” keluarga mempelai pria dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa beberapa perangkat untuk meng-hias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas kawin. Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai wanita sampai hari H.<br /> Malam dimana esok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara “Liauw Tiaa”. Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon kedua mempelai. Tetapi adakalanya diadakan pesta besar-besaran sampai jauh malam. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar).<br /><br />C. Upacara Sembahyang Tuhan (”Cio Tao”)<br />Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara Sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Upacara Cio Tao ini terdiri dari :<br />. Penghormatan kepada Tuhan<br />. Penghormatan kepada Alam<br />. Penghormatan kepada Leluhur<br />. Penghormatan kepada Orang tua<br />. Penghormatan kepada kedua mempelai.<br />Meja sembahyang berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah, Srikaya, lambang kekayaan. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit, dll. yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.<br />Kedua mempelai memakai pakaian upacara kebesaran Cina yang disebut baju “Pao”. Mereka menuangkan teh sebagai tanda penghormatan dan memberikan kepada yang dihormati, sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan memberikan arti secara simbolik.<br /><br />D. Ke Kelenteng<br />Sesudah upacara di rumah, dilanjutkan ke Klenteng. Di sini upacara penghormatan kepada Tuhan Allah dan para leluhur.<br /><br />E. Penghormatan Orang tua dan Keluarga<br />Kembali ke rumah diadakan penghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, kerabat dekat. Setiap penghormatan harus dibalas dengan “ang pauw” baik berupa uang maupun emas, permata. Penghormatan dapat lama, bersujud dan bangun. Dapat juga sebentar, dengan disambut oleh yang dihormati.<br /><br />F. Upacara Pesta Pernikahan<br />Selesai upacara penghormatan, pakaian kebesaran ditukar dengan pakaian “ala barat”. Pesta pernikahan di hotel atau tempat lain.<br />Usai pesta, ada upacara pengenalan mempelai pria ( Kiangsay ). Mengundang kiangsay untuk makan malam, karena saat itu mempelai pria masih belum boleh menginap di rumah mempelai wanita.<br /><br />G. Upacara sesudah pernikahan<br />Tiga hari sesudah menikah diadakan upacara yang terdiri dari :<br />1. Cia Kiangsay<br />2. Cia Ce’em<br />Pada upacara menjamu mempelai pria (”Cia Kiangsay”) intinya adalah memperkenalkan keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal bersama.<br />Sedangkan “Cia Ce’em” di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga besar mempelai wanita.Tujuh hari sesudah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumah-rumah famili yang ada orang tuanya. Mempelai wanita memakai pakaian adat Cina yang lebih sederhana.<br /><br />Perubahan Yang Biasa Terjadi Pada Adat Upacara Pernikahan<br /> Ada beberapa pengaruh dari adat lain atau setempat, seperti: mengusir setan atau mahkluk jahat dengan memakai beras kunyit yang ditabur menjelang mempelai pria memasuki rumah mempelai wanita. Demikian juga dengan pemakaian sekapur sirih, dan lain-lain.<br /> Pengaruh agama, jelas terlihat perkembangannya. Sekalipun upacara Sembahyang Tuhan / Cio Tao telah diadakan di rumah, tetapi untuk yang beragama Kristen tetap ke Gereja dan upacara di Gereja. Perubahan makin tampak jelas, upacara di Kelenteng diganti dengan di gereja.<br /> Pengaruh pengetahuan dan teknologi, dapat dilihat dari kepraktisan upacara. Dewasa ini orang-orang lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara yang berbelit-belit. Apalagi kehidupan di kota-kota besar yang telah dipengaruhi oleh teknologi canggih.<br />Sebagai suatu pranata adat yang tumbuh dan mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terlibat di dalamnya, sasaran pelaksanaan adat pernikahan Tionghoa mengalami masa transisi. Hal ini ditandai dengan terpisahnya masyarakat dari adat pernikahan tersebut melalui pergeseran motif baik ke arah positif maupun negatif dan konflik dalam keluarga.<br />Dewasa ini masyarakat Tionghoa lebih mementingkan kepraktisan ketimbang upacara adat. Hampir semua peraturan yang diadatkan telah dilanggar. Kebanyakan upacara pernikahan berdasarkan dari agama yang dianut. <br /><br />Cadar Merah Pada Pengantin Wanita<br />Pada pesta pernikahan tradisional Tionghoa, pengantin wanita terlihat memakai cadar berwarna merah untuk menutupi muka. Cadar itu biasanya terbuat dari sutra.<br />Cadar Merah pada Pengantin Wanita Tradisi ini berasal dari masa Dinasti Utara dan Selatan. Dimana pada masa itu para petani wanita mengenakan kain pelindung kepala untuk perlindungan dari terpaan angin atau panasnya matahari ketika sedang bekerja di ladang. Kain itu dapat berwarna apa saja, yang penting mampu menutupi bagian atas kepala. Kebiasaan ini lambat laun menjadi sebuah tradisi.<br />Pada awal Dinasti Tang, kain tersebut menjadi sebuah cadar panjang hingga ke bahu. Dan tidak lagi hanya dipakai oleh petani wanita. Pada saat pemerintahan Kaisar Li Jilong dari Dinasti Tang, ia membuat keputusan bahwa semua pembantu wanita istana yang masih dalam masa penantian harus mengenakan cadar untuk menutupi muka. Tidak lama kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi.<br />Lama kelamaan kebiasaan memakai cadar itu diterapkan pada pesta pernikahan. Pemakaian cadar pada pengantin wanita dengan tujuan agar kecantikan pengantin wanita tidak menjadi perhatian lelaki lain, dan pengantin pria ingin agar pengantin wanita terlihat anggun. Pengantin wanita menerima pemakaian cadar itu untuk menunjukkan kesetiaan kepada pengantin pria.<br />Sejak masa Lima Dinasti (Later Jin), pemakaian cadar menjadi sebuah keharusan pada setiap pesta pernikahan. Warna cadar itu selalu merah yang mewakili kebahagiaan.<br /><br />Kebahagiaan Ganda<br />Sebuah karakter Tionghoa yang banyak dikenal, Kebahagiaan Ganda, yang tertera pada kertas merah atau potongan kertas selalu ada pada saat pernikahan. Terdapat asal usul dibalik itu.<br />Pada masa Dinasti Tang, terdapat seorang pelajar yang ingin pergi ke Ibukota untuk mengikuti ujian negara, dimana yang menjadi juara satu dapat menempati posisi menteri.<br />Sayangnya, pemuda itu tersebut jatuh sakit di tengah jalan saat melintasi sebuah desa di pegunungan. Untung seorang tabib dan anak perempuannya membawa pemuda itu ke rumah mereka dan merawat sang pelajar. Pemuda tersebut dapat sembuh dengan cepat berkat perawatan dari tabib dan anak perempuannya.<br />Setelah sembuh, pelajar itu harus meninggalkan tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Namun pelajar itu mengalami kesulitan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada anak perempuan sang tabib, begitu juga sebaliknya. Mereka saling mencintai.<br />Maka gadis itu menulis sepasang puisi yang hanya sebelah kanan agar pemuda itu melengkapinya, “Pepohonan hijau dibawah langit pada hujan musim semi ketika langit menutupi pepohonan dengan gerhana”<br />Setelah membaca puisi tersebut, sang pelajar berkata, “Baiklah, saya akan dapat mencapainya meskipun bukan hal yang mudah. Tetapi kamu harus menunggu sampai aku selesai ujian”. Sang gadis mengangguk-angguk.<br />Pada ujian negara, sang pelajar mendapatkan tempat pertama, yang mana sangat dihargai oleh kaisar. Pemuda itu juga bercakap-cakap dan diuji langsung oleh kaisar. Keberuntungan ternyata pada pihak sang pemuda. Kaisar menyuruh pemuda itu agar membuat sepasang puisi.<br />Sang kaisar menulis: “Bunga-bunga merah mewarnai taman saat angin memburu ketika taman dihiasai warna merah setelah sebuah ciuman”.<br />Pemuda itu langsung menyadari bahwa puisi yang ditulis oleh sang gadis sangat cocok dengan puisi kaisar, maka ia menulis puisi sang gadis sebagai pasangan puisi kaisar.<br />Kaisar sangat senang melihat bahwa puisi yang ada merupakan sepasang puisi yang harmonis dan serasi sehingga ia menobatkan pemuda itu sebagai menteri di pengadilan dan mengijinkan pemuda itu untuk mengunjungi kampung halamannya sebelum menduduki posisinya.<br />Pemuda itu menjumpai sang gadis dengan gembira dan memberitahu kepada sang gadis puisi dari kaisar.Tidak lama kemudian mereka menikah.<br />Untuk pesta perayaan pernikahan, sepasang karakter Tionghoa, bahagia, dipasang bersamaan pada selembar kertas merah dan ditempel di dinding untuk menunjukkan kebahagiaan dari dua kejadian yang bersamaan, pernikahan dan pengangkatan sang pemuda.<br />Sejak saat itu, tulisan Kebahagiaan Ganda menjadi sebuah tradisi yang dilakukan pada setiap pesta pernikahan.<br /><br /><br />Tandu Pengantin<br />Tandu merupakan salah satu kendaraan yang sering digunakan pada jaman dahulu oleh orang-orang Tionghoa yang kaya, sedangkan yang kurang mampu biasanya naik keledai atau berjalan kaki.<br />Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri jika naik tandu dibandingkan keledai yang seringkali ribut. Pada perayaan-perayaan tertentu, seperti pesta pernikahan, tandu digunakan untuk menghantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria, baik oleh orang kaya maupun orang miskin. Ada asal usul mengapa tandu digunakan pada pesta pernikahan.<br />Terdapat seorang kaisar bijaksana yang sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Suatu saat sang kaisar dan para anak buahnya sedang berlalu di sebuah perbukitan, tiba-tiba pemandu memberi tahu bahwa iring-iringan akan terhalang oleh iring-iringan lain.<br />Maka sang kaisar keluar dari tandu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sebuah iring-iringan pernikahan penuh kegembiraan sedang berjalan dengan pengantin wanita mengendarai keledai. Melihat kejadian menggembirakan itu, sang kaisar turut bergembira.<br />Pada saat kedua rombongan bertemu , rombongan pengantin wanita yang tidak mengetahui bahwa rombongan didepan adalah rombongan kaisar, tidak bersedia mengalah, demikian pula rombongan sang kaisar.<br />Akhirnya sang kaisar menemukan sebuah ide, ia berkata kepada pengantin wanita, “Tidak hanya aku akan memberikan jalan kepadamu, aku juga akan meminjamkan tanduku jika kamu bisa membuat puisi saat ini juga.”<br />Pengantin wanita lalu berpuisi, “Melihat rombonganmu, melihat rombonganku. Bukan masalah siapakah pemilik jalan ini. Melihat tandumu, melihat keledaiku. Tidak peduli manakah yang terbaik untuk pesta pernikahanku. Anda haruslah bermurah hati dengan meminjamkan tandu anda. Siapa dapat berkata bahwa saya adalah orang sederhana dan anda orang terhormat. Tidak ada perbedaan disini, hanya sekelompok orang yang ada.”<br />Sang kaisar sangat terkesan dengan puisi itu, sehingga ia meminjamkan tandunya. Adanya hal itu membuat pesta pernikahan yang ada menjadi semakin menarik perhatian orang ramai. Sejak itu, setiap pesta pernikahan selalu menggunakan tandu, meskipun terkadang hanya sebuah tandu sederhana. Meskipun saat ini sudah sangat jarang pesta pernikahan yang menggunakan tandu, namun tandu tetap digunakan pada perayaan-perayaan tradisional.<br /><br />2. Upacara Kematian<br />Kita sering melihat upacara kematian Suku Tionghoa di tempat-tempat / ruang duka di rumah-rumah sakit. Kelihatannya begitu ramai oleh aneka perhiasan rumah-rumahan dengan perlengkapannya dan upacara yang bising serta pakaian duka cita yang dipakai oleh anak, menantu dan cucu-cucunya. <br />Adat upacara kematian suku Tionghoa dilatarbelakangi oleh kepercayaan mereka. Mereka mempercayai bahwa dalam relasi seseorang dengan Tuhan atau kekuatan-kekuatan lain yang mengatur kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, berlaku hal-hal sebagai berikut : <br /> Adanya reinkarnasi bagi semua manusia yang telah meninggal (cut sie)<br /> Adanya hukum karma bagi semua perbuatan manusia, antara lain tidak mendapat keturunan (ko kut) <br /> Leluhur yang telah meninggal (arwah leluhur) pada waktu-waktu tertentu dapat diminta datang untuk dijamu (Ce'ng be'ng).<br /> Menghormati para leluhur dan orang pandai (tuapekong).<br /> Kutukan para leluhur, melalui kuburan dan batu nisan yang dirusak (bompay).<br /> Apa yang dilakukan semasa hidup (di dunia) juga akan dialami di alam akhirat. Kehidupan sesudah mati akan berlaku sama seperti kehidupan di dunia ini namun dalam kualitas yang lebih baik.<br /><br />Upacara-Upacara Yang Dilaksanakan Dalam Kematian<br /> Upacara kematian terdiri atas empat tahap yaitu : <br />A. Belum masuk peti <br /> Semenjak terjadinya kematian, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat ) merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal. <br /> Mayat dimandikan dan dibersihkan, lalu diberi pakaian tujuh lapis. Lapisan pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum/almarhumah menikah. Selanjutnya pakaian yang lain sebanyak enam lapis. <br /> Sesudah dibaringkan; kedua mata, lubang hidung, mulut, telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain. <br /> Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal. Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggal pakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain. <br />B. Upacara masuk peti dan penutupan peti <br /> Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu. Anak laki-laki harus memakai pakaian dari blacu yang dibalik dan diberi karung goni. Kepala diikat dengan sehelai kain blacu yang diberi potongan goni. Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan namun ditambah dengan kekojong yang berbentuk kerucut untuk menutupi kepala. Cucu hanya memakai blacu, sedangkan keturunan ke empat memakai pakaian berwarna biru. Keturunan ke lima dan seterusnya memakai pakaian merah sebagai tanda sudah boleh lepas dari berkabung. <br /> Mayat harus diangkat oleh anak-anak lelaki almarhum. Sementara itu anak perempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati. Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti (uhaouw). Bila kurang banyak (tidak ada) yang meratap, maka dapat menggaji seseorang untuk meratapi dengan bersuara, khususnya pada saat tiba waktunya untuk memanggil makan siang dan makan malam.<br /> Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin oleh hwee shio atau cayma. Bagi yang beragama Budha dipimpin oleh Biksu atau Biksuni, sedangkan penganut Konfusius melakukan upacara Liam keng. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satu syarat bahwa air mata peserta pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai mayat. Dalam upacara ini juga dilakukan pemecahan sebuah kaca / cermin yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan mereka, pada hari ke tujuh almarhum bangun dan akan melihat kaca sehingga menyadarkan dia bahwa dirinya sudah meninggal.<br /> Bagi anak cucu yang "berada" (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup almarhum. Semuanya harus dibuat dari kertas. Bahkan diperbolehkan diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumah tangga. Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu. <br /> Setiap tamu-tamu yang datang harus di sungkem (di soja) oleh anak-anaknya, khusus anak laki-laki. <br /> Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaan semasa almarhum masih hidup. <br /> Upacara ini berlangsung berhari-hari. Paling cepat 3 atau 4 hari. Makin lama biasanya makin baik. Dilihat juga hari baik untuk pemakaman.<br /> Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut. <br />C. Upacara pemakaman <br /> Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh hwee shio atau cayma, kembali mereka melakukan upacara penghormatan. <br /> Sesudah menyembah (soja) dan berlutut (kui), mereka harus mengitari peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis; mengikuti hwee shio yang mendoakan arwah almarhum. <br /> Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang ?2 sampai 5 meter. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing. Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah "sam seng", yang terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring lonjong besar. <br /> Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Cina, biasa disebut "Hoe". Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai. <br /> Dalam perjalanan menuju tempat pemakaman, di setiap persimpangan, semua anak harus berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah. Demikian pula setelah selesai penguburan. <br /> Setibanya di pemakaman, kembali diadakan upacara penguburan. Memohon kepada dewa bumi ("toapekong" tanah) agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat. <br /> Semua anak - cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai, berarti peti sudah ditutup dengan tanah dalam bentuk gundukan. Di atas gundukan diberi uang kertas perak yang ditindih dengan batu kecil. Masing-masing dari mereka harus mengambil sekepal / segenggam tanah kuburan dan menyimpannya di ujung kekojong. <br /> Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang. Sekedar untuk melupakan wajah almarhum. <br /><br />D. Upacara sesudah pemakaman <br /> Semenjak ada yang meninggal sampai saat tertentu, semua keluarga harus memakai pakaian dan tanda berkabung terbuat dari sepotong blacu yang dilikatkan di lengan atas kiri. Tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, oranye. <br /> Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal, <br /> Untuk kedua orangtua, terutama ayah dilakukan selama 2 tahun. <br /> Untuk nenek dan kakek dilakukan selama 1 tahun.<br /> Untuk saudara dilakukan selama 3 atau 6 bulan. <br /> Di rumah disediakan meja pemujaan, rumah-rumahan dan tempat tidur almarhum. Setiap hari harus dilayani makannya seperti semasa almarhum masih hidup. <br /> Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari :<br /> Meniga hari (3 hari sesudah meninggal) Sesudah 3 hari meninggal seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (pergi ke kuburan almarhum). Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat. Dengan memakai pakaian berkabung/blacu mereka melakukan upacara penghormatan (soja dan kui). Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat. Pulang ke rumah, kembali mencuci muka dengan air kembang. <br /> Menujuh hari (7 hari sesudah meninggal) Seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan ). Mereka membawa rumah-rumahan, makanan dan buah-buahan serta uang akhirat. Lilin dan dupa ( hio ) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar; dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal / segenggam diambil, diserakkan ke atasnya. <br /> 40 hari sesudah meninggal Pada hari ke 40 ini kembali anak - cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenasah berada ( kuburan). Semua baju duka dari blacu dan karung goni dibuka dan diganti baju biasa. Mereka masih dalam keadaan berkabung, namun telah rela melepaskan arwah si almarhum ke alam akhirat. Sebagai tanda tetap berkabung, semua anak cucu memakai tanda di lengan kiri atas; berupa sepotong kain blacu dan goni. <br /> Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian Satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperingati oleh anak cucunya dengan melakukan " soja dan kui" sebagai tanda berbakti dan menghormati. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimum 3 macam, rokok, sirih sekapur, sedangkan makanan yang paling utama adalah "samseng" 2 pasang, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus dinyalakan lilin merah berpasang-pasang tergantung pada jumlah orang / leluhur yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kertas perak dan kertas emas ).<br />VI. PRODUK BUDAYA<br />1. PATUNG SINGA<br />Singa merupakan binatang yang memiliki arti penting bagi bangsa Tiongkok. Sepasang patung singa, jantan dan betina, sering terlihat di depan gerbang bangunan-bangunan tradisional bangsa Tiongkok. Sang jantan berada di sebelah kiri dengan cakar kanannya berada di bola, dan sang betina di sebelah kanan dengan cakar kirinya membelai anak singa.<br />Singa dianggap sebagai raja dari para binatang, yang juga melambangkan kekuatan dan pengaruh. Bola yang berada pada patung singa jantan melambangkan kesatuan seluruh negeri, dan anak singa pada patung singa betina merupakan sumber kebahagiaan.<br />Patung singa juga digunakan untuk menunjukkan peringkat atau kedudukan seorang pejabat negara dengan melihat jumlah gundukan yang diperlihatkan oleh rambut keriting pada kepala singa. Rumah dari pejabat tingkat satu memiliki 13 gundukan dan jumlah itu menurun satu gundukan setiap turun satu peringkat. Pejabat dibawah tingkat tujuh tidak diperbolehkan memiliki patung singa di depan rumah mereka.<br />Yang sangat menarik adalah singa bukanlah binatang asli dari negeri Tiongkok. Ketika Kaisar Zhang dari Han Timur memerintah pada A.D. 87, Raja Parthia mempersembahkan singa kepada sang kaisar. Singa lainnya dipersembahkan oleh sebuah negara di daerah tengah asia pada tahun berikutnya. Patung singa pertama kali dibuat pada permulaan Dinasti Han Timur.<br /> Adanya patung singa pada jembatan juga merupakan sebuah hal yang umum. Sebuah jembatan terkenal, Lugouqiao, dibangun dari A.D. 1189 sampai A.D. 1192 memiliki patung-patung singa yang berjumlah sekitar 498 sampai 501. Sebuah pepatah terkenal berbunyi “Singa dari Lugouqiao tidak terhitung banyaknya”.<br /><br />2. FENG SUI<br />Salah satu kebudayaan tertua di dunia adalah kebudayaan Tionghoa, yang sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran Tao dan Khonghucu. Perkembangan peradaban yang pesat dimulai ribuan tahun sebelum masehi, melahirkan terciptanya berbagai penemuan awal di segala bidang penghidupan. Pada kurun waktu antara tahun 2000 SM sampai tahun 1000 SM bangsa Tiongkok kuno telah mengenal dunia kedokteran, ilmu ketatanegaraan, ilmu ekonomi, serta teknologi lainnya, diantaranya adalah terciptanya methodology peramalan serta analisa tata letak ruang yang dikenal dengan nama Feng Shui. Diperkirakan ilmu Feng Shui ini adalah perkembangan dari konsep naskah I Ching yang disusun sebagai buku pegangan peramalan pada saat itu.<br />Kata Feng Shui sendiri berasal dari gabungan kata Feng yang berarti angin (arah) dan Shui yang berarti air (tempat). Jika dianalisa dari kata Feng Shui, maka kemungkinan besar ilmu ini sudah ada dan berkembang bahkan sebelum bangsa Tiongkok kuno mengenal kompas, dimana penentuan kondisi suatu tempat yang baik pada mulanya hanya melihat perpaduan unsur air dan angin saja.<br />Berkembang pesatnya Tao pada saat itu menumbuhkan berbagai bidang ilmu Tao yang salah satunya adalah Feng Shui. Feng Shui berkonsep pada penalaran yang sangat logis dan ilmiah. Konon ilmu peramalan ini sangat dipercaya oleh raja-raja Tiongkok, sehingga para ahlinya dijadikan penasehat kerajaan. Ahli peramalan pada saat itu adalah kedudukan yang penting karena dipercaya mempunyai kekuatan supranatural dan mengetahui rahasia alam. Untuk melindungi posisi ini maka ilmu peramalan ini tidak diajarkan secara luas, hanya diajarkan secara turun-temurun.<br />Feng Shui dapat dibagi menjadi dua yaitu Feng Shui kuburan dan Feng Shui rumah / bangunan.<br /><br />Logika dasar dari Feng Shui itu singkatnya sebagai berikut:<br />Alam ini adalah susunan gabungan unsur-unsur yang berada dalam suatu dimensi ruang dan waktu yang terus berubah, karena adanya energi yang saling bereaksi satu sama lain secara alami menuju keseimbangan. Manusia yang hidup di alam (bumi) ini pun mempunyai energi. Jika seseorang tinggal di suatu tempat yang mempunyai energi baik serta perpaduan unsur yang cocok maka orang itu akan mendapat pengaruh yang baik, begitu pula sebaliknya. Hal demikian berlaku juga untuk kuburan, tetapi yang mendapat pengaruh dari kuburan (orang yang dikubur) adalah anak-anaknya karena mempunyai hubungan dan unsur genetik yang sama.<br /><br /><br />Feng Shui Kuburan<br />Dalam kebudayaan Tionghoa, kuburan seseorang itu sangat penting, karena kuburan seseorang dapat mempengaruhi keadaan keluarganya yang masih hidup. Kuburan harus dibuat sebaik mungkin selain karena hal tersebut diatas juga adalah sebagai bukti besarnya penghormatan kepada orang tua, selain itu kuburan orang tua juga dianggap sebagai suatu tempat / sarana ikatan tali persaudaraan antara sanak-cucu keluarga sehingga setiap tahun diperingati pada hari Ching Ming (Ceng Beng) dengan berkumpul dan sembahyang dikuburan leluhur. Dalam Feng Shui kuburan hal-hal yang diperhatikan antara lain: Naga - Liang - Gundukan - Air - Arah. Selain itu bentuk kuburan, batu nisan, waktu penguburan juga diperhitungkan. Baik buruknya Feng Shui kuburan itu biasanya akan langsung terlihat dalam tempo satu tahun berpengaruh pada keturunan laki-laki. Biasanya orang pantang untuk merubah-rubah kuburan, jika kuburan itu sudah dianggap baik atau minimal tidak buruk. Tetapi jika ada tanda-tanda atau pengaruh buruk terasa, maka secepatnya kuburan akan diperiksa lagi (tentunya oleh ahli Feng Shui) dan jika memungkinkan diperbaiki supaya pengaruh buruk tersebut hilang atau bahkan berubah jadi baik. Dijaman sekarang penerapan Feng Shui kuburan secara sempurna sudah relatif sulit karena perkembangan jaman yang ada serta lingkungan alamnya.<br /><br />Feng Shui Rumah / Bangunan<br />Dewasa ini Feng Shui rumah / bangunan kelihatan lebih menarik dan lebih umum diminati orang. Mungkin karena Feng Shui rumah dirasakan lebih kuat pengaruhnya dalam menunjang kehidupan seseorang sebab penerapannya memang lebih nyata dalam mempengaruhi pola kehidupan. Membuat rencana tata letak / ruang yang baik dalam Feng Shui rumah / bangunan harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: pencahayaan, sirkulasi udara, keindahan, aspek keamanan, kebersihan, kenyamanan, dan warna (masalah psikologi). Tentunya arah, bentuk dan lokasi tanah serta rumah / bangunan itu haruslah baik dan sesuai fungsinya sebagai langkah awal. Selain itu sehubungan dengan Feng Shui rumah juga dikenal berbagai benda / bentuk tertentu yang sering digunakan sebagai atribut pelengkap sebuah rumah seperti misalnya: kaca cermin cekung atau cembung, dll. Benda-benda tersebut sebenarnya adalah atribut dari Tao yang mungkin sudah jarang dipakai di rumah / bangunan modern dewasa ini, tetapi tidak jarang bentuk-bentuk yang mewakili benda-benda tersebut tetap dipakai untuk maksud mendatangkan kebaikan atau menolak hal-hal yang negatif.<br />Nah, itu tadi adalah sekilas ulasan mengenai Feng Shui. Masing-masing dari kita tentunya punya pandangan sendiri-sendiri terhadap masalah Feng Shui ini. Akan tetapi, tentunya kita diharapkan bisa punya pandangan yang lebih “terpelajar”.<br />Organisasi-ruang sebuah rumah, sebagian bisa diperbaiki melalui kemasan/dekor, akan tetapi sebagian dikarenakan permasalahan komposisi gedung itu sendiri, dari sononya sudah dibatasi tentu sulit untuk dirombak lagi, oleh karena itu dalam pemilihan sebuah bangunan, harus diteliti terlebih dahulu, agar sesudah kejadian tidak perlu lagi memeras otak demi memperbaiknya. <br />Fengshui yang tidak baik dalam komposisi sebuah bangunan, ada beberapa point yang harus diperhatikan sebagai berikut:<br />Kemajuan teknik bangunan masa kini, mengakibatkan bentuk rumah yang beragam, tidak lagi dibatasi dengan bentuk yang serba kotak dan teratur, aneka gaya bentuk ditilik dari konsep sudut pandang estetika modern adalah baik, namun dipandang dari Fengshui tradisional, sebagian bentuk adalah pantangan, lebih baik bisa dihindari. <br />1) Bangunan Berbentuk Tower<br />Bangunan berbentuk tower/pagoda tidak sesuai untuk keperluan niaga dan tidak sesuai sebagai kediaman. Bangunan berbentuk tower/pagoda (misalnya: the jewel of east dari Shanghai), tunggal menjulang tinggi, memudahkan orang mempunyai perasaan tidak stabil, ditempati dalam jangka waktu lama bisa berakibat syaraf lemah, hanya sesuai untuk ajang perniagaan dengan banyak orang yang hilir mudik, misalkan rumah makan, berbagai jenis hiburan, tidak cocok dipergunakan untuk tempat tinggal. <br />2) Bangunan Dengan Bentuk Luar Bagian Atas Lebih Lebar<br />Bangunan dengan bentuk luar bagian atas melebar, bawah mengecil, kepalanya berat kaki ringan, sedangkan area pada sisi tepi bisa dikarenakan dampak gaya tarik bumi dan timbul gejala tidak stabil yang membentuk syndrom medan magnet. <br />3) Bangunan Yang Tampak Luarnya Seperti Sel Penjara <br />Tampak depan bangunan bagai kerangkeng, peruntungan penghuni sulit berkembang. <br />Bangunan yang tampak luarnya seperti kurungan, nampak dari luar tidak diketahui mana akses utamanya, arah bangunan tidak jelas, Qi (hawa-murni) tak mampu berkembang, melambangkan manusianya tak mampu berkembang, tampak luar bangunan paling baik ialah kemegahan dan akses masuknya cukup besar, kelihatannya jadi berkarakter lapang, membuat orang merasakan mampu membuat gebrakan besar. <br />4) Bangunan Dengan Tampak Luar Melengkung Ke Dalam<br />Tampak depan gedung cekung, penghuni tak mampu menghadapi tantangan dari luar. <br />Bangunan dengan tampak depan cekung ke dalam, kelihatannya seperti perut yang kempes dan tidak kenyang, bangunan semacam ini terhadap luar tidak memiliki tenaga perlawanan dan daya juang, paling bagus kalau memilih gedung dengan tampak depan cembung atau hanya cembung bagian balkonnya saja, karena bangunan dengan cembung ke arah luar bagaikan orang yang baru saja makan kenyang, memiliki tenaga untuk menghadapi tantangan dari luar. <br />5) Gedung Berbentuk Salip-Dobel Apabila Dilihat Dari Arah Atas<br />Bangunan dengan bentuk salip-dobel, kelihatannya bagaikan sebuah kereta dorong, yang disebut “syndrome kereta dorong”, terkadang orang yang tinggal didalamnya harus bekerja dengan sangat menderita, banyak masalah tapi pendapatan kecil, dengan mengeluarkan tenaga berlipat hasil sedikit, hal baik banyak terkikis. <br />6) Bentuk Atap Piramida <br />Banyak villa atau skylight, membuat atap dengan bentuk piramida, hal ini di Fengshui disebut syndrome pundak dingin (Han Jian Sha), melambangkan hawa keberuntungan tidak mengumpul, semakin piramidanya meruncing, pengaruh negatifnya semakin besar. <br />7) Bentuk Bangunan Seperti Huruf U<br />Bentuk luar bangunan mirip huruf U, penghuni serasa terikat tangan dan kakinya sulit untuk berkembang. Bentuk luar bangunan seperti huruf U, maka mirip kedua tangan orang yang diikat di belakang tubuh, menandakan popularitas rendah, dalam formasi sendirian berjuang melawan banyak lawan, baik sebagai tempat hunian atau kantor sama-sama kurang sesuai, terutama anggota pemerintahan tingkat tinggi paling berpantangan memilih jenis bangunan semacam ini. <br />8) Bangunan Mengawang<br />Sebagian bangunan gedung tinggi yang mengelompok demi keindahan tampak luar, bisa saja sebagian unit hunian dirancang bagai mengawang, sebelah bawah kemungkinan akses jalan, aula, bangunan penghubung. <br />Dalam memilih, sebaiknya menghindari unit yang mengawang, menempatinya mudah timbul gejala tidak nyaman, gejala hati/jiwa tidak tenang, juga akibatnya bisa saja di bawah ketergesaan menimbulkan salah mengambil keputusan. <br />Sebagian tempat hunian berhubung persyaratan lokasi menimbulkan bentuk denah bangunan tidak persegi, ada kemungkinan depan lebar belakang sempit, bahkan muncul situasi dengan sudut terpotong。Hal tersebut di atas di dalam Fengshui bisa saja menimbulkan pengaruh negative bagi anggota keluarga penghuni rumah itu, oleh karenanya sewaktu memilih tempat hunian hendaknya menghindari hal tersebut. <br />Bagaimanakah semestinya menentukan yang disebut “sudut terpotong”? Pertama, tambal/isilah sudut terpotong bangunan tersebut, lalu cari titik beratnya maka bisa ditentukan arah dari sudut terpotong tersebut. <br />Sudut terpotong terletak di arah timur:<br />Sudut terpotong pada bagian timur, menandakan anggota penghuni mudah mengalami penyakit pada kaki, juga bisa mempengaruhi anak sulung, atau terjadi masalah sulit memperoleh keturunan anak lelaki.<br />Sudut terpotong di bagian barat:<br />Bagian barat rumah ada sudut terpotong, anggota penghuni rumah mudah terkena penyakit system saluran pernafasan pada bagian paru-paru, atau berdampak pada anak gadis dalam keluarga, di antaranya pada putri bungsu paling mudah terjadi masalah. <br />Sudut terpotong di bagian selatan:<br />Bagian selatan rumah terdapat sudut terpotong, anggota keluarga mudah terkena penyakit sirkulasi darah atau seputar jantung dan penyakit bagian saluran darah, putri kedua dalam keluarga mudah terjadi sesuatu. <br />Sudut terpotong di bagian utara:<br />Bagian utara rumah ada sudut terpotong, anggota keluarga mudah terkena penyakit ginjal, kandung kemih dll system urologi, putra ke dua dalam keluarga paling mudah terkena dampak.<br /><br />Sudut terpotong pada bagian tenggara:<br />Bagian tenggara rumah ada sudut terpotong, anggota keluarga mudah terserang penyakit yang berkaitan dengan hati empedu dan urat syaraf tulang duduk, berbarengan dengan itu bisa mempengaruhi putri sulung.<br />Sudut terpotong pada bagian barat laut:<br />Bagian barat laut bangunan, anggota keluarga mudah terkena penyakit bagian kepala, bersamaan itu pengaruh terhadap penghuni pria senior, seperti ayah, kakek lebih besar.<br />Sudut terpotong di bagian timur laut:<br /> Bagian timur laut rumah ada sudut terpotong, anggota keluarga mudah terjangkiti penyakit tangan, tengkuk dan punggung, bersamaan dengan itu terhadap anak lelaki terbaik misalkan anak bungsu dampaknya paling besar. <br />Sudut terpotong di bagian barat daya:<br />Bagian barat daya rumah terdapat sudut terpotong, anggota keluarga mudah terkena penyakit usus dan maag serta bagian perut dll, berbarengan dengan itu wanita yang tertua, misalkan terhadap ibu, dampaknya terbesar. <br />Sedangkan bentuk rumah yang seperti depan lebar belakang sempit (bentuk tangga terbalik), membentuk yang dinamakan “Cekungan pengki”, aliran Qi (baca: Chi, energi murni) tak mudah berkumpul, mudah boros dalam materi. Selain daripada itu, pada prinsip Fengshui dianggap rumah yang bergerigi dan bersudut (runcing), mudah terjadi masalah sial, contohnya sebagian kediaman dengan bentuk tidak teratur, sebaiknya dihindari. Pengorganisasian ruang yang tidak benar, perlambang terjadi ketidak-akuran di dalam, penghuni rumah tersebut mudah timbul perselisihan dan bermuram-durja, juga sebisa mungkin dihindari. <br />Gedung zaman sekarang pada umumnya dilengkapi dengan lahan parkir di lantai basement, tetapi apabila di depan ruang terbuka hunian, terdapat akses jalan menuju basement, maka Qi masuk melalui opening/bukaan tersebut, ini di dalam Fengshui dinamakan “Bala/Pantangan Cekung”, mudah menimbulkan sakit di bagian kepala dan ancaman bangkrut, lebih baik dihindari. <br /><br />Basement dilengkapi dengan kolam renang atau kolam air<br />Perencanaan bangunan zaman sekarang, diutamakan yang serba fungsional, atau pengelolaan dan daya guna ala restaurant, maka dari itu acap kali di basement direncanakan kolam renang. Akan tetapi kolam renang dibangun di basement, mudah mendatangkan Bala/pantangan Yin, selain itu pencahayaan di basement tidak baik, sarat hawa Yin, mudah didatangi roh gentayangan, sehingga membuat penghuni tidak tenteram, oleh karena itu juga harus sebisa mungkin dihindari. <br />Pintu besar/masuk dengan Ruang Terbuka Luar dan Ruang Terbuka Dalam menentukan karir, peruntungan dan hubungan antar manusia. Oleh karena itu posisi, ukuran dan perencanaan dll dari Ruang Terbuka Luar dan Ruang Terbuka Dalam harus ekstra diperhatikan.<br />1. Ruang Terbuka Luar<br />Yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Luar ialah ruang kosong di luar pintu masuk, juga biasa disebut Lapangan Masukan Qi (baca: Ji; energi) masuk, ia harus lapang, terang, bersirkulasi udara, tidak berhadapan dengan benda pantangan/Chong Sha, maka dari itu paling baik jangan menumpuk aneka barang bekas. Selain itu jikalau memungkinkan, paling baik jangan dipakai bersamaan dengan orang lain, akan tetapi gedung atau apartemen zaman sekarang, biasanya dipakai bersamaan dengan orang lain, jikalau seperti itu harus diperhatikan, penggunaan Ruang Terbuka Luar dengan orang lain, biasanya juga bisa saja dalam kondisi pintu saling berhadapan dengan pintu.<br />Jikalau kedua pintu tersebut ukurannya sama, maka berarti kedua pintu tersebut menggunakan satu Ruang Terbuka Luar yang sama, jikalau ternyata satu pintu besar satunya lagi kecil, maka bisa terkondisikan pintu besar tersebut “memakan” pintu kecil, maka penghuni dengan pintu kecil keberuntungannya bisa berangsur melemah, dalam melakukan pekerjaan mudah terjadi penekanan dari orang lain, berurusan dengan orang berniat buruk, tentu saja keberuntungan materi juga bisa terpengaruh. Namun apabila kedua pintu tersebut sudah berjarak lima meter, maka penghambat menjadi tidak terlalu besar. <br />Ruang Terbuka Luar persis berpepetan dengan tangga (artinya sehabis ruang tsb. langsung tangga naik), ini adalah sebuah tanda mengundang pekerjaan, menyebabkan karir membutuhkan energi dan waktu yang lebih banyak, paling baik juga dihindari, kalau tidak maka harus dinetralisir. Selain daripada itu, Ruang Terbuka Luar paling pantang dimana terdapat benda pantangan/Chong Sha, seperti jalan tusuk sate, tembok bersudut runcing , tiang listrik, berhadapan dengan ujung sudut rumah seberang, tower listrik tegangan tinggi dll, hal ini bisa tidak menguntungkan perkembangan usaha, maka dari itu sebisa mungkin dihindari.<br />2. Ruang Terbuka Dalam<br />Yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Dalam ialah ruang yang terdapat di belakang pintu masuk, juga bisa disebut sebagai: Lapangan Penerima Qi, biasanya juga dikatakan sebagai letak Xuan Guan (baca: Süan Kuan / Lintasan Muskil). Lapangan Penerima Qi berfungsi menerima dan menyerap arus Qi yang masuk dari Lapangan Masukan Qi, volume Qi yang diterima menentukan keberuntungan atau kejayaan, sedangkan besar kecilnya Lapangan Penerima Qi, akan menentukan daya serap /tampung sebuah rumah tinggal, juga sama-sama menentukan kunci menuju keberuntungan dan kejayaan. Oleh sebab itu besar-kecil dan baik-buruknya keberuntungan /rezeki sebuah rumah, ukuran Ruang Terbuka Luar dan Ruang Terbuka Dalam sangat penting, ukuran keduanya juga harus saling berselaras, baru bisa memerankan fungsi secara maksimal. <br />Ruang Terbuka Dalam , juga harus terang dan lapang, selain itu jalur lintas juga harus dapat dilalui dengan lancar, sangat pantang dengan tumpukan barang tak terpakai. Tempat tinggal pada umumnya jikalau memiliki Xuan Guan, seringkali ada tumpukan barang bekas atau rak sepatu, bahkan sepatu-sepatu berserakan di lantai, hal seperti ini Feng Shui-nya tidak baik. <br />Selain itu, Ruang Terbuka Dalam paling pantang terhadap balok atap terletak melintang di atas (pintu), menandakan peruntungan materi terhambat; Ruang Terbuka Dalam paling bagus juga jangan mepet dengan tangga, karena bisa terjadi tekanan besar pada usaha kerja; selain itu apabila mepet pintu WC juga mudah mengalami kerugian; seperti yang telah disebutkan di atas, Ruang Terbuka Dalam jikalau sarat Qi buangan akan membuat peruntungan materi tidak lancar, itulah kenapa di buku Feng Shui selalu ditekankan, jangan menumpuk sepatu di lokasi Xuan Guan, apabila sepatu ditaruh di lokasi Xuan Guan, juga harus senantiasa menjaga kebersihan, kerapian dan menghindari timbulnya bau yang tidak sedap.<br /><br />Delapan Pantangan Interior<br />• Pantangan ke 1: Pantangan "Menembus Ruang" <br />Pintu masuk dengan balkon belakang membentuk satu garis,<br />disebut sebagai “Bala/Pantangan Menembus Ruangan”<br />Yang disebut “Bala/Pantangan Menembus Ruangan” ialah pintu masuk utama dengan pintu belakang atau balkon belakang terhubung menjadi satu garis, selain itu di tengahnya juga tak ada halangannya, udara, angin, pencahayaan dengan langsung mengalir menembus ruang tamu, ilmu Feng Shui pada dasarnya menghendaki harus “Mengumpulkan angin – menghimpun Qi”, Bala Menembus Ruangan bisa mengakibatkan medan Qi/energi terus menerus menerima gangguan, sehingga penghuni sukar mengumpulkan harta dan juga bencana berupa kehabisan sumber penghasilan, disebut “Pantangan Utama Hunian Apartemen”. <br />• Pantangan ke 2: Pantangan "Menembus Hati"<br />Terdapat belandar/balok di atas pintu masuk utama, disebut “Pantangan Menembus Hati”<br />Yang dimaksud dengan “Pantangan Menembus Hati” ialah merujuk pada blandar/balok kayu di atas pintu masuk utama, selain itu balok tersebut dari luar menembus ke dalam rumah dan tegak lurus dengan pintu masuk, bahkan menembus bagian atas pintu kamar tidur dan pintu dapur. Pintu masuk utama identik dengan karir, pantangan menembus hati mudah mengakibatkan penghuni tak mudah mengatakan apa yang ia derita dan menelan air mata, giat tapi hasil tak terlihat dan nafsu besar tenaga kurang. <br />• Pantangan ke 3: WC, Dapur dan Tangga Terletak di Pusat Denah (Zhong Gong 中宮)<br />Titik Pusat Kediaman, disebut “Zhong Gong / baca: Cung Kung 中宮”<br />Zhong Gong dari tempat tinggal bagaikan jantung manusia, ialah posisi terpenting dari seluruh rumah, juga adalah tempat utama yang paling mempengaruhi peruntungan materi dalam keluarga, sedangkan WC adalah tempat untuk membuang kotoran, WC mutlak tidak diperbolehkan mencemari titik pusat dari tempat tinggal, jikalau WC terletak di Zhong Gong, akan mudah terkena penyakit pada bagian pembuluh jantung dll. <br />Dapur termasuk elemen api, jikalau kompor gas terletak pada Zhong Gong sebuah rumah, maka terbentuk suatu denah “Api membakar Zhong Gong”, salah satu penghuni mudah terserang penyakit yang berkaitan dengan system pencernaan, terlebih lagi bagi tuan rumah, mutlak perlu diperhatikan. <br />Juga rumah bertingkat di dalam gedung, atau bangunan yang di-ekspan ke atas, menara dlsb tentu dirancang juga ruang tangganya.<br />Untuk itu hal yang paling pantang adalah merencana ruang tangga pada titik pusat rumah, atau bordes tangga terletak pada titik pusat rumah. Ini adalah denah paling buruk dalam Feng Shui. Tangga, bagaimanapun adalah tempat untuk naik dan turun lantai, membuat orang mengaktifkan otot, bisa menimbulkan letih, ruang tangga terletak di Zhong Gong menandakan tuan rumah bisa sangat sibuk, bersamaan itu juga bisa terserang penyakit persendian tulang, bahkan dengan kondisi tekanan darah tinggi. <br />• Pantangan ke 4: Denah Dengan Ruang Tamu Pada Bagian Belakang Rumah <br />Ruang tamu menjauhi pintu masuk rumah, terletak di bagian belakang rumah, bahkan harus melalui dulu kamar tidur, dapur, WC dll, tidak selaras dengan kebiasaan penggunaan pada umumnya, sesuatu yang mengarah kepada luar sebagai Yang, yang mengarah ke dalam sebagai Yin, luar-dalam menjadi terbalik, Yin-Yang keliru tempatnya, menandakan dalam hati gundah dan gangguan dari luar tiada henti. <br />• Pantangan ke 5: Kayu Blandar Saling Silang atau Plafon Terlalu Rendah (Tian Luo)<br />Posisi plafon yang terlalu rendah, disebut “Lay out Tian Luo” <br />Pada umumnya rumah memiliki blandar/balok, tetapi kebanyakan terletak di empat sisi, lantas apabila perletakan blandar-blandar di dalam rumah sangat banyak dan melintang tak karuan, hal ini di dalam Feng Shui disebut sebagai “Lay out Tian Luo”, bisa mengakibatkan perasaan tertekan yang hebat. <br />Selain itu, ada lagi satu macam lay out Tian Luo yakni posisi/level plafon yang terlalu rendah, hal ini bisa berakibat penghuni rumah terhambat di dalam perkembangan karirnya, sulit untuk berkembang. <br />• Pantangan ke 6: Layout "Kamar dalam Kamar"<br />Di dalam kamar tidur terdapat sebuah kamar tidur lainnya, misalkan melalui kamar-tidur A memasuki kamar-tidur B, seperti inalah yang dimaksud dengan lay out kamar dalam kamar, melambangkan situasi yang “lepas dari rel”, mudah menimbulkan perasaan jengkel sehingga mudah membuat keputusan keliru. <br />• Pantangan ke 7: Mulut Tangga dalam Ruang Tepat Menghadap Pintu Utama<br /> Tangga di dalam rumah menghadap tepat ke arah pintu masuk, harta benda mudah mengalir keluar/boros. <br />Diam bagai gunung, bergerak bagai air”, tangga berfungsi sebagai pergerakan penghuni untuk naik turun ke dan dari lantai atas, melambangkan unsur “Air” di dalam rumah, tangga di dalam apartemen jikalau menghadap tepat ke arah pintu masuk, maka menandakan (unsur) air mengalir ke arah luar, air mewakili harta-benda, dalam hal tersebut sudut tangga semakin besar maka menandakan kehilangan harta-benda semakin cepat. <br />• Pantangan ke 8: Pintu Belakang Rumah Tinggal (Juga Pintu Balkon) Diubah Menjadi Situasi Tanpa Pintu Belakang<br />Rumah (apartemen) semestinya memiliki balkon, baru di dalam karirnya ada ruang gerak untuk bernegosiasi. <br />Pintu belakang sebuah rumah tidak baik jikalau ukurannya lebih besar daripada pintu depan, bersamaan dengan itu penghuni juga tidak boleh menutup pintu masuk, yang kemudian akses keluar-masuk rumah diganti melalui pintu belakang, hal semacam ini terutama akan berdampak kesepian. <br />Rumah tinggal lebih mengharamkan tidak memiliki pintu belakang (dewasa ini gedung atau apartemen, pintu akses dari dapur ke balkon dimaksudkan sebagai pintu belakang padahal bukan), terutama berdampak: di dalam karir hanya mengenal maju, tak mengenal istilah mundur, melakukan pekejaan selalu sendirian, tak ada koridor untuk berunding ataupun berbelok arah, efek terhadap butuh maka mudah terserang penyakit gangguan sirkulasi darah pada pembuluh darah jantung.<br /><br />3. ASTROLOGI TIONGHOA<br /> <br />1) Kalender Matahari Dan Kalender Bulan <br />Pada umumnya kita mengenal dua sistem kalender yaitu kalender matahari (kalender solar) dan kalender bulan (kalender lunar). <br />Kalender matahari ditentukan berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi). Waktu yang diperlukan untuk satu kali revolusi adalah satu tahun kalender matahari, kira-kira 365 1/4 hari. Perubahan musim di bumi ditentukan oleh posisi bumi terhadap matahari, maka kalender matahari ini sesuai dengan perubahan musim. <br />Contoh: <br />Pada saat matahari mencapai garis balik utara (tropic of Cancer), kira-kira pada tanggal 21 Juni, belahan bumi selatan mengalami musim dingin, dan pada saat matahari mencapai garis balik selatan (tropic of Capicorn), kira-kira tanggal 22 Desember, bumi belahan utara mengalami musim dingin. Contoh kalender matahari adalah kalender Gregorian.<br /> Sedangkan kalender bulan berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Waktu yang diperlukan untuk satu kali revolusi adalah satu bulan kalender bulan, kira-kira 29 1/2 hari. Contoh kalender bulan adalah kalender Hijriyah dan kalender Jawa. <br /><br />2) Kalender Tionghua <br /> Bangsa Tionghua mengenal kalender matahari (Yangli[Yonglek/Yanglek]) dan kalender bulan (Yinli [Yimlek]). Kalender matahari terdiri 24 jieqi [cuekhui] (musim matahari) yaitu: <br />No. Nama Musim Tanggal Kld. Gregorian <br />1. lichun [lipchun] 4,5 Februari <br />2. yushui [wusui] 18,19 Februari <br />3. jingzhe [kingtip] 5,6 Maret <br />4. chunfen [chunhun] 20,21 Maret <br />5. qingming [chni'mia/chingbing] 4,5 Apr <br />6. guyu [kokwu] 19,20 April <br />7. lixia [liphe] 5,6 Mei <br />8. xiaoman [siaobuan] 21,22 Mei <br />9. mangzhong [bongcing] 5,6 Juni <br />10. xiazhi [heci] 21,22 Juni <br />11. xiaoshu [siaosu] 7,8 Juli <br />12. daxhu [taisu] 22,23 Juli <br />13. liqiu [lipchiu] 7,8 Agustus <br />14. chushu [chusu] 23 Agustus <br />15. bailu [peklo] 7,8 September <br />16. qiufen [chiuhun] 22,23 September <br />17. hanlu [hanlo] 8,9 Oktober <br />18. shuangjiang [sngkang] 23,24 Oktober <br />19. lidong [liptang] 7,8 November <br />20. xiaoxue [siaosuat] 22,23 November <br />21. daxue [taisuat] 7,8 Desember <br />22. dongzhi [tangci/tangcue] 21,22 Desember <br />23. xiaohan [siaohan] 5,6 Januari <br />24. dahan [taihan] 20,21 Januari <br /><br />Catatan: <br />1. 24 jieqi ini sebenarnya terdiri atas 12 bulan tahun matahari, urutan ganjil (lichun, jingzhe, dst...) adalah awal bulan, urutan genap (yushui, chunfen, dst...) adalah tengah bulan. <br />2. Jieqi yang paling sering dirayakan di Indonesia adalah [chingbing] (ziarah ke makam leluhur) dan [tangcue] (memakan ronde [yni'a thng]). <br />3. Coba diperhatikan persamaan tanggal tengah bulan dengan tanggal horoskop barat. <br />Sedangkan kalender bulan terdiri dari 12 bulan, ada bulan besar 30 hari dan bulan kecil 29 hari. Satu tahun terdiri dari 12 bulan sehingga jumlah hari pertahun adalah 354 hari. Karena jumlah tahun matahari kira-kira 365 1/4 hari, maka akan ada selisih sebesar 11 1/4 hari pertahun. Untuk menyesuaikan kalender dengan kalender Yangli, ditambahkan bulan kabisat runyue [lun'ge]. Sehingga satu tahun terdiri dari 13 bulan. Penambahan bulan kabisat ini dilakukan 7 kali dalam 19 tahun. <br />Jadi, sistem kalender Tionghua adalah kombinasi antara kalender bulan dan kalender matahari (kalender lunisolar). <br /><br />Kombinasi Tiangan Dizhi <br />Semua komponen waktu (jam, hari, bulan, tahun) adalah kombinasi dari 10 tiangan [thiankan] (batang langit) dan 12 dizhi [teci] (cabang bumi). Jadi, untuk setiap komponen ada 60 kombinasi. Berikut ini adalah urutan tiangan dan dizhi: <br /><br />No. tiangan unsur <br />1 jia [ka] kayu <br />2 yi [yit] kayu <br />3 bing [pnia] api <br />4 ding [ting] api <br />5 wu [mo] tanah <br />6 yi [ki] tanah <br />7 geng [king] logam <br />8 xin [sin] logam <br />9 ren [jim] air <br />10 gui [kui] air <br /><br />No. dizhi unsur xiao [snio] jam <br />1 zi [cu] air tikus 23 - 01 <br />2 chou [thiu] tanah sapi 01 - 03 <br />3 yin [yin] kayu macan 03 - 05 <br />4 mao [bao] kayu kelinci 05 - 07 <br />5 chen [sin] tanah naga 07 - 09 <br />6 si [su] api ular 09 - 11 <br />7 wu [ngo] api kuda 11 - 13 <br />8 wei [bi] tanah kambing 13 - 15 <br />9 shen [sin] logam monyet 15 - 17 <br />10 you [yu] logam ayam 17 - 19 <br />11 xu [sut] tanah anjing 19 - 21 <br />12 hai [hai] air babi 21 - 23 <br />Setiap tahun (juga bulan, hari, dan jam) adalah kombinasi dari tiangan dan dizhi. Jadi kalau hari ini adalah hari jiazi, besok adalah hari yichou, kemarin adalah hari guihai. <br /><br />CAP JI SNIO <br />Horoskop Tionghua [cap ji snio] yang dikenal oleh banyak orang adalah kombinasi tiangan dan dizhi pada komponen tahun. Sebagai contoh: tahun ini adalah tahun xinsi, yang disebut tahun ular logam, tahun lalu adalah tahun gengchen = naga logam, tahun depan adalah tahun renwu = kuda api. <br />Sesungguhnya perhitungan peruntungan seseorang, kuranglah lengkap jika hanya melihat dari snio-nya saja. Karena, snio adalah salah satu dari empat komponen kelahiran seseorang. Jadi, kita harus memperhitungkan kombinasi tiangan-dizhi dari tahun, bulan, hari, dan jam kelahiran seseorang. Selanjutnya, akan diperoleh 4 pasang kombinasi dari komponen tahun, bulan, hari, dan jam kelahirannya, yang bisa dianalisis peruntungan orang tsb. Empat pasang kombinasi tiangan-dizhi ini disebut bazi [pueji] (delapan huruf). <br />Selama ini banyak orang menganggap bahwa horoskop Tionghua 'hanya' mengenal 60 kombinasi (berdasarkan tahun kelahiran saja). Sesungguhnya setiap komponen kelahiran (tahun, bulan, hari, jam) mempunyai 60 kombinasi., sehingga total ada 60 x 60 x 60 x 60 = 12.960.000 kombinasi yang berbeda. <br /><br />Imlek (lafal Hokkian dari, pinyin: yin li, yang artinya kalender bulan) atau Kalender Tionghoa adalah kalender lunisolar yang dibentuk dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari.<br />Kalender Tionghua sekarang masih digunakan untuk memperingati berbagai hari perayaan tradisional Tionghua dan memilih hari yang paling menguntungkan untuk perkawinan atau pembukaan usaha. Kalender Tionghua dikenal juga dengan sebutan lain seperti "Kalender Agrikultur" (nónglì), "Kalender Yin" (karena berhubungan dengan aspek bulan), "Kalender Tua" (jìulì) setelah "Kalender Baru" (xīnlì) yaitu kalender masehi, diadopsi sebagai kalender resmi dan "Kalender Xià " yang pada hakekatnya tidak sama dengan kalender saat ini.<br /><br />Sejarah<br />Huang Di<br />Kalender Tionghua mulai dikembangkan pada millenium ketiga sebelum masehi, konon ditemukan oleh penguasa legendaris pertama, Huáng Dì, yang memerintah antara tahun 2698 SM - 2599 SM. Dan dikembangkan lagi oleh penguasa legendaris keempat, Kaisar Yáo. Siklus 60 tahun (gānzhī atau liùshí jiǎzǐ) mulai digunakan pada millennium kedua sebelum masehi. Kalender yang lebih lengkap ditetapkan pada tahun 841sm pada zaman Dinasti Zhōu dengan menambahkan penerapan bulan ganda dan bulan pertama satu tahun dimulai dekat dengan titik balik matahari pada musim dingin.<br /><br />Dinasti Qin<br />Kalender Sìfēn (empat triwulan), yang mulai diterapkan sekitar tahun 484sm, adalah kalender Tionghua pertama yang memakai perhitungan lebih akurat, menggunakan penanggalan matahari 365¼ hari, dengan siklus 19 tahun (235 bulan), yang dalam ilmu pengetahuan Barat dikenal sebagai Peredaran Metonic. Titik balik matahari musim dingin adalah bulan pertamanya dan bulan gandanya disisipi mengikuti bulan ke 12. Pada tahun 256sm, kalender ini mulai digunakan oleh negara Qín, kemudian diterapkan di seluruh negeri Tiongkok setelah Qín mengambil alih keseluruhan negeri Tiongkok dan menjadi Dinasti Qín. Kelender ini tetap digunakan sepanjang separuh pertama Dinasti Hàn Barat.<br /><br />Dinasti Han<br />Kaisar Wǔ dari Dinasti Han Barat memperkenalkan reformasi kalender baru. Kalender Tàichū (Permulaan Agung) pada tahun 104sm mempunyai tahun dengan titik balik matahari musim dingin pada bulan ke 12 dan menentukan jumlah hari untuk penanggalan bulan (satu bulan 29 atau 30 hari) dan bukan sesuai dengan prinsip terminologi matahari (yang secara keseluruhan sama dengan tanda zodiak). Sebab gerakan matahari digunakan untuk mengkalkulasi Jiéqì (ciri-ciri musim).<br /><br />Dinasti Tang<br />Sedangkan pada zaman Dinasti Jin dan Dinasti Tang juga sempat dikembangkan Kalender Dàyǎn dan Huángjí, walaupun tidak sempat dipergunakan. Dengan pengenalan ilmu astronomi Barat ke Tiongkok melalui misi penyebaran agama Kristen, gerakan bulan dan matahari mulai dihitung pada tahun 1645 dalam Kalender Shíxiàn Dinasti Qīng, yang dibuat oleh Misioner Adam Schall.<br /><br />Cara perhitungan<br />Kalender Tionghua memiliki aturan yang sedikit berbeda dengan kalender umum, seperti ; perhitungan bulan adalah rotasi bulan pada bumi. Berarti hari pertama setiap bulan dimulai pada tengah malam hari bulan muda astronomi. (Catatan, "hari" dalam Kalender Tionghua dimulai dari jam 11 malam dan bukan jam 12 tengah malam). Satu tahun ada 12 bulan, tetapi setiap 2 atau 3 tahun sekali terdapat bulan ganda (rùnyuè, 19 tahun 7 kali). Berselang satu kali jiéqì (musim) tahun matahari Tiongkok adalah setara dengan satu pemulaan matahari ke dalam tanda zodiak tropis. Matahari selalu melewati titik balik matahari musim dingin (masuk Capricorn) selama bulan 11.<br /><br />Penerapan di masa kini<br />Penggunaan utama dalam kegiatan sehari-hari adalah menentukan fase bulan, yang penting bagi petani dan dimungkinkan karena setiap hari dalam kalender sesuai dengan fase tertentu dalam suatu bulan. Kalender tradisional Asia Timur lainnya mirip, atau sama, dengan kalender Tionghoa: kalender Korea sama, dalam kalender Vietnam digunakan kucing, bukan kelinci dalam shionya, dan kalender Jepang tradisional menggunakan metode penghitungan yang berbeda, sehingga ada ketidaksesuaian antara kedua kalender itu dalam tahun-tahun tertentu.<br /><br />Dua belas shio<br />Kedua belas binatang (shíèr shēngxiào, atau shíèr shǔxiāng) yang melambangkan kedua belas Cabang Bumi adalah, sesuai urutannya:<br />• tikus <br />• kerbau <br />• macan <br />• kelinci <br />• naga <br />• ular <br />• kuda <br />• kambing <br />• kera <br />• ayam <br />• anjing <br />• babi <br /><br /><br />Bintang Dahan<br />Duniawi Yin/Yang Trine Unsur tetap Sifat positif Sifat negative<br />Tikus<br />子 zǐ Yang 1 Air terus terang, berdisiplin, sistematik, cermat, berkarisma, rajin, menawan, petah, suka bergaul, pintar bermanipulasi, kejam, suka memerintah, tegar, mementingkan diri, degil, kritis, bercita-cita terlalu tinggi, tidak berhati perut, tidak bertoleransi, licik<br />Lembu<br />丑 chǒu Yin 2 Air boleh diharapkan, tenteram, berperaturan, sabar, rajin, bercita-cita, konvensional, tenang, sopan, lojik, tegas, kuat degil, berfikiran sempit, materialistik, tegar, suka mendesak<br />Harimau<br />寅 yín Yang 3 Kayu sukar diduga, suka melawan, berwarna-warni, sangat berkuasa, berkobar-kobar, berani, mengikut gerak hati, penuh bersemangat, merangsang, ikhlas, pengasih, berperikemanusiaan, murah hati mudah gelisah, semberono, tidak sabar, cepat berang, degil, mementingkan diri<br />Arnab<br />卯 mǎo Yin 4 Kayu baik budi, baik hati, peka, lemah lembut, ramah, berbudi bahasa, berat mulut, berwaspada, berjiwa seni, teliti, manis, yakin pada diri sendiri, panjang akal, belas kasihan, fleksibel ada angin, menyendiri, cetek pemikiran, suka mengurut nafsu, oportunis, pemalas<br />Naga<br />辰 chén Yang 1 Kayu baik hati, penuh bersemangat, kuat, yakin pada diri sendiri, megah, terus terang, penuh hasrat, bersemangat, berapi-api, berkobar-kobar, tegas, perintis, bercita-cita, murah hati, setia sombong, zalim, suka mendesak, eksentrik, dogmatik, suka menguasai orang lain, terburu-buru, kasar<br />Ular<br />巳 sì Yin 2 Api berfikir panjang, bijaksana, mistik, lemah lembut, lemah lembut, sensual, kreatif, cermat, pintar, bercita-cita, berbudi bahasa, berwaspada, bertanggungjawab, tenteram, kuat, setia, tekad penyendiri, komunikasi teruk, cemburu, hedonis, ragu diri, sentiasa menaruh kesangsian terhadap orang lain, pendusta<br />Kuda<br />午 wǔ Yang 3 Api periang, popular, tajam akal, bertukar-tukar, biasa dan berterus terang, perseptif, suka bercakap, lincah, cerdas, kuat daya penariknya, cerdik, panjang akal, fleksibel, berfikiran terbuka tidak tetap hati, cemas, biadab, mudah terpedaya, degil, kurang stabil, kurang tabah<br />Kambing<br />未 wèi Yin 4 Api salih, ikhlas, bersimpati, lemah lembut, pemalu, berjiwa seni, kreatif, lembut, belas kasihan, bertimbang rasa, keibuan, tekad, mencintai kedamaian, murah hati, mencari perlindungan ada angin, tidak tegas, terlalu pasif, perisau, pesimis, mudah tersinggung, suka merungut<br />Kera<br />申 shēn Yang 1 Logam pencipta, pendorong, suka mengimprovisasi, tajam akal, suka ingin tahu, fleksibel, inovatif, penyelesai masalah, yakin pada diri sendiri, suka bergaul, sopan, menimbulkan rasa hormat, suka bersaing, objektif, faktual, intelektual egoistik, angkuh, mementingkan diri, licik, iri hati, mudah sangsi<br />Ayam<br />酉 yǒu Yin 2 Logam tajam, kemas, cermat, terurus, yakin pada diri sendiri, tegas, konservatif, kritis, mementingkan kesempurnaan, berjaga-jaga, bersemangat, praktis, saintifik, bertanggungjawab terlalu fanatik dan kritis, bagaikan pendakwah, egoistik, kasar, terlalu yakin akan pendapatnya<br />Anjing<br />戌 xū Yang 3 Logam jujur, cerdik, terus-terang, setia, penegak keadilan, menarik, ramah, tidak menunjuk-nunjuk, suka bergaul, berfikiran terbuka, idealistik, moralistik, praktis, pengasih, gigih sinis, pemalas, dingin, judgmental, pesimis, perisau, degil, suka bergaduh<br />Babi<br />亥 hài Yin 4 Air jujur, sederhana, gagah berani, tegap, suka bergaul, mencintai kedamaian, sabar, setia, rajin, mudah percaya, ikhlas, tenteram, bertimbang rasa, prihatin, berkobar-kobar, cerdik naif, terlalu bergantung kepada orang lain, suka mengurut nafsu, mudah terpedaya, fatalistik, materialistic<br />Dalam astrologi Cina, bintang hewan yang ditentukan oleh tahun melambangkan bagaimana anda dipandang orang lain atau cara anda menonjolkan diri.Banyak yang salah sangka bahawa bintang hewan hanya ditentukan melalui tahun, sebaliknya ada juga lambang hewan yang ditentukan melalui bulan (hewan dalaman) dan jam seharian (hewan rahasia).<br />Pendek kata, sungguhpun seseorang berbintang Naga semata-mata kerana lahir pada tahun naga, namun dia juga boleh berbintang Ular secara dalaman dan juga berbintang Lembu secara rahsia. Maka itu, terdapat sejumlah 8,640 kombinasi yang boleh (lima unsur x 12 hewan dalam kitaran 60 tahun (12 x 5 = 60), 12 bulan, 12 waktu sehari) menentukan seseorang. Semua ini dipandang berat demi pengamalan astrologi Cina yang sebetulnya.<br /><br />Hari-hari libur<br />Berikut adalah hari-hari perayaan Tionghoa. Tanggal-tanggal berdasarkan penanggalan Tionghoa.<br />Tanggal Nama Bahasa Indonesia Nama Mandarin Keterangan<br />bulan 1<br />hari 1 Tahun Baru Imlek<br />atau Festival Musim Semi 春節<br />chūnjié Pertemuan keluarga dan perayaan besar selama tiga hari; secara tradisional selama 15 hari<br />bulan 1<br />hari 15 Festival Lampion,<br />sebuah hari kasih sayang 元宵節<br />yuánxiāojié Memakan Yuanxiao<br />dan pemasangan lampion<br />4 atau<br />5 Apr Festival Membersihkan Makam,<br />atau Ching Ming/Cheng Beng 清明節<br />qīngmíngjié Pertemuan keluarga,ziarah ke makam keluarga/leluhur<br />bulan 5<br />hari 5 Festival Perahu Naga<br />端午節<br />duānwǔjié Lomba perahu naga<br />dan memakan zhongzi<br />bulan 7<br />hari 7 Festival Meminta Ketrampilan,<br />sebuah hari kasih sayang 乞巧節<br />qǐqiǎojié Para gadis mempelajari ketrampilan rumah tangga dan 'meminta' perkawinan yang baik<br />bulan 7<br />hari 15 Festival Hantu atau Festival Para Roh 中元節<br />zhōngyuánjié <br />bulan 8<br />hari 15 Festival Pertengahan Musim Gugur<br />中秋節<br />zhōngqiūjié Pertemuan keluarga<br />dan memakan kue bulan<br />bulan 9<br />hari 9 Festival Yang Ganda<br />重陽節<br />chóngyángjié Mendaki gunung<br />dan pertunjukan bunga<br />21 atau<br />22 Des Festival Titik Balik Matahari Musim Dingin<br />冬節<br />dōngjié Pertemuan keluarga<br /><br />Lima unsur<br />Yin atau Yang dipecah menjadi Lima Unsur (Kayu, Api, Tanah, Logam, dan Air) di samping kitaran haiwan. Ini merupakan pengubah yang mempengaruhi sifat-sifat setiap 12 bintang haiwan. Maka itu, setiap bintang haiwan ini bernaung di bawah satu unsur serta satu arah Yin-Yang.<br />Walaupun diterjemah sebagai 'unusr', namun perkataan xing dalam bahasa Cina membawa erti lebih kurang 'perubahan keadaan dalam kewujudan', 'permutasi' atau 'metamorfosis kewujudan'. [1] Sebenarnya ahli Sinologi masih tercari-cari terjemahan tunggal yang sesuai. Maka, konsepsi Cina bagi 'unsur' agak berbeza berbanding di Barat. Unsur-unsur Barat dilihat sebagai asas kepada jirim. 'Unsur-unsur' Cina pula dilihat sebagai daya atau tenaga yang sentiasa berubah atau bergerak.<br />Imbangan yin dan yang dan lima unsur dalam pembentukan seseorang banyak mempengaruhi apa yang berfaedah dan berkesan untuknya dari segi feng shui, iaitu bentuk Cina bagi ramalan. Ini adalah kerana setiap unsur dihubungkan dengan arah dan musim tertentu, serta jenis qì atau daya hidup yang berbeza.<br />Unsur 木<br />Kayu 火<br />Api 土<br />Tanah 金<br />Logam 水<br />Air<br />Arah Timur Selatan Tengah Barat Utara<br />Musim Bunga Panas Peralihan musim Luruh Sejuk<br />Makhluk mitos[1]<br />Naga Biru Langit (青龍) Burung Merah Merona (朱雀) Naga Kuning (黃龍) Hairmau Putih (白虎) Kura-kura Hitam (玄武)<br />Planet Musytari<br />Marikh<br />Zuhal<br />Zuhrah<br />Utarid<br /><br />Warna Hijau Merah Kuning Putih Hitam<br />Organ manusia Hati dan pundi hempedu<br />Sistem peredaran dan jantung<br />Sistem penghadaman, limpa dan perut<br />Sistem pernafasan dan paru-paru<br />Rangka, sistem perkumuhan dan paru-paru<br /><br />Sifat Murah hati, mesra, mayakinkan, bekerjasama, mahu berkembang, idealistik, beretika, ghairah, suka meneroka Dinamik, kemanusiaan, bertenaga, berkobar-kobar, berdaya usaha, suka mengembara, tidak mudah puas hati, berdaya saing, berkemahiran dalam memimpin, kuat, sepenuh jiwa raga, suka jenaka Sabar, ketenteraan, cermat, stabil, boleh dipercayai, rajin, bercita-cita, degil, penuh tenaga, berdisiplin, kuat, lojik, sedia berkhidmat untuk orang lain Tekun, berdikari, keras hati, kuat, kuat, tegas dan bersemangat, berat mulut, memerlukan ruang bersendiri, sofistikated, suka mncari keseronokan, prihatin, menghormati orang lain Berahsia, menawan, intuitif, belas kasihan, peka, kreatif, fleksibel, patuh, petah, intelek<br />Bintang zodiak naungan Harimau, Arnab, Naga Ular, Kuda, Kambing Lembu, Naga, Kambing, Anjing[2]<br />Kera, Ayam, Anjing Khinzir, Tikus, Lembu<br /> <br />Kitaran unsur<br />Doktrin lima fasa ini menghuraikan dua Kitaran Imbangan, iaitu satu kitaran penghasilan (shēng) dan satu kitaran pemusnahan (kè).<br />Penghasilan <br />• Kayu membuka Api <br />• Api menghasilkan Tanah (abu) <br />• Tanah menyimpan Logam <br />• Logam mengumpul Air <br />• Air menyuburkan Kayu Pemusnahan <br />• Kayu membelah Tanah <br />• Tanah menyerap Air <br />• Air memadam Api <br />• Api meleburkan Logam <br />• Logam memotong Kayu <br /><br />4. PAKAIAN ADAT<br />Dalam tradisi bangsa Tionghoa, banyak hal yang dapat ditemukan asal usulnya, baik berupa cerita atau catatan sejarah. Kadang kala kita juga dapat mengetahuinya dari cerita-cerita rakyat dan legenda.<br /><br />a. Baju Doudu<br />Pada kesempatan ini, marilah kita mengetahui sebuah latar belakang mengenai anak-anak bangsa Tionghoa yang memakai Baju Doudu yang telah mengukir kebiasaan pada anak-anak bangsa Tionghoa sampai saat ini.<br />Baju Doudu merupakan baju yang sederhana. Kesan yang ada saat pertama melihat adalah kesederhanaan, namun baju itu membutuhkan waktu untuk membuatnya. Pertama-tama anda harus memasang tali, lalu menggambar dan setelah itu menyulam dengan benang sutera yang berwarna-warni. Pernah juga keindahan baju itu menjadi ukuran keahlian seorang ibu dalam menyulam.<br />Saat ini, Doudu masih merupakan hal yang istimewa pada beberapa daerah, yang dapat menunjukkan kelincahan seorang anak dan kegembiraan menikmati udara sejuk pada musim panas, disamping itu juga merupakan tanda kesopanan dihadapan orang-orang. Tentunya ada satu hal utama yang membuat Doudu menjadi istimewa, semangat turun temurun. Salah satu cerita yang mendasari kejadian tersebut diulas pada tulisan ini.<br />Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu hiduplah seorang janda yang memiliki satu orang anak laki-laki di sebuah desa terpencil. Pada suatu musim dingin, sang ibu terkena penyakit aneh. Satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit itu adalah sejenis ikan merah di sungai. Anak laki-lakinya yang baru berusia 4 tahun terlalu kecil untuk melaksanakan tugas itu. Namun anak itu ingin memperoleh ikan merah tersebut demi menyelamatkan sang ibu tercinta. Sungai yang ada tertutup oleh es yang tebal dan bahkan sangat susah bagi orang dewasa untuk menghadapinya. Anak itu menemukan sebuah cara unik yang diyakini dapat untuk menangkap ikan merah tersebut.<br />Pada alam yang bersalju, anak laki-laki kecil itu telanjang dan duduk pada es di permukaan sungai. Ketika orang-orang ingin mengetahui kenapa anak itu berbuat demikian. Demi mendapatkan ikan dalam es, anak laki-laki itu berusaha mencairkan es menjadi sebuah lubang menggunakan panas tubuhnya. Waktu seakan tidak berakhir, namun anak laki-laki itu terus berusaha.<br />Pada saat anak laki-laki itu sudah tidak dapat melawan dinginnya alam, datanglah seorang tua dengan janggut yang panjang. Orang tua itu memberikan anak tersebut sebuah baju indah, yang akhirnya dikenal dengan nama Baju Doudu, dan meminta anak itu mengenakannya, lalu orang tua itu pergi.<br />Itu adalah pemberian ajaib. Meskipun hanya merupakan sebuah baju kecil, baju tersebut dapat membuat anak laki-laki tersebut tidak kedinginan, kehangatan menyelimuti anak laki-laki itu, bahkan es yang ada lama kelamaan meleleh dan membentuk sebuah lubang.<br />Anak laki-laki itu menangkap ikan merah dan memberikan kepada sang ibu, dan kemudian ibunya dapat sembuh.<br />Cerita keberanian anak laki-laki itu tersebar luas. Dan dikagumi oleh seluruh orang tua.<br />Sejak saat itu, para orang tua mengenakan baju Doudu pada anak-anak mereka. Mereka berharap agar sang anak dapat menjadi anak yang berbakti dan berani menghadapi masalah kehidupan.<br />Berjalannya waktu membuat beberapa perubahan terjadi pada baju Doudu tersebut, termasuk model yang ada. Saat ini baju tersebut hampir bisa dikatakan dibuat seluruhnya oleh mesin produksi.<br /><br />b. Sepatu Harimau<br />Sepatu harimau biasa dipakai pada bayi di beberapa suku bangsa Tionghoa. Seluruh bagian dari sepatu terbuat dari kain dan ujungnya berbentuk kepala harimau. Ada cerita di balik kebiasaan itu.<br />Cerita dari mulut ke mulut mengatakan. Pada jaman dahulu, di kota Yangzhou hidup seorang nelayan bernama Big Yang. Big Yang merupakan orang yang baik hati dan siap menolong siapa saja. Karena kebaikan hatinya, Big Yang mendapatkan sebuah hadiah berupa lukisan dari seorang perempuan yang pernah ditolongnya. Pada lukisan tersebut, seorang wanita cantik sedang menyulam sepasang sepatu berkepala harimau. Big Yang sangat menyukai lukisan tersebut. Setibanya di rumah, Big Yang memasang lukisan itu di tembok.<br />Suatu sore, wanita dalam lukisan itu keluar dari lukisan dan menemui Big Yang. Sejak itu mereka bertemu setiap malam. Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya mereka mempunyai anak yang banyak menambah kebahagiaan.<br />Sayangnya, lukisan yang ada di rebut oleh seorang pejabat serakah yang mendengar cerita mengenai kecantikan wanita dalam lukisan tersebut. Big Yang sangat marah namun tidak dapat berbuat apa-apa. Sang pejabat serakah memasang lukisan tersebut di rumahnya dan menanti kedatangan sang wanita setiap malam. Namun penantian sang pejabat tidak membawa hasil.<br />Sementara itu, sang anak terus menangis karena ditinggal sang Ibu. Big Yang berusaha membuat sebuah cerita bohong bahwa sang Ibu pergi ke barat. Namun sang anak terus memaksa untuk bertemu sang Ibu.<br />Akhirnya sang anak melakukan pengembaraan untuk mencari sang Ibu. Dia berjalan ke arah barat siang dan malam, dan akhirnya dia menemukan sang Ibu pada sebuah kolam bersama-sama dengan peri-peri lain.<br />“Anakku, kamu telah mencariku sampai sejauh ini”, kata sang Ibu sambil menyeka air mata sang anak.<br />“Ibu, ayo kita pulang. Tahukah bahwa aku sangat merindukanmu”, kata sang anak.<br />“Kita tidak akan bisa pulang bersama sampai kamu bisa melihat langsung lukisan Ibu di rumah pejabat serakah itu dan kamu harus memakai sepatu harimau yang Ibu buat untukmu.”<br />“Anakku. Tutuplah matamu dan aku akan mengirim kamu pulang terlebih dahulu.”<br />Pada saat membuka mata, sang anak terkejut menyadari bahwa dirinya sudah berada di rumah. Lalu sang anak mendatangi rumah pejabat yang dimaksud dan mengatakan bahwa dia bisa memanggil wanita dalam lukisan tersebut. Mendengar kabar tersebut, sang pejabat sangat senang karena dia bisa memuaskan apa yang telah diidamkan selama ini.<br />Lalu tanpa membuang-buang waktu, anak tersebut dihantar masuk menuju ruangan tempat dia menggantung lukisan tersebut. Setelah sang anak melihat lukisan sang Ibu, dia berkata kepada lukisan tersebut, “Ibu, ayo kita pergi.”<br />Saat itu juga sang Ibu keluar dari lukisan. Ibu dan anak langsung ingin pulang ke rumah, namun sang pejabat menghalangi mereka. Sang pejabat ingin agar wanita cantik dihadapan dirinya menjadi selirnya, namun ditolak. Sang pejabat sangat marah dan menyerang Ibu dan anak tersebut. Sang anak melawan dengan gagah berani. Ketika mereka sedang bertempur, sepatu yang dikenakan sang anak terlepas secara tidak sengaja dan seketika itu juga berubah menjadi harimau yang besar.<br />Harimau itu lalu meloncat ke arah pejabat yang tidak tahu diri. Panggilan permintaan tolong dan raungan harimau yang marah bercampur jadi satu, yang dapat didengar oleh semua orang di kota Yangzhou.<br />Adalah sepatu harimau yang berhasil menyelamatkan Ibu dan anak tersebut, sehingga satu keluarga dapat bersatu kembali. Sejak saat itu, banyak orang membuat sepatu harimau untuk bayi mereka dengan harapan keluarga dan bayi mereka dilindungi<br /><br />c. Cheongsam<br />Cheongsam adalah pakaian wanita dengan corak bangsa Tionghoa dan menikmati kesuksesan dalam dunia busana internasional.<br />Nama “Cheongsam” berarti “pakaian panjang”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari dialek Propinsi Guangdong (Canton) di Tiongkok. Pada daerah lain, termasuk Beijing, dikenal dengan nama “Qipao”, yang terdapat asal usul dibelakangnya.<br />Pada awal bangsa Manchu (Dinasti Qing) menguasai Tiongkok, mereka mengorganisasi rakyat, terutama bangsa Manchu, ke dalam “panji” (qi) dan disebut “rakyat panji” (qiren), yang lalu menjadi sebutan bagi seluruh bangsa Manchu. Wanita bangsa Manchu mengenakan pakaian yang lalu dinamakan “qipao” atau “pakaian panji”. Revolusi tahun A.D. 1911 menggulingkan kekuasaan bangsa Manchu, namun kebiasaan pakaian wanita bangsa Manchu tetap bertahan, kemudian dikembangkan dan menjadi pakaian tradisional wanita bangsa Cina.<br />Mudah dikenakan dan nyaman, bentuk pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh wanita bangsa Tionghoa. Leher tinggi, lengkung leher baju tertutup, dan lengan baju bisa pendek, sedang atau panjang, tergantung musim dan selera. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar, selayak di pinggang, dan dibelah dari sisi, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita yang mengenakannya.<br />Cheongsam tidak terlalu sudah dibuat. Tidak pula memiliki banyak perlengkapan, seperti sabuk, atau selendang.<br />Kecantikan lain dari Cheongsam adalah dapat dibuat dari berbagai macam bahan dan memiliki keragaman panjang, dapat digunakan secara santai atau resmi. Juga menampilkan kesederhanaan dan keanggunan, kemewahan dan kerapian. Tidak mengherankan banyak disukai oleh wanita, tidak hanya di Tiongkok namun juga di negara-negara lain di dunia.<br /><br />5. AKSARA TIONGHOA<br /> <br />Aksara Tionghoa adalah bentuk-bentuk tertulis bahasa Tionghoa, dan dalam jumlah yang lebih kecil; bahasa Jepang dan bahasa Korea (hanya di Korea Selatan). Aksara Tionghoa telah menghilang dari bahasa Vietnam — di mana mereka digunakan hingga abad ke-20 — dan Korea Utara, di mana mereka telah digantikan sepenuhnya oleh Hangul.<br />Aksara Tionghoa disebut hànzì dalam bahasa Mandarin, kanji dalam bahasa Jepang, hanja atau hanmun dalam bahasa Korea, dan hán tư (juga digunakan dalam tulisan chu nom) dalam bahasa Vietnam.<br />Asal mula aksara mandarin (han zhi) Pada tahun 1899 di An Yang propinsi HeNan ditemukan situs purbakala yang penting, yaitu kota YinXv(dinasti Shang) dan tulisan JiaGuWen. Sejak itu pengetahuan mengenai YinShang memasuki babak baru.<br />Berdasarkan itu , para ahli tulisan kuno beranggapan bahwa tulisan Jia GuWen adalah tulisan purba yang termasuk lengkap dan baik. Hingga hari ini telah diketahui lebih dari 3000 aksara jia guwen, termasuk kata benda , kata kerja , kata ganti , kata kerja pembantu. Ini membuktikan telah adanya susunan tata bahasa. Bahkan bisa dibuat suatu bentuk narasi lebih dari 170 huruf. Dari fakta-fakta ini , para ahli berpendapat bahwa jia guwen bukanlah asal mula aksara mandarin, sebelumnya pasti telah melewati suatu proses yang panjang. <br />Darimana asal mula aksara mandarin , ini telah menimbulkan suatu perdebatan. Sejarawan senior dan ahli bahasa kuno yaitu Guo MoRuo dan Yv ShengWu beranggapan bahwa kelahiran aksara mandarin berasal dari kebudayaan kuno Tiongkok yaitu BanBo YangShao (cat: yang sering disebut YangShao WenHua) yang telah berumur lebih dari 6 ribu tahun. Guo MoRuo beranggapan bahwa 20 hingga 30 ideograph atau simbol yang terdapat di gerabah merupakan cikal bakal aksara mandarin. Demikian pula pendapat Yv ShengWu. Tapi belakangan ini penelitian beberapa ahli beranggapan bahwa tulisan aksara pada YangShao dan kebudayaan Da WenKhou (cat:propinsi ShanDong , Da WenKhou WenHua) tidak memiliki hubungan langsung dengan aksara mandarin, proses perubahan dan pembentukan aksara mandarin berkisar 3000 BC. <br />Pendapat ini menurut Zhang Rong adalah tidak relevan. Perlu diketahui bahwa 7500 tahun yang lampau telah ada sistem pertanian dan peternakan , terutama di sepanjang sungai Chang Jiang. Bahkan pada masa itu jawawut telah digunakan sebagai pakan ternak. Dan banyak ahli telah memiliki suatu pandangan bahwa kisah kaisar purba yaitu Shen Nong dan FuXi merupakan suatu era atau masa. Misalnya sistem penghitungan dan administrasi Fu Xi merupakan sistem yang digunakan para peternak dan petani untuk menghitung dan administrasi. <br />Berdasarkan beberapa penemuan terakhir , awal sejarah aksara mandarin telah berumur 8500 tahun yang lampau. Walau terdapat beberapa perbedaaan kecil antara aksara kebudayaan Yang Shao dan HongShan (CMIIW), tapi ini tidak menjadi suatu rintangan dalam pembentukan Han Zhi. <br />Disini kita bisa mengetahui bahwa ternyata sejarah Han Zhi itu memiliki umur yang panjang <br /><br />Asal mula aksara mandarin (han zhi)<br />Pada tahun 1899 di An Yang propinsi HeNan ditemukan situs purbakala yang penting, yaitu kota YinXv (dinasti Shang) dan tulisan JiaGuWen ? ? ?. Sejak itu pengetahuan mengenai YinShang memasuki babak baru.<br />Berdasarkan itu , para ahli tulisan kuno beranggapan bahwa tulisan Jia GuWen adalah tulisan purba yang termasuk lengkap dan baik.<br />Hingga hari ini telah diketahui lebih dari 3000 aksara jia guwen, termasuk kata benda, kata kerja, kata ganti, kata kerja pembantu. Ini membuktikan telah adanya susunan tata bahasa. Bahkan bisa dibuat suatu bentuk narasi lebih dari 170 huruf.<br />Dari fakta-fakta ini, para ahli berpendapat bahwa jia guwen bukanlah asal mula aksara mandarin, sebelumnya pasti telah melewati<br />suatu proses yang panjang. <br />Darimana asal mula aksara mandarin , ini telah menimbulkan suatu perdebatan. Sejarawan senior dan ahli bahasa kuno yaitu Guo MoRuo dan Yv ShengWu (cat:salah satu telah meninggal) beranggapan bahwa kelahiran aksara mandarin berasal dari kebudayaan kuno Tiongkok yaitu BanBo YangShao (cat:yang sering disebut YangShao WenHua) yang telah berumur lebih dari 6 ribu tahun. Guo MoRuo beranggapan bahwa 20 hingga 30 ideograph atau simbol yang terdapat di gerabah merupakan cikal bakal aksara mandarin. Demikian pula pendapat Yv ShengWu.<br />Tapi belakangan ini penelitian beberapa ahli beranggapan bahwa tulisan aksara pada YangShao dan kebudayaan Da WenKhou (cat:propinsi ShanDong, Da WenKhou WenHua) tidak memiliki hubungan langsung dengan aksara mandarin, proses perubahan dan pembentukan aksara mandarin berkisar 3000 BC.<br /><br />Teka-Teki Aksara Mandarin (1)<br />Penjelasan dan latar belakang bahasa-gambar berusia ribuan tahun Tiongkok<br />Tulisan Mandarin paling kuno terukir pada tulang - ramalan <br />Aksara Mandarin sesuai legendanya diciptakan oleh Cang Jie pada 4000 tahun silam. Di kalangan rakyat Tiongkok terwariskan turun temurun kisah sbb.: „Cang Jie mencipta tulisan, karena itu turun hujan biji jawawut dari langit, dan roh-roh jahat menangis pada tengah malam.“<br />Penulis dan pelukis Zhang Yanyuan menjelaskan pada zaman dinasti Tang (618 - 907) cerita turun temurun itu seperi berikut ini: Langit tidak dapat lagi menyembunyikan rahasiaNya kepada manusia. Melalui belajar tentang tulisan tersebut manusia akan mengenali tanda-tanda rahasia langit. Konon itu adalah sikon kebahagiaan yang sama dan seolah-olah langit telah menjatuhkan biji-bijian jawawut. <br />Roh-roh jahat kini tak dapat lagi bersembunyi, oleh karena umat manusia melalui aksara tersebut, dapat mengenali dasar-dan prinsip-prinsip dunia. Oleh karena itu tidak memungkinkan lagi bagi para roh jahat, menipu dan mendustai umat manusia. Tinggallah bagi roh jahat sebagai pelampiasan, menangis diam-diam pada tengah malam. <br />Aksara Mandarin ialah inti pusaka dari kebudayaan Tionghoa. Orang Tionghoa berpedoman pada „Kemanunggalan antara Tuhan dan manusia“ yang terefleksikan juga oleh aksara Mandarin. Aksara Mandarin berisikan ajaran Yi Jing (baca: Yi Cing), 5 unsur (api, air, kayu, logam, tanah) dan Yin-Yang dari kaum Taois, mereka memuat informasi lengkap dari langit, bumi, manusia, kejadian dan materi, yang keterkaitannya melalui perangkaian goresan-goresan disajikan dalam bentuk grafis. <br />Maka dari itu tercipta peramalan/orakel di Tiongkok kuno yang berbasiskan aksara. Xu Shen (baca: Su Shen), seorang peneliti aksara Mandarin pada zaman dinasti Han Timur (25-220) telah menganalisa struktur aksara Mandarin berdasarkan basis dari ajaran Yi Jing dan 5 unsur dan mengarang buku terpenting tentang aksara Mandarin berjudul „Penjelasan Tulisan dan Analisa Pictogram [Shuo Wen Jie Zi].“<br />Di dalam bukunya, Xu Shen membagi aksara Mandarin dalam 6 kategori: Xiàngxíng (baca: Siang Sing), „Pictogram“, yang diilustrasikan sesuai wujud tampilannya (misalkan: Shan = gunung); Zhǐshì, „Pemaknaan (suatu) keadaan“ – simbol, ideogram; Huìyì, „Kesatuan arti“ – aksara, yang terdiri dari dua atau beberapa tanda dipersatukan dengan berbagai arti dan isinya berkaitan dengan isi baru secara keseluruhan; Xíngsheng, “Bentuk dan bunyi” – goresan yang dipersatukan dan terdiri dari tanda bunyi dan tanda indikasi-arti (Phonogramme). Salah satu contohnya ialah aksara Ma (mama). Komponen sebelah kanan (mǎ = kuda) memberikan lafal, sementara itu komponen sebelah kiri (nǚ = perempuan) menunjukkan artinya. Komponen-komponen yang bermuatan arti sering kali juga merupakan radikal yang disusun seseuai tandanya di dalam kamus; Jiǎjiè, „dibawah sebutan palsu“ – aksara, yang dengan lafal sama tapi dipergunakan untuk pengertian yang beda; Zhuǎnzhù, „Memutar dan menuangkan“ – sinonimSekitar 90% dari keseluruhan aksara Mandarin ter-kategori sebagai phonogram di grup Xingsheng „Bentuk dan Bunyi“. <br /><br />Laki-Laki Dan Perempuan<br />Tanda ini 男berarti laki-laki. Aksara ini lagi-lagi terdiri dari gabungan 2 aksara. Goresan di bagian paruh atas – berarti Sawah, sedangkan bagian paruh bawah – berarti tenaga. Lelaki adalah sebagai tenaga, yang bekerja di sawah, bisa dimaklumi, begitulah penjelasan dari kamus asal usul bahasa Tionghoa „Penjelasan aksara dan analisa tulisan [Shuo Wen Jie Zi]“ tentang arti aksara lelaki. Tiongkok kuno disebutkan: “Lelaki mengatur urusan di luar” – maka dari itu pekerjaan di sawah, pemimpin militer, pegawai dan melakukan perdagangan termasuk urusan kaum lelaki. Seorang lelaki pertama-tama ialah putra dari orang tuanya; kemudian, jikalau ia menikah, ia lelakinya si istri, dan apabila keduanya beranak-pinak, sebagai bapak dari anak-anaknya.<br />Semua tulisan, yang terdiri dari, pasti segala sesuatunya berhubungan dengan wanita, seperti (Qi/isteri), (Fu/ibu rumah tangga) dan (Mu/ibu). Dalam pada itu tulisan (Qi/isteri), bagian atasnya terdiri dari Sapu, dan bagian bawah dari (wanita), digabungkan, menjadi istri, yang memegang sapu di tangan. Dibandingkan dengan para lelaki, para wanita pada zaman Tiongkok kuno mengatur urusan dalam rumah tangga, seperti memasak, membersihkan dan menjahit. <br /><br />Yi = Keadilan, Kejujuran, Kesetiaan<br />Yi , mempunyai arti luas, seperti keadilan, kejujuran, setia, pemenuhan janjinya sendiri. Aksara itu terdiri dari bagian paruh atas 羊 (kambing) dan aksara bagian bawah ialah (saya). Kambing bersifat penurut dan baik hati, daging kambing terasa enak dan bergizi. Maka dari itu kambing di zaman dulu ialah simbol dari rezeki dan kebaikan. Manusia menggunakan daging kambing sebagai hewan kurban, untuk ber-terimakasih kepada bumi, langit dan dewata. (saya) asalnya dari tulisan ramalan pada tulang dan disitu berarti alat bertempur dengan gigi gergaji. saya adalah kambing, berarti, bahwa diri sendiri dapat berkorban demi keadilan, persis seperti ketika orang mengkurbankan daging kambing kepada Tuhannya. Dengan aksara seharusnya orang menyadari, kesiapan seseorang untuk memiliki dan bagaimana orang seharusnya menjalani kehidupannya. Oleh karena itu termasuk bagian kategori „Zhiyi" – „Persatuan arti“ – aksara, yang terdiri dari dua atau beberapa aksara dengan gabungan dari arti-kata yang berbeda-beda dan pengertiannya berkaitan dengan pengertian menyeluruh sebagai akumulasi darinya.<br /><br />Teka-Teki Aksara Mandarin (2)<br />(Yao) – Jamu, Pengobatan, Ketabiban, Obat<br /> Aksara Yao 藥dalam bahasa Tionghoa memiliki makna-makna: jamu, pengobatan, ketabiban, obat. Di dalam mitologi Tiongkok disebutkan bahwa Shen Nong, petani setengah dewata, melalui eksperimen kepada diri sendiri, telah menemukan khasiat ratusan tanaman herbal. Dari situ diwariskan, bahwa tanaman (Cao/baca: Jao) dapat menyembuhkan. Akan tetapi disamping ideogram (Tulisan atau simbol yang bermakna sama, biasanya dengan bentuk lebih ringkas) pada paro atasnya untuk tanaman yakni: paro bawah dari aksara tersebut, yakni: (le atau Yue) disamping bermakna: Kegembiraan dan suka-cita, juga berarti: Musik. Di dalam metode pengobatan Tionghoa, selain penggunaan ekstrak/sari tanaman herbal juga penggunaan musik berperan cukup penting.<br />Sesuai mitologi Tiongkok pada suatu ketika kaisar Kuning - Huang Di (baca: Huang Ti) ditantang oleh penentangnya: Chi You. Mengikuti petunjuk dari mimpi, kaisar Kuning mempergunakan genderang kulit sapi, untuk menundukkan lawan terbesarnya yang juga dipersenjatai dengan meriam besi dan perunggu. Bukan hanya serdadu Chi You yang bergelimpangan pingsan dan tewas secara massal, juga pasukan dari kaisar berada dalam kondisi sekarat. Pada akhirnya seorang pakar musik dari sang kaisar dengan menggunakan busur dari serdadu yang dikencang-tegangkan dengan sebatang kayu memainkan musik yang digandrungi oleh para serdadu Huang Di dan memberikan kepada mereka energi kehidupan baru. <br />Semenjak saat itu pengobatan Tiongkok juga dikaitkan/tertanam dengan pemahaman ini. Penggunaan musik sebagai penyembuh diwakili juga oleh aksara (Bai/baca: Pai) yang terletak di tengah-tengah aksara Yao. Bukannya Bai (baca: Pai) bermakna warna Putih sesuai lafal yang diucapkan, tetapi dalam hal ini bermakna: Plektron, suatu jenis alat musik yang untuk membunyikannya memerlukan pemetikan dawai-dawai. <br /><br />6. BAHASA<br />1) Bahasa Tionghoa<br />Bahasa Tionghoa<br />Dituturkan di: Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan komunitas Tionghoa lainnya di seluruh dunia<br />Wilayah: <br />Jumlah penutur: 1,2 miliar<br />Urutan ke:<br />1 (jika dianggap satu bahasa)<br />Klasifikasi rumpun bahasa:<br />Sino-Tibet<br /> Bahasa Tionghoa<br />Status resmi<br />Bahasa resmi di: Tiongkok, Taiwan, Singapura<br /><br />Diatur oleh: di Tiongkok: berbagai badan(dalam bahasa Tionghoa)<br />di Taiwan: Mandarin Promotion Council<br /><br />Kode bahasa<br />ISO 639-1<br />zh<br />ISO 639-2 chi (B) / zho (T)<br />SIL<br />--<br />Lihat pula: Bahasa - Daftar bahasa<br /><br /> <br />Bentuk karakter cetak kuno dari zhongwen<br />Bahasa Tionghoa (pinyin: hànyǔ, huáyǔ, atau zhōngwén) adalah bagian dari kelompok bahasa Sino-Tibet. Meskipun kebanyakan orang Tionghoa menganggap berbagai varian bahasa Tionghoa lisan sebagai satu bahasa, variasi dalam bahasa-bahasa lisan tersebut sebanding dengan variasi-variasi yang ada dalam bahasa Roman; bahasa tertulisnya juga telah berubah bentuk seiring dengan perjalanan waktu, meski lebih lambat dibandingkan dengan bentuk lisannya, dan oleh sebab itu mampu melebihi variasi-variasi dalam bentuk lisannya.<br />Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa Tionghoa sebagai penutur asli - bahasa Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di dunia. Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin) adalah bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa resmi Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB.<br />Istilah dan konsep yang digunakan orang Tionghoa untuk berpikir tentang bahasa berbeda dengan yang digunakan orang-orang Barat; ini disebabkan oleh efek pemersatu aksara Tionghoa yang digunakan untuk menulis dan juga oleh perbedaan dalam perkembangan politik dan sosial Tiongkok dibandingkan dengan Eropa. Tiongkok berhasil menjaga persatuan budaya dan politik pada waktu yang bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Romawi, masa di mana Eropa terpecah menjadi negara-negara kecil yang perbedaannya ditentukan oleh bahasa.<br />Sebuah perbedaan utama antara konsep Tiongkok mengenai bahasa dan konsep Barat akan bahasa, ialah bahwa orang-orang Tionghoa sangat membedakan bahasa tertulis (wen) dan bahasa lisan (yu). Pembedaan ini diperluas sampai menjadi pembedaan antara kata tertulis (zi) dan kata yang diucapkan (hua). Sebuah konsep untuk sebuah bahasa baku yang berbeda dan mempersatukan bahasa lisan dengan bahasa tertulis ini dalam bahasa Tionghoa tidaklah terlalu menonjol. Ada beberapa varian bahasa Tionghoa lisan, di mana bahasa Mandarin adalah yang paling penting dan menonjol. Tetapi di sisi lain, hanya ada satu bahasa tertulis saja. (Lihat paragraf di bawah ini).<br />Bahasa Tionghoa lisan adalah semacam bahasa intonasi yang berhubungan dengan bahasa Tibet dan bahasa Myanmar, tetapi secara genetis tidak berhubungan dengan bahasa-bahasa tetangga seperti bahasa Korea, bahasa Vietnam, bahasa Thailand dan bahasa Jepang. Meskipun begitu, bahasa-bahasa tersebut mendapat pengaruh yang besar dari bahasa Tionghoa dalam proses sejarah, secara linguistik maupun ekstralinguistik. Bahasa Korea dan bahasa Jepang sama-sama mempunyai sistem penulisan yang menggunakan aksara Tionghoa, yang masing-masing dipanggil Hanja dan Kanji. Di Korea Utara, Hanja sudah tidak lagi digunakan dan Hangul ialah satu-satunya cara untuk menampilkan bahasanya sementara di Korea Selatan Hanja masih digunakan. Bahasa Vietnam juga mempunyai banyak kata-kata pinjam dari bahasa Tionghoa dan pada masa dahulu menggunakan aksara Tionghoa.<br /><br />• Bahasa Tionghoa tertulis<br />Bahasa Tionghoa tertulis menggunakan aksara-aksara Han (漢字/汉字 pinyin hànzì), yang dinamakan dari kebudayaan Han yang merupakan sumber dari bahasa ini. Huruf Tionghoa sepertinya berasal dari dinasti Shang sebagai piktogram yang menggambarkan benda nyata. Contoh-contoh pertama dari huruf Tionghoa adalah tulisan/gambaran pada tulang ramalan (oracle bones), yang kadang-kadang berupa domba scapula tetapi seringkali berupa kura-kura plastron yang digunakan untuk meramal. Dalam periode zaman dinasti Zhou dan Han, huruf-huruf ini berubah menjadi lebih bergaya. Selain itu, terdapat juga komponen-komponen tambahan yang ditambahkan sehingga banyak karakter huruf memiliki satu elemen yang memberikan tanda (atau dulunya memberikan tanda) untuk pengejaan, dan sebuah komponen lain (yang disebut "radikal") memberikan tanda untuk kategori artian umum yang menunjukkan arti dari kata tersebut. Di dalam bahasa Tionghoa modern, mayoritas huruf-huruf berbasis fonetik (bunyi) dan bukan berbasis logografik (gambaran). Sebagai sebuah contoh, karakter huruf 按 àn yang berarti "mendorong ke bawah", mengandung 安 an (damai), yang berfungsi sebagai komponen fonetik dari kata tersebut, dan 手 shǒu (tangan), yang menandakan bahwa itu merupakan suatu pekerjaan yang pada umumnya menggunakan tangan.<br />Terdapat banyak gaya kaligrafi Tiongkok yang berkembang selama berabad-abad, misalnya zhuanshu , caoshu, lishu dan kaishu.<br />Di Jepang dan Korea, aksara Han diadopsi dan diintegrasikan ke dalam bahasa mereka dan menjadi Kanji dan Hanja. Jepang masih menggunakan Kanji sebagai bagian yang penting dalam sistem penulisan mereka namun penggunaan Hanja telah berkurang banyak di Korea (di Korea Utara sudah tidak digunakan sama sekali).<br />Dalam bidang perangkat lunak komputer dan internasionalisasi komunikasi, CJK adalah istilah kolektif untuk bahasa Tionghoa, bahasa Jepang dan bahasa Korea, dan istilah CJKV yang lebih jarang dipakai merujuk kepada kumpulan yang sama ditambah bahasa Vietnam; kesemuanya merupakan bahasa byte-ganda, karena mempunyai lebih dari 256 karakter di dalam "alfabet" mereka. Pemrosesan aksara Tionghoa yang dikomputerisasi melibatkan beberapa masalah khusus di input dan skema pengkodean aksara, karena keyboard standar dengan 100 lebih karakter tidak mampu memasukkan karakter sebanyak itu dengan menekan sebuah tombol sekali.<br />Sistem penulisan bahasa Tionghoa sebagian besar adalah logografis, artinya setiap aksara mengekspresikan sebuah bagian kata yang merupakan suku kata tunggal. 90% daripada bagian-bagian kata dalam bahasa Tionghoa adalah bersuku kata tunggal. Tetapi mayoritas kata-kata modern mempunyai suku kata lebih dari satu (multisyllabic) dan multigrafis. Kata-kata multisyllabic mempunyai logogram terpisah untuk setiap suku kata. Beberapa - bukan semua - aksara Han adalah ideograf, namun kebanyakan aksara Han mempunyai bentuk yang berdasarkan pengucapannya daripada artinya, jadi mereka tidak langsung mengekspresikan idenya.<br /><br />• Bahasa Tionghoa lisan<br />Kebanyakan pakar bahasa menganggap semua varian bahasa Tionghoa sebagai bagian dari rumpun bahasa Sino-Tibet dan mereka percaya bahwa dahulu kala pernah ada sebuah bahasa proto yang mirip situasinya dengan bahasa proto Indo-Eropa di mana semua bahasa-bahasa Tionghoa, Tibet dan Myanmar adalah bahasa turunannya. Relasi antara bahasa Tionghoa, di satu sisi dengan bahasa Sino-Tibet lainnya masih belum begitu jelas berbeda dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa. Para pakar masih secara aktif merekonstruksi bahasa proto Sino-Tibet. Kesulitan utamanya ialah bahwa meskipun banyak sekali dokumentasi di mana kita bisa merekonstruksi bunyi-bunyi bahasa Tionghoakuna, tidak ada dokumentasi mengenai sejarah perkembangan dari bahasa proto Sino-Tibet menjadi bahasa-bahasa Tionghoa. Selain itu banyak bahasa yang bisa membantu kita merekonstruksi bahasa proto Sino-Tibet, kurang didokumentasikan dan masih belum dikenal dengan baik.<br /><br /> Hubungan antara Bahasa Tionghoa Lisan dan Tertulis<br />Hubungan antara bahasa Tionghoa lisan dan tertulis cukup kompleks - kompleksitas hubungan ini makin dipersulit dengan adanya bermacam-macam variasi bahasa Tionghoa lisan yang telah melewati evolusi selama berabad-abad sejak setidaknya zaman akhir-dinasti Han. Meskipun begitu, bentuk tulisannya tidak mengalami perubahan yang sebesar itu.<br />Hingga abad ke-20, kebanyakan tulisan Tionghoa yang formal berbentuk Tionghoa Klasik (wenyan) yang sangat berbeda dari semua varian lisan Tionghoa seperti halnya bahasa Latin Klasik berbeda dari bahasa Roman modern. Aksara Tionghoa yang lebih mirip dengan bahasa lisannya digunakan untuk menulis karya-karya informal seperti novel-novel yang mengandung bahasa sehari-hari.<br />Sejak Gerakan 4 Mei (1919), standar formal tulisan Tionghoa adalah baihua (Bahasa Tionghoa Vernakular), yang mempunyai tata bahasa dan kosa kata yang mirip - namun tidak sama - dengan tata bahasa dan kosa kata bahasa Tionghoa lisan modern. Meskipun hanya sedikit karya baru yang ditulis dalam Tionghoa Klasik, Tionghoa Klasik masih dipelajari di tingkat SMP dan SMU di Tiongkok dan menjadi bagian dari ujian tes masuk universitas.<br />Aksara Tionghoa adalah huruf-huruf yang tidak berubah meskipun cara pengucapannya berbeda. Jadi meskipun "satu" dalam bahasa Mandarin adalah "yi", dalam bahasa Kantonis adalah "yat" dan dalam bahasa Hokkien adalah "tsit/cit", mereka semua berasal dari satu kata Tionghoa yang sama dan masih menggunakan satu huruf yang sama: 一. Namun demikian, cara penggunaan huruf-huruf tersebut tidak sama dalam setiap dialek Tionghoa. Kosa kata yang digunakan dalam dialek-dialek tersebut juga telah diperluas. Selain itu, meski kosa kata yang digunakan dalam karya sastra masih sering mempunyai persamaan antara dialek-dialek yang berbeda (setidaknya dalam penggunaan hurufnya karena cara bacanya berbeda), kosa kata untuk bahasa sehari-hari seringkali mempunyai banyak perbedaan.<br />Interaksi yang kompleks antara bahasa Tionghoa tertulis dan lisan bisa digambarkan melalui bahasa Kantonis. Terdapat dua bentuk standar yang digunakan untuk menulis bahasa Kantonis: Kantonis tertulis formal dan Kantonis tertulis biasa (bahasa sehari-hari). Kantonis tertulis formal sangat mirip dengan bahasa Tionghoa tertulis dan bisa dimengerti oleh seorang penutur bahasa Tionghoa tanpa banyak kesulitan, namun Kantonis tertulis formal cukup berbeda daripada Kantonis lisan. Kantonis tertulis biasa lebih mirip dengan Kantonis lisan tapi sulit dimengerti oleh penutur bahasa Tionghoa yang belum terbiasa.<br />Bahasa Kantonis mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah non-Tionghoa lainnya karena mempunyai bentuk tulisan standar yang digunakan secara luas. Bahasa-bahasa daerah lainnya tidak mempunyai bentuk tulisan standar alternatif seperti Kantonis namun mereka menggunakan huruf-huruf lokal atau menggunakan huruf-huruf yang dianggap kuno di "baihua".<br />Selain bahasa diatas, ada pula jenis bahasa Tionghoa lain yang dituturkan seperti bahasa Hakka atau khek dan bahasa Tiochiu.<br /><br />• Bahasa Tionghoa Klasik<br />Bahasa Tionghoa Klasik atau Bahasa Tionghoa Sastra adalah sebuah gaya tradisional dari bahasa Tionghoa Tertulis yang didasarkan pada tatabahasa dan kosakata bahasa Tionghoa Kuna, sehingga membuatnya berbeda dari semua bentuk bahasa Tionghoa lisan. Namun perbedaan antara bahasa klasik sastra dan bahasa umum sastra tidak besar. Bahasa Tionghoa Klasik suatu ketika dipakai untuk segala bentuk korespondensi resmi sampai awal abad ke-20, tidak hanya di Tiongkok saja tapi (selama beberapa lama pada masa yang berbeda-beda) juga di Korea, Jepang, dan Vietnam. Di antara penutur bahasa Tionghoa, bahasa Tionghoa Klasik terutama sudah diganti perannya oleh bahasa Tionghoa sehari-hari(báihuà). Bahasa ini memiliki gaya penulisan yang mirip dengan bahasa Mandarin modern, sementara para penutur non-bahasa Tionghoa ini sekarang telah meninggalkan bahasa Tionghoa Klasik dan menggunakan bahasa mereka sendiri.<br /><br />• Bahasa Tionghoa Kuno<br /> <br />Bahasa Tionghoa Kuna (sederhana; tradisional; pinyin: shànggǔ hànyǔ), atau Bahasa Tionghoa Arkais seperti digunakan oleh ahli linguis Bernhard Karlgren, merujuk kepada bahasa Tionghoa yang dipertuturkan dari masa Dinasti Shang (berakhir pada sekitar tahun 1045 SM menurut penelitian terkini), sampai ke masa Dinasti Han pertama (206 SM sampai 9 M). Ada beberapa sub-periode yang berbeda dalam waktu lama ini. Istilah ini yang beroposisi dengan bahasa Tionghoa Pertengahan dan bahasa Tionghoa Modern, biasanya dipakai dalam bidang fonologi sejarah bahasa Tionghoa, yang mencoba merekonstruksi pengucapan bahasa Tionghoa Kuna.<br />Karena bahasa Tionghoa Kuna merupakan bahasa yang dipertuturkan oleh bangsa Tionghoa ketika karya-karya sastra seperti Si Shu ditulis dan merupakan bahasa resmi kekaisaran Dinasti Qin yang dipersatukan dan Dinasti Han yang berlanjut lama, maka bahasa Tionghoa Kuna dilestarikan selama 2.000 tahun sebagai bahasa Tionghoa Klasik, sejenis gaya penulisan bahasa Tionghoa yang mencoba meniru tatabahasa dan kosakata bahasa Tionghoa Kuna seperti tertulis di karya-karya sastra di atas ini.<br />Bahasa Tionghoa Klasik digunakan selama 2.000 tahun sebagai bahasa resmi tidak hanya di Tiongkok saja, tapi juga di Korea, Jepang, dan Vietnam. Walau begitu banyak terdapatkan variasi pula dalam bahasa ini, terutama berdasarkan fakta kapan dan di mana karya sastra tertentu ditulis. Lalu bahasa Tionghoa Klasik yang ditulis agak mutakhir ini dan juga yang ditulis di luar Tiongkok kemungkinan besar agak sulit dimengerti oleh orang-orang yang hidup pada masa Kong Hu Cu.<br /><br />Fonologi<br />Karena bahasa Tionghoa ditulis menggunakan karakter logografis, bukan huruf, maka tidaklah mudah bagi orang Tionghoa untuk mengamati bahwa bunyi-bunyi bahasa ini telah berubah. Kisah cerita rekonstruksi bahasa Tionghoa Kuna bermula dengan resitasi Shijing, khazanah sajak tertua dan termulia di Tiongkok. Beberapa generasi sastrawan Tiongkok terheran-heran bahwa banyak bait-bait Shijing tidaklah berima secara halus. Mereka tidak mengerti bahwa bunyi-bunyi bahasa Tionghoa telah lama bergeser. Ilmuwan seperti Zhu Xi mengusulkan bahwa orang-orang kuna ini memiliki cara tersendiri untuk meresitasikan sajak: mereka akan mengubah pembacaan sebuah karakter secara sementara supaya sesuai dengan kaidah rima metrum. Resitasi semacam ini disebut xieyin (harafiah "harmonisasi bunyi").<br />Jiao Hong dan Chen Di dari Dinasti Ming merupakan yang pertama yang secara koheren menyatakan bahwa bait-bait Shijing ini tidak berima karena bunyinya telah bergeser. Rekonstruksi bahasa Tionghoa Kuna dimulai ketika Gu Yanwu dari Dinasti Qing membagi bunyi-bunyi bahasa Tionghoa Kuna menjadi 10 kelompok suku kata (yunbu). Ilmuwan Qing lain mengikuti langkap Gu dan memperhalus pembagian ini. Ilmuwan bahasa Tionghoa yang berasal dari Swedia, Bernhard Karlgren, merupakan yang pertama yang bisa merekonstruksi bahasa Tionghoa Kuna dengan huruf Latin (bukan IPA).<br />Bunyi bahasa Tionghoa Kuna sulit untuk direkonstruksi, karena sistem penulisan bahasa Tionghoa yang tidak berdasarkan pengucapan seperti sebuah alfabet. Para ilmuwan yang mencoba merekonstruksi fonologi bahasa Tionghoa Kuna harus menggunakan bukti tidak langsung. Mereka terutama mempelajari teks-teks berima dari masa pra-Qin, terutama Shijing, dan petunjuk dari fakta bahwa karakter-karakter yang memiliki komponen fonetis yang sama, dahulu adalah homofon atau hampir-homofon ketika karakter-karakter ini diciptakan.<br />Walau begitu masih banyak pertentangan mengenai fonologi bahasa Tionghoa Kuna. Dewasa ini para pakar telah setuju bahwa bahasa Tionghoa Kuna memiliki gugusan konsonan seperti *kl- dan *gl-, yang tidak ada pada dialek-dialek modern. Namun, isyu-isyu di bawah ini masih diperdebatkan:<br />• bahwa bahasa Tionghoa Kuna memiliki konsonan yang difaringalisasikan atau ciri khas aneh/langka lainnya[1] <br />• bahwa bahasa Tionghoa Kuna tidak monosilabis (ekasukukata). <br />• bahwa bahasa Tionghoa Kuna Awal bukan sebuah bahasa bernada. <br />Nada-nada dalam bahasa Tionghoa Pertengahan berkembang dari konsonan-konsonan Tionghoa Kuna yang telah bergeser bunyinya atau bahkan hilang. <br /><br />Kosakata<br />Pendapat tradisional ialah bahwa bahasa Tionghoa merupakan bahasa analitis tanpa infleksi atau tasrifan. Namun semenjak studi pelopor Henri Maspero,[2] telah ada beberapa ilmuwan yang secara serius mempelajari morfologi bahasa Tionghoa Kuna. Sagart (1999) memberikan ringkasan dari usaha-usaha ini.<br />Tatabahasa<br />Tatabahasa Tionghoa Kuna tidaklah sama dengan tatabahasa Tionghoa Klasil. Banyak kebiasaan yang ditemukan pada bahasa Tionghoa Klasik, tidak ada pada bahasa Tionghoa Kuna. Sebagai contoh, kata (qí) bisa dipakai sebagai kata ganti pronomina ketiga (ia) dalam bahasa Tionghoa Klasik, tetapi tidak dalam bahasa Tionghoa Kuna di mana kata ini hanya digunakan sebagai adjektiva posesif atau kata ganti kepemilikan ketiga (-nya).<br />Dalam bahasa Tionghoa Kuna tidak ada kopula, kopula (shì) di bahasa Tionghoa Pertengahan dan Modern adalah sebuah kata tunjuk dalam bahasa Tionghoa Kuna ("ini", yang sama dengan (zhè) dalam bahasa Tionghoa Modern).<br /><br />Perkembangan Bahasa Tionghoa<br />Kategorisasi perkembangan bahasa Tionghoa masih menjadi perdebatan di antara para ahli-ahli bahasa. Salah satu sistem yang pertama diciptakan oleh ahli bahasa Swedia bernama Bernhard Karlgren; sistem yang sekarang dipakai merupakan revisi dari sistem ciptaannya.<br />Bahasa Tionghoa Lama adalah bahasa yang umum pada zaman awal dan pertengahan dinasti Zhou (abad ke-11 hingga 7 SM) - hal ini dibuktikan dengan adanya ukiran pada artifak-artifak perunggu, puisi Shijing, sejarah Shujing, dan sebagian dari Yijing (I Ching). Tugas merekonstruksi Bahasa Tionghoa Lama dimulai oleh para filologis dinasti Qing. Unsur-unsur fonetis yang ditemukan dalam kebanyakan aksara Tionghoa juga menunjukkan tanda-tanda cara baca lamanya.<br />Bahasa Tionghoa Pertengahan adalah bahasa yang digunakan pada zaman dinasti Sui, dinasti Tang dan dinasti Song (dari abad ke-7 hingga 10 Masehi). Bahasa ini dapat dibagi kepada masa awalnya - yang direfleksikan oleh tabel rima Qieyun (601 M) dan masa akhirnya pada sekitar abad ke-10 - yang direfleksikan oleh tabel rima Guangyun. Bernhard Karlgren menamakan masa ini sebagai 'Tionghoa Kuno'. Ahli-ahli bahasa yakin mereka dapat membuat rekonstruksi yang menunjukkan bagaimana bahasa Tionghoa Pertengahan diucapkan. Bukti cara pembacaan bahasa Tionghoa Pertengahan ini datang dari berbagai sumber: varian dialek modern, kamus-kamus rima, dan transliterasi asing. Sama seperti bahasa Proto-Indo-Eropa yang bisa direkonstruksi dari bahasa-bahasa Eropa modern, bahasa Tionghoa Pertengahan juga bisa direkonstruksi dari dialek-dialek modern. Selain itu, filologis Tionghoa zaman dulu telah berjerih payah dalam merangkum sistem fonetis Tionghoa melalui "tabel rima", dan tabel-tabel ini kini menjadi dasar karya ahli-ahli bahasa zaman modern. Terjemahan fonetis Tionghoa tehadap kata-kata asing juga memberikan banyak petunjuk tentang asal-muasal fonetis bahasa Tionghoa Pertengahan. Meskipun begitu, seluruh rekonstruksi bahasa tersebut bersifat sementara; para ahli telah membuktikan misalnya, melakukan rekonstruksi bahasa Kantonis modern dari rima-rima musik Kantonis (Cantopop) modern akan memberikan gambaran yang sangat tidak tepat mengenai bahasanya.<br />Perkembangan bahasa Tionghoa lisan sejak masa-masa awal sejarah hingga sekarang merupakan perkembangan yang sangat kompleks. Klasifikasi di bawah menunjukkan bagaimana kelompok-kelompok utama bahasa Tionghoa berkembang dari satu bahasa yang sama pada awalnya.<br /> <br />Hingga pertengahan abad ke-20, kebanyakan orang Tiongkok yang tinggal di selatan Tiongkok tidak dapat berbahasa Tionghoa. Bagaimanapun juga, walaupun adanya campuran antara pejabat-pejabat dan penduduk biasa yang bertutur dalam berbagai dialek Tionghoa, Mandarin Nanjing menjadi dominan setidaknya pada masa dinasti Qing yang menggunakan bahasa Manchu sebagai bahasa resmi. Sejak abad ke-17, pihak Kekaisaran telah membentuk Akademi Orthoepi (Zhengyin Shuyuan) dalam usaha untuk membuat cara pembacaan mengikuti standar Beijing (Beijing adalah ibukota Qing), namun usaha-usaha tersebut kurang berhasil. Mandarin Nanjing akhirnya digantikan penggunaannya di pengadilan kekaisaran dengan Mandarin Beijing dalam 50 tahun terakhir dinasti Qing pada akhir abad ke-19. Bagi para penduduk biasa, meskipun berbagai variasi bahasa Tionghoa telah dituturkan di Tiongkok pada waktu itu, bahasa Tionghoa yang standar masih belum ada. Penutur-penutur non-Tionghoa di selatan Tiongkok juga terus berkomunikasi dalam dialek-dialek daerah mereka dalam segala aspek kehidupan.<br />Keadaan berubah dengan diciptakannya (di Tiongkok dan Taiwan) sistem pendidikan sekolah dasar yang mempunyai komitmen dalam mengajarkan bahasa Tionghoa. Hasilnya, bahasa Tionghoa sekarang dituturkan dengan lancar oleh hampir semua orang-orang di Tiongkok Daratan dan Taiwan. Di Hong Kong, bahasa pendidikan masih tetap bahasa Kantonis namun bahasa Tionghoa semakin menunjukkan kepentingannya.<br /><br />2) Bahasa HAN<br />Bahasa Tionghoa (Hua Yu) yang kita kenal sebenarnya adalah bahasa Han (Han Yu). Selain itu, bahasa Han juga dikenal dengan sebutan bahasa nasional (Guo Yu), bahasa China (Chung Wen). Bahasa ini karena penggunaannya sangat luas sehingga juga mempengaruhi bahasa lainnya di sekitarnya seperti bahasa Jepang, Vietnam dan Korea yang masih mempergunakan banyak frase dan tulisan Han dalam bahasa mereka. <br />Bahasa Han adalah salah satu dari bahasa piktograf dunia yang berkembang sempurna. Walaupun pelafalan (prononsiasi) tiap2 dialek sangat berbeda namun dalam penulisannya (literatur), bahasa Han mempunyai tata dan struktur bahasa yang sama. Sebelum peristiwa 4 Mei (Wu Shi Yun Dong) tahun 1919, literatur (penulisan) karakter bahasa Han disebut "Wen Yan" atau literatur klasik dan setelah itu, bahasa Han dalam tulisan yang kita kenal sekarang adalah bentuk "Bai Hua" atau bentuk umum yaitu bahasa yang dipergunakan sehari2. "Bai Hua Wen" ini didasarkan atas tata bahasa Han dialek Utara. <br />Bahasa Han yang kita kenal sebagai bahasa Mandarin sekarang menggunakan dialek Beijing sebagai dasar pelafalan (intonasi), kosa kata dan tata bahasa. Sekarang ini digunakan sebagai bahasa resmi di Mainland China, Taiwan dan Singapura. Sedangkan HK dan Macau menggunakan dialek Kanton sebagai bahasa resmi mereka selain bahasa Inggris dan Portugis. Namun dalam literatur, Mainland China dan Singapura menggunakan Simplified Chinese (Jian Ti Zih) sedangkan Taiwan, HK dan Macau menggunakan Traditional Chinese (Fan Ti Zih). Simplified Chinese diperkenalkan oleh pemerintah Komunis pada tahun 50-an sebagai penyederhanaan dari Traditional Chinese. <br />Karena wilayah Tiongkok yang luas, walaupun literatur yang dipergunakan ada keseragaman dan bisa dimengerti oleh semua orang Chinese di baik di utara maupun selatan, namun dalam perkembangannya, pelafalan dan logat yang berbeda menghasilkan dialek yang berbeda juga. Malah bila sekilas didengar, maka setiap dialek sama sekali tak ada hubungannya dengan dialek lain maupun bahasa Han itu sendiri. Di utara, penduduk yang menggunakan bahasa Han dialek utara walaupun terpisah ratusan kilometer, masih bisa saling mengerti satu sama lain. Namun, di selatan terutama di propinsi Fujian, kadang2 penduduk yang sama2 menggunakan bahasa Min (Hokkian) yang terpisah puluhan kilometer antara satu desa dengan desa lainnya tak dapat mengerti satu sama lain, inilah yang dibahas dalam tulisannya tentang logat2 dalam dialek Hokkian. <br /><br />3) Bahasa Hakka<br />Bahasa Hakka (Hanzi: Pinyin: Kèjiāhuà; secara harafiah berarti "bahasa keluarga tamu") atau di Indonesia umumnya dipanggil Khek adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Hakka yang merupakan suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di Tiongkok. Masing-masing daerah ini juga memiliki khas dialek Hakka yang agak berbeda tergantung provinsi dan juga bagian gunung sebelah mana mereka tinggal.<br />Bahasa Hakka<br />Dituturkan di: Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan komunitas Tionghoa Hakka lainnya di seluruh dunia<br />Wilayah: Sebagian besar pegunungan di timur laut, timur dan selatan Provinsi Guangdong, barat daya dan selatan Fujian dan tenggara Guangxi di Tiongkok<br /><br />Jumlah penutur: 34 juta<br />Urutan ke:<br />30<br />Klasifikasi rumpun bahasa:<br />Sino-Tibet<br /> Bahasa Tionghoa<br /> Bahasa Hakka<br /><br />4) Bahasa Hokkien<br />Bahasa Hokkien atau bahasa Hokkian (Sederhana: 闽南语, Tradisional: 閩南語) yang kita kenal sebenarnya adalah dialek Min Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas di provinsi Fujian (Hokkien), Taiwan (Taiwan), sebelah utara Guangdong (Kengtang) dan di Asia Tenggara di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Bahasa Hokkian juga dikenal sebagai bahasa Holo di daratan Tiongkok dan Taiwan.<br />Bahasa Hokkien ini sendiri terbagi atas banyak logat di antaranya logat Ciangciu (Zhangzhou), logat Cuanciu (Quanzhou) dan logat Emui (Xiamen, dulu Amoy). Bahasa Tiochiu (Chaozhou) adalah juga salah satu logat dalam bahasa Hokkien, namun karena penduduk Tiochiu tersebar di daerah Guangdong utara, maka bahasa Tiochiu kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Kanton menjadi logat dalam bahasa Hokkien yang dekat dengan bahasa Kanton (lihat bahasa Kantonis).<br />Di Indonesia sendiri, bahasa Hokkien umumnya dikenal sebagai bahasa ibu (mother tongue) komunitas Tionghoa di Medan, Pekanbaru, Palembang dan beberapa daerah lainnya.<br />Bahasa Hokkien<br />Dituturkan di: Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Singapura, Indonesia, Malaysia dan daerah lain di mana komunitas Hokkien menetap<br />Wilayah: Provinsi Fujian selatan; daerah Chaozhou-Shantou di provinsi Guangdong; bagian paling selatan provinsi Zhejiang; hampir seluruh Taiwan; hampir seluruh Hainan (jika Qiong Wen ikut dihitung); Semenanjung Leizhou di provinsi Guangdong<br /><br />Jumlah penutur: 49 juta<br />Urutan ke:<br />21 (jika Qiong Wen ikut dihitung)<br />Klasifikasi rumpun bahasa:<br />Sino-Tibet<br /> Dialek Tionghoa<br /> Min<br /> Min Nan/Hokkien<br /><br />5) Bahasa Kanton<br />Bahasa Kanton atau Yuè (secara harafiah: bahasa Guangdong; di Indonesia sering disebut bahasa Konghu) adalah salah satu dari dialek bahasa Tionghoa yang dituturkan di barat daya China, Hong Kong, Makau, masyarakat keturunan Tionghoa di Asia Tenggara dan juga masyarakat Tionghoa di belahan dunia lain.<br />Bahasa Kanton merupakan bahasa perdagangan kebanyakan orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar negeri - dituturkan oleh hampir 70 juta orang di seluruh dunia, jumlah yang hanya bisa disaingi di luar China oleh Bahasa Hokkien yang mempunyai sekitar 40 juta penutur.<br />Sejarah dialek Kanton ini dapat ditarik balik ke zaman Dinasti Tang. Menurut penelitian dari ahli bahasa Han di Tiongkok, dialek Kanton merupakan salah satu dialek bahasa Han tertua yang masih tersisa sekarang ini. Dialek Kanton digunakan secara luas pada zaman Dinasti Tang. Itu makanya anggapan bahwa melafalkan puisi Li Bai, Du Fu yang hidup pada zaman Dinasti Tang dengan dialek Kanton adalah lebih cocok daripada melafalkannya dengan bahasa Mandarin yang kita kenal sekarang ini.<br />Bahasa Kanton ini juga punya pembicara di kalangan Tionghoa di Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, bahasa Kanton biasa dikenal dengan sebutan bahasa Konghu.<br />Bahasa Kanton<br />Dituturkan di: China, Singapura, Indonesia, Malaysia, Kanada, Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain yang ditinggali oleh migran-migran Kantonis.<br />Wilayah: di China: provinsi Guangdong bagian tengah (Delta Sungai Mutiara (Pearl River) termasuk Hong Kong dan Makau); bagian timur Daerah Otonomi Guangxi<br /><br />Jumlah penutur: 66 juta<br />Urutan ke:<br />16<br />Klasifikasi rumpun bahasa:<br />Sino-Tibet<br /> Bahasa Tionghoa<br /> Yue<br /><br />6) Bahasa Mandarin<br />Bahasa Mandarin dengarkan(Tradisional: Sederhana: Hanyu Pinyin: Běifānghuà, harafiah: "bahasa percakapan Utara" atau 北方方言 Hanyu Pinyin: Běifāng Fāngyán, harafiah: "dialek Utara") adalah dialek Bahasa Tionghoa yang dituturkan di sepanjang utara dan barat daya Republik Rakyat Tiongkok. Kata "Mandarin", dalam bahasa Inggris (dan mungkin juga Indonesia), digunakan untuk menerjemahkan beberapa istilah Tionghoa yang berbeda yang merujuk kepada kategori-kategori bahasa Tionghoa lisan.<br />Dalam pengertian yang sempit, Mandarin berarti Putonghua dan Guoyu yang merupakan dua bahasa standar yang hampir sama yang didasarkan pada bahasa lisan Beifanghua* (lihat di bawah). Putonghua adalah bahasa resmi Tiongkok dan Guoyu adalah bahasa resmi Taiwan. Putonghua - yang biasanya malah dipanggil Huayu - juga adalah salah satu dari empat bahasa resmi Singapura.<br />Dalam pengertian yang luas, Mandarin berarti Beifanghua (secara harafiah berarti "bahasa percakapan Utara"), yang merupakan sebuah kategori yang luas yang mencakup beragam jenis dialek percakapan Tionghoa yang digunakan sebagai bahasa lokal di sebagian besar bagian utara dan barat daya Tiongkok, dan menjadi dasar bagi Putonghua dan Guoyu. Beifanghua mempunyai lebih banyak penutur daripada bahasa apapun yang lainnya dan terdiri dari banyak jenis termasuk versi-versi yang sama sekali tidak dapat dimengerti.<br />Seperti ragam-ragam bahasa Tionghoa lainnya, ada banyak orang yang berpendapat bahwa bahasa Mandarin itu merupakan semacam dialek, bukan bahasa.<br />Bahasa Mandarin<br />Dituturkan di: Tiongkok, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan komunitas Tionghoa lainnya di seluruh dunia<br />Wilayah: Sebagian besar bagian utara dan barat daya Tiongkok; dimengerti secara luas di bagian lainnya.<br />Jumlah penutur: 867.2 juta<br />Urutan ke:<br />1<br />Klasifikasi rumpun bahasa:<br />Sino-Tibet<br /> Bahasa Tionghoa<br /> Bahasa Mandarin<br />• Dalam bahasa Indonesia dibaca: Peifanghua<br />7) Bahasa Tiochiu<br />Bahasa Tiochiu atau Tiociu (Hanzi) atau teochew adalah sebuah bahasa yang termasuk rumpun bahasa bahasa Sino-Tibet. Bahasa ini cukup mirip dengan bahasa Hokkien (Tiochiu dan Hokkien/Min-nan diklasifikasikan dalam rumpun Min) dan penutur kedua bahasa dapat cukup mengerti kedua bahasa meski tidak seluruhnya.<br />Bahasa Tiochiu boleh dikatakan adalah dialek Hokkian yang dipengaruhi oleh dialek Kantonis dikarenakan letak geografisnya yang berada di utara propinsi Guangdong dekat perbatasan dengan propinsi Fujian.<br />Di Indonesia, terdapat banyak penutur Tiochiu di Pontianak dan Ketapang, Kalimantan Barat; Jambi, Riau, Kepri dan Sumatera Utara serta Selatan.<br />Bahasa Tiochiu<br />Dituturkan di: Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand dan daerah lainnya di dunia di mana komunitas Tionghoa Tiochiu menetap<br />Wilayah: Provinsi Fujian selatan; daerah Chaozhou-Shantou di provinsi Guangdong<br /><br />Jumlah penutur: Sekitar 10 juta di Chaoshan. Sekitar 2-5 juta di luar negeri.<br />Urutan ke:<br />Tidak diketahui<br />Klasifikasi rumpun bahasa:<br />Sino-Tibet<br /> Tionghoa<br /> Min<br /> Tiochiu<br />Status resmi<br />Bahasa resmi di: tidak ada<br />Diatur oleh: tidak ada<br />Kode bahasa<br />ISO 639-1<br />zh<br />ISO 639-2 chi (B) / zho (T)<br />SIL<br />CFR<br />Lihat pula: Bahasa - Daftar bahasa<br /><br /><br />7. SENI MUSIK<br />Kategori:Musik di Tiongkok<br />a. Diskografi Faye Wong<br />Halaman ini memuat diskografi dari penyanyi pop Tiongkok Faye Wong. Judul China adalah resmi; tidak ada judul dalam bahsa Inggris. Tetapi ada beberapa album seperti Di-Dar dan Coming Home dalam bahasa Inggris.<br /><br />b. Alat musik tradisional Tiongkok. <br />1) Banhu<br />Banhu (Hanzi: ban3 hu2 baca: pan3 hu2) adalah salah satu alat musik gesek tradisional Tiongkok dari keluarga instrumen huqin. Banhu biasanya digunakan di daerah utara Tiongkok. Kata 'ban' berarti sepotong kayu dan 'hu' adalah kependekan dari huqin.<br />Seperti erhu dan gaohu, banhu juga memiliki dua senar, namun banhu berbeda dari erhu sebab kotak suaranya terbuat dari batok kelapa, bukan dari kayu, dan penutupnya menggunakan papan kayu tipis, bukan kulit ular.<br />Yehu, sebuah alat musik gesek Tiongkok lainnya yang menggunakan tempurung kelapa dan papan kayu, kebanyakan digunakan di Tiongkok selatan.<br /><br />2) Dahu<br />Dahu (Hanzi: da4 hu2 baca: ta4 hu2) adalah sebuah instrumen tradisional Tiongkok. Bentuk dan ukuran dahu mirip dengan erhu maupun zhonghu, tetapi dahu berukuran lebih besar daripada zhonghu dan erhu. Biasanya ditune dengan nada G - D atau A - E.<br /><br />3) Erhu<br />Erhu (Hanzi: er4 hu2) merupakan alat musik tradisional Tiongkok yang paling populer disamping Guzheng dan Dizi.<br />Secara umum, keluarga alat musik gesek ini dikenal juga dengan istilah huqin yang berarti "alat musik orang barbar", dinamakan demikian karena diperkenalkan oleh orang barbar yang berasal dari Asia Tengah.<br />Huqin telah berumur sekitar 500 tahun. Mulai populer pada zaman dinasti Sung (960-1279 AD), yang kemudian berlanjut ke zaman dinasti Ming (1368-1644) dan dinasti Qing (1644-1911) dimana dalam kurun waktu tersebut huqin telah berkembang menjadi bermacam-macam jenis, termasuk yang kita kenal sekarang sebagai erhu.<br />Pada mulanya, erhu menggunakan dua senar yang terbuat dari sutra, tetapi sekarang erhu menggunakan senar dari logam. Erhu biasanya menggunakan membran dari kulit ular piton, tetapi ada juga yang menggunakan bahan lain. Kotak suara dapat berbentuk segi enam, segi delapan, atau bulat.<br />Erhu digesek dengan busur yang terbuat dari bambu dan rambut ekor kuda, ekor kuda itu ditempatkkan diantara kedua senar sehingga memudahkan perpindahan menggesek antara kedua senar. Rambut ekor kuda tersebut digosok dengan damar sehingga terasa kesat waktu digesek.<br />Erhu biasa disetel dengan nada D - A atau C - G.<br /><br />4) Gaohu<br />Gaohu (Hanzi: gao4 hu2) adalah alat musik yang paling penting dalam musik tradisional Guangdong, RRT, bisa dikatakan bahwa gaohu adalah "jiwa" dari musik Guangdong.<br />Walaupun tidak mutlak, tapi salah satu ciri khas gaohu adalah ukiran kepala naga pada bagian atas alat musik dan bentuk kotak suara yang bulat.<br />Ada pula gaohu versi utara yang berbeda dengan gaohu versi selatan (Guangdong), gaohu versi utara merupakan modifikasi dari erhu untuk mendapatkan nada suara yang lebih tinggi dari erhu, gaohu versi utara ini dimainkan seperti erhu. Biasanya bentuk gaohu utara ini lenih menyerupai erhu dan tidak memakai ukiran kepala naga dibagian atas gagangnya.<br />Gaohu dimainkan dengan cara dijepit diantara kaki pemainnya. Suara yang dihasilkan dari alat musik ini lebih tinggi dari erhu.<br />Gaohu biasa disetel dengan nada A - E atau G - D.<br /><br />5) Gehu<br />Gehu (Hanzi: 革胡 ge2 hu2 baca: ke2 hu2) adalah alat musik gesek bersenar empat dan kadang-kadang posisinya sering digantikan oleh cello. Gehu bisa dimainkan dengan cara digesek atau dipetik. Gehu biasanya disetel dengan nada C - G - D - A.<br /><br />6) Jinghu<br />Jinghu (Hanzi: 京胡 jing1 hu2) merupakan alat musik utama dalam Jingju (Opera Beijing) dan pemainnya merupakan pemimpin dalam sebuah orkes musik Opera Beijing.<br />Cara memainkan jinghu berbeda dengan erhu, jinghu biasanya diletakkan agak ke depan dekat lutut.<br />Jinghu biasa disetel dengan nada G - D.<br /><br />7) Matouqin<br /> Matouqin' (Hanzi: 马头琴 ma3 tou3 qin2) atau dalam bahasa Mongol dikenal sebagai Morin Khuur adalah alat musik gesek khas Mongolia yang memakai 2 senar, dan telah ada sejak abad ke-12.<br /> Sesuai dengan namanya, ciri khas matouqin adalah ukiran kepala kuda (Hanzi: 马头 ma3 tou3) pada bagian atas gagangnya, berbeda dengan keluarga huqin, ekor kuda penggesek tidak ditempatkan diantara kedua senar, cara memainkan matouqin ini mirip dengan cello.<br /> Matouqin adalah alat musik yang sangat penting bagi musik tradisional Mongol, sering pula disebut sebagai "Cello Padang Rumput".<br /><br />8) Sihu<br /> Sihu (Hanzi: 四胡 si4 hu2 baca: se4 hu2) adalah alat musik Mongolia, yang menggunakan empat senar.<br /> Senar 1 dan 3 atau yang biasa disebut neixian atau "senar dalam" disetel dengan nada G, sedangkan senar 2 dan 4 yang biasa disebut waixian atau "senar luar" disetel dengan nada D.<br /><br />9) Yehu<br /> Yehu (Hanzi: 椰胡 ye1 hu2) adalah sebuah instrumen yang mempunyai usia sejarah sekitar 300 tahun yang berasal dari daerah Chaozhou, RRT, dan merupakan alat musik utama dalam musik khas Chaozhou. Alat musik ini juga digunakan dalam musik Guangdong.<br /> Yehu menggunakan tempurung (batok) buah kelapa sebagai resonator (kotak suara) dan senar dari sutra, tetapi terkadang kita menjumpai pula penggunaan senar dari nilon ataupun logam.<br /> Pada umumnya Yehu menggunakan jembatan yang terbuat dari kerang tetapi ada juga yang menggunakan bambu. Yehu bisa disetel dengan nada G - D atau C - G.<br /><br />10) Zhonghu<br />Zhonghu (Hanzi: 中胡 zhong1 hu2) mirip sekali dengan erhu, tetapi ukurannya saja yang lebih besar.<br />Suara yang dihasilkan oleh zhonghu lebih rendah dari suara erhu, mirip dengan perbandingan suara viola dan suara biola. Zhonghu biasa disetel dengan nada G - D.<br />8. LEGENDA DAN CERITA RAKYAT<br />a. Menggantung Lentera Merah<br />Pada masa akhir Dinasti Ming, Li Zicheng, pemimpin pemberontak, bersama tentaranya sedang mempersiapkan diri untuk menguasai kota Kaifeng. Demi mendapatkan informasi yang akurat, Li menyamar sebagai penjual beras masuk ke Kaifeng. Setelah mendapat gambaran yang jelas, maka Li menyebarkan berita untuk kalangan rakyat jelata bahwa tentara pemberontak tidak akan mengganggu setiap rumah yang menggantung lentera merah di pintu depan.<br />Sekembalinya Li ke markas, dia membuat rencana penyerangan. Para penjaga kota Kaifeng mulai mendapat serangan gencar dari tentara Li dan membuat mereka kewalahan. Tidak berdaya membuat pasukan penjaga kota Kaifeng mengambil jalan pintas membuka bendungan dengan harapan tentara Li tersapu banjir dan hancur.<br />Namun banjir juga melanda rumah penduduk. Banyak orang yang berusaha menyelamatkan diri naik ke atap rumah. Bagi rakyat jelata, mereka hanya membawa lentera merah. Sedangkan kaum bangsawan dan pejabat berusaha menyelamatkan harta benda.<br />Banjir terus meninggi dan membuat orang-orang mulai putus asa. Demi melihat penderitaan yang akan dialami banyak rakyat jelata, Li memerintahkan anak buahnya menyelamatkan rakyat dengan rakit dan perahu. Yang membawa lentera merah tentunya.<br />Untuk memperingati kebaikan hati Li dalam menyelamatkan rakyat jelata, maka bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting, seperti Perayaan Tahun Baru Imlek.<br /><br />b. Memandang Bulan Hingga Tengah Malam<br />Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.<br />Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran. Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.<br />Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.<br />Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu.<br />Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan. Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung.<br />Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.<br /><br />c. Kertas Lima Warna<br />Selama masa pergolakan untuk mendirikan Dinasti Han, Liu Bang dibantu oleh banyak pejabat berbakat dan akhirnya memegang takhta. Pergolakan yang terjadi membuat banyak keluarga tercerai-berai. Demikian pula dengan makam para leluhur, banyak yang hancur dan tidak dikenali. Setelah menjadi kaisar, Liu Bang terus memikirkan nasib dari makam orang tuanya yang entah dimana posisinya.<br />Pencarian terus dilakukan dengan gigih, namun karena luasnya daerah pemakaman dan kondisi makam-makam yang sudah hancur dan tercampur baur membuat usaha pencarian tidak memberikan hasil. Bahkan Liu Bang turun tangan sendiri untuk mencari makam orang tuanya. Namun tetap tidak berhasil juga.<br />Kemudian pada suatu hari saat Liu Bang sedang berusaha mencari makam orang tuanya, wajahnya terterpa kertas-kertas yang berterbangan. Liu Bang menanyakan apakah kertas itu kepada pegawainya. Sang pegawai mengatakan bahwa kertas itu oleh rakyat dinamakan Kertas Lima Warna. Dan terdapat tulisan dalam kertas itu yang digunakan untuk tujuan tertentu dan permohonan kepada Langit agar tujuan tersebut dapat tercapai.<br />Liu Bang akhirnya menyuruh para pegawainya membawa Kertas Lima Warna dengan tulisan harapan agar dapat menemukan makam orang tuanya. Lalu Liu Bang sambil berdoa agar ia dapat menemukan makam orang tuanya, ia melemparkan kertas-kertas itu ke udara.<br />Angin membawa kertas-kertas itu terbang. Ternyata kertas-kertas itu terbang ke suatu arah tertentu. Begitu Liu Bang mengikuti kemana arah kertas-kertas itu jatuh, ia dapat menemukan batu makam dari orang tuanya. Liu Bang sangat bergembira atas hal itu.<br />Sejak saat itu, ketika orang-orang membersihkan makam selama Perayaan Qing Ming, mereka selalu memastikan bahwa kondisi sekitar makam bersih dan meletakkan Kertas Lima Warna pada batu makam untuk menunjukkan penghormatan dan pengabdian.<br /><br />d. Menyembunyikan Sapu<br />Menurut legenda, pada jaman dahulu kala terdapat seorang pedagang bernama Ou Ming yang selalu berpergian menggunakan perahu untuk menjalankan usahanya.<br />Suatu hari Ou sedang naik perahu di Danau Pengze. Tiba-tiba badai menghadang, sehingga perahu terdampar pada sebuah pulau. Ditengah kebingungan karena perahu rusak berat dan tidak dapat dipakai untuk meneruskan perjalanan, datang seorang bernama Qing Hongjun, pemilik dari pulau tersebut.<br />Qing mengundang Ou ke kediamannya dan menjamu Ou dengan hangat. Sebagai kenang-kenangan atas kunjungan Ou, Qing berminat memberikan sebuah tanda mata. Ou dipersilahkan memilih barang yang disukainya dari begitu banyak barang permata yang ada di rumah Qing.<br />Pada saat seorang pelayan Qing menghidangkan teh bagi Ou, secara tidak sadar terucap bahwa Ru Yuan adalah harta yang paling berharga. Ou mendengarkan hal itu dan berpikir siapakah Ru Yuan itu. Namun dia memastikan bahwa Ru Yuan sangat berharga.<br />Akhirnya Ou meminta Ru Yuan kepada Qing. Meskipun pada awalnya Qing ragu, namun akhirnya Ru Yuan diberikan kepada Ou. Ternyata Ru Yuan adalah seorang pembantu wanita di rumah Qing yang sangat cantik.<br />Qing lalu mempersiapkan perahu untuk Ou. Pada saat perpisahan, Qing memberikan satu peti permata kepada Ru Yuan. Melihat permata yang sangat banyak, timbul pikiran jahat pada Ou untuk memiliki permata tersebut bagi dirinya sendiri.<br />Setibanya di rumah, Ou melayani Ru Yuan sangat baik. Sehingga lama kelamaan Ru Yuan terlena dan memberikan kunci peti permata kepada Ou. Begitu mendapatkan kunci peti permata, sifat Ou langsung berubah total. Ru Yuan diperlakukan secara buruk dan disuruh bekerja keras siang dan malam. Menghidangkan teh, memasak, mencuci pakaian, dan banyak lainnya.<br />Suatu hari pada hari pertama Perayaan Tahun Baru Imlek, Ou berpikir bahwa Ru Yuan terlalu malas, karena baru bangun pada saat ayam berkokok, sehingga memukuli Ru Yuan. Tidak tahan, Ru Yuan lari. Ou tidak tinggal diam, dia mengejar.<br />Melihat sebuah sapu tersandar pada pohon, Ru Yuan memutuskan untuk menghilang kedalam sapu. Bersamaan dengan menghilangnya Ru Yuan, semua harta benda dan permata yang ada di rumah Ou turut terbang dan menghilang ke dalam sapu. Ou hanya bisa terpaku menyaksikan semuanya. Melaratlah Ou sejak saat itu.<br />Berdasarkan cerita di atas setelah membersihkan rumah untuk menyambut Tahun Baru Imlek, orang-orang menyembunyikan sapu, dan segala macam pembersih lainnya, untuk menghindari segala hal yang diharapkan hilang tersapu.<br /><br />e. Makanan Kue Bulan<br />Pada jaman Dinasti Yuan, rakyat Han pada saat itu menentang pemerintahan Mongol dari Dinasti Yuan, dan para pemberontak, dipimpin oleh Shu Yuan Zhang, merencanakan untuk mengambil alih pemerintahan. Shu bingung memikirkan bagaimana cara menyatukan rakyat untuk memberontak pada hari yang sama tanpa diketahui oleh pemerintah Mongol.<br />Salah seorang penasehat terpercayanya akhirnya menemukan sebuah ide. Sebuah berita disebarkan bahwa akan ada bencana besar yang akan menimpa negeri Tiongkok dan hanya dengan memakan kue bulan yang dibagikan oleh para pemberontak dapat mencegah bencana tersebut. Kue bulan tersebut hanya dibagikan kepada rakyat Han, yang akan menemukan pesan “Revolusi pada tanggal lima belas bulan delapan” pada saat membukanya.<br />Karena pemberitahuan itu, rakyat bersama-sama melakukan aksi pada tanggal yang ditentukan untuk menggulingkan Dinasti Yuan. Dan sejak saat itu kue bulan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perayaan Pertengahan Musim Gugur.<br /><br />f. Menyembunyikan Petasan<br />Legenda mengatakan bahwa pada jaman dahulu diatas rumpun pohon bambu hidup sekelompok makhluk aneh yang dinamakan Makhluk Gunung. Mereka pendek dan hanya memiliki satu kaki.<br />Pada suatu hari, di sebuah hutan bambu lewatlah satu orang desa yang membawa banyak buah-buahan dan sayur-sayuran. Secara tiba-tiba, muncul para Makhluk Gunung dan langsung berebut mengambil buah dan sayur yang ada. Orang desa itu tidak hanya diam, ia langsung berusaha menangkap para makhluk aneh itu, dan akhirnya berhasil menangkap satu. Ia berencana untuk membawa makhluk aneh itu kepada hakim daerah.<br />Saat melanjutkan perjalanan, orang desa itu berjumpa dengan sekelompok pemburu yang sedang memasak. Mereka memberitahu kepada orang desa itu bahwa yang ditangkapnya adalah Makhluk Gunung. Makhluk itu dapat membuat orang menjadi demam dan sakit. Makhluk itu akan selalu turun pada setiap tahun baru untuk mencari makan. Siapa pun yang berhubungan dengan makhluk itu akan jatuh sakit.<br />Karena orang desa itu mulai merasa kedinginan, para pemburu menambahkan potongan-potongan bambu ke perapian agar udara semakin hangat. Tiba-tiba muncul banyak Makhluk Gunung, lalu menyerang para pemburu dan orang desa itu. Di tengah kekacauan itu, potongan bambu yang berada di perapian meletus. Letusan-letusan itu membuat para Makhluk Gunung terkejut dan lari ketakutan. Sejak saat itu rakyat membakar potongan bambu untuk menakuti Makhluk Gunung.<br />Di kemudian hari, ini menjadi sebuah kebiasaan yang selalu dilakukan pada setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.<br /><br />g. Makanan dan Para Ahli<br />Kaisar sedang merenovasi salah satu istananya, dan sangat puas akan hasil kerja yang ada. Maka ia berkeinginan untuk memberi gelar “Ahli” kepada para pekerja.<br />“Tuanku, semua perabotan kayu dibuat oleh kami para tukang kayu, maka kami adalah ahli sesungguhnya”, kata para tukang kayu.<br />“Benar. Maka aku memberikan gelar Ahli kepada semua tukang kayu”, kata kaisar.<br />“Tuanku, semua struktur batu dibuat oleh tukang batu, maka kami merasa bahwa kami adalah ahli yang sesungguhnya”, kata para tukang batu.<br />“Tuanku, jika bukan karena kami tukang cat, maka tidak ada keindahan warna dalam istana”, kata para tukang cat.<br />“Tuanku, kami tukang besi……”<br />“Tuanku, kami para tukang emas……”<br />Semua pekerja meminta dirinya mendapat gelar Ahli. Akhirnya kaisar dengan bijaksana mengatakan bahwa semua orang mendapat gelar Ahli. Berita itu sampai ke para tukang masak. Dan tukang masak juga merasa bahwa memasak adalah sebuah keahlian. Maka kepala tukang masak menghadap kaisar.<br />Namun semua tukang tidak memandang memasak sebagai keahlian. Bahkan mereka menganggap bahwa memasak adalah mudah dan jika tukang masak diberi gelar Ahli, maka gelar itu tidak ada artinya lagi.<br />Dengan kesal, kepala tukang masak kembali ke dapur. Lalu ia menyuruh semua anak buahnya berhenti memasak. Mendapat gelar Ahli membuat semua tukang bekerja dengan penuh semangat. Pada saat istirahat tiba, mereka berbondong-bondong masuk ke ruang makan. Namun alangkah terkejutnya mereka saat melihat bahwa tidak ada satu pun makanan yang terhidang. Gandum, sayur, dan lain-lainnya masih belum diolah. Semua tukang itu kebingungan. Tidak ada satu pun yang tahu bagaimana mengolah bahan-bahan mentah itu agar dapat menjadi hidangan yang sedap.<br />Akhirnya mereka melaporkan hal itu kepada kaisar. Kaisar sangat heran dan terkejut karena begitu banyak ahli yang ada namun tidak ada satu orang pun yang dapat membuat hidangan. Lalu kaisar bertanya apakah mereka sekarang menganggap bahwa memasak adalah keahlian. Pada mulanya mereka keberatan, namun karena dorongan perut semakin kuat, akhirnya mereka setuju bahwa memasak adalah sebuah keahlian.<br />Kaisar lalu menyuruh agar para tukang masak dipanggil. Ketika para tukang masak tiba, kepala tukang masak berkata bahwa ratusan ahli tidak dapat menyiapkan makanan, maka sudah sepantasnya gelar yang akan diterimanya lebih tinggi dari mereka.<br />Dengan tersenyum, sang kaisar mengatakan bahwa gelar kepala tukang masak adalah Ahli Besar. “Lalu bagaimana dengan para pembantuku?”, tanya kepala tukang masak. Kaisar lalu memberi mereka gelar Ahli Besar Tingkat Dua. Kepala tukang masak lalu berkata kepada semua orang bahwa besok adalah hari Dong Zhi dan ia akan membuat bola tepung lengket. Sejak saat itu, makanan tersebut menjadi hal yang tidak terpisahkan dari Perayaan Dong Zhi.<br /><br />h. Chang E – legenda yang menyebabkan orang Tiong Hoa melihat bulan pada tanggal 15 bulan 8 Penanggalan Imlek.<br />Menurut legenda Tionghoa, pernah terdapat 10 buah matahari di bumi ini dan masing-masing matahari secara bergiliran menerangi dan memberikan kehangatan ke bumi. Tetapi suatu saat semua matahari muncul secara bersama-sama sehingga menyebabkan bumi hangus karena terlalu panas. Bumi dapat diselamatkan berkat adanya seorang pemanah pemberani bernama Hou Yi yang berhasil memanah jatuh sembilan buah matahari.<br />Hou Yi berhasil mendapatkan ramuan kehidupan untuk menyelamatkan rakyat dari pemerintahan yang kejam, namun sang istri meminumnya. Sehingga membuat istri Hou Yi terbang ke bulan. Lalu mulailah legenda adanya perempuan di bulan, yang mana gadis-gadis Cina merayakannya sebagai Perayaan Pertengahan Musim Gugur.<br />Legenda ini semasa pemerintahan Tai Kang dari Dinasti Xia. Yu mendapatkan takhta dari Shun karena kemampuannya dalam mengendalikan banjir. Ketika Yu telah berusia lanjut, dia memiliki keinginan untuk menyerahkan takhta kepada salah seorang menterinya, Po Yi. Namun para ketua suku menginginkan agar Yu memberikan posisi tersebut kepada Chi, salah seorang putra Yu. Setelah kejadian ini maka posisi ketua dari ketua atau raja menjadi sesuatu yang turun temurun. Tai Kang adalah putra dari Chi.<br />Yu memiliki jasa besar karena berhasil menghentikan banjir dan mendidik rakyat untuk bertani. Hal ini menyebabkan Kaisar Langit di surga memerintahkan sepuluh orang putranya menjadi sepuluh matahari. Ini dimaksudkan agar mereka dapat secara bergantian mengelilingi langit setiap hari sehingga dapat membantu rakyat untuk berternak dan bertani.<br />Namun sepuluh orang muda tersebut tidak mematuhi perintah dan mereka keluar secara bersamaan yang menyebabkan panas dari sepuluh matahari secara bersama-sama menyinari bumi dan mengakibatkan panas yang sangat hebat. Banyak manusia dan binatang meninggal, sungai-sungai menjadi kering, hutan-hutan terbakar, dan berbagai penderitaan hebat lainnya.<br />Rakyat memohon agar surga memberikan kasihnya. Dan permohonan ini didengar oleh Kaisar Langit, yang lalu memerintahkan Hou Yi, seorang Dewa yang gagah, untuk turun ke bumi menyelesaikan masalah tersebut.<br />Hou Yi adalah Dewa yang pemberani dan beruntung. Istrinya adalah Chang-E yang penyendiri, dan mereka sangat saling mencintai dan tidak terpisahkan. Mereka terkenal dengan nama “Sepasang Dewa”. Namun hidup diantara manusia tidak semudah hidup di surga, dan Chang-E tidak berkeinginan untuk itu. Namun Hou Yi tidak dapat menentang perintah dari Kaisar Langit, dan Chang-E tidak ingin berpisah dari suaminya. Maka dengan perasaan berat, dia mendampingi Hou Yi ke daerah liar di timur.<br />Hou Yi adalah seorang pemanah yang hebat, dan dari surga membawa busur gaib yang dapat memanah apa saja di langit diluar jangkauan manusia. Kemudian rakyat dari daerah timur mengangkatnya sebagai ketua.<br />Bagaimanapun juga posisi tersebut tidaklah membawa bahagia bagi Hou Yi, karena harus menghadapi kenyataan bahwa sepuluh matahari terus menerus menghanguskan tanaman, menyebabkan binatang-binatang ternak mati kelaparan, mengeringkan sungai-sungai, meluasnya penyakit-penyakit, dan banyak rakyat meninggal. Melihat hebatnya penderitaan rakyat, dia mendaki Gunung Tienshan dan berbicara dengan sepuluh matahari. “Kasihanilah rakyat dan keluarlah hanya satu secara bergantian, jangan keluar secara bersamaan”, mohon Hou Yi. “Kenapa kita harus begitu?”, tanya salah satu matahari. “Karena jika kalian semua muncul secara bersamaan, cahaya dan panas kalian membuat rakyat dan mahluk hidup lainnya menderita”, jawab Hou Yi. Tanya matahari yang lain, “apa urusan manusia dengan kami?” “Ya benar! Kami sepuluh bersaudara sangat senang bermain bersama setiap hari di langit. Betapa hampa dan membosankan bila kami mengelilingi langit secara bergantian”, tambah matahari lainnya. “Namun Surga sangat sayang kepada mahluk hidup, dan saya berbicara kepada kalian atas perintah Kaisar Langit”, kata Hou Yi. Meskipun Hou Yi berusaha keras dan sungguh-sungguh untuk memberikan penjelasan, tetapi mereka tidak menghiraukan. Salah seorang berkata dengan sombong “Kami adalah putra dari Kaisar Langit, dan siapakah kamu berani mencampuri urusan kami?”<br />Lalu kesepuluh matahari dengan sombongnya mengeluarkan panasnya ke bumi, yang mengakibatkan hutan-hutan terbakar, burung dan binatang berlarian menghindar dan manusia berusaha untuk menyelamatkan hidup.<br />Perbuatan tersebut membuat Hou Yi kehilangan kesabaran, sehingga dia mengambil busur dan panahnya, dan memanah matahari tersebut satu per satu. Pada saat Hou Yi akan memanah matahari yang terakhir, sang matahari memohon agar Hou Yi memberikan pengampunan, dan matahari tersebut berjanji mematuhi semua tugas yang diberikan dan hanya akan keluar pada siang hari.<br />Setelah kejadian itu, rakyat sangat menikmati hidup mereka, mereka bekerja pada siang hari dan beristirahat pada malam hari. Hou Yi lalu melaporkan semua yang dilakukannya kepada Kaisar Langit, yang sangat marah karena Hou Yi membunuh sembilan putranya dengan kejam. Kaisar Langit menolak Hou Yi kembali ke surga. Kaisar Langit mengatakan bahwa Hou Yi sangat dinantikan oleh rakyat di kawasan timur yang telah mengangkatnya sebagai ketua dari suku-suku tersebut, dan menginginkan agar Hou Yi dapat berjuang untuk kesejahteraan umat manusia. Maka Hou Yi tidaklah dapat pulang ke surga, dan di bumi sangat banyak pekerjaan yang harus dilakukannya.<br />Jika seseorang ingin menguasai alam, yaitu dengan berkuasa atas serangga dan binatang buas, maka dia pertama-tama harus belajar untuk bertarung. Maka Hou Yi mulai melatih rakyat memanah.<br />Hou Yi sangat sibuk dengan semua pekerjaan yang ada sehingga dia jarang pulang ke rumah, dan ini menyebabkan Chang-E merasa ditelantarkan dan kesepian. Yang paling membuat Chang-E sedih adalah kenyataan bahwa dia sekarang adalah seorang manusia, yang tidak dapat menghindari penderitaan manusia, seperti melahirkan, menjadi tua, sakit dan meninggal. Chang-E sangat marah terhadap perbuatan Hou Yi yang memanah jatuh matahari-matahari yang merupakan putra dari Kaisar Langit tersebut.<br />Hou Yi sangat mencintai istrinya, dan untuk menghindari pertengkaran yang selalu terjadi, maka dia berkelana sendirian. Dengan cara ini dia lebih dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan dunia.<br />Dalam pengembaraan, Hou Yi melakukan banyak perbuatan baik. Salah satu perbuatan baik Hou Yi yang sangat terkenal adalah membunuh seekor monster berkepala sembilan. Semua perbuatan baik yang dilakukan membuat nama Hou Yi semakin terkenal.<br />Beberapa kali Hou Yi memohon kepada Kaisar Langit agar dia dan istrinya dapat kembali ke surga, namun Kaisar Langit tetap tidak memaafkan perbuatan Hou Yi. Sehingga lama kelamaan, Hou Yi dan Chang-E harus berusaha keras agar dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia.<br />Manusia tidak dapat menghindar dari sakit, derita, kesedihan, dan kecemasan. Maka saat Hou Yi berkelana, yang bertujuan untuk melakukan banyak perbuatan baik bagi rakyat jelata, semakin terdapat jarak antara dia dengan sang istri.<br />Pada saat itulah Hou Yi bertemu dengan Mi Fei, yang merupakan salah satu wanita tercantik yang ada. Mi Fei merupakan salah satu keturunan dari Fu Shi, penguasa legendaris Cina. Dahulu, Mi Fei kehilangan keseimbangan dan tenggelam di sungai Lo, yang kemudian membuat Mi Fei menjadi Dewi Lo. Mi Fei menikah dengan Feng Yi, Dewa Air, yang mengendalikan Sembilan Sungai.<br />Mi Fei sedang bermain di sungai suatu hari pada saat Hou Yi sedang mengendari kuda. Karena Mi Fei telah menikah dan tidak ingin orang asing melihatnya, maka dia menyelam ke dalam air. Namun Hou Yi telah melihat Mi Fei dan mengira Mi Fei tenggelam, maka Hou Yi meloncat ke sungai untuk menyelamatkan Mi Fei. Secara tidak disadari, Mi Fei merasa senang pada saat ditolong oleh Hou Yi. “Kamu lebih baik pergi, karena jika suamiku melihatmu maka kamu akan mati”, kata Mi Fei memperingatkan Hou Yi. “Suamimu? Kamu memiliki suami?”, tanya Hou Yi dengan penuh kekecewaan. “Siapakah dia?”. “Feng Yi, Dewa Air.”. “Oh dia!”, kata Hou Yi sambil tertawa karena mendengar nama Feng Yi yang memiliki reputasi buruk. Dalam hati, Hou Yi sangat menyayangkan kenyataan bahwa wanita cantik ini ternyata memiliki suami semacam Feng Yi.“Bagaimana kamu bisa tertawa? Suamiku memiliki sifat yang buruk, dan dia pasti akan membunuhmu.”.“Maka apakah kamu adalah Dewi Lo?”, tanya Hou Yi.“Ya!”<br />“Itu tidak apa-apa! Jika Feng Yi memang bisa membunuhku, saya tidak akan keberatan selama saya bisa bersama wanita cantik sepertimu”, kata Hou Yi.<br />“Namun saya meragukan kemampuan Feng Yi bisa menandingi kemampuan seseorang yang mampu membunuh matahari di langit”.<br />Mi Fei melihat busur dan panah gaib yang ada dan menyadari siapakah Hou Yi sebenarnya. Mungkin karena Mi Fei menyukai Hou Yi, atau karena Mi Fei merasa kesepian sekian lama, maka Mi Fei tiba-tiba menangis di pundak Hou Yi. Hou Yi juga melupakan sang istri di rumah. Hou Yi melupakan Chang-E, Mi Fei melupakan Feng Yi.<br />Namun percintaan mereka tidak kekal. Pada suatu hari saat mereka sedang berbincang-bincang dengan mesra di tepi sungai, Feng Yi memergoki mereka. Dia sangat marah dan merubah diri menjadi seekor naga putih. Lalu mengamuk, menyapu semua kuda-kuda dan menghancurkan ladang pertanian yang ada di sekitar sungai.<br />Berpikir bahwa naga itu adalah seekor naga yang jahat, Hou Yi mengambil busurnya dan melepaskan sebuah panah. Mi Fei berusaha menghentikan Hou Yi, karena dia mengetahui penyamaran suaminya, namun dia terlambat. Panah itu membutakan satu mata Feng Yi, yang lalu melaporkan kejadian itu kepada Kaisar Langit.<br />Karena Hou Yi telah banyak melakukan perbuatan baik dan menghadapai kenyataan bahwa sebenarnya Hou Yi sedang menjalani hukuman karena membunuh sembilan matahari, maka Kaisar Langit hanya mengatakan agar Hou Yi tidak menemui Mi Fei lagi.<br />Patah hati! Maka satu-satunya yang bisa dilakukan Hou Yi adalah pulang ke rumah. Namun, Chang-E tidak menyambut dengan gembira. “Bagaimana bisa kamu pulang kesini setelah apa yang kamu lakukan? Pulanglah kamu ke perempuan yang tidak tahu malu itu!”, kata Chang-E. Hou Yi tidak berkata apa-apa, karena menyadari bahwa dirinya memang bersalah.<br />Sementara itu Feng Yi yang masih tidak puas dengan keputusan Kaisar Langit, memanggil para naga dari Sembilan Sungai dan memerintahkan mereka membuat awan dan hujan selama satu bulan penuh. Bencana ini menandingi bencana yang pernah ditimbulkan sepuluh matahari. Semua binatang dan tanaman tenggelam, yang menyebabkan rakyat kelaparan.<br />Maka sekali lagi Hou Yi memanggul busur dan panahnya, memanggil semua pengikutnya dan pergi berburu burung, binatang, dan ikan untuk memberi makan Chang-E dan para anggota sukunya. Chang-E tidak merasa senang dengan memakan binatang-binatang liar ini. Dia ingin makan buah-buahan dan dia meminta Hou Yi menunjukkan kegagahannya.<br />“Saya dahulu dapat mengambil bintang untukmu”, kata Hou Yi, “namun sekarang kita adalah manusia dan seluruh daerah dilanda banjir dan semuanya mati, dimana kamu mengharapkan saya bisa mendapatkan buah-buahan?”<br />“Itu semua salahmu! Kenapa kamu harus membunuh sembilan matahari itu? Seharusnya kamu sadar bahwa mereka adalah anak dari Kaisar Langit. Dan bagaimana kamu bisa juga bermesraan dengan Mi Fei yang telah menikah dengan Feng Yi? Kamu tidak tahu malu!”, teriak Chang-E sambil menangis. Hou Yi menyadari bahwa dirinya memang salah.<br />“Baiklah, itu semua salahku. Tenanglah. Marah akan membuat kamu cepat menjadi tua”, kata Hou Yi dengan penuh kesabaran. Mendengar kata “tua”, Chang-E tertegun dan melihat bayangannya di air. Dan Chang-E terkejut menyaksikan kerut-kerut pada mukanya.<br />Dia menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang wajar pada manusia, dan kejadian itu tidak dapat dihindarinya. Chang-E berteriak-teriak histeri. “Saya tidak ingin berubah! Saya tidak ingin menjadi jelek! Saya ingin kembali ke surga!”. “Itu tidak mungkin”, kata Hou Yi, “Kaisar Langit tidak mengijinkan kita kembali.”. “Saya tidak mau tahu! Saya tidak mau menjadi tua! Saya tidak mau menjadi jelek! Kamu harus menemukan cara agar saya tetap abadi dan cantik!”. “Baik, baik. Saya akan memikirkan caranya”, kata Hou Yi.<br />Hou Yi kebingungan. Dimana dia bisa mendapatkan cara membuat seseorang abadi dan tetap cantik? Namun bila dia tidak mendapatkannya, itu akan berterusan tanpa akhir. Maka dia pergi dan tidak berani pulang ke rumah. Hou Yi ingin pergi ke tempat Mi Fei namun dia takut melanggar perintah Kaisar Langit, itu membuat semangatnya semakin turun dari hari ke hari.<br />Hou Yi menjadi pemabuk, dan mulai menunjukkan sifat kasar. Hou Yi mulai bersikap kasar kepada para murid dan anggota sukunya. Dan itu membuat orang-orang tidak menyukai Hou Yi, terutama Feng Meng dan seorang anak buah Feng Meng, Han Cho.<br />Feng Meng telah lama belajar memanah dari Hou Yi, dan merasa bahwa dirinya sudah melebihi Hou Yi. Dia secara rahasia menyukai Chang-E, namun tidak berani bertindak apa-apa karena dia takut akan busur dan panah gaib yang dimiliki Hou Yi. Sedangkan Han Cho adalah seorang tamak yang menginginkan menjadi ketua menggantikan Hou Yi, tentunya jika Hou Yi dibinasakan. Maka mereka berdua merencanakan hal jahat terhadap Hou Yi dan Chang-E. Mereka mengatakan kepada Hou Yi bahwa Ibu Raja yang tinggal di puncak Gunung Kunlun memiliki ramuan yang dapat membuat seorang abadi dan tetap cantik.<br />Demi Chang-E, Hou Yi mendaki Gunung Kunlun yang penuh dengan bahaya, dimana akhirnya dia bisa menjumpai Ibu Raja. Karena pengorbanan yang dilakukan oleh Hou Yi begitu besar untuk mencapai puncak Gunung Kunlun, Ibu Raja memberikan sebuah pil keabadian.<br />Seseorang yang memakan pil ini akan dapat ke surga, Ibu Raja berkata kepada Hou Yi, namun jika dua orang membaginya, maka mereka berdua dapat hidup abadi. Mereka harus memakan pil itu tepat pada tanggal 15 bulan 8, ketika bulan penuh, demikian kata Ibu Raja lebih lanjut.<br />Hou Yi sangat gembira mengetahui hal tersebut, dan segera pulang ke rumah untuk memberitahu Chang-E. Mereka membagi pil tersebut menjadi dua dan akan memakannya pada waktu yang telah diberitahu, sehingga mereka berdua dapat menjadi abadi.<br />Saat itu adalah tanggal 12 bulan 8, tiga hari kemudian merupakan hari yang ditunggu. Namun Hou Yi mendengar adanya “ramuan permata” di Gunung Tienshan yang dapat membuat wanita semakin cantik. Maka untuk membuat Chang-E bahagia dan menebus kesalahan yang pernah dilakukan, Hou Yi pergi untuk mendapatkan ramuan tersebut.<br />Menurut perhitungan Hou Yi, dia akan mendapatkan ramuan itu dan kembali ke rumah dalam waktu tiga hari. Karena Hou Yi ingin memberi kejutan kepada Chang-E, dia tidak mengatakan apa-apa mengenai kepergiannya.<br />Tiga hari berlalu dan Chang-E melihat bahwa Hou Yi tidak akan kembali. Dia bertanya kepada Feng Meng mengenai hal itu, dan Feng Meng berkata bahwa dia tidak diperbolehkan untuk berkata apa-apa. Karena ditanya terus menerus, maka Feng Meng dengan liciknya mengatakan bahwa, “Hou Yi tidak mengijinkan saya berkata apa-apa”.. “Mengapa tidak? Kemana dia pergi?”, tanya Chang-E. “Saya tidak dapat mengatakannya. Hou Yi akan membunuh saya!”. “Tidak. Hou Yi tidak akan melakukan apa-apa terhadapmu. Katakan saja”, desak Chang-E. “Dia….dia pergi untuk mencari Mi Fei”, bohong Feng Meng.<br />Chang-E tertegun. Betapa tidak tahu budi suaminya. Chang-E sangat marah mendengarkan hal itu. Dan saat bulan mulai muncul, Chang-E mengambil pil keabadian yang telah diberikan oleh Hou Yi, perlahan-lahan menuju ke halaman dan memandang ke langit.<br />Dia mengenang semua kehidupan bahagia yang pernah dinikmati di surga. Tidak ada banjir, tidak ada sakit, tidak ada penderitaan, dan tidak ada kesedihan. Manusia harus mengalami semuanya. Betapa enak hidup di surga, pikir Chang-E. Sekarang Chang-E memiliki pil keabadian. Namun, apakah Hou Yi akan pulang? Chang-E berpikir, mungkinkah Hou Yi berencana untuk memakan pil itu berdua dengan Mi Fei dan meninggalkan dirinya? Kebahagian di surga, dan penderita di dunia.<br />Hati Chang-E dipenuhi dengan berbagai kemelut emosi. Tiba-tiba, Chang-E mendengar suara derap tapak kuda, dan menebak bahwa itu pasti suaminya pulang. Dengan penuh kebingungan, dia meminum pil itu semuanya, dan saat itu juga dia merasa tubuhnya semakin ringan dan mulai melayang di udara.<br />“Chang-E! Chang-E!”, teriak Hou Yi sambil memegang erat ramuan permata yang didapatkan dari Gunung Tienshan. Namun Chang-E tidak menghiraukannya.<br />Chang-E terus melayang semakin cepat dan cepat. Dengan penuh kemarahan Hou Yi melempar ramuan permata dan mengambil busur serta panah gaibnya, namun dia tidak berani untuk memanah. Chang-E ingin pergi ke surga, namun para Dewa-Dewi di surga telah menyaksikan penghianatannya terdapat sang suami dan mencelanya. Maka dia menjadi takut dan merubah arah ke bulan yang dingin dan sepi.<br />Hou Yi menyaksikan semuanya dari bumi, dan berpikir bahwa dia dapat memanah jatuh bulan. Dia dapat melakukan hal itu, namun dia tidak berani menghadapi kenyataan bahwa dia akan membunuh istrinya yang tersayang. Maka, dengan penuh kemarahan, dia mematahkan busur dan panah gaibnya. Kenapa harus tetap memiliknya, jika dia ternyata tetap tidak dapat menolong istrinya?<br />Feng Meng dan Han Cho melihat semua kejadian dari tempat tersembunyi, dan tersenyum bahagia. Hou Yi begitu sedih. Dengan satu perintah, dua orang itu bersama empat pengikut mereka mendatangi dan membunuh Hou Yi.<br />Chang-E yang berada di bulan menyaksikan bagaimana sang suami dibunuh secara kejam, dan dia sangat menyesali apa yang telah dilakukan. Namun sudah terlambat, tidak hanya dia sekarang telah dibuang dari surga, dia juga harus hidup abadi sendirian di bulan.<br />Li Shang Yin (A.D. 812-858), seorang penyair dari Dinasti Tang, menulis cerita sedih Chang-E tiga ribu tahun kemudian, dan cerita itu menjadi sebuah legenda, terutama bagi bangsa Tionghoa. Setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek, ketika bulan menunjukkan keindahan secara penuh, orang Tionghoa melihat ke bulan dan mengingat Chang-E dan legendanya.<br /><br />i. Cao E, legenda yang membuat orang Tiong Hoa mendayung perahu naga sambil membawa patung Cao-E pada hari kelima bulan kelima Imlek.<br />Berdasarkan legenda, pada suatu tahun di hari ke lima bulan ke lima Imlek selama masa pemerintahan Kaisar An Di dari Dinasti Han Timur, terdapat seorang pria bernama Cao Ding yang sedang menikmati suara ombak. Suara ombak sungai bagi Cao Ding jauh lebih indah dibandingkan suara dedaunan tertiup angin, juga dibandingkan kemeriahan laskar tentara yang sedang menikmati kemenangan. Ditengah keasyikannya, secara tiba-tiba Cao Ding tersapu ombak dan menghilang.<br />Anak Cao Ding, Cao-E, hanya dapat menemukan kipas sang ayah. Cao-E sangat sedih menyadari bahwa sang ayah telah meninggalkan dirinya. Kesedihan semakin bertambah demi menyadari bahwa dirinya tidak dapat menemukan jasad sang ayah.\ Para nelayan memberikan nasehat agar Cao-E pulang dan beristirahat, dan jasad sang ayah kemungkinan besar akan muncul ke permukaan setelah dua hari.<br />Tetapi tekad Cao-E sudah bulat untuk terus menunggu jasad sang ayah. Penantian selama tujuh hari dan tujuh malam tanpa hasil. Di tengah rasa putus asa dan penyesalan yang sangat mendalam, Cao-E menceburkan diri ke dalam sungai. Tiga hari kemudian, jasad Cao-E dan sang ayah ditemukan pada saat dan tempat yang sama.<br />Apa yang dilakukan Cao-E membuat rakyat sekitar sangat terharu. Oleh sebab itu, pada setiap hari ke lima bulan ke lima Imlek, pada Perayaan Perahu Naga, mereka mendayung perahu naga yang membawa patung Cao-E demi mengenang pengorbanan yang dilakukan Cao-E.<br />j. Asal Usul Adanya Ciam Sie dan Persembahan Pada Dewa<br />Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Guru-Guru agama untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.<br />Tetapi pada bulan bulan-bulan tertentu, para Guru itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Untuk itu para Guru membuat Ciam Sie supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Gurunya tidak berada di tempat.<br />Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Guru tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Guru-Guru tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.<br />Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.<br />Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarangpun masih ada.<br /><br />k. Wang Wenzheng<br />Dahulu kala di China, ada seorang hakim bernama Wang Wenzheng. Dia terkenal akan kesabaran, toleransi dan pemaaf. Tak pernah ada yang melihatnya marah-marah dengan orang lain atau menggerutu. Suatu hari keluarganya ingin mengetes taraf kesabarannya. Mereka menghidangkan semangkuk nasi putih yang bersih dan semangkuk sop daging dengan kotoran diatasnya. Saat Wang Wenzheng melihat kotoran tersebut, dia tidak menyentuh sup itu. Dia dengan tenang hanya makan semangkuk nasi tanpa lauk sampai habis.<br />Saat tetangga Wang membangun rumahnya, ia menumpukkan bahan bangunan dan gunungan semen di depan pagar Wang, sehingga Wang tidak bisa masuk ke rumah melalui pagar depan. Wang harus masuk melalui pintu samping yang kecil dan pendek sehingga setiap kali masuk dia harus merunduk. Namun Wang tidak komplain kepada tetangganya atau menggerutu kepada siapapun juga. Terus hingga tetangga Wang selesai membangun rumahnya dan pintu depan sudah bisa digunakan kembali.<br />Toleransi dan sifat memaafkan yang ditunjukkan Wang adalah teladan bagi manusia sekarang yang umumnya tidak terima apabila dirugikan oleh orang lain.<br /><br />l. Wu Kang Menebang Pohon Cassia <br />Seorang lelaki yang pandai, Wu Kang, mula-mulanya adalah seorang petani. Melihat tanamannya dapat tumbuh dengan mudah, dia menganggap bahwa bertani tidak cukup menantang, maka dia berguru pada seorang pembuat perabotan. Karena diberi tahu oleh gurunya bahwa dia akan dapat membuat perabotan yang baik dalam waktu tiga sampai lima tahun mendatang, dia menyerah. Lalu dia bekerja pada sebuah toko dimana kejadian yang serupa dialaminya, sehingga membuatnya menyerah dan memutuskan untuk menjadi Dewa.<br />Wu Kang lalu hidup di pegunungan dimana dia selalu membuat susah seorang Dewa yang dimintanya untuk mengajarinya. Pertama-tama sang Dewa mengajari mengenai tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit, namun tiga hari kemudian sifat malasnya muncul dan meminta sang Dewa mengajarkan hal lain. Lalu sang Dewa mengajarinya bermain catur, tetapi dalam waktu singkat Wu Kang menjadi tidak bersemangat lagi.<br />Lalu dia diberi sebuah buku keabadian untuk dipelajari. Namun Wu Kang menjadi bosan kembali dalam waktu beberapa hari, dan dia meminta pergi ke tempat yang baru dan menyenangkan. Sang Dewa tanpa ragu menyarankan pergi ke bulan, dan pada saat kesabaran sang Dewa habis karena tingkah laku Wu Kang, maka sang Dewa meninggalkannya untuk memotong pohon cassia. Pohon cassia tidaklah dapat ditumbangkan dalam waktu satu hari, dan akan tumbuh seperti sediakala pada keesokan harinya. Dan keajaiban itu membuat Wu Kang kehabisan kesabaran untuk menyelesaikan pekerjaannya sehingga dapat pulang ke bumi. Sampai saat ini Wu Kang masih terus berusaha menumbangkan pohon tersebut.<br />9. MAKANAN TRADISIONAL<br />Masakan Tionghoa-Indonesia<br />Masakan Tionghoa-Indonesia mempunyai ciri khas campuran antara masakan Tionghoa dengan masakan tradisional Indonesia. Masakan ini biasanya mirip dengan masakan Tionghoa yang dimodifikasi dengan cabai, santan dan bumbu-bumbu dari masakan Indonesia. Beberapa masakan dan kue menyerupai masakan di Malaysia.<br />Masakan Tionghoa-Indonesia juga dapat bervariasi tergantung dari tempat. Sebagai contoh di berbagai tempat di pulau Jawa, masakan ini menjadi bagian dari budaya setempat. Di Jawa Timur masakan ini cenderung agak manis. Di Medan, Sumatra Utara masakan tradisional Tionghoa masih lebih mudah ditemukan.<br />Ada beberapa jenis gaya masakan Tionghoa di Indonesia:<br />• Masakan Tionghoa gaya baru dengan koki dari Tiongkok, Hongkong atau Taiwan. <br />• Masakan Tionghoa tradisional seperti masakan Tiochiu, Hokkian dan Hakka. <br />• Masakan Tionghoa-Indonesia dengan pengaruh barat (Belanda). <br />• Masakan Tionghoa yang diadaptasi ke budaya setempat, seperti menggantikan babi dengan ayam atau sapi untuk membuatnya halal. <br /><br />Masakan Tionghoa-Indonesia antara lain:<br />a. Abon <br />Abon adalah daging cincang yang telah dihaluskan, dididihkan, dan kemudian digoreng. Penampilanya biasanya berwarna cokelat terang hingga kehitaman. Abon tampak seperti serat, karena didominasi oleh serat-serat otot yang mengering. Daging yang biasa digunakan untuk membuat abon berasal dari sapi, sehingga orang mengenal 'abon sapi'. Sumber lain yang digunakan adalah ayam atau babi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />b. Ayam Kung Pao<br /> <br /> <br />Ayam Kung Pao (tradisional; sederhana; pinyin: gōngbǎo jīdīng / gōngbào jīdīng; juga dieja ayam Kung Po) adalah makanan yang berasal dari provinsi Sichuan, RRT.<br /><br />c. Bakcang <br /> <br />Bakcang atau bacang (Hanzi:hanyu pinyin: rouzong) adalah penganan tradisional masyarakat Tionghoa. Kata 'bakcang' sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di antara suku Tionghoa di Indonesia.<br />Bakcang menurut legenda pertama kali muncul pada zaman Dinasti Zhou berkaitan dengan simpati rakyat kepada Qu Yuan yang bunuh diri dengan melompat ke Sungai Miluo. Pada saat itu, bakcang dilemparkan rakyat sekitar ke dalam sungai untuk mengalihkan perhatian makhluk-makhluk di dalamnya supaya tidak memakan jenazah Qu Yuan. Untuk kemudian, bakcang menjadi salah satu simbol perayaan Peh Cun atau Duanwu.<br />Bakcang secara harfiah berarti cang yang berisi daging, namun pada prakteknya, cang juga ada yang berisikan sayur-sayuran atau yang tidak berisi. Yang berisi sayur-sayuran disebut chaicang dan yang tidak berisi biasanya dimakan bersama dengan serikaya atau gula disebut kicang.<br />Bakcang dibuat dari beras ketan sebagai lapisan luar; daging, jamur, udang kecil, seledri dan jahe sebagai isi. Ada juga yang menambahkan kuning telur asin. Untuk perasa biasanya ditambahkan sedikit garam, gula, merica, penyedap makanan, kecap dan sedikit minyak nabati.<br />Tentunya yang tidak kalah penting adalah daun pembungkus dan tali pengikat. Daun biasanya dipilih daun bambu panjang yang harus dimasak terlebih dahulu untuk detoksifikasi. Bakcang biasanya diikat berbentuk prisma segitiga<br /><br />d. Bakmi <br />Bakmi adalah salah satu jenis mi yang dibawa oleh pedagang-pedagang Tionghoa ke Indonesia. Bakmi juga merupakan makanan yang terkenal terutama di daerah-daerah pecinan di Indonesia. Biasanya bakmi telah diadaptasi dengan menggunakan bumbu-bumbu Indonesia. Tebalnya bakmi adalah antara Mian Tiongkok dan Udon Jepang, selain itu ada berbagai variasi bakmi di Indonesia.<br />Bakmi yang paling umum adalah yang terbuat dari tepung terigu atau bakmi kuning. Jenis kedua yang juga terkenal adalah kwetiaw, yang dibuat dari beras dan bentuknya lebih lebar serta lebih tipis dari bakmi. Kedua variasi ini biasa digoreng atau direbus sebelum disajikan.<br /><br />Cara memasak<br />Apabila bakmi hendak digunakan dalam kuah, biasanya bakmi direbus secara terpisah. Mi yang digunakan umumnya telah dicampur dengan minyak. Kemudian mi ini disajikan dengan lauk seperti ayam, bok choy atau juga bakso. Kuah akan dihidangkan dalam mangkuk tersendiri dan baru akan dicampur dengan mie sesuai selera sendiri-sendiri.<br />Bakmi dapat juga digoreng. Umumnya bakmi direbus terlebih dahulu sebelum digoreng dengan sayuran, kecap manis dan daging. Perkecualian adalah untuk I fu Mie, di mana bakmi yang telah digoreng disajikan dengan sayuran, daging dan saus.<br />Kata Mie dan Bami dalam bahasa Belanda dan bahasa Jerman berasal dari Bakmi dan diperkenalkan selama masa kolonial Belanda di Indonesia. Masakan Indonesia sangatlah populer di Belanda dan Bakmi adalah salah satu makanan yang sangat terkenal.<br /> <br />e. Bakpao <br /> <br />Bakpao (Hanzi: 肉包, hanyu pinyin: roubao) merupakan makanan tradisional Tionghoa. Dikenal sebagai bakpao di Indonesia karena diserap dari bahasa Hokkian yang dituturkan mayoritas orang Tionghoa di Indonesia.<br />Bakpao sendiri berarti harfiah adalah baozi yang berisikan daging. Baozi sendiri dapat diisi dengan banyak isian lainnya seperti daging, sayur-sayuran, serikaya manis, selai kacang kedelai atau kacang merah dan sebagainya sesuai selera.<br />Kulit bakpao dibuat dari adonan tepung terigu yang setelah diberikan isian, lalu dikukus sampai mengembang dan matang.<br />f. Bakpia <br /> <br />Bakpia adalah makanan yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula yang dibungkus dengan tepung lalu dipanggang. Di beberapa daerah di Indonesia, makanan yang terasa legit jika dimakan ini dikenal dengan nama pia atau kue pia. Isi bakpia bisa menyesuaikan dengan keinginan konsumen di antaranya cokelat, keju, kumbu hijau, dan kumbu hitam. Bakpia yang cukup dikenal salah satunya berasal dari daerah Pathok, Yogyakarta.<br />Isilah bakpia sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian (Hanzi: 肉餅), yang secara harfiah berarti roti berisikan daging.<br /><br />g. Bakso<br /> <br />Bakso adalah makanan berupa bola daging. Dibeberapa tempat seperti di Jakarta, bakso kerap ditulis baso. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi dan tepung, tetapi ada juga baso yang terbuat dari daging ayam atau ikan. Dalam penyajiannya bakso biasa dicampur dengan kuah bening dan mi. Dalam proses pembuatanya biasa dicampurkan boraks atau bleng untuk membuat tepung menjadi lebih kenyal mirip daging, hal ini membuat bakso pernah dianggap makanan yang kurang aman oleh BPOM.<br />Bakso sangat populer di Indonesia, tempat yang terkenal menjadi sentra Bakso adalah Solo dan Malang. Dipercaya bakso awalnya berasal dari Republik Rakyat Cina<br /><br />h. Bebek Peking<br /> <br />Bebek Peking (bahasa Mandarin: 北京烤鸭, pinyin: beijing kaoya) adalah makanan tradisional di Tiongkok yang berasal dari Beijing. Bebek panggang Beijing/ Peking merupakan salah satu hidangan bebek panggang yang terkenal. Catatan mengenai asal usul hidangan bebek panggang dapat terlihat jejaknya pada masa Dinasti Utara dan Selatan, ketika memasak bebek tertera dalam karya sastra.<br />Makanan bebek Peking ini juga ditemui di Taiwan, dibawa oleh pemerintahan nasionalis Kuomintang yang kalah perang saudara dan mundur ke Taiwan tahun 1949.<br />Bebek Peking orisinal (bebek Peking di Beijing) dibuat menggunakan daging bebek khusus diternakkan untuk makanan ini. Bebek-bebek digemukkan dengan cara memberikan makanan bergizi, pada saat bebek-bebek kekenyangan, peternak-peternak mungkin saja memasukkan makanan ke dalam kerongkongan sang bebek secara paksa. Ini yang kemudian menjadikan bebek Peking juga dikenal dengan nama bebek isi.<br />Bebek tadi disajikan setelah dipanggang dengan kayu-kayu bakar khusus yang akan menentukan wangi atau tidak bebek yang dipanggang tadi.<br /><br />i. Cahkwe <br /> <br />Cahkwe (Hanzi: hanyu pinyin: you tiao) adalah salah satu penganan tradisional Tionghoa. Cahkwe adalah dialek Hokkian yang berarti hantu yang digoreng. Nama ini berhubungan erat dengan asal-usul penganan yang kecil namun sarat akan nilai sejarah ini.<br />Cahkwe mulai populer di zaman Dinasti Song, berawal dari matinya Jenderal Yue Fei yang terkenal akan nasionalismenya akibat fitnahan Perdana Menteri Qin Kuai. Mendengar kabar kematian Yue Fei, rakyat Tiongkok kemudian 2 batang kecil dari adonan tepung beras yang melambangkan Qin Kuai dan istrinya lalu digoreng untuk dimakan. Ini dilakukan sebagai simbolisasi kebencian rakyat atas Qin Kuai.<br />Cahkwe ini populer sebagai makanan untuk sarapan pagi bersama-sama susu kedelai. Di Indonesia, cahkwe dijual di toko atau dijajakan oleh pedagang kaki lima. Biasanya dimakan dengan sambal asam cair.<br />j. Cap cai<br /> <br />Cap cai (hanyu pinyin: za sui) adalah dialek Hokkian yang berarti harfiah "aneka ragam sayur". Cap cai adalah nama hidangan khas Tionghoa yang populer yang khas karena dimasak dari banyak macam sayuran. Jumlah sayuran tidak tentu, namun banyak yang salah kaprah mengira bahwa cap cai harus mengandung 10 macam sayuran karena secara harfiah adalah berarti "sepuluh sayur". Cap di dalam dialek Hokkian juga berarti "sepuluh".<br /><br />k. Dim sum<br />Dim sum (tradisional, sederhana: hanyu pinyin: dianxin) adalah istilah dari bahasa Kantonis dan artinya adalah "makanan kecil". Biasanya dim sum dimakan sebagai sarapan atau brunch. Namun karena dimsum populer ke dunia dari Hongkong maka istilah dimsum lebih populer dibandingkan dianxin.<br />Dimsum terdiri dari berbagai macam penganan kecil-kecil yang biasanya merupakan makanan bersama teh. Orang Kanton sendiri sangat mementingkan acara minum teh yang disebut yamcha (hanyu pinyin: yincha).<br /><br />l. Fu yong hai <br />Fu yong hai adalah masakan Tionghoa yang dibuat dari telur yang didadar dengan campuran berupa sayuran, dan/atau ayam, makanan laut berupa kepiting, dan lain-lain dan disiram dengan saus asam manis yang biasanya terbuat dari tomat dan kacang polong tetapi ada juga saus yang disertai dengan potongan nanas di dalamnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />m. Fung zau<br /> <br /> <br />Fung zu yang dihidangkan pada sebuah restoran.<br />Fung zau atau Ceker Ayam atau dalam bahasa Inggris biasanya dieja sebagai fon chauw (Hanzi: fung zau, (Sederhana) pinyin: fèngzhua) adalah sejenis makanan dim sum yang terbuat dari cakar ayam. Cakar ayam ini diberi bumbu-bumbu yang kemudian dikukus dan dihidangkan. Bumbunya terutama adalah saus tiram. Sebagai dim sum fung zau juga populer di Indonesia.<br /><br />n. Ifu mie<br /> <br /> <br />Ifu mie adalah sejenis makanan Tionghoa. Makanan ini berbentuk bakmie yang telah direbus lalu digoreng lagi sampai garing berbentuk sarang. Kemudian di atasnya disiram dengan tumisan sayuran, biasanya cap cay.<br />Ifu mie juga populer di Indonesia dan seringkali dimakan pada acara-acara khusus.<br /><br />o. Jiaozi<br /> <br />Jiaozi adalah nama makanan di kawasan RRT<br />p. Kue Bulan<br /> <br /> <br />Kue bulan tradisional<br />Kue bulan (Hanzi, pinyin: yuèbǐng) adalah penganan tradisional Tionghoa yang menjadi sajian wajib pada perayaan Festival Musim Gugur setiap tahunnya. Di Indonesia, kue bulan biasanya dikenal dalam dialek Hokkian-nya, gwee pia atau tiong chiu pia.<br />Kue bulan tradisional pada dasarnya berbentuk bulat, melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan.<br /><br />Asal mula<br />Kue bulan bermula dari penganan sesajian pada persembahan dan penghormatan pada leluhur di musim gugur, yang biasanya merupakan masa panen yang dianggap penting dalam kebudayaan Tionghoa yang berbasis agrikultural.<br />Perkembangan zaman menjadikan kue bulan berevolusi dari sesajian khusus pertengahan musim gugur kepada penganan dan hadiah namun tetap terkait pada perayaan festival musim gugur tadi.<br />Beberapa legenda mengemukakan bahwa kue bulan berasal dari Dinasti Ming, yang dikaitkan dengan pemberontakan heroik Zhu Yuanzhang memimpin para petani Han melawan pemerintah Mongol. Namun sebenarnya, kue bulan telah ada tercatat dalam sejarah paling awal pada zaman Dinasti Song. Dari sini, kue bulan dipastikan telah populer dan eksis jauh sebelum Dinasti Ming berdiri.<br /><br />Kategori<br />• menurut cara pembuatan: Guangdong, Beijing, Taiwan, Hongkong, Chaozhou. <br />• menurut rasa: manis, asin, pedas <br />• menurut isi: kuning telur, tausa (kacang merah), buah-buahan, kacang hijau, es krim <br />• menurut bahan kulit: tepung gandum, gula dan es <br />Pembuatan kue bulan di Indonesia pada dasarnya berasal dari gaya pembuatan Guangdong dan Chaozhou. Juga ada lokalisasi dengan cara pencampuran bahan-bahan yang mudah didapatkan di Indonesia, semisal daun pandan sebagai perasa.<br />Dan masih banyak kategori-kategori lainnya hasil inovasi gaya pembuatan kue bulan gaya baru di pasaran.<br /><br />q. Kwetiau<br /> <br /> <br />Kwetiau kuah<br />Kwetiau (guotiao; juga disebut shā hé fěn) adalah sejenis mi Tionghoa berwarna putih yang terbuat dari beras. Dapat digoreng ataupun dimasak berkuah. Kwetiau merupakan makanan yang cukup populer di Indonesia, terutama di daerah Jakarta dan tempat-tempat lain yang banyak didiami warga keturunan Tionghoa.<br />Kwetiau pada umumnya identik dengan etnis Hokkian dan Tio Ciu. Dalam penyebarannya di Indonesia, etnis Hokkian dan Tio Ciu berbeda dalam hal penyajian kwetiau. Etnis Hokkian yang banyak berdiam di Sumatra terkenal dengan Kwetiau Medan yang memakai baso ikan, lapchiong (sosis babi), dan telur bebek. Sedangkan etnis Tio Ciu yang banyak berdiam di Kalimantan terkenal dengan Kwetiau Sapi yang memakai daging sapi dan jeroannya seperti babat.<br /><br />r. Lumpia<br /> <br /> <br />Sajian lumpia disebuah restoran<br />Lumpia atau kadangkala dieja sebagai lun pia (Hanzi: 潤餅, hanyu pinyin: run bing) adalah sejenis penganan tradisional Tionghoa. Lumpia sendiri adalah dialek Hokkian dari pelafalan runbing dalam dialek Utara.<br />Lumpia adalah lembaran tipis dari tepung gandum yang dijadikan kulit, lalu digunakan sebagai pembungkus isian yang biasanya terdiri dari rebung, telur, sayuran segar, daging maupun makanan laut.<br /><br />s. Nasi ayam Hainan<br />Nasi ayam Hainan<br /> <br /><br />Nasi ayam Hainan dihidangkan di medan selera<br /><br />Tulisan Tradisional:<br />海南雞飯<br /><br />Tulisan Ringkas:<br />海南鸡饭<br /><br />Maksud harfiah: Nasi ayam Hainan<br /> <br />Daging ayam Hainan<br />Nasi ayam Hainan merupakan makanan Cina yang sering dikaitkan dengan makanan Malaysia atau Singapura, dan juga ditemui di negara berjiran Thailand, serta juga di wilayah Hainan, China. Nasi ayam Hainan yang dinamakan sedemikian kerana asal-usulnya dalam makanan Hainan dan pengamalannya oleh populasi orang Cina seberang laut bersuku Hainan dalam kawasan Nanyang, versi makanan ini yang didapati di Malaysia/Singapura menggabungkan unsur-unsur masakan Hainan dan Kantonis ditambah lagi dengan citarasa pemakanan di Asia Tenggara. Nasi ayam Hainan berasal dari China, maka asal-usulnya juga di sana.<br /><br />Penyediaan<br /> <br />Nasi ayam.<br />Daging ayam disediakan melalui kaedah tradisional Hainan iaitu merebus seluruh seekor ayam dalam pati tulang ayam atau khinzir, mengguna semula air rebusan berbanyak kali dan hanya mengisi semula dengan air jika perlu, segalanya menurut citarasa orang Cina terhadap penghasilan "pati asal". Pati ini tidak digunakan untuk penyediaan nasi, yang sebaliknya melibatkan pati ayam yang dihasilkan khusunya untuk tujuan tersebut, maka hasilnya nasi yang berminyak dan berperisa yang kadang-kadang digelar "nasi minyak". Sesetengah tukang masak membubuh santan kelapa ke dalam nasi, meniru gaya penyediaan nasi lemak.<br />Orang Hainan lebih gemar ayam yang matang dan gempal untuk memaksimumkan amaun minyak yang diekstrak, maka terhasilnya sajian yang lebih kuat rasanya. Lama-kelamaan, sajian ini mula menerapkan unsur-unsur gaya pemasakan Kantonis seperti menggunakan ayam yang lebih muda untuk daging yang lebih lembut. Dalam satu variasi yang lain, ayam dicelup dalam ais setelah dimasak untuk menghasilkan kulit selicin jeli, iaitu Báijī atau "ayam putih", berbanding dengan Lǔjī ("ayam pati") yang lebih tradisional, juga dikenali sebagai Shāojī atau "ayam panggang". Di Singapura, di mana arus pemodenan menyukarkan pengekalan dan penyimpanan pati asal jangka masa panjang, daging dimasak melalui perebusan dalam air berperisa bawang putih dan halia, kemudian pati yang dihasilkan diguna dalam penyediaan nasi dan juga dalam sup yang mengiringinya.<br />Sajian ini sering dihidangkan beserta sebilangan cecahan, termasuk sos cili dan serbuk halia. Di Hainan juga sering dihidangkan sos ketiga yang beramuankan sos tiram bercampur dengan bawang putih, manakala kicap pekat lebih diutamakan di Malaysia/Singapura. Versi Malaysian/Singapura bagi cili pula lebih pedas, mencerminkan pengaruh Asia Tenggara, dan boleh juga melibatkan campuran cili dengan bawang putih. Kebanyakan hidangan nasi ayam ini disajikan dengan hirisan timun, iaitu bayangan bagi citarasa orang Cina yang gemar kepelbagaian untuk sajian yang lebih lengkap.<br /><br />t. Nasi goreng<br /> <br /> <br />Nasi goreng<br />Nasi goreng adalah sebuah komponen penting dari masakan tradisional Tionghoa, menurut catatan sejarah sudah mulai ada sejak 4000 SM. Nasi goreng kemudian tersebar ke Asia Tenggara dibawa oleh perantau-perantau Tionghoa yang menetap di sana dan menciptakan nasi goreng khas lokal yang didasarkan atas perbedaan bumbu-bumbu dan cara menggoreng.<br />Nasi goreng sebenarnya muncul dari beberapa sifat dalam kebudayaan Tionghoa, yang tidak suka mencicipi makanan dingin dan juga membuang sisa makanan beberapa hari sebelumnya. Makanya, nasi yang dingin itu kemudian digoreng untuk dihidangkan kembali di meja makan.<br /><br />u. Selai kacang merah <br /> <br />Selai kacang merah dari kaleng<br />Selai kacang merah adalah selai yang dibuat dengan merebus kacang azuki hingga empuk, dan dimasak dengan gula hingga kental. Seringkali setelah direbus, kulit ari kacang merah dibuang dan disaring untuk menghasilkan selai yang lebih halus. Madu dan tepung kadang-kadang ditambahkan sewaktu memasak kacang merah. Selai kacang merah digunakan sebagai isi berbagai kue Tionghoa, Jepang, dan Korea. Selai kacang merah siap pakai bisa dibeli dalam kemasan kaleng atau kantong plastik.<br />Selai kacang merah berasal dari Tiongkok dan disebut dalam bahasa Tionghoa sebagai pinyin: hóngdòushā/dòushā, atau angtaosa dalam bahasa Hokkien. Dalam bahasa Jepang, selai kacang merah disebut An, Anko, atau Ogura. Anko berasal dari bahasa Tionghoa; pinyin: xiànzi yang berarti isi kacang merah dari bakpao. Dalam bahasa Korea, selai kacang merah disebut pat.<br /><br />v. Susu kacang<br /><br />Susu kacang disajikan dalam gelas ataupun kemasan kaleng<br />Susu kacang adalah semacam minuman yang dibuat daripada kacang kuning, mendapat namanya karena minuman ini berwarna putih kekuningan mirip dengan susu.<br />Susu kacang lazim sebagai hidangan sarapan pagi bersama dengan penganan lainnya seperti youtiao.<br /><br />Asal mula<br />Susu kacang telah ada di Tiongkok selama ribuan tahun, tepatnya 1900 tahun lalu. Tercatat bahwa Raja Huainan, Liu An dari Dinasti Han karena sang ibu sakit tak dapat mengunyah makanan keras, Liu An kemudian menggiling kacang kuning yang telah direndam selama beberapa waktu menjadi cairan yang kemudian dikenal sebagai susu kacang.<br />Penyakit sang ibu kemudian berangsur membaik menyebabkan susu kacang kemudian menyebar luas ke masyarakat. Susu kacang menjadi minuman umum di dalam kebudayaan Tionghoa karena cocok diminum sepanjang tahun.<br />w. Tahu <br /> <br />Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Berbeda dengan tempe yang asli dari Indonesia, tahu berasal dari China, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) (hanyu pinyin: doufu) yang secara harfiah berarti "kedelai yang difermentasi". Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An yang merupakan seorang bangsawan, cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang yang mendirikan Dinasti Han.<br /><br />x. Tahu busuk <br /> <br />Tahu busuk<br /> <br />Warung tahu busuk<br />Tahu busuk (hanyu pinyin: chou doufu) adalah salah satu penganan tradisional Tionghoa. Tahu busuk adalah sejenis tahu yang difermentasikan lebih lanjut sehingga menjadi berbau tidak enak. Penyajiannya bermacam-macam, dapat digoreng, dikukus, direbus atau dipanggang. Yang unik, setelah digoreng, direbus, dikukus atau dipanggang, tahu ini tidak berbau busuk lagi dan dapat menjadi sebuah penganan yang sangat enak.<br />Penganan ini pada masanya pernah menjadi hidangan kekaisaran, menjadi penganan favorit Maharatu Ci Xi di masa Dinasti Qing.<br /><br />y. Tauhue<br /> <br />Tauhue sebagai penganan populer di Tainan, Taiwan<br />Tauhue (hanyu pinyin: douhua), di Indonesia lebih umum dikenal dengan nama kembang tahu, adalah sebuah penganan kecil tradisional Tionghoa. Tauhue adalah dialek Hokkian yang lazim dibahasakan di kalangan Tionghoa-Indonesia.<br />Tauhue erat hubungannya dengan tahu karena bahan dan cara pembuatan yang hampir sama. Kacang kedelai yang diperas menghasilkan susu kacang kedelai. Ke dalam susu ini kemudian ditambahkan sedikit gipsum untuk menghasilkan bentuk yang lebih padat namun lunak. Jadilah tauhue ini sejenis tahu yang sangat lunak.<br />Tauhue sangat populer di selatan Tiongkok. Biasanya dihidangkan bersama dengan air gula. Di Taiwan, tauhue biasanya juga dihidangkan bersama kacang merah, air jeruk nipis untuk menambah keragaman rasa.<br /><br />z. Xiaolongbao<br /> <br />Xiaolongbao<br />Xiaolongbao adalah makanan yang berasal dari Shanghai, RRT. Xiaolongbao umumnya dikukus dalam keranjang bambu<br /><br />10. TARIAN <br />a. Tarian singa<br /> <br /> <br />Kostum tarian singa selatan.<br />Tarian Singa (bahasa Cina: pinyin: wǔshī) adalah sebahagian daripada tarian tradisional dalam adat warisan masyarakat Cina, yang mana penari akan meniru pergerakan singa dengan menggunakan kostum singa. Kostum singa itu dimainkan oleh dua penari iaitu seorang memainkan di bahagian hadapan dengan menggerakan kepala kostum, manakala pasangan penari akan memainkan bahagian belakang kostum singa tersebut. Kedua-dua penari itu akan bergerak seakan-akan singa di atas pentas yang disediakan. Tarian singa ini akan diiringi oleh gong, dram, dan dentuman mercun yang dikatakan akan membawa tuah.<br /><br />Sejarah<br />Sejarah singa dianggap sebagai pelindung dalam kebanyakan adat orang Asia, terutamanya bagi mereka yang berketurunan orang Cina. Tarian singa menjadi adat di negara China, Taiwan, Jepun, Korea, Thailand, dan Vietnam. Setiap negara tersebut mempunyai corak dan bentuk tarian yang berbeza. Namun tarian ini lebih terkenal sebagai warisan orang Cina, kerana dikatakan sejarahnya bermula lebih 1,000 tahun lalu. Dua tarian singa yang amat popular ialah "Tarian Singa Utara" dan "Tarian Singa Selatan".<br />Tarian Singa Utara adalah berasal dari bahagian utara China yang menggunakan tarian ini sebagai hiburan diraja. Kostum singa mereka menggunakan warna merah, jingga dan kuning (hijau bagi kostum singa betina). Tarian Singa Utara adalah lebih banyak pergerakan akrobatik dan bertujuan sebagai hiburan.<br />Tarian Singa Selatan lebih membawa perlambangan alam sekitar. Tarian ini selalu dipersembahkan sebagai istiadat upacara membuang semangat jahat dan upacara meminta tuah. Tarian Singa Selatan menggunakan pelbagai warna dan kepala kostum mempunyai mata yang lebih besar daripada Singa Utara, dan mempunyai cermin serta sebatang tanduk di hadapan kepalanya.<br /><br />b. Tarian naga<br /> <br />Kepala pakaian beragam penari tarian naga.<br /><br /> <br />Persatuan Pemuda Cina Melbourne (Australia), membuat persembahan Tahun Baru China - menunjukkan asas pusingan skrew 'corkscrew'<br /><br /> <br />Tarian naga berkembar di Chongqing, China, 28 September 2002, semasa seminggu ulang tahun pada Hari kebangsaan China moden (1st Oktober)<br />Tarian naga (Cina Tradisional: Cina Ringkas, pinyin: wǔ lóng) ialah sebentuk tarian dan persembahan tradisional dalam budaya Cina. Sepertilah tarian singa, tarian naga sering dipersembahkan pada musim perayaan. Orang Cina selalu menyebut "Keturunan Naga" (Cina Tradisional, Cina Ringkas, pinyin: lóng de chuán rén) sebagai lambang identiti etnik.<br />Dalam tarian ini, sepasukan orang Cina memegang sebatang "naga" — iaitu imej naga Cina — dengan tiang. Penari-penari hadapan mengangkat, mencelup, membidas, dan menyapu kepala naga, yang boleh memiliki ciri-ciri animasi yang dikawal oleh seorang penari dan kadang-kala dikawal untuk mengeluarkan asap dari alat-alat piroteknik. Pasukan tarian meniru apa yang dipercayai sebagai gerakan semangat sungai ini secara berbelok-belok dan beralun-alun.<br />Gerakan-gerakan dalam persembahan ini secara tradisinya melambangkan peranan-peranan naga yang menunjukkan kuasa dan maruah. Tarian naga ialah satu acara utama sambutan Tahun Baru Cina.<br />Naga dipercayai membawa tuah kepada orang, seperti yang dicerminkan dalam sifat-sifat naga termasuk kuasa besar, maruah, kesuburan, kebijaksanaan dan tuah. Kemunculan naga sungguhpun menakutkan namun membawa kecenderungan hati murni, maka menjadi jata yang melambangkan kekuasaan maharaja.<br /><br /><br /><br />c. Barongsai<br /> <br /> <br />Barongsai adalah tarian tradisional Tiongkok dengan mengunakan sarung yang menyerupai singa[1]. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi[2].<br /><br />Sejarah<br />Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda[3].<br /><br />Tarian dan gerakan<br />Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’.<br />Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.<br />Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa[2].<br /><br />Barongsai di Indonesia<br />Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan[3].<br />Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika jaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi. Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Tionghoa yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta[2].<br />Pada zaman pemerintahan Soeharto, barongsai sempat tidak diijinkan untuk dimainkan. Satu-satunya tempat di Indonesia yang bisa menampilkan barongsai secara besar-besaran adalah di kota Semarang, tepatnya di panggung besar kelenteng Sam Poo Kong atau dikenal juga dengan Kelenteng Gedong Batu. Setiap tahun, pada tanggal 29-30 bulan enam menurut penanggalan Tiong Hoa (Imlik), barongsai dari keenam perguruan di Semarang, dipentaskan. Keenam perguruan tersebut adalah:<br />1. Sam Poo Tong, dengan seragam putih-jingga-hitam (kaos-sabuk-celana), sebagai tuan rumah <br />2. Ho Hap dengan seragam putih-hitam <br />3. Djien Gie Tong (Budi Luhur) dengan seragam kuning-merah-hitam <br />4. Djien Ho Tong (Dharma Hangga Taruna) dengan seragam putih-hijau <br />5. Hauw Gie Hwee dengan seragam hijau-kuning-hijau kemudian digantikan Dharma Asih dengan seragam merah-kuning=merah <br />6. Porsigab (Persatuan Olah Raga Silat Gabungan) dengan seragam biru-kuning-biru <br />Walaupun yang bermain barongsai atas nama ke-enam kelompok tersebut, tetapi bukan berarti hanya oleh orang-orang Semarang. Karena ke-enam perguruan tersebut mempunyai anak-anak cabang yang tersebar di Pulau Jawa bahkan sampai ke Padang dan Lampung. Di kelenteng Gedong Batu, biasanya barongsai (atau di Semarang disebut juga dengan istilah Sam Sie) dimainkan bersama dengan Liong (naga) dan Say (kepalanya terbentuk dari perisai bulat, dan dihias menyerupai barongsai berikut ekornya).<br /><br />11. MITOS CINA<br />Laman-laman dalam kategori "Mitos Cina"<br />Terdapat 3 laman dalam kategori ini. <br />• Cai Shen<br />• Maharaja Jed<br />Maharaja Jed (bahasa Cina: pinyin: Yù Huáng atau 玉帝, pinyin: Yù Dì), dalam kepercayaan Tao, ialah pemerintah Syurga dan segala alam kewujudan di bawahnya termasuk alam Manusia dan Neraka menurut mitos Cina. Maharaja inilah salah satu dewa yang terpenting dalam kepercayaan Tao Cina.<br />Menurut kitab Memahami Syurga dan Neraka dan Jamuan Peach Abadi, Maharaja Jed dipilih oleh satu barisan dewa-dewi yang perlu lulus satu ujian oleh pendahulunya. Maharaja Jed ialah salah satu tuhan yang pentin dalam panteon Tao dan Konfusianisme Cina.<br />Sebuah kawah di Rhea, sebiji bulan planet Zuhal yang ditemui kapal angkasa Voyager 2, dinamakan sempena Maharaja ini.<br /><br /><br />• Nian<br /> <br />Tarian singa China Selatan menyerupai raksasa Nian<br />Untuk kegunaan lain, sila lihat: Pemberontakan Nien.<br />Dalam mitos Cina, raksasa Nian (Cina Tradisional: 年獸, Cina Ringkas: 年兽, pinyin: nián shòu) ialah seekor makhluk yang muncul pada musim bunga. Perkataan bahasa Cina bagi tahun berdasarkan ketibaan makhluk ini. Satu ungkapan untuk menyambut Tahun Baru Cina, guo nian (Cina Tradisional: 過年, Cina Ringkas: 过年, pinyin: guò nián) bererti perempuhan raksasa Nian. Adalah dipercayai bahawa raksasa Nian tinggal di dasar laut dan tiba di daratan untuk menyerang manusia pada masa yang sama setiap tahun. Tradisi Cina berhias serba merah, membakar mercun, dan tarian singa yang diiringi gendang dan gong kuat bertujuan mengusir makhluk ini.<br />Raksasa Nian<br />Raksasa Nian selalu tiba di China lalu memakan sesiapa yang dijumpainya, namun dalam sesetengah kisah, seorang dewa dikatakan memperguna kuasa-kuasa raksasa Nian (memakan ular berbisa dan membunuh haiwan buas seperti harimau dan singa) sebelum menjinakkan raksasa itu (dengan menunjukkan pakaian merahnya untuk menakutkan raksasa Nian yang mtakut akan warna merah). Semenjak itu, orang ramai memasang kuplet merah untuk menghindari kembalinya raksasa Nian.<br />Ketika Tahun Baru Cina, terdapat dua jenis tarian singa. Singa utara Rui Shi (Cina Tradisional: Cina Ringkas:, pinyin: ruì shī) berambut panjang, bertelinga terkulai dan berkepala bulat tanpa tanduk. Namanya diterjemah sebagai singa, tetapi semestinya bukan sejenis dengan singa di Afrika. Singa utara ini berasaskan rupa singa penjaga agung. Singa selatan pula, terutamanya yang Kantonis, bertanduk satu pada dahinya. Singa Kantonis ini berasaskan rupa Nian, tetapi tidak sama dengan singa utara. Sesetengah legenda menceritakan bahawa tarian singa Kantonis ialah lakonan semula kisah Bu Dai menjinakkan raksasa Nian.<br /> <br />Nian gaya selatan yang bercirikan singa, unikorn dan lembu (Ming)<br /><br />12. PERIBAHASA TIONGKOK<br /> <br />Chengyu ditulis dalam Hanzi<br />Peribahasa Tiongkok dalam bahasa asalnya disebut sebagai chengyu (Hanzi: 成語), mempunyai sejarah sangat tua seiring dengan sejarah peradaban Tiongkok dan perkembangan bahasa Tionghoa. Peribahasa Tiongkok biasanya terbentuk dari 4 karakter yang membentuk satu kesatuan peribahasa. Keempat karakter ini punya struktur tertentu yang tidak boleh diubah-ubah untuk tidak menimbulkan kerancuan.<br />Rata-rata peribahasa Tiongkok mempunyai asal-usul cerita yang menarik, bisa dari mitologi atau acuan sejarah faktual, bisa pula muncul dari hasil karya sastra dari berbagai dinasti dalam sejarah Tiongkok.<br />Dalam halaman peribahasa Tiongkok ini, peribahasa akan ditampilkan dalam hanyu pinyin bersama lafal nada dan diurut menurut karakter latin awal kata pertama dari peribahasa tersebut. Kemudian di belakang akan ditampilkan pula karakter Han dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.<br /><br />13. SASTRA JAWA-TIONGHOA<br /> <br />Serat Sam Kok atau Kisah Tiga Negara dalam bahasa Jawa<br />Sastra Jawa-Tionghoa adalah karya sastra dalam bahasa Jawa yang ditulis oleh orang Tionghoa di daerah Jawa. Karya-karya sastra ini terutama menyangkut cerita-cerita dari Tiongkok yang dialihbahasakan atau digubah ulang dalam bahasa Jawa. Selain itu ada pula karya-karya asli dalam bahasa Jawa yang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan komunitas Tionghoa di Jawa.<br />Karya sastra Jawa yang ditulis oleh orang Jawa mengenai orang Tionghoa tidaklah termasuk sastra Jawa-Tionghoa. Karya-karya ini antara lain adalah Babad Bangun Tapa (atau Babad Nonah Kuwi)[1] dan Babad Geger Pacinan[2]<br /><br />Latar belakang<br />Bangsa Tionghoa telah berhubungan dengan Jawa tidak hanya selama ratusan tahun tetapi mungkin sudah ribuan tahun. Bukti tertua hubungan (budaya) antara Jawa dan Tiongkok ialah sebuah laporan oleh I Ching, seorang rohaniawan Tionghoa yang ingin mempelajari agama Buddha. Ia lalu belajar bahasa Sansekerta kepada seorang Jawa bernama Jñanabhadra.<br />Lalu pada sebuah prasasti berbahasa Jawa yang berasal dari abad ke-9 disebutkan frasa juru Cina yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai "Kepala bangsa China/Tionghoa". Hal ini membuktikan bahwa saat itupun sudah banyak warga dari Tiongkok yang menetap di pulau Jawa. Mereka lambat laun berbaur dengan penduduk setempat terutama di daerah-daerah pesisir. Lalu pada abad ke-18 dan terutama akhir abad ke-19 banyak pendatang dari Tiongkok yang bermukim di tanah Jawa.<br />Para pendatang ini di Jawa setelah sekian lama tidak semata-mata hanya menggunakan bahasa Tionghoa untuk berkomunikasi namun lalu juga menggunakan bahasa Jawa. Lalu merekapun akhirnya meniru bangsa Jawa dan mulai menuliskan karya sastra Tionghoa tidak hanya dalam bahasa Jawa namun juga menggunakan konvensi Jawa; yaitu menulis dalam bentuk tembang.<br />1. Karya ini mengenai pembuangan Sunan Pakubuwana VI di Ambon dan pernikahannya dengan seorang wanita Tionghoa bernama Kuwi <br />2. Karya ini merupakan karya sejarah mengenai pembantaian orang Tionghoa di Batavia dan pemberontakan mereka yang akhirnya mengakibatkan Keraton Mataram di Karasura dihancurkan. <br /><br /><br />14. PENGOBATAN TRADISIONAL TIONGHOA<br /> <br /> <br />Gerai obat tradisional Tionghoa di Tsim Sha Tsui, Hong Kong.<br />Pengobatan tradisional Tionghoa adalah praktek pengobatan tradisional yang dilakukan di Tiongkok dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.<br />Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.<br />Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada konsep tersebut. Pengobatan tradisional Tiongkok tidak jarang berselisih dengan kedokteran Barat, namun beberapa praktisi mengombinasikannya dengan prinsip kedokteran berdasarkan pembuktian.<br /><br /> Sejarah<br />Sebagian besar filosofi pengobatan tradisional Tiongkok berasal dari filsafat Taois dan mencerminkan kepercayaan purba Tiongkok yang menyatakan pengalaman pribadi seseorang memperlihatkan prinsip kausatif di lingkungan. Prinsip kausatif ini berhubungan dengan takdir dari surga.<br />Selama masa kejayaan Kekaisaran Kuning pada 2696 sampai 2598 SM, dihasilkan karya yang terkenal yakni Neijing Suwen atau Pertanyaan Dasar mengenai Pengobatan Penyakit Dalam, yang dikenal juga sebagai Huangdi Neijing.<br />Ketika masa dinasti Han, Chang Chung-Ching, seorang walikota Chang-sa, pada akhir abad ke-2 Masehi, menulis sebuah karya Risalat Demam Tifoid, yang mengandung referensi pada Neijing Suwen. Ini adalah referensi ke Neijing Suwen terlama yang pernah diketahui.<br />Pada masa dinasti Chin, seorang tabib akupunktur, Huang-fu Mi (215-282 Masehi), juga mengutip karya Kaisar Kuning itu pada karyanya Chia I Ching. Wang Ping, pada masa dinasti Tang, mengatakan bahwaia memiliki kopi asli Neijing Suwen yang telah ia sunting.<br />Bagaimanapun, pengobatan klasik Tionghoa berbeda dengan pengobatan tradisional Tionghoa. Pemerintah nasionalis, pada masanya, menolak dan mencabut perlindungan hukum pada pengobatan klasiknya karena mereka tidak menginginkan Tiongkok tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Selama 30 tahun, pengobatan klasik dilarang di Tiongkok dan beberapa orang dituntut oleh pemerintah karena melakukan pengobatan klasik. Pada tahun 1960-an, Mao Zedong pada akhirnya memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat melarang pengobatan klasik. Ia memerintahkan 10 dokter terbaik untuk menyelidiki pengobatan klasik serta membuat sebuah bentuk standar aplikasi dari pengibatan klasik tersebut. Standarisasi itu menghasilkan pengibatan tradisional Tionghoa.<br />Kini, pengobatan tradisional Tionghoa diajarkan hampir di semua sekolah kedokteran di Tiongkok, sebagian besar Asia, dan Amerika Utara.<br />Walauapun kedokteran dan kebudayaan Barat telah menyentuh Tiongkok, pengobatan tradisional belum dpata tergantikan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor sosiologis dan antropologis. Pengobatan tradisional dipercaya sangat efektif, dan terkadang dapat berfungsi sebagai obat paliatif ketik kedokteran Barat tidak mampu menangani lagi, seperti pengobatan rutin pada kasus flu dan alergi, serta menangani pencegahan keracunan.<br />Tiongkok sangat dipengaruhi oleh marxisme. Pada sisi lain, dugaan supranatural bertentantangan pada kepercayaan Marxis, materialisme dialektikal. Tiongkok modern membawa pengobatan tradisional Tiongkok ke sisi ilmiah dan teknologi serta meninggalkan sisi kosmologisnya.<br /><br />Praktek pengobatan<br />Pada dunia Barat, pengobatan tradisional Tionghoa dianggap sebagai pengobatan alternatif. Bagaimanapun, di Republik Rakyat Tiongkok dan Taiwan, hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan sistem kesehatan.<br />Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pada abd ke-19, para praktisi pengobatan tradisional ini masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai penyakit infeksi, dan pemahaman ilmu kedokteran Barat seperti biokimia. Mereka menggunakan teori-teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis.<br />Tidak seperti beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan tradisional Tionghoa kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian sistem kesehatan di Tiongkok. Dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak ahli kedokteran Barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa ini.<br />Pengobatan tradisional Tiongkok sering diterapkan dalam membantu penanganan efek samping kemoterapi, membantu perawatan keteragantungan obat terlarangan, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh pengobatan konvensional dianggap mustahil untuk disembuhkan.<br /><br />Diagnosis<br />Terdapat empat macam metoe diagnosis pada pengobatan tradisional Tionghoa: mengamati (wàng), mendengar dan menghidu (wén), menanyakan riwayat (wèn), dan menyentuh (qiè).[1] The pulse-reading component of the touching examination is so important that Chinese patients may refer to going to the doctor as "Going to have my pulse felt"[2]<br /><br />Teknik diagnosis<br />• Palpasi atau merasakan denyut nadi arteri rasialis pasien pada enam posisi<br />• Mengamati keadaan lidah pasien<br />• Mengamati wajah pasien<br />• Menyentuh tubuh pasien, terutama bagian abdomen<br />• Mengamati suara pasien<br />• Mengamati permukaan telinga<br />• Mengamati pembuluh darah halus pada jalur telunjuk kanak-kanak<br />• Membandingkan kehangatan relatif atau suhu pada beberapa bagian tubuh<br />• Mengamati bau badan pasien<br />• Menanyakan efek permasalahannya<br />• Pemeriksaan lain tanpa alat dan melukai pasien<br /><br />Teknik perawatan<br />Dalam sejarahnya, terdapat delapan cara pengobatan:<br />1. Tui na - terapi pijat<br />2. Akupunktur <br />3. Obat herbal Tionghoa<br />4. Terapi makanan Tionghoa <br />5. Qigong dan latihan meditas - pernapasan lainnya<br />6. T'ai Chi Ch'uan dan seni bela diri Tionghoa lainnya<br />7. Feng shui <br />8. Astrologi Tionghoas<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TEMPAT WISATA<br />PECINAN YOGYAKARTA<br /><br /> <br /><br /><br />Sebuah kampung bersejarah sebenarnya selalu dilewati banyak orang jika berjalan ke selatan Malioboro, namun kadang pesonanya terlewatkan karena orang sudah terlalu asyik berbelanja. Kampung bernama Kampung Pecinan (kini Jalan Pecinan diganti dengan nama Jalan Ahmad Yani) itu adalah tempat dimulainya kesuksesan pedagang Tionghoa di Yogyakarta disana terdapat beberapa toko dan kios bersejarah yang berusia puluhan tahun.<br />Anda bisa memulai perjalanan keliling dari bagian samping kampung itu, tepatnya di jalan sebelah Toko Batik Terang Bulan. Sampai di gang pertama, Anda bisa berbelok ke kiri untuk menemukan tempat pengobatan Tiongkok yang cukup legendaris. Di tempat itulah dulu seorang tabib ampuh mengobati penyakit patah tulang, hanya bermodalkan bubuk campuran tanaman obat yang ditempelkan pada permukaan kulit bagian tubuh yang tulangnya patah.<br />Berjalan keluar dari gang itu dan menuju arah timur, Anda bisa menemukan berbagai kios-kios barang dan jasa dengan dinding umumnya berwarna putih. Salah satunya adalah kios permak gigi tradisional Tiongkok yang melayani pemutihan gigi, penambahan aksesoris gigi untuk mempercantiknya hingga bermacam perawatan untuk menjadikannya semakin menawan. Kios jasa perawatan gigi itu biasanya memiliki tembok berwarna krem dengan jendela depan bergambar gigi<br /><br />Selain kios jasa perawatan gigi, Anda pun bisa menemukan kios-kios yang menjual masakan Tionghoa seperti bakmi, cap cay, kwe tiau dan sebagainya. Kios-kios lain hingga kini bertahan dengan barang dagangan bahan-bahan kue, bakal pakaian, aksesoris dan sembako.<br />Dari toko Terang Bulan, bila Anda berjalan ke barat, tepatnya menyusuri Jalan Pajeksan, Anda juga akan menemui kios-kios serupa. Namun yang khas, di ujung jalan itu Anda akan menemui rumah yang digunakan sebagai tempat berkumpul anggota Perhimpunan Fu Ching. Perhimpunan itu beranggotakan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang tinggal atau berdagang di wilayah itu. <br />Pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya Imlek, anggota perhimpunan itu menggelar acara kesenian tradisional Tiongkok.<br /><br /> Usai menyusuri kawasan tersebut, Anda bisa menuju ke arah selatan dari toko batik Terang Bulan. Anda akan menemui sebuah toko roti bernama ‘Djoen’. Sejak hampir seratus tahun lalu, toko bernama lengkap ‘Perusahaan Roti dan Kuwe Djoen’ itu telah menjadi kebanggaan masyarakat Yogya. Ketuaan usianya bisa dilihat jika Anda berdiri di seberang jalannya, ditandai dengan nama toko yang tertulis di temboknya, sebuah ciri toko-toko di kawasan itu pada masa lalu. Kini, produknya telah menyesuaikan dengan selera pasar dengan mempertahankan beberapa yang khas, misalnya kue bantal, yaitu roti tawar bertabur wijen yang berbentuk pipih oval.<br />Sampai di kawasan Lor Pasar, Anda bisa menemui kios-kios tradisional yang menjual berbagai kebutuhan, mulai dari elektronik, peralatan menjahit dan aksesoris pakaian, peralatan memasak hingga perhiasan emas. Kawasan ini sejak lama telah dikenal masyarakat Yogya sebagai salah satu tempat mendapatkan kebutuhan dengan harga murah. Selain menjual barang-barang baru, beberapa kios juga menjual barang bekas.<br /><br />Di kawasan Pecinan yang terletak di seberang Pasar Beringharjo, terdapat sebuah toko obat yang sudah cukup lama berdiri, yaitu ‘Toko Obat Bah Gemuk’. Di toko obat itulah dijual berbagai macam obat tradisional Tiongkok yang kemanjurannya telah dikenal di seluruh penjuru dunia.<br />Meski kini citra kawasan Pecinan ini sedikit memudar, namun adanya beberapa kios yang hingga kini masih bertahan menjadikan kawasan ini masih tetap menarik untuk dikunjungi.<br />Pecinan Semarang<br /> <br />NGISOR ASEM<br /> Kampung yang dimaksud berada di Kelurahan Kuningan, Semarang Utara, tepatnya di sebelah utara Pabrik Anggur Kolesom cap Orang Tua.<br /> Akibat penggantian nama, kampung itu sekarang berubah menjadi Darat Lasimin. Namun, secara informal, orang masih kerap menyebutnya dengan nama lama, Kampung Cina. Unik, meski menggunakan nama Cina, tak satu pun warga kampung tersebut beretnis China. <br /> Dari sisi historis dan pemaknaan, kawasan tersebut berbeda dengan Pecinan. Jika Pecinan sengaja dibentuk VOC untuk memutus rantai koalisi dengan penduduk pribumi, Kampung Cina tidak demikian. Menurut penuturan sesepuh warga setempat, Abdul Rahman (76), ihwal nama kampung itu dapat dirunut dari sang pemilik tanah, Liem Mo Lien, yang beretnis China. <br /> Pada masa lalu, tuan tanah yang tinggal di Kampung Petudungan tersebut menyewakan tanahnya kepada warga yang membutuhkan untuk membangun rumah. Mungkin karena pemiliknya orang China, kampung ini dinamakan Kampung Cina. <br /> Tanah itu dikaveling-kaveling dalam berbagai ukuran, sesuai keinginan dan kemampuan penyewa. Abdul Karim, ayah Abdul Rohman, yang berasal dari Banjarmasin misalnya, menyewa tanah kepada Liem Mo Lien dengan ukuran 9 x 32 meter. ''Waktu kecil, saya ingat bapak membayar uang sewa 3 ketip atau 30 sen per bulan. Yang melakukan penarikan namanya Bah Kodok, anak buah Liem Mo Lien,'' ungkap Abdul Rahman. <br /> Penghuni Kampung Cina berasal dari berbagai daerah di Indonesia, Selain Banjarmasin, ada pula orang Madura, serta pendatang dari luar kota, seperti Kendal, Demak, Ungaran, Kudus, dan Pekalongan. <br /> Mereka datang ke kota ini untuk beroleh pencaharian. Maklum, Semarang yang sejak 1906 berubah stasus menjadi Staad Gementee berkembang menjadi kota industri. Pemegang otoritas memberi kemudahan pendirian pabrik-pabrik baru. Nah, warga pendatang mencari peruntungan, dengan bekerja di pabrik-pabrik itu sebagai buruh atau menjadi pekerja sektor informal.<br /> Pada awal pendirian, Kampung Cina masih berada di daerah pinggiran. Tanah di sebelah utara kampung masih berupa areal persawahan dan pertambakan. Seiring perkembangan zaman, sawah-sawah dan tambak tersebut juga dijadikan permukiman.<br /> Pada masa Jepang, pemilik tanah tidak lagi menarik uang sewa. Namun, Abdul Rahman tidak tahu alasan yang melatarinya. Memasuki zaman kemerdekaan, tanah di Kampung Cina diambil alih oleh negara. Sejak itu, warga penyewa membayar PBB. <br /> Baru pascareformasi, mereka mengajukan status hak milik atas tanah yang mereka tinggali tersebut, dan Badan Pertanahan Nasional (BTN) mengabulkannya. Kampung Cina sendiri makin ramai setelah 1960-an. Bangunan rumah yang semula jarang-jarang menjadi rapat. Kini, di sana nyaris tak ada tanah sisa.<br />Mesjid Pecinan Tinggi<br /><br /> Mesjid Pecinan Tinggi, seperti namanya dibagun didaerah pemukiman cina pada masa kesultanan Banten. Terletak kurang lebih 500 meter ke arah Barat dari mesjid Agung Banten atau 400 meter ke arah selatan dari Benteng Spelwijk. Tidak banyak literatur yang menjelaskan asal usul didirikannya mesjid ini, kecuali hanya menjelaskan bahwa Mesjid Pecinan Tinggi ini merupakan mesjid yang pertama kali di bangun oleh Sultan Hasanudin sebelum kemudian mendirikan Mesjid Agung Banten.<br /> Berbeda dengan Mesjid Agung Banten yang masih berdiri dengan kokoh, Mesjid Pecinan Tinggi bisa dikatakan tinggal puing-puingnya saja. Selain sisa fondasi bangunan induknya yang terbuat dari batu bata dan batu karang, juga masih ada bagian dinding mihrabnya. Disamping itu, dihalaman depan disebelah kiri (utara) mesjid tersebut, masih terdapat pula sisa bangunan menaranya yang berdenah bujur sangkar. Menara ini terbuat dari bata dengan fondasi dan bagian bawahnya terbuat dari batu karang. Bagian atas menara ini sudah hancur, sehingga wujud secara keseluruhan / utuh dari bangunan ini sudah tidak nampak lagi. Tidak jauh dari menara tersebut dan masih dalam area yang sama terdapat pula sebuah makam cina. Entah apa kaitannya antara makam tersebut dengan mesjid pecinan tinggi, yang jelas makam tersebut hanyalah satu-satunya yang terdapat di lokasi ini. Tulisan cina yang ada di makam tersebut masih terpatri dengan jelas. Atas bantuan seorang teman yang paham dengan huruf cina, tulisan menjelaskan bahwa yang dikuburkan disana adalah pasangan suami istri (TioMo Sheng + Chou Kong Chian) yang berasal dari desa Yin Shao dan batu nissan tersebut didirikan pada tahun 1843 Bisa jadi kedua orang itu adalah imam / ustadz / pemuka agama sehingga layak dimakamkan disamping Mesjid PecinanTinggi.<br /> Dengan kondisi yang mengenaskan tersebut, praktis peninggalan budaya Mesjid Pecinan Tinggi jauh dari minatkunjungan wisata. Suasana yang terik dan tidak adanya pepohonan semakin menambah keengganan untuk mengunjunginya. Memang Mesjid Pecinan Tinggi bukanlah suatu objek wisata yang menarik untuk dikunjungi, terlebih bagi wisatawan keluarga. Namun bila anda berkunjung ke wilayah banten lama, tidak ada salahnya untuk meninjau sejenak ke lokasi ini, setidaknya bisa menjadi suplemen pengetahuan / kunjungan disamping objek wisata budaya banten lama lainnya.<br />Pecinan Glodok, Jakarta<br /> <br /> Jakarta meski telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan gedung pencakar langit serta sarana transportasi modern ternyata hingga kini masih menyimpan peninggalan sejarah, yaitu berupa bangunan kuno berikut adat istiadat dan budaya yang kental dengan pengaruh Tionghoa-nya yang dapat kita jumpai di Pecinan Glodok. <br /> Sisi kota tua Jakarta ini terdiri dari belasan gedung perkantoran, pemukiman yang mayoritas dihuni WNI keturunan Tionghoa dan bangunan tua peninggalan Belanda yang kemudian dijadikan museum oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Beberapa bangunan di kota tua Jakarta yang kini dijadikan museum antara lain Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Museum Wayang dan Museum Fatahillah. <br /> Bagi para pelancong lokal maupun mancanegara yang berwisata di kota tua ini dapat memberikan pengalaman tersendiri seolah kembali ke masa silam. Namun, dalam perjalanan waktu kini bangunan-bangunan tua di kawasan kota tua Jakarta itu berada dalam kondisi merana dan nyaris tidak terawat. <br /> Hal ini akhirnya disadari oleh Pemerintah DKI yang mulai melakukan program revitalisasi kota tua Jakarta yang telah dicanangkan pada awal tahun 1990-an. Masyarakat pemilik gedung dapat tetap memanfaatkan bangunannya sejauh mematuhi ketentuan undang-undang dan SK gubernur tersebut yang diatur lengkap dalam Perda 9 tahun 1999 mengenai pemanfaatan lingkungan bangunan bersejarah.<br /><br /> Memang sangat jelas tanpa peran serta masyarakat, program yang bertujuan memelihara lingkungan bangunan bersejarah dan sekaligus menghidupkan kembali ekonomi kawasan tersebut itu, sulit mencapai sasaran. <br />Pecinan Jakarta dari Glodok Hingga Beos <br /> Perjalanan menyusuri kota Jakarta Tempoe Doeloe dimulai dari kawasan Pecinan yang populer dengan sebutan Petak Sembilan serta Pancoran Glodok yang sejak berabad lalu memang merupakan pusat perniagaan yang terus bertahan hingga kini. <br /> Meski Pemprov Jakarta telah beberapa kali melakukan penataan kawasan tersebut namun pemerintah daerah meminta agar bangunan-bangunan toko disana yang kental dengan arsitektur Cina tetap dipertahankan dengan tidak mengubah bentuk bangunan yang ada. <br /> Hal itu terlihat di kawasan Glodok Pancoran misalnya dapat ditemui jejeran toko barang pecah belah hingga makanan kering yang merupakan bangunan lama berarsitektur Cina. Beberapa toko seperti Gloria yang telah berusia lebih dari 30 tahun dan toko Kawi, selain mencantumkan tahun berdirinya toko seperti sejak 1964 pada papan merek toko juga masih mempertahankan penataan barang dagangan dengan gaya zaman dulu yakni masih meletakan dagangan di atas rak-rak atau lemari-lemari kayu berukuran besar dengan kaca dorong. <br /> Dari kawasan perniagaan Pancoran Glodok, bangunan tua bersejarah yang kental dengan pengaruh arsitektur Belanda dan Cina dapat disaksikan di ujung jalan Gajah Mada atau yang dilebih dikenal dengan sebutan Beos. <br /> Di kawasan ini dapat ditemukan perpaduan antara arsitektur Belanda dan Cina pada gedung-gedung tua yang masih tegak berdiri seperti gedung pusat Bank Indonesia kini menjadi museum Bank Mandiri, Toko Merah, jembatan Kota Intan dan bekas Galangan VOC. <br /> Salah satu gedung tua berarsitektur Cina dibuat dari batu bata warna merah sehingga disebut Toko Merah didirikan pada 1730 sebagai tempat kediaman Gubernur Jenderal VOC Baton Van Imhoff. Tiga belas tahun kemudian, bangunan ini menjadi Akademi Angkatan Laut hingga 1755. Setelah itu pemiliknya berganti-ganti dan kini ditempati sebagai kantor PT Dharmaniaga. <br /> Sedangkan Jembatan Intan yang dulu dikenal Jembatan Jungkit. Sesuai dengan namanya, setiap kali kapal besar hendak melintas jembatan ini diangkat dulu. Sayangnya di masa Orde Baru jembatan ini dipugar dan dibuat permanen dan tidak bisa lagi dijungkitkan. Alasannya bisa jadi karena sekarang tak ada lagi kapal besar yang bisa berlabuh. <br /> Kawasan kota tua Jakarta memang layak dijadikan hanya obyek wisata sejarah sebab tidak hanya kaya oleh bangunan-bangunan tua yang kini dijadikan museum tetapi perkampungan tua yang kental dengan nuansa Tionghoa, seperti Kampoeng Kramat Loear Batang, Kampoeng Pekodjan dan Kampoeng Petjinan yang berada di kawasan Tambora, Glodok Jakarta Barat. <br /> Di perkampungan tersebut para pelancong bisa menikmati suasana Jakarta tempo dulu yang dikenal sebagai kota jasa dan niaga karena dekat dengan pelabuhan laut. Selain melihat-lihat pemukiman penduduk yang kental dengan arsitektur Cina, wisatawan di akhir perjalanan juga dapat menikmati wisata kuliner khas Tionghoa baik berupa makanan siap saji maupun bahan-bahan kebutuhan rumah tangga hingga makanan kering impor dari negara tetangga Malaysia, Singapura, Cina dan Thailand yang sejak beberapa tahun belakangan menyerbu kawasan tersebut. <br /> Di kawasan Glodok Pancoran dengan mudah ditemui di sepanjang lorong-lorong pecinan, kios-kios penjual buah-buah segar maupun manisan berbaur dengan kios-kios penjual masakan Cina dan makanan Betawi seperti sup dan telur penyu, bakso, bakpau, siomay, kwetiau, ketupat sayur dan soto Betawi atau bubur kembang tahu yang disiram air gula berbumbu jahe serta minuman teh dingin Oolong tea yang dijajakan di atas gerobak dorong<br />Kampung Cina Cibubur<br />Pada hari-hari di seputar perayaan Imlek, tidak hanya tempat ibadah saja yang mendapat banyak kunjungan. Tempat-tempat wisata menjadi penuh, terutama tempat-tempat yang menyajikan hiburan dan pernak-pernik khas masyarakat Tionghoa. Salah satunya adalah kampung-kampung Cina, seperti yang berada di Kota Wisata Cibubur. <br /> Banyak yang bisa dinikmati di Kampung Cina ini. Begitu masuk, kita akan disambut berbagai patung khas dari dari banyak negara. Pada hari-hari liburan terutama Imlek, sajian atraksi naga dan barongsai menyedot perhatian pengunjung. <br />Bila ingin mendapatkan berbagai suvenir khas negeri Cina, semua lengkap tersedia di sini. Gantungan-gantungan kecil yang berbentuk boneka dari bahan kayu, tempat lipstik, dompet bercorak kehidupan masyarakat Cina, payung cantik atau bahkan kaos bertuliskan bahasa Mandarin dan sebagainya. Hanya saja Anda mesti lihai dalam melakukan tawar menawar harga. Bila Anda cukup cermat, barang-barang unik dan antik bisa Anda dapatkan. <br /><br /> Kota Wisata, tempat Kampung Cina berada, dikembangkan oleh beberapa perusahaan yaitu PT Duta Pertiwi Tbk (Indonesia), Marubeni (Jepang), LG (Korea), dan Land Houses (Thailand). Konsep hunian yang dirancang saat itu memang berbeda dengan yang lain. Bangunan rumah bertema klasik dari bermacam negara seperti Indonesia, Cina, Amerika, dan Jepang terdapat di sini. Nah, tempat tinggal ini dilengkapi dengan pusat jajan dan cinderamata internasional yang disebut Kampung Wisata. Salah satunya adalah Kampung Cina dengan lebih dari 200 buah kios cindera mata. <br /><br /> Hanya saja, bila Anda berkunjung saat Imlek, bersiap-siaplah menghadapi kemacetan dan banyaknya pengunjung. Saat perayaan Imlek tahun lalu, jalanan masuk kawasan Cibubur sudah macet beberapa kilo meter. Sesampai di Kampung Cina, jumlah pengunjung tidak kalah dengan tempat-tempat wisata lain di Jakarta, penuh dan padat<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br /><br /><br />Kebudayaan tionghoa merupakan salah satu kebudayaan terbesar di Dunia. Jika ditinjau dari keberadaan etnis tionghoa ini di Indonesia, dapat dilihat bahwa etnis tionghoa ini berada hampir di seluruh pelosok Indonesia. Meskipun keberadaan etnis ini berpencar-pencar dan berada dimana-mana, akan tetapi adat istiadat dan identitas budaya tionghoa melekat pada masing-masing warganya.<br />Keberadaan etnis Tionghoa ini di Indonesia sudah sejak lama dan semakin berkembang dari hari ke hari. Etnis ini telah menjadi salah satu bagian kebudayaan yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia.<br />Keberadaan etnis ini semakin terakui dengan direncanakannya didirikan miniatur dan didedikasikan kebudayaan tionghoa di TMII.<br />Kebudayaan Tionghoa ini memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan kebudayaan lainnya. Kebudayaan ini memiliki adat istiadat yang khas.<br />Akan tetapi, masih terdapat berbagai permasalahan berkaitan dengan keberadaan etnis tionghoa ini di Indonesia. Untuk mengatasi ini, pemerintah telah melakukan berbagai hal dan mencoba membawa etnis agar lebih menyatu dengan kebudayaan Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa<br />www.wikipedia.com<br />http://iccsg.wordpress.com/kategori/essay-makalah<br />www.w3.org<br />www.tionghoa.com<br />http://iccsg.wordpress.com/category/serba-serbi<br /><br />www.geocities.com/CollegePark/Hall/1981/imlek_1.htm<br />http://iccsg.wordpress.com/category/serba-serbi/<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-8744658076675279222008-11-22T22:09:00.000-08:002008-11-22T22:13:30.003-08:00Kebudayaan TimorPulau Timor sebagian masuk wilayah negara kita (bagian barat sampai 114º - 125º bujur timur), sebagian lagi masuk wilayah Negara Portugal, merupakan suatu daratan yang pada umumnya terdiri dari padang-padang sabana dan steppa yang luas dengan disana-sini deretan-deretan bukit dan gunung-gunung dengan hutan-hutan primer dan sekunder. Dari gunung-gunung itu mengalir banyak sungai kecil yang memotong-motong padang-padang sabana dan steppa tadi. Karena letaknya dekat dengan Australia, maka Timor sangat terpengaruh angin kering yang dengan kencangnya menghembus dari benua itu, dan yang menyebabkan musim kemarau yang sangat kering dengan perbedaan suhu yang sangat besar antara siang dan malam. Pada musim itu pemandangan di Pulau Timor tampak kering dan berdebu, dengan disana-sini ternak yang kepayahan atau mati karena kepanasan dan kehausan. Sebaliknya, pada musim hujan angin basah menghembus dari penjuru barat dan mengubah dataran Timor menjadi suatu daerah dengan banyak hujan dan dengan sungai-sungai deras yang meluap dan menyebabkan benjir dimana-mana.<span class="fullpost"><br />Penduduk Pulau Timor, baik yang tinggal di wilayah Indonesia, maupun wilayah Portugis, terdiri dari beberapa suku-bangsa khusus yang berbeda karena bahasa dan beberapa unsur dalam adat istiadat serta sistem kemasyarakatannya. Demikian mereka membedaan antara orang Roti, orang Helon, orang Atoni, orang Belu, orang Kamak, orang Marae, dan orang Kupang.<br />Orang Roti atau Rote. Orang Roti mendiami pulau Roti dan beberapa pulau kecil di sekelilingnya, yang letaknya di sebelah barat-daya dari pulau Timor. Luas pulau Roti kira-kira 1200 Km2 dan pada tahun 1953 pulau itu didiami oleh 67.000 orang. Disamping orang-orang Roti yang berdiam di pulau Roti, ada juga orang-orang pulau Roti yang bermigrasi ke daratan pulau Timor dan mendiami daerah-daerah yang terletak di bagian yang paling barat dari pulau Timor memanjang dari bagian utara ke bagian yang paling selatan. Disamping itu ada juga yang bermigrasi dan menetap di daerah pedalaman pulau Timor dan mendiami daerah di sebelah barat daya kota Soe. Orang Soe memiliki ciri-ciri tubuh yang mirip dengan orang Belu, hanya pada yang pertama unsur-unsur raas melayu tampak lebih menonjol. Disamping itu juga terlihat adanya persamaan-persamaan tertentu dalam bahasa orang Roti dengan orang Belu.<br />Orang Helon. Orang Helon mendiami suatu daerah di sekitar kota Kupang, dan pada tahun 1949 berjumlah kira-kira 5.000 orang. Meskipun orang Helon tinggal berdekatan dengan orang Atoni, namun bahasa yang mereka gunakan berbeda. Disamping itu orang Helon juga mendiami daerah-daerah yang terletak di sebelah barat daya kota Kupang, yaitu di sepanjang daerah pantai, di pulau Roti, dan di beberapa pulau kecil di sekitar pulau Roti.<br />Orang Atoni. Orang Atoni tinggal di daerah pedalaman di pulau Timor yang luasnya kira-kira 11.799 Km2 dan yang bersifat amat kering. Jumlah orang Atoni kira-kira 300.000 orang. Di sebelah barat orang Atoni tinggal orang Helon dan orang Roti, di sebelah utaranya mulai wilayah kekuasaan Portugis, dan di sebelah timurnya tinggal orang Belu, Kemak, dan Maras.<br />Orang-orang yang tinggal di kota Kupang menyebut orang Atoni itu “orang gunung” atau “orang asli”. Sedangkan orang Atoni sendiri menamakan dirinya sendiri orang Atoni, yang artinya “manusia”. Ciri-ciri tubuh orang Atoni memperlihatkan lebih banyak adanya unsur-unsur Melanesia jika dbandingkan dengan penduduk Timor yang lain. Mereka ini rata-rata bertubuh pendek, ukuran kepalanya brachycephal, berkulit coklat kehitam-hitaman, dan berambut keriting.<br />Orang Belu. Orang Belu, atau Ema Tetun, sebagaimana mereka menyebut diri mereka, tinggal di daerah yang menyempit dari pulau Timor bagian tengah, dan mendiami daerah ini dari bagian utara sampai dengan bagian selatan. Pada tahun 1955 mereka kira-kira berjumlah 100.000 orang dan bersama-sama dengan orang Kemak dan Maras, oleh orang-orang yang tinggal di kota Kupang dinamakan orang Belu, walaupun antara orang Belu, Kemak, dan Maras ada perbedaan dalam bahasa dan beberapa unsur dalam adat dan sistem masyarakatnya. Orang Belu mempunyai ciri-ciri tubuh yang merupakan campuran antara ciri-ciri tubuh orang Melanesia dan orang melayu, dengan lebih banyak ciri-ciri orang melayunya.<br />Orang Kemak. Orang Kemak tinggal di bagian utara dari pulau Timor Indonesia yang paling timur, di daerah perbatasan dengan wilayah kekuasaan Timor Portugis. Sebagian besar orang Kemak tinggal di daerah Timor Portugis. <br />Bahasa Kemak mirip dengan bahasa Buna’ yaitu bahasa yang digunakan oleh orang Marae. Ciri-ciri tubuhnya juga hampir mirip dengan orang-orang Marae, yaitu : ukuran kepalanya kebanyakan doliochocephal, bertubuh tinggi (lebih tinggi dari rata-rata orang Timor lainnya), berkulit coklat kehitam-hitaman, serta berambut keriting.<br />Orang Marae. Orang Marae tinggal di daerah perbatasan antara Timor Indonesia dengan Timor bagian Portugis.mereka menempati bagian tengah dari pulau Timor dan terus menyebar ke arah selatan, tetapi tidak sampai daerah pantai.seperti halnya dengan orang Belu dan Orang Kemak, sebagian orang Marae juga tinggal di daerah Timor Portugis. Jumlah mereka kira-kira 49.000 orang, sedangkan yang tinggal di daerah Timor Indonesia kira-kira 16.000 orang (tahun 1959). Orang Marae seringkali juga disebut orang Buna’. Nama itu sebenarnya nama dari bahasa yang mereka gunakan.<br />Orang Kupang. Di kota Kupang dan sekitarnya, tingal sejumlah orang yang terdiri dari atas campuran orang-orang yang berasal dari daerah-daerah Timor sendiri, dan yang berasal dari luar Timor, yaitu orang-orang Cina, Arab, dan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia. Ciri-ciri tubuhnya amat sukar ditentukan secara umum karena banyak yang sudah tercampur dalam hubungan perkawinan sejak generasi sebelumnya. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak menggunakan bahasa Indonesia.<br /><br />BENTUK DESA<br />Pada zaman dahulu orang Timor membangun desa di tempat terpencil, yang tidak mudah didatangi orang, karena takut serangan mendadak dari musuh. Biasanya desa dibangun di puncak gunung karang dan dikelilingi dengan dinding batu, atau semak berduri.<br />Desa ini biasanya didiami oleh kelompok kerabat dengan seorang kepalanya sendiri, berjumlah kira-kira 50 - 60 orang. Bila jumlah kelompok menjadi terlalu besar, maka sebagian dari mereka membangun sebuah desa yang baru.<br />Ada juga desa yang lebih besar, yang didiami sekitar 250 – 500 orang, atau bahkan lebih, misalnya daerah Belu selatan. Hal ini disebabkan tidak mungkin membuat suatu benteng pertahanan desa dengan baik dari keadaan alam dan teritorial yang ada, sehingga keamanan desa dijaga dengan pengelompokan orang yang lebih banyak.<br />Pemerintahan Belanda, pada permulaan abad ke-20 telah mulai berusaha mempersatukan desa-desa kecil yang letaknya berjauhan dan terpencil, ke dalam suatu desa yang lebih besar. Desa besar ini biasanya didirikan di dekat jalan patroli militer, yang kemudian menjadi jalan raya umum.<br />Karena usaha ini banyak mengalami kegagalan, maka pejabat-pejabat pemerintahan Belanda sering membakar habis desa-desa yang terpencil, supaya penduduk yang telah dipindahkan ke desa yang lebih besar itu tidak kembali ke desa asalnya. Dengan demikian telah terjadi proses bahwa orang-orang yang berasal dari desa-desa kecil, sekarang tinggal mengelompok dalam desa-desa yang lebih besar, untuk kemudian menyebar ke dalam kelompok-kelompok kecil lagi dengan membangun desa-desa kecil baru yang letaknya berdekatan dengan lading-ladang bertebaran luas di sekitarnya.<br />Pemerintah Belanda, bersama-sama dengan para raja, kemudian berusaha memecahkan masalah ini, dengan ketentuan bahwa setiap orang dari desa besar yang telah ditentukan, akan memperoleh dengan cuma-cuma tanah seluas tiga hektar, yang terdiri dari tanah seluas satu hektar yang harus ditanami dengan tanaman perdagangan dan dua hektar tanah ladang.<br />Pemerintah Belanda juga menganjurkan pembangunan rumah-rumah dengan bentuk baru, yaitu persegi panjang di desa-desa baru dengan maksud menjaga kesehatan penduduk. Rumah-rumah lama berbentuk sarang lebah dan dianggap tidak sehat bagi penduduk. Rumah-rumah persegi panjang itu tidak mendapat sambutan yang baik dari penduduk dan hanya sebagian kecil saja yang mengikuti anjuran tersebut.<br />Pola perkampungan asli dari orang Timor adalah sebuah kelompok padat dari rumah-rumah serta beberapa kandang sapi yang diberi pagar di sekelilingnya. Daerah-daerah ladang milik orang desa tersebut tersebar di sekitarnya. Pada pola perkampungan yang baru rumah-rumah dibangun di tepi jalan secara mamanjang.<br />Pada zaman dahulu Timor terdiri atas bermacam-macam kerajaan dengan swapraja - swaprajanya, antara lain Kerajaan Kupang (Amarasi, Fatuleu, dan Anfoan), Kerajaan Timor Tengah Selatan (Amanatun, Amanuban, Molo), Kerajaan Timor Tengah Utara (Miomafo, Insana, Beboki), dan Kerajaan Belu.<br /><br />KERAJAAN AMANATUN<br />Kerajaan Amanatun (Onam) merupakan salah satu kerajaan tua yang ada di Timor, terletak di pulau Timor bagian barat, wilayah Indonesia dan merupakan kerajaan tua. Di era kemerdekaan kerajaan Amanatun bersama kerajaan Molo (Oenam) dan kerajaan Amanuban (Banam) membentuk kabupaten Timor Tengah Selatan (dalam bahasa Belanda disebut Zuid Midden Timor) dengan ibu kota SoE - provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1920 kota SoE ditetapkan menjadi ibukota Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan) atas kesepakatan bersama dari ketiga Raja yakni Raja Lay Akun Oematan sebagai Raja Molo, Raja Pae Nope sebagai Raja Amanuban dan Raja Kolo Banunaek sebagai Raja Amanatun.<br />Nama kota SoE sendiri sudah mulai dikenal pada tahun ±1905/1906 oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda Kerajaan Amanuban dan Kerajaan Amanatun pernah berkantor bersama di Niki-niki. Hal ini disebabkan karena belum adanya jalan ke wilayah Amanatun dan Belanda takut ke sana. Jauh sebelum datangnya bangsa Portugis dan Belanda di Indonesia maka kerajaan Amanatun sudah ada dan mempunyai pemerintahan sendiri yang asli.<br />Arsip sejarah<br />Tercatat dalam arsip kuno Portugis Summaria relaçam do Que Obrerao os relegiozas dan ordem dos pregadores bahwa pada tahun 1641 ketika bangsa Portugis dan bala tentaranya dari Larantuka, Flores tiba di kerajaan Amanatun/Tun Am maka seorang paderi bernama Frey Lucas da Cruz berhasil membaptiskan (mengkristenkan) seorang raja Amanatun/Usif dengan ibunya di Amanatun. Pada waktu itu bala tentara Portugal dipimpin oleh Capitao mor Francisco Fernandes.<br />Data tentang pemimpin orang Portugis Hitam (Topass) dari keluarga Hornay dan da Costa diceritakan pernah mempunyai hubungan dengan Amanatun hingga tahun 1749. Ketika Malaka jatuh ketangan Portugis pada tahun 1511, kemudian baru pada tahun 1920 bangsa Portugis tiba di Pulau Timor namun mereka tidak tidak menetap tetapi hanya menyinggahi saja. Di tahun 1669 Raja Amanatun berhubungan dengan fettor Sonbai Kecil, Ama Tomnanu yang merupakan sekutu VOC/Belanda dan dijelaskan bahwa Raja Amanatun ingin bertemu dan berbicara langsung dengan VOC/Belanda, karena Raja Amanatun telah menerima bendera VOC/Belanda yang dibawa oleh Verheyden kira-kira tahun 1655. Raja Amanatun menginginkan supaya pertemuan itu dilangsungkan di pantai Selatan Fatu Mean / Amanatun, tetapi pihak VOC menolak dan tidak menyetujui permintaan ini dengan alasan keamanan.<br />Pada waktu terjadi perang Penfui pada tanggal 11 Nopember 1749 maka kerajaan Amantun menjadi sekutu Portugis. Salah satu alasan terjadi perang Penfui karena para Raja yang pro kepada Portugis tidak menghendaki adanya pembagian wilayah di Timor khususnya wilayah Timor Barat antara Belanda dengan Portugis, karena akan berakibat kepada semakin jauhnya jarak yang harus ditempuh ke Gereja Noemuti kalau raja-raja ini ingin untuk beribadah ( kalau ingin membawa hulu hasil ke gereja Katolik).<br />Dikenal dalam sumber-sumber kuno menyebutkan bahwa pada tahun 1711 pemimimpin Toppas Dominggus da Costa bersama Dom Francisco de Taenube telah terjadi pertengkaran dengan Raja Dom Pedro atau Raja Tomenu Sonbay dari Oenam berhubungan dengan gereja Abi dan gereja Musi.Sedangkan Raja Sonbai Kecil padawaktu itu adalah Bawwo Leu tahun 1717<br />Disebut kerajaan Amanatun kerena Rajanya yakni Banunaek yang bernama lengkap Raja Tnai Pah Banunaek) badannya emas dan semua peralatannya juga terbuat dari emas. Amanatun terdiri dari dua suku kata yaitu Ama dan Mnatu. "Ama" berarti "Bapak" dan "Mnatu" berarti "emas". Jadi Amanatun berarti Bapak Emas. Raja Amanatun yakni Banunaek tetap menetap di Tun Am, sedangkan Liuray kemudian ke bagian Timur pulau Timor ( matahari terbit) dan kemudian dikenal dengan Raja Belu, sedangkan Sonbay ke bagian barat pulau Timor ( matahari terbenam )dan kemudian dikenal dengan Raja Molo / Oenam.<br />Adapun tuturan adat mengenainya adalah Lai Mea Lai Moe Neki Neo Fanu Tun Am Onam Liurai - Sonbai - Banunaek - Uis Neno. Ibu kota kerajaan Amantun di Nunkolo. Nunkolo menjadi ibukota kerajaan Amanatun ketika Raja Tsu Pah Banunaek menjadi Raja Amanatun.<br />Pada 27 agustus 1943 dicatat oleh dr P Middelkoop bahwa Pada waktu Raja Kolo Banunaek sedang memerintah kerajaan Amanatun terjadi gerakan Roh Kudus pertama di Nunkolo, peristiwa ini kemudian terjadi lagi pada tanggal 17,19, 21-23, Oktober 1943. Dalam catatannya ini di sebutkan bahwa ada manifestasi Roh Kudus yang telah terjadi terhadap orang-orang kristen yang berada di Nunkolo pusat kerajaan Amanatun ini. Peristiwa serupa ini kemudian berulang lagi kedua kalinya pada september 1965 di Kota SoE.<br />Pada waktu Raja Muti Banunaek II diasingkan ke Flores maka oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan perpindahan batas kerajaan yang sudah ditetapkan oleh Raja Liurai ( Belu) dengan Raja Banunaek ( Amanatun). Adapun perpindahan tersebut pada Juni 1917 dimana terjadi perpindahan batas antara kedua kerajaan tua ini yaitu perpindahan bats dari Betun ke We Baria Mata ( Malaka). Pertimbangan batas ini sebagai reaksi balas dendam pemerintah kolonial Belanda terhadap Raja Amanatun karena gugurnya tentara Belanda saat melakukan infasi ke Amanatun.<br />Struktur kerajaan<br />Kerajaan Amanatun/Onam mempunyai empat orang fettor yaitu Fettor Noebana (Santean), Fettor Noebone (Sahan), Fettor Noemanumuti (Put'ain) dan fettor Noebokong (Anas) . Adapun nama pemimpin dari keempat fettor ini adalah fettor Nokas memimpin kefetoran noe Bana, Fettor Kobi Nitibani memimpin kefetoran noe Bone, Fettor Fai memimpin kefetoran noe Manu muti , dan fettor Nenometa memimpin kefetoran noe Bo kong. Di bawah fettor-fettor ini ada temukung-temukung besar dan temukung kecil yang diangkat oleh Raja. Setiap temukung memimpin kelompok-kelompok masyarakat biasa (to aana) atau biasa disebut juga dengan kolo manu. Suku yang paling besar di dalam kerajaan Amanatun adalah suku Missa. ( Missa Moen Nima Nas Fua Fanu ).Fatu Kanaf dari suku Missa adalah Fatu Lunu.<br />Pada era kekuasaan pada tahun 1900 Raja Muti Banunaek (Raja Muti Banunaek II) maka tercatat temukung besar Kokoi adalah Nau Missa, sedangkan temukung besar Fenun adalah Seo Missa A"aat, Temukung besar Oi Lette adalah Noni Neno Mataus. Sedangkan Fettor Noe Bokong / Toin adalah Kolo Nenometan dan fetor Santian adalah Seki Nokas.<br />Atas kehendak dari Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek) maka Oinlasi kemudian pada tahun 1951 dipilih dan ditetapkan menjadi ibukota dan pusat pemerintahan swapraja Amanatun dengan pertimbangan aksesibilitas dengan kota SoE. Kota Oinlasi 46 km letaknya dari Kota SoE dan hingga kini menjadi ibu kota kecamatan Amanatun Selatan.<br />Memasuki masa kemerdekaan Indonesia maka Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek kemudian menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanatun. Yang menjadi Kepala Daerah Swapraja adalah Raja, sedangkan kalau Rajanya sudah wafat maka diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan tetapi dia bukan seorang Raja. Raja Lodoweyk.Lourens.Don.Louis.Banunaek bersama dengan Raja-Raja di Nusa Tenggara Timur lainya tergabung didalam Dewan Raja-Raja ikut berperan penting dalam pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur dimana sebelumnya wilayah ini termasuk Propinsi Sunda Kecil.<br />Adapun istilah penggunaan kata swapraja mulai dikenal sejak mulai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, sedangkan dalam pasal 18 UUD 1945 kerajaan-kerajaan ini ditulis dengan Zelfbestuur Landschappen. Kekuasaan Raja - Raja diseluruh wilayah Indonesia dihapus berdasarkan keluarnya Undang Undang Nomer 18 Tahun 1965 tentang penghapusan swapraja di seluruh wilayah Indonesia.<br />Keluarga<br />Adapun Raja Amanatun Loit Banunaek kemudian digantikan oleh Putranya sendiri yang bernama Raja Muti Banunaek yang kemudian dikenal dengan nama Raja Muti Banunaek ke II. Raja Muti Banunaek II adalah putra pertama dari Raja Loit Banunaek.Ibunda dari Raja Muti Banunaek II berasal dari suku Missa yang adalah permaisuri dari Raja Loit Banunaek.Raja Loit Banunaek juga mempunyai banyak kato (Isteri, dan tercatat bahwa ada dua orang kato / isteri dari berasal dari suku Missa. <br />Permaisuri (kato) dari Raja Muti Banunaaek II bernama Kato bi Sopo Lassa, sedangkan Raja Kolo Banunaek (Raja Abraham Zacharias Banunaek) mempunyai permaisuri (Kato Naek) bernama bi Teni Tobe Misa dan mempunyai seorang putri tunggal bernama Fetnai Naek bi Loit Banunaek. Makam ( Son Nate) dari permaisuri kato bi Teni Tobe Missa di Oinlasi ibukota kecamatan Amanatun Selatan. Raja Kolo Banunaek atau Raja Abraham Zacharias Banunaek mempunyai banyak selir dan gundik-gundik dan mereka selalu berada didalam istana Raja Kolo Banunaek untuk melayani hingga sekarang di Nunkolo, ( Sonaf Pub Kollo Hae Malunat).Selain dari gundik-gundik dan selir-selir dari raja Kolo Banunaek yang berada didalam sonaf Nunkolo (Istana Raja) juga terdapat banyak pelayan dan hamba-hamba (ate-ate) yang selalu berada dan melayani didalam istana dari Raja Kolo Banunaek di Nunkolo, dan hingga kini keturunan dari hamba (ate-ate) ini masih tetap berada disekitar lingkungan sonaf Nunkolo hingga saat ini. Raja Kolo Banunaek pernah berpindah agama dari Kristen Katolik menjadi Protestan dan hingga wafatnya Raja Kolo Banunaek tetap memeluk agama Kristen Protestan.Raja Kolo Banunaek juga pernah di SoE kampung Amanatun dan membuat Sonaf / Istana di sini. Raja Kolo Banunaek juga sering dsebut dengan sebutan Usi Pina Nunkolo. Pada waktu Raja Kolo Banunaek wafat maka jenasa dari Raja Kolo Banunaek diasapi dengan cendana lebih dari tujuh bulan didalam lopo / Bnao Nunkolo dan kemudian dimakamkan.<br />Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek mempunyai seorang permaisuri / Kato yang bernama Kato Fransina Afliana Banunaek-Nope (Funan Nope). Kato ini adalah anak pertama dari Raja Amanuban Raja Johan Paulus Nope. Raja L.L.D.L.Banunaek menikah secara kristen dengan permaisurinya di Niki-niki pada tahun 1964.Kemudian Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja L.L.D.L.Banunaek) ini mempunyai seorang putra tunggal bernama Raja Muda Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek (Usif Kusa Banunaek), "Dalam tradisi budaya kerajaan / tradisi usif-usif di Timor secara umum biasa dikatakan dalam tuturan adat bahwa besi tapan mau man mof nain mas nesan nabalah". . Makam (son nain) dari Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek dan permaisurinya di Oinlasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.Pada waktu Raja lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek berkuasa di kerajaan Amanatun maka tercatat dalam sejarah di arsip negara bahwa yang menjadi countorleur di Zuid Midden Timor / Timor Tengah Selatan adalah Tuan Frans Van Donggen.<br />Raja-raja Amanatun<br />Nama enam raja terakhir yang pernah memerintah di kerajaan Amanatun/Onam adalah sebagai berikut:<br />14. Raja Bnao Banunaek V (Raja Bnao Nunkolo) <br />15. Raja Kusat Muti (Raja Muti Banunaek I) ± 1832 <br />16. Raja Loit Banunaek ± 1899 <br />17. Raja Muti Banunaek II . . . - 1915. Ia diasingkan ke Ende, Flores pada 1915 oleh pemerintah kolonial Belanda karena Raja Muti II tidak mau takluk kepada Belanda. Raja Muti Banunaek II mangkat di Ende Flores ± September/Oktober 1918) . Makamnya tidak diketahui.Raja Muti Banunaek II sejak diasingkan oleh Belanda hingga wafatnya tidak kembali lagi ke tanah Timor ( Amanatun).Ketika Belanda hendak menaklukan Kerajaan Amanatun yang dipimpin oleh Raja Muti Banunaek II [[Kategori:]]tahun ± 1911 maka pasukan tentara Belanda yang sedang menuju ke wilayah Amanatun dihadang oleh Panglima Perang / Meo Naek dari kerajaan Amanatun yang bernama Meo Seki Tafuli. Komendan tentara Belanda di tembak mati oleh Meo Seki Tafuli dari jarak yang cukup jauh dari benteng Meo Seki Tafuli sebelumnya diucapkan kata-kata keramat ( fanu). Komendan Belanda yang tewas ini kemudian oleh rakyat Amanatun disebut MIN FAFI hingga sekarang. <br />18. Raja Abraham Zacharias Banunaek (Raja Kolo Banunaek (1920-1946) , mangkat 1964. Makam atau son nain di Nunkolo. <br />19. Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek) 1946-1965, lahir : Nunkolo, tanggal 18 Agustus 1925.Mangkat 26 April 1990 di Sonaf Amanuban di Niki-niki. Makam atau son nain di Oinlasi.<br /><br />MATA PENCAHARIAN<br />Terdapat beragam bentuk mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat Timor. Seperti dalam hal pertanian, dimana mata pencaharian dari sebagian besar orang Timor yang bermukim di daerah pedesaan adalah bercocok tanam di lading. Namun suatu terkecualian yakni pada daerah Belu Selatan, dimana orang di daerah tersebut sudah mulai mengusahakan sawah. Jenis tanaman yang ditanam di ladang adalah jagung, yang merupakan makanan pokok, padi darat, ubi kayu, keladi, labu, sayur-sayuran, dan ada juga yang menanam kacang hijau, jeruk, kopi, tembakau, bawang, dan kedelai.<br />Tanah yang akan dijadikan lading biasanya ada dua macam yakni tanah hutan dan tanah datar yang berumput. Untuk tanah hutan, penggarapannya dilakukan dengan menebang pohon-pohon serta membersihkan semak-semak belukar, lalu membakarnya. Kemudian setelah itu, lalu digarap dengan cangkkul maupun membajaknya. Sebidang tanah lading biasanya bias ditanami secara terus menerus selama dua tahun sampai dengan lima tahun.<br />Bila sebidang tanah telah dipilih untukk dijadikan ladang, maka pekerjaan penggarapan biasanya dilakukan oleh satu keluarga-batih, kadang-kadang dibantu oleh beberapa keluarga-batih yang lain, yang masih mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Kemudian bila keluarga-batih yang telah membantu tadi membutuhkan pertolongan untuk pekerjaan yang serupa, maka ia wajib untuk menolongnya. Begitu pula halnya pada waktu panen.<br />Bila tanah telah dikerjakan, maka bibit tanaman mulai disebarkan pada permullaan musim hujan yakni biasanya pada bulan November sampai Desember. Pekerjaan lelaki biasanya adalah membersihkan dan membakar hutan, atau mengerjakan tanah, membuat pagar, menyiangi tanaman. Sedangkan pekerjaan si istri adalah menanami bibit tanaman kadang-kadang dengan bantuan suaminya, serta menuai hasil tanaman.<br />Suatu keluarga-batih dengan menggunakan alat yang sederhana, yaitu sebuah tongkat yang ujungnya diberi berlapis besi yang runcing dan tajam, serta sebuah parang, biasanya dapat mengerjakan sebidang tanah rumput yang luasnya antara satu sampai dengan dua setengah hektar. Sedangkan penerjaan pada tanah hutan atau bekas hutan bisa lebih luas lagi dikarenakan pekerjaan pembukaan lahannya jauh lebih mudah daripada pengerjaan tanah-tanah bekas lading yang gundul atau yang berupa padang alag-alang atau semak berduri.<br />Selain bercocok tanam, mata pencaharian masyarakat Timor yang utama adalah dalam bidang peternakan. Ternak yang dipelihara diantaranya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, babi dan ternak unggas. Sebelum kedatangan orang Belanda ke timor, peternakan memang sudah ada, namun tidak mempunyai arti ekonomis yang berarti. Sapi, yang merupakan ternak yang paling banyak dipelihara oleh orang Timor pada masa sekarang, baru dimasukkan ke Timor pada tahu 1912 oleh pemerintah Belanda, dengan maksud untuk menambah bahan makanan bagi penduduk Timor dan juga bagi penduduk pulau Jawa.<br />Selama beberapa tahun jumlah sapi yang berkembang biak telah meningkat dengan pesat dan jumlahnya melebihi jumlah ternak-ternak lain. Ternak yang didapat oleh sebuah rumah tangga, dianggap sebagai milik bersama suami istri. Jika si suami meninggal dunia, maka hak untuk memiliki dan memelihara jatuh ke tangan si istri dan kemudian diwariskan kepada anak laki-lakinya yang telah dewasa. Tetapi bila tidak ada anak laki-laki, maka ternak tersebut diwariskan kepada saudara laki-laki ayah atau anak laki-laki dari saudara perempuannya. Ahli-ahli waris memelihara ternak tersebut, tetapi saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, dan saudara-saudara sepupu dari pihak ayah, mempunyai hak atas ternak tersebut bila mereka membutuhkannya untuk membayar mas kawin. Wanita-wanita yang belum menikah sangat jarang bisa memiliki atau mewarisi ternak, sedangkan anak laki-laki yang belum menikah bisa mewarisinya. Jika seorang anak laki-laki memperoleh ternak dari saudaranya, ia tidak boleh menyerahkan ternak itu kepada orang lain.<br />Mata pencaharian yang lain yang cukup penting terutama untuk masyarakat timor yang tinggal didaerah pantai, adalah menangkap ikan-ikan kecil, mencari kerang dan tripang. Pada waktu-waktu menjelang dan selama musim kemarau, bilamana air sungai menjadi kering, banyak orang-orang menangkap ikan di sungai-sungai dengan cara membendungnya dan kemudian mengeringkannya, atau dengan menggunakan sejenis serok. Orang Timor tidak melakukan penagkapan ikan dengan perahu ditengah laut.<br />Orang Timor juga membuat berbagai kerajinan tangan, dan yang terutama adalah menenun kain dan menganyam keranjang-keranjang. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh para wanita. Kemudian ada juga kerajinan mengukir serta kerajinan untuk membuat benda benda perak. Sebagian masyarakat Timor juga berprofesi sebagai pengambil nira pohon lontar. Pohon lontar ini di ambil niranya untuk dijadikan minuman ataupun dijadikan gula. Secara tradisional pekerjaan menyadap nira lontar merupakan tugas kaum dewasa sampai tua. Tetapi perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh pekerjaan dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam 03.30, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk (bangun hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat duduk). <br />Lebih khusus lagi penduduk Timor dari Sabu mempunyai tradisi tersendiri berkaitan dengan mata pencaharian. Secara umum orang Sabu mengenal dua musim, kemarau yang disebut Waru Wadu dan musim hujan atau Waru Jelai. Di antara kedua musim itu ada musim peralihannya. Dalam masing-Masing musim ada beberapa upacara yang berhubungan dengan mata pencaharian.<br />Dalam musim Waru Wadu atau kemarau, dikenal upacara <br />(1) memanggil nira; <br />(2) memasak gula lontar; <br />(3) memberangkatkan perahu lontar. <br />Sebelum memasuki musim berikutnya/hujan ada upacara peralihan musim terinci atas <br />(1) memisahkan kedua musim; <br />(2) menolak kekuatan gaib/bala; <br />Dan pada musim waru jelai atau musim penghujan dapat diadakan tiga upacara: <br />(1) pembersihan ladang dan minta hujan; <br />(2) upacara menanam dan <br />(3) upacara sesudah panen.<br />Dan yang terakhir adalah perdagangan. Perdagangan biasanya berpusat di pasar-pasar yang ada di desa yang cukup besar, yang diadakan setiap minggu sekali. Para pedagang dari setiap daerah di sekitar desa yang sedang berhari pasar turut juga hadir untuk menjajakan barang dagangan mereka. Barang-barang yang di perjual belikan kebanyakan adalah bahan keperluan sehari-hari. Namun ternak, khususnya sapi dan kerbau sering juga di perdagangkan di pasar dalam jumlah yang besar.<br /><br />SISTEM KEKERABATAN<br />Perkawinan yang terjadi antara seorang pemuda dan seorang anak putri saudara laki-laki ibu merupakan pola perkawinan yang paling disukai oleh orang Timor, walaupun seorang pemuda dapat menikah dengan wanita manapun.Pemilihan jodoh dalam perkawinan erat hubungannya dengan jumlah mas kawin yang harus diayarkan oleh kerabat pemuda kepada kerabat wanita. Perkawinan dari kerabat yang pada angkatan sebelumnya pernah ada hubungan perkawinan akan dianggap sebagai penguatan tali hubungan yang pernah ada sehingga mas kawin yang harus dibayar oleh kerabat pemuda kepada kerabat gadis tidak perlu terlalu besar harganya.<br />Mas kawin biasanya dibayar berangsur-angsur sehingga penerimaan keanggotaan dari si istri dan anak-anaknya ke dalam klen si suami adalah secara berangsur-angsur pula. Bila mas kawin yang sudah dibayarkan telah dianggap lunas, maka si istri dianggap telah menjadi anggota klen si suami dan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu antara lain mengikuti upacara-upacara keagamaan dalam klen suaminya. Ada juga kebiasaan untuk tidak menerima pelunasan harta mas kawin yang terakhir, misalnya di daerah Swapraja Amarasi, dimana angsuran mas kawin yang terakhir ditolak oleh kerabat-kerabat dari klen si istri supaya tetap dapat mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam klen asalnya.<br />Mas kawin yang diserahkan oleh kerabat si pemuda terdiri atas pring-piring dari emas atau perak, kadang-kadang disertai dengan sejumlah ternak. Sebagai imbalannya, kerabat si gadis menyerahkan selimut-selimut atau pakaian-pakaian kepada kerabat si pemuda. Pada orang Marae, mas kawin yang pertama kali dibayarkan oleh pihak pemuda kepada pihak wanita berupa sebuah piring dari emas atau perak, yang dimaksudkan sebagai tanda pertunangan. Sebaliknya, pihak wanita menyerahkan sebuah selimut kepada pihak pemuda. Tahap kedua adalah pengesahan perkawinan yang dinamakan mugen gotui (pembangunan jiwa orang mati). Pada upacara itu masing-masing pihak mengundang roh nenek moyangnya untuk menyaksikan perkawinan itu., dan pihak pemuda menyerahkan sebuah piring emas dan sebuah piring perak, sedangkan wanita menyerahkan sehelai selimut dan seekor babi. Setelah upacara ini selesai, maka perkawinan dianggap sah.<br />Pengantin baru biasannya tinggal untuk sementara di tempat kediaman si isteri (uxorilokal), keadaan ini bisa berlangsung antara satu minggu sampai beberapa tahun lamanya dan selama itu suami biasanya membantu pekerjaan dalam rumah tangga mertuanya baru kemudian mereka pindah ke tempat tinggal kerabat si suami (virilokal). Walaupun demikian, kadang-kadang ada juga suami yang lalu terus menetap secara uxorilokal bergantung terhadap kebutuhan keluarga, keikhlasan perseorangan ataupun karena alasan-alasan ekonomi.<br />Tiap-tiap orang Timor menjadi anggota dari sesuatu klen tertentu yang patrilineal. Satu desa biasanya didiami oleh beberapa rupa klen, sedangkan satu klen biasanya mempunyai warganya di beberapa desa. Di samping klen patrilineal, ada juga klen matrilineal seperti di Wehali, Suai, di daerah Belu bagian selatan.<br />Klen-klen yang ada dalam suatu daerah Swapraja, pada masa yang lalu dapat digolongkan ke dalam tiga lapisan, yaitu usif (bangsawan), tob (orang biasa) dan ate (budak). Golongan ate sekarang tidak ada lagi, jumlah klen bangsawan amat sedikit dan sebagian besar dari penduduk termasuk klen-klen biasa. Kewargaan di dalam satu klen menentukan status seseorang di dalam masyarakat, walaupun di beberapa daerah telah terjadi pergesaran dari klen-klen biasa menjadi klen bangsawan.<br />Di samping penggolongan seperti tersebut di atas, maka penduduk di desa Timor masih bisa lagi digolongkan ke dalam orang-orang yang dianggap sebagai pemilik desa dan orang yang dianggap sebagai bukan pemilik desa. Pada orang Atoni, golongan pemilik desa ini dinamakan kuantif, sedangkan golongan bukan pemilik desa dinamakan atoin asaot (golongan orang-orang yang datang dari desa lain dan kawin dengan wanita dari desa tersebut) dan golongan ketiga dinamakan atoin anaot (orang pengembara).<br />Golongan kuantif, terdiri dari orang-orang yang menjadi keturunan dari orang yang dianggap sebagai pendiri desa, merekalah yang menguasai tanah. Datuk-datuk dari klen ini mempunyai kekuasaan yang besar dalam segala hal yang berhubungan dengan desa mereka. Golongan kedua ialah golongan atoin asaot, terdiri dari orang-orang yang datang kemudian untuk menetap di desa tersebut. Juga semua laki-laki di desa tersebut secara matrilineal termasuk golongan ini. Hubungan antara golongan pertama dengan golongan kedua dapat disamakan dengan hubungan antara golongan pemberi istri dengan golongan penerima istri. Seorang datuk dari golongan aoiin asaot tidak boleh memegang sesuatu jabatan yang mempunyai kekuasaan seperti misalnya menjadi kepala desa, jabatan mana hanya diperuntukan bagi orang-orang klen kuantif. Namun seorang datuk dari atoin asaot tak dapat juga menjaga kedudukan terhormat karena kepribadiannya yang besar. <br />Akhirnya, golongan ketiga terdiri dari orang-orang yang secara perseorangan atau secara berkelompok pidah dari suatu desa asal ke desa yang lain. Golongan ini oleh orang Atoni dianggap sebagai golongan yang paling rendah kedudukannya dan sama sekali tidak mempunyai hak untuk memegang suatu jabatan di dalam desa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang telah meninggalkan desa asal mereka karena sesuatu pertengkaran atau karena dicurigai sebagai pencuri atau tukang tenung. Orang-orang dari atoin anaot ini dapat meninggikan derajatnya yaitu menjadi atoin asaot dengan cara kawin dengan salah seorang wanita dari desa yang didatangi, atau dengan cara mengawinkan anak-anak mereka dengan anak-anak perempuan dari desa tersebut.<br /><br />SISTEM KEMASYARAKATAN<br />Pada zaman Belanda, pulau Timor bagian Indonesia, terbagi atas beberapa kesatuan pemerintahan lokal yang dinamakan vorstendom (kerajaan). Kesatuan-kesatuan pemerintahan tersebut adalah diantaranya: kupang, Timor Tengah bagian Selatan, Timor Tengah bagian Utara dan Belu. Kelompok-kelompok pemerintahan lokal ini mempunyai beberapa kerajaan lokal yang berada dibawah kekuasaan secara administratif. Kerajaan-kerajaan lokal ini, masing-masing dibagi lagi atas beberapa daerah kekuasaan administratif yang lebih kecil lagi, bernama kefettoran, yang dikepalai oleh seorang fettor. Dibawah kefettoran ini, ada desa-desa atau ketemukungan yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang dinamakan Temukung.<br />Pada pemerintahan Indonesia, pembagian secara administratif diatas masih tetap berlaku dan belum dirobah; hanya saja istilahnya dirobah, seperti vorstendom menjadi kabupaten, swapraja menjadi distrik, dan kefettoran disamakan dengan kecamatan. Sebuah ketemukungan biasanya terdiri atas sebuah desa induk dengan beberapa desa pedukung lainnya, yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Kadan ada juga desa kecil yang letaknya jauh dari desa induk,dengan wilayah dan tanah pertanian dari desa lain diantaranya. <br />Jabatan-jabatan di dalam desa, termasuk jabatan kepala desa, di pegang oleh orang-orang dari klen-klen tertentu. Tugas seorang kepala desa pada saat ini adalah mengumpulkan pajak, membagi-bagikan tanah untuk berladang, mempertahankan tata tertib dan melaksanakan instruksi-instriksi pemerintah serta perintah dari fettor dan raja. Kepala desa menjalankan pengadilan menurut hukum adat, melaporkan peristiwa-peristiwa hukum perdata dan hukum pidana kepada fettor, melaporkan pelanggaran-pelanggaran kepada fettor, dan polisi setempat, dan mewakili desanya dalam hubungan dengan desa-desa lain.<br />Menurut data dari salah satu desa di swapraja amarasi (suku bangsa atoni), yakni desa Soba, yang terdiri dari beberapa anak desa, digolongkan kedalam beberapa kelompok yang dikepalai oleh amnais ko’u (amnasit besar), dan amnais ana’ (amnasit kecil). Mereka bertugas membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan mereka tidak mendapat gaji dari pemerintah. Penunjukan kepala desa adalah oleh fettor, sedangkan penunjukan amnasit besar dan amnasit kecil adalah oleh kepala desa. Kepala desa, amnasit besar dan amnasit kecil di tunjuk dari antara orang-orang yang berasal dari klen pemilik desa.<br />Sistem Kemasyarakatan Orang Rote<br />Sebagian besar penduduk yang mendiami pulau/kabupaten Rote Ndao menurut tradisi tertua adalah suku-suku kecil Rote Nes, Bara Nes, Keo Nes, Pilo Nes, dan Fole Nes. Suku-suku tersebut mendiami wilayah kestuan adat yang disebut Nusak. Semua Nusak yang ada dipulau Rote Ndao tersebut kemudian disatukan dalam wilayah kecamatan.<br />Strata sosial terdapat pada setiap leo. Lapisan paling atas yaitu mane leo (leo mane). Yang menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang merupakan jabatan kehormatan untuk keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya spiritual, sedangkan fetor untuk urusan duniawi.<br />Filosofi kehidupan orang Rote yakni mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisonal orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Dengan demikian pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.<br /><br />Sistem kemasyarakatan Orang Sabu<br />Penduduk Sabu terdiri dari kesatuan klen yang disebut sebagai Udu (kelompok patrinial) yang mendiami beberapa lokasi tempat tinggal antara lain de Seba, Menia, LiaE, Mesara, Dimu dan Raijua. Masing-masing Udu sebagi suatu klen atau sub udu yang disebut Karego.<br />Tentang pola perkampungan orang Sabu tidak bisa terlepas dari pemberian makna pulaunya sendiri atau Rai Hawu. Rai Hawu dibayangkan sebagi suatu makluk hidup yang membujur kepalanya di barat dan ekornya di timur. Maha yang letaknya disebelah barat adalah kepala haba dan LiaE di tengah adalah dada dan perut. Sedangkan Dimu di timur merupakan ekor. Pulau itu juga dibayangkan sebagai perahu, bagian Barat Sawu yaitu Mahara yang berbukit dan berpegunungan, digolongkan sebagai anjungan tanah (duru rai) sedangkan dimu yang lebih datar dan rendah dianggap buritannya ( wui rai).<br />Orang Sabu mengenal hari-hari dalam satu minggu, misalnya hari Senin Lodo Anni), Selasa (Lodo Due), Rabu ( Lodo Talhu), Kamis (Lodo Appa), Jumat (Lodo Lammi), Sabtu (Lodo Anna), Minggu (Lodo Pidu).Konsep hari ini (Lodo ne), hari yang akan datng (Lodo de), besok (Barri rai). Hari-hari tersebut membentuk satu minggu kemudian 4 atau 5 minggu membentuk satu bulan (waru) dan 12 bulan membentuk satu tahun (tou).<br />Sistem Kemasyarakatan di Timor Tengah Selatan<br />Penduduk asli Timor Tengah Selatan merupakan suku bangsa dawan. Dalam masyarakat Dawan umumnya pemukiman mulai dari pola keluarga inti/batih yang terdiri dari bapak, ibu, dan anakyang disebut ume. Ume yang ada bakal membentuk klen kecil yang disebut Pulunes atau Kuanes dan ada klen besar Kanaf.<br />Ume sebagai keluarga inti tinggal di rumah pemukiman tradisional yaitu Lopo dan Ume. Lopo adalah lambang rumah untuk pria dan Ume untuk perempuan. Umumnya mata pencaharian masyarakat TTS adalah pertanian dan peternakan, seperti menanam jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan dan sedikit pertanian padi. Peternakan sapi, babi, dan kambing.<br />Sistem Kemasyarakatan Timor Tengah Utara<br />Pelapisan sosial dalam masyarakat Timor Tengah Utara terdiri atas tiga bagian yaitu:<br />(1). Usif (golongan bangsawan/raja)<br />(2). Amaf (pembantu raja) <br />(3). To (golongan bawah/rakyat)<br />Raja pada umumnya sebagai pemilik tanah yang menerima upeti dari tanahnya, dan tugas menarik upeti dilakukan oleh Moen Leun Aoin Leun, seterusnya diserahkan kepada Amaf Terlihat satu konsep yang menunjukan bahwa lapisan raja/bangsawan. Tidak langsung berhubungan dengan golongan To, oleh karena Usif memanfaatkan para pembantu Moen danAmaf untuk urusan pemeritahannya.<br />Sistem Kemasyarakatan Orang Belu (Atambua)<br />Masyarakat Belu yang terdiri dari beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya sendiri. Sebagai contoh masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku MaraE. Pemegang kekuasaan berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan tertinggi yaitu Ema Nain yang tinggal di Uma Lor atau Uma Manaran, mereka adalah raja. Lapisan berikutnya masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah raja) yaitu Ema Dato, kemudian lapisan menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan hanya membayar upeti dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan menengah disebut Ema Ata (hamba).Pada masyarakat Marae lapisan sosial tertinggi disebut Loro.<br /><br />RELIGI<br />Agama asli orang Timor berpusat kepada suatu kepercayaan akan adanya dewa langit Uis Neno yang dainggap pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia. Upacara yang ditujukan kepada Uis Neno terutama bermaksud untuk meminta hujan, sinar matahari atau untuk mendapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan.<br />Orang Timor juga ercaya kepada Uis Afu, Dewa Bumi, yang dianggap sebagai sebagai dewi Uis Neo. Upacara yng ditujukan kepadanya adalah meminta berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami.<br />Disamping itu, orang Timor juga mempercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat tertentu di hutan-hutan, mata air, sungai dan di pohon tertentu. Makhluk-makhluk halus tersebut bisa bersifat baik dan jahat, dan dianggap sebagai pemilik dan penjaga tempat yang sedang didiaminya. Orang melakukan upacara san sajian pada saat-saat tertentu guna memuaskan makhluk-makhluk tersebut. Upacara semacam ini dipimpin oleh pejabat desa yang merupakan ahli-ahli adat tanah dan yang dinamakan tobe. Kemudian mereka juga percaya kepada roh-roh nenek moyang, seperti makhluk-makhluk halus lainnya mereka mempunyai pengaruh yang luas kepada jalan hidup manusia. Berbagia melapetaka dianggap sebagai tindakan dari makhluk-makhluk alus tersebut terhadap manusia yang telah lalai untuk melakukan uoacara sajian untuk makhluk halus tersebut.<br />Bila ada malapetaka, maka seorang dukun dapat dipanggil untuk mencoba menemukan sumber dari malapetaka itu dan kemudian berusaha untuk menolaknya dengan menggunakan obat-obatan dan mantera yang dianggap sanggup mengusir makhluk-makhluk halus itu. Seorang dukun dalam pekerjaannya, dibantu oleh makhluk halus tertentu yang akan memerangi makhluk halus yang telah merugikan manusia. Di samping itu, ada juga mahkluk halus yang bisa disuruh-suruh oleh dukun-dukun ahli tertentu untuk merugikan manusia lain. Hanya dukun-dukunlah yang bisa dan sanggup untuk melawan kekuatan-kekuatan sihir yang berasal dari seorang dukun yang lain.<br />Meskipun agama Kristen sekarang secara formal telah diterima dan dipeluk oleh sebagian besar dari penduduk Timor, naming sebagian besar dari mereka masih percaya akan adanya dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, roh nenek moyang dan percaya akan ilmu sihir.<br />Dalam usahanya untuk meniadaka kepercayaan tersebut, para pendeta agama Kristen melawan pengaruh dari upacara-upacara yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dalam lingkaran hidup individu, upacara-upacara nonodi dalam klen-klen, kepercayaan terhadap makhluk halus dan sihir. Benda-benda nono misalnya harus dirusak oleh keluarga-keluarga pada wakru memasuki agama Kristen secara resmi, dan segala upacara yang berhubungan dengan peristiwa pada lingkaran hidup individu harus digabungkan dengan upacara-upacara yang ada di dalam agama Kristen, kecuali itu sebutan Uis Neno ddipergunakan untuk menerjemahkan perkataan Tuhan yang terdapat dalam Kitab Injil.<br />Usaha-usaha lain dari para pendeta penyebar agama Kristen di Timor adalah menerjemahkan Kitab Injil Perjanjian Baru, mereka juga mengusahakan agar penyelengaraan upacara-upacara keagamaan dipusatkan di gereja-gereja dan tidak lagi di rumah-rumah atau di tempat keramat, tetapi karena rumah bagi orang Timor masih dianggap sebagai pusat dari sebagian besar dari upacara-upacara keagamaannya, maka para pendeta dan guru-guru agama sering mengunjungi rumah-rumah untuk melakukan upacara keagamaan. Di samping itu, Gereja Protestan mengakui perkawinan yang diselenggarakan secara adat. Hanya mereka yang menjadi pegawai negeri sering merasa terpaksa untuk kawin secara Kristen resmi di depan seorang pegawai catatan sipil, dan seorang pendeta.<br /><br />PRODUK BUDAYA<br />Masyarakat Timor mempunyai corak kebudayaan yang beraneka ragam. Hal ini salah satunya disebabkan karena keberadaan beragam sub suku bangsa dalam masyarakat Timor. Di Timor terdapat perbedaan antara orang Rote, orang Helon, orang Atoni, orang Sabu, orang Belu, orang Kamak, dan orang Marae. <br />Termasuk dalam upacara dan ritual keagamaan maupun pernikahan, orang Timor mempunyai cara yang berbeda – beda. Berikut kami sajikan beberapa produk budaya yang dimiliki oleh masyarakat Timor sebagai salah satu bagian dari kekayaan budaya Indonesia.<br /><br />UPACARA PERKAWINAN <br />Jenis-jenis perkawinan yang terdapat pada masyarakat Timor yaitu :<br />(1) Membayar belis kontan, didahului dengan meminang. <br />Peminangan secara tradisional dapat dilakukan kepada seorang perempuan yang masih kanak-kanak kurang-lebih berusia 6 tahun. Itulah sebabnya di Timor dikenal istri rumah, ketika perempuan itu telah masuk usia kawin, maka urusan perkawinan dapat dilaksanakan.<br />(2) Perkawinan dengan pembayaran belis diutang <br />Perkawinan ini terjadi manakala sang pria tidak bisa membayar belis sebesar belis Ibu dari anak perempuan yang dipinang sehingga keluarga lelaki harus memberikan panjar belis semampunya. Utang ini harus dicicil dengan sang lelaki tinggal dan mengabdi bekerja di rumah wanita. Hutang belis ini dengan sendirinya akan hilang jika salah seorang dari suami istri itu meninggal dunia. Tentang harta kekayaan dan anak-anak tetap menjadi milik sang suami.<br />(3) Perkawinan bertukar atau Gayel Golal<br />Jenis gayel golal adalah proses yang mengijinkan bagi setiap suku untuk dapat bertukar dari sedikitnya 4 keluarga besar. Artinya keempat klen itu harus dapat mengatur utang yang telah dijanjikan orang tua mereka sebelumnya dengan saling memberikan anak gadis dan menerima lelaki sebagai suami. Asas ini berlaku dalam skema perkawinan:<br /><br /><br /> <br /><br />Dalam gambar 1 berlaku perkawinan Asymetris connubium, suku A sebagai pemberi wanita dan suku B penerima wanita tidak boleh sebaliknya. Hubungan suku D dan C Seperti hubungan A dan B.<br />Dalam gambar 2 terjadi perkawinan menurut apa yang disebut dengan symetris connubium, terjadi perkawinan timbal balik/saling bertukar memberi anak gadis dan menerima lelaki.<br />(4) Perkawinan Gere Uma (lari bersama) <br />Perkawinan ini terjadi berrawal seorang pria melarikan wanita bebas yang telah menjadi istri rumah orang (wanita yang telah dibelis sejak kecil). Alasan kawin lari karena orang tua tidak menyetujui perkawinan itu. Biasanya pria membawa lari kerumahnya. Ada satu kelasiman sebagai upaya meminta perlindungan, maka lelaki dan wanita berlindung di kediaman kepala suku untuk kemudian menikah (bubiring). Biasanya setelah kepala suku memanggil orang tua kedua belah pihak dan mengatur tata cara pembayaran belis dan perkawinan secara damai. Karena anak wanita dibawah lari lelaki, maka belisnya sangat besar ditambah tebus malu.<br />(5) Perkawinan Untu.<br />Jenis perkawinan ini sama dengan perkawinan Sororat dan levirat. Diperkenankan (sororat) artinya jika sang istri meninggal dunia, maka suami dapat mengawini kakak atau adik dari sang istri, dan sebaliknya jika sang suami yang meninggal dunia, janda tersebut dapat menikahi dengan kakak ataupun adik drai sang suami yang telah pergi.<br /><br />UPACARA PERKAWINAN ADAT ROTE <br />Perkawinan dalam adat masyarakat Rote Ndao ada ungkapan dalam kalimat-kalimat ; idufula tangga bunak do mata pao pidu pila (melambangkan kecantikan seorang wanita berhidung putih, berkulit terang, rambut seperti mayang padi, betis seperti telur burung).<br />Gadis yang dipilih harus pintar menenun sarung lambing mampu berumah tangga, mengurus sendiri dalam ungkapan; lima boa nee feo, do biti boa manu tolok. Wanita itu juga harus memiliki sifat sosial terhadap semua orang, pandai menghemat mengatur uang tercermin dalam ungkapan; sudi babauk do heu dedenak.<br />Ada ungkapan untuk mencari istri yaitu;<br />Tu titino (Kawin selidiki baik-baik)<br />Sao mamete (Kawin harus diteliti)<br />Tu sangga duduak (Kawin untuk mecari pikiran yang sama)<br />Sao sangga safik (Kawin untuk menyatukan hati) <br />Fo ana tea bae nggi leo (Agar dapat mempersilahkan siri kepada) <br />Mba ana kula huba babongkik (Kerabat dan handai taulan)<br /><br />Tahapan perkawinan menurut adat Rote:<br />(1) Tahap meminang disebut mbotik<br />(2) Jika diterima masuk tahap kedua perundingan belis<br />Artinya pembicaraan mengenai mas kawin yang akan diberikan dalam pernikahan. Yang terdiri dari mas kawin yang harus disediakan oleh kerabat si pemuda, yaitu berupa piring emas atau perak, dan kadang disertai sejumlah ternak. <br />(3) Tahap terang kampung<br />(4) Tahap pengumpulan belis dilingkungan pria dengan keluarganya yang disebut tuu belis<br />(5) Pembayaran belis oleh keluarga pria terhadap keluarga wanita<br />(6) Pengukuhan perkawinan adat atau natudu sasao<br />(7) Pengantin wanita diantar ke rumah lelaki yang disebut dode.<br /><br />PERKAWINAN WANITA SABU <br />Proses pinangan dikalangan masyarakat Sabu dibagi dalam beberapa tahapan yaitu;<br />(1) Hari bicara atau hari lodo, pada saat rombongan laki - laki bersama juru bicara maemiki beriringi ke rumah wanita dan mulai membicarakan adat yang disebut peli. Utusan laki-laki membawa Rukenana tempat sirih pinang lambang pinangan. Jika keluarga wanita mengambil, maka itu tanda lamaran diterima. Kadang-kadang langsung dibicarakan harga belis yang disebut Kebue.<br />(2) Pada tahap ini pihak lelaki mengantar Rukenana Ae (sirih pinang besar) dan seekor babi besar ke rumah calon mertua. <br />(3) Pada tahap ini pihak lelaki mengantar kenoto (seserahan) melalui upacara pemaho ruke nana ae dengan seekor babi dihantar ke rumah mertua perempuan. <br />(4) Kenoto yang dibawah dibuka (boka kenoto) oleh keluarga perempuan disaksikan oleh semua perempuan yang suku ikut membantu melahirkan gadis itu. <br />(5) Tahap kelima adalah Nga'a Kebue yaitu acara makan bersama di keluarga laki-laki untuk mengumpulkan kelengkapan belis.<br />(6) Tahapan keenam keluarga laki-laki menghantar barang-barang belis ke keluarga perempuan.<br />(7) Keluarga laki-laki membawa gadis dari rumahnya ke rumah laki-laki. <br />(8) Tahapan berikutnya setelah malam pengantin lelaki dan seluruh keluarganya mengantar mempelai wanita kerumah orang tuanya dan diadakan upacara nuhu amu (memasuki rumah) pada saat ini sang istri secara resmi meninggalkan sukunya.<br /><br />PERKAWINAN MENURUT ADAT DI BELU <br />Perkawinan yang melalui jalan perkenalan muda mudi dimulai dengan acara hanimak dan samahare yang dilakukan secara tradisional yaitu :<br />(1) Perkawinan menurut hubungan/ikatan keluarga (feto sawa uma mane) agar dilakukan terus demi menjaga jangan putusnya ikatan<br />(2) Husar oan binan oan (wanita lain diluar uma manaran yang telah ditetapkan)<br />(3) Mencari gadis yang masih perawan yaitu Takan tahan lasilu kane, bua fuan lakuu kane (daun sirih yang belum dipetik dan disentuh, buah pinang yang belum pernah dicubit).<br />(4) Isin basu foi wai (perkawinan dengan mereka yang sudah menjadi milik umum) dimana pada waktu lalu harga perawannya sudah dibayar oleh pemuda yang pernah menggaulinya.<br />(5) Isin babila nidin babila, belu hikar kabolai babonu lain babonu dikin babonu lain atau sama dengan daru uma mane keluarga penerima gadis, kawin lagi dengan calon dari klen pemberi gadis (perkawinan sororat).<br /><br /><br />Tiga jenis perkawinan yang haram yaitu<br />(1) Feton oan, antara saudara-saudari sekandung, jika terjadi maka ungkapannya: asu mata buta (anjing buta matanya)<br />(2) Oan susun, bapak dengan anak kandungnya, disebut asu na nikar oan manu nemu nika tolun artinya anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum kembali telurnya.<br />(3) Oan no inan, anak laki-laki dengan ibunya, (asu sae tetu, asu nador kauk) anjing menaiki loteng, mengotori sarang.<br /><br />Sangsi yang diperoleh dari perkawinan tersebut diatas ialah pria dan wanita dipaksa menghisap susu babi (fahi ten) dan dikucilkan dari suku (lelen sai)<br />Perkawinan yang dibenarkan ialah<br />(1) Nan niti hein feton (anak saudara dikawinkan dengan anak saudari) <br />(2) Oan nola nikar nian kii baki (anak mengawini bekas istri pamannya)<br />(3) Baba nola nikar nian uma nain uma ruin (paman mengawini kembali bekas istri keponakannya)<br /><br />Dipihak lain kadang-kadang perkawinan itu sudah disiapkan dalam urutan proses yang teratur, tetapi bisa terjadi penyimpangan contohnya:<br />(1) Is no beran makotar no tarein (paksaan pemerkosaan).<br />(2) Istri orang diganggu maka disebut suit ulun nak balu, tais ninin naksira, sebagian sisir pecah, sepotong kain tercabik.<br />(3) Sebelum menikah sudah hamil dan diberi tahu, asu oan roan manu oan nakin (anak anjing meraung, anak ayam menciap, sudah hamil baru mengaku).<br /><br />UPACARA KEHAMILAN DAN KELAHIRAN<br />KEHAMILAN DAN KELAHIRAN WANITA TIMOR TENGAH SELATAN <br />Menurut adat Atoni/Kabupaten Timor Tengah Selatan selama masa kehamilan tetap barada dalam pengawasan dukun amama fenu. Fungsinya sebagai pengurut, mengangkat perut waktu hamil, membantu persalinan. Persalinan umumnya dilakukan di rumah, sesudah pemotongan tali pusat sang bayi, tali pusat itu digantung di atas pohon kusambi.<br />Sebelum 40 hari setelah kelahiran pada saat sang ibu masih dimandikan dengan air panas, maka ada suatu acara untuk memperkenalkan sang bayi kepada keluarga yaitu Poitan Li Ana dilakukan sesudah dilahirkan satu hari, diiringi dengan sembayang, memercik air pada bayi dan para peserta.<br />Sebelum memperkenalkan bayi poitan li ana, pantangannya adalah tidak boleh memandang wajah suaminya dan tidak boleh melangkahi puntung api yang terdiri dari tiga batang kayu besar dalam rumah bulat (uma kbu bu). Kalau dilanggar, maka kehamilan berikutnya tidak akan terkendalikan (Nis mese Li Ana) dan turunannya bakal cacat tubuh dan mental.<br /><br />KEHAMILAN DAN KELAHIRAN WANITA TIMOR TENGAH UTARA <br />Perawatan selama seorang wanita sedang hamil dilakukan secara intensif sejak 5-6 bulan, apanbila itu anak pertama. Seorang Amama'Fenu (dukun bersalin) yang biasanya ibu yang sudah berusia 50-an tahun ditatapkan sebagai perawatnya. Hal ini berlaku untuk para perempuan yang resmi dinikahkan, tetapi kalau ada yang hamil diluar nikah, maka harus ditelusuri lelaki yang menghamili gadis itu dan setelah membayar Fani Kiut Hau Besi Lal Uki (sejenis denda) barulah wanita hamil itu dibantu oleh Amama'Fenu.<br />Semasa hamil ia ditabukan dengan beberapa hal antara lain menertawakan orang cacat, makan pisang kembar, tidak boleh keluar pada malam hari. Khusus untuk tabu konsumsi (terlebih pada masa hamil) para wanita dari suku-suku tertentu harus taat pada tabu konsumsi yang ditetapkan oleh suku sebagai totemnya. Suku Funan dengan totem anjing,Suku Falo dan Metkono dengan totem musang, Suku Silab dengan totem ikan, Suku Falioni dengan babi, dan Suku Lake dan Snak dengan Totem buaya.<br />Anak-anak yang kurang dari satu tahun rambut pada ubun-ubun dapat dicukur oleh pamannya dalam acara Ketu'Nakfunu. Rambut pertama yang dicukur akan diletakan di Uim Le'u (rumah berhala) sebagai tanda ucapan terima kasih dan tanda hormat kepada Usi Neno.<br /><br />TRADISI ADAT LAINNYA<br />HAMIS BATAR HATAMA MANAIK<br />Upacara Hamis Batar merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Belu yang dipimpin oleh tetua adatnya untuk menyambut musim petik jagung atau panen jagung, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta. <br />Hamis menurut bahasa setempat berarti sukur dan batar berarti jagung. Masyarakat percaya bahwa hasil jagung yang akan mereka peroleh merupakan karunia Sang Pencipta. Rasa syukur ini diwujudkan dengan mempersembahkan jagung yang terbaik hasil panen kepada Yang Maha Kuasa.<br /> Sebelum upacara dimulai para kepala keluarga turun ke kebun masing-masing untuk memetik sebuah jagung termuda dan paling bagus. Setelah itu mereka berkumpul di tempat upacara dan diadakan seleksi jagung yang paling bagus. Jagung yang paling baik kemudian diletakkan di troman (tiang agung) yang terbuat dari tumpukkan batu yang dikelilingi batu-batu kecil untuk meletakkan jagung baik yang lainnya. <br /> Setelah semua batu tertutup oleh jagung muda, Ketua Adat kemudian memimpin doa persembahan jagung kepada Sang Pencipta dan memohon agar jagung yang dipanen bermanfaat. Seusai berdoa, upacara dilanjutkan dengan menyebar jagung-jagung ke seluruh kebun untuk dipersembahkan kepada Penguasa Tanah, Foho Norai, yang telah memberikan tanah dan kesuburan jagung.<br /> Upacara dilanjutkan dengan batar babulun, pencabutan pohon jagung secara utuh, untuk dibawa ke kampung dan diikat pada tiap-tiap kayu tiang agung yang sesuai dengan fungsinya, yaitu karau sarin (untuk beternak sapi), fahi ahuk (untuk beternak babi), dan fatuk (untuk orang-orang tua atau ektua adat).<br /> Seiring dengan upacara tersebut diadakan batar fohon, yaitu acara pemotongan batang buah jagung menjadi 12 potong untuk diserahkan kepada Ketua Adat, dan selanjutnya Ketua Adat menentukan waktu upacara inti.<br /> Upacara inti hamis batar itu sendiri merupakan proses persembahan sesaji/jagung-jagung yang baik yang telah dikupas dan dibakar kemudian dimasukkan kedalam gantang penyimpanan jagung yang disebut hane matan untuk dipersembahkan di tempat-tempat yang dianggap keramat (We Lukik, Rai Bot).<br /> Pada proses pembakaran jagung, api yang digunakan merupakan api khusus yang disebut Tahu Hai yang dibuat oleh ketua adat dengan menggosokkan sepotong batu berwarna merah dengan sepotong besi yang disertai serbuk dari pohon enau. Pembakaran dilakukan dengan tiga buah tungku yang diiringi dengan pembacaan doa oleh ketua adat.<br />Hatama Manaik<br /> Upacar hatama manaik merupakan pelengkap upacara hatama batar, yaitu proses upacara persembahan jagung muda (manaik) dari masyarakat kepada pemimpin masyarakat/raja sebagai ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas kepemimpinannya. Dalam proses upacara hatama manaik dari awal hingga akhir diatur oleh penghubung raja yang biasa disebut Kaburai.<br /><br />LASI AN KON AUFNAO AN KON<br />Upacara menyambut datangnya kelahiran sang bayi disetiap daerah mempunyai ciri khas tersendiri. Demikian juga dengan suku Dawan yang ada di pulau Timor ini. Dalam suku Dawan adat penyambutan sang bayi disebut lasi an kon aufnao an kon, yang artinya mengeluarkan abu dapur/tungku. Maksudnya mengeluarkan bara api dari tungku untuk dipindahkan ke bawah kolong tempat tidur, agar ibu yang habis melahirkan dan bayinya dihangatkan dan tidak merasa kedinginan.<br /> Dimulainya upacara ini ketika sang ibu mau melahirkan anaknya, yang didampingi oleh a mahonet (dukun bersalin), a palolet (dukun yang pandai mengurut dan meramu jamu bersalin), dan a tasat (dukun yang pandai memandikan wanita bersalin dengan ramuan obat-obatan). Sementara itu sang suami dan paman laki-laki dari sang bayi menyiapkan bara api. Kayu yang dipakai untuk membikin bara api bukan sembarang kayu, tetapi harus dari kayu kusambi.<br /> Saat terdengar bayi lahir dan dukun bayi telah mengucapkan kalimat ok'en, artinya persalinan telah selasai dan berlangsung dengan selamat, maka saat itu pula sang suami menyalakan api. Setelah kayu menjadi bara, maka dilakukan ritus kou aufnau atau memindahkan bara api ke kolong tempat tidur sang ibu dan bayinya. Hal ini dilakukan oleh sang suami dan paman dari bayi secara bersama-sama.<br /> Sementara itu untuk menolak bala dan gangguan, tangan sang bayi dililit dengan benang hitam. Sampai hari ke empat sang ibu dan bayinya tidak boleh turun dari tempat tidur. Untuk menyusui bayinya, sang ibu harus diberkati oleh bibi perempuan, yakni bibi perempuan yang biasa menjaga rumah adat. Sang bibi inilah yang menyentuh puting susu sang ibu lalu membersihkan dan meneteskan ke mulut bayi.<br /> Menurut kepercayaan, ari-ari sang bayi harus digantungkan di atas pohon kusambi. Ini dilakukan agar kelak sang bayi memiliki tubuh dan jiwa yang kuat sebagaimana sifat pohon kusambi. Namun kadang-kadang ari-ari tersebut ditanam, tergantung dari situasi. <br /> Pada ari-ari bayi laki-laki, dimasukan sepotong besi, biji jagung, dan padi, tanduk atau bulu binatang, dengan keyakinan agar kelak sang anak menjadi seorang petani dan peternak yang hebat. Sedang ari-ari pada bayi perempuan dimasukan benang agar kelak menjadi seorang penenun yang hebat.<br /> Upacara ini kemudian ditutup dengan suguhan sirih pinang, makanan (tergantung dari kemampuan keluarga), untuk mereka yang telah membantu proses persalinan tersebut. Pada saat itu juga dibicarakan upacara sesudah empat hari kelahiran sang bayi yang disebut napoitan liana.<br /><br /><br /><br /><br />UPACARA ADAT CUKUR RAMBUT<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />SIFON (SUNAT LALU KAWINI PEREMPUAN) <br />Sifon adalah sebuah tradisi lelaki di daerah Timor Barat terutama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Belu merupakan suatu tradisi atau mitos agar lelaki menjadi perkasa dengan meninggalkan luka bagi perempuan termasuk penyakit menular seksual. Di sungai sebuah ritual Sifon dimulai, di Nusa Tenggara Timur. Sifon adalah hubungan badan pasca sunat pada laki-laki. <br />Sunatnya, tak banyak berbeda dengan sunat di daerah lain, hanya saja biasanya dilakukan secara tradisional di kampung-kampung. Tujuannya juga baik untuk kebersihan dan kesehatan kaum laki-laki namun sesudah sunat tidak diberikan semacam betadin dan obat anti infeksi bila sifon tak dilakukan dipercaya akan mendatangkan bala atau hal-hal yang buruk. Sial yang ada dalam dirinya, kalau itu belum dibuang, istrinya sendiri yang kena. <br />Sifon masih banyak dijumpai, terutama pada suku Atoni Meto, Amarasi dan Malaka Pulau Timor. Bila sang pemuda tidak melakukan hubungan seks paska sunat atau sifon, mereka takut akan menjadi impoten.<br />Tradisi itu dimulai dengan pendinginan dan pengakuan dosa atau naketi di sungai yang mengalir. Pasien berendam dalam air di pagi hari. Pelaku sifon harus menyiapkan ayam dan pernak-pernik untuk prosesi sunat yang akan dipimpin dukun sunat atau ahelet.<br />Sunat kemudian dilakukan dengan menggunakan bilah bambu, pisau atau diikat dengan tali-tali tertentu. Jika sudah selesai, pasien kembali dibawa ke sungai untuk proses penyembuhan. Diperlukan waktu sekitar 1 minggu sampai 10 hari untuk mengeringkan luka sehabis disunat, ketika masih terluka itulah, ritual sifon dilakukan. <br />Selanjutnya si pasien tidak boleh lagi berhubungan seks dengan perempuan yang dijadikan obyeks sifon seumur hidupnya. Berdasarkan kepercayaan Atoni Meto, perempuan itu sudah menerima panas dari si pasien yang berarti penyakit kelamin. Jika si pria nekad dan berhubungan seks lagi dengan perempuan yang sama, maka penyakitnya akan kembali padanya. Perempuan yang kena sifon juga diyakini kulitnya bersisik dan berbau. Itulah sebabnya mengapa sifon tidak boleh dilakukan dengan istri sendiri. Juga, tidak akan ada lelaki yang mau memperistri perempuan yang menjadi obyek sifon. Sifon juga dipercaya membuat laki-laki awet muda. Hubungan seks pakca sunat ada yang berhenti pada taraf sifon, tapi ada pula melanjutkannya hingga tiga tahap.Hubungan yang kedua bisa disebut waekane atau haukena yaitu menaikan badan untuk memulihkan kebugaran tubuh, hubungan yang ketiga disebut tak nino artinya membuat mengkilat, membuat mulus kembali.<br />Setelah tahap ini, akan dilakukan pendinginan, baru kemudian boleh berhubungan lagi dengan istrinya. Tak jarang sang istri tahu bahkan memberi izin bagi suaminya melakukan ritual itu. Menurut para istri, jika ritual itu tidak dilakukan, istri akan mendapat bala. Jika seorang pemuda atoni meto tidak melakukan ritual itu maka akan dikucilkan, disindir-sindir dalam upacara adat. Sifon sering dilakukan pada masa panen. <br /><br />UPACARA FUA PAH<br />Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan roh yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di kebun-kebun, gunung-gunung dan bukit-bukit. Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia, sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah dan makhluk di atas alam raya yang dianggap menyimpan kekuatan jahat atau kekuatan setan) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Dawan. <br />Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah atau Pah Tuaf itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah:<br />(1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana) <br />(2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo) <br />(3) tahap menanam (lef boen no’o), <br />(4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), <br />(5) tahap panenan perdana (tasana mate), <br />(6) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf). <br />Penyair lisan (lasi tonis) dalam masyarakat Dawan diyakini merupakan orang yang diberkati dan memiliki kekuatan magis religius. Dia dipercaya memegang peranan utama dalam segala pelaksanaan upacara adat maupun upacara-upacara formal seremonial lainnya. Di desa-desa hampir di seluruh NTT, sastra (lisan) bukanlah hal yang asing. Mereka yang menguasai, mendengar, memahami, dan menghayati sastra dianggap tinggi kedudukannya. Para lasi tonis sering dilukiskan sebagai orang yang ‘berilmu tinggi’ dan memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat karena menguasai ‘cipta sastra’. Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga daripada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan kebenaran. Sastra lisan telah menjadi perbendaharaan kehidupan rohani masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di pedesaan.<br />Setiap kali dilakukan upacara ritual persembahan hewan korban kepada Pah Tuaf, masyarakat Dawan sudah memiliki semacam formula mantra yang disiapkan oleh konvensi untuk dipergunakan oleh para lasi tonis-nya.<br /><br />TRADISI GOTONG ROYONG di TIMOR<br />Masyarakat Timor, khususnya di daerah Dawan sangat terkenal dengan budaya gotong royongnya. Mereka mengenal tiga jenis kerja gotong royong, yakni: Hone, Meopbua, dan Okomama. Ketiga jenis adat gotong royong ini bersumber dari landasan filsafat hidup orang Dawan yakni ‘Tmeup Tabua Nekaf Mese Ansaof Mese” berarti ‘bekerja sama sehati-sepikiran’. Ungkapan ini dalam praktek merupakan motif dasar yang mengilhami setiap bentuk kerjasama dalam masyarakat Dawan. Konsep ‘bekerjasama sehati-sepikiran’ ini bertujuan mafiti/manpenen, yakni saling meringankan beban. Penekanan kerjasama ini adalah nilai sosial kemanusiaan dan bukan nilai sosial ekonomi (upah).<br /><br />SENI SASTRA<br /> Karya sastra di Timor paling banyak ditemukan pada masyarakat Dawan. Dalam bidang sastra, penelitian tentang sastra lisan Dawan berhasil mendeskripsikan empat jenis Sastra Lisan Dawan yakni Bonet, Heta, Tonis dan Nu’u. Uraian singkatnya sebagai berikut. <br />(1) Bonet. Bonet adalah jenis tuturan berirama atau puisi lisan yang seringkali dilagukan. Tuturan membentuk satuan-satuan berupa penggalan yang ditandai dengan jeda. Satuan-satuan ini membentuk bait atau kuplet. Jumlah larik tidak selalu sama. Ciri lainnya adalah pengulangan bentuk. Berdasarkan isi dan fungsinya, Bonet dibedakan atas 4 jenis, yakni: Boennitu (puji-pujian kepada arwah), Boen Ba’e (Puji-pujian dalam suasana ceria: kelahiran olen, menimang anak ko’an, penyambutan tamu futmanu-safemanu), dan nyanyian kerja (Boenmepu). <br />(2) Heta. Heta juga merupakan sejenis puisi lisan Dawan, yang ditinjau dari segi struktur mirip dengan bonet. Jika bonet termasuk puisi ritual formal yang dinyanyikan dalam upacara adat, maka heta merupakan puisi lisan yang dituturkan dalam suasana santai tanpa dilagukan. Heta terdiri dari teka-teki (Tekab) dan peribahasa. <br />(3) Tonis. Tonis merupakan ragam bahasa adat, sehingga penuturan tonis selalu dalam rangka adat. Tonis merupakan jenis sastra lisan Dawan yang diungkapkan dalam bentuk bahasa berirama (puisi) yang berbau prosa teratur (prosa lirik). Tonis terjalin dalam bentuk pasangan kata dalam larik dan bait-bait paralel yang berulang secara teratur. Seperti: Auni mnanu//kue mnanu “tombak panjang//kuku panjang” yang mengiaskan pejuang. Berdasarkan isinya, tonis dapat dibedakan atas dua jenis, yakni tonis pah (puisi yang berkaitan dengan leluhur) dan tonis lasi (puisi yang membicarakan masalah-masalah sosial). <br />(4) Nu’u. Nu’u merupakan jenis prosa rakyat yang dituturkan dalam bahasa sehari-hari. Dalam masyarakat Dawan terdapat dua jenis Nu’u, yakni Nu’u yang hanya boleh dituturkan oleh tonis karena berkaitan dengan kebenaran hukum adat dan kesejarahannya, dan nu’u biasa, yang dituturkan oleh siapa saja, yang biasanya berupa cerita-cerita rakyat. <br />Dalam masyarakat Dawan dikenal pula bentuk sastra lisan lainnya yakni “nel” yang berupa pantun dan ta’nu’an yakni cerita-cerita dongeng yang biasanya ditujukan untuk anak-anak. Ada tiga jenis nel atau pantun itu, yakni: (a) nel-masi’u (pantun untuk sindir-menyindir), (b) nel ta’tuna kanan (pantun untuk mengungkap asal-usul suatu marga), dan (c) nel ta’tuna pah (yakni pantun untuk mengagungkan kerajaan). Parera juga menyebutkan bahwa syair adat Dawan disebut “takanab” dan penyairnya disebut “mafefa”. Kadang-kadang syair-syair lisan itu disebut juga dengan istilah “lasitonis” dan penyairnya disebut “apiot lasi.” Dalam tulisan ini, akan digunakan istilah “tonis” untuk puisi-puisi atau syair-syair adat dan “lasitonis” untuk penyair lisan (lasi tonis)nya.<br /><br />TRADISI SIRIH PINANG <br />Masyarakat Timor juga mengenal adanya tradisi menginang (nyirih) untuk menguatkan gigi mereka. Kotak tempat menyimpan sirih di Timor disebut Oko Mamah dan Aluk. Oko Mamah biasa dipakai oleh para kaum wanita sedangkan Aluk dipakai oleh kaum laku-laki. 'Mamah' sirih pinang sudah menjadi tradisi masyarakat Timor yang tidak diketahui mulai kapan kebiasaan tersebut berlangsung. Tradisi 'mamah' sirih pinang ini juga sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Timor, hampir seluruh acara adat dan acara resmi lain selalu diawali dengan acara makan sirih pinang terlebih dahulu. Ketika tamu baru datang, sebelum minuman dihidangkan biasanya terlebih dahulu disediakan seperangkat sirih pinang di atas meja. Dan konon sebagai tanda bahwa sang tamu menaruh rasa hormat pada tuan rumah, maka sang tamu harus mencicipi sirih pinang tersebut.<br />Untuk dapat memamah sirih pinang, Orang Timor harus menyiapkan tiga bahan penting yakni buah sirih, buah pinang, dan kapur sirih. Ketiga bahan ini sangat mudah ditemukan di pelosok daratan timor, terlebih buah pinang dan kapurnya. Pohon pinang banyak terdapat di pekarangan penduduk atau di daerah mata air, sedangkan kapur sirih diambil dari bunga karang yang telah mati kemudian dibakar hingga menjadi bubuk kapur. <br /><br />LAGU TRADISIONAL TIMOR<br /><br /> Tutu Koda<br />O ina beten melewan lau doan<br />O ina saren motanan rae lela<br />Panadi maan tun pulo pai getan<br />Rawe di maan wulan le mamatan<br />Mo aman langsung ke nobo taran bala<br />Kemata lali go ena lalo dang<br />Naku mo pana di mulo duli tukang<br />Paten moi betu beri buratu<br /><br />MAKANAN KHAS TIMOR<br />JAGUNG BOSE<br />Merupakan salah satu makanan khas Timor yang dibuat dari jagung. Jagung direbus sampai matang kemudian dicampur kacang nasi dan garam kemudian direbus bersama santan yang kental dan daun pandan.<br /><br /><br /><br />LAWAR TOMAT<br />Lawar tomat adalah makanan khas Timor yang dibuat dari campuran cabe rawit, terasi, bawang merah, daun bawang, tomat, minyak kelapa, daun ketumbar, jeruk peruk , dan garam.<br /><br />TUMIS BUNGA DAN DAUN PEPAYA<br /> <br /><br /><br /><br /> <br />RENDANG<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />SENJATA TRADISIONAL TIMOR<br />Senjata tradisional masyarakat Timor disebut Subdu atau Sudu, yang bentuknya seperti keris sebagai senjata tikam. Sama halnya dengan keris pada masyarakat Jawa, masyarakat Timor sangat mensakralkan senjata ini.<br /><br />RUMAH ADAT TIMOR<br />Rumah adat asli masyarakat Timor yang ada di pedesaan berbnruk seperti sarang lebah, dengan atapnya hampir mencapai tanah. Sebuah rumah biasa dihuni oleh satu keluarga batih, dan di situ mereka makan, tidur, bekerja, dan menerima tamu mereka. Rumah juga tempat para wanita bekerja, yaitu menenun, memasak, dan menyimpan hasil lading mereka. Di samping itu, rumah juga merupakan tempat untuk menjalankan upacara keagamaan asli yang berhubungan dengan klen mereka.<br />Rumah orang Timor dibuat dari balok kayu untuk tiang – tiangnya, dindingnya terbuat dari bilah bambu tipis, dan atapnya terbuat dari daun rumbia. Sebuah rumah terdiri atas dua bagian, yaitu begian luar yang disebut sulak, dan bagian dalam yang disebut nanan. Bagian luar adalah bagi para tamu yang berkunjung, tempat tidur para tamu, dan tempat bagi para anak laki-laki si penhuni yang sudah dewasa. Bagian dalam adalah tempat bagi keluarga penghuni untuk tidur, makan, dan ju8ga tempat menginap anak perempuan yang sudah kawin kalau ia dating berkunjung. Keluarga yang tidur di bagian dalam dari rumah tidur di atas beberapa balai yang tersedia di situ menurut kedudukannya dalam keluarga tersebut.<br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /> Gambar rumah adat Timor beserta konstruksinya<br /><br />Pada masyarakat Timor Tengah Selatan terdapat sebuah kebiasaan unik yaitu setiap keluarga memiliki dua jenis bangunan rumah. Bangunan pertama tampak lebih modern, berbentuk persegi dan terbuat dari kombinasi batu, papan dan seng. Bangunan kedua tampak seperti jamur merang jika dilihat dari ketinggian. Masyarakat menyebutnya sebagai Rumah Bulat, salah satu rumah adat yang masih dipertahankan.<br />Arsitektur dan Kegunaan Rumah Bulat<br />Dinding rumah bulat (umek bubu) melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter. Atapnya yang berbentuk seperti kepala jamur merang terbuat dari rumput alang-alang. Ujung alang-alangnya hampir menyentuh permukaan tanah. Dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu dan bambu. Pintunya setengah lonjong dengan ketinggian kurang satu meter. Untuk masuk orang dewasa harus membungkukkan badan terlebih dahulu. Rumah bulat mampunyai tinggi kurang lebih 3 meter dan mempunyai satu pintu yang cukup kecil dengan tinggi sekitar 0.5 meter dan lebar 0,75 meter.<br />Rumah bulat digunakan masyarakat untuk menyimpan jagung dengan cara digantung pada penyanggah atap dan dipanaskan dengan bara api agar tidak rusak dan kualitasnya tidak menurun. Selain sebagai lumbung pangan warga di kala musim paceklik, rumah bulat juga difungsikan sebagai dapur (umumnya digunakan kayu bakar) dan tempat penyimpanan perkakas rumah tangga bahkan tempat untuk melahirkan. Dapat dikatakan rumah bulat ini sangat ekonomis, karena digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga.<br />Dalam adat masyarakat Meto (atoin meto) yang merupakan masyarakat asli Timor Tengah Selatan, rumah bulat diasosiasikan dengan peranan perempuan dan sikap kerendahan hati. Berbeda dengan Lopo, bangunan khas lainnya yang juga terbuat dari bahan dasar rumput alang-alang dan bambu, tak berdinding (terbuka) dan beratap tinggi. Lopo dikaitkan dengan peranan laki-laki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Adat Meto juga menyebutkan bahwa zaman dahulu kala, setiap lelaki penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.<br />Wanita di Timor Tengah Selatan bahkan melahirkan di rumah bulat dengan proses panggang yang dilakukannya selama 40 hari. Asap memenuhi seluruh ruang dalam rumah bulat. Sebab, kecuali untuk memasak dengan kayu bakar, keluarga ini juga menghangatkan tubuh ibu yang baru saja melahirkan dengan cara membuat bara api dan kemudian meletakkan arang panasnya di bawah kolong tempat tidur ibu yang baru saja melahirkan. Proses melahirkan juga dilakukan di tempat tidur itu.<br />Proses panggang dipercaya masyarakat menjadi penangkal dari sakit berat. Ada pula ketakutan dari para orang tua: jika proses ini tak dilakukan, kondisi badan anak akan lembek dan tak kuat, bahkan akan menyebabkan kegilaan pada si ibu.<br />Rumah bulat menjadi ciri khas adat dan budaya orang Timor yang masih dipertahankan sampai saat ini, padahal sebetulnya ia juga sumber persoalan. Sulit menemukan rumah bulat berjendela. Lubang angin pun tidak menjadi pertimbangan dalam membangun rumah bulat. Udara dan sinar matahari hanya bisa menerobos dari lubang-lubang kecil pada dinding-dinding bambu.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar Rumah Adat Masyarakat Timor Tengah Selatan (Rumah Bulat)<br /><br /> INSTRUMEN MUSIK<br />FOY DOA<br />Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih.Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran. <br />Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan , sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan.<br />Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara. Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti : Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.<br /><br /><br /><br />FOY PAY<br />Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.<br /><br />KNOBE KHABETAS<br />Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari. Merupakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian. Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana).<br /><br />KNOBE OH<br />Nama alat musik yang terbuat dari kulit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkal ujung tersebut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.<br /><br />SUNDING TONGKENG <br />Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm. Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah 6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala. Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute. Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng, sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama Sunding Tongkeng. Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada pantangan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita.<br /><br />PRERE <br />Alat bunyi-bunyian ini terbuat dari seruas bambu kecil sekecil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruas bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya. Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut Prere.<br /><br />SULING <br />Umumnya seluruh kabupaten yang ada di Timor memiliki instrumen suling bambu, Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain ( 40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass. Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran kecil dan bambu pengatur nada berbentuk besar.<br />Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring bernada 2 oktaf. Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord, maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau suling alto bernada sol, tenor mi,dan dan bass bernada do.<br />Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keculi pada suling bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik. Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.<br /><br />HEO <br />Alat gesek (heo) terbuat dari kayu dan penggeseknya terbuat dari ekor kuda yang dirangkai menjadi satu ikatan yang diikat pada kayu penggesek yang berbentuk seperti busur. Alat ini mempunyai 4 dawai, dan masing-masing bernama :<br />- dawai 1 (paling bawah) Tain Mone, artinya tali laki-laki<br />- dawai 2 Tain Ana, artinya tali ana<br />- dawai 3 Tain Feto, artinya tali perempuan<br />- dawai 4 Tain Enf, artinya tali induk<br />Tali 1 bernada sol, tali 2 bernada re, tali tiga bernada la dan tali 4 bernada do.<br /><br /><br /><br /><br />LEKO BOKO/ BIJOL <br />Alat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat. Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter) Nyanyian-nyayian pada masyarakat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semaam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.<br /><br />SOWITO <br />Merupakan seruas bambu yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.<br /><br />REBA <br />Alat musik ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah. Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah. Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik. Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.<br /><br /><br /><br />MENDUT <br />Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi.<br />Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m. Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengan batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.<br /><br />KETADU MARA <br />Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.<br /><br />SASANDO <br />Fungsi musik sasando gong dalam masyarakat pemiliknya sebagi alat musik pengiring tari, menghibur keluarga yang sedang berduka, menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta, dan sebagai hiburan pribadi. Sasando gong yang pentatonis ini mempunyai banyak ragam cara memainkannya, antara lain : Teo renda, Ofalangga, Feto boi, Batu matia, Basili, Lendo Ndao, Hela, Kaka musu, Tai Benu, Ronggeng, Dae muris, Te'o tonak.<br />Ragam-ragam tersebut sudah merupakan ragam yang baku, namun dengan sedikit perbedaan ini dikarenakan :<br />(a). Rote terdiri dalam 18 Nusak adat dan terbagi dalam 6 keamatan. Dengan sendirinya setiap nusak mempunyai gaya permainan yang berbeda-beda. <br />(b). Perbedaan-perbendaan ini dipengaruhi oleh kemampuan musikalis dari masing-masing pemain sasando gong. <br />(c). Belum adanya sistem notasi musik sasando gong yang baku.<br />Perkembangan Sansando<br />Sasando pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis. Diperkirakan akhir abad ke-18 sansando mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman, yaitu menggunakan tangga nada diatonis. Sasando diatonis khusunya berkembang di Kabupaten Kupang.<br />Jumlah dawai yang digunakan oleh sasando diatonis bervariasi yaitu, 24 dawai, 28 dawai, 30 dawai, 32 dawai, dan 34 dawai. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya yaitu kira-kira 1960 untuk pertam kalinya sasando menggunakan listrik. Ide ini datang dari seorang yang bernama Bapak edu Pah, yaitu salah seorang pakar pemain sasando di Nusa Tenggara Timur.<br /><br />KERONTANG <br />Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini. Alat musik bunyi-bunyian ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.<br /> <br />LETO <br />Alat musik ini mirip dengan Totobuang, alat musik dari Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari Maluku. Terdapat sebuah erita bahwa asal muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat mengganggu kepergian mereka ke kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat alat musik ini untuk sang anak.<br />Permainan Leto ada dua cara, yaitu digantung dan yang lain diletakkan di atas pangkuan. Leto dibuat dari batangan kayu Sukun yang digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Leto yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di Wulanggintang.<br /><br />THOBO <br />Merupakan alat musik tumbuk yang terbuat dari bambu. Seruas Bambu betung yang buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa.<br /><br />GONG <br />Gong merupakan alat musik yang umum terdapat pada masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi. Biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat, mengiringi tarian dalam penerimaan tamu dan sebagainya. Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain antara lain jumlah gong , ukurannya, cara memainkannya, serta penglarasnya. Khusus penglaras umunya berkisar pada laras pelog dan slendro.<br />Nama-nama gong pada masing-masing daerah tidak sama, untuk jelas lihat ontoh berikut :<br />a. Gong Sabu<br /> Nama-nama gong sesuai dengan cara menabuhnya, contoh gong pengiring tari Ledo Hawu :<br />Leko yaitu dua buah gong yang mula-mula ditabuh seara bergantian, Didale ae, Didala Iki, dan Gaha yaitu tiga buah gong yang berukuran agak besar (gong bass) yang juga ditabuh secara bergantian, Wo Peibho Abho yaitu dua buah gong yang ditabuh sebagai pengiring gong Leko, Wo Paheli yaitu dua buah gong yang ditabuh sebagai pengiring Leko dan We Peibho Abho.<br />b. Gong Alor<br /> Nama-nama gong :<br />- Kingkang yaitu dua buah gong kecil.<br />- Dung-dung/kong-kong yaitu dua buah gong sedang.<br />- Posa yaitu tiga buah gong besar.<br />c. Gong Dawan<br />Gong Dawan yang dimaksudkan di sini adalah dari Amanuban tepatnya di Desa Nusa Timor Tengah Selatan. Gong yang digunakan umumnya berjumlah 6 buah. Nama-nama gong :<br />Tetun yaitu dua buah gong keil, namun apabila dari kedua gong ini hanya dibunyikan salah satunya maka namnya berubah menjadi Toluk, Ote' yaitu dua buah gong sedang. Kedua gong ini dibunyikan dengan penuh perasaan, Kbolo' yaitu dua buah gong besar yang dimainkan dengan tidak terlalu cepat.<br /><br /> <br /><br />TARIAN ADAT<br /><br />TARI HOPONG <br />Hopong adalah sebuah upacara tradisional masyarakat Helong yang mengijinkan para petani untuk menuai atau panen di ladang pertanian. Upacara Hopong adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh para petani dalam bentuk doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan nenek moyang.<br />Upacara Hopong dilakukan pada masa panen disuatu rumah yang ditentukan bersama dan dihadiri oleh tua-tua adat serta lapisan masyarakat. Tarian ini juga menggambarkan kehidupan bersama nilai religius, gotong royong. Musik pengiring gendang, tambur, gong<br /><br />TARI MANEKAT (TEMPAT SIRI) <br />Asal tarian : Kabupaten Timor Tengah Selatan<br />Menurut masyarakat Dawan dalam kehidupan adat istiadatnya sapaan selalu ditandai dengan siri pinang. Siri pinang merupakan lambang penghormatan untuk memberikan harkat dan martabat seseorang.<br /><br />TARI PEMINANGAN <br />Asal tarian : Kabupaten Timor Tengah Utara<br />Tarian ini menggambarkan bentuk peminangan ala orang dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Peminangan dapat juga diartikan sebagai suatu ungkapan perasaan cinta yang tulus.ungkapan kepolosan hati antara sepasang kekasih yang hendak mengikat kasih. Suatu ungkapan bahwa kehadiran dari seseorang diterima dengan sepenuh hati, dengan tangan terbuka. Tarian ini juga melambangkan penyambutan, penghormatan atas kehadiran seorang tamu istimewa yang mendatangi tempat mereka.<br /><br />TARI LIKURAI <br />Asal tarian : Kabupaten Belu<br />Dalam masyarakat Belu tari Likurai merupakan tari yang dibawakan oleh gadis-gadis / ibu-ibu untuk menyambut tamu-tamu terhormat atau pahlawan yang pulang dari medan perang. Konon, ketika para pahlawan yang pulang perang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai bukti keperkasaan) para feto (wanita) cantik atau gadis cantik terutama mereka yang berdarah bangsawan menjemput para pahlawan dengan membawakan tarian Likurai. Likurai itu sendiri dalam bahasa Tetun (suku yang ada di Belu) mempunyai arti mungasai bumi. Liku artinya menguasai, Rai artinya tanah atau bumi. Lambang tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah menguasai atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta.<br />Tarian adat ini ditarikan oleh feto-feto dengan mempergunakan gendang-gendang kecil yang berbentuk lonjong dan terbuka salah satu sisinya dan dijepit di bawah ketiak sambil dipukul dengan irama gembira serta sambil menari dengan berlenggak-lenggok dan diikuti derap kaki yang cepat sebagai ekspresi kegembiraan dan kebanggaan menyambut kedatangan kembali para pahlawan dari medan perang. Mereka mengacung-acungkan pedang atau parang yang berhias perak. Sementara itu beberapa mane (laki-laki) menyanyikan pantun bersyair keberanian, memuja pahlawan.<br />Konon kepala musuh yang dipenggal itu dihina oleh para penari dengan menjatuhkan ke tanah. Proses ini merupakan penghinaan resmi kepada musuh. Selain itu para pahlawan tadi diarak ke altar persembahan yang sering disebut Ksadan. Para tua adat telah menunggu di sini dan menjemput para pahlawan sambil mencatat kepala musuh yang dipenggal itu serta menuturkan secara panjang lebar tentang jumlah musuh yang telah ditaklukkan sampai terpenggal kepalanya diperdengarkan kepada khalayak ramai untuk membuktikan keperkasaan suku Tetun. <br />Pada masa kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya.<br /><br />TARI DODAKADO <br />Asal tarian : Kabupaten Alor<br />Tarian yang berasal dari permainan rakyat ini Alor ini menggambarkan keceriaan muda-mudi pada saat acara-acara pesta adat. Yang menarik dari tarian ini adalah ketangkasan muda-mudi dalam berlompat-lompat diatas permainan bambu.<br /><br />TARI TEOTONA <br />Asal tarian : Kabupaten Rote Ndao <br />Tarian ini berasal dari kerajaan Oenale di Rote. Tarian ini termasuk tarian sacral dalam menyambut kaum pria yang kembali dari medan perang. Pria dan wanita bersama-sama menunjukan kegembiraannya dengan menari secara ekspresif.<br /><br /><br />TARI LEDO HAWU <br />Asal tarian : Kabupaten Kupang/ Sabu <br />Tarian ini biasa dibawakan pada saat upacara kematian kepala adat, dengan maksud mengusir setan ditengah jalan, agar perjalanan arwah kehadapan pencipta tidak dihalangi. Istilah lain dari tari ini dapat dikatakan sebagai penyapu ranjau.<br /><br /><br />TARI PERANG <br />Merupakan tarian yang menunjukkan sifat-sifat perkotaan dan kepedulian mempermainkan senjata. <br /><br /><br /><br /><br />TARI BIDU<br />Tarian Bidu merupakan tarian peninggalan nenek moyang Belu yang pada mulanya digunakan sebagai media perkenalan bagi pemuda dan pemudi. Tarian ini dilaksanakan atas rencana pemuda-pemudi atas persetujuan orang tua masing-masing. Sebelumnya pihak pemuda merencanaan dan membuat perjanjian bersama dalam bahasa adat disebut hameno bidu.<br />Perjanjian ini kemudian ditepati dan mereka pun berduyun-duyun menuju lokasi yang telah ditentukan, yang ditonton oleh masyarakat sekitar. Para penari Bidu yang terdiri dari pemuda dan pemudi ini pun segera masuk arena untuk menari. Apabila sang pemuda telah menemukan gadis idamannya, maka dalam menari si pemuda mengelilingi si gadis idamannya. Sang gadis pun tahu kalau si pemuda sudah menaruh hati, maka si gadis pura-pura jual mahal. Pada tahap berikutnya sang pemuda sambil menari melambai-lambaikan sapu tangannya ke wajah si gadis dan berusaha meletakkan sapu tangannya ke bahu si gadis.<br />Jika si gadis itu menyetujuinya, maka sapu tangan itu akan diterimanya dengan baik. Selanjutnya menjelang tarian usai diadakan janji untuk hanimak (suatu proses saling mengenal yang sangat etis, romantis dan berbobot, karena masih dalam pengendalian).<br />Apabila dialog perjanjian itu belum selesai, akan dilaksanakan setelah tarian usai. Dialog-dialog itu dengan bahasa bersyair, dan bisanya pemudalah yang memulainya. <br />Setelah proses perjanjian, si pemuda lalu pulang dan mencari teman yang dapat dipercaya untuk kemudian diutus sebagai jembatan untuk menghubungi orang tua gadis dengan kata-kata pemberitahuan bahwa si pemuda mau bertandang ke rumah si gadis. <br />Bila orang tua gadis setuju, maka si pemuda mulai berdandan dan segera pergi ke rumah si gadis dengan membawa sirih pinang. Kemudian terjadi dialog antara pemuda dan si gadis.<br />Setelah proses hanimak atau bertandang, pulanglah si pemuda dengan seizin gadis dan orang tuanya. Selanjutnya apabila ada kecocokan, maka hanimak berlanjt terus pada malam-malam berikutnya, dan pada gilirannya terjadilah proses binor yang berarti saling menyimpan barang (tempat sirih, kain selimut, pakaian, foto-foto dan lainnya).<br />Setelah terjadinya binor, maka orang tua kedua belah pihak bermusyawarah untuk menentukan waktu meminang atau memasukan sirih pinang. Pada saat meminang, pihak laki-laki membawa sirih pinang, sopi (tuak) satu botol, dan ayam satu ekor serta satu ringgit perak dan kain putih kurang lebih satu meter. Barang-barang tersebut dinamakan Mama Lulik (sirih pinang pamali). Kemudian menyusul lagi tahap adat yang disebut Mama Tebes. Dalam acara ini dibahas tentang jadwal perkawinan di gereja.<br /><br />TARIAN BIDU KIKIT<br />Kikit, dalam bahasa Tetun berarti Burung Elang. Tarian ini merupakan tarian khas dari salah satu suku di Kabupaten Belu, yakni Suku Kemak yang bermukim di Kabupaten Belu bagian Utara. <br />Tarian Bidu Kikit terdiri dari beberapa orang, laki-laki dan perempuan yang menggunakan musik pengiring Tihar yang irama pukulannya adalah irama khas likurai. Tarian ini dibawakan oleh tiga penari, yakni satu penari laki-laki yang melambangkan seekor Burung Elang Jantan dan dua orang penari perempuan yang menggambarkan burung elang betina. Tarian ini menggambarkan sekwanan burung elang yang terbang berputar-putar mengintai mangsa, kemudian menukik memburu mangsa. Tarian peninggalan nenek moyang Kabupaten Belu ini merupakan tarian hiburan, dalam berbagai upacara adat, khususnya Suku Kemak.<br /><br />TARI TEBE<br />Merupakan tarian yang menggambarkan luapan kegembiraan atas suatu keberhasilan ataupun kemenangan dalam suatu pekerjaan.Tarian ini terdiri dari beberapa orang penari laki-laki dan perempuan yang saling bergandengan membentuk lingkaran sambil menari dan bernyanyi bersahut-sahutan melantunkan syair-syair dan pantun sambil menghentakkan kaki sesuai irama lagu sebagai wujud luapan kegembiraan.<br />Tarian yang melibatkan orang ini dulu biasanya dilakukan pada malam hari sebagai ungkapan rasa syukur atas terlaksananya suatu pekerjaan, misalnya panen, perkawinan, dan lain-lain. Namun dalam perkembangannya tarian ini akhirnya dapat dilakukan kapan saja, terutama siang hari, bilamana ada acara-acara hiburan atau menyambut para tamu.<br /><br />PAKAIAN TRADISIONAL<br />Masyarakat Timor mempunyai beragam bentuk pakaian adat. Hal ini tergantung pada daerah masing – masing. Masing – masing daerah memiliki pakaian tradisional sendiri – sendiri.<br /><br />PAKAIAN SEHARI-HARI (SABU)<br />Pakaian pria<br />Pakaian adat Sabu yang digunakan sehari-hari adalah :<br />Selimut dan kemeja putih dipakai dengan ikat pinggang dan destar<br />pengikat kepala tanpa perhiasan.<br />Sedangkan untuk wanita<br />adalah sarung diikat/dililit pada pinggang<br />dengan 2 kali lipatan bersama kebaya tanpa asessoris<br /><br />PAKAIAN PENGANTIN (SABU)<br /> <br />Pakaian Pengantin Pria <br />•Selendang yang digunakan pada bahu pria<br />•Destar pengikat kepala sebagai lambang kebesaran/kehormatan disertai dengan mahkota kepala pria yang terdiri dari tiga tiang terbuat dari emas.<br />•Kalung mutisalak yaitu sebagai mas kawin dengan liontin gong.<br />•Sepasang gelang emas<br />•Ikat pinggang/sabuk yang memiliki 2 kantong pengganti dompet/tas.<br />•Habas/perhiasan leher terbuat dari emas.<br /> <br /> Pakaian pengantin wanita<br />•Sarung wanita yang diikat bersusun dua pada pinggul dan sedada.<br />•Pending (ikat pinggang terbuat dari emas)<br />.Gelang emas dan gading yang dipakai pada upacara adat/perkawinan<br />•Muti salak/kalung dan liontin dari emas.<br />•Mahkota kepala wanita dan tusuk konde berbentuk uang koin/sovren/ uang emas pada zaman dahulu.<br />•Anting/giwang emas bermata putih/berlian.<br />•Sanggul wanita berbentuk bulat diatas/puncak kepala wanita<br /><br />PAKAIAN HELONG<br /> Pakaian Pria<br />Selimut Helong besar diikat pada pinggang ditambah<br />dengan selimut kecil<br />• Kemeja pria (baju bodo)<br />• Destar pengikat kepala<br />• Muti leher atau habas.<br /><br />Pakaian wanita<br />• Sarung diikat pada pinggang ditutup dengan<br />selendang penutup.<br />• Pending/ikat pinggang emas<br />• Kebaya wanita<br />• Muti salak/muti leher dengan mainan berbentuk bulan<br />• Perhiasan kepala bulan sabit/bula molik<br />• Giwang (karabu)<br />• Pakaian sehari-hari, menggunakan busana yang sama<br />tanpa perhiasan dan kebaya bagi wanita dibuat dengan<br />sulaman “ Kutang “.<br /><br />PAKAIAN ADAT AMARASI<br />Selimut besar pria diikat pada pinggang ditambah<br />dengan selimut penutup dan selendang.<br />Ikat pinggang pria<br />Kemeja pria (baju bodo)<br />Kalung habas emas + gong<br />Muti salak<br />Ikat kepala/destar dikombinasi dengan<br />hiasan tiara.<br />Gelang Timor 2 buah<br /><br />Pakaian wanita<br />Sarung diikat pada pinggang<br />Selendang penutup + pending<br />Kebaya wanita<br />Kalung muti salak + habas + gong (liontin)<br />Hiasan kepala bulan sabit<br />Tusuk konde koin 3 buah dan sisir emas.<br />Giwang (karabu)<br />Gelang kepala ular 2 buah (sepasang)<br />Pakaian sehari-hari<br />Pakaian pria dan wanita menggunakan busana yang<br />sama tanpa asessoris. <br /> <br /><br /><br />PAKAIAN ADAT ROTE <br />Pakaian adat Rote pada dasarnya sama dengan pakaian adat Helong.<br />•Selimut Rote besar diikat pada pinggang ditambah dengan selimut kecil<br />•Kemeja pria (baju bodo)<br />•Destar pengikat kepala<br />•Muti leher atau habas. <br />Di samping beberapa pakaian adat tersebut, di Timor juga dikenal beberapa pakaian adat yang lain.<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TIMOR TENGAH SELATAN TIMOR TENGAH UTARA BELU<br /><br />KAIN TENUN<br />Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Timor merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.<br />Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.<br />Kain tenun atau tekstil tradisional dari Timor secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :<br />1). Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.<br />2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.<br />3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)<br />4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.<br />5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.<br />6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.<br />7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.<br />8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.<br />9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)<br />Dalam masyarakat tradisional Timor tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya atau penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.<br />Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.<br />Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat Timor terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya.<br /><br /> <br />Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Timor dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni :<br />1. Tenun Ikat<br />Disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Timor, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi.<br />2. Tenun Buna <br />Berasal dari Timor Tengah Utara maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai.<br />3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket <br />Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.<br />Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Timor terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah marun.<br />Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Timor telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif. <br />Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />CERITA RAKYAT <br />Ikrar Orang Samoro Dan Buaya<br />Konon, pada jaman dahulu tersebutlah sebuah kerajaan besar yang bernama Samoro. Sekarang letak kerajaan itu diperkirakan sekitar Soebada. Kerajaan Samoro diperintah oleh seorang raja yang sangat adil dan bijaksana. Hal itu membuat kerajaan Samoro menjadi aman, tenteram dan makmur. Hampir tak pernah terjadi kejahatan di kerajaan Samoro. Semua rakyat selalu mematuhi segala perintah rajanya. <br />Kerajaan Samoro mempunyai seorang patih yang sangat sakti. Selain memiliki kekebalan tubuh, ia juga mampu berjalan diatas air, berlari secepat kilat, dan mampu melihat segala makhluk halus seperti jin, peri, setan dan sejenisnya. Patih itu bernama Datuk Samoro. Suatu ketika Datuk Samoro diperintahkan oleh baginda raja untuk melamar seorang putri dari kerajaan Wehale. Kerajaan itu letaknya sangat jauh, yaitu di sekitar Kupang sekarang.<br />Sebagai seorang Patih yang menjunjung tinggi perintah raja, Datuk Samoro beserta beberapa pengawal kemudian berangkat menuju kerajaan Wehale. Setiba di kerajaan Wehale, Datuk Samoro melihat beberapa raja dari kerajaan lain yang sudah tiba lebih dahulu juga dengan maksud melamar putri raja Wehale.<br />Raja Wehale sebenarnya sangat licik. Ia masih belum rela jika putrinya yang cantik jelita itu diboyong oleh mereka. Maka, ia membuat siasat. Diperintahkannya para juru rias istana untuk merias dayang-dayang istana secantik mungkin yang kemudian ditampilkan di depan para pelamar agar dipilih sesuai dengan pilihan mereka. Beberapa raja mengambil dayang-dayang yang telah dirias untuk dijadikan permaisuri dan langsung dibawa pulang ke kerajaan masing-masing. <br />Datuk Samoro mengetahui bahwa putri yang ditampilkan di depan para pelamar itu bukan putri raja yang sebenarnya.Ia tak ingin terkecoh dengan tipu muslihat itu. Kemudian, ia melakukan pendekatan pada penjaga-penjaga istana untuk diberitahu, dimana sebenarnya putri raja yang sesungguhnya disembunyikan.<br />Dengan berbagai cara akhirnya Datuk Samoro dapat mengorek keterangan para penjaga itu, bahwa putri raja kini menyamar dengan berpakaian pelayan yang sedang bekerja di dapur. Setelah mendengar penjelasan dari para penjaga istana, Datuk Samoro langsung menuju ke dapur tempat para pelayan sedang memasak, dan ia mengambil salah satu diantara para pelayan itu.<br />Raja Wehale menjadi murka melihat perbuatan Datuk Samoro. Ia menuduh patih itu sebagai orang yang telah lancang memasuki dapur istana tanpa minta ijin terlebih dahulu. Dan Datuk Samoro tak dibenarkan menjadi salah satu pelamar diantara raja-raja itu. Sebagai seorang yang mengemban tugas dari rajanya, tentu saja Datuk Samoro tak ingin pulang dengan tangan hampa. Ia berniat melarikan putri raja Wehale. Maksud itu is sampaikan kepada putri raja yang sangat cantik itu.<br />"Tuan putri, raja kami bermaksud meminang paduka untuk dijadikan sebagai pendamping beliau. Tetapi, kami sangat kecewa dengan tindakan ayahanda tuanku putri yang menipu para pelamar lain denga merias para pelayan. Hamba tak ingin tertipu bagaimana mungkin seorang pelayan akan menjadi seorang permaisuri raja. Bagaimana nanti jika suatu kerajaan dengan seorang raja yang besar didampingi seorang permaisuri yang tidak cakap. Tuanku putri adalah orang yang patut mendampingi raja kami".<br />"Saya mengerti perasaan Paman. Saya juga tidak setuju dengan perbuatan ayahanda. Lalu apa rencana Paman selanjutnya?" kata putri Raja Wehale.<br />"Maafkan hamba, Tuan Putri. Malam ini hamba bermaksud membawa lari Tuanku Putri ke kerajaan kami. Apakah Tuan Putri merasa keberatan?" tanya Datuk Samoro. <br />"Hem, baiklah! Bila itu rencana Paman, aku bersedia Paman boyong. Barangkali dengan perbuatan kita ini, ayahanda akan sadar dari perbuatannya yang keliru itu".<br />Lewat tengah malam, ketika rakyat Wehale terlelap dari tidurnya, Datuk Samoro dengan menggunakan kesaktiannya dapat melarikan putri Raja Wehale. Gunung dan lembah dilalui tanpa mendapat rintangan. Akhirnya, tibalah rombongan Datuk Samoro di tepi sungai We Nunuk. Ketika mereka hendak menyeberang, tiba-tiba air sungai We Nunuk meluap dan berbuih-buih.<br />Dari dalam sungai itu muncul buaya-buaya besar dan ganas menghalangi perjalanan Datuk Samoro beserta rombongannya. Sementara Raja Wehali yang memerintahkan para prajuritnya untuk mengejar telah dekat. Dengan kekuatan gaibnya Datuk Samoro berunding dengan buaya-buaya itu, yang memperoleh kesepakatan bahwa buaya-buaya itu dimintai tolong membawa rombongan orang-orang Samoro selamat sampai di seberang.<br />Dan sebagai imbalannya orang-orang Samoro beserta keturunannya dari abad ke abad berjanji tidak akan berbuat jahat terhadap bangsa buaya dan pantang makan daging buaya. Setelah perjanjian itu mereka sepakati, tiba-tiba langit menjadi gelap. Awan hitam bergulung-gulung disertai angin kencang. Daun-daun beterbangan dihempas angin, pohon-pohon besar bertumbangan. Suara guntur bergemuruh membelah angkasa, seakan jadi saksi sumpah janji mereka. Akhirnya orang-orang Samoro dengan selamat dapat sampai di seberang sungai We Nunuk.<br />Kemudian muncullah pengejar-pengejar dari kerajaan Wehala. Mereka lengkap membawa senjata untuk bertempur. Dan dengan tenang dan gagah berani terjun ke dalam sungai untuk menyeberang , tanpa melihat bahwa sungai We Nunuk saat itu tengah meluap. Akibatnya, seluruh prajurit itu tewas dimangsa buaya.<br />Orang-orang Samoro yang menyaksikan peristiwa itu dari seberang sungai menjadi sangat sedih hatinya. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat apa-apa. Takdir tak dapat dihindari. Orang-orang Samoro kemudian mengucapkan terima kasih atas bantuan buaya-buaya tadi dan mereka berjanji akan mematuhi sumpah dan janji yang telah mereka ucapkan. <br />Karena peristiwa itu, konon sampai sekarang orang-orang Samoro masih menghormati buaya dan tidak berani mengganggunya. Apabila orang-orang Samoro memasuki sebuah danau atau sungai yang ada buayanya. mereka selalu berkata "Leluhur janganlah berbuat jahat" atau "Janganlah menggigit cucu-cucumu" sambil mengikatkan daun palem pada lengan atau kepala mereka. Dengan cara itu, orang-orang Samoro percaya bahwa buaya-buaya akan mengenali mereka dan tidak akan mengganggu.<br />Cerita ini merupakan mitologi. Beberapa suku yang ada di Timor masih menganggap bahwa leluhur mereka bersahabat dengan buaya. Dan menurut legenda, terjadinya pulau Timor pada mulanya merupakan seekor buaya yang lambat laun berubah menjadi daratan. Daratan itu, konon sebagai wujud balas budi terhadap seorang anak manusia yang telah berjasa menyelamatkan nyawa seekor buaya. Oleh karena itu bila orang Timor berjumpa dengan buaya, mereka akan menyebutnya 'kakek' atau 'leluhur'.<br /><br />PARIWISATA di TIMOR<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Kolam Susuk di Belu Rumah Adat Lorodirma di Desa Sanleo,<br /> Atambua<br /> Kawah Masinlulik di Desa Litamali, Perkampungan Rumah Adat di Desa<br /> Atambua Kamanasa, Atambua<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Rumah Adat Matabesi Ksadan Fatulotu<br /> <br />Bukit Jobugujur Bakelin, Desa Fulur<br />Tempat yang dulunya dipakai untuk upacara Tubila/Solu'a Golu (tempat membagi hasil buruan), Atambua <br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />MODERNISASI dan PEMBANGUNAN<br />Selama ini usaha modernisasi dan pembangunan di Timor masih banyak menemui hambatan, yang disebabkan utamanya oleh 2 hal yaitu:<br />1. Tanah yang tidak subur, sumber alam yang sedikit, dan iklim kering<br />2. Susunan masyarakat dan sikap mental orang Timor masih banyak terpengaruh oleh tradisi kuno dan adat feodal sehingga sulit untuk maju.<br /><br />Kondisi tanah yang tidak subur dan iklim kering membuat Timor menjadi suatu daerah yang tidak cocok untuk pertanian dengan tujuan tidak sekedar untuk konsumsi. Namun masalah ini telah dapat disiasati dengan pemberdayaan Timor sebagai daerah peternakan karena memiliki cukup banyak padang rumput untuk menggembala ternak Usaha peternakan telah ada sejak zaman Belanda, sehingga sudah ada cukup banyak orang Timor yang mempunyai ketrampilan dalam mengurus dan mengembangkan usaha ternak. Sehingga untuk lebih mendukung potensi ini Pemerintah perlu mamberikan bantuan dengan kredit dan pendidikan kepada masyarakat.<br />Hambatan yang kedua adalah kondisi penduduk Timor. Masyarakat Timor sudah lama hidup terpecah – pecah dan kurang menyadari integritasnya, sehingga hal ini juga meupakan salah satu factor penghambat dalam pelaksanaan pembangunan secara cepat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah pembentukan desa-desa kesatuan yang besar dengan mengumpulkan penduduk dari desa –desa kecil yang masih terpencar. Pembentukan desa diusahakan di daerah yang sesuai untuk menetap dan cocok untuk usaha peternakan maupun bertani dengan lading. Pemerintah juga perlu memberikan bantuan dan insentif dengan pemberian modal dan tanah yang cukup, pembangunan saluran irigasi, dan penyuluhan teknik – teknik usaha yang benar. <br />Penduduk Timor juga masih sangat dipengaruhi oleh tradisi kuno. Akibatnya seringkali mereka menolak apabila dikenalkan dengan cara hidup yang lebih modern dan sehat karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan tradisi yang telah mereka warisi dari nenek moyang. Misalnya masih banyak masyarakat yang tinggal bahkan melahirkan di rumah bulat, padahal jika dilihat kondisinya rumah bulat sangat tidak layak untuk tempat tinggal dan tidak memenuhi syarat – syarat kesehatan. Dampaknya adalah banyaknya warga masyarakat yang terserang penyakit pernafasan. Tradisi lain yang juga sangat tidak mementingkan aspek kesehatan adalah tradisi sifon. Karena adanya tradisi ini penyebaran penyakit menular seksual di kalangan masyarakat Timor sudah pasti tidak dapat dibendung lagi.<br />Masyarakat Timor seringkali lebih mempercayai apa kata dukun atau paranormal daripada para ahli atau pemerintah. Misalnya saja hingga sekarang dari pemerintah sering diluncurkan PERDA yang melarang masyarakat untuk menebang pohon. Namun realita yang ada menunjukkan bahwa tidak adanya keperdulian masyarakat terhadap PERDA tersebut.. Namun jika Tokoh atau pemangku adat yang melarang untuk menebang pohon dengan titah bahwa "siapa yang menabang pohon akan disambar petir” maka hal ini adalah tabu bagi masyarakat sehingga masyarakat tidak sedikitpun berani untuk menebang pohon. Realita menunjukkan bahwa jika ada orang yang berani menebang pohon maka jelas akan disambar kilat.<br />Dengan memperhatikan hal-hal di atas maka sudah selayaknyalah pemerintah dalam aktivitasnya, untuk melaksanakan kegiatan pembangunan masyarakat adat (khususnya tokoh-tokoh adat) tidak boleh diabaikan peranannya. Karena jika diabaikan oleh pemerintah daerah maka dalam pembangunan akan ada kepincangan. Hal ini penting karena sasaran pembangunan itu sendiri adalah pemberdayaan masyarakat adat .<br />Dari segi keagamaan, tidak ada hal sekecil apapun yang merusak adat. Artinya agama tidak merusak adat. Jika ada, mungkin oleh kelompok-kelompok karismatik contohnya persekutuan doa dan lain-lain yang sejenis yang merusak adat karena mempunyai pemahaman yang sempit tentang agama dan adat. Antara adat dan agama memiliki kaitan erat.<br />Contohnya ibadat kampung menggunakan Knit (nafiri) dari tanduk kerbau atau tanduk sapi dan urusan orang mati menggunakan knit juga. Ini adalah adat orang meto yang hingga kini masih dilestarikan di kampung tertentu dan harus dkembangkan secara terus menerus. Penting Bagi Pemerintah daerah bahwa adat harus dikembangkan karena sebagai bagian yang tidak dipisahkan dari kehidupan bangsa dan masyarakat meto di jaman otonomi daerah. Bagi Tokoh agama diminta untuk tidak merusak adat tetapi memanfaatkan adat sebagai pintu pelayanan kepada masyarakat <br />Bagi Pemangku adat, pemberdayaan masyarakat adat dimanfaatkan agar sejajar dengan komponen yang lain yang ada dalam bangsa ini tapi harus diusahakan agar jangan sampai menggunakan adat untuk kontra dengan pemerintah karena akan merusak adat sendiri.<br />Identitas diri masyarakat adat harus dipahami sebagai salah satu kekuatan yang akan memdorong (spirit) kelancaran pembangunan. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan harus menggandeng komponen masyarakat adat. Masyarakat adat harus dipandang sebagai subyek bukan obyek. Otonomi, peranan dan nilai-nilai masyarakat adat akan memperlancar pembangunan apabila digunakan. Sehingga dengan pemberdayaan masyarakat adat diharapkan setiap insentif, pemyuluhan, atau kebijakan yang berkaitan dengan upaya pembangunan di Timor dapat berjalan dengan optimal dan tepat sasaran. Masyarakat Timor juga masih banyak yang masuk dalam golongan buta huruf, sehingga diperlukan langkah pendidikan kepada masyarakat dengan lebih intensif lagi.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-1814794031686440482008-11-22T22:03:00.000-08:002008-11-22T22:07:01.306-08:00Kebudayaan SundaSecara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu Bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan berasal dari tempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Secara kultural daerah Pasundan itu di sebelah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatasan bahasa. Akan tetapi di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-kampung yang menggunakan bahasa Sunda, separti di Kabupaten Brebes, Tegal dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di daerah Lampung, Sumatra bagian paling Selatan. Di daerah Jawa Barat sendiri, jika kita teliti lebih mendalam lagi, tidak seluruh masyarakatnya menggunakan Bahasa Sunda. Di daerah pantai utara dan di daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa Sunda, sedang di daerah Cirebon Bahasa Sunda lebih banyak dipakai. Di daerah Jakarta dan sekitarnya, masyarakatnya berbahasa Melayu Jakarta.<span class="fullpost"><br />Dewasa ini Bahasa Sunda dipakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Di pedesaan bahasa pengantar adalah Bahasa Sunda, sedang di kota-kota Bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, di dalam percakapan antara kawan dan kenalan yang akrab dan juga di tempat-tempat umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui bahwa mereka itu menguasai Bahasa Sunda. Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikemukakan bahwa Bahasa Sunda yang murni dan yang halus ada di daerah Priangan, seperti Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi dan Cianjur. Sampai sekarang dialek Cianjur masih dipandang sebagai Bahasa Sunda yang terhalus. Dari Cianjur pula berasal lagu-lagu kecapi-suling Cianjuran. Bahasa Sunda yang dianggap agak kurang halus adalah Bahasa Sunda di dekat pantai Utara, misalnya Banten, Karawang, Bogor dan Cirebon. Bahasa orang Badui yang terdapat di Banten Selatan adalah Bahasa Sunda Kuno. Dalam pemakaian Bahasa Sunda dikenal pembagian atas tiga tingkatan, yaitu Bahasa Sunda lemes, sedang dan kasar. Bahasa Sunda lemes sering digunakan untuk berhubungan dengan orang tua, orang yang dituakan atau orang yang dihormati dan disegani. Bahasa Sunda sedang dipergunakan antara orang yang setaraf, baik dalam usia maupun status sosialnya. Sedang Bahasa Sunda kasar dipergunakan oleh atasan terhadap bawahannya, juga sering digunakan oleh menak terhadap cacah. Terlepas daripada evaluasi emosionel-literer, mengenai adanya Bahasa Sunda yang halus dan yang kurang halus, yang murni atau yang kurang murni, adanya perbedaan itu barangkali dapat diterangkan dari sudut sejarah. Sunda Priangan misalnya pernah mendapat pengaruh kultural dari Mataram Islam. Dalam sejarah abad ke-19 terdapat hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan di Sunda, khususnya di daerah Sumedang, dengan kaum bangsawan di Solo dan Jogjakarta. Di samping itu ada kemungkinan bahwa iklim-iklim lingkungan alam memberikan pengaruh kepada aspek-aspek tertentu dari bahasa.<br />Pada daerah-daerah percampuran, dimana digunakan Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa, ada kecenderungan pada beberapa keluarga yang menggunakan Bahasa Sunda untuk tidak menyebut dirinya orang Sunda, akan tetapi menyebut dirinya misalnya orang Cirebon atau orang Banten dan menggunakan istilah orang Sunda bagi orang Sunda Priangan. Salah satu keterangan yang didapat mengenai hal ini adalah dari sudut bahasa, yaitu bahwa bahasa di Priangan lebih halus. Akan tetapi dikembalikan pula, bahwa orang Cirebon dan Banten melihatnya dari sudut penyebaran Agama Islam lebih dahulu tersebar di daerah Banten dan Cirebon. Sebaliknya bagi orang Sunda sebagai bahasa-ibunya di manapun ia tinggal adalah orang Sunda.<br /><br />Sejarah<br />Catatan sejarah paling lama yang ditemukan mengenai perkataan Sunda telah dijumpai di naskah Kebon kopi 2 yang bertarikh 536 Masehi. Istilah Sunda kemungkinan berasal dari Bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti bersinar, terang atau putih. Dalam Bahasa Jawa kuno (kawi) dan Bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat dan waspada.<br />Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India).<br />Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di Timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur.<br />Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan, sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara dan Timor.<br />Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu maupun keduanya orang Sunda, dimanapun ia atau mereka berada dan dibesarkan.<br />Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda dalam hidupnya. Dalam konteks ini, istilah Sunda juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di tanah daerah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.<br />Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah, silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling memelihara dan melindungi). Disamping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap ansor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.<br /><br />Bahasa<br />Bahasa Sunda digunakan oleh lebih kurang 27 juta orang dan merupakan bahasa kedua paling banyak digunakan di Indonesia setelah bahasa Jawa. Bahasa ini ditutur oleh mereka di bagian selatan Provinsi Banten dan di kebanyakan tempat di Jawa Barat.<br />Ada terdapat beberapa dialek dalam bahasa Sunda, dari dialek Sunda-Banten ke dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mencampurkan banyak elemen dari bahasa Jawa. Beberapa dialek yang jelas kedengaran adalah:<br />1. Banten<br />2. Bogor<br />3. Priangan dan<br />4. Cirebon<br />Disebabkan pengaruh budaya Jawa semasa pemerintahan Kesultanan Mataram, Bahasa Sunda terutama sekali di kawasan Parahyangan, memiliki beberapa lapisan bermula dengan bahasa paling resmi atau versi “halus”, hingga cara penuturan harian yang dipanggil versi “loma” atau “lancaran”. Namun di kawasan-kawasan pegunungan dan di Banten, versi “loma” paling banyak digunakan tetapi cara penuturan “loma” ini dianggap kasar oleh mereka yang berasal dari Bandung. Di Jawa Barat, Bahasa Sunda banyak digunakan di daerah Cilacap.<br />Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Prasasti dimaksud ditemukan di Kawali Ciamis dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuno. Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475). Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapa walr ni siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangedeng di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisesa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala desa. Ayama nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sunggung peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang mensejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).<br />Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda kuno, walaupun tidak diketahui wujudnya.<br />Bukti penggunaan Bahasa Sunda kuno secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 18. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh Bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:<br />1. Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!).<br />2. Berbentuk puisi pada 408 berjudul Sewaka Darma (abad ke-16) “Ieu kawih panyaraman, pakawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakeun sang sisya, nu huning Sewaka Darma” (Inilah kidung nasihat, untuk ditembangkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).<br />Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sansekerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda. Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari bahasa arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam) dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam ke dalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosakata Bahasa Arab kian banyak masuk ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman. Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi dan saum misalnya, telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaaraan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan bahasa dan aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di tatar sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu. Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosakata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa. Dengan penggunaan-penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan dikalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan Bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastra WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon. Sejak pertengahan abad ke-19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastra. Pada akhir abad ke-19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan Aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah. Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis Boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda kedalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor. Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.<br />Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaannya dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.<br /><br />Kesusastraan<br />Di dalam Bahasa Sunda terdapat kesusastraan yang kaya. Bentuk Sastra Sunda yang tertua adalah ceritera-ceritera pantun, yaitu ceritera pahlawan-pahlawan nenek moyang Sunda dalam bentuk puisi diselang-seling oleh prosa berirama seperti bentuk panglipurlara. Tukang-tukang pantun itu mendongengkan ceritera-ceritera pantunnya dengan iringan bunyi kecapi. Ceritera-ceritera itu mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda Purba, zaman Galuh dan Pajajaran dan selalu menyebut nama raja sunda yang terkenal, yaitu Prabu Siliwangi. Bagi orang Sunda ceritera-ceritera pantun itu menduduki tempat yang khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah perasaan kebesaran orang Sunda, yang melihat ceritera sejarah di masa lampau semakin jauh semakin terang, semakin lama semakin terkenang.<br />Sesudah zaman pantun, dikenal zaman wayang dan wawacan-wawacan sebagai pengaruh dari Mataram Islam, setelah jatuhnya Pajajaran. Ceritera-ceritera wayang kebanyakan berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata, tetapi sekarang sudah banyak sekali variasi-variasi karangan dari ki dalang sendiri. Wayang di Sunda lebih merupakan hiburan dan orang yang menyaksikannya biasanya tidak selalu tertarik oleh lakonnya, melainkan oleh keterampilan sang dalang untuk memainkan wayangnya atau lebih tertarik oleh nyanyian-nyanyian sindennya. Walaupun kebanyakan orang Sunda beragama Islam, mereka memberikan kepada pertunjukkan wayang itu suatu tempat tertentu dalam kebudayaan, karena didalamnya terdapat berbagai unsur kesenian ialah seni satra, seni tembang dan gamelan dan pertunjukkan wayang itu masih sering diadakan di daerah-daerah pedesaan maupun di kota-kota.<br />Cerita wawacan dalam Bahasa Sunda banyak diambil dari ceritera-ceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan dan ini disebut beluk. Biasanya seseorang membacakan satu kalimat dari wawacan itu berbentuk puisi tembang dari Jawa dan seorang yang lain menyanyikannya. Orang yang membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah atau tidur-tiduran, demikian pula yang mendengarkannya. Beluk itu biasa diperdengarkan sambil menunggui orang yang baru melahirkan. Lamanya hampir semalam suntuk. Sekarang sudah jarang orang memperdengarkan beluk.<br />Di samping pantun, wayang dan wawacan dalam kesusastraan Sunda terdapat bermacam-macam cerita rakyat seperti: Sangkuriang yaitu cerita tentang terjadinya Gunung Tangkuban Perahu dan Danau Purba di dataran tinggi Bandung, serta varian-variannya mengenai terjadinya beberapa gunung dan danau yang ada di Jawa Barat. Satu macam cerita rakyat di Sunda adalah cerita si Kabayan satu contoh sastra yang dilukiskan sebagai seorang pemalas dan bodoh, akan tetapi sering pula tampak kecerdikannya.<br />Kesusastraan-Kesusastraan Sunda itu bukan suatu unsur kebudayaan yang hanya dikenal di lingkungan yang kecil saja, akan tetapi dikenal secara luas dalam masyarakat. Dalam pertunjukan reog, permainan yang selalu dapat menyesuaikan dirinya dengan setiap zaman, tampaklah betapa bahasa dan sastra Sunda itu merupakan bagian yang esensial dari kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.<br />Di samping Bahasa Sunda sebagai identitas kesundaan, ciri kepribadian orang Sunda yang lain adalah bahwa orang Sunda sangat mencintai dan menghayati keseniannya. Dari bahasa dan keseniannya, Sunda sebagai manusia yang optimis, suka dan mudah gembira, yang memiliki watak terbuka, tetapi yang bersifat terlalu perasa, sehingga tampak sebagai orang yang sedang pundung (sensitif). Tentu gambaran ini sangat bersifat umum.<br /><br />Desa di Jawa Barat<br />Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan administratif terkecil yang menempati tingkat yang paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Di samping itu desa juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan hidup yang kecil sifatnya, di suatu wilayah tertentu. Sifat kecilnya itu menyebabkan adanya suatu rangkaian sifat-sifat lain yang khas.<br />Sebagai suatu kesatuan administratif suatu desa mempunyai suatu sistem pemerintahan desa yang mengurus rumah tangga desa. Di seluruh Jawa Barat sistem pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam beberapa sebutan bagi pejabat-pejabatnya terdapat beberapa perbedaan. Desa Bojongloa misalnya, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Tampomas di sebelah barat Sumedang dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyatnya. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya kuwu didampingi oleh seorang juru tulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, seorang ulu-ulu dan seorang amil dan tiga orang pembina desa (seorang dari angkatan kepolisian dan dua orang dari angkatan darat). Adapun kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan musyawarah dengan warga desa mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan warga desa, mengurus pekerjaan umum seperti jalan dan selokan, serta mengurus harta benda desa. Kokolot berkewajiban menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pihak pamong desa kepada warga desa, yang bertempat tinggal di rukun kampung yang dipimpinnya dan sebaliknya, kokolot juga menyampaikan laporan dan pengaduan dari pihak penduduk kepada pamong desa. Juru tulis berkewajiban mengurus administrasi desa, arsip, daftar hak milik rakyat, pajak dan sebagainya. Ulu-ulu mempunyai tugas mengurus pembagian air dan memelihara selokan-selokan. Amil berkewajiban mengurus pendaftaran kelahiran, kematian, nikah, talak, rujuk, mengucapkan do’a dalam selamatan, mengurus masjid dan langgar, serta memelihara kuburan. Kulisi berkewajiban memelihara keamanan, mengurus pelanggaran dan membantu pembina wilayah dan kepala desa dalam hal keamanan. Dalam bidang keamanan ini diikutsertakan pula anggota hansip. Di daerah Jawa Barat sekarang ini kira-kira terdapat 3.881 buah desa seperti tersebut di atas.<br />Sebagai suatu kesatuan hidup di suatu wilayah tertentu atau kesatuan yang di dalam ilmu antropologi disebut komuniti (comminity), maka desa asli Jawa itu mempunyai beberapa sifat yang umum. Orang hidup dari pertanian dengan teknologi lama. Karena desa itu jumlah penduduknya untuk sebagian besar lahir di tempat itu dan karena jumlah penduduk desa asli di Jawa Barat itu biasanya tidak melebihi tiga-empat ribu jiwa, maka orang masih saling kenal mengenal dan bergaul sebagai manusia yang saling mengetahui latar belakangnya masing-masing. Kecuali itu karena teknologi dalam kehidupan desa belum maju, maka spesialisasi antara penduduk juga belum luas dan diferensiasi antara penduduk kedalam golongan-golongan juga masih bersifat terbatas.<br />Sesudah Perang Dunia ke-II dan sesudah Zaman Revolusi, masyarakat desa di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat pada khususnya, telah banyak mengalami perubahan. Isolasi, keseimbangan dan ketenangan sebetulnya telah diterobos oleh pengaruh-pengaruh baru dari luar. Ekonomi, politik dan ideologi modern, administrasi pemerintahan, komunikasi, pendidikan telah menyebabkan suatu lapisan atas, yang terdiri dari para pamong desa, para guru, juru-juru penerang, pegawai-pegawai jawatan, pelajar, anggota TNI, pedagang dan pengusaha, yang semua memiliki orientasi keluar. Sebaliknya ada suatu lapisan bawah, ialah kaum petani, yang jumlahnya besar, kebanyakan masih buta huruf dan dalam cara hidupnya masih tradisionil. Orang lapisan atas mempunyai kecakapan berekonomi berdasarkan prinsip mencari untung, mempunyai hubungan dengan tengkulak dan pedagang besar di kota. Dapat juga dikatakan bahwa pada lapisan atasan desa inilah terpusat segala kekuasaan ekonomi desa dan pada umumnya ikatan golongan atas dan bawah itu berbentuk hutang atau kontrak-kontrak yang tidak menguntungkan lapisan bawah yang lemah ekonominya. Akan tetapi apabila kita selidiki, di Jawa Barat tentunya tidak semua desa mengalami perubahan yang sama. Desa Dukuh yang letaknya terpencil di Garut Selatan misalnya, memperlihatkan betapa kuat masih adat-istiadat itu.<br />Penduduk Desa Dukuh berjumlah 142 orang yang tinggal dalam rumah sebanyak 42 susunan. Perkawinan di dalam desa sering diadakan antara para warganya, sehingga antara warga desa yang satu dengan yang lain ada hubungan kekerabatan yang erat. Mereka hidup sebagai petani, tidak ada seorangpun yang menjadi pedagang atau pegawai negeri. Penduduk seluruhnya memeluk Agama Islam. Mereka sangat patuh menjalankan syariat agamanya. Tetapi di samping itu merekapun percaya pada makam-makam yang keramat dan pantangan-pantangan adat. Sebuah makam yang dikeramatkan dan menjadi pusat kehidupan kerohanian masyarakat Dukuh adalah makam seorang penyebar Islam Syech Abdul Jalil atau lebih terkenal di kalangan penduduk dengan sebutan Eyang Wali. Adapun pantangan yang dilakukan oleh penduduk Dukuh adalah: larangan menggunakan gergaji besar untuk menggarap bahan bangunan; larangan membuat rumah yang megah melebihi rumah tetangganya; larangan mengapur rumahnya beserta dindingnya; larangan menggunakan atap genting atau sirap; larangan menggunakan pintu dan jendela kaca; larangan menghias dinding dengan gambar-gambaran atau lukisan; memiliki atau mengenakan barang perhiasan dari emas-berlian dan sebagainya. Adapun yang bertanggung jawab atas terpeliharanya makam keramat adalah pekuncen. Ia sekaligus merupakan pengawal dan pelindung dari adat tradisi Dukuh. Ia didampingi oleh para kokolot dukuh yang merupakan Dewan Orang Tua.<br />Dukuh adalah sebuah desa yang terpencil. Komunikasi dengan kampung-kampung lain adalah sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Letaknya yang jauh dari sungai menyebabkan mereka harus mempertahankan sumber air yang terbatas ada si daerah sekitarnya, terutama di lereng-lereng gunung sebelah atas. Air sumber itu tidak akan mati selama pohon-pohon besar di lereng atas sampai ke puncaknya masih tetap tumbuh. Di samping membutuhkan air, penduduk Dukuh juga membutuhkan kayu untuk membangun dan kayu bakar untuk masak. Kayu-kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah kayu yang besar dan tua. Demikian apabila habis ditebang pohon-pohon di bawah, tentulah mereka akan menebangi pohon-pohon besar di puncak bukit. Jika itu dilakukan, maka sumber air akan kering dan ini berarti berakhirnya kehidupan masyarakat di situ. Untuk menjaga agar sumber air tetap ada, maka dibuatlah pantangan-pantangan menebang pohon-pohon, dengan dalih kepercayaan dan dihubungkan dengan makam keramat. Pantangan adalah satu mekanisme sosial yang diberi keramat berdasarkan agama, agar penduduk mematuhi larangan-larangan itu.<br />Agak berbeda lagi jika kita melihat kepada Desa Pelabuhan, yang juga menjadi ibukota Kecamatan Pelabuhan Ratu dan yang berpenduduk 17.000 orang. Penduduk Desa Pelabuhan Ratu sebagian besar hidup dari menangkap ikan dan sebagian lagi hidup dari pertanian. Berdasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar kaum nelayan di daerah pelabuhan itu adalah orang-orang pendatang dari berbagai daerah di luar Pelabuhan Ratu, maka dapatlah diterima suatu pendapat, bahwa bercocok tanam dan mencari hasil hutan adalah mata pencaharian pokok dari penduduk Pelabuhan Ratu. Bagi penduduk asli itu, menangkap ikan di laut hanya merupakan mata pencaharian sambilan dan musim-musiman saja. Baru kemudian, dengan datangnya orang-orang nelayan itu dari luar daerah Pelabuhan Ratu, penangkapan ikan di laut merupakan mata pencaharian pokok yang baru. Dalam desa seperti Pelabuhan, tentunya struktur masyarakat berbeda lagi.<br />Berdasarkan fungsinya, penduduk dapat dibagi-bagi menjadi golongan juragan atau majikan, golongan buruh nelayan atau anak-payang. Struktur sosial menunjukkan sedikit banyak adanya diferensiasi tidak mengakibatkan adanya relasi-relasi sosial yang kompleks, baik dalam kelompok nelayan pada khususnya, maupun dalam masyarakat desa pelabuhan pada umumnya. Mayarakat di-organisasi dengan pranata-pranata pemerintahan, agama dan adat yang merupakan kesatuan yang terintegrasikan.<br /><br />Ekonomi dan Sistem Kemasyarakatan di Jawa Barat<br />Kehidupan perekonomian di daerah Jawa Barat sudah menjadi semakin kompleks dan mempunyai berbagai macam aspek, sehingga tidak mungkin untuk dapat diuraikan dalam satu bab yang singkat. Sekiranya antropologi-sosial hendak menyoroti kehidupan ekonomi rakyat Jawa Barat, maka ruang lingkup penyelidikan yang paling sesuai adalah hubungan antara ekonomi dan struktur sosial dalam masyarakat Jawa Barat, maka secara garis besar kita dapat menyebut tiga unit sosial yang menjadi pusat kehidupan ekonomi, yaitu kota, desa dan daerah perkebunan.<br />Dilihat dari sudut kehidupan ekonomi, maka kota-kota merupakan pusat pengambilan bahan-bahan mentah dari daerah-daerah pertanian pedesaan atau merupakan tempat-tempat transit bahan-bahan mentah untuk diteruskan kepada kota-kota yang lebih besar atau kota-kota pelabuhan seperti Jakarta, Cirebon dan Cilacap agar selanjutnya di ekspor ke luar negeri. Dengan perdagangan yang lebih intensif, kota merupakan pusat peredaran uang yang relatif cepat dan dalam volume yang relatif besar. Kehidupan yang kompleks dari kota yang tidak hanya mempunyai aspek ekonomi saja, melainkan mempunyai aspek-aspek politik, sosial dan kebudayaan, mempunyai interdepensi satu sama lain.<br />Perkebunan-perkebunan terlihat sebagai daerah-daerah dengan ciri-ciri khas di tengah-tengah daerah pertanian rakyat pedesaan. Tanah yang subur dan iklim yang baik menjadikan Jawa Barat salah satu daerah perkebunan yang terpenting di Indonesia. Terutama wilayah Priangan dan Bogor mempunyai daerah-daerah perkebunan yang besar. Jenis perkebunan yang diusahakan di Jawa Barat terutama adalah perkebunan teh, karet, kina, tebu dan kelapa sawit. Dari luas Jawa Barat yang sebesar lebih dari 4.500.000 hektar, lebih dari 500.000 hektar merupakan tanah perkebunan, sedangkan selebihnya adalah tanah sawah dan tanah hutan. Perkebunan-perkebunan di ladang.<br />Unit ekonomi yang ketiga dan yang terbesar adalah ekonomi pertanian pedesaan, pada umumnya pertanian rakyat pedesaan masih bersifat tradisional. Di Jawa Barat ada dua macam penggarapan tanah pertanian pedesaan, yaitu; (1) bercocok tanam di sawah dan (2) bercocok tanam di sawah harus diperhatikan bahwa ada sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi yang dibangun dan diatur manusia, tetapi ada juga sawah-sawah yang mendapat airnya dari hujan saja, sehingga tergantung kepada alam. Sawah-sawah semacam ini disebut sawah tadah hujan, walaupun di berbagai daerah di Priangan ada sebutan-sebutan lain juga, seperti Di Desa Cikondang, yang terletak 9 Km di sebelah Timur Sumedang misalnya, sawah tadah hujan itu disebut sawah guludug. Sebelum hujan turun, sawah tadah hujan ditanami dengan palawija, seperti ubi jalar, bawang merah, kacang tanah, kacang kedele dan sebagainya.<br />Sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi, segera sesudah padi dituai, dicangkul atau dibajak. Apabila sawah selesai dibajak, ada pula yang dipakai untuk memelihara ikan. Dalam waktu yang pendek, ikan itu diambil kembali dan dipindahkan ke dalam kolam atau balong. Kemudian sawah ditanami dengan bibit yang sudah disediakan. Apabila padi di sawah sudah menguning, maka seminggu sebelum waktu memotong padi tiba, si pemilik sawah mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Gunanya untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah bermaksud memotong padinya. Tugas candoli adalah menetapkan waktu pemotongan padi. Perhitungan waktu yang baik untuk melakukan pemotongan padi didasarkan atas hari pasaran seperti Kliwon, Manis, Pon dan Wage. Setelah waktu yang ditetapkan untuk memotong padi tiba dan setelah syarat-syarat yang dibutuhkan seperti sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos atau kukus yang berkaki, sebuah nasi tumpeng yang lengkap sudah tersedia, maka kemudian candoli mengucapkan matera, disusul dengan menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin, lalu candoli memotong dan mengetam padi dengan upacara.<br />Bercocok tanam di ladang masih dilakukan di Jawa Barat bagian Barat Daya, seperti Desa Lamajang misalnya, dimana berladang di tanah kehutanan dilakukan pada waktu tertentu. Hal ini didasarkan pada peraturan-peraturan dari Departemen Kehutanan. Rakyat setempat tidak boleh sekehendak hati bercocok tanam pada tanah milik kehutanan. Prosedurnya biasanya adalah sebagai berikut. Apabila dalam penyelidikan oleh pihak Departemen Kehutanan diketahui bahwa ada sebagian hutan sudah cukup ditebang, maka pihak Departemen Kehutanan menghubungi pamong desa setempat untuk memberitahukan bahwa sebagian kecil hutan di sekitar Lamajang itu akan dibuka. Kemudian pamong desa membentuk panitia yang bertugas mendaftarkan orang-orang yang bermaksud akan bercocok tanam di tanah kehutanan. Panitia juga memberikan penerangan-penerangan tentang aturan-aturan atau cara-cara penebangan dan cara-cara penanaman kembali hutan itu. Dalam ladang tersebut petani menanam padi, jagung, tembakau, kentang, bawang merah, bawang putih. Tidak semua ladang terletak di tanah kehutanan dan caranya tidak selalu tertib.<br />Pembukaan ladang-ladang dalam hutan secara liar masih terjadi dan kadang-kadang menimbulkan kebakaran yang besar dalam musim-musim kemarau. Pekerjaan di ladang hampir sama dimana-mana, yaitu: membersihkan belukar, menebang pohon-pohon, membakar dahan-dahan dan batang-batang yang telah ditebang, memagari ladang, membangun gubug ladang, menanam, menuai, mengikat padi dan mengangkut padi ke lumbung.<br />Dalam hal mempelajari ekonomi pertanian di desa, dimana sektor bercocok tanam secara lama masih tetap memegang suatu peranan yang utama, di samping sektor perikanan dan peternakan, harus diperhatikan bahwa para petani itu masih mempunyai suatu hubungan batin yang erat dengan tanah dan sawahnya. Demikian hak milik atas tanah masih merupakan salah satu dari unsur-unsur yang penting dalam hal menentukan kedudukan manusia dalam masyarakat desa.<br />Di Jawa Barat hak milik perorangan atas tanah (balong) telah ada sejak dahulu kala. Waktu pemerintah kolonial Belanda mengadakan survey mengenai pola-pola hak milik tanah di Jawa dan Madura 100 tahun yang lalu ialah tahun 1869, maka terbukti bahwa di sebagian besar dari desa-desa di Jawa Barat tanah yang merupakan hak milik perseorangan itu adalah jauh lebih luas daripada tanah yang merupakan milik komunal dari desa, sedangkan di sebagian besar dari desa-desa di Jawa Tengah keadaan pada waktu itu justru sebaliknya.<br />Walaupun demikian, di hampir semua desa di Jawa Barat sampai sekarang masih ada juga tanah milik komunal. Tanah serupa yang disebut tanah titisara, (atau kanomeran di Ciamis dan kasikepan di Cirebon), dulu dibagikan atas keputusan kepala desa kepada orang-orang desa penduduk tetap yang telah berjasa bagi kepentingan umum. Orang-orang serupa itu disebut sikep atau nomer atau cacah dan berhak memakai tanah desa serta menggarapnya sebagai milik sendiri. Mereka dapat membagihasilkan tanah itu dengan orang lain, dapat menyewakannya, bahkan dapat menggadaikan tanah itu tetapi tidak boleh menjualnya. Sekarang hak memakai tanah atas titisara sudah menjadi turun temurun, sehingga perbedaan antara hak itu dengan hak milik perorangan sering sudah sukar untuk ditentukan.<br />Di samping hak memakai tanah milik komunal bagi para sikep di Jawa Barat ada juga hak makai tanah komunal bagi para pamong desa. Secara adat telah ditetapkan bahwa kepala desa dan lain-lain pamong desa berhak memakai tanah yang khusus disediakan untuk keperluan itu, sebagai balas jasa bagi jerih payahnya untuk mengurus dan mengatur masyarakat desa. Tanah itu biasanya disebut tanah bengkok atau tanah kalungguhan di Ciamis, tanah kajaroan di Banten dan tanah carik di Priangan Timur.<br />Akhirnya masih ada lagi tanah komunal yang dikhususkan lagi bagi kuncen (penjaga makam keramat) ialah tanah yang disebut tanah awisan, seperti apa yang ada di desa Lamajah, sebuah desa kecil yang terletak kira-kira 32 Km sebelah Selatan Bandung.<br />Dilihat dari sudut orang yang mengerjakan sawah, dapat dibedakan antara mereka yang memiliki sawah itu sendiri yang cukup luas mereka yang hanya memiliki tanah beberapa petak saja dan hasilnya cukup untuk dimakan sendiri, mereka yang tinggal di tanah orang dan mengerjakan sawah itu, serta buruh tani, yaitu mereka yang tidak mempunyai sawah atau tegalan dan mengerjakannya untuk orang lain dengan membagi hasilnya nanti. <br />Dalam rangka memperbaiki kehidupan orang tani di desa, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur secara prinsipil tentang status tanah di seluruh Indonesia. Hal itu antara lain mengatur pengertian tentang bumi, air dan ruang angkasa, mengenai hak negara atas tanah, mengenai hak warga negara atas tanah, mengenai fungsi sosial dari semua hak atas tanah, mengenai ketentuan-ketentuan mengatur secara pokok tentang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Proses pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria itu tidak selalu berjalan dengan lancar oleh karena faktor-faktor politik, sosiologi, antropologi dan faktor ekonomi. Dengan sendirinya hukum adat atas tanah mengalami perubahan-perubahan yang memberikan efek lebih lanjut kepada struktur sosial dan ekonomi pedesaan. Perubahan-perubahan dalam bidang hukum adat, strukur sosial desa, perekonomian desa merupakan bagian dari proses modernisasi dan pembangunan yang sekarang sedang terjadi dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.<br /><br />Kehidupan Keagamaan Orang Sunda<br />Sebagian besar orang Sunda menganut Agama Islam, hal ini dapat dilihat langsung dari corak kebudayaannya yang mengadopsi sebagian dari Islam. Namun ada juga sebagian kelompok masyarakat (daerah pedesaan) yang masih mempercayai hal-hal yang berbau mistis, dalam hal ini mereka masih pergi ke makam-makam suci untuk meminta restu, meminta berkah (kaul) sebelum melakukan suatu usaha, pesta atau perlawatan.<br />Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai bangsa pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada berbagai rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Sebagaimana Kota Mekah, tempat kelahiran Islam, yang pada saat itu menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan, demikian pula dengan Nusantara, khususnya Malaka merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka.<br />Seperti diisyaratkan Al-qur’an, pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-tujuh Masehi ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Akan Tetapi, hingga abad ke-12, tidak ditemukan bukti adanya pribumi Indonesia yang beragama Islam di tempat-tempat yang di singgahi pedagang Muslim tersebut.<br />Baru menjelang abad ke-13, penduduk kepulauan Indonesia banyak yang memeluk Agama Islam. Di Tatar Sunda sendiri, Bratalegawa salah satu putra Raja Mangkubumi Bunisora Suradipati adalah seorang saudagar (pedagang) yang dikenal sebagi tokoh yang pertama kali menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah sehingga ia sering disebut sebagai Haji Purwa. Ia tertarik dan masuk Islam karena perjumpaannya dengan pedagang-pedagang Arab yang kemudian menikah dengan wanita asal Gujarat, yang juga beragama Islam.<br />Sekembalinya dari Tanah Suci, Bratalegawa kemudian mengajak keluarga (termasuk Raja Prabu Niskala Wastu) dan saudara-saudaranya untuk memeluk Agama Islam. Sekalipun tidak banyak mendapat respons, tetapi Prabu Niskala Wastu mengizinkan Haji Purwa tinggal di sana sehingga tidak heran jika di Cirebon Girang, tempat tinggal Haji Purwa, sejak tahun 1337 Masehi, ajaran Islam sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Agama Islam terus berkembang, apalagi setelah diperkenalkan dan disebarkan oleh Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Djati, pengganti dan keponakan Pangeran Walangsungsang, yang juga memiliki hubungan darah dengan para raja Padjadjaran.<br />Sunan Gunung Jati-lah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian Banten. Oleh karena kedudukannya sebagai Wali Songo, ia pun mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa seperti Demak dan Pajang. Dari Cirebon Sunan Gunung Djati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Atas jasa-jasa Sunan Gunung Djati inilah, Islam kemudian menyebar ke seluruh daerah Tatar Sunda dan selanjutnya menjadi pandangan hidup yang terus-menerus diinternalisasi, dieksternalisasi dan diobjektivasikan, hingga akhirnya membentuk kebudayaan religius, yang khas Tatar Sunda.<br />Proses Islamisasi masyarakat Sunda lebih bersifat asimilasi budaya antara budaya yang datang (Arab, Persia, India) dengan budaya Sunda itu sendiri. Agama Islam dapat dengan mudah diterima masyarakat Sunda karena karakter Agama Islam yang tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda. Pertama, ajaran Islam yang sederhana mudah diterima oleh kebudayaaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa orang Sunda yang dinamis dan feminis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi 'bungkus' agama Islam adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi orang Sunda. Oleh karena itu, ketika orang Sunda membentuk jati dirinya bersamaan dengan proses islamisasi, agama Islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas mereka.<br /><br />Sistem Kekerabatan Orang Sunda<br />Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh Agama Islam. Karena Agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, karena biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang sunda. Perkawinan di tanah Sunda misalnya, dilakukan baik secara adat maupun secara Agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa di dalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama dan adat.<br />Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan. Dari beberapa desa di sekitar Bandung diperoleh data bahwa dari 360 responden ada 287 (79,8%) yang menyatakan bahwa umur yang sebaiknya untuk menikah adalah antara umur 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat tidak terikat satu sistem tertentu. Hanya yang pasti adalah bahwa perkawinan di dalam keluarga batih dilarang. <br />Sebelum menentukan seseorang itu untuk diambil menjadi calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak. Penyelidikan itu biasanya dilakukan serapih mungkin dan secara tertutup. Diusahakan agar mendapat menantu yang baik. Menantu yang baik disini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui makna baik, maka kita perlu mengetahui sistem nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya: “Lamun nyiar jodo kudu kukupuna” artinya “jika mencari jodoh, harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya”, baik rupa, kekayaan maupun keturunannya. Atau “Lamun nyiar jodo, kudu kanu sawaja sabeusi”, artinya “mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal”.<br />Adapun mengenai caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak laki-laki maupun oleh pihak perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius, tetapi sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak. Tempat pembicaraannya juga tidak ditetapkan, dimana saja, kalau kebetulan bertemu, misalnya di pasar, di sawah, di kebun atau di masjid.<br />Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh orang tua pemuda itu, maka perembukan itu dinamai neundeun omong, artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong sampai nyeureuhan atau melamar terjadilah amat-mengamati selidik-menyelidiki secara sebaik-baiknya. Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak, maka dilakukan pinangan. Pinangan inipun dilakukan dengan tata cara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka diadakan persiapan-persiapan untuk melakukan upacara pernikahan. Setelah tersedia keperluan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan seserahan anak laki-laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggung jawab orang tua perempuan. Pada orang Sunda, upacara pernikahannya sendiri dilakukan sederhana secara agama, tetapi upacara nyawer dan muka panto adalah yang paling menarik dan dinanti. Semua orang gembira dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu. <br />Di tanah Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga-batih. Keluarga-batih ini terdiri dari suami, isteri dan anak-anak yang didapat dari perkawinan atau adopsi, yang belum kawin. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada prinsipnya adalah neolokal. Hubungan sosial di antara keluarga-batih amat erat. Keluarga–batih merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya ditengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan ditengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga-batih itu sering juga terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan kekurangan perumahan, maka dalam satu rumah tangga sering terdapat lebih dari satu dua keluarga-batih. Kekurangan rumah itu lebih terasa di kota-kota kecil maupun besar. Masalah yang timbul dari mendiami satu rumah-tangga oleh lebih dari satu keluarga-inti adalah hubungan yang menjadi kurang serasi dari pihak kaum wanita yang tiap hari harus bertemu dalam dapur yang sama. Ada kalanya di daerah Pasundan bentuk keluarga menjadi lebih besar karena pihak laki-laki kawin lagi dan menjalankan poligami. Maka terjadilah keluarga poligami, yang terdiri dari dua atau lebih keluarga-inti dengan seorang suami.<br />Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kehidupan keluarga-batih di desa-desa masih relatif kompak. Pekerjaan di sawah masih sering dilakukan bersama-sama dengan pembagian kerja yang ada. Hanya keadaan yang tidak aman beberapa tahun yang lalu menyebabkan banyak pemuda meninggalkan daerahnya dan mencari pekerjaan di kota-kota. Sampai sekarang belumlah ada penelitian yang mendalam mengenai komposisi penduduk setelah keadaan aman sekali.<br />Kecuali keluarga-batih ada pula sekelompok kerabat sekitar keluarga-batih itu yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya dan yang diundang pada perayaan-perayaan penting seperti sunat dan perkawinan atau peristiwa lainnya. Kelompok ini disebut golongan. Pada lapisan yang lebih tinggi dalam masyarakat sunda, warga dari suatu golongan biasanya hidup terpencar di berbagai kota dan daerah, tetapi terhadap diri si individu seorang kerabat dari golongannya yang hidup di lain kota, dapat dianggap olehnya secara potensial sebagai seorang untuk diminta pertolongannya kalau perlu untuk menginap kalau ia kebetulan harus pergi ke kota tadi. Demikian golongan itu merupakan suatu kelompok kekerabatan yang dalam ilmu antropologi secara teknis disebut kindred.<br />Dalam masyarakat sunda ada pula kelompok yang berupa ambilineal, karena mencakup kerabat sekitar keluarga-batih seorang Ego, tetapi diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh di dalam masa yang lampau. Kelompok ini disebut bondoroyot. Kesadaran akan kesatuan bondoroyot sering diintensifkan dengan beberapa adat pantangan yang wajib dilakukan oleh warga dari suatu bondoroyot.<br />Mengenai prinsip garis keturunan dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan di Pasundan adalah bersifat bilateral. Yang dimaksud dengan garis keturunan bilateral adalah garis keturunan yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki maupun wanita. Adapun sistem istilah kekerabatan pada orang sunda menunjukkan ciri-ciri bilateral dan generasional. Dilihat dari sudut Ego, orang sunda mengenal istilah-istilah untuk tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah ialah:<br />Ke atas: Ke bawah:<br />1. kolot 1. anak<br />2. embah 2. incu<br />3. buyut 3. buyut<br />4. bao 4. bao<br />5. janggawareng 5. janggawareng<br />6. udeg-udeg 6. udeg-udeg<br />7. gantung siwur 7. gantung siwur<br /> Bagi orang Sunda sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak laki-laki tidak berbeda dengan sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak perempuan. Apabila kita melihat istilah kekerabatan orang sunda, maka tampak istilah-istilah yang dipergunakan untuk dua generasi ke atas dan kebawah dilihat dari sudut Ego adalah berbeda, sedangkan sejak generasi ketiga ke atas maupun ke bawah istilahnya sama ialah prinsip polarity diabaikan. Ada benarnya anggapan bahwa dua generasi ke atas dan ke bawah itu masih mempunyai hubungan yang fungsional dalam hubungan kekerabatan, sedang tiga generasi ke atas dan ke bawah hanya mempunyai fungsi tradisional dalam hubungan kekerabatan.<br /><br />Upacara Adat Sunda<br /> Setiap daerah di Indonesia memiliki suatu tradisi yang sangat dipegang untuk tetap dilestarikan salah satu diantaranya yaitu upacara adat. Dimana keberadaan upacara adat bagi suatu daerah sangatlah sakral dan besifat mewajibkan. Beberapa upacara dalam adat Sunda antara lain:<br /><br />1. Upacara Seren Taun<br /> Awalnya, Upacara Seren Taun merupakan upacara yang diperingati oleh para penganut Agama Djawa Sunda (ADS). Namun saat ini Upacara Seren Taun tidak hanya menjadi perayaan para pemeluk ADS di daerah Cigugur, Kuningan saja tapi seluruh warga Cigugur. Bahkan ribuan pengunjung yang berasal dari Jakarta, Bandung, dan daerah lain di Indonesia juga ikut menghadiri pelaksanaan upacara ini. Tak jarang para wisatawan asing juga ikut menyaksikan pelaksanaan upacara ini. Upacara Seren Taun telah menjadi aset wisata Jawa Barat.<br /> Upacara ini diadakan pada tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda (kalender Saka). Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara Seren Taun biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah.<br /> Pada pelaksanaan Upacara Seren Taun, para pengunjung dan wisatawan juga bisa menikmati berbagai pertunjukan kesenian tradisional Jawa Barat yang langka. Misalnya saja pesta Dadung (ritual menghalau hama tanaman), tarian klasik Tayuban, ronggeng gunung dari Ciamis, jentreng tarawangsa dari Sumedang, gending karesmen Lalayang Salaka Domas dari angklung Kanekes Baduy.<br /><br />2. Pernikahan Adat Sunda <br />Pernikahan adat Sunda saat ini lebih disederhanakan, sebagai akibat pencampuran dengan ketentuan syariat Islam dan nilai-nilai kepraktisan dimana sang pengantin ingin lebih sederhana dan tidak bertele-tele. Adat yang biasanya dilakukan meliputi: acara pengajian (sehari sebelumnya), acara seren sumeren calon pengantin. Kemudian acara sungkeman, nincak endog (menginjak telur), meuleum harupat (membakar lidi tujuh buah), meupeuskeu kendi (memecahkan kendi), sawer dan ngaleupaskeun kanjut kunang (melepaskan pundi-pundi yang berisi uang logam).<br />Acara pengajian yang dikaitkan dan menjelang pernikahan tidak dicontohkan oleh Nabi SAW, namun ada beberapa kalangan yang menyatakan bahwa hal itu suatu kebaikan dengan tujuan mendapatkan keberkahan dan ridho Allah SWT yaitu melalui penyampaian do’a.<br />Siraman, merupakan simbol kesenangan orang tua terhadap anaknya sebagaimana dulu anaknya ketika kecil dimandikan kedua orang tuanya. Pada siraman itu, kedua orang tua menyiramkan air berbau tujuh macam kembang kepada tubuh anaknya. Konon acara siraman itu dilakukan pula terhadap calon pengantin laki-laki di rumahnya. Syariat Islam tidak mengajarkan seperti itu tapi juga tidak ada larangannya. Asalkan pada acara siraman itu, si calon pengantin perempuan tidak menampakkan aurat (sesuai ketentuan agama Islam).<br />Untuk acara sungkeman yang dilakukan setelah acara akad nikah dilakukan oleh kedua mempelai kepada kedua orang tuanya masing-masing dengan tujuan mohon do’a restu atas akan dimulainya kehidupan bahtera rumah tangga. Sungkeman juga dilakukan kepada nenek dan kakek atau saudaranya masing-masing.<br />Acara adat saweran yaitu, dua penganten diberi lantunan wejangan yang isinya menyangkut bagaimana hidup yang baik dan kewajiban masing-masing dalam rumah tangga. Setelah diberi lantunan wejangan, kemudian di sawer dengan uang logam, dan beras kuning, oleh orang tuanya.<br />Nincak endog yaitu memecahkan telur oleh kaki pengantin pria dengan maksud, bahwa pada malam pertamanya itu, ia bersama istrinya akan “memecahkan” yang pertama kali dalam hubungan suami istri. Kemudian acara lainnya yaitu membakar ujung batang lidi (masing-masing panjangnya 20cm) dan telah dibakar, dimasukkan ke air yang terdapat dalam sebuah kendi. Setelah padam kemudian dipotong bagi dua dan lalu dibuang jauh-jauh. Sedangkan kendinya dipecahkan oleh kedua mempelai secara bersama-sama.<br />Acara terakhir adat Sunda, yaitu “huap lingkung dan huap deudeuh (kasih sayang)”. Artinya, kedua pengantin disuapi oleh kedua orang tuanya masing-masing sebagai tanda kasih sayang orang tua yang terakhir kali. Kemudian masing-masing mempelai saling menyuapi sebagai tanda kasih sayang. Acara huap lingkung diakhiri dengan saling menarik “bakakak” (ayam seutuhnya yang telah dibakar), yang mendapatkan bagian terbanyak konon akan mendapatkan rezeki banyak. Setelah acara adat berakhir maka kedua mempelai beserta keluarganya beristirahat untuk menanti acara resepsi atau walimahan.<br />Sehari sebelum pernikahan dilaksanakan dapat pula diadakan Upacara Ngeyeuk Seureuh. Pelaksanaan upacara ini antara lain:<br />1. Diruang tengah dibentangkan sehelai kain sarung poleng (pelekat) atau kasang-jinem, di atasnya diletakan sebuah baki (piring ukuran besar) berisi sirih yang masing-masing masih bertangkai dan yang telah disusun, kapur sirih beberapa bungkus, gambir beberapa buah, tembakau beberapa lempeng, pinang beberapa butir dan yang telah dibelah yang biasanya semua itu dibawa oleh mempelai laki-laki pada saat seserahan. <br />2. Disamping baki ada sebuah penerangan yang mempunyai tujuh buah sumbu dengan bahan bakarnya minyak kelapa, sebuah bokor yang berisi beras yang telah dicampur kunyit yang telah diiris-iris dan uang logam kecil. Sebutir telur ayam mentah, bunga rampai, sagar kelapa, elekan yaitu pekakas menenun tempat kanteh, air mentah didalam kendi, pakaian wanita, uang recehan, lumpang yang berisi bunga tujuh warna dan sebagainya tergantung kebijaksanaan pemimpin upacara ngeyeuk seureuh. <br />3. Sebelum upacara di mulai, kemenyan di bakar, biasanya oleh penghulu atau lebe sembari membaca do’a selamat. Kemudian para ibu bekerja melipat sirih dengan cara tertentu. <br />4. Kemudian barang-barang yang ada di kumpulkan berikut sirih yang telah dilipat dan ditutup oleh baki jika cukup atau kain agar isinya tak terlihat. <br />5. Kedua mempelai dengan pakaian yang sederhana disuruh duduk berhadapan di antara tumpukan barang–barang tadi. <br />6. Tukang hias mengambil sebuah alu dengan jampi-jampi tertentu, alu tersebut ditumbukkan ke empat penjuru barang-barang yang telah ditutup tadi. <br />7. Setelah itu, kedua mempelai di suruh mengambil satu barang masing-masing tanpa dipilih dengan memasukkan tangannya dibawah tutup barang tersebut. <br />8. Barang yang terambil dipercaya mempunyai pertanda tertentu nantinya apabila mereka sudah resmi menikah dan berumah tangga harus mencari nafkah yang berhubungan dengan barang yang terambil tersebut. <br />9. Upacara ngeyeuk seureuh ditutup dengan acara penyulutan mercon atau bebeuledugan.<br />Maksud dan tujuan dari Upacara Ngeyeuk Seureuh ini tidak hanya sekedar untuk menjalankan budaya saja, tetapi di dalamnya juga terdapat banyak makna yang berhubungan dengan masalah hidup berumah tangga agar bisa menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.<br /><br />Rumah Gaya Sunda<br />Sebagaimana suku bangsa lain di Indonesia, Suku Sunda juga memiliki bentuk rumah adat yang khas dan berbeda dari bentuk rumah adat suku lain di Indonesia. Dalam kebudayaan Sunda terdapat tiga macam bentuk rumah adat, yaitu:<br /><br />1. Rumah adat Citalang<br />2. Rumah adat Lengkong<br />3. Rumah adat Panjalin.<br /> Bentuk rumah merupakan pilihan dan keputusan dari berbagai pertimbangan seperti geografis, iklim, material dan teknologi yang ada, seni, pandangan hidup dan kosmologi berdasarkan sistem kepercayaan yang dianut. Pilihan terhadap suatu bentuk bangunan yang bersifat tetap ini memiliki keunikannya sendiri hingga disebut gaya atau langgam (James C. Snyder, 1991). Ciri-ciri umum suatu gaya dapat dikenali lewat rupa yang terlihat seperti bentuk atap, pemakaian material, arah orientasi, pembagian ruang serta caranya dihubungkan dengan tanah, ornamen dan sebagainya yang semuanya memberi identitas bangunan sekaligus kebudayaan dari komunitas yang menciptakannya. Seperti rumah gaya Sunda yang dibangun terus-menerus pada masanya di Tatar Sunda menjadi tradisi dan identitas rumah Sunda.<br />Di dalam rumah Sunda dikenal dengan adanya pembedaan ruang untuk fungsi dan pemakai. Pembedaan ruang ini ditentukan oleh nilai yang berlalu termasuk perbedaan peran penghuni yang secara alami dibedakan menurut jender, antara perempuan (ibu) dan laki-laki (ayah). Area depan seperti tepas (teras dan ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) adalah wilayah perempuan. Ruang-ruang umum seperti ruang tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluaga. Meskipun terjadi perubahan pada bentuk dan material bangunan, kondisi pembagian ruang ini masih tampak, di desa-desa ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ada ruang tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan dapur, kamar tidur orang tua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-anak dapat terawasi orangtua.<br />Ciri yang paling menonjol, atap atau hateup adalah bagian rumah tradisional di negeri ini yang dapat dengan mudah dibedakan dan menjadi ciri paling menonjol. Bentuk hateup (atap) gaya Sunda yang paling sederhana dan banyak dipakai adalah jolopong yang hanya memiliki dua bidang atap berbentuk sama (model pelana). Atap perahu kumureb adalah atap berbentuk trapesium. Beberapa yang unik adalah atap julang ngapak, berdasarkan bentuknya yang mirip seekor burung julang tengah merentangkan sayap seperti yang terdapat di Kampung Naga dan Desa Papandak Paseh Garut (Haryoto Kunto, 1985:271). Tagog anjing atau logo anjing adalah atap bangunan yang bila dilihat dari samping tampak seperti anjing yang berbeda sedikit dengan bentuk badak heuay (badak menguap). Beberapa bentuk atap lainnya tampak relatif sama dengan di tempat lain termasuk dalam penggunaan material alam seperti ijuk atau alang-alang untuk bagian penutup atap. Sementara material yang dipakai bersumber pada ketersediaan di lingkungan yang umumnya berupa batu, kayu dan bambu. Semua rumah gaya Sunda ini berbentuk panggung, memiliki kolong sehingga udara juga mengalir di bawah rumah.<br />Jenis kayu yang tumbuh di tatar Sunda seperti jeungjing, ki hujan, jati, suren, dan bermacam bambu (bitung, awi tali, bambu hitam) dipakai untuk konstruksi bangunan yang berbeda sesuai dengan sifat material itu. Kayu yang paling kuat tentulah dipakai sebagai bagian konstruksi utama seperti tiang yang menjejak batu tapakan. Sementara untuk pintu selai jati juga menggunakan suren dan jengjen. Untuk dinding digunakan bambu bitung atau bambu tali (awi tali) yang dianyam menjadi bilik.<br />Sebagai pembentuk rumah, material juga sekaligus pengungkap citra rumah karena paling mudah dikenali. Itulah sebabnya, cara sekarang untuk membuat rumah berciri tradisional ditandai dengan pemakaian material yang dahulu dipakai, misalnya menggunakan ijuk untuk atap dan bilik untuk dinding walaupun hanya untuk membungkus dinding bata. Meskipun demikian, tentu saja material hanyalah media untuk mewujudkan nilai-nilai yang dimiliki dalam hubungannya dengan hunian yang dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kemampuan teknologi yang menyertainya.<br />Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan lkaruhun yang satu paket dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup.<br /><br />Beberapa Contoh Hasil Kesenian Sunda<br /><br />1. Pencak Silat Cikalong<br /> Bermula dari nama desa Cikalong Kabupaten Cianjur pencak silat Cikalong tumbuh dikenal dan menyebar, penduduk tempatnya menyebutnya ”Maempo Cikalong”. Khususnya di Jawa Barat dan di seluruh Nusantara pada umumnya, hampir seluruh perguruan pencak silat melengkapi teknik perguruannya dengan aliran ini. Daerah Cianjur sudah sejak dahulu terkenal sebagai daerah pengembangan kebudayaan Sunda seperti; musik kecapi, suling Cianjuran, klompen Cianjuran, pakaian moda Cianjuran yang sampai kini dipergunakan dll. Cikal bakal permainan maempo (maen pohok) ini diajarkan oleh keluarga bangsawan Cikalong yang bernama Rd. H. Ibrahim dilahirkan di Cikalong 1816 dan wafat 1906 dimakamkan di desa Majalaya Cikalong Cianjur. Sebelum menunaikan ibadah haji beliau bernama Rd. Djajaperbata yang memiliki ciri-ciri, bertubuh pendek, berbadan lebar, kekar, tangannya lancip, keningnya tidak lebar, berwatak keras dan pemberani. Jika berlatih/menghadapi lawan selalu waspada dan lebih suka menggunakan teknik bertahan. Teknik serangan yang digunakan selalu diawali dengan hindaran lalu dilanjutkan serangan beruntun tangan dan kaki. Beliau tidak saja mahir bermain dengan tangan kosong, melainkan juga dengan senjata gobang menjadi favoritnya. Permainan maempo dalam hidupnya sudah menjadi darah daging yang sukar dipisahkan.<br /><br /><br />2. Wayang Golek<br /> Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia.<br /> Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi.<br /> Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.<br /> Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memamerkan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut variasi yang sangat menarik.<br /><br />3. Tari Tradisional<br /> Tarian tradisional Jawa Barat yang terkenal adalah Tari Jaipong. Tari Jaipong sebelumnya merupakan tarian yang sudah modern karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharaan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa macam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kecapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau kelompok.<br /> Kehadiran Tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggarap seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Dengan munculnya Tarl Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan dan dimanfaatkan pula oleh pengusaha-pengusaha pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya Kaleran. Ciri khas Jaipongan gaya Kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan (alami/apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukkannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada Seni jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya Kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya Kaleran ini sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinde Tatandakan (seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang (Jabanan) sambil salam temple. Istilah Jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).<br /> Dewasa ini Tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan Tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan Tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring/terebangan, kacapi jaipong dan hampir semua pertunjukkan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.<br /> Selain Tari Jaipong, Jawa Barat juga memiliki tarian lain seperti Tari Topeng dan Tari Merak. Namun tarian ini kalah pamor jika dibandingkan dengan Tari Jaipong.<br /><br />4. Musik Daerah Sunda<br /> Dibawah ini salah satu musik/lagu daerah Sunda:<br />a. Bubuy Bulan<br />b. Es Lilin<br />c. Manuk Dadali<br />d. Tokecang<br />e. Warung Pojok<br /><br />5. Alat Musik Tradisional<br /> Alat musik tradisional khas Sunda adalah angklung. Alat musik ini terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih).<br /> Pada awal kemunculannya 400 tahun silam, angklung dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Namun angklung baru dikenal secara luas oleh masyarakat Sunda ketika masa Kerajaan Sunda. Angklung digunakan sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Angklung sempat dilarang oleh penjajah Belanda karena fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-anak pada waktu itu.<br /> Asal usul terciptanya angklung sendiri berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Angklung juga dimainkan ketika pesta panen dan seren taun.<br /> Saat ini perkembangan angklung tidak terbatas hanya di tanah Pasundan saja, melainkan telah merambah seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Bahkan pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.<br /> Jenis-jenis angklung:<br />1. Angklung Kanekes. Angklung ini terdapat di daerah Kanekes, atau yang lebih kita kenal dengan nama Baduy. Angklung ini dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Sedangkan dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan. Namun sajian hiburan ini hanya diadakan oleh orang-orang Baduy Luar. Angklung kanekes sendiri terdiri dari beberapa jenis, tergantung dari besar kecilnyaukuran angklung, yaitu: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Pembuatan Angklung Kanekes juga tidak sembarangan, hanya ada 3 kampung yang bisa membuatnya, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Bahkan di kampung ini pun tidak semua penduduknya bisa membuat angklung, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual.<br />2. Angklung Dogdog Lojor. Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Kesenian ini dimainkan pada upacara Seren Taun. Awalnya angklung ini hanya dimainkan pada acara ritual padi. Namun saat ini angklung ini juga digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.<br />3. Angklung Gubrag. Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.<br />4. Angklung Badeng. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi.<br />5. Buncis. Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong.<br /><br /><br />Makanan Khas Sunda<br /> Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Jawa Barat juga memiliki banyak makanan khas. Makanan-makanan khas Sunda ini bahkan saat ini dapat ditemui di seluruh penjuru nusantara. Contoh makanan khas Sunda adalah: <br />• Colenak yang bahan bakunya terdiri dari tape/peuyeum yang terbuat singkong yang sudah di ragi kemudian dipanggang, disajikan dengan yang terbuat dari saus gula merah, bisa juga ditambahkan dengan kue serabi. <br />• Laksa yang bahan bakunya terdiri dari sayur-sayuran seperti tauge, kemangi, oncom, bihun, tahu, kemudian di sajikan dengan kuah santan yang diberi kunyit.<br />• Combro/Misro; combro artinya oncom dijero (oncom didalam), Misro artinya amis dijero (manis di dalam) yang sebenarnya terbuat dari singkong diparut kemudian diisi dengan oncom pedas atau gula kemudian digoreng dengan bentuk bulat pipih.<br />• Taoge goreng. Makanan ini terdiri dari taoge segar, mi basah, tahu goreng, saos yang terbuat dari oncom atau tauco yang dicampur dengan cabe merah gilling dan daun bawang, dan ketupat.<br />Selain makanan-makanan di atas, orang Sunda juga memiliki beberapa makanan khas lain, seperti: bajigur, bandrek, surabi, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, dan ubi cilembu.<br /><br />Tempat Wisata<br /> Jawa barat memiliki berbagai macam tempat wisata menarik yang layak untuk dikunjungi. Tempat-tempat wisata tersebut antara lain: Kebun Raya Bogor, Taman Bunga Nusantara (Cipanas), Istana Bogor, Taman Buah Mekarsari (Bogor), Taman Safari (Bogor). Selain objek-objek wisata buatan tersebut juga masih banyak objek wisata alam, seperti: Gunung Halimun, perkebunan teh di Puncak (Cianjur), Pantai Pelabuhan Ratu (Sukabumi), Gunung Gede-Pangrango (Bogor), dan masih banyak objek wisata lain yang tersebar diseluruh Jawa Barat.<br /><br />Senjata Tradisional<br /> Senjata tradisional Sunda adalah kujang. Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Namun saat ini kujang telah menjadi ciri khas Jawa Barat, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.<br /><br />Modernisasi Di Jawa Barat<br />Dalam bidang sosial kemasyarakatan dalam masyarakat sudah terjadi perubahan-perubahan yang besar, hal ini ditandai dengan timbulnya partai-partai politik di desa yang menimbulkan pengelompokan berdasarkan ideologi modern yang memotong sistem ikatan kekerabatan atau keagamaan. Selain itu dalam faktor pendidikan, kemajuan terjadi secara cepat. Selain itu, masuknya alat-alat telekomunikasi, transportasi dan alat penyiaran lainnya menyebabkan adanya mobilitas dalam masyarakat yang tinggi, sosial dan spiritual.<br />Perkembangan Budaya Sunda juga mengalami berbagai masalah, seperti banyaknya pertanyaan yang meragukan eksistensi kebudayaan Sunda. Banyak yang mempertanyakan apakah kebudayaan Sunda masih ada. Dan jika memang masih ada, siapakah pemilik kebudayaan Sunda itu sebenarnya. Dilihat dari keberadaan dan eksistensi kebudayaan Sunda itu sendiri wajar saja bila muncul partanyaan itu akhir-akhir ini, karena kebudayaan Sunda akhir-akhir ini memang seperti kehilangan ruhnya, dan tidak jelas arah dan tujuannya. Bahkan kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup lagi ketika harus berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas kebudayaan asing.<br />Contoh yang paling nyata adalah penggunaan Bahasa Sunda yang semakin jarang dalam kehidupan sehari-hari, bahkan oleh pemiliknya sendiri. Yang lebih memprihatinkan, penggunaan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai sebuah keterbelakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa gengsi bagi urang Sunda untuk menggunakan Bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari. Bahkan tidak jarang rasa gengsi ini juga menjangkiti para pakar di bidang Bahasa Sunda. Rasa gengsi itu tidak hanya sekedar untuk menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa dalam percakapan mereka sehari-hari, tapi juga rasa gengsi untuk sekedar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang Bahasa Sunda.<br />Menurut W.S. Rendra, untuk tetap bisa bertahan dalam era modern dan bersaing dengan kebudayaan asing, kebudayaan daerah haruslah memiliki empat daya hidup. Keempat kemampuan tersebut adalah kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, dan kemampuan regenerasi. Namun seperti yang sudah dipaparkan di atas, kebdayaan Sunda tidak memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Hal tersebut sejalan pula dengan kemampuan mobilitas kebudayaan Sunda. Kemampuan mobilitas kebudayaan Sunda baik secara vertikal maupun horizontal sangat lemah. Hal ini berakibat kurang dikenalnya kebudayaan Sunda, tidak hanya di luar komunitas Sunda, tapi juga di dalam komunitas Sunda itu sendiri.<br />Kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga tidak kalah memprihatinkan dibanding dua kemampuan lainnya. Jangankan berbicara mengenai paradigma baru kebudayaan Sunda, itikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki selama ini saja dapat dikatakan sangat lemah.<br />Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda kurang memiliki ruang untuk melakukan proses itu. Proses regenerasi kebudayaan terjadi dengan tersendat-sendat. Generasi baru seolah-olah tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan diri mereka karena kentalnya senioritas dan jalan pikiran generasi muda tersebut yang terlalu maju, yang terkadang bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ada.<br />Kebudayaan hedonisme barat juga sedikit banyak telah mempengaruhi kebudayaan Sunda. Hedonisme telah berhasil menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila kewajiban tersebut dilaksanakan. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.<br />Berawal dari lemahnya kondisi mutu hidup kebudayaan Sunda, muncul pertanyaan apa yang bisa kita, sebagai generasi muda bangsa ini, lakukan untuk melestarikan kebudayaan Sunda khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. Hal awal yang bisa kita lakukan dalam melestarikan kebudayaan tersebut adalah dengan mulai mencintainya. Dalam usaha pelestarian ini juga, kita harus memiliki strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji. Selama ini proses pelestarian kebudayaan yang terjadi seperti tidak adanya koordinasi dan pegangan yang jelas. Dasar dari proses pelestarian ini harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Saat ini kebudayaan Sunda seperti dibiarkan berkembang secara liar tanpa ada upaya yang sungguh-sungguh untuk tetap bertahan di tengah era modernisasi, terutama ketika berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang terorganisir dengan rapi dan memiliki kemasan yang lebih menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai.<br />Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan juga ditengarai menjadi salah satu penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda.<br />Budaya lisan dalam kebudayaan Sunda sebenarnya merupakan budaya yang telah lama akrab dengan komunitas Sunda. Namun, budaya lisan untuk mengemukakan pendapat serta berjiwa besar dalam menghadapi pendapat yang berbeda masih merupakan barang yang amat langka dalam Kebudayaan Sunda. Tradisi lisan Sunda tampaknya baru mampu menghargai komunikasi model monolog dan bukannya dialog. Akibatnya, kemampuan untuk menyampaikan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda dalam kebudayaan Sunda merupakan barang yang teramat mewah. Padahal, untuk mengemukakan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda ini menjadi salah satu dasar bagi munculnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan yang berkualitas.<br /><br />Kampung Sunda<br /> Dalam masyarakat Sunda yang semakin kehilangan jati diri dan kebudayaannya, masih ada sekelompok orang yang tetap memegang teguh adat dan budaya mereka. Kelompok masyarakat ini tinggal di suatu daerah tertentu, yang biasa disebut Kampung Sunda, dan tidak jarang mereka hidup jauh dari peradaban modern, walaupun mereka tetap membuka diri terhadap masyarakat di luar komunitas mereka.<br /> Beberapa Kampung Sunda yang hingga saat ini masih memegeng teguh adat istiadat dan budaya mereka antara lain:<br /><br />1. Masyarakat Kanekes/Baduy<br />Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouni Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut, sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebutkan diri sebagai Urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).<br /><br />a) Wilayah<br />Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27’’ - 6°30’0’’ LU dan 108°3’9’’ - 106°4’55’’ BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45% yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah) dan tanah campuran (di bagian selatan), suhu rata-rata 20°C. <br /><br />b) Bahasa<br /> Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.<br /><br />c) Asal-usul<br /> Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau Batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.<br /> Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu dipertahankan sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimiharja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.<br /><br />d) Kepercayaan<br /> Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’ atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering sekali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.<br />Objek kepercayaan terpenting bagi Masyarakat Kanekes adalah Arca Domes yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kelima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun dan panen akan berhasil baik. Sebaiknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003).<br />Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakat, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.<br /> Tidak ada patung atau benda apapun yang disembah, bagaimana bisa berkesimpulan bahwa pengaruh Hindu animisme sangat kuat, gusti nu maha suci = tuhan yang maha suci (konsep monoteis), ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, apakah bangsa nusantara adalah bangsa yang sudah cukup maju lalu mengalami kemunduran secara alami (seperti Rome) tetapi dengan kelemahan bukti tulisan-tulisan sejarah yang sangat minimal atau hampir tidak ada, bilapun ada dalam bentuk prasasti para ilmuan salah mengartikan artinya atau salah mengklasifikasikan bahasa atau cara tutur kata yang dimaksud.<br /><br />e) Kemasyarakatan<br /> Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik). Ciri khas orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Sedangkan kelompok masyarakat panamping adalah yang dikenal sebagai Baduy Luar yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kudu Ketuk, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas dengan pakaian hitam dan ikat kepala hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes dan pada saat ini wilayah Kanekes dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).<br /><br />f) Pemerintahan<br /> Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasi sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk kepada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Puun. <br /> Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah Puun ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.<br /> Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan dan Jaro Pamarentah. Jaro Tangtu bertanggungjawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan diluar Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang Jaro Tangtu disebut sebagai Jaro dua belas. Pimpinan dari Jaro dua belas ini disebut sebagai Jaro Tanggungan. Adapun Jaro Pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).<br /><br />g) Mata Pencaharian<br /> Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.<br /><br />h) Interaksi Dengan Masyarakat Luar<br /> Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan masyarakat Kanekes ke dalam kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat). Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah dan tenaga buruh.<br /> Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung dan Ciboleger.<br /> Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa dan juga pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap 1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai.<br /> Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.<br /> <br />Ngelepaskeun Japati Wayang Golek<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /> Pernikahan Adat Sunda<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Perkampungan Masyarakat Sunda<br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-23194968302664228952008-11-22T21:54:00.000-08:002008-11-22T22:02:55.221-08:00Kebudayaan PapuaProvinsi Papua merupakan Provinsi yang paling luas wilayahnya dari seluruh Provinsi di Indonesia. Luas Provinsi Papua ± 410.660 Km2 atau merupakan ± 21% dari luas wilayah Indonesia. Lebih dari 75% masih tertutup oleh hutan-hutan tropis yang lebat, dengan ± 80% penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah pedalaman (bagian tengah Papua). Jumlah penduduk 2,3 Juta Jiwa dengan kepadatan penduduk 5,13 orang per Km2 .Secara geografis berada diantara garis meridian 0’19’ - 10045 LS dan antara garis bujur 1300 45 - 141048 BT yang membentang dari Barat ke Timur dengan silang 110 atau 1.200 Km. Dengan demikian daerah Papua berada didaerah yang beriklim tropis dengan cuaca yang panas dan lembab di daerah pantai, serta cuaca dingin dan bersalju pada bagian yang tertinggi di daerah pegunungan Jayawijaya.<span class="fullpost"><br /><br />a) Keadaan Iklim<br />Keadaan iklim di Papua sangat dipengaruhi oleh topografi daerah. Pada saat musim panas di dataran Asia (bulan Maret dan Oktober) Australia mengalami musim dingin, sehingga terjadi tekanan udara dari daerah yang tinggi (Australia) ke daerah yang rendah (Asia) melintasi pulau Papua sehingga terjadi musim kering terutama Papua bagian selatan (Merauke). Sedikitnya pada saat angin berhembus dari Asia ke Australia (bulan Oktober dan Maret) membawa uap air yang menyebabkan musim hujan, terutama Papua bagian utara, dibagian selatan tidak mendapat banyak hujan karena banyak tertampung di bagian utara. Keadaan iklim Papua termasuk iklim tropis, dengan keadaan curah hujan sangat bervariasi terpengaruh oleh lingkungan alam sekitarnya. Curah hujan bervariasi secara lokal, mulai dari 1.500 mm sampai dengan 7.500 mm setahun. Curah hujan di bagian utara dan tengah rata-rata 2000 mm per tahun (hujan sepanjang tahun). Curah hujan di bagian selatan kurang dari 2000 mm per tahun dengan bulan kering rata-rata 7 (tujuh) bulan. Jumlah hari-hari hujan per tahun rata-rata untuk Jayapura 160, Biak 215, Enarotali 250, Manokwari 140 dan Merauke 100. <br /><br />b) Keadaan Tanah<br />Luas daerah Papua ± 410.660 Km2, tetapi tanah yang baru dimanfaatkan ± 100.000 Ha. Tanahnya berasal dari batuan Sedimen yang kaya mineral, kapur dan kwarsa. Permukaan tanahnya berbentuk lereng, tebing sehingga sering terjadi erosi.<br />Sesuai penelitian, tanah di Papua diklasifikasikan ke dalam 10 (sepuluh) jenis tanah utama, yaitu (1) tanah organosol terdapat di pantai utara dan selatan, (2) tanah alluvia juga terdapat di pantai utara dan selatan, dataran pantai, dataran danau, depresi ataupun jalur sungai, (3) tanah litosol terdapat di pegunungan Jayawijaya, (4) tanah hidromorf kelabu terdapat di dataran Merauke, (5) tanah Resina terdapat di hampir seluruh dataran Papua, (6) tanah medeteren merah kuning, (7) tanah latosol terdapat diseluruh dataran Papua terutama zone utara, (8) tanah podsolik merah kuning, (9) tanah podsolik merah kelabu dan (10) tanah podsol terdapat di daerah pegunungan. Tanah yang potensial untuk tanah pertanian antara lain (a) tanah rawa pasang surut luasnya ± 76.553 Km2, (b) tanah kering luasnya ± 58.625 Km2.<br /><br />c) Keadaan Penduduk<br />Penduduk asli yang mendiami pulau Papua sebagian besar termasuk ras suku Melanesian, karena ciri-ciri seperti warna kulit, rambut, warna rambut yang sama dengan penduduk asli di bagian utara, tengah dan selatan yang memiliki ciri-ciri tersebut.<br />Di bagian barat (Sorong dan Fak Fak) penduduk di daerah pantai mempunyai ciri yang sama dengan penduduk di kepulauan Maluku, sedangkan penduduk asli di pedalaman mempunyai persamaan dengan penduduk asli di bagian tengah dan selatan.<br />Selain penduduk asli di Papua terdapat juga penduduk yang berasal dari daerah-daerah lainnya seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku: yang berada di Papua sebagai Pegawai Negeri, ABRI, Pengusaha, Pedagang, Transmigrasi dan sebagainya, bahkan juga ada yang dari luar Indonesia, misalnya Amerika, Perancis, Jerman dan lain-lain yang berada di Papua sebagai Missionaris dan Turis.<br /><br />d) Kebudayaan <br />Penduduk Papua terdiri dari kelompok ethnis (kelompok suku) yang mempunyai keunikan tertentu, seperti bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di Papua terdapat hampir ± 250 macam bahasa sesuai dengan kelompok suku yang berada di daerah ini. tiap kelompok suku mengenal sistem strata (kelas) dalam masyarakat (penduduk). Strata penduduk diklasifikasikan berdasarkan faktor-faktor tertentu seperti keturunan, kekayaan dan sebagainya.<br />Strata ini diwarisi secara turun temurun dengan nama dan struktur yang berbeda dan tiap suku, dan strata ini dapat mempengaruhi kepemimpinan dalam masyarakat atau Kepemimpinan Seseorang.<br />Kebudayaan penduduk asli Papua mempunyai persamaan dengan penduduk asli beberapa negara Pasifik Selatan maupun Rumpun Malanesia. Kebudayaan penduduk asli di daerah-daerah pedalaman Papua kebanyakan masih asli (tradisional) dan sulit untuk dilepaskan dan sangat kuat pengaruhnya.<br />Kebudayaan penduduk asli di daerah pantai sudah mengalami perubahan (walaupun tidak secara keseluruhan). Oleh karena kemudahan dalam transportasi maupun komunikasi, masyarakat di daerah pantai biasanya lebih cepat menerima pengaruh atau perubahan dari luar dengan sendirinya ikut mempengaruhi kebudayaan penduduk daerah setempat.<br />Beberapa kelompok suku tertentu terutama di daerah-daerah pedalaman (Jayawijaya), Merauke, Yapen Waropen, Paniai dan Kepala Burung), masih tetap mempertahankan kebudayaan aslinya secara utuh dan sulit dipengaruhi kebudayaan luar.<br />Dalam perkembangannya dewasa ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama dengan adanya misi gereja yang beroperasi di daerah-daerah pedalaman yang akan ikut mempengaruhi kebudayaan.<br /> <br />e) Agama<br />Dalam hal Kerohanian, sebagian besar penduduk asli Papua telah mempunyai kepercayaan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian ada sebagian dari penduduk terutama yang berada di daerah pedalaman masih menganut faham animisme. <br />Untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Februari 1855 agama Kristen masuk di Pulau yang dibawa oleh 2 (dua) orang penginjil yaitu Ottow dan Geizler dari Belanda dan Jerman. Sejak itu agama Kristen mulai berkembang ke seluruh. Dengan demikian mayoritas penduduk di Papua memeluk agama Kristen Penduduk di bagian utara, barat dan timur kebanyakan agama Kristen Protestan, sedangkan penduduk bagian selatan dan sebagian pedalaman Enarotali memeluk agama Kristen Katolik.<br />Selain agama Kristen, sebagian penduduk asli terutama daerah Fak Fak dan kepulauan Raja Ampat Sorong menganut agama Islam.Sekarang ini sesuai perkembangan dan perubahan daerah yang juga membawa perubahan kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Di Papua terdapat agama Kristen, agama Islam dan Hindu Bali serta Budha yang merupakan penganut minoritas.<br />Agama Islam dan Hindu kebanyakan hanya terdapat di kota sedangkan daerah-daerah pedalaman pada umumnya beragama Kristen. Kerukunan dan toleransi beragama yang cukup baik di kalangan masyarakat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan di bidang keagamaan di daerah ini. Adapun data terakhir yang kami peroleh menyebutkan Protestan (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (23%), Budha (0,13%), Hindu (0,25%), lain-lain (1%).<br /><br />f) Flora<br />Dari seluruh daerah Papua ± 75% tanah daratanya ditumbuhi oleh hutan-hutan tropis yang tebal serta mengandung ragam jenis kayu yang terbesar secara heterogen. Sebagian besar dari hutan tersebut sesuai topografi daerah belum pernah dijamah oleh manusia.<br />Jenis flora di Papua ada persamaan dengan jenis flora di benua Australia. Adapun jenis flora yang terdapat di Papua adalah Auranlaris, Librocolnus, Grevillea, Ebny-dium dan lain-lain.<br />Sekitar 31 Juta ha di Papua penata gunanya belum ditetapkan secara pasti Hutan lindung diperkirakan seluas ± 12.750.000 ha. Hutan produksi diperkirakan ± 12.858.000 ha. Areal pengawetan dan perlindungan diperkirakan ± 5.000.000 ha. Daerah Inclove diperkirakan ± 114.000 ha, daerah rawa-rawa dan lain-lain diperkirakan ± 2478.000 ha.<br />Di Papua terdapat flora alam yang pada saat ini sedang dalam pengembangan baik secara nasional maupun internasional yaitu sejenis anggrek yang termasuk di dalam Farmika Orctdacede yang langka di dunia.<br />Anggrek alam Papua tumbuhnya terbesar dari pantai lautan rawa sampai ke pegunungan. Umumnya hidup sebagai epihite menembel pada pohon-pohon maupun di atas batu-batuan serta di atas tanah, humus di bawah hutan primer.<br /><br />g) Fauna <br />Seperti halnya dengan flora, keadaan di Papua pun bermacam-macam dalam dunia hewan misalnya, jenis yang terdapat di Papua tidak sama dengan jenis hewan di daerah-daerah di Indonesia lainnya seperti Kangguru, kasuari, Mambruk dan lalin-lain. Demikian pula sebaliknya jenis hewan tertentu yang terdapat di Indonesia lainnya tidak terdapat di Papua seperti Gajah, Harimau, Orang Utan dan lain-lain.<br />Fauna di Papua terdapat persamaan dengan fauna di Australia, misalnya Kangguru, Kus-kus dan lain-lain. Burung Cendrawasih merupakan burung yang cantik di dunia dan hanya terdapat di Papua. Selain burung Cendrawasih terdapat jenis burung lainnya seperti Mambruk, Kasuari, Kakauta dan lain-lain yang memberikan corak tersendiri untuk keindahan daerah ini.<br />Hewan-hewan yang langka dan dilindungi adalah burung Kakatua Putih, Kakatua Hitam, Kasuari, Nuri, Mambruk dan lain-lain yang termasuk burung Cendrawasih. Jenis fauna laut Papua juga banyak dan beraneka ragam, misalnya ikan Cakalang, ikan Hiu, Udang dan sejenis ikan lainnya.<br /><br />h) Transportasi<br />Transportasi Udara <br />Di Papua terdapat 288 landasan udara, masing-masing Kabupaten mempunyai landasan udara. Ada landasan udara yang didarati pesawat besar seperti Jumbo Jet Boing 747 dan DC 9 dan landasan udara di daerah pedalaman didarati oleh pesawat kecil seperti Twin Otter Cessna. Landasan Udara yang besar Frans Kaisepo di Biak, Sentani di Jayapura, Timika dan Merauke dapat disinggahi pesawat dari Jakarta, Surabaya, Makasar-Biak Timika-Jayapura pulang pergi.<br /> Transportasi Laut<br />Terdapat pelabuhan laut disetiap Kabupaten yang berada dipinggiran laut yang disinggahi kapal Penumpang Ciremai, Dobonsolo, Ngapulu, Dorolonda dan kapal-kapal Niaga Kapal Perintis antar kota dan kecamatan.<br />Transportasi Darat <br />Terdapat kendaraan umum, carteran dan semua Kabupaten di Provinsi Papua terdapat jalan darat yang menghubungkan Kecamatan Desa dan Kota.<br /><br />2.1.2. Identifikasi Kependudukan<br />Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New Guinea. Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat karena Papua bisa merujuk kepada seluruh pulau Nugini termasuk belahan timur negara tetangga, east New Guinea atau Papua Nugini. Papua Barat adalah sebutan yang lebih disukai para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi 'Papua' sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).<br />Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan bagian baratnya menjadi Irian Jaya Barat.<br />Provinsi Papua sendiri terbagi atas 27 kabupaten dan beribukota di Kota Jayapura.<br />1. Kabupaten Asmat <br />2. Kabupaten Biak Numfor <br />3. Kabupaten Boven Digoel <br />4. Kabupaten Dogiyai <br />5. Kabupaten Jayapura <br />6. Kabupaten Jayawijaya <br />7. Kabupaten Keerom <br />8. Kabupaten Lanny Jaya <br />9. Kabupaten Mamberamo Tengah <br />10. Kabupaten Mappi <br />11. Kabupaten Merauke <br />12. Kabupaten Mimika <br />13. Kabupaten Nabire <br />14. Kabupaten Nduga Tengah <br />15. Kabupaten Paniai <br />16. Kabupaten Pegunungan Bintang <br />17. Kabupaten Puncak <br />18. Kabupaten Puncak Jaya <br />19. Kabupaten Sarmi <br />20. Kabupaten Supiori <br />21. Kabupaten Tolikara <br />22. Kabupaten Waropen <br />23. Kabupaten Yahukimo <br />24. Kabupaten Yalimo <br />25. Kabupaten Yapen Waropen <br />26. Kabupaten Mamberamo Raya <br />27. Kota Jayapura <br />Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Irian. Ibukotanya adalah Manokwari. Nama provinsi ini sebelumnya adalah Irian Jaya Barat, yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan provinsi yang memperoleh status otonomi khusus.<br />Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua.<br />Provinsi Papua Barat ini meski telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya.Provinsi ini juga telah mempunyai KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya tanggal 5 April 2004.<br />Provinsi ini mempunyai potensi yang luar biasa, baik itu pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Mutiara dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat yang disebut kain Timor dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya. Selain itu, wisata alam juga menjadi salah satu andalan Irian Jaya Barat, seperti Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten Teluk Wondama. Taman Nasional ini membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai 500 km, luas darat mencapai 68.200 ha, luas laut 1.385.300 ha dengan rincian 80.000 ha kawasan terumbu karang dan 12.400 ha lautan.<br />Disamping itu baru-baru ini, ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi speologi Perancis di kawasan Pegunungan Lina, Kampung Irameba, Distrik Anggi, Kabupaten Manokwari. Gua ini diperkirakan mencapai kedalaman 2000 meter. Kawasan pegunungan di Papua Barat masih menyimpan misteri kekayaan alam yang perlu diungkap.<br />Adapun kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat adalah :<br />1. Kabupaten Fak-fak <br />2. Kabupaten Kaimana <br />3. Kabupaten Manokwari <br />4. Kabupaten Raja Ampat <br />5. Kabupaten Sorong <br />6. Kabupaten Sorong Selatan <br />7. Kabupaten Teluk Bintuni <br />8. Kabupaten Teluk Wondama <br />9. Kota Sorong <br />Orang Irian yang mendiami bagian Barat pulau Irian dengan pulau-pulau di sekitarnya yang membentuk propinsi Irian Jaya , sungguhpun menampakkan kesamaan-kesamaan tertentu baik dilihat dari ciri ras (ras Melanesia) maupun dilihat dari kebudayaan teknologinya, namun masing-masing kelompok etnik mempunyai ciri-ciri khas kebudayaan tertentu yang membedakan mereka dari kelompok etnik lainnya. Ciri-ciri khas yang berbeda itulah yang membuat kebudayaan penduduk Irian Jaya beraneka warna. Aneka warna kebudayaan tersebut tercermin di dalam berbagai aspek kebudayaan, misalnya di dalam bidang kebahasaan, di dalam bidang organisasi sosial, di dalam sistem mata pencaharian hidup dan di dalam bidang politik.<br />Di dalam bidang kebahasaan misalnya, di Irian Jaya sampai kini tercatat kurang lebih 224 bahasa lokal yang diujarkan oleh masing-masing kelompok etnik (Ayamiseba, 1984). Bahasa-bahasa lokal yang berbeda itu oleh ahli-ahli bahasa dikelompokkan ke dalam dua kategori besar. Pertama, adalah bahasa-bahasa lokal yang dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia dan kategori kedua adalah bahasa-bahasa yang tidak termasuk bahasa Austronesia (non-Austronesia) yang dinamakan bahasa-bahasa Papua (Ray, 1927:379). Contoh dari masyarakat yang menggunakan bahasa-bahasa kategori pertama, Austronesia, adalah orang Biak, orang Waropen, orang Wandamen dan orang Raja Ampat. Sebaliknya contoh untuk masyarakat yang menggunakan bahasa-bahasa Papua adalah orang Muyu, orang Dani, orang Kapauku dan orang Ayamaru.<br /> Sedikit keterangan mengenai suku-suku yang mendiami Pulau Papua antara lain :<br />1) Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai. Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Hal yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan !...<br />Sekarang Biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah. Suku Asmat dulu menarik sekali dan hidup mereka keras dan primitif karena mereka adalah kanibal. Tetapi, hari ini, mereka menjadi lebih beradab dan mereka hidup bersama dengan orang Indonesia lain. Bahkan ukiran kayu yang dibuat orang Asmat yang terkenal di seluruh dunia.<br />2) Suku Amungsa adalah wilayah hunian suku Amungme di dataran tinggi Papua, Indonesia. Wilayah Adat Suku Amungme dikenal dengan nama Amungsa. Amungsa sebenarnya berasal dari dua kata "Amung" dan "Sa". Amung artinya bentangan dan sa artinya wilayah. Amungsa artinya bentangan wilayah adat Suku Amungme. Berdasarkan Rapat Luar Biasa LEMASA (Lembaga Adat Suku Amungme), tanggal, 2 - 4 Februari 2007 ditetapkan bahwa Amungsa terdiri dari Timur hingga Barat dan Utara hingga Selatan. Sebelah Timur perbatasan dengan Mbrum Mbram. Mbrum Mbram adalah Amungsa yang perbatasan dengan Suku Nduga. Sedangkan Sebelah Barat perbatasan dengan Janama Tagal. Janama Tagal adalah wilayah yang perbatasan dengan suku Mee atau Paniai. Sebelah Utara perbatasan dengan ulayat Dani dan Damal dan Selatan perbatasan dengan suku Kamoro.<br />3) Suku Dani adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Wamena, Papua, Indonesia. Suku-suku lain yang terdapat di daerah ini antara lain Yali dan Lani. Suku Yali adalah salah satu suku yang mendiami bagian selatan di antara perbatasan Wamena dan Merauke, sedangkan suku Lani mendiami bagian sebelah barat dari suku Dani. Ketiga suku ini memiliki ciri khas masing-masing baik dari segi budaya, adat istiadat, dan bahasa.<br />4) Suku Empur adalah suku yang mendiami daerah Kebar dan Saukorem yang letakknya di Pegunungan Tambrauw Timur. Mata pencaharian rata-rata Penduduk di daerah ini adalah Petani. Kebar berada di bawah lembah sehingga sering disebut sebagai Lembah Kebar. Sedangkan Saukorem letaknya di Pesisir Pantai Utara pulai Papua. Kecamatan Kebar dan Kecamatan Saukorem berada di bawah Kabupaten Manokwari.<br />5) Suku Kamoro adalah salah satu suku yang berada di Papua, tepatnya di wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika Agats sampai Jita. Suku Kamoro terkenal pandai berburu, dan juga terkenal akan ukiran, nyanyian, topeng-topeng roh dan tariannya. Suku Kamoro juga memiliki ritual dimana dibuat gendang yang menggunakan darah.<br />Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain: Ansus, Amungme, Asmat, Ayamaru (mendiami daerah Sorong ), Bauzi, Biak, Dani, Empur (mendiami daerah Kebar dan Amberbaken), Hatam (mendiami daerah Ransiki dan Oransbari), Iha, Kamoro, Mee (mendiami daerah pegunungan Paniai), Meyakh (mendiami Kota Manokwari), Moskona (mendiami daerah Merdei), Nafri, Sentani (mendiami sekitar danau Sentani), Souk (mendiami daerah Anggi dan Menyambouw), Waropen, Wamesa, Muyu, Tobati, Enggros, Korowai, Fuyu.<br />Topografi Papua sangat bervariasi mulai dari yang sangat tinggi (Puncak Jaya 5.500 m, Puncak Trikora 5.160 m dan Puncak Yamin 5.100) sampai dengan daerah rawa (lembah sungai Digul di selatan dan lembah sungai Mamberamo di sebelah utara). <br />Secara garis besar topografi di Papua terdiri dari: zone utara, kondisinya mulai dari dataran rendah, dataran tinggi sampai pegunungan dengan beberapa puncak yang cukup tinggi (dataran rendah Mamberamo, pegunungan Arfak): zone tengah (central high land) merupakan rangkaian pegunungan dengan puncak yang diliputi salju dan dataran yang cukup luas (Puncak Jaya, Lembah Jayawijaya); zone selatan, pada umumnya terdiri dari dataran rendah yang sangat luas (dari Teluk Beraur sampai Digul Fly Depression).<br />Beberapa danau besar dan potensial diantaranya Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Danau Paniai dan Danau Tigi dan Danau Wagete di Kabupaten Paniai, Danau Ayamaru di Kabupaten Sorong, Danau Anggi di kabupaten Monokawari, serta danau-danau kecil lainnya yang terbesar di daerah pedalaman Papua, merupakan potensi yang dikembangkan untuk prasarana perhubungan maupun penyediaan perikanan untuk gizi masyarakat serta pengembangan pariwisata. <br />Provinsi Papua merupakan wilayah Republik Indonesia yang paling Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea, dan berdekatan dengan benua Australia serta diapit oleh samudra Indonesia dan samudra Pasifik. Dengan demikian Papua mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis baik nasional maupun internasional.<br /><br />2.1.3. Identifikasi Sejarah<br />Provinsi Papua yang berada di wilayah salah satu pulau terbesar di dunia, diperkirakan mulai dihuni manusia sejak jaman glasial pertama dan menjadi jembatan bagi kemungkinan terjadinya migrasi manusia dan hewan dari daratan Asia. Di atas peta Pulau Irian tampak sebagai seekor burung raksasa atau ada yang menganggapnya mirip seekor dinosaurus. Empat puluh tujuh persen dari bagian wilayah itu yang berada di bagian barat adalah wilayah Irian sebelah barat, dan lima puluh tiga persen sisanya adalah wilayah sebelah timur, Papua Nugini.<br />Penduduk pribumi Irian adalah rumpun bangsa Papua-Melanesid yang bermukim di daerah Melanesia yakni sekelompok pulau yang berada di sebelah Timur Laut Australia. Rumpun bangsa Papua-Melanesid yang hidup di Pulau Irian, penduduknya mempunyai ciri-ciri berkulit hitam, rambutnya hitam keriting, muka bulat, hidungnya tinggi serta lebar sering melengkung dan badannya agak besar. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penduduk Irian itu adalah Bangsa Proto-Melanesia yang masuk secara bergelombang ke wilayah itu. Selanjutnya berdatangan pula Bangsa Asia Paleo-Mongoloid dan bangsa-bangsa Negro serta Weddid ke Indonesia.<br />Dikenalnya Pulau Irian oleh bangsa-bangsa pendatang seperti Cina, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda dapat ditelusuri bahwa sejak abad ke-8 para pelaut dan pedagang Sriwijaya mengenalnya dengan nama Janggi. Sementara itu, pada abad ke-13 para pelaut dan pedagang Cina memberi nama Pulau Irian tersebut dengan Tungki. Masa Kerajaan Majapahit berkuasa pada abad ke-14 dan 15, dinyatakan bahwa Pulau Irian sebagai bagian “wilayah yang kedelapan” dari kerajaan tersebut.<br />Pada awal abad ke-16, pelaut Portugis Antonio d’Abrau dan Francesco Serano menyebut Pulau Irian itu dengan nama Os Papuas. Sedangkan pelaut Portugis lain menyebut pulau itu Ilha de Papo Ia dan De Jorge de Menetes menamakannya Papua yang dalam Bahasa Melayu berarti rambut keriting. Pada saat itulah nama Papua dikenal diseluruh dunia, bahkan penduduk pribumi telah menerima dengan baik nama tersebut, sebab Papua itu mencerminkan identitas mereka sebagai manusia hitam dan rambut keriting. Sejak saat itu nama Papua terus dipertahankan. Selanjutnya, didalam pembahasan ini akan dipergunakan nama Papua. Secara yuridis nama itu dipakai sejak adanya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.<br />Bangsa Eropa yang pertama menginjakkan kakinya di wilayah Papua pada tahun 1528 adalah orang Spanyol yaitu Alvaro de Savedra seorang pimpinan Armada Laut Spanyol. Ia memberi nama pulau itu dengan sebutan Isla del Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Tahun 1545, Inigo Oertis de Retes seorang nahkoda kapal Spanyol singgah di Pulau Biak dan Padaido, karena penduduk pribumi tidak menerima, maka ia singgah lagi di Sungai Mamberamo dan memberi nama Papua itu dengan Nova Guinea atau Nueva Guinea. Nama mi diberikan setelah melihat penduduk setempat yang hampir mirip dengan penduduk Afrika Selatan. Mulai saat itu Inigo Oertis de Retes memproklamirkan Papua itu sebagai milik Kerajaan Spanyol. Tahun 1663 Spanyol meninggalkan Papua setelah Belanda menghambat perdagangan rempah-rempah Spanyol di wilayah itu.<br />Luiz Vaez de Torres, pelaut spanyol yang tergabung dalam armada Inggris pertama kali melihat Papua dalam perjalanannya tahun 1605 — 1607. Torres menemukan beberapa pulau termasuk Pulau Louissiade di Papua sebelah Timur dan selanjutnya a bermukim dan menguasai wilayah itu. Perang besar yang berkecamuk di Eropa membawa akibat Papua jatuh ke tangan Inggris tahun 1774, yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda. Selanjutnya, tahun 1775 dengan menggunakan kapal La Tartare dengan Nahkoda Kapten Forrest, Inggris berlayar ke Papua bagian barat dan berlabuh di Manokwari di Teluk Doreri untuk mengambil kembali rempah-rempah yang ditinggalkannya itu. Tahun 1793 merupakan tahun yang penting bagi Inggris untuk menguasai dan menjadikan wilayah itu sebagai koloni baru. Atas perintah Gubernur Inggris di Maluku, Inggris muIai mengadakan penjajakan dan membagi garis pulau sekitar Papua serta mendirikan benteng Coronation di Teluk Doreri. Karena adanya tentangan keras dari Kamaludin Syah, Sultan Tidore yang berkuasa atas seluruh wilayah Kesultanan Tidore, tahun 1814 Inggris meninggalkan Papua bagian barat.<br />Kedatangan Bangsa Belanda ke Papua dimulai pada tahun 1606 melalui sebuah ekspedisi Duyfken yang terdiri dari tiga buah perahu di bawah komandan Wiliam Jansen yang berlayar meninggalkan pantai Utara Jawa singgah di Kepulauan Kai, Aru dan pantai Barat daya Papua. Pada saat itu Belanda hanya mengenal nama Papua untuk wilayah yang telah disinggahi tersebut. Namun sekitar tahun 1770, Belanda mengganti Papua dengan Nieuw Guinea. Nama tersebut merupakan hasil terjemahan dan Nova Guinea atau Nueva Guinea yang diambil dari Bahasa Spanyol. Nama ini dimuat untuk pertama kalinya dalam peta-peta yang dicetak dan diterbitkan oIeh Isaac Tiron. Pada tahun-tahun ke depan, nama Papua dan Nieuw Guinea dipakai bergantian hingga pertengahan abad ke-2O.<br />Usaha Belanda untuk menjadikan Papua sebagai sebuah koloni, baru terwujud setelah Belanda meresmikan berdirinya benteng pertama di daratan Papua pada tanggaI 24 Agustus 1828. Segera setelah pendirian benteng pertama yang diberi nama Fort Du Bus, hubungan antara pihak Belanda dan penduduk pribumi ditentukan dalam surat-surat perjanjian. Surat perjanjian ini ditandatangani oleh Raja Namatote, Kasa (Raja Lokajihia), Lutu (Orang Kaya di Lobo, Mewara dan Sendawan). Mereka diangkat sebagai kepala di daerah masing¬-masing oleh Belanda dengan diberi surat pengangkatan sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini diangkat pula 28 kepala daerah bawahan. Meskipun daerah Papua sudah sejak tahun 1823 dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dan tanah jajahan Belanda di Kepulauan Nusantara, kekuasaan pemerintah jajahan itu baru sungguh-sungguh terwujud di Papua pada akhir abad ke-l9.<br />Sebelumnya Belanda kurang memperhatikan daerah ini, karena dinilai kurang memiliki potensi ekonomi yang menguntungkan. Tetapi karena timbulnya pemberontakan pasukan Nuku dan Tidore pada tahun 1870 dan minat bangsa-¬bangsa Eropa lainnya untuk menguasai Papua semakin besar, Belanda menganggapnya sebagai ancaman serius. Pada tahun 1884, Inggris memproklamasikan bagian Tenggara Papua sebagai daerah jajahannya. Pada tahun yang sama, Jerman mengklaim Timur Laut Papua sebagai koloninya. Belanda sendiri tetap mempertahankan wilayah Barat Pulau Papua. Daya tarik pulau ini terletak pada kekayaan alamnya dengan berbagai bahan mentah yang sangat dibutuhkan Eropa untuk memacu industri.<br />Konfrontasi yang terjadi antara Belanda, Inggris dan Jerman untuk menguasai Papua masih terus berlanjut. Hal tersebut baru dapat diselesaikan setelah dapat ditentukan sebuah batas wilayah jajahan Belanda atas Papua, melalui sebuah pertemuan antara Pemerintah Belanda, Inggris dan Jerman Gravenhage pada tanggal 16 Mei 1895. Penetapan batas antara Belanda, Inggris dan Jerman ini disebabkan karena pemerintah Inggris menguasai wilayah bagian Timur Papua dan Jerman menguasai Wilhelmstad (bagian lain dan Timur Papua), sementara bagian Barat Papua dikuasai oleh Belanda. Garis batas wilayah ini oleh Belanda dinyatakan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie, 1895 No. 220 dan 221.<br />Tahun 1898 Parlemen Belanda mensyahkan pengeluaran anggaran belanja untuk mendirikan pemerintahan di daerah Papua bagian Barat, supaya dapat dinyatakan bahwa Papua itu sungguh-sungguh merupakan bagian dari kekuasaan Belanda. Selanjutnya Pemerintah Belanda membagi daerah Papua ke dalam dua bagian yang masing-masing dikuasai oleh seorang kontrolir Belanda. Bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Nieuw Guinea, dan bagian barat dan selatan dinamakan Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea. Kedua daerah itu merupakan sub-bagian dan Keresidenan Maluku. Kontrolir penguasa daerah Noord Nieuw Guinea ditempatkan di Manokwani, sedangkan kontrolir penguasa daerah West en Zuid Nieuw Guinea ditempatkan di Fakfak.<br />Pada awal abad ke-2O kembali terjadi pemisahan daerah Zuid Nieuw Guinea dan daerah West Nieuw Guinea. Bahkan tahun 1901 daerah Zuid Nieuw Guinea dipisah menjadi satu afdeeIing tersendiri, dengan seorang asisten residen sebagai penguasa daerah. Pada tanggal 14 Februari 1902 untuk pertama kali bendera Belanda dinaikkan di muara Sungai Maro, di tempat yang sekarang dikenal sebagai Merauke. Dalam tahun 1904 di Teluk Humboldt ditempatkan pula seorang petugas pemerintahan jajahan Belanda. Tempat kedudukan petugas militer yang mendapat kekuasaan untuk memerintah suatu daerah bagian dan Afdeeling Noord Nieuw Guinea ini adalah perkampungan yang dinamakan Hollandia dan yang sekarang dikenal sebagai Jayapura. Hollandia dijadikan ibukota Onderafdeeling Hollandia, suatu daerah yang baru menjadi penting pada akhir Perang Dunia II.<br />Papua, terutama daerah Digul, memperoleh tempat yang istimewa dalam gerakan kebangsaan Indonesia ketika daerah ini dipilih oleh orang Belanda sebagai tempat pengasingan kaum nasionalis Indonesia yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah jajahan Hindia-Belanda. Memasuki abad ke-2O kesadaran politik di kalangan rakyat Indonesia makin meluas. Di berbagai daerah terbentuk kesatuan¬kesatuan politik yang ikut serta dalam gerakan menentang kolonialisme. Dalam berbagai kongres, rapat, pertemuan, tulisan dalam majalah, surat kabar dan surat-surat selebaran tampak arus kuat jiwa perjuangan kemerdekaan yang makin lama makin deras dan tegas.<br />Dalam tahun 1926 pecah suatu pemberontakan terhadap kekuasaan penjajah Belanda. Mula-mula di Banten, lalu meluas di daerah lain di Jawa dan juga menyebar ke Sumatera Barat. Pemberontakan besar yang dipimpin Partai Komunis Indonesia ini berhasil dipadamkan oleh alat-alat kekuasaan pemerintah jajahan. Meskipun orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tahun 1926 dan 1927 adalah orang-orang yang dapat dituntut berdasarkan undang-undang, pemerintah jajahan belum merasa aman. Untuk mencegah timbulnya pemberontakan baru Gubernur Jenderal De Graeff memerintahkan pengasingan secara besar¬besaran dan orang-orang yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Belanda di Kepulauan Indonesia. Sejumlah 1.308 orang ditangkap dan ditempatkan dalam pengasingan tanpa melalui pengadilan.<br />Dari para pejuang Indonesia yang diasingkan, 823 orang dikirim ke Tanah Merah, wilayah di pedalaman Papua, suatu tempat terpencil yang beriarak 500 kilometer dan daerah pantai selatan di hulu sungam Digul. Tempat ini bisa dikatakan sangat buas dari segi alam, misaInya ancaman dari serangan malaria, tetapi juga adanya serangan penduduk asli untuk mendapatkan kepala manusia dengan jalan mengayau, yang mereka anggap menyimpan kekuatan sakti.<br />Mereka yang disebut para ‘orang buangan’ itu sebagian diperbolehkan membawa istri dan anak-anak karena mereka dianggap tidak sebagai orang hukuman biasa. Kedudukan daerah Digul dalam pergerakan kebangsaan Indonesia makin istimewa sebagai lambang perlawanan rakyat terhadap kekuasaan penjajah, ketika tempat pengasingan para pemimpin komunis di hulu Sungai Digul juga dijadikan tempat pengasingan para pemimpin gerakan kebangsaan yang tidak tergolong komunis. Dalam bulan November 1934 Tanah Merah juga menjadi tempat pengasingan Sutan Sjahnir, bekas mahasiswa Universitas Leiden yang memimpin kaum Golongan Merdeka sekembalinya ke tanah air. Tiga bulan kemudian menyusul Mohammad Hatta pun dikirim ke daerah pengasingan ini. Dengan demikian daerah Digul dijadikan sebagai tempat pengasingan para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia yang benar-benar dianggap membahayakan kekuasaan penjajah Belanda.<br />Di Papua gejala kapitalisme modern sebagat pengolahan bahan-bahan mentah bagi kebutuhan industri baru tampak tahun 1931. Kegiatan eksplorasi pertama ditujukan untuk eksplorasi minyak tanah Sejumlah perusahaan besar Belanda, Inggris dan Amerika dalam tahun 1935 menggabungkan modal mereka untuk mendirikan perusahaan NV Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Usaha-usaha eksplorasi minyak tanah telah membuka mata pencaharian baru bagi banyak orang. Karena tenaga kerja penduduk asli Papua tidak mencukupi, maka tenaga kerja seperti orang Makassar, Bugis, Buton dan akhirnya juga dari Jawa didatangkan. <br />Usaha untuk membangun industri minyak di Papua mendorong timbulnya kegiatan eksplorasi yang lebih luas. Disamping eksplorasi yang dilakukan oleh satuan patroli militer Belanda ke berbagai daerah pedalaman, perkembangan industri minyak kemudian dapat membiayai berbagai lembaga ilmiah di Negeri Belanda untuk mengirimkan para sarjana berbagai disiplin ilmu seperti zoologi, botani, kehutanan, geologi, antropologi, tetapi juga para tokoh petualang ke berbagai daerah seperti Kepala Burung dan Pegunungan Jaya Wijaya.<br />Berkali-kali pemerintah Belanda berusaha mengadakan pembagian wilayah Papua, yang memungkinkan pemantapan kekuasaannya melalui pemerintah daerah. Namun usaha pembagian wilayah ke dalam kesatuan-kesatuan daerah administratif selalu terbentur pada kenyataan yang ada, yang pada akhirnya hanya terwujud di atas kertas saja. Pembagian terakhir dan wilayah administratif Papua sebelum perang terjadi pada tahun 1940. Diputuskan bahwa daerah Papua sebagai bagian dan Karesidenan Maluku terdiri dan tiga afdeeling seperti yang telah disebutkan di atas, meliputi sejumlah onderafdeeling yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kontroleur dan di bawahnya terdiri dan satu Bestuurressort di Boven Digul dan empat Bestuurressort di Merauke. Tiga afdeeling ini dikepalai oleh tiga asisten-residen yang masing-masing berkedudukan di Tual, Fakfak dan Manokwani. Ketiganya berada dibawah residen Maluku yang berkedudukan di Ambon.<br />Ketika Perang Pasifik pecah daerah Papua bagian barat dan utara secara cepat dapat dikuasai oleh militer Jepang. Hal ini dimungkinkan karena pada periode sebelumnya banyak perusahaan Jepang yang beroperasi di daerah ini yang ternyata merupakan jaringan mata-mata Jepang. Selama pendudukan Jepang pada umumnya penduduk Papua berada dalam penderitaan. Di berbagai tempat timbul penlawanan penduduk pribumi yang sering ditindas dengan kejam oleh tentara Jepang. Kekejaman Jepang mendorong rakyat menyambut baik kedatangan pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Arthur pada tanggal 22 April 1944. Jayapura sendiri berubah menjadi pangkalan angkatan perang Sekutu. Tetapi tidak lama kemudian kesatuan-kesatuan Sekutu meneruskan serangan ke arah Barat, dan meninggalkan kesatuan Belanda yang ikut mendarat di Jayapura. Para penguasa Belanda selanjutnya menjadikan Jayapura sebagai ibukota Papua.<br />Setelah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia tidak pernah berhenti memperjuangankan kemerdekaan Papua dan terus berupaya agar daerah tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Hal ini telah tercermin dalam keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Pembukaan UUD 1945 bahwa wilayah Papua adalah hak mutlak wilayah Pemerintah Indonesia karena sesuai dengan batas negara yaitu daerah bekas Hindia Belanda dahulu. Kedudukan Papua terus diperdebatkan antara Indonesia dengan Belanda. Namun dengan kegigihan diplomasi, akhirnya disepakati bahwa Papua akan dibicarakan setahun lagi dan penyerahan seluruh bekas wilayah Hindia Belanda kepada Indonesia akan dilaksanakan pada akhir tahun 1950.<br />Pada awal tahun 1950, segera setelah pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda memperkuat kedudukannya di Papua dengan mengangkat S.I.J. van Waardenburg menjadi Gubernur Nederlandsch Nieuw Guinea, yang dibantu oleh tiga orang residen yang ditempatkan di Jayapura, Manokwari dan Merauke. Di Enarotali, di daerah pedalaman sekitar Danau Paniai, ditempatkan seorang controleur yang langsung bertanggungjawab kepada resident di Jayapura. Kemudian pada tahun 1952 diadakan perubahan pembagian wilayah pemerintahan ke dalam empat afdeeling. afdeeling Noord Nieuw Guinea dengan ibukotanya Holandia, afdeeling Zuid Nieuw Guinea dengan ibukota Merauke, afdeeiling Centraal Nieuw Guinea yang ibukotanya belum ditetapkan, afdeeling West Nieuw Guinea dengan ibukota Sorong.<br />Usaha lain yang dilakukan pemerintah Belanda adalah membentuk Dewan Nieuw Guinea pada tahun 1961. Dalam tahun 1961 juga Gubernur Nederlandsch Nieuw Guinea membentuk Komite Nasional Papua yang terdiri dan 80 orang anggota. Tujuan pembentukan komite ini adalah untuk pembentukan Negara Papua. Usaha ini terus ditentang oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Karena Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan NKRI.<br />Perundingan-perundingan mengenai kedudukan Papua yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda belum menunjukkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Berulang kali masalah Papua diajukan oleh wakil-wakil Indonesia ke hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, tanpa mengakibatkan perubahan sikap di pihak Belanda. Pemerintah Belanda justru melakukan tindakan penguatan diri di daerah Papua, baik dan segi politik, ekonomi maupun militer. Sementara itu Pemerintah Indonesia berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh kemerdekaan bagi Papua. Hal itu diperkuat dengan penetapan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat. Sejak undang-undang tersebut ditetapkan, selanjutnya nama yang dipakai adalah Irian Barat. <br />Pada tanggal 19 Desember 1961 pimpinan Republik Indonesia mengubah cara perjuangan pembebasan Irian Barat. Selanjutnya Presiden Soekarno mengumumkan keputusan yang kemudian dikenal dengan Tri Komando Rakyat (TRIKORA). Isinya adalah menggagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat dan mempersiapkan diri untuk mobilisasi umum. Disamping itu, Amerika Serikat mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat. Dengan adanya tuntutan tersebut, Belanda tidak dapat memaksakan kehendak untuk menguasai Irian Barat. Untuk menyelesaikan masalah Irian Barat tersebut akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 dicapai suatu kesepakatan yang dikenal dengan New York Agreement, yang berisi<br />1. Setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dan Belanda, selambat-lambatnya pada tanggal 1 Oktober 1962 Penguasa/Pemerintah Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority-UNTEA) akan tiba di Irian Barat untuk melakukan serah terima pemerintahan dari tangan Belanda. Sejak hari itu bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB.<br />2. Pemerintah Sementara PBB akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun alat-alat keamanan, bersama¬sama dengan alat-alat keamanan putra-putra Irian Barat sendiri dan sisa-sisa pegawai Belanda yang masih diperlukan.<br />3. Pasukan-pasukan Indonesia yang sudah ada di Irian Barat, tetap tinggal di Irian Barat yang berstatus di bawah kekuasaan Pemerintah Sementara PBB.<br />4. Angkatan Perang Belanda secara berangsur-angsur dikembalikan. Yang belum pulang, ditempatkan di bawah pengawasan PBB, dan tidak boleh dipakai untuk operasi¬operasi militer.<br />5. Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas.<br />6. Tanggal 31 Desember 1962 bendera Indonesia mulai berkibar di samping bendera PBB.<br />7. Pemulangan anggota-anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai pada tanggal 1 Mei 1963 dan selambat¬lambatnya pada tanggal 1 Mei 1963 Pemerintah RI secara resmi menerima pemerintahan di Irian Barat dar Pemerintah Sementara PBB.<br />Berdasarkan New York Agreement tersebut, prosedur penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui tiga tahap. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera Perserikatan Bangsa Bangsa dikibarkan di Irian Barat, berdampingan dengan bendera Belanda, mulai saat itu pemerintah jajahan Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, yang kemudian membentuk pemerintahan sementara yang dinamakan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Pada tanggal 31 Desember 1962 bendera Merah Putih dikibarkan secana resmi di Irian Barat berdampingan dengan bendera Perserikatan Bangsa Bangsa, sedangkan bendera Balanda diturunkan untuk selama-lamanya dan Irian Barat. Pada tanggal 1 Mei 1963 kedaulatan atas Irian Barat sepenuhnya diserahkan kepada pemerintahan Republik Indonesia dan bendera Perserikatan Bangsa Bangsa diturunkan, sejak saat itu UNTEA menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Republik Indonesia.<br />Setelah kesepakatan itu dipatuhi oleh kedua belah pihak, selanjutnya dilaksanakan pula Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan diadakan pada tahun 1969, tepatnya mulai tanggal 14 Juli — 2 Agustus 1969. Pepera akan dilaksanakan di 8 (delapan) kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Penidi, Fakfak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih dan Jayapura. Hasil dan Pepera menyatakan bahwa rakyat Irian Barat berintegrasi dengan Indonesia.<br />Pada tahun 1973, nama Irian Barat berubah menjadi Irian Jaya. Perubahan nama tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1973 dan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi Irian Barat Nomor 1/DPRD/1973. Selanjutnya pada tahun 2001, nama Irian Jaya berubab nama menjadi Papua didasarkan pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2OOO tentang Pengembalian Nama Irian Jaya menjadi Papua.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />2.2. MATA PENCAHARIAN<br /><br />Menurut Koentjaraningrat (1970: iii, iv), masyarakat penduduk Irian Jaya dapat digolongkan dalam tiga tipe masyarakat.:<br /> Tipe masyarakat pertama adalah penduduk lembah-lembah di Pegunungan Tengah yang hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan-hubungan keluarga luas, dengan jaringan luas dari sistem klen, gabungan klen dan federasi desa yang kompleks. Mata pencaharian hidup yang pokok adalah bercocok tanam ubi dan keladi di ladang-ladang. Teknologi untuk membuat alat-alat hidup mereka masih asal zaman batu, dan hanya dibeberapa tempat mereka berkenalan dengan dunia luar sejak pertengahan tahun 1950-an. Contoh masyarakat tipe ini adalah orang Dani.<br /> Tipe masyarakat kedua adalah penduduk desa-desa di bagian pedalaman di daerah hulu sungai-sungai, biasanya hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan keluarga-keluarga luas (rata-rata 10-15 individu). Mata pencaharian mereka adalah meramu sagu dan berburu. Berburu dan mencari ikan di sungai merupakan pekerjaan sambilan. Contoh dari masyarakat ini adalah penduduk danau-danau, Irian Jaya bagian Utara.<br /> Tipe masyarakat ketiga adalah penduduk desa-desa di hilir dan muara-muara sungai dan penduduk pantai serta penduduk kepulauan. Mereka ini hidup dalam rumah-rumah kecil dalam hubungan keluarga-keluarga batih kecil (rata-rata 4-5 individu) yang bersifat amat individualistis. Mata pencaharian hidupnya adalah meramu sagu, berburu, berkebun dan mencari ikan dipantai atau di laut. Contoh masyarakat ini adalah penduduk Pantai Utara. <br />Keterangan :<br />1. Berburu<br />Banyak jenis binatang yang diburu; khususnya jumlah jenis spesies kecil sangat besar. Binatang buruan yang besar ialah babi dan burung kasuari. Meskipun secara umum binatang-binatang ini penting untuk perburuan, di daerah-daerah yang berpenduduk padat di sekitar Yibi binatang-binatang kecil lebih penting. Di sini jarang ada binatang besar, tetapi di selatan dan di tenggara lebih banyak. <br />Ada bermacam-macam cara berburu. Cara yang dipilih tergantung dari jenis binatangnya. Babi dan kasuari diburu dengan menggunakan busur dan anak panah. Anjing memainkan peranan penting dalam melacak binatang buruan, lebih-lebih kalau binatang itu sudah terluka. Untuk binatang-binatang seperti itu sering digunakan lubang jebakan, sering diberi bambu-bambu runcing yang ditanam di dasarnya — sehingga akan "memanggang" mangsanya waktu jatuh. Babi juga dijebak, khususnya di tempat orang menokok sagu, kalau diketahui bahwa babi telah memakan sagu yang masih di pohon yang ditebang (pohon yang masih belum diambil sagunya). Jebakan terdiri atas lorong kayu, terbuka di satu sisi. Begitu menyentuh tali, si babi melepaskan sebuah pengumpil yang menurunkan pintu lorong yang terbuka itu sehingga terjebaklah dia.<br />Binatang-binatang kecil yang diburu meliputi kuskus, biawak, tikus besar dan tikus kecil, kadal dan ular, belalang dan katak, kupu-kupu jenis tertentu, ulat yang terdapat di bagian dalam pohon (seperti ulat sagu), juga burung dan kelelawar. Tikus kecil dan tikus besar, biawak, kuskus, dan burung biasanya juga dibunuh dengan anak panah, tetapi kalau mungkin binatang-binatang itu ditangkap dengan tangan, misalnya tikus kecil di dalam rumah, atau kuskus di pohon. Kalau untuk binatang-binatang kecil itu dibuat jebakan, bentuknya sama dengan yang untuk babi. Sedangkan kadal, ular, belalang, katak dan kelelawar, ulat pohon, dan kupu-kupu ditangkap dengan tangan.<br />Berburu tidak dilakukan dalam kelompok besar. Cukup sejumlah kecil orang saja, biasanya tetangga, kerabat, misalnya dua orang bersaudara. Penggerebegan atau pengepungan yang melibatkan banyak orang tidak pernah ada karena baik bina-tangnya maupun daerahnya tidak cocok untuk itu.<br />2. Mencari Ikan<br />Apabila keadaan sungai mengizinkan, ikan ditangkap dengan menggunakan busur dan anak panah. Untuk keperluan itudigunakan anak panah khusus, yang ujungnya diberi gigi-gigi kayu. Cara lain ialah membendung sungai yang tidak begitu besar ketika permukaan airnya sedang turun dan menguras airnya. Dengan cara itu orang dapat menangkap ikan, udang, dan mung-kin juga kerang.<br />Kemudian ada bubu. Dari ujung rotan yang berduri merambat dibuatlah sebuah corong, kira-kira 20 cm panjangnya dan lebar 5 cm di ujung. Duri-durinya pada batang-batang yang panjang mengarah ke dalam. Beberapa corong semacam itu dijadikan satu dan ditempatkan di dalam air.<br />Yang juga penting ialah penggunaan racun yang dapat membius ikan. Akibatnya, ikan-ikan itu muncul ke permukaan dan mengambang sehingga dapat ditangkap.<br />3. Berkebun dan Meramu sagu<br />Berkebun memegang peranan penting untuk orang pedalaman Papua. Meskipun sagu itu tersebar di seluruh daerah, hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama di daerah tinggi, yang membentang kira-kira dari Woropko sampai Yibi, sedangkan di sebelah selatan Mindiptana, lahannya lebih luas sehingga sagu lebih berperan sebagai bahan pangan pokok. <br />Pohon sagu biasanya terdapat di tepi sungai-sungai kecil, di tanah tinggi, pohon sagu juga ditanam di mana palung sungai sering berbatu-batu, serta di punggung-punggung bukit. Tidak banyak tempat yang cocok, jadi pohon sagu memang sedikit jumlahnya. Sering ada perbedaan besar antara tempat yang satu dan yang lain. Terutama di selatan sagu penting dalam menu makanan. Namun, di daerah tinggi, pisang dan umbi-umbian lebih penting daripada sagu. Sagu itu mutlak perlu dalam pesta babi.Sagu hasil tokok diangkut dan sering disimpan di dalam kantong tenunan (yòwòt).<br />Karena daerah pedalaman itu sama sekali tertutup hutan, bagian-bagian tertentu hutan itu harus ditebangi untuk membuat kebun dengan menggunakan kapak batu. Batang-batang pohon dibiar-kan tumpang tindih tak teratur, semak-semak dibabat dan dibersihkan. Biasanya tidak digunakan api, dan daun-daun dibiarkan membusuk. Warga mengetahui bahwa pembersihan yang terlalu rajin akan lebih cepat membuat tanahnya mati. Ini kelihatan dari apa yang dikatakan guru desa kepada mereka, yang berpegang pada buku (Eropa) dalam mengerjakan tanah kebun sekolah.<br />Setek-setek ditanam dengan menggunakan tongkat-tongkat sederhana, yang tidak dibuat khusus untuk itu.<br />Tanaman utama ialah pisang — dalam banyak varietas — dan umbi-umbian. Yang paling penting dari yang terakhir ini ialah ubi (Dioscorea alata), keladi (Colocasia esculenta), dan ubi jalar (Ipomoea batatas). Ada banyak jenis ubi dan ubi keladi, ubi jalar lebih sering ditemukan di daerah tinggi.<br />Pohon sukun (Artocarpus incisa) adalah pohon buah yang terdapat hampir di setiap kebun. Di daerah selatan pohon ketapang (Terminalia catappa) melimpah, sedangkan di daerah utara lebih banyak terdapat pohon kenari (Canarium vulgare). Buahnya sangat berlemak, dan pada musim tertentu merupakan bagian pokok makanan mereka. Pohon ini juga terdapat di kebun, tetapi tidak sebanyak pohon sukun.<br />Sayuran juga merupakan bagian menu makanan mereka. Orang Muyu tidak menanamnya di kebun, tetapi mencari varietas-varietas liar — meskipun sayuran juga ditanam. Sayur-sayuran penting ialah daun pohon Gnetum gnemon, ujung daun pakis tertentu (Diplazium esculentum), dan kuntum muda varietas tebu (Saccharum edulae) atau sering mereka sebut tebu ikan. Tebu (Saccharum officinarum) khususnya terdapat di daerah tinggi. Ujung pohon nibung (Caryota rumpfiana) adalah sayuran yang disukai. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />2.3. SISTEM KEKERABATAN DAN KEMASYARAKATAN<br /><br />2.3.1. Sistem kekerabatan<br />2.3.1.1. Upacara Perkawinan<br />Adat perkawinan masyarakat papua yang tinggal di pantai utara atau biasa disebut dengan orang Tor atau Bgu berbeda dengan adat perkawinan masyarakat papua yang tinggal di pegunungan Jaya Wijaya yang popular dengan sebutan orang Dani. Oleh karena itu dalam makalah ini akan kami jelaskan satu per satu<br /><br />a. Adat perkawinan masyarakat Tor atau Bgu<br />Sistem kekerabatan masyarakat Tor atau Bgu bardasarkan prinsip patrilineal. Suatu klan patrilineal disebut dengan nama fam. Istilah ini dibawa oleh guru-guru dari Ambon yang ditempatkan di Papua, dan adat untuk mengambil nama fam dengan nama Kristen adalah adat yang diperkenalkan gereja untuk demi memudahkan registrasi dalam buku gereja. Sebelum agama Kristen masuk istilah fam tidak dikenal. Waktu orang-orang pantai utara masih tinggal di rawa-rawa dan belum dipaksa pindah ke jalu pantai pasir oleh pemerintah Belanda mereka mengenal adanya kelompok kekerabatan yang disebut auwet. Kelompok kekerabatan auwet ini juga menganut prinsip patrilineal yang dapat dibuktikan dengan adat pengantin baru yang harus tinggal di sekitar pusat kediaman keluarga si suami. Kelompok kekerabatan ini mempunyai nama-nama khusus seperti Sadot, Bagre, Dansidan dan sebagainya. <br />Walaupun seorang penduduk pantai utara mendapatkan nama fam dari ayahnya tetapi dalam kenyataan banyak unsur–unsur yang menunjukkan system bilateral. Hal ini dapat dilihat dari hukum warisnya. Seseorang mempunyai hak untuk memukul sagu dari dari ayahnya, maupun dari ibunya, artinya ia boleh mengambil sagu di wilayah kerabat ayah maupun kaum ibu. Selain itu seorang wanita yang telah menikah dan diberi mas kawin tidak lagi secara patuh adat tinggal di keluarga suaminya. Ia juga tidak kehilangan hak atas pohon sagu di wilayah sagu di fam asalnya. System ini dikenal dengan nama kwasi patrilineal atau pura-pura patrilineal.<br />Jika penduduk pantai utara hendak berumah tangga maka suatu syarat yang penting adalah dengan mengumpulkan mas kawin atau krae. Suatu krae terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang besar bundar, sebuah kalung dari rangkaian gigi anjing yang disebut kdarf, ikat pinggang dari manik-manik yang disebut bitem, tali kulit kayu yang disebut weimoki, benda-benda lain adalah piring, perabot dapur, dan bahan makanan terutama makanan kaleng dan sejumlah uang. Untuk mengumpulkan mas kawin ini diperlukan waktu yang lama dan usaha yang berat, penyerahannya sendiri biasanya dilakukan beberapa waktu setelah upacara dan pesta yang khusus. Setelah upacara adat biasanya dilanjutkan dengan upacara perkawinan di gereja tanpa adanya pesta adat khusus. Perkawinan ini biasanya bersifat monogamy walaupun ada beberapa yang melakukan poligami. Hal ini biasa dilakukan apabila sang istri tidak bisa member anak. Tetapi kemudian hal ini banyak berkurang setelah agama Kristen masuk.<br /><br />b. Adat perkawinan suku Dani <br />Gadis-gadis Dani menikah pada usia muda (antara 12—18 tahun). Di dalam desa mereka, empat hari sebelum pesta itu saudara gadis itu menyediakan seekor babi untuk saudarinya.<br />Pernikahan dirayakan di desa mempelai laki-laki. Pemuda-pemuda Dani memiliki kebebasan tertentu dalam memilih pasangan hidup. Pasangan hidup itu harus dicari pada paruhan suku yang lain dan paling bagus pada klen-klen tertentu, yang dalam hal ini saling membantu secara teratur. Di dalam batas-batas tertentu terdapat kebebasan, sekalipun keluarga nanti harus memperhatikannya baik-baik sebelum menetapkan suatu pilihan. Ayah dapat mengajukan lamaran resmi. Tetapi bukan ayah mempelai perempuan, melainkan saudara-saudaranya yang menyampaikan kata-kata penerimaan lamaran itu. Semuanya ini sudah bisa disampaikan sebelum pesta babi. Kira-kira satu bulan sebelum pesta itu keluarga pemuda menghadiahkan beberapa ekor babi kepada saudara gadis itu; babi-babi itu kemudian diteruskan kepada saudara ibu gadis itu. Sisanya akan disembelih pada hari-hari pesta itu.<br />Sesudah pemimpin pesta menyumpahi babi-babi itu, lalu disembelih. Telinga dan ekor babi itu untuk pemimpin. Babi-babi itu kemudian dimasukkan di dalam lubang-lubang pemasak. Sementara itu di dalam dapur juga orang memanggang daging. Pemimpin mengambil sepotong kecil dan dengan potongan daging itu membuat suatu garis di antara payudara gadis itu. Dia menyebutkan beberapa jenis udang, yang selama pesta itu tidak boleh dimakan oleh gadis itu. Kemudian dengan sebuah batu panas dia menyentuh daging, yang sudah ditentukan untuk gadis itu guna mencegah dia jangan sampai menjadi sakit. Anak-anak gadis mendapat tawaran daging itu dan mereka pun segera memakannya. Lubang pemasak dibuka lalu wanita-wanita dan anak-anak makan daging babi itu. Empat hari kemudian babi-babi disembelih dan dimasak lagi. Persiapan lubang-lubang pemasak, pemanasan batu-batu, pengumpulan sayur-sayuran menimbulkan kesibukan yang menggembirakan bagi kaum pria maupun kaum wanita. Di dalam dapur orang mempersiapkan jala-jala dan tali manik-manik, yang dihadiah-kan oleh keluarga ibu para gadis. Kalau makanan sudah masak maka berlangsunglah penyerahan hadiah-hadiah kepada gadis-gadis itu di halaman di depan rumah kaum pria; hadiah-hadiah itu ditumpangkan di kepala gadis-gadis itu, sampai-sampai mereka seperti tertimbun hadiah-hadiah itu. Sementara mereka berdiri demikian pemimpin mengangkat suatu ratapan perpisahan. Setelah itu gadis-gadis kembali ke dapur, mendapat daging, dan membaginya di antara mereka. Lubang pemasak dibuka. Sebagian dari daging, yang bercucuran tetesan lemak ditaruh di muka gadis-gadis yang duduk berkeliling di dalam dapur. Jala-jala yang dihadiahkan sekarang dipakai untuk menaruh daging, dengan demikian sekaligus juga diminyaki. Daging itu lalu dipotong-potong dan diberi kepada ayah para mempelai perempuan dan para pemberi jala-jala dan pita-pita dengan menyebutkan nama-nama mereka. Menjelang malam hari gadis-gadis itu memakai tali manik-manik yang ketat yang menjadi penutup aurat dan menerima tongkat penggali yang baru. Mulai sekarang mereka disapa dengan perkataan "wanita yang sudah menikah".<br />Keesokan harinya wanita-wanita muda itu diantar ke luar dari dapur. Orang-orang ramai menertawakan mereka karena cara mereka berjalan yang kaku, akibat pemakaian tutup aurat yang ketat itu. Sekarang orang membuat api baru dengan gesekan, dan lancar atau tidaknya pembuatan api itu akan melambangkan lancar tidaknya jalannya perkawinan yang diselenggarakan itu. Wanita-wanita itu sekarang duduk di dalam dapur sambil bersandar pada dinding dan tidak boleh tertidur supaya jangan memimpikan kematian calon suami mereka. Mereka itu makan banyak daging dan diolesi dengan lemak babi. Selama kejadian-kejadian ini para pria, calon suami mereka, tidak boleh memperlihatkan diri mereka.<br />Keesokan harinya ibu-ibu mengantar mempelai-mempelai wanita ke tempat tinggal suami-suami mereka. Daging, yang terlebih dahulu dipersembahkan kepada leluhur, dibawa ke tempat tinggal itu dan kemudian si suami akan membagi-bagikannya dan makan bersama istrinya. Sebelum orang meninggalkan tempat tinggal itu pemimpin meminta perhatian; dia menggali sebuah lubang dekat pagar dan menaruh sehelai daun di dalamnya. Lalu semua wanita menjatuhkan tunas-tunas ubi ke daiam lubang itu, yang kemudian ditutup kembali. Arti perbuatan itu terkandung di dalam ibarat ini: Seperti halnya tunas-tunas dan daun dipersatukan dan tetap bersatu demikian pula wanita-wanita dipersatukan dengan pria supaya selanjutnya menghasilkan ubi-ubian untuk dia. Seorang wanita yang sudah tua menusuk sepotong bekas gaun anak perempuan pada sepotong kayu yang runcing, setelah potongan kayu itu diolesi dengan lemak babi dan menariknya di antara lutut wanita-wanita muda. Tongkat ini ditegakkan di atas lubang bersama tunas pisang. Maksudnya dengan ini mau mengatakan, bahwa bagi para mempelai wanita masa gadis mereka kini berlalu dan mulailah hidup mereka sebagai ibu rumah tangga.<br />Wanita-wanita sendiri berdiri menunggu dengan jala gen-dongan, seolah-olah mereka sedang menggendong anak dengan jala itu. Sekarang mempelai diarak ke rumah ibu suaminya. Beberapa saat kemudian para pengantar kembali ke rumah. Baru beberapa hari kemudian suaminya datang. Mereka duduk bersama-sama, saling memberi makan dan dengan itu terbukalah peluang untuk adanya hubungan yang intim.<br /><br /> 2.3.1.2. Upacara Kematian <br />a. Upacara kematian masyarakat Tor atau Bgu<br />Masyarakat pantai utara percaya bahwa jiwa orang mati akan (fonggumu/pikiran) melepaskan dari tubuh menjadi roh/kepka secara berangsur-angsur. Dalam proses itu ia masih berada di sekitar rumah tepat tinggalnya. Itulah sebabnya keluarga orang yang meninggal diasingkan dalam rumah supaya tidak menulari masyarakat sekitar dengan nuansa kematian dan kepka dari orang yang meninggal itu. Setelah kepka lepas, maka ia akan pergi kea lam baka yang dipercaya berupa suatu gunung yang bernama gunung Tardongasau. <br /><br />b. Upacara kematian masyarakat Dani<br />Kematian seorang anggota masyarakat suku Dani di lembah Baliem, Jayawijaya, menjadi duka buat anggota masyarakat lainnya. Seperti halnya di daerah lain, perlakuan terhadap jenazah, kerap disikapi dengan cara yang khusus. Menurut adat masyarakat suku Dani, jenazah orang yang meninggal tidak dikuburkan, namun dikremasi atau dibakar dengan upacara adat. Upacara adat ini biasanya berlangsung selama 40 hari, yang dilakukan di halaman Sili, atau unit pemukiman masyarakat suku Dani, di depan Pilamo.<br />Sebelum dibakar famili terdekat memotong jari dan telinga sebagai tanda berkabung, dan nanti dikumpulkan bersama-sama abu jenazah yang dibungkus dengan kulit kayu, kemudian digantung. Pembakaran mayat sampai kini masih berlaku, kecuali mereka yang sudah memeluk agama Kristen tidak melakukan pemotongan jari dan telinga serta penyimpanan abu. Mereka menanam abu jenazah ke dalam lobang yang digali di tempat itu juga dan sekitarnya ditanami bunga-bungaan.<br /><br />Selama upacara adat ini berlangsung, tepatnya sejak kematian seorang anggota masyarakat suku Dani, sejumlah hewan dikorbankan. Biasanya hewan yang dikorbankan ini adalah babi, atau Wam, dalam bahasa setempat. Hewan ini berasal dari hasil ternak keluarga, dan juga sumbangan sanak keluarga lainnya.<br />Dari hewan-hewan yang dikorbankan, bagian ekor dan telinganya dipotong dengan sebilah bambu, yang kemudian ditempatkan di dalam Honai, sebagai simbol dari leluhur, yang ada hubungannya dengan sumber kehidupan, kebudayaan, kesuburan dan keselamatan. Sumbangan yang diterima keluarga yang berduka ini selain babi, adalah Su, atau Noken, tas tradisional dari rumput.<br />Duka menyelimuti keluarga yang ditinggalkan. Hal ini nyata terlihat dari ratap tangis mereka. Tubuh mereka dibaluri dengan tanah liat merah, sebagai tanda duka yang dalam atas berpulangnya orang yang mereka cintai.<br />Sementara jenazah almarhum tengah dikremasi. Minyak babi, atau Wam Amok, menjadi materi yang harus ada dalam upacara adat pembakaran jenazah ini. Tubuh jenazah penuh dilumuri minyak babi, yang menjadi perlambang penghormatan kepada almarhum, dan juga menjadi hiasan sebagai persiapan masuk ke alam baka. Minyak babi juga dipercaya masyarakat setempat sebagai lambang kesuburan, penghapus dan pembersih segala kesalahan almarhum. Selesai dikremasi abu jenazah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam labu yang telah disiapkan. Labu inilah yang akan dimakamkan di tempat khusus, yang dipagari.<br />Menurut kercayaan masyarakat suku Dani, tidak semua anggota masyarakatnya yang meninggal dikremasi. Ada pula yang diawetkan dijadikan mumi. Biasanya hanya orang-orang tertentu yang berhak dimumikan. Seperti orang yang dianggap pahlawan, karena banyak berjasa dalam perang antar suku sepanjang hidupnya. Bisa jadi mereka adalah kepala suku atau panglima perang.<br />Selama ini di Jayawijaya ditemukan 7 mumi. Satu diantarnya masih dipertahankan keluarganya, dalam arti tidak boleh dilihat orang lain. Sejauh ini masih menjadi rahasia, ramuan yang dipakai untuk mengawetkan jenazah. Pengawetan jenazah ini konon dilakukan kurang lebih 3 bulan pertama setelah kematian, secara terus menerus, dan sepanjang prosesi pengawetan ini, dilakukan upacara adat yang sakral.<br />Di lembah Baliem, mumi menjadi perlambang penghormatan, demikian pula dengan serangkaian upacara adat bagi anggota masyarakatnya yang meninggal. Masyarakat lembah Baliem, memperlakukan khusus anggota masyarakatnya yang meninggal. Mengantar almarhum menuju keabadian. <br /><br />2.3.2. Sistem Kemasyarakatan<br />a. Sistem kemasyarakatan masyarakat Tor atau Bgu<br />masyarakat Tor atau Bgu mengenal beberapa tokoh adat diantaranya :<br />1. Dmartemtua atau dmar, tokoh adat ini bertugas memelihara benda-benda suci yang di simpan di dalam nar atau belai-balai keramat dan memimpin upacara-upacara keagamaan yang ada sangkut pautnya dengan pemeliharaan benda-benda suci tersebut.<br />2. Ondowafi, tokoh adat ini tugasnya mengawasi pembukaan tanah ulayat oleh pengembang menyaksikan transaksi tanah atau hutan–hutan sagu dan sebagainya. Ondowafi sering dianggap sebagai ahli adat dalam desa yang terutama mengetahui riwayat semua tanah yang ada di dalam desa tersebut.<br />3. Korano, tokoh adat ini dianggap sebagai orang yang bertugas meneruskan perintah dan instruksi dari pemerintah, tokoh adat ini harus bisa membaca dan berpengalaman berhubungan dengan orang luar. Dlam melaksanakan tugasnya korano dibantu oleh beberapa pejabat lain yang yang secara resmi disebut pamong desa. Biasanya ada seorang wakil korano seorang ondowafi, seorang penulis, beberapa orang mandor, seorang guru agama dan wakilnya atau pinetua.<br />Masyarakat Pantai utara cenderung memiliki sikap individualis dan tidak banyak dijiwai sikap gotong royong karena pada dasarnya sifat dan struktur masyarakat serta hubungan sosial antarmasyarakat tidak banyak membutuhkan sikap gotong royong dan tolong-menolong secara besar-besaran. Hal ini disebabkan oleh kelompok kekerabatan auwet yang merupakan kelompok-kelompok kecil sehingga segala kebutuhan kehidupan masyarakat dapat ditampung dengan system hubungan kekerabatan itu sendiri. <br /><br />b. Sistem kemasyarakatan masyarakat Dani<br />Suku Dani tinggal dalam kelompok-kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam sebuah usilimo/sili. Beberapa sili yang berdekatan biasanya memiliki kedekatan hubungan kekerabatan. Kelompok sili yang terbentuk karena hubungan darah atau yang terbentuk atas dasar persatuan teritorial dan politik membentuk kampung. <br />Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Suku didampingi seorang Panglima Perang. Pentingnya kedudukan Panglima Perang dalam struktur kehidupan masyarakat Dani menunjukkan tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap berbagai gangguan atas ketenteraman yang mereka bina dalam lingkungannya. Ini karena mereka tinggal di daerah hutan dengan tingkat kerawanan yang tinggi. Gangguan itu bisa datang dari binatang buas, bencana alam, atau kelompok manusia lain. Perang (wim abiyokoi) merupakan salah satu wujud tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat hutan Baliem terhadap pelanggaran norma-norma adat suatu suku oleh kelompok lain. Penghargaan yang tinggi terhadap panglima perang yang sudah meninggal dan dipandang berjasa besar diwujudkan dengan mengawetkan jasad mereka dalam bentuk mumi.<br />Batas teritorial<br />Batas teritorial permukiman Suku Dani terbagi atas tiga wilayah. Daerah terluar adalah hutan di bawah “kewenangan pengelolaan” suatu suku. Dalam masyarakat Dani, kaum laki-lakilah yang banyak berhubungan dengan keliaran rimba Baliem. Norma-norma adat yang mengatur pengelolaan hutan di wilayah ini misalnya aturan mengenai binatang yang boleh diburu, kayu yang boleh ditebang untuk membuat rumah, larangan membuang sampah dan kotoran apapun di sungai, dan bagian hutan yang boleh dibuka untuk permukiman dan perladangan baru, biasanya dituangkan dalam bentuk mitos-mitos yang dikaitkan dengan hal-hal mistik. Pelanggaran atas zona pengelolaan oleh pihak asing akan dihadapi laki-laki Dani sehingga dapat mengakibatkan perang suku<br />Batas pengelolaan kedua adalah ladang. Pembukaan hutan menjadi ladang (perubahan hutan liar menjadi lingkungan yang diolah potensinya) adalah tugas kaum pria. Apabila ladang sudah siap ditanami, maka kaum wanita Danilah yang menanam bibit tanaman, seperti hipere (ubi) dan talas. Selanjutnya wanita Dani pula yang memelihara tanaman ladang hingga dapat dipetik hasilnya. <br />Saat ini sayur mayur banyak ditanam di ladang. Hasilnya sebagian dijual para wanita ke pasar. Pada awalnya kegiatan ini tidak berorientasi pada keuntungan ekonomis, melainkan untuk kepentingan sosialisasi saja. Biasanya hasil ladang ditukar dengan babi. Suku Dani adalah masyarakat subsisten yang menggantungkan kehidupannya pada kekayaan yang diberikan alam di sekitarnya. Kegiatan jual-beli hasil ladang merupakan kegiatan baru masyarakat Dani. <br /><br /> <br /><br />Membangun honei adalah tugas para lelaki Dani. Tugas itu mereka kerjakan secara bergotong royong. Tradisi ini masih hidup hingga saat ini.<br />Usilimo/sili merupakan zona inti permukiman Dani, yang dihuni oleh sebuah keluarga. Usilimo terbentuk dari hutan yang sudah dibuka, diolah dan ditata menurut jalinan potensi alam dan sosial budaya lokal Tidak sembarang orang dapat memasuki zona ini. Ini terlihat dari pagar kayu rapat berketinggian 8-12 meter yang mengelilingi usilimo (disebut leget). Satu-satunya pintu masuk adalah mokarai. Mokarai berhadapan langsung dengan honei (rumah) kepala keluarga.<br />Aktifitas-aktifitas berhuni banyak dilakukan di dalam sili. Seperti halnya dalam kegiatan perladangan, pembukaan hutan menjadi sili, membangun rumah (honei) dan fasilitas lainnya, serta penjagaannya dilakukan oleh kaum pria. Kegiatan domestik dan hubungan-hubungan intern keluarga menyangkut kegiatan penumbuh-kembangan generasi, banyak dilakukan oleh kaum ibu yang notabene lebih memiliki kepekaan perasaan dibandingkan kaum pria. Tampaknya leget sebagai penanda fisik yang sangat tegas dan kuat pada usilimo juga merupakan salah satu bentuk kewaspadaan Suku Dani terhadap gangguan pihak asing atas ketenteraman seluruh anggota keluarga. Meskipun sehari-hari para wanita bekerja di ladang di luar batas usilimo, tetapi mereka masih dalam lingkup penjagaan prajurit-prajurit Dani.<br /><br />2.3.3. Sistem Kepercayaan<br />a. Sistem kepercayaan masyarakat Papua sebelum Kedatangan Agama Kristen<br />Sebelum kedatangan Agama Kristen masyarakat Papua pada umumnya menganut animisme dan dinamisme. Hal ini terlihat dari kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat pantai utara seperti kepercayaan terhadap roh leluhur, kepercayaan akan adanya roh baik maupun jahat di hutan, rawa-rawa, laut, dan sungai selain itu mereka percaya akan adanya buaya jadi-jadian, hantu kayu, dan sebagainya.<br />Contoh lain adalah masyarakat Suku Dani yang amat memuja leluhurnya, kerap menyimpan benda-benda yang sarat akan nilai magis, suci dan keramat. Benda seperti batu keramat, atau kaneke, kalung berharga, untaian kerang, yang disebut Jetak Eken, atau Walimo Eken, dan Mikhak, serta jimat pribadi seperti senjata, biasanya disimpan di tempat khusus. Tempat ini biasanya berupa lemari kayu kecil yang ditutup dengan daun-daunan, dan diletakkan di dinding belakang rumah.<br />b. Penyebaran Agama Kristen Protestan dan Katolik serta peningkatan pendidikan<br />Upaya pertama orang Belanda untuk menyebarkan agama Kristen Protestan di Papua sudah dimulai tahun 1855, dan kemudian berpusat di Manokwari tahun 1872. Namun baru pada awal abad ke-2O ada kemajuan yang cukup berarti.Penyebaran agama Kristen Protestan terutama dilakukan di daerah pantai utara Papua oleh Utrechtsche Zen dings vereniging dan kemudian oieh Zending der Nederlands Hervormde Kerk, aktivitas dan Zending der Nederlands Hervormde Kerk itu mula¬mula di Pulau Yapen dan pulau-pulau diTeluk Cenderawasih lainnya, di daerah Kepala Burung bagian barat, diKepulauan Raja Ampat, Pulau Wakde yang berhadapan dengan Sarmi dan dari sana ke seluruh daerah pantai utara dan ke Genyem.<br />Setelah Perang Dunia II jumlah pendeta pribumi mulail bertambah, dan dalam tahun 1956 Gereja Kristen Papua menjadi suatu organisasi yang mandiri. Berbeda dengan daerah Papua bagian utara yang didominasi oleh agama Kristen Protestan, bagian selatanpenyebaran agama Nasrani didominasi oleh para pendeta Katolik. Upaya pertama orang Belanda untuk menyebarkan agama Katolik diawali dalam tahun 1894. Kemudian tahun 1905 organisasi penyebaran agama Katolik yang bernama Misionarissen van het Heilige Hart membuka pusat penyebaran agama di Merauke. Tahun 1936 kegiatan penyebaran agama Katolik juga mulai dilakukan di daerah-daerah bagian utara. Dalam tahun yang sama penyebaran agama Katolik dari Ordo Fransiskan mendirikan pusat penyiaran di Manokwari.<br />Berdampingan dengan peningkatan kegiatan penyebaran agama Kristen Protestan dan Katolik, upaya pendidikan formal dan pelayanan kesehatan pun mulai dikembangkan. Sekolah¬sekolah guru yang pertama didirikan di daerah Teluk Cenderawasih oleh kelompok zending Kristen Protestan, dengan guru-guru yang berasal dan Ambon dan Sangir. Sedangkan kaum terpelajar yang pertama di Irian Jaya memang berasal dan Biak.<br />Pengadaan sekolah-sekolah Katolik dimulai di daerah sekitar Merauke dan daerah suku bangsa Muyu sejak tahun 1923, dan kurang lebih satu dasawarsa kemudian, yaitu dalam tahun 1934, sudah ada 107 sekolah Katolik yang tersebar di Irian Jaya Selatan, di Agats dan Mimika.<br /><br /><br /><br /> <br />2.4. PRODUK BUDAYA<br /><br /> <br /><br />2.4.1. RUMAH ADAT<br />a. HONAI<br />Umumnya yang terjadi dalam masyarakat sebuah rumah diisi oleh ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Mereka berkumpul bersama dan saling berbagi kasih di bawah satu atap. Namun, kelaziman ini justru dipandang asing bagi masyarakat suku Amungme ataupun suku Dani. Mereka tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili. <br />Pada masyarakat komunal, rumah punya dimensi sebagai suatu bentuk kekerabatan kecil. Oleh sebab itu sili terdiri atas beberapa keluarga yang tinggal dalam beberapa honai dan dibatasi oleh pagar yang terbuat dari bilah-bilah papan dengan satu pintu atau gapura. Bangunan-bangunan itu terletak di tepi menempel pada pagar sehingga terdapat tanah lapang di tengah sili yang juga digunakan sebagai tempat bakar batu. Antar-sili bisa berjarak 5 - 15 kilometer. Umumnya dalam satu sili terdiri atas satu pilamo (honai laki-laki), beberapa ebey (honai perempuan), hunu (rumah persegi panjang yang berfungsi sebagai dapur), wamai (kandang babi), dan kadang-kadang pilamo adat sebagai tempat menyimpan apwarek (benda-benda keramat).<br />Honai, bangunan berbentuk silinder diperuntukkan sebagai tempat ngeriung (di lantai bawah) dan tidur (di lantai atas). Berpintu satu dan memiliki perapian di tengah-tengah sebagai penghangat ruangan. Baik lantai atas maupun bawah ketinggiannya tidak sampai setinggi orang sehingga penghuni dewasa harus berjalan dengan membungkuk. Untuk menuju lantai atas disediakan tangga. Satu-satunya penerangan hanyalah bara perapian<br />.<br />Pilamo letaknya berhadapan langsung dengan gapura sili. Honai ini merupakan bangunan terbesar dalam sebuah sili. Penghuninya adalah para lelaki dewasa. Anak-anak masih tinggal di honai perempuan, bercampur dengan ibu mereka. Seperangkat senjata diletakkan di depan pintu.<br />Ebey bentuknya lebih kecil dibandingkan dengan pilamo, letaknya di kiri-kanan pilamo dan berhadapan langsung dengan hunu. Penghuninya para wanita dan anak-anak yang masih bergantung kepada asuhan ibunya.<br />Honai adat tidak selalu ada di setiap sili. Bangunan pelengkap ini berfungsi sebagai tempat menyimpan apwarek milik suku atau sub suku penghuni sili. Apwarek ini bisa berupa potongan rambut, jari, telinga, ataupun senjata yang menyebabkan meninggalnya salah seorang kerabat dalam suatu perang suku. Letaknya berdekatan dengan honai laki-laki, umumnya di samping agak menjorok ke halaman.<br />Bentuk bulat honai dimaksudkan untuk menahan terpaan angin yang kencang dan gempa yang sering menimpa daerah Jayawijaya.<br /><br /><br />b. KARIWARI<br /><br />Rumah adat Kariwari merupakan bangunan di atas tiang, karena dibangun di atas danau. Konstruksi bangunannya sangat sederhana, hanya mempergunakan tali-tali pengikat dari rotan dan aslinya atap terbuat dari kulit pohon nibung. Bentuk atap adalah limas bersegi banyak, biasanya bersegi 8 dan biasanya di bagian atas terdapat keratan. Besar kecilnya bangunan tergantung pada pengaruh ondoafi atau kepala adat yang bersangkutan. <br />Bangunan rumah terdiri dari 2 lantai atau tiga lantai, yang masing-masing mempunyai fungsi sebagai berikut: <br />• Lantai Pertama : Untuk tempat musyawarah yang dipimpin oleh kepala adat atau ondoafi. Selain itu juga sebagi tempat untuk melatih mental maupun fisik para pemuda yang menginjak dewasa, dan dianggap sudah mampu berperang. Mereka diberi pelajaran untuk hidup sesuai adat yang berlaku, serta kuat mental. Di tengah rumah terdapat tiang bergantung ke atas yang berfungsi untuk mengantungkan benda-benda suci untuk upacara menyembah roh-roh halus. Juga digantung tengkorak manusia yang dibunuh pada waktu perang suku. Pemuda yang menginjak dewasa diharuskan tinggal di bangunan ini untuk beberapa waktu, sebaliknya wanita dan anak dilarang memasuki bangunan ini. <br />• Lantai Kedua : Dipergunakan untuk tempat bermusyawarah yang bersifat rahasia, dimana orang-orang tertentu saja yang ikut dalam musyawarah. <br />• Lantai Teratas : Dipergunakan untuk penyimpanan pusaka-pusaka yang paling keramat seperti seruling suci, kelambut, patung, kendi pusaka dan karang pusaka.<br />Seluruh ruangan Kariwari diberi ragam hias berupa lukisan-lukisan serta ukiran-ukiran maupun patung-patung. Selain itu, juga digantungkan benda-benda seperti tengkorak dan rahang babi, kanguru, punggung penyu, taring-taring babi, busur dan anak panah, gelang-gelang rotan dan kayu besar yang berukir disebut TOR yakni tongkat pemukul lesung pada waktu menari. Patung manusia berupa dua patung pria dengan alat kelamin, dan patung-patung lainnya berupa patung-patung binatang tertentu seperti ikan buaya, burung dan babi. Patung-patung yang ada di dalam ruangan Kariwari melambangkan nenek moyang, dan sekaligus sebagai alat untuk mendatangkan roh nenek moyang pada waktu upacara pemujaan. Karena itu pada patung ini dipahatkan pula apa yang menjadi kesenangan nenek moyang sehingga roh tersebut akan datang dan masuk ke dalam patung tersebut. Jadi patung ini disembah karena di dalamnya ada roh nenek moyang. Sedangkan ukiran-ukiran maupun lukisan-lukisan selalu berhubungan dengan kepercayaan dan ceritera, mitos tentang asal mula penduduk Irian Jaya, misalnya mitos tentang udara dan rubis yakni bapak dan ibu yang cantik. <br />Di muka bangunan Kariwari terdapat sebidang para-para terbuat dari kayu bulat, dipergunakan untuk rapat atau pertemuan yang berhubungan dengan adat, juga pesta-pesta adat diselenggarakan disini.<br /><br />2.4.2. BUSANA TRADISIONAL<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Pakaian tradisional pria Pakaian tradisional wanita<br /><br /><br /><br /><br />Busana tradisional masyarakat Papua dibagi menjadi 2:<br />a. Busana Tradisional Asmat<br />Wilayah pantai (Selatan) Irian Jaya didiami sukubangsa Muyu, Marind, Asmat, dan Mimika. Suku bangsa Asmat adalah suku bangsa terbesar di antara suku-suku bangsa lainnya di bagian selatan Irian, bahkan di kawasan propinsi Irian Jaya. Mereka bermukim di daerah rawa yang sangat luas. Daerah persebarannya meliputi Kecamatan Agats, Sawa Erma, Atsy, dan Pantai Kasuari. Seperti halnya sukusuku bangsa lainnya, masyarakat Asmat merancang dan mengembangkan berbagai jenis busana dan tata rias untuk dipakai sehari-hari maupun untuk keperluan upacara adat.<br />Jenis atau ragam busana Asmat tidaklah banyak. Sejauh ini yang ditemukan hanya yang berupa "rok mini" dan cawat sebagai penutup aurat kaum lelaki dan perempuan. Laki-laki Asmat biasanya memakai pummi semacam rok mini yang dibuat dari anyaman daun sagu. Rumbai-rumbai pummi dilepas begitu saja hingga terurai di sekeliling pinggul dan paha. Penahan pummi adalah asenem, ikat pinggang dari anyaman rotan. Sedangkan kaum perempuannya memakai tok, semacam cawat atau celana dalam. Tok adalah pummi yang rumbai-rumbai bagian depannya dikumpulkan lalu ditarik ke bagian belakang pinggul melalui celah paha sehingga menyerupai cawat. Untuk menutup payudara, wanita Asmat membuat semacam kutang dari anyaman daun sagu muda yang disebut peni atau samsur. Tali pengikatnya dibuat dari akar pandan, disebut tali bow. Dan peni, dahulu, hanya dipakai oleh istri panglima perang. <br />Busana dan tata rias yang dikenakan juga menunjukkan status sosial maupun jenis kelamin. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin banyak ragam rias yang dikenakannya, dan masing-masing aksesori itu memiliki makna simbolik. <br />Rambut orang Asmat pada umumnya keriting atau bergelombang. Ketika menginginkan rambutnya nampak lurus, mereka menjalinnya hingga bisa "berdiri". Menjalin rambut ini disebut wi atau owusapor dan biasanya dilakukan pria remaja. Pada rambut diselipkan hiasan yang disebut sokmet, bulu bangau yang diikatkan pada lidi, panjangnya kira-kira 30 cm. Hingga sekarang, sokmet masih dipakai pria Asmat, tanpa membedakan status sosial, terutama ketika mereka berada di dalam jew (rumah panjang). <br />Masyarakat Asmat juga menciptakan semacam topi berbentuk kopiyah/peci/songkok yang terbuka bagian atasnya yang dibuat dari bulu kuskus. Topi ini disebut juprew, biasanya diimbuh hiasan beberapa tangkai sokmet. Ada juga penutup kepala yang dibuat dari anyaman daun sagu dan akar kayu. Topi ini disebut kasuomer dan kerap dihiasi bitwan (kulit kerang). Tali penahan agar kasuomer tidak jatuh dibuat dari jalinan daun sagu muda, disebut wisaper, yang supaya nampak indah dihias bulu burung cendrawasih (jabopan). <br />Aksesori lainnya yang sangat khas adalah subang penghias telinga, subang penghias hidung, kalung, dan gelang yang dipakai pada lengan, pergelangan tangan, dan pangkal betis. Subang penghias telinga disebut jemcankan yang dibuat dari kayu fum atau dari semacam manik-manik biji tumbuhan dek atau omdu atau tisen. <br />Masyarakat Asmat, pun kebanyakan masyarakat asli Irian Jaya, konon, sangat mengagumi burung kakatua raja lantaran satwa ini nampak elok dan gagah. Maka untuk bisa tampil segagah burung yang elok itu mereka, terutama kaum lelaki, melubangi cuping tengah hidung mereka dan "menyumpalnya" dengan aksesori berupa benda yang terkadang berukuran lebih besar daripada lubang hidung, agar ujung hidung tertarik sehingga mancung dan melengkung seperti paruh kakatua raja. Kaum wanita Asmat, terutama istri panglima perang dan para tetua adat, menggunakan gulungan daun sagu atau daun nipah yang disebut bi awok sebagai penghias hidung mereka. Sedangkan para lelaki memakai bipane, aksesori yang dibuat dari kulit siput/ kerang yang dibentuk mirip bulan sabit atau ada juga yang menyerupai misai panjang gergulung. Bipane biasanya dipakai oleh panglima perang, pemukul tifa, penyanyi, dan kepala-kepala tungku (kepala keluarga luas).<br />Sebagai kalung, terutama saat melaksanakan upacara adat, kaum wanita dan lelaki Asmat memakai tisen pe, yang dibuat dari biji tumbuhan tisen. Atau pomak camkan yang dibuat dari anyaman daun sagu muda yang biasa dipakai saat pesta ulat sagu dan upacara patung mbis (patung leluhur). Kalung lainnya adalah juwursis (juwur = anjing), untaian gigi taring anjing yang dikombinasikan dengan taring babi hutan. Juwursis biasanya dipakai oleh panglima perang, pemimpin tungku (keluarga luas), penyanyi, dan pemukul tifa. Pada kebudayaan Asmat, juwursis merupakan benda yang bernilai tinggi, sehingga seringkali digunakan sebagai mas kawin seperti halnya kapak batu.<br />Sof betan atau sinenke adalah gelang untuk pangkal lengan dari anyaman rotan. Yang dikenakan pada pergelangan tangan, dari bahan yang sama, disebut betan. Sedangkan yang dipakai pada pangkal lutut dinamakan barok, dan diberi hiasan bulu burung kakatua atau burung bangau yang disebut panicep solme. Dulunya barok hanya dipakai oleh panglima perang, tapi sekarang dipakai juga oleh para tetua adat. Ada pula o effo yakni ekor babi hutan yang dililitkan di bagian pangkal tangan. Wanita yang mengenakan benda ini adalah istri dari orang yang gemar berburu babi hutan. 0 effo juga dipakai sebagai cerminan perasaan sukacita, sehingga bila saat berduka benda ini tidak ditampilkan. Ekor babi untuk o effo harus berasal dari babi hutan yang terkena perangkap (siso), bukan hasil buruan dengan bantuan anjing atau tombak. <br />Benda pakai yang juga kerap dijadikan pelengkap penampilan adalah noken, sejenis tas yang disandang di leher laki-laki atau di kening perempuan. Noken dibuat dari anyaman daun pandan dan pada salah satu sisinya diberi hiasan bulu sayap burung kakak tua atau bulu sayap burung bangau. Noken yang polos tanpa hiasan dipakai oleh wanita dan laki-laki kebanyakan sedangkan yang dibubuhi hiasan, biasanya dipakai oleh panglima perang, kepala adat, pemukul tifa, dan penyanyi pengiring upacara. <br />Sebagai masyarakat peramu yang hidup dari berburu, masyarakat Asmat, dituntut untuk mahir menggunakan senjata: pisau, panah, dan tombak. Begitu pentingnya fungsi senjata-bagi lelaki Asmat sehingga bukan hanya dipakai sebagai peralatan berburu belaka tapi juga sebagai alat pelengkap penampilan agar nampak berwibawa. Senjata yang hampir selalu disandang sebagai aksesori pada pelbagai upacara adat ialah pisuwe, semacam pisau belati dibuat dari tulang kering burung kasuari yang salah satu ujungnya diruncingkan dan pangkalnya dihias oleh bulu-bulu halus burung kasuari. Senjata ini diselipkan pada sinenke, dan biasanya disandang oleh panglima perang.<br />Senjata lainnya adalah tombak. Masyarakat Asmat mengenal beberapa jenis tombak dan masingmasing dinamai sesuai dengan bahannya. Tombak yang pertama kali digunakan dibuat dari kayu nibung yang dinamai ocan atau kamen. Tombak kayu besi dinamai viwu, dan tombak logam besi disebut frin. Ada juga jenis tombak khusus untuk berburu buaya, disebut vom. Kemudian panah yang disebut ces atau jimar. Busurnya dibuat dari jenis kayu bakau, panjangnya sekitar 1,5 meter. Anak panahnya agak beragam, yang dibuat dari kayu keras disebut fir, sowen, fum, dari bambu dinamai firokom, yang dari besi dikenal sebagai sok. <br />Dan, yang tak boleh dilupakan adalah wasse mbi, yakni rias tubuh berupa gambar corak hias garis sejajar atau liris yang sangat ekspresif di sekujur tubuh terutama saat melaksanakan upacara adat. Komposisi warna merah, putih, hitam, dan hijau tampil kuat pada latar kulit yang hitam berkilat. Warna merah berasal dari tanah merah yang diperoleh dari pegunungan Lorentz. Warna putih didapat dengan cara membakar kulit siput, kemudian ditumbuk hingga halus dan dicampur dengan air. Warna hitam dari arang pembakaran, sedangkan warna hijau dari dedaunan.<br /><br />b. Busana Tradisional Masyarakat Dani<br />Istilah "Dani" digunakan oleh ekspedisi Sterling tahun 1926, sedangkan sebelumnya disebut "Ndani". Istilah "Ndani" berasal dari kata "Lani" yang digunakan oleh penduduk lembah Baliem Utara dan Barat, yakni masyarakat Moni dan Damal untuk menunjukkan suku tetangganya (masyarakat Dani). Secara etnis masyarakat Dani dikenal dalam dua kelompok yaitu Wita dan Waya. Masyarakat Dani sendiri menamakan dirinya "Nit Baliemege", artinya "Kami orang Baliem". <br /><br /><br /><br />Busana Adat Masyarakat Dani <br />Ada beberapa jenis busana dan tata rias Masyarakat Dani yang sangat khas bila dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya di Irian Jaya, di antaranya koteka (holim), yokal dan sali. <br />• Koteka (Holim)<br /> <br />Koteka atau disebut juga holim adalah pakaian laki-laki masyarakat Dani dan Ekari. Busana penutup alat kelamin pria ini dibuat dari kalabasah, sejenis labu Cina. Buah labu yang sudah tua, dipetik lalu dikeringkan di perapian. Setelah kering, isi buah labu dikeluarkan, dikorek dengan kayu yang diruncingkan, kemudian dibersihkan. Setelah itu buah labu kembali dikeringkan di sekitar perapian. Ketika dikenakan, agar tidak jatuh, penutup kelamin pria ini diikatkan ke seputar pinggang dengan tali halus yang biasanya berwarna hitam. Ada dua ukuran koteka yakni holim kecil (halus) dan holim pendek besar. <br />Jenis koteka kecil terdapat di daerah lembah Baliem, terutama di Kecamatan Wamena Kota, Kecamatan Asologaima dan Kecamatan Kurulu. Ukuran bagian bawahnya sedang dan atasnya runcing. Kadang-kadang bagian ujungnya diberi hiasan bulu burung atau bulu ayam hutan. Hiasan itu untuk menimbulkan daya tarik bagi kaum perempuan. Jenis holim ini halus, berwarna kuning kemerah-merahan. <br />Sebagian masyarakat Dani mengenakan koteka yang ukurannya pendek dan besar. Kalabasah yang berdiameter relatif besar itu dipotong hampir setengahnya sehingga ujungnya bolong (terbuka) yang ketika dipakai biasanya bolong itu ditutup dengan daun. Banyak kemudian yang menambahkan semacam sekat di antara pangkal dan ujung "selongsong" koteka bolong itu untuk tempat menyimpan benda-benda yang dianggap keramat atau bendabenda yang dianggap bernilai tinggi, misalnya "uang merah" (eka merah). Sedangkan jenis holim besar terdapat di lembah Baliem, Ilaga, Tiom, Yalimo, Apalahapsili, Welarak, Kosarek, dan Oholim. <br />Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya koteka, menandakan bahwa pemakainya adalah "pria sejati". Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka, belum pernah melakukan persebadanan. Miring ke samping kanan: simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. "Kanan" menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memimpin, dan pengayom rakyat. Miring ke samping kiri: bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur). <br />Holim sebagai pakaian sehari-hari digunakan dalam seluruh kegiatan keseharian, seperti waktu mengerjakan ladang, saat berada di honai, ketika berternak babi. Dalam perkembangannya fungsi dan kegunaan holim mulai digantikan dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari tekstil. Namun dalam kegiatan tertentu, upacara adat misalnya, mereka menggunakan holim sebagai pakaian adat sekaligus sebagai perlengkapan upacara. <br />• Yokal<br />Sejenis rok wanita masyarakat Dani yang dibuat dari serat tali hutan (tumbuhan rambat) yang dipintal dengan rapi, disebut yokal. Biasanya yokal berwarna hitam, kuning, dan kemerah-merahan. Bahan pewarna tersebut didapat dari getah kulit atau bunga anggrek. Yokal biasanya dikenakan oleh wanita dewasa yang sudah menikah. <br />Yokal digunakan sehari-hari untuk melakukan pelbagai pekerjaan, seperti mengerjakan kebun, menyiapkan makanan, memelihara babi, mengasuh anak, menjual hasil pertanian, bepergian, termasuk saat mengikuti upacara adat. Yokal melambangkan wanita pemakainya sudah tidak gadis lagi atau wanita yang telah menikah. <br />Yokal dibuat dari kulit kayu wam. Kulit kayu tersebut dikelupas dari batangnya, diambil seratnya kemudian dikeringkan pada perapian atau dijemur pada panas matahari. Selanjutnya dipintal dan dirajut menjadi rok. Diwarnai dengan getah kulit atau bunga anggrek. Pekerjaan ini biasanya dilakukan wanita dewasa.<br /><br />• Sali<br />Pakaian sehari-hari anak gadis masyarakat Dani adalah sali yang dibuat dari bahan serat kem atau dari sejenis daun pandan. Seperti proses membuat yokal, bahan tersebut dijemur atau diasapi, setelah kering dianyam pada seutas tali sepanjang seputar pinggang. Sali dipakai dengan cara melilitkannya ke seputar pinggang dan menyimpulkan kedua ujung tali penahannya pada bagian perut (pusar). Sali dipakai sehari-hari oleh anak gadis, misalnya saat ke ladang, ke sekolah, ke gereja. Sali mengisyaratkan pemakainya masih gadis.<br /><br />Tata Rias Masyarakat Dani <br />Yang lebih banyak merias diri pada masyarakat Dani adalah kaum laki-laki. Pada tubuh para lelaki nampak lebih banyak aksesori ketimbang yang dikenakan para perempuan. Konon, karena para lelakilah yang lebih kerap tampil ketika harus berinteraksi dengan masyarakat di luar kelompoknya. Oleh karena itu aksesori yang digunakan mengandung makna simbolik sekaligus menunjukkan identitas pemakai maupun masyarakatnya. <br />Aksesori yang dikenakan para wanita Dani, sehari-hari atau saat upacara adat, antara lain: sekan yaitu gelang yang dibuat dari rotan, dikenakan pada lengan maupun pergelangan tangan. Noken (su labak yapma) yaitu sejenis tas dibuat dari serat kulit kayu yang dianyam menyerupai karung. Biasanya seorang wanita Dani mengenakan sejumlah noken yang digantungkan pada kening dan berjuntai ke punggungnya hingga menutup bagian pinggul. Selain sebagai aksesori, noken berfungsi untuk menyimpan dan mengangkut bahan makanan, gendongan bayi, juga untuk membawa babi. Sedemikian besar fungsinya, sehingga seorang wanita Dani biasanya membawa beberapa noken dengan isi yang berlainan. Noken juga dipercaya sebagai simbol kehidupan dan kesuburan. <br />Perlengkapan merias diri kaum lelaki masyarakat Dani yang dikenakan saat upacara dan aktivitas sehari-hari lainnya, antara lain: swesi, sejenis topi berbentuk bulat dibuat dari bulu burung. Siluki inon, topi dari bulu kuskus warna hitam, yang melambangkan kemahiran berburu dan keberanian. Sekan, gelang anyaman rotan yang dipakai pada lengan maupun pergelangan tangan. Walimo yaitu hiasan dada, dibuat dari anyaman serat kulit kayu yang ketika dikenakan akan nampak seperti dasi. Pada sepenuh permukaan walimo ditempelkan, berderet-deret dan disusun rapi, puluhan rumah siput kecil yang dianggap mampu mendatangkan kekuatan gaib. Benda laut ini didatangkan ke daerah pegunungan melalui sistem barter. Wam maik adalah aksesori dengan bahan taring babi. Dibuat berupa untaian sebagai kalung, atau dibentuk menjadi pipih dan diselipkan pada cuping hidung bagian tengah yang dilubangi sehingga mirip seperti misai panjang. Akseori ini biasanya warisan turun-temurun dari nenek moyang. Ngisi adalah rambut yang dianyam rapi dan dilumuri dengan lemak babi. Ngisi mengisyaratkan pemuda yang telah siap untuk menikah. Wali moken sebutan untuk kulit kerang yang diikat hingga seolah menempel pada dahi seorang laki-laki. Banyaknya kulit kerang menunjukkan jumlah musuh yang dibunuhnya dalam perang suku. Cipat, kalung berupa tali penangkal guna-guna. Wayeske, anak panah dan busur, senjata ampuh pria sejati Dani. Mul, semacam "baju besi" dibuat dari serat rotan yang dianyam rapat sehingga berfungsi sebagai perisai dari tusukan anak panah dan tombak. Sege adalah tombak panjang yang melambangkan pria sejati.<br /><br />2.4.3. TARIAN ADAT<br />Lewat tarian upaya menumbuhkembangkan semangat nasionalisme dan kebangsaan dapat dilakukan yang juga merupakan suatu bentuk keseriusan mempertahankan nilai - nilai kultural dan budaya masyarakat di tengah gencarnya arus globalisasi saat ini. Papua memiliki beberapa tarian adat, diantaranya:<br />a. Tarian Yosim Pancar atau Yospan<br />Yospan merupakan salah satu tarian adat irian jaya, yospan juga merupakan tarian adat yang sering dipakai dalam kondisi-kondisi penting. yospan juga merupakan tarian persahabatan masyarakat papua. Dalam pementasan yosim, yang berasal dari Yapen-Waropen, para penari juga mengajak serta warga lainnya untuk hanyut dalam lagu-lagu yang dibawakan kelompok penyanyi berikut pemegang perangkat musiknya. <br />Perangkat musik yang digunakan sangat sederhana, terdiri dari cuku lele dan gitar yang merupakan alat musik dari luar Papua. Juga ada alat yang berfungsi sebagai bas dengan tiga tali. Talinya biasa dibuat dari lintingan serat sejenis daun pandan yang banyak ditemui di hutan-hutan daerah pesisir Papua. <br />Selain itu, ada alat musik yang disebut kalabasa. Alat ini terbuat dari labu yang dikeringkan kemudian diisi dengan manik atau batu kecil.<br /> <br /><br />b. Tarian Perang<br />Tarian perang sering digunakan apabila ada upacara-upacara adat tertentu. Dalam tarian ini, para penari membawa senjata busur dan anak panah. Tubuh penari laki-laki dirias dengan relief fas-fas karerin (lukisan relief) asal wilayah kebudayaan Teluk Sarera. Wajahnya dirias dengan kapur putih dan ramuan alam berwarna merah. Sementara penari wanita mengenakan rok rumput yang terbuat dari umbut daun-daun rumbia (sagu).<br />Penari pria memperagakan penculik gadis yang bersama-sama teman-teman tengah berada di ladang umbi jalar. Kabar pun tersiar ke desa. Lalu, datanglah bala bantuan menyerang suku kelompok pria. <br />Mereka saling melepaskan panah dan banyak jatuh korban. Mereka ingin anak gadisnya dikembalikan. Tapi tak kunjung tiba. Akhirnya lahir penyesalan dan pimpinan kepala suku yang dalam bahasa Mee disebut Tonowi bersepakat untuk berdamai.<br />Gerakan tari yang hanya bertumpuh pada kaki, pekikan histeris diiringi tabuhan tifa (gendang), iringan gitar dan tiupan Tabura (alat musik dari kerang laut).<br />Tari perang itu, kata Ketua Dewan Kesenian Nabire, Agust Totago sebenarnya kisah tentang kepala suku (Tonowi-bahasa Ekari) yang saling mempertahankan harkat dan martabat kaum perempuan. Perang selalu mengakibatkan jatuh korban. Penyesalan terjadi dan diakhiri dengan pesta bakar batu. Di saat itu, ribuan ternak babi harus disembelih untuk dimasak dan makan bersama. Perang usai dan kehidupan kembali penuh damai dan persaudaraan. <br />c. Tarian Gatsi<br />Tarian gatsi adalah tarian adat suku marind yang merupakan suku asli kota merauke. tarian ini biasanya digunakan pada acara-acara tertentu seperti upacara-upacara adat maupun acara-acara penting lainnya. Alat yang biasanya dipakai megiringi tarian ini adalah Tifa, Jukulele. <br />d. Tarian Lemon Nipis<br />Tarian Lemon Nipis adalah tarian pergaulan yang terdapat di daerah Sami dan sekitarnya hingga ke Jayapura.<br />e. Sekise<br />Di kawasan pegunungan tengah Papua, seperti di daerah Wamena dan sekitarnya, ada pula yang disebut Sekise yang juga merupakan tarian pergaulan di Papua.<br />f. Tari Ular<br /><br />Tari Ular adalah tarian yang dilakukan oleh warga Pigapu yang merupakan penghormatan -- bukan pemujaan -- terhadap leluhur yang menurunkan sejarah asal-usul warga Pigapu. Oleh karena itu, masyarakat Pigapu menganggap tarian ini sakral dan keramat. Banyak syarat yang diberlakukan di sepanjang proses berlangsungnya pergelaran tari ini. Termasuk di antaranya tidak sembarang orang boleh turut ambil bagian dalam kegiatan tertentu pada proses awal hingga berakhirnya tarian ini.<br />Mengapa ular yang dipilih? <br />Hal ini karena dahulu ada leluhur orang Pigapu bernama Mapuru Puau. Pada masa kecilnya, kehidupan Mapuru Puau sungguh menyedihkan. Ia kerap kelaparan dan untuk makan harus menunggu belas kasihan orang lain. Untunglah banyak warga desanya yang menyayangi Mapuru Puau.<br />Tanpa menyebutkan keadaan hidupnya saat beranjak remaja dan dewasa, kisah hidup Mapuru Puau lalu melompat ke saat ia telah beristri. Seperti keluarga-keluarga Komoro lainnya, Mapuru Puau dan istrinya kerap pergi ke hutan untuk memangkur sagu. Suatu hari ketika keduanya sedang memangkur sagu, Mapuru Puau terpisah dari istrinya karena ia ditangkap oleh seekor ular yang amat besar. Ular itu melilit tubuhnya. Sang ular berjanji akan melepaskan lilitannya bila Mapuru Puau bersedia tidak menyantap suatu jenis ikan seumur hidupnya. <br />Mapuru Puau akhirnya dibebaskan oleh ular dan kembali ke istri dan kampungnya. Namun sayang, suatu kali ia lupa akan janjinya kepada ular dan melanggar pantangan tersebut. Akibatnya ia pun meninggal.<br />Menurut kepala suku masyarakat Komoro di Pigapu, Yohannes Mapareyau, Mapuru sebetulnya tidak meninggal melainkan menghilang di suatu tempat yang kini persisnya berada di tepi jalan aspal yang menghubungkan Mapuru Jaya dan Timika. Lokasinya ditandai dengan undak-undakan semen dari tepi jalan tersebut. <br />Di tempat sejarah -- begitu tempat hilangnya Mapuru Puau ini biasa disebut -- itulah Yohanes datang menghadap leluhurnya. Ia meminta izin dan memohon keselamatan kepada leluhur agar Tari Ular yang digelar tiga hari lagi berlangsung lancar tanpa aral melintang. Yohannes menyampaikan permohonannya dengan suara lantang kepada Mapuru Puau yang diyakini berada di suatu tempat di hutan di seberang kali yang ada di hadapannya.<br />Prosesi yang dilakukan keesokan harinya adalah mencari kayu untuk patung ular yang akan dibawa dalam tarian. Mereka yang boleh mengambil kayu dan mengukirnya hanyalah orang-orang yang dipercaya sebagai pemegang adat. Dalam hal ini, pemegang adat adalah keturunan langsung Mapuru Puau. Bila hal ini dilanggar, pelakunya bisa jatuh sakit atau mengalami kesusahan dalam hidupnya. Rombongan pencari kayu patung pada hari itu dipimpin oleh Liborius yang mengaku sebagai keturunan ke-12 Mapuru Puau.<br />Lokasi pohon yang dituju tidak jauh, masih di wilayah hutan Pigapu sendiri. Kayu yang akan diambil adalah Kaukurako, sejenis kayu ringan yang berwarna putih. Sebelum Liborius menebang, ia meletakkan tembakau dan daun sirih sebagai semacam persembahan bagi leluhur. Dengan suara lirih, ia menjelaskan maksud kedatangannya kali itu. Dari pohon setinggi kurang lebih 10 meter, kayu yang diambil untuk patung hanya sekitar 1,5 meter saja.<br /><br />Merakit ular<br />Pengukiran kayu menjadi patung ular kali ini berlangsung di rumah panggung besar, tempat pusat kegiatan Kamoro Kakuru biasa berlangsung. Saat patung ular itu dibuat, masyarakat diizinkan menyaksikannya. Bahkan pada saat bersamaan, di rumah panggung itu, sejumlah pengukir Komoro di Pigapu mempertunjukkan keahlian mengukir mereka. Kanisius Tarsisius Maneyau membuat perisai sementara Yosep Moyap membuat tongkat. Di sisi lain, istri Yosep, Pan Gratia, asyik menganyam tikar.<br />Liborius membentuk kepala ular dengan bantuan adik dan keponakan-keponakannya. Mereka saling berbagi tugas. Ada yang memotong-motong kawat (dari jeruji payung rusak) untuk gigi, mengeluarkan bubuk elektrolit hitam dari batu baterai untuk mewarnai tubuh ular, ada pula yang memotong bagian positif baterai untuk dijadikan mata sang ular. <br />Di sisi lain, tampak kesibukan orang-orang yang menjahit dan menyambung karung-karung plastik. Karung ini akan dibentuk menjadi selongsong tubuh ular setelah diisi dengan serpihan kayu gergajian.<br />Bila bagian-bagian tubuh ular bisa dipasang atau dirakit beberapa hari sebelum tarian dipertunjukkan, tidak demikian halnya dengan bagian mata ular. Bagian ini justru dipasang paling akhir, beberapa saat menjelang pergelaran tari. "Mata melambangkan kehidupan," jelas Liborius. Ketika mata dipasang ke patung ular, roh ular itu diyakini akan hidup dan mengikuti warga. <br />Karena tarian baru digelar dua hari kemudian, patung ular tanpa mata ini disimpan lebih dulu. Penyimpanan dilakukan oleh pemegang adat saja.<br /><br /><br /><br /><br />Hari keramaian<br />Pergelaran tarian khusus atau ritual tertentu merupakan salah satu saat bagi warga setempat untuk mengenakan pakaian-pakaian tradisional serta hiasan khas mereka. Bukan saja para penari yang hadir di tempat acara melainkan juga warga yang sekadar menonton. Di berbagai penjuru dekat lokasi rumah besar, tampak sejumlah warga masih asyik menghias diri. Kaum perempuan berkumpul dengan sesamanya, begitu pula dengan kaum lelaki. Satu sama lain tak segan saling membantu rekannya berhias. <br />Jangan bayangkan aksesori mereka diperoleh dari tempat-tempat khusus. Bahan-bahan aksesori itu justru bisa didapatkan dengan mudah dari alam di sekitar mereka. Mereka sama sekali tidak perlu membelinya, dan mampu membuat sendiri semuanya. <br />Hiasan kepala dari bulu burung kasuari dan cendrawasih, misalnya, berasal dari burung yang berhasil mereka tangkap sendiri. Hiasan lainnya berupa kain aneka corak yang digunakan sebagai hiasan cawat, cawat/bawahan dari daun sagu yang telah dikeringkan, serta janur daun sagu yang dililitkan di kepala, tangan maupun kaki. Tak ketinggalan, sajah dan bagian tubuh lainnya dilumuri kapur putih dan tanah merah. Tidak ada arti khusus dari hiasan-hiasan tersebut.<br />Untuk kaum perempuan, mereka tak lupa memanfaatkan bunga warna cerah yang ditemui di tepi jalan saat menuju lokasi tarian. Warna merah bunga sepatu ini tampak kontras saat menjadi hiasan di rambut mereka.<br />Sebelumnya, sebagai tanda di situ ada acara, seseorang meniup sepotong buluh yang mengeluarkan suara lenguhan keras. Mbiti, demikian nama alat itu, memang serbaguna. Selain mengundang kehadiran warga, mbiti kerap dipakai orang-orang yang pergi ke hutan untuk memanggil anggota keluarga mereka pulang karena sore telah tiba. <br />Sesaat menjelang tarian, Liborius memasuki kamar penyimpanan patung ular untuk memasangkan bagian matanya. Di luar rumah panggung, tifa ditabuh bertalu-talu diiringi pekikan berirama. Kaum perempuan mulai mendekati lokasi sambil menari. Kedua kaki mereka digerakkan ke kiri ke kanan sesuai irama tifa.<br />Saat ular dikeluarkan, sosoknya sekilas seperti hidup. Warna hitam sisiknya terlihat begitu mengilat. Lidah merah yang terbuat dari pita plastik merah tampak menjulur dari mulut ular. Suasana berubah senyap. Bahkan sayup-sayup terdengar suara perempuan menangis. "Dia teringat pada penderitaan Mapuru Puau saat tersiksa oleh belitan ular," bisik Yohannes saat melihat warganya sedang mengucurkan air mata itu. <br />Hanya pemegang adat yang boleh membawa ular tersebut. Selanjutnya, tarian ular yang digelar menggambarkan sejarah orang Pigapu.<br />Orang Pigapu meyakini merekalah pemilik sejarah terbesar dan, terlengkap mengenai asal-usul mereka. Meski demikian, pada kunjungan ke Desa Kaugapu di Kecamatan Mapuru Jaya beberapa hari sebelumnya, kami menemukan adanya keyakinan serupa bahwa warga desa itu juga keturunan Mapuru Puau.<br />Setelah tarian selesai dipertontonkan, ular itu disimpan kembali. Menurut adat orang Pigapu, patung ular yang pernah dimainkan tidak boleh disimpan selamanya. Tubuh ular kemudian dipreteli hingga sosoknya sebagai ular tak bersisa lagi. <br />Keesokan harinya, Liborius datang mengambil ular, mengambil matanya lalu menguburkan tak jauh dari tempat acara tarian dipergelarkan kemarin. Tak lupa ia kembali memasukkan tembakau bersama potongan tubuh ular sebelum menguburnya. Ia kemudian membaca doa pengantar roh supaya kembali ke rumahnya semula di tempat sejarah.<br /><br />2.4.4. UKIRAN ASMAT<br /><br />Asmat terkenal dengan seni ukirnya baik didalam negeri maupun diluar negeri. Ukiran Asmat mempunyai arti tersendiri karena simbol ukiran mengandung motip-motip yang menggambarkan rupa manusia. Disamping itu fungsi simbol dikatikan dengan kepercayaan roh-roh nenek moyang dan mempunyai pengaruh dalam kehidupan manusia. Ada beberapa fungsi dari ukiran orang Asmat, antara lain :<br />- Melambangkan kehadiran roh-roh nenek moyang<br />- Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia<br />- Sebagai suatu lambang kepercayaan (motif manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lain)<br />- Sebagai lambang keindahan yang mempengaruhi sikap keluarga dan masyarakat.<br />- Sebagai gambaran ingatan kepada nenek moyang.<br />Fungsi-fungsi simbol yang disebut diatas adalah unsur-unsur dalam ukiran orang Asmat yang ditambah dengan psikologi agama. Disamping itu orang Asmat juga mengukir topeng-topeng untuk diletakkan pada acara-acara pesta khusus. Tujuan dari ukiran orang Asmat adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai suatu kebutuhan pokok manusia sehingga kelihatan lebih detail bahwa tujuan terakhir mereka adalah kelanjutan dari hidup dan kebahagiaan manusia. Ini adalah suatu motivasi dasar bagi orang-orang Asmat untuk mengukir, karena seni mengukir diperlakukan untuk mengisi kebahagiaan hidup manusia.<br />Asmat : adalah berasal dari kata AS AKAT, yang menurut orang Asmat: MANUSIA EBTUL. Ada mengatakan bahwa ASMAT berasal dari kata OSAMAT yang berarti MANUSIA DARI POHON. Lain lagi dari suku tetangganya di bagian barat yaitu Suku Mimika yang menyebutkan orang ASMAT: �MANUE� yang berarti MANUSIA UNTUK DIMAKAN atau PEMAKAN MANUSIA. Orang Asmat memiliki seni budaya yang unik dan sangat tinggi nilainya, antara lain :<br />a. Seni ukir<br />b. Seni tari<br />c. Kerajinan tangan seperti: noken-noken, pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu.<br />d. Upacara-upacara adat seperti:<br />• Pesta pembuatan Patung MBIS (MBIS yaitu patung orang atau leluhur yang telah meninggal dunia) <br />• Pesta EMAK-Cem (Emak yaitu Rumah Tulang) yang merupakan upacara Inisiasi. <br />• Pesta Ulat Sagu, dll. <br />Yang mempunyai ini adalah untuk menghormati dan memenuhi keinginan arwah dan para leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal dunia.<br />Untuk mencapai Asmat harus melalui pesawat udara berukuran kecil seperti Twin Otter atau juga dengan kapal carteran dari kota Merauke. Di Asmat setiap wisatawan yang datang berkunjung senantiasa disambut dengan gembira dan dengan upacara adat.<br />2.4.5. UKIRAN KAMORO<br />Ukir-ukiran adalah salah satu bentuk karya seni yang dibuat oleh bangsa Kamoro yang mulai mendapat tempat di hati para pencinta keindahan budaya adat. Tidak hanya pada benda-benda yang diperlukan untuk acara-acara ritual mereka, berbagai ukiran itu juga hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka. Karena itu, ukiran Kamoro dapat dipilah berdasarkan beberapa kategori.<br />Ukiran yang boleh dibilang berukuran paling besar adalah mbitoro. Ini adalah ukiran berupa tiang besar yang tingginya bisa mencapai 10 meter. Bahan mbitoro memang diambil dari pohon besar. Bagian akarnya diukir sebagai bagian atas patung, sedangkan ujung batang nantinya ditanam ke tanah. Ukiran pada mbitoro biasanya memuat wajah manusia penting yang belum lama meninggal. Jumlah wajah yang diukir bisa 1-3 orang. Mbitoro yang kami temui di Desa Kaugapu, Kecamatan Mapuru Jaya, melukiskan wajah Paulus Kapirapu, kepala suku desa itu yang meninggal sekitar 2 tahun silam. Mbitoro juga dihiasi ukiran hewan legendaris dalam sejarah bangsa mereka serta motif-motif simbolis seperti mata yang merupakan lambang kehidupan. Mbitoro biasanya ditegakkan di bagian depan rumah adat yang khusus dibangun saat berlangsung pesta inisiasi anak-anak Kamoro (karapao). Mbitoro diukir agar roh orang yang wajahnya diukir bisa mengikuti upacara karapao atau ritual lainnya.<br />Ukiran lainnya adalah yamate (perisai). Perisai yang diukir saat ini tidak lagi fungsional sebagai tameng untuk menangkal serangan senjata musuh. Yamate berubah menjadi benda dekoratif karena ukirannya tembus dari bagian depan ke belakang.<br />Bangsa Komoro juga membuat wemawe, ukiran manusia, menggambarkan tentang nenek moyang mereka. Ciri khas wemawe Kamoro adalah ukiran berupa manusia dalam posisi siku berada di atas lutut, dan wajah-wajah dengan potong dagu kubistis.<br />Eme, atau alat musik tifa yang dekat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Kamoro juga tak luput dari hiasan ukiran. Gendang orang Kamoro ini berbentuk seperti jam pasir dengan bagian tengah yang mengecil dan salah satu ujungnya ditutup dengan kulit biawak. Kulit gendang kemudian dipulas getah damar di beberapa titik untuk mengukur suara gendang yang dinginkan. Agar gendang bersuara lebih nyaring, bagian kulit dipanaskan hingga kulit biawak tertarik kencang. <br />Yang menjadi pembeda suatu tifa adalah pegangannya. Selain keindahan motif ukiran di bagian tubuh tifa, ukiran di bagian ini amat diperhatikan oleh mereka yang tahu seni gendang Komoro. Bentuk pegangan berbeda-beda, mulai dari bentuk manusia hingga hewan. Gendang terbaik terbuat dari kayu besi yang padat. Ukurannya mulai dari sekitar 60 cm hingga lebih dari 1 meter. Meski saat ini telah tersedia lem kuat buatan pabrik, orang Kamoro masih sering menggunakan lem tradisional berupa hasil remasan buah mangi-mangi. Jangan terkejut bila sewaktu-waktu Anda mengetahui kulit tifa itu terbuat dari darah pengukirnya. Bagi orang Kamoro, darah manusia adalah lem dengan daya rekat paling hebat. <br />Jenis ukiran lain yang belakangan hadir adalah otekapai (tongkat). Menurut Kal Muller, ukiran pada tongkat baru muncul sekitar tiga perempat abad silam. Di sinilah bisa ditemukan motif maupun pola khas orang Kamoro.<br />Karya seni lain yang kerap digunakan dalam upacara ritual yang sudah hampir terlupakan adalah mbikao (topeng). Karya yang tidak diukir ini berupa topeng besar yang dikenakan di atas kepala dan pundak saat upacara ritual berlangsung. Tujuan utama pembuatan mbikao adalah untuk menimbulkan rasa takut, terutama terhadap musuh. Mbikao terbuat dari jalinan kepingan kulit pohon kembang sepatu dan rotan. Terbuat dalam berbagai bentuk, mbikao dianggap Kal sebagai bentuk paling menakjubkan dari karya Kamoro.<br />Hasil seni ukir juga terdapat dalam peralatan rumah tangga dan kebutuhan hidup sehari-hari bangsa Kamoro, misalnya pada perahu serta dayungnya. Yang menarik, dayung yang digunakan untuk kaum lelaki dan perempuan berbeda karena cara mendayung mereka yang berbeda. Dayung untuk kaum perempuan diukir pada bagian cembungnya, sementara untuk kaum lelaki, ukiran berada di bagian cekung. <br />Menarik pula bila kita sempat menyimak kerajinan anyaman yang dibuat oleh kaum ibu. Maria, istri Sekretaris Desa Pigapu, mengatakan dulu anak perempuan di sukunya tidak diizinkan menikah sebelum terampil menganyam. Namun, tradisi ini telah terkikis habis dan anak-anak perempuan kini bebas untuk menikah tanpa diembel-embeli syarat tertentu.<br />Anyaman mereka ada yang halus dan ada pula yang kasar. Anyaman kasar biasanya muncul saat membuat tikar alas tidur mereka. Sedangkan anyaman yang lebih halus biasa dibuat sebagai benda-benda kerajinan untuk dijual seperti tas atau keranjang. Agar lebih menarik lagi, anyaman halus ini mereka imbuhi hiasan bulu burung kasuari yang berwarna hitam serta bulu-bulu burung berwarna lainnya.<br /><br />2.4.6. SENJATA TRADISIONAL<br />a. Tombak<br /><br />Lembing yang dipakai khusus pada upacara. Di berbagai titik lembing bagian tangkainya terdapat hiasan berupa ukir-ukiran dengan motif yang diulangi terus menerus. Di sekitar tangkai bagian tengah bentuk tangkai agak melebar menyerupai daun dayung dengan beberapa ukir-ukiran ajour motif yang diulangi terus menerus seakan-akan tercermin pada porosnya. Lembing pada bagian paling bawah dan paling lebar dikitari bahan logam yang mungkin diaplikasi di kemudian hari.<br /> <br /><br />b. Panah<br /><br />Busur terbuat dari kayu tua serta seperangkat panah berjumlah sebelas. Di antaranya terdapat dua panah dengan mata panah terbuat dari bambu. Yang lain terbuat dari kayu dan berpengait-pengait kecil. Beberapa batang panah didekorasi.<br /><br />c. Pisau belati<br />Pisau belati terbuat dari tulang berukiran pola geometris. Pada ujung tulang terdapat jala yang dirajut dengan untai-untai biji-bijian yang dicantolkan kepadanya. Pada setiap ujung untai terdapat rumbai-rumbai terbuat dari bulu kasuari.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2.4.7. ALAT MUSIK TRADISIONAL<br />a. Gendang/tifa<br /><br />Gendang berbentuk jam pasir terbuat dari kayu. Ada yang dari kayu yang berwarna hitam, kayu berwarna merah kecoklatan, kayu berwarna tua, kayu berwarna muda, ada juga yang dari sebilah kayu utuh. Bagian pegangan gendang dibentuk ukiran sosok manusia yang seakan-akan memeluk gendang dengan semua anggota badannya. Kepala manusia tidak ada. Semua anggota badan manusia tersebut dihiasi dengan ukir-ukiran bermotif. Oleh si penderma pernah dipasang ulang kulit baru dari kulit lembut dan di berbagai tempat lain dipasang anyaman tali raffia.<br /><br />b. Harpa mulut<br /><br />Harpa mulut terbuat dari bahan bambu. Dibuat dua lubang irisan sepanjang sepotong batang bambu sampai di bagian simpulnya. Lubang irisan di tengah adalah yang terpendek dan tersempit. Bagian sisi harpa yang tersempit digulung dengan tali serat, mungkin serat kulit kayu, agar keseluruhan alat tetap utuh tak berantakan. Pada sisi harpa yang terlebar terpasang seutas tali pendek untuk menghasilkan nada-nada bervariasi. Harpa mulut ditempatkan di mulut dan harus ditiup untuk menghasilkan bunyi. Di masa lampau fungsi sebuah harpa mulut adalah untuk memberitahukan kepada seorang gadis bahwa dia sedang digemari.<br /><br />c. Snelhoorn<br /><br />Snelhoorn' terbuat dari tangkai bambu yang tebal, dengan dua ujung lancip di bagian bawahnya. Seluruh bagian 'terompet' dihiasi motif timbul. 'Snelhoorn' di masa lampau digunakan untuk menakuti musuh. Setelah dihapusnya 'perjalanan mengayau 'snelhoorn' digunakan sebagai peralatan pada tari-tarian.<br /><br /><br />2.4.8. MAKANAN KHAS<br /><br />Papeda atau bubur sagu, merupakan makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua. Makanan ini terdapat di hampir semua daerah di Maluku dan Papua.<br />Papeda dibuat dari tepung sagu. Pembuatnya para penduduk di pedalaman Papua. Tepung sagu dibuat dengan cara menokok batang sagu. Pohon yang bagus untuk dibuat sagu adalah pohon yang berumur antara tiga hingga lima tahun.<br />Mula-mula pokok sagu dipotong. Lalu bonggolnya diperas hingga sari patinya keluar. Dari sari pati ini diperoleh tepung sagu murni yang siap diolah. Tepung sagu kemudian disimpan di dalam alat yang disebut tumang.<br />Papeda biasanya disantap bersama kuah kuning, yang terbuat dari ikan tongkol atau ikan mubara dan dibumbui kunyit dan jeruk nipis.<br /><br />2.4.9. KAPAK BATU<br /><br />Kapak batu adalah alat yang untuk sekarang ini mungkin menjadi barang aneh, tapi itu adalah alat nenek moyang bangsa di pedalaman papua untuk menebang dan membelah kayu, dengan alat ini mereka bisa membuat rumah-Honai, pagar untuk kebun, kayu bakar dan juga untuk memotong daging.<br /><br />2.4.10. POTONG JARI<br /><br />Salah satu budaya yang terdapat di Papua adalah potong jari. Potong jari ini biasanya di lakukan saat keluarga atau kerabat terdekat mereka meninggal, biasanya anak, orangtua dan saudara kandung. Itu adalah suatu cara yang ditunjukkan oleh mereka untuk mengungkapkan kasih sayang dan kepedihannya. Rasa sakit saat memotong jari itu dirasakan sama seperti saat sakit yang mereka rasakan saat kehilangan orang yang paling mereka sayangi.<br /><br />2.4.11. TUSUK HIDUNG<br /><br />Tusuk hidung untuk kami laki-laki Wamena adalah simbol laki-laki, hiasan di hidung ini merupakan simbol-simbol kejantanan bagi kami. Biasanya hidung yang sudah berlubang akan memudahkan untuk melengketkan taring babi disebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol keberanian bagi kami laki-laki Wamena.<br /><br /><br />2.4.12. BAKAR BATU<br /><br />Bahan makanan yang biasa dimasak oleh masyarakat Papua adalah wam (babi), Hipere (ubi jalar), dan sayur-sayuran. Mereka biasanya melakukannya bersama-sama satu kampung, dalam kampong Honai. Akan tetapi cara masaknya tidak seperti cara masak biasa yang menggunakan kompor atau di tungku biasa. Mereka memasak dengan menggunakan batu, sehingga disebut “Bakar Batu”. Caranya sangat sederhana, pertama-tama dipilih batu kali yang bulat-bulat terus tumpuk dalam satu lubang berukuran 1 x 1 meter. Kemudian bakar batunya menggunakan kayu dan rumput-rumput sampai merah menyala sekitar 4-5 jam. Lalu setelah batu panas taruh daging babi yang sudah di potong diatasnya, terus tutup dengan sayur-sayuran dan ubi-ubian. Makanan ini akan masak dari panas batu yang dibakar, makanya disebut "Bakar Batu".<br />Biasanya untuk acara-acara adat tertentu seperti adat marind, sagu diolah menjadi sagu ZEP. Sagu Zep adalah sagu yang dibakar dan ditutupi dengan beberapa lembar daun pisang dan beberapa daging babi,rusa atau saham yang sudah dibersihkan dan dipotong-potong terlebih dulu.<br /><br /> <br />2.4.13. Lagu Daerah Papua<br />a. Yamko Rambe Yamko<br />Hee yamko rambe yamko aronawa kombe<br />Hee yamko rambe yamko aronawa kombe<br />Teemi nokibe kubano ko bombe ko<br />Yuma no bungo awe ade<br />Teemi nokibe kubano ko bombe ko<br />Yuma no bungo awe ade<br />Hongke hongke hongke riro<br />b. Apuse<br />Apuse kokon dao<br />Yarabe soren doreri<br />Wuf lenso bani nema baki pase<br />Apuse kokon dao<br />Yarabe soren doreri<br />Wuf lenso bani nema baki pase<br />Arafabye aswarakwar<br />Arafabye aswarakwar <br /><br />2.3.14. Cerita Rakyat Papua<br />1.) Memecah Matahari<br />Sinopsis :<br />Di timur provinsi Papua ada sebuah kepulauan kecil yg sangat aneh. Pulau itu selalu diliputi kegelapan, cahaya matahari tidak sanggup menembus pulau itu. Matahari tidak melintas di atas kepala tetapi di seberang langit. Penduduk melihat matahari hanya sebentar, karena setelah itu tenggelam. Dengan demikian terang sangat pendek dan kegelapan seperti malam sangat panjang. Disana tinggal seorang pemuda bernama Rangga. Rangga tidak sabar untuk menghadapi suasana gelap. Dia ingin mengubah suasana kegelapan yg selama ini menyelimuti desanya.Dalam hatinya sering muncul pertanyaan, Mengapa matahari bersinar sangat singkat? Rangga pun mengajak para pemuda di desa itu untuk melaksanakan niat memecah matahari. “Teman-teman, kita harus berusaha untuk membuat pulau kita ini menjadi terang,” kata Rangga pada para pemuda di desanya. “Ini sudah takdir Rangga, kita tidak bisa mengubahnya karena ini adalah keadaan alam yg mesti kita terima,” jawab para pemuda itu. Tapi ada beberapa orang pemuda yg akhirnya mendekati Rangga dan bertanya, “Jelaskanlah pada kami gagasanmu yg sesungguhnya, Rangga.”“Aku ingin memecah matahari. Sekarang yg kita perlukan adalah mencari lembing ajaib untuk memecah matahari,” jawab Rangga dengan lantang. Mendengar jawaban Rangga yg lantang dan penuh keyakinan, maka beberapa pemuda itu pun mulai terpengaruh dan bersedia ikut bersama Rangga pergi mencari lembing ajaib. Rangga dan beberapa pemuda tadi berusaha mendapatkan lembing ajaib dengan cara berpuasa dan bersemedi di dalam hutan. Hari demi hari mereka lalui, tapi para pemuda itu tidak tahan akan rasa lapar dan banyaknya godaan yg mereka temui ketika bertapa dan berpuasa. Akhirnya hanya tinggal Rangga sendiri saja yg terus melanjutkan pertapaannya. Pada hari ketujuh bersemedi, tiba-tiba muncul di hadapan Rangga seorang peri yg cantik. Tangannya membawa sebuah lembing panjang sambil mendekati Rangga. “Hai Rangga, apa yg kalian cari di dalam hutan ini?”. “Aku sedang bersemedi untuk mendapatkan lembing ajaib untuk memecah matahari supaya pulau tempatku tinggal tidak lagi diliputi kegelapan,” jawab Rangga. “Inilah lembing ajaib yg kamu cari. Terimalah ini. Jangan mundur selangkah pun bila maksudmu belum terlaksana. Bawalah lembing ajaib ini, namun ini baru langkah awal bagimu untuk mendapatkan lembing ajaib yg sesungguhnya karena lembing ajaib yg sesungguhnya di miliki oleh Si Pencuri Ulung,” ujar peri tersebut “Pencuri Ulung?”, tanya Rangga kebingungan. “Ya, Pencuri Ulung adalah makhluk jahat yg suka mencuri hasil sadapan Nira dari pohon kalian,” ujar peri itu lagi. Pada waktu yg telah ditentukan, semua penduduk bersiap-siap untuk menangkap Si Pencuri Ulung. Ketika makhluk jahat yg mengerikan itu muncul, para penduduk itu lari ketakutan. Hanya Rangga sendiri yg dengan gagah berani menancapkan lembing ajaib di perut si Pencuri Ulung. Perlahan-lahan si Pencuri Ulung pun berubah menjadi lembing ajaib yg sesungguhnya. Para penduduk bergembira ria, mereka mengucapkan terima kasih kepada Rangga karena berhasil menghentikan pencuri Nira. Setelah mendapatkan kedua lembing ajaib, akhirnya Rangga bersama dengan beberapa orang pemuda pergi naik perahu menuju langit sebelah timur tempat matahari terbit dengan satu tujuan yakni memecah matahari. Dengan kedua lembing ajaib di tangannya Rangga berteriak menantang matahari untuk muncul. <br />Matahari yg dinantikan itupun muncul perlahan. Setelah hampir separuh matahari itu muncul, Rangga dibantu oleh para pemuda mulai bersiap-siap untuk memecahkannya. Tangan Rangga sudah menggenggam kedua batang lembing ajaib. Ketika matahari sudah terbit secara utuh, Rangga segera melemparkan kedua lembing ajaib ke arah matahari dan tertancap persis di tengah bulatan matahari!. Tubuh matahari itu bergumpal. Gumpalan yg besar menjadi bulan dan gumpalan yg kecil menjadi bintang yg bertebaran di langit. Semua menjadi penerang di waktu malam hari. Tugas maha besar telah selesai. Matahari telah pecah menjadi berkeping-keping. Mulai saat itu pada malam hari tidak ada lagi gelap gulita di pulau tempat Rangga tinggal karena sudah disinari remang-remang dari bulan dan bintang yg bergelantungan di langit.<br /><br />2.) Manarmakeri<br />Mite Manarmakeri memunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang ajaib, dan tokohnya (Manarmakeri) adalah Dewa. Mite ini telah tersebar di seluruh tanah Papua sejak dulu. Ada sebuah keyakinan dari masyarakat penutur mite ini bahwa sepetri janjinya, Manarmakeri akan kembali suatu saat. Sampai hari ini, masih dinantikan kedatangan Manarmakeri di daerah penutur cerita maupun di seluruh Papua. <br />Cerita serupa yang tergolong mite terdapat di tiap suku di tanah Papua. Cerita-cerita ini membuat rakyat Papua tetap eksis untuk hidup di tengah berbagai persoalan dengan harapan bahwa janji-janji tokoh dalam mite di setiap daerah yang menjanjikan hari baru (Papua Baru) itu, suatu saat nanti akan terjadi. <br />Sinopsis :<br />Lelaki tua itu bernama Manarmakeri. Ia berasal dari kampung Sopen daerah Biak Numfor Papua. Tubuh Manarmakeri penuh dengan kudis. Suatu ketika, dia membuat kebun di atas bukit di belakang kampung Sopen, tepatnya di Yamnaibori. Kebun itu ditanami dengan tanaman keladi, ubi jalar, labu dan berbagai tanaman lainnya. Manarmakeri mengelilingi kebunnya dengan pagar untuk menghindari serbuan dari babi hutan. <br />Suatu pagi yang cerah, Manarmakeri pergi ke kebun. Sesampai di kebun Manarmakeri terkejut melihat tanamannya yang habis dimakan babi hutan. Ia memeriksa pagar dan ternyata, tidak ada tanda-tanda masuk. "Dari mana binatang itu masuk ya. Pagar masih utuh," kata Manarmakeri terheran-heran. Manarmakeri memutuskan untuk menjaga kebunnya pada malam hari. Hari sudah malam Manarmakeri bersiap-siap dengan makbak (tombak nibun) pada tempat yang tersembunyi di pinggir kebun. Tiba-tiba seekor babi hutan muncul di tengah kebun. Dengan penuh kemarahan dan keheranan Manarmakeri melemparkan makbaknya ke arah babi hutan yang sedang asyik makan tanaman. Seketika terdengar suara gaduh disusul jeritan kesakitan babi hutan itu " Ae, ae......yamnai.... (aduh... saya berhenti...). Lalu babi hutan itu menghilang secara tiba-tiba bersama makbak yang tertancap di badannya. <br />Keesokan harinya Manarmakeri mengikuti jejak babi hutan itu melalui darah yang menetes sepanjang jalan setapak. Akhirnya dia tiba pada sebuah goa di tengah hutan. Manarmakeri memasuki goa itu dan dia melihat makbaknya bersandar di dinding dengan keadaan utuh dan bersih. Ketika menoleh ke kiri dan ke kanan terdengarlah suara yang "menegurnya". "Siapakah engkau dan mau ke mana? Apa yang kau cari di sini? Bawalah makbakmu dan keluar membelakangi saya." "Bagaimana saya harus berjalan?" tanya Manarmakeri. "Kerjakanlah apa yang aku perintahkan kalau tidak kau akan jatuh," jawab suara itu. <br />Sebelum dia melakukan perintahnya, suara berkata lagi, "Apakah engkau mengenali mereka?" Tiba-tiba tabir matanya terbuka dan terlihat sebuah kampung yang bersih, indah, banyak penduduk, dan terang. Rupanya di sana tidak ada kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, peperangan, dan penuh kebebasan. <br />"Waktumu belum tiba untuk mendiami tempat ini, sebab kamu masih berada dalam dunia sasar (semu). Kampung yang kamu lihat ini adalah tempat "koreri". Bawalah makbak itu dan kembalikan ke tempatmu," kata perintah suara itu. Lalu dengan penuh penasaran Manarmakeri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kampungnya. Di kediamannya ia merenungkan rahasia koreri. Koreri adalah saat manusia mengalami kehidupan baru yaitu kehidupan yang penuh kebebasan dan kebahagiaan.<br />Keesokan harinya Manarmakeri mendengar, anak Mananwir (kepala kampung) menemukan seekor Manswar (kasuari) tua bersama seorang gadis yang cantik di suatu tanjung. Burung kasuari duduk di dalam laut dan membiarkan ikan-ikan kecil mendekat pada bulunya, kemudian kasuari itu kembali ke tepi pantai lalu menggoyangkan badannya sehingga ikan-ikan berjatuhan di atas pasir. Kemudian seorang gadis muncul tiba-tiba dari balik belukar dan memungut ikan-ikan tersebut dan memasukannya ke dalam inawen (sejenis keranjang). Kemudian gadis kecil itu naik di atas punggung Manswar dan mereka berdua menghilang. <br />Anak Mananwir terpesona melihat gadis canitik yang aneh itu. Ia menceritakan kejadian itu sekaligus keinginannya untuk mengawini gadis cantik itu kepada ayahnya. Lalu ayahnya mengajak seluruh penduduk kampung Sopen untuk membantu mencari dan menangkap Manswar tua bersama gadis cantik yang sedang bersembunyi di sekitar tanjung, tidak jauh dari kampung Sopen. <br />Semua laki-laki yang kuat di seluruh kampung Sopen berkumpul di rumah Mananwir untuk menerima amanat untuk segera menangkap kedua makhluk aneh itu. Mananwir berjanji, "Bagi yang berhasil menangkap gadis jelita itu dan membawa pulang ke rumah saya, maka ia berhak mengawini anak perempuan saya yang bungsu". Mendengar janji itu, para pemuda segera membentuk pasukan pengepung. <br />Dengan semangat yang menggebu-gebu, pasukan pengepung meninggalkan kampung Sopen menuju tanjung tempat persembunyian kasuari dan gadis itu. Mereka mengepung tanjung itu lalu dengan sorak-sorai mempersempit lingkaran, namun perhitungan mereka meleset. Kasuari tua itu berhasil meloloskan diri bersama si gadis jelita. <br />Usaha penangkapan pada hari pertama gagal. Pasukan kembali ke kampung. Mereka berkumpul kembali dan merencanakan taktik baru untuk mengepung dan menangkap gadis itu. Keesokan harinya, pasukan mengepung tanjung itu dengan taktik yang baru, namun usahanya gagal seperti pada hari pertama. Kini mereka berkumpul di rumsram (rumah tempat berkumpul kaum pria) untuk evaluasi kegagalan dan merencanakan cara penangkapan pada hari berikutnya. Secara kebetulan si lelaki tua (Mananarmekeri) itu lewat di depan para pemuda yang duduk di rumsram. "Oi, para pemuda, kalian sedang bicara apa?" <br />Beberapa dari mereka menjelaskan tentang usaha yang sedang mereka lakukan. Mendengar hal itu, Manarmakeri menawarkan dirinya untuk ikut mencari. Namun tawaran itu justru menjadi lelucon para pemuda. "Kami yang muda dan kuat saja tidak berhasil mengepung dan menangkap kasuari serta gadis itu, apalagi kamu yang penuh kudis dan kaskado ini ... ," kata salah satu pemuda. Ada juga menghina Manarmakeri, "Cis, sedangkan kami yang muda dan kuat tidak sanggup, apalagi kau orang tua yang sudah korengan, lebih baik pakailah waktumu untuk mengusir lalat dan mengupas koreng dari badanmu itu." Mendengar kata-kata yang menyakitkan itu, Manarmakeri membatalkan tawarannya untuk ikut pada hari ketiga. Ia ingin melihat apa hasil dari usaha pengepungan pada hari itu. Usaha pengepungan hari ketiga masih belum membuahkan hasil. Anak Mananwir terus merindukan gadis itu. Mukanya makin murung dan putus asa menyaksikaan kegagalan demi kegagalan yang dialami pasukan itu. Melihat anak kepala kampung itu, para pemuda mulai merasa malu. Kini mereka kehabisan taktik untuk menangkap gadis itu. <br />Kini satu-satunya jalan bagi para pemuda adalah harus meminta bantuan kepada orang hobatan untuk menemukan suatu cara mistik yang dapat mengalahkan kekuatan kedua makhluk itu. Namun salah satu pemuda mengusulkan untuk mencoba yang terakhir kalinya. Untuk kesempatan ini tanpa basa-basi dan tawar-menawar, Manarmakeri ikut mengambil bagian dalam usaha pengepungan pada hari keempat itu. Seluruh pasukan sudah disusun atas beberapa lapisan lalu melingkari tanjung. Kini tidak ada celah lagi untuk melewati sesuatu. Mananarmakeri mengambil tempat pada daerah bakau yang penuh lumpur. <br />Pengepungan dan gemuruh sorak serta pekikan dari pasukan pengepung terdengar. Kasuari dan gadis jelita merasa benar-benar terjepit. Tidak ada jalan lain, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri mereka yaitu melalui daerah bakau penuh lumpur yang pasti tidak diawasi para pemuda. Secara diam-diam kasuari itu melewati daerah lumpur itu, namun sial. Kakinya tertahan oleh lumpur dan memperlambat larinya. Manarmakeri yang sudah sembunyi di tempat itu dengan mudah saja mengejar dan menangkap sang gadis dari punggung Manswar dan memeluknya dengan sekuat tenaga sehingga tidak sempat lagi meloloskan diri. Sedangkan Manswar itu sempat meloloskan dirinya ke hutan. Sejak kejadian itu di Biak tidak ada lagi burung Manswar (kasuari) sampai saat ini. <br />Dengan penuh semangat Manarmakeri membawa gadis jelita itu kepada Mananwir Sopen. Namun, sebagai hadiah bukan anak bungsu yang dijanjikan sebelumnya, tetapi seekor babi. Dia menerima hadiah itu dengan tenang, lalu menyerahkannya kepada saudara-saudaranya untuk bakar batu (barapen). Manarmakeri memperbolehkan mereka untuk mengambil kayu bakar, keladi, daun pisang serta sayuran di kebun miliknya, Yamnaibori. Mereka membuat barapen di hutan dekat kebun Manarmakeri. Setelah selesai masak, babi beserta sayur dibagi-bagikan kepada seluruh sanak saudara di kampung Sopen. Harapan Manarmakeri untuk mendapatkan daging yang bagus, tinggal harapan. Dia (Manarmakeri) hanya diberikan tulang kepala yang sudah tidak ada daging. <br />"Kenapa saudara-saudara saya sendiri memperlakukan saya seperti ini. Mereka tidak menghargai saya sebagai manusia. Saya sudah membantu kepala kampung menangkap putri kasuari. Hadiahnya bukan anak perempuannya yang bungsu. Diberikan seekor babi. Bukan itu saja. Babi itu sudah diserahkan dengan baik-baik kepada saudara-saudaraku untuk dimasak, bahkan kayu api, keladi sayur yang dimasak itupun diambil dari kebun saya sendiri. Akhirnya, saya diberikan bagian yang tidak pantas." Mananarmakeri merasa benar-benar tidak dihargai sebagai warga kampung Sopen. Akhirnya, Manarmakeri mengambil keputusan untuk untuk meninggalkan kampung yang dicintainya itu.<br />Maka keesokan harinya, pagi-pagi buta sebelum warga kampung bangun tidur, Manarmakeri menyiapkan perahu kecilnya. Ia tidak lupa membawa dayung, konarem (penimba air) dan tongkatnya. Di tengah perjalanan angin Wambrau (Barat) bertiup dengan kencang dan menyebabkan ombak sehingga ia mendarat di kampung Maundori. Tetapi tidak bisa karena banyak karang. Akhirnya ia mengeluarkan tongkat wasiatnya untuk menggores karang lalu terjadilah suatu terusan. <br />Melalui terusan itu, ia dapat mendarat. Setelah angin reda ia melanjutkan perjalanannya menyusuri pantai. Ketika mendekati kampung Sorido ia menangkap seekor ikan dan membawanya ke rumah napiremnya (saudara sepupu) yang bernama Padawankan di kampung Mokmer. Ketika ikan dimasak mereka membagi-bagikannya tanpa mengingat istrinya. Istrinya menanyakan bagiannya ternyata telah habis. Istrinya marah dan kemarahannya didengar oleh Manarmakeri. Ia meminta pamit dan pergi ke Meokbundi.<br />Manarmakeri sampai di Meokbundi. Dia hendak melakukan suatu pekerjaan yang digemarinya, yaitu menyadap nira (saguer kelapa). Ia meminta kelapa kepada penduduk Sokani, tetapi tidak dikasih. Manarmakeri mengambil kelapa yang bertunas dan menanamnya. Kelapa yang ia taman itu pertumbuhannya ajaib. Kelapa itu sudah tumbuh besar dan sudah dapat disadap. Manarmakeri hidup dengan menyadap nira (saguer).<br />Pada suatu hari ia melihat nira yang ada dipohon itu habis diambil orang. Dia tanya kepada semua orang, namun tidak ada yang mengaku. Terpaksa ia mengintai untuk menangkap pencurinya. Pada malam pertama ia berjaga-jaga di bawah pohon. Keesokan harinya ia melihat nira masih dicuri juga. Untuk malam kedua dibuatnya pora-pora (kaderen) di tengah pohon kelapa lalu dia menjaga. Namun, sama saja pencuri itu masih juga meminum nira itu. Ia terus penasaran dari mana mereka mengambil. <br />Pada malam ketiga karena penasaran dan marah, ia naik dan duduk bersembunyi di tengah-tengah cabang dan daun kelapa. Sepanjang malam ia berjaga dengan tabah. Menjelang dini hari hari, pencuri turun dari langit menuju puncak pohon kelapa. Manarmakeri menangkap pencuri itu lalu terjadilah suatu pergumulan yang sengit. Dalam pergumulan tersebut ternyata pencuri itu adalah Makmeser atau Sampari (bintang pagi). "Lepaskanlah saya karena hari hampir siang!" kata Sampari. Namun Manarmakeri tidak mau melepaskannya. "Saya tidak akan melepaskanmu sebelum engkau memberikan apa yang kudambakan selama ini, "kata Manarmakeri.<br />Bintang itu menyebut banyak hal yang ada di dunia ini, tetapi masih ada yang belum disebut sehingga Manarmakeri tetap terdiam dan tidak mau melepaskan bintang itu. "Katakanlah sekarang, apa yang kau kehendaki,' kata Sampari itu, "Berikanlah kepadaku "koreri syeben", pinta Manarmakeri. "Karena matahari terbit permintaanmu aku kabulkan dan sekarang ini koreri telah kau miliki. Bila Insoraki anak gadis panglima Rumbrak pergi ke pantai dan mandi bersama teman-temannya dekatilah lalu petiklah buah bintanggur (buah pohon Mars) dan lemparkan ke laut. Kamu akan melihat sesuatu terjadi pada Insoraki dan itu kejadian koreri," kata Sampari. Setelah beberapa hari berselang dilihatnya beberapa gadis pergi mandi dipantai. Cepat-cepat Manarmakeri pergi dan bersembunyi di balik pohon Mars (bintanggur). Diperhatikannya gadis itu satu demi satu tampaknya olehnya seorang gadis yang tercantik yaitu Insoraki.<br />Dia memetik buah bintanggur lalu melemparkan ke laut. Buah itu hanyut dan tersentuh pada payudara Insoraki. Insoraki kaget lalu memungut buah itu lalu melemparkanya ke darat. Peristiwa itu terulang sampai tiga kali berturut-turut. Setelah peristiwa itu terjadi Insoraki merasa ada suatu kelainan pada dirinya. Orang tua terkejut karena anak gadisnya hamil. Orang tua Insoraki bertanya kepada penduduk Meokbundi, tetapi seorang tidak mengetahuinya. Insoraki termenung dengan hal yang menimpanya karena ia tidak pernah bergaul dengan laki-laki. Setelah tiba saatnya melahirkan, lahirlah seorang anak laki-laki. Kerana anak itu telah lahir dan dirasa akan membawa perubahan dan kedamaian maka mereka menamakannya Manarbeu (pembawa damai).<br />Pertumbuhan anak itu semakin besar dan sudah dapat bicara. Setiap ia menangis ia selalu menanyai ayahnya. Pada suatu hari mereka berkumpul dan bermufakat untuk mengadakan Wor (suatu pesta besar). Dengan pesta itu Manarbeu dapat menunjuk siapa bapaknya. Pada hari yang ditentukan para tamu telah tiba dan acara segera dimulai. Insoraki dan anaknya duduk paling depan supaya Manerbeu dapat menentukan bapaknya.<br />Pada pesta itu mereka mengharuskan para pemuda untuk lewat berjalan di depan Insoraki dan anaknya. Namun tidak seorang pun dikenali oleh Manerbeu. Perarakan terakhir Manarmakeri adalah khusus untuk orang tua. Manarmakri mengantre pada bagian terakhir. Manarmakeri penuh kudis dan di tanganya memegang tongkat dan setangkai daun untuk pengusir lalat. Ketika ia lewat di depan ibu dan anak itu, Manerbeu langsung menunjuk Manarmakeri dan berkata, "Ibu itu bapak saya!" <br />Ketika anak itu ingin memeluk ayahnya, Insoraki menahannya karena jijik pada tubuh Manarmakeri yang penuh kudis itu. Manarbeu berhasil lari dari pegangan ibunya dan bertemu dengan ayahnya. Karena, Manarmakeri dihina dan diusir oleh warga, maka mereka pergi meninggalkan kampung itu. Akhirnya, Insoraki ikut dan pergi bersama-sama dengan Manarmakeri menuju ke arah barat. <br />Dalam perjalanannya ke Barat itu, Manarbeu tiba-tiba ingin bermain pasir di sebuah pulau dengan pasir putih yang tiba-tiba muncul. Setelah Manarbeu puas bermain, mereka berlayar terus meninggal pulau Yapen menyisi pulau Supiori yang makin lama makin jauh menuju ke barat. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba muncul sebuah pulau kecil di atas permukaan laut dan makin lama makin besar. Ternyata pulau itu lebih dari pulau yang baru saja ditinggalkan dan tidak bergunung. Perahu karures dari Manarmakeri berlayar menyusuri pantai pulau itu sampai pada suatu pulau kecil dan Manarbeu kembali berhasrat untuk bermain pasir di pulau kecil itu. Karena dia terus merengek untuk bermain, terpaksa perahu didaratkan dan Manarbeu boleh bermain-main di atas pasir itu. <br />Perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di pulau besar itu ternyata belum didiami oleh manusia. Manarmakeri mengambil empat batang lidi yang ditancapkan di atas pasir dan kemudian dia mengucapkan mantera-manteranya. Setelah membaca mantera, keempat lidi itu berubah menjadi empat suku asli pulau itu yang kemudian di kenal sebagai Pulau Numfor . Manarmakeri memperingatkan mereka agar bila dari antara mereka meninggal tidak boleh ditangisi karena mereka akan dibangkitkan. Apabila mereka mematuhi permintaan itu, maka mereka akan hidup dalam ketenteraman, kedamaian dan berkelimpahan. <br />Dalam kenyataannya mereka tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh Manarmakeri. Ketika dari antara mereka meninggal, mereka tangisi dia. Hal itu benar-benar membuat Manarmakeri kecewa. Bukan hanya itu, ketika mereka kekurangan bahan makanan mereka berlayar ke pulau Yapen dan menukarkan ikan dengan sagu yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang perintahkan oleh Manarmakeri. Kejadian itu membuar dia kecewa dan merasa keberadaannya di daerah itu tidak dihargai. Dia mengingat kembali pengalamannya di kampung Sopen, kemudian di pulau Meobundi, di kampung Krawi dan terakhir di Numfor. <br />Manarmakeri tidak betah tinggal di daerah itu. Dia mengambil keputusan untuk pergi dari orang-orang dan negerinya sendiri untuk mencari tempat yang aman dan tenang. Dia pergi meninggalkan tempat itu ke suatu tempat yang penuh ketenangan dan kedamaian. Dia memperoleh rahasia hidup abadi yang ingin ia sumbangkan kepada sesamanya manusia tetapi tidak mau dimengerti untuk itu dia pergi. Dia pergi untuk suatu ketika kembali membawa suatu kehidupan baru berkelimpahan dan penuh kedamaian abadi seperti janji kibaran sampari (bintang kejora). Dia sempat meninggalkan beberapa pesan kepada warganya supaya jangan suka membunuh, jangan suka mencuri hak milik orang lain, dan menyiapkan rumah yang besar untuk menampung kekayaan yang akan datang dari sebelah barat. <br />Setelah berpesan demikian Manarmakeri bersama istrinya Insoraki naik perahu untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun anaknya Manarbeu terlihat masih asyik bermain pasir putih yang indah. Ketika Manarmakeri memintanya untuk naik ke perahu Manarbeu tidak mau. Dia asyik bermain seakan-akan pasir adalah teman seumurnya sampai dia tidak mau meninggalkannya. Untuk mengakali anaknya Manarmakeri melemparkan sepotong kayu yang kemudian berubah menjadi seekor ular bisa. Melihat ular itu, Manarbeu takut dan segera naik ke perahu. Sejak itu ular bisa tersebut berkembang menjadi baik di pulau Numfor dan hingga kini pulau itu dikenal sebagai pulau yang penuh dengan ular bisa. <br />Untuk kesekian kalinya Manarmakeri harus meninggalkan rakyatnya. Perahu segera bertolak meninggalkan pulau Numfor menuju ke sebelah Barat. Ia menyebrangi selat dan lautan menyusuri pantai di pulau-pulau. Manarmakeri pernah singgah di sekelompok pulau yang kini dikenal sebagai kepulauan Raja Ampat. Setelah beberapa lama tinggal dan menyebarkan pengajarannnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju ke barat. Sejak keberangkatan hingga kini ia belum kembali. Menurut pesan yang ditinggalkan, ia akan kembali pada suatu saat dengan membawa kedamaian, harta benda serta makanan yang berkelimpahan. "Saat saya kembali, sampari akan berkibar-kibar dari ujung pulau hingga ke ujung pulau di atas tanah ini." <br /><br />2.4.15. KEBUDAYAAN PAPUA SAAT INI<br /><br />1. Kebudayaan Papua Hadapi Masalah Pewarisan<br />Menurut Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, menyatakan bahwa kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua. Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global.<br />Selain itu, masih banyak potensi budaya yang belum tergali karena mayoritas penduduk Papua tinggal di kampung-kampung di pedalaman. Harus dipikirkan, format baru pengembangan budaya yang tak terkikis oleh perkembangan zaman. <br /><br />2. Sejumlah Bahasa Adat di Papua Terancam Punah <br />Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Papua, Domingus Rumbewas, mengatakan bahasa adat di Papua terancam punah. Sebab anak muda di Papua cenderung enggan menggunakan bahasa adat. <br />Bahkan yang lebih parah lagi, bahasa adat di salah satu suku, diperkirakan 30 tahun lagi punah.<br />Selain itu, bahasa adat juga terancam dengan adanya kawin campur. Warga suku asli memiih kawin dengan pendatang atau dengan warga suku lain. Akibatnya, penggunaan bahasa asli menjadi berkurang. <br />Namun sampai saat ini Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, mengaku belum menerima laporan adanya bahasa adat Papua yang punah.Saat ini, ada sekitar 250 bahasa adat yang terdaftar di pemerintah Papua. Masih ada juga sekitar 50 bahasa adat yang belum terdaftar. Tiap suku memiliki bahasa yang berbeda.<br />Pemeliharaan dan pengembangan bahasa adat di Papua tak mudah. Diperlukan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk menjaga kelestarian bahasa adat. Terdapat faktor-faktor yang bisa menghambat penggunaan bahasa adat. Yang terutama adalah banyaknya warga dusun yang hijrah ke kota. Kebanyakan di antaranya adalah anak muda. Sehingga kebanyakan orang tua saja yang tinggal di desa.<br /><br />3. Seni dan Tradisi Asli Papua Tidak Berkembang <br />Menurut Ketua Forum Komunikasi Seni Papua, Donatus Meiwend, Seni dan tradisi asli Papua tidak pernah berkembang karena tidak dapat dukungan dari pemerintah daerah setempat. Sementara itu, pengembangan kreativitas seni tidak berjalan sesuai tuntutan pasar dan perkembangan seni modern. Padahal, seni Papua memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan dapat dipasarkan di dalam maupun di luar negeri.<br />Para seniman ini menilai seni dan tradisi tua di Papua sudah terpuruk karena kurang dapat perhatian dari pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Papua sangat kaya dengan aneka budaya dan tradisi tua, mulai dari daerah pesisir pantai sampai ke daerah pegunungan. Tetapi, hingga saat ini seni dan tradisi asli Papua ini tidak dikembangkan menjadi aset daerah yang dapat memberi sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, dan kesejahteraan masyarakat Papua termasuk para seniman. Papua terdiri dari 312 suku dengan ratusan jenis seni, tradisi, dan budaya yang berbeda-beda. Misalnya, dalam bahasa daerah, lagu daerah, tarian daerah, cerita rakyat, dan pakaian adatnya beragam.<br /><br /><br /> <br />2.4. TEMPAT WISATA DI PAPUA<br />2.4.1. Potensi Wisata Kota Jayapura<br /><br /> Jayapura adalah ibukota dari Kota Jayapura dan juga sekaligus ibukota Provinsi Papua merupakan Pusat Pemerintahan dengan berbagai kegiatan sosial, politik, kebudayaan maupun pembangunan. Secara geografis kota kayapura terletak di bagian utara Provinsi Papua pada 1°28'26" - 36°58'82" LS dan 137°24'10" - 141°0'10"BT. <br />Topografinya juga sangat unik dengan pusat kota yang melingkar mengikuti garis pantai dan jalan-jalan kota yang naik turun menyisir lereng-lerang bukit.<br /><br />MONUMEN PENDARATAN SEKUTU<br /><br />Tugu ini didirikan untuk mengenang Pendaratan tentara Sekutu Pada Tanggal 22 April 1944 di Pantai Hamadi dibawah pimpinan Jenderal Douglas Mac Arthur<br /><br /><br /><br /><br />MONUMEN PEPERA<br />Dibangun untuk memperingati Delklarasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969,untuk menentukan keinginan rakyat Papua bergabung dengan indonesia. Pemungutan suara dilaksanakan 6 tahun setelah PBB menyerahkan Papua ke Indonesia. Monumen ini berada di APO, pos tentara sekutu yang pertama, 500 m dari pusat kota Jayapura<br /><br /><br />MONUMEN YOS SUDARSO<br /><br />Monumen ini dibangun untuk mengenang jasa Komodor Yos Sudarso yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Lat Arafuru tahun 1962, dalam rangka operasi pembebasan Irian Barat. Monumen ini terletak di Taman Imbi Pusat Kota Jayapura.<br /><br /><br /><br />DANAU SENTANI <br /><br />Danau Sentani merupakan danau alam dengan pulau-pulau yang berbukit-bukit di tengah-tengah danau. Luas danau adalah 3,63 hektar dengan ketinggian 75 m di atas permukaan air laut. Di lokasi ini terdapat pemandangan alam yang indah dengan beberapa tempat pemancingan yang dilengkapi pondok-pondok yang berbentuk panggung. Di sini banyak ditemukan ikan-ikan yang masih segar. <br />Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian memancing selain menjual berbagai ukiran tradisional dari kayu. Danau ini merupakan tempat yang sangat bagus untuk berenang, bersampan, memancing, bermain ski air dan melakukan beberapa olah raga air lainnya. Para pengunjung juga bisa menyaksikan seni tari tradisional pada acara festival atau pada hari-hari perayaan. Danau Sentani terletak di Kecamatan Sentani, 20 kilometer di sebelah barat kota Jayapura, dapat dijangksau dengan berbagai macam sarana transportasi dalam waktu 20 menit. Angkutan umum yang dapat digunakan yaitu jalur Abepura-Sentani.<br /><br /><br />PANTAI AMAI <br /><br />Pantai Amai merupakan pantai berpasir putih yang indah. Banyak wisatawan yang datang mengunjungi pantai ini untuk berekreasi dan berenang. Pantai ini terletak di desa Waija, Kecamatan Depapre, sekitar 65 kilometer di sebelah barat kota Jayapura. Lokasi ini bisa dijangkau dengan berbagai sarana transportasi dalam waktu 75 menit. Jika menggunakan angkutan umum bisa memakai jalur Pasar Sentani-Depapre kemudian dilanjutkan dengan menyewa perahu jonson.<br />SITUS PURBAKALA MEGALITIK<br /><br /><br /><br /><br /><br />Objek wisata ini berupa batu besar yang menggambarkan motif gaya Sentani dan dipercayai masih mengandung kekuatan supranatural. Selain mengunjungi situs purbakala ini, para wisatawan juga dapat menikmati pemandangan menarik Danau Sentani dan kegiatan-kegiatan masyarakat Doyo Lama. Objek wisata ini terletak di desa Doyo Lama, kecamatan Sentani, sekitar 45 kilometer di sebelah barat kota Jayapura dan dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan dalam waktu 40 menit. Jalur angkutan umum yang bisa digunakan yaitu Pasar Sentani-Doyo. <br /><br />PENINGGALAN PERANG DUNIA II<br />Tanki-tanki ini memiliki nilai sejarah. Pada masa Perang Dunia II, tanki ini berfungsi sebagai tempat penampungan bahan bakar. Sampai saat ini masih tersisa 19 tanki dalam kondisi baik yang terdapat di desa Waija, kecamatan Depapre. Tempat ini menarik untuk dikunjungi karena keindahan pemandangan Teluk Yotefa dimana orang-orang dapat berenang di tempat ini. Berlokasi di 63 kilometer sebelah barat kota Jayapura, tempat ini dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan dalam waktu 60 menit. Jika menggunakan angkutan umum maka jalur yang bisa digunakan yaitu Pasar Sentani – Depapre.<br />RUMAH ADAT<br />Bangunan ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sentani yang dibangun dengan model rumah panggung tanpa dinding-dinding atau kamar-kamar dan banyak dihiasi ukiran tradisional. Rumah ini berfungsi sebagai tempat pertemuan dan kegiatan-kegiatan adat lainnya. Rumah ini dibangun di atas panggung mencerminkan masyarakat Sentani yang bermukim di sekitar Danau Sentani. Rumah tradisional ini terletak 45 kilometer di sebelah barat kota Jayapura dan dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan dalam waktu 2,5 jam<br />TELUK YOUTEFA <br />Sebuah teluk dengan panorama yang sangat indah. Teluk ini secara resmi memang sangat indah, namun mempunyai arti khusus dalam Perang Dunia II, baik segi tentara Jepang maupun tentara Sekutu dan Amerika Serikat, karena letak teluk ini sangat strategis. Pada tanggal 19 April 1942 bala tentera Jepang masuk di Teluk Yotefa dan mendarat di PIM dan Abe pantai. Dengan diyakininya, bahwa letak Hollanda sangat strategis, maka Jepang melabuhkan dua buah kapal perang beserta marinirnya di Teluk Yotefa pada 6 Mei 1942.<br />Diteluk ini masih terdapat peninggalan sejarah Perang Dunia II berupa bangkai-bangkai kapal Jepang maupun Sekutu yang tenggelam, sedang di Abe Pantai dibangun sebuah tugu peringatan Pendaratan tentara Jepang. Ternyata teluk yang terlindung ini menjadikan Hollandia sebagai tumpuan pertahanan Jepang. Begitu pula Perbekalan yang dimiliki Jepang di Hollandia diakui sekutu sebagai satu-satunya pusat Perbekalan yang terbesar dan terkuat oleh bala tentara Jepang di seluruh wilayah Pasifik.<br />PANTAI BASE G <br />Pantai yang indah membentang disepanjang Samudera Pasifik. Pasoirnya putih dan airnya yang jernih menjadikan pantai ini ideal bagi penggemar renang mandi di sinar matahari. Tempat ini pada saat diduduki tentara Sekutu dijadikan sebagai Basis G. Pantai ini dapat dicapai dengan berbagai jenis kendaraan.<br />PENANGKARAN BUAYA <br />Penangkaran buaya ini terletak di daerah Entrop wilayah kecamatan Jayapura Selatan 5 Km dari kota Jayapura. Entrop adalah nama orang Belanda yang pertama kalinya tinggal di tempat ini. sekitar 500 meter dari jalan raya Abepura terdapat penangkaran buaya dalam berbagai jenis ukuran dengan jumlah ribuan ekor. Sering dikunjungi oleh masyarakat kota Jayapura maupun wisatawan dan dapat dicapai dengan jenis kendaraan.<br /><br />TOKO SOUVENIR <br />Disini terdapat banyak macam ukiran khas Papua yang dapat dibeli. Terletak di Pasir Hamadi, 4 Km dari pusat kota Jayapura ke arah selatan yang ditempuh dengan semua jenis kendaraan.<br />MUSEUM PROVINSI PAPUA<br />Luas areal museum sekitar 2,63 Ha. Museum Papua ini dibangun pada tahun 1983 dengan arsitektur bangunan bergaya Papua. Bangunan yang terdapat adalah bangunan utama 850 m2 dan perpustakaan 506 m2. Koleksi museum sebagian besar merupakan benda-benda etnografis seperti perlengkapan upacara, teknologi tradisional, peralatan seniman, keramik dan patung, juga terdapat berbagai macam buku-buku perpustakaan, berlokasi di desa Waena Museum ini berjarak sekitar 17 Km dari Kota Jayapura dan ditempun dengan semua jenis kendaraan.<br /><br /> <br />2.4.2. Potensi Wisata Kabupaten Merauke<br /><br />Kabupaten Merauke dengan ibukotanya Merauke, terletak di sebelah selatan Papua dan di paling timur Nusantara, berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea. Lebih dari 75% wilayahnya masih tertutup hutan tropis yang lebat dan rawa sagu serta hutan peralihan hutan tropis ke savana yang bertajuk hijau dengan beranekaragam jenis flora dan fauna yang terkandung didalamnya.<br />Di Kabupaten Merauke terdapat bandar udara yang didarati pesawat besar dari Jakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain. Terdapat juga pelabuhan laut yang disinggahi kapal-kapal besar dari Batam, Jakarta, Surabaya. Kapal kecil beroperasi untuk melayani pelayaran di Kabupaten lain di Papua<br /><br />WASUR<br /><br />Wasur adalah Taman Nasional yang dilindungi luasnya 413.810ha. Didalamnya terdapat berbagai jenis flora dan fauna seperti : Hutan Sabana, Hutan Belantara, Semak Belukar, Anggrek, Rawa-rawa, Bunga Bakung, Teratai juga hewan seperti Kanguru, Rusa, Babi, Buaya, Biawak, Ular, Burung Kasuari, Pelikan, Kokaburas, Cenderawasih, Elang, Bangau, Kakatua, Mambruk, Dll. Tercatat saat ini 239 jenis dan 164 jenis yang dilindungi. Jarak Tempuh dari Kota Merauke bervariasi antara 60/90 menit tergantung jarak arah yang ditempuh.<br /><br /><br />MUSAMUS<br />Rumah semut terdapat disepanjang jalan menuju Taman Nasional Wasur. Rumah semut menjadi istimewa karena dibangun oleh semut selama bertahun-tahun hingga mencapai 3-4 m. Musamus menjadi simbol semangat bagi masyarakat Merauke.<br /><br /><br /><br /><br />TUGU LB. MOERDANI<br />Tugu ini dibangun untuk mengenang pendaratan misi terjun payung yang dipimpin oleh LB. Moerdani untuk membebaskan Irian Barat pada tanggal 4 Juni 1962 (Trikora). Terletak sekitar 5 Km dari Kota Merauke.<br /><br /><br /> <br />2.4.3. Potensi Wisata Kabupaten Sarmi<br /><br />Kabupaten Sarmi dengan ibukotanya Sarmi berkedudukan di Sebelah utara pulau Papua, adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Pesisir Pantai dengan pusat Pemerintahan di Daerah Pegunungan. Sebagian besar penduduk wilayah Sarmi tinggal didaerah yang masih tergenang air di daerah pantai.<br /> Sebagai Kabupaten baru, saat ini Sarmi sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur berupa jalan, bandara, jembatam, perkantoran pemerintahan dan rumah bantuan untuk rakyat.<br /> Transportasi ke Kabupaten dapat ditempuh melalui kapal-kapal perintis dari Jayapura, Serui dan Biak, atau dapat juga ditempuh dengan menggunakan pesawat kecil twin otter dari Jayapura<br /><br />MONUMEN YAMAGATA<br /><br />Monumen ini dibangun oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Yamagata Jepang, sebagai tanda perdamaian dan persahabatan atas terjadinya perang Dunia II. Banyak dikunjungi oleh wisatawan Jepang. Terletak dipusat kota, bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau dengan Kendaraan<br /><br /> <br /> <br />2.4.4. Potensi Wisata Kabupaten Mimika<br /><br />Mimika adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua dengan pusat Pemerintahannya di Mimika memiliki kondisi alam yang unik dengan dataran tinggi yang berbukit terjal dan berjurang tajam, serta salah satu puncak gunung yaitu Puncak Jaya yang selalu tertutup es adalah salah satu diantara tiga salju abadi diwilayah equator dunia. Sementara dataran rendahnya masih hutan lebat dan berawa.<br /> Penduduk asli kabupataen MIMIKA terdiri dari suku-suku besar yaitu kelompok suku Amungme yang bermukim di daerah pegunungan dan kelompok suku Kamoro di Dataran Rendah/ pantai.<br /> Sarana transportasi didukung oleh adanya Bandar Udara Internasional yang melayani penerbangan dari Australia, Jakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain. Untuk melayani penerbangan antar kabupaten digunakan pesawat kecil jenis twin otter selain kapal penumpang milik PELNI.<br /><br />SUKU KAMORO<br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />Orang Kamoro pandai berburu juga lihai membuat karya ukir kayu dan aneka topeng roh yang dipamerkan dan dijual selain nyanyian dan tarian tradisional. Kelompok Suku Kamoro juga mempunyai ritual pembuatan genderang yang menggunakan Darah<br /><br />GUNUNG GRASBERG<br /> <br />Gunung Grasberg dan Gunung Erstberg. Kedua gunung ini kaya akan mineral tambang. Hasil tambang utamanya adalah tembaga dan emas yang kini dikelola oleh PT. Freeport Indonesia.<br /> <br />2.4.5. Potensi Wisata Kabupaten Nabire<br /><br />Kabupaten Nabire Terletak di Kawasan Teluk Cenderawasih . Kabupaten ini memiliki posisi yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan dan transportasi baik lewat laut maupun udara. <br /> Kabupaten Nabire saat ini memiliki Bandar Udara,namun saat ini hanya bisa didarati pesawat kecil jenis Twin Otter ke Biak,Merauke dan daerah pedalaman. Selain transportasi udara Kabupaten Nabire juga bisa ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal besar yang berlayar sampai ke pulau Jawa. <br /><br />TUGU SELAMAT DATANG<br /><br />Terletak tepat di depan Bandara Nabire,melambangkan ucapan selamat datang masyarakat Nabire kepada para tamu yang datang.<br /><br /><br /><br /><br /><br />TUGU LEPAS LANDAS<br /><br />Tugu ini tingginya sekitar 10 m, terletak di pusat kota, tepatnya dipersimpangan jalan Pepera dan jalan merdeka di depan Kantor Bupati, Tugu ini melambangkan 25 tahun Rencana PembangunaNasional ke-2 yang mau lepas landas pada tahun 1994<br />MATA AIR PANAS <br />Kurang lebih 24 Km ke sebelah timur kota Nabire dengan jalan raya menuju pelabuhan laut Samabusa. Anda dapat melihat sebuah mata air dengan airnya yang panas yang keluar dari dalam perut bumi. Panasnya 750 sampai 800C. Karena letaknya dekat pantai maka Anda dapat mencapainya dengan melalui laut atau jalan darat.<br /><br />TAMAN LAUT TELUK CENDERAWASIH <br />Taman Laut Teluk Cenderawasih memiliki pantai dengan hamparan pasir ± 30 pulau-pulau lepas pantai, batu karang bercabang dan masih banyak yang lain. Kurang lebih 130 jenis karang terdapat di laut ini. pantai ini panorama alamnya yang indah membentang bermil-mil jaunya.<br /><br />PANTAI WAHARIO <br />Kurang lebih 11 Km sebelah timur Kota Nabire, terdapat sebuah obyek wisata pantai bernama WAHARIO. Pantai ini banyak dikunjungi oleh masyarakat kota Nabire tertama di hari-hari minggu dan hari-hari libur. Pantai ini pasirnya putih dan airnya jernih. Mernaik sekali untuk berenang dan berjemur badan di sinar matahari. Pantai ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dan roda dua kurang lebih 15 menit.<br /><br />PULAU PEPAYA <br />Ini adalah salah satu pulau dari pulau-pulau lepas pantai yang bernama Pulau Pepaya yang dapat dijangkau dengan menggunakan perahu motor selama ± 15 menit dari kota kecamatan Kwatisore. Pulau ini dihuni oleh ratusan ribu burung kelelawar dengan pantainya indah dan lautnya sangat jernih.<br /><br /><br />PANTAI NUSI <br />Pantai ini disebut Pantai Nusi karena letaknya berhadapan dengan pulau Nusi. Pantainya indah dengan airnya jernih membuat masyarakat dari kota Nabire ingin berekreasi ke tempat ini untuk berenang dan melepas lelah pada hari-hari minggu dan hari-hari libur lainnya. Tempat ini dicapai dalam waktu ± satu jam dari Kota Nabire dengan semua jenis kendaraan.<br /><br /> <br />2.4.6. Potensi Wisata Kabupatan Jayawijaya<br /><br />Kabupaten Jayawijaya Berada di Pedalaman Papua dengan Ibukotanya Wamena, terletak dalam sebuah lembah indah dengan nama Lembah Baliem Terbentang sepanjang 80 Km dari ujung ke ujung dengan lebar kurang dari 20 Km, Dikelilingi oleh pegunungan dan rimbunnya hutan, terbentang bagaikan taman yang terpelihara, Lekukan gunung dan honai, rumah tradisional hampir seluruhnya terisolasi dari duania tetapi masih dapat di jangkau dengan pesawat udara lebih kurang 40 menit dari Bandara Sentani.<br />Penduduk asli lembah Baliem adalah suku Dani yang terkenal sebagai petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang bianatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Setelah Bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama katolik masuk dan daerah ini berkembang. <br />Sarana Penghubung dari Kota Wamena ke Kabupaten dan Distrik Lain adalah lewat transportasi udara. Beberapa kota kecamatan di Daerah ini sudah dapat dihubungkan dengan jalan darat dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat<br /> <br />Festival Lembah Baliem<br /><br />Festival Lembah Baliem Dilaksanakan Oleh Suku-Suku di Wamena menyongsong hari besar 17 Agustus yang ditetapkan sebagai Event Pariwisata Setiap Tahun di Lembah Baliem dengan Dukungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya<br /><br /><br />Atraksi Bakar Batu<br />Merupakan Budaya dan Tradisi masyrakata Baliem. Dalam event ini ditampilkan makanan tradisional bagi wisatawan karena hal tersebut merupakan suatu realita hidup komunitas masyarakat pribumi ( Suku Dani ) di Wilayah Lembah Baliem<br /><br /><br /><br /><br />Atraksi Panah Babi<br />Memperlihatkan cara berburu dengan menggunakan panah. Setelah dipanah hasil buruan diikat untuk dimasak/ dipanggang di dalam tanah yang biasa di sebut bakar batu atau dalam bahasa setempat di sebut " SNI HELEP "<br /><br /><br /><br /><br /><br />JEMBATAN GANTUNG KALI BALIEM <br />Jembatan ini pertama kali dibuat dengan cara tradisional oleh masyarakat setempat dengan bahan tali rotan kini dimodifikasi dengan bahan yang dibuat dari kawat baja, merupakan jembatan penyeberangan bagi masyarakat di bagian utara Sungai Baliem.Jembatan ini terletak di Desa Wesaput 2 km dari Kota Wamena dan dapat dicapai dengan kendaraan. Panjang jembatan ini ± 90 meter.<br />PATUNG HUKUMIAREK<br />Patung Hukuiarek dijadikan sebagai patung perdamaian. Hukumiarek adalah nama salah satu Kepala Suku di Wamena yang menjadi korban akibat perang suku. Patung ini dibangun untuk mengingatkan kepada masyarakat Wamena agar tidak terjadi lagi perang suku antara sesama suku serta memohon untuk senantiasa menjaga dan memelihara perdamaian.<br /><br />MUSEUM PILAMO<br />Museum ini dibangun oleh pemerintahan daerah Kabupaten Jayawijaya untuk menyimpan benda-benda budaya seperti; alat- alat perang dari suku-suku di Wamena yang disebut Awarek dan benda-benda lainnya. Pilamo dibangun dengan bentuk tradisional (benuk honay) di Desa Wesaput tidak jauh dari kota Wamena dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan.<br /> <br />RUMAH TRADISIONAL<br />Ini adalah sebuah p e r k a m p u n g an tradisional di Wamena dengan rumah-rumah yang dibuat bernbentuk bulat beratap ilalang dan dindingnya dibuat dari kayu tanpa jendela.Rumah seperi ini disebut Honelamo dengan bahasa daerah.<br /> <br />MUMMY<br />Mumy adalah manusia yang telah meninggal dunia dan jenasahnya diawetkan dengan ramuan tradisional mumi ini memiliki nilai historis dan religius karena berasal dari kepala suku atau Pemimpin Perang. ada 3 Mumy yang dapat dilihat <br />antara lain :<br />1. Mumy aikima ± 350 thn terdapat di Aikama 8.3 km dari Wamena<br />2. Mumy Jiwika berumur 300 th berlokasi di Jiwika 15,5 km dari Wamena<br />3. Mumy Pumo, berumur 250 Th berada di Pumo/Wogi di Asologaima 32.6 Km dari Wamena <br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />2.4.7. Potensi Wisata Kabupaten Asmat<br />Kabupaten Asmat yang beribukota di Agats berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, kabupaten Boven Digul, Laut Arafura dan Kabupaten Mimika. Jalan-jalan dikota berupa panggung kayu sehingga tiap kawasan ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau dengan sepeda. Untuk mencapai Asmat bisa menggunakan pesawat udara berukuran kecil seperti Twin otter dari Timika atau Merauke, juga bisa ditempuh dengan kapal penumpang yakni KM. Kalimutu dan kapal-kapal kecil lainnya dari Merauke atau Timika.<br /> Asmat terkenal dengan seni ukirnya baik didalam negeri maupun diluar negeri. Ukiran Asmat mempunyai arti tersendiri karena mempunyai fungsi simbol yang dikaitkan dengan kepercayaan roh-roh nenek moyang dan mempunyai pengaruh dalam kehidupan manusia.<br />MUSEUM KEBUDAYAAN & KEMAJUAN<br /><br /><br />Terletak sekitar 2 km dari pusat kota, terdapat segala macam hasil kerajinan suku asmat berupa ukiran, lukisan, aksesoris, alat dayung, alat musik dan binatang-binatang yang diawetkan.<br /> <br />2.4.8. Potensi Wisata Kabupaten Yapen<br /><br /> Kabupaten Yapen waropen terletak di Teluk Cenderawasih tepatnya di Pulau Yapen dengan ibukota Serui. Sebagian Besar kawasan ini ditutupi oleh hutan-hutan tropis. Dari ratusan spesies anggrek yang tumbuh di Papua banyak yang terdapat di Pulau Yapen, Burung Cenderawasih,Kakatua hitam, Ayam hutan, Nuri, Mambruk, Biawak, Penyu Belimbing dan lain-lain dapat ditemui disini.<br /> Untuk mencapai Yapen dapat ditempuh melalui laut dengan kapal besar dari Pulau jawa dan Sulawesi serta kapal ferry dari Biak dan Nabire. Sedangkan transportasi udara dapat menggunakan pesawat kecil jenis Twin Otter dari Biak.<br /><br />TUGU PERJUANGAN<br /><br />Merupakan lambang perjuangan rakyat Serui dalam melawan Integrasi Sekutu terhadap Republik. Teletak di Jantung Kota Serui<br /><br /><br /><br /><br />MONUMEN SAM RATULANGI<br /><br />Merupakan bekas rumah yang dihuni DR. Sam Ratulangi pada saat diasingkan oleh Belanda. Terletak di Pusat Kota Serui<br /><br />TUGU SALIB<br /><br />Tugu ini didirikan untuk mengenang pertama kalinya agama Kristen Protestan masuk ke Serui. Terletak sekitar 2 Km dari pusat kota dan dapat ditempuh dengan berbagai macam kendaraan maupun dengan berjalan kaki.<br /><br /><br /><br /> <br />BARAWAI <br />Desa Barawai Kecamatan Yapen Waropen dapat dicapai kurang lebih 4 jam dari Kota Serui dengan taksi laut, panorama alam dan pantainya sangat indah. Disini Anda melakukan kegiatan tracking (mendaki) melewati daerah hutan lindung menyaksikan keindahan alam flora dan fauna, terutama Anda menyaksikan dari dekat burung-burung Cenderawasih yang sedang Bermain di alam habitatnya baik pada pagi hari dan sore hari. Apabila anda datang ke tempat ini, anda akan disambut dengan tarian ada oleh masyarakat setempat dan dapat dipandu melihat kehidupan burung Cenderawasih dari dekat.<br /> <br />HUTAN LINDUNG <br />Lokasi ini berada di sepanjang Kecamatan Yapen Angkaisera dan Yapen Timur. Jarak 2-3 jam dengan kendaraan, disini Anda bisa tracking sambil menyaksikan berbagai jenis flora dan fauna, gunung, lembah dan sungai.<br /> <br />PANTAI MARIADEI<br />Pantai ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dan roda dua atau dengan berjalan kaki dalam waktu 15 menit dari Kota Serui. Pantai ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Kota Serui pada hari minggu dan hari-hari libur lainnya. Yang paling menarik adalah menyaksikan indahnya matahari terbenam di sore hari.<br />TELAGA BIRU SARWONDORI <br />Di tempat ini terdapat dua Telaga berwarna biru dengan panorama yang sangat indah letaknya di desa Sarowondori ± 5 km dari kota Serui. Di sini dibangun sebuah objek wisata yang ramai dikunjungi oleh masyarakat kota Serui pada hari Minggu dan hari-hari libur lainnya. Selain sebagai objek wisata juga tersedia rumah-rumah untuk tempat istirahat melepas lelah sambil bermalam. Objek wisata ini dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Yapen Waropen di Serui.<br /><br />TARIAN TRADISIONAL<br />Ini adalah satu tarian tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di kabupaten ini.<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />2.4.9. Potensi Wisata Kabupaten Biak Numfor<br /><br />Kabupaten Biak Numfor dengan ibukotanya Biak terletak di bagian utara Provinsi Papua terdiri dari 3 pulau besar yaitu, Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor serta puluhan pulau-pulau lainnya. Kabupaten Biak Numfor kaya akan sejarah perang duia ke II dan keindahan alam lautnya yangindah dengan pantai-pantainya yang berpasir putih. <br /> Transportasi di Biak didukung oelh Bandar Udara bertaraf Internasional " Frans Kaisepo " yang melayani pesawat-pesawat besar dari Jakarta, Surabaya,Makassar dan lain-lain. Terdapat pula pelabuhan laut yang disinggahi kapal-kapal besar dari Batam, Jakarta, Surabaya. Kapal kecil beroperasi untuk melayani perjalanan ke kabupaten-kabupaten lain di Papua.<br /> <br />GOA JEPANG<br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /> <br />Nama asli goa ini adalah ABYAU BINSAR, menurut bahasa Biak. Pada masa perang Dunia II, goa ini disebut Goa Jepang karena pada masa itu tentara Jepang menggunakannya sebagai pusat logistik dan pusat persembunyian. Kurang lebih 5000 tentara Jepang terperangkap dan mati di dalamnya akibat serangan mendadak tentara sekutu. Goa ini banyak dikunjungi wisatawan manca negara terutama dari Jepang. Letaknya di Desa Sumberker Kecamatan Biak Kota. Kurang lebih 15 menit dari Kota Biak dan dapat di tempuh dengan segala Jenis Kendaraan.<br /> <br />MONUMEN PERANG DUNIA II<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Monumen ini dibangun oleh Pemerintah Jepang di Desa Parai dengan menyimpan sejumlah tulang-tulang dari bala tentara Jepang yang tewas pada Perang Dunia II. Lokasi ini dipilih karena pada tahun 1942 - 1944 tempat ini digunakan sebagai Pusat Perdagangan Pemerintah Jepang selain sebagai basis pertahanan. Untuk mencapai monumen ini dibutuhkan waktu ± 15 menit dari kota Biak<br /><br />WISATA BAHARI <br />Biak Numfor berada dalam teluk Cendrawasih dan dikelilingi oleh lautan dan pulau-pulau yang kaya akan berbagai jenis biota laut, seperti ikan dan karang yang berwarna warni.<br />Tempat-tempat penyelaman (Diving) berada di panjang gugusan kepulauan Padaido yang ditempuh dengan motor laut dan juga terdapat beberapa lokasi selam lainnya seperti di pulau rani, pulau Insum babi pulau Mapia, setiap pulau ini dikelilingi oleh pantai berpasir putih yang indah panorama alamnya dengan perkampungan nelayan.<br />Terdapat karang laut yang sangat indah di tepat ini seperti karang gua, karang lunak, karang keras, karang kipas dengan corak warna yang indah dan juga ikan badut, ikan tongkol raksasa, ikan pari Rajawali, kepiting, kerang-kerangan, belut, lar laut tak Beracun, ikan hiu.<br />TAMAN BURUNG & ANGGREK<br />Di kawasan ini Anda melihat berbagai jenis burung terdapat di Provinsi Papua seperti Cendrawasih dan berbagai jenis bunga anggrek yang jarang dan spesifik dari daratan Provinsi Papua.<br /><br /><br /><br /><br />AIR TERJUN <br />Air terjun yang indah dengan sebuah Telaga kecil yang sangat dingin sangat cocok untuk berenang dan bersantai, terletak di Warsa Biak Utara ± 2 jam dari Kota Biak.<br /> <br /> <br />PANTAI AGGADUBER <br />Pantai ini terletak di bagian Timur Kota Biak jarak tempuh 32 Km dengan kendaraan. Pantai ini sangat menarik, karena pasirnya putih, air bersih dan panorama alamnya sangat indah dan berhadapan dengan laut Pasifik.<br /><br />MUSEUM CENDRAWASIH <br />Museum ini terdiri dari jalan Sisingamangaraja dengan gaya arsitektur tradisional Suku Biak (RUMSRAM) dan digunakan sebagai museum sejarah dan peninggalan kebudayaan. Dalam museum ini disimpan bekas alat-alat perang pada masa Perang Dunia II dan benda-benda budaya dari Suku Biak Numfor, Museum ini terletak di kota Biak kurang lebih 10 menit dari Kota Biak dan dapat dicapai dengan segala jenis kendaraan.<br />2.4.10. Potensi Wisata Kabupaten Manokwari<br /><br />Kabupaten Manolwaro terdiri dari 12 Kecamatan dan 132 Desa. Kabupaten Manokwari sering juga disebut kota buah-buahan karena disini tanahnya sangat subur untuk berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Penduduk Asli Kabupaten Manokwari terdiri dari beberapa suku seperti Suku, Sough, Suku Karon, Suku Hatam, Suku Meyeh dan Suku Wamesa, Suku-suku ini mempunyai budaya yang unik dan berbeda.<br /><br />PEGUNUNGAN ARFAK<br />Suatu kawasan cagar alam yang dilindungi, bagi setiap pengunjung yang datang ke pegunungan Arfak benar-benar merasa puas, karena dapat menikmati panorama alamnya yang indah sejuk seperti hutan. <br />Lembah , sungai. Perkampungan tradisional dan kehidupan masyarakat yang masih seperti zaman batu, yang paling menarik disini adalah terdapat sekoitar 320 jenis burung, 110 jenis mamalia dan 323 jenis kupu-kupu.<br /><br />PANTAI PASIR PUTIH<br />Terletak sekitar 5 km dari pusat Kota Manokwari dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dan roda dua dengan waktu 15 menit Pantai ini sangat nyaman untuk rekreasi berenang, jemur panas, pasirnya putih dan berombak kecil.<br /><br /><br />PANTAI AMBAN<br />Terletak 4 km dari Kota Manokwari dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Pantai Amban pasirnya berwarna hitam dengan deburan ombak yang menawan jika Anda ingin menyaksikan keindahan terbitannya matahari di ufuk tumur, Anda datang melihatnya disini.<br />DANAU ANGGI<br />Danau Anggi luasnya 2.000 ha artinya sangat jernih. Terletak di Kecmatan Anggi, kira-kira 30 menit dari Kota Manokawri dengan pesawat udara jenis Cessna dan Twin Otter.<br /><br />TAMAN LAUT <br />Kawasan ini memiliki pulau-pulau yang panorama alamnya sangat indah dan tenang di pulau-pulau in ada masyarakat nelayan dengan perkampungan tradisional. Di beberapa pulau ini terdapat hamparan terumbu karang dengan jenis-jenis biota lautnya dari cocok untuk kegiatan selam.<br /><br />CAGAR ALAM PEGUNUNGAN WONDIWOY<br />Cagar alam ini memiliki 147 species burung dan berbagai jenis glora dan fauna lainnya. Terletak di sepanjang Jaziriah Wasior 142.173,94 km dengan luas 73.022 ha. Dari cagar alam ini dapat dinikmati panorama alam Teluk Wandamen dan Teluk Cenderawasih yang sangat indah. Dapat dicapai dengan pesawat udara jenis Cessna dan Twin Otter waktu tempuh ± 20 menit dari kota Manokwari.<br />Bentuknya unik dibangun di atas tiang-tiang penyangga yang sangat banyak sehingga dinamakan rumah seribu kaki. Dindingnya terbuat dari kulit kayu sedangkan atapnya dari daun pandan penghuninya terdiri dari 4 sampai 5 keluarga (25-30 orang). Rumah-rumah tradisional Suku Arfak ini di pedalaman Manokwari, Kecamatan Kebar, Anggi dan Merday.<br /><br />HUTAN WISATA GUNUNG MEJA<br />Dari kejauhan gunung ini membentuk seperti meja terletak kira0kira 2 km dari Kota Manokwari dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Areal gunung meja merupakan Hutan yang sangat ideal untuk olahraga hiking, piknik keluarga serta penelitian. Di kawasan hutan wisata ini dibangun Tugu Jepang yang merupakan monumen peringatan Pendaratan tentara Jepang divisi 221 dan 222 di Manokwari pada waktu Perang Dunia II dari lokasi ini dapat menikmati pemandangan Kota Manokwari.<br /><br />TUGU DI PULAU MANSINAM <br />Pulau Mansinam terletak di teluk Doreri merupakan salah satu obyek wisata sejarah, karena di tempat inilah dibangun sebuah monumen untuk memperingati pertama kali masuknya Injil di Papua oleh dua Misionaris berkebangsaan Jerman bernama Ottow dan Geisler pada tanggal 5 Februari 1855. Ditempat ini juga terdapat sebuah sumur tua dari dua Misionaris tersebut.<br />Pulau ini didukung oleh keindahan taman laut dengan pantainya berpasir putih mengandung banyak wisatawan berkunjung ke tempat ini. setiap tahun tepatnya tanggal 5 Februari umat Kristiani di Provinsi Papua menyelenggarakan Wisata Rohani di pulau ini untuk memperingati hari masuknya Injil.<br /><br />TARIAN TRADISIONAL<br />Di Manokawri terdapat berbagai jenis tarian dan upacara-upacara adat dari suku-suku yang ada baik suku-suku di pedalaman dan pesisir pantai selalu ditampilkan pada acara-acara seperti penyambutan kelahiran anak, peminangan, upacara pernikahan.Upacara pengangkatan dan penobatan kpeala suku dan juga pada festifal dan hiburan umum.<br />CENDERAMATA<br />Hasil-hasil Kerajinan rakyat seperti Lukisan, ukiran, Anyaman yang merupakan cenderamata dapat dibeli pada beberapa toko cenderamata dan sanggar Kerajinan rakyat di Kota Manokwari.<br /><br /><br /><br />2.4.11. Potensi Wisata Kabupaten Fak-fak<br /><br />Kabupaten Fak-fak berada di Selatan Provinsi Papua dan memanjang 750 Km dengan luas 50.592 Km2 . Kabupaten Fak-Fak dengan ibu Kota Fak-Fak sering disebut Kota Plaa, karena daerah ini subur akan pohon pala dan terletak pada posisi 131030 sampai 1380 Bujur Timur.<br /><br />IKAN DUYUNG<br />Ikan Duyung ini dipelihara oleh seorang warga Desa Kita Fak-Fak dari sejak kecil dan kini beratnya 400 kg dan panjang 2.90 meter. Jarak tempuh ke tempat ini ± 25 meinti dari kota Fak-Fakt dengan menggunakan segala jenis kendaraan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />TRACKING FAK-FAK KOKAS<br />Route Fak-Fak � Kayumi � Ubari � Kokas<br />Sepanjang jalan Anda menikmati panorama alam yang indah dan sejuk, melewati gunung dan lembah. Selama dalam perjalanan anda jalan diiringi kicauan berbagai jenis burung yang menghiasi hutan rimba. Anda berjalan ± 20 Km dalam waktu 4 jam tiba di Kayumi dan berbagai jenis Anggrek dari utara hutan lindung, Anda melanjutkan perjalanan ke Ubadari, dari Buadari Anda menumpang taksi sungai (long boat) menyusuri sungai dengan air yang tenang, panorama alam yang indah, sejuk dan dihibur kicauan burung-burung dari pepohonan yang ada di pinggiran sungai, dan anda akan melewati perkampungan tradisional Patimbaruk dan tiba di Kokas.<br /><br />KOKAS <br />Kokas adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Fak-Fak terletak di Teluk Bintuni. <br />Di Kokas Anda dapat beristirahat di sebuah home stay milik masyarakat setempat.<br />Di Kokas Anda dapat melihat peninggalan Perang Dunia II seperti meriam, bom dan peralatan perang lainnya dan sebuah goa yang dijadikan sebagai tempat pertahanan oleh Dai Nippong yang dipimpin oleh Panglima Serebo Taco. Panjang Goa ini ± 285 meter, tinggi ± 2.5 meter dan lebar 3 meter.<br /><br />TAPAK TANGAN<br />Disini terdapat sebuah gambar berupa Tapak Tangan manusia yang menempel atau terlukis pada tebing batu yang oleh masyarakat setempat menamakan Tapak Tangan Berdarah karena warnanya merah darah.<br />Tempat ini pernah didatangi oleh ilmuan untuk meneliti tentang kapan dan bagaimana hal ini terjadi.<br /><br />KAIMANA <br />Kaimana merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Fak-Fak, yang panorama alamnya sangat indah dan menarik. Untuk menyaksikan keindahan saat matahari tenggelam dapat dilakukan disini karena letaknya di tepi pantai. Cuaca di Kaimana menjadi warna merah jingga di kala matahari hendak terbenam dengan cahayanya yang memantul di permukaan laut membuat kota Kaimana menjadi indah dan menarik. Selain pemandangan yang memikat tersebut, juga dapat mengunjungi obyek-obyek wisata lainnya seperti relief-relief kerajaan kuno, beberapa gua dan kerangka burung Garuda (jenis yang sangat langka) di Lobo. Di gunung Karanjen Lobo dapat dijumpai sebuah tugu yang disebut �FORT DU BUS�, yang didirkan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1838. daerah ini dapat dicapai dengan pesawat terbang seperti Twin Otter milik Merpati Nusantara Airways (MNA) atau jenis pesawat pribadi yang lainnya. Selain itu dapat juga dicapai melalui laut dari pantai selatan Papua atau Pulau Maluku.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2.5.12. Potensi Wisata Kabupaten Sorong<br /><br />Kabupaten Sorong tertelak di bagian Barat Provinsi Papua dengan luas ± 176.000 Km2 pada ketinggian 0-75 m dari permukaan laut. Sorong sering dinamakan Kota Minyak karena disini terdapat sumber minyak terbesar di Indonesia Timur, memiliki sumber daya alam yang cukup baik dan menawarkan investor guna menanamkan modalnya di berbagai sektor salah satunya Pariwisata.<br /><br />PAKET WISATA SELAM <br />Wisata selam khususnya di Kabupaten Sorong menawarkan paket wisata yang menarik untuk menyelam selama 2 sampai dengan 3 minggu. Daerah-daerah penyelaman ini memiliki panorama alam yang masih asli dan belum terjamah oleh tangan manusia.<br />Di daerah Kepulauan Raja Ampat sampai kepulauan Jefman terlihat keindahan alam yang unik dan beragam dengan jenis karang yang indah dan menarik serta terdapat bangkai-bangkai kapal sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II mulai dari wilayahnya Manokwari sampai dengan kepulauan Raja Ampat (Sorong). Selain itu ada juga paket wisata lainnya seperti wisata budaya dengan perkampungan penduduk yang asli dan menelusuri hutan dengan menyaksikan air terjun, mendaki gunung serta menikmati pemandangan disekitarnya. Pemandangan lain yang dinikmati adalah pesisir pantai yang putih dengan bunga-bunga anggrek yang tumbuh di sepanjang pantai serta berbagai jenis burung seperti burung Cenderawasih, Nuri, Kakatua, Elang Bakau Putih, dll.<br /><br />PANTAI TANJUNG KASUARI <br />Obyek wisatawan ini jarak tempuh 7 km dari kota Sorong dengan semua jenis kendaraan. Pantai ini pasirnya putih dengan airnya yang bergelombang kecil, alamnya sejuk indah dan disepanjang pantai terdapat pohon kelapa, cocok untuk rekreasi pantai, snorking, perahu layar, berjemur panas. Pantai ini ramai dikunjungi oleh masyarakat kota Sorong. <br /><br />BASE CAMPS <br />1. Kepulauan Mansoer <br />Mempunyai pantai yang landai serta pemandangan laut yang indah dengan berbagai ragam bunga karang lunak, karang keras, ikan-ikan dalam kelompok besar, bara-bara kuda, ikan hiu dan jenis species lainnya.<br />2. Kepulauan Wai dan Teluk bay dilokasi ini ditemukan bangkai kapal laut dan pesawat terbang peninggalan Perang Dunia II <br />Jarak tempuh ± 30-60 menit dari Kota Sorong dengan speed boat.<br /><br />PULAU BATANTA <br />Terletak di Kecamatan Salawati, jarak tempuh 2 jam dari kota Sorong. Panorama alamnya sangat indah, pantai dengan pasirnya yang putih dan airnya jernih. <br /><br />BAB. III<br />PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI<br /><br />3.1. Kondisi Papua Saat Ini<br />Papua merupakan sebuah propinsi yang memiliki potensi kekayaan alam luar biasa besarnya. Tetapi mengapa papua selama ini diidentikkan dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan? Tidakkah dengan potensi yang ada seharusnya masyarakat papua bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari sekarang? Seberapakah tertinggalnya papua dibandingkan dengan daerah yang lain? Dan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut?<br />Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin ada di benak masyarakat Indonesia atas kondisi di papua saat ini. Keadaan propinsi yang dahulu bernama irian jaya ini sangat ironi, dimana di satu sisi memiliki potensi alam yang besar dan di sisi lain kualitas kehidupan masyarakat yang masih memprihatinkan. Semua model pembangunan telah diterapkan pemerintah di bumi papua untuk mengubah kehidupan masyarakat ke arah perbaikan yang lebih maju, tetapi tidak maju-maju juga.<br />Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat, dan selama itu pula terjadi kekeliruan dalam penerapan model pembangunan di papua. Hal tersebut dikarenakan keadaan papua dalam kondisi dilemmatis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan kemandiriannya harus dikompetisikan dengan kemajuan global, sementara di sisi lain masyarakat di Tanah Papua saat ini umumnya masih terkondisikan dalam tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan dunia dewasa ini telah mengindikasikan beberapa faktor seperti: rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, perdagangan bebas, primary service, good governence, high cempetition. Indikasi tersebut seringkali menjadi dasar acuan kebijakan pembangunan yang dipercepat. Padahal, memacu pertumbuhan dengan memanfaatkan nilai-nilai dari luar, jelas memliki beberapa dampak yang buruk terhadap masyarakat papua.<br />Sementara itu, ketika pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengembangan yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi terasa asing dan kehilangan daya rekatnya. Selain itu juga menghasilkan konglomerasi di satu pihak dan kemiskinan di pihak lain. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah sebatas dari pertumbuhan atau modernisasi dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan material semata, melainkan lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non material yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap-sikap sosial dalam masyarakat.<br />Issu-issu utama pembangunan di Papua, telah lama menjadi perhatian publik, baik pemerintah maupun masyarakat. Di pihak masyarakat, issu-issu tersebut telah menjadi arena perjuangan dalam rangka menemukan suatu kondisi yang lebih baik di semua aspek kehidupan, sementara itu di pihak Pemerintah, issu-issu tersebut telah disetting sebagai agenda pembangunan dalam berbagai kebijakan, strategi dan program-program pembangunan tahunannya. Adapun issu-issu pembangunan tersebut meliputi semua bidang dan sektor yang pada dasarnya masih tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Tetapi sejumlah issu strategis penting selama 5(lima) tahun terakhir ini adalah :<br />1. Sumberdaya Manusia : berdasarkan laporan Pemerintah Provinsi Papua (2004) bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi dihadapkan pada persaingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.<br />2. Pemberdayaan Ekonomi Daerah : Memperhatikan struktur ekonomi Papua dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, nampak didominasi sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, serta sektor perdagangan dan jasa. Sementara sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB sangat kecil. Menurut hasil penelitian UNDP bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (2005), diperkirakan masih terdapat 41,80% penduduk yang dikategorikan sebagai kelompok miskin di Papua, dan angka ini sedikit menurun pada tahun 2003 yaitu 39,02 %. Bila dibandingkan dengan angka nasional, Papua masih tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Toli-kara memiliki persentase penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah pantai seperti Asmat, Keerom, Boven Digoel dan Sarmi. Demikian halnya dengan Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Merauke sebagai kabupaten induknya, tidak ada perbedaan yang jauh dalam hal persentase penduduk miskin. Data yang dikeluarkan oleh Bappenas (2004) dan Susenas (2004) menunjukkan bahwa per-sentase penduduk miskin Papua, menurun dari 41,80 pada 2002 menjadi 39,02 pada tahun 2003. Tetapi jika dibandingkan dengan persentase tingkat nasional, kemiskinan di Papua tergolong tinggi.<br />3. Infrastruktur : Prasarana jalan dan transportasi di Papua adalah salah faktor penyebab utama dari ketertinggalan. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan atau peningkatan jalan darat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan penting. Teristimewa untuk tiga kabupaten, Paniai, Tolikara dan Boven Digoel yang memiliki lebih dari 35 kampungnya hanya dapat dijangkau oleh angkutan udara. Keadaan ini mengakibatkan kampung-kampung tersebut secara relatif masih terisolasi. Penambahan jaringan listrik dan kapasitasnya juga menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kabupaten Paniai dan Sarmi kurang dari 3% penduduknya yang menikmati fasilitas listrik. Ada empat kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara dan Boven Digoel yang tidak mengelola sampah dan sanitasi air kotor di daerahnya. Keadaan ini apabila dibiarkan, pada saatnya nanti akan menjadi permasalahan serius di empat kabupaten tersebut. Karena sampah dan sanitasi air kotor yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan air bersih juga menjadi hal yang mendesak di lima kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara, Boven Digoel dan Asmat. Karena situasi, kondisi dan lingkungannya, kelima kabupaten tersebut, sulit mendapatkan air sumur yang memenuhi standar minimal air bersih. Bahkan khusus untuk daerah Asmat tidak mungkin membuat sumur untuk air minum. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan. Kabupaten Paniai, Sarmi, Keerom dan Tolikara, juga membutuhkan peningkatan pelayanan listrik, jaringan dan kapasitasnya. Kurang dari 3% rumah tangga yang mendapatkan pelayanan listrik. Bahkan di Tolikara, belum ada kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara). <br />4. Pemerintahan : Di bidang ini, nampak terlihat masih adanya kendala serius, terutama dalam hal : justifikasi hukum pemerintahan serta kapasitas dan kinerja orga-nisasi pemerintahan. Kerangka pemerintahan dalam konteks otonomi khusus menjadi kabur, karena belum jelasnya perangkat pemerintahan yang seharusnya diberlakukan, sementara itu kapasitas dan kinerja organisasinya menjadi lemah oleh karena: (a) Semua daerah baik yang lama maupun yang baru dimekarkan telah membentuk dinas-dinas yang terkait dengan sektor tersebut; (b) Pelaksanaan fungsi dan tugas dinas-dinas di daerah pemekaran sudah berjalan namun belum optimal karena pada tahun-tahun awal perhatian pemerintah sebagian besar pada penyediaan prasarana dan sarana fisik kantor. (c) Masih banyak pegawai dari dinas-dinas di daerah pemekaran meninggalkan tugas dan tinggal di kota-kota.<br />Bertitik tolak pada kondisi potensi dan permasalahan, maka kebijakan pemba-ngunan ditempuh dengan 4(empat) pendekatan, yaitu : (a) Mikro spasial vs Makro sektoral. Keserasian pendekatan kawasan yang bertumpu pada aspek manusia (mikro) dan pen-dekatan pertumbuhan yang bertumpu pada sektor potensial (makro); (b) Kesejahteraan dan ketenteraman. Keserasian proses pembangunan dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketenteraman lahir dan bathin yang dinamis dalam massyarakat; (c) TigaTungku. Keserasian pendekatan pembangunan di mana dalam proses pembangunan melibatkan peran aktif tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah secara serasi, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing melalui kemitraan dengan pola pendampingan, pembimbingan dan perlindungan kepada masyarakat sebagai wujud nyata pemerintahan yang baik (good governance) ; (d) Wawasan Lingkungan. Keserasian pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup, di mana semua kegiatan pembangunan harus dikaji dampaknya.<br />Secara khusus, kebijakan pembangunan di Provinsi Papua dititik beratkan pada 4 program prioritas utama, yaitu :<br />1. Pendidikan : diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar mampu merubah sikap, orientasi dan pola pikir untuk bertindak secara profesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Dalam era otonomi khusus, proses pendidikan memperhatikan keragaman kebutuhan daerah dengan memperbesar muatan lokal. Meng-upayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai dengan karakteristik spesifik Papua, seperti pendidikan berpola asrama. Peningkatan mutu pendidikan Adapun jabaran kebijakan menjadi kegiatan dititik beratkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan yang bertujuan untuk menjangkau dan menyerap penduduk usia sekolah serta meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM agar menguasai Ipteks, merubah sikap dan pola pikir untuk bertindak pro-fesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi serta mampu mengelola potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraannya. <br />2. Kesehatan : diarahkan pada peningkatan mutu lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja, pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan. <br />3. Ekonomi Kerakyatan. Diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Pember-dayaan ekonomi rakyat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat agar mampu mengolah dan mengelola sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Di dalam Renstra telah dituangkan bahwa pertanian merupakan salah satu sektor yang akan terus dipacu pengembangannya. Kebijakannya diarahkan pada sektor : pertanian, perikanan dan kelautan, serta kehutanan.<br />4. Infrastruktur. Dalam rangka pembangunan prasarana dan Sarana, kebijakan diarahkan pada pembangunan dan peningkatan infrastuktur pemerintahan, ekonomi dan Pelayanan Publik de-ngan tujuan untuk mendukung pe-ngembangan wilayah, terutama wi-layah yang belum tersentuh pem-bangunan, pusat-pusat pemerintahan, kawasan pengembangan ekonomi rakyat dan kawasan-kawasan tumbuh cepat. Pembangunan infrastruktur di-harapkan dapat meningkatkan pelayanan pemerintahan serta mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat di suatu kawasan dan sekitarnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan, memberikan akses bagi masyarakat pedesaan untuk berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar arus barang dan jasa, serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan pokok lainnya. Di sektor perhubungan, sejumlah kegiatan diarahkan untuk : (a) Mengembangkan sistim transportasi laut, darat dan udara terutama menuntaskan pembangunan ruas jalan strategis antar kabupaten-kota. (b) Mengembangkan sistim angkutan umum melalui penyediaan kapal penumpang perintis dan jasa transportasi laut lainnya sebagai penghubung antar pulau. (c) Mengembangkan dan membangun jaringan jalan antar desa/kampung. (d) Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi untuk mendukung pembangunan Kota Kabupaten.<br />Gagalnya suatu paradigma menerangkan fenomena atau gejala alam (dan atau gejala sosial) yang merupakan suatu realitas baru, disebabkan adanya "unsur" baru yang sebelumnya tidak diprediksi keberadaannya sewaktu paradigma itu disusun. Oleh karena itu, upaya pertama yang perlu dilakukan dalam penyempur-naan atau penyusunan paradigma adalah penemukenalan unsur-unsur dimaksud. Dikaitkan dengan kondisi Papua, penyusunan dan perumusan wacana kemandirian lokal sebagai suatu alternatif pendekatan atau paradigma baru pembangunan dilakukan dengan bertitik tolak pada upaya penemukenalan "unsur" yang menjadi penyebab kegagalan pendekatan pemba-ngunan yang lama. Pendekatan pembangunan yang dikenal dan dikembangkan oleh para pakar dan praktisi pembangunan cukup mewarnai dinamika pembangunan di Tanah Papua selama ini, sebut saja teori modernisasi, teori ketergantungan, teori artikulasi, dan teori sistem dunia. Penerapan teori-teori tersebut ternyata tidak secara rigit dianut, melainkan kombisasi antar teori yang melahirkan suatu paradigma pembangungan yang sangat variatif dan terkadang menjadi tidak jelas. Contoh : antara paradigma pertumbuhan dan paradigma pemerataan yang di dalamnya menyertakan pula konsep pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan manusia seutuhnya, dan pembangunan berkelanjutan.<br />1. Paradigma Pembangunan Era Sentralistis<br />Pada era sentralistis - ketika itu Papua masih disebut Irian Jaya – paradigma pembangunan yang diterapkan nampak merupakan kombinasi teori yang dikenal sebagaimana diutarakan sebelumnya, lebih dominan pada paradigma pertumbuhan menurut teori modernisasi. Hal ini jelas nampak pada posisi hubungan Jakarta-Papua, di mana hampir seluruh ide, konsep, rencana, dan petunjuk pelaksanaan pembangunan dilakukan secara terpusat yang mengandalkan prinsip tricle down effect. Walau paradigma tersebut diselingi dengan paradigma pemerataan dan keadilan, tetapi tak cukup memberi warna pada seluruh tahapan pembangunan di Papua. <br />Secara umum, konsep pembangunan yang diterapkan berdasar pada para-digma itu adalah membagi Tanah Papua ke dalam beberapa wilayah “pusat pertumbuhan”. Ketika itu terdapat 4 pusat pertumbuhan. Konsep ini, kemudian ternyata menimbulkan kesenjangan yang kian menganga antara daerah pusat pertumbuhan yang dipercepat dengan daerah-daerah pinggiran dan hinterland yang hanya memperoleh efek minimal saja. Konsep tersebut dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan jangka panjang, yang selanjutnya dioperasionalkan dalam REPELITADA dan APBD dan menggunakan mekanisme UDKP dan Rakorbang. Dalam bidang pendidikan, ditandai dengan kebijakan dan strategi “percepatan” kualitas dengan standar yang ditentukan di Jakarta berdasarkan prinsip sama bagi semua Maka berlakulah kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan hingga 70 % dari seluruh muatan kurikulum. Alokasi pembiayaan, personalia, dan sarana manajemen lainnya, serta penetapan program pembangunan di bidang pendidikan di desain bukan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula halnya di bidang lainnya, termasuk di bidang ekonomi. Skala pembangunan ekonomi di Papua, ketika itu termasuk yang terkecil dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia. Sektor pertambangan dan migas yang menjadi andalan kekayaan Papua dikuasai oleh Jakarta dan dikembalikan ke Papua hanya dalam jumlah yang kecil (maksimal 30 % saja dari keuntungan yang diterima oleh Negara). Di bidang kependudukan, atas dasar pemerataan penduduk semata tanpa memperhatikan aspek kualitasnya, Pemerintah Pusat mengirim transmigran dalam jumlah besar ke Papua. Pemerintah dan masyarakat Papua tinggal menerima saja tanpa dilibatkan secara serius dalam perencanaannya. <br />Pada era pembangunan ini, juga diterapkan paradigma pemerataan yang didasarkan pada teori artikulasi, di mana melalui berbagai program pembangunan di kampung-kampung ditempuh dengan menggunakan strategi “pengelompokan masyarakat”. Muncullah berbagai simpul-simpul kecil pembangunan di desa-desa, seperti : KSM, POKMAS, dll. Yang dimaksudkan agar masyarakat dapat secara bersama-sama dalam kelompoknya mendesain rencana kebutuhannya sendiri dengan cara produksi bersama-sama. Sebutlah misalnya : Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), JPS, dan Pengembangan Kawasan Terpadu, Program BANGDES, dengan pola pendampingan. Program ini dilakukan pada skala mikro-spasial tetapi dirancang dengan skala-makro oleh pemerintah. <br />Bagi Papua, serangkaian fakta-fakta tersebut justru hanya menciptakan ketergan-tungan abadi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mendasari penyelenggaraan Pemerintahan daerah tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen menggeser kewenangan itu dari Jakarta ke Papua. Faktanya, dalam segala hal, tugas Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota hanya sebatas mengusulkan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang dibentuk di Papua pada 1976, tidak dapat berperan sebagai institusi fungsional, sebab perannya selama ini kurang jelas baik sebagai koordinator pembangunan maupun sebagai pengendali pemba-ngunan. Karena ketidak jelasan tersebut, maka seringkali Bappeda justru bertindak sebagai pelaksana pembangunan. <br />Beberapa sinyalemen tentang kegagalan pembangunan di Papua ketika itu adalah bentuk ekspresi dari penyesalan terhadap perlakuan kebijakan pemerintah pusat di Papua yang ternyata hanya menimbulkan deviasi terhadap sasaran yang ingin dicapai. Penyebabnya jelas, faktor-faktor struktural sebagai faktor ikutan dari teori modernisasi dengan paradigma pertumbuhannya, mencakup : masalah alokasi anggaran yang tidak tepat waktu sesuai dengan desakan kebutuhan masyarakat, mekanisme top-down yang lebih dominan, serta disiplinisasi pada mekanisme aturan perencanaan yang berlaku, ukuran keberhasilan yang digunakan kurang tepat.<br />2. Paradigma Pembangunan Era Otonomi Daerah<br />Bahwa reformasi nasional telah melahirkan beberapa perubahan mendasar hingga ke Tanah Papua. Dimulai dengan pergeseran kewanangan dari Jakarta ke daerah-daerah dalam konteks desentralisasi pemerintahan melalui undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 tahun 1999. Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah bahwa Pemerintah Kabupaten/kota di Tanah Papua mulai memiliki kewenangannya sendiri untuk membangun daerahnya masing-masing, kecuali dalam 6 hal yaitu: luar negeri, pertahanan, moneter, kehakiman, agama, dan lain-lain. <br />Era ini ditandai dengan semakin menumpuknya masalah-masalah pemba-ngunan yang ditimbulkan oleh kondisi masa lalu. Satu-persatu masalah mencuat. Di lain pihak, pemerintah tidak cukup stabil dalam menjalankan roda peme-rintahan dan mendesain rencana pembangunannya. Krisis di Tanah Papua yang sudah terjadi sejak lama kemudian berlanjut. Sejumlah peristiwa politik yang tidak menguntungkan telah turut mempengaruhi kinerja pembangunan yang memang sudah terseok-seok itu. Praktis, laju pembangunan di era ini berjalan perlahan tanpa tenaga. Para pihak lebih banyak disibukkan dalam pembenahan masalah politik dan penyesuaian kebijakan baru serta penataan kembali organisasi pemerintahan dan rencana pembangunan daerah. <br />Munculnya kesadaran baru bagi masyarakat di Tanah Papua, seolah meng-giring pemerintahan dan pembangunan ke arah perubahan yang sangat drastis. Dalam usianya yang hanya kurang dari 4 tahun, era otonomi daerah hanya melahirkan sejumlah icon baru pembangunan, seperti : kian menebalnya sikap emosional yang melahirkan istilah “putra daerah”, “menjadi tuan di negeri sendiri”, yang bersamaan dengan meningkatnya tekanan sebagian kelompok masyarakat yang ingin merdeka. Kebijakan pemerintah daerah untuk menjustifikasi hal tersebut bersifat protektif. Artinya, bahwa pembangunan di Tanah Papua harus memberikan prioritas pada Orang Papua. Hal ini disadari benar bahwa selama Pemerintahan Orde Baru pada era pembangunan sentralistis, Orang Papua kurang dihiraukan sebagai obyek utama pembangunan. Sejumlah kemajuan yang diperoleh pada era ini adalah mengurangi jumlah pengangguran dengan melakukan rek-ruitmen Pegawai Negeri Sipil baru lebih dari 3.000 orang dalam 3 tahapan yang di-dominasi oleh orang-orang Papua. Selain itu, dilakukan pula penyesuaian struktur organisasi dan promosi jabatan bagi Orang Papua di semua eselon penting. Juga, diperoleh kemajuan dari aspek pemberdayaan institusi kemasyarakatan. Seiring dengan era reformasi institusi kemasyarakatan menjadi tumbuh dan berkembang kuat untuk menjadi mitra kerja pemerintah dalam pembangunan. <br />Sangat disayangkan, karena dalam kurun waktu itu belum dapat dilakukan perluasan lapangan kerja di luar sektor pemerintahan. Hal ini lebih disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu : minimnya kualitas sumberdaya manusia, dan faktor permodalan usaha lokal yang masih terbatas. Kebijakan rekruitmen dan promosi di dalam birokrasi pemerintahan kurang memperhatikan aapek kualitasnya. Hubungan-hubungan kerja ke-dinas-an berkembang menjadi negatif ke arah primordialisme sempit. Munculnya fenomena baru yang cenderung tidak efisien dalam pembangunan, serta pertumbuhan institusi sosial kemasyarakatan menjadi tidak terkendalikan dengan baik. <br />Sisi positif dari kelahiran kesadaran baru itu adalah semakin menguatnya visi bersama menuju ke kemandirian lokal dalam konteks NKRI. Maksudnya adalah bahwa mulai disadari kelemahan sumberdaya manusia ditengah-tengah kekuatan sumberdaya alam yang berlimpah. Pembangunan di semua bidang dan sektor tidak optimal dan hanya melahirkan ketidak percayaan rakyat pada pemerintah. Tingkat pendidikan rendah, derajat kesehatan masyarakat rendah, tingkat kemiskinan rakyat amat parah, infrastuktur serba tak berkecukupan. Apa yang salah ? Demikian pertanyaan yang seringkali timbul dalam berbagai wacana pembangunan di daerah ini. Gagasan kemudian bergulir untuk memotong ketergantungan dari Pemerintah Pusat dan mulai pro-aktif melakukan pemberdayaan masyarakat di semua aspek kehidupan. <br />Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak lagi menjadi primadona. Tetapi yang dikedepankan adalah paradigma pemerataan pembangunan yang manusiawi dan berwawasan lingkungan. Periodisasi era yang singkat ini hanya dapat menghasilkan suatu kerangka pembangunan berbasis “kemandirian” yang meletakkan dasar-dasar pokok bagi kelanjutannya di era berikutnya. Paradigma yang dikembangkan masih berkutat pada teori modernisasi, tetapi lebih mengedepankan teori weber tentang etika protestan, teori McLelland tentang N-Ach, dan teori Inkeles tentang pembangunan berwajah manusiawi. Mulailah dikedepankan ekonomi kerakyatan, dimana seluruh aspek perekonomian daerah mulai dirancang dari masyarakat hingga ke tingkat makro. Penerapan strategi ekonomi kerakyatan di masa lalu hanyalah bersifat semu dan setengah hati saja, karena sama sekali tidak membantu rakyat miskin. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimulai dari jenjang pendidikan dasar dengan pola asrama dan melakukan mengkaderan melalui pengembangan kerjasama pendidikan dengan institusi pendidikan yang sudah maju di dalam dan di luar negeri. Selain itu institusi birokrasi mulai memperjelas visi dan misi pembangunan yang diembannya masing-masing, serta membangun jaringan kemitraan dengan berbagai stakeholders. <br />Oleh karena sebagian besar penduduk Papua bermukim di kawasan perdesan itu, relatif masih membutuhkan bimbingan, maka pola pendampingan dijadikan pola pemberdayaan sangat relevan, dengan melibatkan peran para tokoh pem-baharu di Kampung, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan LSM. Dalam penerapannya, pola pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan masyarakat di kawasan perkotaan tidak dipersamakan, karena selain karak-teristik sosial-ekonominya berbeda, kehadiran varian-varian kekuatan institusi masyarakat di kedua kawasan itu menunjukkan identitasnya masing-masing. <br />Pola pembangunan masyarakat di kawasan perdesaan dan pedalaman memerlukan pendekatan situasional yang sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Konsep trickle down effect, spread effect, serta security approach tidak digunakan lagi secara efektif, melainkan mengedepankan konsep ekonomi kerakyatan yang sungguh-sungguh memihak kepada masyarakat melalui pemberian akses yang tinggi bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian proses pembangunan. Titik tolaknya pada prinsip pembangunan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme bottom-up terus didorong dengan prasyarat adanya upaya peningkatan kemampuan masyarakat dan perangkat pemerintahan Kampung/kota dan Distrik secara bertahap dan berkesinambungan serta realokasi anggaran pembangunan kawasan perdesaan dan perkotaan yang memadai sesuai dengan tingkat kebutuhannya. <br />3. Paradigma Pembangunan Era Otonomi Khusus<br />Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 menjadi acuan utama paradigma baru bagi kelanjutan proses pembangunan di Papua. Undang-undang ini tidak saja menegaskan kembali kewenangan berotonomi sebagaimana undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tetapi juga diberi label “khusus”. Kekhususan dimaksud dicirikan oleh karakteristik lokal yang beraras “budaya” dan “format peme-rintahan”. Orientasi pembangunan pada era ini, pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari desain pembangunan pada era sebelumnya yang telah dikerangkakan dalam perspektif otonomi dan kemandirian. Dengan semakin menguatnya kesadaran akan ketertinggalan di berbagai aspek pembangunan, maka kebijakan, strategi, dan program pembangunan semakin diintensifkan. Hal ini didukun dengan adanya tambahan alokasi pembiayaan, dana OTSUS selain DAU/DAK. Kebijakan pengelolaan dana otonomi khusus, ditetapkan berdasarkan pada tuntutan kebutuhan pembangunan di tiap Kabupaten/Kota di Papua dalam bentuk program prioritas yang dipertajam.<br />Beberapa hal penting yang masih menjadi kendala serius dalam rangka keber-lanjutan pembangunan pada era ini adalah : Pertama, adanya pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2000. Peristiwa ini telah menimbulkan pengaruh besar terhadap stabilitas keamanan di Provinsi Papua serta menguras tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit dalam upaya penyelesaiannya. Tetapi hingga kini belum juga dapat dituntaskan. Kedua, struktur dan kinerja birokrasi masih saja belum dapat dituntaskan, terkait dengan belum terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketiga, belum adanya kerangka acuan pembangunan yang disepakati berdasarkan jiwa otonomi khusus dan Keempat, intensitas masalah politik yang makin meninggi. <br />Memasuki tahun keempat pelaksanaan otonomi khusus Papua, walaupun terdapat kendala-kendala serius yang menyertainya, namun telah dicapai kemajuan-kemajuan berarti, terutama dalam 4(empat) bidang prioritas pembangunan, yaitu : pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur. Sejumlah indikasi yang dijadikan ukuran adalah : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, mencapai 4,5 % dengan PDRB mencapai 8,13 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa program prioritas dapat menggerakkan roda perekonomian Papua dan dapat membantu pembentukan modal masyarakat. Program peningkatan ketahanan pangan dan program pengem-bangan argribisnis telah mampu meningkatkan produktivitas, perluasan areal tanam dan pengembangan teknologi, pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, dan penggalakan kembali perkoperasian rakyat. Kedua, di sektor pendidikan, meningkatnya orang Papua yang telah terdidik hingga pada jenjang doktor, meningkatnya angka partisipasi sekolah (APK & APM) bagi SD, SLTP, dan SMU/ SMK, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga guru di berbagai jenjang pendidikan, serta semakin memadainya prasarana dan sarana pendidikan. Ketiga, di sektor kesehatan, menurunkan angka kematgian bayi menjadi 80/1000, meningkatnya kualitas gizi penduduk, mening-katnya upaya penanggulangan penyakit sehingga menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga medis dan paramedis, serta semakin tersebarnya pusat-pusat layanan kesehatan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Hal-hal yang masih dalam upaya penanggulangan serius dan berkelanjutan adalah HIV/Aids di mana Papua termasuk yang paling beresiko di Indonesia serta penanggulangan penyakit malaria. Keempat, di sektor infrastruktur, telah berhasil menambah ruas jalan hingga 811,998 km dan penanganan jembatan 512 meter di berbagai daerah kabupaten/kota, pembangunan bandar udara sentani, sorong, mimika, dan beberapa daerah lain, penambahan sarana trasnporasi darat, laut/sungai, dan udara. <br />Paradigma pembangunan yang diafiliasikan adalah meneruskan paradigma yang diterapkan pada era sebelumnya (era otonomi daerah), dengan kombinasi pendekatan yang lebih sarat pada pemberdayaan masyarakat. Program-program pembangunan yang dicapai tersebut, mulai memberikan ruang yang luas kepada masyarakat sejak proses perencanaan hingga monitoringnya. Masyarakat telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menentukan sendiri kebutuhannya. Beberapa mekanisme pendekatan yang di-gunakan hingga saat ini, antara lain RPJMK (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung/Keluharan), Program pengembangan distrik, dan Program pemberdayaan Kampung/Kelurahan, yang semuanya bertumpu dari masyarakat. Pola pendampingan dan pelibatan stakeholders dalam hal ini adalah sesuatu yang disyaratkan. <br />Pola pendekatan pembangunan yang demikian itu menjustifikasi pemba-ngunan yang berpusat pada rakyat, sekaligus memotong ketergantungan masya-rakat kampung/kelurahan pada pemerintahan tingkat atasnya. Dalam jangka panjang, dapat menghapuskan kategori : pusat, pheriferi, hinterland, atau daerah pusat, daerah semi-pinggrian, daerah pinggiran, dan enclave, tetapi berubah menjadi semuanya pusat, masyarakat sebagai pusat pembangunan. Juga, dapat berarti me-reduksi pendekatan tricle-down karena faktanya sungguh-sungguh bottom-up bukan lagi top down di kampung/kelurahan. Sangat disayangkan, karena seiring dengan keberhasilan tersebut aspek pembiayaannya masih menjadi wewenang dan tang-gung jawab kabupaten/kota. Walaupun ditengarai akan memunculkan sentralisasi baru di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, tetapi argumen yang diajukan cukup beralasan karena memang untuk kondisi saat ini, masyarakat kampung dan distrik masih dipandang tidak cukup cakap dalam mengelola aspek pembiayaannya.<br />Memasuki Tahun Pertama pasca terbentuknya DPRP (Dewan perwakilan rakyat Papua) dan MRP (Majelids Rakyat Papua), ada angin segar bagi perubahan pendekatan pembangunan yang lebih mengedepankan aspek-aspek kebutuhan lokalitas. Pendekatan pengelolaan pembangunan berbasis pada perencanaan pem-bangunan jangka panjang (PPJP), perencanaan pembangunan jangka menengah (PPJM), dan Perencanaan Pembangunan Jangka Pendek – Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) telah menjadi bagian dari kerangka dasar skenario memajukan masyarakat di Tanah Papua, seiring dengan semangat desentralisasi yang sedang bergulir saat ini. Pendekatan pengelolaan pembangunan ini, diharap-kan dapat mengoptimalkan segenap potensi daerah ke arah peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara merata. Agar pembangunan daerah dapat berjalan seiring dan bahkan mampu menciptakan sinergi antara sesamanya, diperlukan adanya visi dan misi yang jelas dan dapat dioperasionalkan oleh seluruh perangkat pemerintahan dan komponen masyarakat. <br />Model pengelolaan pembangunan tersebut, akan memberikan peluang untuk memanfaatkan potensi Tanah Papua seoptimal mungkin. Dalam kerangka itulah, diperlukan suatu sistematisasi rencana pembangunan yang dipedomani oleh semua pihak. Rencana pembangunan merupakan hasil konsensus antara aktor-aktor pembangunan seperti Pemerintah Provinsi Papua beserta seluruh komponen masyarakatnya yang terdiri atas kelompok swasta dan lapisan masyarakat lainnya. Karenanya, perencanaan harus memuat komitmen yang kuat bagi kemajuan masyarakat dan daerah ini sesuai ketersediaan daya dukung sumberdaya pemba-ngunan yang tersusun berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan dan mengacu pada visi dan misi Pemerintah Provinsi Papua. <br />Pada konteks itulah, maka guna mewujudkan tujuan pembangunan di Tanah Papua, telah dirancang secara sistematis dalam suatu dokumen rencana pembangunan yang integratif dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran dari Visi, Misi Kepala Daerah yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, program-program pembangunan dan kegiatan pokok, sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, termaktub kehendak pelimpahan kewenangan kepada daerah otonom. Sementara itu, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 antara lain memuat pasal-pasal yang menekankan urgensi kewenangan memajukan orang Papua. Maka, disusunlah dokumen RPJP (rencana pembangunan jangka Panjang) Papua 2005-2020 dan akan disusul dengan penyusunan Rencana pembangunan Jangka Menengah pasca Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2005-2010 yang antara lain memuat kebijakan umum pembangunan, kebijakan keuangan, dan program pembangunan yang ditumpukan pada sasaran utamanya di bidang-bidang : pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur, dan dengan memperhatikan perkembangan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Hal yang sama kini sedang digalakan di semua kabupaten/kota se Papua yang difasilitasi oleh UNDP (United Nation Development Programme), dibantu oleh beberapa LSM Lokal dan Universitas Cenderawasih.<br /><br />3.2. Pengaruh Modernisasi Terhadap Kebudayaan Papua<br /><br />Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar untuk diubah. Dengan demikian budaya menurut bahasa sehari-harinya adalah suatu kebiasaan, adat istiadat dan suatu kegiatan manusia yang dilakukan secara terus-menerus tanpa hentinya sampai kapanpun yang intinya hal ini dilakukan dalam jangka yang panjang.<br /> Manusia dan budaya tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan erat. Dengan adanya manusia maka dengan mudah suatu budaya terbentuk. Terbentuk yang dimaksudkan disini adalah manusia menetapkan ciri-ciri, kegiatan-kegiatan dan objek-objek budayanya secara sendiri. Sebaliknya dengan adanya suatu budaya maka dengan mudah juga sekelompok manusia terbentuk dan terdidik mengikuti setiap komponen-komponen kebudayaan yang telah ditetapkannya sejak awal saat hal itu dibuat Budaya dalam proses pengembangan selalu mengikat siapapun baik anak-anak, para pemuda-pemudi maupun para orang tua. Dengan adanya suatu budaya maka setiap manusia yang hidup disuatu daerah tertentu selalu dituntut untuk selalu mematuhi, mentaati dan menjalankan setiap budaya yang telah ditetapkannya.<br /> Dalam kehidupan individu maupun kehdupan berkelompok budaya sangat berguna diantaranya budaya dapat menyadarkan kita siapa diri kita yang sebenarnya, budaya dapat membuat kehidupan disuatu tempat lebih baik dan juga budaya dapat mengharumkan nama baik suatu tempat atau suatu daerah agar lebih dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat ditempat lain. Jadi dengan hadirnya budaya disuatu tempat dapat mengubah segalanya. Mustahil suatu tempat bisa berubah dan maju kalau saja di tempat tersebut tidak dikenal yang namanya budaya.<br /> Budaya tidak selamanya baik karena ada juga budaya yang buruk. Budaya yang baik selalu membawah kita kepada berbagai hal yang menyenangkan diantaranya membawah kita kepada kesusksesan, membawah kita kepada penerimaan (baik penerimaan dari orang yang ada didalam negeri sendiri maupun orang yang berada diluar negeri) dan keberhasilan. Budaya yang buruk selalu membawah kita kepada berbagai hal yang tidak kita inginkan, diantaranya akan membuat nama baik daerah, tempat maupun negara kita rusak atau tercoreng dan membawah kita kepada kegagalan yang akhir-akhirnya membawah kita kepada kehancuran.<br /> Dalam kehidupan yang berbudaya kita perlu mengetahui berapa macam budaya yang ada pada kita agar kita tidak salah pemahaman maupun penafsiran dalam penerapnnya dikehdupan kita. Budaya menurut penulis sendiri dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu budaya natural dan budaya terapan. Kedua budaya inilah yang akan diulas dalam pembahasan kali ini. Penjelasan mengenai budaya natural akan dijelaskan lebih dulu kemudian selanjutanya akan diulas mengenai budaya terapan.<br /> Budaya natural adalah suatu kebiasaan, corak, adat istiadat manusia yang telah lama dilaksanakan secara terus-menerus disuatu daerah atau kawasan tertentu. Bisa juga budaya natural disimpulkan sebagai suatu budaya alami atau budaya murni yang telah berkembang dan bertumbuh disuatu daerah tertentu sejak adanya manusia. Budaya natural atau budaya alami telah cukup lama berkembang dalam kehidupan setiap masyarakat sehingga budaya tersebut sangat sukar untuk dilupkan maupun diubah. Bahkan banyak orang beranggapan khusunya mereka yang hidup masih serba tradisional bawah budaya natural yang mengatur tata cara hidup, kebebasan dan tingkah laku mereka. Padahal tidak sebagaimana zaman serba modern ini telah ditetapkan berbagai macam peraturan serta ganjaran-ganjarannya yang intinya membuat masyarakat lebih terarah tujuan hidupnya.<br /> Negara kita negara Indonesia tercinta ini memiliki berbagai keanekaragaman budaya natural sebagaimana bisa diketahui dengan adanya motto “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya ”berbeda-beda tetapi satu”. Dengan pernyataan seperti ini bisa dilihat kalau bangsa kita memiliki berbagai keanekaragaman budaya natural yang berbeda-beda. Jumlah kepulauan Indonesia yang kira-kira mencapai 17.608 menandakan kekayaan budaya itu sangat nyata dan ada. Kekayaan budaya Indonesia yang sangat banyak dan bermacam-macam menjadikan negara Indoenesia sebagai salah satu negara yang ditakuti dan disegani khususnya dalam unsur kebudayaan.<br /> Kekayaan budaya natural di negara kita dapat dilihat dari Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan dengan puluhan bahkan ratusan cagar budayanya yang semuanya berbeda dan unik. Kemudian dengan perbedaan dan keunikan ini menjadikan setiap daerah maupun setiap pulau yang ada disegani dan dihormati. Secara khusus Pulau Papua juga memiliki berbagai keanekaragaman budaya yang menjadikan Pulau Papua sebagai salah satu daerah yang disegani dan dihormati dalam unsur kebudayaan diseluruh Indonesia maupun dunia.<br /> Pada kesempatan kali ini penulis akan bahas panjang lebar mengenai Budaya Papua yang ada. Dengan pembahasan ini diharapkan dapat menambah wawasan maupun pemahaman tentang budaya Papua. Kita kembali ke konteks awal yang mengatakan bahawa dengan adanya suatu budaya haruslah ada manusia karena keduanya saling berkaitan erat. Di papua berdasarkan letak geografisnya dibedakan menjadikan dua tempat yang pertama kawasan pesisir pantai yang didiami oleh masyarakat pantai atau yang biasa disebut dengan panggilan orang pantai dan yang kedua daerah pegunungan yang didiami oleh masyarakat gunung atau yang biasa dipanggil dengan orang gunung.<br /> Berdasarkan tempat hidupnya orang pantai didiami oleh berbagai macam suku beberapa diantaranya adalah (Suku Biak, Suku Serui, Suku Asmat, Suku Sarmi) dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan orang gunung, dari berbagai suku yang mendiami pegunungan beberapa diantaranya adalah (Suku Moni. Suku Dani, Suku Ekari, Suku Nduga, Suku Holani dan masih banyak lagi). Baik suku-suku yang mendiami pesisir pantai maupun suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan memilki berbagai kesamaan budaya.<br />Beberapa hal yang membuat kesamaan budaya mereka baik budaya orang pantai maupun budaya orang gunung adalah karena faktor tempat tinggal. Seperti orang pantai hidup didaerah pesisir pantai dan orang gunung hidup didaerah dataran pegunungan. Faktor alam seperti orang pantai hidup daerah yang suhunya tidak terlalu dingin sedangkan orang gunung hidup didaerah pegunungan yang suhunya sangat dingin. Faktor pangan atau makanan yang dikonsumsi, seperti orang pantai dengan makanan pokok sagu, papeda dan ikan sedangkan orang gunung dengan makanan pokok ubi , keladi dan pisang. Dengan berbagai kesamaan tadi membuat tali persaudaraan mereka semakin erat dan kuat walaupun mereka hidup dengan jarak daerah yang berjauhan, memilki marga atau fam yang berlainan dan memilki garis keturunan dan nenek moyang yang berbeda pula.<br />Dari sekian banyak budaya yang ada baik budaya dari orang pantai maupun budaya dari orang gunung memilki perbedaan. Perbedaan itu sebagaimana telah dikemukakan tadi dikarenakan letak geografis antara pantai dan gunung yang sangat berbeda. Dari sekian banyak budaya yang ada dua diantaranya akan dijelaskan pada pembahasan kali ini. <br />1. Budaya tari-tarian<br />Masyarakat pantai memilki bebagai macam budaya tari-tarian yang biasa mereka sebut dengan istilah Yosim Pancar (YOSPAN), yang didalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak seperti ; (tari gale-gale, tari balada cendrawasih, tari pacul tiga, tari seka) dan tarian sajojo dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan tarian yang biasa dibawakan oleh masyarakat pegunungan yaitu tarian panah. <br />Tarian yang dibawahkan oleh masyarakt pantai maupun masyarakt pegunungan pada intinya dimainkan atau diperankan dalam berbagai kesempatan yang sama seperti; dalam penyambutan tamu terhormat, dalam penyambutan para turis asing dan yang paling sering dimainkan adalah dalam upacara adat. Khususnya tarian panah biasanya dimainkan atau dibawakan oleh masyarakat pegunungan dalam acara pesta bakar batu atau yang biasa disebut dengan barapen oleh masyarakt pantai. Tarian ini dibawakan oleh para pemuda yang gagah perkasa dan berani.<br />Dengan budaya tarian Yospan maupun budaya tarian panah yang unik, kaya dan indah tersebut para orang tua sejak dahulu berharap budaya yang telah mereka wariskan kepada generasi berikut tidak luntur, tidak tegelam dan tidak terkubur oleh berbagai perkembangan zaman yang kian hari kian bertambah maju. Para pendahulu yaitu para orang tua berharap juga budaya tari-tarian yang telah mereka ciptakan dengan bebagai gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan oleh generasi berikutnya. Mereka juga berharap dengan tidak adanya mereka budaya Papua yang kaya tersebut semakin maju, semakin dikenal baik oleh orang dikalangan dalam negeri sendiri maupun dikenal dikalngan luar negeri dan juga semakin berkembang kearah yang lebih baik yang intinya dapat tetap mengakat derajat, martabat dan harkat orang Papua.<br />Namun semua harapan tinggalah harapan karena sebagaimana budaya tarian yang dulunya para orang tua agungkan, sanjung dan hormati telah dilupakan secepatnya oleh para generasi berikutnya. Masuknya berbagai budaya tarian baru dari dunia barat membuat para putra-putri Papua lupa dengan budaya tari-tarian sesungguhnya yang telah cukup lama mendarah daging dalam kehidupan mereka. Berbagai tarian yang masuk dan berkembang dari dunia barat diantaranya adalah tarian dancer, tarian too phat, tarian pantomin, tarian paranawe dan tarian lainnya yang initnya tarian ini mengarah kepada perkembangan dunia. Dengan memerankan tarian dari dunia barat membuat para pemuda-pemudi Papua yang dulunya mengaggungkan dan memuja tarian daerah mereka lupa diri dan besar kepala. Dengan kesombongan mereka membuat nama mereka termasyur dan terkenal padahal dibalik semua ketenaran mereka dengan nyata-nyata telah melanggar berbagai norma adat yang telah cukup lama diatur dan ditetapkan<br />2. Budaya Perkawinan<br />perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. Dengan demikian masyarakt Papua baik yang di daerah pantai maupun di daerah pegunggungan menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. Dalam perturan perkawinan yang ditetapkan orang tua dari pihak laki-laki berhak membayar mas kawin sebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita terebut.<br />Adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin yang harus dibayar seperti; membayar piring gantung atau piring belah, gelang, kain timur (khusus untuk orang di daerah selatan Papua) dan masih banyak lagi. Berbeda dengan permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan diantaranya seperti; kulit bia (sejenis uang yang telah beredar dimasyarakat pegunungan sejak beberapa abad lalu), babi peliharaan, dan lain sebagainya. Dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata sepakat apabila orang tua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang diminta oleh orang tua daripada pihak perempuan.<br />Sama dengan budaya tarian, budaya perkawinan juga diharapkan dapat berkembang dan bertumbuh di masyarakat umum dengan baik dan benar agar tidak terjadi kepunahan budaya. Namun apa yang terjadi pada zaman yang serba modern dan serba teknologi ini masyarakt Papua terlebih khusus para pemuda-pemudi tidak peduli lagi dengan budaya yang telah ditetapkan sejak lama. Budaya perkawinan yang dipopulerkan sampai saat ini adalah budaya kawin lari. Budaya kawin lari adalah salah satu cara yang dilakukan agar pihak dari pada orang tua laki-laki terhindar dari pembayaran mas kawin. Budaya kawin lari adalah budaya kotor yang berasal dari luar Papua. Budaya kawin lari dulunya bukanlah budaya Papua, namun pengaruh era globalsasi yang kian maju dan modern membuat orang Papua melupakan budaya mereka yang sesunguhnya.<br />Dengan berkembangnya budaya kawin lari dikalangan masyarakat terutama orang Papua sendiri membuat nilai keaslian budaya Papua yang dulunya sangat dihargai dan dihormati telah luntur begitu saja. Kemudian setelah lunturnya budaya tersebut apakah kita orang Papua masih dikatakan sebagai suatu golongan atau kumpulan masyarakat yang masih menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi budaya kita. Padahal nyata-nyata budaya dari luar telah megotorinya dengan berbagai budaya omong kosong yang tidak benar.<br />Untuk tetap menjaga, melindungi dan tetap melestarikan warisan kekayaan dari pada leluhur kita haruslah ada tindakan yang diambil supaya budaya tersebut tidak mengalamai kepunahan. Untuk tetap melestarikannya haruslah dibuat berbagai macam kegiatan yang intinya agar memajukan, mengiklankan dan mempopulerkan budaya Papua kepada siapapun baik kepada orang yang didunia barat maupun orang yang berada di dunia timur sendiri.<br />Banyak kegiatan yang dapat kita laksanakan untuk tetap menjaga budaya Papua yang kaya, tiga diantaranya adalah dengan menampilkan Festival budaya seperti yang dilaksanakan oleh SMA YPPK Adhi Luhur pada saat ini, pentas seni dan tari yang dalam acara ini dipamerkan atau ditunjukan kepada pihak asing maupun kepada pihak dalam sendiri tentang kekayaan tari-tarian Papua dan yang terakhir untuk tetap menjaganya dilaksanakan dengan mensosialisasikannya melalui berbagai media. Dengan melaksanakan berbagai macam hal diatas sedikit menjadikan budaya Papua tetap berkibar dan tetap maju.<br />Kesadaran masyarakt Papua tentang pentingnya melaksanakan berbagai kegiatan untuk tetap menjaga dan menstabilkan budaya Papua sangat minim. Dan salah satu Kabupaten yang telah menjadi wadah dalam memperkenalkan budaya Papua kepada orang diluar baik kepada para turis maupun kepada para pengunjung adalah Kabupaten Punjak Jaya, tepatnya didaerah Lembah Baliem. Kabupaten Punjak Jaya adalah salah satu Kabupaten yang terletak daerah Pegunungan Tengah. Daerah ini punya suatu budaya atau tradisi yang setiap tahunnya harus dilaksanakan secara terus-menerus yaitu budaya perang. Budaya ini telah dibawahkan sejak 20 tahun kebelakang, pada pementasan budaya perang ini diwajibkan bagi para pemuda yang gagah perkasa untuk ambil bagian didalamnya.(sumber.suara perempuan papua. No. 04. tahun IV, 22-29 Agustus 2007)<br />Banyak yang diharapkan dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan tersebut, diantaranya agar kedepanya budaya Papua tetap berkibar dan tidak punah dari berbagai gelombang kemajuan dan kemoderenan. Dengan berbagai kegiatan yang dilaksanakan tersebut khususnya para orang tua berharap juga setiap anak-anak mereka bisa semakin mengenal dan menyayangi budaya mereka yang nantinya kedepan diharapkan untuk tetap menjunjung tinggi nilai kebudaan.<br />Beberapa yang telah dijelaskan diatas merupakan budaya natural sedangkan pada pemabahasan berikut ini akan dijelaskan mengenai budaya terapan. Budaya terapan adalah suatu kebiasaan yang telah lama dilaksanakan dan dilakukan oleh sekelompok orang disuatu tempat yang kemudian menyebar kesuatu daerah yang sama sekali tidak pernah mengenal tentang budaya atau tata cara tersebut. Budaya terapan selalu identik pada tata cara hidup yang telah lama dilakoni dan dijalani. Sama halnya dengan budaya natural budaya terapan juga ada yang baik dan ada juga yang buruk. <br />Daerah Papua sendiri banyak budaya terapan yang telah merajalela yang semuanya sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh para pendahulu terhadap mereka. Dan dengan masuknya berbagai budaya terapan dari luar membuat otak dan pikiran dari pada orang Papua rusak. Dari sekian banyak budaya terapan yang telah merajalela di Papua dua diantaranya adalah budaya korupsi dan budaya minuman keras.<br /><br />1. Budaya Korupsi<br />Budaya korupsi adalah salah satu buduya yang telah cukup lama merajalela d Papua. Padahal kalau mau diamati budaya korupsi bukanlah budaya Papua yang sebenarnya. Bukti bawah budaya korupsi bukan merupakan budaya Papua dapat dilihat dari berbagai cara hidup diantaranya adalah kabiasaan masyarakat Papua makan bersama atau yang biasa disebut dengan acara bakar batu. Saat diadakannya bakar batu biasanya seluruh undangan yang datang diwajibkan untuk menikmati hidangan masakan yang ada tanpa membedakan suku, ras, maupun marganya. Dengan kebersamaan seperti ini dapat terlihat kalau sifat keegoisan tidak terlihat pada orang Papua. Kalau begitu budaya korupsi pada awalnya bukanlah budaya Papua yang sesungguhnya tetapi berbagai budaya terapan dari luar yang masuk sehingga semua itu diikuti dan ditiru oleh orang Papua.<br />Bukti bawah korupsi merupakan suatu budaya dari luar yang terpopuler dapat dilihat dari berbagai macam kasus korupsi yang kian hari kian merajalela. Diantaranya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati Kabupaten Nabire Drs. Anselmus Petrus Youw yang beberapa saat lalu mendapat berbagai dana bantuan saat terjadi gempa bumi. Sebagaimana dana miliaran rupiah yang diberikan untuk dana pembangunan dilenyapkan begitu saja tanpa sepengetahuan. Kemudian dana sama halnya dengan dana Otonomi Khusus (OTSUS) yang menurut situs. (www.provinsipapua.com) sebagaimana dikatakan pada tahun 2006 dan Otsus yang lenyap tanpa sepengetahuan adalah 90% yang hasilnya dipaparkan langsung oleh Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu sendiri pada akhir tahun lalu.<br />Dengan memperahatikan dua bukti kalau Papua telah terjemus kedalam budaya korupsi yang sebenarnya tidak boleh dilakukan, menjadi pertanyaan buat kita kia-kira salah siapa sehingga budaya korupsi begitu cepat merajalela ke seluruh daerah Papua. Dengan mudah saya akan menjawab semua itu adalah salah dari pada setiap orang yang melanggarnya dan secara garis besar semua itu salah kita sendiri karena kemauaan kita menerima berbagai budaya dari luar. <br />Melihat berbagai kasus korupsi yang kian hari kian merajalela seiring dengan perkembangan zaman, haruslah ada tindakan yang diambil agar dapat membendung arus korupsi di daerah papua. Berbagai hal yang dapat kita para pelajar lakukan adalah berdoa dan belajar secara sungguh-sungguh agar kedepannya saat kita menjadi seorang pemimpin kejujuran dan kebenaran dalam kepemimpinan kita dapat ditanamkan.<br /><br />2. Budaya Mengkonsumsi Minuman Keras<br />Sangat baik kalau kita mengkonsumsi minum-minuman yang dapat memberikan kesehatan dalam kehidupan kita tetapi apa jadinya kalau kita mengkonsumsi berbagai minum-minuman yang mengandung alkohol. Kasus inilah yang telah menjadi budaya dan tradisi di masyarakt Papua. Dulunya minuman yang dianggap minuman keras dan dikonsumsi oleh orang Papua adalah minuman sejenis saguer atau yang biasa mereka sebut dengan minuman bobo. Minuman ini kalau dikonsumsi dapat menggaggu kesehatan namun tidak terlalu berdampak terhadap kesehatan kita.<br />Tetapi berbeda dengan berbagai minuman keras yang masuk dari luar Papua seperti Mansion House, Bir Bintang, Kawat Duri dan minuman lainnya yang tergolong dalam minuman keras yang dapat mengganggu kesehatan bahkan sampai dapat membuat nyawa seseorang lenyap apabila dikonsumsi terlalu berlebihan. Minuman-minuman keras seperti ini awalnya tidak pernah diketahui oleh orang Papua, namun perkembangan zaman yang kian modern membuat budaya minum khususnya untuk minuman keras telah berkembang luas dikalangan seluruh masyarakat. Bahkan menurut beberapa orang budaya minuman telah dimasukan kedalam layaknya budaya makan-minum di kehidupan sehari-hari.<br />Bukti kalau budaya minuman keras telah membabi buta di Papua dengan berbagai pengamatan yang betul secara fakta. Seperti kalau diamati khusunya pada malam hari di terminal taman gizi sangat banyak kelalawar malam yang berkeliaran sambil mengahabiskan puluhan bahkan ratusan botol minuman, yang mengkonsumsi minuman tersebut bukan saja kaum pria namun ada juga kaum wanita. Bukan ditaman gizi saja kita dapat menemukan para kelalawar malam namun diberbagi tempat-tempat hiburan seperti cafe bobo (di perempatan nabarua), cafe bunaken (didaerah sanoba), cafe star (didaerah kalibobo) dan masih banyak lagi tempat-tempat hiburan yang tersembunyi.<br />Dengan banyaknya tempat-tempat hiburan serta taman untuk para kelalawar malam menghabiskan minuman tesebut pasti setiap kita akan bertanya apakah tidak ada langkah yang diambil oleh pemerintah maupun para masyarakt agar hal-hal seperti ini tidak membabi buta terus sampai kepada generasi yang berikutnya. Ada berbagai hal yang dapat kita buat agar budaya minuman tidak merajalela dan berkemabang kemasyarakat umum dengan semaunya diantaranya adalah mengkampanyekan anti minuman keras, mensosialisasikan dampak yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi minuman keras, sosialisasi yang kita lakukan dapat melalu berbagai media seperti media elktronik, media masa dan media lainnya.<br />Selain melakukan kegiatan seperti yang telah disebutkan diatas ada satu cara lagi yang paling ampuh agar budaya mengkonsumsi minuman keras bisa hilang bahkan lenyap dari bumi Papua, cara itu adalah dengan membuat suatu Peraturan Daerah (PERDA) yang intinya dalam Perda tersebut berisi penolakan minuman keras. Dalam hal ini yang berperang penting adalah para mahasiswa dan para pelajar baik pelajar dari SD, SMP maupun SMA. Beberapa saat lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan Ketua Koalisi Hak-Hak Suara Mahasiswa Papua beliau adalah saudara Elia Tebay. Dalam perbincangan yang cukup hangat tersebut saya menayakan kepeduliannya terhdap budaya minuman keras yang telah nyata-nyata telah menyebar di Papua. Dengan sedikit wajah yang agak emosi beliau mengatakan kepada saya bawah sangat banyak usaha yang mereka telah lakukan dengan bebagai cara diantaranya adalah melaksankan Jumpa Pers dengan topik pembicaraan menolak ditetapkannya Perda No 6 Tahun 2006 yang isinya mengijinkan peredaran minuman keras. Namun beliau melanjutkan pembicaraanya lagi yang mengatakan bahwa sampai sekarang perhatian Pemerintah terhadap masalah ini masih disebelamatakan.<br />Dengan ketidakseriusan pemerintah dalam hal-hal seperti ini khususnya untuk kota Nabire apakah kota tempat kita berpijak dan tinggal ini masih bisa aman, tentram dan kondusif dari berbagai hal dan gangguan yang tidak diinginkan. Salah satu daerah yang perlu kita contohi khususnya dalam hal penolakan minuman keras adalah kota Manokwari. Daerah ini karena dipimpin oleh seorang yang takut akan Tuhan sehingga pada saat ini berbagai Perda tentang penolakan minuman keras diberlakukan kemudian berbagai operasi dijalankan yang intinya menolak masuknya minuman keras dari daerah luar. Menggunakan berbagai cara seperti itu membuat saat ini kota Manokwari dikenal sebagai salah satu kota yang paling aman, tentram dan kondusif di Provinsi Papua.<br />Penguraian singkat tentang budaya natural maupun budaya terapan melalui lembaran kertas ini diharapkan khususnya untuk para pemuda-pemudi yang masih dibangku pendidikan agar tetap setia dan rela mempertahankan kebudayaan yang telah dianut dan diterapkan. Kita sebagai orang berpendidikan pasti tahu mana hal yang baik dan mana hal yang jahat, dengan demikian mari kita sama-sama tetap menjaga dan memajukan apabila kita nilai budaya yang kita miliki adalah budaya yang benar kemudian mari kita buang jauh-jauh dan musnahkan apabila budaya yang telah kita anut dan lestarikan sejak lama adalah budaya yang salah dan tidak benar. Bukti besar yang dapat terlihat kalau kita mencintai dan menghormati ciptaan Tuhan adalah menjaga dan melestarikan kebudayaan yang kita miliki. <br /><br />3.3. Beberapa Isu Penting Terkait dengan Papua :<br />1. Pepera 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat)<br />Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah sebagai hasil pelaksanaan dari New York Agreement pada tahun 1962. Seluruh perencanaan sampai dengan pelaksanaan PEPERA itu sudah direncanakan oleh Pemerintah RI di Jakarta, tanpa sepengetahuan DMP ada orang Papua Barat yang diikutsertakan dalam <br />perencanaan pelaksanaan tersebut. Setelah itu datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Kota Baru / Jayapura sekarang) dan kemudian didampingi oleh beberapa anggota DPRGR Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se-Papua Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan teknis-teknis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan. Nanti apa saja yang menyangkut bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkan konsep-konsepnya dan saudara-saudara tinggal baca saja dan bagi yang tidak bisa baca-tulis nanti dihafal, sehingga tidak lupa dan untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera) kemudian diasramakan. Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. <br />Semuanya harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia". Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten menunjuk anggota DMPnya sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah Jakarta. Rincian anggota DMP sebagai berikut : <br /> <br />1) Kabupaten Merauke : 175 <br />2) Kabupaten Jayawijaya : 175 <br />3) Kabupaten Paniai : 175 <br />4) Kabupaten Fakfak : 75 <br />5) Kabupaten Manokwari : 75 <br />6) Kabupaten Sorong : 110 <br />7)KabupatenTelukCenderawasih : 130 <br />8) Kabupaten Jayapura : 110 <br /> _____+ <br /> Jumlah : 1.025 <br /> <br />Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di setiap kabupaten. Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga jumlah 1.025 orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga bangsa pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi pegawai negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi status yang sama dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota DMP. Sorong, Manokwari, Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai daerah rawan. Menjelang Juli 1969 telah didropping pasukan untuk mengawasi jalannya PEPERA: <br />1. Kopasanda (sekarang Kopassus). <br />*Kopassus sekarang kembali berada di Papua Barat untuk mencoba membasmi para gerilyawan OPM, melakukan teror terhadap penduduk dan membackup berbagai perusahaan yang beroperasi di daerah ini. <br />2. Riders (Baret Merah) pasukan berani mati. <br />Kedua jenis pasukan ini bersama polisi sipil dan polisi militer menyamar dengan berpakaian preman. PEPERA bukan dilaksanakan oleh sipil, melainkan oleh militer yang menyamar sebagai orang sipil. Keadaan telah diarahkan sedemikian rupa sehingga DMP tidak dapat berbuat banyak, kecuali takluk. Banyak orang diarestasikan tanpa alasan, diculik dan dibunuh. Kalau ada kesalahpahaman dengan tetangga yang asal Indonesia langsung dipolitisir sebagai anti pemerintah dan ini berakibatkan arestasi dan eksekusi. Mereka semua takut ditembak dan harus berkata apa saja yang diinginkan oleh ABRI. Mereka ditodong dan diindoktrinasi dengan berbagai macam konsep. Mereka dipaksa menandatangani berbagai formulir dengan segudang pertanyaan dan pernyataan. Kadang-kadang tandatangan mereka juga dipalsukan demi kepentingan ABRI dan pemerintah kolonial baru, Republik Indonesia. Seluruh keadaan sudah disetel sehingga mereka hanya merupakan boneka yang diatasnamakan. Lebih kejam lagi, orang Papua Barat dianggap bodoh, buta huruf, terbatas pendidikan, dan lain sebagainya. Skenario drama politik telah disusun hanya untuk memenangkan Republik Indonesia. <br /> <br /> <br />Beberapa anggota DMP dikejar dan ditangkap oleh anggota Riders yang dikomandani oleh Letnan Satu, Hatta Abad. Mereka, antara lain: Andi Ibo (pegawai PEMDA Tk. II Jayawijaya di Wamena), Yos Sokoi (Mantri kesehatan Ondoapo), Demi Wambrauw (pegawai Dinas Koperasi Tk. II Jayawijaya), Womsiwor (pegawai Dinas Koperasi Tk. II Jayawi- jaya), Nauw (pegawai PENSIP Wamena), Woyowai Nimbrot, dan lain lain. Seluruhnya berjumlah 76 orang. Mereka ditangkap, dimasukkan ke sel dan dianiaya. Semua dipaksa mengakui negara RI sebagai negara mereka. Setiap anggota DMP dihadiahkan Radio SANYO buatan Jepang, 1 set gergaji, 1 buah sekap serta dijanjikan akan diberi uang. Tahun 1976 kami diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp. 200.000,- (dua ratus ribu). Kemudian tahun 1992 pada saat PEMILU kami, bekas anggota DMP, diberikan uang Rp. 150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyar yang dikirim dari Jakarta untuk bekas anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para pejabat tinggi yang ditugaskan dari Jakarta. <br /> <br />Sekitar tiga per empat anggota DMP dari Jayawijaya buta huruf. Di dalam honai (rumah tradisional di Wamena) mereka ini dipaksa setiap hari untuk menghafal pernyataan kebulatan tekad. Semua anggota DMP dari tiap KPS (daerah kecamatan waktu itu) dikumpulkan di Wamena hingga saat pelaksanaan PEPERA. Itulah sekilas gambaran proses pelaksanaan PEPERA di Irian Barat pada tahun 1969 yang penuh intimidasi, tekanan, tipu daya dan manipulasi. Dewasa ini orang Papua Barat telah tersisih dan miskin di atas kekayaan mereka. Setiap orang Papua Barat yang mencoba memprotes tindakan pemerintah Indonesia langsung saja diberi stempel OPM, ditangkap dan dibunuh. Praktek demikian masih terus berlanjut sampai saat ini. Menjelang pelaksanaan PEPERA banyak sekali putra-putri terbaik dari Wamena daerah diculik dan dibunuh. Mahasiswa UNCEN (Universitas Cenderawasih), pelajar sekolah lanjutan umum dan kejuruan menjadi sasaran intimidasi atau teror sepanjang 1 Mei 1963 hingga selesai PEPERA 1969. Setelah PEPERA bekas anggota DMP pun tetap diawasi oleh ABRI. <br /> <br />2. Organisasi Papua Merdeka (OPM)<br />Nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM adalah nama yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada setiap organisasi atau faksi baik di Irian Jaya maupun diluar negeri yang dipimpin oleh putra-putra Irian Jaya pro-Papua Barat dengan tujuan untuk memisahkan atau memerdekakan Irian Jaya (West Papua) lepas dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama OPM pertama kali diperkenalkan di Manokwari pada tahun 1964 yaitu pada saat penangkapan pimpinan "Organisasi dan Perjuangan menuju Kemerdekaan Papua" Terianus Aronggear (SE) dan kawan-kawannya oleh pihak keamanan dan mengajukan mereka kedepan pengadilan. Nama itu juga semakin populer yaitu pada saat meletusnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh Permenas Ferry Awom pada tahun 1965 di Manokwari, serta berbagai pemberontakan atau aksi militer sporadis lainnya diberbagai wilayah di Irian Jaya. Dalam proses pemeriksaan baik oleh militer polisi dan jaksa, para pemimpin pemberontakan menerima baik nama OPM yang diberikan oleh para pemeriksa (Pemerintah Indonesia) sebab menurut mereka nama itu tepat, singkat, mudah diingat dan dipopulerkan bila dibandingkan dengan nama Organisasi yang mereka bentuk dan berikan itu panjang serta sulit diingat.<br />OPM itu lahir dan tumbuh di Irian Jaya yang pada awalnya terdiri dari 2 (dua) faksi utama yaitu organisasi atau faksi yang didirikan oleh Aser Demotekay pada tahun 1963 di Jayapura dan bergerak dibawah tanah. Faksi ini menempuh jalan kooperasi dengan pemerintah Indonesia serta mengaitkan perjuangannya dengan gerakan Cargo yang bercirikan spiritual yaitu campuran antara agama adat/gerakan Cargo dan agama Kristen. Organisasi ini muncul ke permukaan pada tahun 1970 setelah selesai PEPERA dan terus aktif membina para pengikutnya di Kabupaten Jayapura terutama di kecamatan-kecamatan pantai timur, pantai barat, Depapre dan Genyem. Salah satu anak binaan Aser Demotekay adalah Jacob Pray.<br />Menurut pengakuan Aser Domotekay, bentuk perjuangan yang dilakukan untuk mencapai kemerdekaan Papua atau Irian Jaya adalah kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Ia meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan kemerdekaan kepada Irian Jaya sesuai dengan Janji Alkitab, Janji Leluhur dan Janji tanah ini bahwa bangsa terakhir yang terbentuk dan menuju akhir jaman adalah bangsa Papua. Dalam pembinaan massa pengikutnya, ia selalu memberikan pengarahan yang berkaitan dengan agama, adat istiadat/gerakan Cargo adat dan melarang tindakan Radikal dalam mencapai tujuan kemerdekaan Papua. Untuk mendukung aktivitasnya maka ia menulis beberapa artikel Rohani dengan menyisipkan pesan-pesan politik didalamnya. Organisasi ini tidak diberikan nama dengan tegas tapi merupakan usaha persiapan bagi kemerdekaan Papua Barat (West Papua) yang diketuai oleh Aser Demotekay, dan seorang pembantu umum. Untuk kepentingan keamanan, maka nama dari anggota organisasi lainnya tidak diungkapkan. Dalam petualangannya, Aser Demotekay yang adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil daerah Propinsi Irian Jaya beberapa kali harus berurusan dengan pihak keamanan yaitu ditahan dan diinterogasi, serta selalu mengaku akan perbuatannya yang dilakukan sendiri.<br />Secara organisasi kegiatan OPM pimpinan Aser Demotekay ini merupakan kegiatan Cargo Cults versi baru dan sangat tergantung pada Aser Demotekay sendiri apalagi dengan semakin tuanya Aser Demotekay sedang proses kaderisasi tidak dilakukan. Aktivitas OPM pimpinan Aser Demotekay ini tidak efektif apalagi tidak radikal, walaupun Jacob Pray dalam kondisi-kondisi tertentu harus memilih jalan yang radikal untuk melindungi diri serta mewujudkan keinginannya. Organisasi ini tidak mempunyai suatu perencanaan yang matang program-program apa yang harus dilakukan baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Adapun kegiatan yang dilakukan selama ini hanya berupa pengarahan-pengarahan, penyampaian pesan-pesan serta harapan dan dilakukan secara temporer saja sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa wilayah kabupaten Jayapura merupakan wilayah operasi militer pada tahun-tahun 1970 hingga kini. Jadi bila rakyat dikampung-kampung mengalami hal-hal yang kurang baik dari pihak militer, maka Aser Demotekay selalu mengirim pesan agar rakyat selalu bersabar dalam menghadapi penderitaan itu sebab penderitaan itu sebentar saja dan segera akan berakhir sesuai dengan waktu Tuhan yang kian mendekat dan menuju pada kemerdekaan Papua.<br />Aser Demotekay juga dalam aktivitasnya tidak lepas dari bagaimana berusaha untuk berkomunikasi dengan Jacob Pray mulai dari pedalaman Irian Jaya hingga ke luar negeri. Bentuk komunikasi yang dilakukan adalah dengan mengirimkan surat melalui kurir melintasi perbatasan untuk menginformasikan berbagai peristiwa dan keadaan yang terjadi di Irian Jaya pada umumnya dan khususnya keadaan di Jayapura.<br />Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas ini atas 2 (dua) alasan pokok, yaitu:<br />1. Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini. <br />2. Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak Adil, maka bansa Papua harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua. <br />Faksi yang kedua didirikan di Manokwari pada tahun 1964 dibawah pimpinan Terianus Aronggear (SE) yang pada mulanya bergerak dibawah tanah untuk menyusun kekuatan melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini diberi nama "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat", yang kemudian lebih dikenal dengan nama OPM.<br />Sebagai ketua umum organisasi tersebut, Terianus Aronggear (SE) menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB di New York untuk menanyakan tentang status Irian Jaya dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dinilai tidak adil sebab tidak melibatkan wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan. Juga dokumen itu berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat dengan susunan Kabinetnya. Rancangan Kabinet dan dokumen yang disusun untuk dikirim ke PBB itu terlebih dahulu dikirim ke Negeri Belanda untuk mendapatkan persetujuan dari markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe dan tokoh-tokoh Papua lainnya di Negeri Belanda seperti: A. J. F. Marey, Ben Tanggahma, Saul Hindom, Fred Korwa, James Manusawai, B. Kafiar, Semuel Asmuruf dan lain-lain serta Herman Womsiwor yang berdomisili di Jepang. Namun sebelum dokumen itu diserahkan Terianus Aronggear (SE) kepada Hendrik Joku di Jayapura untuk selanjutnya diselundupkan keluar negeri melalui perbatasan ke Papua New Guinea, Terianus Aronggear (SE) ditangkap di Biak pada tanggal 12 Mei 1965. Ia dikirim kembali ke Manokwari lalu dimasukan kedalam sel tahanan dan mengalami proses pemeriksaan oleh pihak keamanan. Melalui pemeriksaan tersebut maka seluruh dokumen disita, kegiatan ini terbongkar dan penangkapan terhadap para anggota organisasi dilakukan. Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus Aronggear (SE), melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke Negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe. Dokumen itu antara lain juga berisi permintaan agar PBB segera membuka sidang umum agar membahas kembali masalah Irian Jaya, dan menyetujui dan mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat (West Papua) sebagai suatu bangsa dan Negara yang berdaulat yang berdiri sendiri.<br />Setelah Terianus Aronggera (SE) dan kawan-kawannya Horota, Taran, Watofa tertangkap maka Permenas Ferry Awom dan kawan-kawannya yang bekas PVK melakukan suatu pemberontakan bersenjata di Manokwari secara besar-besaran dengan mulai menyerang kaserme/asrama militer (ex. PVK) di Arfai pada tanggal 28 Juli 1965. Kegiatan pemberontakan yang dilakukan OPM itu menimbulkan berbagai gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di wilayah Irian Jaya dan juga ikut mengacaukan keadaan sehingga pada masa Acub Zainal menjadi Panglima Komando Daerah Militer (KODAM) XVII Cenderawasih yang ke-V pada tahun 1970-1973 mengubah dan memberikan nama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Gerakan Pengacau Liar (GPL) kepada OPM.<br />Menurut Victor Kaisiepo, OPM itu lahir dari faksi perjuangan yang ada dan dibentuk di Irian Jaya/Papua Barat. Faksi-faksi itulah yang mengirimkan berita/informasi kepada pemimpin Papua yang memilih ikut Belanda ke negeri Belanda agar sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat. Semula Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe ragu-ragu terhadap perjuangan untuk kemerdekaan Papua. Namun setelah mendapatkan informasi tentang perjuangan di Irian Jaya, maka mereka mulai menyusun rencana perjuangan baik politik maupun militer untuk mendukung aktivitas atau perjuangan kemerdekaan di Irian Jaya yang dilakukan oleh OPM. Mereka juga memutuskan untuk menggunakan nama OPM sebagai suatu nama kesatuan dalam perjuangan Bangsa Papua Barat (West Papua).<br />Jelaslah bahwa OPM itu lahir dan dibentuk di Irian Jaya, dikenal dan disebarkan khususnya oleh faksi pimpinan Terianus Aronggera (SE) di Manokwari. Jadi dapat dikatakan bahwa fakta tentang lahirnya OPM itu sudah terungkap sehingga menghilangkan berbagai spekulasi selama ini. Berbagai spekulasi yang muncul selama ini misalnya oleh pemerintah Indonesia bahwa OPM itu dibentuk oleh Belanda dengan tokoh-tokohnya yakni Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe dan kawan-kawan. Atau OPM itu lahir di pedalaman Irian Jaya melalui berbagai kegiatan pemberontakan.<br />Mengenai Bendera, OPM dipimpin Terianus Aronggera (SE) tetap menggunakan bendera Papua rancangan Mr. De Rijke yang dikibarkan pertama kali pada tanggal 1 November 1961 sedangkan OPM pimpinan Aser Demotekay merancang suatu bendera baru.<br />Menurut Dinas Sejarah Militer Kodam XVII Cenderawasih, ada lima sebab yang menyebabkan pemberontakan OPM, yaitu:<br />1. Aspek Politik <br />o Pada masa pemerintahan Belanda, pemerintah Belanda menjanjikan kepada rakyat Papua untuk mendirikan suatu negara (boneka) Papua yang terlepas dari negara Republik Indonesia. Beberapa pemimpin putra daerah yang pro-Belanda mengharapkan akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam negara Papua tersebut. Janji pemerintah Belanda itu tidak dapat direalisir sebab Irian Jaya harus diserahkan kepada Indonesia melalui perjanjian New York 1962. Walaupun dalam perjanjian itu terdapat pasal tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, namun pelaksanaannya diserahkan kepada Indoenesia dan disaksikan oleh pejabat PBB. Apalagi pada tahun 1965 menyatakan keluar dari PBB, sehingga dukungan dari PBB tidak dapat diharapkan lagi.<br />2. Aspek Ekonomis <br />o Pada tahun 1964, serta tahun-tahun 1965 dan 1966, keadaan ekonomi di Indonesia pada umumnya sangat buruk, dan memberikan pengaruh yang sangat terasa di Irian Jaya. Penyaluran barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Irian Jaya macet dan sering terlambat ditambah pula dengan tindakan para petugas Republik Indonesia di Irian Jaya yang memborong barang-barang yang ada di toko dan mengirimnya ke luar Irian Jaya untuk memperkaya diri masing-masing. Akibatnya Irian Jaya mengalami kekurangan pangan dan sandang. Kondisi yang demikian ini tidak pernah dialami oleh rakyat Irian Jaya pada masa penjajahan pemerintah Belanda.<br />3. Aspek Psikologis <br />o Rakyat Irian Jaya pada umumnya berpendidikan kurang atau rendah diwilayah pesisir pantai dan di wilayah pedalaman tidak berpendidikan, sehingga mereka kurang berpikir secara kritis. Hal ini menyebabkan mereka mudah dipengaruhi. Mereka lebih banyak dipengaruhi emosi daripada pikiran yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan. Bila suatu janji itu tidak ditepati maka sikap mereka akan berubah sama sekali. Misalnya sebagai bukti dalam hal ini adalah Mayor Tituler Lodwijk Mandatjan yang menyingkir 2 (dua) kali ke pedalaman Manokwari tetapi kembali lagi dan mengaku taat kepada pemerintah Indonesia.<br />4. Aspek Sosial <br />o Pada masa Belanda para pejabat pemerintah lokal di Irian Jaya pada umumnya diangkat dari kalangan kepala suku (dibanding dengan di Jawa dimana Belanda mengangkat pegawai dari golongan Priyayi). Kalau mereka itu memberontak maka mereka akan mendapat dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana yang genting pada kepala suku itu harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Misalnya, Lodwijk Mandatjan.<br />5. Aspek Ideologis <br />o Di kalangan rakyat Irian Jaya hidup suatu kepercayaan tentang seorang pemimpin besar sebagai Ratu Adil yang mampu membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik atau makmur. Gerakan ini di Biak disebut gerakan Koreri (Heilstaat) atau Manseren Manggundi. Kepercayaan ini yang memberikan motivasi bagi pemberontakan yang dipimpin oleh M. Awom di Biak, dimana M. Awom dianggap sebagai pimpinan besar menyerupai Nabi Musa yang oleh para pengikutnya dianggap Sakti. <br />Selanjutnya berdasarkan dengan hasil wawancara dengan beberapa tokoh OPM baik didalam dan diluar Negeri maka diperoleh sebab-sebab pemberontakan sebagai berikut:<br />• Rasa Nasionalisme Papua, senasib dan seperjuangan untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negara Papua Barat (West Papua). <br />• Hendak meningkatkan dan mewujudkan janji Belanda yang tidak sempat direalisir akibat Integrasi dengan Indonesia secara Paksa dan Tidak Adil. <br />• Persetujuan politik antara Belanda dan Indonesia yang melahirkan perjanjian New York 1962 itu tidak melibatkan bangsa Papua (Wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang dipersengketakan. <br />• Latar belakang sejarah yang berbeda antara rakyat Papua Barat dan bangsa Indonesia. <br />• Masih terdapat perbedaan Sosial, Ekonomi dan Politik antara bangsa Papua dan Bangsa Indonesia. <br />• Tereksploitasi hasil dari Papua Barat yang dilakukan secara besar-besaran untuk bangsa Indonesia, sedangkan rakyat Papua Barat tetap miskin dan terbelakang. <br />• Tekanan terhadap rakyat Papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak awal Integrasi hingga saat ini. <br />• Hendak mewujudkan cita-cita dari gerakan Cargo, yaitu suatu bangsa dan Papua Barat yang Makmur di akhir Jaman. <br />Dari berbagai alasan atau sebab-sebab pemberontakan OPM sebagaimana diuraikan diatas, maka disimpulkan bahwa pemberontakan OPM di Irian Jaya terjadi karena "Ketidakpuasan terhadap keadaan, kekecewaan, dan telah tumbuh suatu kesadaran Nasionalisme Papua Barat".<br />Ketidakpuasan terhadap keadaan ekonomi yang buruk pada awal integrasi dan terutama pada tahun-tahun 1964 , 1965 dan 1966 dan juga terhadap sikap aparat pemerintah dan Keamanan yang tidak terpuji. Juga tidak puas terhadap sikap memandang rendah atau sikap menghina orang Irian yang sering sengaja ataupun tidak sengaja menggeneralisir keadaan suatu suku dengan suku-suku lainnya seperti: Pakai Koteka`, "masih biadab", "Goblok, Jorok", dan lain sebagainya dimana pada masa pemerintahan Belanda ungkapan-ungkapan demikian tidak pernah atau dengan mudah diucapkan kepada orang Irian.<br /><br />3. PT. Freeport McMoran<br />Di ketinggian 4200 m di tanah Papua, Freeport McMoran (FM), perusahaan induk PT. Freeport Indonesia mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.<br />Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$.<br />Berdasarkan laporan pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM di Indonesia mencapai 2 milyar dollar. Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan penyumbang emas nomor 2 kepada industri emas di Amerika Serikat setelah Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. Keuntungan tahunan ini, tentu jauh lebih kecil pendapatan selama 37 tahun Freeport beroperasi di Indonesia.<br />Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah). Demikian Freeport juga mengklaim dirinya sebagai penyumbang pajak terbesar di Indonesia yang tidak jelas berapa jumlahnya. Menurut dugaan, pajak yang disumbang PT. Freeport Indonesia mencapai 2 trilyun rupiah (kurang dari 1% anggaran negara). Pertanyaan yang patut dimunculkan, apakah Freeport menjadi amat berharga dibanding ratusan juta pembayar pajak lainnya yang sebenarnya adalah warga yang patut dilayani negara? Atau dengan menjadi pembayar pajak terbesar, PT Freeport sebetulnya sudah “membeli” negara dengan hanya menyumbang kurang dari 1% anggaran negara? Bagaimana dengan agregat pembayar pajak yang lain?<br />Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.<br />Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.<br />Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.<br />Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai.<br />Biaya yang dikeluarkan Freeport untuk mengatasi persoalan lingkungan berkisar antara 60¬70 juta dollar per tahunnya mulai dari tahun 2002. Total biaya yang telah dikeluarkan Freeport selama 3 tahun untuk urusan lingkungan sekitar 139 juta dollar atau setara dengan 6 kali lipat anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.<br />Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.<br />Di dalam laporan resmi tahunannya, Freeport McMoran menuliskan bahwa dirinya membiayai dukungan uang sejumlah 6.9 juta dollar pada tahun 2004, lalu 5.9 juta dollar tahun 2003 dan 5.6 juta dollar tahun 2002 kepada pihak keamanan resmi pemerintah Indonesia (TNI). Pernyataan Freeport McMoran dalam membiayai TNI bukan hanya dilaporkan pada tahun 2005. Hampir setiap tahun, Freeport McMoran selalu melaporkan bahwa dirinya membiayai TNI untuk melindungi keamanan.<br />The Grasberg mine has been designated by the Government of Indonesia as one of Indonesia’s vital national assets. This designation results in the military’s playing a significant role in protecting the area of our operations. The Government of Indonesia is responsible for employing police and military personnel and directing their operations....<br />Diterangkan pula dalam laporan tahunan kepada pemegang saham (Form 10-K), bahwa sesuai dengan kontrak karya, Pemerintah Indonesia wajib melindungi operasi PT Freeport yang merupakan objek vital. Karena alasan minimnya dana pemerintah untuk membiayai personil, PT Freeport menyediakan fasilitas kepada aparat negara untuk melindungi operasi, fasilitas, dan personil PT. Freeport Indonesia. Berikut kutipan laporan tersebut:<br />From the outset of PT Freeport Indonesia’s operations, the government has looked to PT Freeport Indonesia to provide logistical and infrastructure support and assistance for these necessary services because of the limited resources of the Indonesian government and the remote location of and lack of development in Papua. PT Freeport Indonesia’s financial support for the Indonesian government security institutions assigned to the operations area represents a prudent response to its requirements to protect its workforce and property, better ensuring that personnel are properly fed and lodged, and have the logistical resources to patrol PT Freeport Indonesia’s roads and secure its operating area. In addition, provision of such support and oversight is consistent with PT Freeport Indonesia’s obligations under the Contract of Work, reflects our philosophy of responsible corporate citizenship, and is in keeping with our commitment to pursue practices that will promote human rights, which include our endorsement of the joint U.S. State Department-British Foreign Office Voluntary Principles on Human Rights and Security.<br />Pertanyaan yang muncul adalah apakah TNI berhak menerima uang dari perusahaan yang secara jelas disebutkan untuk menjaga keamanan perusahaan? Kedua, apakah tindakan memberi uang kepada alat negara secara langsung adalah tindakan yang benar secara hukum? Ketiga, apakah ini adalah bukti bahwa TNI di Timika bekerja untuk melindungi kepentingan PT Freeport Indonesia? Keempat, apakah ini adalah bukti keterlibatan Freeport dalam memicu terjadinya pelanggaran HAM berat di wilayah Timika seperti yang sudah terjadi selama puluhan tahun sejak Freeport mendaratkan cakarnya di Tembagapura?<br />Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya mereka yang tinggal di Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya pada tahun 2004 hanya mendapat rangking Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300an lebih kabupaten di Indonesia. Hampir 70% penduduknya tidak mendapatkan akses terhadap air yang aman, dan 35.2% penduduknya tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Selain itu, lebih dari 25% balita juga tetap memiliki potensi kurang gizi.<br />Jumlah orang miskin di tiga kabupaten tersebut, mencapai lebih dari 50 % total penduduk. Artinya, pemerataan kesejahteraan tidak terjadi. Meskipun pengangguran terbuka rendah, tetapi secara keseluruhan pendapatan masyarakat setempat mengalami kesenjangan. Boleh jadi kesenjangan yang muncul antara para pendatang dan penduduk asli yang tidak mampu bersaing di tanahnya sendiri. Boleh jadi pula, angka prosentase yang menunjukkan kemiskinan, seperti akses terhadap air bersih, kurang gizi, akses terhadap sarana kesehatan mengandung bias rasisme. Artinya, kemiskinan dihadapi oleh penduduk asli dan bukan pendatang.<br /><br />4. Buah Merah (red fruit)<br />Buah merah (Pandanus conoideus) atau yang dikenal luas di Wamena dengan nama tawi / sauk ekendi adalah tanaman asli Papua yang tumbuh di dataran rendah (40 m dpl) sampai dataran tinggi (2.000 m dpl). Namun populasi terbanyak terdapat di dataran dengan ketinggian 1.200 hingga 2.000 m dpl. Buah merah biasa tumbuh bergerombol dalam satu area, jarang tumbuh menyendiri. Buah merah tumbuh di daerah dengan suhu di bawah 17 derajat Celcius dengan curah hujan rata-rata 186 mm per bulan dan jumlah penyinaran matahari 57% dan tekanan udara rata-rata 896 mb. Tanaman Buah Merah termasuk tanaman keluarga pandan-pandanan dgn pohon menyerupai pandan, namun tinggi tanaman dapat mencapai 16m dengan tinggi batang bebas cabang sendiri setinggi 5 sampai 8 m yang diperkokoh akar-akar tunjang pada batang sebelah bawah. Kultivar buah berbentuk lonjong dgn kuncup tertutup daun buah. Buah Merah sendiri panjang buahnya mencapai 55 cm, diameter 10-15 cm, dan bobot 2-3 kg. Warnanya saat matang berwarna merah maroon terang. Walau sebenarnya ada jenis tanaman ini yg berbuah berwarna coklat dan coklat-kekuningan. Budidaya tanaman dipelopori oleh seorang warga lokal Nicolaas Maniagasi sejak tahun 1983, dan atas jerih payahnya tersebut mendapatkan penghargaan lingkungan hidup Kehati Award 2002. Buah merah sudah secara turun-temurun dikonsumsi oleh masyarakat Papua sebagai penambah energi dan daya tahan tubuh. <br />Kehebatan buah merah mulai terkuak setelah seorang peneliti dari Universitas Cendrawasih, Drs. I Made Budi MSi, pada akhir tahun 2004 lalu mengungkapkan secara ilmiah tentang khasiat pengobatan dan kandungan gizi yang luar biasa yang dikandung dalam buah ini. Sebagai ahli gizi dan dosen Universitas Cendrawasih beliau sempat mengamati secara seksama kebiasaan masyarakat tradisional di Wamena, Timika dan desa-desa kawasan pegunungan Jayawijaya yang mengonsumsi buah merah sebagai obat cacing, penyakit kebutaan, dan penyakit kulit.Menurutnya, buah ini mengandung zat-zat alami yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan proses metabolisme. Diantaranya adalah karotenoid, betakaroten, alfa tokoferol, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan dekanoat, omega 3 dan omega 9 yang berperan sebagai senyawa anti radikal bebas pengendali beragam penyakit seperti kanker, hipertensi, paru - paru dan infeksi. Selain itu, buah merah mengandung banyak kalori untuk menambah energi, kalsium, serat, protein, vitamin B1, vitamin C dan nialin.Kandungan kalorinya tinggi, mencapai 400 kilo kalori /100 gram daging buah. Tak heran jika setelah meminumnya orang akan merasa bugar dan nafsu makan meningkat. <br />Adapun yang diminum dari buah merah ini adalah dalam bentuk saripati. bentuknya seperti minyak goreng, hanya saja berwarna merah kental dan berbau seperti wijen. Antioksidan di dalam buah merah (kandungan rata-rata) : Karoten (12.000 ppm) , Betakaroten (700 ppm) dan Tokoferol (11.000 ppm). Kandungan gizi buah merah antara lain memiliki antioksidan tinggi (karoten, tokoferol), asam lemak didominasi tidak jenuh, mineral makro dan mikro sangat tinggi khususnya kalsium serta Fe. Hampir 85 persen terdiri dari Omega 3, Omega 9 dan Omega 6. Ketiga Omega ini sangat penting peranannya dalam meningkatkan kekebalan tubuh, kecerdasan, dan perbaikan sel rusak.<br /><br /><br /><br />BAB IV<br />PENUTUP<br /><br />3.1 Kesimpulan<br />Kebudayaan Papua sama seperti kebudayaan lain yang menyusun dan memperkaya khasanah Kebudayaan Indonesia. Sehingga sudah sepatutnya kita menghargai, menghormati serta memberikan kedudukan yang sama kepada saudara-saudara kita yang ada di Papua apapun keadaan mereka sekarang. Sama seperti yang lain, Kebudayaan Papua mempunyai kekurangan dan kelebihan yang harus dapat kita terima, karena tanpa saudara-saudara kita yang ada di Papua bangsa ini tidak bisa seperti yang sekarang. Oleh karena itu, sesungguhnya tidaklah cukup apabila kita ingin memahami kebudayaan Papua dalam waktu yang singkat tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dan mendalam. Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan usaha kami untuk menyediakan berbagai pengetahuan seputar kebudayaan Papua.<br />Secara khusus pula makalah ini kami buat untuk teman-teman di lingkungan Kampus STAN yang tertarik dengan kebudayaan Papua serta bagi yang tidak memiliki latar belakang kebudayaan Papua untuk menambah pengetahuan sekaligus sebagai bekal bagi teman-teman di lingkungan kerja nanti, supaya kita dapat berkomunikasi lintas budaya. Dan akhirnya, sesungguhnya makalah ini jauh dari lengkap dan mendalam mengenai kebudayaan Papua Kami meminta maaf apabila di dalam makalah ini ada pernyataan yang kurang berkenan di hati teman-teman. Terima kasih.<br /><br />3.2 Saran<br />Kebudayaan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Kebudayaan merupakan hasil karya, karsa, dan cipta manusia yang menghasilkan produk-produk budaya yang indah. Walaupun kebudayaan di negara kita, Indonesia, mempunyai kebudayaan yang plural, namun tak semestinya kita menginterpretasikan kebudayaan itu sebagai perbedaan yang buruk.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />http:// rudy_rapang@yahoo.com<br />http://infopapua.com<br />http://id.wikipedia.org<br />http://www.tamanmini.com<br />http://www.suarapembaruan.com<br />http://www.balipos.com<br />http://www.indonesia.go.id<br />Dinas Pariwisata Propinsi Papua<br />http://students.ukdw.ac.id<br />http://www.papua.go.id<br />http://www.papuapost.com<br />http://www.warispapua.org<br />http://www.walhi.or.id.<br />Koentjaraningrat, 2002, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.<br />Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-3144642638738565032008-11-22T21:43:00.000-08:002008-11-22T21:54:04.765-08:00Kebudayaan MinangkabauUntuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabaua yang telah berusia ribuan tahun. <br />Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.<span class="fullpost"> <br />Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.<br />Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Batak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.<br />Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di lokasi menhir berada, seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:<br />”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Menhir yang kemudian berubah fungsi, sebagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama “Medan nan Bapaneh”.<br />Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.<br />Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab.<br /> Zaman Mula Sejarah Minangkabau <br />Kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina. <br />Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi sampai abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. <br /><br /> Zaman Minangkabau Timur <br />Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah karena menyesuaikan dengan lingkungan alam, kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.<br />Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.<br /><br /><br /><br />Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.<br />Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bagian dari kerajan Sriwijaya.<br />Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.<br /><br /> Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau <br />Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka untuk membicarakan masalah perdagangan. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.<br />Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.<br />Sewaktu Sultan Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda. <br />Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dan benteng Belanda di Pulau Cingkuak dari pusat kedudukannya di Bengkulu.<br />Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. Mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi karena terlibat perang lagi dengan Belanda.<br /> Pembaharuan oleh Agama Islam <br />Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera. <br />Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga karena terbentur kepentingan perkembangan Politik Cina dan Agama Budha.<br />Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas mulai datang dari Aceh. Pada waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadi secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat tetapi hanya disekitar istana saja. Ketika orang-orang istana itu sudah tidak ada, hilang pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.<br />C. IDENTIFIKASI GEOGRAFI DAN BUDAYA<br />Sumatera Barat berada di bagian barat tengah Pulau Sumatera dengan luas 42.297,30 km² . Provinsi ini memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai Sumatera Barat seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km.<br />Propinsi Sumatra Barat terletek di posisi 0°U-102° LS, 98°-102° BT dengan batas-batas :<br />Utara : Propinsi Sumatera Utara<br />Barat : Propinsi Riau dan Propinsi Jambi<br />Selatan : Propinsi Bengkulu<br />Timur : Samudera Hindia<br />Danau-danau yang berada di Sumatera Barat adalah Maninjau (99,5 km²), Singkarak (130,1 km²), Diatas (31,5 km²), Dibawah (Dibaruh) (14,0 km²), Talang (5,0 km²)<br />Beberapa sungai besar di pulau Sumatera yang berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau atau Jambi. Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat pendek-pendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan. Gunung-gunung di Sumatera Barat adalah Marapi (2.891 m), Sago (2.271 m), Singgalang (2.877 m), Tandikat (2.438 m), Talakmau (2.912 m), Talang (2.572 m).<br />1. Keanekaragaman Hayati<br />Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan alami dan dilindungi.<br />Dalam hutan tropis di Sumatera Barat dapat dijumpai berbagai spesies langka, misalnya: Rafflesia arnoldii (bunga terbesar di dunia), Harimau Sumatra, siamang, tapir, rusa, beruang, dan berbagai jenis burung dan kupu-kupu.<br />Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini, yaitu Taman Nasional Siberut yang terdapat di Pulau Siberut (Kabupaten Mentawai) dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat provinsi,antara lain Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatra Selatan.<br />Selain kedua Taman Nasional tersebut masih ada beberapa cagar alam lainnya: Cagar Alam Rimbo Panti, Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh, Cagar Alam Lembah Harau, dan Cagar Alam Beringin Sakti.<br />Sumatra Barat juga memiliki beberapa sumber daya alam, antara lain batu bara, batu besi, batu galena, timah hitam, seng, manganase, emas, dan batu kapur.<br />2. Bahasa dan Agama<br /><br />Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa daerah yang meliputi :<br /> Bahasa Minangkabau <br />Bahasa Minangkabau memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan dan dialek Payakumbuh.<br /> Bahasa Batak <br />Dialek yang digunakan berupa dialek Mandailing, yang biasanya digunakan suku Batak Mandailing di daerah Pasaman. <br /> Bahasa Mentawai<br />Bahasa Mentawai yang digunakan oleh penduduk yang bertempat tinggal di daerah Mentawai yang berupa kepulauan dan terletak beberapa puluh kilometer lepas pantai Sumatra Barat.<br />Mayoritas penduduk Sumatra Barat beragama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen di Kepulauan Mentawai, serta Hindu dan Buddha yang pada umumnya adalah para pendatang.<br />3. Musik dan Tarian<br />Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatra Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarakat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik (dipadukan) dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik ini terdiri dari instrumen alat musik tradisional saluang (seruling), bansi (gendang), talempong (gamelan), rabab (biola), dan gandang tabuik (gendang dimainkan untuk memperingati kematian cucu nabi Muhammad).<br />Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi merantau.<br />Industri musik di Sumatra Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau.Perkembangan musik Minang modern di Sumatra Barat sudah dimulai sejak tahun 1950'an ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang. Elly Kasim, Tiar Ramon dan Yan Juneid adalah penyanyi daerah Sumatra Barat yang terkenal di era 1970-an hingga saat ini.<br />Tari tradisi bersifat klasik yang berasal dari Sumatera Barat yang ditarikan oleh kaum pria dan wanita umumnya memiliki gerakan aktif dinamis namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas. Kekhasan ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam. Oleh karena itu, dinamisme gerakan tari-tari tradisi Minang selalu merupakan perlambang dari unsur alam. Pengaruh agama Islam, keunikan adat matrilineal dan kebiasan merantau masyarakatnya juga memberi pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau.<br />Macam-macam tari tradisional dari Sumatra Barat meliputi: <br />1. Tari Piring <br />2. Tari Payung <br />3. Tari Randai <br />4. Tari Pasambahan <br />5. Tari Indang<br /><br />Seni tari tradisional Pencak Silat dari Minangkabau merupakan penggabungan dari gerakan tari dan seni beladiri khas Minang. Pencak Silat di Minangkabau memiliki beberapa aliran, diantaranya aliran Harimau Kumango. Tarian ini biasanya sudah diajarkan kepada kaum pria di Minangkabau semenjak kecil hingga menginjak usia akil baligh (periode usia 6 hingga 12 tahun) untuk dijadikan bekal merantau.Saat ini seni tari pencak silat sudah mendunia dengan terbentuknya federasi pencak silat sedunia IPSF (International Pencak Silat Federation).<br />4. Rumah Adat<br />Rumah adat Sumatra Barat disebut Rumah Gadang. Rumah adat asli setiap tiangnya tidaklah tegak lurus atau horizontal tapi mempunyai kemiringan. Ini disebabkan oleh orang dahulu yang datang dari laut hanya tahu bagai mana membuat kapal. Rancangan kapal inilah yang ditiru dalam membuat rumah. Rumah adat jugat tidak memakai paku tapi memakai pasak kayu. Ini disebabkan daerah Sumatera Barat rawan terhadap gempa, baik vulkanik maupun tektonik. Jika dipasak dengan kayu setiap ada gempa akan semakin kuat mengikatnya. Atapnya dari ijuk. Yang demokrasi, lantainya datar. Kato lantainya tidak semua datar. Jumlah ruangannya 9. ada lumbung padi di depan rumah, biasanya ada 6 n setiap lumbung punya fungsi berbeda. Jumlah gonjongnya harus 5 atau 7.<br />5. Senjata dan MakananTradisional<br />Senjata tradisional Sumatra Barat adalah Keris. Keris biasanya dipakai oleh kaum laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, saat sekarang hanya dipakai bagi mempelai pria dalam pesta pernikahan. Berbagai jenis tombak, pedang panjang, sumpit juga dipakai oleh raja-raja Minangkabau dalam menjaga diri mereka.<br />Dalam dunia kuliner, Sumatra Barat terkenal dengan masakan Padang dan restoran Padang. Masakan Padang yang terkenal dengan citarasa yang pedas dapat ditemukan hampir di seluruh penjuru Nusantara, dan dapat ditemukan juga di luar negeri.<br />Beberapa contoh makanan dari Sumatra Barat yang sangat populer adalah Rendang, Sate Padang, Dendeng Balado, Ayam Pop, Soto Padang, dan Bubur Kampiun<br />Selain itu, Sumatra Barat juga memiliki ratusan resep, seperti Galamai, Wajik, Kipang Kacang, Bareh Randang, Dakak-dakak, Rakik Maco, Karupuak Balado dan Karupuak Sanjai. Makanan ciri khas masing-masing kota dan kabupaten di Sumatra Barat untuk dijadikan buah tangan (oleh-oleh) adalah: Kota Padang terkenal dengan bengkuang dan karupuak balado, Kota Padang Panjang terkenal dengan sate nya, Kota Bukittinggi dengan karupuak sanjai, Kota Payakumbuh dengan galamai dan bareh rendang, Kabupaten Agam terkenal dengan palai rinuak dan pensi, Kabupaten Pesisir Selatan dengan rakik maco, Kabupaten Tanah Datar dengan lamang Limo Kaum dan dakak-dakak simabua-nya.<br />D. SISTEM KEKERABATAN <br />Para ahli hukum menetapkan bahwa sistem kekerabatan pada masyarakat adat Minangkabau yaitu matrilineal. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. Wilken mengemukakan proses dari garis keturunan pada masa pertumbuhannya sebagai berikut:<br />1. Garis keturunan ibu<br />2. Garis keturunan ayah<br />3. Garis keturunan orang tua<br />Menurut teori evolusi Wilken, garis keturunan ibulah yang dianggap yang tertua dan kemudian garis keturunan ayah, selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan ibunya, tetapi juga garis keturunan ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut teori evolusi ini menitikberatkan terhadap evolusi kehidupan manusia.<br />Pada masa lalu pergaulan antara laki-laki dan wanita masih bebas artinya belum mengenal norma-norma perkawinan. Mengingat pada kenyataannya yang melahirkan adalah perempuan maka keturunan berdasarkan perempuanlah yang mendapat tempat pertama. Disamping itu lambat laun manusia juga menjadi sadar akan hubungan antara ibu dan anak-anaknya sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga ”ibu dan anak-anaknya" ini, si ibulah yang menjadi Kepala Keluarga.<br />Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya harus dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan "adat eksogami". Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat.<br />Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena "garis keturunan" selalu diperhitungkan menurut "Garis Ibu", dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat "matriarchat".<br />Istilah "matriarchat" yang berarti "ibu yang berkuasa" sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem "ibu yang berkuasa" itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis matrilinial.<br />Dalam sistem kekerabatan matrilinial terdapat 3 unsur yang paling dominan yaitu<br />• Garis keturunan "menurut garis ibu"<br />• Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial<br />• Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga <br />Sampai saat ini masyarakat Minangkabau masih bertahan dengan garis keturunan ibu dan tidak mengalami evolusi. Disamping itu garis keturunan ibu di Minangkabau erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Seandainya garis keturunan mengalami perubahan maka akan terjadi suatu perubahan dari sendi-sendi adat Minangkabau sendiri. Oleh karena itu, bagi orang Minangkabau garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya. <br />Sebenarnya garis keturunan yang ditarik dari garis wanita bukan hanya terdapat di Minangkabau saja, melainkan juga di daerah lain pada sejumlah besar suku-suku primitif di Melanesia, Afrika Utara, Afrika Tengah, dan beberapa suku bangsa di India. Malahan ada yang sangat mirip dengan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, yaitu suku Babemba di Rodhesia Utara. Raymond Rifth mengemukakan, mengenai ini sebagai berikut:<br />Seorang laki-laki termasuk marga ibunya, dan kalau dia bicara tentang kampung asalnya maka dimaksudkannya adalah kampung halaman ibunya dan paman-pamannya dari pihak perempuan dilahirkan. Dia mencari asal usul terutama dari silsilah nenek moyangnya dari pihak perempuan. Bagi seorang laki-laki bangsawan adalah lazim bahwa nenek moyangnya dari pihak perempuan dapat ditunjukkan sampai keturunan yang ketiga belas, sedangkan nenek moyangnya yang laki-laki hanya sampai dua generasi saja. Pergantian kedudukan juga dilakukan menurut garis silsilah ibu. Jabatan kepala suku juga diturunkan kepada anak laki-laki saudara perempuannya.<br />Banyak ahli barat menulis tentang sistem kekerabatan Minangkabau. Salah seorang dari para ahli tersebut adalah Bronislaw Malinowsky yang mengemukakan sebagai berikut:<br />1. Keturunan dihitung menurut garis ibu<br />2. Suku dibentuk menurut garis ibu<br />3. Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku<br />4. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang dipergunakan.<br />5. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku<br />6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.<br />7. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri<br />Apa yang dikemukakannya di atas yang tidak ditemui sekarang adalah pembalasan dendam yang merupakan tata kewajiban seluruh suku, mungkin terjadi pada masa dahulu. <br />E. SISTEM KEMASYARAKATAN<br />Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat Minangkabau yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal ini adalah paruik. Setelah masuk islam di Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik adalah jurai.<br />Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya. Secara garis besar faktor-faktor yang mengikat kaum ini adalah sebagai berikut :<br />1. Orang Sekaum Seketurunan<br />Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali darah, bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit dibuktikan. Lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, membuktikan mereka seketurunan masih bisa dicari. Ini biasanya dilakukan untuk menguji ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini dapat dilihat generasi mereka sebelumnya dan sampai sekarang yang ditarik dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum dan juga mengenai sako.<br /><br /><br />2. Orang Yang Sekaum Sehina Semalu<br />Anggota yang melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum yang paling terpukul adalah mamak kaum dan kepala waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya. Karena perasaan sehina semalu-cukup mendalam, seluruh anggota selalu mengajak agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa sehina semalu ini, adat mengatakan : “malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak” (malu tak dapat dibagi, suku tidak dapat dianjak), artinya malu seorang malu bersama. Mamak atau wanita-wanita yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini.<br />3. Orang Yang Sekaum Sepandan Sepekuburan<br />Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai pandam tempat berkubur khusus bagi anggora kaumnya. Jadi yang dimakamkan di satu pandam adalah orang yang seketurunan atau sekaum. Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas berkaitan dengan pandam ini. Di Minangkabau tempat memakamkan mayat terdapat beberapa istilah seperti pandam, pekuburan, ustano dan jirek. Kuburan ini merupakan tempat kuburan umum dan disini tidak berlaku seketurunan dan siapa saja atau dari keluarga manapun tidak jadi soal.<br />Istilah “ustano” mempunyai arti yaitu makam raja-raja dengan keluarganya. Di luar dari itu tidak dibenarkan. Namun dalam kenyataan sehari-hari orang mengacaukan sebutan ustano dengan istana sebagaimana sering kita baca atau dengar. Sedangkan jirek merupakan makam pembesar-pembesar kerajaan pagaruyung dengan keluarganya. Ustano dan jirek ini terdapat di pagaruyung batusangkar. <br />Untuk mengatakan seseorang itu sekaum, ia merupakan orang asal dalam kampung itu kemudian kaum keluarganya dapat menunjukkan pandamnya. Di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian satu pandam tempat berkubur.<br />4. Orang Yang Sekaum Seberat Seringan<br />Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesenang sebagaimana yang dikemukakan dalam adat “kaba baik baimbauan, kaba buruk bahambauan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan). Artinya bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan, berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar buruk dari salah seorang anggota keluarganya tanpa dihimbaukan sebagai contohnya seperti ada kematian atau mala petaka lain yang menimpa.<br />5. Orang Yang Sekaum Seharta Sepusaka<br />Adat Minangkabau tidak mengenal harta perseorangan. Harta merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka yang banyak dari sebuah kaum menunjukkan bahwa nenek moyangnya merupakan orang asal di kampung itu sebagai peneruka pertama dan kaum yang mempunyai harta pusaka yang sedikit bisa dianggap orang yang datang kemudian. Oleh sebab itu, di dalam adat sebuah kaum yang banyak memiliki harta tetapi hasil tembilang emas atau dengan cara membeli maka statusnya dalam masyarakat adat tidak sama dengan orang yang mempunyai harta pusaka tinggi (harta pusaka kaum yang banyak). Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang pendatang.<br />Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap berpegang kepada prinsip “harato salingka kaum, adat salingka nagari” (harta selingkar kaum, adat selingkar nagari).<br />Selanjutnya garis kekerabatan yang berkaitan dengan kaum ini adalah jurai. Sebuah kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya. Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau mamak rumah. Anggota suatu jurai merupakan satu kaum.<br />Pecahan dari jurai disebut samande (seibu) yaitu ibu dengan anak-anaknya, sedangkan suami atau orang sumando tidak termasuk orang samande. Orang yang samande diberi “ganggam bauntuk, pagang bamasieng” (genggam yang sudah diperuntukan dan masing-masing sudah diberi pegangan), artinya masing-masing orang yang samande mempunyai bagian atas harta pusaka milik kaumnya. Tetapi mereka hanya diberi hak untuk memungut hasil dan tidak boleh digadaikan apalagi untuk menjual bila tidak semufakat anggota kaum.<br />F. ADAT PERKAWINAN<br />Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sesuku menikah meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu sampai sekarang masih tetap kawin dengan orang di luar sukunya (exogami).<br />Perkawinan merupakan inisiasi kealam baru bagi seorang manusia merupakan perubahan dari tingkat umur, seperti masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke alam dewasa dan kemudian ke jenjang perkawinan.<br />Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan. Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:<br />1. Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang laki-laki dan perempuan kawin dengan bebas.<br />2. Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan segolongan orang perempuan.<br />3. Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis keturunan perempuan.<br />4. Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya.<br />5. Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak mengenal kedua orang tuanya. Bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang belum ada keterangan yang diperoleh bagaimana cara dan prosesnya sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Apakah ada proses perkawinan bebas dan bergerombolan ini dahulunya dan untuk itu tentu perlu penyelidikan dan penelitian khusus.<br />Dari cerita-cerita yang ada di Minangkabau digambarkan bahwa untuk mencari seorang sumando dipanjang gelanggang dan diadakan sayembara. Perkawinan dengan sayembara ini memperlihatkan cara seorang raja atau bangsawan mencari calon menantu. Hal ini tidak sesuai dengan struktur masyarakat Minangkabau yang tidak mengenal adat raja-raja, dan kemungkinan cerita dalam kaba ini merupakan pengaruh dari luar Minangkabau. <br />Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah sebagai berikut:<br />1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan<br />Pada masa dahulu bagi seorang mamak merasa malu bila kemenakannya belum juga mendapat jodoh. Sedangkan menurut ukuran sudah sepantasnya untuk kawin, malu bila dikatakan kemenakannya “gadih gadang alun balaki” (gadis besar belum bersuami).<br />Pada masa dahulu dibenarkan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat gadih gadang alun balaki. Segala daya dan upaya dilkukan demi memperoleh jodoh. Mencari calon suami dari kemenakan dikatakan juga mencari junjungan, untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak terlepas dari alam takambang jadi guru. Ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk membelitkan dirinya. Lazimnya pada masa dahulu si gadis tidak dinyatakan terlebih dahulu apakah ia mau kawin atau tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak.<br />Hal ini dengan pertimbangan seseorang yang belum kawin masih dianggap belum dewasa. Apalagi pada masa dahulu seorang wanita sudah dicarikan suaminya dalam umur yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15. Bila sudah menjanda baru ditanya pendapatnya, karena sudah dianggap matang untuk melakukan pilihan.<br />Drs. M. Rajab mengenai inisiatif dari seorang mamak untuk mencari jodoh kemenakannya mengemukakan sebagai berikut: “dalam masyarakat Minangkabau pada masa dahulu inisiatif untuk mengawinkan anak kemenakan datang dari pihak keluarga perempuan, sesuai dengan sistim keibuan yang dipakai. Datuk atau mamaknya atau keduanya pada suatu ketika yang baik dan dalam suasana yang tenang dan resmi, mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah sudah terlintas pada pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi menantunya.”<br />Dapat disimpulkan antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu baru dibawa kepada anggota kaum yang pantas untuk berunding atau bermusyawarah bersama-sama. Dalam hal ini orang sumando mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan untuk menjajaki keluarga laki-laki yang bakal diharapkan menjadi junjungan kemenakannya.<br />Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua kaum sangat diharapkan dalam adat, karena pada lahirnya bukan hanya mempertemukan seorang gadis dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal yang tidak diingini, seperti pertengkaran suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala resikonya.<br />Pada saat sekarang mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau laki-laki, namun jalur adat harus dituruti juga. Bawalah permasalahan kepada mamak atau kaum keluarga, sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila pemuda mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa melibatkan masing-masing anggota keluarga.<br />2. Calon menantu yang diidamkan<br />Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu. Yang paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa). Orang ini dalam keluarga laki-laki mamaknya pemangku adat atau penghulu yang disegani dalam masyarakat adat. Kalau dapat calon menantu ini pemangku adat yang berpredikat datuk, serta baik budinya. Tujuannya agar keturunannya nanti anak orang terpandang dan soal pekerjaan dan jaminan ekonomi tidak dipermasalahkan. Setelah islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah orang yang alim serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi seseorang dan anggota kaum pada umumnya.<br />Karena adanya perubahan sistim nilai yang terjadi maka saat sekarang kecendrungan untuk mencari calon menantu itu adalah orang yang penuh tanggungjawab dan sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, dan tentu saja ketaatannya beragama serta budinya yang baik tetap menjadi ukuran pertimbangan.<br />Dahulu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan bukan berarti pihak suami tidak bertanggungjawab, melainkan pada waktu itu hasil harta pusaka sawah dan ladang memadai. Tentu penduduk belum sebanyak sekarang jika dibandingkan dengan harta pusaka yang ada.<br />3. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat. <br />Merupakan ciri khas juga pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini lain tidak agar hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Secara tersirat ada juga dengan alasan agar harta pusaka dapat dimanfaatkan bersama antara anak dan kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga terdekat ini dalam adat dikatakan juga “kuah tatumpah kanasi, siriah pulang ka gagangnyo” (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).<br />Malahan pada masa dahulu perkawinan dalam lingkungan sangat diharuskan, dan bila terjadi seorang laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sangsi dalam pergaulan masyarakat adat. Tujuan lain untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama warga nagari. Sangat tidak disenangi bila seorang pemuda telah berhasil dalam kehidupannya dengan baik, tahu-tahu dia kawin diluar kampung atau nagarinya, hal ini dikatakan ibarat “mamaga karambia condong” (memagar kelapa condong), buahnyo jatuah kaparak urang (buah jatuh kekebun orang). Keberhasilan seseorang individu dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari. Oleh sebab itu sudah sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.<br />4. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah isteri<br />Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan si suamilah yang tinggal di rumah istrinya. Dalam istilah antropologi budaya disebut matrilocal. Mengenai tempat tinggal di rumah istrinya, beberapa ahli mempunyai pendapat lain, seperti Firth mengatakan dengan istilah “uxorilocal” dan Mordock mengatakan “duolocal residence”, hal ini dengan alasan karena masing-masing suami istri tetap tinggal dan punya domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahirannya di garis keturunan masing-masing.<br />Sayang sekali pendapat di atas tidak menjelaskan pada zaman apa terjadinya hal yang demikian. Pada masa dahulu suami pulang kerumah istrinya pada sore hari dan subuhnya kembali kerumah orang tuanya. Hal ini mungkin terjadi bila terjadi dalam lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari dan asal tidak bersamaan suku. Namun dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah duorocal residence atau dua tempat tinggal bagi seorang suami sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tersebut diatas. Sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau tetap mengatakan bahwa suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.<br />5. Tali kekerabatan setelah perkawinan<br />Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat – tali kerabat antara keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, bisan dan menantu.<br />a. Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya. Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari saudara-saudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak adalah “bakonya”. <br />b. Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan. <br />c. Sumando berasal dari bahasa sansekerta yaitu “sandra”, sedangkan dalam bahasa Minangkabau menjadi “sando” dengan sisipan “um” menjadi sumando. Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari. <br />d. Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya, dia berperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai (pemimpin u/ keluarga suami) dan mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami.<br />e. Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar, bisan ini dengan “ipa bisan” dan kadang-kadang disambung saja jadi “pabisan”.<br />Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bagian. Pertama menantu sepanjang syarak. Bagi seorang suami istri dan saudara laki-lakinya. Istri-istri atau suami-suami anaknya merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu sepanjang adat, maksudnya bagi seorang mamak beserta istri dan saudara-saudara laki-lakinya, istri atau suami kemenakan merupakan menantu sepanjang adat.<br />6. Sumando yang diidamkan<br />Nilai seorang sumando sekaligus, merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan sosial rumah gadang, karena orang sumando tersebut seorang mamak di rumah gadangnya. Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando itu dalam melakukan perannya, orang Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut:<br />a. Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya orang sumando hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan tanggungjawab kepada anak istrinya tidak ada.<br />b. Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi perangai tidak baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti langau hijau suka hinggap di mana-mana dan kemudian terbang meninggalkan bangan (kotoran).<br />c. Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perangai yang suka memecah belahkan kaum keluarga istrinya, seperti “kacang miang” yang membuat orang gatal-gatal.<br />d. Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Orang sumando seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum istrinya. Ibarat tikar buruk hanya dipakai kalau betul-betul diperlukan kalau tidak perlu tikar buruk ini tidak dipergunakan.<br />e. Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah dari pada di luar, suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.<br />f. Sumando niniak mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang diharapkan oleh keluarga istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang istrinya dia akan bersikap, nan tahu dikieh kato sampai, mengampuangkan nan taserak, mangamehi nan tacicia. (yang tahu dengan kias kata sampai mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus budi bahasanya, suka membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril maupun materil. Demikian pula di rumah gadang kaumnya berfungsi mauleh mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak (mangulas mana yang putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia suka turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota kaumnya.<br />Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini bagi orang Minangkabau sendiri, terutama bagi laki-laki akan dapat berfikir jenis manakah yang akan dipakainya, seandainya dia kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.<br />7. Peranan Ibu Dan Bapak dalam Keluarga <br />Perkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu pengertian keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit yang tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud dengan keluarga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, adalah paruik yang terdiri dari individu-individu yang dikemukakan diatas.<br />Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan oleh peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah paruiknya.<br />Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya melainkan sebagai sebutan dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang. Sedangkan untuk wanita keseluruhan orang Minangkabau menyebut perempuan. Perempuan Minangkabau sangat dihormati. Ini dapat dilihat dimana garis keturunan ditarik dari garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita, hasil sawah ladang juga untuk wanita dan lain-lain. <br />Setelah mulai besar, anggota seluruh rumah gadang adalah keluarga dan merupakan suatu kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama pula terhadap dunia luar yaitu dari orang-orang rumah gadang lainnya.<br />Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi anak laki-laki tidak dibenarkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman sebaya tidur di surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya banyak diperolehnya di surau ini karena di surau ini bukan hanya para pemuda dan remaja saja yang tinggal tetapi juga anggota keluarga laki-laki yang sekaum dengannya dan belum kawin atau menduda dan umumnya sudah dewasa dari mereka. Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat istiadat dan tempat mendengar kisah-kisah lama bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum tidur mereka juga belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya, baik untuk di kampung maupun persiapan untuk pergi merantau nantinya. Proses sosialisasi anak laki-laki menuju remaja dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan mamak-mamaknya dalam rumah gadang.<br />Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada disamping ibunya dan perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajari memasak membantu ibunya di dapur, mengurus rumah tangga, menjahit dan menyulam.<br />Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah gadang istrinya sebagai seorang sumando. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki tersebut hilang kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti biasa sebelum kawin dan boleh beristri dua, atau tiga lagi dan sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh menceraikan istrinya, jika dia atau keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya. Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari suaminya jika dia tidak cinta lagi kepada suaminya atau bilamana pihak keluarganya tidak senang melihat kelakuan menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.<br />Bila diperhatikan pula ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan bahwa seorang ayah di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam keluarga istrinya termasuk terhadap anak-anaknya sebagaimana dikatakan “sedalam-dalam payo, sahinggo dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga pintu biliak” (sedalam-dalam paya, sehingga dada itik, sebaik-baik orang semenda sehingga pintu bilik). Dikatakan juga, suami ibarat “abu di ateh tunggua” (abu di atas tunggul), datang angin, semuanya berterbangan.<br /> Ada beberapa hal yang mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/istri dan kaum keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris yaitu kehidupan petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk yang masih jarang, harta yang masih luas dan memungkinkan seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan sosial ekonominya. Disamping itu seorang ayah tidak perlu memikirkan tentang biaya pendidikan anak-anaknya karena sekolah formal waktu itu tidak ada. Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.<br />Bila mamaknya bertani maka kemenakannya dibawa pula bertani, jika mamaknya berdagang maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak menjadi persoalan yang penting tetapi keturunan dan martabat dari pada ayahnya. Demikian pula anak-anak perempuan pendidikannya hanya terbatas dalam lingkungan rumah gadang saja dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan kepada persiapan untuk menempuh jenjang perkawinan. Disamping itu karena interaksi dengan dunia luar belum ada sehingga kemungkinan untuk merubah pola struktur yang telah ada sedikit sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang masa lalu dengan kaca mata sekarang karena ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.<br />Dalam proses selanjutnya terjadi perubahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya karena berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan merantau dari orang Minangkabau, masuknya pengaruh islam dan pendidikan modern telah membawa perubahan-perubahan cara berfikir dalam hidup berkeluarga dan dalam tanggung jawab terhadap anak istrinya.<br />Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat kampung yang ditinggalkan selama ini. Dan betapa akrabnya hubungan suami istri beserta anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri kedaerah rantau dan hidup bersama-sama anak-anak merupakan sejarah baru yang selama ini tidak pernah ditemui. Hidup yang bebas dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah membawa gema ke kampung halaman. Bila mendapat rezeki di rantau, si ayah membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk membuktikan keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih ditanah kaum istrinya tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.<br />Pergeseran peranan mamak kepada ayah dipercepat lagi setelah mantapnya agama islam menjadi anutan masyarakat Minangkabau. Agama islam secara tegas menyatakan bahwa kepala keluarga adalah ayah. Dalam permulaan abad ke XIX pengaruh barat, terutama melalui jalur pendidikan ikut juga memperkuat kedudukan dan peranan ayah ditengah-tengah anak istrinya. Namun demikian bukan berarti bergesernya sistem kekerabatan matrilineal kepada patrilineal.<br />G. PEMBAGIAN ADAT MINANGKABAU<br />Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, Aceh dan sebagainya. Agama Islam pada umumnya terintegrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut. <br />Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain tetapi dengan beberapa kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu (matrilinial). <br />Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. <br />Pada tataran konseptional, adat Minang terbagi pada empat kategori: <br />1. Adat nan sabana adat <br />2. Adat nan teradat <br />3. Adat nan diadatkan <br />4. Adat istiadat <br />Secara legalistik atau kelembagaan, adat Minang dapat dirangkum dalam Limbago nan Sapuluah, yaitu: <br />1. Cupak nan duo <br />2. Kato nan ampek <br />3. Undang nan ampek <br /><br />Cupak nan Duo ialah Cupak Usali dan Cupak Buatan Kato nan Ampek ialah: <br />1. Kato Pusako <br />2. Kato Mupakat <br />3. Kato Dahulu Batapati <br />4. Kato Kudian Kato Bacari <br />Undang nan Ampek ialah: <br />1. Undang-undang Luhak dan Rantau <br />2. Undang-undang Nagari <br />3. Undang-undang Dalam Nagari <br />4. Undang-undang nan Duopuluah <br />1). Kategori Adat pada Tataran Konseptional<br />a). Adat yang Sebenarnya Adat<br />Adat yang sebenar adat tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas. Ia adalah hukum alam itu sendiri. Dalam alam semesta ini tiap sesuatu tentu ada sebabnya. <br />Sebelum Islam masuk, Adat Minangkabau “bersendi alur dan patut”. Sesudah Islam masuk terjadi perubahan : “Adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah”. Berhubung dengan bergantinya adat maka ada yang mengatakan bahwa Adat yang sebenar adat itu ialah Al Quran dan Hadis.<br /> Bukankah di dalam kitab suci Al Quran terdapat ayat yang mengatakan bahwa banyak ayat-ayat Tuhan terdapat pada alam bagi siapa yang pandai membacanya.<br /> b). Adat yang Teradat<br />Untuk mengamalkan Adat yang sebenar adat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tentu diperlukan musyawarah-musyawarah. Hasil dari musyawarah- musyawarah itu lahirlah peraturan-peraturan atau konsensus. Misalnya di Silungkang, dahulu sebagai hasil musyawarah tercapai konsensus bahwa wanitanya tak boleh bersuamikan pria luar. Jika ketentuan itu dilanggar tentu ada sanksinya.<br />Dengan kata lain yang dimaksud dengan Adat yang teradat ialah peraturan-peraturan yang lahir oleh musyawarah dan mufakat atau telah menjadi konsensus masyarakat yang memakainya.<br />c). Adat yang Diadatkan<br />Yang dimaksud dengan adat yang diadatkan ialah adat yang telah dijadikan Undang-undang atau hukum yang berlaku. Dalam Undang-undang atau hukum yang berlaku ada yang mengatur hubungan manusia dengan Nagari.<br />Keharusan setiap orang Minangkabau bersuku – bernagari dan sukunya menurut suku ibu menunjukkan berlakunya sistem matrilinial. Mengenai sistem matrilinial ini ada orang yang mengatakan ia termasuk dalam Adat yang sebenar adat. Padahal sistem matrilinial ini adalah sistem bikinan manusia. Ia pernah tidak ada, kemudian ada dan telah menerima pula sistem patrilinial dari agama Islam, misalnya mengenai pembagian warisan. Kenyataan lain sistem matrilinial itu terus digerogoti misalnya dengan di belakang nama seseorang tidak dicantumkan nama ibunya melainkan nama bapaknya.<br />Juga di dalam Adat yang diadatkan diatur hubungan manusia dengan manusia. Misalnya soal pewarisan, etika, moral dan nilai-nilai. Panggilan Datuk bagi pria Silungkang yang lebih tua merupakan etika dan nilai sendiri. Di nagari lain menurut Adat yang diadatkan mereka mengenai panggilan pria yang lebih tua yaitu “Uda”, “Ociek”, “Akak”, dan sebagainya.<br />Contoh undang-undang dalam adat yang diadatkan antara lain Undang-undang Luhak, undang-undang Rantau, undang-undang Nan 20 dan Nan 8 mengenai jenis kejahatan dan Nan 12.<br />d). Adat Istiadat<br />Adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat umum. Ia besar karena diambak dan ia tinggi karena dianjung. Yang termasuk dalam Adat istiadat ini ialah hal-hal yang bersifat seremoni, misalnya mengenai upacara perkawinan. Juga termasuk dalam Adat istiadat tingkah laku dalam pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik.<br />2). Kategori Adat Secara Lagalistik<br />a). Cupak nan Duo<br />Cupak adalah alat takaran. Masih banyak alat takar lain, seperti gantang, taraju, bungka. Maksud alat-alat ini adalah simbol lembaga hukum yang menjadi acuan bagi masayarakat dalam menjalankan dan mengembangkan adatnya. Sebagaimana masyarakat yang sederhana mungkin dapat melaksanakan perdagangan dengan ukuran kira-kira, misalnya menjual beras sekarung, jagung seongook dan seterunsnya, maka masyarakat yang teratur mangharuskan adanya takaran yang pasti, seperti liter, kilogram dan sebagainya. Maka cupak dan gantang, bungka nan piawai, serta taraju nan tak paliang, adalah lambang kateraturan yang diciptakan dengan lembaga adat. <br />Cupak nan duo dibagi menjadi dua, yaitu:<br />1. Cupak Usali<br />2. Cupak Buatan.<br /> Cupak Usali adalah adat yang baku dan permanen sedang Cupak Buatan adalah adat yang ditetapkan oleh Orang Cerdik Pandai dan Ninik Mamak di nagari-nagari untuk merespon situasi dan perubahan zaman.<br />b). Kato nan Ampek<br />Kato adalah salah satu lembaga yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau, tanpa kato, adat Minang kehilangan legitimasinya. Dalam banyak masyarakat dahulu, kekuasaan dan undang-undang dipegang oleh raja karena keturunannya. Dalam masyarakat agamis, kekuasaan disandarkan pada otoritas wahyu, dan dalam masyarakat moderen yang demokratis, hukum didasarkan pada konstitusi dan undang-undang tertulis. <br />Bagi masyarakat Minang, kesahihan suatu hukum diukur dengan ada tidaknya kato-kato adat yang mendasarinya. Undang-undang dibuat oleh Cerdik Pandai, mufakat dibuat oleh seluruh kaum, hukum diputuskan oleh Penghulu. Akan tetapi landasan dan acuannya adalah kato. Suatu pernyataan atau keputusan haruslah sesuai dengan salah satu dari empat macam kato seperti di bawah ini: <br />1. Kato Pusako<br />2. Kato Mufakat<br />3. Kato dahulu batapati<br />4. Kato kudian kato bacari<br />Kato Pusako adalah pepatah petitih dan segala undang-undang adat Minangkabau yang sudah diwarisi turun temurun dan sama di seluruh alam Minangkabau. Kato Pusako ini merupakan acuan tertinggi dan tidak dapat diubah.<br />Kato Mufakat adalah hasil mufakat kaum dan para penghulu yang harus dipatuhi dan diajalankan bersama-sama. Mufakat di Minangkabau haruslah dengan suara bulat, dan tidak dapat dilakukan voting. <br />Kato dahulu batapati, artinya keputusan yang sudah diambil dengan suara bulat itu haruslah ditepati dan dilaksanakan. <br />Kato kudian kato bacari, artinya keputusan itu ada kemungkinan tidak dapat dijalankan karena suatu hal. Dalam hal ini harus dicari pemecahannya, dilakukan musyawarah dan dibuat kesepakatan.<br />c). Undang nan Ampek<br />Nenek moyang orang Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi dasar pemerintahan adat zaman dahulu. Undang-undang tersebut meliputi:<br />1. Undang-undang Luhak dan Rantau<br />2. Undang-undang Nagari<br />3. Undang-undang dalam Nagari<br />4. Undang-undang nan Duopuluh<br />Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh Raja-raja. <br />Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik.<br />Undang-undang dalam Nagari mengatur hak dan kewajiban penduduk Nagari.<br />Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang pidana. <br />Empat undang-undang inilah pegangan para penghulu dalam menjalankan pemeritahan di nagari-nagari dengan dibantu oleh Manti, Malin dan Dubalang. <br />3). Adat pada Tataran Praktis<br />Adat Minangkabau itu kalau dirangkum sebenarnaya dapat disingkat menjadi tiga hal: <br />a). Pasambahan. <br />Adat Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah. <br />Sambah-manyambah di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalah pasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai format baku. <br />Format bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau. <br />Terkait dengan pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan. <br />b). Sirih dan pinang <br />Sirih dan pinang adalah lambang fromalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkepannya seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok. <br />Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato. <br />Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai. Karena itu, helat perkawinan termasuk dalam bab ini. <br />c). Baso-basi <br />Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri. <br />Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.<br />H. SISTEM KEPEMIMPINAN SETELAH ISLAM <br />Bila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau maka fikirannya akan tertuju bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai berikut :<br />1. Kepemimpinan ninik mamak<br />2. Kepemimpinan alim ulama<br />3. Kepemimpinan cerdik pandai<br />Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri. Mulanya hanya ada kepemimpinan di bidang adat saja namun kemudian setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan akhirnya agama Islam ikut memberi corak terhadap pandangan hidup orang Minangkabau. Dengan kedatangan pengaruh agama Islam lahirlah pimpinan di bidang keagamaan yang disebut alim ulama. Baik karena kenyataan maupun karena diakui, alim ulama diikut sertakan memimpin kesatuan-kesatuan sosial masyarakat di dalam adat. Unsur pimpinan yang ketiga adalah cerdik pandai. Orang cerdik pandai sama lahirnya dengan kepemimpinan ninik mamak dalam arti menjadi penghulu kepala kaum. Orang-orang yang pintar dari sebuah kaum banyak jumlahnya. Pintar dalam pengetahuan adat dan pengetahuan umum lainnya. Mereka inilah yang digolongkan kepada golongan cerdik pandai walaupun mereka tidak pernah menempuh pendidikan sekolah. Dengan kata lain kepemimpinan cerdik pandai ini sudah ada sebelumnya dan tidak benar kalau dikatakan kepemimpinan cerdik pandai muncul setelah adanya pendidikan formal seperti sekarang. <br />Ketiga corak kepemimpinan tadi mempunyai perbedaan terutama sekali statusnya dalam masyarakat adat. Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan tradisional, dia sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh adat. Kepemimpinan secara berkesinambungan dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam kaum masing-masing, suku dan nagari. Seseorang tidak akan dapat berfungsi sebagai ninik mamak dalam masyarakat adat, seandainya tidak mempunyai gelar kebesaran kaum yang diwarisinya.<br />Kepemimpinan alim ulama dan cerdik pandai dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa membedakan asal usul dan keturunan. Kepemimpinan dan kharisma seorang alim ulama dan cerdik pandai tidak terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu dan malahan peranannya jauh di luar masyarakat nagarinya. <br />Stratifikasi secara tegas terhadap tiga corak kepemimpinan tersebut sulit dibedakan lantaran ketiga corak kepemimpinan tersebut bisa terdapat pada diri seseorang. Betapa banyaknya sekarang ninik mamak yang juga cerdik pandai serta sebagai alim ulama.<br />1. Tingkat - Tingkat Kepemimpinan <br />Dalam membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini tercakup dua hal yang mendasar, yaitu siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Pengertian yang dipimpin dalam adat Minangkabau tidak lain adalah anak kemenakan sendiri dan di sini dapat diterjemahkan sebagai rakyat sedangkan pemimpin adalah ninik mamak atau orang yang berfungsi sebagai pimpinan yang telah digariskan oleh adat. <br />Untuk membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini baik juga dipedomani talibun adat yang artinya ”anak gadis memotong kuku, dikerat dengan pisau siraut, pisau siraut peraut betung tua, betung tua baik untuk lantai, nagari mempunyai empat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua, rumah bertungganai”.<br />Dari talibun adat di atas yang akan dikemukakan adalah tungganai, suku dan nagari, sedangkan kampung tanpa dikaitkan kesalah satu suku tertentu dan hanyalah mengandung arti teritorial semata-mata.<br />a) Paruik (perut), tiap suku berbuah paruik dan orang separuik bertali darah. Dahulu orang yang separuik tinggal dalam satu rumah yang disebut dengan rumah gadang. Sebagai pemimpin dari peruik adalah kepala paruik atau disebut juga tungganai. Kepala peruik adalah laki-laki yang tertua dalam paruik tersebut atau laki-laki lain yang dipilih menurut adat yang berlaku. Biasanya kepala paruik inilah yang memakai gelar kebesaran paruik atau sebagai seorang penghulu yang bergelar datuk.<br />Kedatangan pengaruh islam kemudian istilah paruik ini lebih dikenal dengan sebutan kaum. Kepala paruik ini lebih dikatakan sebagai kepala kaum. Kepala kaum orang yang didahulukan dan ditinggikan oleh anggota kaum. Persoalan yang ada dalam kaum maupun antara satu kaum dengan kaum yang lain menjadi tanggung jawab kepala kaum untuk menyelesaikannya bersama-sama dengan anggota kaum lainnya. Pengawasan terhadap harta pusaka tinggi sebagai milik kaum merupakan tugas dari pada kepala kaum. Menggadai atau menjual harta pusaka harus disepakati anggota kaum dan ketegasan dari kepala kaum dalam mengambil sesuatu keputusan sangat diperlukan sekali dalam permusyawaratan. Orang yang sekaum terdiri atas ibu-ibu dan anak-anaknya yang merupakan samande. Orang yang samande memperoleh bagian dari harta pusaka tinggi milik kaum. Atas harta tersebut hanya diberi hak untuk memungut hasil sedangkan hak milik masih tetap atas nama kaum. Harta ini jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan anggota kaum yang lainnya. <br />Apabila sebuah kaum telah berkembang, bagian-bagiannya disebut jurai. Jurai-jurai ini turun dari rumah itu diawasi oleh mamak rumahnya. Mamak rumah ini disebut pula tungganai menurut kebiasaan dalam satu-satu nagari. Jurai-jurai yang ada masih tetap dalam satu kesatuan kaum dan sebagai pimpinannya tetap kepala kaum.<br />b) Suku, merupakan unit yang mendasar dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Berdasarkan sejarah orang Minangkabau pada mulanya mengenal empat buah suku yaitu koto, piliang, bodi, dan chaniago. Berdasarkan penyelidikan L. C. Westenenk dari empat suku ini telah menjadi 96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh Minangkabau. <br />Walaupun sudah banyak pecahan suku namun tetap masuk kepada suku asal, yaitu kepada koto piliang dan bodi chaniago. Di nagari yang mempunyai sistem adat koto piliang kepala-kepala suku dipilih menurut sistem keturunan langsung. Sedangkan di nagari-nagari yang memakai sistem adat bodi chaniago kepala suku di pilih secara demokratis. Penghulu-penghulu suku koto piliang dipimpin oleh seorang penghulu pucuak dan sifatnya turun-temurun. Sedangkan pada bodi chaniago di kepalai oleh penghulu andiko atas pilihan bersama secara demokratis.<br />Penghulu-penghulu suku yang dipimpin oleh penghulu pucuak atau penghulu andiko mempunyai tanggungjawab keluar dan kedalam terhadap segala permasalahan yang ada dalam sukunya.<br />Bila terjadi persengketaan antara kaum dengan kaum atau antara suku dengan suku lainnya maka penghulu-penghlu yang sepesukuan turun tangan untuk menyelesaikannya. Demikian pula bila ada permasalahan yang ada permasalah yang patut untuk dibawa ketingkat nagari maka sebagai juru bicaranya adalah kepala suku yaitu penghulu pucuak atau penghulu andiko sesuai dengan sistem adat yang dipakainya. Membawa permasalahan dari tingkat terbawah ketingkat nagari haruslah berjenjang naik sedangkan dari tingkat nagari segala yang harus disampaikan kebawah hendaklah bertangga turun. Kepemimpinan dalam suku harus menanamkan rasa kesatuan dan persatuan, mereka harus sehina semalu karena orang sesuku seketurunan maka dalam soal perkawinan dahulunya dilarang orang kawin sesuku dan bahkan sampai sekarang hal ini pada banyak nagari masih dipegang teguh.<br />Dahulu orang sepesukuan tinggal dalam daerah yang sama sehingga ada kampung caniago, kampung jambak yang maksudnya orang yang tinggal di kampung tersebut bersuku chaniago atau suku jambak. Penduduk suku mempunyai daerah yang disebut ulayat suku. Ulayat suku meliputi daerah yang telah didiami dan diolah oleh anggota suku ditambah dengan daerah yang belum diolah seperti hutan, bukit dan lain-lain. Ulayat suku yang belum diolah hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan anggota suku. Untuk mengambil kayu bangunan atau hasil lainnya yang berada pada ulayat suku harus setahu penghulu-penghulu suku.<br />c) Nagari, organisasi politik dan sosial yang tertinggi adalah nagari. Pemerintahan nagari dijalankan oleh sebuah majelis ninik mamak pemangku adat. Mereka bermusyawarah dalam sebuah penghulu yang disebut rapek nagari atau kerapatan adat. Keanggotaan dari kerapatan adat pada sebuah nagari ditentukan oleh adat yang dipakai pada nagari tersebut. Majelis ninik mamak yang duduk sebagai pemimpin nagari punya kekuasaan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hukum adat tidak mengenal pemisahan kekuasaan. Segala persoalan-persoalan yang tidak putus dari tingkat paruik dan suku akan dibawa ke kerapatan ninik mamak nagari. Majelis ninik mamak nagari juga bertanggungjawab terhadap kekayaan nagari yang berupa tanah atau hal ulayat nagari. <br />Dari uraian di atas kelihatan suatu strata kepemimpinan menurut adat yang kita ambil dalam lingkup nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan, yang memegang peranan dalam kepemimpinan secara adat yang berjenjang naik maupun bertangga turun adalah mamak rumah atau tungganai dengan harta ganggam bauntuak, mamak kepala kaum dengan harta pusaka tinggi kaum, kerapatan ninik mamak yang sesuku dengna harta ulayat suku, majelis kerapatan ninik mamak nagari dengan harta ulayat nagari. Jadi jelas kepemimpinan itu diikuti dengan kekayaannya yang merupakan hak dan tanggungjawab juga.<br />2. Penghulu<br />Dalam masyarakat adat minangkabau, penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Mengangkat kebesaran adat dikatakan mengangkat datuk, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “hulu”, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Jadi pengertian penghulu adalah sama dengan pimpinan. Dengan demikian seorang penghulu bisa pula tidak seorang datuk tetapi dia pemimpin.<br />Sebagai pimpinan, penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat. Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.<br />Drs. M. D. Mansoer mengatakan : Seorang penghulu adalah ninggrat jabatan, dengan hak-hak istimewa (prerogatives) yang melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Yang diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum atau sepesukuannya dan dipilih sebagai penggantnya, ialah fungsi “ninggrat jabatan dengan hak-hak prerogatives yang inhaerent” pada jabatannya.<br />Sebagai penghulu ia disebut “datuk”, baik ia sebagai penghulu paruik maupun sebagai panghulu suku. Menurut adat bodi caniago seluruh penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko. Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu “andika” yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.<br />Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu digadangkan makonyo gadang.Maksudnya jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung dan besarnya dipelihara, ini maksudnya bahwa sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia.<br />Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang, dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam mencari penyelesaian harus bijaksana dan di umpamakan seperti menarik rambut dalam tepung “ tapuang indak taserak, rambuik indak putuih ”.<br />Seorang penghulu diibaratkan “ aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang ”, (air yang jernih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung).<br />Kesimpulan yang dapat diambil bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan peranannya sangat besar sekali di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga tiang nagari, kuat penghulu maka kuat pulalah nagari.<br />Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin urusannya menyangkut bidang keagamaan, dan dubalang dikatakan urang ampek jinih. Menurut Prof. M. Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah:<br />“ penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah sebagai angin yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air yang menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api yang membakar segala kejahatan dan bertindak dengan keras ”. <br /><br />Tiap jenis berperanan menurut bidang masing-masing, seperti dikatakan penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di nagari, kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato hakikat, kato dubalang kato mandareh.<br />a) Syarat-syarat menjadi penghulu<br />Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat, mulai dari tingkat kaum, suku dan nagari, maka ketentuan untuk menjadi seorang penghulu telah digariskan oleh adat sebagai berikut:<br />1) Laki-laki<br />2) Berasal dari orang keturunan yang baik-baik.<br />3) Kaya akal, budi dan pengetahuan dalam bidang adat.<br />4) Baligh berakal maksudnya dewasa dan berpendirian teguh serta tegas dalam tiap-tiap tindakan.<br />5) Adil, maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya.<br />6) Arif bijaksana artinya mempunyai perasaan halus, paham akan yang tersirat, pikiran tajam dan cendekia.<br />7) Siddiq (benar) tidak akan merubah suatu kebenaran.<br />8) Tabligh maksudnya menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum.<br />9) Amanah (dapat dipercaya)<br />10) Fathanah (cerdik dan cerdas)<br />11) Pemurah artinya pemurah pada nasehat, murah pada melarang mudharat.<br />12) Tulus dan sabar.<br />b) Prosedur pengangkatan penghulu <br />Seseorang itu diangkat menjadi penghulu memakai gelar pusaka kaumnya yang telah diwariskan secara turun temurun dan merupakan hasil mufakat kaum. Musyawarah serta mufakat anggota kaum merupakan hasil yang prinsip sebab kalau tidak demikian maka kebesaran kaum tersebut akan tetap terbenam.. Seringkali terjadi hal yang demikian karena tiak ada kesatuan pendapat terutama anggota-anggota keluarga dalam jurai-jurai pada kaum tersebut.<br />Bila sudah didapat kebulatan suara anggota kaum, maka dibawalah hasil kesepakatan kaum ini ke kerapatan ninik mamak yang sesuku. Seandainya ninik mamak yang sesuku telah menyepakatinya pula maka dibawa ke sidang kerapatan nagari yang juru bicaranya datuk sesuku dari kaum tadi. Kerapatan nagari sifatnya menerima apa yang telah disepakati. Kerapatan nagari harus mengetahui semua calon penghulu baru karena ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan nagarinya. Prosedur pengangkatan penghulu tiap-tiap nagari bisa saja berbeda sesuai dengan adat salingka nagari, harato salingla kaum, namun prosedur berjenjang naik sampai ketingkat nagari tidak bisa diabaikan karena adat mengatakan maangkek panghulu sakato nagari, maangkek rajo sakato alam.<br />c) Malewakan penghulu<br />Malewakan penghulu maksudnya menyampaikan kepada masyarakat ramai mengenai diri seorang yang memakai gelar kebesaran kaumnya. Acara pengangkatan penghulu dan peresmiannya merupakan acara adat terbesar di minangkabau. Besarnya acara ini tergantung pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut. Pada upacara pengangkatan penghulu ini disembelih kerbau. Anak nagari dan penghulu-penghulu dalam nagari diundang pada hari peresmian ini. Upacara peresmian ini adakalanya sampai berhari-hari, ini tergantung kepada kemampuan kaum keluarga yang mengadakan acara tersebut.<br />Daging kerbau yang dimasak sebagai lauk pauk tidak memakai bumbu masakan biasa tetapi khusus masakan untuk pengangkatan penghulu. Ada yang menyebutnya gulai anyang dan beberapa nagari ada yang menyebutnya gulai kancah, gulai sirah, gulai balado dan lain-lain namun kesemuanya tanpa santan.<br />Makna tersirat dari kerbau yang disembelih ini adalah “ tanduak ditanam, dagiang dilapah, kuah dikacau ”. Tanduk ditanam punya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang sifat-sifat yang buruk yang mungkin melukai orang lain. Daging dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti, bahwa dalam diri seseorang penghulu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatu menurut sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik, artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri.<br />d) Jenis pengangkatan penghulu<br />Jenis pengangkatan penghulu ini timbul karena adanya perbedaan pelaksanaan, cara memperoleh dari siapa dan oleh siapa.<br />Jenis-jenis pengangkatan penghulu, antara lain<br />1) Mati batungkek budi mati bertongkat budi <br />Maksudnya bila seseorang penghulu meninggal dunia maka pada hari itu juga dicarikan gantinya. Setelah pemakaman, diumumkan di makam tersebut siapa yang akan menggantikan penghulu yang meninggal tersebut. Syaratnya harus berdasarkan kesepakatan kaum dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.<br />2) Hiduk bakarilahan ada ketentuan dalam adapt<br /> Bahwa gelar pusaka itu dapat digantikan atau diserahkan kepada kemenakan selagi penghulu tersebut masih hidup. Hal ini bisa terjadi bila penghulu itu sudah tua sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya. Ini<br />dalam pelaksananaanya harus menurut prosedur yang berlaku dan adat setempat jadi bukan selesai pada kaum saja. Pengangkatan penghulu ketika penghulu sebelumnya masih hidup hanya terdapat dalam sistem adat bodi chaniago sedangkan pada adat koto piliang pengganti penghulu bisa dilakukan bila seseorang penghulu itu sudah meninggal dunia .<br />3) Gadang menyimpang<br />Hal ini dapat terjadi bila jumlah anggota keluarga dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Untuk kelancaran urusan anak kemenakan maka diangkat seorang penghulu yang gelarnya hampir serupa dengan gelar yang asli jika gelar pusakanya datuk bandaro, maka gelar yang baru datuk bandaro kayo. Kedudukan kedua datuk ini semula tidak sama karena yang baru diangkat ini khusus dalam urusan dalam kaumnya sendiri sedangkan urusan ke luar tetap datuk yang pertama. Namun lama kelamaan mereka semakin menggalang kebersamaan dan pada akhirnya mereka “duduk sama rendah, tegak sama tinggi”.<br />4) Mangguntiang siba baju <br />Bila anak kemenakan yang asalnya inggok mancakam, tabang manumpu telah berkembang dan sudah mungkin mengatur kaumnya sendiri maka kaumnya dapat diberi gelar pusaka suku oleh kaum yang menjadi tepatannya. Pengangkatan dan pemberian gelar ini bila gelar pusaka di tempat asalnya tidak diketahui lagi dan sepakat kaum yang ditepati, suku dan nagari. Namun prosedur sepanjang adat tetap berlaku.<br /><br />I. PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN MINANGKABAU<br />Masyarakat Minangkabau saat ini sudah tidak tertarik lagi dengan adanya prinsip-prinsip kehidupan yang sifatnya demokratis, egaliter, terbuka, resiprokal, sentrifugal itu, walaupun sebenarnya mereka masih menginginkannya, akan tetapi dunia tersebut terkurung oleh sistem kebudayaan yang lebih dominan dan bertentangan dengan hal-hal diatas.<br /><br />Poses pengeroposan budaya juga menimpa masyarakat minangkabau. Orang-orang yang melaksanakan acara adat budaya, saat ini hanya melaksanakannya secara seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Apalagi permasalahan wilayah yang tadinya diatur oleh adat dan agama, kini rata-rata telah diambil alih oleh negara dan pemerintahan formal.<br /><br />Sekarang ini, kecuali dalam kalangan akademik dan intelektual terbatas, tidak terlihat tanda-tanda masyarakat Minangkabau untuk memulihkan setiap adat dan kebudayaan mereka yang telah luntur. Yang terlihat sebaliknya adalah suasana ketakutan, keraguan dan kebimbangan, yang sebagian adalah karena trauma masa lalu. Tapi sebagian juga karena tidak tersedianya wacana budaya berpikir alternatif itu.<br /><br />Orang Minangkabau sendiri, terutama generasi mudanya, mulai melihat aneh kepada nilai budaya aslinya. Melalui proses pendidikan dengan sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah atau di luar sekalipun, sekarang mereka telah menjadi orang Indonesia tapi dengan konotasi yang seperti itu. <br /><br />Kini sukar diharapkan mereka yang akan membawakan konsep demokrasi egaliter dengan keterbukaan dan segalanya itu ke dunia luar, ketika mereka sendiri tidak lagi mengenal dan mengerti, apalagi menghayati, sistem budaya itu sendiri.<br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br />A. KESIMPULAN<br />• Pendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali. Pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut ada yang berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sejarah dan ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari ahli sejarah dan budaya pada umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau<br />• Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut. <br />• Para ahli hukum menetapkan bahwa sistem kekerabatan pada masyarakat adat Minangkabau yaitu matrilineal. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. <br />• Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya.<br />• Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sesuku menikah meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal.<br />• Bila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau maka fikirannya akan tertuju bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai berikut :<br />Kepemimpinan ninik mamak<br />Kepemimpinan alim ulama<br />Kepemimpinan cerdik pandai<br />• Poses pengeroposan budaya juga menimpa masyarakat minangkabau. Orang-orang yang melaksanakan acara adat budaya, saat ini hanya melaksanakannya secara seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Apalagi permasalahan wilayah yang tadinya diatur oleh adat dan agama, kini rata-rata telah diambil alih oleh negara dan pemerintahan formal.<br />B. SARAN<br /> Dalam penyusunan makalah ini, tentu terdapat berbagai macam kesalahan dan kekurangan disana-sini. Pembahasan ini pun kami buat berdasarkan sumber yang terbatas tanpa adanya penelitian secara langsung ke daerah/wilayah yang bersangkutan.<br /> Waktu yang terbatas dan jumlah personal yang kurag memadai juga menjadi kendala bagi kami dalam penyempurnaan makalah ini.Kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan tersebut.<br /> Untuk perbaikan kedepannya, kami menyarankan agar dalam penyusunan makalah yang baik agar penyusun dapat secara langsung terjun kelapangan ke daerah/wilayah dimana adat itu masih diterapkan. Sebagai konsekuensi, kita harus mempunyai jumlah personal dan waktu yang memadai untuk pelaksanaan di lapangan.<br />BAB IV<br />DAFTAR LAMPIRAN<br /> <br /> ( Danau Maninjau )<br /> <br /> ( Istana Basa ) ( Jembatan Akar )<br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br />Peta lokasi Sumatera Barat<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /> <br />Pakaian adat Minangkabau Rendang <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /> <br /> <br />Rumah Gadang<br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />www.cimbuak.net<br /><br />www.minangkabau.info<br /><br />www.wikipedia.co.id<br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-27209172143530281972008-11-19T23:29:00.000-08:002008-11-19T23:32:24.493-08:00Kebudayaan MinahasaDi tanah Minahasa sendiri terdapat kaum pendatang dengan mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek) Kaum Malesung/Minahasa yang menurunkan suku-suku: Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan, Ratahan), Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590. Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol di dataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll. <span class="fullpost"><br />Nama Minahasa telah berganti beberapa kali,mulai dari Batacina, Malesung, Minaesa,dan baru terakhir bernama minahasa yang berarti menjadi satu kesatuan. Sejarah minahasa dibagi kedalam beberapa periode sebelum Malesung terjadi pada tahun sebelum tahun 690. Untuk era Malesung mulai tahun 690 – 1400, Era Minaesa pada tahun 1400 – 1523, sedangkan Minahasa mulai tahun 1523 sampai sekarang.<br /> Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.<br /> Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan minahasa. Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan di Minahasa sejak awal.<br /> GEOGRAFIS<br /> Minahasa adalah semenanjung yang terletak di bagian paling utara dari semenanjung pulau Sulawesi, yaitu antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40” lintang utara dan antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ bujur Timur. Luas semenanjung adalah 5373 kilometer persegi. Iklim daerah Minahasa terpegaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan ke barat laut. curah hujan di darerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu 4188mm pertahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan.<br /> Minahasa juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langkah seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum). <br /> Kebanyakan penduduk Minahasa adalah orang yang beragama Kristen, yang ramah dan salah satu suku-bangsa yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropa terjadi saat pedagang Espanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.<br /> Melayu Manado adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antara orang – orang dari sub – sub etnik Minahasa maupun antara mereka dengan penduduk dari suku – suku bangsa lainnya, baik dalam lingkungan pergaulan kota maupun dalam lingkungan pergaulan desa. Bahkan lebih dari itu, terutama di kota – kota, secara umum menggunakan Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa atau suku bangsa yang bersangkutan.<br />A. ORGANISASI SOSIAL<br /> SISTEM KEMASYARAKATAN<br /> Pusat aktivitas kemasyarakatan disebut kampung yang dipimpin oleh hukum tua. Setiap kampung terdiri atas 3 jaga yang dikepalai kepala jaga. Setiap jaga dibagi lagi menjadi wilayah yang lebih kecil yang dikepalai oleh meweteng. Dalam hukum tua, kepala-kepala jaga, dan meweteng merupakan satu lembaga pemerintahan kampung atau negorij bestuur. Adapun pejabat-pejabat lainnya yaitu:<br />a. juru tulis yang bertugas sebagai administrasi kampung<br />b. pengukur tanah yang ahli dalam penentuan batas-batas tanah milik perorangan maupun tanah milik kampung<br />c. mantri aer yang bertugas menjaga dan memperbaiki saluran-saluran air, mengatur pembagiannya ke sawah-sawah.<br />d. tukang palakat yang bertugas meneriakkan pengumuman, peraturan kampong atau pemerintah.<br />e. kapala jaga polisi yang bertugas dalam bidang keamanan kampong dan persoalan penunggakan pembayaran pajak.<br /> Suatu kesatuan yang terdiri dari gabungan beberapa desa dikepalai oleh seorang kapala imbalak.<br /><br /> Dalam masyarakat kuno Minahasa dikenal stratifikasi sosial yang bersifat resmi, dengan hak dan kewajiban tertentu dalam tiap lapisan tersebut :<br />1. Lapisan atas adalah makarua siow atau walian dan tonaas yaitu golongan yang mengatur agama<br />2. Lapisan tengah adalah makatelupitu yaitu golongan pemerintah dan penjaga negeri<br />3. Lapisan bawah adalah pasiowan telu yaitu golongan rakyat biasa.<br /> Dalam segala aktivitasnya seperti upacara perkawinan, kematian, mengawali pertanian, dan prayaan lain selalu tampak adanya bantu-membantu berdasarkan asas timbal balik. Bantu membantu tersebut tidak hanya di kalangan kerabat saja, tetapi juga meliputi warga sejaga, sekampung, bahkan sekecamatan. Saat ini telah terbentuk berbagai organisasi kerukunan baik yang berupa kerukunan pakasaan (bekas kesatuan wilayah atau distrik) maupun kerukunan berdasarkan ikatan keluarga<br /><br /> Dalam kehidupan organisasi sosial masyarakat Minahasa sangat dikenal istilah Mapalus. Mapalus yaitu kegiatan bantu – membantu dan kerja sama. Jadi mapalus adalah istilah lain dari gotong royong. Mapalus sering dilakukan dalam hal – hal penting, seperti kematiaan dengan serangkaian upacara perkabungan dan penghiburan, perkawinan, dan perayaan – perayaan lainnya, serta dalam mengerjakan berbagai pekerjaan pertanian dan kepentingan rumah tangga maupun komunitas, tampak adanya gejala solidaritas berupa bantu – membantu dan kerja sama, terutama didasarkan pada prinsip resiprositas. Suatu bantuan yang dapat diberikan berupa tenaga, barang – barang atau uang, bersama dengan bentuk – bentuk penghormatan dan penghargaan, selalu harus disadari dan diberikan balasannya. Gejala solidaritas ini tidak hanya terlihat pada kalangan kerabat, tetapi juga pada kalangan yang lebih luas, meliputi warga serukun tetangga, sekampung, sekecamatan, atau diluar Minahasa, misalnya kerukunan – kerukunan famili, kecamatan, subetnik, dan kawanua.<br /> Variasi mapalus sebagai suatu pranata sosial tradisional yang sangat penting adalah sangat besar. Kelompok Mapalus dapat dibentuk berdasarkan pada kepentingan bersama oleh sejumlah individu yang bersedia bekerja sama atas dasar prinsip resiprositas yang dalam pelaksanaanya terorganisasi seperti dalam bentuk perkumpulan – perkumpulan ( kumpulan ). Sekelompok orang yang ingin memenuhi suatu kebutuhan yang merupakan kebutuhan bersama, namun sulit dipenuhi secara perorangan, dapat membentuk suatu perkumpulan yang bertujuan untuk saling membantu dalam pemenuhannya, misalnya pembuatan jembatan, perbaikan jalan, dan sebagainya.<br /> Kalau dahulu pranata mapalus banyak ditujukan pada saling bantu – membantu dalam pekerjaan – pekerjaan pertanian dari suatu kelompok yang berjumlah sekitar 20 orang, dengan prinsip timbal balik ( disebut juga ma’ando ). Selain pada bidang pertanian, mapalus juga digunakan untuk untuk mendirikan rumah atau mengganti atap rumah, atau kegiatan lain yang berhubungan dengan kedukaan. <br /> SISTEM PEMERINTAHAN<br />Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.<br />Di Minahasa tidak dikenal sistem perbudakan, sebagaimana lazimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu. Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.<br />Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan. Adat istiadat rusak, perebutan tanah pertanian antarkeluarga. Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.<br />Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea. Mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb<br />B. MATA PENCAHARIAN<br /> Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Minahasa adalah bertani, berladang, berdagang, dan nelayan. Untuk penduduk yang berada di daerah yang subur dengan ketersediaan air yang cukup. Kebanyakan mereka mengusahakan sawah, sedangkan bagi masyarakat yang berada di daerah tinggi yang subur banyak yang menanam sayur-mayur untuk perdagangan. Masyarakat yang berdiam di daerah yang tidak begitu subur kebanyakan hidup dari tanam-tanaman seperti pisang, ubi kayu, dan sebagainya. Pada daerah pesisir kalau mereka hidup dari tanah pertanian mereka hidup dari hasil kelapa.<br /><br /> Dalam sektor pertanian, berkembang perkebunan rakyat tanaman-tanaman industri terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Akhir - akhir ini komoditi pertanian yang lain yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mete mulai digiatkan secara intensif. Untuk meningkatkan hasil pertanian, petani meningkatkan secara ekstensifikasi maupun intensifikasi dengan menggunakan metode dan teknologi modern.<br /> Persawahan menunjukkan perkembangan peningkatan produksi padi melalui perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk, dan penggunaan bibit unggul. Pertebatan ikan mas dengan menggunakan metode baru.<br /><br /> Perladangan menetap tradisional yang umum di Minahasa adalah perladangan jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Selain jagung, kebun sering ditanami pula dengan kacang merah, kacang tanah, kedelai, kacang hijau, dan berbagai jenis ubi. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai hidup dari hasil penangkapan ikan. Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh Perikani yang berpusat di Aer Tembaga, terutama penangkapan dan pengolahan Cakalang, nelayan-nelayan tradisional mulai meninngkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan menggunakan alat-alat yang lebih baik, namun demikian penangkapan jenis-jenis binatang laut masih umum dijalankan dengan teknologi tradisional. Di desa-desa sekeliling Danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi sebagian dari kebutuhan protein hewani yang dapat diperoleh di pasar-pasar di kota-kota. <br />C. SISTEM KEKERABATAN<br /> Orang Minahasa membenarkan kebebasan setiap orang untuk menentukan jodohnya sendiri. Namun terdapat pembatasan jodoh dalam perkawinan adat eksogami yang mewajibkan orang kawin diluar famili, ialah kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari saudara – saudara sekandung ibu dan ayah, baik laki – laki maupun perempuan, beserta semua anggota keluarga batih dari anak – anak mereka.<br /> Sesudah menikah pengantin baru tinggal menurut aturan neolokal ( tumampas ) pada tempat kediaman baru dan tidak mengelompok di sekitar tempat kediaman kerabat suami maupun istri. Bentuk rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari satu keluarga batih maupun lebih. Anak tiri atau anak angkat karena adopsi dianggap sebagai anggota kerabat penuh dalam keluarga batih maupun kelompok – kelompok kekerabatan yang lebih luas. Suatu rumah tangga memiliki lebih dari satu keluarga batih dapat terjadi bila sesudah perkawinan, rumah tangga baru ini tinggal bersama dengan salah satu orang tua mereka. <br /> Dasar perwujudan keluarga batih orang Minahasa melalui adat perkawinan adalah monogami. Batas – batas dari hubungan kekerabatan ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral, yaitu kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun wanita.<br /> Kelompok kekerabatan sekarang ini dengan prinsip keturunan taranak atau famili, dalam antropologi disebut kindred atau patuari. Suatu famili setidaknya meliputi ayah dan ibu dari sepasang suami istri, saudara ayah dan ibu serta anak – anak dan cucu – cucu mereka, saudara – saudara sekandung dari suami istri seera anak – anak dan cucu – cucu mereka, dan anak – anak sendiri. Identitas hubungan kekerabatan ialah nama famili yang disebut fam. Nama famili diambil dari nama suami atau ayah tanpa perubahan prinsip keturunan bilateral. Dengan bukti, penempelan papan – papan nama fam suami dan istri di depan rumah. Akan timbul suatu masalah jika identitas fam hilang, bila suami istri tidak memiliki anak laki – laki yang akan mendukung fam ayah mereka. Selain itu, terdapat juga masalah lain yang berhubungan dengan kekerabatan yaitu penurunan warisan yang terdiri dari semua harta milik yang diperoleh oleh suami istri sebagai warisan dari orang tua mereka masing – masing, ditambah dengan harta yang diperoleh ketika berumah tangga.<br /> Berikut ini beberapa nama – nama famili dari orang Minahasa,<br />A<br />Abutan - Adam - Agou - Akai - Aling - Alow - Alui - Amoi - Andu - Anes - Angkouw - Anis - Antou - Arina - Assah - Awondatu - Awui – Assa<br />B<br />Bangkang - Batas - Bella - Bokong - Bolang - Bolung - Bokau - Bororing - Boyoh - Buyung<br />D<br />Damongilala - Damopoli - Damopoli'i - Danes - Dapu - Datu - Datumbanua - Dayoh - Dededaka - Deeng - Dendeng - Dengah - Dewat - Dien - Dimpudus - Dipan - Dirk <br />E<br />Egam - Egetan - Ekel - Elean - Eman - Emon - Emor - Endei - Engka - Enoch - Ering -<br />G<br />Ganda - Gerung - Gerungan - Gigir - Gimon - Girot - Goni - Goniwala - Gonta - Gosal - Gumalag - Gumansing - Gumion<br />H<br />Hombokau<br />I<br />Ilat - Imbar - Inarai - Ingkiriwang - Inolatan - Intama - Item - Iroth <br />K<br />Kaat - Kaawoan - Kaendo - Kaeng - Kaes - Kainde - Kairupan - Kalalo - Kalangi - Kalempou - Kalempouw - Kalengkongan - Kalesaran - Kalici - Kaligis - Kalitow - Kaloh - Kalonta - Kalumata - Kamagi - Kambey - Kambong - Kamu - Kandio - Kandou <br />L<br />Lala - Lalamentik - Lalowang - Laloh - Lalu - Laluyan - Lambogia - Lampah - Lampus - Lanes - Langelo - Langelo - Langi - Langitan - Langkai - Languyu - Lantang - Lantu - Laoh - Lapian - Lasut - Lefrandt Legi - Legoh - Lembong - Lempash - Lempou - Lempoy <br />M<br />Maengkom - Maengkong - Makaampoh - Mailangkay - Mailoor - Maindoka - Mainsouw - Mait - Makadada - Makal - Makaley - Makaliwe - Makangares - Makaoron - Makarawis - Makarawung - Makatuuk - Makawalang - Makawulur - Makiolol - Makisanti – <br />N<br />Nangka - Nangon - Nangoy - Naray - Nayoan - Nelwan - Nender - Ngala - Ngangi - Ngantung - Ngayouw - Ngion<br />O<br />Ogi - Ogot - Ogotan - Oleng - Oley - Ombeng - Ombu - Ompi - Ondang - Onibala - Onsu - Opit - Orah - Oroh - Otay <br />P<br />Paat - Pai - Paila - Pajow - Pakasi - Palangiten - Palar - Palenewen - Palenteng - Palilingan - Palit - Pamaruntuan - Panambunan - Panda - Pandean - Pandeiroth - Pandelaki - Pandey - Pandi - Pandong - Pangalila - Pangkahila - Pangau - Pangemanan<br />R<br />Raintung - Rakian - Rambi - Rambing - Rambitan - Rampangilei - Rampen - Rampengan - Ransun - Ranti - Rantung - Raranta - Rares - Rarun - Rasu - Ratag - Rattu - Ratulangi - Ratumbuisang - Raturandang - Ratuwalangaouw - Ratuwalangon - Ratuwandang - Rau - Rauta - Rawung - Regar - Rei - Rembang - Rembet - Rempas - Rende - Rengku - <br />S<br />Sabar - Saerang - Sahelangi - Sahensolar - Sakul - Salangka - Salem - Salendu - Sambouw - Sambuaga - Sambul - Sambur - Samola - Sampouw - Sangari - Sangeroki - Sangkaeng - Sangkoy - Sangkal - Sarapung - Saraun - Sarayar - Sariowan - Sarundayang - Saul - Seke - Seko - Sembel - Sembung - Semeke - Senduk - Sendow - Senewe - <br />T<br />Taas - Tairas - Talumepa - Talumewo - Tambahani - Tambalean - Tambani - Tambarici - Tambariki - Tambayong - Tambengi - Tambingon - Tamboto - Tambuntuan - Tambuwun - Tamon - Tampa - Tampanatu - Tampanguma - Tampemawa - Tampenawas - Tampi - Tampinongkol - Tandayu - Tangka - Tangkere - Tangkow - Tangkudung - Tangkulung - <br />U<br />Uguy - Ukus - Ulaan - Umbas - Umboh - Umpel - Undap - Unsulangi - Untu <br />W<br />Waani - Wagei - Wagey - Wagiu - Waha - Wahon - Wakari - Wala - Walalangi - Walanda - Walandouw - Walangitan - Walean - Walebangko - Walewangko - Walelang - Waleleng - Walian - Walintukan - Walukow - Waluyan - Wanei - Wangania - Wangkar <br /><br />D. SISTEM RELIGI<br /> Unsur – unsur religi pribumi masyarakat Minahasa terlihat dalam beberapa upacara adat, seperti masa kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian, melalui bentuk pemberian kekuatan gaib. Pemberian kekuatan gaib ini bertujuan supaya hidup tidak diganggu oleh makhluk – makhluk halus, dengan mengembangkan kompleks sistem upacaran pemujaan dikenal dengan ne’empungan atau ma’ambo atau masambo. <br /> Pada mitologi Minahasa, mengenal sistem kepercayaan dengan banyak dewa. Untuk dewa tertinggi disebut Opo Wailan Wangko, dianggap pencipta seluruh alam dan dunia. Sedangkan dewa terpenting setelah dewa tertinggi adalah Karema, mewujudkan diri sebagai manusia sebagai petunjuk jalan bagi Lumimuut ( seorang wanita sebagai manusia pertama ) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang bernama Toar ( dewa pembawa adat ). <br /> Pada sistem kepercayaan Minahasa juga dipercaya adanya roh leluhur atau opo atau dotu. Ada kepercayaan bahwa opo – opo yang baik akan senantiasa menolong manusia, yang dianggap sebagai cucu mereka ( puyun ). Di samping itu ada juga opo – opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal – hal yang tidak baik. Opo – opo dianggap jelmaan dari orang yang sakti atau pahlawan, seperti pemimpin – pemimpin komunitas besar ( kepala walak dan komunitas desa, tona’as ). Terdapat pula konsepsi makhluk hidup lainnya, seperti panunggu, lulu, puntianak, pok – pok dan lain sebagainya. Untuk menghadapi makhluk tersebut, peranan opo – opo sangat dirasakan untuk mengalahkan mereka. Roh ( mukur ) orang tua sendiri atau kerabat dekat yang sudah meninggal dianggap selalu berada di lingkungan sekitar keluarganya.<br /> Kepercayaan ada bagian tubuh yang sakti, seperti rambut dan kuku. Juga hewan, seperti ular hitam dan burung hantu ( manguni ). Untuk tumbuhan, tawa’ang, goraka ( jahe ), balacai, jeruk suangi, dan lain – lain. Alat – alat senjata juga dianggap mempunyai kekuatan sakti yang harus dijaga dengan baik adalah keris, santi ( pedang panjang ), lawang ( tombak ), dan kelung ( perisai ). Ucapan berupa sumpah dan kutukan dapat mengakibatkan malapetaka. Benda jimat yang diwariskan oleh orang tua atau yang didapat dari walian atau tona’as, yang disebut paereten, merupakan benda yang kesaktiannya dipercaya. <br /> Unsur kejiwaan dalam hidup manusia ialah gegenangan ( ingatan ), pemendam ( perasaan ) dan keketer ( kekuatan ). Gegenangan adalah unsur yang utama dalam jiwa. Sedang roh yang telah mati ( mukur ) merupakan penjelmaan dari gegenang. <br /> Upacara – upacara keagamaan pribumi dilaksanakan pada malam hari di rumah tona’as atau di tempat – tempat keramat. Bila upacara tersebut dianggap penting dapat dilakukan di Watu Pinatebengan, tempat paling keramat di Minahasa, seperti upacara untuk mendapat kesaktian dari opo – opo. <br /> Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara – upacara keagamaan pribumi ialah walian, dapat dipegang oleh laki – laki atau pun wanita. Untuk sekarang sebutan tona’as lebih banyak dipergunakan, fungsinya yaitu sebagai medium untuk mendapatkan kekuatan sakti dari opo – opo. Juga berperan sebagai dukun untuk mengobati orang – orang sakit dengan teknik – teknik tradisional ( makatana ).<br /> Namun untuk sekarang ini, kepercayaan orang Minahasa secara resmi telah memeluk agama – agama Protestan, Katholik, maupun Islam.<br />E. PRODUK BUDAYA<br /> RUMAH ADAT<br /> Disebut dengan istilah wale atau bale, yaitu rumah/ tempat melakukan akivitas untuk hidup keluarga. Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya. <br /> Ada pula yaitu rumah kecil untuk tempat beristirahat, berlindung sewaktu hujan, memasak ataupun tempat menyimpan hasil panen sebelum dijual. Ciri utama rumah tradisional ini berupa "Rumah Panggung" dengan 16 sampai 18 tiang penyangga. Pada umumnya susunan rumah terdiri atas emperan (setup), ruang tamu (leloangan), ruang tengah (pores) dan kamar-kamar. Ruang paling depan (setup) berfungsi untuk menerima tamu terutama bila diadakan upacara keluarga, juga tempat makan tamu. Bagian belakang rumah terdapat balai-balai yang berfungsi sebagai tempat menyimpan alat dapur dan alat makan, serta tempat mencuci. Bagian atas rumah/loteng (soldor) berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, padi dan hasil lainnya. Bagian bawah rumah (kolong) biasanya digunakan untuk gudang tempat menyimpan papan, balok, kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan rumah seperti anjing. Untuk melihat rumah tradisional adat Minahasa ini, dapat ditemukan pada desa-desa di Minahasa yang umumnya sebagian rumah masih berupa rumah panggung tradisional. Akan tetapi kebanyakan telah mengalami perubahan bentuk, sesuai dengan kebutuhan pemiliknya<br /> PAKAIAN ADAT<br /> Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama. <br /> Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak.<br />* Baju Ikan Duyung <br /> Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci. <br /> Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih. <br /> Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju. <br />* Busana Pemuka Adat <br /> Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula. <br /> Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.<br /> BAHASA<br /> Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina. Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Pernah ada bahasa Ponosakan dan Bentenan, tapi bahasa-bahasa itu sekarang sedang dalam proses kepunahan. Di samping bahasa-bahasa di atas ada bahasa Melayu Manado yang digunakan sebagai bahasa pergaulan umum di seluruh Minahasa malah sampai jauh di luar daerah Propinsi Sulawesi Utara.<br /> <br /> Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Minahasa selain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari sembilan macam jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota Minahasa adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Minahasa termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota Minahasa khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat berusia lanjut.<br /><br /><br /><br /> <br /> AKSARA<br /><br />Sistem tulis Minahasa purbakala ialah Ideogramatis dan tanggal asalnya tidak diketahui. Ideogramatik artinya gambar atau simbol yang merupakan seorang, obyek atau ide, tetapi dengan gambar atau kalimat tetap. Sebagai contoh, tulisan Cina adalah ideogramatis. Tulisannya horisontal dan dari kiri ke kanan.<br /> TARIAN<br />* TARIAN KABASARAN<br />Menari dengan pakaian serba merah, mata melotot, wajah garang, diiringi tambur sambil membawa pedang dan tombak tajam, membuat tarian kabasaran amat berbeda dengan tarian lainnya di Indonesia yang umumnya mengumbar senyum dengan gerakan yang lemah gemulai. Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.<br /> Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong, Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya disebut Kawasalan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.<br /><br /> Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi Kabasaran yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.<br /><br /> Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :<br />1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran. <br />2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan. <br />3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.<br /> Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain Patola, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.<br /> Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan, Bentenen. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).<br /> Pada jaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa:<br />1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri. <br />2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran. <br />3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa). <br />4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari.<br /> Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut diatas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado. Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.<br />* Tarian Maengket <br />Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa, maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : <br /> Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak.<br /> Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.<br /> Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa.<br />* Tari Katrili<br /> Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili. <br /><br /> Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa. <br /><br /> Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan.<br /> UPACARA ADAT<br />* PERNIKAHAN ADAT <br /> Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara Posanan (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tetapi sehari sebelum perkawinan pada saat Malam Gagaren atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat Lumelek (menginjak batu) dan Bacoho karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara maso minta (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.<br />Bacoho (Mandi Adat)<br />Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut bacoho dapat dilakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.<br /> Tradisi : <br /> Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.<br /> Simbolisasi : <br /> Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.<br />Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.<br /> Upacara Perkawinan<br /> <br /><br /> <br /><br /> Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.<br /> Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam.<br /> Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).<br /> Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.<br /> Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.<br />Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan<br /> <br /><br /> <br /><br /> Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.<br /> Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara Pinang Tatenge’en. Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.<br /> Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.<br /> LAGU DAERAH<br /> Minahasa juga merupakan daerah yang memiliki lagu daerah yang cukup dikenal, diantaranya adalah:<br /><br />a. Esa mokan <br />b. Luri wisako<br />Luri wisa ko<br />Luri wo tumenten e<br />Luri kayu jati<br />Luri rerendemen<br /><br />Di mangkoi u rendem<br />rendem ku wia niko<br />ma'an mana numa <br />tunduan u lenso<br />Lenso u man puti<br />ta'an sinujian <br />lenso sinujian <br />u ngaran ta dua<br />c. O ina ni keke<br />o ina ni keke, mange wisa ko <br />mangewa aki Wenang, tumeles baleko <br />o ina ni keke, mangewi sako <br />mangewa aki Wenang, tumeles baleko <br />weane, weane, weane toyo <br />daimo siapa ko tare makiwe <br />weane, weane, weane toyo <br />daimo siapa kotare makiwe<br />d. Opo wananatas<br />e. Sa aku ika genang<br />f. Mars Minahasa<br />Minahasa di ujung Celebes Utara <br />Itu tanah asalku <br />Manado, Tonsea, Tondano, Kawangkoan <br />Ratahan, Amurang <br />Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara <br />Gunung di Minahasa <br />Pertemuan mata <br />Jangan kita lupa <br /><br />Suatu tempat yang amat subur <br />Dan lagi tanah yang kaya <br />Di sana tinggal ibu dan bapa <br />Serta saudara dan sekalian teman <br />Minahasa tanah tumpah darahku <br />Itu ada buah hatiku <br />Sako mangemo nan tanah jao <br />Mangemo mi lei lek lako sayang <br />Minahasa di ujung Celebes Utara <br />Itu tanah asalku <br />Manado, Tonsea, Tondano, Kawangkoan <br />Ratahan, Amurang <br />Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara <br />Gunung di Minahasa <br />Pertemuan mata <br />Jangan kita lupa<br />g. Si Patokaan<br />Sayang sayang…sayang sayang….<br />Sayang sayang, si pa-to- ka-an<br />Matigo- tigo goro-kan sayang <br />Sako mangemo nan tanah jauh, <br />mangemo mi lele lako sayang<br />sako mangemo nan tanah jauh<br />mangemo mi lele lako saya<br /> <br /> MUSIK DAERAH<br />* KOLINTANG<br /> Kolintang adalah instrument musik yang berasal dari Minahasa biasanya Kolintang dipakai sebagai pengiring dari seorang penyanyi lagu-lagu daerah ataupun cuma musik instrumen saja. Kolintang sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan juga sudah dipromosikan ke luar negeri. Kolintang dimainkan oleh sebuah regu, biasanya satu regu itu terdiri dari 5 sampai 6 orang.<br /><br />* MUSIK BAMBU<br /> Musik bambu juga adalah musik tradisional dari Minahasa satu regu terdiri 30 - 40 orang bahkan ada yang lebih. Musik bambu dari Minahasa juga sudah sangat terkenal di Indonesia bahkan tidak jarang acara dari luar Sulawesi Utara yang mengundang 1 regu musik bambu.<br /><br /> MAKANAN DAN MINUMAN <br /><br />* Makanan<br /> Dahulu orang selalu berpikir dua kali sebelum melangkahkan kaki menuju rumah makanMinahasa. Pertama, khawatir kalau salah pilih karena nama masakan yang tidak akrab, dan kedua takut kepedasan.<br /> Maklumlah masakan orang Minahasa hampir semuanya pedas mulai dari sup hingga hidangan utamanya. Hampir semuanya memakai cabai rawit atau biasa dipanggil rica anjing. Cabai rawit ini dipanggil dengan nama itu karena orang Manado sejak dulu kalau memasak daging anjing atau RW (rintek wuuk bahasa Tombulu, artinya bulu halus) selalu memakai cabai rawit ini, hingga sebutan itu menjadi pas dan populer. Tapi kini rasa takut untuk makan di resto Manado lambat laun telah hilang. Bahkan kini sebaliknya, hidangan Minahasa banyak dicari para penggemar ”goyang lidah”.<br /> Umumnya orang Minahasa memasak secara tradisional sejak dulu. Jika meracik masakan pada umumnya mereka tidak pernah memakai bahan-bahan penyedap sebagai tambahan agar masakan itu terasa lebih lezat. Hidangan Minahasa pada umumnya sangat menggiurkan karena disandarkan pada bumbu segar seperti daun kemangi, daun jeruk, daun sereh, daun bawang, daun gedi, daun bulat, daun selasih, daun cengkeh, daun pandan, cabai, jeruk limo, lemon cui, jahe dan lainnya. Bahkan jika ditambahkan bumbu penyedap, rasa dan aromanya berbeda.<br /> Salah satu makanan khas Minahasa yang terkenal adalah ayam rica – rica dengan resep : <br />Bahan – bahan :<br />1 ekor ayam muda<br />1 buah jeruk limau<br />1½ sendok teh garam<br />5 sendok makan minyak sayur<br />Bumbu – bumbu :<br />8 buah cabai merah<br />10 bird's eye chilies<br />2 cm jahe segar<br />1 stalk lemongrass, ambil bagian putihnya saja<br />2 helai daun jeruk limau<br />2 buah tomat, dipotong – potong <br />Cara mengolah ayam rica – rica :<br />1. Potong ayam menjadi 2 atu 4 bagian, kemudian lumuri dengan garam dan air jeruk limau, diamkan selama 30 menit.<br />2. Panggang ayam dengan panas yang sedang sampai setangah matang<br />3. Panaskan minyak sayur, setelah panas, masukan garam dan air jeruk limau, sampai tercium aroma sedap<br />4. Setelah selesai, tuangkan bumbu yang telah dipanaskan pada yam yang telah dipanggang<br />5. Panggang kembali ayam yang telah dipanggang setengah matang sampai benar – benar matang.<br /><br /><br />* Minuman Sauger dan Cap Tikus<br /> Cap Tikus adalah jenis cairan berkadar alkohol rata-rata 40 persen yang dihasilkan melalui penyulingan saguer (cairan putih yang keluar dari mayang pohon enau atau seho dalam bahasa daerah Minahasa). Tinggi rendahnya kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada kualitas penyulingan. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut kalangan petani, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan peralatan bambu tempat menampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau. Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin manis. Semakin bersih saguer, maka Cap Tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya. Kadar alkohol pada Cap Tikus tergantung pada teknologi penyulingan. Petani sejauh ini masih menggunakan teknologi tradisional, yakni saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.<br /> Jenis minuman ini diproduksi rakyat Minahasa di hutan-hutan atau perkebunan di sela-sela hutan pohon enau. Dipilih pohon enau-atau saguer karena pohon ini menghasilkan saguer, atau cairan putih yang rasanya manis keasam-asaman serta mengandung alkohol sekitar lima persen. Warung-warung makan di Minahasa pada umumnya juga menjual saguer. Bahkan, sebagian orang desa sebelum makan lebih dulu meminum saguer dengan alasan agar bisa makan banyak. Sisa saguer yang tidak terjual kemudian disuling secara tradisional menjadi minuman Cap Tikus. Kadar alkoholnya, sesuai penilaian dari beberapa laboratorium, naik menjadi sekitar 40 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, dan semakin lama disimpan, kadar alkohol Cap Tikus semakin tinggi.<br /> PARIWISATA<br /><br /> Daerah pariwisata di Minahasa sangat beragam. Mulai dari wisata alam sampai wisata zaman megalithik. Contohnya, antara lain :<br /><br />• Wisata Megalit Watu Pinawetengan<br /><br /> Jenis megalit lain yang menarik, yang terdapat di Minahasa ialah batu bergores yang ditemukan di Kecamatan Tompaso. Oleh penduduk setempat batu bergores ini disebut sebagai watu pinawetengan. Batu ini merupakan bongkahan batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki, menggambarkan kemaluan perempuan, dan motif garis-garis serta motif yang tidak jelas maksudnya. Para ahli menduga bahwa goresan-goresan tersebut merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit, yaitu kepercayaan kepada roh leluhur (nenek moyang) yang dianggap memiliki kekuatan gaib sehingga mampu mengatur dan menentukan kehidupan manusia di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus melakukan upacara-upacara pemujaan tertentu untuk memperoleh keselamatan atau memperoleh apa yang diharapkan (seperti: keberhasilan panen, menolak marabahaya atau mengusir penyakit) dengan menggunakan batu-batu besar sebagai sarana pemujaan mereka.<br /> <br /> Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan tempat tempat bermusyawarahnya para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu, dalam rangka membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa. <br />Sampai saat ini batu bergores yang sudah ditemukan di Minahasa, baru watu pinawetengan, terdapat di wilayah kerja Kawangkoan namun dapat dianggap sebagai temuan yang cukup penting dan dapat dimasukkan sebagai monumen sejarah, khususnya sejarah kebudayaan masyarakat Minahasa. Watu Pinawetengan terdapat di Desa Pinabetengan Kecamatan Tompaso. Dapat di tempuh dari Kota Tondano dengan kendaraan umum sekitar 1 jam.<br /> <br />• Bukit Kasih Kanonang<br /><br /> Objek wisata Monumen Bukit Kasih terletak sekitar 50 km arah selatan Manado, tepatnya di Desa Kanonang. Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut). Ditempat ini perasaan kasih wisatawan akan digugah. Suasananya terasa menyenangkan sekaligus mengharukan karena disatu tempat bisa dilihat banyak tempat beribadat untuk berbagai agama. Objew wisata Monumen Bukit Kasih merupakan obyak wisata yang dibangun dengan maksud untuk menggugah hati nurani masyarakat akan penting kasih dan persaudaraan.<br /> <br /> Bukit Kasih ini merupakan Bukit belerang yang masih alami, dimana disekitar bukit ini dibangun Monumen Bukit Kasih memiliki tinggi 22 meter, berbentuk segi lima sama sisi dan sama tinggi, mencerminkan kebersamaan, persaudaraan lima agama; Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu dan Budha di Sulut. <br /><br />• Danau Tondano<br /><br /> Danau indah yang terletak 600 meter dari permukaan laut dengan dikelilingi daerah pegunungan yang rata-rata memiliki ketinggian 700 meter sehingga bentuknya menyerupai sarang burung, dimana banyak orang datang untuk berwisata menikmati udara pegunungan yang sejuk. Keindahan danau tondano dapat dinikmati setiap saat. Danau dengan luas 4,278 Ha terletak kurang lebih 36 km dari Kota Manado atau 1 jam dengan kendaraan umum.<br /> <br />• Air Terjun Kali<br /><br /> Berlokasi di Desa kali kecamatan Pineleng, sekitar 10 km dari manado. Air terjun yang alami dengan air yang bening jatuh ke bawah secara vertikal dari ketinggian 60 meter, sangat cocok untuk santai dan segar untuk mandi, serta sangat mudah dicapai dengan kendaraan umum.<br /><br />• Pantai Tinggian Kolongan<br /><br /> Kawasan wisata pantai yang berlokasi di Desa kolongan Kecamatan Kombi, terletak tepat di sisi jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan Kota Bitung dengan kabupaten Minahasa. Dengan pantai berpasir putih bersih terhampar luas serta beningnya air laut. Kawasan wisata pantai yang sangat unik, karena dikelilingi oleh ladang pertanian dengan tanaman jagung, kacang tanah, kacang hijau dan lain-lain. Dari ketinggian bukit akan terhampar keindahan Gunung Klabat dan Gunung Dua Sudara serta hampatan hamparan laut lepas dan tebing terjal garis pantai. Dapat ditembuh kurang lebih 1 jam dari Kota Tondano atau 2 Jam dari Kota manado dengan kendaraan umum<br /><br />• Arena Pacuan Kuda Tompaso<br /><br /> Berlokasi di kecamatan Tompaso atau 1,5 jam dari Kota Manado. Secara reguler mengadakan lomba pacuan kuda untuk kuda - kuda yang berada di kabupaten Minahasa. Selain itu di sekitar arena pacuan kuda, pengunjung dapat menikmati atau melihat tempat pemeliharaan kuda pacu yang ada.<br /> <br />• Gua Jepang<br /><br /> Gua ini berlokasi di pinggir jalan antara desa Kiawa dan kota Kawangkoan, mudah dijangkau dari kota manado (45 km). Gua ini dibangun oleh tentara jepang selama Perang Dunia II untuk tempat penyimpanan makanan dan gudang persenjataan. Selain Gua jepang ini disendangan - kawangkoan juga terdapat gua jepang lainnya yang oleh masyarakat disebut Gua 100 kamar. Gua ini masih sangat alami. Untuk mengunjungi tempat ini pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 500 meter, dimana jalan yang dilalui masih jalan setapak.<br /><br />• Pulutan<br /><br /> Desa ini merupakan desa industri kecil yang memproduksi keramik dari tanah liat. Terletak beberapa km dari Kota Tondano. Pengunjung dapat menikmati pembuatan keramik oleh masyarakat setempat.<br /><br />• Rafting Dan Air Terjun Sungai Minanga<br /><br /> Rafting dilakukan di sungai Minanga adalah petualangan atau olahraga yang penuh tantangan. Rafting di sungai ini variasi tantangannya dengan tingkat kesulitan dari 3-4. Sungai ini juga mempunyai dua air terjun , satu terletak di Desa Tincep dengan tinggi 70 m dan yang lain di Desa Timbukar dengan tinggi 90 km.<br /><br /> Sungai minanga yang mengalir di kecamatan sonder dan sekaligus merupakan sungai yang masih alami untuk rafting juga menyediakan air terjun yang sangat indah untuk dinikmati. Sungai Minanga adalah tempat pertemuan dari sungai masem dan sungai ranowangko. <br /><br /> Rafting di sungai ini mempunyai tingkat kesulitan yang sangat menantang. Mengikuti pengalaman berafting di sungai minanga memberi kesan sangat menakjubkan, karena disamping mengarungi rintangan sungai, juga dapat menikmati keaslian alam dengan keindahannya yang masih murni diselingi dengan munculnya binatang-binatang kecil disepanjang sungai seperti kelelawar dan lain-lain.<br /><br />• Ranopaso Dan Pemandian Air Panas<br /><br /> Ranopaso adalah bahasa masyarakat setempat yang berarti air panas, merupakan salah satu tempat pemandian air panas yang ada di kabupaten Minahasa. Pemandian air panas dengan nuansa tradisional ini terletak di Desa Koya Kecamatan Tondano Barat ini sangat mudah di kunjungi karena hanya 3 km dari Kota Tondano. Selain tersedia pemandian air panas di lokasi ini pengunjung dapat juga menikamati kolam air panas untuk berendam. Pemandian air panas alam di kabupaten Minahasa lainnya banyak di jumpai seperti di Tataaran- Tondano, Karumenga, Kinali, Wale Papetaupan-Sonder, dan lainlain.<br /><br /> Pemandian air panas di tataaran juga menyediakn pemandangan yang indah akan pegunungan dan persawahan yang ada di depannya. Ditempat ini juga sangat ideal untuk tinggal menginap, karena disekitar pemandian telah tersedia penginapan. Selain itu tersedia juga kolam pemandian yang alami. Pemandian ini dapat dijangkau dengan mudah karena sangat dekat dengan kota Tondano hanya 3 km atau 15 menit dengan kendaraan umum.<br /> <br /> Pemandian air panas mineral dikarumenga adalah tempat yang baik untuk beristirahat sambil berendam. Terdapat di kecamatan Langowan tepatnya Desa karumenga yang jaraknya 50 km dari Kota Manado.<br /><br />• Sumaru Endo<br /><br /> Berada di samping Danau Tondano, tempat yang ideal untuk olahraga air seperti Ski Air, pemancingan, dan boating. Bungalow dan restoran juga dilengkapi didaerah ini serta kolam pemandian air panas. <br /> <br /> Terletak kurang lebih 13 km dari Tondano atau 45 km dari Kota manado. Antara Sumaru Endo dan Kota tondano terdapat panorama yang indah hamparan padi dan persawahan yang berada di sisi kiri kanan jalan. Hal ini akan membuat perjalanan ke Sumaru Endo makin menyenangkan. <br /><br />• Pantai Kalasey<br /><br /> Terletak di sebelah barat kota manao, pantai ini juga menawarkan hal yang sama dengan yang lain, dengan pemandangan pulau bunaken dan manado tua.<br /> Di pantai kalasey terdapat beberapa restoran yang berjajar di pantai menyediakan berbagai makanan sari laut, khususnya ikan bakar, dengan aroma dan rasa khasnya yang mengundang selera.<br /><br />• Wisata Agro Tampusu<br /><br /> Tampusu adalah sebuah desa berbukit, terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Tondano. Sebagai desa yang terletak di daerah pegunungan Tampusu menawarkan agro wisata yang sangat menarik dengan ekologinya yang indah dan utuh. Kegiatan hortikulturnya yang begitu luas dan beraneka ragam seperti sayur-mayur, kopi, panili, jagung dan sebagainya lebih menambah keindahan pemandangan dengan suasana lingkungannya yang asri, nyaman dan segar. Peternakan Sapi dan Kuda serta unggas yang dilakukan masyarakatr setempat menjadikan sebuah atraksi yang sangat menarik untuk saksikan. Desa Tampusu juga menjadi jalur alternatif dari Kecamatan Sonder menuju Remboken/Tondano dengan melewati persawahan yang indah, jalan pedesaan yang masih asri. Tampusu juga sangat menarik untuk kegiatan pendakian bukit yang berada di sekitar desa tersebut. <br /><br /><br />• Makam Kyai Modjo<br /><br /> Salah satu penasehat Pangeran Diponegoro pada Perang Diponegoro (tahun 1825-1830), ia diasingkan di Manado tepatnya di Tondano dan wafat pada tahun 1848. Keturunan Kyai Modjo berkembang dan sekarang dikenal dalam satu Desa yaitu Kampung jawa karena merupakan keturunan orang jawa pertama di Tondano. Makam ini sangat dekat dengan Kota Tondano, kira 4 Km dari Pusat Kota.<br /><br />• Makam Tuanku Imam Bonjol<br /><br /> Bangunan Makam Tradisional ini mengingatkan Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol dari Minangkabau Sumatera Barat, yang diasingkan di Manado dan wafat pada tahun 1864 di Desa Lota kecamatan Pineleng. Makam ini sangat dekat dari Kota manado hanya sekitar 5 km.<br /><br />• MONUMEN DR SAM RATULANGI<br /> Monumen DR. Sam Ratulangi ini terletak di Kelurahan Wawalintouan Kota Tondano. DR. Sam Ratulangi yang adalah Pahlawan Nasional, adalah Putra Minahasa yang wafat pada Tahun 1949. Ia juga merupakan Gubernur Pertama di Sulawesi.<br /><br /> HASIL KEBUDAYAAN MEGALITHIK<br /><br />* Waruga<br /><br />Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: wale dan maruga. “Wale artinya rumah, dan maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Salah satu sisa megalit yang begitu terkenal dan dominan di Minahasa adalah waruga (peti kubur batu). Ini bukan sembarang peti kubur biasa. Yang istimewa, peti kubur ini terdiri atas dua bagian: badan dan tutup. Tiap-tiap bagian itu terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Umumnya, berbentuk kotak segiempat (kubus) untuk bagian badannya dan hanya sedikit yang berbentuk segidelapan atau bulat. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur jasad orang yang meninggal. “Posisi mayat di dalam batu ini dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu. Yang laki-laki, tangan berada dalam posisi kunci tangan dan perempuan kepal tangan,” papar Anton Tahuna (38) juru kunci kompleks waruga Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa. Posisi mayat tersebut terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan semestinya mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dikenal dalam bahasa lokal adalah whom. Setiap waruga biasanya dipakai untuk satu famili. Ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mayat yang berasal dari kesamaan profesi sebelum wafat. Di dalam waruga seringkali ditemukan tulang-tulang manusia yang berasosiasi dengan benda lain, macam keramik Cina, perhiasan, alat-alat logam dan manik-manik. “Waktu dikubur, barang-barang kesayangan mereka semasa hidup harus disertakan juga sebagai bekal kubur. Karena itu, di bagian bawah mayat ada piring yang besar. Maksudnya, supaya perhiasan tadi tidak jatuh ke bawah tetapi justru jatuh ke piring tadi.<br /><br />* Watu Pinawetengan<br /> <br /> Batu ini merupakan bongkahan batu-batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki dan perempuan dan motif garis-garis serta motif yang tak jelas maksudnya. Para ahli menduga, goresan-goresan ini merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit. <br /> <br /> Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan orang, seperti kesembuhan dari penyakit dan perlindungan dari marabahaya. Dengan melakukan ritual ibadah yang dipandu seorang tonaas (mediator spiritual), sebagian orang percaya doa mereka akan cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan – menegaskan, masyarakat yang datang ke sini bukan bertujuan menyembah batu, melainkan menjadikan batu sebagai tempat atau sarana ibadah. Soal asal-usul batu ini, masyarakat setempat percaya di sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu. Para pemimpin itu bersepakat untuk membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok - kelompok etnis Minahasa.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br /><br /> Pulau Sulawesi di huni oleh beranekaragam suku bangsa, dimana masing-masing mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri diantaranya suku-suku bangsa tersebut, salah satunya suku Minahasa yang mendiami daerah pada bagian Timur Jazirah Sulawesi Utara.<br /> <br /> Suku Minahasa memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan dari daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang perlu dijaga kelestariannya.<br /> <br /> Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku berbeda-beda, hal ini terkait adanya perbedaan secara demografi astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang menempati daerah tersebut.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />LAMPIRAN <br /><br />Tari Kabasaran Pakaian Tari Kabasaran Kabasaran<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Rumah Adat Minahasa <br /><br /> <br /><br />Tulisan Purbakala Minahasa<br /><br /> <br /><br /><br /><br />Menyuling Cap Tikus secara traditional<br /><br /> <br /><br />DANAU TONDANO<br /><br /> <br />RAFTING<br /><br /> <br /><br /><br /><br />DANAU KALASEY<br /> <br /><br />KOLINTANG<br /> <br /><br />TARI KATRILI<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />WARUGA<br /> <br /><br />MUSIK BAMBU<br /> <br /><br /><br /><br /><br />MAKAM KYAI MODJO<br /> <br /><br /><br />PAKAIAN ADAT<br /> <br /><br />TEMPAT SHOLAT IMAM BONJOL<br /> <br /><br />GUA JEPANG<br /> <br /><br />WATU PINWETENGAN WATU TUMOTUA<br /><br /> <br /><br />Air Terjun Kali<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PETA MINAHASA<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-60769155889329616782008-11-19T23:24:00.000-08:002008-11-19T23:29:19.442-08:00Kebudayaan FloresFlores berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Daerah ini termasuk daerah yang kering dengan curah hujan rendah, memiliki potensi bidang pertanian yang rendah. Meskipun potensi di bidang pertanian rendah, Flores memiliki potensi di bidang lain yang cukup menjanjikan. Tetapi sayang, tidak banyak yang tahu mengenai potensi tersebut. Potensi pariwisata dan budaya Flores dianggap akan dapat memakmurkan perekonomian daerah Flores.<br />Daerah Flores yang indah sangat mendukung untuk dikembangkannya pariwisata disana. Ada banyak tempat-tempat indah di Flores yang bisa dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan luar negeri maupun dalam negeri, misalnya Air Terjun Kedebodu/Ae Poro, Kebun Contoh Detu Bapa, Air Panas Ae Oka Detusoko, Air Panas Liasembe dan sebagainya. Tetapi pengembangan atas bidang ini masih sangat kurang.<span class="fullpost"><br />Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan dan meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran, pendalaman, pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores harus mulai dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat Flores sendiri.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />PEMBAHASAN DAN ISI<br /><br /> <br /><br />A. IDENTIFIKASI FLORES<br />I. SEJARAH FLORES<br />Nama Pulau Flores mulanya berasal dari bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang artinya Pulau Ular. Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.<br />Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow,1989;Taum,1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.<br />Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara Melayu, Melanesia, dan Portugis. Dikarenakan lokasi yang berdekatan dengan Timor, yang pernah menjadi Koloni Portugis, maka interaksi dengan kebudayaan Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik, Agama, dan Budaya.<br /><br />II. KARAKTERISTIK GEOGRAFIS<br />Flores, dari bahasa Portugis yang berarti "bunga" berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Flores termasuk dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil bersama Bali dan NTB, dengan luas wilayah sekitar 14.300 km². Pulau Flores bersama Pulau Timor, Pulau Sumba dan Kepulauan Alor merupakan empat pulau besar di Provinsi NTT yang merupakan salah satu provinsi kepulauan di Indonesia dengan 566 pulau. Di ujung barat dan timur Pulau Flores ada beberapa gugusan pulau kecil. Di sebelah timur ada gugusan Pulau Lembata, Adonara dan Solor, sedangkan di sebelah barat ada gugusan Pulau Komodo dan Rinca. Sebelah barat pulau Flores, setelah gugusan pulau-pulau kecil itu, ada pulau Sumbawa (NTB), sedangkan di sebelah timur setelah gugusan pulau-pulau kecil itu ada kepulauan Alor. Di sebelah tenggara ada pulau Timor. Di sebelah barat daya ada pulau Sumba, di sebelah selatan ada laut Sawu, sebelah utara, di seberang Laut Flores ada Sulawesi. <br />Pulau Flores ini dibagi menjadi sembilan kabupaten, sebagai berikut: Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo, Manggarai dengan ibukota Ruteng, Manggarai Timur dengan ibukota Borong, Ngada dengan ibukota Bajawa, Nagekeo dengan ibukota Mbay, Ende dengan ibukota Ende, Sikka dengan ibukota Maumere,kabupaten Alor dengan ibukota Alor,kabupaten lembata denagn ibukota Lembata, dan Flores Timur dengan ibukota Larantuka.<br />Dari segi geografisnya, Flores memiliki beberapa gunung berapi aktif dan tidur, termasuk Egon, Ilimuda, Lereboleng, dan Lewotobi. Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda System yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Flores juga terkenal memiliki satu dari sekian satwa langka dan dilindungi di dunia yakni Varanus Komodiensis atau lebih dikenal dengan Biawak raksasa. Raptil ini hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, keduanya terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Flores Barat. Selain Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Flores juga memiliki satu Taman Nasional lagi yang terletak di Kabupaten Ende, yakni Taman Nasional Kelimutu. Daya tarik utama Taman Nasional Kelimutu adalah Danau Tiga Warna-nya yang selalu berubah warna air danaunya. Akan tetapi sesungguhnya di dalam Kawasan Taman Nasional Kelimutu itu tumbuh dan berkembang secara alami berbagai jenis spesies tumbuhan dan lumut. Oleh karena itu di awal tahun 2007, pihak pengelola Taman Nasional Kelimutu mengadakan identifikasi terhadap kekayaan hayati Taman Nasional Kelimutu untuk kemudian dikembangkan menjadi Kebun Raya Kelimutu. Jadi nantinya para wisatawan yang datang ke Kawasan Wisata Alam Kelimutu, selain dapat menikmati keajaiban Danau Tiga Warna, juga dapat mengamati keanekaragaman hayati dalam Kebun Raya Kelimutu.<br /><br />III. POPULASI<br />Jumlah penduduk di provinsi ini adalah 4.073.249 jiwa (2003) (BPS NTT). Sebagian besar penduduk beragama Kristen dengan persentase 91% (mayoritas Katolik), 8% Muslim, 0,6% Hindu atau Buddhis, dan 0,4% menganut kepercayaan tradisional. Nusa Tenggara Timur menjadi tempat perlindungan untuk kalangan kristen di Indonesia yang menjauhkan diri dari konflik agama di Maluku dan Irian Jaya.<br />Tingkat pendaftaran sekolah menengah adalah 39% yang jauh dibawah rata-rata Indonesia (80.49% tahun 2003/04, menurut UNESCO). Minuman bersih, sanitasi dan kurangnya sarana kesehatan menyebabkan terjadinya kekurangan gizi anak (32%) dan kematian bayi (71 per 1000) juga lebih besar dari kebanyakan provinsi Indonesia lainnya.<br /><br />IV. PEREKONOMI DAN MATA PENCAHARIAN<br />Menurut berbagai standar ekonomi, ekonomi di provinsi ini lebih rendah daripada rata-rata Indonesia, dengan tingginya inflasi (15%), pengangguran (30%) dan tingkat suku bunga (22-24%).<br />Berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat flores, suku Mehen di Flores Timur mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku Ketawo. Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat dalam ungkapan sebagai berikut:<br />Ola tugu, here happen, Lua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,<br />Geleka lewo gewayan, toran murin laran. Artinya: Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing. <br />Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.<br />Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb: Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September). <br />Potensi alam darat dan laut Pulau Flores dan Lembata sudah dikenal sejak dahulu kala. Karena surplusnya potensi alam yang dimiliki itulah, sejak dahulu pula Pulau Flores dijuluki nama Pulau Bunga. Inilah fakta alam yang harus disyukuri oleh masyarakat penghuni Pulau Flores-Lembata.<br />Kini Pulau Flores dan Lembata yang hampir sama dengan Pulau Timor telah dibagi atas tujuh kabupaten. Dari ujung barat, Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur dan Kabupaten Lembata di ujung timur. Masing-masing kabupaten kaya dengan aneka kekayaan alamnya. Mulai dari berbagai jenis ikan dan kekayaan laut sampai ke daratan dengan humus tanah yang subur. Potensi alam ini menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat penghuni tujuh kabupaten itu.<br />Sebagian besar penduduk (85%) hidup dan bekerja pada sektor pertanian, termasuk peternakan. Selebihnya bekerja pada sektor-sektor perdagangan, industri, angkutan, jasa-jasa kemasyarakatan, dan lain-lainnya.<br />Komoditi-komoditi utama yang banyak dihasilkan dan diperdagang¬-kan, baik lokal, antar pulau, maupun ekspor adalah hasil-hasil peter¬nakan seperti sapi, kerbau, kuda, dan babi, hasil-hasil pertanian seperti jagung, beras, ubi-ubian, kacang-kacangan, kopra, kopi, asam, kemiri, dan kapuk, hasil-hasil kehutanan (antara lain kayu cendana), hasil-hasil perikanan, dan hasil-hasil industri kecil, industri rakyat seperti minyak kelapa, minyak kayu putih, minyak/serbuk cendana, dan hasil-hasil kerajinan.<br />Belum lagi puluhan jenis komoditi pertanian seperti padi sawah/ladang, jagung, kacang-kacangan terutama kacang tanah dan kacang merah, ubi kayu/singkong, nenas, <br />Dalam sektor pertanian, kabupaten ngada memegang peranan penting, Wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan tanaman pangan dan perkebunan bahkan menjadi salah satu andalan Lumbung Pangan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas potensial lahan basah meliputi 12.982 Ha dan 3.547 Ha di antaranya merupakan irigasi teknis.<br />Dari luas potensial tersebut yang telah berfungsi adalah7.388 Ha. Luas potensial lahan kering meliputi 64.195 Ha sedangkan luas fungsional 48.171 Ha untuk tanaman campuran pangan dan perkebunan. Ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman perkebunan masih cukup besar yakni seluas 36.342 Ha.<br />Pada Sub Sektor Peternakan juga tersedia lahan 15.193 Ha untuk padang penggembalaan. Pengusahaan ternak masih dilaksanakan secara sporadik dan tradisional. Sepanjang perairan Utara dan Selatan Kabupaten ini seluas 6.988 88 Km2 kaya akan berbagai jenis ikan. <br />- Ikan Pelagic 1,3/Km2 : 6.899 ton/tahun <br />- Ikan Demersol 0,9/Km2: 4.829 ton/tahun. <br />- atau dengan potensi lestari sumber daya perikanan laut rata-rata 13.799 ton/tahun.<br />Tingkat pemanfaatan yang dapat dicapai saat ini baru 24%. Budi daya laut yang dapat dikembangkan antara lain: Benur, Nener, Rumput Laut, Tuna Cakalang, Cumi - cumi, Hiu Botol, terutama disepanjang perairan Utara Kabupaten Ngada. Selain itu potensi perikanan tambak dan air tawar. <br />Luas Kawasan hutan 108.091 Ha, yang terdiri dari Hutan Lindung, HutanProduksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi yang dapat dikoversi. Selain itu hutan Cagar Alam 8.771 Ha, dan Hutan Wisata Alam 11.900 Ha.<br />Selain itu, juga terdapat tanaman perkebunan yang menghasilkan komoditi unggulan yang mampu menopang perekonomian rakyat. Misalnya, kelapa yang menghasilkan kopra produksi Flores-Lembata 29.869 ton/tahun dengan perincian, Lembata 2.270 ton/tahun, Flotim 9.623 ton/tahun, Sikka 4.379 ton/tahun, Ende 7.719 ton/tahun, Ngada 3.466 ton/tahun dan Manggarai 2.412 ton/tahun.<br />Kelapa yang memroduksi kopra juga merupakan penunjang ekonomi orang Flores sejak dahulu kala. Sejak 1990 juga pulau ini telah memiliki komoditi baru yang sungguh menjadi penopang ekonomi petani hampir di seantero Flores-Lembata yakni jambu mete.<br />Tanaman yang cocok hidup di daerah tropis ini hampir berkembang merata di seluruh wilayah daratan Flores dan Lembata dengan estimasi volume produksi melebihi 15.481 ton/tahun. Konsentrasi produksinya ada di 13 kecamatan di wilayah Kabupaten Flores Timur dengan produksi 7.988 ton sampai dengan 13.000 ton/tahun. Komoditi lainnya adalah kopi, kakao dan kemiri. <br />Flores khususnya Manggarai dikenal penghasil kopi dan vanili. Sebagian besar tanaman kopi banyak dijumpai di Manggarai bagian timur. Wilayah ini memiliki topografi yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung serta iklim agak sejuk, sehingga menguntungkan tanaman kopi, terutama kopi Arabika yang membutuhkan iklim sejuk. Selain Arabika, jenis robusta pun banyak ditanam di Manggarai Timur.<br />Daya saing kopi Manggarai sebenarnya masih rendah. Sistem pengolahannya masih tradisional. Biji kopi hanya dijemur di bawah terik matahari di pinggir jalan. Ini membuat biji kopi tidak kering sempurna. Akibatnya, kualitasnya pun rendah. Saat ini mulai dirintisunit pengolahan kopi secara mekanis di Desa Rendenao, Kecamatan Poco Ranaka. Dengan alat ini biji kopi baru bisa dikeringkan saja, belum sampai tahap pengolahan menjadi bubuk. Memang sudah ada beberapa perusahaan di Ruteng yang mengolah biji kering menjadi bubuk. Tapi, jumlahnya sangat terbatas. Sampai saat ini, kebanyakan pemasaran kopi dari petani masih da-lam bentuk biji kering. <br />Masyarakat Manggarai melakukan polikultur. Mereka tidak hanya mengandalkan hasil dari kopi, tetapi juga melakukan diversifikasi tanaman lain seperti jambu mete, vanili, dan kemiri. Ini merupakan salah satu cara mengganti peran kopi bila harganya mulai tidak berpihak pada petani. <br />Produk unggulan Manggarai yang lain adalah vanili. Nilai ekonomisnya lumayan tinggi. Saat ini, harga per kilogram kering Rp 600.000 -Rp 800.000 atau basah Rp 80.000 - Rp 100.000 per kilogram. Tingginya nilai jual ini cukup menggiurkan petani di Kecamatan Elar, Sambi Rampas, Lamba Leda, dan Poco Ranaka.<br />Selain itu, juga terdapat potensi ternak babi dan ayam serta potensi pariwisata dengan berbagai obyek wisata yang amat indah dan menarik bagi wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik (wisdom).<br />Sebagai provinsi kepulauan (archipelago), wilayah laut NTT khususnya daerah Flores memiliki kekayaan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi di dunia. Ironisnya, baru sekitar 30 persen kekayaan laut yang luar biasa itu dikelola dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat Flores. Bukan hanya itu, sebagian besar masyarakat Flores tidak berminat masuk laut, sehingga kekayaan laut Flores masih merupakan harta karun yang menadi rebutan nelayan dari luar daerah dan nelayan asing.<br />Guna mengoptimalkan potensi laut yang sangat besar itu untuk kemakmuran rakyat, Pemerintah Daerah Flores belum lama ini mencanangkan program “Gerakan Masuk Laut” (Gemala). <br />Gerakan yang bertumpu pada kondisi geografis Flores yang sebagian besar terdiri dari perairan merupakan suatu terobosan untuk merubah paradigma pembangunan dan sekaligus mentalitas masyarakat Flores yang selama ini lebih berorientasi ke darat.<br />Substansi Gemala yang kini dicanangkan dan disosialisasikan secara intensif oleh Pemda Flores dan seluruh komponen terkait adalah upaya merubah mentalitas agraris masyarakat NTT menuju mentalitas maritim. Laut flores menyimpan kekayaan yang tiada taranya dan jika dieksploitasi secara terencana dan melibatkan masyarakat lokal. Bukan tidak mungkin hal itu akan membawa kemakmuran bagi masyarakat. <br />Upaya merubah mentalitas agraris ke mentalitas maritim tidak mudah bagi masyarakat Flores. Sejauh ini yang berprofesi sebagai nelayan atau yang akrab dengan laut sebagian besar adalah para pendatang dari Bajo. Mereka menetap di pesisi dan menjadi pemasok ikan bagi konsumen lokal. <br />Memang ada beberapa etnis setempat yang berprofesi sebagai nelayan tradisional, misalnya orang Ende, Lembata dan sebagian Sikka. Namun cara penangkapan yang mereka lakukan masih menggunakan alat-alat tradisional, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal. Sementara mayoritas masyarakat Flores berprofesi sebagai petani.<br />Berkaitan dengan konsep program Gemala, saat ini Pemda NTT telah membuat perencanaan tentang implementasi program Gemala itu dengan titik berat meningkatkan kemampuan dan skill masyarakat pesisir, termasuk pembentukan plasma inti nelayan dan masyarakat pesisir sesuai dengan karakteristik setiap pulau. <br />Dalam hal ini sangat dibutuhkan kebijakan publik yang mengatur tata cara pengeksploitasian kekayaan laut, pelestarian lingkungan dan biota laut, termasuk perlindungan kawasan laut Flores dari para nelayan liar, baik dari daerah lain maupun nelayan asing.<br />Sebut saja ikan tuna, cakalang, kerapu, udang (lobster), rumput laut (see weeds), mutiara, tripang, dan sebagainya. Belum lagi potensi wisata bahari yang tersebar di seantero pulau di Flores yang menawarkan panorama yang sangat eksotik. <br />Dilihat dari potensi yang ada dan peluang pasar manca negara, khususnya Jepang, Hongkong, Taiwan dan Cina, peluang usaha penangkapan ikan tuna dan cakalang masih sangat besar. Penyebaran jenis ikan tuna dan cakalang ini berada hampir pada semua perairan laut Flores.<br />Namun yang berpotensi cukup besar dengan tingkat eksploitasinya masih rendah terdapat di Kabupaten Flores Timur (laut kecamatan Larantuka, Adonara dan Tanjung Bunga), di Kabupaten Sikka (laut sebelah utara dan selatan), di Kabupaten Ende (laut sebelah selatan dan utara), serta di Kabupaten Ngada (pantai utara dan selatan).<br />Selain kedua jenis ikan tersebut, di NTT juga diusahakan penangkapan ikan jenis kerapu di perairan Komodo, Manggarai dan Sikka. Ikan yang bernilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas ekspor sangat cerah pada masa mendatang konon sangat cerah banyak di daerah itu.<br />Yang tak kalah menariknya adalah potensi lestari rumput laut (see weeds). Tumbuhan tersebar hampir diperairan NTT ini bernilai ekonomis penting karena kegunaannya yang luas dalam bidang industri makanan, kosmetik, minuman dan lain-lain.<br />Di Indonesia pemanfaatan rumput laut sebagian besar sebagai bahan komoditas ekspor dalam bentuk rumput laut kering.<br />Dari tahun ke tahun pertumbuhan ekspor rumput laut mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, namun relatif kecil dan jauh di bawah produksi philipina. Hal itu disebabkan karena produksi rumput laut belum optimal. Di Flores sendiri gairah masyarakat untuk membudidayakan rumput laut cukup tinggi, walaupun masih dalam skala kecil.<br />Selain bermata pencaharian di bidang pertanian, perkebunan maupun perikanan,di flores juga terdapat anggota masyarakat yang berprofesi sebagai wiraswasta dan pegawai negeri.<br />Orang Flores masih memiliki sikap sombong dan primitif. Orang Flores juga tidak menghargai ilmu pengetahuan. Selain sombong dan primitif, orang Flores itu feodal. Tradisi di masa lalu kemudian mempengaruhi sifat orang Flores yang sombong. Sementara itu, sikap primitif terbentuk dari kepercayaan dinamisme yang dianut dulu, yakni kepercayaan pada dewa-dewa (nitu).<br />Adapun beberapa keutamaan orang flores antara lain :<br />a) Percaya kepada Tuhan yang Kuasa<br />Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut ‘Lera Wulan Tanah Ekan’ atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat kenyataan bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berucap: "Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan": Tuhan mempunyai mata (untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, ia maha tahu, ia maha adil, ia akan bertindak adil. Pada peristiwa kematian, orang biasanya berkata: "Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en": Tuhan mengambil pulang miliknya. <br />Pada perayaan syukur sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan sebagian hasil panen itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Adapun doa yang didaraskan sebagai berikut: <br /><br />Bapa Lera Wulan lodo hau Bapak Lera Wulan turunlah ke sini<br />Ema Tanah Ekan gere haka Ibu Tanah Ekan bangkitkan ke sini<br />Tobo tukan Duduklah di tengah<br />Pae bawan Hadirlah di antara kami<br />Ola di ehin kae (Karena) kerja ladang sudah berbuah<br />Here di wain kae (Karena) menyadap tuak sudah berhasil<br />Goong molo Makanlah terlebih dahulu<br />Menu wahan Minumlah mendahului kami<br />Nein kame mekan Barulah kami makan<br />Dore menu urin Barulah kami minum kemudian <br />b) Kejujuran dan Keadilan<br />Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan) . Tuhan melihat semua perbuatan manusia, sekalipun tersembunyi. Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik. <br />Sifat dan tabiat kejujuran ini sangat menarik perhatian Vatter (1984: 56). Dia mencatat, hormat terhadap hak milik oang lain tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk pelanggaran berat di Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat ini pencuri dikenai sangsi adat berupa denda yang sangat besar. <br />c) Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual <br />Studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya. <br />Mitos cerita asal-usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan. Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan sebagainya. <br />Nuba-nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang dilengkapi dengan Nama adalah "gereja" tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka. <br />Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan orang Flores di satu pihak menunjukkan unsur historis (warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Ibu Bumi, seperti dalam ungkapan Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan). <br />d) Rasa Kesatuan Orang Flores <br />Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung (Vatter, 1984: 72-73). <br />Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis, historis maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan mereka lebih disebabkan faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun demikian, pola organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran tentang kohesi sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis. Dalam kampung-kampuang itu tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang kemudian digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama). <br />Itulah sebabnya orang Flores cenderung menyapa sesamanya dengan sebutan kekerabatan (Om, Tante, Kakak, Adik atau mengaku sebagai saudara). Mereka juga bisa menghargai perbedaan politis, agama, etnis bila mereka telah diikat dalam satu kesatuan tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti ini, kadang-kadang membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris. <br />Musikalitas adalah bakat alam orang-orang Flores. Sekalipun di Flores tidak banyak ditemukan alat-alat instrumen musik, rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) berikut ini. <br />“Of musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further east” (p. 32). <br />Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di atas.<br />“Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh" (h. 32). <br />Kesaksian menarik juga ditulis Kapten Tasuku Sato dan P Mark Tennien dalam buku I REMEMBER FLORES, penerbit Farrar, Straus and Cudahy, New York, 1957. Kapten Tasuku Sato yang lahir di Taipei pada Oktober 1899, pernah menjabat Komandan Angkatan Laut Jepang di Flores pada 1943. Tasuku Sato menulis: “... Penduduk pribumi Flores memiliki bakat musikal luar biasa. Mereka dapat mempelajari lagu baru dan langsung melagukannya dalam sekli dengar.” <br />“Orang-orang Flores mempunyai bakat alam dalam bidang musik. Mereka dapat mempelajari lagu dengan cepat dan baik sekali. Mereka juga menirukan lagu-lagu Jepang dengan cepat. Orang-orang Flores juga mudah menangkap lagu-lagu yang mereka dengar dari radio, lalu menirukannya. Mereka mempunyai orkes asli yang terdiri atas bermacam-macam drum. Lagunya hidup dan sedap didengar. Di bawah pengawasan komisi kebudayaan, anak-anak diajarkan melagukan dan memainkan nyanyian-nyanyian Jepang....”<br />Orang Flores, seperti terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi, khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti. Tetapi buku ini kurang disenangi di Flores karena kurang variatif dan terasa seperti menekan kreativitas. <br />Masih ada satu hal yang penting menjadi catatan. Jika orang Flores, menurut Max Weber, mempunyai bakat musikal yang sangat tinggi.<br />Beberapa studi (Vatter, 1984; Graham, 1985; Taum, 1997b) mengungkapkan bahwa keluarga di Flores (dalam hal ini Flores Timur) memainkan peranan yang sangat kecil dalam proses pendidikan dan sosialisasi anak. Keluarga bukan tujuan melainkan sarana bagi pembentukan kelompok sosial yang menjadi inti masyarakat dan menentukan suku. Suku itulah basis sosial terkecil dan otonom. Semua hak dan kewajiban individual diarahkan kepada kebersamaan suku. Itulah sebabnya ruang bagi ekspresi dan aktualisasi potensi pribadi menjadi lebih terbatas, sebaliknya kebersamaan menjadi lebih bernilai. Mungkin ini salah satu kendala budaya yang menghambat hal itu, di samping faktor-faktor teknis lain seperti peluang, modal, dan sebagainya.<br />Menyandarkan asumsi pada penemuan lewat penelitian-penelitian di atas, gambaran Flores di jaman dulu sangat jauh berbeda dengan Flores di jaman sekarang. Gambaran orang-orang Flores jaman dulu seakan hilang tanpa jejak seperti hilangnya jejak orang-orang Indian suku Maya. Peradaban yang didominasi oleh kehidupan spiritual murni tidak lagi mampu terlihat sebagai bagian sejarah bernilai tinggi bagi orang Flores. <br />Padahal, tanpa kehidupan spiritual murni, orang Flores bagai mayat hidup tanpa nafas. Sisa-sisa kebanggaan yang bisa terlihat lewat musikalitas alamnya, hanyalah bagian kecil dari kebesaran nenek moyang orang Flores. Banyak cerita yang tersebar dari mulut ke mulut, diceritakan lagi dari orang tua kepada anaknya, telah menyimpan misteri luar biasa pencapaian spiritual tingkat tinggi disana. <br />Jika India memiliki banyak ‘sadhu’ dan ‘para yogi’, maka Flores pun memiliki orang-orang seperti itu. Sampai sekarang, masih terdengar cerita-cerita mereka tinggal di hutan dan tempat-tempat yang sulit dijangkau.Bedanya, tidak ada catatan sejarah yang mencatat bahwa ada orang suci dan para bijak muncul dari Flores. <br />Namun orang Flores tidak bisa memungkiri bahwa cerita-cerita nenek moyang mereka tidak lepas dari cerita-cerita kesucian dan kebijaksanaan, termasuk kemampuan supranormal yang dimiliki nenek moyang orang-orang Flores. Bahkan ada sebuah kemungkinan yang masih perlu digali, Flores adalah tempat penempaan spiritual murni dikarenakan alam Flores di jaman dulu sangat potensial bagi para pencari kebenaran hidup. Ada banyak sadhu dan yogi yang tak terekam sejarah Flores, mungkin nama dan perjalanan mereka tidak akan pernah terekam sejarah.<br /><br />B. SISTEM KEKERABATAN<br />Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral.Pada Masyarakat Flores menganut klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) di mana klennya disebut Fam antara lain : Fernandes, Wangge, Da Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.<br />Kelompok kekerabatan di Manggarai yang paling kecil dan yang berfungsi paling intensif sebagai kesatuan dalam kehidupan sehari-sehari di dalam rumah tangga atau di ladang dan kebun, adalah keluarga luas yang virilokal (kilo). Pada orang Ngada suatu keluarga luas virilokal serupa itu disebut sipopali<br />Sejumlah kilo biasanya merasakan diri terikat secara patrilineal sebagai keturunan dari seorang nenek moyang kira-kira lima sampai enam generasi ke atas. Suatu klen kecil atau minimal lineage memiliki beberapa nama lain, diManggarai disebut panga dan di Ngada disebut ilibhou.<br />Warga suatu panga atau ilibou tidak selau terikat oleh hubungan kekerabatan yang nyata. Hal itu karena sering sekali ada panga-panga atau ilibhou-ilibhou yang menjadi kecil, akibat kematian, manggabungkan diri dengan panga atau ilibhou yang lain. Suatu panga atau ilibhou dulu merupakan kesatuan dalam hal melakukan upacara-upacara berkabung atau upacara pembakaran mayat nenek moyang, atau upacara mendirikan batu tiang penghormatan roh nenek moyang. Sekarang kesatuan kekerabatan itu hampir tidak berfungsi lagi, kecuali sebagai pemberi nama kepada warga-warganya.<br />Panga dan ilibhou menjadi bagian dari klen-klen yang lebih besar, ialah wa’u di Manggarai dan woe di Ngada. Dulu wa’u an woe membanggakan diri akan adanya suatu complex unsur-unsur adat istiadat dan sistem upacara yang khas, yang saling pantang bagi yang lain, sedangkan banyak diantara wa’u-wa’u atau woe-woe yang terkenal ada yang memiliki lambang binatang atau totem yang mereka junjung tinggi. Sekarang sebagian besar dari unsur-unsur adat istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang totem yang khusus itu sudah hilang atau dilupakan <br />Masyarakat Ngada terdiri dari empat kesatuan adat (kelompok etnis) yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa. Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri kekerabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti keluarga kekerabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). <br />Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu. <br />Suku Ngadha mengenal beberapa kelompok kekerabatan dari yang terkecil berupa keluarga inti sampai pada kelompok klen besar. Pembagian kelas pada struktur masyarakatnya hampir sama sebagaimana masyarakat lain di tanah air. Penggolongan suku Ngadha berdasarkan keluarga batih ( primary family ) yang terdiri dari ayah,ibu, anak-anak yang belum menikah disebut dengan sa"o. <br />Beberapa keluarga inti membentuk keluarga gabungan yang disebut sippopali. Sippopali (kesatuan keluarga) terdiri dari satu rumah pokok (sao puu) dan didampingi oleh rumah cabang (sao dhoro) yang berasal dari rumah pokok. Dikarenakan keterkaitan dengan sistem kekerabatan patrilineal, beberapa sippopali membentuk klen kecil (illibhou) dari klen besar yang dipimpin oleh seorang pemimpin dengan status ulu woe. <br />Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang.<br />Pada masyarakat manggarai, pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.<br />Beberapa istilah yang dikenal dalam sistem kekerabatan Manggarai antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri).<br /><br />C. SISTEM KEMASYARAKATAN<br />Dalam masyarakat sub-sub suku bangsa di flores yang kuno ada suatu sistem strafikasi sosial kuno, yang terdiri dari tiga lapisan. Dasar dari pelapisan itu ialah keturunan dari klen-klen yang dianggap mempunyai sifat keaslian atau asas senioritet. Biasanya ada tiga lapisan sosial. Pada orang manggarai misalnya ada lapisan orang kraeng, lapisan orang ata ehe dan lapisan orang budak. Pada orang Ngada misalnya ada lapisan orang gae meze, lapisan orang gae kisa dan juga lapisan orang budak (azi ana).<br />Lapisan kraeng dan gae meze, adalah lapisan orang bangsawan yang secara khusus terbagi lagi dalam beberapa sub lapisan, tergantung kepada sifat keaslian dari klen-klen tertentu, yang dianggap secara historis atau menurut dongeng-dongeng mitodologi, telah menduduki suatu daerah tertentu lebih dahulu dari klen-klen yang lain. Demikian warga dari klen-klen yang berkuasa dalam dalu-dalu atau glaring-glarang, pada orang Manggarai, termasuk lapisan kraeng.<br />Lapisan ata leke dan gae kisa adalah lapisan orang biasa, bukan keturunan orang-orang senior. Orang ata leke biasanya bekerja sebagai petani, tukang-tukang atau pedagang, walau banyak dari orang bangsawan ada juga yang dalam kehidupan sehari-hari juga hanya menjadi saja. Lapisan budak, yang sekarang tentu sudah tidak ada lagi, adalah dulu<br />1. orang-orang yang ditangkap dalam peperanagn, baik dari sub suku bangsa sendiri, maupun dari suku bangsa lain atau pulau lain<br />2. kecuali itu orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu membayar lagi hutang mereka<br />3. dan akhirnya orang-orang yang dijatuhi hukuman untuk menjadi budak, karena pelanggaran adat.<br />Secara lahir perbedaan antara gaya hidup dari warga lapisan-lapisan sosial itu tidak ada, tetapi dalam sopan santun pergaulan antara mereka ada perbedaan, sedangkan para bangsawan pun mempunyai hak-hak tertentu dalam upacara-upacara adat.<br />Pada masa sekarang pendidikan sekolah telah menyebabakan timbulnya suatu lapisan sosial baru, yang terdiri dari orang-orang pegawai, guru, atau pendeta, sedangkan akhir-akhir ini ada pula beberapa putra flores dengan pendidikan universitas yang tergolong lapisan sosial yang baru itu. Di sini prinsip-prinsip stratifikasi sosial yang bersifat nasional, mulai mempengaruhi stratifikasi sosial di daerah.<br />Sistem kemasyarakatan masing-masing etnis di Flores pada dasarnya hampir sama, hanya beberapa hal saja dan istilahnya saja yang berbeda.<br />• Flores Timur<br />Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. <br />Pelapisan sosial masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku Mehen yang tiba kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari suku Mehen.<br />• Sikka<br />Konon nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke timur dan menetap disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang. Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini.<br />Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisa keluarga maupun nenek moyangnya. <br />Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha. <br />Secara umum masyarakat kabupaten Sikka terinci atas beberapa nama suku; <br />(1) ata Sikka<br />(2) ata Krowe<br />(3) ata Tana ai<br />(4) suku-suku pendatang yaitu: <br />(a) ata Goan <br />(b) ata Lua<br />(c) ata Lio<br />(d) ata Ende<br />(e) ata Sina<br />(f) ata Sabu/Rote<br />(g) ata Bura.<br /><br />• Ende<br />Nama Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende, atau dalam literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat bahwa nama itu mungkin sekali diberikan sekitar abad ke-14 pada waktu orang-orang malayu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni Tjindai sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende.<br />Ende/Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu.<br />Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (teritorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende.<br />Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bangawan menengah disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan budak dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu. <br />• Ngada<br />Pelapisan sosial masyarakat Ngada meliputi pelapisan teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat).<br />Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran.<br />• Manggarai<br />Sub suku bangsa Manggarai telah mengenal suatu sistem organisasi kenegaraan sejak lama yaitu sejak abad ke-17 ketika kerajaan Bima dari Sumbawa Timur menguasai bagian utara dari Flores Barat. Pegawai-pegawai Bima di Reo ialah pusat kekuasaan kerajaan Bima di Flores Barat telah menulis laporan-laporan tentang wilayah Bima di Flores tersebut dalam bahasa Melayu. Dari tulisan-tulisan tersebut kita ketahui bahwa ada suatu kerajaan pribumi Manggarai yang berpusat di daerah Cibal di bagian tengah dari Flores Barat.<br />Dari tulisan-tulisan tersebut kita juga mengetahui bahwa sekitar 1666 orang Makasar mencoba menguasai bagian selatan dari Flores Barat. Penduduk bagian selatan ini katanya sudah banyak yang beragama Islam, hasil usaha penyiaran agama itu oleh imigran-imigran dari Minangkabau. Tahun 1762 kerajaan Bima berhasil juga menguasai Manggarai Selatan dan mengusir orang Makasar bahkan dalam tahun-tahun sesudah itu orang Bima juga berhasil menguasai kerajaan Manggarai asli yang berpusat di Cibal. Namun rupa-rupanya kerajaan Manggarai itu tidak pernah menjadi negara jajahan dari negara Bima.<br />Pada permulaan abad ke-19, pengaruh dan kekuasaan orang Bima di Flores Barat mengalami kemunduran akibat bencana alam hebat yang dialami oleh orang Sumbawa yaitu berupa peledakan Gunung Tambora dalam tahun 1815. orang Manggarai memberontak melawan Bima dan dengan bantuan orang Belanda, mereka berhasil menguasai semua orang Bima dari Flores Barat. Pada permulaan abad ke-20 dalam tahun 1907, Manggarai dijadikan suatu daerah jajahan dan bagian dari Hindia Belanda. <br />Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata).<br />Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). <br />Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat kelahirannya. <br /><br />D. POLA PERKAMPUNGAN<br />Pola perkampungan dari desa-desa kuno itu biasanya merupakan suatu lingkaran dengan tiga bagian, yaitu depan, tengah, belakang. Desa-desa di Flores ( Beo di Manggarai) , dulu biasanya dibangun di atas bukit-bukit untuk keperluan pertahanan dikelilingi dengan sebuah pagar dari bambu yang tingginya dua sampai tiga meter, sedangkan pagar itu seringkali dikelilingi secara padat dengan tubuh-tumbuhan belukar yang berduri.Akan tetapi pada masa sekarang sudah banyak desa-desa yang dibangun di daerah tanah datar di kaki bukit, sifatnya lebih terbuka , pagar sering tidak ada lagi , selain itu susunan kuno tersebut juga sudah sering tidak diperhatikan lagi. Beberapa daerah tertentu ada yang memiliki pola perkampungan dengan ciri khusus, sedangkan daerah lainnya dianggap memiliki pola perkampungan yang menyerupai daerah-daerah tersebut, antara lain:<br />• .Manggarai<br />Di Manggarai misalnya masih ada sebutan khusus untuk bagian depan dari desa adalah Pa’ang, bagian tengah ialah Beo (dalam arti khusus) dan bagian belakang adalah ngaung. Dulu tiap bagian dari rumah ada tempat-tempat keramat, yang merupakan timbunan-timbunan batu-batu besar dan yang dianggap tempat roh-roh penjaga desa dapat turun. Pada masa sekarang biasanya masih ada paling sedikit satu tempat keramat serupa di tengah-tengah lapangan tengah dari desa. Tempat keramat itu biasanya berupa suatu timbunan batu-batu besar yang disusun seperti piramida bertangga dengan beberapa batu pipih tesusun seperti meja di puncaknya. Seluruh timbunan itu yang disebut kota , dinaungi oleh suatu pohon waringin yang besar. Di hadapan himpunan batu itu biasanya ada banguna balai desa yang bersifat keramat dan yang disebut mbaru gendang, kaena didalamnya disimpan sebuah genderang yang keramat.<br />Di Manggarai, rumah kuno berbentuk lingkaran di atas tiang-tiang yang yang tingginya kira-kira satu meter. Atapnya yang dibuat dari lapisan-lapisan ikatan-ikatan jerami itu, berbentuk kerucut yng menjulang tinggi, kadamg-kadang sampai lebih dari lima meter di atas tanah. Ruang di bawah lantai, di kolong rumah dipakai untuk tempat menyimpan alat-alat pertanian dan sebagai tempat ternak seperti babi,kambing,domba dan ayam. Tingkat tengah adalah tempat manusia, sedangkan tingkat atap dianggap bagian yang keramat dari rumah tempat untuk roh-roh, maka di situ disimpan benda-benda keramat dan pusaka, tetapi juga bahan makanan . pada masa sekarang rumah beratap kerucut tinggi itu juga sudah hamper hilang. Orang Manggarai membangun rumah-rumah persegi di atas tiang,dari aneka warna gaya yang di contoh dari lain-lain tempat di Indonesia, sehingga tidak ada lagi bentuk rumah Manggarai yang khas.<br /><br />• Ngada<br />Masyarakat Ngada merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami satu wilayah di kabupaten Ngada, Flores Tengah, provinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya berada di sekitar gunung Inerie dan di dataran tinggi Bajawa. Suku Ngada merupakan salah satu suku terbesar diantara suku-suku lain yang ada di Flores Tengah. Kehidupan masyarakat suku Ngada di perkampungan Wogo, Bajawa sampai saat ini masih melakukan kegiatan yang bisa dikategorikan menjalani tradisi megalitik ( living megalithic tradition ). Pada perkampungan Ngada di desa Wogo Bajawa ini terdapat peninggalan-peninggalan megalitik maupun bangunan-bangunan yang berakar pada penghormatan nenek moyang. <br />Penempatan beberapa perkampungan suku Ngadha merupakan refleksi aktivitas masyarakat suku ngadha akibat dari pemanfaatan lingkungan alam itu sendiri misalnya pemanfaatan lahan perbukitan sebagai lahan pertanian, oleh karena pertimbangan lahan tersebut subur akibat struktur tanah alluvial, disamping itu penduduk Wogo masa sekarang banyak yang menanami lahannya dengan beraneka macam tananam perkebunan dan tanaman pertanian. Hal ini nampak dari adanya tempat tempat menyimpan hasil-hasil pertanian yang ada di dalam rumah maupun mendirikan gubuk-gubuk kecil di luar rumah hunian biasanya didirikan di belakang rumah. Kedekatan dengan hutan sebagai habitat beberapa binatang buruan yang banyak hidup di sana bisa dimanfaatkan sebagai sumber makanan masyarakat. Dengan adanya hasil hutan rakyat ini berbagai hasil kayunya dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah, mendirikan sarana upacara ataupun tiang-tiang bambunya digunakan sebagai sarana mengambil air atau memasak nasi dan beras ketan pada saat diadakannya upacara adat tertentu.<br />Hubungannya landskap dengan pemukiman suku Ngada di perkampungan Wogo ini karena tersedianya bentang lahan yang memadai dalam kaitannya dengan ritus-ritus upacara pertanian atau kematian ataupun perburuan yang mempergunakan jenis-jenis batuan ini untuk sarana upacara tersebut seperti mata uma yaitu sekelompok batu menhir yang digunakan untuk upcara pertanian, kemudian dalam hal pengelolaan hasil pertanian, diambil dari batuan andesit - basalt, watu lanu berupa sekelompok batu tegak dan dolmen yang difungsikan untuk upacara perburuan, sarana penguburan juga mempergunakan batu andesit basalt demikian juga tampak pada pendirian batu - batu tegak sebagai batas perkampungan, dan sebagainya.<br />Pola perkampungan orang Ngada berkelompok dalam keluarga besar dalam rumah-rumah panggung berukuran besar, mengelilingi lapangan luas berbentuk persegi panjang (kisanata). Lapangan tersebut sekaligus berfungsi sebagai areal upacara, permusyawaratan pemuka adat, pengadilan dan sebagainya. Salah satu sisi lebar dari lapangan itu, biasanya didirikan nga'dhu dan bhaha. Nga'dhu adalah simbolisasi / personifikasi laki-laki yang biasanya berujud tiang berukir dan diduga kuat bahwa Nga'dhu merupakan transformasi menhir yang biasanya dibuat dari batu. Sementara itu, bhaha merupakan simbolisasi/ personifikasi perempuan yang diujudkan dalam monumen berupa bangunan miniatur rumah. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Hubungan kekerabatan terlihat pada perkampungannya.<br /><br />• Ende-Lio<br />Pola perkampungan dan bentuk rumah adat tradisional bagi masyarakat Ende-Lio dibangun selalu berkaitan dengan konsep hubungan kekerabatan (Gemen scap), antisipasi terhadap alam lingkungannya dan hubungannya dengan pencipta alam semesta yang dipercayanya. Hal ini dapat dilihat dari acara ritual yang dilakukan di saat membangun rumah adat dan perkampungan tradisional yang masih ada dan berlaku di masyarakat adat termasuk acara seremonial lainnya hingga sekarang. hingga sekarang.<br />Contoh Perkampungan Adat Mole<br />Dalam pembangunan rumah adat dan perkampungan tradisional, pola pemukimannya ditata mengikuti prinsip LINTAS ORBIT TATA SURYA. Setiap kampung adat tradisional memiliki kedudukan dan peran masing-masing, khususnya terhadap tempat dan kedudukan dengan kampung asal. Sedangkan bentuk rumahnya mengikuti budaya perahu.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Lihatlah Bentuk dan Pola Perkampungan Ende Lio<br />Berdasarkan struktur dan pola perkampungan tradisional Ende-Lio memiliki tiga kategori yaitu; Kampung asal (Nua Pu’u); kampung ranting (Kuwu Ria) atau gubuk besar, kampung kecil (kopo kasa) yaitu tempat kediaman di luar kampung asal dengan jumlah penghuni yang kurang. Kuwu ria dan Kopo Kasa wajib mengakui wewenang Religi dan magis/ Ritual pada Nua Pu’u dan wajib melaksanakan perintah yang berasal dari penguasa adat/ Mosalaki di kampung asal (Nua Pu’u). Salah satu pola perkampungan adat yang masih terlihat utuh dapat dilihat di desa Wologai, Kec. Detusoko dimana nampak jelas pola perkampungan dan tata letak bangunan didalamnya. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan keberadaannya dalam kampung tradisional, di dalamnya dibangun berbagai bangunan sesuai kedudukan dan fungsinya. Komponen Pendukung Bangunan-bangunan inilah yang terdiri dari Tubu, Musu, Kangga, Keda, Kuburan dan berbagai aksesoris untuk melengkapi sebuah seremonial kehidupan adat Masyarakat tradisional Ende Lio. <br /><br /><br />Sebagai bagian yang tidak terpisahkan keberadaannya dalam kampung tradisional, di dalamnya dibangun berbagai bangunan sesuai kedudukan dan fungsinya. Komponen Pendukung Bangunan-bangunan inilah yang terdiri dari Tubu, Musu, Kangga, Keda, Kuburan dan berbagai aksesoris untuk melengkapi sebuah seremonial kehidupan adat Masyarakat tradisional Ende Lio. <br /><br />E. RELIGI<br />Keyakinan (religi) terhadap 'Yang Maha Tinggi' merupakan unsur maha penting dalam berbagai kehidupan sehari-hari. Mulai dari bercocok tanam (berladang) hingga perkawinan. <br />Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik. <br />Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran. <br />Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi. <br /> Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores<br />NO KABUPATEN WUJUD TERTINGGI MAKNA<br />1.<br />2. <br />3. <br /><br />4.<br />5. <br />6. Flores Timur<br />Lembata<br />Sikka<br /><br />Ende/Lio<br />Ngadha<br />Manggarai Lera Wulan Tanah Ekan<br />Lera Wulan Tanah Ekan <br />Ina Niang Tana Wawa// Ama Lero Wulang Reta<br />Wula Leja Tana Watu <br />Deva zeta-Nitu zale<br />Mori Kraeng, bergelar: Tana wa awang eta//Ine wa ema eta Matahari-Bulan-Bumi<br />Matahari-Bulan-Bumi <br />Bumi-Matahari-Bulan<br /><br />Bulan-Matahari-Bumi<br />Langit-Bumi<br />Tanah di bawah, langit di atas<br /><br />Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.<br /><br />Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores<br />NO KABUPATEN NAMA TEMPAT KETERANGAN<br />1.<br />2.<br />3.<br />4.<br />5.<br />6. Flores Timur<br />Lembata<br />Sikka<br />Ende/Lio<br />Ngadha<br />Manggarai Nuba Nara <br />Nuba Nara<br />Watu Make<br />Watu Boo<br />Vatu Leva - Vatu Meze<br />Compang – Lodok Menhir dan Dolmen<br />Menhir dan Dolmen <br />Menhir dan Dolmen<br />Dolmen<br />Menhir dan Dolmen<br />Menhir<br /><br />Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritual persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores. <br />Sedangkan di masyarakat Ngada, ditemukan beberapa menhir. Fungsi menhir ini sebagai petunjuk kubur dan pada batu tersebut diabadikan nama – nama mereka yang menunjukkan sekumpulan menhir yang berasosiasi dengan dolmen. Di samping itu fungsi menhir juga digunakan sebagai tanda jumlah musuh yang terbunuh dalam peperangan. Keberadaan bangunan-bangunan pemujaan sangatlah terkait dengan kehidupan religi dan kepercayaan masyarakat Ngada walaupun pada umumnya masyarakat Ngada pada waktu sekarang sebagian besar memeluk agama Katolik. Dengan masuknya ajaran Katolik yang membawa pengaruh pada kehidupan religi mereka, terjadilah akulturasi budaya tanpa meninggalkan dogmatis ajaran Katolik. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci dimana bersemayam arwah nenek moyang, direfleksikan dengan adanya bangunan berundak, tetapi pada saat ini adanya akulturasi budaya yang tercermin dari arah hadap tanda salib pada kubur orang katolik yang memperlihatkan kearah gunung.<br />Agama islam di Flores termasuk minoritas dalam hal jumlahnya dan terbagi atas <br />1. Komunitas Islam asli Flores. <br />Latar belakang mereka yaitu sama-sama penduduk bumiputra yang mula-mula menganut ‘agama asli’ atau meminjam istilah Bung Karno ‘orang kafir’. Dalam buku sejarah, agama asli biasa disebut animisme-dinamisme. Ketika datang agama baru, baik Katolik atau Islam, penduduk mulai konversi alias pindah agama. Agama asli identik dengan kekolotan atau primitivisme karena terkait erat dengan dukun-dukun serta kepercayaan alam gaib yang sulit diterima di alam moderen.<br />Karena sama-sama asli Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan, jemaat Islam ini benar-benar menyatu dengan umat Katolik atau penganut agama asli. Sama-sama diikat oleh adat, budaya, serta keturunan yang sama. Kalau diusut-usut, golongan ini punya hubungan darah yang sangat erat. <br /><br />2. Komunitas Islam pesisir.<br />Mereka ini campuran antara pendatang dan penduduk asli yang sudah bercampur-baur secara turun-temurun. Disebut pesisir karena tinggalnya di pesisir, bekerja sebagai nelayan ulung. Selain itu, mereka pedagang ‘papalele’ hingga pedagang besar.<br />Mereka menganut Islam berkat dakwah para pedagang atau pelaut Sulawesi, Sumatera, Jawa, Sumbawa. Ada juga nelayan Sulawesi yang akhirnya menetap di Flores karena kerap bertualang di laut. Ada tanah kosong di pinggir laut, lantas mereka mendirikan rumah di tempat tersebut. Akhirnya, muncul banyak kampung-kampung khusus Islam di beberapa pesisir Flores Timur.<br />Berbeda dengan Islam jenis pertama (asli Flores), golongan kedua ini benar-benar pelaut sejati. Di beberapa tempat, rumah mereka bahkan dibuat di atas laut. Karena tak punya tanah, namanya juga pendatang, mereka tidak bisa bertani. Kerjanya hanya mengandalkan hasil laut, tangkap ikan, serta berdagang.<br />Maka, komunitas Islam pesisir ini sangat solid dan homogen di pesisir. Kampung Lamahala di Adonara Timur dan Lamakera di Solor Timur merupakan contoh kampung Islam pesisir khas Flores Timur. Di Kampung Baru serta sebagian Postoh (Kota Larantuka) pun ada kampung khusus Islam pesisir. <br />Mereka ini menggunakan bahasa daerah Flores Timur, namanya Bahasa LAMAHOLOT, dengan dialek sangat khas. Perempuannya cantik-cantik, rambut lurus, karena itu tadi, nenek moyangnya dari Sulawesi, Sumatera, Jawa. Tapi ada juga yang agak hitam, sedikit keriting, karena menikah dengan penduduk asli yang masuk Islam.<br />Karena tinggal di pantai (bahasa daerahnya: WATAN), di Flores Timur umat Islam disebut WATANEN alias orang pantai. Sebaliknya, orang Katolik disebut KIWANEN, dari kata KIWAN alias gunung. WATANEN mencari ikan, KIWANEN bertani, hasilnya bisa barter untuk mencukupi kebutuhan orang Flores Timur. Jadi, kedua kelompok ini, WATANEN-KIWANEN tak bisa dipisahkan meskipun berbeda agama.<br />Selain itu, pasar-pasar Inpres di Flores Timur hampir dikuasai secara mutlak oleh muslim pesisir. Mereka juga punya banyak armada kapal laut antarpulau yang menghubungkan pulau-pulau di Flores Timur, Nusatenggara Timur, bahkan Indonesia.<br /><br />3. Komunitas Islam pendatang baru.<br />Berbeda dengan komunitas pertama dan kedua, komunitas ketiga ini pendatang baru dalam arti sebenarnya. Mereka datang, bekerja, dan menetap di Flores Timur, menyusul gerakan transmigrasi pada era 1970, 1980 dan seterusnya sampai sekarang. Ada juga yang pegawai negeri sipil, pegawai swasta, profesional yang bekerja di Flores.<br />Mereka tidak memiliki kampung seperti muslim asli dan muslim pesisir. Kampungnya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya. Komunitas ketiga ini juga tak bisa berbahasa daerah seperti orang Lamahala atau Lamakera. Bahasanya antara lain: bahasa Jawa, bahasa Betawi, bahasa Padang, dan seterusnya. Komunikasi dengan penduduk lokal, tentu saja, dengan bahasa Indonesia. <br />Namun, berbeda dengan Islam pesisir (WATANEN) yang hanya tinggal di kampung-kampung khusus Islam, muslim pendatang baru ini sangat fleksibel. Mereka bisa tinggal di mana saja: kampung Islam, kampung Katolik, pantai, pegunungan, pelosok, kota. Luar biasa luwes.<br />Dokter Puskesmas (PTT), guru-guru SMA/SMP negeri, tentara, polisi, asal Jawa dikenal sebagai muslim pendatang yang sangat luwes. <br />Zaman makin maju. Orang Flores merantau ke mana-mana. Sehingga, tentu saja, komposisi masyarakat akan terus berubah, termasuk tiga jenis Islam di Flores ini.<br />Meskipun demikian penduduk yang sudah memeluk agama, masih percaya kepada dewa-dewa. Dewa tersebut namanya berlainan di setiap daerah, misalnya di Tetum dikenal dengan nama Hot Esen atau Maromak, di Manggarai dengan nama Mori Kraeng, di Dawan dengan nama Uis Nemo, dan di Sikka dikenal dengan nama Niang Tana Lero Wulan. Di daerah Sabu dewa tertinggi sesuai dengan fungsinya dibagi menjadi tiga yaitu:<br /> (1) Deo Wie yaitu Deo pengatur dan pemelihara segala yang diciptakan<br /> (2) Deo Weru atau Pamugi yaitu Deo pencipta alam<br /> (3) Deo menggarru yaitu Deo pengatur keturunan makhluk di dunia. <br />Masyarakat daerah Nusa Tenggara Timur juga mengenal makhluk halus yang baik dan bersifat jahat. Makhluk halus yang baik tentu dari nenek moyang antara lain Embu Mamo di Ende, Naga Golo atau Peo di Manggarai sedangkan makhluk halus yang bersifat jelek yang merugikan orang seperti Fenggeree di Ende, Wango Madera Ai di Sabu dan sebagainya. Kepercayaan Dinamisme juga berkembang di Flores yaitu menganggap sesuatu benda mempunyai kekuatan gaib.<br />Walaupun agama sudah masuk ke wilayah ini sejak abad 16 dan 17 dan terus berkembang sampai sekarang namun faktor kepercayaan asli masih belum hilang di kalangan penduduk, terutama yang tinggal di pedalaman. Kepercayaan di daerah ini erat hubungannya dengan kultus pertanian dan arwah nenek moyang. Dengan hubungannya kepercayaan baru dan agama baru di samping kepercayaaan tradisional, sering timbul dulisme, disatu pihak berdasarkan agama yang dianut, di lain pihak didasari kepercayaan tradisional di dalam upacara-upacara yang dilaksanakan.<br /><br /><br /><br /><br />F UPACARA ADAT<br />Upacara adat yang ada di wilayah Nusa Tenggara Timur sangatlah beragam dimana masing-masing suku memiliki caranya masing-masing, upacara adat tersebut terdiri dari upacara perkawinan, upacara menyambut datangnya panen, upacara pemanggilan hujan dan lain-lain. <br />1. Upacara Kelahiran<br />Kelahiran Pada masa kehamilan di Tetum, merupakan upacara yang bertujuan agar si ibu tetap sehat dan tidak dianggap roh jahat disebut upacara Keti Kebas Metan (mengikat dengan tali benang kitan). Pada peristiwa kelahiran, dukun beranak memegang peranan penting pada peristiwa tersebut ada dua upcara yang penting yaitu pengurusan ari-ari dan pemberian nama bayi. <br /><br />2. Upacara Menjelang dewasa<br />Masa Remaja Setelah anak menjelang dewasa biasanya diadakan serangkaian upacara yaitu cukuran rambut pada masa anak-anak dan sunat bagi laki dan potong gigi untuk wanita yang biasa disebut Koa Ngll. Koa Ngll merupakan upacara potong gigi massal untuk gadis memasuki usia remaja. Upacara ini menandakan gadis-gadis yang telah mengikuti upacara ini telah dewasa dan boleh dipinang untuk membangun rumah tangga.<br /><br />3. Upacara Perkawinan<br />Secara umum, dalam prosesi perkawinan, setelah ada pesuntingan kedua belah pihak, dilanjutkan melalui beberapa tahap, yaitu penukaran, pembayaran belis, dan upacara perkawinan itu sendiri. Pada waktu meminang diperlukan petugas peminang yang disebut Wuna (Wunang), di Sabu disebut Mone Opo Li atas Mone dan di dawan. Belis (maskawin) Setelah pinangan diterima dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu Belis (maskawin). Hal ini merupakan hal penting dari lembaga perkawinan, karena dianggap sebagai Na Buah Ma An Mone (suatu simbol untuk menyerahkan laki dan perempuan sebagai suami istri). Jenis-jenis Belis meliputi emas, perak, uang dan hewan. Di Flores Timur dan Maumere (Sikka), mas kawinnya berupa Gading Gajah. <br />Pemberian mas kawin berupa gading gajah di Pulau Adonara sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi. <br />Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat.<br />Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Adonara (Solor) khususnya dan Flores Timur (Lembata) pada umumnya disebut budaya Lamaholot. Budaya Lamaholot demikian melekat dalam kehidupan masyarakat setempat. Setiap warga Lamaholot juga harus mampu menguasai bahasa daerah Lamaholot dan mengikuti tata krama daerah itu. <br />Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis.<br />Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat. <br />Meski di Adonara atau Flores Timur tidak memiliki gajah, kaum pria tidak pernah gentar memenuhi pemberian mas kawin gading gajah. <br />Sampai tahun 1970-an, gadis Adonara tidak boleh keluar rumah tanpa perlindungan, pengawalan, dan pengawasan pihak keluarga. Mereka bahkan tidak bisa keluar rumah pada malam hari. Dalam masyarakat Adonara, tidak ada perkawinan tanpa gading. Pernikahan gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah. <br />Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading. Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga totalnya menjadi tujuh jenis gading. Kelima jenis gading itu adalah, pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah depa sampai siku), ina umene (setengah depan sampai batas bahu), dan opu lake (setengah depa, persis belah dada tengah). Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan. <br />Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa yaitu satu depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah tangan kanan). <br />Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak melupakan segala hasil kesepakatan bersama. <br />Juru bicara pria bersama orangtua calon pengantin pria selanjutnya mendatangi keluarga wanita. Kedatangan pertama itu untuk menyampaikan niat sang pria menikahi gadis pujaannya. Biasanya pasangan yang saling jatuh hati ini masih memiliki hubungan kekerabatan, yang sering disebut anak om atau tanta. <br />Kedekatan hubungan ini memang direstui dan dikehendaki adat, tetapi sering bertentangan dengan hukum agama. Kalau ada kasus-kasus seperti itu, hal tersebut juga dibahas pada saat koda pake, pembahasan resmi mengenai adat perkawinan antara keluarga besar calon pengantin pria dan keluarga besar calon pengantin wanita. <br />Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua, pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada koda pake itulah disepakati jumlah gading yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan. <br />Penyerahan gading berlangsung pada tahap pai napa. Pada acara ini pihak pria menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan, dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin, rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat memasak sampai piring dan sendok makan. <br />Meski tidak dipatok dalam proses pai napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading. <br />Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading, babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok. <br />Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga wanita tidak menyiapkan "imbalan" sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian. <br />Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya, gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut. <br />Peristiwa seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Gading dalam bahasa Lamaholot disebut "bala". Saat ini jumlah gading yang beredar di Pulau Adonara, menurut Corebima, sekitar 30 batang. Gading makin langka karena banyak pengumpul gading dari luar Flores membeli dari Adonara. Harga satu batang gading di pasaran Rp 5 juta-Rp 50 juta, tergantung dari besar (panjang)-nya. <br />Di Adonara Timur, terdapat satu batang gading dengan lima cabang. Gading itu dinilai keramat. Setiap tahun harus dibuatkan upacara adat, yakni memandikan dan memberi makan minum kepada gading tersebut. <br />Gading seperti itu merupakan simbol kehadiran nenek moyang, sumber kehidupan, kekayaan, dan kesempurnaan hidup, karena itu harus dihormati. Pada malam hari, gading tersebut bahkan dipercaya bisa bercahaya, berbicara, dan bertunas. <br />Mengapa gading menjadi mas kawin utama di Adonara, versinya beragam. Ernst Vatter dalam buku Ata Kiwang (1563) mengemukakan, sebelum menggunakan gading, perkawinan di Pulau Solor dan Alor mirip dengan membeli seorang gadis. Pengantin pria harus membeli pengantin wanita dengan sejumlah uang Belanda dan budak. <br />Setelah belis terbayar semua, lalu diadakan upacara perkawinan, yang di rate disebut Natu Du Sasaok (terang kampung) pada malam biasanya diadakan upacara Nasasu Kak, keduan tidur bersama diatas rumah yang dihiasi dengan selimut.<br />Berikut ini kami sajikan beberapa upacara adat perkawinan dari beberapa daerah antara lain :<br />a) Wanita dan Perkawinan di Fores Timur<br />Kehidupan wanita dalam adat istiadat Lamaholot sangat tinggi nilainya. Wanita merupakan pusat kehidupan masyarakat karena itu harus diperhatikan oleh yang mengelilinginya. Nilai seorang wanita pada mas kawin yang dikonkritkan dalam jumlah dan ukuran gading gajah yang sulit diperoleh. Jenis perkawinan yang sampai saat ini masih dilaksakan ialah:<br />• Perkawinan biasa atau perkawinan Gete daha/pana gete. Perkawinan didahului dengan peminangan resmi oleh klen penerima wanita terhadap klen pemberi wanita dengan urutan-urutan tata cara menurut adat.<br />• Perkawinan Bote kebarek, di Adonara ialah Lakang yaitu perkawinan meminang anak dari kecil (dijodohkan sebagai istri rumah/bandingkan dengan di Alor) jadi wanita pada usia 6 tahun dihantar kerumah laki-laki untuk dipelihara.<br />• Kawin lari karena tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Sang wanita memutuskan untuk lari meninggalkan rumah orang tua, atau gadis atau lari kerumah laki-laki, kemudian urus perkawinannya. Jika ini terjadi, biasanya klen penerima wanita harus menambah nilai tutup malu atas kejadian itu kepada keluarga wanita.<br />• Loa wae menaate. Perkawinan diadakan karena wanita telah hamil sebelum urusan selesai. Jika terjadi tetap didahului dengan pinangan, belis dibayar juga satuan nilai tutup malu atas kejadian itu.<br />• Liwu/Dopo keropong cara untuk menghantar pria ke rumah wanita, ini terjadi pada perkawinan Lela di Adonara, dimana kawin lebih dahulu baru kemudian baru bayar belisnya. Perkawinan cara ini sering dibayar kepada kerabat sendiri/saling utang-piutang dalam klen.<br />• Liwu weki atau Dekip kenube atau lelaki serobot kerumah gadis, sehingga dengan cara agak mendesak orang tua wanita menyerahkan anak gadisnya dalam tangan lelaki. Cara ini juga terjadi di Sikka<br />• Kawin Beneng, dengan menawarkan anak gadis melalui usaha memperkenalkannya ke desa-desa yang jauh agar mendapatkan jodoh, dengan demikian orang tua dapat memperoleh belis yang wajar.<br />• Kawin Bukang, bentuk perkawinan levirat, berlaku anggapan bahwa sang istri setelah perkawinannya menjadi milik suku, sehingga kalau suami meninggal istri dapat dinikahi oleh saudara lelaki kandung atau juga dalam suku yang sama dengan suami.<br />• Perkawinan Wua gelu, merupakan perkawinan yang dilakukan timbal balik antara dua klen. Klen yang satu ditetapkan menjadi klen pemberi wanita dan klen yang lain menjadi klen penerima wanita. Jenis perkawinan ini sangat ekonomis, karena mas kawin berputar dalam klen itu.<br />• Cara Bluwo, perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria beristri dengan seorang gadis, ini terjadi secara terpaksa karena wanita sudah hamil supaya jelas bapak dari anak yang dikandungnya.<br /><br />b) Wanita dan Adat Perkawinan di Sikka<br />Urusan perkawinan antara pria dan wanita merupakan pertalian yang tidak dapat dilepaskan. Hubungan yang menyatu itu terlukis dalam ungkapan Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar (Pertalian kekrabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun temurun.<br />Norma-norma yang mengatur perkawinan ini dalam bahasa hukum adat yang disebut Naruk dua - moang dan kleteng latar yang tinggi nilai budayanya. Ungkapannya antara lain :<br />Dua naha nora ling, nora weling<br />Loning dua utang ling labu weling<br />Dadi ata lai naha letto wotter<br /><br />Artinya:<br />Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga, <br />sedangkan sarung dan bajunya juga mempunyai nilai dan harga, <br />sehingga setiap lelaki harus membayar.<br /><br />Ine io me tondo<br />Ame io paga saga<br />Ine io kando naggo<br />Ame io pake pawe<br /><br />Artinya :<br />Ibulah yang memelihara dan membesarkannya<br />Ayah yang menjaga dan mendewasakannya<br />Dan ibu pula yang memberikannya perhiasan<br />Ayah memberikannya sandang.<br /><br />Ungkapan ini memberi keyakinan bahwa martabat wanita sangat dihargai, oleh karena itu maka pihak klen penerima wanita Ata lai harus membayar sejumlah belis kepada klen pemberi wanita ata dua sesudah itu baru dinyatakan perkawinan seluruh prosesnya syah. Di Sikka /Krowe umumnya bentuk perkawinan adalah patrilinial, sedangkan yang matrilinial hanya terjadi di wilayah suku Tanah Ai di kecamatan Talibura.<br />Tahap-tahap perkawinan dapat dilakukan seraya memperhatikan incest dan perkawinan yang tidak dilarang itu maka ditempulah beberapa tahapan:<br />• Masa pertunangan, semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka selalu disebut dengan unkapan waang tota jarang atau rumput cari kuda atau tea winet (menjual anak/saudari). Seorang gadis dibelis dalam 6 bagian: Kila, belis cicin kawin; Djarang sakang, (pemberian kuda); wua taa wa gete, bagian belis yang paling besar dan mahal; inat rakong, belis lelah untuk mama; bala lubung, untuk nenek; ngororemang (mereka yang menyiapkan pesta).<br />• Perkawinan, sebelum abad 16 di desa Sikka/Lela perkawinan biasanya hanya diresmikan di Balai oleh raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata pelantikan dari raja, wawi api - ara pranggang, kata-kata yang diucapkan adalah:<br />Ena tei au wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan<br />wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak<br />miu ruang dadi baa nora, jadikanlah kamu istri<br />lai, dan suami<br />lihang baa nora lading, dan terikatan seluruh keluarga<br />gae weu (eung) miu ara, makanlah kamu nasi ini<br />pranggang, agar menjadikan istri dan<br />dadi baa wai nora lali, suami minulah saus daging<br />minu eung wawi api, ini agar eratlah<br />genang lihang nora ladang, seluruh keluarga.<br />Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh tuan tanah/raja kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-ungkapan di atas tetap dipakai namun proses penikahan sesuai dengan aturan agama Katolik dan diberkati oleh Pastor. Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka/Krowe:<br />1. Kela narang, pendaftaran nama calon pengantin di kantor Paroki yang dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga.<br />2. A Wija/A Pleba, keluarga ata lai melaukan kegiatan mengumpulkan mas kawin secara bersama-sama dengan keluarga<br />3. Di pihak ata dua terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis kue tradisional yaitu bolo pagar dan mendirikan tenda pesta<br />4. Sebelum ke gereja keluarga berkumpul di rumah mempalai wanita. Keluarga penerima wanita atau ata lai bertugas menjaga kamar pengatin. <br />5. Tung/tama ola uneng, acara masuk kamar pengantin jam 21.00-22.00 malam diiringi kedua ipar masing-masing. Pengatin pria/wanita di hantar ke kamar oleh Age gete dengan nasehat kalau sudah ada di kamar bicara perlahan-lahan<br />6. Weha bunga sekitar jam 05.00 pagi para pengawal kamar pengantin, ae gete dari Keluarga ata lai menaburkan bunga pada kamar pengantin sebagai lambang harum semerbak bagi kedua pengantin. <br />c) Perkawinan Adat Masyarakat Ende<br />Proses perkawinan pada masyarakat Ende ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:<br />1. Mbane ale, proses melamar oleh seorang pandai bicara dari utusan keluarga laki-laki.<br />2. Ruti nata, proses peminangan secara resmi oleh keluarga laki-laki di rumah calon mempelai wanita. Pada acara ini keluarga laki-laki membawa ruu tau jaga tau rate, oleh orang Lio umumnya menyebutkan sebagai bagian belis pertama.<br />3. Tu ngawu, mengantar belis yang telah disepakati bersama ke rumah keluarga calon mempelai wanita. <br />4. Ka are denge, pria memasuki memasuki rumah orang tua perempuan dihantar oleh keluarga laki-laki untuk pengaturan perkawinannya. <br />5. Pernikahan dimulai dengan antaran yaitu:<br />• Weli weki, pembayaran untuk harga diri calon pengantin perempuan berupa lima Liwut yaitu (gumpalan) mas, dan lima ekor hewan besar. <br />• Buku berupa balas jasa atau buku taga merupakan pembayaran untuk mama kandung perempuan berupa seliwu seeko, selimut mas dan seekor binatang besar. <br />• Buku ame kao, pembayaran untuk bapak calon pengantin perempuan berupa mas dan seekor binatang besar. <br />• Bayar belis untuk ata godo orang yang dulu membayar belis mamanya. <br />• Belis untuk puu kamu atau om kandung berupa hewan besar. <br />• Ame ona dan ame loo yaitu belis untuk bapak besar dan bapak kecil. <br />• Terkhir belis untuk nara saudara kandung gadis disebut jara saka tumba sau dalam Binatang dan uang.<br /><br />d) Perkawinan Adat Masyarakat Ngada<br />Perkawinan di wilayah kabupaten Ngada berbentuk patriachat (Nagekeo, Soa, dan Riung, sebagian masyarakat Ngada di Todabelu). Perkawinan ini dilakuakan tanpa belis, seluruh biaya perkawinan ditnaggung oleh klen perempuan, pola pemukiman pasca nikah pun dirumah wanita karena yang akan mewarisi harta kekayaan klennya, apalagi kalau cuma satu-satu putri tunggal. <br />Perkawinan patriachat selalu didahului oleh peminangan bere tere/nio manu/idi weti, masuk minta. Masuk minta dilakukan oleh klen laki-laki ditemani bibinya membawa tempat siri pinang atau kepe oka. Acara ini biasanya dilakukan pada saat pesta reba, puru witu. Jika hantaran kepe oka ditolak oleh klen wanita artinya lamarannya ditolak. Seluruh rangkaian acara pinangan disebut Beret ere oka pale, bheku mebhu tana tigi, idi tua manu. Sistim perkawinannya antara lain:<br />• Kawin masuk<br />Kawin masuk, Perkawinan ini dapat dikatakan menganut prinsip matrilinial. <br />dengan alasan utama anak wanita satu-satunya sebagai pewaris kekayaan <br />keluarga. Kawin masuk disebut dora rai manu atau kawo api maata pengura-<br />pan dengan dara ayam. Ada anggapan sementara orang bahwa kawin masuk<br />sebenarnya laki-laki diperbudak oleh perempuan.<br />• Kawin keluar<br />Kawin keluar, jenis ini dinamai weli (belis) sehingga hak perempuan berpindah<br />ke rumah suami. Hal ini terjadi di Nagekeo, Riung. Untuk kesatuan adapt Ngada<br />hanya di dua desa kecil yaitu Feo dan Soa. Pada sistim ini muncul juga bentuk<br />balas jasa untuk keluarga wanita.<br />• Perkawinan adat<br />Kawin adat, adalah suatu bentuk perkawinan yang bias disebut terang kampong.<br />Perkawinan ini dinyatakan syah apabila disertai acara zera (peresmian adat).<br />Yang dalam adat Nagekeo ialah beo sao atau teo tada.<br />• Perkawian berdasarkan atas kasta<br />Perkawian berdasarkan pelapisan social, jenis perkawinan semacam ini terlarang <br />sekali seorang gadis dari tingkat atau golongan gae (golongan bangsawan) kawin<br />dengan laki-laki dari golongan yang bukan gae. Sebaliknya dari pemuda golongan gae dapat menikah dengan wanita dari golongan yang bukan gae, tetapi keturunan dari perkwinan ini tidak tergolong dalam kedudukan social dari sang ayah, melain kan lebih rendah dari sang ayah. Kejadian perkawianan laki-laki kasta bawah de ngan wanita kasta atas disebut laa sala page leko, sehingga harus dihukum dan di usir keluar kampung.<br />• Perkawinan atas dasar keturunan<br />Perkawinan menurut keturunan, disebut perkawinan yang berdasarkan sepupu (anak om dan tante).<br /><br />e) Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai<br />Perkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda-pemudi. Kalau antara pemuda-pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluraga si gadis. Dalam hal itu keluarga si gadis biasanya akan meminta suatu mas kawin (paca) yang tinggi dengan sejumlah kerbau dan kuda; sedangkan mereka akan juga memberi kepada si keluarga pemuda sebagai imbalan suatu pemberian yang besar juga. Hubungan yang terjadi antara keluarga yang seperti itu, ialah antara keluarga pihak pemuda sebagai penerima gadis (anak wina) dan pihak pemuda sebagai pemberi gadis(anak rona) adalah biasanya amat formil.<br />Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sring juga di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku. Pada perkawinan tungku biasanya tidak dibutuhkan suatu paca yang besar. Mas kawin itu biasa yang dianggap sebagai syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak ronad di dalam hal ini juga bersifat amat bebas seperti antara adik dan kakak saja.<br />Suatu bentuk perkawinan lain yang juga sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas kawin yang tinggi adalah kawin lari atau kawin roko dilakukan dengan pengertian antar kedua belah pihak, sebagai syarat adat atau sebagai perbutan pura-pura untuk menutup rasa malu atau rasa canggung bagi keluarga yang tidak mampu membayar paca tinggi. Walaupun demikian sampai sekarang masih ada juga perkawinan roko yang tidak dilakukan sebagai perbuatan pura-pura atau untuk syarat saja, tetapi sebagai kawin lari yang sungguh-sungguh, karena pihak si gadis tidak menyetuju dengan perkawinannya. Dalam pada itu ada anggapan bahwa kemarahan dari pihak si gadis sudah reda dan bahwa mereka sanggup untuk menerima ucapan maaf dan sekalian menerima permintaan lamaran dari pihak keluarga si pemuda. Walaupun pada perundingan yang terjadi pihak keluarga si gadis untuk menahan harga diri, tetap minta paca yang sangat tinggi, dalam hal iti toh tidak dipenuhi, karena dalam kenyataan si pemuda toh sudah hidup di antara keluarga si pemuda.<br />Seorang pemuda yang tidak mampu membayar mas kawin, sering juga melakukan cara lain untuk tetap bisa mengawini gadis idamannya, ialah dengan cara bekerja pada orang tua gadis untuk suatu jangka waktu tertentu. Bentuk perkawinan ini di Manggarai disebut perkawinan duluk.<br />Perkawinan adat lain yang tidak sering terjadi adalah perkawina levirat. Dalam hal itu seorang diminta mengawini janda dari adik atau kakak laki-lakinya yang meninggal. Perkawinan levirat atau perkawinan liwi dalam bahasa Manggarai, tidak membutuhkan syarat paca. Sebaliknya perkawinan sororat, atau timu lalo dalam bahasa Manggarai, membutuhkan prosedur lamaran yang baru dengan syarat paca yang juga tinggi.<br />Adat menetap sesudah niakah Manggarai pada khususnya dan di flores pada umumnya, adalah virilokal. Adapun poligini merupakan suatu gejala yang jarang di flores, apalagi sekarang, karena suatu persentase besar dari penduduk Flores beragama Katolik. Juga pada khususnya di Manggarai poligini dulu hanya dilakukan oleh beberapa keluarga orang bangsawan, tetapi jarang oleh penduduk pada umumnya.<br />Secara garis besar di Manggarai dikenal beberapa jenis perkawinan antara lain:<br />1) Perkawinan antar pelapisan social tingkat atas didasarkan atas kesepakatan orang tua untuk melanjutkan kekuasaan. Besarnya belis tidak merupakan lambang pemabayaran wanita tetapi penghargan kepada orang tua wanita yang telah membesarkannya.<br />2) Perkawian pelapisan menengah, biasanya diputuskan oleh pemuda dan pemudi itu sendiri tanpa (kadang-kadang) mengikuti sertakan orang tua dalam pemilihan jodoh.<br />3) Perkawinan tungku salang, perkawinan yang terjadi karena memiliki hubungan dara misalnya anak laki-laki dari tante dapat dinikahkan dengan anak perempuan dari om<br />4) Perkawian tungku kala adalah jenis perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan hu bungan dara.<br />5) Perkawinan silih tikar ganti tikar ialah jenis perkawinan sororat dan levirat.<br />Proses perkawinan bagi orang Manggarai pada umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:<br />1) Tahap perkenalan yang disebut dengan toto, maka keluarga laki-laki berkumpul untuk mempersiapkan untuk meminang gadis. Perempuan yang menentukan pokok-pokok pembicaraan.<br />2) Tei hang ende agu ema (persemabahan), ada satu kebiasaan malam menjelang pemina ngan diadakan upacara persembahan kepada nenek moyang agar diberkati perjalanan hidup mereka.<br />3) Taeng, peminangan dilakukan melalui tongka juru bicara masing-masing, dilanjutkan dengan pemberian belis sebagai tanda ikatan.<br />4) Nempung, umber, merupakan acara perkawinan pihak keluarga laki-laki menghantar seluruh belis yang diminta.<br /><br />4. Upacara Kematian<br />Upacara Kematian Menurut kepercayaan mereka kematian adalah berpindahnya dari dunia ramai kekehidupan gaib. Untuk pesta kematian ini dikorbankan sajian berpuluh-puluh ekor sapi, kerbau dan babi Rangkaian upacara meliputi beberapa tahap : Adat meratap, yaitu menangis dimuka mayat yang dilakukan oleh wanita. Adat memakan mayat, yaitu memakan mayat selama beberapa hari sebelum dikubur. Merawat mayat, sebelum dikubur mayat dimandikan terlebih dahulu, kemudian diberi pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran.<br />Upacara waktu penguburan, tempatnya didekat rumah, untuk laki disebelah barat dan perempuan disebelah timur. Upacara setelah penguburan, malam harinya diadakan pesta besar-besaran dengan membunyikan bunyi-bunyian dan tari-tarian.<br /><br /><br />5. Upacara Pembangunan Rumah<br />Dalam melaksanakan pembangunan rumah adat, pertama kali akan dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat untuk memperoleh kesepakatan. Sehari sebelum upacara pembangunan rumah dimulai, masyarakat melangsungkan upacara Maalaba yaitu penghormatan kepada tetua adat yang nantinya akan berperan dalam proses pembangunan rumah. Upacara ini dilanjutkan dengan acara makan bersama. <br />Dalam pelaksanaan upacara dipersiapkan terlebih dahulu sesajian yang terdiri atas pisang, tebu, dan seekor anak babi. Selanjutnya anak babi ditusuk dengan benda tajam dan darahnya ditampung dalam wadah. Darah tersebut kemudian dipercikan kepada bagian-bagian rumah agar roh-roh leluhur memberkati pembangunannya dan mengusir roh-roh yang jahat. Anak babi kemudian disembelih dan bagian-bagiannya diberikan kepada tetua adat untuk diperiksa apakah terdapat tanda-tanda boleh atau tidaknya pembangunan rumah diteruskan.<br />Setelah dinyatakan boleh, kemudian anak babi tersebut dikuliti, dimasak dengan cara dibakar. Upacara dilanjutkan dengan acara makan bersama sambil minum tuak. Dalam acara doa bersama, mereka berharap mendapatkan restu dan petunjuk agar berhasil dalam membangun rumah mereka. Dalam bentuknya lebih miniatur, simbol bhaga atau ngadu dapat dilihat pada atap rumah yang berstatus "rumah adat".<br /><br />6. Upacara Penutupan Bulan Maria<br />Dalam upacara ini tampak patung Bunda Maria diarak di atas perahu kecil yang dipikul empat orang diiringi doa Rosario dan tarian khas Flores menuju gereja. Sebelum memasuki gereja, arak-arakan berhenti sejenak di tiap kabupaten, seperti Kabupaten Flores Timur, Ende, Bajawa, Manggarai, dan Maumere. Ini sebagai simbol umat yang disatukan oleh Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Prosesi seperti ini biasa dilakukan umat Katolik di NTT. <br />Setelah diletakkan di atas altar, patung Bunda Maria mendapat penghormatan terakhir. Permohonan dari perwakilan beragam etnis disampaikan sebagai wujud persatuan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Bulan Maria biasanya diperingati tiap Oktober. Pada awal dan akhir bulan biasanya diselenggarakan upacara Bulan Maria oleh tiap umat Katolik di penjuru dunia. Berdasarkan tradisi gereja, bulan tersebut memang dikhususkan untuk menghormati Maria.<br /><br />7. Upacara Adat di Sampar<br />Upacara ini dilakukan di desa Sampar yang berkaitan dengan perayaan atas selesainya rumah adat yang baru yang juga bentuknya diilhami oleh sarang laba-laba. Perayaan ini dimeriahkan dengan Permainan kesenian yang disebut Caci, di mana 2 orang laki-laki akan saling berhadapan, seorang dengan senjata cambuk dari kulit kerbau akan berusaha memukul lawannya yang akan bertahan dengan menangkis menggunakan sebuah tameng kulit dan sebuah tongkat rotan. <br />Pukulan hanya dibolehkan sekali dan kemudian ganti posisi, si pemukul akan berganti menjadi pihak yang bertahan dan sebaliknya, laki-laki yang tadi bertahan sekarang menggenggam cambuk kulit. Jarang sekali cambukan tersebut mengena karena kelihaian mengkis, tapi sekali kena, cukup bikin kulit peserta robek. Permainan ini diikuti oleh 2 kelompok dengan pemain yang bergantian maju tampil ke gelanggang.<br /><br />8. Upacara Iyegerek<br />Lamalera, berhadapan dengan Laut Sawu, merupakan jalur migrasi paus. Dari 30 jenis cetacean–nama kolektif paus dan lumba-lumba di Indonesia– 14 spesies di antaranya bermigrasi melewati Sawu, yang memiliki palung. Termasuk di antaranya adalah paus biru dan paus sperm yang langka dan paus orca, yang oleh masyarakat setempat disebut menyebutnya seguni.<br />Potensi ikan di Laut Sawu memang menjanjikan. Data Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut 1999 menyebutkan Sawu memiliki potensi ikan sebanyak 388 metrik ton per tahun. Potensi itu terdiri dari ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, udang, kepiting, dan cumi-cumi.<br />Warga Lamalera, dikenal sebagai pemburu paus yang tangguh, memilih sperm sebagai buruannya. Paus hasil buruan, menurut adat, dibagikan kepada sejumlah warga. Terutama kepada tuan tanah, lamafa (juru tikam), rumah adat, matros (anak buah kapal), dan pemilik perahu.<br />Lamalera terbagi menjadi dua desa, yaitu Lamalera A (Atas), dan Lamalera B (Bawah). Masing-masing desa memiliki tuan tanah. Tuan tanah adalah keturunan orang yang pertama kali datang ke Lamalera. Sehingga merekalah pemilik tanah seluruh desa. Sedangkan daging paus ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari. Seukuran telapak tangan orang dewasa, misalnya, bisa ditukar dengan sebatang rokok.<br />Begitu tersiar kabar paus ditangkap, berbondong-bondong orang gunung yang pekerjaannya bertani turun ke pantai. Mereka membawa hasil bumi berupa ubi dan jagung untuk ditukar dengan daging paus.<br />Daging paus yang tersisa dikeringkan dan disimpan. Ia merupakan urat nadi kehidupan Lamalera. Karena itu, setiap awal musim turun ke laut (lefa), masyarakat melakukan upacara adat yang disebut iyegerek. Tujuannya untuk memanggil ikan di laut.<br />Upacara ini dimulai dari “batu paus” di atas gunung. Untuk mencapai batu paus dibutuhkan dua jam perjalanan kaki. Upacara dipimpin Gabriel Fujon, dari klan tuan tanah Langofujo. Pesertanya enam orang, dua menenteng tombak, dan empat lainnya mengikuti dengan ikat kepala daun turi. Di batu paus mereka memecah telur sambil merapalkan mantra. Kemudian mereka turun dari gunung menuju laut, dan tidak boleh menoleh.<br />Dalam perjalanan, mereka mampir ke rumah adat Fujon. Di sini mereka makan sirih pinang sembari menenggak tuak. Setelah itu mereka menuju laut. Sebelum ke laut rombongan itu mampir ke rumah adat Bataona, 50 meter dari pantai. Mereka kembali makan sirih dan menenggak tuak.<br />Perjalanan dilanjutkan ke laut. Empat orang bermahkota daun turi menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu mentas dari laut.<br />Setelah upacara iyegerek, mereka menggelar misa arwah pada sore harinya. Selama perayaan misa arwah, nelayan pantang melaut. Misa dilaksanakan di pantai, di depan Kapel Santo Petrus. Upacara dipimpin Pastor Jacobus Dawan. Pada sore hari masyarakat berkumpul memperingati arwah nelayan yang telah berjuang selama hidupnya demi kebutuhan keluarga. Pastor Yacobus membuka misa arwah.<br />Setelah serangkaian acara, misa ditutup dengan doa khusus untuk arwah. Masyarakat Lamalera percaya, jika jenazah mereka yang hilang tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah. <br />Untuk meredam kemarahan arwah, maka dilakukan penguburan kerang besar sebagai pengganti. Dan juga dikirim doa lewat misa arwah di depan Kapel Santo Petrus. Kapel di pantai itu, menurut Pastor Jacobus, dibangun agar nelayan selalu ingat dengan Santo Petrus sebelum melaut. Santo Petrus adalah pelindung masyarakat Lamalera. Dia murid Yesus yang pekerjaannya nelayan.<br />Di depan kapel itu pula, setiap 1 Mei digelar misa lefa. Misa ini menandai musim turun ke laut. Upacara ini juga dipimpin Pastor Jacobus Dawan. Ia membeberkan kisah Santo Petrus, yang tidak mendapatkan ikan saat melaut. Upaca berlanjut dengan pemberkatan laut dan perahu. Pastor memercikkan air pada peledang Praso Sapang. Usai diberkati, peledang didorong ke laut. Layar yang terbuat dari daun pandan dikembangkan. Musim lefa resmi dibuka. Selanjutnya pastor memberkati 18 peledang yang tertambat di pantai satu per satu.<br />Sejak itu, masyarakat selalu mengawasi Laut Sawu. Jika mereka melihat semburan paus, maka mereka akan berteriak “baleo, baleo…” bersahut-sahutan di seantero desa. Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar raksasa samudra itu.<br />Dalam perburuan hari pertama, pada 2 Mei, mereka mendapat tiga ekor paus. Hasil itu mengakhiri masa paceklik selama dua tahun. <br />Penting untuk memberikan pengertian pada masyarakat untuk melestarikan paus. Caranya dengan memberdayakan tokoh-tokoh masyarakat agar memberikan penyadaran. Misalnya, ditetapkan tahun ini jatah paus yang boleh diburu empat ekor dengan panjang minimal 15 meter.<br />Paus dengan panjang lebih dari 15 meter adalah yang tua. Sehingga tidak produktif lagi. Karena itu bisa diburu untuk dikonsumsi. Jika yang diburu yang muda, apalagi yang sedang hamil, maka akan mengganggu kelestarian paus. Paus itu beranak setahun sekali, dan anaknya cuma satu.<br />Karena itulah, kearifan lokal sangat penting untuk menjaga paus. Misalnya, masyarakat Lamalera pantang memburu paus biru. Menurut ceritanya, karena pernah menolong orang. Pernah suatu ketika, ada yang nekat menangkap paus biru. Dagingnya tidak laku dibarter. Ibu-ibu melarang peralatan dapurnya digunakan memasak daging paus biru. Namun setelah dicampur dengan daging paus lainnya baru laku dijual.<br />Paus biru (Balaenoptera musculus) adalah binatang terbesar di dunia. Beratnya mencapai 130 ton –hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter. Paus biru dilindungi sejak 1967.<br />Nelayan Lamalera sangat mudah membedakan paus biru dengan sperm. Paus biru semburannya lurus ke atas. Sedangkan sperm tidak. Jadi, meskipun menjadi area berburu paus, Laut Sawu bisa menjadi surga bagi paus biru yang tidak bergigi itu. Paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut atau baleen sebagai pengganti gigi.<br /><br />9. Takung<br />Takung (persembahan), yakni upacara persembahan hewan kurban bagi penunggu tanah agar memperlihatkan arwah para korban. Selain itu meminta kepada arwah korban untuk memperlihatkan dirinya agar mereka bisa dikuburkan sesuai adat. Upacara adapt ini dilakukan dengan menyembelih seekor kambing.<br /><br />10. Upacara Giit Mendong<br />Inti upacara adat yang sering dilaksanakan dalam setiap perayaan kemasyarakatan di Kabupaten Sikka ini, yakni meminta kehadiran arwah nenek moyang masyarakat Sikka untuk merestui setiap perayaan yang dilakukan.<br /><br />11. Tradisi Megalitik di Flores<br />Pulau Flores yang terdiri dari berbagai suku bangsa, mempunyai kekayaan sejarah dan budaya yang tinggi. Daerah ini menjadi obyek penelitian yang menarik bagi para etnolog dan arkeolog. Pulau Flores dan pulau-pulau kecil disekitarnya mulai dari ujung barat sampai ujung timur mengandung peninggala-peninggalan baik yang berujud budaya materil maupun nilai-nilai tradisi yang berakar sejak zaman dulu.<br />Salah satu tradisi yang masih berakar kuat dan menonjol dalam sistem perilaku budaya sehari-hari adalah tradisi megalitik di beberapa sub etnis Flores. Misalnya, tradisi mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan pemujaan bagi arwah leluhur. Dalam buku, "Aneka Ragam Khasanah Budaya IV" yang dikeluarkan Dirjen Dikti tahun 2000 ditulis bahwa tradisi pendirian bangunan megalitik sebagai ujud penghormatan (kultus) terhadap para leluhur dan arwahnya berawal sejak sekitar 2500 - 3000 tahun lalu dan sebagian diantaranya masih berlangsung sampai sekarang.<br />Dampak pendirian monumen-monumen tradisi megalitik itu tradisi megalitik itu begitu luas mencakup aspek simbolisme, pandangan terhadap kosmos (jagat raya), asal mula kejadian manusia, binatang dan sebagainya. Upacara doa dan mantra, serta berbagai media untuk mengekspresikan simbol-simbol secara fisik dalam kebersamaan.<br />Tradisi megalitik yang berkembang di Pulau Flores awal pemunculannya, tampak pada sisa-sisa peninggalan seperti rancang rumah adat dan monumen-monumen pemujaan terhadap arwah leluhur, termasuk seni ragam hiasnya. Tampak juga pada upacara pemujaan termasuk prosesi doa mantra, pakaian, pelaku seni, seni suara dan tari serta perlengkapan-perlengkapan upacara (ubarampe) dan sebagainya.<br />Tradisi megalitik pun tampak pada tata ruang, fungsi, konstruksi serta struktur bangunan. Tak ketinggalan pada upacara siklus hidup mulai dari lahir, inisiasi, perkawinan dan pola menetap setelah perkawinan dan kematian, penguburan serta perkabungan. Sudah tentu juga berkaitan dengan upacara untuk mencari mata pencarian, seperti pembukaan lahan, penebaran benih, panen, berburuan, pengolahan logam dan sebagainya, serta pembuatan benda-benda gerabah, tenun dan senjata.<br /><br /><br /><br /><br />12. Nyale<br /><br /><br /><br />Masyarakat Wanukaka yang menyelenggarakan nyale ini di awal bulan Maret, telah melakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan di rumah masing-masing, malam sebelum nyale.<br />Potong ayam dan membuat ketupat, salah satu ritual yang wajib dilaksanakan masyarakat Wanukaka. Seperti juga di salah satu rumah warga Kampung Ubu Bewi ini. Sebab ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola. Sebagai pertanda, untuk melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola. <br />Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak, ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, seperti menderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia. <br />Ketika malam semakin larut, para rato dari Suku Ubu Bewi, yang bertugas mengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaian kebesaran rato. Atau dalam bahasa Wanukaka disebut rowa rato, untuk berdoa diatas batu kubur, menghadap ke arah bulan purnama. <br />Dengan menghadap ke arah bulan purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaan gelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyale atau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh, memulai perburuannya.<br />Ternyata menangkap nyale tidak sesulit yang dibayangkan. Tidak perlu susah-susah mencarinya hingga ke bagian laut yang agak dalam. Cukup di tepi saja, kita sudah dapat menemukan sekumpulan nyale. <br />Sesungguhnya nyale merupakan acara inti, dari serangkaian upacara adat yang dilakukan masyarakat pada bulan Pasola. Kehadiran nyale, harus dirayakan dalam bentuk perayaan, yakni atraksi Pasola. Bagi masyarakat agraris seperti di Wanukaka ini, kedatangan nyale juga punya kaitan erat, dengan hasil panen di daerah mereka. Semakin banyak nyale yang muncul, kian besar juga kemungkinan hasil panen akan berjalan baik.<br />Asal usul adanya nyale dan Pasola bermula dari cerita rakyat Waiwuang. Konon, ribuan tahun silam hiduplah tiga orang bersaudara dari Desa Waiwuang. Mereka pergi melaut selama berbulan-bulan. Karena tak kunjung pulang, salah satu istri mereka menikah dengan pria lain. Ternyata ketiga pria itu kembali dan menemui kenyataan, istri dari salah satu pria itu menikah dengan orang lain. Mereka sempat merasa dipermalukan, namun toh akhirnya selesai secara damai. Dengan sejumlah persyaratan antara lain sang istri dan suami barunya, harus menyediakan satu bungkus nyale hidup. <br />Atas dasar hikayat ini, tiap tahun warga mengadakan bulan nyale yang diakhiri pesta Pasola. Lucunya, tidak semua warga tahu mengapa ada nyale. Terutama generasi mudanya. Bagi mereka, ini adalah saatnya bersenang-senang. Sebuah selingan dari rutinitas sehari-hari.<br />Setelah nyale menghilang dari pantai, perburuan pun usai. Para pria berkuda berdatangan ke pantai. Mereka akan melakukan Pasola. Ini bukanlah Pasola inti. Hanya berlangsung tak lebih dari 2 jam, Pasola ini semacam pemanasan menuju ke atraksi yang sesungguhnya. Pasola di lapangan nan luas.<br /><br /><br />13. Pasola<br /><br />Pasola berasal dari kata `sola' atau `hola', yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.<br />Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.<br /><br />Skandal Janda Cantik<br />Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka. Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum' Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.<br />Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya. Sementara ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita.<br />Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. "Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi," jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.<br />Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.<br />Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.<br />Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.<br />Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.<br />Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum' perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri.<br />Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.<br />Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagu kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.<br />Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.<br />Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Olehnya pemerintah turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu `mayor event'.<br /><br />14. Etu<br />Etu adalah sebutan dalam etnis Nagekeo / Sagi adalah sebutan dalam suku Ngadha merupakan atraksi tinju tradisional dengan manampilkan jago-jago dari kampung masing-masing untuk mengadu kekuatan dan ketangkasan masing-masing peserta. Atraksi ini berlangsung dalam arena yang dibuat di tengah kampung. Tiga hari sebelum pertandingan diadakan ritual adat memohon kekuatan untuk peserta tinju. <br /><br />15. Toalako<br />Toalako merupakan kegiatan yang diadakan pada musim panas mengatraksikan kemampuan binatang peliharaan yaitu kuda dan anjing serta peralatan berburu (misalnya tombak / tuba dan bhou) dalam menangkap binatang buruan yaitu : rusa dan babi hutan (celeng). Hasil tangkapan ini disantap secara bersama di lokasi (loka) yang telah disediakan oleh masing-masing suku. <br /><br />Even pariwisata dan seni budaya di bulan Januari berupa `Pesta Reba` atau pesta tradisional (adat) untuk menyambut Tahun Baru di Kabupaten Ngada. Pesta itu ditandai dengan makan ubi bersama disertai tarian-tarian tradisional. Sesekali diramaikan dengan tinju tradisional.<br />Even di bulan September berupa festival panen kacang hijau untuk memperingati leluhur dengan cara berpantun dan menyanyikan lagu-lagu daerah di Lembata dan "Loka Po`o" atau upacara penyambutan datangnya musim tanam padi di Kabupaten Sikka.<br />Khusus di bulan Oktober terdapat lima even pariwisata dan seni budaya yakni pacuan kuda di Kabupaten Belu, Tarian Caci di Kabupaten Manggarai Barat, lomba mancing di Tablolong Kabupaten Kupang dan Upacara Riput atau proses pembuatan tenun ikat yang diadopsi dari adat India.<br />Diakhir tahun, dilaksanakan pertunjukan sendratari tradisional di Kabupaten Sikka yang menceritakan tentang putri raja Prinseja yang dilamar oleh Maskadar, saudagar Portugis. Juga perayaan HUT Provinsi NTT 20 Desember.<br /><br />F. PRODUK BUDAYA<br />1. Rumah Adat<br />Rumah tradisional Flores telah lama menjadi perhatian para peneliti dari luar Indonesia. Menurut para ahli itu rumah tradisional dikategorikan dalam boat communities karena adanya kemiripan dengan bentuk tertentu dari bagian perahu, seperti beberapa rumah tradisional Flores di Lio Moni,Ende dan Manggarai.<br />Rumah tradisional berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari alang-alang merupakan pusat kegiatan masyarakat tradisional. Mulai dari tidur sampai memasak dilakukan di dalam rumah. Hal tersebut disimbolkan dalam bentuk tiang rumah yang disebut dengan ni ainaf atau tiang feminin. Tiang lainnya disebut hau monef atau tiang maskulin. <br />Rumah tradisional ini dilengkapi dengan tempat persembahan yang disebut dengan hau monef. Rumah tradisional ini memiliki nama yang berbeda-beda. Di Alor disebut tofa dan di Ende disebut dengan saoria. Biasanya hanya keluarga inti yang menempati rumah tradisonal ini. <br />Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa rumah tradisional yang terdapat di Lio Moni, daerah dataran tinggi yang jauh letaknya dari laut, serta tidak mempunyai sejarah maupun legenda yang menunjukkan hubungan dengan laut atau perahu, hanya mempunyai kemiripan dengan perahu dalam hal bentuk saja. Hal tersebut terjadi bukan karena adanya hubungan dengan budaya laut. Sedangkan pada rumah tradisional di daerah pesisir, ditemukan adanya legenda tentang nenek moyang mereka yang memang dahulu adalah pelaut. <br />Pada masyarakat demikian memang ada pencitraan perahu, misalnya yang nampak pada bentuk dan penamaan bagian-bagian tertentu rumah, penyebutan tokoh pemuka kampung yang diambil dari sebutan yang dikenal di perahu, keletakan serta orientasi kampung yang meniru perahu.<br />Konsep rumah adat orang Flotim di Flores Timur selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi). <br />Rumah tradisional di Ngada disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.<br /><br />2. Pakaian Adat<br />Pakaian tradisionil di daerah flores mengenal 2 (dua) jenis pakaian yaitu pakaian yang dikenakan kaum laki dan wanita. Pada masyarakat Lama Holot pakaian wanita disebut Kwatek dan pria disebut Howing. Pakaian wanita di Manggarai, mengenakan mahkota dengan berbagai bentuk. Sedangkan kaum prianya mengenakan destar. Berikut berbagai pakaian adapt di Flores yaitu<br /><br /><br />- Daerah Manggarai - Daerah Ngada - Daerah Flotim<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />- Daerah Sikka - Daerah Ende<br /><br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />3. Senjata Tradisional<br />Ciri khas senjata tradisional masyarakat Flores disebut Subdu atau Sudu, profilnya seperti keris sebagai senjata tikam yang dianggap keramat. <br />Senjata tradisional dari Adonara, sebuah pulau kecil di timur Flores, yang sarat dengan cerita tentang pembunuhan atas nama harga diri dan kemanusiaan. Senjata ini memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan senjata dari zona lain, ukurannya yang teramat panjang, juga gagangnya yang terbuat kshusus dari tanduk kambing menjadikan senjata ini lebih garang dan bernuansakan aroma mistik. Zaman dahulu bahkan sampai kini, senjata inilah yang menjadikan pulau kecil ini sesangar namanya adonara, yang kadang diplesetkan menjadi Adu darah.<br /><br />4. Peninggalan zaman Megalitik<br />Di Kabupaten Manggarai, sisa-sisa tradisi megalitik ataupun monumen megalit yang tidak berfungsi lagi, juga dijumpai hampir di setiap desa. Salah satu diantaranya adalah monumen megalit yang berbentuk susunan batu temu-gelang (circle) yang berfungsi sebagai kubur para tetua, pemuka adat dan tempat melaksanakan berbagai upacara. Menurut tradisi setempat, monumen yang terletak dua kilometer di sebelah Kota Ruteng, disebut compang. Rumah-rumah di atas tiang, didirikan di sekeliling monumen tersebut.<br />Di desa Warloka, desa paling barat Manggarai, ditemukan pula sejumlah besar monumen Megalit, baik yang masih in-situ (asli) maupun yang sudah terganggu (disturbed). Pada umumnya yang berbentuk menhir dan dolmen yang berasosiasi dengan benda gerabah atau keramik (utuh dan pecah), benda-benda gerabah (gelang, cincin, kelad lengan, bandul, cermin, bandul kalung dan sebagainya). Pada umumnya tingkat kesukaran situs-situs upacara/pemujaan di Warloka ini sangat tinggi.<br />Peninggalan dan sisa-sisa tradisional megalitik di Flores juga ditemukan di Ende-Lio, Sikka dan Flores Timur.<br /><br />5. Tarian<br />Tarian adat yang ada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur sangat beragam, hal ini disebabkan karena jumlah suku yang mendiami wilayah ini sangat beragam serta ditambah dengan wilayah yang terdiri dari kepulauan.<br />a) Tari Hopong<br />Asal tarian : Helong <br />Hopong adalah sebuah upacara tradisional masyarakat Helong yang mengijinkan para petani untuk menuai atau panen di ladang pertanian. Upacara Hopong adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh para petani dalam bentuk doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan nenek moyang. <br />Upacara Hopong dilakukan pada masa panen disuatu rumah yang ditentukan bersama dan dihadiri oleh tua-tua adat serta lapisan masyarakat. Tarian ini juga menggambarkan kehidupan bersama nilai religius, gotong royong. Musik pengiring gendang, tambur, gong<br />b) Tari Likurai<br />Asal tarian : Kabupaten Belu<br />Dalam masyarakat Belu tari Likurai merupakan tari yang dibawakan oleh gadis-gadis/ibu-ibu untuk menyambut tamu-tamu terhormat atau pahlawan yang pulang dari medan perang.<br />c) Tari Leke<br />Asal tarian : Kabupaten Sikka<br />Tari ini mengambarkan pesta para masyarakat etnis Sikka Krowe sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan. Biasanya ditarikan pada waktu malam hari yang diiringi musik gong waning dengan lantunan syair-syair adat.<br />d) Tari Poto Wolo<br />Asal tarian : Kabupaten Ende<br />Fungsi tari ini biasa digunakan untuk menjemput para tamu agung, atau seorang kepala suku yang diangkat secara adat. Poto artinya mengangkat atau menjunjung kebesarannya; Wolo artinya gunung atau bukit.<br />e) Wasa Wojorana<br />Asal tarian : Kabupaten Manggarai<br />Tarian ini biasanya dilaksanakan pada upacara adat menjelang padi lading menguning.<br />Wasa Wojarana menggambarkan luapan rasa gembira , dengan melihat bulir-bulir padi lading yang menjanjikan dan sebagi ungkapan terima kasih kepada pencipta dan sekaligus memohon agar panen tidak gagal akibat bencana alam dan ancaman hama. Tarian ini ditampilkan ditampilkan dengan irama pelan dan cepat .<br />f) Tari Togadu<br />Asal tarian : Kabupaten Ngada<br />Todagu menggambarkan keperkasaan pemuda Nage Keo dalam berperang dan membangkitkan semangat patriotisme. Tarian ini diiringi oleh bambu dan tambur.<br />g) Tari Hedung Buhu Lelu<br />Asal tarian : Kabupaten Lembata<br />Suatu kegiatan kekerabatan penghalusan kapas yang telah dipisahkan dari bijinya. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan, baik itu ibu-ibu maupun gadis-gadis dan aktivitas ini merupakan suatu kerajinan rumah tangga.<br />h) Tarian Sagoalu<br />Tarian sagoalu merupakan tarian yang biasa ditarikan tarikan untuk bersukur atas hasil panen.<br /><br /><br /><br />i) Tarian Ja'I<br />Tarian Ja'I merupakan tarian perang, tarian ini dilakukan setelah menyelesaikan peperangan.tarian ini berasal dari daerah Ngada.<br /><br />j) Tari Perang<br />Tarian perang ialah tarian yang menunjukkan sifat-sifat perkotaan dan kepedulian mempermainkan senjata. <br /><br />k) Tari Garong Lameng<br /> Sebuah tarian yang dipertunjukan pada upacara Khitanan. <br />l) Tari Cerana <br />Tari Cerana merupakan tarian upacara penyambutan tamu dengan membawa tempat sirih. <br />m) Tarian Topeng Bobu<br />Tarian Bobu adalah salah satu dari sedikit tarian adat Sikka yang para penarinya mengenakan topeng wajah yang memperlihatkan aneka ekspresi. Pada awalnya Tarian Bobu ditari sebagai tarian perang, yang ditarikan untuk menggelorakan semangat tempur para prajurit dan ketika menyambut para pahlawan sekembali dari medan laga. <br />Dalam perkembangannya kemudian, Tari Bobu mendapatkan pengaruh dari budaya bangsa Portugis. Saat ini, Tarian Bobu dianggap khas dari Desa Sikka dan kerap ditampilkan untuk menyambut tamu.<br />n) Tari Higimitan<br />Sebuah tari yang menggambarkan rasa kasih sayang antara dua ikatan pria dan wanita. <br />o) Tari Kataga<br />Tari Kataga merupakan tarian bagian dari upacara ritus, yaitu upacara penyambutan terhadap arwah nenek moyang.<br />p) Tarian Laba Sese<br />q) Tarian di Daerah Ende<br />Seni tari yaitu mengekspresikan rasa lewat tatanan gerak dalam irama musikdan lagu. Dilihat dari tata gerak dan bentukya, tarian Ende Lio dapat dibagikan beberapa jenis diantaranya yaitu :<br />• Toja ialah kelompok Penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam dan irama musik / lagu untuk suatu penampilan yang resmi <br />• Wanda ialah Penari dengan gayanya masing-masing, menari mengikuti irama musik / lagu dalm suatu kelompok atau perorangan. <br />• Wedho ialah Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan -akan melompat sedangkan Woge merupakan Gerak tari dengan mengandalkan kelincahan kaki dengan penuh energi dan dinamis , dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau perisai dan pedang /parang. <br />• Gawi ialah Gerak tari dengan menyentakkan kaki pada tanah. Untuk istilah Toja dan Wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara dan fungsinya berbeda dan kata wanda unuk suku Lio berari Toja. <br />Dari generasi ke generasi para insruktur tari/ penata tari telah banyak menciptakan tarian di antaranya yaitu : <br />- Gawi/Naro<br />Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju.<br /> <br />Gbr : Tari Gawi yang melambangkan kebersamaan dan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tampak masyarakat adat di Wolowaru<br />Dalam komposisi bentuk gawi ada bagian -bagiannya yaitu :<br /> Eko Wawi - Sodha <br /> Sike - Ana Jara <br /> Naku Ae Wanda Pau <br /> Ulu<br />Susunan dalam Gawi dalam setiap penampilam adalah sebagai berikut : Mega Rema Ba-Oro e-Sodha-Ndeo Oro.Waktu dan jumlah peserta tari gawi / naro tidak ditentukan dan tarian ini biasa diadakan di Koja Kanga pada acara Nggua / seremonial adat, bagi peserta gawi diwajibkan ikut bernyanyi pada bagian oro.<br />- Tekka Se <br />Tarian ini bentuknya seperti Gawi/ naro, hanya berupa gerakan kakinya satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/ naro. Keunikan dari tekka se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda dan sekitarnya<br />- Wanda/ Toju Paü <br />Tarian massa penampilan secara perorangan/ individual dalam suatu acara, biasanya menari dengan selendang diiringi dengan musik Nggo wani/ Lamba atau musik feko genda. Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu Ana Noö, demikian sebaliknya Ana Noö memberi selendang kepada ada eda/ bele untuk menari<br />- Neku Wenggu <br />Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara penjemputan atau mengantar sarana paÄ loka/ sesajian atau para tamu dan lain-lain. Bentuk tarian Neku Wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama dari setiap daerah di Ende Lio diantaranya yaitu : Napa Nuwa - Poto Wolo - Poto Pala - Wanda Pala - Goro Watu/ Kaju dll. Tarian Neku Wenggu biasanya diiringi dengan lagu Wenggu<br />- Tarian Joka Sapa <br />Tarian ini tergolong tarian nelayan dan juga ada jenis yang sama seperti tarian Manu Tai di Ngalupolo-Ndona. Kekhasan tarian ini, para gadis/ penari dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/ lagu gambus. Adapula tarian nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir Pantai Ende Selatan/ Utara dengan berbagai nama tarian seperti : Tarian Nelayan - Tarian Irikiki - TarianGetu Gaga - Tarian Manusama - Wesa Pae dll.<br />- Tarian Mure <br />Mure artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/ gadis dari keluarga mosalaki di Nggela - Pora - Waga pada acara ritual adat memohon hujan. Tarian ini dengan kostum tradisional, lawo tege kasa dan tidak berbaju, musik pengiringnya yaitu Nggo Wani/ Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk tarian Mure.<br />- Tarian Sangga Alu/Assu <br />Tarian ini awalnya adalah permainan dan lambat laun berkembang menjadi sebuah tarian dan penarinya terdiri dari 2 (dua) pasang muda-mudi disertai dengan seorang ana jara. Dalam penampilan dibutuhkan 4 hingga 8 orang pemain bambu palang dengan cara menyentak dan menjepit secara serentak. Para penari memasukkan kaki/ kepala diantara bambu dari tempo lambat hingga tempo cepat, selanjutnya dipadukan dengan irama lagu serta ana jara menari mengelilingi penari/ pemain bambu palang.<br />- Jara Angi <br />Tarian Jara Angi atau kuda siluman dan yang paling populer disebut Tari Kuda Kepang, penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang terbuat dari Mbao (selendang pinang) atau daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti kuda. <br />Tarian ini diawali dengan atraksi lomba pacuan kuda dilanjutkan dengan menari bersama diiringi dengan lagu Ruda Rudhu Redha dengan musik gendang atau Nggo Wani/ Lamba. Keunikan dari tarian ini yaitu para penyanyi menyanyikan lagu dengan kata-kata khusus, juga dinyanyikan dengan not atau tidak mengucapkan kata-kata syair lagu.<br />- Tarian Pala Tubu Musu <br />Penari terdiri dari para ibu/ gadis dari setiap keluarga Mosalaki di Wolotopo-Ndona, dengan seorang laki-laki sebagai penari woge untuk upacara Paä Loka atau memberi sesajian di Tubu Musu. Untuk mengiringi tarian ini yaitu, musik/ lagu Nggo Wani/ Lamba dan Nggo Dhengi dan bagian akhir dari tarian ini dengan gawi/ naro atau tandak.<br />- Tarian Dowe Dera <br />Tarian Dowe Dera ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan upacara ritual adat di tempat Mopo (ditengah-tengah ladang). Penari laki-laki dengan musik gaku, membuat lubang pada tanah, sedangkan para ibu/ gadis mengisi bibit tanaman yang sudah dilubangkan. <br />Tarian ini diiringi dengan lagu Dowe Dera disertai musik Gaku yang terbuat dari bambu (lihat musik gaku) dan penarinya dilengkapi dengan pakaian adat serta aksesorisnya.<br />- Tarian Napa Nuwa <br />Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang dalam peperangan, penari terdiri dari para pejuang atau beberapa orang laki-laki, dilengkapi dengan alat perang yaitu mbale dan sau atau perisai dan pedang / parang. <br />Tarian ini diawali dengan Neku Wenggu, dilanjutkan dengan Bhea dan woge serta Ruü atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/ wani dan Lagu Da seko.<br />- Tarian Ule Lela Nggewa <br />Judul tarian ini identik dengan judul lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau menyanyikan lagu Ulu lela Nggewa pasti akan ingat tariannya. Dalam tarian ini penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, pada jaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya.<br />Tarian ini telah membawa nama NTT dalam tingkat nasional di Jakarta dibawakan oleh sanggar seni Budaya NTT dan Festival Seni Budaya diberbagai negara dibawakan oleh yayasan budaya bangsa.<br />- Tarian Woge <br />Tarian Woge diiringi dengan Nggo lamba/ wani dengan irama yang khas, tarian ini biasanya ditari oleh satu orang atau secara individual pada upacara adat didahului dengan kata-kata/ syair atau bhea. Penari dilengkapi dengan alat-alat perang yaitu mbaku dan sau atau periasai dan pedang/ parang, pada pergelangan kaki diikat dengan untaian woda atau lonceng giring-giring.<br />Dewasa ini dasar dari tarian Woge berkembang menjadi menari secara group dengan tata gerak/ ragamnya serta design lantai digarap dengan berik sehingga menjadi sebuah tarian yang indah.<br />Kekayaan seni tari selain tarian tradisional yang menyangkut upacara adat, adapula para instruktur tari menampilkan karyanya dengan judul dari berbagai jenis burung - berladang - menenun - nelayan dan tari kreasi baru lainnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gbr : TARIAN PU MARU<br />Tarian yang menggambarkan masyarakat sedang menikmati hasil panen<br /><br />r) Tari Nahang Tahang<br />Tarian ini brasal dari Flores Timur. Namang = Hentakan Kaki yang berirama. Tahang = Padi. Tarian rakyat ini menggambarkan pemisahan gabah padi dari bulirnya yang kemudian disimpan dalam lumbung padi<br /><br /><br />s) Tari Koko Manunggo<br />Tari koko manunggo berasal dari Sikka. Koko = Ayam berkokok sedangkan Manunggo = petani bekeja dipagi buta<br />arti dari tari ini adalah para petani bekerja gotong royong dengan semangat membersihkan ladang siap tanam yang diiringi gerak pacul dan lagu.<br /><br />t) Tarian Lainnya<br /> <br /> <br /><br /> <br /> <br /><br /> <br /><br /><br />6. Kesenian Bela Diri<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Kesenian Bela Diri berupa Larik dan Pencak Silat di kecamatan Riung Etu/ Sagi Sudu di kecamatan Boawae, Soa di kecamatan Bajawa, Golewa, Nangaroro, dan Aesesa.<br /><br />7. Seni Tembikar<br />Seni tembikar atau tanah liat/ taki yang sudah terkenal di Kabupaten Ende yaitu Lise - Wolowaru dan Wolotolo - Detusoko dimana hasil kerajinannya telah memenuhi kebutuhan masyarakat Kabupaten Ende dan sekitarnya dalam hal perkakas dapur. <br />Adapula di tempat-tempat lain membuatnya, tetapi hanya untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri, kerajinan tembikar seakan-akan hilang karena kalah bersaing dengan barang-barang import. Pengolahan bahan baku tembikar yaitu dari tana taki atau tanah liat, ditumbuk halus, diremas-remas dengan air hingga merekat, dibentuk dan dikeringkan lalu dibakar dengan api. Beberapa macam jenis seni tembikar diantaranya yaitu:<br />- Podo<br />Periuk berbentuk bulat dengan permukaan mulut bergerigi, gunanya untuk memasak nasi, jagung, singkong dll. <br />- Sewe<br />Bentuknya hampir sama dengan periuk, hanya mulutnya lebih lebar dan ada juga dilengkapi dengan telinga digunakan untuk memasak lauk pauk dll. <br />- Paso<br />Bentuknya bulat lonjong dilengkapi dengan lingkaran pinggir kaki, digunakan sebagai tempat penampung lauk pauk yang sudah dimasak juga digunakan tempat merendam tarum/ taru menjadi nila. <br />- Kawa<br />Bentuknya bulat ceper dilengkapi dengan telinga, digunakan sebagai tempat penggorengan dan memasak lauk pauk dan masakan lainnya. <br />- Kumba<br />Periuk besar berbentuk lonjong dengan bagian dasarnya rata digunakan sebagai tempat air minum dan tuak/ moke. Permukaannya dibuat ukiran garis dan binatang ampibi/ reptil. <br />- Nggusi<br />Ukurannya lebih kecil dari kumba, bentuk dan kegunaanya sama seperti kumba. <br />- Pane<br />Bentuknya seperti piala minuman, dihiasi dengan ukiran bergaris lurus dan silang memenuhi lingkaran, digunakan sebagai tempat nasi atau lauk/ piring makan. <br />- Bha<br />Bentuknya ceper seperti piring makan, dibagian dasar dengan lingkaran timbul digunakan sebagai piring makan dan lain sebagainya. <br />- Piri<br />Bentuknya seperti bha/ piring hanya ukurannya lebih kecil, digunakan sebagai tempat tatakan minuman dan tempat sambal dll. <br />- Mako<br />Bentuknya seperti mangkok, bulat lonjong, pada bagian dasarnya rata dilengkapi dengan lingkaran timbul sebagai dudukan dan pada bagian samping dengan tangkai pegangan, digunakan sebagai tempat minum dll. <br />Dalam perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman para pengrajin seni tembikar telah membuat berbagai bentuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat masa kini seperti; asbak, pot bunga, guci hiasan dll.<br /><br />8. Lagu Daerah<br />Seni musik atau seni bunyi yaitu yang dihasilkan oleh suara manusia / seni suara dan suara alat-alat instrumen. Seni suara/vokal, mengungkapkan rasa lewat suara manusia dalam bentuk kata-kata syair/lagu seperti : Doja, Ndeö-Peö,Sodha-Oro-Bhea-dll. Berikut ini adalah daftar lagu-lagu daerah yang berasal dari setiap daerah. Lagu-lagu daerah sering dinyanyikan pada acara-acara tertentu. Makna yang terkandung dalam setiap nyanyian sangat beragam.<br />1) Daerah Dawan<br />• ES KAUBELE<br />Es Kaubele yang berarti di Kaubele. Lagu ini menyatakan suatu perjumpaan yang menggembirakan di Kaubele.<br />• LARE<br />Lare, yang berarti Jangan Terburu. Suatu lagu nasihat yang menasihati orang supaya jangan terburu-buru mengejar sesuatu.<br />• TEBE ONANA<br />Tebe Onana, yang berarti Betul Begitu. Suatu lagu yang bi9asanya dipakai pada pertemuan-pertemuan dan perdebatan antar muda-mudi. Sifatnya jenaka.<br />2) Daerah Ende/Lio<br />• KAU MAKO<br />Kau Mako, yang artinya Apalah Daya. Lagu keluhan keluhan seorang ibu/bapak atas pergi anak-anaknya sehingga ditinggal seorang diri. Sifatnya memberi nasihat kepada anak-anak yang ingin meninggalkan orang tunya. <br />• HARO E<br />Haro E, yang artinya Hatimu Gelisah. Lagu uyang menggambarkan kehelisahaan seorang gadis, yang merindukan kekasih hati, sehingga makan minum tak disentuhnya<br />• DEKU DU DELE<br /> Deku Du Dele, yang artinya Gadis Mau Mengangis. Suatu lagu yang menggambarkan percintaan, diman si pemuda menyuruh kekasihnya menungggu di suatu tempat yang sudah disepakati.<br />• AME SIMO NGAWU<br />Ame Simo Ngawu, yang artinya Bapak Sudah Terima Belis (mas kawin). Suatu lagui adat yang menggambarkan permintaan seorang gadis kepada bapaknya, supaya jangan terima belis (mas kawin) dulu, karena dia (gadis) belum ingin kawin.<br />• WETA SAGA PANDA<br />Weta Saga Panda, yang artinya Si Gadis Bertubuh Pendek. Suatu lagu ejekan dari pemuda terhadap gadis. Lagu ini merupakan lagu jenaka.<br />• DESO KAMI E<br />Deso Kami E, yang artinya Sedih Sekali. Lagu ratap yang menceritakan kematian yang tragis dari seorang ayah yang terbunuh dalam perjalanan.<br />3) Manggarai<br />• JITA MBEWU<br />Jita Mbewu, yang artinya Bita Rimbun (nama pohon). Suatu lagu kiasan yang menggambarkan wajah seorang gadis yang ditutupi rambut yang lebat sehingga tidak kelihatan wajahnya.Benggong, yang artinya Bergembira. Suatu lagu percintaan yang menggambarkan perjumpaan . antara pemuda dan pemudi waktu bersama-sama menimba air. <br />• AKU REHANG<br />Aku Rehang, yang artinya Aku mengangis. Lagu ini menggambarkan kesedihan seseorang yang selalu mengalami kesusahan. Sifatnya ialah kiasan dimana menggambarkan segala usaha yang terhalang.<br />• SILI ABAR MANGA WELA<br /> Sili Abar Manga Wela, yang artinya Bunga di Tebing. Lagu ini mengandung arti kiasan yang mengammbarkanb seorang gadis di antara bahaya.<br />• PALE ETA GOLO LAUNE<br /> Pale Eta Golo Laune, yang artinya Seorang Pemburu. Lagu ini mengisahkan kehidupan seorang pemburu.<br />4) Daerah Sabu<br />• ELE MOTO<br />Ele Moto, yang aretinya Lihat Bintang. Suatu lagu nasihat bagi perantau, yang walaupun mendapat kebaahagiaan dan kemakmuran di negeri orang tetapi jangan lupa negeri sendiri (tanah air sendiri). <br />• BOLE JERU<br />Bole Jeru, yang artinya Jangan Berduka. Suatu Lagu nasihat atas kebesaran Tuhan. Jangan berputus asa, karena Tuhanlah yang menyelenggarakan hidup ini, sehingga pada akhirnya keuntungan dan kebahagiaan pasti akan datang.<br />• NAWANI TANA<br />O Nawani Tana, yang artinya O Saudari. Suatu lagu nasihat, yang menasihati gadis supaya jangan lupa jika banyak kawan hidup ini mudah<br />• MAI MA PETENI<br />Mai ma Peteni, yang sifatnya mari berkumpul. Suatu lagu gembira di antara pemuda-pemudi yang saling mengajak berkumpul untuk bergembira.<br /><br />5) Daerah Ngada<br />• KAUKO SOLO<br />Kauko Solo, yang artinya Sudah Benar. Lahu kiasan memuja kecantikan seorang gadis, kemana saja ia pergi akan selalu muncul kecantikannya. <br />• YALO<br />Yalo, yang artinya Anak Yatim. Lagu ini menggambarkan penderitaan dan kemelaratan anak yatim piatu dalam hidupnya. Tujuannya ialah meminta belas kasihan orang lain.<br />• BENGU RELE KAJU<br />Bengu Rele Kaju, yang artinya Burung di Atas Pohon. Suatu lagu kiasan yang menggambarkan kegembiraan seorang gadis/pemuda. Sifatnya gembira, yang biasanya dinyanyikan dalam suasana gembira.<br />• O INE MORE ATE<br />O Ine More Ate, yang artinya O Mama yang Baik. Lagu ratap yang menggambarkan kesedihan seorang anak piatu yang ditinggalkan ibunya.<br />6) Daerah Flores Timur<br />• FAIK LALI<br />Faik Lali, yang berarti Aku Juga. Lagu ini menggambaarkan percakapan diantara orang-orang desa yang berkumpul menunggu giliran menimba air. Sifatnya ialah mengandung permintaan dalam memperoleh giliran.<br />• OLE LOLO<br />Ole Lolo, yang berarti Melarat Tengah Berlayar. Lagu ini biasanya dinyanyikan oleh orang-orang yang sedang berlayar dengan perahuperahu layar. Sifatnya mengeluh nasib melarat (keluhan).<br />• REMA PIA<br />Rema Pia, yang artinya Tengah Malam di Rantau. Lagu ini menggambarkan kesepian seorang perantau jauh dari sanak saudara dan merupakan lagu nasihat bagi orang-orang yang ingin merantau.<br />• BALE NAGI<br />Bale Nagi, yang artinya Pulang ke Nagi (kampung halaman). Lagu ini menyatakan kegembiraan seorang pelaut yang pulang ke kampung halaman.<br />• OA ELE LE<br />Oa Ele le, yang Buat senag Hati. Suatu lagu jenaka yang dipakai oleh pemuda-pemudi untuk menggambarkan hati, tanpa tujuan buruk.<br />• PATEN INA-AMA<br />Peten Ina-Ima, yang artinya Terkenang Ibu Ayah. Suatu lagu kenangan akan orang tua oleh anak-anak. Suatu lagu yang sifatnya nasihat di antara anak-anak.<br />7) Lagu Hymne NTT<br />• FLOBAMORA <br />Flobamora (Flores Sumba Timor). Suatu lagu pujaan terhadap NTT (Nusa Tenggara Timur) yang diciptakan oleh F. E Lango. Lagu ini biasanya dinyanyikan pada pesta-pesta resmi NTT. <br /><br />9. Kain Tenun<br />Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Flores. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.<br />Dari marga Salvi sebuah suku di India tenun ikat ini berawal, melalui jalur sutera, terus menyelusuri Asia Tenggara, hingga Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur penyebaran tenun ikat hampir merata, hingga Nusa Tenggara Timur dapat dijuluki pula dengan sebutan Nusa Tenun Tangan<br />Pesona keindahan motif dan ragam hiasnya, menjadikan ia cenderamata bagi setiap orang yang datang dan berkunjung ke bumi Flobamora ini, bumi di mana wanitanya memiliki daya cipta dan kreasi seni yang sangat tinggi. Setiap daerah yang ada di NTT menampilkan corak dan ragam hias serta warna yang berbeda-beda. Perbedaan ini menjadikan tenun ikat semakin menarik untuk disimak dan dikaji. <br />Dalam proses penciptaannya, melalui berbagai pertimbangan di antaranya sebagai simbol status sosial, keagamaan, budaya dan ekonomi. Dapatlah dikatakan bahwa dalam membuat sehelai kain tenun ikat tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Para wanita di dalam membuat sehelai kain tenun ikat selalu bekerja secara bersama, ini dilakukan untuk mempermudah proses, karena tidak semua wanita mampu membuat kain tenun ikat dari tahap awal sampai dengan selesai. Tenun ikat dalam proses pembuatannya memiliki beberapa tahap di antaranya <br />1. Penataan benang pada alat pedagang. <br />2. Pengikatan motif dan ragam hias, <br />3. Pewarnaan dan, <br />4. Penenunan. <br />Dalam pesona motif dan ragam hias, diciptakan melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, motif dan ragam hiasnya mengandung nilai filosofis, penggunaannya diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, dan menjadikannya sebagai tradisi yang terwaris sampai hari ini.<br />Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Flores merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.<br />Kain tenun atau tekstil tradisional dari Flores secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :<br />a) Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.<br />b) Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.<br />c) Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)<br />d) Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.<br />e) Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.<br />f) Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.<br />g) Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.<br />h) Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.<br />i) Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)<br />Dalam masyarakat tradisional Flores, tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.<br />Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.<br />Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Flores terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya. <br /><br /> <br /><br /><br /><br />Ibu-ibu sedang membuat kain tenun secara tradisional<br />Di tenun dengan alat tenun yang sangat tradisonal, dililit dipinggang wanita penenun, melekat tak terpisahkan, bermakna hidup wanita kami telah diembani dengan tanggung jawab untuk terus mempertahankan warisan ini agar semua orang dapat tahu bagaimana nenek moyang kami di masa lalu telah mewariskan sesuatu yang luar biasa. Konggo, kape, fia, phoku dan sippe yang ada pada jalur benang ikat lusi merupakan perpaduan alat yang sangat serasi yang terlihat di saat wanita bertenun. Alunan sentakan di saat wanita bertenun menggoda hati yang mendengar, karena nada yang ditimbulkan bagaikan alunan melodi kehidupan.<br />Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Flores dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni :<br /> Tenun Ikat<br />Disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi.<br /> Tenun Lotis/ Sotis atau Songket <br />Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.<br />Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Flores terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.<br />Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Flores telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif. <br />Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.<br />Dari kedua jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :<br />- Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata di semua daerah kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada.<br />- Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Lembata, Sikka, Ngada, dan Manggarai <br />Beberapa contoh kain tenun<br /> <br /> <br /><br /> <br /> <br /><br /> <br /> <br /><br /> <br /> <br /><br /><br />Inilah khasanah budaya yang terlihat dari beragam motif dan ragam hias kain tenun ikat yang dihasilkan wanita di bumi Flobamora ini. Dari motif yang super sampai yang kecil, memperlihatkan bagaimana kehebatan wanita di tanah kami dalam menciptakan sehelai kain tenun ikat. <br />Puluhan bahkan ratusan jenis motif dan ragam hias yang dihasilkan oleh wanita di bumi Flobamora ini dapatlah dibagi ke dalam tiga jenis kain tenun ikat yaitu <br />1. Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan arti. <br />2. Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya mempunyai nama dan tidak mempunya arti. <br />3. Kain tenun ikat yang motif dan ragam hiasnya tidak ada nama dan tidak ada arti. <br />Warna yang ada merupakan hasil racikan dari dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan ada di bumi Flobamora. Diramu dengan sangat hati-hati, doa dan mantra dibacakan agar kain tenun ikat yang dihasilkan menjadi kain yang bermutu tinggi. <br />Proses pewarnaan dijalani dalam waktu yang cukup lama agar sari warna benar-benar meresap pada urat benang. Beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan pewarnaan yaitu Mengkudu, Tarum, Zopha, Kemiri, ndongu, buah usuk dan lain-lain, sehingga nuansa warna kain tenun ikat NTT terdiri dari : merah, yang dihasilkan dari akar mengkudu dan hitam nila yang dihasilkan dari daun tarum. <br />Pembuatan seni tenun ikat Ende Lio hanya dilakukan oleh para ibu/ gadis dari pesisir pantai selatan kabupaten Ende, sedangkan bagian tengah/ utara tidak mengerjakannya karena pore jaji, bila dilanggar akan terjadi bencana alam.<br />Dalam perjanjian yaitu masyarakat pesisir selatan mengerjakan bahan tenun ikat, ditukar dengan bahan makanan yang dihasilkan oleh masyarakat bagian tengah dan utara Kabupaten Ende. Demikian pula bahan baku seperti kapas dan bahan pewarna dijual atau ditukar dengan bahan sawo engge pake pela nggubhu nggai.<br />- Proses Kapas Menjadi Benang<br />Proses awal biji kapas dibersihkan dengan alat Ola Ngeu, lalu dibersihkan dengan woÖ/ busur kecil. untuk menjadikan elo/ gulungan kapas yang siap dipintal/ nggoru menjadi benang dengan alat jata dan ladu. Benang yang telah dipintal digulung dengan alat meka untuk menjadi gulungan benang atau lelu meka, lalu digulung dengan ola woe menjadi benang untuk goä. <br />- Pete tege/ ikat motif<br />Gulungan benang ditalang pada alat Dao Goa untuk ——- dengan jumlah gami tertentu, sesuai dengan motif yang direncanakan. Bahan tenun ikat setelah Goa gami menjadi lembaran benang, dipindahkan pada Dao Meka untuk diikat motifnya dengan pucuk daun boro/ gebak; pucuk kelapa, tali rafia dll.Bagian-bagian tenun ikat yaitu: Vertikal: <br />- One/ motif utama <br />- Eko <br />- Foko <br />- Bue <br />- Mettu <br />- Mengge <br />- Tekka <br />Horisontal:<br />- Upu <br />- Teo Timbu <br />- Lere <br />- One/ singgi <br />- Bharaka <br />- Engo <br />- Lombo <br />Motif utama adalah merupakan nama dari jenis dan macamnyasarung lawo. Rawo, terdapat pada bagian tengah dan adapula terdapat pada setiap lembaran dari sarung. Motif penghias adalah motif yang mendampingi motif utama yang disebut singi atau geto / gero. Menurut jenis dan macamnya motif serta asal lokasi pembuatan tenun ikat Kabupaten Ende dapat kita bagikan menjadi 2 (dua) ethnik yaitu:<br />1. Ethnik Ende: Rawo Nggaja Sanggetu – Rawo Nggaja Manu – Rawo Jara Nggaja – Rawo Jara – Rawo Pea – Rawo Soke Wunu Karara – Soke Bere Kaze – Rawo Rote – Rawo Mata – Rawo One Mesa – Rawo Rombo – Rawo Mangga/ Bhuja/ Ndala – Rawo Ngera/ gero dll <br />2. Ethnik Lio: Lawo Nepa Mite/ Te’a – Lawo Pundi – Lawo Mogha – Lawo Kelimara – Lawo mata sinde – Lawo Koko Bheto – Lawo Luka – Lawo Gami teraesa – Lawo Gelo dll. <br />Selain lawo/ rawo ada pula tenun ikat berbentuk selendang/ lembaran yaitu Semba – Senai – Lete – Sinde – lembaran kontemporer seperti ana deo, inepare dan bahan jadi lainnya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />10. Alat Musik<br />Musik instrumen yaitu membunyikan alat-alat musik sebagai ritme / melodi dengan cara meniup, memukul, memetik, menyentak, dll. Berikut ini adalah alat-alat musik dan bunyi-bunyian yang berasal dari daerah Flores, alat-alat musik ini memiliki ciri khas khusus dan bunyi yang sangat menarik.<br />1) Alat Musik Tiup<br />FOY DOA<br /> Kabupaten Ngada Flores yang beribukota Bajawa mempunyai banyak ragam kesenian daerah. antara lain musik Foy Doa. Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya.<br />Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih. Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran. <br />Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan, sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara. <br />Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti : Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.<br />FOY PAY<br />Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.<br /><br />KNOBE KHABETAS Masyarakat Dawan peraya bahwa alat musik Knobe Kbetas telah ada sejak nenek moyang mereka berumah di gua-gua. Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari. <br />Merupakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian. <br />Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana).<br /> <br />KNOBE OH Nama alat musik yang terbuat dari kilit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkalujung terseut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.<br />NUREN Alat musik ini terdapat di Solor Barat. Orang Talibura di Sikka Timur menyebut alat musik ini dengan nama Sason, apabula disebut seara puitis menjadi Sason Nuren. Secara etimologi Sason berarti jantan, dan Nuren berarti perempuan. Sason Nuren merupakan dua buha suling yang dimainkan oleh seorang sendirian, merupakan sebutan keramat, sakral, kesayangan, alat hiburan. <br />Menurut cerita tua, seorang tokoh legendaris Solor Barat konon berkepala dua sekaligus memiliki rmulut dua. Orang Solor Barat menyebutnya dengan nama Edoreo sedangkan di bagian tengah Solor Barat menyebutnya dengan nama Labaama Kaha. <br />Konon menurut erita ia pernah hidup 3-4 abad yang lalu. Konon menurut erita pula ia mampu meminkan Sason Nuren sekaligus, sehingga apabila sedang maminkan lat musik ini orang mengira ada dua pribadi yang sedang memainkan Sason Nuren. Menurut keperayaan penduduk setempat Sason Nuren merupakan suara para peri (nitun).<br />SUNDING TONGKENG Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm. Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah 6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala. <br />Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute. Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng, sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama Sunding Tongkeng. <br />Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada pantsngan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita<br /> <br />PRERE Alat bunyi-bunyian dari Manggarai ini terbuat dari seruas bamboo keil sekeil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruaw bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya. <br />Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut Prere.<br /> <br />SULING Umumnya seluruh kabupaten yang ada di NTT memiliki instrument suling bambu. Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain ( 40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass. <br />Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran keil dan bambu pengatur nada berbentuk besar. Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring bernada 2 oktaf. <br />Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord, maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau suling alto bernada sol, tenor mi, dan dan bass bernada do.<br />Musik suling merupakan salah satu kesenian daerah yang terdapat di Kabupaten Ngada<br />Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keualui pada sulign bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik. Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />2) Alat Musik Petik<br />GAMBUS Alat musik diperkirakan masuk ke Flores Timur sejak masuknya agama Islam sekitar abad 15. Alat musik ini terbuat dari kayu, kulit hewan, senar, dan paku halus. Alat musik petik ini merupakan instrumen berdawai ganda yaitu, setiap nada berdawai dua/double snar. Dawai pertama bernada do, dawai kedua bernada sol. Dan dawai ketiga bernada re, atau dawai pertama bernada sol, dawai kedua bernada re, dan dawai ketiga bernada la. Fungsi alat musik ini untuk mengiringi lagu-lagu padang pasir.<br /> <br />HEO Alat gesek (heo) terbuat dari kayu dan penggeseknya terbuat dari ekor kuda yang dirangkai menjadi satu ikatan yang diikat pada kayu penggesek yang berbentuk seperti busur (dalam istilah masyarakat Dawan ini terbuat dari usus kuskus yang telah dikeringkan). Alat ini mempunyai 4 dawai, dan masing-masing bernama :<br />- dawai 1 (paling bawah) Tain Mone, artinya tali laki-laki<br />- dawai 2 Tain Ana, artinya tali ana<br />- dawai 3 Tain Feto, artinya tali perempuan<br />- dawai 4 Tain Enf, artinya tali induk<br />Tali 1 bernada sol, tali 2 bernada re, tali tiga bernada la dan tali 4 bernada do.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />LEKO BOKO/ BIJOL Alat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat.<br />Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter).<br />Nyanyian-nyayian pada msyarakat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadi an tang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semaam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.<br /> <br />SOWITO Alat musik pukul dari bambu dari Kabupaten Ngada. Seruas bamboo yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. <br />Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.<br />REBA Alat musik ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah.<br />Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah.<br />Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik. Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.<br /> <br />MENDUT Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi. Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m. <br />Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengn batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.<br /> <br />KETADU MARA Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.<br /> <br />SASANDO<br /> <br /> <br />Sasando Listrik Fungsi musik sasando gong dalam masyarakat pemiliknya sebagi alat musik pengiring tari, menghibur keluarga yang sedang berduka, menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta, dan sebagai hiburan pribadi. <br />Sasando gong yang pentatonis ini mempunyai banyak ragam cara memainkannya, antara lain : Teo renda, Ofalangga, Feto boi, Batu matia, Basili, Lendo Ndao, Hela, Kaka musu, Tai Benu, Ronggeng, Dae muris, Te'o tonak. Ragam-ragam tersebut sudah merupakan ragam yang baku, namun dengan sedikit perbedaan ini dikarenakan :<br />• Rote terdiri dalam 18 Nusak adat dan terbagi dalam 6 keamatan. Dengan sendirinya setiap nusak mempunyai gaya permainan yang berbeda-beda.<br />• Perbedaan-perbendaan ini dipengaruhi oleh kemampuan musikalis dari masing-masing pemain sasando gong.<br />• Belum adanya sistem notasi musik sasando gong yang baku.<br /><br />Perkembangan Sansando. Sasando pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis. Diperkirakan akhir abad ke-18 sansando mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman, yaitu menggunakan tangga nada diatonis. Jumlah dawai yang digunakan oleh sasando diatonis bervariasi yaitu, 24 dawai, 28 dawai, 30 dawai, 32 dawai, dan 34 dawai. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya yaitu kira-kira 1960 untuk pertama kalinya sasando menggunakan listrik.<br /><br />3) Alat Musik Bunyi-bunyian<br />KERONTANG Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini. <br />Alat musik bunyi-bunyian ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.<br />TATABUANG Di Tanalein alat musik ini disebut Leto, di Desa Lamanole Flores Timur disebut Tatabuang. Rupanya mirip dengan nama Totobuang alat musik dari Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari Maluku. <br />Sebutan Tatabuang hanya terdapat di Lemonale, dan di desa ini banyak terdapat orang suku Kera yang menyebut dalam sejarah pelayaran menggunakan perahu kora-kora. Terdapat sebuah erita bahwa asal muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat mengganggu kepergian mereka kek kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat alat musik ini untuk sang anak.<br />Di Lemonale permainan Tatabuang melalui dua cara, yaitu digantung seperti Leto dan yang lain diletakkan di atas pangkuan.<br />Tatabuang dibuat dari batangan kayu Sukun yang digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Tatabuang yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di Wulanggintang.<br /> <br />THOBO Alat musik tumbuk dari bamboo ini berasal Kabupaten Ngada. Seruas Bambu betung yang buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa.<br />GONG Gong merupakan alat musik yang umum terdapat pada masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi. Biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat, mengiringi tarian dalam penerimaan tamu dan sebagainya. <br />Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain antara lain jumlah gong, ukurannya, cara memainkannya, serta penglarasnya. Khusus penglaras umunya berkisar pada laras pelog dan slendro.<br />Nama-nama gong pada masing-masing daerah tidak sama, untuk daerah flores antara lain:<br />- Gong Ngada<br />Gong Ngada terdiri dari lima buah dan umumnya berukuran kecil. Nama-nama gong : Doa yaitu dua buah gong yang dimainkan seara silih berganti. Dhere yaitu terdiri dari satu gong. Uto-uto yang juga hanya satu gong. Wela yaitu gong yang paling tingi suaranya.<br />- Gong Dawa<br />Gong yang digunakan umumnya berjumlah 6 buah. Nama-nama gong : Tetun yaitu dua buah gong keil, namun apabila dari kedua gong ini hanya dibunyikan salah satunya maka namnya berubah menjadi Toluk, Ote' yaitu dua buah gong sedang. Kedua gong ini dibunyikan dengan penuh perasaan, Kbolo' yaitu dua buah gong besar yang dimainkan dengan tidak terlalu cepat.<br /><br />4) Musik Tanah<br />Musik Tanah dilakukan dengan cara menyentakkan kaki pada tanah sebagai ritme seperti dalam Gawi / Naro atau Todo Pare<br />5) Musik Batu<br />Batu Pena Jawa sebagai ritme untuk mengiringi lagu O Lea di saat titi jagung.<br />6) Alat musik tradisional lainnya<br />Nggeri Nggo Terbuat dari satu ruas bambu betung dan musik ini digunakan saat acara Nainuwa / sunatan.<br />Nggo Dhengi Disebut juga Nggo Bhonga yaitu terbuat dari potongan kayu Wae atau Denu terdiri dari tujuh potong kayu diikat pada untaian tali. Musik ini dimainkan saat senggang di pondok ladang / kebun dan juga sebagai musik pengiring tarian tradisional.<br />Gaku Alat musik terbuat dari bambu. Alat musik ini digunakan pada acara Dowe dera dan sebagai alat bunyi pada Ele seda dan juga sebagai alat pengusir hama / burung di sawah / ladang.<br />Sato Alat musik gesek, terdiri dari buah bila atau batok kelapa, dipasang dengan gagang seperti biola serta dilengkapi dengan satu dawai / senar yang terbuat dari serat daun Lema Mori / lidah buaya hutan dan Nana Koja / getah pohon koja,. Alat geseknya dibuat seperti busur hanya ukurannya kecil dan talinya dibuat seperti dawai / senar.<br />Nggo Lamba / WaniKomposisi musik terdiri dari lamba / wani-nggo-diri.-Lamba / wani Dibuat dari batang kayu nangka / kelapa yang dilubangkan, pada bagian tengah, dasar lubang dipasang dengan bilah bambu dan seekor anak ayam dan ditutup dengan kulit sapi. Adapula lamba / wani terbuat dari kulit manusia seperti di Wologai-Detusoko dengan alat pemukul terbuat dari Elo ki / ilalang. Lamba / wani pada umumnya terdiri dar dua macam yaitu Lamba Ine / Induk dan Lamba Ana /anak. Lamba / Wani Ana ukuran lebih kecil dari Lmba / Wani Ine.-Nggo : alat musik Gong / Nggo terbuat dari logam kuningan-tembaga-besi atau bahan logam lainnya, bentuknya bulat, pada bagian tengah dengan bonggolan. Nggo terdiri dari tiga jenis yaitu:<br />- Nggo Dhengi Dho <br />- Nggo Senawa <br />- Nggo Bemu / bass <br />- Diri : musik pelengkap sebagai ritme pada nggo lamba / wani. Alat ini dibuat dari sepotong<br />logam atau bambu pecah / Gaku.<br />Feko / Suling Alat musik tiup terbuat dari wulu atau bela, sejenis bambu kecil dan tipis. Feko terdiri dari beberapa jenis yaitu :<br />- Feko Nangi : ditiup pada saat tengah malam dengan mengalunkan nada-nada ratap dan cara meniupnya seperti rekorder.<br />- Feko Bu : ditiup dengan nada-nada improvisasi solis, diiringi dengan beberapa gendang dan jenis suling ini disebut juga suling para gembala.<br />- Feko Redho : jenis suling ini ditiup secara duet atau trio dengan harmonis pada nada-nada lagu, biasa digunakan untuk arak-arakan pengantin atau acara lainnya.<br />- Feko Ria : jenis suling ini ditiup secara kelompok dalam paduan nada secara harmonis dalam irama mars atau irama lainnya pada acara pernikahan atau acara resmi lainnya.<br />- Feko Pupu : suling ini bentuknya agak unik seperti alat pompa dan cara meniupnya dengan menggeser bambu untuk menghasilkan nada bass.<br />Genda / AlbanaGenda / Albana Terbuat dari pangkal batang kelapa atau kayu dan kulit kambing. Bentuknya setengah bulatan seperti periuk / podo pada bagian permukaannya. Dalam komposisinya ada tiga jenis dengan jumlah lima buah Genda / albana yaitu :<br />- Genda Redhu, ukuran kecil sebanyak dua buah untuk improvisasi <br />- Genda Wasa, ukuran sedang sebanyak dua buah untuk ritme <br />- Genda Jedhu, ukuran besar sebanyak satu buah untuk bass Musik Genda /Albana biasanya dipadukan dengan suling / Feko atau lagu-lagu untuk mengiringi tarian terutama tarian Wanda Pau dalam suatu acara pernikahan / sunatan dan acara lainnya.<br /><br />11. Seni sastra<br />Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek, memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.<br />Seni sastra ini khususnya terdapat pada masyarakat ende mempunyai dua etnik yaitu Ende dan Lio. Kedua suku ini mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek /logatnya, sehingga dari segi bahasanya suku Ende disebut ata jaö dan suku Lio disebut ata ina.<br />Selain bahasa sehari-hari atu bahasa pasar, adapula bahasa adat dalam bentuk ungkapan kata-kata adat maupun berbentuk lagu mengandung nilai seni sastra yang sangat tinggi yang dipertahankan secara turun- temurun hingga kini. Ungkapan kata-kata adat hanya digunakan pada saat berbagai acara adat, baik dalam upacara pesta adat maupun acara ritual / seremonial adat dan acara-acara lainnya yang berkaitan dengan adat. <br />Adapun seni sastra yang ada di Ende-Lio diantaranya : <br />- Sua: Ungkapan kata-kata adat yang mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk memperoleh kekuatan pada benda tersebut bila digunakan sebagai sarana <br />- Sua Sasa: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat kutukan atau membalas / mengembalikan kejahatan yang dibuat oleh orang lain baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.<br />- Sua Somba: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar menjalankan sesuatu kegiatan tidak mendapat hambatan dari perbuatan manusia maupun alam.<br />- Sua Sola: Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan / usaha memperoleh hasil yang berlimpah atau yang memuaskan.<br />- Bhea: Ungkapan kata-kata adat merupakan syair kebanggaan dari suku suku / kaum keluarga secara turun-temurun diucapkan pada saat upacara seremonial adat dan juga awal dari tarian Woge.<br />- Nijo: Ungkapan kata-kata adat / doa dengan kata kunci atau Ine yang dilakukan oleh Ata Bhisa Mali / Dukun dalam proses penyembuhan orang sakit, seperti Nijo Ruü atau penyakit lainnya.<br />- Nunga Nange: Berbagai jenis cerita rakyat seperti mite,sage,legenda,dll. Diceritakan oleh orang tua pada saat senggang atau menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.<br />- Lota: Membaca tulisan naskah / syair pada daun lontar / wunu keli dalam bahasa dan tulisan sansekerta. Hal ini merupakan suatu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang senang mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan budaya Jawa / luar yang telah menjadi akar budaya Ende yang dipertahankan secara turun–temurun hingga kini.<br />- Sodha: Ungkapan kata-kata adat dengan nada pada acara Gawi dan susunan kata-katanya disesuaikan dengan acara pesta adat yang diperuntukkan. Sodha dibawakan oleh salah satu orang yang telah ditunjuk. Sodho Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya tidak ditulis dan bukan semua orang menjadi pesodha melainkan hanya orang-orang tertentu.<br />- Doja: Penyanyi menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat maupun lagu pernikahan atau lagu hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan. Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.<br />- Jenda: Dinyanyikan secara spontan / tanpa teks oleh seseorang atu dua orang secara bergantian dengan syair Pele Nekë seperti berbalas pantun pada acara pesta seremonial adat. Jenda biasanya dalam posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua orang kata-katanya merupakan sindiran.<br />- Woi Nada: ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup pasangan muda mudi yang menyedihkan dalam ceritra rakyat Ende Lio dan ada pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati orang sakit dengan melagukan nada woi dalam keadaan tanpa sadar unuk menelusuri penyebab sakit/ penyakit. <br />- Peo OroPeo Oro: yaitu menyanyikan lagu-lagu tradisional oleh peo/solo dan di jawab oleh koor/oro. Peo oro ini sangat kaya, karena untuk mengatasi sesuau pekerjaan yang berat menjadi ringan seperti: <br />- Mboka : Goro watu rate dan balok menggunakan rumah adat wau barang berat lainnya degan cara menaruh bersama-sama <br />- O Lea: Lagu titi jagung.<br />- Rongi: Memuka lahan atau kebun <br />- Dowe Dera: Menanam tananam<br />- Debu Dera: Menetas padi <br />- Dll.<br />- Soka ke / Lai Lowo: Syair lagu untuk menina bobokan anak dan lagunya hampir sama dengan sodha, hanya syairnya merupakan kata-kata jenaka dan Soka ke ini juga dipakai dlam acara Gawi yang tidak resmi disebut Sodha Lai Lowo.<br />- Ndeo : Penyanyi menyanyikan lagu secara bebas baik secara seius maupun bersifat jenaka / menghibur dalam berbagai acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-Lio dalam rekaman audio visual berbentuk kaset / VCD yang berkembang pesat menjadi hasil produksi para seniman / seniwati kabupaten Ende.<br />Berdasarkan kajian yang dilakukan, ungkapan-ungkapan budaya verbal etnik Lio dibangun secara estetik-puitik dengan ritme dan diksi yang cukup ketat. Kekuatan aliterasi dan asonansi dalam meracik bangunan ungkapan itu merupakan pilar estetik yang berbeda vokal tinggi. Selain itu, bangunan wacana yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan itu dipilari juga dengan paralelisme semantik. <br />Wacana lingkungan hidup bagi etnik Lio mengandung makna hubungan kosmologis dengan alam sekitarnya, dengan Sang Khalik dan dengan leluhur mereka. Ungkapan Du'a gheta lulu wulu, Ngga'e ghale wena tana, mengandung makna tentang ketergantungan dan ketaqwaan mereka pada Sang Pencipta alam semesta dan leluhur mereka yang memang harus dihormati. Dihormati karena lahan garapan mereka adalah warisan leluhur dan leluhur mereka memperolehnya dengan 'darah'. <br />Penghormatan kepada Sang Khalik dan leluhur mereka dalam kaitan dengan lahan khususnya itu tercermin pada sikap dan peri laku mereka untuk senantiasa memelihara tanah warisan. Selain itu, ada ungkapan yang mengharuskan mereka mematuhi tata cara atau teknologi tradisional penggarapan ladang secara benar. Tujuannya, agar kesuburan dan konservasi lahan tetap terjamin. <br />Hutan lindung dan sumber air juga menjadi cakupan ungkapan verbal etnik Lio. Ada tiga jenis hutan lindung yang berkaitan dengan upaya pelestarian yakni kawasan upacara tolak bala yang disebut Po'o, kawasan hutan mini tempat leluhur menerima ilham yang disebut Pu-Sakaraju, dan lahan garapan yang disebut Ngebo Mopo. <br />Ungkapan yang mengandung makna pelestarian hutan lindung mini itu juga dibangun secara puitik. Norma pelestarian sumber air juga diungkapkan secara puitik dan komunkatif. Ungkapan pu kapa dau ru'u jaga, adalah penggalan wacana yang mengamatkan norma pelestarian hutan dengan kekuatan budaya setempat yagn disebut ru'u. Ru'u adalah komponen budaya pencegah panen muda dan perusakan tanaman. <br />Selain tentang pelestarian daratan, pantai dan laut pun terungkap secara puitik dalam masyarakat etnik Lio. Amanat pelestarian lingkungan sosial juga terungkap, terutama tentang pentingnya kebersamaan dan kekompakan. Ungkapan boka ngere hi, bere ngere ae, mengandung makna tentang pentingnya persatuan, kebersamaan, dan kekompakan dalam memecahkan persoalan sosial, khususnya dengan pihak lain yang menggugat dan merebut lahan warisan leluhur.<br />Kesenjangan budaya verbal, dalam arti semakin langkanya penutur asli bahasa Lio yang menguasasi wacana-wacana fungsional pelestarian dan rendahnya penguasaan bahasa Lio di kalangan generasi muda, merupakan persoalan tersendiri. Sehubungan dengan itu, niscaya pengemban pengajaran bahsa daerah, pemanfaat pranata lama, dan pemberdayaan lembaga tradisional dan lembaga swadaya masyarakat etnik Lio merupakan upaya yang sangat strategis dan mendesak.<br /><br /><br /><br /><br />12. Seni Anyam<br />Bahan-bahan anyaman yang sering digunakan yaitu kulit bambu muda, wunu re’a/ daun pandan hutan; wunu koli/ daun lontar; kulit bhoka ino; Ngidho; Ua; Taga; Tali eko. Bahan tersebut diatas diolah menurut kebutuhan masing-masing jenis anyaman agar lancar dalam proses pembuatan dan awet dalam penggunaannya. Adapun produk hasil anyaman diantaranya yaitu:<br />a. Mbola Mbola, terdiri dari tiga jenis:<br />- Mbola rombo<br />Terbuat dari daun lontar dan bahan anyaman lainnya dengan empat sudut pada dasarnya dan permukaannya berbentuk bulat dilengkapi dengan tagli, digunakan untuk mengisi hasil tanaman dengan cara menjunjung di kepala oleh para wanita Ende Lio. <br />- Mbola Gata<br />Cara membuatnya seperti mbola rombo, hanya ukurannya lebih kecil digunakan sebagai tempat padi, beras, jagung dalam wuru mana wai laki. <br />- Nora<br />Bentuknya seperti mbola rombo hanya ukurannya besar dianyam dari daun lontar atau wunu re’a, sebagai tempat untuk mengisi hasil panen seperti padi, jagung, mete dll. <br />b. Kadhengga<br />Terbuat dari daun lontar dengan dasar enam sudut, tingginya ±15 cm, digunaakn sebagai alat batu titi jagung dan menapis jagung yang sudah dititi menjadi 3 bagian yaitu: Puϋ – weni – wuϋ atau kasar – halus – bubuk.<br />c. Kidhe<br />Dianyam dari kulit bambu dan bentuknya ceper dan bulat, permukaannya dianyam dengan tali ngidho/ rata dan bulatan bila bambu agar menjadi kuat. Kegunaannya untuk menapis beras/ padi dan juga digunakan sebagai payung disaat hujan.<br />d. Kadho<br />Dianyam dari daun lontar dengan dasar enam sudut dan permukaannya berbentuk gerigi, gunanya untuk mengisi nasi/ nasi jagung disaat makan. Dan kuahnya diisi dengan tempurung sehingga menjadi istilah adat yaitu ke’a kadho yang berarti kaum keluarga atau suku.<br />e. Wati-Wati<br />dianyam dari daun lontar atau bhoka au dengan bentuk enam sudut hingga delapan sudut, dilengkapi dengan tutupannya dan gunanya untuk mengisi bekal, bibit tanaman, benang dll. Wati mempunyai bentuk sangat banyak dan adapula yang bermotif diantaranya wati woga, wati robha, wati wuga dll.<br />f. Kopa<br />Bentuknya seperti peti, digunakan untuk menyimpan pakaian lambu – luka – lawo, dianyam dari daun lontar dan bilah bambu yang dilengkapi dengan tutupannya dan ada juga dinamakan kopa wuga.<br />g. Mbeka Weti<br />Tempat sirih pinang/ kapur yang dianyam dari daun lontar dengan bentuk empat persegi, dibuat dari 2 susun dan bagian dalam dibuat 2 laci untuk menyimpan uang, pe’a bako dll.<br />h. Mbeka/ Mbosa<br />Dianyam dari daun lontar, bentuknya seperti mbola gata hanya agak lonjong, dilengkapi dengan tali gantungan. Jenis anyaman ini disebut juga mbola doko.<br />i. Rembi<br />Dianyam dari daun lontar dilengkapi dengan tali eko yang dipintal, bentuknya seperti tas gantung, digunakan oleh mosalaki Ria Bewa/ tua-tua adat saat upacara adat dan acara resmi lainnya.<br />j. Supa<br />Bentuknya sangat kecil dilengkapi dengan tutupan, berbentuk bulat lonjong dianyam dari daun lontar untuk menyimpan barang-barang penting yang sangat berharga.<br />k. Ripe/Nepe<br />Berbentuk seperti dompet dianyam dari daun lontar, dilengkapi dengan tutupannya untuk menyimpan tembakau, dudu suänga, uang dll.<br />l. Teë/Tikar<br />Tikar dianyam dari daun lontar, dianyam dua lapis digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, wete, keö, pega, lusi dll. Pengrajin anyam tikar yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu Teë Ndori dengan pinggir kain merah, Teë Reka. Teë Roga biasa membuat khusus tikar jemuran. Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu agung atau tamu yang sangat dihormati. <br />m. Lêpo<br />Dianyam dari daun gebak atau daun boro untuk mengisi kapas, garam dapur dll.<br />n. Kiko<br />Bahan anyaman dari daun lontar, berbentuk segi empat digunakan untuk mengisi beras/ emping beras serta digunakan sebagai sarana upacara seremonial adat.<br />o. Raga<br /><br />Terbuat dari kulit bambu dengan dasar empat sudut seperti mbola, dilengkapi dengan empat tali gantungan untuk tempat ikan dll.<br /><br /><br />p. Bela Raga<br />Bela terbuat dari anyaman rotan ua/taga untuk digunakan sebagai sarana yaitu wedhi raga.<br />q. Sesa dan Notu Sesa<br />Dianyam dari bhoka, sedangkan notu dianyam dari kulit bambu, digunakan sebagai alat penangkap ikan, udang dan binatang air lainnya.<br />r. Wuwu<br />Keranjang besar berbentuk segi empat, dianyam dari bambu dilengkapi dengan pintu yang tidak dapat keluar, digunakan sebagai alat penangkap ikan laut.<br />s. Ola Bao<br />Ikat pinggang besar yang dianyam dari tali eko atau jenis tali lainnya digunakan sebagai ikat sarung luka/ ragi sewi lowe pada upacara adat dan acara resmi lainnya.<br />t. Rabha<br />Daun kelapa dianyam seperti tikar digunakan sebagai tempat duduk, tutu seda, tempat jemur ikan dll.<br />u. Kata<br />Keranjang yang dianyam dari daun kelapa, dilengkapi dengan tali gantung pikulan, sebagai tempat untuk mengisi hasil ladang, ayam dll. Ada beberapa jenis keranjang yaitu kata mapa, kata kowe, kata rabha, kata manu, kata rembi dll.<br /><br />13. Makanan Khas<br /> Kare Rajungan<br />Rajungan yang bernama latin Portunus Pelagicus, merupakan jenis kepiting yang sangat populer dimanfaatkan sebagai sumber pangan dengan harga yang cukup mahal. Rajungan merupakan kepiting yang memiliki habitat alami hanya di laut. Rajungan juga memiliki beberapa keunggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa keunggulan, pemanfaatan, dan potensi rajungan. <br />Daging kepiting dan rajungan mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan protein rajungan lebih tinggi daripada kepiting. Kandugan karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan vitamin B1. Rata-rata per 100 gram daging kepiting dan rajungan berturut-turut sebesar 14,1 gram, 210 mg, 1,1 mg, 200 SI, dan 0,05 mg/100 g.<br />Keunggulan nilai gizi rajungan adalah kandungan proteinnya yang cukup besar, yaitu sekitar 16-17 g/100 g daging. Angka tersebut membuktikan bahwa rajungan dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup baik dan sangat potensial. Hasil penelitian dapat ditarik, setelah membandingkan kandungan protein rajungan dengan sumber-sumber pangan hewani lainnya, seperti daging ayam, daging sapi, dan telur. Kandungan protein daging ayam, daging sapi, dan telur per 100 gramnya berturut-turut 20,6 g; 18,2 g; dan 11,8 g.<br />Keunggulan lain adalah kandungan lemak rajungan yang sangat rendah. Hal ini tentu saja merupakan kabar sangat baik bagi konsumen yang memang membatasi konsumsi pangan berlemak tinggi. Kandungan lemak rendah dapat berarti kandungan lemak jenuh yang rendah pula, demikian sama halnya pula dengan kandungan kolestrol.<br />Penilaian mutu rajungan dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian subjektif yang umum disebut juga sebagai penilaian organoleptik, menggunakan panca indra pengamat untuk menilai faktor-faktor mutu yang umumnya dikelompokkan atas penampakkan, aroma, cita rasa, dan tekstur. Sifat organoleptik sangat erat kaitannya dengan sifat fisik rajungan, terutama dalam menentukan kesegarannya.<br />Rajungan yang masih segar memiliki penampakan yang bersih, tidak beraroma busuk, dagingnya putih mengandung lemak berwarna kuning, dan bebas dari bahan pengawet. Daging rajungan yang mulai membusuk terlihat dari warna kulitnya yang pucat, terbuka dan merenggang, daging pun mengering, dan tak terdapat lagi cairan clalam kulit, warna daging berubah kehitam-hitaman dan berbau busuk.<br />Rajungan yang kopong atau memiliki badan yang tidak berisi dapat diketahui dari menekan bagian dada rajungan. Bila lunak berarti daging rajungan tersebut memang tidak padat. Rajungan yang berkulit lunak memiliki ciri khas, yaitu seluruh tubuhnya lunak. Kesegaran rajungan dapat dilihat dari bagian dada, warna daging di antara ruas-ruas kaki dan capit, membuka karapas dan melihat kondisi telur, insang dan lemi(lemak dari rajungan). Bila rajungan tidak segar, bagian dada dan insang berwarna hitam, sedangkan telur dan lemi terlihat mencair dan berlendir.<br />Air rebusan dan kandungan kitin, diperkirakan bisa mencapai 24.000 liter per bulan. Air bekas rebusan rajungan ini cukup potensial untuk dijadikan bahan dasar untuk pembuatan kerupuk kepiting. Kitosan dapat pula dimanfaatkan sebagai penyerap yang efektif terhadap zat-zat yang tidak diinginkan, seperti tanin pada kopi. <br />Selain itu, kitin dan kitosan juga berfungsi sebagai bahan fungsional untuk proses penjernihan air. Seperti lensa kontak, baik hard lens maupun soft lens, dapat dibuat dari polimer kitin yang memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap oksigen. Kitin dan kitosan banyak dipergunakan sebagai bahan pembungkus kapsul, karena mampu terdegradasi secara berangsur dan melepaskan obat dengan dosis yang terkontrol.<br />Beberapa turunan kitosan juga telah ditemukan memiliki sifat antibakteri dan antikoagulan darah. Kemampuan lain dari kitin adalah dalam hal penggunaan sel-sel leukemia, sehingga dapat berfungsi sebagai antitumor. Kitosan juga mulai diusulkan sebagai bahan pembuat ginjal buatan. Kitin juga ditemukan memiliki sifat antikolestrol.<br /><br /> Ayam Bumbu Rendatapa<br />Ayam Bumbu Rendatapa adalah makanan khas Ende, Flores. Cara membuatnya, ayam dimasukan kedalam tumisan berbagai macam bumbu dapur, kemudian ditambah dengan santan encer. Setelah ayam setengah matang kemudian ditambahkan santan kental. Perpaduan ini lah yang kemudian terkenal dengan sebutan Ayam Bumbu Rendatapa.<br /><br /> Ayam Bakar Ende<br /><br />Sementara Ayam Bakar Ende Flores juga masih termasuk masakan khas Ende, Flores. Proses pembuatannya sama dengan Ayam Bumbu Rendatapa tapi kemudian ayam dibakar. Jadi Ayam Bakar Ende Flores adalah Ayam Bumbu Rendatapa yang dibakar.<br /><br /> Ikan Bakar Ende Flores <br />Ikan Bakar Ende Flores adalah masakan khas dari Ende Flores yang menggunakan dua macam bumbu dalam pembuatannya. Ikan yang digunakan untuk membuat masakan ini adalah ikan kue. Setelah ikan dibersihkan, ikan direndam dengan bumbu pertamanya yaitu bawang putih, garam, air jeruk nipis, dan mentega. Setelah itu ikan hasil rendaman dibakar dengan menggunakan daun pisang sampai ikan sudah terlihat garing. Setelah itu ikan diangkat dan dibalur dengan bumbu rendata’pa, bumbu khas Flores, kemudian dibakar kembali. Pembakaran dengan dua bumbu ini membuat rasa Ikan menjadi sangat nikmat dan menggoda selera. Menu ini disajikan dengan selada, labu, acar, dan ketimun yang membuat ikan terasa luar biasa.<br /><br /> Ikan Kuah Belimbing<br />Ikan Kuah Belimbing adalah masakan khas Ende Flores dengan bahan dasar Ikan Kakap Merah dan belimbing sayur. Pada proses pembuatannya ikan direndam dahulu dengan menggunakan garam, jeruk nipis, dan bawang putih sehingga mematikan bau amis dan anyirnya. Setelah itu ikan direbus bersama dengan air yang telah ditaruh dengan berbagai macam bumbu dapur dan belimbing sayur. Rasa yang dihasilkan dari Ikan Kakap dan belimbing ini adalah sedikit asam dan pedas, yang pastinya enak dan segar.<br /><br /> Roti Kompiang<br />Salah satu makanan khas Flores adalah roti kompiang, yaitu roti padat yang diberi wijen.<br /><br /> Sayur Daun Paku <br />Sayur daun paku ini rasanya segar dan agak pahit.<br /><br /> Makanan Khas Ngada<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Minuman Sopi yang beralkohol. <br /> Kopi<br />Orang Manggarai sangat suka minum kopi. Setiap kali bertamu, Anda akan disuguhi kopi buatan sendiri yang rasanya sangat mantap. Bahkan, untuk orang Manggarai ada acara minum kopi sebelum tidur.<br /><br />14. Tempat Wisata<br />• Wisata Rohani Kota Reinha<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Larantuka, sebuah kota yang juga dikenal dengan nama ‘Kota Reinha’ atau ‘Tana Nagi’ merupakan salah satu kota pusat pengembangan agama Katolik di wilayah timur Nusantara, tepatnya di wilayah Kabupaten Flores Timur-NTT. Selama empat abad lebih telah mewarisi tradisi keagamaan melalui peranan kaum awam (non klerus) pada masa silam. Pengembangan agama tersebut tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (confreria), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema). <br />Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung atau “Sesta Vera”. Kedua ritual ini dikenal sebagai “anak sejarah nagi” juga sebagai ‘gembala tradisi’ di tana nagi-Larantuka. Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya. Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis / Latin.<br />Sebenarnya Semana Santa dan Sesra Vera merupakan tolok ukur pendewasaan iman Kristiani (liturgi ekaristi), yang sepatutnya diakui bahwa penyelenggaraannya selama ini telah berlangsung dengan baik dan benar. Namun sayangnya penilaian terhadap seluruh rangkaian kegiatan devosi ini kadang-kadang sangat keliru dan negatif, karena dipengaruhi oleh aspek ‘sosial budaya luar’ pada era globalisasi ini, dan hampir tidak menyentuh inti eksistensi adat dan budaya keagamaan, juga tempat beserta seluruh penduduknya.<br />Semana Santa adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan-pekan suci. Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat.<br /><br />• Danau Kalimutu<br />Taman wisata Kelimutu di Ende. Danau tiga-warna, Kelimutu berada di pulau Flores. Warna ketiga danau itu selalu berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Konon itu akibat dari perubahan aktifitas vulkanis yang berpengaruh terhadap warna tumbuhan air semacam ganggang yang hidup disana. Saat ini, danau yang dilukiskan berwarna merah, terlihat berwarna kehitaman. Yang digambarkan berwarna hijau, kini lebih condong ke biru muda, sementara yang digambarkan berwarna biru, masih tetap biru, tapi lebih pekat. <br />Danau Tiga Warna di Gunung Kelimutu, salah satu obyek wisata yang terkenal di dunia. Danau ini terletak di pertengahan perjalanan dari Maumere menuju desa Moni dan mempunyai daya tarik wisata yang mengesankan di Kawasan Timur Indonesia.<br />Kabupaten Ende yang berbukit-bukit menyimpan keindahan luar biasa. Di sanalah, di puncak Gunung Kelimutu, di kawasan Taman Nasional Kelimutu, terdapat Danau Kelimutu atau Danau Tiga Warna. Bahkan, danau ini oleh dunia disebut sebagai salah satu dari sembilan keajaiban dunia. Sebuah penghargaan yang membanggakan.Awal mulanya daerah ini diketemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda, tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu. <br />Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Koservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992. Gunung Kelimutu adalah Gunung yang memiliki tinggi 1.640 meter di atas permukaan laut (dapl), memiliki tiga buah kepundan di puncaknya yang disebut Danau Kelimutu. <br />Ketiga danau Kelimutu ini memiliki warna air yang berbeda-beda dan berubah tiap saat. Dari warna merah menjadi hijau tua kemudian merah hati. Kadang menjadi warna cokelat kehitaman dan biru. <br />Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.<br />Gunung Kelimutu meletus terakhir pada 1886 dan meninggalkan tiga kawah berbentuk danau yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu ko'o fai nuwa muri), dan putih (tiwu ata bupu). Ketiga warna ini mulai berubah sejak 1969 saat meletusnya Gunung Iya di Ende, dan perubahan warna itu pernah serupa. <br />Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Danau Kelimutu sebagai tempat bersemayam arwah leluhurnya.<br />- Danau dengan air warna MERAH (Tiwu Ata Polo)merupakan tempat berkumpulnya para arwah dari berbagai belahan bumi, arwah orang jahat, <br />- Danau BIRU (Tiwu Nua Muri Koo Fai) dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para pemuda-mudi, dan <br />- Danau PUTIH (Tiwu Ata Mbupu) dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah orang tua.<br />Para arwah akan bermukim di ketiga danau itu sesuai status sosialnya. Dalam perjalanan menuju Kelimutu, pengunjung bisa menikmati pemandangan flora dan fauna yang jarang dijumpai di tempat lain seperti cemara gunung, kayu merah, edelweis, landak, babi hutan, tikus besar, dan burung gerugiwa. <br />Pemandangan menakjubkan juga dapat terlihat seperti kegiatan solfatara yang terus mengepulkan uap dan dinding kawah yang berwarna kuning. Bila melemparkan pandangan ke bagian timur saat mencapai puncak danau berwarna merah, sebuah bukit terlihat menjulang berbentuk bundar. Itulah Buu Ria, lokasi paling tinggi di Gunung Kelimutu. <br />Rute mencapai Kelimutu <br />Obyek wisata Kelimutu sangat mudah di jangkau. Ada 4 alternatif rute perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dapat dilakukan, baik dengan menggunakan transportasi darat, air , maupun udara. Bagi pengunjung yang ingin melakukan perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dapat menikmati keindahan alam yang eksotik sekitar pukul 04.00 pagi, seni budaya dan kehidupan sosial desa tradisional di sekitarnya seperti Woloara, Jopu, Ranggase, Wiwipemo, Tenda, Nuamulu dan Nggela. <br />• Rute 1 <br />Tiba di Bandara H. Aroeboesman atau Pelabuhan IPPI Ende, wisatawan dapat memperoleh informasi tentang objek-objek wisata Kota Ende dan sekitarnya di Pusat Informasi Wisata Jl. Soekarno No. 4 Ende. Kemudian anda dapat menikmati suguhan makanan dan minuman di restoran-restoran di kota Ende seperti RM. Pondok Bambu, Warung Bangkalan dll. Setelah mengunjungi objek wisata di Ende, dapat dilanjutkan perjalanan menuju Kelimutu yang berjarak 53 Km dari Kota Ende dengan mengunakan transportasi umum, mobil/sepeda motor. Dalam perjalanan ke Kelimutu ada banyak objek dan atraksi wisata alam yang dapat di lihat seperti Gua-gua Jepang di Roworeke di Km 7, air terjun, jurang, lembah dan hutan kemiri sepanjang pegunungan dan juga dapat menikmati Watugamba (batu bertulis) di Km 17 dan berhenti sejenak untuk melihat belut raksasa di desa tradisional Wolotolo. <br />Selanjutnya diteruskan dengan menikmati pemandangan alam yaitu sawah berundak di Dile, dan melihat batu berbentuk perahu (Waturajo) dan kuburan tradisional seperti Saga, Puutuga, dan Sokoria. Kembali ke rute Ende-Kelimutu dengan melewati desa tradisional Detubapa yang terkenal dengan kebun contoh (agro wisata) di KM 29, kebun sayur, cengkeh dan sawah berundak sepanjang perjalanan sebelum dan sesudah Detusoko. Di Detusoko dapat menikmati sumber air panas Koka, mengunjungi Gua Maria, desa tradisional dan gereja tua dan menginap di Wisma St. Fransiskus. Dalam perjalanan ke Nduaria, maka dapat mengunjungi desa tradisional Wologai, melihat Mumi di Desa Nuaone dan membeli sayuran dan buah-buahan lokal di Pasar Tradisional serta menikmati keindahan alam di Desa Nuamuri dan air terjun di lia Kutu serta Kebun Contoh Sayur dan Buah. <br />Saat memasuki kawasan Kelimutu pengunjung diharuskan membeli karcis masuk di Pos Jaga Taman Nasional Kelimutu di Manukako sekaligus dapat memperoleh informasi tentang Kelimutu dan meminta pemandu wisata. Sambil menyusuri jalan setapak pengunungan, lembah dan jurang yang dikelilingi hutan dan bunga seperti Edelweis dan cemara gunung, terdapat pula spesies burung Gerugiwa yang dapat meniru dan mengubah nada suaranya. Dalam perjalanan pulang, dapat berhenti sejenak untuk mengunjugi sumber air panas di Watu Raka, Koloronggo dan Lia Sembe dan air terjun Marundao – Moni. Di Moni terdapat melihat kampung tradisional, atraksi seni tari tradisional dan membeli souvenir berupa kerajinan tenun ikat. <br />• Rute II <br />Menuju Kelimutu dapat di tempuh melalui Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Mbay, Maukaro, Nggemo, Mukusaki, Wewaria dan Ropa. Dalam perjalanan menuju Kelimutu, dapat berhenti sejenak di Sumber Air Panas Koka, Detusoko. <br />• Rute III <br />Dari Maumere dengan melewati pantai utara pulau flores yang terkenal dengan pasir putih dan alam lautnya, Pantai Nggemo, Pantai Ndondo, Aewora, Anabara, Maurole, Mausambi dan Pantai Ropa kemudian menuju Detusoko – Moni lalu Kelimutu. <br />• Rute IV <br />Dari Maumere ke Wolowaru. Di Wolowaru anda dapat mengunjungi desa-desa tradisional dengan rumah adat, bangunan megalitik, kerajinan tenun, tarian tradisional dan peninggalan purbakala seperti di Mbuli Lo’o, Ranggase, Jopu, Tenda, Wolojita, Wiwipemo, Nuamulu, Ngela dan Lisedetu. <br />• Rute V <br />Bila dari Komodo ingin berwisata ke Kelimutu melewati jalan darat Labuan-Bajo – Ruteng – Bajawa – Ende. Selain panorama alam dan cuaca sejuk dan indah pemandangan sepanjang jalan, memasuki perbatasan Kabupaten Ende melewati pantai selatan yang indah dan jernih seperti Nangmboa, Nangapanda, Penggajawa, Numba serta Gua alam pantai di Mbawe. Akan lebih puas bila ingin berlayar dan menikmati alat laut di Pulau Ende dengan menggunakan perahu cadik yang tersedia di Taman Wisata Bahari Pantai Ende sebelum melanjutkan perjalanan anda mengikuti Rote I. Kesempatan yang sama selain menikmati objek dan daya tarik wisata dalam kota Ende, sambil menginap di hotel dan mempunyai kesempatan mengunjungi pantai Mbu'u, Kampung tradisional Wolotopo, Ngalupolo dan Ndona.<br />Disekitar Taman Nasional Kelimutu terdapat beberapa obyek wisata alam maupun wisata budaya yang dapat anda kunjungi karena keindahan maupun sejarahnya.<br />Air Terjun Kedebodu/Ae Poro.<br />Terletak di Desa Kedebodu,Kec.Ende Selatan.Setelah anda tiba di km 8 (ada sebuah kolam renang) Anda melanjutkan ke arah utara ± 5 km dan tiba di air terjun Kedebodu/Ae Poro.Air terjun dengan ketinggian ± 35 meter ini merupakan suatu fenomena yang menakjubkan.<br />Belut Sakti Wolotolo <br />Terletak di Kampung Ae Kewu, Desa Wolotolo,Kecamatan Detusoko. Berjarak ±20 km dari kota Ende dan dilanjutkan ± 1 km dengan berjalan kaki dari jalan trans Ende-Maumere. Untuk melihat belut sakti, terlebih dahulu anda menghubungi Bapak Stefanus Lau selaku pawang dari belut sakti tersebut dan anda diahruskan menyiapkan seekor ayam untuk memberi makan kepada belut sakti ini. Dalam upacara adat, ayam yang digunakan adalah ayam jantan warna merah.<br />Kebun Contoh Detu Bapa<br />Terletak sekitar 28 km dari kota Ende terdapat di Desa Wolofeo, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Kebun contoh ini dikelola oleh Dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende.Kebun contoh seluas 4,4 ha ditanami antara lain cengkeh, kopi, kakao, salak dan mahoni.<br />Air Panas Ae Oka Detusoko<br />Setelah anda tiba di Detusoko (ibu kota Kec.Detusoko,± 33 km dari kota Ende), anda berjalan ke arah Utara ±1 km dari terminal Detusoko menuju ke Kolam Air Panas Ae Oka yang telah ditata dengan baik dan rapi. Air panas ini dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. <br />Gua Maria Lourdes Detusoko<br />Terletak sebelah utara sekitar ± 1 km dari Kolam Air Panas Ae Oka. Suasana yang sejuk dan sepi dapat memberi ketenangan dan keheningan bagi anda yang ingin berziarah dan berdoa di Gua Maria Lourdes ini.<br />Kampung Adat Wologai<br />Kampung Adat Wologai terletak di Kecamatan Detusoko ± 40 km arah timut Kota Ende. Memililki sejumlah bangunan rumah adat berasitektur tradisional yang tertata rapi membentuk lingkaran, dengan sejumlah atraksi budaya yang dapat disaksikan di kampung ini terutama saat upacara adat berlangsung. <br />Dipinggir jalan trans Ende-Maumere, tepatnya di dusun Ekoleta, Desa Wologai Tengah terdapat susunan sawah yang bertingkat yang menjadi suatu pemandangan yang memikat bagi nada yang menyukai suasana persawahan. Padi yang dihasilkan dari sawah ini memunyai rasa yang khas.<br />Mumi Kaki More Wolondopo <br />Terletak di Desa Wolondopo Kec.Detusoko, kira-kira 7 km dari Ekoleta, Desa Wologai. Mumi Kaki More merupakan mumi dari seorang pengusaha kampung atau Mosalaki . Atas permintaan Kaki More, jenasahnya tidak dikuburkan tetapi diletakkan di atas pohon beringin. Mumi ini merupakan salah satu aset wisata sejarah di Kabupaten Ende.<br />Air Panas Liasembe<br />Terletak di Kampung Liasembe sekitar 2 km dari kampung Moni. Air panas ini digunakan oleh masyarakat umum untuk mandi. Suasana yang sejuk dan airnya hangat dapat menyegarkan anda dari kepenatan.<br /><br />Sawah Bertingkat Waturaka<br />Terletak di Desa Waturaka sekitar 6 km dari Kampung Moni. Kondisi sawah yang bertingkat ini merupakan suatu pemandangan yang sangat indah. Suasana alam yang sejuk menemani anda untuk menikmatinya.<br />Perikonde<br />Menurut kepercayaan masyarakat setempat , tempat ini adalah Pintu Gerbang bagi arwah untuk menuju ke Danau Kelimutu sebagai tempat bersemayamnya arwah. Penjaganya bernama Konde Ratu.Lokasinya kira-kira 13 km dari kampung Moni.Pengunjung diperkenankan untuk memberikan kepingan uang logam, sirih pinang maupun rokok sebagai persembahan kepada Konde Ratu. <br /><br />Rumah Adat dan Tenun Ikat Pemo<br />Setelah anda melihat Danau Kelimutu, anda dapat mengunjungi Desa Pemo untuk melihat keunikan Rumah Adat dan proses pembuatan tenun ikat. Letaknya kira-kira ± 12 km dari Danau Kelimutu. Dapat ditempuh dengan berjalan kaki maupun kendaraan roda 2 dan 4.<br /><br /> Sawah Pertama Kampung Moni<br />Terletak di pinggir jalan negara Ende-Maumere, sekitar 52 km arah timur Kota Ende. Bentangan alam yang luas dan hijau menambah keindahannya.Disinilah terletak pasar tradisional.<br /><br />Air Terjun Murundao<br />Terletak sekitar 400 meter dari kampung Moni. Air terjun Murundao dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama ± 10 menit dari kampung Moni. Air terjun dengan ketinggian kira-kira 15 meter, air terjun ini dengan pemandangan alam sekitarnya yang sangat menarik untuk dinikmati oleh pengunjung.<br /><br /><br />Tenun Ikat Mbuli Lo'o<br />Desa Mbuli Lo'o terletak sekitar 56 km arah selatan dari Kota Ende. Di lokasi ini, pengunjung dapat melihat proses pembuatan tenun ikat dan membeli berbagai macam tenun ikat dengan motif yang menarik.<br /> <br />Rumah Adat, Tenun Ikat Jopu dan Air Terjun Murukola <br />Desa Jopu terletak sekitar 60 km sebelah selatan Kota Ende. Desa yang sejuk ini memiliki rumah adat yang dapat anda kunjungi. Andapun dapat menyaksikan pembuatan tenun ikat dan dapat membelinya sebagai souvenir. Dan juga di Desa Jopu terdapat air terjun Murukola yang dapat anda kunjungi.<br /><br />Rumah Adat dan Tenun Ikat Nggela<br />Desa Nggela terletak sekitar 70 km arah selatan dari Kota Ende.Dalam kompleks rumah adat tersebut terdapat 17 buah rumah adat yang ditinggali oleh 17 Mosalaki.Perayaan Adat seperti loka lolo, loka pare dan joka ju dilaksanakan pada bulan Mei-Juni. Terdapat gading sebanyak 2 buah masing-masing sepanjang 1 meter dan 2 meter yang merupakan peninggalan dari jaman Portugis.Sekitar 3 km dari Nggela ke Kota Ende terdapat Ae Wau (air belerang), tempat pemandian yang dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit.<br /><br />• Taman wisata 17 Pulau di Riung Ngada<br />Riung 17 Pulau laksana “Surga Bawah Laut” yang belum terjamah. Kelompok pulau ini terdiri dari pulau-pulau kecil dan pulau karang yang terbentang di depan Teluk Riung. Alam bawah laut dari pulau-pulau ini kaya dengan keanekaragaman hayati. Disamping itu, daerah perbukitan sekitar Riung (Pulau Flores) dihuni oleh biawak raksasa spesifik Riung. Penduduk lokal menamakannya “Mbou”. Bila biawak komodo disebut varanus komodoensis, maka biawak Riung disebut juga sebagai Varanus Riungensis. Pulau kelelawar merupakan salah satu pulau yang terdapat di taman laut 17 pulau ruing.<br />Kawasan Wisata Alam Laut Riung terhampar memanjang dari Toro Padang di sebelah barat sampai dengan Pulau Pangsar di sebelah timur. Kecamatan Riung terdiri dari lima desa yaitu: Sambinasi, Nangamese, Benteng Tengah, Tadho dan Lengkosambi. Mawar Laut merupakan salah sayu obyek wisata yang ada di taman laut 17 pulau Riung dan pasir putih merupakan tmpat pemandian yang berada pada salah satu pulau dari 17 pulau lainya.<br />Riung dapat dicapai dengan bis selama tiga jam dari Bajawa, Ibukota Kabupaten Ngada atau satu jam dengan bis dari Mbay. Perjalanan dengan pesawat dari Jawa dapat dilakukan melalui Jakarta/Surabaya-Denpasar-Maumere atau Jakarta/Surabaya-Denpasar-Ende dan dilanjutkan dengan bis ke Bajawa dan Riung. Mobil sewaan juga tersedia di Maumere dan Ende. <br /><br />• Tempat wisata Batu Cermin<br />Pulau Flores juga memiliki ngarai (canyon) yang cantik. Lokasinya di wisata Batu Cermin. Sekitar, 4km dari Labuanbajo. Pada dasarnya, lokasi itu merupakan kawasan bukit karang dengan sejumlah gua yang berada diantaranya. Untuk mencapai canyon yang berada di dalam gua itu, pelancong harus membekali dirinya dengan lampu penerangan portabel seperti senter. Patut diakui, pengalaman di dalam gua memang cukup mendebarkan. Karena, keadaannya yang gelap. Namun, pada saat kita tiba di lokasi ngarai seketika itu kita akan terperangah akan keindahannya. <br /><br />• Labuanbajo<br />Bagi pecinta keindahan panorama pantai dan memiliki kegemaran melakukan snorkeling, kunjungi Labuanbajo. Sebuah kota nelayan kecil yang berlokasi di ujung Timur Pulau Flores. Wilayah ini biasa dikunjungi wisatawan asing. Apalagi, di lepas pantai Labuanbajo terdapat beberapa pulau kecil dengan panorama yang memesona dengan pasir putih yang terhampar. Banyak diantara turis yang sengaja datang untuk berjemur menikmati sinar Matahari disana. Apabila berdiri disalah satu pulau kecil yang ada Labuanbajo, terlihat berderet pulau kecil diantara pulau tempat berdiri. Walaupun berada di tengah pantai, namun terasa berada ditepian danau besar.<br />Diantara pulau-pulau kecil itu adalah Pulau Bidadari. Untuk mencapainya, perlu menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh sekitar setengah hari perjalanan. Keindahan pulau ini antara lain dari perairannya yang jernih. Bagi penggemar olah raga menyelam, tentu akan terpesona dengan terumbu karang yang menghiasi alam bawah laut pulau itu. Lokasi penyelaman lain dekat dengan pulau Bidadari adalah Pulau Sabolo Besar dan Pulau Sabolo Kecil.<br /><br />• Taman Nasional Komodo<br />Merupakan taman yang sangat luar, dimana didalamnya hidup binatang reptil raksasa yakni Komodo (varanus komosoesis), yang hanya ditemukan di pulau Komodo dan pulau lain sekitarnya. Komodo termasuk binatang reptil yang dilindungi. Kawasan Taman Nasional Komodo mencakup beberapa pulau yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Padar dan masih banyak pulau-pulau kecil lainnya.<br /><br />• Perkampungan tradisional di Ngada<br />Bena adalah nama sebuah perkampungan tradisional yang terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Desa ini terletak di bawah kaki Gunung Inerie sekitar 13 km arah selatan Kota Bajawa. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan sejumlah bangunan megalitik yang dimiliki dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. <br />Kampung adat Bena terletak tepat di lereng Bukit Inerie yang agak menonjol. Warga setempat menyebut tempat ini seperti berada di atas kapal karena bentuknya memanjang seperti perahu. Konon menurut cerita yang dipercaya secara turun temurun, pada zaman dahulu sebuah kapal besar pernah terdampar di atas lereng gunung itu. Kapal itu tidak bisa berlayar lagi dan terus terdampar sampai akhirnya air surut dan menjauh dari tempat itu. Bangkai kapal kemudian membatu dan di atasnya kemudian digunakan masyarakat setempat sebagai lokasi perkampungan. <br />Perkampungan Bena mempunyai daya tarik sendiri bagi para wisatawan karena bangunan megalitik berupa susunan batu-batuan kuno. Tidak ada yang mengetahui secara pasti siapa yang mendirikan bangunan megalitik tersebut, namun masyarakat setempat percaya kalau bebatuan tersebut disusun seorang diri oleh seorang lelaki perkasa bernama Dhake. <br />Menurut warga setempat, suatu waktu datanglah sekelompok orang dan membangun sebuah perkampungan di tempat tersebut yang kemudian diberi nama Bena. Uniknya, di antara mereka ada seorang lelaki bernama Dhake yang bertekad ingin menciptakan sebuah kampung yang agung dan indah. Maka timbulah gagasan dalam benaknya untuk merancang perkampungan itu dengan menyertakan batu-batu besar sebagai hiasannya. <br />Terdorong oleh gagasannya itu, ia kemudian pergi ke Pantai Aimere yang berjarak sekitar seratus kilometer dari perkampungan Bena. Dari sana ia mengambil batu-batu besar berbentuk lempengan panjang atau pun meruncing, lalu dipikulnya hingga ke Bena. Batu- batu itu kemudian disusun sedemikian rupa, ada yang berdiri dan ada pula yang dibiarkan mendatar. Sususan batu-batu itulah yang saat ini dikenal dengan megalit. <br />Para tamu yang berkunjung akan melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan megalit itu. Bentuknya sederhana berupa susunan batu-batu yang teratur dan berada tepat di tengah perkampungan. Pada batu megalit ini terlihat jelas bekas telapak kaki yang diyakini masyarakat setempat adalah telapak kaki milik Dhake. Menurut cerita, pada saat membangun kampung Bena ini, batu-batu yang dipikul Dhake dari Aimere, masih lembek dan tidak sekeras yang sekarang ada sehingga bekas tapak kaki Dhake nampak jelas di atas batu. <br />Para pengunjung yang datang ke tempat ini akan menemukan jejeran rumah-rumah penduduk yang masih sangat tradisional dan terletak saling berhadapan. Rumah-rumah adat yang sering disebut peo ini, terbuat dari papan berbentuk panggung, beratap alang-alang dipadukan dengan dinding bambu pada teras depan yang berukuran sekitar 10 kali 10 meter. Di bagian tengah kampung terdapat monumen adat yang dibangun seperti lopo (madhu) dan sebuah rumah kecil yang disebut bhaga. Kedua bangunan ini oleh masyarakat setempat dianggap sebagai simbol pemersatu dari suku yang menempati perkampungan itu. <br />Masyarakat setempat benar-benar bertekad untuk mempertahankan keaslian perkampungan tersebut. Semua rumah dibangun menyerupai rumah adat dan tidak diizinkan membangun rumah dengan campuran yang bergaya modern. Listrik pun tidak diizinkan sehingga untuk penerangan hanya digunakan lampu pelita. <br />Hal ini sengaja dikondisikan untuk mempertahankan citra perkampungan adat tersebut sesuai sejarah pembangunannya. Masyarakat kampung Bena umumnya ramah terhadap pengunjung, dimana setiap pengunjung yang datang pasti disambut dengan senyuman, sebagai sapaan. Kita bisa bertanya-tanya tentang budaya yang mereka miliki dan dengan sangat baik akan dijelaskan kepada kita perihal budaya setempat. <br /><br />• Obyek Wisata Sejarah dalam Kota Ende<br />Dalam kota Ende terdapat beberapa obyek wisata sejarah yang dapat dikunjungi karena nilai sejarah yang terdapat di dalamnya : <br />a. Situs Bung Karno( tempat berziarah) <br />Rumah di Jalan Perwira, Kelurahan Kotaratu, Kec.Ende Selatan (Kota Ende), itu tampak seperti layaknya permukiman penduduk karena konstruksinya menyerupai permukiman di sampingnya. Yang membedakannya adalah sebuah papan nama bertuliskan 'Situs, Bekas Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende' terpampang di halaman depan. Di rumah berukuran 12 x 9 meter ini, mantan Presiden Republik Indonesia Soekarno (Bung Karno) menjalani masa pengasingan oleh kolonial Belanda selama empat tahun (1934-1938). <br />Bung Karno diasingkan sejak 14 Januari 1934 bersama istrinya, Inggit Garnasih; mertuanya, Ibu Amsih; anak angkatnya, Ratna Juami; serta guru anak angkatnya, Asmara Hadi. <br />Dalam berbagai catatan yang mengupas tentang masa pengasingan Bung Karno di Ende, Pulau Flores, NTT, salah satu yang paling diminati masyarakat adalah buku berjudul Bung Karno, Ilham dari Flores untuk Nusantara. <br />Buku ini menceritakan perenungan Bung Karno di bawah sebuah pohon sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan lima butir Pancasila. Kelima butir Pancasila secara resmi diumumkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan sidang Dokoritsu Zyumbi Tyoosakai. <br />Rumah dan pohon sukun, dua saksi sejarah yang berada di jantung Kota Ende tetap dipelihara dengan baik sampai sekarang. Di kalangan masyarakat Ende, rumah pengasingan Bung Karno ini dianggap sakral. Siapa pun yang memasuki halaman rumah harus meminta izin kepada Bung Karno dengan mengucapkan kata 'permisi'. "Kalau Anda tidak mengucapkan kata permisi, nanti ada saja rintangan. Misalnya kalau memotret, gambarnya tidak tampak. Dan dibelakang museum Bung Karno ada sumur yang dalamnya 12 meter, digunakan oleh Bung Karno untuk mandi, cuci dan minum serta wudhu untuk sembayang. Konon air sumur ini mempunyai khasiat untuk kesembuhan penyakit dan awet muda. <br />b. Pohon Sukun<br />Terletak disamping kanan lapangan PERSE Ende, jalan Soekarno. Ditempat ini ditahun 1934-1938 setiap sore selepas sholat Ashar, Bungkarno duduk merenung kadangkala tengah malam sampai subuh. Hasil renungannya adalah PANCASILA yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Pohon sukun tergambar adalah hasil penanaman ulang setelah pohon asli tumbang sekitar tahun 60-an, ditanam ulang tumbuh hanya dua cabang dan mati. Setelah diadakan doa dan upacara, pada penanaman yang kedua pohon yang ada sekarang tumbuh subur hingga sekarang dengan cabang lima yang diyakini masyarakat sebagai perwujudan lima sila Pancasila. <br /><br />• Wisata Gunung Inie Rie<br />G. Inie Rie merupakan gunungapi tertinggi di P. Flores dengan ketinggian 2230 m dpl. Keadaan ini menjadikan kota Bajawa dan sekitar G. Inie Rie berudara sejuk dan berpanorama indah. Begitu pula bila kita berada di puncak G. Inie Rie kita dapat menikmati bentang alam yang sangat indah seperti Laut Sawu di selatan, kerucut G. Ebulobo di timur dan punggungan-punggungan di sekitarnya. Di Kota Bajawa dan sekitarnya kita dapat melihat bangunan-bangunan lama seperti gereja/seminare yang tampak indah dan terawat.<br />Disamping itu terdapat pula objek wisata pantai Laut Sawu di selatan G. Inie Rie. Panorma pantai ini cukup menarik karena berpadu dengan panorama perbukitan gunungapi tua. <br /><br />• Hutan Wisata Camplong<br />Merupakan hutan wisata dengan pemandian alamnya yang indah dan sejuk. Serta hutan yang didiami banyak jenis satwa lindung. Juga terdapat banyak sumber daya alam seperti air gua, aneka jenis flora dan digunakan sebagai tempat breeding rusa<br /><br />• Tempat wisata lainnya<br />Obyek dan atraksi wisata di NTT yakni Ranaka dan Pantai Cepi Watu di Manggarai, taman laut Teluk Maumere di Sikka dan Prosesi Jumat Agung di Flores Timur.<br />Kampung-kampung tradisional dari ujung Barat sampai Timur Pulau Flores merefleksikan kebhinekaan etnik yang membentuk budaya Flores. Khususnya untuk wisatawan muda yang haus pengetahuan. Kabupaten Ngada merupakan “museum hidup” dari kebudayaan megalithik yang sangat menarik bagi kegiatan widyawisata.<br />Museum anthropologi di Maumere memperagakan bukti-bukti archeologi dari homo saphiens erectus dan stegodon yang hidup di Ngada kira-kira 800.000 tahun yang lalu. Spesis manusia purba ini pertama kali ditemukan di Riung dan Mata Menge oleh seorang Misionaris Jerman, dan kemudian diakui secara ilmiah oleh Dr. Michael Morwood dari Universitas New England. Objek wisata yang terdapat di Flores Timur antara lain: Makontarak, Danau Kotakaya, dan Konga. Obyek wisata potensil lainnya adalah berupa objek wisata budaya yaitu rumah adat Suku Flores yang terdapat di Desa Bena dan Langa.<br />Wisata Bahari, yaitu menikmati pantai dan pulau yang indah, atau juga melakukan kegiatan seperti scuba, snorkling, atau renang karena pantai dan laut yang terhampar semuanya masih perawan belum dirusaki oleh tangan ataupun limbah, baik industri ataupun rumah tangga. Antara lain terdapat di berbagai daerah sebagai berikut:<br /> <br /> <br /><br />Makontarak<br /><br /><br /> <br /> <br /><br />Danau Kotakaya Konga<br /> <br /> <br /><br />Danau Waibelan<br /> <br /> <br /><br />Pantai Longot Pantai Oa Rako<br /> <br /> <br /><br />Pantai Deri Pantai Deri<br /><br />G. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI<br /> Perkembangan Flores<br />Hampir sama dengan daerah-daerah bagian timur Indonesia, pembangunan di Flores lebih tertinggal dibandingkan pembangunan di daerah-daerah bagian barat Indonesia. Terhambatnya pembangunan di Flores disebabkan oleh beberapa faktor penghambat yang amat penting, meliputi:<br />- Tanah di Pulau Flores yang cenderung tidak subur, miskin akan sumber-sumber alam dan iklimnya yang amat kering<br />- Daerah Flores, kecuali bagian baratdaya (misal: Manggarai), belum lama keluar dari keadaan isolasi yaitu tertutup dari hubungan dan kebudayaan masyarakat yang lain<br />- Penduduk Flores terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda<br />- Sikap mental penduduk yang masih terpengaruh oleh adat-istiadat kuno yang feodal dimana adat-istiadat tersebut cenderung menghambat pembangunan<br />Tanah yang kurang subur dan iklim yang terlampau kering menyebabkan ekonomi Flores sukar untuk dikembangkan di bidang pertanian. Namun ini dapat diatasi dengan melakukan perbaikan atas teknologi bercocok tanam, teknik irigasi, cara pemupukan dan mekanisasi di bidang pertanian yang selama ini digunakan masyarakat Flores.<br />Sedangkan mengenai sifat aneka warna dari penduduk Flores merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dirubah. Keadaan ini dapat menimbulkan kesukaran dan kompleksitas terhadap perencanaan pembangunan dan keseragaman kebijaksanaan dalam hal memerintah daerah tersebut. Persamaan agama yang dianut dan nasionalisme yang kuat dapat menjadi salah satu faktor penyatu yang kuat.<br />Suatu hal yang segera harus mulai dirubah adalah adat-istiadat kuno dan sikap mental feodal yang masih kuat menghinggapi cara berpikir orang Flores. Pesta adat yang seringkali bersifat pemborosan seharusnya dapat dikurangi atau dibuat sesederhana mungkin. Dalam hal merubah sikap mental ini dapat melalui media pendidikan dimana harus ada keseimbangan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Selain itu, pemerintah juga dapat mempercepat perkembangan dari suatu sikap mental yang lebih modern dengan menyediakan perangsang-perangsang yang dapat mendorong timbulnya unsur sikap mental baru tadi.<br />Salah satu potensi ekonomi Flores yang menjanjikan adalah di bidang pariwisata namun jumlah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara masih sangat kurang. Hasil pendataan kunjungan wisatawan di daerah ini selama lima tahun terakhir (1997-2001) menunjukkan kunjungan wisatawan ke Flores belum sesuai dengan harapan bila dibandingkan dengan daerah lain seperti Bali. Pada tahun 1997, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 2000an orang, tahun 1998 naik menjadi 3.102, tahun 1999 turun menjadi 1.454 orang, tahun 2000 menjadi 1.964 orang dan tahun 2001 menjadi 620 orang. Sementara kunjungan wisatawan nusantara (wisnu) pada tahun 2001 mencapai 2.625 orang. <br />Salah satu sebab kurangnya wisatawan berkunjung ke Flores adalah banyaknya permasalahan rumit yang masih melilit dunia pariwisata di Bumi Pada Eweta Manda Elu ini, yang perlu dicarikan jalan keluarnya demi pengembangan sektor pariwisata tersebut. Di samping itu krisis ekonomi dan krisis politik yang secara nasional melanda Indonesia beberapa tahun terakhir, menjadi salah satu penyebab sangat berkurangnya wisatawan yang berkunjung. <br />Permasalahan lain yang melilit dunia kepariwisataan di Flores adalah terbatasnya sumber daya manusia (SDM) yang profesional dalam memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, efisiensi dan efektivitas sektor pariwisata di Flores. Perlu dilakukan perencanaan kepariwisataan dan meningkatkan keterampilan dalam mengelola aset wisata termasuk mengelola suatu jaringan pemasaran wisata yang sinergis. <br />Selain itu, kelembagaan yang menangani urusan kepariwisataan belum berfungsi secara optimal (pemerintah, swasta dan masyarakat). Infrastruktur berupa sarana-prasarana pendukung yang masih sangat kurang di lokasi objek wisata. Akibatnya produk-produk wisata yang dimiliki oleh daerah ini tidak siap untuk dijual. Dinas Pariwisata selaku instansi teknis kurang melakukan sosialisasi dan promosi tentang objek-objek wisata. <br />Permasalahan lainnya adalah berwisata belum dianggap sebagai suatu kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat (pemahaman masyarakat tentang pariwisata masih sangat kurang); belum terbukanya jalur transportasi dan komunikasi langsung dengan objek-objek wisata yang menjadi sasaran wisatawan serta belum adanya investor atau pengusaha yang bersedia menanamkan modalnya guna pengembangan pariwisata di daerah ini. Kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) yang belum kondusif untuk menjamin keamanan wisatawan yang berkunjung ke daerah ini (pencurian dan perampokan), juga masih menjadi masalah di daerah ini. <br />Banyaknya permasalahan di atas telah menyebabkan jaringan pemasaran pariwisata di Flores tidak berkembang sama sekali bahkan mengalami kemunduran. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah ini dari tahun ke tahun bukannya bertambah, malahan semakin berkurang. <br />Menghadapi permasalahan-permasalahan ini tidak lain adalah mencari jalan keluar sehingga komoditi pariwisata yang sangat potensial itu dapat menjadi sasaran kunjungan para wisatawan. Dinas Pariwisata sebagai instansi teknis harus proaktif dan mampu membuat kebijakan pembangunan pariwisata yang dapat menjawab berbagai permasalahan kepariwisataan di Flores. <br />Kamtibmas yang belum kondusif merupakan salah satu penghalang kunjungan wisatawan ke Flores. Untuk menarik minat wisatawan berkunjung ke daerah ini, maka masyarakat juga diharapkan turut serta menjaga kondisi Kamtibmas dengan memerangi para pelakunya. Dengan demikian para wisatawan dapat dengan tenang berwisata dan menikmati kekayaan wisata Flores. <br />Masalah SDM harus menjadi perhatian dan dibina terus-menerus sehingga tercipta tenaga-tenaga profesional yang dapat menggerakkan dunia pariwisata di Flores, baik SDM pihak swasta seperti pengelola hotel/penginapan, rumah makan maupun masyarakat yang berhubungan langsung dengan tenaga-tenaga profesional yang diharapkan.<br />Selain itu masyarakat juga agar secara terus-menerus diberikan pemahaman tentang pentingnya dunia pariwisata bagi kehidupan manusia. Dengan demikian masyarakat tidak menganggap pariwisata sebagai sesuatu yang aneh, melainkan sesuatu yang patut dicintai. <br />SDM aparat juga sangat memprihatinkan. Hingga saat ini, Dinas Pariwisata tidak memiliki tenaga profesional yang memiliki keahlian dalam kepariwisataan. Akibatnya, konsep-konsep dan aplikasi pengembangan pariwisata di daerah ini juga sangatlah terbatas dan belum sesuai dengan harapan. <br />Pihaknya telah membuka jaringan dengan sekolah sekolah kepariwisataan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM di Dinas Pariwisata Flores. Namun hal ini belum ada realisasinya karena berbagai benturan yang masih dihadapi, terutama benturan dana yang dirasa masih sangat kurang pengalokasiannya. <br />Oleh karena itu, kebijakan yang harus ditempuh Dinas Pariwisata adalah meningkatkan sistem promosi wisata sesuai dengan segmen pasar wisata utama. Dengan demikian, dunia luar dapat mengenal dan mengetahui potensi-potensi pariwisata yang dimiliki oleh Flores. Promosi tersebut dilakukan baik melalui media elektronik, media massa, brosur-brosur maupun dengan mengikuti even-even wisata berupa pameran dan sebagainya. <br />Poteleba memberi contoh, pasola yang diselenggarakan setiap tahun di beberapa kecamatan di Flores diketahui oleh wisatawan asing karena diperkenalkan oleh turis-turis yang sebelumnya telah mengunjungi Flores dan menyaksikan atraksi pasola tersebut. <br />Selain peningkatan promosi, Dinas Pariwisata perlu membuka jaringan pemasaran pariwisata dengan daerah-daerah yang sektor pariwisatanya sudah sangat maju seperti Bali melalui biro-biro perjalanan yang ada. Tanpa jaringan yang memadai, pariwisata Flores tidak mungkin berkembang dengan baik. <br />Selain itu, sarana-prasarana pendukung di lokasi objek wisata perlu dibangun dan dibenahi untuk lebih menarik para wisatawan berkunjung ke Flores. Selama ini, sarana-prasaran masih sangat kurang dan belum ada tanda-tanda pembangunan dan pembenahannya. <br />Kebijakan dan strategi pembangunan serta program peningkatan nilai jual kepariwisataan Flores untuk menjawab berbagai permasalahan tadi, dengan meningkatkan promosi melalui media elektronik, marketing, pemasangan iklan dan paket tour, meningkatkan kerja sama dengan lembaga kepariwisataan maupun pemuatan tulisan/informasi di surat kabar dan mengikuti event-event wisata. <br />Kebijakan dan strategi lain adalah membangun dan mengembangkan home stay dan desa wisata. Di samping itu, mendorong dan meningkatkan mutu SDM melalui pendidikan, pelatihan, job trainning, studi banding dan sebagainya. <br />Meskipun telah disusun kebijakan dan strategi pengembangan kepariwisataan di Flores, namun belum dapat direalisasikan secara menyeluruh. Adapun kendala pelaksanaan berbagai kebijakan dan strategi pembangunan pariwisata di Flores adalah terbatasnya dana yang dialokasikan. Jika dana yang dialokasikan cukup memadai, maka kebijakan strategi dan program pembangunan pariwisata di Flores akan berhasil dengan baik. Dengan demikian upaya menjadikan Flores sebagai salah satu daerah tujuan wisata di NTT bahkan Indonesia dapat terwujud. <br />Dalam masalah promosi objek wisata, selama ini pihak Dinas Pariwisata baru melakukannya dengan menerbitkan brosur-brosur lalu disebarkan ke berbagai daerah di NTT dan biro-biro perjalanan. Namun jumlahnya dan jangkauannya masih sangat terbatas. Sedangkan kota-kota besar lainnya di Indonesia dan mancanegara belum terjangkau sama sekali. Sementara itu promosi lewat media elektronik dan media cetak belum dilakukan sama sekali karena benturan dana. <br />Flores sebagai salah satu wilayah yang sangat prospektif dalam bidang kepariwisataan, hingga kini masih mengalami masalah keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung. Akibatnya, tidak ada sumbangan langsung objek wisata terhadap peningkatan PAD di Bumi Sandelwood ini. Sumbangan PAD yang diperoleh dari sektor pariwisata selama ini adalah sumbangan tidak langsung melalui pajak hotel dan restauran tempat wisatawan menginap dan makan. <br />Oleh karena itu, pengalokasian dana yang cukup bagi perkembangan kepariwisataan. Tanpa alokasi dana yang cukup memadai, kebijakan strategi bahkan program apa pun yang dilakukan demi peningkatan sektor pariwisata di Flores tidak akan berhasil dengan baik.<br />Di tengah-tengah arus globalisasi dan keramaian teknologi, tradisi lisan meskipun penting memang sering tidak terdengar. Seperti nyanyian burung pagi hari di batang-batang pohon di halaman rumah kita : terdengar tetapi tidak didengarkan, ada tetapi tidak ada karena tertutup oleh suara-suara mobil dan keriuhan teknologi industri.<br />Apakah yang dapat dilakukan untuk mengelola warisan budaya tradisi lisan yang memang sangat khas, khususnya di Flores ini dengan memperhatikan potensi pengembangan di 4 wilayah penting: Flores Timur, Sikka, Ende, dan Nga’da? Mengingat salah satu keutamaan aset budaya Flores adalah tradisi lisan, berdasarkan analisis atas potensi dan hal-hal positif yang dimiliki Flores dan dengan mempertimbangkan segala aspek kekurangan Flores, kita dapat membangun Pusat Interaksi Komunikasi Sosial Kemasyarakatan yang memungkinkan budaya Flores dengan segala aspek dan lapis budayanya memunculkan dirinya. Kegiatan yang dapat dilakukan terdiri atas 3 bagian besar, yaitu<br />1. Kegiatan Pendukung Infrastruktur: legal apparatus, legal institutions, political will, paradigma berpikir / bersikap tentang pendekatan budaya, penyiapan lahan, gedung, fasilitas terkait, dan komunitas pelaku / pendukung.<br />2. Kegiatan Pendampingan yang terdiri atas <br />- Preservasi, yaitu perlindungan warisan budaya tertentu tanpa mengganggu keadaan aslinya seperti apa adanya, Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk cadangan warisan yang bersangkutan. Contoh kegiatan semacam ini adalah pemetaan atau survei atas tradisi budaya yang dimaksudkan. <br />- Konservasi (pemeliharaan) dilakukan untuk mencegah kepunahan. Contoh kegiatan semacam ini adalah melakukan berbagai penelitian, seminar /diskusi, dokumentasi, penulisan buku / tulisan, penerbitan rekaman-rekaman, dan publikasi tradisi tertentu dalam arti luas. <br />- Revitalisasi merupakan kegiatan pemulihan, pengungatan, dan pemberdayaan tradisi terutama di komunitasnya sendiri dan kemudian di luar komunitasnya. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah rekonstruksi, regenerasi pemain / pendukung tradisi, pembentukan komunitas pendukung, sosialisasi tradisi melalui jalur pendidikan (misal muatan lokal dan penyempurnaan kurikulum), dan pementasan / festival. <br />3. Kegiatan lintas bidang terkait dengan tradisi lisan, seperti kehumasan, film, media massa, permuseuman, penyelamatan dan penggalian arkeologi, pengembangan wisata budaya untuk kepentingan pariwisata, dan program belajar mengajar di sekolah yang dapat dilakukan bersama oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun bukan pemerintah dari dalam maupun luar negeri dengan koordinasi yang baik, jelas, dan terarah dalam satu visi dan misi yang sama mengenai pusat kegiatan. <br />Untuk menjalankan ketiga kelompok kegiatan besar tersebut di atas diperlukan sebuah sekretariat bersama yang diselenggarakan oleh pihak / tim kuat yang mampu mengkoordinasi tidak saja kegiatan-kegiatan yang akan berjalan tetapi juga manusia-manusia yang menjalankannya. <br />Sekretariat bersama ini, selain harus memenuhi standar pelayanan juga harus terbuka dan mudah diakses oleh pihak mana pun yang berkepentingan. Sekretariat ini akan memudahkan pihak-pihak yang berkenaan melaksanakan programnya dan mencapai tujuannya. Ada paling tidak dua tujuan utama yang dapat dikemukakan di sini, yaitu pertama, menumbuhkan dan menguatkan identitas (budaya) nasional dan kedua, menumbuhkan potensi sosial ekonomi yang umumnya berkaitan dengan dunia bisnis dan pariwisata. <br />Kendala yang akan dihadapi Pusat budaya ini bukanlah mudah diatasi. Dalam contoh yang sederhana, misalnya menyiapkan sebuah pementasan / festival, perlu upaya pemahaman memperluas jangkauan resepsi penonton / khalayak luas di luar komunitas tradisi yang bersangkutan. Penting untuk menjembatani komunitas-komunitas yang berbeda-beda kepentingan dan latar belakang pengetahuannya untuk bersama “menikmati” sebuah pementasan yang sedang berlangsung . <br />Dalam skala yang lebih luas, tidaklah cukup bila suatu lembaga (pihak pemerintah sekalipun) mencanangkan program preservasi cagar budaya Benteng Solor, misalnya, program tersebut secara serta merta terwujud dan diterima baik oleh masyarakatnya. Lembaga yang bersangkutan perlu memahami permasalahan-permasalahan internal agar tidak justru menciptakan potensi konflik karena penanganan yang kurang tepat. Kesadaran masyarakat untuk menghargai warisan budaya belum muncul, sehingga alih-alih mendukung program, masyarakat justru berpraduga negatif. <br />Dalam hal lain, peran keluarga sebagai penerus tradisi, lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat sebagai lembaga formal penjaga tradisi pun belum secara maksimal diberdayakan atau memberdayakan dirinya. Hal demikian ini dapat saja terjadi karena sistem dan model pengelolaan budaya belum ada dan belum ditangani secara berkesinambungan dan dilakukan oleh tenaga-tenaga profesional. Hal terakhir yang selalu secara klise dikemukakan tetapi benar adanya adalah terbatasnya dukungan dana melaksanakan program semacam ini. <br />Mengingat kedua tujuan di atas, kendala macam apa pun sepantasnya dapat dihadapi bersama oleh pihak-pihak yang berkenaan. Dalam masa seperti sekarang, kedua tujuan dalam membangun masyarakat melalui program budaya tidak dapat dibebankan terutama kepada pihak pemerintah saja, tetapi juga pada sektor lembaga non-pemerintah dan lembaga di luar Indonesia. Dengan demikian pula, wawasan kebangsaan yang memandang permasalahan melampaui batas-batas negara, etnisitas, agama, dan sebagainya diperlukan untuk mencapai kedua tujuan tersebut. Dalam menyusun kebijakan, strategi, dan kegiatan, para lembaga terkait yang memiliki perhatian pada pengembangan dan pengelolaan warisan budaya Flores dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang telah dikemukakan di atas.<br />Dalam masa Belanda, Flores tidak dibangun sebagai Flores. Pendidikan oleh pemerintah kolonial diberikan kepada misi karena Pemerintah Belanda kolonial sudah kehabisan banyak dana untuk Perang Aceh. Karena itu, pembangunan Flores untuk satu masa panjang hanya tergantung pada gerak gereja membangun Flores secara fisik tanpa perlu mengatakan tentang pembangunan spiritual dan agama.<br />Dalam masa Orde Baru selama 30 tahun tidak banyak yang dibuat. Satu-satunya yang bisa dicatat adalah pembangunan infrastruktur-yang dikenal sebagai pembangunan jalan Trans-Flores di utara sebagai alternatif dari jalan raya perang yang dibangun militer Belanda di sebelah selatan. Meski harus diakui adanya jembatan-jembatan permanen, jalan yang dibangun lebih menjadi "jalan tikus" daripada jalan untuk kepentingan ekonomi sipil.<br />Ketika pada tahun 1990-an Orde Baru, dalam hal ini Soeharto sendiri mengumumkan go east policy ketika berpidato di parlemen. Pengumuman itu sendiri dibuat pada saat Indonesia berada pada masa yang disebut sebagai overheated economy pada saat investasi besar di banyak bidang, seperti real estat, banking, dan lain-lain, sudah mengalami kejenuhan pasar dengan risiko besar bergerak menuju kehancuran ekonomi-yang terbukti terjadi pada tahun 1998.<br />Karena itu, satu-satunya akibat dari go east policy versi Orde Baru adalah peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) beberapa ratus persen dengan sumbangan pusat yang dikenal dengan nama dana alokasi umum yang meningkat. Itu satu-satunya yang masih bisa dikenang dari yang disebut sebagai hasil dari go east policy Orde Baru.<br />Untuk itu jika diadakan suatu seminar dan lokakarya tentang pembangunan Flores, "Solusi Percepatan Pembangunan Ekonomi Flores", hampir-hampir itu berarti kembali ke ground zero dengan mulai memikirkan bagaimana membangun Flores secara keseluruhan dari bawah lagi, dari dasar- dasarnya lagi. Hal ini disebabkan Nusa Tenggara Timur (NTT) berada dalam urutan paling bawah dalam jajaran pendapatan per kapita provinsi-provinsi di seluruh Indonesia. Dalam hubungan itu hampir dipastikan Flores berada di jajaran paling bawah dalam pendapatan per kapita di seluruh kabupaten di Indonesia. Kalau memang itulah persoalannya, pertanyaannya adalah dari mana Flores dibangun.<br />Ke mana Flores dibangun sangat tergantung pada beberapa kenyataan sosial politik dan ekonomi masa sekarang. Pertama, lingkungan politik administrasi adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah jalan yang diambil atau percepatan pengambilan keputusan menurut konstitusi setelah oversentralisasi dengan berbagai kebijakan administratifnya ternyata gagal membangun Indonesia secara langgeng, sustained development.<br />Dengan berbagai persoalan otonomi daerah-seperti bagaimana mungkin suatu wilayah minus mampu bertahan hidup-dalam keadaan sekarang yang disebut sebagai otonomi daerah itu hampir tidak mungkin ditarik mundur lagi. Kalau ada gerak sekarang ke arah penarikan mundur, itu lebih menjadi persoalan pusat yang mulai melihat otonomi daerah dari sisi "Negara Kesatuan Republik Indonesia" (NKRI). Dikhawatirkan bahwa otonomi daerah akan membahayakan persatuan nasional.<br />Prinsip otonomi daerah tidak lain dari suatu keyakinan bahwa suatu negara akan kuat kalau daerah-daerah kuat, suatu negara baru dikatakan makmur kalau daerah-daerahnya makmur. Namun otonomi daerah bukan saja menjadi persoalan pusat, tetapi semakin menjadi persoalan antara kabupaten dan provinsi, di mana provinsi lebih menjadi corong pusat daripada menjadi pembela kabupaten.<br />Suatu penelitian yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan persoalan ini yang kemudian dirumuskan dengan sangat gamblang ketika otonomi daerah ditafsirkan sebagai a wide authority and freedom to manage its household. Notabene ini adalah pendapat yang diucapkan kaum elite politik dan administratif di Kupang serta hanya mau membatasi wewenang provinsi pada hal-hal administratif dan dekonsentrasi.<br />Yang mau dikatakan di sini adalah otonomi daerah dengan kabupaten sebagai basis bukan sesuatu yang dengan sendirinya disetujui dengan begitu saja oleh mereka yang duduk di provinsi. Hal ini disebabkan provinsi semakin berusaha untuk membalikkan arah otonomi daerah dengan mengembalikan kekuasaan hierarkis seperti yang berlaku pada masa Orde Baru.<br />Kedua, lingkungan ekonomi internasional. Globalisasi mungkin masih sangat jauh akan menyentuh Flores. Namun, dalam hubungan dengan apa yang sudah dikemukakan di atas, otonomi daerah memungkinkan suatu hubungan langsung antara suatu kabupaten dan wilayah lain di luar negeri, seperti perfektur di Jepang, negara-negara bagian di Australia, dan di tempat-tempat lain lagi sejauh menyangkut pembangunan ekonomi di luar empat bidang, antara lain pertahanan dan politik luar negeri.<br />Ketiga, lingkungan sosial budaya Flores sendiri. Flores tidak memiliki nama sampai nama itu diberikan orang asing, sebagaimana Indonesia juga tidak memiliki nama apa pun sampai nama Indonesia diberikan sarjana-sarjana asing pada abad ke-19.<br />Apa akibatnya? Akibat yang paling nyata adalah terjadi satu fragmentasi kultural dari ujung ke ujung Flores, di mana satu kabupaten tidak ada hubungan apa pun dengan kabupaten lainnya. Manggarai tidak ada hubungan dalam membangun daerahnya dengan Larantuka atau Lembata dan sebaliknya. Jangankan dari ujung ke ujung ekstrem Timur dan Barat, Manggarai tidak ada hubungan apa pun dengan Ngada, Ngada tidak ada hubungan apa pun dengan Ende, dan seterusnya.<br />Para Bupati Flores baru berhubungan bila mereka berada di Kupang dan dari Kupang mereka berbicara tentang Flores. Otonomi daerah akan semakin memperkuat kecenderungan ini ketika setiap kabupaten akan mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD).<br /> Faktor-faktor lain yang mempengaruhi yaitu<br />1. Tanah dari flores tidak subur dan miskin dari sumber-sumber dengan usaha melipatgandakan hasil bercocok tanam. Taraf teknologi sangat terbelakang dan perlu banyak diperbaiki, seperti cangkul, baja, teknik irigasi, cara pembuatan sawah, cara pemupukan. Daerah flores ini ococok dengan peternakan, akan tetapi masih belum adanya bantuan modal atau kecakapan dari pemerintah atau swasta untuk membuat usaha peternakan secara besar-besaran.<br />2. Daerah flores kecuali daerah barat daya, ialah manggarai, belum lama keluar dari keadaan isolasi tetutup dari perhubungan masyarakat dan kebudayaan manusia.<br />3. Penduduk flores terdiri dari aneka suku bangsa dengan bahasa-bahasa yang berbeda. Sifat aneka warna dari penduduk flores merupakan keadaan yang tidak dapat dirubah, namun tidak disangka keadaan itu membawa kesukaran kompleksitas terhadap perencanaan pembangunan dan keseragaman kebijaksanaan dalam hal memerintah daerah yang relative kecil. Dalam hal ini mungkin agama katolik, kecuali bagian barat dari Manggarai yang islam jadi faktor penyatu yang kuat.<br />Sikap mental dari penduduk masih terlampau terpengaruh dari adat istiadat yang kuno dan feodal yag menghambat pembangunan. Pesta adat yang sering kali bersifat boros, juga pembunuhan yang mengakibatkan banyak korban. Maka, untuk merubah sifat orang flores agar lebih modern, dibantu gereja katolik melalui pendidikan formil di sekolah-sekolah juga pendidikan, pengasuhan , penerangan dan pembinaan di luar bangku sekolah di kalangan keluarga dan di gereja.<br />Apa yang terjadi dengan itu? Pariwisata yang diselenggarakan di Labuan Bajo tidak ada hubungan apa pun dengan pariwisata di Kelimutu, tidak ada hubungan apa pun dengan Taman Laut di Riung, Taman Laut di Maumere dan lain-lain lagi, hanya untuk menyebut bidang-bidang yang sangat kasatmata.<br />Dengan ini sebagai lingkungan pembangunan Flores ke mana arah sesungguhnya yang bisa diharapkan. Pertama, Flores tidak akan maju secara keseluruhan kalau fragmentasi antara wilayah-wilayah di sana terus berlangsung. Dengan kata lain, suatu politik ekonomi integrasi antar-Flores adalah suatu tuntutan untuk memajukan Flores di masa depan. Perlu adanya penerobosan administratif di antara kabupaten-kabupaten Flores yang memungkinkan pembangunan ekonomi Flores secara keseluruhan.<br />Kedua, Flores sendiri tidak bisa bergerak sendiri kalau tidak dalam hubungan dengan beberapa tetangga di sekitarnya. Dengan demikian, suatu integrasi atau suatu regional ekonomis zone harus dirumuskan dan diperbarui kembali dengan wilayah-wilayah ekonomi tradisional, seperti Makassar di Utara dan Sumbawa-Bima di Barat.<br />Menurut sumber lainnya, Salah satu persoalan utama dan menggelisahkan di Flores adalah ketidakberhasilan penggunaan sumber daya. Baik sumber daya alam maupun manusia. Pengangguran kronis menyebabkan pengasingan sosial dan meruntuhkan kewajiban budaya dalam keluarga yang selama ini dikenal sangat kokoh. <br />Kegelisahan masyarakat diwujudkan oleh ketidakpeduliannya terhadap lingkungan alam. Strategis rumah tangga untuk mengurangi kemiskinan cenderung menyebabkan perusakan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek sesaat daripada kepentingan jangka panjang yang berkelanjutan. Kurangnya kemajuan mengenai kemitrasejajaran gender meninggalkan wanita yang trampil dan berbakat. Orang-orang trampil dan bermotivasi tidak diberi kesempatan untuk tampil menjadi pelaku ekonomi baru terhadang oleh kekurangan pekerjaan, akses modal, informasi pasar dan dukungan lainnya. <br />Beberapa Koperasi pedesaan mencapai kemajuan untuk meningkatkan ekonomi pedesaan, tetapi mereka tidak punya cukup ketrampilan manajemen dan sering gagal merumuskan rencana bisnis yang masuk akal.<br />Ekomomi Flores diibaratkan seperti ‘ember bocor’. Uang dari penjualan hasil tanaman keras masuk, tetapi segera sesudah itu keluar lagi untuk alasan-alasan sebagai berikut:<br />1. Petani harus membeli bahan pokok (beras, gula, minyak), semuanya didatangkan dari luar pulau.<br />2. Perdagang yang mengambil untung dari perdagangan komoditi menanamkan sedikit saja dalam ekonomi setempat, karena kelangkaan peluang investasi di Flores. <br />3. Ada pemintaan pasar yang belum dijawabkan di Maumere, karena pasar tidak berjalan lancar. Hal ini terbukti adanya beberap jenis barang kebutuhan pasar yang belum tersedia.<br />4. Barang barang yang masuk dikendalikan oleh kartel (suatu gabungan perusahan yang bertujuan monopoli teristimewa dalam mangatur harga-harga) dan terbatas oleh kapasitas kapal mingguan dari Surabaya.<br /><br />Oleh karena itu, andaipun harga berbagai komoditi naik, masih butuh waktu lama untuk dirasakan manfaatnya bagi eknomi Flores secara keseluruhannya, meskipun dampak di keluarga petani sangat positif. Demikian JPA-flores percaya bahwa keadaan di Flores membutuhkan intervensi dengan cakupan luas, dari ekokomi mikro hingga ekonomi makro.<br />Untuk menanggulangi hal-hal tersebut JPA-flores didukung oleh Oxfam New Zealand (ONZ) akan menyelengarakan proyek sebagai berikut:<br />Kopi Fairtrade<br />Seperti kebanyakan wilayah tropis, Flores juga dirugikan oleh penurunan harga komoditi jangka panjang, khususnya untuk tanaman keras kunci semacam kopi, kakao, mente dan vanili. Gerakan internasional Fairtrade adalah salah satu cara untuk memaksa pasar agar dapat berlaku secara lebih sesuai dengan kemauan petani, dengan memberanikan konsumen untuk membayar harga yang lebih tinggi dan dibayar langsung kepada koperasi petani. Walaupun rencana ini terkenal baik di Afrika dan America Selatan, namun ini Indonesia gagal diterapkan, sebagian besar karena kapasitas kebanyakan koperasi sangat rendah.<br />ONZ mempunyai hubungan yang baik dengan perusahan kopi Fairtrade di NZ dan Australia yang hendak berbisnis di Indonesia. JPA-flores akan menjalin hubungan dengan koperasi yang cocok dan mencari kopi dengan mutu baik. Kopi ini akan diantar ke mitra kami, PT Rerolara (perusahan yang dimiliki oleh gareja Katolik Flores Timur), yang mempunyai tempat pengolahan kopi yang baik di Flores. Proyek ini akan melibatkan pengembangan kapasitas para koperasi dan petani, karena pada umumnya tingkat keterorganisasian petani rendah pada saat ini.<br />Kelompok tenun ikat<br />JPA-flores telah mengenali tiga kelompok tenun ikat yang perlu bantuan mendapat pasar untuk hasil produksinya dan meningkatkan teknis pengolahan. Tenun ikat (kain yang ditenun stop-dyed, pada umumnya dalam wujud sarung) adalah item kerajinan tangan tradisional di Flores dan dapat memperoleh harga mahal di Bali dan di luar negeri. Tetapi, penenun biasanya menjual hasil kerajinannya secara lokal dengan potongan harga yang cukup tinggi karena tidak sadar tentang nilai itu. Selanjutnya, ada pemintaan pasar untuk tenun ikat asli yang dibuat dengan teknik tradisonal dan apa adanya (kapas dipintal dengan tangan, zat warna alam yang diambil dari hutan, motif masa lampau dll.), dibandingkan versi yang modern. Tenun ikat asli menuntut harga lebih tinggi tetapi sifatnya padat karya dan pengendalian mutu yang rumit. Suatu lembar sarung ikat yang riil adalah suatu artifact (benda seni), dan nilainya tergantung ketrampilan penenun individu.<br />Kelompok tenun (seperti ‘STILL’ di Nita, yang mana suatu mitra kunci dari JPA-flores) mendorong wanita-wanita mahir mengerjakan bersama-sama dan berbagi ketrampilan mereka. Dengan bergabung bersama-sama mereka mengumpulkan biaya sumber produksi dan biaya pemasaran dan penyebaran, mereka dapat memperoleh pendapatan lebih baik untuk usaha ini. JPA-flores, dengan dana dari ONZ, akan kerjasama dengan kelompok tenun supaya meningkatkan kapasitas mereka, dan mengubah kelompok ke dalam bisnis yang sehat. Ada juga unsur Fairtrade pada kegiatan ini karena mungkin ada pasar untuk hasil tenun lewat jaringan toko Oxfam di Selandia Baru. Premi dari harga itu akan ditanamkan dalam proyek masyarakat yang memenfaatkan wanita-wanita lokal, misalnya penolakan kekerasan rumah tangga.<br />Proyek ternak<br />JPA-flores sedang menyelidiki kemungkinan terlaksananya proyek ternak (mungkin ternak kambing). Sasaran proyek ini supaya membangun usaha lokal yang berkelanjutan yang akan menyediakan tenaga-kerja, mengajar ketrampilan berternak dan memberi kuasa kepada kaum marginal untuk mangatur suatu pilihan hidup yang tidak biasanya terbuka bagi mereka dalam kaitan dengan kekurangan modal dan peluang.<br />Proyek masa depan<br />Jangka panjang JPA-flores akan menjadi semacam Business Development Service (BDS) (Lembaga yang melayani pengembangan usaha) untuk kegiatan sosial maupun perusahan yang mendatangkan laba. Ini akan terlaksana melalui tindakan sebagai ‘inkubator’ untuk gagasan bisnes baru dan peranan sebagai saluran di antara usaha skala kecil atau mikro (termasuk para petani) dan lembaga lain.<br />Kegiatan ini bermaksud menggalang usaha swadana jangka panjang untuk lembaga, karena ketergantungan dari donator asing tidak menjamin rencana berkelanjutan. Untuk mencapai ini, JPA-flores merumuskan berbagai langkah pelayanan (dengan harga patut) yang dapat memperoleh pendapatan. <br />Hanya dengan memperhatikan beberapa hal di atas, Pulau Flores, Pulau Bunga, suatu nama asing dan berada di luar paham totemistik Flores, mampu diterjemahkan menjadi Nusa Nipa-Pulau Ular Naga, nipa ria bewa, sesuatu yang sesuai dengan paham totemistik Flores sekarang-yang mulai menggeliat dan bergerak kembali menuju masa depan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br />Budaya Flores yang beraneka ragam menuntut semua pihak untuk ikut serta dalam usaha pengembangan dan pelestarian budaya Flores. Dalam hal ini, masyarakat Flores sendirilah yang diharapkan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap upaya pengembangan dan pelestarian budayanya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa masyarakat Flores yang seharusnya paling tahu dan paham terhadap budayanya.<br />Demikian yang dapat penulis sampaikan dalam makalah ini mengenai budaya Flores. Semoga dapat bermenfaat bagi semua pihak yang membacanya. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan dalam rangka perbaikan. <br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-41258822742255502702008-11-19T23:20:00.000-08:002008-11-19T23:23:49.240-08:00Kebudayaan DayakTentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.<br />Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudian menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.<span class="fullpost"><br />Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.<br />Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)<br />Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.<br />Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)<br />Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Banjarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)<br />Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)<br />Pendapat-pendapat yang ada sejauh ini belum ada yang sungguh memuaskan. Pendapat lainnya umumnya menempatkan orang Dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Gagasan (penduduk asli) ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi.<br />Gelombang pertama terjadi kira-kira 1 juta tahun yang lalu tepatnya pada periode Intergasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia pre-historis yang berasal dari Afrika). Pada zaman Pre-neolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong manusia moderen, Homo sapiens ras Mongoloid). Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alat dari batu, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka juga sudah mengenal teknologi api. Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup menetap dalam satu komunitas (rumah panjang) dan mengenal teknik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih terus berlanjut hingga abad 21 ini. Teori ini sekaligus menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak memiliki begitu banyak varian baik dalam bahasa maupun karakteristik budaya.<br /><br />II.2 Identifikasi Suku Dayak<br />Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub suku. Meskipun terbagi dalam ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak); pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.<br />Kepulauan Indonesia yang terbentang luas dan terdiri dari ribuan pulau antara dua benua memang sangat mendukung terjadinya keanekaragaman penduduk dan kebudayaan. Palangka Raya sebagai salah satu kota dari Propinsi Kalimantan tengah yang merupakan bagian dari wilayah kepulauan Indonesia Bagian Timur merupakan cerminan dari masyarakat penuh keaneka ragaman. Dihuni penduduk dengan latar belakang kehidupan, penampilan fisik, tingkat peradaban, agama dan gaya hidup berbeda yang saling berdampingan.<br />Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Dayak Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang mempunyai akar budaya sendiri, mempunyai adat istiadat yang dihormati dan menjadi pedoman sikap dan perilaku dalam pergaulan hidup sehari-hari.<br />Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah didiami oleh sedemikian banyak suku Dayak, antara lain : Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Lawongan, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Ot Danum/Ot Manikit/Ot Patih Tarukah/ Ot siang dan lain-lain. Suku-suku besar tersebut masih terbagi-bagi kedalam sejumlah anak-anak suku. Suku Dayak Ngaju merupakan suku terbesar telah menyebar di wilayah DAS Kahayan dan Rungan, DAS Kapuas, DAS Barito, DAS Katingan.<br />Di Palangka Raya juga terdapat suatu keanekaragaman yang didasarkan atas agama. Budaya Betang adalah sistem nilai-nilai/norma kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan dalam masyarakat terbuka (civil society) yang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan sub-kultur dari Pancasila. Nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat Suku Dayak Ngaju ini berkembang terus dalam proses interaksi dan integrasi Nasional dalam bingkai/kerangka budaya (cultural framework) nasional. Pancasila yang relevan dengan perkembangan budaya modern yang global. Sistem nilai yang demikianlah yang akan berkembang menuju suatu peradaban/kebudayaan baru Indonesia dan daerah (dalam hal ini Kalimantan Tengah). Dalam bingkai ini tiap daerah dapat mengembangkan ciri-ciri budaya dan jati dirinya baik dalam wujud sistem nilai, sistem sosial dan wujud fisik masing-masing dalam ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an.<br />Budaya Betang tidak hanya mampu menjadi bingkai budaya pemersatu suku-suku Dayak di Kalimantan Tengah saja, bahkan juga suku-suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan apapun agama yang mereka peluk. Paham dinamisme ini tidak hanya dapat menginteraksi dan mengintegrasi diri dengan sistem nilai yang lain dan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, bahkan juga dengan agama-agama yang ada. Masyarakat Dayak dewasa ini memeluk berbagai agama, tetapi tetap hidup berdampingan secara damai di bawah naungan Betang.<br />Kerukunan dan kesetaraan dalam perbedaan dan kemajemukan dalam suatu masyarakat terbuka, masyarakat madani, masyarakat Bhineka Tunggal ika sangat sesuai dengan ciri-ciri masyarakat Dayak Ngaju. Polarisasi yang tajam dan dominasi satu asas lainnya tidak akan menjamin kedamaian di bumi Kalimantan.<br />Menurut Prof. Lambut dari Univesitas Lambung Mangkurat, secara etnologis, maka manusia Dayak haruslah dibagi menjadi :<br />a. Dayak Mongoloid<br />b. Dayak Malayunoid<br />c. Dayak Autrolo-Melanosoid<br />d. Dayak Heteronoid <br />Tanah Dayak adalah Afdeeling Dajaklandeen (Afdeeling Tanah-tanah Dayak). Sesuai Staatblad tahun 1898 no. 178 bahwa Afdeeling Dajaklandeen, dengan ibukota Kwala Kapoeas (Kuala Kapuas) terdiri ditrik-distrik :<br /> Groote Dajak (Dayak Besar) terbagi lagi dalam onderdistrik-onderdistrik : <br />a. Beneden Kahajan (Kahayan Kuala), Mideen Kahajan (Kahayan Tengah)<br />b. Boven Kahajan (Kahayan Hulu) <br />c. Roengan (Rungan) <br />d. Manoehing (Manuhing) <br /> Districk Kleine Dajak (Dayak Kecil) terbagi atas onderdistrik : <br />a. Beneden Kapoeas (Kapuas Kuala) <br />b. Mideen Kapoeas (Kapuas Tengah)<br />c. Boven Kapoeas (Kapuas Hulu) <br />Batang Biaju Besar dan Batang Biaju Kecil<br />Pada abad ke-14 menurut Hikayat Banjar daerah aliran sungai Kahayan (sungai Dayak Besar) disebut batang Biaju Besar sedangkan daerah aliran sungai Kapuas (sungai Dayak Kecil) disebut batang Biaju Kecil. Wilayah ini meliputi Daerah Aliran Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah, dewasa ini berkembang menjadi 4 daerah yaitu :<br />a. Palangkaraya <br />b. Pulang Pisau <br />c. Kabupaten Kapuas <br />d. Gunung Mas <br />Tanah Dayak adalah sebutan untuk bagian tengah Kalimantan Tengah yaitu DAS Kapuas-Murung dan DAS Kahayan (Palangkaraya, Pulang Pisau, Gunung Mas dan Kabupaten Kapuas). Zaman pemerintahan Hindia Belanda dahulu daerah ini merupakan Afdeeling Dajaklandeen (Afdeeling Tanah-tanah Dayak) yang merupakan wilayah adat suku Dayak Ngaju. Karena itu jika hanya disebutkan Dayak saja, maka identik dengan suku Dayak Ngaju. Seperti juga sebutan Batak berarti suku Batak Toba maupun sebutan Toraja berarti Tana Toraja.<br />Tanah Dusun adalah Afdeeling Doesoenlandeen (Afdeeling Tanah-tanah Dusun) sesuai Staatblad tahun 1898 no. 178. Afdeeling Doesoenlandeen, dengan ibukota Moeara Tewe (Muara Teweh) terdiri dari Onderadfeeling Boven Doesoen (Dusun Atas) dengan distrik-distrik Distrik Boven Doesoen, terbagi atas : <br /> Onderdistrik Laoeng<br /> Onderdistrik Siang Moeroeng <br />Distrik Mideen Doesoen (Dusun Tengah), terbagi atas :<br /> Onderdistrik Montallat <br /> Onderdistrik Kwala Benangin <br />Onderafdeeling Beneden en Oost Doesoen (Dusun Bawah dan Dusun Timur) dan Mengkatib. Ibukota Buntok. Wilayah ini sekarang lebih populer dengan sebutan Barito Raya. Nama Barito sudah dikenal tahun 1350 dalam Kitab Negarakertagama. Dewasa ini wilayah ini telah berkembang menjadi 4 kabupaten :<br />a. Barito Selatan <br />b. Barito Timur <br />c. Barito Utara <br />d. Murung Raya <br />Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak.<br />Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.<br />Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.<br />Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.<br />Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.<br />Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu.<br />Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.<br />Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.<br />Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (Dayak Mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyan'gh (Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.<br />Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.<br />Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan.<br />Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani.<br />Suku Dayak tergolong pada ras melayu Tua, yaitu ras Melayu yang sedikit sekali memperoleh pengaruh kebudayaan asing. Mereka kebanyakan mendapat pengaruh agama Islam, terutama di pantai-pantai.<br />Suku Dayak merupakan golongan yang heterogen sekali, karena tidak ada kesamaan antropologis (bentuk-bentuk badan dan cultural (kebudayaan). Ada yang besar, ada yang kecil, ada yang berambut keriting, ada yang berambut lurus. Kulitnya ada yang menyerupai suku jawa, ada pula yang hampir seperti orang Eropa. Dalam pergaulan sehari-hari mereka mempergunakan bahasa kesatuan yang disebut bahasa “busang”.<br />Adapun suku bangsa Dayak yang terdapat di Kalimantan adalah:<br />1. Suku Punan: bertempat tinggal di Kalimantan tengah, mereka masih hidup di hutan-hutan. Jika di tempat mereka ada yang meninggal dunia, maka mereka meninggalkan tempat kediamannya dan menjadi pengembara.<br />2. Suku Ola Ngaja dan Ola Ot: bertempat tinggal di Kalimantan bagian Tenggara.<br />3. Suku dayak Kayan: bertempat tinggal di Kalimantan bagian Utara yang daerahnya meluas sampai ke pntai Utara.<br />4. Suku Dayak Maanyan Siung atau Dayak Maanyan Siung Dayak: mendiami daerah Sungai Siung, anak Sungai Barito.<br />5. Suku Dayak Kenyah, Dayak Ot danum, Dayak Desa, Dayak Iban, Dayak Darat, dan lain-lain.<br />Dari banyaknya suku ini, maka sukar dibedakan manakah yang sebenarnya merupakan suku induk, dan mana yang anak suku. Dahulu anak suku itu tinggal di dalam satu rumah besar yang kira-kira muat 500-600 orang. Rumah semacan iini disebut rumah suku (stamwoning).<br />1. Kepercayaan atau religi<br />Sebagaimana kepercayaan bangsa-bangsa primitif pada umumnya, Suku dayak juga mempunyai kepercayaan yang semacam yaitu animisme dan dinamisme.<br />a) Animisme: mereka percaya pada roh nenek moyang yang pertama kali mendirikan desa itu. Roh tersebut biasanya disebut cikal bakal yaitu roh kepala suku. Roh ini selalu dihormati, dan disebut-sebut pada saat selamatan. Mereka juga percaya pada roh-roh yang bertempat tinggal di gunung, sungai, hutan, dan sebagainya. Roh-roh ini dianggap dapat mendatangkan hujan, angin, petir, topan, dll. Roh-roh ini sangat ditakuti karena sering menimbulkan malapetaka. Diantara roh-roh itu, mereka juga percaya adanya suatu dzat yang tertinggi yang menguasai segala-galanya, yang disebut ”Tamai Tinggi”, artinya bapak yang tertinggi. Sering pula disebut Maharat atau Mahatalla. Mahatara ini adalah pengaruh dari Hindu, asal kata dari Mahabarata, aertinya dewa yang besar. Sedangkan Mahatalla adalah pengaruh dari Islam. Talla = yang artinya Allah yang Maha Tinggi (Ta’ala).<br />b) Dinamisme: mereka juga percaya pada adanya kekuatan gaib yang ada pada tiap-tiap benda, baik benda mati maupun benda hidup, misalnya lkekuatan pada air, tanah, pohon, kepala manusia, dan rambut. Pedang yang dipakai untuk mengayau (memenggal kepala) pada tangkainya diberi rambut manusia, agar pedang tersebut lebih bertuah. Apabila akan mendirikan bangunan (pabrik) dan sebagainya, dibawahnya ditanamkan sebuah kepala kerbau dan kadang-kadang kepala manusia. Benda-benda seperti rambut dan kepala dianggap suatu benda yang banyak ”mananya” (kekuatan gaib). Mereka juga percaya pada tempayan yang berasal dari Tiongkok. Tempayan-tempayan ini dibawa dan disebarluaskan oleh para pedagang dari Tiongkok hingga jauh ke pedalaman. Benda-benda ini dianggap benda ajaib dan sering dijadikan tanda kebesaran kepala-kepala adat di situ. Air yang ditaruh di dalamnya dianggap suci dan mempunyai kekuatan gaib, digunakan untuk obat karena memiliki makna yang beragam.<br />c) Kaharingan<br />Agama Kaharingan masuk dalam agama Hindu sebagai upaya mendapatkan legalitas dari pemerintah karena banyak yang beranggapan salah dengan menyebut Kaharingan sebagai aliran animisme atau dinamisme. <br />Kaharingan adalah agama yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa Ranying Hatara Langit. Umat Hindu Kaharingan merupakan yang terbesar kedua di Kalteng, setelah Islam dan menurut uraian statistik banyak berada di pedalaman. Namun diakui umat Kaharingan di pedalaman mengalami sedikit kendala dalam hal kemajuan dibanding masyarakat di perkotaan.<br />Tidak beda dengan agama lainnya. Orang dayak, khususnya seperti yang diajarkan di Kaharingan sangat menjunjung tinggi kebersamaan, kedamaian, serta demokrasi dalam hidup bermasyarakat. Filosofi budaya rumah betang sebagai bukti tingginya penghormatan masyarakat Dayak terhadap rasa kebersamaan dan kesetiakawanan. Masyarakat Dayak Kaharingan, menurutnya, tidak primitif seperti yang dibayangkan banyak orang. Kekuatan spiritual Kaharingan dipandang mampu menumbuhkan semangat dan jalan keluar dalam hal ekonomi seperti membentuk etos kerja seseorang. Dalam hal politik, Kaharingan juga mengajarkan bagaimana pentingnya kebersamaan dengan cinta kasih tulus dan ikhlas.<br />2. Sistem Kekerabatan<br />Sistem kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah baik Ngaju, Ot danum, maupun Ma’anyan berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat melalui orang laki-laki dan untuk sebagian orang yang lain dalam masyarakat itu juga, melalui orang-orang wanita.<br />Dahulu, pada waktu di daerah Kalimantan Tengah masih ada rumah panjang, kelompok kekerabatan yang terpenting dalam masyarakat mereka adalah keluarga ambilineal kecil. Bentuk keluarga ini timbul kalau ada keluarga luas yang utrolokal. Keluarga luas utrolokal terjadi kalau dalam suatu masyarakat ada adat menetapsesudah nikah yang utrolokal. Adat tersebut timbul kalau sebagian dari anak laki-laki maupun perempuan sesuadah kawin membawa masing-masing keluarganya untuk tinggal dalam rumah orang tua, dengan demikian menjadi satu keluarga luas. Untuk memperkluat rasa identitet itu msks dikembangkan orientasi terhadap nenek moyang yang hidup dua sampai tiga angkatan yang lampau.<br />Di jaman sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga luas utrolokal yang di Kalimantan Tengah biasanya menjadi isi suatu rumah tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong, dan sebagai satu kesatuan rohaniah dalam upacara-upacara agama Kaharingan. Setiap keluarga luas memiliki roh pelindung sendiri, dan beberapa diantaranya memuja roh-roh nenek moyangnya sendiri. Kecuali itu, setiap rumah tangga kaharingan memiliki pantangan terhadap makanan khusus yang harus ditaati warganya. Kewargaan suatu rumah tangga tidak statis, karena semata-mata tergantung dari tempat tinggal yang ditentukan pada waktu seseorang mau menikah, padahal ketentuan itu dapat diubah menurut keadaan setelah menikah. Jika seseorang bersama keluarganya kemudian pindah keluar dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah tangga semula pun turut berubah.<br />Perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh orang Dayak yaitu perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah saudara sekandung. Yaitu dalam bahasa Ngaju disebut ”Hajenan” (saudara sepupu derajat kedua). Selain itu juga dianggap baik adalah perkawinan saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara sekandung, dan diantara cross-cousin. Perkawinan yang dianggap sumbang (dalam bahasa Ngaju disebut ”sala horoi”) adalah perkawinan antara saudara sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara sekandung (patri-parallel cousin), dan terutama sekali perkawinan antara orang-orang dari dua generasi yang berbeda, misalnya natara seorang anak dengan orangtuanya, atau seorang gadis dengan mamaknya. Persetubuhan antara mamak dengan kemenakannya dianggap perbuatan yang sangat buruk, sehingga perlu diadakan upacara penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah tadi diharuskan makan dari dulang tempat makan babi sambil merangkak dihadapan warga desa yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut. Pantangan kwin tersebut jika dilanggar berarti tilah besar yang menurut kepercayaan orang Ngaju dan Ot Danum dapat mendatangkan bencana bukan saja bagi orang-orang yang bersangkutan, tapi juga seluruh warga desa sehingga perlu dinetralisasi dengan upacara penawar seperti tadi.<br />Orang Dayak Kalimantan Tengah tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan orang dari suku lain asalkan laki-laki asing tersebut bersedia tunduk pada adat mereka dan bersedia berdiam di desa mereka.<br />Pergaulan antara pemuda-pemudi Dayak Kalimantan Tengah adalah bebas dalam batas-batas tertentu, boleh bergaul asal ada orang-orang tua yang mengawasi mereka, dimana mereka dianjurkan untuk bergurau dan menari bersama-sama. Seorang laki-laki yang kedapatan dengan seorang wanita yang bukan istrinya sendiri atau saudara sekandungnya ditempat sepi, akan didenda menurut hukum adat, yaitu ”disinger” (bahasa Ngaju), atau ”didanda” (bahasa Ma’anyan). Seorang pemuda boleh pergi bersama-sama dengan seorang pemudi asalkan ada seorang bibi atau paman yang menyertainya. Demikian juga seorang lelaki dewasa boleh bercakap-cakap dengan orang lain asal ada orang ketiga.<br /> Tata Cara Memilih Jodoh<br />Pada Suku Dayak, seorang anak yang telah mencapai umur 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan biasanya dicarikan jodoh oleh orang tuanya, karena pada jaman dahulu, orangtua berkuasa penuh atas pemilihan jodoh anak-anak mereka. Tetapi keadaan sekarang sudah berubah. Pemuda-pemudi yang sudah siap untuk kawin boleh bebas mencari teman hidupnya masing-masing, asalkan calon mereka disetujui orangtua. Adapun tata cara untuk menentukan jodoh atau perkawinan yang berlaku sekarang adalah:<br />a) Orangtua si pemuda adalah pihak pelamar, pergi ke rumah orangtua si gadis untuk menyerahkan ”Hakumbang auch” (semacam uang lamaran).<br />b) Sesudah itu orangtua si gadis mengumpulkan semua kaum kerabat mereka yang dekat untuk bermusyawarah.<br />c) Sebelum mengambil keputusan, para kerabat tersebut menyelidiki tentang tingkah laku calon menantu untuk mengetahui apakah ia berwatak baik.<br />d) Apabila lamaran diterima, maka diadakan peresmian pertunangan dan perundingan mengenai langkh-langkah selanjutnya.<br />e) Pihak laki-laki menyerahkan hadiah-hadiah yang berupa sehelai ”bahalai” (sarung panjang untuk wanita), kain kebaya, minyak wangi, cincin emas, dan sebagainya.<br />f) Kedua belah pihak menentukan: hari pernikahan, biaya yang harus disumbangkan oleh pihak laki-laki, besarnya mas kawin, dan sebagainya.<br />Perundingan terakhir ini menghasilkan suatu kontrak perkawinan yang disebut ”surat pisek”.<br />3. Sistem Ekonomi<br />a) Berladang<br />Dalam berladang telah berkembang suatu sistem kerja sama dengan cara membentuk kelompok gotong royong yang biasanya berdasarkan hubungan ketetanggaan atau persahabatan, karena memerlukan banyak tenaga. Untuk mengatur pekerjaannya dibagi kelompok kerja yang masing-masing terdiri dari 12-15 orang yang secara bergiliran membuka hutan untuk ladang masing-masing anggota. Secara teoritis, sebuah rumah tangga yang sedang menerima bantuan harus membayarnya kembali.Apabila kekurangan tenaga laki-laki, kaum wanitalah yang menggantikan pekerjaan kasar itu, seperti membuka hutan, membersihkan semak, menebang pohon.<br />Siklus pengerjaan ladang:<br />(1) Pada bulan Mei, Juni, atau Juli dilakukan pembukaan lahan dengan cara menebang pohon-pohon di hutan, kemudian batang, cabang, ranting, dan dedaunannya dibiarkan mengering selama dua bulan.<br />(2) Bulan Agustus atau September batang kayu, cabang, ranting, dan daun yang telah kering dibakar dan bekas pembakaran dibiarkan sebagai pipuk.<br />• Oktober adalah waktu menanam yang dilakukan secara gotong royong<br />• Pebruari dam Maret adalah musim panen. Untuk membuka ladang kembali, orang Dayak melihat tanda-tanda alam seperti bintang dan sangat memperhatikan alamat-alamat yang diberikan oleh burung-burung atu binatang-binatang liar tertentu. Jika tanda-tanda ini tidak dihiraukan, maka bencana kelaparan akibat gagalnya panen akan menimpa desa. <br />b) Berburu<br />Di hutan sekitar kemiaman orang Dayak banyak binatang liar seperti babi hutan, rusa. Tetapi karena belum mempunyai senjata apimaka hewan-hewan tersebut hanya menjadi makanan yang bersifat kadangkala saja. Daging babi, kerbau, dan ayam, walaupun sangat digemari bukanlah makanan sehari-hari, tetapi makanan pada waktu ada upacara-upacara adat atau pada saat desa dikunjungi tamu penting.<br />Adapun alat berburunya masih tradisional, misalnya: Dondang, Lonjo (tombak), ambang (parang), Jarat (jerat), Sipet (berisikan ranjau kayu atau bambu runcing) yang disebut Tambuwung.<br />c) Mencari hasil hutan dan ikan<br />Masa sesudah panen sampai dimulainya lagi pembukaan ladang biasanya digunakan untuk menambah nafkah dengan mata pencaharian sambilan yaitu mencari hasil hutan. Misal mengumpulkan rotan, karet, damar, atau menambak sungai untuk menangkap ikan. Hasil hutan dan sungai itu sebagian dikonsumsi sendiri dan lebihnya dijual kepada tengkulak yang berasal dari pesisir. Selain itu ada pula yang membawanya sendiri ke kota untuk dijual di pasar.<br />d) Menganyam<br />Orang Dayak terkenal sekali dengan seni menganyam kulit rotan, yang berupa tikar, keranjang, dan topi. Pekerjaan menganyam banyak dilakukan kaum wanita. Dulu, orang Kalimantan terkenal dengan kain tenunnya yang berasal dari kapas atau kulit kayu, tapi sekarang banyak ditinggalkan orang. Hal ini disebabkan banyaknya kain impor masuk ke pedalaman, sehingga kain dari kulit kayu tidak dibuat lagi. Dulu memang pakaian asli laki-laki Dayak adalah ”ewah” (cawat) yang dibuat dari kulit kayu, sedang wanita memakai sarung dan baju dari kulit kayu. Di masa sekarang ini orang Dayak Kalimantan Tengah sudah berpakaian lengkap seperti orang Indonesia lainnya di daerah pantai. Pada kenyataannya orang Dayak mengalami perubahan dalam cara berpakaian, sehingga kesenian menganyam yang menjadi ciri khas orang Dayak menjadi tergusur. <br />II.3. Pembagian Suku Dayak<br />Dayak Besar adalah satuan kenegaraan yang menjadi bagian RIS. Wilayah Dayak Besar adalah gabungan wilayah Kapuas-Barito yaitu bekas wilayah afdeeling Tanah Dayak dan Afdeeling Tanah Dusun (Barito), terletak di bagian timur Kalimantan Tengah saat ini, jadi wilayah Kerajaan Kotawaringin (Kotawaringin Raya) tidak termasuk wilayah Dayak Besar.<br />Penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas, dan Kahayan yang kemudian hari disebut Dayak Besar sekitar tahun 1860 dipegang oleh Kiai Adipati Jaya Raja. Jadi negeri ini seperti wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) di Kalimantan Selatan yang diperintah Kiai Adipati Danu Raja merupakan propinsi Kesultanan Banjar.<br /> Suku Dayak Mali (Darat; Tana' Mali, Keneles, Taba, Peruan) (Balai, Sanggau) adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Klemantan Dayak Darat (80%) terdapat di Kabupaten Sanggau terutama mendiami seluruh Kecamatan Balai, Sanggau (Kota Kecamatan Batang Tarang), Kalimantan Barat.<br /> Sub Suku Dayak Mali<br />Suku Dayak Mali terbagi dalam beberapa sub-suku sebagai berikut :<br />a. Dayak Mali<br />Meliputi Kecamatan Balai sampai keperbatasan. Kecamatan Tayan Hilir. Sebagian daerah simpang Hulu, Kabupaten Ketapang. Dialeknya: Bahasa Mali, Beruak, Keneles, Tae.<br />b. Dayak Mali Peruan <br />Sebagian daerah Sosok, Kecamatan Tayan Hulu, Sanggau. Sebagian ada di Kabupaten Landak. Dialeknya: Bahasa Peruan <br />c. Dayak Mali Taba <br />Sebagian di Kecamatan Balai, Sanggau sampai ke Tayan Hulu. Dialeknya: Bahasa Taba/Keneles.<br />d. Dayak Mali Keneles : <br />Sebagian Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau. Sebagian Kecamatan Meliau, Sanggau. Sebagian Kecamatan Toba, Teraju. Dialeknya : Bahasa Keneles <br /> Agama Suku Dayak Mali<br />Suku Dayak Mali sebagian besar beragama Kristen Katolik dan sebagian Kristen Protestan, sedangkan yang beragama Islam hampir tidak ada. Kebanyakan orang Dayak yang memeluk agama Islam karena perkawinan dengan Suku Melayu. Dalam Agama Islam juga mengharamkan babi sedangkan suku Dayak, babi merupakan binatang yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan dalam adat Dayak. Tetapi ada sebagian Dayak mali mengakui diri secara umum dengan agama nenek moyang yaitu Animisme. Namun secara umum mengaku diri juga beragama kristen Katolik dan Protestan. Agama Islam selalu menyangkut atau berhubungan dengan suku Melayu sedangkan Dayak selalu menyebut diri sebagai orang Kristiani. Apabila orang Dayak masuk Islam maka akan di sebut masuk Melayu, Demikian juga sebaliknya dengan orang Melayu yang masuk kristen maka akan di sebut masuk Dayak.<br /> Strata Sosial Dayak Mali<br />Suku Dayak Mali sangat menghormati Kepala Adat (Demang) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam adat. Kepala Adat menjadi pengayom atas seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat juga ditegakkan dengan sangat adil bagi masyarakat adat yang ada. Sementara itu, ada pemuka adat lain yang disebut panglima perang yang hanya berkuasa pada saat genting saja dan juga sebagai peredam/pendamai dalam masyarakat adat.<br /> Adat Istiadat dan Budaya Dayak Mali<br />1. Adat Istiadat<br />a. Perkawinan <br />Dalam budaya Dayak Mali, adat selalu ditetapkan berdasarkan hukum adat yang berlaku. Adat sekaligus hukum adat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam adat perkawinan tersebut. Hubungan keluarga mempelai. Kedua mempelai akan diberi sanksi apabila ada ikatan darah antara sampai keturunan ke-4. Boleh saja menikah asalkan membayar adat terlebih dahulu. Antar hubungan saudara sekandung (Adik-kakak/ abang)= Adat Pelangkah. Apabila adik terlebih dahulu menikah maka adik tersebut harus membayar adat kepada kakak/ abang. <br />Hubungan antar suku (Tionghoa dan Melayu). Suku Dayak Mali telah membuat perjanjian dengan suku Melayu dan Tionghoa dari jaman nenek moyang. Apabila orang Dayak menikah dengan orang Melayu dan masuk Melayu (Islam) maka pihak Melayu harus membayar adat sebagai sanksi. Adatnya cukup besar dalam adat Dayak Mali. Demikian pula sebaliknya dan dengan suku Tionghoa juga terjadi hal yang sama. Tetapi dengan suku lain selain kedua suku tersebut tidak ada sanksi/ hukum adat yang berlaku. Suku yang lainnya bebas dari hukum bila menikah dengan suku Dayak mali. Tetapi bukan berarti bebas dari hukum yang lain yang berlaku bagi seluruhnya. <br />Penetapan hukum Adat pada saat mulai Pelaksanaan Perkawinan. Pada saat persiapan pernikahan akan ada perjanjian antara kedua mempelai tersebut. Dan jika dilanggar maka sangsinya akan lebih berat dari biaya pernikahan. <br />b. Kelahiran<br />c. Cerita Dongeng<br />- Cerita si bungsu <br />- Cerita Buta <br />- Cerita Pak Alui/ Indong Alui <br />d. Bercocok Tanam<br />a. Ladang <br />Berladang dalam suku Dayak Mali merupakan suatu tradisi yang sudah ada pada masa nenek moyang hidup. Ladang berpindah-pindah merupakan hal yang harus dilakukan, bagi suku Dayak sebab ladang berpindah-pindah selalu berkaitan dengan alam dan kesuburan tanah. Kalau tanah yang sama dibuka setiap tahun akan mengurangi kesuburan tanahnya. Maka membuka ladang yang sama bisa tiga sampai empat tahun lamanya. Waktu membuka ladang harus diadakan perjanjian dengan alam semesta terutama penunggu tanah (Sisil) ladang tersebut. Suku Dayak Mali percaya bawah manusia harus memberi makan dan membuat perjanjian agar penunggu tanah (Sisil) ladang tersebuat mau pindah ke tempat yang lain. Kalau tidak maka penunggu tanah tersebut bisa marah dan mengutuk manusia yang membuka ladang itu.<br />b. Sawah <br />2. Budaya<br />a. Ngayau <br />Ngayau (Potong Kepala Manusia) merupakan budaya kanibal nenek moyang yang pernah ada dalam suku Dayak. Sekalipun budaya itu telah punah dan seharusnya sudah tidak ada lagi pada masa sekarang namun hal itu masih dapat kita saksikan pada era orde baru. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu didepan umum pada saat selesai panen. Masih ada daerah-daerah tertentu yang sampai sekarang masih melaksanakan budaya Noto'gh tersebut.<br />b. Ganjor (Gawai) <br />c. Noton'gh <br />d. Belien'gh (Balian) <br />e. Ngangkong <br />f. Bepamang <br />g. Bebayer (Mulang Niat) <br />h. Berancak <br />i. Para Burun'gh (Para buah dan Lepas Panen) <br />3. Seni dan Tarian Dayak Mali<br />a. Tuak<br />Tuak merupakan minuman khas Dayak. Setiap ada acara adat pasti pula ada arak atau tuak. Budaya membuat tuak merupakan budaya yang turun temurun. Orang Dayak sangat pandai membuat tuak dari ketan. Hasil dari permentasi tersebut akan berubah menjadi minuman yang berasal dari tetesan minuman yang cukup membuat mabuk tersebut. Dalam tradisi Dayak yang disebut besompok (bertarung untuk minum arak) merupakan tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Bukan sebagai kebangaan tetapi karenatradisi dari zaman nenek moyang. Rasa minuman ini agak terasa manis tapi bilater lalu banyak minum tuak ini maka sangat sulit untuk cepat pulih.<br />b. Seni<br />c. Tarian Perang <br />4. Hukum Adat Dayak Mali<br />Hukum Adat adalah sanksi atau denda berupa barang-barang sebagai bukti adat itu sendiri. Sekalipun adatnya sederhana tetap akan menjadi bukti-bukti adat yang sah. Bagi orang Dayak adat merupakan hukuman yang sangat memalukan. Karena itu setiap orang Dayak harus tahu diri bahwa setiap orang yang bersalah sebenarnya ketika di adat maka sama harga dirinya telah hilang baginya sama dengan ditolak dalam masyarakat dayak Mali. <br /> Struktural Pemegang Hukum Adat :<br />a. Dua Real di pegang / dipimpin oleh pak RT/ RW <br />b. Empat Real dipimpin oleh Domong (Kepala Adat Kampung) <br />c. Enam Real dipimpin kepala adat Dusun <br />d. Delapan [Mi'gh] Real dipimpin Kepala Adat Desa dengan kepala desa <br />e. Sepuluh Real Dipimpin kepala adat Desa <br />f. Dua Belas Real dipimpin kepala adat (pemangku adat) Kecamatan <br />g. Enam Belas Real dipimpin kepala adat (Pemangku adat) kecamatan <br /> Hubungan Dayak Mali Dengan Alam Semesta<br />a. Batu <br />- Ukiran Batu <br />- Batu Keramat <br />- Batu besar (Tempat Bunyi', Penunggu batu) <br />b. Kayu Besar <br />- Pedagi (Tempat Penyembahan Apet Kuyan'gh, Jobata, Jubata <br />- Kayu Ara (pohon beringin): penunggunya Jin dan Buta <br />c. Tanah <br />- Sisil (Penunggu Tanah) <br />- Mawin'gh <br />d. Hutan Rimba <br />- Amot Turun (Hantu Hutan Rimba) <br />- Amot Uru Ara <br />e. Gunung / Bukit <br />- Kamang (Pembawa Kejahatan dan Penyakit) <br />- Buta <br />f. Air <br />- Amot Pin'gh <br /> Cerita/ Dongeng Dayak Mali<br />1) Cerita Si Bungsu <br />2) Cerita Bunyi' ( Kampong Bunyi) <br />Suatu hari ada seorang anak muda yang sangat rajin sekali. Setiap hari ia pergi ke bukit untuk mengambil air Enau. Nama bukit tersebut adalah bukit Tiong Kandang. Anak tersebut kadang-kadang tinggal di pondoknya dan hampir seluruh hidupnya tinggal di hutan belantara. Pada suatu malam ia bermimpi melihat orang ramai sekali di sekitar pondok tersebut. Dan iapun terbangun karena dikejutkan mimpi yang sangat menakutkan tersebut. Dalam hatinya ia bertanya bagaimana mungkin ada kampung di pondoknya tersebut. Karena masih malam iapun tidur kembali. Ketika ia terlelap tidur ia dibisik oleh seseorang ditempat tersebut. Anak muda tersebut diminta untuk memanjat pinang dan harus tampa busana(pakaian). Pagi-pagi benar ketika embun mulai naik ke atas, iapun memanjat pohon pinang yang ada disekitar pondok tersebut. Ketika anak muda tersebut sampai di puncak pohon pinang tersebut. Ia sangat terkejut bahwa dimana pondoknya berdiri itu adalah kampung orang. Karena ia tanpa busana maka ia ditertawakan oleh gadis-gadis di kampung tersebut. Lalu para tetua kampung meminta ia turun dan memintanya untuk memakai pakaian. Anak muda itu juga dibersihkan dari luka gigitan dan jilatan anjing. Karena anjing paling ditakuti bunyi'. ketika itu juga ia diterima oleh orang-orang dikampung tersebut. Setelah lama tinggal di kampung tersebut iapun dinikahkan dengan anak gadis yang ada dikampung tersebut. Berselang beberapa tahun anak muda tersebut rindu juga kampung halamannya. Lalu ia diijinkan untuk pulang selama beberapa hari. Anak muda itu pulang kampung tapi tidak mebawa serta keluarganya, ia pulang sendirian. Waktu hendak berangkat orang-orang dikampung tersebut berpesan agar sekembaliannya tidak boleh membawa anjing. Iapun berangkat selama beberapa hari dikampung kelahirannya yang tidak terlalu jauh. Masih di kaki bukit tersebut. Setelah sekembaliannya dari kampung halamannya iapun dibekali makanan dan perabotan rumah tangga. Anak muda tersebut juga membawa tikar yang telag digulungkan dengan rapi. Pada saat membawa oleh-oleh perabotan rumah tangga tersebut ia juga membawa tikar dan didalam tikar tersebut ada anak anjing yang tertidur lelap. Sesampainya dikampung istrinya(Kampung Bunyi')ia menyimpan semua oleh-oleh tersebut. Lalu tikarnyapun digelar di ruang tengah. Seketika itu juga anak anjing tersebut terbangun dan terkejut lalu lari sepanjang ruang tengah(Rumah Panjang) tersebut. Maka kampung yang tadinya tidak kelihatan akhirnya menjadi kampung baru yang bisa dilihat oleh manusia biasa. Karena bunyi' sebenarnya tidak dapat dilihat oleh manusia. Bunyi' adalah mahluk halus yang menurut cerita orang tua bahwa mereka juga hidupnya sama seperti manusia. Yaitu berladang, makan, menikah, berkeluarga seperti manusia biasa.<br /><br /> Suku Dayak Mualang adalah salah satu sub suku Dayak Ibanic yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat, Indonesia, yaitu Kecamatan :<br />a. Belitang Hilir, Sekadau <br />b. Belitang, Sekadau <br />c. Belitang Hulu, Sekadau <br />d. Sepauk, Sintang dan sekitarnya.<br /> Ciri Fisik<br />Salah satu ciri yang tampak pada orang Mualang adalah ciri fisik yang mongoloid, wajah bulat, kulit putih/kuning langsat, mata agak sipit, rambut lurus, ada juga yang ikal serta relatif tidak tinggi.<br /> Bahasa<br />Bahasa yang digunakan mirif bahasa Iban, Kantuk dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan kata i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r, serta logat pengucapannya.<br /> Legenda<br />Sekitar 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah, yakni sebuah wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau Kapuas, tepatnya di hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.<br /> Urang Panggau<br />Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau serta disebut Urang Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).<br /> Tampun Juah<br />“Tampun Juah” merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau hidup di daerah bukit kujau’ dan bukit Ayau, sekarang termasuk di wilayah Kecamatan batang lupar daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai jaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis.<br />Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai. Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.<br /> Penggolongan Masyarakat<br />Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:<br />a. Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja <br />b. Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau bebas <br />c. Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya <br /> Temenggung<br />Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin – pemimpin di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.<br /> Kehidupan Ritual<br />Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang ( perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang laki –laki dan pukat mengawan adalah celah – celah dari jala / pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni: Tujuh orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:<br />• Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir ) <br />• Puyang Belawan <br />• Dara Genuk ( perempuan ) <br />• Bejid manai <br />• Belang patung <br />• Belang pinggang <br />• Belang bau <br />• Dara kanta” ( perempuan ) <br />• Putong Kempat ( perempuan ) <br />• Bui Nasi ( awal mula adanya nasi) <br />Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal. Karena mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana, ia di kubur dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang dalam rupa yang menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna suatu alasan maka ia mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah dan hutan.( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.184 – 188 ). - Puyang Belawan lahir secara normal seperti manusia biasa. - Dara Genuk lahir kerdil atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek, oleh sebab itu ia di sebut Dara genuk. - Bejid Manai lahir dan mempunyai sedikit kelainan pada bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab itulah ia disebut Bejid Manai. - Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang – belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Patung. - Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Pinggang. - Belang Bau lahir dalam keadaan belang dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau. - Dara Kanta” lahir normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya, oleh sebab itu ia disebut Dara Kanta”. - Putong Kempat lahir dalam keadaan normal dan ia mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar biasa tak terbayangkan, Upa Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia disebut Putong Kempat. - Bui Nasi lahir dalam keadaan aneh, karena lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan kelahiran inilah awal mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk mengubahnya menjadi bibit padi.<br /> Adat Istiadat Tampun Juah<br />Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma –norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang lebih baik hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur. Demikian juga aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan masyarakat diluarnya. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun Juah semakin maju dan dikenal hingga datanglah masyarakat dari berbagai kelompok lain yang bergabung dan berlindung serta mencari kehidupan yang lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan kemakmuran di Tampun Juah, telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal ini menyebabkan penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk merebut kejayaan di Tampun Juah.<br /> Orang Buah Kana<br />Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).<br />Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan mempengaruhi bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau, berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.<br />Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka mempengaruhi bangsa binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, sama halnya dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti /serumpun.<br />Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi, menyebabkan gemparlah Tampun Juah.<br />Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat, (musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan, selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah :<br />a. Kelompok yang kini disebut Dayak Batang Lupar/Iban, berangkat menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru. <br />b. Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll. <br />c. Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal dijamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.4 Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya. <br /> Penduduk Tanah Tabo'<br />Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong. Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali ( terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka, menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.<br /> Guyau Temenggung Budi<br />Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama Dayak Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan sebagian ke Sepauk, Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan Pukat Mengawang lainnya juga menyebar mengikuti kehidupan masing – masing dan ada yang membentuk kelompok suku – suku serumpun lainnya. Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat Mengawang yaitu: Putong Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung, di masa kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ). Demikianlah urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.<br />Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya yang bernama 2. Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan 3. Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan 4. Abang Panjang, kawin, menurunkan 5. Demong Karang kawin, menurunkan 6. Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan 7. Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan 8. Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan 9. Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385) 10. Dara juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit (hindu). (buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. 1975, hal.197)<br /> Dayak Lebang Nado<br />Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini. Keturunan tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender. Sebagai bukti hantaran dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua belas orang parinduk atau bukti hantaran, kemudian kedua belas orang ini membentuk komunitas disekitar Bukit kelam dan lambat laun menjadi komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari keturunan Dayak Mualang, Melayu hindu dan Jawa hindu.<br /> Mualang Tanjung<br />Enam rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang terpecah membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya. Sebagian bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam usahanya mencari Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut dipimpin oleh Singa Patih Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika menyebar mencari daerah yang disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih Bardat bercampur dengan Dayak Mualang, menurunkan suku -suku kecil yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak Mualang Sekadau di daerah Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang dikutuk melebur menjadi batu karena sebuah peristiwa).<br /> Patih Bangi<br />Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai Dayak Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah Belitang inilah yang banyak menurunkan Raja –Raja Sekadau, dan Raja Belitang. Kerajaan kecil tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.<br /> Kerajaan Sekadau<br />Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari sungai Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah pangeran Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :<br />- Pangeran Agong <br />- Pangeran Kadar <br />- Pangeran Senarong <br />Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, beliau digantikan oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan Raja-Raja Belitang. Sedangkan Pangeran Agong memilih mengasingkan diri beserta pengikutnya ke tempat yang kini disebut dengan Lawang Kuwari. (Betang Panjang yang menghilang dan hingga kini tempat ini dianggap keramat ).<br />Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur diikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan; Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.<br /> Daerah Penyebaran<br />Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja Belitang. Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari melewati hutan karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang dibekalkan padanya yakni sebuah keris telah hilang.<br />Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut dan membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris pusaka kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan terlepasnya ganggang keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari, oleh sebab itu ia sangat ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri sekalian berusaha mencari keris pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu kapuas. Dara tersebut bernama Dayang Imbok Benang, keturunan kesekak Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia ditemukan oleh Demong Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri oleh Demong Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda bernama: Abang bari.<br />Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu mereka yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia di sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah sungai Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal maka sungai tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya disebut daerah Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung dengan keturunan ibunya, menjadi bagian dari masyarakat Mualang. Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti ayahnya meneruskan pemerintahan Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau ke Belitang untuk meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.<br /> Ratu Beringkak<br />Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau) menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.<br />Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.<br /><br /> Suku Dayak Bukit<br />Jumlah populasi kurang lebih 50.000. Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan. Kalimantan Selatan : 35.838 (2000).Bahasa : Bukit, Melayu Banjar, Indonesia. Agama : Kaharingan (Hindu). Kelompok etnis terdekat Dayak Ngaju, Banjar.<br />Suku Bukit atau Dayak Bukit adalah suku asli yang mendiami pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, karena itu suku ini lebih senang disebut Dayak Meratus, daripada "Dayak Bukit" sudah terlanjur dimaknai sebagai "orang gunung". Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah 'bukit' berarti bagian bawah dari suatu pohon' yang juga bermakna 'orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya'. Adapula yang menamakan sebagai Dayak Banjar, artinya Dayak yang berasal dari daerah Banjar yaitu Kalimantan Selatan.<br />Populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan pada sensus penduduk tahun 2000 berjumlah 35.838 jiwa, sebagian besar daripadanya terdapat di kabupaten Kota Baru yang berjumlah 14.508 jiwa. Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru. Beberapa golongan Dayak Bukit yaitu :<br />- Dayak Pitap, di hulu sungai Pitap, kecamatan Awayan, Balangan <br />- Dayak Hantakan, di kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah <br />- Dayak Haruyan, di kecamatan Haruyan, Hulu Sungai Tengah <br />- Dayak Loksado, di kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan <br />- Dayak Piani, di kecamatan Piani, Tapin <br />- Dayak Paramasan, di kecamatan Sungai Pinang, Banjar <br />- Dayak Riam Adungan, di kecamatan Kintap, Tanah Laut <br />- Dayak Bajuin, di kecamatan Pelaihari, Tanah Laut <br />- Dayak Bangkalaan, di kecamatan Kelumpang Hulu, Kotabaru <br />- Dayak Sampanahan, di kecamatan Sampanahan, Kotabaru <br />- dan lain-lain<br />Menurut Cilik Riwut, Suku Dayak Bukit merupakan suku kekeluargaan yang termasuk golongan suku (kecil) Dayak Ngaju. Suku Dayak Ngaju merupakan salah satu dari 4 suku kecil bagian dari suku besar (rumpun) yang juga dinamakan Dayak Ngaju.<br />Mungkin adapula yang menamakan rumpun suku ini dengan nama rumpun Dayak Ot Danum. Penamaan ini juga dapat dipakai, sebab menurut Tjilik Riwut, suku Dayak Ngaju merupakan keturunan dari Dayak Ot Danum yang tinggal atau berasal dari hulu sungai-sungai yang terdapat di kawasan ini, tetapi sudah mengalami perubahan bahasa. Jadi suku Ot Danum merupakan induk suku, tetapi suku Dayak Ngaju merupakan suku yang dominan di kawasan ini.<br /> Silsilah suku Bukit :<br />Suku Dayak (suku asal), terbagi 5 suku besar / rumpun.<br />a. Dayak Laut (Iban) <br />b. Dayak Darat <br />c. Dayak Apo Kayan / Kenyah-Bahau <br />d. Dayak Murut <br />e. Dayak Ngaju / Ot Danum, terbagi 4 suku kecil : <br />o Dayak Maanyan <br />o Dayak Lawangan <br />o Dayak Dusun <br />o Dayak Ngaju, terbagi beberapa suku kekeluargaan : <br />- Dayak Bukit <br />- dan lain-lain <br />Menurut Alfani Daud, suku Dayak Bukit sebagaimana suku Banjar, nenek moyangnya juga berasal dari Sumatera dan sekitarnya ( daerah Melayu). Karena itu bahasa Bukit dinamakan sebagai "Bahasa Melayu Bukit" (Bukit Malay).<br />Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka teguh memegang kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku ini, agak berbeda dengan suku Dayak di Kalimantan Tengah (Suku Dayak Ngaju), yang banyak menekankan ritual upacara kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara pada proses penanaman padi atau panen. Suku Dayak Bukit juga tidak mengenal tradisi ngayau yang ada jaman dahulu pada kebanyakan suku Dayak.<br />Upacara ritual suku Dayak Bukit, misalnya "Aruh Bawanang". Tarian ritual misalnya tari Babangsai untuk wanita dan tari Kanjar untuk pria. Suku Bukit tinggal dalam dalam rumah besar yang dinamakan balai. Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat" karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang).<br /> Suku Dayak Bukit menganal tiga kelompok roh pemelihara kawasan pemukiman dan tempat tinggal yaitu :<br />a. Siasia Banua <br />b. Bubuhan Aing <br />c. Kariau <br />Siasia Banua contohnya :<br />- Siasia Banua Kambat <br />- Siasia Banua Pantai Batung <br />- Siasia Banua Kambat <br />- dan sebagainya<br />Bubuhan Aing contohnya :<br />- Bubuhan Aing Muhara Indan <br />- Bubuhan Aing Danau Bacaramin <br />- Bubuhan Aing Maantas <br />- dan sebagainya <br />Kariau contohnya :<br />- Kariau Labuhan <br />- Kariau Padang Batung <br />- Kariau Mantuil <br />- dan sebagainya <br />Bahasa Dayak Bukit, menurut penelitian banyak kemiripan dengan dialek Bahasa Banjar Hulu. Ada pula yang menamakan bahasa Bukit sebagai "bahasa Banjar archais". Bahasa Bukit termasuk Bahasa Melayu Lokal yang disebut Bahasa Melayu Bukit.<br />Perbandingan hubungan suku Bukit dengan suku Banjar, seperti hubungan suku Baduy dengan suku Banten. Suku Banjar dan suku Banten merupakan suku yang hampir seluruhnya memeluk Islam, sedangkan suku Bukit dan suku Baduy merupakan suku yang teguh mempertahankan religi sukunya.<br /> Populasi Suku Bangsa Dayak Bukit<br />Populasi suku Dayak Bukit di Propinsi Kalimantan Selatan : 35.838 (BPS - sensus th. 2000). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan berjumlah 35.838 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten dan kota, yaitu :<br />585 jiwa di kabupaten Tanah Laut 14.508 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu) 1.737 jiwa di kabupaten Banjar. 836 jiwa di kabupaten Barito Kuala.112 jiwa di kabupaten Tapin.3.778 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan. 3.368 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah. 244 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (termasuk Balangan). 1.106 jiwa di kabupaten Tabalong. 7.836 jiwa di kota Banjarmasin. 1.728 jiwa di kota Banjarbaru.<br /> Busana Tradisional Dayak Ngaju<br />a. Busana Kulit Kayu<br /> <br />Beratus tahun lalu masyarakat Dayak membuat busana dengan bahan dasar kulit kayu yang disebut kulit nyamu. Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Setelah dianggap halus "kain" itu dipotong untuk dibuat baju dan celana. <br />Model busananya sangatlah sederhana dan semata fungsional. Bajunya berupa rompi unisex tanpa hiasan apapun. Rompi sederhana ini dalam bahasa Ngaju disebut sangkarut. Celananya adalah cawat yang, ketika dikenakan, bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang, yang disebut ewah. Busana itu berwarna coklat muda, warna asli kayu, tak diberi hiasan, tak pula diwarnai, sehingga kesannya sangat alamiah.<br />Akan tetapi naluri berdandan, yang konon telah bangkit pada hati setiap manusia sejak ribuan tahun silam, mengusik hasrat masyarakat Dayak Ngaju untuk "mempercantik" penampilan. Maka baju kulit kayu sederhana itu pun lalu dilengkapi dengan aksesori ikat kepala (salutup hatue untuk kaum lelaki dan sal utup bawi untuk para perempuan), giwang (suwang), kalung, gelang, rajah (tatoo) pada bagian-bagian tubuh tertentu, yang bahannya juga dipungut dari alam sekitar. Biji-bijian, kulit kerang, gigi dan taring binatang dirangkai menjadi kalung, gelang dibikin dari tulang binatang buruan, giwang dari kayu keras, dan berbagai aksesori lainnya yang mendaurulangkan limbah keseharian mereka. Dan kesederhanaan pakaian kulit kayu itu kemudian memancarkan esensi keindahan karena imbuhan warnawarni flora dan fauna yang ditambahkan sebagai pelengkap busana. <br />Pada perkembangan selanjutnya masyarakat Dayak Ngaju pun mulai membubuhkan warna dan corak hias pada busana mereka. Bahan pewarna itu secara kreatif diolah dari yang tersedia pada alam sekitar mereka. Misalnya saja, warna hitam dari jelaga, warna putih dari tanah putih dicampur air, warna kuning dari kunyit, warna merah dari buah rotan.<br />Corak hias yang digambarkan pada busana juga diilhami oleh apa yang mereka lihat di alam sekelilingnya. Maka tampillah stilasi bentuk flora dan fauna, bunga, dedaunan, akar pohon, burung, harimau akar, dan sebagainya, menjadi corak hias busana adat. Keyakinan dan alam mitologi juga memberi inspirasi pada penciptaan ragam corak hias busana adat sehingga gambar-gambar itu, selain tampil artistik, pun punya makna simbolik. Pengaruh agama Hindu pada kepercayaan asal masyarakat Ngaju, yang cenderung animistik, misalnya, melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu Kaharingan. Sinkretisme itu melahirkan pelbagai keyakinan dan mitologi dan mengilhami lahirnya corak hias naga, manusia, dan sebagainya, yang bermakna sangat filosofis. <br />Salah satu mitologi masyarakat Dayak Ngaju yang terkenal adalah tentang penciptaan alam yang melahirkan simbolisasi "pohon hayat" atau "pohon kehidupan" dalam bentuk corak hias yang dikenal dengan nama batang goring. Corak hias ini sangat berarti bagi masyarakat Dayak Ngaju sehingga busana adat untuk upacaraupacara penting - misalnya upacara tiwah, dalam kepercayaan Kaharingan, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya, upacara meminta hujan, upacara pengobatan belian obat - kelengkapannya adalah busana dengan corak hias batang garing. Selain itu, diatur pula pemakaian corak hias busana adat - berbeda untuk perempuan dan lelaki - bagi para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan. <br />b. Busana Jalinan Serat Alam <br />Inovasi yang paling signifikan pada rancangan busana masyarakat Dayak adalah penguasaan keterampilan menjalin serat alam. Teknik menenun, konon, diperkenalkan kepada masyarakat Ngaju oleh orang-orang Bugis. Maka kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran "kain", kini diolah dengan teknik yang memerlukan kesabaran dan konsentrasi tinggi. Dari kulit kayu yang telah dihaluskan mereka membuat serat yang dicelup oleh bahan pewarna alam sehingga dihasilkan benang yang tak tunggal warna. Mereka pun lalu menciptakan alat penjalin untuk "merangkai" serat demi serat menjadi bentangan bahan busana untuk baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya. <br />Eksplorasi terus dilakukan untuk mencari bahan-bahan lain yang bisa dibuat benang. Mereka kemudian melirik rotan, jenis rumputrumputan, akar tumbuhan, sehingga "kain" yang dihasilkan menjadi beragam. Rancangan dan fungsi busana pun turut berkembang. Pakaian yang dibuat bukan lagi hanya untuk fungsi yang paling mendasar yakni baju dan celana untuk melindungi bagian tubuh yang dianggap paling penting saja, tapi diperluas untuk keperluan lainnya. Umpamanya saja sangkarut perang dari jalinan rotan (sangkarut perang) untuk penahan tusukan anak panah, sumpit, dan tombak. <br />Orang-orang Cina dan India memperkenalkan manik-manik yang terbuat dari logam, keramik, melengkapi yang sebelumnya telah dibuat masyarakat Ngaju dari biji-bijian, kayu, dan tulang. Selain untuk aksesori, manikmanik itu juga kemudian diaplikasikan menjadi hiasan busana. Maka busana masyarakat Ngaju jadi semakin ornamentik dan semarak warna. Akan tetapi, hiasannya tetap mengekspresikan keakraban mereka dengan alam. Corak hiasnya masih menampilkan alam flora, fauna, dan mitologi. Dan kini pucuk rebung, burung enggang, ular, harimau akar, manusia, awan, batang garing, tampil pula dalam ekspresi yang lain. <br />Temuan-temuan baru itu kemudian dikembangkan lagi secara kreatif oleh para perancang busana masyarakat Ngaju. Hasilnya adalah tata busana yang memadukan kulit kayu, jalinan serat alam, berhiaskan gambar pewarna alam, dan aplikasi manik-manik dan arguci. Jenis-jenis busana seperti ini sekarang pun masih bisa dibuat untuk berbagai keperluan, umpamanya saja, untuk kostum tarian, koleksi museum, atau cendera mata.<br />c. Busana Kain Tenun Halus <br />Para pedagang Gujarat dari India yang datang ke Nusantara membawa serta kain-kain tenun halus sebagai barang dagangan. Kain-kain tersebut ditenun dari serat kapas atau sutra. Masyarakat Ngaju, terutama yang bermukim di daerah pesisir dan pusat kerajaan, memberikan apresiasi positif terhadap bahan busana yang sebelumnya tidak ada pada khasanah karya tenun mereka itu. Maka diadaptasilah teknik menenun kain halus itu dan kreativitas para penenun masyarakat Ngaju kemudian melahirkan juga kain tenun halus. Betapa tidak, karena ternyata alam Nusatara yang kaya raya juga menyediakan kapas dan sutra. <br />Busana tradisional masyarakat Ngaju yang beredar sekarang ini hampir seluruhnya dibuat dari kain tenun halus serat kapas atau sutra. Busana pengantin, pakaian acara-acara adat, kostum taritarian, dan sebagainya, kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin, atau sutra. Akan tetapi corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya. Pakaian tradisional masyarakat Ngaju yang sekarang dianggap sebagai busana daerah Kalimantan Tengah untuk pelbagai upacara adat adalah pengembangan dari busana tradisonal masa lampau. <br />Busana kaum perempuan terdiri dari baju kurung ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias stilasi bentuk flora atau fauna. Paduannya rok panjang sebatas betis, disebut salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk flora atau fauna. Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai dihias ikat kepala, lawung bawi, dari kain yang sewarna dengan baju dengan sehelai bulu burung haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang. Dan aksesori yang dikenakannya adalah kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang.<br />Baju kaum lelaki disebut baju palembangan, model baju pria Melayu tapi berkerah, juga dari beludru atau satin. Pada kerah, ujung lengan baju, dan bagian dada, diberi hiasan. Celananya disebut selawar gobeh, celana panjang "komprang" (tidak ketat) dari kain yang sama dengan bajunya. Sedangkan penutup kepala dibuat dari kain yang dibentuk seperti peci atau kopiah yang disebut lawung siam.<br />II.4 Rumah Adat Suku Dayak<br />a. Lamin (Kalimantan Timur)<br /> <br />(Lamin suku Dayak)<br />Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang (blang).<br /> <br />(Penggunaan kolong yang tinggi pada Lamin)<br />Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai 4 meter. Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman serangan musuh ataupun binatang buas.<br />Pada awalnya, Lamin dihuni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik didalam Lamin, namun kebiasaan itu sudah semakin memudar di masa sekarang. Bagian depan Lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen, dll. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar. Setiap kamar dihuni oleh 5 kepala keluarga.<br />Lamin kediaman bangsawan dan kepala adat biasanya penuh dengan hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran yang indah mulai dari tiang, dinding hingga puncak atap. Ornamen pada puncak atap ada yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat biasa hanya terbuat dari kulit kayu.<br />b. Betang (Kalimantan Barat)<br /> <br />Ekspedisi Muller dan Sachwanerm bersama satu batalyon tentara kolonial di belantara Kalimantan, awal abad ke-18 lalu, menyimpulkan rumah bagi Suku Dayak tidak lain adalah benteng pertahanan kelompok. <br />Kedua bersaudara asal Jerman yang dikontrak pemerintah Belanda itu tidak hanya memaknai rumah tinggal Suku Dayak sebagai tempat tinggal dan tempat beranak pinak saja, tapi memiliki dimensi politis. Pemerintah Kolonial selama berabad-abad memang memandang rumah tinggal suku Dayak tidak lain sebagai sarang musuh yang harus dihapuskan. Rumah suku Dayak yang bisa menampung 800 jiwa atau hampir mendekati kekuatan satu batalyon kompeni.<br />Walaupun antar komunitas suku Dayak yang tinggal di wilayah Selatan, Tengah, Barat dan Timur pulau, awalnya tidak pernah terjadi persinggungan budaya, namun arsitektur dan posisi rumah mereka selalu menghadap ke sungai atau sumber mata air.<br />Kalau di Tana Toraja, rumah panggung dikenal dengan nama Tongkonan dan di Minangkabau bernama Rumah Gadang, suku Dayak memberi nama berbeda-beda sesuai letak geografis masing-masing. <br />Suku Dayak yang tinggal di Selatan sering menyebut "balai", di bagian Barat dan Tengah menyebutnya dengan "betang" dan di bagian timur "lamin". Apapun sebutannya namun secara fisik memiliki persamaan yaitu berupa bangunan besar ukuran panjang antara 30 sampai 150 meter dan lebar 10 hingga 30 meter dan bertiang tinggi antara 3 sampai 4 meter. <br />Sama dengan letak yang selalu dekat sungai, hingga kini belum terpecahkan, mengapa tipologi rumah Suku Dayak harus dibuat besar mirip barak militer tanpa mempertimbangkan faktor privasi antar keluarga. <br />Tetapi dari alasan teknis dibuat tinggi dari permukaan tanah tidak lain adalah untuk pertimbangan menjaga serangan binatang buas atau serangan musuh, selain pemanfaatan lahan yang biasanya untuk tempat bermain anak, gudang, menumbuk padi, menyimpan perahu atau sesekali untuk upacara adat. <br />Bangunan rumah selalu mempergunakan material kayu yang tahan panas dan tahan hujan. Biasanya dipergunakan kayu Ulin ("eusideroxylon zwagery") yang satu sama lain dirangkai tanpa mengunakan paku atau baut tetapi lazimnya menggunakan pasak dari jenis kayu yang sama. Sedangkan atapnya menggunakan sirap. <br />Rancang bangun Balai, Betang atau Lamin, biasanya terdiri dari bagian-bagian penting seperti tangga, pelataran, anjungan, ruang utama, ruang keluarga, ruang tidur, dapur dan gudang logistik. <br />Sedangkan untuk buang hajat atau mencuci dan mandi biasanya terpisah dari bangunan rumah. <br />Khusus untuk ruang tidur, biasanya memiliki fungsi ganda sebagai tempat privasi sekaligus untuk menyimpan perhiasan atau peralatan perang seperti mandau, tombak, sumpit atau racun yang sering digunakan untuk berburu binatang atau peperangan. <br />Rata-rata tinggi dinding dibuat paling sedikit 4 meter guna menjaga sirkulasi udara, sedangkan daun pintu biasanya mengikuti tinggi dinding yang kadang-kadang sampai 3 meter sementara daun jendela 2 meter. <br />Walaupun pintu rumah Suku Dayak biasa selalu terbuka, namun untuk menjaga keamanan dibuat kunci pengaman dari kayu ulin yang lazim disebut dengan "sesunduk lawang", batangan kayu mirip alu yang diletakan diatas dudukan sebagai penyangga daun pintu. <br />Antara satu suku dengan suku Dayak lainnya memiliki ciri khas dalam membuat ornamen rumah, termasuk ukiran-ukiran pada teras depan, tiang pagar teras, tangga maupun bentuk bubungan atap. Namun khusus untuk peletakan gagang pintu maupun jendela memiliki kesamaan, yakni selalu berada pada bagian kiri agar memudahkan tangan kiri untuk memegangnya. <br />Rancangan ini merupakan bentuk "kesiagaan" suku Dayak yang selalu mempersilahkan tamunya dengan tangan kanan, walaupun sedang memegang senjata mandau atau tombak. <br />Jika ujung mata mandau atau tombak mengarah ke bawah, maka ini berarti bentuk penghormatan untuk mempersilahkan tamunya masuk. Tetapi jika sebaliknyanya, berarti bentuk penolakan yang tidak bisa ditawar-tawar.<br />Disebut ”Rumah Betang”, merupakan rumah panggung berbentuk panjang, bawah kolongnya digunakan untuk bertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh 26 kepala keluarga. Terdiri dari enam kamar antara lain kamar untuk menyimpan peralatan perang, kamar untuk pendidikan gadis, tempat sesajian, upacara adat dan agama, tempat penginapan, dan ruang tamu.Pada kiri-kanan ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak mara bahaya.<br /> <br />II.5 Senjata Tradisional Suku Dayak<br /> <br />(Mandau)<br /> Bagi masyarakat Dayak, senjata "Mandau" tak dapat dipisahkan dari seni budaya mereka. Kalau dulu "mandau " sebagai biasa digunakan dalam acara ritual ataupun sebagai senjata peperangan serta senjata untuk berburu dan bertani, sekarang fungsinya sudah berbeda, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cendera mata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, merantas hutan dan bertani. <br />¬¬Bagi masyarakat Dayak, Mandau merupakan kehormatan diri.Dimana mandau tidak dapat terpisah dari tubuh pemiliknya, kemanapun pergi selalu dibawa. Karena itu, jangan coba-coba menganggap enteng senjata, misalnya memotong apalagi sengaja menginjak-injak. Perbuatan itu bisa dianggap penghinaan."Memang tidak akan menimbulkan konflik berkepanjangan karena masyarakat Dayak pada dasarnya sangat mencintai perdamaian. Namun, pelakunya bisa dituntut dalam suatu rapat adat dan dikenai sanksi," <br />Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan sesuai kesaktian besinya. dimana kekuatan magis tersebut diisi oleh ahlinya melalui upacara ritual dan juga pantangan-pantangannya. sebelum abad ke-20 mandau erat kaitannya dengan kebiasaan 'mengayau' atau memenggal kepala musuh untuk dijadikan hiasan atau kepala orang yang sudah mati, dipercaya semakin banyak 'kepala' yng dihasilkan semakin 'sakti' mandau tersebut, rambut sbg hiasan biasanyah diambil dari rambut musuh, ada kepercayaan roh lawan yng mati akan mendiami mandau tsb, setiap membunuh akan diberikan tanda pada hulu mandau.... <br />Mandau yang asli dipercayai terbuat dari batu gunung yang dilebur khusus oleh ahlinya sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga dan dibuat oleh orang-orang tertentu. Gagan mandau asli kebanyakan terbuat dari tanduk rusa maupun tulang dengan ukiran bermotif elok, ditambah dengan bulu binatang atau rambut manusia yang dilekatkan di pangkal gagang. Sering juga pada mandau asli / kuno dilengkapi dengan jimat. Tidak heran jika kemudian, harga mandau asli sangat mahal karena pembuatannya membutuhkan kehati-hatian dan kecermatan yang sangat tinggi. Seni membuat mandau ini sekarang memang terancam musnah, tak banyak lagi empu mandau yang kita dengar. Generasi muda dayak sudah jarang yang mau belajar membuat mandau. <br />Stuktur mandau <br />Umumnya mandau memiliki hulu (pegangan) terbuat dari tanduk, tanduk rusa atau kayu terpilih / kayu kualitas nomor satu dan dihiasi ukiran. Bentuk gagang dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal usul mandau dibuat, suku dan derajat pemakainya. Itu bisa terlihat dari gaya serta motif ukirannya. Selain itu, di bagian hulu mandau disisipi beberapa helai rambut manusia, yang dipercaya akan menambah keampuhannya dan keangkeran pada pemiliknya. <br />Sarung mandau atau disebut kumpang juga diukir khas Dayak yang sangat indah serta dianyam rotan Kalimantan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, serta manik-manik yang indah dan tak lupa diselipkan jimat. Di kumpang / sarung mandau itu terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau kecil / pisau penyerut berukuran sekitar 10 sentimeter yang sangat tajam yang diberi nama langgai kuai dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas. <br />Ketika masuk-keluar hutan, mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan. <br />Material Mandau <br />• Besi Montallat <br />Dalam kaitan itu, besi Montallat paling terkenal diantara bahan-bahan lainnya untuk membuat senjata mandau. <br />• Besi Matikei <br />Berdasarkan literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, terdapat sejenis bahan baku pembuat mandau, yaitu besi (sanaman) matikei, yang didapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikei, Samba, Kotawaringin Timur. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokkan. <br />Untuk mandau kwalitas Baik besi baja yang digunakan harus baja asli , sehingga hasilnya juga baik. Selain itu untuk tangkai mandau atau ulunya diperlukan tulang tanduk rusa yang besar, agar mudah diukir menjadi beberapa model. Untuk saung dibuat dari kayu bekualitas bagus. <br />Bahan baku pembuatan mandau atau ambang antara lain besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan besi batangan lainnya. Peranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebatang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan. <br />Proses Pembuatan Mandau <br />Hal pertama yang selalu dilakukan dalam pembuatan mandau, adalah membuat tungku api. Disinilah besi ditempa. Kayu digunakan pada tungku api untuk membarakan nyala kayu ulin yang dipakainya untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. <br />Besi yang tebal tersebut, dipanaskan di dalam bara api, agar lunak. Kemudian ditempanya dengan palu. Demikianlah hal tersebut dilakukan berulang-ulang, selama berjam- jam, hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkannya. <br />Bagian yang paling rumit, adalah hiasan mandau. Manakala bilah telah mendapatkan bentuknya, keudiaan mulai membuat hiasan berupa lekukan pada mata Mandau. Hiasan tersebut pun dibuat dengan cara yang sama. Dipanaskan dan dibentuk. Demikian berulang-ulang, hingga akhirnya puas dengan hasilnya. <br />Di samping lekukan sebagai hiasan, dibuat pula gerigi pada mata bilah. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda. Sebagai pelengkap hiasan pada bilah mandau, juga membuat lubang-lubang pada bilah tersebut. Konon pada zaman dahulu, banyaknya lubang mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Semakin banyak lubang, semakin perkasa pemilik mandau. <br />Untuk membuat bilah mandau yang kecil, membutuhkan waktu setengah hari. Namun untuk membuat bilah yang panjang, dia bisa menghabiskan waktu seharian. Selama berjam-jam itu pula, pembuatmandau duduk di kursinya, atau berjongkok, sambil sesekali berdiri. <br />Perbedaan Mandau dg Parang <br />Masyarakat sering kali rancu dalam membedakan mandau dengan parang (warga setempat terkadang menyebutnya sebagai ambang). Sepintas, kedua peranti tajam tersebut tampak mirip. <br />Bedanya, parang atau ambang terbuat dari besi biasa dan tidak dilengkapi hiasan berupa ukiran. Bentuknya relatif sederhana tanpa pernak-pernik, mengingat kegunaannya melulu sebagai alat potong dan tebas ketika yang bersangkutan masuk- keluar hutan. <br />"Kalau mandau, ada bentuk ukir-ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering kali juga ada tambahan lubang-lubang di bilahnya, yang ditutup dengan tembaga atau kuningan sehingga makin indah dipandang,"<br />II.6 Seni Musik Suku Dayak<br /> <br />(alat musik sampe)<br />Suku Dayak memiliki bermacam-macam alat musik, baik berupa alat musik petik, pukul dan tiup. Dalam kehidupan sehari-hari suku di pedalaman ini, musik juga merupakan sarana yang tidak kalah pentingnya untuk penyampaian maksud-maksud serta puja dan puji kepada yang berkuasa, baik terhadap roh-roh maupun manusia biasa. Selain itu musik alat-alat musik ini digunakan untuk mengiringi bermacam-macam tarian.<br />Seperti halnya dalam seni tari, pada seni musik pun mereka memiliki beberapa bentuk ritme, serta lagu-lagu tertentu untuk mengiringi suatu tarian dan upacara-upacara tertentu. Masing-masing suku memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.<br /> Alat Musik Suku Dayak :<br />Alat Musik Keterangan<br />Gendang<br /> Ada beberapa jenis Gendang yang dikenal oleh suku Dayak Tunjung:<br />• Prahi <br />• Gimar <br />• Tuukng Tuat <br />• Pampong <br /><br />Genikng<br /> Sebuah gong besar yang juga digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan) seperti halnya gong di Jawa.<br /><br />Gong<br /> Sama seperti gong di Jawa, dengan diameter 50-60 cm<br /><br />Glunikng<br /> Sejenis alat musik pukul yang bilah-bilahnya terbuat dari kayu ulin. Mirip alat musik saron di Jawa.<br /><br />Jatung Tutup<br /> Gendang besar dengan ukuran panjang 3 m dan diameter 50 cm<br /><br />Jatung Utang<br /> Sejenis alat musik pukul dari kayu yang berbentuk gambang. Memiliki 12 kunci, tergantung dari atas sampai bawah dan dimainkan dengan kedua belah tangan.<br /><br />Kadire<br /> Alat musik tiup yang terbuat dari pelepah batang pisang dan memiliki 5 buah pipa bambu yang dibunyikan dengan mempermainkan udara pada rongga mulut untuk menghasilkan suara dengung.<br /><br />Klentangan<br /> Alat musik pukul yang terdiri dari enam buah gong kecil tersusun menurut nada-nada tertentu pada sebuah tempat dudukan berbentuk semacam kotak persegi panjang (rancak). Bentuk alat musik ini mirip dengan bonang di Jawa. Gong-gong kecil terbuat dari logam sedangkan tempat dudukannya terbuat dari kayu.<br /><br />Sampe<br /> Sejenis gitar atau alat musik petik dengan dawai berjumlah 3 atau 4. Biasanya diberi hiasan atau ukiran khas suku Dayak.<br /><br />Suliikng<br /> Alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Ada beberapa jenis suliikng: <br />• Bangsi / Serunai <br />• Suliikng Dewa <br />• Kelaii <br />• Tompong <br /><br />Taraai<br /> Sebuah gong kecil yang digantungkan pada sebuah standar (tempat gantungan). Alat pemukul terbuat dari kayu yang agak lunak.<br /><br />Uding (Uring)<br /> Sebuah kecapi yang terbuat dari bambu atau batang kelapa. Alat musik ini dikenal juga sebagai Genggong (Bali) atau Karinding (Jawa Barat).<br /><br /><br /> Seni Suara/Musik diantaranya adalah :<br />1. Musik Tingkilan<br /> <br />(masyarakat suku dayak sedang memainkan kesenian musik tingkilan)<br />Seni musik khas suku Dayak (Kutai) adalah musik Tingkilan, kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6), ketipung (semacam kendang kecil), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar) dan biola.<br />Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahut-sahutan. Dahulu sering dibawakan oleh dua orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, atau bahkan saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.<br />2. Hadrah<br />Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam bahasa Arab yang diambil dari kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam.<br />II.7 Seni Pahat dan Seni Patung Suku Dayak<br /> <br />(suku dayak dengan alat pahatnya)<br />c. Fungsi Patung Bagi Suku Dayak<br />Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara. Dari fungsi-fungsi tersebut maka dapat disebutkan jenis-jenis patung yang ada di suku Dayak. Diantaranya adalah sebagai berilkut :<br />1. Patung Ajimat<br />Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.<br />2. Patung Kelengkapan Upacara<br />Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.<br />3. Patung Alat Upacara<br />Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.<br />b. Motif Pahatan Suku Dayak<br />Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.<br /> <br />(Patung blontang suku Dayak ini mengingatkan kita pada totem yang dimiliki oleh suku Indian di Amerika)<br />II.8 Seni Tari Dayak<br />1. Tari Gantar<br />Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.<br />2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang<br />Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan perlatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe. <br /> <br />( Tari Kancet Papatai/Tari Perang )<br />3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong<br />Jika Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.<br /> <br />( Tari Kancet Ledo / Tari Gong )<br />4. Tari Kancet Lasan<br />Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.<br />5. Tari Leleng<br />Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.<br />6. Tari Hudoq<br />Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.<br /> <br />(Tari Hudoq)<br />7. Tari Hudoq Kita'<br />Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.<br />8. Tari Serumpai<br />Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).<br />9. Tari Belian Bawo<br />Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.<br /> <br />( Tari Belian Bawo )<br />10. Tari Kuyang<br />Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.<br />11. Tari Pecuk Kina<br />Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.<br />12. Tari Datun<br />Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.<br />13. Tari Ngerangkau<br />Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu. <br />14. Tari Baraga' Bagantar<br />Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.<br />15. Tari Tambun dan Bungai, merupakan tari yang mengisahkan kepahlawanan Tambun dan Bungai dalam mengusir musuh yang akan merampas panen rakyat.<br />16. Tari Balean Dadas, merupakan tarian guna memohon kesembuhan bagi mereka yang sakit.<br />17. Tari Geger Ketingan, yang merupakan tarian kaum remaja, atau tari "enggang terbang" sebagai simbol menghormati nenek moyang mereka. <br />18. Tari Garunuhing yang mencerminkan rasa syukur <br />19. Tari Giring-Giring dipersembahkan setiap penerima tamu, selain tari-tarian lainnya seperti "jepen", "kanyan halu", "kinyah kayau", "kinyak kambe", "laluhan", "manambang pangkalima" atau tarian sakral berupa tari "balian bawo," yang biasanya dipersembahkan pada saat upacara penyembuhan orang sakit.<br /> <br />II.9 Lagu Daerah<br />a. Kalimantan Selatan<br />- Ampar-ampar Pisang<br />Pencipta / Pengarang Lagu dan Lirik : Hamiedan AC<br />Ampar ampar pisang<br />Pisangku balum masak<br />Masak sabigi dihurung bari-bari<br />Masak sabigi dihurung bari-bari<br />Mangga lepak mangga lepok<br />Patah kayu bengkok (2x)<br />Bengkok dimakan api<br />apinya canculupan<br />Jari kaki sintak dahuluakan masak<br />Ampar ampar pisang<br />Pisangku balum masak<br />Masak sabigi dihurung bari-bari<br />Masak sabigi dihurung bari-bari<br />Mangga ricak mangga ricak<br />Patah kayu bengkok<br />Tanduk sapi tanduk sapi kulibir bawang<br />Nang mana batis kutung dikitip bidawang<br />- Paris Barantai<br />Pencipta: H. Anang Ardiansyah<br />Wayah pang sudah hari baganti musim Wayah pang sudah Kotabaru gunungnya Bamega Bamega umbak manampur di sala karang Umbak manampur di sala karang Batamu lawanlah adinda Adinda iman di dada rasa malayang Iman di dada rasa malayang Pisang silat tanamlah babaris Babaris tabang pang bamban kuhalangakan Tabang pang bamban kuhalangakan Bahalat gununglah babaris Babaris hatiku dandam kusalangakan Hatiku dandam kusalangakan Burung binti batiti di batang Di batang si batang buluh kuning manggading Si batang buluh kuning manggading Kacilangan lampulah di kapal Di kapal anak Walanda main komidi Anak Walanda main komidi Malam tadi bamimpilah datang Rasa datang rasa bapaluk lawan si ading Rasa bapaluk lawan si ading Kasiangan guringlah sabantal Sabantal tangan ka dada hidung ka pipi Tangan ka dada hidung ka pipi<br />b. Kalimantan Barat<br />- Cik Cik Periook<br />Cik cik periook bilanga sumping dari jawe dateng nek keci book bawa kepiting dua ekook Cik cik periook bilanga sumping dari jawe dateng nek kecibook bawa kepiting dua ekook cak cak bur dalam bilanga picak idung gigi rongak sape kitawa dolok dipancung raje tunggal. Cik cik periook bilanga sumping dari jawe periuk kecil, belanga sumbing dr pulau Jawa dateng nek keci book bawa kepiting dua ekook datanglah si Nek Kecibok bw 2 ekor kepiting Cik cik periook bilanga sumping dari jawe dateng nek kecibook bawa kepiting dua ekook cak cak bur dalam bilanga idung picak gigi rongak kepiting diceburkan kedalam belanga hidung pesek gigi ronga'<br />c. Kalimantan Timur<br />- Yamu Ame Tonge<br /><br /><br /><br /> <br />II.10 Upacara Adat dan Tradisi Suku Dayak<br />a. Proses Penguburan Suku Dayak Maanyan<br />Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.<br />Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.<br />Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.<br />Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.<br />Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain. Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana.<br />b. Upacara Tiwah<br /> <br />Provinsi Kalimantan Tengah. Di provinsi ini, masyarakat Dayak Kaharingan berdiam dan bertahan dengan segala adat istiadat dan kepercayaannya. Termasuk pula menjaga kepercayaan yang dianutnya sejak dulu Agama Kaharingan. Salah satu upacara ritual yang masih dijalankan oleh masyarakat Dayak Kaharingan, adalah upacara Tiwah. Inti upacara ini adalah memindahkan tulang jenazah kedalam sandung, yaitu rumah kecil yang senantiasa ada disetiap rumah masyarakat setempat.<br />Upacara ini mencerminkan sikap hormat mereka, kepada anggota keluarga yang telah mendahului mereka. Rangkap I Nau adalah Ketua Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, yang juga Ketua Panitia Tiwah Massal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di dalam upacara ini, Rangkap I Nau meniwahkan ayahnya yang meninggal tahun 1999.<br />Dalam keyakinan Agama Kaharingan, Tuhan Yang Maha Kuasa adalah awal dari segala yang ada. Termasuk hidup dan kehidupan. Di dalam kitab suci mereka disebutkan, manusia pada akhirnya akan kembali kepada sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. <br />Proses menuju kesana, seperti ayah Rangkap I Nau adalah melalui upacara Tiwah. Tiwah artinya pensucian, pembebasan, pelepasan atau penyempurnaan. Pada hakekatnya, dalam hidupnya, manusia berbuat dosa, karena itu ada sial. Siapapun yang meninggal, maka keluarganya akan tertimpa sial. Sial ini harus dihapuskan. Maka dilaksanakanlah upacara ritual Tiwah. Dengan demikian, tidak ada lagi sial pada mereka yang hidup.<br />Dalam proses ini, bagian inti dari upacara ritual Tiwah, adalah pengangkatan tulang jenazah ayah Rangkap I Nau. Dengan upacara ritual seperti pembacaan mantra-matra dari kitab suci oleh ulama, makam ayah Rangkap I Nau dibongkar. Setelah itu tulang belulang ayah Rangkap I Nau pun diangkat dan dibersihkan. Selanjutnya tulang belulang disimpan untuk sementara didalam kotak, selama dua sampai tiga hari. Selain tulang belulang ayah Rangkap I Nau yang baru berumur 4 tahun, ada pula kerangka yang telah berusia 25 tahun. Kerangka ini belum di Tiwah, karena ketiadaan biaya. Biasanya tulang yang sudah berumur diatas 4 tahun sudah bersih. Namun ada pula pengecualian.<br /> <br />Dalam upacara Tiwah, hewan seperti kerbau, sapi dan babi, menjadi syarat untuk dikorbankan. Untuk itu, dibuatlah patung-patung kayu sebagai tempat pengikat hewan-hewan tersebut, sebelum ditombak sebagai korban. Patung-patung tersebut dibuat dari kayu yang kuat yaitu kayu ulin. Hanya pematung hebat yang pahatan dan ukirannya bagus yang terpilih untuk membuat patung-patung tersebut.<br />Setelah selesai, patung-patung tersebut ditaman disamping sadung. Dalamnya lubang bisa mencapai 1 hingga 1,5 meter, mengingat besarnya hewan korban yang diikatkan ke patung. Sebelum menanam patung-patung tersebut ke dalam tanah, ditaruhlah berbagai macam sesajen oleh ulama. Diantaranya beras, telur, sirih, pinang dan rokok. Maksudnya, untuk menunjukkan bahwa tanah itu adalah tempat manusia hidup. Selain itu, juga untuk menunjukkan bahwa patung-patung tersebut didirikan dengan tulus ikhlas.<br />Dalam upacara apapun, masyarakat Dayak Kaharingan senantiasa menggunakan beras yang mereka taburkan. Beras diyakini sebagai alat komunikasi antara manusia dengan Tuhan dan para penciptanya di alam sana. Pada hari yang telah ditentukan, tibalah saatnya bagi hewan-hewan korban tersebut untuk di tombak. Mereka yang menombak pun ada aturannya, yaitu hanya anggota keluarga yang melakukan Tiwah. Bagi ayah Rangkap I Nau yang melakukan penombakan adalah saudara sepupunya. Rangkap sendiri tidak boleh ikut menombak. Namun dia harus membuktikan bahwa dia telah melakukan tanggung jawab moralnya sebagai anak, yaitu melaksanakan Tiwah bagi ayahnya.<br />Selama upacara Tiwah berlangsung, ulama atau dalam bahasa Agama Kaharingan disebut Basir, memainkan peran central. Puncak acara misalnya, adalah pembacaan mantra-mantra oleh Basir. Bukan sembarang Basir, melainkan Basir Utama yaitu yang paling tua, paling pintar dan paling dipercaya. Seraya duduk diatas sebuah gong, sang Basir membacakan nama-nama seluruh almarhum yang akan di Tiwah massal, jumlahnya 211. Karenanya pembacaan mantra tersebut berlangsung semalam suntuk.<br />Selain itu, sang Basir juga menceritakan proses awal kehidupan manusia. Mengakhiri rangkaian upacara ritual yang telah berlangsung lebih dari satu bulan, seluruh keluarga berkumpul di desa tempat asal almarhum. Tiga jam perjalanan mobil dari Palangkaraya. Disana mereka akan memasukan tulang arlmarhum kedalam sandung.<br />Menurut Rangkap, tulang belulang ayahnya harus diperlakukan dengan rasa hormat dan cinta kasih, serta tidak boleh sembarangan. Dengan masukan tulang belulang tersebut, roh ayahnya dipercaya telah diantar ke surga dan menyatu dengan Tuhan. Proses memasukan tulang kedalam sandung pun ditingkahi dengan berbagai ritual yang syarat dengan makna. Luapan emosi tak tertahankan.<br />Dengan masuknya tulang kedalam sandung, maka almarhum ayah Rangkap I Nau telah memperoleh tempat peristirahatannya yang terakhir. Usai sudah upacara Tiwah. Seluruh keluarga merasa lega, bangga dan bahagia. Segala perasaan bercampur aduk menjadi satu. Perasaan ini tidak bisa diukur dengan uang. Namun hanya bisa diukur dengan kebesaran nama Tuhan. Akhirnya Rangkap berharap, suatu saat kelak anak-anaknya pun bisa melakukan hal yang sama, yaitu meniwahkan dia.<br />c. Telinga Panjang, Tradisi Khas Suku Dayak <br />Menyebut seni tato, banyak suku bangsa di Nusantara yang memiliki tradisi ini seperti suku Dayak, Mentawai, dan Papua. Namun, tradisi telinga panjang, hanya suku Dayak di Kalimantan yang memiliki tradisi unik dan khas ini. Itu pun tidak semua suku Dayak, tetapi hanya beberapa subsuku Dayak tertentu.<br />Meski menjadi salah satu ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan, namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan. Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua Dayak yang berumur di atas 60 tahun.<br />Selain jumlahnya sangat sedikit, mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.<br />Menurut antropolog Mering Ngo, yang juga berasal dari suku Dayak, jika tato tradisional Dayak kini berkembang menjadi seni tato modern, tradisi telinga panjang justru semakin tenggelam dan ditinggalkan. Tidak ada generasi muda sekarang yang meneruskan tradisi ini, bahkan di pedalaman Kalimantan sekalipun, dengan beragam alasan.<br />"Cukup saya saja yang telinganya dibuat panjang. Ketujuh anak saya, satu pun tidak ada yang telinganya dibuat panjang," tutur Pejung (82), warga suku Dayak Kayan yang telinganya dibuat panjang hingga sekitar 15 sentimeter. "Saya kasihan jika anak- anak saya nantinya malu dan menjadi bahan ejekan. Padahal, telinga panjang harus mulai dilakukan sejak masih bayi," tambah Pejung.<br />Menurut Mering Ngo, selain tidak ada penerus untuk melestarikan tradisi telinga panjang, juga tidak semua kelompok atau subsuku Dayak di Kalimantan memiliki tradisi telinga panjang ini. Di Kalimantan Barat, misalnya, tradisi telinga panjang hanya dikenal antara lain di kalangan masyarakat Dayak Iban, Kayan, Taman, dan Dayak Punan. Tradisi ini pun kebanyakan hanya berlaku di daerah pedalaman seperti di Kabupaten Kapuas Hulu.<br />Pembuatan telinga panjang tidak hanya dilakukan pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Pembuatan telinga panjang biasanya dilakukan sejak masih bayi. Adapun tujuannya, menurut Mering Ngo, dikaitkan dengan penggolongan strata sosial seseorang di dalam masyarakat.<br />Di Dayak Kayan, misalnya, pembuatan telinga panjang menunjukkan orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan. Adapun pembuatan telinga panjang pada perempuan menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.<br />Lain lagi dengan desa-desa di hulu Sungai Mahakam. Telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu.<br />"Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali," ungkap Jacobus Bayau Lung, Ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur.<br />Tujuan pembuatan telinga panjang pun bukan untuk menunjukkan status kebangsawanan, tetapi justru untuk melatih kesabaran. "Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga. Tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih," ujar Bayau Lung.<br />Sementara itu, di kalangan masyarakat Dayak Kayan, agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter. Sementara pada Dayak Iban, tidak diberi pemberat demikian, tetapi hanya dibiarkan terlihat seperti lubang besar seperti kalau kita membuat angka nol dengan menyatukan ujung ibu jari dengan ujung jari telunjuk.<br />Di Dusun Sungai Utik, Desa Apan, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, misalnya, ditemukan seorang Dayak Iban bernama Tuba. Orang tua berumur sekitar 68 tahun tersebut memanjangkan telinganya sekitar tahun 60-an saat merantau ke Sarawak dan Brunei Darussalam. Di sana dirinya selain memanjangkan telinga juga membuat tato di bagian leher, lengan dan paha.<br />Guru Besar Hukum Adat Univeritas Tanjungpura Prof Dr Yohanes Cyprianus Thambun Anyang menyatakan, tradisi telinga panjang Dayak Iban hampir sama dengan Dayak Taman yang tidak memberi pemberat. "Pada Dayak Taman, tradisi telinga panjang itu tidak terkait dengan strata sosial tertentu. Tradisi ini khususnya untuk perempuan hanya sebagai identitas keperempuanannya," papar pakar hukum adat ini. Tetapi, kata Thambun, tradisi ini sudah ditinggalkan masyarakat Dayak Taman. "Ibu saya saja justru begitu datang ke Pontianak waktu itu meminta dipotong ujung daun telinganya karena khawatir nanti anak- anaknya malu," ungkapnya.<br />Menurut Thambun, memanjangkan telinga hanyalah salah satu tradisi menghias tubuh. Tradisi suku Dayak lainnya adalah membuat tato dan memasang gigi emas. Namun, dari ketiga tradisi menghias tubuh tersebut, hanya tato yang masih bertahan walaupun semakin kehilangan makna spiritualnya. Sedangkan membuat telinga panjang dan memasang gigi emas sudah ditinggalkan. "Tradisi memasang gigi emas bagi Dayak Taman untuk menunjukkan yang bersangkutan sudah merantau jauh, sebab gigi emas yang bagus cuma ada di Sarawak dan Brunei Darussalam," tuturnya.<br />Mulai kapan tradisi telinga panjang ini ditinggalkan? Menurut Mering, ini tidak diketahui persis, namun diperkirakan sama dengan tradisi tato ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.<br />Tradisi ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan. Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya. Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern.<br />II.11 Makanan Khas Suku Dayak<br /> <br />(Makanan khas suku Dayak, pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda)<br />Makanan khas suku Dayak umumnya dimasak di rumah saat menggelar upacara adat atau acara khusus. Ibu-ibu PKK di Kutai Timur misalnya. Dalam beberapa pertemuan, mereka menyiapkan masakan-masakan khas suku Dayak yang kini semakin sulit dinikmati. Memasak pojak pusung jaung alias tumis bunga kecombrang cara memasaknya mirip dengan menumis kangkung atau sayuran lain. Usai menumis bawang merah, bawang putih dan bumbu lainnya, bunga kecombrang yang sudah diiris tipis langsung dimasukkan ke wajan hingga layu. <br />Masakan khas suku Dayak lain yang cukup populer adalah pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda. Masakan tersebut biasanya disajikan ketika akan menggelar upacara adat. Mereka percaya tumis rotan muda berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit di antaranya malaria. Yang pasti, sejumlah penggemar mengakui kelezatannya yang gurih dan renyah. Sebenarnya masyarakat suku Dayak memiliki banyak makanan khas lainnya. Sayangnya, keragaman dan kekayaan tradisi itu masih belum tergali.<br />II.12 Perkembangan Suku Dayak<br />a. Kesultanan Kutai Kartanegara<br /> Sejarah<br />Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.<br /> <br />( huruf Pallawa pada prasasti Kutai )<br />Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman. <br />Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.<br />Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.<br /> <br />Perpindahan ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara dari Kutai Lama (1300-1732) ke Pemarangan (1732-1782) kemudian pindah ke Tenggarong (1782-kini)<br />Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.<br />Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. <br />Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.<br />Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.<br />Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.<br />b. Peristiwa Sambas<br /> Perkembangan suku Dayak dapat dilihat pada peristiwa Sambas yang sangat memilukan bagi bangsa Indonesia yang terjadi pada tahun 1999 dimana terjadi benturan kepentingan antara kedua pihak yang terlibat yaitu antara suku asli (Dayak) dengan suku pendatang (Madura). Perselisihan Dayak-Madura adalah cerita lama, yang sudah berlangsung sejak tahun 50-an. Kesadisan orang Dayak pun bukan barang baru. Mereka biasa membantai kelompok suku tertentu, bahkan memakan dagingnya. Korban pertama mereka adalah orang Cina. Waktu itu semua orang Cina di daerah pemukiman Dayak dibantai. Menurut Budhisantoso (62), pakar antropologi dari UI yang menjadi penyebab kerusuhan adalah faktor kebudayaan dan environmental scarcity (keterbatasan sumber daya dan lingkungan). Dimana orang Melayu yang-seperti orang Jawa dan Sunda, menghindari konflik dan lebih suka hidup damai-menghadapi tekanan lingkungan akibat pembangunan nasional yang tidak menjamin rasa adil, tak ada demokrasi berpolitik dan berbudaya. <br /> Dayak dan Melayu secara tradisional sudah bermukim di Kal-Bar beberapa abad belakangan ini. Melayu umumnya tinggal di daerah pesisir, dengan mata pencarian bertani dan nelayan. Dayak tinggal di pedalaman, umumnya masih hidup dengan pola berburu dan meramu. Keadaan suku Dayak ini tidak banyak berubah hingga sekarang. Selain itu masih ada suku-suku lain seperti Cina dan Bugis. Dahulu tidak pernah ada konflik yang berarti antara Dayak dan Melayu hingga saat ini. Dayak yang animis, menghormati Melayu yang muslim. Kalau ada orang Dayak masuk Islam, mereka (Dayak) menyebutnya masuk Melayu. Demikian pula, orang Melayu tidak pernah mencoba mengusik orang Dayak, atau memperalatnya, walaupun dari segi pendidikan rata-rata orang Melayu lebih tinggi. <br /> Belakangan berbagai faktor luar masuk. Orang-orang dari Jawa (baca : Madura) datang ke Kal-Bar. Dalam banyak hal, terutama pendidikan, penduduk asli memang banyak tertinggal dari mereka yang dari Jawa. Praktis jalur birokrasi dan militer dikuasai mereka. Kemudian masuk pula missionaris. Banyak orang Dayak masuk Kristen sehingga identitas Dayak bergeser dari animis ke Kristen. Kembali ke persoalan konflik tadi, pertanyaan kita, kenapa selalu timbul konflik Dayak-Madura. Orang Madura memang unik karakternya. Bagi orang Melayu, (image yang umum di Pontianak) budaya kekerasan orang Madura sangat menonjol. Kekerasan biasanya jadi bahasa utama mereka dalam menyelesaikan persoalan. Terus terang, citra orang Madura di Pontianak sangat buruk. Ini yang menyedihkan. Di sisi lain orang Dayak juga punya budaya kekerasan. Kita tahu bahwa mereka belum lama (atau bahkan masih) meninggalkan budaya kanibalnya. Jadi, ketika terjadi perang suku Dayak-Madura, suku-suku lain cenderung tidak peduli. Karena bagi mereka, hal itu biasa terjadi. Artinya perang antara dua suku "primitif" adalah hal biasa. Menyedihkan bahwa orang Melayu tidak merasa memiliki kesamaan identitas dengan orang Madura yang juga sama-sama Muslim. <br /> Belakangan, berbagai faktor lain menambah runyam persoalan. Proyek-proyek HPH, kebun kelapa sawit dan sebagainya semakin menyingkirkan orang Dayak. Hutan-hutan dibabat, mereka yang biasanya carai makan di hutan, sekarang dilarang masuk hutan. Kebanyakan orang Dayak tidak siap memanfaatkan infrastruktur yang dibangun pemerintah di wilayah mereka. Akibatnya orang lain yang mengambil keuntungan, diantaranya Madura. Mereka, yang tinggal di pedalaman, pintar berdagang dan berkebun. Orang Dayak entah kenapa lamban secara ekonomi. Pembangunan memang hanya dilakukan disektor fisik, bukan budaya. <br /> Lalu ada lagi faktor lain, petualang politik. Ada sekelompok intelektual Dayak yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik. Ide bahwa Dayak harus diberdayakan diterjemahkan dalam bentuk posisi politik harus di pegang oleh suku Dayak. Apakah orang Dayak di pedalaman itu mengerti politik? Jadi kalau ide itu diterima, mereka, yang memang siap untuk menduduki jabatan, akan memperoleh keuntungan. Tapi ada pertanyaan, kenapa belakangan orang Melayu juga terlibat dalam budaya kekerasan ini. Orang Melayu biasanya anti kekerasan. Kenapa sekarang berubah. Siapa sekarang yang mau berpihak pada orang-orang Madura itu. Saudara-saudara mereka yang Melayu sekarang membunuh mereka. Pihak Pemda juga cenderung menyalahkan mereka. Gubernur Kal-Bar berkomentar bahwa kerusuhan ini akibat para pendatang tidak menghormati budaya lokal. Selesaikah persoalan dengan mengalihkan orang Madura dari lokasi kerusuhan? Bagaimana dengan hak mereka untuk hidup.<br />Presiden berjanji akan segera membenahi ketertinggalan pembangunan di Kalimantan, terutama dalam sektor pendidikan dan ekonomi. Sehingga, masyarakat Kalimantan dapat bersaing dengan daerah lain dalam pembangunan. <br />"Semua hak adat Suku Dayak yang selama ini diambil secara paksa, segera dikembalikan. Dan, masyarakat Dayak diberdayakan, sehingga bisa bersaing dengan daerah lain. Karena itu, saya akan memberikan beasiswa pendidikan, dan pembenahan infrastruktur ekonomi di daerah ini," kata Presiden. <br />Melihat ketertinggalan Kalimantan tidak harus bersusah payah, misalnya dengan mengundang para pakar, cukup dengan menyusuri di antara 11 sungai besar yang membelah wilayah Provinsi Kalimantan. Otomatis mereka bisa memberikan gambaran, betapa sakitnya kehidupan masyarakat Dayak, terutama yang bermukim di pelosok pedalaman. <br />Sekitar 80 persen dari penduduk Kalimantan sebanyak 1,8 juta jiwa tersebut, masih mengandalkan transportasi sungai. Itulah bukti bahwa masih sangat terbatas akses jalan darat di daerah itu. Tidak mengherankan, sebagian besar permukiman masyarakat Dayak terletak di tepian sungai. Alasannya, mereka masih mengandalkan sungai sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. <br />Belakangan ini, di masyarakat Dayak terjadi semacam kepanikan, akibat sungai yang selama ini diandalkan dalam segala hal, mulai terganggu. Struktur sungai berubah sangat besar, artinya, sudah makin sulit dilayari kapal dalam kapasitas 20 ton ke atas. Sehingga komoditas yang mereka garap untuk menyambung hidup, menjadi tidak ekonomis lagi dipasarkan. <br />Tidak hanya itu. Air sungai yang sejak nenek moyang dijadikan sumber air bersih keluarga, kini sudah tercemar air raksa. Sepintas, warga Dayak itu sendiri yang berbuat atau merusak fungsi sosial dan fungsi ekonomis sungai. Mereka menambang emas di sungai karena keterpaksaan saja, artinya mereka harus melakukan pekerjaan itu untuk sesuap nasi. Di sisi lain, latar belakang kesadaran mereka tentang kelestarian lingkungan hidup, masih sangat tipis. <br />"Mereka terpaksa melakukan pekerjaan itu karena faktor pendidikan tipis dan miskin. Akan menjadi lain, kalau ekonomi masyarakat Dayak sudah baik dengan tingkat pendidikan formal rata-rata SLTA. Pasti tindakan yang merugikan lingkungan dan manusia, tidak terjadi," tambah Gimong.<br />Muncul rasa cemburu dalam menikmati potensi sumber daya alam yang melimpah, bisa jadi persoalan masyarakat Dayak yang sejak lama tidak terjawab. Misalnya saja, dalam hak eksploitasi hutan, tambang emas, dan ikut serta dalam pekerjaan proyek pemerintah. <br />Seperti yang dikatakan mantan anggota DPR RI B Saptanoesa Wenthe dan Ketua Pemuda Panca Marga Kalteng Yansen Binti, selama 50 tahun terakhir nasib masyarakat Dayak selalu tertindas dalam menikmati sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Misalnya, hak eksploitasi hutan dan menambang emas. <br />Begitu orang Dayak ikut menebang pohon, selalu diuber-uber, dikatakan pencuri, penjarah, dan perusak lingkungan. Sementara pendatang begitu bebas mengeksploitasi hutan. Bahkan, keberadaan hak pengusahaan hutan (HPH) selama ini dirasakan sebagai program yang menciptakan kesengsaraan bagi warga di tengah hutan. <br />Menurut kedua tokoh pemuda Kalteng itu, masyarakat Dayak yang berada di sekitar HPH merasa terdesak. Mereka menjadi tidak bebas lagi menggarap hasil hutan. Misalnya, mencari kayu ulin, menyadap pohon jelutung, dan panen buah tengkawang. Potensi yang bisa memperbaiki perekonomian masyarakat pedalaman, umumnya dilarang oleh pemilik HPH. <br /><br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Aryandini S., Woro. 2000. Manusia Dalam Tinjauan Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: UI Press<br />http://adhikusumaputra.blogspot.com/feeds/posts/default<br />http://fazz.wordpress.com<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Suku<br />http://kerajaanbanjar.wordpress.com<br />http://noesantara.com/mandau.htm<br />Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.<br />Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan<br />Widyosiswoyo, Supartono. 1996. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Ghalia Indonesia<br />www.blogger.com/dyn-css/authorization.css<br />www.earmi.it/armi/glossario/immagini/mandau2.jpg<br />www.fortunecity.com/banners/interstitial<br />www.indosiar.com/v2/culture<br />www.kaltengpos.com/berita/index.asp<br />www.kompas.com/kompas-cetak/0410/22<br />www.kutaikartanegara.com<br />www.metrotvnews.com<br />www.pontianakpost.com/forum/<br />www.sinarharapan.co.id/berita/0612/19/ipt03.html<br />www.sintang.go.id/images/uploaded/product/mandau1<br />www.tamanmini.com/budaya indonesia<br />\www.valiantco.com/antique/<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-55748394747733254492008-11-19T23:16:00.000-08:002008-11-19T23:20:07.768-08:00Kebudayaan BugisKota Makassar sebagai tempat dimana suku Bugis banyak bermukim mempunyai posisi strategis karena berada di persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah utara ke wilayah selatan Indonesia. Dengan kata lain, wilayah kota Makassar berada koordinat 119 BT dan 5,8 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 - 5 ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai.Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km². <span class="fullpost"><br /><br />Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Diantara kecamat-an tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya.<br /> <br />Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten yakni sebelah utara dengan kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan kabupaten Maros, sebelah selatan dengan kabupaten Gowa dan sebelah barat dengan Selat Makassar.<br /><br /><br /><br />1. SEJARAH<br /><br />Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia.<br /><br />a) Kerajaan Bugis<br /><br />Kerajaan pertama Bugis mengikut La Galigo ialah Wewang Nriwuk, Luwuk dan Tompoktikka. Luwuk mendapat kedudukan istimewa kerana ianya dianggap sebagai ketua Bugis. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, berlakunya perubahan didalam sosio-politik, ekonomi dan agama disebabkan berlakunya migrasi penduduk dari persisiran pantai hingga ke tengah hutan belantara membuka penempatan baru. Didalam bidang ekonomi, penanaman padi sawah, pembuatan besi dan penggunaan kuda diperkenalkan. Dari segi agama, adat membakar mayat di sesetengah tempat mula diamalkan. Pada akhir abad ke 15, munculnya beberapa kerajaan baru menentang kerajaan Luwuk. Antaranya ialah Gowa (Makassar), Bone dan Wajo'. Kematian Dewaraja, seorang raja Luwuk, menyebabkan perebutan dinasti untuk memerintah Tana Ugi. Gowa bersekutu dengan Bone menawan Luwuk dan sekaligus mempunyai pengaruh yang besar ke atas Sulawesi Selatan.<br /><br />Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. <br />Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui didaerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.<br /><br />b) Pengkolonian Belanda<br /><br />Belanda kemudiannya mengabungkankan seluruh Sulawesi Selatan menjadi sebuah koloni yang stabil. Kesan pengkolonian ini membawa kepada pengenalan cukai di Sulawesi Selatan, buruh paksa dan pendaftaran untuk pengenalan diri. Sistem buruh paksa (digunakan untuk pembinaan jalan) adalah suatu unsur baru dalam kebudayaan Bugis dan menyumbang kepada migrasi Bugis terutamanya golongan bangsawan ke Tanah Melayu dari tahun 1910 hingga 1930.<br /><br />Sistem cukai yang diperkenalkan Belanda meliputi cukai tanah dan cukai kepala (untuk lelaki dewasa kecuali golongan bangsawan.) Orang kampung yang kebanyakkannya miskin sering menghadapi kesusahan membayar cukai. Selepas pembayaran cukai, mereka akan menerima surat kampung yang merupakan resit, pengenalan diri dan sijil penetapan. Ini sekaligus menyebabkan tradisi nomad Bugis diharamkan dan penetapan tetap dikuatkuasakan.<br /><br />Sistem kehakiman baru pula diperkenalkan dengan kehakiman barat diserapkan dalam sistem kehakiman tempatan. Disetiap daerah, sebuah mahkamah dibina dan hakim merupakan orang tempatan mempunyai ilmu tentang kehakiman tempatan dan pada masa yang sama diawasi oleh seorang pegawai Belanda<br />.<br />Dalam hal ikhwal masyarkat, Belanda terpaksa menghadapi tentangan yang bergerak secara senyap dikepalai oleh golongan bangsawan. Sebelum pencerobohan Jepang, tidak banyak gerakan ini berjaya disekat Belanda. Paling membimbangkan Belanda ialah kebangkitan nasionalis di Jawa dan cawangannya di Sulawesi Selatan. Parti Sarikat Islam atau Partai Sarikat Islam,PSI, yang berpusat di Jawa pada tahun 1918 membuka cawangannya di Makassar. <br />Parti ini kemudiannya ditukar nama menjadi Parti Sarikat Islam Indonesia,PSII dan menjadi sebuah pergerakkan nasionalis paling aktif di Indonesia. Cawangan bagi Parti Nasional Indonesia atau Partai Nasional Indonesia yang lebih sekular diasaskan oleh Sukarno turut membuka cawangan di Makassar. Gerakan lain yang lebih bersifat sederhana ialah Persatuan Selebes Selatan dan Muhammadiyah.<br /><br />c) Pendudukan Jepang (1942-1945) dan Asas Pembentukan Indonesia (1945-1950)<br /><br />Zaman pendudukan Jepang merupakan suatu titik hitam dalam sejarah Sulawesi Selatan. Walaupun tidak banyak perubahan dalam sistem pemerintahan, tetapi pendudukan telah mencetuskan suatu perubahan dalam minda Indonesia dan Asia umumnya. Orang Eropah yang dilihat berkuasa pada mulanya senang disingkirkan oleh orang Asia dan kesannya menyebabkan penentangan Belanda selepas kekalahan Jepang.<br /><br />Kekalahan Jepang pada Agustus 1945 memberi peluang kepada Indonesia untuk merdeka. Sebaik sahaja pengumuman kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Muhamamad Hatta, Dr Ratulangi dilantik menjadi gubernur di Sulawesi pada 19 Agustus. Pada bulan September, tentera bersekutu Belanda mendarat di Sulawesi akan tetapi tidak menerima tentangan seperti di Jawa. Ini kerana kekurangan teknik serangan gerila oleh penduduk Sulawesi. Kumpulan tentera bersekutu ini turut membawa pegawai Belanda bagi menggantikan Dr Ratulangi.<br /><br />Kumpulan gerila kemudiannya ditubuhkan dibawah Dr Ratulangi. Serangan gerila ini kemudiannya berjaya dipatahkan Belanda dan pemimpin-pemimpinnya dipenjarakan di Jawa. Ini menyebabkan kumpula gerila di Sulawesi berpecah belah. Bagi golongan-golongan muda, mereka bersatu dengan gerakan gerila di Jawa. Antara mereka ialah Kahar Muzakkar dari Luwu', Andi' Mattalata dan Yusuf. Pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia ditubuhkan selepas komuniti dunia mengiktiraf kemerdekaan Indonesia.<br /><br /><br /><br />d) Bugis dan Pembentukan Indonesia<br /><br />Pada tahun 1799, Belanda menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Dalam tempoh pemerintahan Belanda, pelbagai unsur-unsur baru diperkenalkan seperti sistem cukai dan buruh paksa. Pendudukan Jepang pada tahun 1942 mengubah pemikiran rakyat Sulawesi Selatan terhadap Belanda. Pada tahun 1945, selepas pengunduran Jepang, Sukarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia tanpa pengiktirafan Belanda. Ini mencetuskan pertumpahan darah di Indonesia. Belanda kemudiannya terpaksa berundur dari Indonesia selepas komuniti dunia mengiktiraf kemerdekaan Indonesia.<br /><br />e) Pengislaman Bugis<br /><br />Sulawesi Selatan pada abad ke 16 mengalami suatu perubahan yang besar. Dalam tempoh masa ini, komuniti Bugis dan Makassar berjaya diislamkan oleh Abdul Makmur, seorang Minangkabau. Manakala pada pertengahan abad ke 16, Sulawesi Selatan dikuasai oleh Gowa dan Bone. Kerana kedua-dua negeri ingin meluaskan kuasa mereka, maka tercetuslah peperangan sesama mereka dan Bone dikalahkan. Sebagai membalas dendam, seorang putera Bone bernama Arung Palakka bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Makassar. Pada tahun 1667-1777, Makassar jatuh ketangan Belanda dan ini menyebabkan migrasi Bugis ke Sumatra dan Tanah Melayu.<br /><br />A. SISTEM KEMASYARAKATAN<br /><br />1. SUKU BANGSA ORANG BUGIS<br /><br />Di Sulawesi Selatan ada empat suku besar yang mendominasi struktur masyarakat setempat. Ada suku Mangkasara, yang lebih di kenal di luar dengan nama Makassar, suku Bugis, Mandar dan suku Toraja. Di antara keempat suku tersebut, suku Bugis dan Makassar mendominasi daerah ini baik dari jumlah populasi maupun penyebarannya.<br /><br />Suku Bugis atau rumpun Bugis itu tidak hanya ada satu suku melainkan 14 suku rumpun Bugis. Suku-suku tersebut antara lain, Suku Bentong, Bugis, Campalagian, Duri, Enrekang, Konjo Pagunungan, Konjo Pesisir, Luwu, Maiwa, Suku Makassar, Mamuju, Mandar, Pannei dan Ulumanda.<br /><br />Suku Bentong memiliki populasi 25.000 jiwa, sementara suku Camaplagian dengan populasi jiwa 30.000 jiwa, sementara suku Duri dengan populasi sebanyak 475 jiwa. Untuk suku Enrekang, memiliki populasi 50.000 jiwa. Suku Konjo Pegunungan , dengan populasi sebanyak 150.000 jiwa, untuk Konjo Pesisir jumlah populasi sebanyak 125.000 jiwa, sementara suku Luwu, mimiliki populasi 38.000 jiwa suku Maiwa memiliki pupulasi 50.000 jiwa, Suku Makassar memiliki populasi 2.240.000 jiwa, suku Mamuju berpopulasi 60.000 jiwa, suka Mandar berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei memiliki 10.000 huwa dab suku Ulumanda memiliki 31.000 populasi,sementara suku Bugis sendiri yang masih terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki populasi paling besar yaitu 3.800.000 jiwa.<br /><br />Suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai 'Bahasa Ugi' dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang disebut ‘aksara’ Bugis. Tulisan ini telah ada sejak abad ke-12 seiring meluasnya pengaruh hindu di kepulauan indonesia.<br /><br />Suku bangsa Bugis sudah lama berhubungan dengan Australia dan orang pribumi Australia yaitu Aborijin. Para nelayan Bugis secara teratur berlayar ke perairan Australia sebelah utara setidaknya sejak tahun 1650. Tujuan mereka adalah untuk mencari ikan teripang yang kemudian mereka asapi. Kemudian mereka membawa tripang itu kembali ke Sulawesi, dan selanjutnya diekspor ke Cina. Perjalanan mereka itu disesuaikan waktunya supaya mereka tiba di pantai utara Australia pada bulan Desember, yakni awal musim hujan. Mereka pulang di bulan Maret atau April, yakni akhir musim hujan.<br /><br />Banyak orang-orang Aborijin yang bekerja untuk para nelayan tripang tersebut, mempelajari bahasa mereka, menggunakan kebiasaan menghisap tembakau, membuat gambar perahu, mempelajari tarian mereka dan 'meminjam' beberapa kisah yang mereka ceritakan. Beberapa orang Aborijin ikut berlayar dengan para nelayan itu pada saat mereka pulang ke Sulawesi, dan kembali ke Australia pada musim monsun berikutnya, dan beberapa di antaranya ada yang menetap di Sulawesi. Pengaruh orang Bugis masih dapat dilihat dalam bahasa dan kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang tersebut pada saat ini.<br /><br />2. MASYARAKAT BUGIS <br /><br />Terdiri dari Maros, Pangkep, Barru, Pinrang, Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Enrekang, Luwu, Sinjai, Bulu Kumba, Polmas serta kotamadya Ujung Pandang dan Pare-pare. Demografi penduduk berpusat pada Maros, Pangkep, Enrekang, Sinjai, Bulukumba, dan kotamadya Ujung Pandang.<br /><br />Kerajaan-kerajaan yang terkenal di wilayah ini diantaranya Tana Luwu, Tana Bone, Tana Wajo, Tana Soppeng, Tana Suppa. Kerajaan Bugis bersatu disebut tana Ugi atau Nagari Bugis. Tana Ugi memiliki hubungan persaudaraan atau persahabatan didasarkan atas kesadaran kesatuan etnis yang disebut Sempugi yang dijunjung tinggi.<br /><br />Etnik Bugis cenderung menerapkan strategi sosial kemasyarakatan yang bersifat menjaga hubungan kekerabatan, jaringan sosial dengan patron dan pemanfaatan paguyuban. Namun, adaptasi lingkungan tidak begitu menonjol karena mereka sangat memahami lingkungan kota Makassar. Sesama masyarakat Ugi memiliki hubungan darah yang terjalin erat, tak heran dalam Wari tata tertib garis keturunan tiap kerajaan Bugis menghormati leluhur yang paling tua kearah muda yakni Tana Luwu, Bone, Soppeng baru menyusul lainnya.<br /><br />Orang Bugis dan Makasar digolongkan turunan orang Melayu Muda. Orang Melayu Muda datang sekitar tahun 1500 SM, mendiami daerah pesisir hingga pedalaman dan pegunungan. Ada asumsi yang menyatakan bahwa keturunan Melayu Muda mendesak orang Melayu Tua dimana orang Melayu Tua adalah masyarakat terdesak yang bermukim di pegunungan di sebelah utara wilayah Sulawesi Selatan. Pendapat tersebut menggiring kenyataan bahwa orang-orang yang terdesak tersebut pada akhirnya disebutkan sebagai Toraja (Kelompok Melayu Tua). Hal tersebut seperti dinyatakan oleh Mattulada yang menyatakan bahwa baik orang Bugis dan Makasar keduanya satu stam dengan orang Toraja. Akan tetapi suku Bugis dan Makasar telah mengalami perkembangan kebudayaan lebih dari orang Toraja.<br /><br /><br />Di sisi lain yang dianut, Masyarakat Sulawesi Selatan pada awal peradabannya dipengaruhi oleh mitos, baik berwujud tradisi lisan maupun tulisan. Mitos Simpuruksiang di Luwu, Sengingridi di Bone, Petta Sekkanyli di Soppeng, Puteri Tamalate di Gowa merupakan tomanurung yang membentuk corak kebudayaan orang Bugis dan Makasar. Mitos Surek Galigo menceriterakan tentang negeri Bugis, ketika Batara Guru dari dunia atas bertemu dengan We Nyelik Timo dari dunia bawah. Dalam sistem falsafah, para pemikir modern menentang hal di atas, sebab hal tersebut membingungkan, penuh barang asing, bahkan dapat mendatangkan kebiadaban. <br /><br />Untuk kepentingan intelektual yang tinggi, subyek tentang kekaguman dan pemujaan dipandang sebagai cikal bakal kebudayaan umat manusia. Orang Bugis mengenal mitos Galigo dan termaktub dalam Surek Galigo. Isinya menceritakan tentang awal mula ditempatinya negeri Luwu yang dipandang sebagai negeri Bugis tertua. Perpaduan dunia atas (boting langit), dunia bawah (burikliung), dan dunia tengah (alekawa) digunakan oleh mereka untuk perkawinan antara orang-orang sedaerah, dimana perkawinan mengharuskan orang mencari jodoh di lingkungan sosial sendiri.<br /><br />Perkawinan tersebut dikatakan sebagai perkawinan sepupu. Jenis perkawinan boting langit antara lain antara Datu Patoto dengan Datu Palinge, perkawinan burikliung antara Guru ri Selleng dengan Simpuru Toja, sedangkan perkawinan eksogam merupakan perkawinan Batara Guru dari boting langit dengan We Nyili Timok dari burikliung.<br /><br /><br /><br /><br /><br />3. PANDANGAN HIDUP SUKU BUGIS<br /><br />Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik.<br /><br />Terdapat literatur yang menunjuk kata Simallappareng, yang diartikan dengan saling lapang dada. Seperti dalam ungkapan Simallapparengngi rekkuwa purai sisala masseajing (saling melapangkan hati tanpa kecanggungan sesudah berselisih dengan sanak keluarganya). Secara struktural kata ini terdiri atas Si, Malappa, rengngi yang berakar dari kata malappa yang berarti lapang.<br /> <br />Atas uraian kata kunci "Simallaparengging" dan "Sisala" dalam ungkapan tersebut mengandung konsep saling melapangkan hati setelah sebelumnya terjadi perbedaan pandangan.<br /> <br />Kata masseajing (sanak keluarga) dalam ungkapan dimaksud, mengandung arti ruang lingkup perbedaan pandangan yaitu terbatas pada hubungan antar warga dalam arti luas. Dengan pendekatan kebahasaan tersebut, terlihat juga dalam judul ungkapan ini yaitu duwai padecengi tana: dua hal yang memperbaiki negara. Kata tana menunjukkan negara, sebagai tempat dalam melakukan komunikasi internal sesama warga.<br /> <br />Dengan uraian di atas tampak bahwa makna dasar dari kata "malappa" adalah kelapangan hati baik secara kongkrit maupun abstrak. Dengan demikian kata tersebut relevan dengan esensi rekonsiliasi, yang mengandung arti psikhis dan fisik serta bersifat dinamik.<br /> <br />a) Rupatauwe Atannai Dewatae <br /><br />Dalam literatur ditemukan ungkapan Tellu riala Sappo (tiga hal dijadikan pagar) Tau'e ridewata (salah satu diantaranya adalah takut kepada Tuhan). Pernyataan ini menggambarkan adanya hubungan vertikal manusia dengan Tuhan-nya, mencapai puncaknya dalam wujud taqwa, dan membentuk kepribadian dalam diri seorang hamba. Aspek lain menunjukkan bahwa manusia adalah hamba Tuhan, yang dalam berinteraksi sesamanya, tidak luput dari sifat keterbatasan yang tentu saja berbeda dengan sifat Tuhan dewata.<br /> <br />Keterbatasan manusia dalam melaksanakan interaksi antar sesama dimaksudkan untuk mencapai unganna decengge ri liono (kebaikan di dunia), terwujud dalam ketidakmampuan manusia secara permanen untuk tidak berbuat kesalahan sebagai aset yang dapat dimaafkan oleh sesama. Pandangan ini didasari dari pernyataan di bawah ini:<br /> <br />Tellui Uwangenna decenna rilino (Tiga macam kebaikan dunia) :<br /><br />• Pesangkaienggi alena maggau maja (Mencegah dirinya berbuat buruk);<br />• pesangkaienggi alena makkeda ada maja (mencegah dirinya berbicara buruk);<br />• pesangkaienggi nawa-nawanna maja (mencegah dirinya berfikir buruk). <br /><br />Kemampuan mengendalikan diri dalam tiga aspek kepribadian manusia, mengantarkan yang bersangkutan untuk memperoleh uwangena lino kebaikan dunia. Hal lain adalah bahwa secara tersurat pernyataan ini mengakui perlunya pembinaan kepribadian tersebut dan dalam kenyataannya, tentu saja tidak semua manusia dapat dengan mudah mencapai tri sukses pembinaan kepribadian tersebut.<br /> <br />b) Asabbarakeng (Kesabaran)<br /> <br />Asabarakeng adalah salah satu nilai yang berkembang dalam budaya Bugis. Sebuah pernyataan menarik: emakkunrai sappoi alemu nasaba sirimu, e warowane sappoi alemu nasaba asabbarakeng (Hai perempuan pagari dirimu dengan kehormatanmu, hai pria pagari dirimu dengan kesabaranmu). Karena itu, asabbarakeng adalah berfungsi sebagai perisai dan secara sesensial asabbarakeng mengandung arti siri atau kehormatan.<br /> <br />Konsep yang terkandung dari asabbarakeng adalah pengendalian diri dari hal-hal yang dapat menjermuskan kehormatan seseorang. Dan secara implikatif konsep ini dapat melahirkan sikap siaddampengeng saling memaafkan atas terwujudnya potensi negatif seseorang; dan sitiroang deceng (mengarahkan kepada hal-hal yang bermanfaat) sebagai upaya perwujudan potensi positif sesama manusia.<br /> <br />Dalam kaitannya dengan prinsip ini, nampak bahwa Silappareng (Rekonsiliasi) harus dilihat dari wujud dari kesabaran untuk melaksanakan rekonsiliasi, sebab tanpa prinsip ini, maka dendam pun sebagai bias-bias perbuatan negatif tak dapat terkalahkan.<br /> <br />c) Alempureng (Kejujuran)<br /> <br />Sebuah dialog interaktif antara Lamellong Kajao Lalido dengan Raja Bone prihal kejujuran. Raja Bone bertanya aga appongenna accae Kajao? (apa pangkalnya kecakapan Kajao?); Kajao menjawab: Lempu'e (Kejujuran) (Ibid). Selanjutnya diketahui bahwa Sabbinna lempu'e limai (Bukti dari kejujuran ada lima):<br /> <br />• Narekko salai nangawwi asalanna (Kalau bersalah ia mengakui kesalahannya);<br />• Narekko rionroi sala naddampengengngi tau ripasalae (Kalau ditempati bersalah ia maafkan orang yang bersalah);<br />• Narekko risanrekiwi de napacekongeng (Kalau diharapkan/disandari ia tidak mengecewakan); <br />• Narekko rirennuangngi de naripabelleang (Apabila dipercaya is tidak menipu);<br />• Narekko majjanciwi narupaiwi jancinna (Kalau berjanji ia menepati janji).<br /><br />Implementasi kejujuran tersebut cenderung mengandung sisi internal yakni memberikan kesiapan psikologis untuk mengakui kesalahan yang diperbuatnya dan kesiapan tidak mengecewakan orang lain. Konsep pembinaan kepribadian secara internal ini dapat saja diterima dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, karena bukankah masyarakat yang berperdaban merupakan kumpulan dari pribadi-pribadi yang memiliki kehandalan kepribadian secara internal.<br /> <br />Dalam kebudayaan Bugis pola pikir yang terpakai dalam mengamati sesuatu adalah :<br /> <br />a) Manganro Ri ade';<br /> <br />Manganro ri ade adalah relevan dengan petisi atau permohonan yang dikemukakan oleh masyarakat kepada raja atau pemerintah dalam rangka memenuhi kesejahteran warga masyarakat. Misalnya, masyarakat memohon kesiapan raja memimpin doa mohon hujan. Dalam konteks ini kiranya pendekatan ini relevan dengan pendekatan yuridis, yaitu permohonan masyarakat kepada pemerintah untuk menetapkan aturan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi.<br /> <br />b) Mallimpo ade'. <br /> <br />Mallimpo Ade yaitu semacam tindakan protes kepada raja atau pemerintah atas kesewenang-wenagan yang merajelala dalam kehidupan masyarakat (Ibid). Dalam konteks ini kiranya pendekatan ini relevan dengan pendekatan sosial politik.<br /><br />4. LAPISAN DALAM MASYARAKAT BUGIS<br /><br />H.J. Friedericy pernah menuliskan pelapisan masyarakat orang bugis-makassar dari zaman sebelum pemerintahan kolonial belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan. Menurut Friedericy dalam masyarakat bugis-makassar terdapat tiga lapisan pokok, yaitu :<br /><br />1. Anakarung adalah lapisan kaum kerabat raja-raja.<br />2. To-mara-deka adalah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari masyarakat Sulawesi Selatan.<br />3. Ata adalah lapisan orang budak yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.<br /><br />Pada awal mulanya hanya terdapat dua lapisan dalam masyarakat bugis-makassar, sedangkan lapisan Ata terbentuk dengan berjalannya waktu dalam perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20 lapisan Ata mulai hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama.<br /><br />Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan ana karung dan to maradeka dalam kehidupan masyarakat juga mulai berkurang dengan cepat. Adapun gelar-gelar ana karung seperti karaenta,Puatta, andi dan Daeng walaupun masih sering dipakai, tetapi tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan sekarang malah sering dengan sengaja diperkesilkan artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan dalam demokratisasi dari masyarakat indonesia. Stratifikasi sosial masyarakat lama sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan, namun suatu stratifikasi yang baru yang lebih condong untuk berkembang atas dasar tinggi-rendahnya pangkat dalam birokrasi kepegawaian, atau atas dasar pendidikan sekolahan belum juga berkembang dan mencapai wujud yang mantap.<br /><br />5. DAENG<br /><br />Orang Bugis-Makassar melestarikan sebutan Daeng untuk menegaskan identitas mereka. Bagi masyarakat Bugis, panggilan Daeng terbatas untuk merujuk pada seorang yang dituakan. Tapi bagi masyarakat Makassar, Daeng juga adalah nama khusus atau disebut paddaengang, cerminan harapan yang luhur. <br />Di kalangan masyarakat Makassar, gelar Daeng atau Paddaengang disebut sebagai areng alusu’ (nama halus), yang penulisannya disandingkan dengan nama resmi. Inti pemberian gelar ini adalah menyematkan harapan agar si penyandang nama menempuh hidup sesuai makna paddaengangnya.<br /><br /><br />Sebuah nama yang disandang diresmikan saat pelaksanaan aqiqah, yang dalam bahasa Makassarnya disebut a’caru caru. Pada saat aqiqah ini juga sudah diancang-ancang sebuah nama daeng untuknya dengan meminta masukan dari nenek dan kakek di keluarga besar. Nama daeng biasanya diusulkan dari nama nenek, kakek dan buyut baik dari garis ayah maupun ibu.<br /> <br />Gelar sebagai Daeng kemudian diresmikan saat dikhitan. Tahapan a’gau gau (khitanan) secara tradisional terdiri dari tiga, yakni barazanji, penammatan Al Quran, dan sebuah tahapan yang disebut Atta’ba di mana sumbangan dari pihak keluarga bagi yang anak dikhitan disebutkan. Pada proses atta’ba inilah diumumkan tentang pemberian nama Daeng. <br /><br />Atta’ba yang dipandu seorang Imam itu mengumumkan: “Anne alloa nia ngaseng maki mae, para bija, purina, cikali, nenek , dato’na iya ngaseng niaka di kamponga battumaki ri patta’bakanna i daeng”.<br /> <br />Artinya: ”Hari ini datanglah ke sini, keluarga, om, sepupu, nenek dan kakek, semua yang ada di kampung datanglah ri pattabbakanna daeng”. <br /><br />6. KONSEP SIRI <br /><br />Etnis Bugis boleh dikata seperti "semut merah" karena selain didukung oleh budaya siri yang kuat, etnis ini juga mempunyai sifat berani menanggung risiko, keras, kuat dalam bersaing, dan mudah emosi. Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :<br /><br />- "...aja mumae’lo nabe’tta taue’ makkalla ‘ ricappa’na lete’ngnge…”.<br />Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki).<br /><br />- "...naia riasengage’ to warrani maperengnge’ nare’kko moloio roppo-roppo ri laommu, rewe’ko paimeng sappa laleng molai…”.<br /><br />Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.<br /><br />Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.<br /><br />Falsafah Sirik<br /><br />Berbagai pandangan para ahli hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi Selatan berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya<br /><br />sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni : <br /><br /> pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, <br /> kedua sirik yang berakibat kriminal, <br /> ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan <br /> keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). <br /><br /><br />Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia. Bentuk sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.<br /><br />Dari berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati. Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.<br /><br />Sejak dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut “Tumannyala”.<br /><br />Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.<br /><br />Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi :<br />“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudikan, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan). “Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan.<br /><br />Demikian pula dalam ungkapan Makassar berbunyi :<br />“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya)<br /><br /><br />Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.<br /><br />Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan brarti bodoh.<br /><br />Jika orang Makassar merasa harga dirinya direndahkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri<br /><br />Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.<br /><br />Istilah Pacce<br /><br />Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan dalam kalbu karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya. Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.<br /><br />Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bula sibatangngang10) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />7. BENTUK DESA<br /><br />Desa-desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratf, gabungan-gabungan sejumlah kampung-kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Satu kampung lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami di antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet, menghadap ke selatan atau barat. Kalau ada sunga di desa, maka akan diusahakan agar rumah-rumah dibanguan dengan membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (posisi tana) dengan suatu pohon waringin yang besar, dan kadang-kadang dengan suatu rumah pemujaan atau saukang. Kecuali tempat keramat tiap kampung selalu ada langgar atau masjidnya.<br /><br />Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang matowa (atau jannang, lompo’, toddo’) dengan kedua pembantunya yang disebut sariang atau parennung. Suatu gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis dan pa’rasangan atau bori’ dalam bahasa Makassar. Pimpinan wanua dulu disebut arung pailili’ atau sullewatung dalam bahasa Bugis dan gallarang atau karaeng dalam bahasa Makassar. Pada masa sekarang dalam srujtur tata pemerintahan negara Republik Indoesia, wanua menjadi suatu kecamatan.<br /><br />Rumah dan masjid. Rumah dalam kebudayaan Bugis-Makassar, dibangun diatas tiang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsinya yang khusus ialah; (a) Rakkeang dalam bahasa Bugis atau pammakkung dalam bahasa Makassar, adalah bagian atas rumah di bawah atap, yang di pakai untuk menyimpan padai dan lain persediaan pangan dan juga untuk menyimpan benda-benda pusaka; (b) Ale-Bola dalam bahasa Bugis atau kalle-balla’ dalam bahasa Makassar, adalah runag dimana orang tinggal, yang terbagai-bagi ke dalam ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur, untuk makan dan untuk dapur; (c) Awasao dalam bahasa Bugis atau passiringan dalam bahasa Makassar, adalah bagian di bawah lantai panggung, yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan untuk kandang ayam, kambing dan sebagianya. Pada zaman sekarang, bagian bawah ini sering ditutup dengan dinding, dan sering dipakai untuk tempat tinggal manusia pula.<br /><br />Rumah orang Bugis-Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Berdasarkan hal itu, maka ada tiga macam rumah ialah : (a) Sao-raja dalam bahasa Bugis atau balla, lompo dalam bahasa Makassar, adalah rumah berdasar yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah-rumah ini biasanya mempunyai tangga dengan alas bertingkatdi bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana). Dan mempunyai bubungan yang bersusun tiga atau lebih; (b) Sao-piti’ dalam bahasa Bugis, atau tarata’ dalam bahasa Makassar, bentuknya lebih kecil, tanpa sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun dua; (c) Bola dalam bahasa Bugis, atau balla’ dalam bahasa Makassar, merupakan rumah adat rakyat pada umumnya.<br /><br />Semua rumah Bugis-Makasaar yang berbentuk adat, mempunyai suatu panggung di depan pintu masih di bagian atas dari tangga. Panggung itu yang disebut tamping, adalah tempat bagi para tamu untuk mengunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah<br /><br />Pada permulaan membanguna rumah seorang ahli adat dalam hal membanguna rumah (panrita-bola), menentukan tanah tempat rumah itu akan didirikan. Beberapa macam ramuan diletakkan pada tempat tiang tengah akan didirikan. Kadang-kadang ditanam kepala kerbau di temapt itu. <br />Setelah kerangka rumah ddirikan, maka di bagian atas dari tiang tengah digantungkan juga ramuan-ramuan dan sajian untuk menolak malapetaka yang mungkin dapat menimpa rumah itu.<br />B. MATA PENCAHARIAN<br /><br />Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.<br /><br />Masyarakat nelayan dapat dicontohkan adalah suku bangsa Bugis dan Makassar. Orang Bugis dan Makassar ada yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting. Dalam hal ini, mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh di laut.<br /> Tampaknya jelas sekali, bahwa orang Bugis dan Makassar adalah sebagai suku bangsa pelaut di Nusantara ini yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad yang lalu. <br /><br />Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan teknologi pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, tersebutlah perahu-perahu layar terkenal ciptaan mereka tersebut, yaitu tipe ‘Pinisi’ dan ‘Lambo’. Kedua tipe perahu ini telah teruji kemam-puannya mengarungi perairan Nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan Philipina untuk ‘berdagang’.<br /> <br />Kemampuan berlayar dengan teknologi pelayaran yang dimiliki itu, telah mendorong terciptanya hukum niaga dalam pelayaran, seperti disebut dalam bahasa Bugis dan Makassar “Ade alloppiloping bicaranna pabbolu'e” dan yang tertulis pada lontar oleh “Amanna Gappa” dalam abad ke 17. Dengan tulisan tersebut, terungkap jelas, bahwa masyarakat yang tinggal di daerah pantai mampu membentuk tempat tinggal yang disebut ‘desa nelayan’. Khusus suku Bugis Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan yang mampu mengembangkan masyarakat-nya dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan tersebut.<br /><br />C. SISTEM KEKERABATAN<br />Dalam hal pernikahan, suku bangsa Bugis memegang kepercayaan dan standar-standar tertentu mengenai kecocokan pasangan suami-isteri ideal seperti agama, kekerabatan, status sosial, dan sifat-sifat pribadinya. Oleh karena itu, seleksi pengantin wanita atau pengantin laki-laki adalah soal yang tidak dapat diserahkan pada pemuda Bugis sendiri. Orang tuanya berperan besar dalam memilih pasangan buat anaknya. Dalam pemilihan pasangan tersebut, status sosial dan kemampuan keuangan sangat penting. Untuk para lelaki kemampuan keuangan merupakan hal yang ditekankan dan untuk para wanita, kemampuan domestik sebagai pengurus rumah-tangga. Selanjutnya, laki-laki dan wanita diharapkan menikah atau etiket jelek tertentu akan diletakkan kepada mereka. Etiket bagi wanita berhubungan dengan nilai perdagangan mereka sedangkan etiket negatif bagi laki-laki yang belum menikah behubungan dengan daya seksual mereka.<br />Sebagai catatan terakhir mengenai pernikahan orang Bugis, konsep perkawinan dalam agama Islam sendiri berhubungan dengan konsep halal [mengizinkan] dan haram [terlarang]. Karena seks di luar perkawinan terlarang maka perkawinan adalah satu-satunya cara untuk mensahkan aktivitas seksual di antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Oleh karena itu, sebaiknya mereka menikah untuk mensahkan hubungan seksualnya. Kalau tidak, persetubuhan akan dipertimbangkan sebagai perbuatan zina.<br /><br />D. SISTEM KEPERCAYAAN / RELIGI<br /><br />1. PRA-ISLAM<br /><br /> Pada zaman pra-Islam religi orang Bugis-Makaasar, seperti tampak dari Sure’Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:<br />1. Patoto-e, yaitu dewa yang menentukan nasib;<br />2. Dewata Seuwa-e, yaitu dewa yang tunggal;<br />3. Turie a’rana, yaitu kehendak yang tertinggi.<br /><br />Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Latang di Kabupaten Sindenreng-Rappang dan orang-orang Amma Towa di Kajjang Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makasar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang sakral dan keramat. Sistem adat yang keramat itu di dasarkan lima unsur pokok pangaderreng sebagai berikut ;<br /><br />1. Ade’ (ada’ dalam bahasa Makasar) adalah unsur panganderreng yang terdiri atas:<br /> Ade’ akkalabinengeng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat.<br /><br /> Ade’ tana yaitu norma mengenai pemerintahan Negara yang terwujud dalam bentuk hukum Negara, hokum antar Negara, dan etika serta pembinaan insan politik.Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makasar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti: pakka-tenniade’, pampawa ade’, dan parewa ade’<br /><br /><br />2. Bicara, merupakan unsur Panngaderreng mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hokum adat, acara di muka pengadilan, dan gugatan.<br /><br />3. Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai unsur dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan dari suatu keputusan hukum tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah laku ideal dalam berbagai lapangan hidup, baik kekerabatan politik, maupun pemerintahan. Kecuali itu rapang rupa-rupanya juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap keamanan sdeorang warga masyarakat.<br /><br />4. Wari, adalah unsur pangaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antar raja; untuk memlihara tata-susunan dan tata-penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat; untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan social; untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu Negara dengan raja-raja dari Negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda ddalam tata upacara kebesaran.<br /><br />5. Sara, adalah unsur panngaderreng yang mengandung pranata hukum dalam hal ini ialah hukum Islam.<br /><br /><br />Kelima unsur keramat di atas, terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makasar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri yang tertuang dalam konsep siri. Siri adalah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.<br /><br />2. ISLAM MASUK<br /><br />Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi selatan pada permulaan abad ke-17. Agama Islam dapat mudah diterima dan prose itu dipercepat dengan dan oleh kontak yang terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain yang sudah beragama Islam.<br /><br />Dalam abad ke-20 ini, terutama karena pengaruh gerakan-gerakan pemurnian ajaran-ajaran agama Islam, seperti misalnya gerakan Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian dari panngaderreng itu sebagai syirk, tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan sebaiknya ditinggalkan. Demikian juga Islam di Sulawesi Selatan juga telah mengalami proses pemurnian.<br /><br />3. ISLAM DI SULAWESI<br /><br />Kira-kira 90% penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk Agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat atau katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota, terutama Ujung Pandang.<br /><br />Kegiatan-kegiatan da’wah Islam dilakukan oleh organisasi Islam yang amat aktif seperti Muhammadiyah, Darudda’wah wal Irsjad, partai-partai politik Islam dan Ikatan Mesjid dan Mushalla dengan Pusat Islamnya di Ujung Pandang. Kegiatan-kegiatan dari Missi Katolik dan Penyebar Injil lainnya juga ada di Sulawesi Selatan.<br /> <br />Pakar sejarah menyebutkan bahwa sesungguhnya agama Islam sudah sampai di Makassar sejak kepemimpinan raja Gowa ke-10 Tunipalangga (1546-1565), ketika raja memberi ijin kepada pedagang-pedagang melayu menetap di Somba Opu. Sementara itu dalam Lontara Makassar diperoleh keterangan bahwa sebelum permulaan abad ke XVII sudah terdapat pemuka agama Islam dikalangan orang Makassar yang menerima Islam dari Demak, ataupun dari Malaka dan Ternate. Raja Gowa dan Tallo mula-mula menerima Islam dengan resmi sebagai agamanya. Raja Tallo “Malingkang Daeng Manyonri, Karaeng M. Tumenanga ri Bonto Biraeng” yang bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam memeluk Islam pada malam Jum’at, 22 September 1605 M. Di saat yang sama, Kerajaan Gowa diperintah oleh raja ke 14, Sultan Alauddin yang bergelar I Mangerangi daeng Manrabia, kakek dari Sultan Hasanuddin. <br /><br /><br /><br /><br />Keduanya merupakan peletak dasar tonggak pemberlakuan syariat Islam di kerajaan Makassar yang berlanjut secara turun temurun ke raja-raja berikutnya. Penyebaran agama Islam di Makassar pada awalnya sangat dipengaruhi oleh kehadiran Abdul Ma’mur Khatib Tunggal atau Dato’ Ri Bandang yang tiba di Tallo pada bulan September 1605. Beliau mengajarkan materi syariat Islam sebagai pembahasan awal dalam dakwah dan penyebarannya.<br /> <br />Dalam berdakwah, Datok ri Bandang dibantu dua orang rekannya yaitu Datok Pattimang dan Dato di Tiro yang kemudian dikenal dengan nama Datuk Tellu’e (tiga datuk). Ketiga Datuk ini bukanlah orang Bugis-Makassar melainkan orang Minang yang merantau ke Sulawesi Selatan. Sebelum ke jazirah Sulawesi, mereka sebelumnya belajar agama di Aceh. Kehadiran ke tiga datuk ini atas rekomendasi pemerintah kerajaan Aceh yang dipimpin oleh seorang Ratu, rekomendasi tersebut berdasarkan surat permohonan masyarakat Sulawesi Selatan agar kerajaan Aceh mengirimkan guru agama untuk menyiarkan Islam di daerahnya. <br /><br />Dua tahun setelah raja Gowa dan Tallo memeluk agama Islam, seluruh rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk agama Islam yang ditandai dengan sholat Jum’at pertama di Masjid Tallo pada hari Jum’at tanggal 9 Nopember 1607, bertepatan dengan hari 19 Rajab 1016 Hijriah. “Hari ini Raja telah masuk Islam, maka masuk Islamlah kalian semua,” tegas Raja Tallo dalam deklarasi tersebut. <br /><br />Selanjutnya peristiwa bersejarah ini menjadi dasar penetapan hari jadi kota Makassar. Raja Gowa mengemukakan bahwa walaupun Islam sebagai panutan resmi kerajaan namun semua golongan dalam wilayah kerajaan Makassar tetap mempunyai hak sama dan mempunyai kebebasan memeluk dan menjalankan keyakinan menurut agamanya, dan mendapat perlindungan dari kerajaan, penghargaan terhadap keberagaman. <br /><br />4. KULTUR HAJI DALAM MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR<br /><br />Dalam kultur sebagian masyarakat Bugis-Makassar atau nusantara, gelar haji yang diperoleh setelah menunaikan ibadah haji itu dianggap sebagai prestise yang menunjukkan status sosial yang ‘lebih’ dibanding yang lain. Status sosial ini tidak karena tuntutan sang haji, tapi dielaborasi karena adanya penghargaan masyarakat sekitarnya. Penghargaan ini terlebih dikarenakan untuk menunaikan ibadah haji itu perlu pengorbanan yang besar; waktu, harta dan kadang nyawa. Apalagi di jaman dulu sebelum transportasi semudah jaman sekarang, menunaikan ibadah haji teramat sulit dan lama.<br /> <br />Uniknya juga, dalam prosesi lamaran pernikahan dalam budaya bugis makassar, faktor ke-haji-an kerap menjadi penentu dalam menetapkan uang panaik atau dui’menre’ atau uang mahar bagi mempelai perempuan.<br /> <br />Selepas berhaji di tanah suci, dalam kultur bugis/makassar ada semacam ritual wisuda yang dinamakan ‘mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok/kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh syekh atau ulama yang disegani. Untuk yang perempuan, biasanya disimbolkan dengan kerudung kepala yang dipuntir mengelilingi tepi rambut dan dipasangi manik-manik atau hiasan berwarna emas atau perak.<br /><br />Menurut Fuad Rumi, seorang ulama dan cendekiawan Makassar, kehajian terakulturasi ke dalam budaya kita untuk memberi simbol status bagi seseorang. Menjadi haji, adalah sebuah kehormatan, dan kehormatan itu disimbolkan dengan gelar dan pakaian<br /><br /><br />5. BISSU<br /><br />Budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan ( makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu. <br />Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.<br /><br />Kehadiran dan Peranannya<br /><br />Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu , Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi.<br /><br />Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit. Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. <br /><br />Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, <br /><br />Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.<br /><br />Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. <br />Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa.<br /> <br />Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi.<br /><br /><br />Menjadi Bissu<br /><br />Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati.<br /><br />Konflik dengan Islam<br /><br />Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari 40 malam. Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.<br /><br />Gerakan pemurnian ajaran Islam “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. <br /><br />E. PRODUK BUDAYA<br /><br />1. RUMAH ADAT<br /><br />Tidak disebut rumah adat Bugis / Makassar jika rumah tersebut tidak memiliki Timpa’ Laja’ di atapnya. Bahkan jika rumah tersebut adalah rumah panggung yang megah, atau rumah seorang raja, tidak akan disebut rumah adat jika tidak memiliki Timpa’ Laja’ di atapnya. <br />Sangat khas, karena dengannya kita dapat mengetahui status sosial pemiliknya dalam masyarakat. Sudah menjadi peraturan -yang tidak tertulis- bahwa semakin tinggi status sosial seseorang, maka timpa’ laja’ rumahnya semakin banyak<br />.<br />Timpa’ laja’ adalah susunan atap tambahan di bagian depan atap pelana rumah adat Bugis / Makassar. Tersusun rapi secara vertikal, yang jumlahnya adalah merupakan gambaran status sosial sang pemiliknya<br /><br /><br /><br />Rumah Adat dan Budaya Karampuang <br /><br />Karampuang merupakan asimilasi dari nama tempat dimana digambarkan sebagai pertemuan antara Karaeng (Suku Makassar) dan Puang (Suku bugis) sehingga tempat tersebut kemudian diberinama Karaeng Puang. Dan orang menyebutnya Karampuang. Karampuang sendiri merupakan nama sebuah dusun/perkampungan tua yang tetap melestarikan kebudayaannya. Upacara-upacara adat ritual kuno tetap bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya, walaupun saat ini teknologi dan pola hidup modern mulai merambah kawasan adat ini. <br /><br />Dalam kawasan wilayah adat Karampuang berdiri megah dua buah rumah adat berarsitektur bugis kuno, salah satu diantaranya didiamin oleh To Matoa atau Puang Matoa (Arung) dan salah satunya lagi didiami oleh Gella (Kepala Pemerintahan Adat). <br /><br />Rumah adat Karampuang pada dasarnya bersimbolkan perempuan dan pola pembuatan bernuansa tradisional. Bahan ramuan rumah ini tidak menggunakan bahan dari hasil industri seperti komponen paku, seng dan sejenisnya. Karampuang hingga masih memiliki perangkat adat yang lengkap dan tetap terpelihara keutuhannya dalam kondisi perkembangan teknologi modern sekarang ini. Jadi rumah adat ini hanya menggunakan bahan-bahan yang ada di dalam kawasan Adat Karampuang. Dan untuk merenovasi atau mengganti salah satu tiang atau alat-alat penting dari rumah adat tersebut, ramuan kayunya harus diambil dari dalam hutan kawasan adat, kayu tersebut harus ditarik dan pantang sekali dipikul. Upacara pengangkutan kayu dari hutan ke kawasan rumah adat dikenal dengan nama upacara madduik. <br /><br /><br />Profil Anjungan Rumah Adat Bugis<br /><br />Rumah adat Bugis, Makasar, hiasannya sudah ditentukan menurut status sosial penghuni atau pemiliknya. Raja biasanya menempati rumah yang disebut Soraja, Salassa atau Balla lompo. Saoraja berasal dari kata Sao = rumah, raja = besar. Pemberian nama ini didasarkan kepada fungsi rumah, status penghuni dan besarnya ukuran. Sedangkan rumah bagi orang biasa ukurannya lebih kecil, disebut Bola.<br /> <br />Bentuk Saoraja atau Bulla Lompo adalah rumah panggung persegi panjang atau kolong rumah, alle bola atau kalle balla yaitu bagian tengah yang didiami dan bagian atas yakni bagian di bawah atap disebut rabkeang atau perumakkang. Pada umumnya rumah Bugis, Makasar dibagi atas beberapa ruangan yang dalam bahasa daerah disebut lintang, yaitu 3 ruangan atau tiga lontang, yang masing-masing mempunyai nama dan fungsi sendiri. <br /><br />Ada pula rumah yang serupa memiliki dua lontang. Ruang pertama disebut Lintang ri Saliweng yang artinya petak di luar, dipergunakan untuk menerima tamu, dan sebelum ada kebiasaan memakai kursi, biasanya tamu duduk di atas sehelai tikar pandan yang disebut tappere atau di atas jali yakni tikar rotan. Ruang kedua adalah Lontang ri tenguga atau petak di tengah merupakan tempat yang paling suci dari seluruh rumah, menurut kepercayaan ruang ini merupakan tempat Dewi pelindung rumah tangga. Karena itu tempat ini tidak umum, dan di ruang tengah ini pula terdapat tiang pusat. Di dekat atau di tiang pusat ini biasanya diletakkan pusaka seperti keris, tombak, kelewang dan sebagainya. <br /><br />Antara Lontang ri saliweng da lontang tengnya ada dinding yang disebut - rehring lawa tenganga. Ruang ketiga adalah Lontang in ladeng atau petak yang berfungsi sebagai ruang tidur keluarga yang empunya rumah. Lontang ini biasanya dibagi dua, bagian dalam untuk ruang tidur anak gadis yang empunya rumah, sedang bagian luar untuk ruang tidur ibu bapak. <br /><br />Lantai Saoraja atau Balla; Lompo bertingkat dua, bagian yang tinggi disebut Watampola, dan yang rendah disebut Tamping. Tamping ini dapat disamakan dengan emper pada rumah jawa. Tamping membujur sepanjang rumah, di sisi ketiga lontang tadi, yang seakan-akan merupakan lorong masuk dari pintu dengan ke pintu belakang dan merupakan penghubung dari ketiga lontang tadi. Orang yang memakai sandal atau sepatu biasanya melepas dan menaruh pada tamping ini, sebelum naik ke Lontang ri Soliweng. <br /><br />Di depan rumah sebelum masuk ke Lontang ri saliweng terdapat ruangan kecil atau bangunan yang menempel, disebut lego-lego, berfungsi sebagai ruang tunggu bagi tamu sebelum dipersilahkan masuk ke Lontang ri saliweng, oleh tuan rumah. Kadang-kadang lego-lego ini dipergunakan oleh tuan rumah sebagai tempat duduk berangin-angin. Di belakang rumah terdapat ruangan atau bangunan tambahan yang lantainya setingkat dengan tamping, disebut Jongke. Jongke berfungsi sebagai dapur, tempat makan, serta tempat peralatan dapur.<br /> <br />Bagi orang kebanyakan rumahnya hanya berlontang dua, dan lantainya datar tanpa bertingkat. Timpak lajaknyapun paling banyak bersusun 3, serta tidak diberi ukiran. Di anjungan, ruangan Saoraja dipergunakan untuk memperagakan berbagai aspek budaya tradisional daerah Sulawesi Selatan, antara lain model pakaian adat dari suku-suku yang ada di daerah tersebut serta berbagai hasil kerajinan dan benda-benda seni. <br /><br />Bangunan Saoraja diberi hiasan berupa ukiran-ukiran dengan motif bunga-bungaan, binatang dan alam semesta. Misalnya bunga Parereng, bentuknya tanaman menjalar, daun semangi atau daun melati. Ukiran ini mengandung arti harapan agar rezeki orang di rumah tersebut murah dan tidak putus-putusnya. Ukiran manik-manik, dengan bentuk seekor burung atau ayam jantan atau burung kakak tua, atau garuda, ditempatkan dipuncak bangunan bagian depan dan belakang, disebut anjung bola. Maksud harapan agar kehidupan rumah itu dalam keadaan baik-baik saja, karena garuda melambangkan kejayaan. Ukiran Olok Kalo eppa ajena atau binatang berkaki empat, bentuknya kerbau dengan tanduknya, babi, rusa berlari atu seekor singa. Ukiran ini juga ditempatkan di puncak bubungan, maksudnya : kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial penghuni rumah, singa lambang keberanian dan kesaktian. Ukiran naga atau ular besar melambangkan kekuatan, penempatannya juga pada puncak bubungan atau induk tangga<br /><br />2. PAKAIAN ADAT<br /><br />Baju bodo adalah baju adat Bugis-Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan Lipa' sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo. Konon dahulu kala, ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.<br /><br />1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.<br />2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.<br />3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun. <br />4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.<br />5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan <br />6. Warna ungu dipakai oleh para janda.<br /><br />Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. <br />Begitu pula untuk passappi'-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak) juga digunakan oleh pagar ayu. <br /><br />Busana Bugis<br /><br />Busana bangsawan Bugis banyak mempengaruhi busana tradisional rakyat Selangor. Kain sarung Bugis terkenal sebagai busana kaum wanita yang dipakai dengan Baju Kebaya Labuh. Manakala kaum lelaki pula bergaya dengan Baju Sikap sut padanan lima dilengkapi tengkolok, baju, seluar, bengkung dan kain samping tenunan Bugis bergarus atau bertelepuk perada emas warisan keluarga bangsawan Bugis.<br /><br />3. BAHASA<br /><br />Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi.<br /><br />Bahasa Bugis digunakan oleh Suku Bugis yang jumlah populasi lebih dari empat juta orang. Suku Bugis yang berada di daerah yaitu Sulawesi Selatan yang ibu kotanya termasuk dalam katagori kota metropolitan di Indonesia. Berbagai etnis ada di provinsi tersebut, namun etnis atau suku aslinya adalah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Keempat etnis ini merupakan suku terbesar di Sulewesi Selatan.<br /><br />Walaupun etnis Bugis lebih dominan, akan tetapi fenomena penggunaan bahasa masih bervariasi. Hal itu disebabkan karena bahasa Bugis memiliki dialek-dialek yang berbeda, misalnya Bugis dialek Bone berbeda dengan dialek Makassar, Mandar, Toraja dan lain sebagainya. Namun, perbedaan itu merupakan ciri dari daerah itu sendiri dan menunjukkan perbedaan dengan daerah yang lain.<br /><br />Propinsi Sulawesi Selatan terdiri atas banyak suku yang berbeda dan kemudian digolongkan dalam 3 kelompok suku. Suku-suku itu adalah : Bugis, Makassar dan Toraja yang ketiganya memiliki perbedaan mencolok dari segi bahasa daerah. Ketiga suku tersebut kemudian terpisah lagi dalam beberapa sub-suku yang lebih kecil. Suku Bugis misalnya, ada Bugis Bone (yang lingkup bahasa dan wilayahnya paling luas), bugis Sinjai dan beberapa sub suku Bugis lainnya yang kadang-kadang juga punya bahasa yang agak berbeda. Sementara suku Makassar terbagi atas beberapa sub suku yang lebih kecil yang mempunyai logat dan bahasa yang juga berbeda, misalnya daerah Bulukumba dan Selayar yang secara fisik dianggap suku Makassar namun memiliki bahasa daerah yang lumayan berbeda dengan bahasa Makassarnya orang Gowa dan Takalar. Sebagai info lagi, sebuah kabupaten kecil sebelah utara kota Makassar bernama Enrekang terbagi atas 3 daerah berbahasa berbeda, sebelah selatan bahasanya mirip bahasa Bugis karena memang berbatasan langsung dengan daerah suku Bugis, bagian tengah berbahasa daerah sendiri, sementara bagian utara berbahasa daerah yang mirip bahasa Toraja karena memang berbatasan langsung dengan daerah Toraja. <br />Bahasa Indonesia yang kemudian dipakai sebagai bahasa pemersatu kemudian terpengaruh oleh bahasa daerah itu sendiri. Beberapa istilah bahasa daerah kemudian ikut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia, di antaranya ya partikel-partikel tadi.<br /><br />4. AKSARA<br /><br />Jika suatu suku kata diakhiri /a/, maka untuk penulisannya cukup ditulis huruf konsonannya saja, misalnya pada> cukup ditulis pd. Akan tetapi, suku kata tidak diakhiri huruf vokal /a/, maka huruf vokal tersebut tetap ditulis, misalnya tabu > ditulis tbu. Terdapat pengecualian bila suku kata diskhiri huruf vokal [e], misalnya pede ditulis eped. <br /><br /><br /><br />5. TARIAN<br />a) Tarian Patenun<br /><br />Tarian tradisional Bugis Sulawesi Selatan. Tarian inipun juga dibawakan oleh 3 gadis cantik berbaju adat Bugis, yakni baju bodo. Tarian Patenun inipun tidak kalah menariknya dari tarian Pagelu. Dimana tarian Patenun ini biasanya disugguhkan untuk menyambut tamu pejabat maupun pada acara-acara resmi di Bugis. Tarian ini menggambarkan, cara membuat kain sutra dengan ditenun, sehingga nampak gerakan ketiga penari layaknya seseorang sedang menenun.<br /><br />b) Tari Pabitte<br /><br />6. UPACARA ADAT<br />a) UPACARA SELAMETAN KAPAL-BAGAN<br /><br />Merupakan upacara peluncuran kapal yang sekaligus sebagai bagan penangkap ikan. Adat ini dilaksanakan di tempat kapal tersebut lego jangkar, yaitu di tengah laut. Pada acara tersebut dilakukan pembacaaan doa langsung dilanjutkan dengan makan bersama diiringi ombak yang berayun serta angin laut.<br /><br />b) PESTA ADAT MA’PIGAU SIHANUA KARAMPUANG<br /><br />Pesta Adat / Upacara Adat yang berlangsung setiap minggu dalam bulan November tahun berjalan. Upacara adat ini dirangkaikan dengan beberapa atraksi wisata seperti Upacara Ma’dduik, Mappacing hanua, menre bulu, masulo beppa, mabacce, buruda sikkiri, elong patong serta prosesi adat lainnya. Puncak acara yaitu mappugau sihanua dimana upacara adat ini seluruh komponen masyarakat karampuang khususnya dan masyarakat sinjai pada umumnya berkumpul merayakan pesta panen tersebut dan biasanya pula dihadiri dari segala komponen daerah- daerah lainnya. Pesta ini sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan panen pertanian dan perkebunan mereka. <br /><br />c) PROSESI MADDUIK<br /><br />Prosesi ini diawali para sesepuh dan masyarakat karampuang bergotong-royong menjaga kelestarian dan keutuhan Rumah Adat, yang tiap tahunnya dengan mengganti tiangnya yang sudah rapuh dengan tiang baru yang diambil dari hutan adat.<br />Dalam prosesi ini diwujudkan dengan penebangan pohon di hutan Adat secara bergotong royong, kemudian secara beramai-ramai pula para masyarakat karampuang menarik atau madduik secara bersama-sama melalui beberapa tali yang diikatkan pada masing-masing batang pohon yang sudah di tebang, yang kemudian dibawa menuju Rumah Adat untuk selanjutnya prosesi penggantian Tiang Rumah. <br />Dengan beberapa prosesi-prosesi penting yang berjalan, dirangkaian pula dengan adanya kesenian – kesenian tradisonal adat masyarakat karampuang seperti kesenian tradisonal Mappadekko, Elong Poto, Buruda’ dan Sikkiri.<br /><br />d) PESTA RAKYAT MA’RIMPA SALO<br /><br />Ma’rimpa salo berasal dari bahasa bugis yang terdari dari dua kata, yaitu Ma’rimpa yang berarti menghalau dan salo yang berarti sungai. Jadi Ma’rimpa salo berarti “Menghalau ikan di sungai “Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk pesta rakyat.<br /><br />Pesta rakyat ini dilaksanakan setiap tanggal 21 bulan September setiap tahun berjalan, yang merupakan manivestasi dari rasa syukur atas keberhasilan panen ikan dan panen padi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sanjai dan Desa Bua di lingkungan kerajaan Sanjai dan Kerajaan Bua. Pesta rakyat ini bermakna sebagai suatu bentuk kegiatan menangkap ikan air tawar (sungai) dengan jalan menghalau ikan dari arah hulu sungai menuju muara sungai. Kegiatan ini dilakukan secra bergotong royong pada dua desa (kearuan) sebagai rasa puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala bentuk keberhasilan Panen Padi (Lao Ruma) maupun Keberhasilan Panen Ikan (Mappaenre bale) setiap tahunnya. <br /><br />Keunikan pesta rakyat ini dapat kita lihat, pada saat ikan akan ditangkap. Dimana pa’rimpa tiba disisi Balle, dan selanjutnya masyarakat beramai-ramai turun ke dalam Balle untuk menangkap ikan, baik menggunakan jala, maupun langsung dengan tangan.<br /><br />e) PESTA RAKYAT MA’PANRE TASI<br /><br />Ma’panre Tasi merupakan pesta rakyat yang khususnya dalam lingkungan ke Aruagan Sanjai. Pesta ini dilakukan bersama-sama olah semua komponen masyarakat sehingga disebut Turung Sihanua.<br /><br />Ma’panre Tasi berasal dari bahasa bugis yang terdiri dari dua kata yaitu Ma’panre yang berarti memberi makan dan Tasi berarti laut, jadi Ma’panre Tasi artinya memberikan makanan di laut. Dilaksankan secara turun temurun olah masyarakat keAruang Sanjai yang sekarang menjadi Desa Pasimarannu dari pemerkaran Desa Panaikang di Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.<br /><br />Pesta Rakyat Ma’panre Tasi bermakna suatu bentuk kegiatan pesta rakyat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala bentuk keberhasilan Lao Rumah (Panen Padi dan Jagung) maupun Ma’panre Bale ( panen Ikan/ Tangkapan ikan di laut) setiap tahunnya.<br /><br />Menurut cerita yang tumbuh di masyarakat, Mappanretasi berasal dari sebuah legenda yang meriwayatkan adanya Dewa Laut yang keluar atau dilahirkan dari dalam bambu [aur kuning] yang tumbuh di bawah gunung Wono Karaeng di Sulawesi. Upacara Mappanretasi dilakukan oleh penduduk Pagatan, yang mayoritas berasal dari suku Bugis, dilaksanakan sebagai tradisi untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala pemberian-Nya berupa hasil yang berasal dari laut. Selain itu memohon perlindungan-Nya untuk keselamatan para nelayan selama mencari nafkah di laut. <br /><br />Pada setiap bulan April di saat bulan purnama, setelah selesai prosesi 'Panca Ikan Masyarakat Nelayan' di empat desa, Pejala, Juku Eja, Gusunge dan Wiritasi, digelar upacara pesta laut. <br />f) MACCERA MANURUNG<br /><br />Masyarakat di daerah berhawa sejuk ini juga mengenal tradisi Maccera Manurung. Upacara adat ini hanya dilakukan delapan tahun sekali selama empat hari berturut-turut. <br />Upacara ini dipandu oleh pemangku adat. Para pemangku adat tersebut diwajibkan menjalani masa-masa pantangan sebelum perhelatan dimulai. 'Mereka pantang memakan sayur seperti kangkung, daun ubi, juga daging kambing serta garam.<br />Upacara berlangsung dalam empat tahap. Tahap pertama yakni menabuh gendang yang bertujuan untuk membangkitkan tanah. Masyarakat setempat meyakini, tanah adalah inti dari seluruh jagat sehingga dialah yang pertama kali dibangunkan. Gendang yang ditabuh adalah sebuah gendang tradisional yang hanya dikeluarkan saat upacara adat ini. Orang-oang yang hadir menyaksikan upacara ini biasanya berusaha merebut kayu-kayu yang berjatuhan di sekitar gendang, yang dipercaya memiliki keampuhan mengobati berbagai penyakit. Ritual menabuh gendang tua itu dilakukan pada hari Jumat.<br />Ritual selanjutnya adalah Majjaga. Dalam acara ini dipersembahkan tari-tarian sebagai simbol kesetiaan kepada raja dan kerajaan. Para penari yang kebanyakan laki-laki, menari dengan bertelanjang dada di tengah hawa yang dingin. Rangkaian upacara selanjutnya adalah Liang Wae, yakni mengeluarkan air dari pusat bumi. Mereka melakukan ritual dengan berdoa di sebuah lubang sumber mata air yang terletak di tengah hutan dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Saat mereka berdoa, air tersebut akan memancar keluar dari lubangnya. Jika mata air tersebut tidak memancar keluar, maka seluruh warga kampung harus bersiaga dengan kemungkinan buruk seperti gagal panen, atau akan ada orang yang menjadi gila di kampung itu.<br />Sebaliknya jika mata air itu memancar, air tersebut akan jadi rebutan. Para perantau yang sudah lama meninggalkan Enrekang biasanya paling bersemangat memperebutkan air itu. ''Air tersebut dipercaya bisa membawa berkah atau menambah rezeki bagi yang menyimpannya.<br /><br />Prosesi terakhir dari rangkaian upacara Maccera Manurung ini adalah Mappeong, yakni pemberian persembahan kepada leluhur. Persembahan tersebut, kata Agus, diberikan sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang telah diperoleh masyarakat selama delapan tahun. Salah satu 'menu' persembahan yang selalu ada adalah beras pulut yang dimasak dalam bambu dan dibakar.<br /><br />g) PESTA ADAT TAROWANG<br /><br />Merupakan pesta yang digelar untuk menutup pesta adat Jene-jene Sappara (Mandi di Bulan Syafar) di Pantai Desa Balang Loe Tarowang, Kecamatan Tarowang, Jeneponto. Pesta adat Jene-jene yang bertujuan memohon keselamatan kepada Tuhan yang berlangsung 10 hari. Sejumlah kegiatan kesenian ditampilkan dalam kegiatan ini, seperti massempa (adu tendangan) dan abbatte (adu ayam).<br /><br />h) RITUAL PALILI<br /><br />Pada masa lampau, pelaksanaan upacara ritual Palili yang dipelopori oleh kaum bangsawan dan hartawan Bugis di Segeri dilaksanakan sangat meriah dan hikmat. Upacara ini dilaksanakan sekali setahun sebagai tanda memulai mengerjakan sawah untuk bertanam padi. Akan tetapi sejak tahun 1966, upacara ini sudah disederhanakan. Kalau tadinya upacara berlangsung selama 40 hari – 40 malam, kemudian berubah 7 hari- 7 malam, sekarang hanya satu malam saja. <br /><br />i) GENRANG BALISUMANGE<br /><br />Diperagakan oleh rumpun bangsawan untuk mengiringi upacara adat perkawinan, upacara malam perkawinan adat bugis Bone lingkungan Saoraja. Genrang Balisumange biasa juga digelar pada acara perkawinan antar rumpun bangsawan, mulai dari mappettu ada, tudang penni, sampai hari perkawinan (esso botting); selalu diiringi dengan anak baccing dan kancing.<br /><br /><br />j) PADUNGKU<br /><br />Padungku merupakan pesta panen yang digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil pertanian yang diperoleh. Warga Soroako dewasa ini menggelar ritual Padungku setiap dua kali panen. Dalam ritual ini, masyarakat berkumpul dan bergembira menikmati sajian makanan dan hiburan musik bambu (pebambu) serta menumbuk lesun. Pertunjukan menunbuk lesun, yang dalam bahasa Soroako dikenal dengan nohu bangka dimainkan oleh kelompok ibu-ibu. Nohu bangka ini merupakan pertunjukan yang serupa dengan Mappadendang dalam pesta panen di masyarakat bugis. Pada malam hari, ritual Padungku biasanya diisi dengan dero (tarian tradisional warga setempat dan juga di wilayah Sulawesi Tengah yang dilakukan dengan berpegang tangan sambil membuat formasi melingkar diiringi dengan lagu).<br /><br />k) UPACARA MACCERATASI<br /><br />Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut. itulah bagian utama dari prosesi Upacara Adat Macceratasi. Kendati intinya hampir sama dengan upacara laut yang biasa dilakukan masyarakat nelayan tradisional lainnya. Namun upacara adat yang saru ini punya hiburan tersendiri.<br /><br />Macceratasi merupakan upacara adat masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama dan terus dilakukan secara turun-temurun setiap setahun sekali. <br /><br />Prosesi utama Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing, dan ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan darah kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang tinggal sekitar pantai dan sekitarnya, berharap mendapatkan rezeki yang melimpah dari kehidupan laut. <br /><br />Sebelum Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung Tawar untuk meminta berkah kepada Allah SWT. Sehari kemudian diadakan pelepasan perahu bagang dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas beramai-ramai oleh nelayan bagang, baik dari Suku Bugis, Mandar maupun Banjar. Keseluruhan upacara adat ini sekaligus melambangkan kerekatan kekeluargaan antar nelayan.<br /><br />Untuk meramaikan upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa kesenian hadrah, musik tradisional, dan atraksi pecak silat. Usai pelepasan bagang, ditampilkan atraksi meniti di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki Suku Bajau. Atraksi ini pun selalu dipertunjukkan bahkan dipertandingkan pada saat Upacara Adat Salamatan Leut (Pesta Laut) sebagai pelengkap hiburan masyarakat.<br /><br />7. LAGU<br />a) Tulolona Sulawesi<br />b) Angin mamiri<br /><br />Angin mamiri ku pasang<br />Pitujui tongtongana<br />Tusarua takkan lupa<br />Eaule na mangu rangi<br />Tutenaya, tutenaya parisina<br />Batumi angin mamiri<br />Angin ngerang dingin-dingin<br />Nama lonta sari kuku<br />Eaule na mangu rangi<br />Matolorang, matolorang jenemato<br /><br />c) Lagu lainnya :<br />Ade’ pangampe, Aja tapassaka, Aja’na iya’ musenge, Ajana murewe, Ajana, Amir shabu-shabu, An amry mandar, Ana’ malie, Anci laricci, Anrita cellenge, Armand- taparengnge mandar, Balo lipa’, Balo, Biiu-biu, Bugis- tau sipaku siaku, Bulu’ alauna tempe, De’ma rogi, Doi perellu, Dua lipu ripasewa, Genne’ni kapang, Idi nasabari, Janjingku, Lebba garisi llimangku, Les samu samu, Lussa rilantang bangngia, Nipassalasa, Pakelong, Salasa mangantalai, Sipuliang memang tongki, Subang kacayya, Susami kapang lapia, Ta’lettekami cinkku, Teako takkalupi, Tuna la’leang kalenna, dll.<br /><br /> <br />8. SASTRA<br />a) I LA GALIGO<br /><br />Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. <br /><br />Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai). Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.<br /><br />b) PUISI TEKA-TEKI A LA ORANG BUGIS<br /><br />Kebesaran epos-mitos La Galigo telah membunuh banyak genre sastra klasik Bugis. La Galigo yang diduga sebagai karya sastra terpanjang dalam sejarah sastra dunia itu terlalu banyak menyedot perhatian padahal begitu banyak karya sastra Bugis lain yang menarik untuk diperbincangkan, seperti :<br />• Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung, p1<br />• Permainan Bahasa, Kunci Jawaban, p1<br />• Referensi, p1<br /><br />Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan yang membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni “élong maliung bettuanna”, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar bertemu jawabannya. Menurut Salim (1990:3-5), sedikitnya ada 14 jenis élong yang bisa dibedakan menurut isi (content), peristiwa (occasion) di mana lagu itu nyanyikan dan terakhir sifat-sifat formalnya (formal peculiarities).<br /><br />Ada élong yang secara khusus membicarakan perihal keluarga, agama dan hiburan semata. Sejumlah lainnya dipentaskan pada peristiwa-persitiwa khusus, semisal élong madduta (lagu melamar) dan élong osong (lagu perang). <br />Ada juga élong, seperti puisi klasik Jepang, haiku, yang terdiri dari aturan-aturan baris dan jumlah silabel. Lainnya, terdapat élong yang rangkaian huruf awalnya membentuk nama-nama hari. Keunikan-keunikan itulah yang membuat élong bisa menjadi media untuk melakukan permainan bahasa. Tak berbeda dengan pantun, élong sekaligus bisa menjadi sastra lisan dan tulisan. Nama élong (secara harafiah berarti ‘lagu’) sendiri menunjukkan bahwa puisi ini awalnya adalah sastra lisan. Dalam sejarahnya kadang-kadang élong memang dipertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen seperti biolin dan suling, meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa. Dulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis lomba—sambil berpesta pora minum tuak dan makan melimpah.<br /><br />Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan dalam prosesi melamar, di mana dua kelompok, masing-masing dari pihak laki dan perempuan, saling melempar bait-bait élong hingga hadirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Hal seperti itu tak lagi bisa ditemukan di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu, status dan harta menjadi faktor paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Di daerah Bone, Pinrang dan Sidrap, misalnya, orang tua seorang gadis bisa saja meminta uang ratusan juta sebagai syarat pernikahan.<br /><br /><br /><br /><br />9. SENJATA TRADISIONAL<br /><br />a) BADIK SARI <br /><br />Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.<br /><br /><br />Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan pemiliknya. <br /><br />b) BADIK MAKASSAR <br /><br />Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).<br /><br />c) BADIK BUGIS <br /><br />Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. <br /><br />Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian<br /><br />Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya. <br /><br />Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.<br /><br />Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. <br />Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.<br /><br />Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.<br /> <br />Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain. <br /><br />Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).<br /><br />10. MAKANAN KHAS<br /><br />Main dish : Daging masak Lemak, Tumbu/sawa/kampalo, Burasa, Barobbo, Nasi<br />Bugis,Sate, Nasu Likku, Coto Makassar, Sambala goreng, Sokko Bampa, Nasu Buku,Bale tunu.<br /><br />Side Dish : Putu, Sokko Palopo, Bepa Laiya, Gambang , Beppa Jintan(g), Beppa <br /><br /><br /><br />Pute,<br />Barongko/Sarekaja, Baulu peca, bangke, kacipo (buah rotan), Dempo,<br />Kacang Hai, Taripang/Sawalla, Baulu Kerisi.<br /><br />Minuman : Panas, Sejuk, Ais Batu.<br /><br />a) COTO MAKASSAR <br /><br />Masakan khas daerah berupa sop berkuah dengan bahan-bahan dasar yang terdiri dari usus, hati, otak, daging sapi atau kuda, dimasak dengan bumbu sereh, laos, ketumbar, jintan, bawang merah, bawang putih, garam yang sudah dihaluskan, daun salam, jeruk nipis, dan kacang. Pada umumnya Coto Makassar disajikan/dimakan bersama ketupat.<br /><br />b) SOP KONRO <br /><br />Masakan khas daerah yang disajikan berupa sop berkuah maupun dibakar dengan bahan-bahan dasar seperti tulang rusuk sapi atau kerbau, dimasak/dibakar dengan bumbu ketumbar, jintan, sereh, kaloa, bawang merah, bawang putih, garam, vitsin yang sudah dihaluskan. Sop Konro pada umumnya disajikan/dimakan bersama nasi putih dan sambal.<br /><br />c) SOP SAUDARA <br /><br />Masakan khas daerah yang berupa sop berkuah dengan bahan-bahan dasar seperti daging sapi/kerbau yang dimasak dengan aneka bumbu dan disajikan bersama nasi putih atau ketupat dengan Ikan Bakar sebagai tambahan lauknya.<br /><br />d) PALLU MARA<br /><br />e) JALAN(G)KOTE<br /><br />f) PALLU BASA<br /><br />g) LANGGA ROKO<br /><br />h) KAPURUNG<br /><br />i) ES PALLU BUTUNG<br /><br />j) PISANG EPE' <br /><br />Makanan khas daerah yang terbuat dari pisang kepok yang mengkal, dibakar dan dipipihkan. Pisang Epe' disajikan dengan kuah air gula merah yang biasanya telah dicampur dengan durian atau nangka yang aromanya dapat membangkitkan selera. <br /><br />k) ES PISANG HIJAU <br /><br />Terbuat dari pisang raja, dibungkus dengan tepung terigu yang sudah diberi santan dan air daun pandan sebagai pewarna dang pengharum sehingga berwarna hijau, disajikan dengan saus yang diberi es serut dan sirop.Terbuat dari pisang yang sudah dipotong-potong, dimasak dengan santan yang diberi tepung terigu, gula pasir, vanili, serta sedikit garam dan disajikan dengan es serut dan sirop merah.<br /><br />l) BARONGKO <br /><br />Barongko adalah makanan penutup khas daerah Bugis-Makassar yang dibuat dari buah Pisang Kepok matang yang dikukus dengan daun pisang. Dahulu paada masa pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan, Barongko merupakan makanan penutup yang mewah, dan hanya disajikan untuk Raja-raja, dan disajikan pada moment-moment tertentu, seperti acara perkawinan, ulang tahun, dan lain. lain. Untuk menambah cita rasa dan selera, bahan dasar Barongko biasanya ditambah dengan irisan buah Nangka atau Kelapa muda.<br /><br />m) OTAK-OTAK<br /><br />11. PARIWISATA<br /><br />a) BENTENG SOMBA OPPU <br /><br />Benteng somba opu sama kedudukannya dengan benteng Makassar. Keduanya merupakan peninggalan sejarah keperkasaan kerajaan masa lalu di Sulawesi Selatan. Benteng Somba Opu merupakan tempat yang tepat untuk di kunjungi tahap awal bagi orang yang berminat menghargai sebagai bukti sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.<br /><br />b) BENTENG BALANGNIPA <br /><br />Benteng ini dibangun tahun 1557 oleh persekutuan tiga kerajaan yaitu Tondong Bulo-Bulo dan Lamatti yang dikenal dengan mana Kerajaan Tellu Limpoe. Benteng ini pada awal pembangunannya hanya terbuat dari batu gunung yang diikat dengan Lumpur dari Sungai Tangka dengan ketebalan dinding “Siwalu reppa” Setengah depa”. Bentuk dan struktur bangunan benteng tersebut adalah segi empat dan memiliki 4 buah bastion (pertahanan).<br /><br /> Ketika Belanda menyerang dan menguasai Sinjai, benteng ini dijadikan pertahanan guna membendung serangan yang dilancarkan oleh Belanda dari Teluk Bone. Tahun 1859 Benteng ini direbut oleh Belanda melalui Perang Manggarabombang, setelah Belanda berkuasa Benteng Balangnipa dipergunakan untuk membendung baik serangan dari orang-orang pribumi Persekutuan Kerajaan Tellu Limpo’e maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Tahun 1864 Benteng Balangnipa direnovasi oleh Belanda dengan menggunakan sentuhan arsitektur Eropa dan selesai pada tahun 1868 (dengan bentuk seperti sekarang). <br /><br />Benteng ini terletak di Kelurahan Balangnipa Kec. Sinjai Utara kurang lebih 1 Km dari Pusat Kota. Tempat ini tetap terpelihara sebagai salah satu Situs Peninggalan Sejarah Kepurbakalaan dan dipergunakan sebagai Museum dan Tempat pembinaan Budaya dan arena atraksi seni budaya tradisional.<br /><br />c) SITUS PENINGGALAN SEJARAH BATU PAKE GOJENG BATU PAKE <br /><br />Berarti Batu yang dipahat sedangkan Gojeng adalah nama tempat lokasi atau lokasi dimana batu pahat tersebut ditemukan. Di bawah batu pahat tersebut terdapat kuburan batu, sehingga masyarakat setempat lebih mengenal lokasi tersebut sebagai kuburan batu. <br /><br /> Tahun 1982 dilakukan penggalian penyelematan (rescue excavation) di kawasan Batu Pake Gojeng dan ditemukan berbagai benda cagar budaya seperti keramin dan pecahannya yang diperkirakan berasala dari zaman dinasti Ming , Fosil kayu dan Peti Mayat. <br /><br />d) WISATA ALAM<br /><br />• HUTAN BAKAO (MANGROVE) TONGKE-TONGKE<br /><br />Hutan bakau / Mangrove ini dalam perkembanganya telah menjadi objek wisata yang ramai dan diminati, baik oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara, terutama sekali para ilmuan yang gemar melakukan penelitian. Hutan bakau ini terletak di Desa Tongke-Tongke Kec. Sinjai Timur sekitar 7 Km Dari pusat Kota sinjai. <br /><br />Desa tongke-tongke dengan kekayaan hutan bakaunya telah dijuluki sebagai Laboratorium Bakau Sulawesi Selatan. Pengembangan hutan bakau ini berlokasi pada pesisir sebelah timur kota sinjai dengan luas kurang lebih 786 Ha, yang dikembangkan melalui swadaya musrni masyarakat. Keunikan hutan bakau ini anda dapat melihat berbagai aneka jenis bebunyian dan pekikan satwa di pagi hari dan dekapan sayap ribuan kelelawar yang bergelantungan di atas pohon-pohon bakau pada siang hari, serta aneka satwa air lainnya.<br /><br />• ENREKANG<br /><br />Orang-orang Bugis menghormati tempat tersebut dan menyebutnya tana ri galla tana riabbusungi (negeri suci yang dihormati). Bahkan hingga kini, masyarakat Toraja yang merupakan tetangga dari daerah ini, selalu menyerahkan sekerat daging bagi leluhurnya di Bambapuang setiap kali mereka menggelar pesta.<br /><br />Hal lain yang layak dinikmati dari bumi Enrekang adalah air terjun dan kolam renang alami. Air terjun Lewaja yang berada sekitar empat kilometer ke arah selatan kota Enrekang merupakan tempat relaksasi yang sangat alami.<br /> <br />Air terjun ini selalu ramai dikunjungi oleh warga Enrekang maupun mereka yang datang dari luar Enrekang. Lewaja juga dikenal sebagai tempat suci yang dipakai untuk ritual mandi bersama masyarakat Enrekang sebelum memasuki bulan Ramadhan<br /><br />• AIR TERJUN DAN KOLAM PERMANDIAN BARUTTUNG <br /><br />Terletak di Kel. Sangiasseri kec. Sinjai Selatan berjarak ± 25 Km dari pusat kota Sinjai. Atau ± 700 meter dari ibu kota kecamatan Sinjai Selatan, Poros Makassar – Sinjai. Objek wisata tersebut memiliki panorama alam yang amat indah dengan kesejukan perbukitan,. Selain itu pada bulan maret s.d mei setiap tahunnya merupakan musim buah-buahan, anda dapat membawa buah tangan dari kabupaten Sinjai, berupa Rambutan, manggis, Durian yang merupakan hasil tanaman masyarakat Sinjai. Tak jauh dari Air Terjun tersebut ada dapat pula menyaksikan Ikan Belut di sungai Bejo. Objek wisata ikan belut tersebut banyak diminati oleh wisatawan local dan nusantara. <br /><br />• AIR TERJUN KEMBAR BATU BARA’E <br /><br />Kawasan Air terjun ini terletak di desa Barambang – Batu Belerang Kec. Sinjai Borong sekitar 40 Km mdri Pusat Kota Sinjai. Disebut air terjun kembang, dikarenakan terdapatnya dua air terjun yang berdampingan dengan jarak keduanya hanya sekitar 60 Meter, dengan ketinggian masing-masing air terjun sekitara 40 dan 45 m.<br />Batu bara’e (dalam bahasa makassar) berarti Kandang binatang” yang terbuat dari batu. Konon dulu tempat tersebut merupakan tempat mengandangan seekor kerbau raksasa. <br /><br />AIR TERJUN BARANIA DAN PANORAMA ALAM <br /><br />Kawasan ini terletak di Desa Barania kec. Sinjai Barat pada jalur lintas Sinjai – Malono (Kab. Gowa) . Selain itu kawasan Kec. Sinjai barat yang memiliki keindahan alam pegunungan, yang letaknya berada di kaki gunung bawakaraeng dengan ketinggian ± 750 meter dair permukaan laut.<br /><br />Disamping air terjun barania, Kec Sinjai Barat yang terkenal dengan daerah pengembangan holtikultura memiliki banyak potensi wisata lainnya yang tak kalah menariknya, seperti Perkebunan, pengolahan Markisa segar, tanaman sayuran dan kopi arabika. Dan anda dapat pula menyaksikan acara ziarah ke kompleks makan raja-raja turungeng, makan Srikandi Balakia dan pusat pengembangan peternakan sapi perah. <br /><br />• AIR TERJUN LANTA’E <br /><br />Terletak di Desa Palangka kec. Sinjai Selatan, kira-kira 25 Km dari pusat kota sinjai atau ± 7 Km dari nibu kota kec. Sinjai selatan. Air terjun lanta’e mempunyai ketinggian sekitar 40 m. Dan disebut air terjun lanta’e karena kondisi jatuhnya air melalui medan yang bertangga (dua anak tangga). Selain dalam kawasan objek wisata tersebut anda juga dapat menikmati berbagai objek wisata lain yang tak kalah menariknya, Seperti “Pancuran Tujuh” yakni tujun buah panjuran dari ruas-ruas batan bamboo secara berdampingan satu sama lain dengan jarak antara rata-rata 100 cm. Oleh masyarakat setempat diyakini bahwa lokasi panjuran tujuh tersebut merupakan tempat mandi bidadari yang turun dari kayangan. Serta air dari ketujuh pancuran tersebut dapat menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain penyakit kulit .<br /><br />Selain itu dapat pula menyaksikan Pohon raksanan yang diperkirakan telah berusia ± 500 tahun , serta kesejukan alam nan indah, serta hamparan tambak air tawar tempat budiaya udang “gala” dan ikan air tawar. <br /><br />Kawasan air terjun Lanta’e dilengkapi dengan sarana pendukung , seperti sarana jalan yang memadai, dan tempat-tempat peristirahatan yang sederhana bentuknya dan mempunyai keunikan tersendiri.<br /><br />• PERMANDIAN AIR PANAS PANGGO <br /><br />Berada di desa kaloling kec. Sinjai timur ± 8 Km dari pusat kota Kawasan air panas panggo memiliki tempratur ± 65 derajat celcius. Objek wisata ini sangat potensi untuk dikembangkan, karena selain memiliki areal pengembangan yang cukup luas (±2Ha) juga didikung dengan adanya aliran sungai besar yang airnya cukup jernih. <br /><br /><br />• AIR PANAS TONDONG<br /><br />Berada di desa kampala kec. Sinjai timur ± 9 Km dari pusat kota . Air panas tondong mempunyai tempratur 55 derajat celcius. Sejak dahulu kala tempat ini banyak dikunjungi baik oleh masyarakat (wisatawan local) maupun domestik. Mandi dengan menggunakan sumber air panas tondong dapat menyembuhkan berbagai penyakit terutama penyakit kulit dan gatal-gatal.<br /><br />• GUA HARA-HARA <br /><br />Gua ini berada di kawasan adat Karampuang sekitar Kec. Bulupoodo, lebih kurang 31 Km dari Pusat kota Sinjai. Keunikan gua ini terdapat berbagai gambar, tulisan yang digores diatas batu yang merupakan objek peninggalan pra sejarah yang ada di Kabupaten Sinjai. <br /><br /><br />e) WISATA BAHARI<br /><br />• KEPULAUAN SEMBILAN <br /><br />Gugusan pulau-pulau sembilan terletak sekitar 3 Mil dari pusat kota, berda di teluk Bone objek wisata ini dapat ditempuh sekitar ± 15 hingga 20 menit perjalanan laut dengan menggunakan perahu motor. Pulau-pulau sembilan merupakan deretan pulau yang sangat indah, maka kawasan ini sangat cocok sebagai tempat rekreasi bagi keluarga. Disamping itu, kawasan gugusan pulau-pulau sembilan yang didukung oleh arus gelombang yang amat kecil dan tenang, bahkan hampir-hampir tidak dijumpai ombak yang besar sangat cocok untuk dijadikan tempat arena olah raga air, seperti Menyelam, ski air dayung dan memancing. <br /><br />Ekosistem perairan gugusan pulau-pulau sembilan terdiri atas terumbu karang, padang lamun dan pasir. Jajaran 9 buah pulau yang sebagain daerahnya adalah perbukitan merupakan pemandangan yang indah di tengah laut. Keanekaragaman karang dan ikan karang merupakan daya tarik untuk melakukan kegiatan snorkelling, penyelaman dan memancing. <br />Selain itu panorama matahari terbit di laut dan terbenam di balik gunung dapat disaksikan jika kita berada di kawasan gugusan pulau ini. Kawasan ini ditumbuhi dengan biota-biota laut yang unik dengan terumbu karang yang indah beraneka ragam.<br /><br />• UJUNG KUPANG <br /><br />Terletak di desa sanjai kec. Sinjai Timur sekitar 15 Km dari Pusat Kota . Ujung Kupang merupakan salah satu objek wisata yang berpantai pasir putih selain yang anda dapat jumpai di gugusan pulau sembilan. Objek ini juga bersebelahan langsung dengan gugusan pulau-pulau sembilan dan hutan bakau Tongke-Tongke. <br /><br /><br />f) WISATA BOGA<br /><br />• TPI LAPPA <br /><br />Wisata ini terletak di kelurahan Lappa kec. Sinjai Utara sekitar 4 Km Dari ibukota Sinjai. Berwisata di kabupaten sinjai tidaklah lengkap jika anda tidak berkunjung Ke TPI Lappa. Dalam kawasan TPI Lappa kita dapat menyaksikan kesibukan para nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di tempat ini. <br /><br />Selain itu kita dapat menikmati gurinya ikan segar yang anda dapat bakar sendiri atau dengan menggunakan jasa pemilik kios pembakaran ikan yang tersedia di tempat itu. Wisata ini ramai pada malam hari. Selain ikan segar kita dapat menikmati suguhan minuman khas sinjai, yakni Irex Sinjai yang terbuat dari Tape dicampur dengan Madu serta ramuan-ramuan lain yang rasanya sangat segar serta nikmat. Ditempat ini pula kita dapat menyebran ke kawasan gugusan pulau sembilan yang berjarak 3 mil laut dengan menggunakan perahu-perahu boot yang telah disiapkan oleh para penyewa kapal. Yang sangat profesional. <br /><br /><br />TEKNOLOGI<br /><br /> KAPAL PINISI DARI TANAH BERU<br /><br />Nelayan suku Bugis Makassar, yang dikenal sejak puluhan tahun silam sebagai pelaut ulung, mengarungi lautan luas Samudra Hindia menggunakan perahu kayu (perahu layar).<br /><br />Suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, abad silam. Mereka memiliki keberanian dan kemampuan mengarungi lautan dengan perahu layar, antar pulau di Indonesia maupun samudra yang memiliki entakan ombak besar untuk menjaring ikan maupun berdagang hasil bumi41<br /><br />Pelayarannya dari Indonesia ke Madagaskar menggunakan perahu layar yang sejauh ini tetap populer, yakni perahu kayu jenis pinisi. Suku Bugis Makassar yang merantau ke sana dengan menggunakan perahu jenis pinisi saat itu, kini keturunannya telah menjadi “mukimin” dan menjadi bagian komunitas warga Madagaskar.<br /><br />Diperoleh catatan, selain perahu jenis pinisi yang dikenal tangguh, terdapat jenis perahu lain yang biasa dipergunakan nelayan Bugis. Perahu Pinisi sendiri, merupakan jenis perahu dagang yang memiliki ukuran paling besar (20 sampai 100 ton), dibanding jenis-jenis perahu lainnya. Jenis perahu ini mampu mengarungi dan menjelajah lautan besar. <br /><br />Pada abad silam, perahu jenis pinisi juga dipergunakan untuk mengangkut bala tentara. Namun tidak dipergunakan untuk perang laut. Pinisi sebagai perahu niaga, dipimpin oleh seorang ana’koda (nakhoda). Kemudian juru mudi, juru batu serta awak perahu yang disebut sawi.<br /><br />Jenis perahu lainnya, adalah jenis Lambo Palari. Jenis ini lebih kecil dari pinisi, bobotnya (10 - 50 ton). Perbedaan lain dengan pinisi, Lambo hanya memiliki satu tiang agung dan layar utama, ditambah layar berlapis-lapis di bagian depan dan di puncak tiang agung. Jenis serupa Lambo Palari adalah Lambo Calabai.<br /><br />Kemudian jenis perahu lainnya, yang ukurannya lebih kecil adalah jenis Jarangka, Soppe dan Pajala. Jenis-jenis perahu yang lebih kecil ini mempergunakan layar segi empat yang mampu bergerak lincah mengarungi lautan. Dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan antar pulau sekitar Sulawesi Selatan, selain dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan jauh ke tengah lautan. Awak perahu Pajala berbeda dengan perahu dagang. Perahu nelayan ini, dipimpin seorang punjala (pemimpin dan pengemudi perahu –red<br /><br />Perajin Tana Beru<br /><br />Dewasa ini walau para pembuat kapal kayu motor sudah tersebar di pelosok nusantara, adalah perajin perahu di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan pinisi. Disinilah salah satu lokasi kemegahan pinisi dilahirkan.<br /><br />Tana Beru banyak memproduksi kapal pinisi. Kapal yang sampai sekarang masih banyak dipakai untuk melayari laut nusantara. Para pembuat perahu tradisional disini, secara turun-temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.<br /><br />Sebuah upacara ritual biasa dilakukan untuk memulai sebuah proses pembuatan perahu. Para perajin, sebelum memulai pekerjaannya, terlebih dahulu harus mencari hari atau waktu terbaik pencarian kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari bahan baku, adalah pada hari kelima dan ketujuh pada bulan berjalan. Angka lima, diartikan rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka tujuh berarti selalu dapat rezeki. <br /><br />Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang saat matahari sedang naik. Selain beberapa jenis perahu, juga terdapat alat (jaring) penangkap ikan yang sampai sekarang masih tetap dipergunakan nelayan Bugis. Perahu jenis pinisi, menjadi lambang keberanian anak bangsa dalam mengarungi lautan. Dalam abad 20 ini, pinisi kembali membuktikan ketangguhan melayari samudra, di antaranya mengikuti expo Vancouver di Kanada. Selain ekspedisi Amana Gappa, mengarungi Samudra Hindia menuju Madagaskar.<br /><br /><br />F. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI BUGIS MAKASSAR<br /><br />Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.<br /> <br />Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. <br /><br />Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. <br />Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah. <br /><br />Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG<br /> <br />MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 November 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.<br /><br />Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'. <br /><br /><br />Barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar.<br /> <br />Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.<br /><br />Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.<br /> <br />Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca revolusi.<br /> <br />Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha<br /><br />Pembangunan di daerah bugis-makassar baru berjalan pada tahun 1965 karena isu keamanan dan kestabilan politik. Pada dasarnya pembangunan di bugis-makassar sama dengan derah-daerah lain di Indonesia yang lebih mengedepankan aspek agraris. Pemberian teladan oleh pemerintah dalam bertani kemudian diikuti oleh masyarakat merupakan salah satu cara dalam memebangun sektor pertanian di daerah ini. Selain itu, usaha intensifikasi dan ekstensifikasi juga terus dilakukan.<br /> <br /><br />Potensi terbesar pada masyarakat bugis-makassar terletak pada sektor pelayaran rakyat dan perikanan, karena dua sektor tersebut berkaitan erat dengan kebudayaan nenek moyang mereka yang merupakan pelayar-pelayar hebat sejak beberapa abad lamanya. Secara alamiyah pun orang bugis-makassar memiliki bakat dalam hal pelayaran dan perikanan ini. <br /><br />Seperti daerah lain di Indonesia, pembangunan yang dilakukan selalu saja terhambata oleh suatu faktor. Faktor tersebut berupa tidak matangnya pemerintah dalam merencanakan tiap pembangunannya, baik dalam hal peraturan yang mengatur jalannya proyek ataupu masalah dana. Selain itu, masalah sosial yang menjadi salah satu faktor penting dalam pembangunan kerap kali menjadi salah faktor faktor penghambat pelaksanaan pembangunan yang seharusnya tidak perlu terjadi.<br /><br /><br /> <br />BAB III<br />PEMBAHASAN KEBUDAYAAN MAKASSAR<br /><br />A. SEJARAH KOTA MAKASSAR<br /><br />Sejak abad ke-16, Makassar merupakan pusat perdagangan yang dominan di Indonesia Timur, dan kemudian menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara. Raja-raja Makassar menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang ketat, di mana seluruh pengunjung ke Makassar berhak melakukan perniagaan di sana, dan menolak upaya VOC (Belanda) untuk memperoleh hak monopoli di kota tersebut. Selain itu, sikap yang toleran terhadap agama berarti bahwa meskipun Islam semakin menjadi agama yang utama di wilayah tersebut, pemeluk agama Kristen dan kepercayaan lainnya masih tetap dapat berdagang di Makassar. Hal ini menyebabkan Makassar menjadi pusat yang penting bagi orang-orang Melayu yang bekerja dalam perdagangan di kepulauan Maluku, dan juga menjadi markas yang penting bagi pedagang-pedagang dari Eropa dan Arab.<br /> Kepentingan Makassar menurun seiring semakin kuatnya Belanda di wilayah tersebut, dan semakin mampunya mereka menerapkan monopoli perdagangan rempah-rempah seperi keinginan mereka. Pada tahun 1667, Belanda, bersama dengan pangeran Bugis Arung Palakka, menginvasi dan merebut Makassar, sehingga menghapus statusnya sebagai pusat perdagangan yang independen. Peristiwa serangan itu menandai berdirinya Kota Makassar. Kota ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-400 pada 9 November 2007.<br />PemerintahanKota Makassar dibagi kepada 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah:<br /> <br />• Biring Kanaya <br />• Bontoala <br />• Makassar <br />• Mamajang <br />• Manggala <br />• Mariso <br />• Panakkukang <br />• Rappocini <br />• Tallo <br />• Tamalate <br />• Tamalanrea <br />• Ujung Pandang <br />• Ujung Tanah <br />• Wajo <br />B. SUKU MAKASSAR<br /><br />Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat Terbuka.<br /><br />Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.<br /><br />Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat Suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Dim anapun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa memerangi Belanda disana. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui.<br /><br />Sejarah Makassar masih sangat panjang. Generasi demi generasi yang terampas harga diri dan kepercayaan dirinya sedang bangkit bertahap demi bertahap sambil berusaha menyambung kebesaran nama Makassar, "Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku. Tamammelokka Punna Teai Labuang.<br /><br />C. TRANSPORTASI<br /><br />1. Transportasi Udara<br /><br />Kota Makassar mempunyai sebuah bandara internasional, Bandara Hasanuddin.<br /><br />2. Transportasi Darat<br /><br />• Pete-pete<br /> <br />Di kota Makassar terdapat sekitar 6000 bus mini atau juga dikenal dengan sebutan pete-pete yang menjadi komuter utama di kota ini. Jumlah pete-pete di kota ini seringkali dianggap terlalu banyak mengingat kota ini hanya membutuhkan sekitar 3000 pete-pete. Hal ini berarti terdapat 2 pete-pete untuk seorang komuter. <br /><br />• Bus<br /> <br />Pada umumnya bus hanya digunakan untuk transportasi dalam skala besar dan bus tidak bersifat publik di dalam kota. Pada umumnya untuk skala antar kota.Kini Angkutan tersebut dikonfersi menjadi Bus Way. Pemerintah akan membangun Infrasturktur tersebut 2008 mendatang.<br /><br />• Taksi<br /> <br />Taksi adalah komuter paling eksklusif di kota ini.<br /><br />• Becak <br /><br />Makassar terkenal dengan angkutan tradisional becak. Jumlahnya sendiri mencapai 1.500 unit. Pemerintah setempat memberlakukan becak untuk pariwisata. Khusus beroperasi disekitar kawasan wisata saja. Tarifnya tergantung kesepakatan dengan penggayung.<br /><br />D. BUSANA TRADISIONAL MAKASSAR<br /><br />Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar. Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.<br /><br />Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis. <br /><br />Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya. <br /><br />Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.<br /> <br /><br />Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau. <br /><br />Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya. <br /><br />Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria. <br /><br />Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu. <br /><br />Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii. <br /><br />Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.<br />FALSAFAH “SIPAKATAU”<br /><br />Sesungguhnya budaya Makasar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.<br /><br /><br />Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.<br /><br />Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.<br /><br />Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.<br /><br />Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata. <br /><br />Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab<br /><br /><br />BABIV<br />PENUTUP<br /> <br />Suku Bugis, Makassar, adalah suku-suku yang mendiami Sulawesi Selatan. Masing-masing suku-suku tersebut mempunyai adat istiadat yang khas dan berbeda-bada. Perbedaan tersebut meliputi dalam hal bahasa, kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, dan produk-produk budaya lainnya. <br /><br />Suku Bugis suku terbesar ketiga setelah Jawa dan Sunda. Hal ini disebabkan karena Suku Bugis tersebar di beberapa bagian Indonesia. Sejak zaman dahulu Suku Bugis terkenal sebagai suku perantau yang suka berlayar ke daerah lain. Perjalanan ini dilakukan dengan kapal yang sangat terkenal bernama kapal pinisi. Kapal ini terkenal sebagai kapal yang sangat tangguh. Pembuatannya pun dengan ritual tertentu. Selain kapal pinisi, di suku ini juga terkenal dengan adanya Bissu dalam kepercayaan sebelum Islam masuk. Bissu dianggap sebagai seorang yang ahli dalam adat, walaupun Bissu ini sebenarnya adalah waria.<br /><br />Suku Makassar, identik dengan Suku Bugis. Beberapa unsur kebudayaan suku ini mirip dengan unsur budaya suku Bugis. Makanan khas suku ini adalah Coto Makassar yang terkenal enak dan sekarang telah ada di seluruh penjuru Indonesia.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />http://sayapbidadari.blogspot.com/2007/06/pakaian-adat-baju-bodo.html<br />http://www.angingmammiri.org/lomba/ <br />http://enrekang.iblog.com/post/205827/307403<br />www.makassarkota.go.id<br />http://caffe-pojok.forumsline.com/sulsel-f49/our-big-culture-t338.htm<br />http://indonesianmuslim.com/religi-tradisi-dan-seni-di-sulawesi-selatan.html<br />http://id.wikipedia.org/wiki<br />http://www.sabah.org.my/bm/daerah/daerah/twu/tawau/bugis.htm<br />http://sulawesi.cseas.kyoto-u.ac.jp/lib/pdf/Yahya.pdf.<br />http://buginese.blogspot.com/2007_01_01_archive.html<br />http://www.ranesi.nl/dialog/bugis_lagaligo070531<br />http://www.korantempo.com/news/2004/3/18/Budaya/54.html<br />http://buginese.blogspot.com/2007/12/kultur-haji-bagi-bugis-makassar.html<br />http://reipras94.multiply.com/journal/item/84<br />http://www.duniaesai.com/antro/antro5.html<br />http://www.shanemacpherson.com/Karyasukubangsabugis.htm<br />http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/21/nas07.html<br />http://www.geocities.com<br />http://www.heritage.gov.my/kekkwa/viewbudaya.php?id=106<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR ISI<br /><br />Bab 1 <br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-71939171020467314752008-11-19T23:09:00.000-08:002008-11-19T23:15:50.826-08:00Kebudayaan BetawiSejarah Nama Betawi<br />Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Koordinatnya adalah 6°11′ LS 106°50′ BT. Pada tahun 2004, luasnya adalah sekitar 740 km² dan penduduknya berjumlah 8.792.000 jiwa. <br />Nama Jakarta dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta. Nama ini diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sansekerta jayakarta. Nama lain atau sinonim "Jayakarta" pada awal adalah "Surakarta".<span class="fullpost"> <br />Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibukota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern: dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibukota Tarumanagara yang disebut Sundapura.<br />Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.<br />Orang Eropa pertama yang datang ke Jakarta adalah orang Portugis. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah di mana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak keburu menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk sahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni adalah berdasarkan tragedi penaklukan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527 dan mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan".<br />Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16 dan pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menaklukan Jayakarta dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Dalam masa Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting.<br />Penjajahan oleh Jepang dimulai pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949. Jadi, asal muasal nama Betawi bukanlah nama yang sesungguhnya di berikan kepada suku ini, nama Betawi merupakan turunan kata/ penyesuaian lidah dari Batavia. Nama Batavia-pun ada di Negara Bagian New York. Bahkan kota Batavia pernah menjadi role model bagi Belanda untuk membangun New Amsterdam sebuah kota di pinggir sungai Hudson, setelah ditaklukkan Inggris kota itu berubah nama menjadi New York.<br /><br />B. Suku Betawi <br />Ada suku yang sangat unik, metropolis, mengenal budaya kota jauh lebih dulu ketimbang New York yang urban, suku itu adalah suku Betawi, bagi kita yang tinggal di Jakarta suku betawi sesungguhnya tidak asing bahkan menjadi bagian budaya dari orang-orang yang lahir dan besar di Jakarta. Betawi bagi sementara orang merupakan hal yang identik dengan Jakarta. Namun sejak pembangunan besar besaran kota Jakarta yang dimulai sejak terselenggaranya Asian Games 1962 dan Ganefo, juga runtuhnya pemerintahan Sukarno yang menaikkan Suharto di tahun 1967 berakibat banyak sekali terhadap suku asli Betawi. Faktor lokasi-lah yang menyebabkan suku betawi menjadi semakin berjarak dengan Jakarta.<br />Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.<br />Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.<br />Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.<br />Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).<br />Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, banyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.<br />Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.<br />Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.<br />Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.<br />Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18<br />Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.<br />Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.<br />Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.<br />Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.<br />Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.<br />Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.<br />Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara<br /><br />C. Mata Pencaharian<br />Dulunya mata-pencaharian orang Betawi bisa dibedakan antara mereka yang berdiam di tengah kota dan yang berada di daerah pinggiran, tetapi sekarang sudah sulit membedakan wilayah tengah kota dan pinggiran itu. Mereka yang berada di tengah kota menunjukkan mata pencaharian yang bervariasi, misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintah, pegawai swasta, buruh, tukang seperti membuat meubel. Orang betawi yang berdiam di wilayah klender yang dulu termasuk wilayah pinggiran, ini hampir bisa dikatakan di tengah kota. Orang betawi klender ini secara turun-temurun hidup dari pembuatan barang-barang meubel dan kini menjadi salah satu pusat industri terkenal di Jakarta. Orang Betawi yang berada di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah, buah-buahan, pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara mereka banyak yang menjadi buruh pebrik, pegawai, dan lain-lain. Areal pertanian yang dulunya masih luas, kini semakin sempit dan berubah menjadi daerah peerumahan, kawasan industri, pemukiman baru, dan lain-lain. Kawasan Condet di Jakarta timur dulu secara dominan dihuni oleh petani betawi yang terkanal dengan tanaman buah-buahannya. Karena itu pemerintah DKI pernah memutuskan menjadikan daerah ini menjadi kawasan cagar budaya dengan maksud melestarikan budaya betawi dengan mempertahankan ekosistemnya. Namun, perkembangan kota, perkembangan masyarakat betawi dan masyarakat Jakarta pada umumnya menyebabkan gagasaan cagar budaya itu agaknya hanya akan berahir menjadi sebuah impian.<br /><br />D. Sistem Kekerabatan Masyarakat Betawi<br />Dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum perpisahan berlangsung. Ada pengantin baru yang sesudah menikah menetap di sekitar kediaman kerabat suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di sekitar lingkungan kerabat isteri (matrilokal). Pada masa lalu, setiap orang tua selalu bercita-cita membuat rumah (ngerumahin) bagi anaknya yang telah menikah. Yang membuat rumah itu mungkin orang tua pihak laki-laki atau orang tua pihak perempuan. Pada saat sudah dibuatkan rumah itulah, pasangan ini berdiri sendiri atau lepas dari tanggung jawab orang tua. Di pihak lain orang tua pada umumnya cenderung menyandarkan hidup di hari tuanya pada anak perempuan. Mereka merasa anak perempuan sendiri akan lebih telaten mengurus orang tua daripada menantu perempuan, meskipun mereka tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. <br />Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sistem kekerabatanya, pada umumnya menganut sistem patrilineal yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja. Karena itu mengakibatkan tiap-tiap individu dalam masyarakat memasukan semua kaum kerabat ayah dalam hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibu diluar garis hubungan kekerabatannya. <br /><br />E. Agama<br />Kebanyakan orang betawi menganut agama Islam, menurut H. Mahbub Djunaidi kebudayaan betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan agama Islam. Agama Islam sangat mengakar dalam kebudayaan Betawi terlihat dalam berbagai kegiatan masyarakat betawi dalam menjalani kehidupan. Pengaruh agama Islam juga sampai dalam bidang pendidikan, bagi orang betawi tempo doeloe orang yang tidak bisa membaca huruf arab dianggap buta huruf sehingga mereka cenderung mengesampingkan pendidikan formal.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />BAB III<br />PRODUK BUDAYA<br /><br />A. Bahasa<br />Bahasa Betawi merupakan bahasa sehari-hari suku asli ibu kota negara Indonesia yaitu Jakarta. Bahasa ini mempunyai banyak kesamaan dengan Bahasa resmi Indonesia yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Betawi merupakan salah satu anak Bahasa Melayu, banyak istilah Melayu Sumatra ataupun Melayu Malaysia yang digunakan dalam Bahasa Betawi, seperti kata "niari" untuk hari ini.<br />Persamaan dengan bahasa-bahasa lain di Pulau Jawa, walaupun ada bermacam-macam Bahasa, seperti Bahasa Betawi, Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Madura, dan lain sebagainya tetapi hanya Bahasa Betawi yang bersumber kepada Bahasa Melayu seperti halnya Bahasa Indonesia. Bagi Orang Malaysia mendengar Bahasa ini mungkin agak sedikit tidak faham, kerana bahasa ini sudah bercampur dengan bahasa-bahasa asing, seperti Belanda, Bahasa Portugis, Bahasa Arab, Bahasa Cina, dan banyak Bahasa-Bahasa lainnya. Tetapi Bahasa ini adalah Bahasa yang termudah dimengerti oleh Orang Malaysia dibandingkan Bahasa Pulau Jawa yang lain selain Bahasa Indonesia.<br />Ciri khas Bahasa Betawi adalah mengubah akhiran "A" menjadi "E". sebagai contoh, Siape, Dimane, Ade Ape, Kenape. tetapi "E" di Jakarta dan Malaysia berbeda. "E" dalam Bahasa Betawi merupakan "E" dengan aksen tajam seperti "E" dalam kata "NET". Daerah lain di Indonesia yang mengubah akhiran "A" menjadi "E" adalah Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat dan Bali. walaupun tidak semua Masyarakat mengubah akhiran "A" menjadi "E". ada pula penduduk di lima daerah tersebut yang mengubah akhiran "A" menjadi "O". "E" yang digunakan di lima daerah tersebut serupa dengan "E" yang digunakan Masyarakat Malaysia.<br />Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.<br />Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.<br />Bahasa daerah juga digunakan oleh para penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minang, bahasa Batak, bahasa Madura, bahasa Bugis, dan juga bahasa Tionghoa. Hal demikian terjadi karena Jakarta adalah tempat berbagai suku bangsa bertemu. Untuk berkomunikasi antar berbagai suku bangsa, digunakan Bahasa Indonesia.<br />Selain itu, muncul juga bahasa gaul yang tumbuh di kalangan anak muda dengan kata-kata yang terkadang dicampur dengan bahasa asing. Beberapa contoh penggunaan bahasa ini adalah Please dong ah!, Cape deh!, dan So what gitu loh!.<br /><br />B. Makanan<br />▪ Nasi Uduk Betawi<br />Cara penyajiannya unik. Nasi dibungkus dengan daun pisang, sehingga aroma bumbu dan rempah-rempah tetap menyatu pada nasi. Ada taburan daun bawang goreng dan ditambah lagi dengan ayam goreng bumbu kuning, yang sudah sangat terkenal. Sajian ini diramu dari 15 macam bumbu dapur yang diolah secara tradisional. Rasa dan aroma dari ayam goreng bumbu kuning ini sangat khas. Bumbunya sangat meresap sampai ke tulang dan sangat empuk serta gurih rasanya. Ditambah dengan sambal yang khas juga sambal kacangnya. Apalagi dipadu dengan lalapan ketimun, rebusan kol, serta daun kemangi, yang pasti menambah selera makan jadi enak.<br /> <br />▪ Kerak Telor<br />Makanan ini terbuat dari telor yang dicampur dengan beras ketan dan dimakan bersama kelapa gongseng.<br />▪ Gado-gado<br />Makanan ini merupakan salad versi betawi, tetapi sayurannya direbus. Bumbunya adalah bumbu kacang.<br />▪ Dodol betawi<br />Dodol betawi ini biasanya dihidangkan pada saat lebaran dan juga pada acara pernikahan.<br />▪ Tape uli<br />Makanan tape terbuat dari ketan yang difermentasikan dengan ragi. Sedangkan terbuat dari ketan juga, tapi dikukus lalu ditumbuk. Biasa dihidangkan ketika lebaran ayaupun pada acara pernikahan.<br />▪ Soto Betawi<br />Soto Betawi ini dibuat dengan menggunakan daging sapi, santan, daun salam, sereh, lengkuas, daun jeruk, bawang merah, bawang putih, kemiri, kunyit, garam dan merica.<br />▪ Bir Pletok<br />Bir asli Betawi, dan dijamin halal. Cocok untuk diminum pada cuaca dingin. Konon dibuat karena orang Betawi tidak mau kalah dengan sinyo & noni Belanda yang sering berpesta meminum bir. Bisa jadi minuman ini sebenarnya sudah lama dikenal masyarakat Betawi, hanya namanya saja yang diubah untuk menyindir kebiasaan minum-minum kaum penjajah. <br />Minuman dari jahe dan tanpa fermentasi apapun ini dijamin lebih lezat, lebih wangi, dan lebih menyehatkan daripada wedang jahe/bandrek. Seorang herbalis menyatakan, secara umum, gabungan beberapa komponen menghasilkan khasiat yang lebih tinggi dan efek samping yang lebih rendah daripada satu komponen saja. Dan semua bahan yang digunakan mengandung zat berkhasiat. Dampak dari meminum ini secara teratur membuat badan lebih fit, bobot sedikit berkurang, dan memperlancar buang air besar. <br />Diberi nama plektok karena kabarnya, di jaman dulu itu, dibuatnya di dalam tempurung kelapa yang dikocok-kocok dan berbunyi 'pletak-pletok'. Bir pletok ini dibuat dari jahe, gula pasir, sereh, daun pandan, daun jeruk purut, kayu manis, cengkeh, pala, kayu secang dan air.<br /><br />C. Upacara-upacara Adat<br />▪ Upacara Perkawinan<br /> Upacara perkawinan adat Betawi ditandai dengan serangkaian prosesi. Didahului masa perkenalan melalui Mak Comblang. Dilanjutkan lamaran. Pingitan. Upacara siraman.Prosesi potong cantung atau ngerik bulu kalong dengan uang logam yang diapit lalu digunting.Malam pacar, mempelai memerahkan kuku kaki dan kuku tangannya dengan pacar.Puncak adat Betawi adalah Akad nikah. Mempelai wanita memakai baju kurung dengan teratai dan selendang sarung songket. Kepala mempelai wanita dihias sanggul sawi asing serta kembang goyang sebanyak 5 buah, serta hiasan sepasang burung Hong. Dahi mempelai wanita diberi tanda merah berupa bulan sabit menandakan masih gadis saat menikah. Mempelai pria memakai jas Rebet, kain sarung plakat, Hem, Jas, serta kopiah. Ditambah baju Gamis berupa Jubah Arab yang dipakai saat resepsi dimulai. Jubah, Baju Gamis, Selendang yang memanjang dari kiri ke kanan serta topi model Alpie menandai agar rumah tangga selalu rukun dan damai.<br />Prosesi Akad Nikah Mempelai pria dan keluarganya datang naik andong atau delman hias. Disambut Petasan. Syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Al Quran.Pada akad nikah, rombongan mempelai pria membawa hantaran berupa:sirih, gambir, pala, kapur dan pinang.Artinya segala pahit, getir, manisnya kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami istri.Maket Masjid,agar tidak lupa pada agama dan harus menjalani ibadah shalat serta mengaji. Kekudang,berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan sebagainya. Mahar atau mas kawin Pesalinan berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, lasem, kosmetik, sepasang roti buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu mencari makan bersama-sama. <br />Petisie yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misalnya wortel, kentang, telur asin, bihun, buncis dan sebagainya.<br />Akad nikah dilakukan di depan penghulu. Setelah akad nikah selasai dibunyikanlah petasan, sebagai tanda pada masyarakat bahwa kedua mempelai telah sah menjadi suami istri. <br />Setelah itu ada beberapa rangkaian acara:<br />▪ Mempelai pria membuka cadar pengantin wanita untuk memastikan pengantin tersebut adalah dambaan hatinya. <br />▪ Mempelai wanita mencium tangan mempelai pria.<br />▪ Kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan. <br />▪ Dihibur Tarian kembang Jakarta <br />▪ Pembacaan doa berisi wejangan untuk kedua mempelai dan keluarga kedua belah pihak yang tengah berbahagia.<br />Pengantin laki-laki dengan dandanan cara haji, biasanya menggunakan tutup kepala yang disebut alpia atau alpie. Topi pengantin laki-laki yang berasal dari tanah suci Mekah ini tingginya 15 - 20 cm dan dililit dengan sorban kain, warna putih, gading atau kadang-kadang kuning. Ron je atau untaian bunga melati yang ujung bawahnya ditutup bunga cempaka dan ujung atasnya diberi sekuntum mawar merah, diletakkan sebanyak 3 (tiga) untai di pinggir kiri alpia. Terkadang di bagian atas disematkan sepasang kembang goyang. Mengenai tata rias wajah, tidak ada yang khusus. Hanya sedikit bedak yang ditaburkan di wajah agar terkesan rapi. Biasanya kumis dan cabang juga dirapihkan agar tampak bersih.<br />Busana yang dikenakan berupa jubah terbuka, yang agak longgar dan besar. Bagian jubah ini, biasanya dihiasi dengan emas dan manik-manik bermotif burung hong, bunga-bungaan, kubah mesjid dan lain sebagainya. Sebelum mengenakan jubah, biasanya seorang pengantin laki-laki memakai gamis (baju dalam) polos berwarna muda yang panjangnya kira-kira sampai mata kaki -dan tidak boleh melebihnya. Gamis lebih panjang sekitar 10 cm dari jubah. Sebuah selempang berhiaskan mute sebagai tanda kebesaran pun dikenakan boleh di dalam maupun di luar jubah. Sebagai alas kaki, biasanya digunakan sepatu kulit dengan kaos kaki yang merupakan pengaruh Belanda sejak abad ke 19. Namun, masih ada pula pengantin yang mengenakan selop atau terompah. <br />Keterpaduan berbagai unsur budaya muncul dalam kekayaan busana pengantin wanita Betawi yang terkesan meriah. Tuaki, adalah baju bagian atas (blus) yang dikenal memiliki 2 (dua) model, yaitu model shianghai (Cina), dan model baju kurung (Melayu). Syarat utama dari tuaki ini adalah bahannya yang polos. Motif-motif hiasan emas, mote atau manik-manik yang diletakan di ujung lengan, daerah sekitar dada, bagian bawah baju sangat bervariasi. Dari ragam hias geometris, bunga-bunga sampai motif burung hong. <br />Ciri khas model shianghai adalah krahnya yang tertutup. Lengan panjangnya diberi benang karet pada pergelangan. Model yang mengikuti bentuk badan sipemakai, panjangnya sebatas pinggul. Biasanya diberi pemanis dengan tambahan kain pada pinggiran bawah tuaki yang dirimpel keliling. Tuaki bentuk baju kurung, modelnya seperti baju kurung Melayu umumnya. Panjang lengan agak longgar. <br />Padanan tuaki adalah kun, yaitu rok melebar ke bawah dengan panjang sampai ke mata kaki. Kun juga di beri hiasan benang tebar dengan kombinasi sesuai tatahan motif pada tuaki. Warna yang terbuat dari bahan polos ini pun disesuaikan dengan warna tuaki. Warna-warna cerah yang dipilih, baik dari bahan satin ataupun beludru, serta gemerlapan hiasan tuaki dan kun ini melambangkan suka cita dan keceriaan kedua pengantin dan seluruh kelua-rganya. <br />Model baju yang sangat sederhana pada busana adat pengantin wanita Betawi ini, tampil begitu meriah dengan perlengkapan yang serba unik. Teratai, yaitu perhiasan penutup dada dan bahu adalah salah satu ciri yang sangat khas. Hiasan ini terbuat dari bahan beludru bertatahkan hiasan logam pada permukaannya dengan motif bunga tanjung. Aslinya adalah emas, namun saat ini umumnya menggunakan mute. Teratai ini berjumlah 8 (delapan) lembar kecil, yang kemudian dirangkai menjadi susunan delapan daun teratai yang simetris. <br />Keunikan lainnya terdapat pada tata rias di bagian kepala. Rambut disanggul dengan model buatun atau konde cepol tanpa sasakan. Caranya adalah dengan melilitkan secara berputar, sehingga membentuk 3 (tiga) tingkat lingkaran, yang kemudian dipadatkan dengan tusuk konde. Ketiga tingkat lingkaran ini melambangkan siklus kehidupan yang dimulai dari kelahiran, kehidupan dan kematian. Letak sanggul di tengah-tengah agak ke atas memperlihatkan tengkuk pengantin. Bersih atau tidaknya tengkuk yang tampak, merupakan pertanda apakah pengantin wanita mampu menjadi ibu rumah tangga yang mampu memelihara kebersihan fisik dan rohani dalam kehidupan berumah tangga atau tidak.<br />Hiasan kepala yang digunakan cukup kompleks. Salah satunya yang unik adalah siangko bercadar yang melambangkan kesucian seorang gadis. Siangko bercadar selalu berwarna emas, karena aslinya terbuat dari emas, atau bahan perak. Biasanya dihiasi batu-batu permata, bahkan ada yang bertahtakan intan berlian. Panjang cadarnya 30 cm, terbuat dari manik-manik. Saat ini banyak digunakan mote pasir dengan gumpalan benang wol merah di ujungnya. Selain yang bercadar, siangko lainnya jumlah 3 (tiga) buah. Dipakai di belakang sanggul sebagai penutup ikatan siangko bercadar. Siangko bercadar yang berfungsi menutupi wajah pengantin wanita merupakan lambang kesuciannya, yang disimbolkan dengan tidak boleh dilihatnya wajah mempelai putri oleh orang lain. Di atas Siangko bercadar ini, diletakkan sigar atau mahkota dengan motif bungabungaan yang dipenuhi permata. Hiasan rambut lainnya adalah tusuk paku atau kembang paku berjumlah 10 buah atau lebih yang dimaksudkan sebagai penolak bala. Tusuk bunga atau kembang tancep berjumlah 5 buah yang melambangkan rukun Islam, kewajiban yang harus dijalankan oleh pengantin sebagai seorang Muslim. <br />Kembang goyang yang berjumlah 20 buah, juga dikarenakan sebagai hiasan rambut bersama dengan 2-4 buah kembang kelapa yang dipasang di kiri dan kanan sanggul. Apabila kembang goyang melambangkan pengakuan terhadap 20 sifat kebesaran Allah, yang wajib diturunkan dan diajarkan pada anak keturunannya kelak; maka kembang kelapa merupakan simbol pengharapan agar perkawinan yang dilakukan tetap kokoh, kuat seperti pohon kelapa, sehingga akan menjadi perkawinan yang langgeng, sejahtera dan bahagia. <br />Hiasan burung hong atau dikenal dengan sebutan kembang besar atau kembang gede adalah hiasan lain yang tidak boleh ketinggalan. Jumlahnya yang empat buah melambangkan 4 (empat) sahabat Rasullullah, Nabi Besar Muhammad SAW. Sementara itu, burung hong sendiri dianggap sebagai simbol burung surga yang melambangkan kebahagiaan kedua pengantin. Letak burung hong ini juga memiliki arti tersendiri, yang berkaitan dengan kecocokan antara pihak keluarga kedua pengantin. <br />Dari hiasan kepala pengantin wanita yang telah dikemukakan, satu bentuk perhiasan yang dipercaya memiliki kekuatan magis adalah sunting atau sumping telinga. Apabila sunting ini dipakai oleh seorang pengantin yang tidak perawan atau tidak gadis lagi, maka si pemakai akan pusing-pusing dan bahkan pingsan. Selain sunting, sebagai pelengkap yang menunjang keserasian, biasanya telinga pengantin dihias dengan sepasang kerabu. Kerabu ini merupakan perpaduan anting dan giwang yang dijadikan satu. Tusuk konde berupa pasak berbentuk huruf leam (huruf Arab) merupakan simbol pengakuan akan keesaan Allah ditusukkan di atas siangko kecil penutup simpul tali cadar. Sebelum rerurub atau ruruban, yaitu sebuah kerudung dari kain halus dan tipis, ditutupkan ke seluruh riasan wajah pengantin wanita, di beberapa daerah di atas dahi pengantin diberi tanda berbentuk bulan sabit. Tanda bulan sabit berwarna merah ini merupakan perlambang bahwa si gadis telah menjadi pengantin. Sementara ruruban merupakan tanda kesuciannya. <br />Selain perhiasan untuk kepala, pengantin wanita juga mengenakan perhiasan berupa kalung lebar yang dipakai melingkar leher di atas teratai Betawi. Gelang listring dan gelang selendang mayang, serta cincin emas yang berhiaskan permata menjadi hiasan lengan, pergelangan tangan dan jari pengantin wanita. <br />Keunikan juga tampak pada alas kaki yang digunakan. Mempelai wanita mengenakan selop berbentuk perahu kolek, dengan ujung melengkung ke atas dan dihias dengan tatahan emas dan manikmanik, atau mute. <br />Aslinya seluruh perhiasan yang dikenakan oleh pengantin wanita Betawi terbuat dari emas dan dihiasi intan permata. Namun saat ini, umumnya hanya merupakan sepuhan warna emas, sedangkan hiasannya lebih banyak menggunakan mute. <br />Variasi pakaian pengantin Betawi ini dapat ditemui di beberapa daerah. Seperti misalnya di daerah pinggiran, pengantin laki-laki mengenakan stelan jas lengkap dengan kopiah hitam dan kacamata hitam. Sementara pengantin wanita memakai slayer dan sarung tangan putih, yang juga dilengkapi dengan mahkota dan kacamata. <br />Adapun pakaian yang kini dikenal dengan busana "Abang dan None Jakarta" merupakan kombinasi dari busana pengantin rias bakal untuk pria, dengan busana wanita Betawi sehari-hari. Busana pengantin rias bakal, bagi mempelai pria terdiri dari jas tutup, celana panjang, ikat pinggang dan iiskoi motif lokcan. Perlengkapan busana ini adalah kuku macan, gelang bahar, pisau raut, bros dan untaian melati. <br />Mempelai putri menggunakan baju kurung tabur, sarung songket, selendang dan celemek. Sementara hiasan kepalanya tidak serumit dandanan rias besar putri. Busana ini biasanya dikenakan setelah akad nikah.<br />▪ Upacara Nuju Bulanan<br />Upacara selamatan ketika usia kandungan mencapai tujuh bulan yang hanya diselenggarakan pada kehamilan pertama. Tujuan upacara ini adalah mensyukuri nukmat Tuhan, memohon keselamatan, berisi harapan agar anak yang akan lahir itu menjadi anak yang soleh, berbudi luhir da patuh pada orang tua. Itulah sebabnya dalam upacara ini dibaca kitab suci Al-Qur’an, khusunya surat Yusuf. Isi surat ini menggambarkan ketampanan nabi Yusuf, keluhuran akhlaknya, dan kepatuhannya terhadap orang tua. Lalu terselip harapan semoga anak yang lahir mendekati sifat nabi Yusuf.<br />▪ Upacara Kerik Tangan<br />Upacara berupa serah terima tugas perawatan bayi dari dukun bayi kepada keluarga si bayi. Intinya berupa ungkapan terima kasih dari keluarga kepada sang dukun atas keikhlasan.<br />▪ Upacara Sunatan<br />Orang Betawi melaksanakan khitanan yang disebut Sunatan atau Pengantin Sunat, untuk memenuhi ketentuan agama dan kesehatan. Anak laki-laki yang disunat berusia 5 sampai 10 tahun. Rangkaian acara sunat itu terdiri dari acara mengarak, menyunat, dan selamatan. Anak yang disunat mengenakan “pakaian pengantin” dan diarak keliling kampong. Kadang-kadang anak yang disunat naik kuda dan disertai bunyi-bunyian seperti rebana. Bunyi-bunyian tersebut untuk menarik perhatian masyaraka sekitarnya terutama anak-anak untuk memperpanjang arak-arakan itu. Hal ini menyebabkan anak yang akan disunat menjadi gembira. Acara sunatan sendiri dilaksanakan keesokan harinya. Setelah anak itu disunat, dibunyikan petasan sebagai tanda pemberitahuan bahwa anak itu telah disunat. Setelah itu diadakanlah selamatan. Bagi yang mampu dilanjutkan dengan hiburan seperti lenong dan topeng. <br /> <br /><br />E. Kesenian<br />Dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Namun bila dikaji pada permukaan wajahnya sering tampak unsur-unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. <br />Jadi tidaklah mustahil bila bentuk kesenian Betawi itu sering menunjukkan persarnaan dengan kesenian daerah atau kesenian bangsa lain. <br />Bagi masyarakat Betawi sendiri segala yang tumbuh dan berkembang ditengah kehidupan seni budayanya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaannya itu. Demikian pulalah sikap terhadap keseniannya sebagai salah satu unsur kebudayaan yang paling kuat mengungkapkan ciriciri ke Betawiannya, terutama pada seni pertunjukkannya.<br />Berbeda dengan kesenian kraton yang merupakan hasil karya para seniman di lingkungan istana dengan penuh pengabdian terhadap seni, kesenian Betawi justru tumbuh dan berkernbang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaannya. Oleh karena itu kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyat. <br />▪ Tari-tarian<br />Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tionghoa seperti tariannya yang memiliki corak tari Jaipong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.<br />Dewasa ini orkes gambang kromong biasa digunakan untuk mengiringi tari pertunjukan kreasi baru, pertunjukan kreasi baru, seperti tari Sembah Nyai, Sirih Kuning dan sebagainya, disamping sebagai pengiring tari pergaulan yang disebut tari cokek. Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irarna garnbang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki.<br />Setelah itu mereka untuk menari bersarna,dengan mengalungkan selendang pertama-tama kepada tarnu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna.<br />Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk ronde bergoyang-goyang. Orkes gambang kromong biasa pula mengiringi teater lenong. Teater rakyat Betawi ini dalam beberapa segi tata pentasnya mengikuti pola opera Barat, dilengkapi dekor dan properti lainnya, sebagai pengaruh komedi stambul, komedi ala Barat berbahasa Melayu, yang berkernbang pada awal abad ke- duapuluh.<br />Tari Betawi yang sepenuhnya merupakan aneka gerak pencak silat disebut tari silat. Tari ini ada yang diiringi tabuhan khusus yang disebut gendang pencak. Iringan lainnya yang juga bisa digunakan ialah garnbang kromong, gamelan topeng dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Betawi terdapat berbagai aliran silat seperti aliran Kwitang, aliran Tanah Abang, aliran Kemayoran dan sebagainya. Gaya-gaya tari silat yang terkenal antara lain gaya seray, gaya pecut, gaya rompas dan gaya bandul. Tari silat Betawi menunjukkan aliran atau gaya yang diikuti penarinya masing-masing.<br />Enjot-enjotan dan Gegot. Tari-tarian tersebut bukan saja digemari oleh para pendukung aslinya, tetapi juga telah banyak mendapat tempat di hati masyarakat yang lebih luas, termasuk kelompok etnis lain.<br />Beberapa penata tari kreatif telah berhasil menggubah beberapa tari kreasi baru dengan mengacu pada ragam gerak berbagai tari tradisi Betawi, terutama rumpun Tari Topeng. Tari kreasi baru itu antara lain adalah Tari Ngarojeng, Tari Ronggeng Belantek, Gado-gado Jakarta. Karya tari ini ternyata mampu memukau penonton, bahkan juga sampai pada Forum Internasional yaitu dalam Festival Tari Antar Bangsa.. Berbagai seni pertunjukan tradisional Betawi telah berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan masyarakat pendukungnya serta merupakan daya pesona tersendiri pada wajah kota Jakarta Untuk dapat menilkmati dan menilainya tiada cara lain yang lebih tepat kecuali menyaksikannya sendiri. <br />Disiplin Jenis Kesenian Betawi Ragam<br />TARI Rebana Biang / Tari Belenggo -<br /> Gambang Kromong/ Cokek Pergelaran Biasa <br />Tari Sipatmo<br /> Tanjidor/ Tari Topeng Tanji Tanjidor<br />Tanji Godot (Tanji dg alat musik gesek)<br />Tanji Seketre<br />Kliningan Tanji<br /> Gamelan Ajeng/Topeng Gong Pergelaran Biasa<br />Kliningan Bajidor<br /> Permainan Ujungan Pertandingan Ujungan<br />Tari Uncul<br /> Tari Zafin Pergelaran Biasa (Tari)<br />Orkes Gambus (Musik)<br /><br />▪ Musik<br />Dalam dunia musik Betawi terdapat perbauran yang harmonis antara unsur priburni dengan unsur Cina, dalam bentuk orkes gambang kromong yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang,kromong, kemor, kecrek, gendang, kempul dan gong adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek Cina yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu Cina yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhwa, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan Cina <br />Pada pertengahan abad ke- delapan belas di Jakarta, yang dikenal sebagai penggemar musik. Atas prakarsanyalah terjadi penggabungan alat-alat musik yang biasa terdapat dalarn gamelan pelog slendro dengan yang dari Tiongkok. Terutama orang- orang peranakan Cina, seperti halnya Nie Hu-kong, lebih dapat menikmati tarian dan nyanyian para ciokek, yaitu para penyanyi ciokeks merangkap penari pribumi yang biasa diberi nama bunga-bunga harurn di Tiongkok, seperti Bwee Hoa, Han Siauw, Hoa, Han Siauw dan lain-lain. Pada masa-masa lalu orkes garnbang kromong hanya dimiliki oleh babah- babah peranakan yang tinggal di sekitar Tangerang dan Bekasi, selain di Jakarta sendiri. <br />Pengaruh Eropa yang kuat pada salah satu bentuk musik rakyat Betawi, tampak jelas pada orkes tanjidor, yang biasa menggunakan klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya. Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak digunakan oleh grup-grup tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa jayanya penguasa kolonial(tempo doeloe), dengan alat-alat setua itu tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi helaran atau arak-arakan pengantin Membawakan lagu-lagu barat berirama imarsi dan (Wals) yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena telah disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari generasi kegenerasi. Orkes tanjidor mulai timbul pada abad ke 18. VaIckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang pemain alat musik tiup, digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling Cina dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta. Karena biasa dimainkan oleh budak-budak, orkes demikian itu dahulu disebut Slaven-orkes. Dewasa ini tanjidor sering ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu dan untuk memeriahkan arak-arakan. <br />Musik Betawi lainnya yang banyak memperoleh pengaruh Barat adalah kroncong tugu yang konon berasal dari Eropa Selatan. Sejak abad ke 18 musik ini berkembang di kalangan Masyarakat Tugu, yaitu sekelompok masyarakat keturunan golongan apa yang disebut Mardijkers, bekas anggota tentara Portugis yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka ditempatkan di Kampung Tugu, dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara, dengan jemaat dan gereja tersendiri yang dibangun pertama kali pada tahun 1661. Pada masa-masa yang lalu keroncong ini dibawakan sambil berbiduk-biduk di sungai di bawah sinar bulan, disamping untuk pertunjukan, bahkan untuk mengiringi lagu-lagu gereja. Alat-alat musik keroncong tugu masih tetap seperti tiga abad yang lalu, terdiri dari keroncong, biola, ukulele, banyo, gitar, rebana, kernpul, dan selo. <br />Musik Betawi yang berasal dari Timur Tengah adalah orkes gambus. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya untuk memeriahkan pesta perkawinan, orkes gambus digunakan untuk mengiringi tari zafin, yakni tari pergaulan yang lazimnya hanya dilakukan oleh kaum pria saja. Tetapi sekarang ini sudah mulai ada yang mengembangkannya menjadi tari pertunjukan dengan mengikutsertakan penari wanita. Di samping orkes gambus, musik Betawi yang menunjukkan adanya pengaruh Timur Tengah dan bernafaskan agama Islam adalah berbagai jenis orkes rebana. Berdasarkan alatnya, sumber sair yang dibawakannya dan latar belakang sosial pendukungnya rebana Betawi terdiri dari bermacam-macam jenis dan nama, seperti rebana ketimpring, rebana ngarak, rebana dor dan rebana biang. Sebutan rebana ketimpring mungkin karena adanya tiga pasang kerincingan yakni semacam kecrek yang dipasang pada badannya yang terbuat dari kayu. Kalau rebana Ketimpring digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, misainya mengarak pengantin pria menuju rurnah mempelainya biasanya disebut rebana ngarak, disamping ada yang menggunakan rebana khusus untuk itu, yang ukurannya lebih kecil. Syairsyair yang dinyanyikan selarna arak-arakan antara lain diarnbil dari kitab Diba atau Diwan Hadroh.<br />Rebana ketimpring yang digunakan untuk mengiringi perayaan - perayaan keluarga seperti kelahiran, khitanan, perkawinan dan sebagainya, disebut rebana maulid. Telah menjadi kebiasaan di kalangan orang Betawi yang taat kepada agarnanya untuk membacakan syair yang menuturkan riwayat Nabi Besar Muhammad SAW. sebagai acara utamanya yang sering kali diiringi rebana maulid. Syair-syair pujian yang biasa disebut Barjanji, karena diambil dari kitab Syaraful Anam karya Syeikh Barzanji.<br />Rebana dor biasa digunakan mengiringi lagu lagu atau yalil seperti Shikah, Resdu, Yaman Huzas dan sebagainya.<br />Rebana kasidah (qosidah) seperti keadaannya dewasa ini merupakan perkernbangan lebih lanjut dari rebana dor. Lirik lirik lagu yang dinyanyikannya tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan banyak pula yang berbahasa Indonesia. Berlainan dengan jenis jenis rebana lainnya, pada rebana qasidah dewasa ini sudah lazim kaum wanita berperan aktif, baik sebagai penabuh maupun sebagai pembawa vokal. Dengan dernikian rebana kasidah lebih menarik dan sangat populer.<br />Orkes rebana biang di samping untuk membawakan lagu berirama cepat tanpa tarian yang disebut lagu-lagu zikir, biasa pula digunakan untuk mengiringi tari belenggo. sebagaimana umumnya tarian rakyat, tari belenggo tidak memiliki pola tetap. Gerak tarinya tergantung dari perbendaharaan gerak-gerak silat yang dimiliki penari bersangkutan. Biasanya tari belenggo dilakukan oleh anggota grup rebana biang sendiri secara bergantian. Kalau pada masa-masa lalu tari belenggo hanya merupakan tari kelangenan, dewasa ini sudah berkembang menjadi tari pertunjukan dengan berpola tetap. Di samping itu orkes rebana biang biasa digunakan sebagai pengiring topeng belantek yaitu salah satu teater rakyat Betawi yang hidup di daerah pinggiran Jakarta bagian Selatan.<br />Orkes samrah berasal dari Melayu sebagaimana tampak dari lagu-lagu yang dibawakan seperti lagu Burung Putih, Pulo Angsa Dua, Sirih Kuning, dan Cik Minah dengan corak Melayu, disamping lagu lagu khas Betawi, seperti Kicir-kicir, Jali-jali, Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya. Tarian yang biasa di iringi orkes ini disebut Tari Samrah. Gerak tariannya menunjukkan persarnaan dengan umumnya tari Melayu yang mengutamakan langkah langkah dan lenggang lenggok berirama, ditarnbah dengan gerak-gerak pencak silat, seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan yang diperhalus. Biasanya penari samrah turun berpasang-pasangan. Mereka menari diiringi nyanyian biduan yang melagukan pantun-pantun bertherna percintaan dengan ungkapan kata-kata merendahkan diri seperti orang buruk rupa hina papa tidak punya apa-apa<br />Pada gamelan ajeng, di samping ada pengaruh Sunda juga tampak adanya unsur Bali seperti pada salah satu lagu yang biasa diiringinya yang disebut lagu Carabelan atau Cara Bali. Pada awainya garnelan ini bersifat mandiri sebagai musik upacara saja. Dalarn perkembangan kemudian biasa digunakan untuk mengiringi tarian yang disebut Belenggo Ajeng atau Tari Topeng Gong. Orkes ini juga berfungsi sebagai pengiring wayang kulit atau wayang wong yaitu salah satu unsur kesenian Jawa yang diadaptasi oleh masyarakat Betawi terutama di pinggiran Jakarta.<br />Musik Betawi lainnya yang banyak menyerap pengaruh Sunda adalah gamelan topeng. Disebut dernikian karena gamelan tersebut digunakan untuk mengiringi pagelaran teater rakyat yang kini dikenal dengan sebutan topeng Betawi Popularitas topeng Betawi bagi masyarakat pendukungnya adalah kemampuannya untuk menyampaikan kritik social yang tidak terasa mengpenggeli hati. Salah satu contohnya adalah lakon pendek Bapak jantuk, tampil pada bagian akhir pertunjukan yang sarat dengan nasehat- nasehat bagi ketenteraman berumah tangga. Di antara tarian-tarian yang biasa disajikan topeng Betawi adalah Tari Lipetgandes, sebuah tari yang dijalin dengan nyanyian, lawakan dan kadang-kadang dengan sindiran-sindiran tajam menggigit tetapi lucu. Tari- tari lainnya cukup banyak memiliki ragam gerak yang ekspresif dan dinamis, seperti Tari Topeng Kedok, <br /> <br />Disiplin Jenis Kesenian Betawi Ragam<br />MUSIK Rebana Ketimpring 1. Rebana Ngarak (bergerak) <br />2. Rebana Maulid (stasioner) <br /> Rebana Hadro 1. Pergelaran Bias <br />2. Adu Dzikir (Pertandingan) <br /> Rebana Dor 1. Pergelaran Biasa <br />2. Qasidah (Kreasi Baru) <br /> Rebana Burdah -<br /> Rebana Maukhid -<br /> Gambang Kromong Kombinasi -<br /> Kroncong Tugu Versi Original<br />Orkes Kroncong<br />Keroncong Kemayoran<br /><br /><br /><br /> <br />▪ Ondel-ondel<br />Salah satu bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalarn pesta-pesta rakyat adalah ondel-ondel. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yangsenantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa.<br />Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar ± 2,5 m dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyarnan barnbu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalarnnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki di cat dengan warna merah, sedang yang perempuan dicat dengan warna putih Bentuk pertunjukan ini banyak persamaannya dengan yang terdapat di beberapa daerah lain. Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, di Bali barong landung. Menurut perkiraan jenis pertunjukan itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa. Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misainya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel ternyata masih tetap bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.<br /><br />E. Cerita rakyat<br />Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.<br /><br />F. Senjata tradisional<br />Senjata khas Jakarta adalah badik yang bentuknya tipis memanjang.<br /><br /><br /><br />G. Lenong<br />Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.<br />▪ Sejarah Lenong<br />Lenong berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an.<br />Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.<br />Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.<br />Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.<br />Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen.<br />▪ Jenis lenong<br />Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Lenong denes dapat dianggap sebagai pekembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini telah punah, yaitu wayang sumedar, senggol, dan wayang dermuluk. Sedang lenong preman adalah perkembangan dari wayang sironda.Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari, sehingga sangat akrab dan komunikatif dengan para penontonya. Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.<br />Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang dibandingkan lenong denes.<br /><br />H. Rumah Adat<br />Rumah adat betawi berbentuk joglo dengan bentuk sirap dan ukiran-ukiran yang khas.<br /><br />I. Pariwisata<br />DKI Jakarta juga memiliki berbagai objek pariwisata seperti:<br />• Kebun Binatang Ragunan <br />• Monumen Nasional <br />• Museum Gajah <br />• Taman Mini Indonesia Indah <br />• Taman Impian Jaya Ancol <br />• Museum Fatahillah <br />• Pulau Seribu <br />• Perkampungan Betawi Setu Babakan <br />Para turis yang datang ke Jakarta, umumnya hanya berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah, Taman Impian Jaya Ancol dan Kebun Binatang Ragunan. Padahal masih banyak lagi tempat wisata lain yang menarik kalau ditata dengan baik seperti di Jakarta Selatan, sebut saja Kali Pesanggrahan, Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. <br /><br /> <br />BAB IV<br />PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI<br /><br />Masalah yang dirasakan oleh etnik Betawi ialah bahwa kesempatan untuk berkembang dalam berbagai bidang kehidupan lebih banyak diberikan kepada etnik pendatang, sementara mereka selalu digusur dari “habitatnya”. Sehingga boleh dibilang bahwa orang Betawi sekarang ini sudah tidak punya tanah lagi di “tanah airnya” sendiri. Jangan heran kalau sekarang ini banyak orang Betawi yang justru “ngontrak” di rumah milik kaum pendatang di tanah leluhur mereka sendiri. Hal itu dirasakan benar terutama oleh generasi muda orang Betawi. Mereka mengakui orang Betawi cenderung mudah menjual tanah. Tapi menurut mereka, itu sering terjadi justru karena adanya tekanan yang tidak bisa ditolak. Apalagi dengan mengatasnamakan pembangunan. Maunya mereka, lahan-lahan itu boleh saja digunakan pemerintah, tetapi pemerintah harus bisa menempatkan orang-orang Betawi yang tergusur itu. Yang terjadi sekarang ini seolah-olah mereka itu digusur dan tidak diberi kesempatan untuk hidup di situ. Mereka berharap bahwa suatu saat akan ada suatu Undang-undang yang khusus agar tanah penduduk asli tidak habis terjual. Menurut mereka pemerintah selama ini tidak punya kepedulian ke arah itu. <br />Sejauh ini di Betawi memang tidak ada konflik sosial yang dipicu oleh masalah pemilikan tanah yang menghadapkan etnik Betawi dengan etnik-etnik pendatang atau dengan pemerintah. Keributan seperti yang terjadi di Ketapang beberapa waktu lalu bukan karena masalah tanah tapi karena rebutan lahan/nafkah hidup. Dan itu menurut mereka bisa terjadi di mana saja. Begitu juga dengan kerusuhan bulan Mei tahun lalu (1998). Menurut mereka itu bukan antara etnik Betawi dengan Cina. Kerusuhan bulan Mei itu merasa anggap sangat merugikan citra orang Betawi. Karena orang tahunya Jakarta adalah Betawi. Orang Betawi merasa baik-baik saja dengan orang Cina. Bahkan di Betawi ada yang disebut “Asnawi” (asli Cina Betawi), yang menunjukkan bahwa orang Betawi sudah sangat terbuka terhadap pembauran etnik. Yang agak menjengkelkan mereka adalah apa yang mereka sebut sebagai “Cina megah”, yaitu warga keturunan Cina yang eksklusif dan tidak mau bergaul dengan penduduk setempat. <br />Orang Betawi menganggap bahwa kebudayaan Betawi tidak harus dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat atau etnik Betawi saja, tapi juga oleh etnik-etnik lain yang sudah lama tinggal di Jakarta yang seharusnya juga ikut memiliki budaya Betawi. Yang mereka rasakan selama ini ialah bahwa etnik pendatang cenderung melecehkan orang Betawi, menganggap orang Betawi sebagai orang terpinggirkan dan kurang berbudaya. Akibatnya mereka juga tidak berusaha menyesuaikan diri dengan kultur masyarakat Betawi. Martabat dan harga diri orang Betawi akan bangkit kalau mereka merasa diinjak-injak. Kasus kerusuhan Tanah Abang beberapa waktu lalu merupakan contoh konkrit mengenai soal itu. <br />Orang Betawi tidak merasa “mentang-mentang” di kampungnya sendiri. Mereka sangat menghargai etnik pendatang. Misalnya saja, setiap ada acara kebudayaan atau halal-bihalal, paguyuban-paguyuban dari etnik lain selalu diundang dan dianjurkan untuk memakai pakaian adat daerah mereka sendiri. Bahkan duta kebudayaan Betawi untuk ke luar negeri juga terbuka untuk kelompok etnik lain, tidak hanya untuk orang Betawi asli, asalkan orang itu memahami dan mendalami kebudayaan Betawi.<br />▪ Pendidikan Ubah Citra Orang Betawi <br />Kita mengenal Putri Indonesia 1996 Alya Rohali dan juga dengan tokoh Betawi Ridwan Saidi. Mereka adalah orang-orang Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Melalui publik figur seperti mereka, citra Betawi pun berubah. <br />Sebenarnya banyak orang- orang Betawi yang sudah sangat maju dalam hal pendidikan dan cara berpikir. Sayangnya, citra orang Betawi yang terus-menerus ditampilkan di layar televisi adalah orang Betawi yang malas bekerja, berebut warisan, berkelahi dengan keluarga, kalaupun sekolah sifatnya mengaji gaya kampung. <br />Pencitraan orang Betawi seperti ini yang secara terus-menerus ditayangkan di televisi disesalkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta, Sylviana Murni. <br />Menurut Sylviana Murni, yang juga asli Betawi, apa yang ditampilkan di televisi tentang kehidupan masyarakat Betawi hanyalah sebagian kecil dari kehidupan masyarakat Betawi yang sesungguhnya. Banyak orang Betawi yang berhasil menjadi politisi, bahkan di beberapa perusahaan besar ada orang-orang Betawi yang berhasil menduduki posisi tinggi. <br />"Kalau ada orang Betawi yang berhasil, ada saja orang yang tidak percaya kalau dia Betawi dan bilang: ’Apa iya? Kok ada juga, ya, Betawi yang berhasil?’ Kan kurang ajar, ye...," kata Sylviana. Penilaian semacam itu dipandang wajar saja, karena tayangan film, sinetron, lenong, dan bentuk kesenian yang ditampilkan sebagian besar memang selalu menyorot karakter Betawi yang seperti itu. <br />Yang terjadi sebenarnya, menurut Sylviana, meskipun ada orang-orang Betawi yang sudah sangat maju, namun pada umumnya mereka masih mempunyai sikap yang sama dengan pendahulunya, seperti tidak kemaruk pangkat, tidak mempunyai ambisi yang terlalu tinggi, hidup bagaikan mengikuti aliran air atau ke mana angin berembus. <br />Hal ini mungkin karena sepanjang sejarah masyarakat Betawi hidupnya selalu dijajah hingga membuat sikap mereka seperti itu. Suasana religiusitas selalu berembus dari keluarga Betawi karena memang sejak dini pendidikan agama menjadi prioritas bagi anak-anak, bahkan sampai anak-anaknya menjadi dewasa. "Saya boleh sekolah ke mana-mana, tetapi tetep aja namanya madrasah enggak boleh lepas. Sampe kawin masih tetep madrasahan pakai kain, itu sampai sekarang," kata Sylviana. <br />Akan tetapi, sikap orang Betawi yang seperti itu kini mengalami erosi. Erosi terjadi karena kehidupan semakin sulit sehingga mendorong mereka untuk maju, untuk sekolah lebih tinggi guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sekarang sudah banyak orang Betawi yang bersekolah tinggi, bisa menikmati ekspresi budaya orang lain. <br />▪ Modernisasi <br />Banyak juga keluarga Betawi yang sudah tersentuh modernisasi, yang sangat jauh dengan gambaran cerita yang ditampilkan dalam tayangan film, sinetron, maupun tayangan budaya Betawi lainnya. Mereka mempunyai visi yang jelas, tujuan hidup yang pasti, dan berpendidikan. Betawi tidak selalu terkesan tradisional dan kampungan seperti terlihat di televisi. <br />Terlebih lagi, kini DKI Jakarta dikelilingi oleh kesenian dan budaya dari daerah dan negara lain. Sementara itu kesenian dan budaya Betawi pun makin tersisih dari daerah asalnya. Beberapa budaya dan kesenian Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat disiplin budaya/kesenian, yaitu disiplin musik, tari, teater, dan pedalangan. Budaya semacam inilah yang perlu dipelihara dan terus dikembangkan secara berkesinambungan melalui proses pendidikan. <br />Pelestarian nilai-nilai budaya Betawi melalui jalur pendidikan, Sylviana mengusulkan, dapat dilaksanakan dengan beberapa strategi, seperti melalui mata pelajaran muatan lokal. Melalui mata pelajaran ini bisa dimasukkan materi tentang kesenian, bahasa, dan adat istiadat Betawi. Dalam materi ini juga seharusnya diberikan nilai-nilai tradisional masyarakat Betawi sebagai bagian dari unsur kebudayaan Betawi. <br />Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah pun juga bisa dikemas secara khusus dalam paket pengenalan budaya Betawi, seperti pencak silat, tarian Betawi, kesenian rebana, sadrah, gambang kromong, dan kesenian yang bersifat kontemporer. <br />Penciptaan suasana ke-Betawi-an di sekolah juga bisa dilakukan dengan penggunaan baju Betawi oleh siswa setiap minggu sekali, misalnya hari Jumat atau peringatan hari besar keagamaan. Pada hari-hari tertentu juga perlu dilaksanakan pemakaian bahasa atau dialek Betawi. <br />Bangunan sekolah yang berciri khas arsitektur Betawi juga bisa dilakukan, termasuk penerbitan buku-buku tentang budaya Betawi. Buku-buku ini bisa ditempatkan di perpustakaan sekolah. Penerbitan kamus Bahasa Betawi dan Ensiklopedia Betawi akan memperkaya khazanah pengetahuan tentang Betawi. <br />Budaya masyarakat Betawi akan terus ada dan terjaga manakala semua masyarakat Betawi mau memelihara, menjaga, dan mengembangkan terus budaya tersebut. Proses pemeliharaan, penjagaan, dan pengembangan budaya Betawi akan sangat tepat apabila dilaksanakan melalui proses pendidikan sejak dini, yaitu saat anak mulai menduduki dunia pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. <br />Melalui pendidikanlah citra Betawi yang negatif akan terkikis. Anak-anak yang tinggal di DKI Jakarta akan makin menghargai kebudayaan Betawi yang mereka serap melalui sekolah dan lingkungan mereka. <br />Bagi orang Betawi sendiri, terus tekun sekolah mengejar jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mendapatkan kehidupan yang lebih baik, akan mengubah citra negatif. Perlahan jika hal tersebut konsisten dilakukan, maka akan mengangkat citra masyarakat Betawi. Orang Betawi tak lagi dicap kampungan. <br />Karena pendidikannya, orang Betawi pun akan dikenal bercitra baik, seperti Alya Rohali, salah satu contohnya. Ia adalah anak muda Betawi yang mandiri dan berhasil dalam hal pendidikan. Juga Sylviana Murni yang terus-menerus belajar dan mengajar di mana-mana. <br />Citra bahwa perempuan Betawi tidak berpendidikan tinggi otomatis luntur jika menyimak sederet prestasi kedua perempuan Betawi itu. Prof Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, adalah orang Betawi yang berhasil mencapai jenjang tertinggi di dunia pendidikan. <br /><br /> <br />BAB V<br />PENUTUP<br />A. Kesimpulan <br /><br />Suku Betawi merupakan perpaduan dari beberapa etnis yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti: etnis Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa. Dari beberapa suku-suku tersebut kemudian terjadi perkawinan silang antar suku dan munculah suku betawi yang mendiami daerah Jakarta dan sekitarnya. Kebudayaan betawi sendiri merupakan suatu kebudayaan yang unik karena kebudayaan ini tidak mempunyai identitas khusus, melainkan merupakan kebudayaan yang telah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dimana kebudayaan yang masuk tidak hanya berasal dari satu daerah saja, melainkan dari banyak daerah. Perpaduan macam-macam kebudayaan tersebuat memunculkan identitas tersendiri bagi Kebudayaan Betawi. Masyarakat Betawi menganut system kekerabatan bilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu. Pada saat sebelum upacara pernikahan dilaksanakan, dilakukan perjanjian terlebih dahulu apakah akan mengikuti kerabat suami atau mengikuti kerabat istri. Namun pada dasarnya orang tua ingin anak mereka yang telah menikah mempunyai rumah sendiri atau ngerumahin anaknya. Mayoritas masyarakat Betawi memeluk Agama Islam. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, pengaruh Agama Islam sangat terlihat dalam kegiatan bermasyarakat, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan. Bagi orang Betawi tempo doeloe, orang yang tidak bisa membaca huruf arab dianggap buta huruf sehingga mereka cenderung mengesampingkan pendidikan formal. Bahasa sehari-hari masyarakat Betawi adalah Bahasa Indonesia yang merupakan turunan dari Bahasa Melayu.<br />Di era globalisasi seperti sekarang ini tuntutan bagi masyarakat untuk mengikuti pola hidup yang lebih modern sangatlah kompleks. Tidak terkecuali bagi masyarakat Betawi. Masuknya para pendatang ke Kota Jakarta yang berasal dari berbagai daerah membuat masyarakat Betawi yang notabene-nya adalah penduduk asli menjadi “agak terpinggirkan”. Bahkan mereka merasa seperti “ngontrak” di rumah sendiri. Kurangnya kesempatan untuk berkembang bagi masyarakat Betawi dapat disebabkan karena mereka kalah bersaing dengan para pendatang. Hal ini diperparah dengan pandangan masyarakat terhadap orang Betawi yang cenderung kurang mau bekerja keras. Walaupun sebenarnya tidak jarang juga orang Betawi yang berhasil dan sukses. Untuk itu kita sebagai Putra Betawi harus mampu mengangkat kembali citra masyarakat Betawi di dalam percaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yaitu dengan bekerja sebaik-baiknya tanpa mengenal lelah dan harus bisa mengentaskan Betawi dari bahaya kebodohan. <br /> <br /> <br />B. Saran<br />Munculnya para pendatang baru di kota Jakarta secara tidak langsung akan membawa kebudayaan-kebudayaan baru. Hal ini dapat mengakibatkan terkikisnya kebuyaan betawi oleh kebudayaan tersebut, dimana tingkat kepedulian masyarakat Betawi sendiri terhadap kebudayaannya mulai berkurang. Untuk mencegah hal itu supaya tidak lebih parah, kita harus meningkatkan kepedulian masyarakat akan arti pentingnya kebudayaan. Kita dapat memulainya dengan mengadakan ekstrakulikuler yang berhubungan dengan Kebudayaan Betawi dalam lingkungan sekolah khususnya SMA dan SMP yang adalah generasi muda penerus bangsa. Di samping itu pada saat pelaksanaan pesta seperti pernikahan ataupun sunatan sebaiknya menggunakan adat Betawi, walaupun sebenarnya mampu untuk mengadakan pesta di gedung mewah dengan tema Eropa. hal ini pasti akan dapat melestarikan kebudayaan Betawi hingga ratusan tahun bahkan ribuan tahun kedepan.<br />Kemudian masalah sosial masyarakat Betawi dalam kehidupan bermasyarakat di mana mereka kurang mendapat tempat dalam kehidupan sehari-hari yang dikarenakan karena kalah bersaing dengan para pendatang. Hal ini dapat diminimalisir dengan meningkatkan tingkat kepedulian masyarakat Betawi akan arti pentingnya pendidikan. Dengan berbekal pendidikan yang baik akan menghasilkan dasar yang bagus guna bekal untuk persaingan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu rasa ingin “enaknya aja” tanpa mau bekerja keras harus dibuang jauh-jauh supaya kita dapat lebih maju. Kalau mau hasil ya harus mau kerja keras. Dan jangan pernah ada perasaan takut gagal membuatmu takut untuk mencoba. HIDUP BETAWI…!!!<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />www.kompas.com<br />www.incis.or.id<br />www.sinarharapan.com<br />www.wikipedia.or.id<br />www.republika.co.id<br />www.penulislepas.com<br />www.google.com<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />LAMPIRAN<br /><br /><br /><br /><br /> Rumah Si Pitung<br /> Ondel-Ondel<br /><br /><br /><br /><br /> <br />Pemandangan matahari terbenam di Jakarta Gedung pencakar langit di Jakarta<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Arak-arakan Tanjidor Orkes Gambus<br /><br /><br /> <br /><br /> Silat Betawi Rumah Betawi<br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /><br /> <br /> Prosesi pernikahan Betawi Minuman bir pletok<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Sepasang pengantin Betawi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-14426058630712898212008-11-19T22:59:00.001-08:002008-11-19T23:06:27.079-08:00Kebudayaan BatakArti Kebudayaan Batak<br />Yang dimaksud dengan kebudayaan Batak yaitu seluruh nilai-nilai kehidupan suku bangsa Batak diwaktu-waktu mendatang merupakan penerusan dari nilai kehidupan lampau dan menjadi faktor penentu sebagai identitasnya. Refleksi dari nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi suatu ciri yang khas bagi suku bangsa Batak yakni : Keyakinan dan kepercayaan bahwa ada Maha Pencipta sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta segala sesuatu isinya, termasuk langit dan bumi.<span class="fullpost"><br />Untuk mewujudkan keseimbangan dalam menjalankan nilai-nilai kehidupan sebagai mahluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, Tuhan Maha Pencipta (mulajadi nabolon) sebagai titik orientasi sipritualnya, alam lingkungan sebagai objek integritasnya suku bangsa Batak telah dinaungi Patik. Patik berfungsi sebagai batasan tatanan kehidupan untuk mencapai nilai-nilai kebenaran. Patik ditandai dengan kata Unang, Tongka, Sotung, Dang Jadi. Sebagai akibat dari penyimpangan tatanan kehidupan yang dimaksud dibuatlah Uhum atau Hukum. Uhum/Hukum ditandai oleh kata; Aut, Duru, Sala, Baliksa, Hinorhon, Laos, Dando, Tolon, Bura dsb.<br />Didalam menjalankan kehidupan suku bangsa Batak terutama interaksi antara sesama manusia dibuatlah nilai-nilai antara sesama, etika maupun estetika yang dinamai Adat. Suku bangsa Batak mempunyai sistem kekerabatan yang dikenal dan hidup hingga kini yakni Partuturon. Peringatan untuk tidak melanggar Patik itu ditegaskan dengan kata Sotung. Dan mengharamkan segala aturan untuk dilanggar dikatakan dengan kata Subang.<br /><br />Makna Kebudayaan Batak<br />Tata nilai kehidupan suku Batak di dalam proses pengembangannya merupakan pengolahan tingkat daya dan perkembangan daya dalam satu sistem komunikasi meliputi:<br />a. Sikap Mental (Hadirion)<br />Sikap mental ini tercermin dari pepatah : babiat di harbangan, gompul di alaman. Anak sipajoloon nara tu jolo.<br /><br />b. Nilai Kehidupan (Ruhut-ruhut Ni Parngoluon)<br />Pantun marpangkuling bangko ni anak na bisuk.<br />Donda marpangalaho bangkoni boru na uli. (pantun hangoluan tois hamagoan).<br /><br />Adapun produk budayanya adalah:<br />1. Cara Berpikir (Paningaon)<br />Raja di jolo sipatudu dalan hangoluan.<br />Raja di tonga pangahut pangatua, pangimpal, pangimbalo (pemersatu).<br />Raja di pudi siapul natangis sielek na mardandi <br /><br />2. Cara Bekerja (Parulan)<br />Mangula sibahen namangan. <br />Maragat bahen siinumon<br /><br />3. Logika (Ruhut, Raska, Risa)<br />Aut so ugari boru Napitupulu na tumubuhon au, dang martulang au tu Napitupulu<br /><br />4. Etika (Paradaton)<br /> Tinintip sanggar bahen huru-huruan<br /> Nisungkun marga asa binoto partuturon<br /><br />5. Estetika (panimbangion)<br />Hatian sora monggal ninggala sibola tali <br /><br />Budaya Batak mencerminkan nilai-nilai peradaban yang tinggi sehingga suku bangsa Batak mengakui Tuhan Maha Pencipta sebagai orientasi spritualnya.<br />Suku bangsa yang tidak mempunyai budaya adalah suku bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan disebut biadab.<br /><br />Adat istiadat batak<br />Pada masyarakat suku Batak, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa, berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting. Karenanya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat, kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Di kalangan masyarakat Batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat. Juga kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut "sulang-sulang". <br />Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama Islam atau Kristen, tapi kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yang dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur ke rumah keluarga yang masih hidup dengan perantaraan Sibaso atau dukun wanita. Sibaso nanti akan kemasukan roh, sehingga setiap ucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal. Di daerah Batak Toba upacara ini disebut "Sigale-gale".<br /><br />6. Rumah Adat <br /> <br />Rumah Adat Batak Karo<br />"RUMA BOLON"<br /> <br />Rumah adat Batak Toba yang disebut Rumah Bolon, berbentuk empat persegi panjang dan kadang-kadang dihuni oleh 5 sampai 6 keluarga batih. Untuk memasuki rumah harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah Batak Toba harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang, hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai rumah kadang-kadang sampai 1,75 meter di atas tanah, dan bagian bawah dipergunakan untuk kandang babi, ayam, dan sebagainya. Dahulu pintu masuk mempunyai 2 macam daun pintu, yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi. <br />Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun berdiam disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan, karena dalam rumah adat ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat. Ruangan di belakang sudut sebelah kanan disebut jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau por jabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Ruangan ini dahulu dianggap paling keramat. Di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong disebut Jabu Soding diperuntukkan bagi anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Di sudut kiri depan disebut Jabu Suhat, untuk anak laki-laki tertua yang sudah kawin dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkan bagi tamu. <br />Bila keluarga besar maka diadakan tempat di antara 2 ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah 2 lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Di antara 2 deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsi sebagai tempat bermusyawarah. Bangunan lain yang mirip dengan rumah adalah sapo yakni seperti rumah yang berasal dari lumbung tempat menyimpan, kemudian didiami. Perbedaannya dengan rumah adalah : Dopo berlantai dua, hanya mempunyai satu baris tiang-tiang depan dan ruangan bawah terbuka tanpa dinding berfungsi untuk musyawarah, menerima orang asing dan tempat bermain musik. Pada bagian depan rumah adat terdapat hiasan-hiasan dengan motif garis geografis dan spiral serta hiasan berupa susu wanita yang disebut adep-adep. Hiasan ini melambangkan sumber kesuburan kehidupan dan lambang kesatuan. <br />Rumah yang paling banyak hiasan-hiasannya disebut Gorga. Hiasan lainnya bermotif pakis disebut nipahu, dan rotan berduri disebut mardusi yang terletak di dinding atas pintu masuk. <br />Pada sudut-sudut rumah terdapat hiasan Gajah dompak, bermotif muka binatang, mempunyai maksud sebagai penolak bala. Begitu pula hiasan bermotif binatang cicak, kepala singa yang dimaksudkan untuk menolak bahaya seperti guna-guna dari luar. Hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, ada pula yang berupa gambaran saja. Warna yang digunakan selalu hitam, putih dan merah. <br />Semua rumah adat tersebut di atas bahannya dari kayu baik untuk tiang, lantai serta kerangka rumah berikut pintu dan jendela, sedangkan atap rumah terbuat dari seng. Di anjungan Sumatera Utara, rumah-rumah adat yang ditampilkan mengalami sedikit perbedaan dengan rumah adat yang asli di daerahnya. Hal ini disesuaikan dengan kegunaan dari kepraktisan belaka, misalnya tiang-tiang rumah yang seharusnya dari kayu, banyak diganti dengan tiang beton. kemudian fungsi ruangan di samping untuk keperluan ruang kantor yang penting adalah untuk ruang pameran benda-benda kebudayaan serta peragaan adat istiadat dari delapan puak suku di Sumatera Utara. Benda-benda tersebut meliputi alat-alat musik tradisional, alat-alat dapur, alat-alat perang, alat-alat pertanian, alat-alat yang berhubungan dengan mistik, beberapa contoh dapur yang semuanya bersifat tradisional. Sedangkan peragaan adat istiadat dan sejarah dilukiskan dalam bentuk diorama, beberapa pakaian pengantin dan pakaian adat dan sebagainya.<br /><br />7. Mitologi Batak<br />Mitologi Batak adalah kepercayaan tradisional akan dewa-dewi yang dianut oleh orang Batak. Agama Batak tradisional sudah hampir menghilang pada saat ini, begitu juga dengan mitologi Batak. Kepercayaan Batak tradisional terbentuk sebelum datangnya agama Islam dan Kristen oleh dua unsur yaitu megalitik kuno dan unsur Hindu yang membentuk kebudayaan Batak. Pengaruh dari India dapat terlihat dari elemen-elemen kepercayaan seperti asal-usul dunia, mitos penciptaan, keberadaan jiwa serta bahwa jiwa tetap ada meskipun orang telah meninggal dan sebagainya.<br />Dalam mitologi Batak dunia dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu dunia atas, yang disebut Banua Ginjang, dunia tengah, yang disebut Banua Tonga dan dunia bawah tanah yang disebut Banua Toru. Dunia tengah, tempat manusia hidup, juga merupakan perantara antara dunia atas dan dunia bawah tanah. Dunia atas adalah tempat tinggal para dewata sedangkan dunia bawah tanah adalah tempat tinggal setan serta roh-roh bumi dan kesuburan. Warna yang sering digunakan orang Batak baik bagi peralatan rumah tangga, Hauduk, kain Ulos dan ukiran kayu adalah putih, merah dan hitam merupakan simbol dari tiga dunia ini.<br />Pencipta dunia dalam mitologi Batak adalah Mulajadi na Bolon (atau Debata Mulajad Nabolon). Dia dibantu dengan sederetan dewa-dewi lainnya, yang dapat dibagi menjadi tujuh tingkat dalam dunia atas. Anak-anaknya merupakan tiga dewata bernama Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (tiga dewa dalam satu) atau Debata na Tolu (tiga dewata). Dalam urut-urutan dewata mereke berada di bawah Mulajadi na Bolon. Diceritakan pula bahwa Mulajadi na Bolon telah mengirim putrinya Tapionda ke bumi ke kaki gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di Batak.<br />Dewa lain yang penting adalah Debata Idup (dewa kehidupan) dan Pane na Bolon yang memimpin dunia tengah. Banyak dewa-dewi lain yang juga masih sekerabat dengan dewa-dewi Hindu di India. Antara lain Boraspati ni Nato dan Boru Saniang Naga. Selain itu juga ada roh-roh yang mendiami danau, sungai dan gunung. Dalam kepercayaan animisme Batak tradisional, semua dewa-dewi ini masih dipercayai disamping roh-roh dan jiwa leluhur (Begu).<br /><br />8. Musik<br />GONDANG<br />Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata “gondang”: <br />1. Satu jenis musik tradisi Batak toba; <br />2. Komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tsb. (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo) <br />3. Alat musik “kendang”. Ada 2 ansambel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah; dan gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.<br /><br />Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup-“obo”), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tsb), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.<br />Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jaw, India, Cina, dsb. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik, dan sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik gamelan yang ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompik dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.<br />Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal, dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang ditemukan dimusik gamelan dari Jawa dan Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.<br />Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).<br />Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen.<br /><br />ASPEK-ASPEK SEJARAH<br />Ansambel musik yang memakai alat-alat terbuat dari perunggu di Sumatera biasanya terdiri dari perlengkapan yang punya empat sampai dua belas gong kecil,satu atau dua gong besar yang digantung, dua sampai sembilan kendang, satu alat tiup, penyari dan gembreng. Satu Ansambel yang khas jenis ini ada gondang sabangunan dari batak toba. Ansambel ini masih dipakai dalam upacara agama Parmalim. Gondang sabangunan punya peran yang penting sekali dalam upacara agama tersebut. Seperti pada catatan di atas, Ansambel ini terdiri dari 4 gong yang main siklus irama gongan yang singkat, perlengkapan lima kendang yang dikunci, satu sarune (alat tiup/ obo), satu kendang besar dan satu alat perkusi (biasanya botol) untuk memperkuatkan irama.<br />Musik gondang sabangunan dipakai dalam upacara agama untuk menyampaikan doa manusia ke dunia atas. Waktu musik dimainkan, pemain sarune dan pemain taganing dianggap sebagai menifestasi Batara Guru. Musik ini dipergunakan untuk berkomunikasi dengan dunia atas dan rupanya tranformasi pemain musik ini terjadi untuk memudahkan hubungan dengan dunia atas. Transformasi paradigma ini di mitos Batak sangat mirip yang ada di Bali menunjuk bukti tidak langsung bahwa ada hubungan purbakala diantara kebudayaan Batak Toba dan kebudayaan Bali. Biarpun hal ini tidak dapat dibuktikan, ada kemungkinan yang berhubungan dengan sejarah, karena kedua kebudayaan masing-masing berhubungan paling sedikit sebagai batas keluar kerajaan majapahit. Bersangkut dengan konsep kosmos bertingkat tiga ada konsep tentang faktor mediasi; pohon kosmos atau pohon hidup. Pohon mitos ini yang menghubungkan tiga dunia punya hubungan simbolis dengan pohon Bodhi dalam agama Budha, kayon di wayang Bali dan Jawa, dan barangkali konsep ini lebih tua dari agama Budha dan agama Hindu. Dalam konsepsi Batak peran musik mirip peran pohon kosmos; musik juga menguhubungkan dunia masing-masing. Melalui musik gondang batasan diantara dunia dapat ditembus, doa manusia dapat sampai kepada debata, dan berkah debata dapat sampai kepada manusia.<br />Dengan kedatangan agama Kristen ke Tanah Batak, pokok kebudayaan Batak sangat diubah sekali. Interaksi dengan agama baru ini dan nilai-nilai barat menggoncangkan kebudayaan tradisi batak toba sampai ke akarnya. Menurut gereja Kristen musik gondang berhubungan dengan kesurupan, pemujaan roh nenek moyang, dan agama Batak asli, terlalu bahaya untuk dibolehkan terus dimainkan lagi. Pada awal abad kedua puluh Nommensen minta pemerintah kolonial Belanda untuk melarang upacara bius dan musik gondang. Larangan ini bertahan hampir empat puluh tahun sampai pada tahun 1938. Itu merupakan suatu pukulan utama untuk agama tradisi Batak Toba dan musik gondang yang sangat terkait dengan agama tsb.<br /><br />KONDISI MODERN (MODERNISASI)<br />Migrasi batak ke kota mulai di tahun 1910 tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi tersebut tambah besar di thn 50-an. Migrasi ke kota menyebabkan interaksi dengan suku lain di kota-kota Indonesia yang penduduknya sebagian besar beragama Islam. Dalam lingkungan multi etnis ini banyak orang batak ketemu rasa identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain. Tetapi banyak orang batak pula dalam proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia meninggalkan banyak aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain ada bagian orang batak kota yang menjadi lebih sadar tentang kepentingan identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak dan memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan lain di desanya.<br />Ada orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering membiayai upacara. Mereka membawa estetis kosmopolitan yang adakalanya melawan estetis tradisi. Identifikasi dengan nilai-nilai mengenai kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikan dengan afinitas kepada apa yang dianggap moderen. Misalnya sekarang di pesta atau upacara seolah-olah musik grup keyboard yang main poco-poco lebih laris dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yang moderen tidak lagi dianggap lengkap tanpa musik keyboard atau musik tiup yang main lagu pop batak atau pop barat, sebaliknya mungkin ansambel musik gondang dianggap kampungan oleh orang kota kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas tidak salah. <br />Kita semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan periklanan, suka atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di masa dahulu dan melarikan diri dari kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita dapat menghilangkan sejenis musik tradisi yang disebut gondang, yang sampai akhir-akhir ini adalah manifestasi kebudayaan batak toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun bidang rohani.<br /><br /> ULOS<br /> <br />ULOS adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos penghit ni halong, yang ertinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama. Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin. Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 sumber kehangatan : matahari,api,ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari. Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai enggunakannya.<br /> Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangkan badan, tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, ertinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu.<br />Dalam pandangan suku kaum Batak, ada tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan manusia, iaitu darah, nafas, dan panas. Dua unsur terdahulu adalah pemberian Tuhan, sedangkan unsur ketiga tidaklah demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin dipemukiman suku bangsa batak, lebih-lebih lagi diwaktu malam.Menurut pandangan suku bangsa batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, iaitu matahari, api dan Ulos. Ulos berfungsi memberi panas yang menyihatkan badan dan menyenangkan fikiran sehingga kita gembira dibuatnya.<br /><br />Dalam pengertian adat Batak "mangulosi" (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.<br /><br />Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dalam upacara adat yang bagaimana. Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak" bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepadapenerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.<br /><br />Ulos juga digunakan sebagai busana, misalnya untuk busana pengantin yang menggambarkan kekerabatan Dalihan Natolu, terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah <br />(sarung).<br />Dikalangan orang batak sering terdengar ‘mengulosi’ yang ertinya memberi Ulos, atau menghangatkan dengan ulos. Dalam kepercayaan orang-orang Batak, jika (tondi) pun perlu diulos, sehingga kaum lelki yang berjiwa keras mempunyai sifat-sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan orng perempuan mempunyai sifat-sifat kethanan untuk melawan guna-guna dan kemandulan.<br />Dalam hal mengulosi, ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain orng hanya boleh mengulosi mereka yang menurut kerabatan berada dibawahnya, misalnya orang tua boleh mengulosi anak, tetapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Jadi dalam prinsip kekerabatn Batak yang disebut ‘Dalihan Na tolu’, yang terdiri atas unsur-unsur hula-hula boru, dan dongan sabutuha, seorang boru sam sekali tidak dibenarkn mengulosi hula-hulanya. Ulos yang diberikan dalam mengulosi tidak boleh sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya.<br />Sebagai satu contoh, ulos ragidup yang akan diberikan kepada Boru yang akan melahirkan anak sulungnya haruslah yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni ulos yang disebut ‘ulos sinagok’. Untuk menulosi pembesr atau tamu kehurmat, ‘Ulos ragidup silingo’, iaitu ulos yang diberikan kepada mereka yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi) kepada orang lain. Berdasarkan raksanya, dikenal bebera macam ulos:<br /><br />1. Ulos ragidup<br />yang tertinggi darjatnya, sangat sulit pembuatannya. Ulos ini terdiri atas tiga bahagian, iaitu dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bahagian tengah yang ditenum tersendiri dengan sangat rumit. Bahagian tengahnya terdiri ata tiga bahagian, iaitu bahagian tengah atau badan, dan dua bahagian lainnya sebagai ujung tempat pigura lelaki (pinarhalak hana) dan ujung tempat pigura perempuan (pinarhlak boru-boru). Setiap pigura diberi beraneka ragam lukisan, antara lain ‘antiganting sigumang’, batuhi ansimun, dsb.<br />Warna, lukisan, serta cork (ragi) memberi kesan seolah-olah ulos benar-benar hidup, sehingga orng menyebutnya ‘ragidup’, iaitu lambang kehidupan. Setiap rumah tangga Batak mempunyai ulos ragidup. Selain lambang kehidupan, ulos ini juga lambang doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan, terutama dalam hal keturunan, yakni banyak anak (gabe) bagi setiap keluarga dan panjang umur (saur sarimatua). Dalam upacara adat perkahwinan, ulos ragidup diberikan oleh orng tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai ‘ulos pargomgom’ yang maknanya agar besannya ini atas idzin Tuhan YME tetap dapat melalui bersama sang menantu anak dari sipemberi ulos tadi.<br /><br />2. Ulos ragihotang<br />juga termasuk berdarjah tinggi, namun cara pembuatannya tidak serumit ulos ragidup. Hotang bererti rotan, dan raksa ulos ini mempunyai keistimewaan yang dapat diikuti dari keempat umpasannya. Ulos ini digunakan untuk mengulosi seseorng yang dianggap picik dengan harapan agar Tuhan akan memberikan hasil yang baik, dan orng yang rajin berkerja. Dalam upacara kematian, ulos ini dipaki untuk membungkus jenazah, sedangkan kepada upacara pengkuburan kedua kalinya, untuk membungkus tulang-belulangnya. Ulos sibolang juga digolongkan sebagai ulos berdarjat tinggi, sekalipun cara pembuatannya lebih sederhana.<br /><br />3. Ulos sibolang<br />semula disebut sibolang sebab dibeikan kepada orang yang berjasa untuk ‘mabulangbulangi’ (menghurmati) orang tua penggantin perempuan untuk mengulosi ayah pengantin lelaki sebagai ‘ulos pansaniot’. Dalam suatu pesta perkahwinan, dulu ada kebiasaan memberikan ‘ulos siholang si toluntuho’ oleh orang tua pengantin perempuan kepada menantunya sebagai ulos bela (ulos menantu). Pada ulos si toluntuho ini raginya tampak jelas mengambarkan tiga buah tuho (bahagian) yang merupakan lambang Dalihan Na Tolu.<br />Mengulosi menantu lelaki dimaksudkan agar ia selalu berhati-hati dengan teman-teman semarga, dan faham siapa yang harus dihurmati; memberi hurmat kepada semua kerabat pihak isteri; dan lemah lembut terhadap keluarganya. Selain itu, ulos ini diberikan kepada seorang wanita yang tinggal mati suaminya sebagai tanda menghurmati jasanya selama menjadi isteri almarhum. Pembeian ulos tersebut biasanya dilakukan pada waktu upacara bekabong, dan dengan demikian juga dijadikan tanda bagi wanita tersebut bahawa ia telah menjadi seorang janda. Ulos-ulos lain yang digunakan dalam upacara adat, antara lain, ‘ulos meratur’ dengan motif garis-garis yang mengambarkan burung atau banyak bintang tersusun teratur.<br />Biasanya ulos ini digunakan sebagai ‘ulos parompa’ dengan harapan agar setelah anak pertama lahir akan menyusul kelahiran anak-anak lain sebanyak burung atau bintang yang terlukis dalam ulos tersebut. Jenis lain adalah ‘ragi botik, ragi angkola, sirata, silimatuho, holean, sinar labu-labu, dsb. Dari besar kecil biaya pembuatannya, ulos dapat dibedakan dalam tiga golongan:<br />- Ulos nametmet, yang ukurng panjang dan lebarnya jauh lebih kecil, tidak digunakan dalam upacara adat, melainkan untuk dipakai sehari-hari. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain ulos sirampat, ragi huting, namarpisaran, dan sebagainya.<br />- Ulos nabalga; adalah ulos kelas tinggi atau tertinggi. Jenis ulos ini pada umumnya digunakan dalam upacara adat sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima. Yang termasuk didalam golongan ini ialah: sibolang, runjat jobit, ragidup atau ragi hidup, dsb. Cara memakai ulos bermacam-macam tergantung pada situasinya.<br />Ada orng memaki ulos dibahunya (dihadang atau sampe-sampe) seperti pemakaian selendang berkebaya; ada yang memakainya sebagai kain sarong (diabithon), ada yang melilitkannya dikepala (dililitohon) dan ada pula yang mengikatnya secara ketat dipinggang. Erti dan fungsi kain selendang tenun khas Batak ini sejak dulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan, kecuali bebera variasi yang disesuaikan dengan kodisi sosial budaya. Ulos kini tidk hany berfungsi sebagai lambang penghangat dan kasih sayang, melainkan juga sebagai lambang kedudukan lambang komunikasi, dan lambang solidaritas.<br /><br />KESIMPULAN<br /><br />Dibutuhkan langkah mengorganisasikan program untuk mempelajari kebudayaan tradisi batak, tujuannya dokumentasi, pelestarian, pendidikan, dan promosi kebudayaan tradisi batak. Bergabung dalam penelitian dan dokumentasi yang sudah dilakukan untuk mengusahakan melawan erosi kebudayaan tradisi yang menonjol sekali, khusus dalam bidang seni. Saya menganjurkan memperhatikan seni musik, karena ini bidang saya, tapi keprhatinan saya mengenai semua aspek-aspek kebudayaan. Karena tekanan modernisasi, globalisasi, media massa, dan daya tarik dunia barat kebudayaan tradisi dan khusus musik gondang terancam hilang. Kehilangan musik gondang yang disebut banyak orang sudah terjadi, tentu saja tragis sekali.<br />Upacara dan pesta yang dulu berperan sebagai tempat penampilan musik tradisi semakin kurang karena orang lebih suka grup keyboard atau trio vokal yang lebih mencerminkan modernitas dan kejauhan dari semua hal yang disebut kampungan. Musik pop batak yang tentu juga adalah identitas etnis suku batak toba, biasanya ada musik country dan balada pop tua Amerika yang memakai bahasa batak. Musiknya tidak ada hubungan kuat dengan masyarakat batak, kecuali sekali-sekali sebagai contoh kebudayaan dalam proses perubahan, tapi betapa tragis kalau musik pop batak ini menggantikan musik gondang yang merupakan warisan berharga tapi kurang dihargai.<br />Semakin lama semakin banyak pemain gondang meninggal dunia dan pemain yang lebih muda didorong oleh hal-hal estetis dan ekonomis untuk main musik yang lebih laris. Kemungkinan muncul bahwa musik gondang akan hilang sebahagian besar atau semuanya. Ini tidak boleh diabaikan. Ada kemungkinan besar bahwa gondang hanya akan bertahan hidup dalam konteks agama Parmalim yang masih mempergunakan musik ini dalam konteks aslinya. Mereka mempergunakan musik nenek moyangnya untuk menghormati nenek moyang tsb dan untuk menyampaikan doa ke Debata Mulajadi Nabolon.<br />Betapa tragis kalau dalam hidup warisan batak berbentuk musik indah ini, yang punya sejarah sangat lama, berharga dan sangat unik di dunia, akan punah. Dalam dunia barat kami sudah lama lupa banyak tradisi, dan ada kecenderungan untuk mencari yang sakral dari kebudayaan lain, saya bertemu dengan musik sakral dan luar biasa di Sumatera Utara, tetapi musik ini mungkin akan punah karena masyarakat yang melahirkannya tidak lagi cukup perduli.<br /><br />Adat batak<br />Sejak dahulu kala etnis Batak Toba sangat setia melaksanakan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bahagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya dalam khasanah kebhinekaan di dalam negara tercinta ini.Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, ketentuan-ketentuan adat dalam jaringan hubungan sosial diadakan untuk menciptakan keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. Dengan demikian adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan (Prof DR B Simanjuntak, 2001).<br />Pada saat sekarang ini dalam setiap pelaksanaan adat Batak Toba seringkali terjadi ketegangan, perbedaan pendapat walaupun jarang yang menimbulkan konflik, (jarang bukan berarti tidak pernah). Kenapa hal ini bisa terjadi? Banyak hal yang dapat menimbulkannya antara lain, faktor agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, defusi adat yaitu percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan berlainan suku, pengaruh era globalisasi dan lain-lain. Faktor-faktor inilah menyebabkan pergeseran pelaksanaan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang. Sebenarnya hal ini sudah diantisipasi oleh tokoh adat Raja Patik Tampubolon setelah masuknya agama (Kristen) ke tanah Batak Toba.<br />Beliau mengelompokkan pergeseran adat itu dalam 3 bahagian dan diimplementasikan oleh DR AB Sinaga dalam tiga species dalam pelaksanaan adat tersebut yaitu, Adat Inti, Adat na Taradat, dan Adat na Niadathon. Dalam perkembangan tata upacara adat Batak Toba pada saat sekarang muncul 1 (satu) spesies lagi yaitu Adat na Soadat.<br />Untuk menghindarkan ketegangan dan beda pendapat kita harus mengetahui dan semufakat bagian adat manakah yang akan dilaksanakan dalam suatu upacara adat dari ke 4 (empat) spesies upacara adat.<br /><br />1. ADAT INTI<br />Adat inti mencakup seluruh kehidupan yang terjadi pada penciptaan dunia oleh Debata Mulajadi Nabolon. Adat inti diberikan bersamaan dengan penciptaan. Sesudah Mulajadi Nabolon menciptakan dewa tiga serangkai yaitu Batara Guru, Bala Sori dan Bala Bulan, maka dengan segera dimamahkanlah kepada mereka undang-undang dan hukum untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Tatkala pada awal mula manusia pertama dicipta (ada) di dunia ini maka Mula Jadi Nabolon memeteraikan “adat” dalam diri manusia tersebut serta memeteraikan undang-undang dan hukum ke dalam hati mereka tentang yang boleh dan terlarang, yakni “terlarang” (tongka), “jangan” (unang) dan tak patut (naso jadi). Dengan demikian, Adat Inti mutlak harus dituruti dan dilaksanakan sebagai undang-undang, adat dan hukum dalam kehidupan, seperti yang ditegaskan dalam ungkapan berikut :<br />Adat do ugari<br />Sinihathon ni Mulajadi<br />Siradotan manipat ari<br />Siulahonon di siulu balang ari <br />Artinya:<br />Adat adalah aturan yang ditetapkan oleh Tuhan Pencipta (debata mulajadi nabolon), yang harus dituruti sepanjang hari dan tampak dalam kehidupan .<br />Harus diakui bahwa adat dilakukan pada saat sekarang oleh masyarakat Batak Toba adalah mengacu pada Adat Inti, walaupun secara empirik tata cara Adat Inti ini tidak pernah lagi dilaksanakan secara utuh. Sifat adat inti adalah “primer” dalam arti mendahului dan konsitutif terhadap yang lain yang mengemban muatan etis normatif dan kemutlakan serta konservatif (tidak berubah). Pelaksanaan Adat Inti tidak boleh dimufakati untuk mengobahnya dalam upacara adat karena terikat dengan norma dan aturan yang diturunkan oleh Mula Jadi Nabolon (sebelum agama mempengaruhi sikap etnis Batak Toba terhadap upacara adat).<br />Misalnya menentukan hari pelaksanaan upacara adat (maniti ari), menentukan media dan adat yang akan digunakan dalam upacara adat. Misalnya menentukan daging yang akan dimakan, kerbau, lembu atau babi, tergantung pada jenis adat yang dilaksanakan. Gondang sabangunan atau uning-uningan, musik tiup, key board tidak dikenal (tidak diperbolehkan) dalam pelaksanaan adat inti, dan banyak lagi norma-norma yang mutlak harus ditaati dan dipenuhi sejak merencanakan kegiatan, hari pelaksanaan dan sesudah upacara adat.<br />Karena adat inti ini mutlak dan konservatif serta mengemban muatan etis normatif pelaksanaannya tidak bisa diobah. Misalnya, acara adat sari matua tidak bisa diobah menjadi acara adat saur matua dan lain-lain. Menurut RP Tampubolon menuruti atau melanggar adat inti sebagai undang-undang (patik) dan hukum (uhum) adalah soal hidup atau mati, melanggar dan mengobahnya adalah dosa berat yang mengakibatkan kebinasaan.<br />Dengan uraian tentang Adat Inti di atas maka kita pada saat sekarang yang masih setia melaksanakan upacara adat, kita tidak mungkin lagi (tidak mampu) melaksanakannya sesuai dengan iman berdasarkan agama yang kita anut dan inilah merupakan pergeseran pelaksanaan adat yang kita laksanakan.<br /><br />2. ADAT NA TARADAT<br />Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati oleh warga-warga masyarakat.<br />Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang stagnasi dan konservatisme.<br />Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.<br /><br />Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi<br />Napinungka ni ompunta na parjolo<br />Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi<br />(Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang).<br /><br />Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang.<br />Ungkapan ini menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain :<br /><br />Aek godang tu aek laut<br />Dos ni roha do sibahen na saut,<br />Artinya Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan<br /><br />Nangkok si puti tuat si deak<br />a i na ummuli ima tapareak,<br />artinya Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan.<br />Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot, sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.<br />Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat yang telah ditentukan.<br />Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip. Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura) menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh) helai sampai 800 (baca delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari (diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.<br />Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon).<br />Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit).<br />Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan. Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.<br /><br />3. Adat na Niadathon<br />Adat na Niadathon yaitu tingkatan pelaksanaan tata upacara adat yang sudah dipengaruhi kebudayaan dan peradaban yang telah menjadi kebiasaan dan kelaziman baru. Melalui kebiasaan pelaksanaan adat pada species 2 yaitu Adat na Taradat terjadilah pergeseran-pergeseran nilai dan perobahan pelaku adat untuk menyikapi pelaksanaan upacara adat inti, melainkan memunculkan “adat baru” melawan dan menindas tata laksana upacara adat inti. Bentuk-bentuk kegiatan upacara adat yang baru pun muncul antara lain upacara adat wisuda, babtisan anak, lepas sidi, perayaan ulang tahun, peresmian perusahaan, dan lain-lain, yang sebenarnya jenis upacara adat di atas tidak dijumpai pada upacara adat Batak Toba khususnya pada adat inti.<br />Pada upacara adat dalam species Adat na Niadathon ini sangat dipengaruhi oleh unsur keagamaan. Di sini keterbukaan pintu adaptasi terhadap budaya dan kebiasaan dari luar atau pengaruh era globalisasi telah digunakan untuk merongrong dan menjajah adat inti atau adat asli yang selalu dilaksanakan etnis Batak Toba yang lama kelamaan menjadi memudar dan kabur, dan mungkin pada suatu saat akan tidak jelas dan pada akhirnya akan lenyap.<br /><br />4. Adat na Soadat<br />Spesies adat berikut ini secara harafiah Adat na Soadat adalah adat yang bukan adat, karena tata laksana upacara adat disini tidak lagi berdasarkan struktur dan sistematika yang lazim dilaksanakan oleh etnis Batak Toba. Upacara yang dilaksanakan adalah sekedar “ngumpul” dalam bentuk resepsi, baik dalam upacara perkawinan, kematian dan lain-lain.<br />Struktur kekerabatan Dalihan Natolu yaitu hula-hula (pihak pengambilan boru), dongan tubu (saudara semarga), dan boru (pihak yang mengambil isteri) tidak lagi difungsikan, demikian juga halnya simbol-simbol dan media yang digunakan dalam upacara adat seperti dengke (ikan), boras (beras), ulos, jambar (daging yang dibagi-bagikan sesuai dengan kedudukan (status) kekerabatan (affina) seseorang pada upacara adat) dan lain-lain semua disingkirkan. Dalam penolakan upacara adat dalam spesies Adat na Soadat ini umpama Batak Toba menyebutkan :<br /><br />Mumpat taluktuk, sega gadu-gadu<br />Nunga muba adat naung buruk ala ro adat naimbaru,<br />(Tercabut patok, rusak pembatas sawah, adat yang lama telah berobah karena sudah datang adat yang baru).<br /><br />Ungkapan ini sebenarnya berkonotasi yang tidak baik karena patok adalah petunjuk yang ditetapkan dan dimufakati justru dicabut, maka ketetapan boleh dilanggar, hal ini akan menimbulkan ketegangan dan perpercahan. Pembatas sawah yang dianalogikan sebagai aturan dan batas-batas tindakan dan perilaku dengan dasar nilai-nilai adat sudah rusak akan menimbulkan kekhaosan, pertentangan dan perpercahan.<br />Kelompok yang menolak upacara adat ini adalah sebahagian dari kelompok agama Kristen sekte kharismatik dan juga kelompok agama Kristen Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan mungkin individu-individu pada gereja suku yang menolak pelaksanaan upacara adat. Menurut kelompok ini upacara adat berasal dari leluhur yang masih hidup dalam penyembahan berhala pada masa kegelapan sebelum agama Kristen masuk ke daerah Batak Toba. Oleh karena itu upacara adat tidak hanya sebagai aktivitas sosial yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan segala ide, gagasan, paradigma, norma kuasa roh kegelapan yang ada di belakangnya dengan demikian upacara adat sangat bertentangan dengan hukum dan Firman Tuhan (H J Silalahi, 2004)..<br /><br />Kesimpulan <br />“Seandainya” ada sisi negatif dari pelaksanaan upacara adat tetapi masih lebih banyak sisi positifnya. Oleh karena itulah masih banyak (mayoritas) etnis Batak Toba melaksanakan upacara adat. Adat yang dilaksanakan pada saat sekarang adalah berlandaskan kepada ajaran agama yang diterangi oleh Firman Tuhan. Dengan demikian adat merupakan media perwujudnyataan “kasih” seperti yang diajarkan oleh Tuhan Allah. Sesudah agama Kristen dianut mayoritas etnis Batak Toba fungsi adat sebagai mengatur kehidupan manusia untuk menciptakan keteraturan, ketentraman dan keharmonisan, dikonotasikan dalam istilah hadameon (kedamaian), bukan menciptakan ketegangan dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu seluruh komponen khususnya etnis Batak Toba berkewajiban melestarikan adat Batak Toba itu.<br />Kepada saudara-saudara dari kelompok sekte Kharismatik dan kelompok-kelompok lainnya yang menolak upacara adat Batak Toba perlu disadari bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Lebih-lebih satu rumpun keluarga yang masuk dalam sistem kekerabatan. Manusia hidup di tengah-tengah kemajemukan suku, agama, ras dan adat. Supaya hidup berdampingan rukun dan damai tidak mungkin dipaksakan suatu norma aturan dan hukum yang digariskan dengan satu sudut pandang satu agama untuk itu perlu tenggang rasa dan saling menghargai, menghindarkan kekhaosan perpecahan dan konflik<br /><br /> . SISTEM KEKERABATAN DAN KEMASYARAKATAN<br /><br />MARGA DAN TAROMBO<br />MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal).<br />Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki.<br />Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya.<br />Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.<br />Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.<br />TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah.<br />Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga.<br />Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo.<br />Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan panggilan “ampara” atau “marhula-hula” dengan panggilan “lae/tulang”.<br />Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan ayah/bibi), “Amangboru/Makela”,(suami dari adik ayah/Om), “Bapatua/Amanganggi/Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.<br /><br />Dalihan Natolu<br />Salah satu contoh adat istiadat batak adalah “Dalihan Natolu”. “Dalihan Natolu” ini melambangkan sikap hidup orang batak dalam bermasyarakat. “Dalihan Natolu” yaitu: <br /><br />Marsomba tu Hula-Hula.<br />“Hula-Hula” adalah Orang tua dari wanita yang dinikahi oleh seorang pria, namun hula-hula ini dapat diartikan secara luas. Semua saudara dari pihak wanita yang dinikahi oleh seorang pria dapat disebut hula-hula. Marsomba tu hula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. <br /><br />Elek marboru.<br />Boru adalah anak perempuan dari suatu marga, misalnya boru gultom adalah anak perempuan dari marga Gultom. Dalam arti luas, istilah boru ini bukan berarti anak perempuan dari satu keluarga saja, tetapi dari marga tersebut. Elek marboru artinya harus dapat merangkul boru.Hal ini melambangkan kedudukan seorang wanita didalam lingkungan marganya. <br /><br />Manat mardongan tubu.<br />Dongan Tubu adalah saudara-saudara semarga. Manat Mardongan Tubu melambangkan hubungan dengan saudara-saudara semarga. Dalihan Natolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat.<br /><br />Paratur ni parhundulon<br />Paratur ni parhundulon berarti posisi duduk, ini adalah salah satu istilah dalam ritual adat Batak, yang kemudian dimaknakan dalam kehidupan sehari-hari. Posisi duduk dalam suatu acara adat Batak sangat penting, karena itu akan mencerminkan unsur-unsur penghormatan kepada pihak-pihak tertentu. Karena yang menulis sumber-sumber bacaan ini, termasuk saya, kesemuanya laki-laki, maka ada baiknya kita memposisikan diri sebagai pihak laki-laki, agar nantinyamudah memahami berbagai struktur partuturon yang saya dan kita semua tahu, sangat rumit. Kepada ito-ito yang mungkin akan kebingungan, cobalah membayangkan seolah ito-ito semua adalah laki-laki dalam keluarga.<br />Dalam kehidupan orang Batak sehari-hari, kekerabatan (partuturon ) adalah kunci pelaksanaan dari falsafah hidupnya, Boraspati ( digambarkan dengan dua ekor cecak/cicak, saling berhadapan, yang menempel di kiri-kanan Ruma Gorga/Sopo/Rumah Batak ). Kekerabatan itu pula yang menjadi semacam tonggak agung untuk mempersatukan hubungan darah, menentukan sikap kita untuk memperlakukan orang lain dengan baik ( nice attitude ).<br />Ada tiga bagian kekerabatan, dinamakan ” Dalihan Na Tolu ”. Adapun isi :<br />1. Manat mardongan tubu = hati-hati bersikap terhadap dongan tubu<br />2. Elek marboru = memperlakukan semua perempuan dengan kasih<br />3. Somba marhulahula = menghormati pihak keluarga perempuan<br />Yang dimaksud dengan dongan tubu ( sabutuha ) :<br />1. Dongan sa-ama ni suhut = saudara kandung<br />2. Paidua ni suhut ( ama martinodohon ) = keturunan Bapatua/Amanguda<br />3. Hahaanggi ni suhut / dongan tubu ( ompu martinodohon ) = se-marga, se-kampung<br />4. Bagian panamboli ( panungkun ) ni suhut = kerabat jauh<br />5. Dongan sa-marga ni suhut = satu marga<br />6. Dongan sa-ina ni suhut = saudara beda ibu<br />7. Dongan sapadan ni marga ( pulik marga ), mis : Tambunan dengan Tampubolon ( Padan marga akan saya tuliskan juga nanti, lengkap dengan ‘Padan na buruk’ =sumpah<br />Mistis jaman dulu yang menyebabkan beberapa marga berselisih, hewan dengan marga, kutukan yang abadi, dimana hingga saat ini tetap ada tak berkesudahan )<br />Kata-kata bijak dalam berhubungan dengan dongan sabutuha:<br />Manat ma ho mardongan sabutuha, molo naeng sangap ho<br />Tampulon aek do na mardongan sabutuha<br />Tali papaut tali panggongan, tung taripas laut sai tinanda do rupa ni dongan<br /><br />Yang dimaksud dengan boru :<br />1. Iboto dongan sa-ama ni suhut = ito kandung kita<br />2. Boru tubu ni suhut = puteri kandung kita<br />3. Namboru ni suhut<br />4. Boru ni ampuan, i ma naro sian na asing jala jinalo niampuan di huta ni iba = perempuan pendatang yang sudah diterima dengan baik di kampung kita<br />5. Boru na gojong = ito, puteri dari Amangtua/Amanguda ataupun Ito jauh dari pihak ompung yang se-kampung pula dengan pihak hulahula<br />6. Ibebere/Imbebere = keponakan perempuan<br />7. Boru ni dongan sa-ina dohot dongan sa-parpadanan = ito dari satu garis tarombo dan perempuan dari marga parpadanan ( sumpah ).<br />8. Parumaen/maen = perempuan yang dinikahi putera kita, dan juga isteri dari semua laki-laki yang memanggil kita ‘Amang’<br /><br />Kata-kata bijak dalam berhubungan dengan boru :<br />Elek ma ho marboru, molo naeng ho sonang<br />Bungkulan do boru ( sibahen pardomuan )<br />Durung do boru tomburon hulahula, sipanumpahi do boru tongtong di hulahula<br />Unduk marmeme anak, laos unduk do marmeme boru = kasih sayang yang sama terhadap putera dan puteri<br />Tinallik landorung bontar gotana, dos do anak dohot boru nang pe pulikpulik margana<br /><br />Kata-kata bijak perihal bere :<br />Amak do rere anak do bere, dangka do dupang ama do tulang<br />Hot pe jabu i sai tong do i margulanggulang, tung sian dia pe mangalap boru bere i sai hot do i boru ni tulang<br /><br />Yang dimaksud dengan hulahula :<br />1. Tunggane dohot simatua = lae kita dan mertua<br />2. Tulang<br />3. Bona Tulang = tulang dari persaudaraan ompung<br />4. Bona ni ari = hulahula dari Bapak ompung kita . Pokoknya, semua hulahula yang posisinya sudah jauh di atas, dinamai Bona ni ari.<br />5. Tulang rorobot = tulang dari lae/isteri kita, tulang dari nantulang kita, tulang dari ompung boru lae kita dan keturunannya. Boru dari tulang rorobot tidak bisa kita nikahi, merekalah yang disebut dengan inang bao.<br />6. Seluruh hulahula dongan sabutuha, menjadi hulahula kita juga<br /><br />Kata-kata bijak penuntun hubungan kita dengan hulahula :<br />Sigaiton lailai do na marhulahula, artinya ; sebagaimana kalau kita ingin menentukan jenis kelamin ayam (jantan/betina ), kita terlebih dulu menyingkap lailai-nya dengan ati-hati, begitupula terhadap hulahula, kita harus terlebih dulu mengetahui sifat-sifat dan tabiat mereka, supaya kita bisa berbuat hal-hal yang menyenangkan hatinya.<br />Na mandanggurhon tu dolok do iba mangalehon tu hulahula, artinya ; kita akan mendapat berkat yang melimpah dari Tuhan, kalau kita berperilaku baik terhadap hulahula.<br />Hulahula i do debata na tarida<br />Hulahula i do mula ni mata ni ari na binsar. Artinya, bagi orang Batak, anak dan boru adalah matahari ( mata ni ari ). Kita menikahi puteri dari hulahula yang kelak akan memberi kita hamoraon, hagabeon, hasangapon, yaitu putera dan puteri (hamoraon, hagabeon, hasangapon yang hakiki bagi orang Batak bukanlah materi, tetapi keturunan,selengkapnya baca di ‘Ruma Gorga’ )<br />Obuk do jambulan na nidandan baen samara, pasupasu na mardongan tangiang ni hulahula do mambahen marsundutsundut so ada mara<br />Nidurung Situma laos dapot Porapora, pasupasu ni hulahula mambahen pogos gabe mamora<br /><br />Nama-nama partuturon dan bagaimana kita memanggilnya<br /><br />A. Dalam keluarga satu generasi :<br />1. Amang/Among : kepada bapak kandung<br />2. Amangtua : kepada abang kandung bapak kita, maupun par-abangon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon. Namun kita bisa juga memanggil ‘Amang’ saja<br />3. Amanguda : kepada adik dari bapak kita, maupun par-adekon bapak dari dongan sabutuha, parparibanon. Namun bisa juga kita cukup memanggilnya dengan sebutan “Amang’ atau ‘Uda’<br />4. Haha/Angkang : kepada abang kandung kita, dan semua par-abangon baik dari amangtua, dari marga<br />5. Anggi : kepada adik kandung kita, maupun seluruh putera amanguda, dan semua laki-laki yang marganya lebih muda dari marga kita dalam tarombo. Untuk perempuan yang kita cintai, kita juga bisa memanggilnya dengan sebutan ini atau bisa juga ‘Anggia’<br />6. Hahadoli : atau ‘Angkangdoli’, ditujukan kepada semua laki-laki keturunan dari ompu yang tumodohon ( mem-per-adik kan ) ompung kita<br />7. Anggidoli : kepada semua laki-laki yang merupakan keturunan dari ompu yang ditinodohon ( di-per-adik kan ) ompung kita, sampai kepada tujuh generasi sebelumnya. Uniknya, dalam acara ritual adat, panggilan ini bisa langsung digunakan.<br />8. Ompung : kepada kakek kandung kita. Sederhananya, semua orang yang kita panggil dengan sebutan ‘Amang’, maka bapak-bapak mereka adalah ‘Ompung’ kita. Ompung juga merupakan panggilan untuk datu/dukun, tabib/Namalo.<br />9. Amang mangulahi : kepada bapak dari ompung kita. Kita memanggilnya ‘Amang’<br />10. Ompung mangulahi: kepada ompung dari ompung kita<br />11. Inang/Inong : kepada ibu kandung kita<br />12. Inangtua : kepada isteri dari semua bapatua/amangtua<br />13. Inanguda : kepada isteri dari semua bapauda/amanguda<br />14. Angkangboru : kepada semua perempuan yang posisinya sama seperti ‘angkang’<br />15. Anggiboru : kepada adik kandung. Kita memanggilnya dengan sebutan ‘Inang’<br />16. Ompungboru : lihat ke atas<br />17. Ompungboru mangulahi : lihat ke atas<br />18. (Note : sampai disini, kalau masih bingung, mari minum-minum kopi sambil merokok-merokok, atau minum-minum jus)<br /><br />B. Dalam hubungan par-hulahula on<br />1. Simatua doli : kepada bapak, bapatua, dan bapauda dari isteri kita. Kita memangilnya dengan sebutan ‘Amang’<br />2. Simatua boru : kepada ibu, inangtua, dan inanguda dari isteri kita. Kita cukup memangilnya ‘Inang’<br />3. Tunggane : disebut juga ‘Lae’, yakni kepada semua ito dari isteri kita<br />4. Tulang na poso : kepada putera tunggane kita, dan cukup dipangil ‘Tulang’<br />5. Nantulang na poso : kepada puteri tunggane kita, cukup dipanggil ‘Nantulang’<br />6. Tulang : kepada ito ibu kita<br />7. Nantulang : kepada isteri tulang kita<br />8. Ompung bao : kepada orangtua ibu kita, cukup dipanggil ‘Ompung’<br />9. Tulang rorobot : kepada tulang ibu kita dan tulang isteri mereka, juga kepada semua hulahula dari hulahula kita (amangoi…borat na i )<br />10. Bonatulang/Bonahula : kepada semua hulahula dari yang kita panggil ‘Ompung’<br />11. Bona ni ari : kepada hulahula dari ompung dari semua yang kita panggil ‘Amang’, dan generasi di atasnya<br /><br />C. Dalam hubungan par-boru on<br />1. Hela : kepada laki-laki yang menikahi puteri kita, juga kepada semua laki-laki yang menikahi puteri dari abang/adik kita. Kita memanggilnya ‘Amanghela’<br />2. Lae : kepada amang, amangtua, dan amanguda dari hela kita. Juga kepada laki-laki yang menikahi ito kandung kita<br />3. Ito : kepada inang, inangtua, dan inanguda dari hela kita<br />4. Amangboru : kepada laki-laki ( juga abang/adik nya) yang menikahi ito bapak kita<br />5. Namboru : kepada isteri amangboru kita<br />6. Lae : kepada putera dari amangboru kita<br />7. Ito : kepada puteri dari amangboru kita<br />8. Lae : kepada bapak dari amangboru kita<br />9. Ito : kepada ibu/inang dari amangboru kita<br />10. Bere : kepada abang/adik juga ito dari hela kita<br />11. Bere : kepada putera dan puteri dari ito kita<br />12. Bere : kepada ito dari amangboru kita<br /><br />Alus ni tutur tu panjouhon ni partuturan na tu ibana ( hubungan sebutan kekerabatan timbal balik )Kalau kita laki-laki dan memanggil seseorang dengan : Orang itu akan memanggil kita:<br />• amang, amangtua VS amanguda amang<br />• inang, inangtua VS inanguda amang<br />• angkang VS anggi<br />• ompungdoli (suhut = dari pihak laki-laki) VS anggi<br />• ompungboru ( suhut ) VS anggi<br />• ompungdoli ( bao = dari pihak perempuan ) VS lae<br />• ompungboru ( bao ) VS amangbao<br />• inang ( anggiboru ) VS amang<br />• anggia VS angkang<br />• anggia ( pahompu ) VS ompung<br />• inang ( bao ) VS amang<br />• inang ( parumaen ) VS amang<br />• amang ( simatua ) VS amanghela<br />• inang ( simatua ) VS amanghela<br />• tunggane VS lae<br />• tulang VS bere<br />• nantulang VS bere<br />• tulang na poso VS amangboru<br />• nantulang na poso VS amangboru<br />• bere VS tulang<br />• ito VS ito<br />• parumaen/maen VS amangboru<br />• amang ( na mambuat maen ni iba ) VS amang<br />Beberapa hal yang perlu di ingat :<br />1. Hanya laki-laki lah yang mar-lae, mar-tunggane, mar-tulang na poso dohot nantulang na poso<br />2. Hanya perempuan lah yang mar-eda, mar-amang na poso dohot inang na poso<br /><br />Di daerah seperti Silindung dan sekitarnya, dalam parparibanon, selalu umur yang menentukan mana sihahaan (menempati posisi haha ), mana sianggian ( menempati posisi anggi ). Tapi kalau di Toba, aturan sihahaan dan sianggian dalam parparibanon serta dongan sabutuha sama saja aturannya.<br />Ada lagi istilah LEBANLEBAN TUTUR, artinya pelanggaran adat yang dimaafkan. Misalnya begini : saya punya bere, perempuan, menikah dengan laki-laki, putera dari dongan sabutuha saya. Nah, seharusnya, si bere itu memanggil saya ‘Amang’ karena pernikahan itu meletakkan posisi saya menjadi mertua/simatua, dan laki-laki itu harus memanggil saya ‘Tulang rorobot’ karena perempuan yang dia nikahi adalah bere saya. Tapi tidaklah demikian halnya. Partuturon karena keturunan lebih kuat daripada partuturon apa pun, sehingga si bere harus tetap panggil saya ‘Tulang’ dan si laki-laki harus tetap memanggil saya ‘Bapatua/bapauda’.<br /><br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-85985029497241270522008-11-13T01:22:00.000-08:002008-11-13T01:47:17.772-08:00Kebudayaan BaliSuku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu. <span class="fullpost"><br /><br />Penduduk Bali asli adalah sebagian besar suku Bali menganut agama Hindu Dharma yang sangat terikat pada segi-segi kehidupan sosial, yaitu:<br />1. Pada kewajiban melakukan pemujaan terhadap pura tertentu<br />2. Pada satu tempat tinggal bersama atau komunitas<br />3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam subak tertentu<br />4. Pada satu status sosial atas dasar warna<br />5. Pada ikatan kekerabatan menurut prinsip patrilineal<br />6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu<br />7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu<br /><br />Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dahulu menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di Bali, yaitu Masyarakat Bali-Aga dan Bali-Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali-Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Sekarang ini komunikasi modern, pendidikan, serta proses modernisasi telah membawa banyak perubahan-perubahan juga dalam masyarakat dan kebudayaan di desa-desa tersebut. Orang Bali-Majapahit yang pada umumnya diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali. Kecuali di pulau Bali, ada juga orang Bali di bagian barat dari Pulau Lombok, sedangkan usaha transmigrasi oleh pemerintah telah menyebarkan mereka ke daerah-daerah lain seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Nusa Tenggara.<br /><br />Leluhur orang Bali masuk ke Bali dalam tiga periode: gelombang pertama adalah suku proto-Melayu yang datang dari Jawa dan Kalimantan pada zaman prasejarah; gelombang kedua adalah migrasi sedikit demi sedikit dari Jawa pada zaman Hindu; gelombang ketiga dan terakhir juga datang dari Jawa sekitar abad ke-15 dan 16, masa konversi Islam di Pulau Jawa, para aristrokrat Jawa terutama dari Kerajaan Majapahit melarikan diri dari ke Bali untuk menghindari pengkonversion Islam, merekalah yang akhirnya membentuk kultur Bali yang merupakan suatu bentuk sinkretisasi dari kultur Jawa klasik dengan banyak tambahan elemen Bali. Kenyataannya memang leluhur suku Bali kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.<br /><br /> <br />1.1. Identifikasi Geografi<br /><br />Secara geografis Bali terletak diantara dua lautan luas yaitu Samudra Indonesia dan Laut Jawa dan diapit oleh Pulau Jawa disebelah barat dan Pulau Lombok di sebelah timur. Bali merupakan bagian dari Kepulauan Sunda Kecil. Pulau Bali yang mempunyai panjang 153 km dan lebar 112 km secara astronomi terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur<br /> <br />Pulau Bali dikeliling oleh beberapa pulau kecil-kecil seperti Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan yang terletak di selatan Pulau Bali dan Pulau Manjangan yang terletak di utara Pulau Bali. Pulau Nusa Penida merupakan pulau terbesar kedua jaraknya sekitar sembilan km dari pantai selatan Pulau Bali.<br /> <br />Pulau Bali yang terletak di deretan pegunungan api terdapat gunung berapi yang masih aktif diantaranya Gunung Agung dan Gunung Batur. Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung Agung pernah meletus tahun 1963 yang menyebabkan hujan abu di sebagian besar Pulau Bali. Sedangkan Gunung Batur terakhir meletus tahun 1994 dimana letusannya tidak begitu besar.<br /> <br />Deretan pegunungan di Pulau Bali terletak di sebelah utara pulau, sehingga daerah utara Pulau Bali sebagian besar dataran tinggi. Berbeda dengan bagian utara, bagian selatan merupakan daerah dataran rendah yang subur. Keindahan dataran tinggi dengan pegunungan dan lembahnya juga dihiasi dengan danau. Ada beberapa danau di Bali yaitu Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Danau terbesar adalah Danau Batur yang letaknya di Kabupaten Bangli.<br /> <br />Karena letaknya disekitar 8° Lintang Selatan, Bali mempunyai iklim tropis jadi sepanjang tahun ada matahari. Umumnya daerah yang beriklim tropis mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim panas. Di mana musim hujan biasanya jatuh sekitar bulan Nopember sampai bulan Maret dan musim kemarau jatuh sekitar bulan April sampai Oktober.<br /><br />Pulau Bali yang beriklim tropis mempunyai beraneka ragam flora dan fauna. Sebagaian besar flora dan fauna yang hidup di Pulau Bali merupakan falura dan fauna yang umum hidup di daerah tropis (Jawa-Indonesia). Jalak Bali yang merupakan hewan langka yang dilindungi, keindahan bulu dan kicauannya membuat pecinta burung memburunya.<br /><br />Walaupun dengan kekayaan tambang yang miskin tetapi Pulau Bali memiliki keindahan alam yang tiada duanya sehingga sering disebut paradise island. Keindahan alam yang mempesona para wisatawan dan dengan kekhasan budaya menyebabkan kemajuan yang pesat pada sektor pariwisata.<br /><br /> <br />1.2. Identifikasi Demografi<br /><br />Berdasarkan data statistik tahun 2002 tercatat jumlah penduduk di Bali sebanyak 3.216.881 jiwa yang terdiri dari 1.632.995 jiwa (50,76%) penduduk laki-laki dan 1.583.886 jiwa (49,24%) penduduk perempuan. Jumlah penduduk tahun 2002 ini naik 1,92% dari tahun sebelumnya sebanyak 3.156.392 jiwa. Dengan luas wilayah 5.632,86 km2, maka kepadatan penduduk di Bali telah mencapai 571 jiwa/km2.<br /><br />Selain penduduk asli Bali ada juga pendatang dari Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatra, Sulawesi bahkan dari Kalimantan. Sebagian besar penduduk yang dari luar Pulau Bali ke Bali karana tugas pekerjaan dan mencari nafkah di Bali. Tapi ada juga yang sudah turun temurun bertempat tinggal di Bali sehingga sudah beradaptasi sama kebudayaan di Bali. Seperti kampung Bugis di Serangan, di Kepaon dan banyak lagi.<br /><br />1.2.1. Bahasa<br /><br />Bahasa Bali memiliki tradisi sastra, baik tulisan maupun lisan serta didukung oleh sistem aksara tersendiri. Bahasa Bali merupakan bahasa penghantar yang umum masyarakat Bali, selain itu bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional juga digunakan khususnya untuk hubungan formal. Sedangkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional digunakan bagi masyarakat pelaku pariwisata. Lebih lanjut mengenai Bahasa dan Aksara Bali dapat dibaca pada bagian Produk Budaya.<br /><br />1.2.2. Transportasi<br /><br />Sebagaian besar penduduk Bali memiliki kendaraan sendiri, biasanya minimal mereka memiliki sepeda motor. Sehingga kendaraan umum kurang tersedia, kalaupun ada hanya melewati jalan-jalan tertentu dan rutenya terbatas, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain:<br />- Dokar (kendaraan dengan menggunakan hewan kuda sebagai alat penarik)<br />- Ojek (kendaraan umum dengan menggunakan sepeda motor)<br />- Bemo (kendaraan umum sejenis mikrolet)<br />- Bemo dalam kota<br />- Bemo luar kota (dengan jenis lebih besar)<br />- Taksi<br />- Bus antar kota atau kabupaten<br />- Bus luar pulau<br /><br />Untuk transportasi ke luar Pulau Bali, tersedia transportasi udara dan laut. Seperti pelabuhan Gilimanuk penyeberangan ke Pulau Jawa yang menggunakan kapal ferry yang memakan waktu antara 30 menit sampai 45 menit. Untuk penyeberangan ke Pulau Lombok, penyeberangan laut melalui pelabuhan Padang Bay menuju Lembar memakan waktu sekitar 4 jam. Juga kita bisa menggunakan transportasi udara yang dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai.<br /><br /> <br />1.2.3. Pemerintahan<br /><br />Propinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota madya, 51 kecamatan, 658 desa, 3.568 banjar dinas. Propinsi Bali dipimpin oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten dipimpin oleh seorang bupati dan kota madya dipimpin oleh seorang walikota.<br /><br />Daftar Daerah Tingkat II di Bali:<br />1. Kabupaten Badung<br />2. Kabupaten Bangli<br />3. Kabupaten Buleleng<br />4. Kabupaten Gianyar<br />5. Kabupaten Jembrana<br />6. Kabupaten Karangasem<br />7. Kabupaten Klungkung<br />8. Kabupaten Tabanan<br />9. Kota Madya Denpasar<br /><br />1.3. Identifikasi Sejarah<br /><br />1.3.1 Masa Prasejarah<br /><br />Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya. Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.<br /><br />Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi:<br />1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana<br />2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut<br />3. Masa bercocok tanam<br />4. Masa perundagian<br /><br />Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar.<br /><br />Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar yaitu goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. <br /><br />Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).<br /><br />Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. Di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. Dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.<br /><br />Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.<br /><br />Dari peninggalan-peninggalan arkeologi yang dapat dijumpai di Bali, membuktikan bahwa pada masa itu manusia Bali telah memiliki suatu kepercayaan yang tersistem walaupun masih sederhana yaitu:<br />- Kepercayaan pada gunung sebagai alam arwah tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Gunung dan laut melambangkan laki dan perempuan yang menciptakan kesuburan.<br />- Kepercayaan alam nyata dan tidak nyata. Alam nyata adalah tempat kehidupan di dunia ini sedangkan alam tidak nyata adalah alam yang dituju oleh orang yang telah meninggal. Dan di alam tidak nyata pun ada kemungkinan kembali ke alam nyata.<br />- Kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian dan akan menjelma kembali atau yang saat ini dikenal dengan nama reinkarnasi.<br />- Kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang dipuja untuk mohon perlindungan oleh keturunannya.<br /><br />Manusia Bali keturunan Austronesia pada masa itu hidup berkelompok dan dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umumnya disebut dengan Sahing 16, dan kepala suku atau pimpinannya disebut dengan nama Jro Gede yang penunjukannya dilakukan dengan sistem hulu apad yaitu sistem giliran menurut usia tertua anggota persekutuan. Persekutuan kepemimpinan tersebut masih ada sekarang dan tetap dipertahankan di desa-desa Bali Aga, terutama dalam hal adat. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali.<br /><br />Manusia Austronesia inilah yang menjadi leluhur sebagian orang Bali Mula, yang kemudian membaur pada masa berikutnya dengan orang-orang yang datang dari luar Bali. Kebudayaan Bali Mula masih melanjutkan tradisi bangsa Austronesia, walaupun kedatangan kebudayaan agama Hindu, tetapi mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja, misalnya ngaben mereka terima tapi membakar mayat tidak, lalu muncullah istilah beya tanem. Dan saat ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, parasbaan, kapas dan lain-lainnya, mereka hanya menggunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang, plawa dan sebagainya.<br /><br />Mereka yang dikelompokkan sebagai warga Bali Mula, dengan ketua kelompok yang kemudian disebut dengan Pasek Bali, diantaranya adalah Pasek Taro.<br /><br />1.3.2. Masa Sejarah<br /><br />1.3.2.1. Masuknya Agama Hindu<br /><br />Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata Walidwipa. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.<br /><br />Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah panglapuan. Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah pakiran-kiran i jro makabaihan. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.<br /><br />Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.<br /><br />Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.<br /><br />1.3.2.2. Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada<br /><br />Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.<br /><br />1.3.2.3. Zaman Gelgel<br /><br />Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460-1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550-1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605-1686).<br /><br />1.3.2.4. Zaman Kerajaan Klungkung<br /><br />Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.<br /><br />Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.<br /> <br />2. MATA PENCAHARIAN<br /><br />Mata pencaharian utama masyarakat Bali adalah bertani meskipun Bali terkenal akan pariwisatanya. Hampir 70% dari mereka berpenghidupan dari bercocok tanam dan hanya 30% hidup dari peternakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai, atau lainnya. Karena adanya perbedaan lingkungan alam dan iklim di berbagai tempat di Bali, maka terdapat perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam.<br /><br />Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran sedikit dan curah hujan kurang sehingga bercocok tanam relatif lebih terbatas daripada di Bali selatan. Selain bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara sebelah timur dan barat terdapat usaha perkebunan buah (jeruk), palawija, kelapa, dan kopi (di pegunungan). Kebun kopi rakyat menurut catatan Dinas Pertanian, meliputi wilayah seluas 26.657 Ha dan terutama terdapat di daerah pegunungan daerah Buleleng (Singaraja) dan Tabanan. Kadang letaknya sangat tinggi dan sulit didatangi. Jenis kopi yang ditanam adalah Robusta dan Arabica. Hasil perkebunan ini diekspor dan cukup membantu perekonomian rakyat. Dari segi hasil, setelah kopi maka kelapa menjadi sumber pendapatan yang juga penting. Luas kebun-kebun kelapa mencapai 6.650,5 Ha. Kelapa juga merupakan komoditi ekspor selain digunakan untuk keperluan lokal. Selain untuk membuat kopra, batok serta serabut kelapa digunakan untuk bahan kerajinan rakyat. Sedangkan hasil perkebunan buah seperti jeruk (di Kabupaten Buleleng) dan salak (di Karangasem), dijual terutama di kota-kota besar di Jawa.<br /><br />Di daerah Bali selatan yang merupakan dataran yang lebih luas, dan pada umumnya dengan curah hujan yang cukup baik, penduduk terutama bercocok tanam di sawah. Untuk itu diperlukan sistem pengairan yang baik, maka berkembanglah sistem subak, yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Bila air cukup, padi ditanam secara terus menerus tanpa diselingi penanaman palawija (sistem ini disebut tulak sumur). Sebaliknya, apabila keadaan air kurang cukup, maka diadakan giliran penanaman padi dan palawija (sistem ini disebut kertamasa).<br /><br />Di daerah-daerah yang karena luas tanah pada umumnya tidak mencukupi keperluan penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat, terdapat sistem penggarapan tanah yang dikerjakan oleh buruh tani. Sebelum ada undang-undang yang mengatur hal ini, terdapat berbagai sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarapnya. Sistem bagi hasil tersebut misalnya nandu, pembagian setengah-setengah; nelon (3/5-2/5); ngepit (2/5-1/3); dan mrapat (3/4-1/4) antara pemilik dan penggarap. Di daerah yang airnya kurang atau mendapat air dari hujan, ditanam padi gaga, jagung, kacang-kacangan, dsb. Karena itu keadaan makan penduduk Bali di berbagai daerah berbeda-beda, ada yang makan beras tulen dan ada yang makan beras campuran (dengan jagung atau ketela rambat, disebut cacah).<br /><br />Kecuali bercocok tanam, beternak merupakan usaha yang penting dalam masyarakat pedesaan di Bali. Binatang ternak yang utama aalah babi dan sapi. Babi dipelihara terutama oleh para wanita, biasanya sebagai sambilan dari dalam kehidupan rumah tangga; sedangkan sapi untuk sebagian digunakan dalam hubungan dengan pertanian, sebagai tenaga pembantu di sawah atau ladang, dan sebagian dipelihara untuk dagingnya. Hampir setiap keluarga di Bali memelihara babi sebagai sambilan karena pembiakannya yang relatif lebih cepat dan mudah daripada sapi. Daerah peternakan sapi yang baik terdapat di Penebel dan Marga (Tabanan), karena daerah tersebut bergunung-gunung dan mendapat curah hujan yang cukup, sehingga tersedia banyak rumput untuk ternak. Selai babi dan sapi, terdapat peternakan kerbau, kambing, dan kuda, tetapi hasilnya relatif lebih kecil.<br /><br />Mata pencaharian lainnya adalah perikanan, baik perikanan darat maupun laut. Perikanan darat merupakan usaha sambilan dari pertanian terutama di daerah-daerah yang cukup air. Jenis ikan yang dipelihara adalah ikan mas, karper, dan mujair. Perikanan laut terdapat di sepanjang pantai. Ikan yang ditangkap yaitu ikan tongkol, udang, cumi-cumi, dan jenis ikan laut lainnya. Di Bali terdapat juga industri dan kerajinan rumah tangga usaha perseorangan, atau usaha menengah yang meliputi kerejinan pembuatan barang-barang anyaman, patung, kain tenun, benda-benda mas, perak, dan besi, perusahaan mesin-mesin, percetakan, pabrik kopi, pabrik rokok, pabrik makanan kaleng, tekstil, pemintalan, dll. Usaha dalam bidang ini memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.<br /><br />Selain itu, karena keadaan alam dan pemandangan yang menarik, kegiatan-kegiatan adat, upacara, dan kesenian, maka bidang pariwisata Bali terkenal dan berkembang pesat. Untuk menunjang pariwisata, berkembang usaha-usaha di bidang perhotelan, taksi, travel bureau, toko kesenian, dan sebagainya, terutama di daerah Denpasar (Badung), Gianyar, Bangli, dan Tabanan. Pariwisata telah merangsang perkembangan kreasi-kreasi di bidang kesenian, baik seni tari maupun seni rupa.<br /><br />Kegiatan di sektor pariwisata inilah yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian Bali. Sehingga pasca peristiwa bom Bali I dan bom Bali II, perekonomian Bali sejenak mengalami kelumpuhan. Dampak dari peristiwa yang memilukan tersebut tidak hanya dirasakan masyarakat Bali, tetapi juga oleh bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seperti kita ketahui, bahwa banyak negara, seperti Australia, Amerika Serikat, dan negara – negara lain menetapkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Akibatnya semakin menurun jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali. Namun saat ini seiring dengan berjalannya waktu, dunia pariwisata di Bali sudah pulih seperti saat sebelum terjadinya bom Bali.<br /> <br />3. SISTEM KEKERABATAN<br /><br /><br />Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.<br /><br />Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang umumnya bersifat exogam. <br /><br />Orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) di Bali itu adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klen-nya terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu pada keluarga, serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Dahulu apabila terjadi perkawinan campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadia-nya, dan secara fisik suami-isteri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukum semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada waktu ini perkawinan campuran antar-kasta sudah relatif lebih banyak dilaksanakan.<br /><br />Lain bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki isteri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawinan antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya).<br /><br />Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu dapat memperoleh seorang isteri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasarkan adat.<br /><br />Adat perkawinan Bali meliputi suatu rangkaian peristiwa-peristiwa seperti kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah dibawa lari untuk dikawini; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk minta diri kepada ruh leluhurnya. Di beberapa daerah di Bali (tidak di semua daerah), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku luh), tetapi rupa-rupanya adat ini terutama di antara keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.<br /><br />Sesudah pernikahan, suami isteri baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami isteri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami isteri baru itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan lari si isteri (nyeburin). Tempat di mana suami isteri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami isteri tinggal secara virilokal, maka anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan keturunan mereka yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si isteri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si isteri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan).<br /><br />3.1. Keluarga Batih, Keluarga Luas, dan Rumah Tangga<br /><br />Akibat dari perkawinan adalah terbentuknya suatu keluarga batih, dan bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena poligini diijinkan, maka ada juga keluarga-keluarga batih yang sifatnya poligini. Walaupun demikian, keluarga-keluarga yang bersifat poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan-lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.<br /><br />Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak-anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan lain-lain orang yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun yang bukan kerabat (pembantu rumah tangga dan lain-lain). Sesudah beberapa, kalau seorang anak laki-laki sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mempu untuk berdiri sendiri, ia memisahkan diri dari rumah tangga orang tua dan mendirikan rumah dan rumah tangga sendiri yang baru (ngarangin). Salah satu dari anak laki-laki biasanya tetap tinggal di kompleks perumahan orang tua (ngerobin) untuk nanti dapat membantu orang tua kalau mereka sudah tidak berdaya lagi dan untuk menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua. Dengan demikian, sebenarnya suatu rumah tangga yang sudah tua terdiri dari suatu keluarga luas virilokal yang terdiri dari suatu keluarga batih senior dengan beberapa keluarga batih yunior yang hidup bersama dalam satu kompleks perumahan (uma) sebagai kesatuan yang formil.<br /><br />3.2. Klen Kecil dan Klen Besar<br /><br />Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Struktur dari tunggal dadia ini berbeda-beda dipelbagai tempat di Bali. Di desa-desa di pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Di desa-desa di tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing-masing kediamannya, yang disebut kemulan taksu. Di samping itu, keluarga batih yang hidup neolokal seperti juga masih terikat oleh dan masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pura asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka. Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian suatu pura serupa itu mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas anggota-anggota dari suatu klen kecil.<br /><br />Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja pura leluhur yang sama disebut pura paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian dapat disebut klen besar.<br /><br />Dalam praktek, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarganya yang merasakan dirinya senior, yaitu keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.<br /> <br />4. SISTEM KEMASYARAKATAN<br /><br /><br />4.1 Sistem Pelapisan<br /><br />Sistem pelapisan masyarakat di Bali didasarkan atas keturunan; karena itu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat yang bersifat patrilineal. Ada pelbagai klen yang mempunyai sejarah keturunan (babad, pamancangah, pretasti) sendiri-sendiri yang masing-masing kembali sampai pada sejarah penaklukan oleh Majapahit dalam abad ke-14. Orang-orang bangga apabila dapat menyusur keturunan mereka sampai pada raja-raja atau bangsawan-bangsawan dari zaman Majapahit itu. Pelbagai keturunan inilah yang memberikan susunan yang lebih kompleks kepada klen-klen patrileneal yang terdapat di Bali daratan. Karena proses sejarah yang kembali ke zaman Majapahit, maka klen-klen di Bali daerah dataran, tersusun dalam suatu susunan berlapis tinggi rendah berdasarkan jarak hubungan kekerabatan dari leluhur-leluhur dari klen-klen itu dengan seorang tokoh raja atau bangsawan dari Majapahit. Di Bali daerah pegunungan, susunan klen berlapis tinggi rendah serupa itu tidak ada; bahkan batas-batas antara klen-klen dalam kehidupan masyarakat tidak tampak begitu nyata.<br /><br />Susunan tinggi rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan atas sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruhi oleh sistem kasta yang termaktub dalam kitab-kitab suci Hindu Kuno, yaitu sistem keempat kasta: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan Sudra. Di Bali wangsa-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama sebagai kesatuan disebut Triwangsa, dan lapisan yang keempat disebut Jaba. Hanya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk anya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk Triwangsa, lagipula warga klen-klen besar yang termasuk Triwangsa biasanya tersebar luas di seluruh Bali. Sebaliknya, lebih dari 85% dari rakyat Bali termasuk warga Jaba, dan warga klen-klen yang termasuk Jaba tinggalnya lebih terpusat pada daerah-daerah terbatas.<br /><br />Gelar-gelar bagi warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita; gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokorda, dan bagi warga klen-klen Wesia adalah Gusti. Selain itu banyak gelar-gelar lain yang diturunkan oleh klen-klen tertentu tetapi yang kurang terang mengenai kedudukannya dalam wangsa. Pemegang gelar-gelar serupa itu tentu akan mengakuinya sebagai gelar wangsa tinggi, lainnya berpendapat bahwa gelar-gelar serupa itu termasuk wangsa-wangsa yang rendah dan demikian selalu memang ada perselisihan mengenai kedudukan dari orang-orang yang mempunyai gelar-gelar tadi dalam upacara adat dan dalam sopan santun pergaulan Bali.<br /><br />Zaman modern dengan pendidikannya telah banya membawa perubahan dalam sistem pelapisan wangsa ini. Misalnya undang-undang (awig-awig) yang menghukum adanya perkawinan antara gadis yang lebih tinggi dengan laki-laki yang wangsa-nya lebih rendah telah dihapuskan. Pendeta-pendeta tidak usah lagi berasal dari wangsa Brahmana, dan akhir-akhir ini mereka malahan sudah dianggap sederajat dengan pendeta-pendeta dari wangsa Brahmana.<br /><br /> <br />4.2. Lembaga Tradisional<br /><br />Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak dan seka/sekaha. Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut desa. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana. Desa dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah kecamatan.<br /><br />Konsep Tri Hita Karana adalah satu konsep yang mengintegrasikan secara selaras tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang diyakini oleh orang Bali. Ketiga komponen tersebut adalah:<br />1. Parahyangan, yaitu Tuhan yang memberikan perlindungan bagi kehidupan.<br />2. Palemahan, yaitu seluruh wilayah lembaga tersebut.<br />3. Pawongan, yaitu sumber daya manusia yang terdiri atas semua warga lembaga yang bersangkutan.<br /><br />4.2.1. Desa<br /><br />Desa di Bali didasarkan atas kesatuan tempat. Sebagian dari tanah wilayahnya adalah milik para warga desa sebagai individu, tetapi sebagian lagi adalah tanah yang ada di bawah hak pengawasan desa, atau secara konkret dibawah pengawasan pimpinan desa. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan desa-desa adat di daerah datar. Desa-desa adat di pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama desa), mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut balai agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa di daerah datar biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas.<br /><br />Pada komplek bangunan (bale) yang ditempati keluarga inti maupun keluarga luas, dibangun diatas suatu pekarangan yang bisanya dikelilingi oleh dinding dengan gapura sempit. Di antara komplek bangunan itu terdapat bangunan untuk tidur, satu atau beberapa dapur, lumbung, tempat untuk menerima tamu, dan pura untuk keluarga (sanggah). Seluruh komplek sebagai suatu kesatuan disebut uma. Mengenai letak dari bale, sanggah, dan sebagainya pada umumnya menuruti pola susunan tertentu. Pura keluarga yang dianggap suci terletak di bagian kaja. Sedang tempat kediaman berada pada arah kelod. Bale (bangunan) masing-masing mempunyai nama tersendiri menurut fungsinya dalam adat maupun dalam kebutuhan sehari-hari.<br /><br />Catatan: Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti ke (arah) laut. Dengan demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan, sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-daerah di bagian selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Arah-arah ini sama baik di Bali Utara maupun Selatan.<br /><br />Di samping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga. Dimana Kahyangan Tiga ini adalah Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa merupakan tempat berstananya Dewa Brahma yang dimanifestasikan sebagai pencipta. Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu yang dimanisfetasikan sebagai pemelihara dan Pura Dalem yang merupakan berstananya Dewa Çiwa yang dimanifestasikan sebagai pelebur. Biasanya ketiga Pura Kahyangan Tiga tersebut tempatnya dipisahkan satu sama lain. Ada kalanya juga Pura Puseh dan Pura Desa dijadikan satu. Seperti telah diterangkan sebelumnya, konsep mengenai arah adalah amat penting artinya dalam agama orang Bali. Hal yang keramat diletakkan pada arah kaja, dan hal-hal biasa yang tidak keramat diletakkan pada arah kelod. Klasifikasi dualistis ini tercermin pula pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Sedapat mungkin bangunan-bangunan dari desa disesuaikan dengan konsep mengenai arah tadi. Misalnya saja pada arah kaja diletakkan Pura Desa, dan pada arah kelod diletakkan Pura Dalem (pura yang ada hubungannya dengan kuburan dan kematian).<br /><br />4.2.2. Banjar<br /><br />Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan oleh kesatuan wilayah. Kesatuan wilayah ini diperkuat oleh kesatuan adat dan budaya. Anggota banjar tidak mutlak dari orang asli di daerah tersebut, tetapi juga orang dari wilayah lain yang kebetulan menetap sementara/seterusnya di wilayah banjar tersebut. Masyarakat tersebut dipersilahkan menjadi anggota banjar jika orang tersebut menghendaki.<br /><br />Banjar dipimpin oleh seorang kelian banjar dan dibantu oleh beberapa orang sebagai wakil kelian, sinoman dan penyarikan. Adapun tugas dari kelian ini adalah mengurus segala urusan sosial kemasyarakatan. Selain itu kelian juga mengurus urusan agama, adat dan urusan yang bersifat administratif. Bahkan seringkali harus juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Kelian banjar sebagai tetua banjar dipilih langsung oleh para krama (warga) banjar dalam suatu sangkep (pertemuan). Untuk lama masa jabatan tertentu sesuai dengan awig-awig (undang-undang) banjar bersangkutan. Dalam hal ini tiap-tiap banjar memiliki awig-awig yang berbeda sesuai dengan daerah masing-masing banjar.<br /><br />Untuk mengakomodasikan kegiatannya maka dibangunlah sebuah bangunan yang terbuka yang dikenal dengan nama bale banjar. Bale banjar ini merupakan pusat dari banjar tersebut. Karena fungsinya sebagai pusat maka bale banjar ini biasanya didirikan di tengah-tengah wilayah tersebut. Hal ini dimaksud untuk memudahkan krama banjar. Bale banjar ini biasanya dilengkapi dengan Pura Banjar dan Bale Kukul sebagai tempat untuk menaruh kukul (kentongan). Bale banjar ini juga sebagai bangunan serbaguna untuk menunjang kegiatan umum masyarakat banjar. Seperti olahraga, kesenian hingga agama. Di bale banjar inilah diadakan pertemuan (sangkep) setiap bulan mengevaluasi kegiatan banjar selama sebulan.<br /><br /> <br />4.2.3. Subak<br /><br />Subak di Bali berdiri seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang kepala sendiri. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga suatu subak itu tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak adalah para pemilik atau penggarp sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua pemilik atau penggarap tadi hidup dalam satu banjar, tetapi di dalam beberapa banjar. Sebaliknya, ada pula warga suatu banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan yang mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tadi itu akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah.<br /><br />4.2.4. Seka/Sekaha<br /><br />Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, yaitu organisasi seka. Seka ini bisa didirikan untuk waktu yang lama, bahkan untuk waktu yang meliputi angkatan-angkatan yang turun temurun, tetapi ada pula yang bersifat sementara. Ada seka-seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara yang berkenaan dengan desa misalnya seka baris (perkumpulan tari baris), seka truna (perkumpulan para pemuda), seka daha (perkumpulan gadis-gadis). Seka dalam arti ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara, yaitu seka-seka yang didirikan berdasarkan suatu kebutuhan tertentu, seperti misalnya seka mamula (perkumpulan menanam), seka manyi (perkumpulan menuai), seka gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. Seka-seka seperti ini biasanya juga merupakan perkumpulan-perkumpulan yang terlepas dari organisasi desa dan banjar.<br /><br />4.3. Gotong Royong<br /><br />Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat desa di Bali, ada beberapa macam cara dan sistem gotong royong; antara individu dan individu atau antara keluarga dan keluarga. Gotong royong semacam itu disebut nguopin (membantu) dan meliputi berbagai aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Di dalam hal itu ada seorang atau suatu keluarga minta bantuan dari tetangganya atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah digariskan oleh adat dan dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang disumbangkan kepadanya itu dengan bantuan tenaga juga.<br /><br />Nguopin dalam aktivitas sekitar rumah tangga di kota dan di banyak desa sudah mulai hilang dan mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan karena sistem menyewa sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali lebih murah (karena tidak perlu menyediakan jamuan dan sebagainya). Hanya dalam perayaan dan upacara, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian cara gotong royong nguopin masih banyak diterapkan.<br /><br />Selain nguopin masih ada cara gotong royong antara seka dengan seka. Cara semacam ini di sebut ngedeng (menarik). Dalam hal ini suatu seka tertentu, misalnya suatu perkumpulan gamelan ‘ditarik’ untuk ikut serta dangan suatu seka lain dalam hal menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.<br /><br />Terakhir ada suatu sistem gotong royong yang lebih menyerupai sifat kerja bakti untuk keperluan masyarakat atau pemerintah. Hanya di dalam hal ini khusus kerja bakti untuk keperluan agama, seperti misalnya ikut membantu membangun pura atau memperbaiki sebuah pura yang sudah ada. Sistem kerja bakti semacam ini disebut ngayah atau ngayang, bisa merupakan suatu aktivitas yang ramai dan penuh kemeriahan.<br /><br /> <br />5. SISTEM RELIGI<br /><br /><br />Hindu Dharma adalah agama yang dianut oleh sekitar 95% dari jumlah penduduk Bali, sedangkan 5% sisanya adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup sesuai ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan bathin. Di dalam usaha mencapai tujuan itu, masyarakat Hindu mewujudkannya melalui Tattwa, Susila dan Upacara. <br /><br />1. Tattwa (filosofi) dibagi menjadi 5 kepercayaan utama yang disebut Panca Çrada atau lima kepercayaan yang mendasar, yaitu percaya kepada adanya:<br />a. Brahman, yaitu percaya kepada adanya Ida Sang Hyang Widhi Waça atau Tuhan Yang Maha Esa <br />b. Atman, yaitu percaya akan keberadaan atman (roh)<br />c. Samsara, yaitu percaya akan adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi<br />d. Karma Phala, yaitu percaya kepada adanya hukum sebab akibat (setiap orang akan memperoleh balasan atau hasil dari apa yang telah diperbuat olehnya)<br />e. Moksa, yaitu percaya kepada kemungkinan menyatunya atman dengan Tuhan<br /><br />2. Susila (etika). Ajaran ini menekankan kepada tiga cara berprilaku yang baik, yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha, yaitu:<br />a. Manacika Parisudha (berpikir yang baik dan positif)<br />b. Wacika Parisudha (berkata-kata yang baik dan jujur)<br />c. Kayika Parisudha (berbuat yang baik)<br />Di samping itu, ajaran Hindu juga mengharapkan penerapan Tat Wam Asi dalam hidup sehari-hari, yaitu “engkau adalah aku juga” dengan kata lain “kita harus merasakan apa yang dirasakan orang lain”.<br /><br />3. Upacara (yadnya, korban suci). Upacara ini ditujukan kepada lima aspek:<br />a. Dewa Yadnya, yaitu kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça, beserta para Dewa (Bathara)<br />b. Pitra Yadnya, yaitu yang ditujukan kepada roh-roh leluhur (yadnya setelah kematian)<br />c. Rsi Yadnya, yaitu bagi para Rsi atau orang yang disucikan<br />d. Manusa Yadnya, yaitu bagi umat manusia dari sejak lahir (bayi dalam kandungan) hingga perkawinan<br />e. Bhuta Yadnya, yaitu untuk menetralisir pengaruh-pengaruh alam yang negatif termasuk dunia supranatural<br /><br />Agama Hindu adalah agama yang monotheistik, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau disebut juga sebagai Ida Sang Hyang Widi Waça, Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Cintya. Oleh orang-orang hal ini sering disalah mengerti bahwa Hindu percaya kepada banyak Tuhan. Dewa (Bathara) dalam agama Hindu hanyalah manifestasi dari Tuhan yang Acintya (tidak terpikirkan). Kata Dewa berasal dari Bahasa Sansekerta Div yang berarti sinar suci, Sedangkan Bathara berasal dari Bhatr berarti pelindung. Dewa ataupun Bathara yang sering dimunculkan di Bali adalah Tri Murti yaitu:<br />a. Brahma, manifestasi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya<br />b. Wisnu, manifestasi Tuhan sebagai pemelihara ciptaannya<br />c. Siwa, manifestasi Tuhan sebagai pelebur segala sesuatu setelah situasi, kondisi dan waktunya tiba<br /><br />Di Bali Pendeta itu umumnya dipilih dari golongan brahmana yang mampu untuk memimpin upacara besar, sedangkan Pemangku bertugas untuk menjaga dan memelihara pura dan dapat memimpin upacara termasuk Panca Yadnya. Kitab suci agama Hindu adalah Weda yang berasal dari India, namun yang sampai di Bali adalah Catur Weda dan Weda Qirah yang hingga saat ini masih dipakai Pemangku atau Pendeta untuk memimpin upacara termasuk di dalam menjalankan kewajibannya. Di samping Weda, dalam ajaran Hindu juga dikenal kitab-kitab Purana, yang membicarakan tentang peranan moralitas, ada juga dalam bentuk Mahacarita sepeti Mahabaratha dan Ramayana, dalam bentuk cerita topeng, drama, opera, ballet dan sebaginya sebagai pengungkapan ajaran agama Hindu. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali adalah kekuatan hidup yang meliputi kekuatan alam Pulau Bali yang sudah menggaung ke segala penjuru dunia.<br /><br />Bali dengan penduduknya setiap hari menyanyikan lagu kasih sayang yang diperlihatkan dengan beraneka ragam rajutan dan anyaman sesajen terbuat dari daun kelapa muda, berlambang bunga semerbak wangi yang dilakukan hampir di setiap hari. Dengan pengorbanannya selalu memikirkan alam sekitar, menghaturkan sesuatu yang diperoleh kepada Tuhan, dengan harumnya aroma dupa di tangan, membaca mantra suci dengan gerakan tangan penuh makna, memercikkan air suci memohon keselamatan. Dengan prosesinya yang panjang atau dengan sederhana penuh kerendahan hati, gemar bekerja, memberkati anak-anak, memberikan senyum dan lambaian tangan persahabatan selalu dilakukan.<br /><br />5.1. Tri Hita Karana<br /><br />Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharma-nya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.<br /><br />Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:<br />1. Manusia dengan Tuhannya (Parahyangan).<br />2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan).<br />3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan).<br /><br />Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut:<br />1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya. <br />2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta Yadnya.<br />3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.<br /><br />Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:<br />1. Parahyangan<br />- Di tingkat daerah berupa Pura Kahyangan Jagat<br />- Di tingkat desa adat berupa Pura Kahyangan Desa atau Kahyangan Tiga<br />- Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah<br />2. Pelemahan:<br />- Di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali<br />- Di tingkat desa adat meliputi asengken bale agung<br />- Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan<br />3. Pawongan:<br />- Di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali<br />- Di tingkat desa adat meliputi krama desa adat<br />- Di tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga<br /><br />Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.<br /><br />5.2. Panca Yadnya<br /><br />Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang diperlukan adanya persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama Yadnya. Disini terdapat lima yadnya yang selanjutnya dikenal dengan istilah Panca Yadnya yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas. Adapun pembagiannya dari yadnya-yadnya tersebut adalah sebagai berikut:<br /><br />5.2.1. Dewa Yadnya<br /><br />Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci).<br /><br />Contoh Dewa Yadnya: menyelenggarakan upacara piodalan dimasing-masing Desa Adat yang ada di Bali. Melaksanakan persembahyangan di pura dan melaksanakan upacara melasti (pembersihan patung dewa-dewa ke pantai) yang biasanya dilakukan sebelum perayaan hari raya Nyepi. Upacara keagamaan di Bali disesuaikan dengan masing-masing Desa Adat (desa kala patra) masing-masing daerah<br /><br />5.2.2. Pitra Yadnya<br /><br />Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada roh-roh suci dan leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara jenazah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.<br /><br />Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:<br />- Berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.<br />- Berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.<br />- Berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.<br /><br />Contoh Pitra Yadnya adalah upacara ngaben.<br /><br />5.2.2.1. Ngaben<br /><br />Kematian, bagi masyarakat Bali tak bisa lepas dari upacara adat ngaben. Kematian bagi orang Bali adalah kembalinya manusia kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta: pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa) sesuai dengan ajaran Hindu Bali. Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atman (roh). Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atman-nya tidak. Ngaben adalah upacara penyucian atman (roh), fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.<br /><br />Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll. Namun cenderung disetujui pendapat bahwa ngaben berasal dari kata ngapen (ng + api + an = ngapian > ngapen > ngaben). Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atman/roh.<br /><br />Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat Peristiwa Bom Bali I dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dengan mengambil sekepal tanah di lokasi meninggalnya kemudian dibakar.<br /><br />Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda.<br /><br />Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik (dewasa) untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap.<br /><br />Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh. Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan (setra) desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah Tuhan.<br /><br />Sesampainya di kuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari klan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengan menggunakan api kongkrit. Zaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam.<br /><br />Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut (atau sungai), karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngaben-nya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya meninggal.<br /><br />Sebenarnya ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben di Bali. Masing-masing desa adat di Bali memiliki awig-awig (undang-undang) tersendiri tentang tata cara melaksanakan upacara ngaben. Umumnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu: <br />1. Ngaben Niri<br />2. Ngaben Ngamasa<br /><br />Ngaben Niri artinya melaksanakan upacara ngaben sendiri (Niri = diri = sendiri). Dalam hal ini berarti bahwa keluarga duka dapat melaksanakan upacara ngaben pada waktu tertentu, sesuai dengan keinginannya. Banjar adat tidak mencampuri waktu pelaksanaannya, tetapi hanya memberi bantuan tenaga dan materi (dikenal dengan sebutan patus banjar), sesuai ketentuan awig-awig yang berlaku. Patus banjar, baik berupa tenaga maupun materi, jumlahnya tidak seberapa, dibandingkan dengan jumlah tenaga dan materi yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan rangkaian upacara ngaben. Bahkan ada kalanya sama sekali tidak mendapatkan bantuan banjar. Oleh karena itu, ngaben niri juga dilaksanakan oleh keluarga keturunan bangsawan. Terlepas dari ini, lahir sebagai seorang bangsawan, terbilang relatif berat.<br /><br />Ngaben Ngamasa berarti melaksanakan upacara ngaben secara terjadwal, sesuai situasi dan kondisi yang dianggap baik bagi mereka yang akan melaksanakan upacara ngaben. Istilah lain ngaben ngamasa adalah ngaben ngerit, ngaben massal, atau ngaben bersama. Upacara ngaben ngamasa dilaksanakan dengan maksud menghemat biaya dan waktu, tanpa mengurangi makna pelaksanaan upacara ngaben. Cara pelaksanaan ngaben ngamasa ada dua.<br /><br />Pertama, ngaben ngemasa dilaksanakan dengan cara yang persis sama dengan ngaben niri. Cuma waktunya bersamaan. Keuntungannya, pelaksanaan upacara ngaben dengan mudah dapat diketahui, jauh hari sebelum puncak acara, sehingga segala aktivitas yang terkait dengan upacara tersebut dapat dijadwalkan. Kelemahannya, warga banjar yang diharapkan memberi bantuan menjadi bingung dan kacau. Mereka dituntut harus pintar membagi waktu agar dapat memberi bantuan kepada sebanyak mungkin warga yang kebetulan melaksanakan upacara ngaben. Untuk memudahkan, biasanya anggota banjar dibagi sesuai dengan jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben. Konsekuensinya, kalau jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben sedikit dan anggota anggota banjar lumayan banyak, maka masing-masing warga yang ngaben mendapatkan bantuan banjar yang lumayan banyak juga. Sebaliknya kalau warga yang ngaben banyak sedangkan jumlah warga banjar sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan bantuan banjar dalam jumlah terbatas. Kesulitan lainnya, ada hubungan dengan bantuan materi (patus) kepada warga yang melaksanakan upacara ngaben. Masing-masing warga akan mengeluarkan patus sesuai dengan jumlah warga yang ngaben. Kalau kewajiban patus senilai Rp 25.000, dan jumlah warga yang ngaben 30 orang, maka masing-masing warga banjar akan mengeluarkan patus sekitar 750.000. Jumlah ini tidak dapat dianggap enteng.<br /><br />Kedua, ngaben ngamasa dilaksanakan dengan cara ‘satu untuk semua’. Artinya, upacara ngaben dilaksanakan pada waktu, tempat, cara dan oleh panitia yang sama. Sarana dan prasarana upacaranya dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan semangat satu untuk semua. Unsur tertentu dari upacara yang sama sekali tidak mungkin untuk disatukan, barulah dibuat oleh masing-masing anggota. Pelaksanaan upacara ngaben seperti ini dikenal dengan sebutan ngaben bersama. Di Desa Pakraman Celuk, Sukawati, ngaben ngamasa dengan cara ‘satu untuk semua’ ini dikenal dengan istilah ngaben kinembulan.<br /><br />Ada yang berpendapat bahwa ngaben kinembulan ini akan menjadi pilihan terbaik untuk pelaksanaan upacara ngaben masa depan. Sebabnya, antara lain:<br />1. Biaya yang disiapkan oleh warga yang akan melaksanakan upacara ngaben relatif lebih kecil, karena sebagian besar sarana dan prasarana ngaben dibuat satu untuk semua.<br />2. Biaya bagi warga masyarakat yang lainnya (patus) juga kecil, karena kewajiban mengeluarkan (patus) juga dirancang hanya satu untuk semua.<br />3. Dapat menghemat waktu dan tenaga, karena segala bantuan tenaga diatur oleh panitia banjar dengan pola satu untuk semua.<br />4. Tidak menganggu warga yang bekerja di instansi pemerintah atau swasta, karena lebih mudah mengatur waktu, termasuk memohon cuti.<br />5. Upacara ngaben memerlukan sarana tumbuh-tumbuhan (kelapa, pisang, bambu, dan lainnya) yang lumayan banyak. Dengan ngaben ngamasa atau kinembulan, lebih memungkinkan bagi tumbuh-tumbuhan untuk hidup dan berkembang secara wajar dan sehat, sebelum mereka harus turut ‘berkorban’ demi kepentingan upacara ngaben.<br /><br />Ngaben kinembulan mengandung beberapa kelemahan, antara lain: Pertama, sulit dilaksanakan di desa adat yang termasuk desa pakraman nyatur (terdiri dari empat kasta), dan belum ada persepsi yang sama mengenai perbedaan kasta, sehingga satu golongan merasa sebagai golongan bangsawan yang berkedudukan tinggi dan harus dihormati dan golongan lainnya dianggap sebagai rakyat biasa (panjak), berkedudukan rendah dan harus menghormati golongan bangsawan. Oleh karena itu maka kasta tertentu yang merasa berkedudukan lebih tinggi dari kasta yang lainnya, tidak rela bergerak seiring dan sejalan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi atas dasar semangat ‘satu untuk semua’ pada waktu melaksanakan upacara ngaben. Kedua, masih ada anggapan bahwa melaksanakan upacara ngaben merupakan satu-satunya cara untuk melaksanakan Pitra Yadnya dalam arti ‘membayar hutang’ kepada leluhur. Anggapan ini menyebabkan banyak orang yang rela melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran, dengan cara menjual harta warisan yang berupa tanah. Mereka yang masih yakin akan hal ini menganggap melaksanakan upacara ngaben dengan cara kinembulan atau ‘satu untuk semua’, sebagai sesuatu yang lebih rendah maknanya dibandingkan dengan ngaben niri.<br /><br />5.2.3. Manusa Yadnya<br /><br />Manusa Yadnya adalah suatu persembahan suci yang tulus ikhlas demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah desa kala patra (tempat-waktu-keadaan) sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat.<br /><br />Jenis-jenis Manusa Yadnya berdasarkan urutan pelaksanaannya: <br />1. Magedong-gedongan<br />2. Upacara kelahiran<br />3. Upacara kepus puser<br />4. Upacara nglepas hawon<br />5. Upacara kambuhan<br />6. Upacara nelu bulanin<br />7. Upacara otonan<br />8. Upacara ngempugin<br />9. Upacara makupak<br />10. Upacara rajaswala<br />11. Upacara mepandes<br />12. Upacara pawiwahan<br /><br />5.2.3.1. Magedong-gedongan<br /><br />Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari, tidak harus persis karena dapat disesuaikan dengan hari baik (dewasa). Upacara magedong-gedongan dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggah (semacam pura kecil yang ada pada setiap rumah). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. lstri yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.<br />2. Sang istri menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.<br />3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bambu runcing.<br />4. Sang suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing sang istri sampai air dan ikannya tumpah.<br />5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.<br />6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab.<br /><br />5.2.3.2. Upacara Kelahiran<br /><br />Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si bayi di dunia. Upacara kelahiran dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah dan dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atman/roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.<br />2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA.<br />3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.<br />4. Proses selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.<br /><br />5.2.3.3. Upacara Kepus Puser<br /><br />Upacara ini dilakukan pada saat puser bayi lepas, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam ketupat kukur (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.<br />2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.<br />3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.<br /><br />5.2.3.4. Upacara Nglepas Hawon<br /><br />Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut upacara ngelepas hawon. Si bayi biasanya baru diberi nama demikian pula sang catur sanak (saudara keempat yang dipercaya ikut menemani kelahiran si bayi) setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati. Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si bayi. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.<br /><br />5.2.3.5. Upacara Kambuhan<br /><br />Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Untuk upacara yang lebih besar si bayi terlebih dahulu di-lukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.<br />2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.<br />3. Si bayi beserta kedua orangtuanya natab di sanggah kamulan.<br /><br />5.2.3.6. Upacara Nelu Bulanin<br /><br />Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon (1 bulan = 35 hari). Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara otonan (210 hari kelahiran bayi). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Pendeta memohon tirta panglukatan.<br />2. Pendeta melakukan pemujaan, memerciki tirta (air suci) pada sajen dan pada si bayi.<br />3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut di-parisudha dengan diperciki tirta.<br />4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh orangtuanya.<br />5. Si bayi diberikan tirta pengening (tirta amertha) kemudian ngayab jejanganan.<br />6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.<br /><br />5.2.3.7. Upacara Otonan<br /><br />Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Selanjutnya dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Semakin dewasa, semakin sederhana pula sarana upacaranya. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Pendeta sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya.<br />2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya dan penghormatan terhadap leluhur.<br />3. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pada otonan pertama kali, untuk otonan selanjutnya tidak dilakukan.<br />4. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.<br /><br />5.2.3.8. Upacara Ngempugin<br /><br />Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.<br />2. Si bayi natab mohon keselamatan.<br />3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.<br /><br />5.2.3.9. Upacara Mekupak<br /><br />Upacara ini dilakukan pada saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Upacara ini dapat pula disatukan dengan otonan berikutnya.<br /><br />5.2.3.10. Upacara Rajaswala<br /><br />Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama. Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah daha) ini. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.<br /><br />5.2.3.11. Upacara Mepandes<br /><br />Upacara mepandes atau potong gigi ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu (enam musuh yang ada dalam diri manusia) yang ada pada diri si anak. Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:<br />1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.<br />2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.<br />3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirta pesangihan.<br />4. Upacara dilanjutkan oieh sangging (yang bertugas memotong gigi) dengan menyucikan peralatannya.<br />5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.<br />6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kemudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.<br /><br />5.2.3.12. Upacara Pawiwahan<br /><br />Yang dimaksud upacara pawiwahan adalah upacara pernikahan. Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.<br /><br />Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.<br /><br />Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.<br /><br />Menurut UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut mekala-kalaan (natab banten), biasanya di-puput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah karena merupakan titik sentral kekuatan Kala Bhucari sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata kala yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam sebel kandel.<br /><br />Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (daiwi sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.<br /><br />Peralatan upacara mekala-kalaan:<br /><br />Sanggah Surya<br />Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Ida Sang Hyang Widhi Waça, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Ida Sang Hyang Widhi Waça dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Ida Sang Hyang Widhi Waça dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.<br /><br />Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)<br />Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.<br /><br />Tikeh Dadakan (tikar kecil)<br />Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).<br /><br />Keris<br />Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.<br /><br />Benang Putih<br />Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.<br /><br />Tegen-tegenan<br />Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil-alihan tanggung jawab sekala dan niskala.<br />Perangkat tegen-tegenan:<br />- Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.<br />- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan dharma.<br />- Periuk simbol windhu.<br />- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).<br />- Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.<br /><br />Suwun-suwunan (sarana jinjingan)<br />Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.<br /><br /> <br />Dagang-dagangan<br />Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.<br /><br />Sapu Lidi (3 tangkai)<br />Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.<br /><br />Sambuk Kupakan (serabut kelapa)<br />Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian. Telor bebek merupakan simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.<br /><br />Tetimpug<br />Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan angelus wimoha yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra. Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.<br /><br />5.2.4. Resi Yadnya<br /><br />Resi Yadnya adalah suatu upacara yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:<br />1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.<br />2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.<br />3. Menghaturkan/memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.<br />4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.<br />5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.<br /><br /> <br />5.2.4.1. Mawinten<br /><br />Mawinten asal katanya dalam Bahasa Kawi, mawa artinya bersinar-sinar dan inten artinya intan (permata). Jadi orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang kemilau karena lahir bathinnya sudah disucikan. Pada dasarnya semua orang terutama yang akan mengakhiri masa Grahasta (pensiun) perlu mawinten dengan tujuan mensucikan diri menjelang pulang ke sunia-loka. Pada akhirnya manusia Hindu setelah meninggal dunia dan di-aben, diwinten dengan upacara Askara. Mereka yang wajib mawinten karena profesinya antara lain: pemangku, dalang, undagi, tukang banten, sangging, dll.<br /><br />Tingkat pawintenan ada tiga menurut besar/kecilnya upacara pawintenan yaitu:<br />1. Pawintenan dengan ayaban saraswati termasuk yang paling sederhana.<br />2. Pawintenan dengan ayaban bebangkit untuk yang medium, dan<br />3. Pawintenan dengan ayaban catur yang paling utama.<br /><br />Pawintenan dengan ayaban saraswati adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan; pawintenan tingkat ini untuk para brahmacari misalnya yang belajar agama, yang senang gegitaan, pegawai kantor agama, dll.<br /><br />Pawintenan dengan ayaban bebangkit adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia; pawintenan tingkat ini untuk para undagi, sangging, tukang banten, dll.<br /><br />Pawintenan dengan ayaban catur adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa: Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa; pawintenan tingkat ini untuk para pemangku, dalang, pinandita, dll.<br /><br />Mereka yang sudah mawinten wajib menggelar brata, tapa, yoga, samadi. Makin tinggi tingkat pawintenan-nya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, samadi-nya. Brata adalah pengekangan hawa nafsu panca indra; Tapa adalah pengendalian diri agar selalu dalam jalur Dharma. Yoga adalah senantiasa memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri secara total pada kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Waça.<br /><br />5.2.5. Bhuta Yadnya<br /><br />Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Waça. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Contoh lain dari Bhuta Yadnya adalah segehan.<br /><br /> <br />5.2.5.1. Segehan<br /><br />Tak hanya vertikal ke atas persembahan manusia Hindu ditujukan. Ke bawah pun dilakukan dalam wujud segehan. Satu di antara sekian jenis segehan itu ada diwujudkan seperti manusia. Manusia dalam upayanya mengucap syukur selalu melakukan persembahan. Dalam persembahan tersebut, nasi menjadi satu komponen penting. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan nama pada bebantenan Bali.<br /><br />Selain berwujud tumpeng, nasi juga dipakai untuk membuat berbagai segehan yang dihaturkan di pertiwi. Pada umumnya dihaturkan pada kala bucara-bucari supaya tidak mengganggu. Persembahan itu dihaturkan di bawah yaitu di natar Merajan, rumah serta lebuh. Yang di halaman (natar) rumah ditujukan kepada Sang Kala Bucari. Selain itu, karena di natar rumah ditanam I Catur Sanak yaitu Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh Nyom, sebagai tanda manusia memberikan perhatian pada saudara empat-nya karena telah memberikan perlindungan, baik secara sekala maupun niskala. <br /><br />Selanjutnya di natar sanggah pamerajan ditujukan kepada Sang Bhuta Bucari. Lantas yang terakhir di depan pintu keluar (lebuh) ditujukan kepada Sang Durgha Bucari. Karena tempat masegeh ada tiga, maka jenis segehan itu pun ada tiga. Jenis segeh itu yaitu segehan pat (4) dihaturkan di natar rumah, segehan lima (5) di natar merajan dan segehan sia (9) di lebuh. Ketiga jenis segehan tersebut termasuk segehan umum yang dihaturkan oleh umat Hindu. Sedangkan segehan wong-wongan (ada juga yang menyebut nasi wong-wongan) hanya dihaturkan orang yang nyungsung ataupun memiliki sakit tertentu. Jenis segehan ini dibentuk menyerupai wujud manusia, lengkap dengan kepala, leher, badan, tangan, dan kaki. Tapi, ada juga hanya mengambil bentuk bagian tubuh manusia saja, seperti dada dan rusuk (nasi tangkah-iga).<br /><br />5.3. Hari Raya di Bali<br /><br />Setiap pura di Bali baik yang besar maupun kecil termasuk pura keluarga memiliki hari tertentu untuk upacara piodalannya. Piodalan itu dirayakan setiap 210 hari menurut kalender Bali. Karena demikian banyaknya pura di Bali, sehingga hampir setiap hari ada saja upacara piodalan yang berlangsung. Di samping itu ada juga hari raya yang berlangsung serempak di seluruh Bali seperti Galungan, Kuningan, Nyepi dan Saraswati.<br /><br />5.3.1. Galungan dan Kuningan<br /><br />Hari Raya Galungan jatuh pada hari Budha (Rabu) Kliwon Dungulan, kemudian disusul oleh Hari Raya Kuningan setelah sepuluh hari.<br /><br />Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Zaman Jenggala) pada abad ke-11 di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam pararaton zaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke-16, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang. Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Namun tidak berarti bahwa dunia ini lahir pada hari Budha Kliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.<br /><br />Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan). Tuhan sebagai pencipta dipuji dan dipuja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah-tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada sebuah tugu di merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga kemudian digantungkan pula hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Terakhir diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing. <br /><br />Disebutkan dalam pustaka-pustaka Hindu bahwa dalam rangkaian peringatan Galungan, sejak hari Minggu (tiga hari sebelum Galungan) umat Hindu didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Mereka adalah simbol angkara. Jadi dalam hal ini umat Hindu berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi simbol keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma.<br /><br />Kemudian pada hari Saniscara (Sabtu) Keliwon Wuku Kuningan, adalah Hari Raya Kuningan. Ini adalah hari raya khusus, dimana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih umat Hindu menerima anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa berupa bahan-bahan sandang dan pangan. Sedangkan di pedesaan biasanya ada beberapa Barong ngelawang diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan.<br /><br />5.3.2. Siwaratri<br /><br />Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Waça dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri. Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa jagra (tidak tidur), upawasa (puasa makan/minum) dan monabrata (tidak berbicara). Siwaratri juga disebut hari suci pajagran.<br /><br />Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Bhatara Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan. Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Bhatara Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Bhatara Siwa tepat di saat beliau beryoga.<br /><br />Bhatara Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Bhatara Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat Bhatara Yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara surga yang dikirim oleh Bhatara Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Bhatara Yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Bhatara Siwa sudah terlanjur ’sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, melakukan intervensi pada keputusan Bhatara Yama.<br /><br />5.3.3. Nyepi<br /><br />Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Çaka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (bulan mati kesembilan) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta (air kehidupan). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buana Alit (diri manusia) dan Buana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya:<br /><br />Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti<br />Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi lima warna berjumlah 9 paket beserta lauk pauknya, seperti ayam berbulu brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu manusia.<br /><br />Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.<br /><br />Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pratima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai.<br /><br />Nyepi<br />Keesokan harinya, yaitu pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut Catur Brata Penyepian dan terdiri dari: <br />- Amati Geni (tidak menggunakan dan/atau menghidupkan api)<br />- Amati Karya (tidak bekerja)<br />- Amati Lelungan (tidak bepergian/keluar rumah)<br />- Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang)<br /><br />Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak diwujudkan dengan matekep guwungan (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa, upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru pun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni. <br /><br />Ngembak Geni<br />Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Çaka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal ping pisan (satu) sasih kedasa (kesepuluh). Pada hari inilah Tahun Baru Çaka tersebut dimulai. Umat Hindu seling mengunjungi keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan satu sama lain.<br /><br />5.3.4. Saraswati<br /><br />Hari Raya Saraswati diperingati sebagai hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati (ilmu pengetahuan). Hari raya ini diperingati setiap hari Saniscara (Sabtu) Umanis Wuku Watugunung.<br /><br />Dewi Saraswati merupakan sakti (istri) dari Dewa Brahma. Dewi Saraswati adalah Dewi Ilmu Pengetahuan yang merupakan pelindung/pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, manusia menjadi beradab dan berkebudayaan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan-tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Tangan yang lain memegang Wina (alat musik sejenis rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan yaitu burung besar serupa angsa, tetapi dapat terbang tinggi.<br /><br />Pada hari raya Saraswati, semua pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai. Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan tidak boleh melewati tengah hari. Selain itu dilakukan juga persembahyangan pada hari raya Saraswati untuk memuja Dewi Saraswati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa).<br /><br />Di Bali, persembahyangan Saraswati biasanya didominasi oleh para penuntut ilmu yaitu siswa, mahasiswa dan instansi pendidikan serta instansi pemerintahan. Khusus untuk daerah Denpasar, pura yang biasanya paling ramai adalah dijadikan tempat bersembahyang adalah Pura Jagatnata yang terletak di pusat kota Denpasar. Di pagi hari para generasi muda terutama siswa akan berbondong-bondong menuju sekolah masing-masing untuk bersembahyang bersama kemudian dilanjutkan Pura Jagatnata. Dari pagi hari sampai malam harinya tetap saja masih ada yang datang ke Pura Jagatnata, bahkan di malam harinya biasanya sampai terjadi antrian dan berdesak-desakan untuk masuk ke pura.<br /><br />Perayaan Saraswati juga dilakukan dengan Mesambang Semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati. Banyak kelompok Dharma Gita atau Pesantian yang biasanya melakukan semadhi, membaca pustaka-pustaka, atau melakukan Dharma Gita atau kekawin di tempat-tempat suci, pura atau merajan. Untuk generasi muda, banyak yang begadang di pantai, bersama teman-temannya. Mereka begadang sampai pagi. Namun muncul kesan negatif dari hal ini yaitu generasi muda terutama para siswa yang masih duduk di bangku sekolah menggunakan kesempatan ini untuk berpacaran.<br /><br />Keesokan harinya, dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni di pagi buta membasuh muka dengan air kumkuman (air kembang). Setelah melakukan upacara dan semadhi di malam hari, masyarakat akan beramai-ramai menuju pantai dan melakukan Banyu Pinaruh serta mandi di pantai. Pantai yang paling ramai dikunjungi biasanya pantai Sanur.<br /><br /> <br />6. PRODUK BUDAYA<br /><br /><br />6.1. Seni Drama dan Tari<br /><br />Drama dan tari tidak dapat dipisahkan. Keduanya seperti dua warna permukaan daun sirih, sama-sama mengandung rasa dan aroma yang tidak berbeda. Budaya Bali memiliki banyak sekali ragam kesenian Drama dan Tari. Drama dan tari penuh dengan simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan alam lain dan mimpi-mimpi. Hanya peradaban manusia yang mengerti arti simbol. Simbolisme yang digambarkan oleh para seniman drama dan tari di Bali sangat komunikatif. Tidak hanya menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman yang mudah dicerna tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Drama dan tari tidak hanya menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga menghubungkan alam sekala dan niskala manusia secara harmonis dan estetis. Mengalir terus dipenuhi dengan inovasi baru yang tak pernah terbendung.<br /><br />6.1.1. Tari Kekebyaran<br /><br />Tari Kekebyaran meliputi berbagai jenis tarian tunggal, duet, trio, kelompok dan sendratari. Tari-tari ini dikelompokan sebagai Kekebyaran bukan hanya karena diiringi dengan gamelan Gong Kebyar, namun karena gerakannya yang dinamis dan bernafas kebyar. Oleh sebab itu, dalam kelompok ini terdapat Tari Lepas dan Sendra Tari. Tari Lepas adalah tari-tarian yang jangka waktu pentasnya relatif pendek, tidak berkaitan (terlepas-lepas) antara yang satu dengan lainnya, baik yang bercerita maupun tanpa cerita. Sendra Tari adalah sejumlah seni drama tari-tarian berlakon, yang berjangka waktu pentas relatif lebih panjang, dan dimainkan oleh lebih banyak orang.<br /><br />6.1.1.1. Tari Lepas<br /><br />Kelompok tari lepas adalah karya cipta profan yang biasanya dikhususkan untuk pertunjukan singkat namun menawan. Cerita dalam seni drama ini tidak saling berkaitan (terlepas-lepas) satu sama lain. Titik beratnya adalah perpaduan keindahan gerak, gamelan pengiring dan busana dan emosi tema yang diperagakannya.<br /><br />Beberapa contoh tari lepas:<br /> <br />- Merak <br />- Sekarjagat <br />- Magoak-goakan<br />- Pendet <br />- Puspawresti <br />- Kebyar Duduk<br />- Nelayan <br />- Angkeran <br />- Panji Semirang<br />- Mregapati <br />- Trunajaya <br />- Oleg Tambulilingan<br />- Cilinaya <br />- Kupu-kupu <br />- Baris “Papotetan”<br />- Wiranata <br />- Wirayudha <br />- Cendrawasih<br />- Gelatik <br />- Manukrawa <br />- Senapati Abhimayu<br />- Rarad <br />- Sekar Ibing <br />- Dharma Putri<br />- Gopala <br />- Makepung <br />- Baris (Tunggal)<br />- Tenun <br />- Yudhapati <br />- Siwa Nataraja<br />- Tani <br />- Jaran Teji <br />- Garuda Wisnu<br />- Blibis <br />- Saraswati <br />- Baris Bandana Manggala Yuda<br /> <br />6.1.1.2. Sendratari<br /><br />Di samping tari-tarian lepas, sejak sekitar tahun 1960 para pencipta tari di Bali juga telah menghasilkan sejumlah Seni Drama Tari (Sendratari). Sendratari pada hakekatnya adalah hasil kreativitas para seniman modern melalui pengolahan kembali elemen-elemen seni dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah ada. Sebagaimana halnya di Jawa di mana sendratari dibentuk oleh unsur-unsur Wayang Wong dan Wayang Kulit, di Bali sendratari di bentuk dengan memadukan unsur-unsur Pewayangan, Pegambuhan, Pelegongan dan Kekebyaran.<br /><br />Para ahli dan pengamat seni di Bali sepakat bahwa pencipta sendratari pertama adalah I Wayan Beratha, guru tari dan tabuh pada Konservatori Karawitan (Kokar) Bali di Denpasar (kemudian berubah SMKI dan sekarang menjadi SMK Negeri 3 Sukawati).<br /><br />Pertumbuhan sendratari di Bali, diawali dengan karya yang menampilkan lakon dari cerita rakyat Bali - Jayaprana. Beberapa tahun kemudian, muncul sendratari-sendratari yang melakonkan babad/sejarah Bali, serta cerita-cerita rakyat dari luar namun cukup dikenal di kalangan masyarakat Bali. Kelahiran tarian berlakon atau dramatari modern ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari kalangan masyarakat luas. Kenyataan ini mendorong I Wayan Beratha untuk menciptakan sendratari lainnya.<br /><br />Sendratari kedua yang diciptakannya adalah Sendratari Ramayana yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1965 pada hari ulang tahun yang ke-5 Kokar Bali di Denpasar. Dalam kedua sendratari ini (Jayaprana dan Ramayana), I Wayan Beratha masih tetap konsisten dengan konsepnya semula, yaitu menyajikan sebuah cerita atau lakon melalui tari dan karawitan. Walaupun antawacana atau narasi sudah dimasukkan kedalam kedua sendratari ini, peranan narasi masih sebatas memberikan penekanan dramatik bagi adegan-adegan yang terjadi di atas pentas. Disampaikan oleh seorang dalang, dari luar panggung, antawacana masih bersifat pendukung yang tidak terlalu dominan. Dominasi antawacana dalam sendratari Bali mulai tampak kurang sejak pertengahan tahun 1970.<br /><br />Pada tahun 1978, panitia Festival Gang Kebyar se-Bali mengharuskan setiap wakil dari Kabupaten se-Bali untuk menampilkan sebuah sendratari yang durasinya tidak lebih dari 60 menit. Ketika itu lahir delapan buah sendratari pendek dengan jumlah pelaku utamanya antara 10 sampai dengan 15 orang penari. Yang menarik adalah bahwa dalam semua sendratari yang ditampilkan pada festival ini peranan dalang nampak dominan, bahkan melebihi dari apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.<br /><br />Berdasarkan jumlah penarinya, sendratari yang ada di Bali kiranya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sendratari kecil (pada umumnya dibawakan oleh 10 sampai 25 orang penari,seperti yang terjadi antara tahun 1960 sampai 1970) dan sendratari kolosal atau besar (pada umumnya melibatkan antara 50 sampai 150 orang penari, seperti yang terjadi pada sendratari-sendratari yang ditampilkan dalam arena PKB).<br /><br />Berdasarkan sumber lakonnya, sendratari Bali dapat dibagi kedalam 3 kelompok:<br />Babad dan Cerita Rakyat<br />- Jayaprana<br />- Rajapala<br />- Sampik Ingtai<br />- Arya Bebed<br />- Kebo Iwa<br />Ramayana<br />- Ramayana Kecil<br />- Ramayana Besar (Kolosal)<br />Mahabarata<br />- Mahabarata Kecil (sang Kaca)<br />- Narakesuma<br />- Mahabarata Besar (Kolosal)<br /> <br /><br />6.1.2. Tari Baris<br /><br />Sebagai tarian upacara, sesuai dengan namanya "Baris" yang berasal dari kata bebaris yang dapat diartikan pasukan maka tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan prajurit. Tari ini merupakan tarian kelompok yang dibawakan oleh pria, umumnya ditarikan oleh 8 sampai lebih dari 40 penari dengan gerakan yang lincah cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar dan Gong Gede. Setiap jenis, kelompok penarinya membawa senjata, perlengkapan upacara dan kostum dengan warna yang berbeda, yang kemudian menjadi nama dari jenis- jenis tari Baris yang ada.<br /><br />Tari-tarian Baris yang masih ada di Bali antara lain:<br /> <br />Baris Katekok Jago<br />Baris yang membawa senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya berwarna hitam dan putih) dan berbusana loreng hitam putih ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben). Umumnya ada di daerah Badung dan Kodya Denpasar. Sedang tarian Baris sejenis di Buleleng disebut Baris Bedug dan di Gianyar disebut Baris Poleng.<br /><br />Baris Tumbak<br />Baris yang membawa senjata tombak dan berbusana awiran berlapis-lapis ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya, banyak dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.<br /><br />Baris Dadap<br />Baris yang membawa senjata dapdap (semacam perisai), gerakannya lebih lembut dari jenis-jenis tari Baris lainnya dan penarinya menari sambil menyayikan tembang berlaras slendro dengan diiringi gamelan angklung yang juga berlaras slendro dan ditarikan dalam upacara Dewa Yanya kecuali di daerah Tabanan ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya, banyak dijumpai di daerah Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.<br /><br />Baris Presi<br />Para penari baris ini membawa senjata keris, dan sejenis perisai yang dinamakan presi. Diadakan dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya. Banyak dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.<br /><br /> <br />Baris Pendet<br />Tari baris yang para penarinya tampil tanpa membawa senjata perang melainkan sesaji (canang sari), ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya. Di desa Tanjung Bungkak (Denpasar) penari baris ini membawa canang yang disebut canang oyod dan pada bagian akhir tariannya, para penari menari menggunakan kipas sambil "ma-aras-arasan" atau bersuka ria.<br /><br />Baris Bajra<br />Baris yang membawa senjata gada dengan ujungnya berbentuk bajra (seperti gada Bhima) dan ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya serta dapat dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.<br /><br />Baris Tamiang<br />Baris yang membawa senjata keris dan perisai yang dinamakan tamiang, dapat dijumpai di daerah Badung.<br /><br />Baris Kupu-kupu<br />Sesuai dengan temanya, tari Baris ini melukiskan kehidupan binatang kupu-kupu dan penarinya mengenakan sayap kupu-kupu, gerakannya lincah dan dinamis menirukan gerak-gerik kupu-kupu. Hingga kini tari ini ada di desa Renon dan Lebah (Denpasar).<br /><br />Baris Bedil<br />Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa imitasi senapan berlaras panjang (bedil) terbuat dari kayu, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Klungkung, Bangli dan Badung.<br /><br />Baris Cina<br />Tari Baris ini diduga mendapat pengaruh budaya Cina, keunikannya terlihat dari tata busana (celana panjang dengan baju lengan panjang, selempang kain sarung, bertopi, berkacamata hitam serta memakai senjata pedang), geraknya (mengambil gerakan pencak silat), dan iringannya (gamelan Gong Bheri yaitu Gong tanpa moncol). Tarian ini menggambarkan pasukan juragan asal tanah Jawa yang datang ke Bali. Tarian ini ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di desa Renon dan Belanjong, Sanur (Denpasar).<br /><br />Baris Cendekan<br />Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata tombak yang pendek (cendek), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya.<br /><br />Baris Panah<br />Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata panah dan ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya, terdapat di daerah Buleleng dan di Bangli.<br /><br />Baris Jangkang<br />Baris ini ditarikan oleh penari-penari yang membawa senjata tombak panjang, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Klungkung (Nusa Penida).<br /><br /> <br />Baris Gayung<br />Baris ini ditarikan oleh sekelompok penari yang terdiri dari para pemangku dengan membawa gayung atau cantil (alat untuk membawa air suci), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar serta Badung.<br /><br />Baris Demang<br />Ditarikan oleh sekelompok penari yang menggambarkan tokoh Demang (salah satu dari tokoh Pagambuhan) dalam drama tari klasik Gambuh dengan senjatanya pedang, tumbak, panah dan lain-lainnya. Tari Baris ini terdapat di daerah Buleleng.<br /><br />Baris Cerekuak<br />Tarian yang menggambarkan gerak-gerik sekelompok burung air (cerekuak) ketika mencari kekasihnya, burung manuk dewata. Para penarinya memakai busana babuletan (kain yang dicawatkan sampai di atas lutut) dengan hiasan dari daun- daunan pada sekujur tubuh dan kepala, hanya ditampilkan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dengan Gamelan pengiringnya Batel Gaguntangan. Tarian baris tersebut terdapat di daerah Tabanan.<br /><br />Baris Mamedi<br />Tarian ini menggambarkan sekelompok roh halus (mamedi) yang hidup ditempat angker seperti kuburan, para penarinya memakai busana yang terbuat dari dedaunan dan ranting yang diambil dari kuburan. Gamelan pengiring tarinya gamelan Balaganjur. Tarian diselenggarakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan terdapat di daerah Tabanan.<br /><br />Baris Katujeng<br />Tari ini menggambarkan sekelompok roh halus yang hidup di tempat angker yang dimaksudkan sebagai tari pengantar atman orang yang meninggal menuju sorga, dibawakan oleh sekelompok penari yang mengenakan busana dari dedaunan. Tari baris ini dipertunjukan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben).<br /><br />Baris Gowak<br />Tarian yang melukiskan peperangan antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan sekelompok burung gagak pembawa kematian, di mana beberapa pasang penarinya memerankan prajurit Tegal Badeng dan yang lainnya sebagai sekelompok burung gagak dengan kostum yang memakai sayap. Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat desa Selulung, Kintamani (Bangli) dan terdapat dalam Upacara Dewa Yadnya.<br /><br />Baris Omang<br />Tari Baris yang mempergunakan senjata tombak tetapi gerakannya perlahan-lahan seperti jalannya siput (Omang), menggambarkan pertempuran antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan pasukan Guwak (burung gagak). Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat Selulung (Kintamani - Bangli, dan terdapat dalam upacara Dewa Yadnya.<br /><br />Baris Jojor<br />Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa senjata Jojor (tombak bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa Yadnya dan ada di daerah Buleleng, Bangli dan Karangasem.<br /><br /> <br />Baris Tengklong<br />Tari yang dibawakan oleh sekelompok penari dengan senjata pedang, gerakannya dinamis, perkasa dan mendekati gerakan pencak silat. Khusus ditampilkan dalam upacara di Pura Penambangan Badung, tepatnya di desa Pamedilan, Kodya Denpasar.<br /><br />Baris Kelemet<br />Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari yang memerankan para nelayan, dengan senjata semacam dayung dan menggambarkan orang naik sampan di laut untuk menangkap ikan, tari ini ada dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Badung.<br /><br />6.1.3. Drama Gong<br /><br />Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Diakui oleh penciptanya bahwa Drama Gong yang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama tari tradisional Bali seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni campuran) modern.<br /><br />Unsur-unsur teater modern yang dikawinkan dalam Drama Gong antara lain:<br />- tata dekorasi<br />- penggunaan sound efect<br />- akting<br />- tata busana<br /><br />Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik".<br /><br />Adalah I Gusti Bagus Nyoman Panji yang kemudian memberikan nama baru (Drama Gong) kepada kesenian ini berdasarkan dua unsur baku (drama dan gamelan gong) dari kesenian ini. Patut dicatat bahwa sebelum munculnya Drama Gong di Bali telah ada Drama Janger, sebuah kesenian drama yang menjadi bagian dari pertunjukan tari Janger. Dalam banyak hal, drama Janger sangat mirip dengan Sandiwara atau Stambul yang ada dan populer sekitar tahun 1950.<br /><br />Drama Gong adalah sebuah drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita-cerita romantis seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtai dan kisah sejenis lainnya termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali. Dalam membawakan lakon ini, para pemain Drama Gong tidak menari melainkan berakting secara realistis dengan dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.<br /><br /> <br />Para pemeran penting dari Drama Gong adalah:<br />- Raja manis<br />- Raja buduh<br />- Putri manis<br />- Putri buduh<br />- Raja tua<br />- Permaisuri<br />- Dayang-dayang<br />- Patih keras<br />- Patih tua<br />- Dua pasang punakawan<br /><br />Para pemain mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar. Masyarakat Bali mementaskan Drama Gong untuk keperluan yang kaitannya dengan upacara adat dan agama maupun kepentingan kegiatan sosial. Walaupun demikian, Drama Gong termasuk kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan. Kesenian Drama Gong inilah yang memulai tradisi pertunjukan berkarcis di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial. Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun 1970. Pada masa itu kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya yang mulai kegandrungan Drama Gong. Panggung-panggung besar yang tadinya menjadi langganan Arja tiba-tiba diambil alih oleh Drama Gong. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah sekaa Drama Gong yang masih aktif.<br /><br />Sekaa-sekaa Drama Gong yang dimaksud antara lain adalah:<br />- Drama Gong Bintang Bali Timur<br />- Drama Gong Duta Budaya Bali<br />- Drama Gong Dewan Kesenian<br />- Drama Gong Dwipa Sancaya<br />- dan lain-lain<br /><br />Terakhir muncul Drama Gong Reformasi yang didukung oleh para bintang Drama Gong dari berbagai daerah di Bali.<br /><br />6.1.4. Drama Klasik <br /><br />Drama Klasik pada dasarnya adalah suatu bentuk seni drama yang menyajikan lakon-lakon klasik terutama dari kisah pewayangan. Berbeda dengan yang terjadi dalam Drama Gong, dalam Drama Klasik faktor iringan tidak begitu mengikat dan dalam banyak hal gamelan dimainkan sekedar hanya sebagai ilustrasi yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan ketika terjadi peralihan adegan. Pemusik tidak ditampilkan di pentas melainkan disembunyikan dibalik layar. Lakon dan dialog - dialog dalam Drama Klasik dituangkan kedalam sebuah skenario yang disusun oleh seorang sutradara. Di dalam membawakan lakon, para pemain berakting secara realistis dengan dialog berbahasa Indonesia gaya sandiwara atau bahasa Bali, dengan mengenakan busana yang dirancang mendekati busana pewayangan.<br /><br />Seni drama modern ini diciptakan oleh seorang tokoh drama asal Badung, Ida Bagus Anom Ranuara, melalui sanggar teater yang dipimpinnya yaitu Sanggar Mini Badung. Kreasi ini muncul menjelang akhir tahun 1970 yang kehadirannya banyak didorong oleh TVRI Denpasar. Penampilan Drama Klasik karya Anom Ranuara sebagian besar melalui tayangan layar kaca. Satu aspek penting yang membedakan drama ini dengan Drama Gong adalah tidak adanya peran Punakawan untuk menterjemahkan dialog para pemeran utama. Set dekorasi dan properti panggung yang realistis menjadi salah satu kekuatan dari Drama Klasik ini. Disamping itu durasi pementasan dari Drama Klasik relatif singkat yaitu sekitar 2 jam, dibandingkan dengan Drama Gong yang bisa dipentaskan semalam suntuk.<br /><br />6.1.5. Barong<br /><br />Tarian ini merupakan peninggalan kebudayaan Pra-Hindu yang menggunakan boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan magis.<br /><br />Topeng Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon, selalu diawali dengan pertunjukan pembuka, yang diiringi dengan gamelan yang berbeda-beda seperti Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Babarongan, dan Gamelan Batel.<br /><br />Beberapa jenis Barong yang hingga kini masih ada di Bali adalah sebagai berikut:<br /><br />6.1.5.1. Barong Ket<br /><br />Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.<br /><br />Untuk menarikannya Barong ini diusung oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk/Juru Bapang, satu penari di bagian kepala dan yang lainnya di bagian pantat dan ekornya. Tari Barong Keket ini melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang merupakan paduan yang selalu berlawanan (rwa bhineda). Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.<br /><br />6.1.5.2. Barong Landung<br /><br />Barong ini mula-mula dipakai untuk mengelabui barisan makhluk halus ganas yang menebar segala bencana penyakit dan marabahaya ke perkampungan penduduk Bali. Makhluk-makhluk halus tersebut dipercaya sebagai anak buah dan hulubalang Ratu Gede Mecaling yang menyeberangi lautan dari Nusa Penida. Oleh seorang pendeta sakti, kemudian penduduk disarankan untuk membuat patung yang mirip sang majikan, tinggi besar, hitam dan bertaring, dan diberi nama Jero Gede Mecaling, atau Ratu Mecaling. Karena itu masyarakat segera membuat tiruan Jero Gede Mecaling dan mengaraknya berkeliling kampung untuk membuat para makhluk halus itu takut dan menyingkir. Sirnalah segala macam penderitaan yang menghantui penduduk selama ini. Untuk penghormatan kepada tiruan Jero Gede, dibuatlah pasangannya yang biasa dipanggil Jero Luh. Kedua Barong Landung itu sering dihibur, diajak berjalan-jalan dan dibuatkan keramaian supaya bisa menari dan bersenang-senang.<br /><br />Tinggi Barong Landung itu kira-kira dua kali ukuran manusia. Orang yang memperagakannya mendapat penglihatan melalui celah-celah yang dianyam di bagian perut sang Barong.<br /><br />Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang lebih lengkap dari pada yang hanya sepasang saja, tetapi ada yang diberi peran seperti Mantri, Galuh, Limbur dan sebagainya. Mereka dipakai sebagai anggota dalam pementasan yang membawakan lakon Arja (terutama didaerah Badung) dan diiringi dengan gamelan Batel.<br /><br />6.1.5.3. Barong Gajah<br /><br />Barong ini menyerupai gajah, ditarikan oleh dua orang dan termasuk jenis barong yang langka sehingga dikeramatkan warga masyarakat pengemongnya. Dipentaskannya secara berkeliling desa (ngelelawang) tanpa membawakan lakon dan diiringi dengan gamelan batel/tetamburan. Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.<br /><br />6.1.5.4. Barong Macan<br /><br />Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor macan dan termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan masyarakat Bali. Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan gamelan batel.<br /><br />6.1.5.5. Barong Asu<br /><br />Barong ini menyerupai anjing (asu) dan termasuk jenis Barong yang langka, hanya terdapat di beberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu tanpa lakon dengan diiringi gamelan batel/tetamburan atau Balaganjur.<br /><br />6.1.5.6. Barong Brutuk<br /><br />Tarian yang langka, menggambarkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan dan mengenakan busana yang terbuat dari daun pisang kering (keraras), memakai topeng dari batok kelapa, setiap orang membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura, diiringi dengan gamelan Balaganjur/Babonangan. Barong ini terdapat di daerah Trunyan-Kintamani (Bangli).<br /><br />6.1.5.7. Barong Kadingkling<br /><br />Barong ini disebut juga Barong Blasblasan, pementasannya secara ngelelawang, para penarinya hanya mengenakan topeng Wayang Wong dengan lakon cuplikan-cuplikan dari cerita Ramayana terutama adegan perang dan setiap tokoh dimainkan oleh satu orang penari yang masih anak-anak, dipentaskan pada hari-hari Raya Galungan maupun Kuningan diiringi dengan gamelan batel dan ada pula yang semacam babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.<br /><br />6.1.6. Tari Sanghyang<br /><br />Tari Sanghyang adalah tari sakral, yang terdapat dalam rangkaian sebuah upacara adat suci. Sampai saat ini, tari Sanghyang tidak diadakan sekedar sebagai sebuah tontonan. Tari Sanghyang merupakan tari kerauhan (trance) karena kemasukan roh (bidadari khayangan dan binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan, monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya). Tari ini adalah warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya, yaitu dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat dengan alam gaib. Tarian ini dibawakan oleh penari putri maupun putra dengan iringan paduan suara pria dan wanita yang menyanyikan tembang-tembang pemujaan. Di daerah Sukawati-Gianyar, tari ini juga diiringi dengan Gamelan Palegongan.<br /><br />Di dalam Tarian ini selalu ada tiga unsur penting yaitu asap/api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka).<br /><br />Penyelenggaraannya melalui tiga tahap penting yaitu:<br />- Nusdus (upacara penyucian medium dengan asap/api)<br />- Masolah (penari yang sudah kemasukan roh mulai menari)<br />- Ngalinggihang (mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya untuk kembali ke asalnya)<br /><br />Beberapa jenis tari Sanghyang yang hingga kini masih ada di Bali, antara lain:<br /><br />6.1.6.1. Sanghyang Dedari<br /><br />Sebagaimana namanya, tari Sanghyang Dedari ini termasuk tarian sakral yang tidak untuk dipertontonkan sebagai fungsi pertunjukan, tetapi hanya diselenggarakan dalam rangkaian upacara suci. Tarian ini dilakukan oleh sepasang gadis cilik yang belum akil balig. Sebelum menari, kedua gadis tadi diupacarai untuk memohon datangnya sang Dedari ke dalam badan kasar mereka. Prosesi diiringi dengan paduan suara gending sanghyang yang dilakukan oleh kelompok paduan suara wanita dan pria. Kedua gadis itu kemudian pingsan, tanda bahwa roh dedari telah merasukinya.<br /><br />Kemudian beberapa orang membangunkan dan memasangkan hiasan kepalanya, kedua gadis dalam keadaan tidak sadar, dibawa ke tempat menari. Di tempat menari, kedua gadis kecil itu diberdirikan di atas pundak dua orang pria yang kuat. Dengan iringan gamelan Palegongan, kedua penari menari-nari di atas pundak si pemikul yang berjalan berkeliling pentas. Gerakan tarian yang dilakukan mirip dengan tari Legong. Selama tarian berlangsung, mata kedua gadis itu tetap tertutup rapat. Menari di atas bahu seseorang tanpa terjatuh, tidak mungkin dilakukan oleh gadis-gadis cilik dalam keadaan sadar, apalagi biasanya si gadis belum pernah belajar menari sebelumnya. Sungguh menakjubkan.<br /><br />Tarian suci ini diadakan dalam upacara memohon keselamatan dari bencana atau wabah penyakit yang menyerang suatu desa.<br /><br />Tarian ini terdapat di daerah Badung, Gianyar, dan Bangli.<br /><br />6.1.6.2. Sanghyang Jaran<br /><br />Ditarikan oleh seorang pria atau seorang pemangku yang mengendarai sebuah kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah daun kelapa. Penarinya kerasukan roh kuda tunggangan dewata dari khayangan, diiringi dengan nyanyian paduan suara yang melagukan gending sanghyang, berkeliling sambil memejamkan mata, berjalan dan berlari-kecil dengan kaki telanjang, menginjak-injak bara api batok kelapa yang dihamparkan di tengah arena.<br /><br />Tari ini diselenggarakan pada saat-saat prihatin, misalnya terjadi wabah penyakit atau kejadian lain yang meresahkan masyarakat, dan terdapat di daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Bangli.<br /><br />6.1.6.3. Sanghyang Deling<br /><br />Ditarikan oleh sepasang gadis cilik yang belum akil balig yang kemasukan roh Dewa Wisnu/Dewi Sri (Dewi Kesuburan). Masing-masing penari memegang sebatang pohon yang dihubungkan dengan seutas benang di mana digantungkan dua buah boneka kecil (deling) yang dibuat dari daun lontar. Gerakan cepat dari deling tersebut menandakan penarinya telah kemasukan roh, kemudian mereka diusung oleh dua orang pengusung diiringi dengan nyanyian paduan suara gending sanghyang, kadang-kadang diiringi juga oleh gamelan. Tarian ini terdapat di daerah Kintamani (Bangli).<br /><br />6.1.6.4. Sanghyang Sampat<br /><br />Ditarikan oleh seorang gadis yang telah kemasukan roh halus dengan perantara sapu lidi (sampat) yang digerak-gerakkan secara bebas ke kiri dan ke kanan. Ada pula tarian sejenis yang perantaranya sepotong bambu maka disebut tari Sanghyang Bungbung.<br /><br /> <br />6.1.6.5. Sanghyang Bojog<br /><br />Penarinya adalah seorang pria dengan busana seperti seekor kera (bojog) dan diiringi dengan nyanyian paduan suara gending Sanghyang. Sebelum dimulai, penarinya melalui tahapan pemanggilan roh kera. Setelah kemasukan, penari akan melompat ke atas pohon dan menirukan tingkah laku seekor kera. Seringkali gerakan yang dilakukan adalah gerakan yang mustahil atau sangat sulit dilakukan oleh manusia yang sadar diri. Pada akhir tarian, penarinya disadarkan dengan memercikkan air suci (tirta). Tarian ini terdapat di daerah Duda (Karangasem).<br /><br />6.1.6.6. Sanghyang Celeng<br /><br />Penarinya adalah seorang pria dengan busana terbuat dari ijuk, seperti seekor babi, dan diiringi dengan nyanyian paduan suara Gending Sanghyang yang sakral. Melalui tahap nusdus, roh babi didatangkan, dan dimasukkan ke dalam kesadaran si penari. Setelah kemasukan, penari akan merangkak berkeliling, menirukan tingkah laku seekor babi (masolah). Pada akhir tarian, penarinya disadarkan (ngalinggihang) dengan memercikkan air suci (tirta). Tarian ini terdapat di daerah Duda (Karangasem).<br /><br />6.1.7. Joged<br /><br />Merupakan tari pergaulan yang sangat populer di Bali, tari ini memiliki pola gerak yang agak bebas, lincah dan dinamis, yang diambil dari Legong maupun Kekebyaran dan dibawakan secara improvisatif. Biasanya dipentaskan pada musim sehabis panen, hari raya, dan hari penting lainnya. Tari joged ini merupakan tarian berpasangan, laki-laki dan perempuan dengan mengundang partisipasi penonton.<br /><br />Semua tari Joged (kecuali Joged Pingitan yang memakai lakon Calonarang), selalu ada bagian paibing-ibingannya yaitu tarian bermesraan. Diawali dengan penari joged memilih (nyawat) penonton laki-laki yang diajak menari bersama-sama di atas pentas. Sebagai sebuah kesenian rakyat, tari joged diiringi dengan barungan gamelan yang didominir oleh instrumen-instrumen bambu. Di daerah Tista, Tabanan ada sejenis tari Joged yang mendekati Legong Kraton yang disebut Leko, dan di Bongan Gede, Karangasem terdapat tari Joged yang dianggap sakral yang dinamakan Joged Bisama.<br /><br />Tari Joged mempunyai banyak macam, antara lain: <br /><br /> <br />6.1.7.1. Joged Bumbung<br /><br /><br /><br />Tari joged yang diiringi dengan gamelan tingklik bambu berlaras Slendro yang disebut Grantang atau Gamelan Gegrantangan. Tarian ini muncul pada tahun 1946 di Bali Utara dan kini Joged Bumbung dapat dijumpai hampir di semua desa dan merupakan jenis tari joged yang paling populer di Bali.<br /><br /><br /><br />6.1.7.2. Joged Pingitan<br /><br />Jenis joged yang dalam pementasannya membawakan suatu lakon dan diiringi dengan gamelan tingklik bambu yang berlaras Pelog, yang disebut Gamelan Joged Pingitan. Disebut Joged Pingitan karena di dalam pementasan tarian ini ada bagian-bagian yang dilarang (dipingit) yaitu pengibing hanya bisa menari untuk dapat mengimbangi gerak tari yang ditimbulkan oleh penari joged dan tidak boleh menyentuh penarinya. Repertoir yang biasa dijadikan suatu lakon adalah kisah Prabu Lasem dan di beberapa tempat ada juga yang mengambil cerita Calonarang. Berdasarkan data-data yang ada, joged ini muncul di Bali sekitar tahun 1884. Semula adalah tarian hiburan bagi raja yang konon penari-penarinya adalah para selir.<br /><br />6.1.7.3. Joged Gebyog<br /><br />Jenis tari joged yang diiringi dengan bumbung gebyog yang ritmis berlaras Slendro dan hanya terdapat didaerah Bali bagian barat (daerah Jembrana).<br /><br />6.1.7.4. Joged Gandrung<br /><br />Merupakan tari pergaulan yang penarinya laki-laki berhias dan berpakaian wanita, serta diiringi dengan seperangkat Gamelan Tingklik yang terbuat dari bambu yang berlaras pelog. Semula penari Gandrung ini lelaki muda usia berparas tampan namun sekarang Gandrung sudah ditarikan oleh penari wanita. Gandrung hanya dapat diketemukan di beberapa desa di Gianyar, Badung dan Denpasar.<br /><br />6.1.8. Legong<br /><br />Sebuah tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari Gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya luwes atau elastis dan kemudian diartikan sebagai gerakan lemah gemulai (tari). Selanjutnya kata tersebut di atas dikombinasikan dengan kata "gong" yang artinya gamelan, sehingga menjadi "Legong" yang mengandung arti gerakan yang sangat terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Sebutan Legong Kraton adalah merupakan perkembangannya kemudian. Adakalanya tarian ini dibawakan oleh dua orang gadis atau lebih dengan menampilkan tokoh Condong sebagai pembukaan dimulainya tari Legong ini, tetapi ada kalanya pula tari Legong ini dibawakan satu atau dua pasang penari tanpa menampilkan tokoh Condong lebih dahulu. Ciri khas tari Legong ini adalah pemakaian kipas para penarinya kecuali Condong.<br /><br />Gamelan yang dipakai mengiringi tari Legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Lakon yang biasa dipakai dalam Legong ini kebanyakan bersumber pada:<br />- Cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem<br />- Cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa)<br />- Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa)<br />- Kuntul (kisah burung)<br />- Sudarsana (semacam Calonarang)<br />- Palayon<br />- Chandrakanta dan lain sebagainya.<br /><br />Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari:<br />- Papeson<br />- Pangawak<br />- Pengecet<br />- Pakaad<br /><br />Beberapa daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya:<br />- Di desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir).<br />- Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.<br /><br />Daerah-daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali adalah:<br />- Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar)<br />- Binoh dan Kuta (Badung)<br />- Kelandis (Denpasar)<br />- Tista (Tabanan)<br /><br />6.1.9. Arja<br /><br />Nama Arja di duga berasal dari kata Reja (bahasa sansekerta) yang berarti keindahan. Arja adalah semacam opera khas Bali, merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Dramatari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat.<br /><br />Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820an, pada masa pemerintahan raja Klungkung I Dewa Agung Sakti. Tiga fase penting dalam perkembangan Arja adalah:<br />- Munculnya Arja Doyong (Arja tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang).<br />- Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang).<br />- Arja Gede (yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang).<br /><br />Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut Gaguntangan yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari. <br /><br />Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal secara luas oleh masyarakat.<br /><br />Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana, Sampik Ingtai, Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing - masing terdiri dari Punta dan Kartala. Hampir semua daerah di Bali masih memiliki grup-grup Arja yang masih aktif.<br /><br />Menjelang berakhirnya abad ke-20 lahir Arja Muani, pemainnya semua pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat karena menghadirkan komedi segar.<br /><br />6.1.10. Topeng<br /><br />Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain dan bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.<br /><br />Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng bungkulan (yang menutup seluruh muka penari), topeng sibakan (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng sibakan memakai dialog berbahasa kawi dan Bali.<br /><br />Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan – yang lebih tua, dan Cenikan – yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat).<br /><br /> <br />Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali adalah:<br />- Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir diseluruh Bali.<br />- Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon.<br />- Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.<br /><br />6.1.11. Gambuh<br /><br />Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.<br /><br />Diperkirakan Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.<br /><br />Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya.<br /><br />Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.<br /><br />Gambuh yang masih aktif hingga kini terdapat di desa:<br />- Batuan (Gianyar)<br />- Padang Aji dan Budakeling (Karangasem)<br />- Tumbak Bayuh (Badung)<br />- Pedungan (Denpasar)<br />- Apit Yeh (Tabanan)<br />- Anturan dan Naga Sepeha (Buleleng)<br /><br />6.1.12. Calonarang<br /><br />Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa/Pangleyakan dan Panengen. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa Timur) pada abad ke-19. Cerita lain yang juga sering ditampilkan dalam drama tari ini adalah cerita Basur, sebuah cerita rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Bali. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai pertunjukan adu kekebalan (batin).<br /><br />Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid). Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Karena pagelaran dramatari ini selalu melibatkan Barong Ket maka Calonarang sering disamakan dengan Barong Ket. Pertunjukan Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, maupun Gong Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan pohon pepaya.<br /><br />6.1.13. Cak<br /><br />Dramatari Cak adalah sebuah dramatari Bali yang penarinya berkisar antara 50 sampai 150 orang penari yang sebagian besar adalah pria, mereka menari dengan membuat paduan suara, "cak, cak, cak" yang irama ditata sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu paduan yang sangat harmonis, diselingi dengan beberapa aksen dan ucapan-ucapan lainnya.<br /><br />Semula cak ini adalah bagian dari pada Tari Sanghyang, namun semenjak kira-kira tahun 1930an memisahkan diri dan menjadi suatu bentuk pertunjukan menyendiri dengan mengambil lakon Ramayana.<br /><br />Busana khas dari Cak ini adalah busana "babuletan" (kain yang dipakai secara dicawatkan), memakai kampuh poleng (putih hitam). Lampu untuk pertunjukan Cak dinamakan "panyembeyan" yang ditata sedemikian rupa berbentuk candi-candian.<br /><br />6.1.14. Jauk<br /><br />Tarian bertopeng yang menggambarkan seorang raja raksasa yang sedang berkelana. Penarinya adalah pria, mengenakan busana yang terdiri dari awiran yang berlapis-lapis, ditambah dengan gelungan jauk dan kaos tangan yang berkuku panjang. Tarian ini lebih bersifat improvisasi dengan struktur koreografi yang fleksible.<br /><br />Jenis tari Jauk ini antara lain:<br />- Jauk Keras (Jauk Enggang)<br />- Jauk Manis (Jauk Longgor)<br /><br /><br /><br /><br />6.1.15. Rejang<br /><br /><br />Tarian yang memiliki gerak tari yang sederhana dan lemah gemulai, ditarikan oleh penari putri (pilihan maupun campuran dari berbagai usia) yang dilakukan secara berkelompok atau massal di halaman pura pada saat berlangsungnya suatu upacara. Bisa diiringi dengan gamelan Gong Kebyar atau Gong Gede.<br /><br />Tari Rejang ini, oleh masyarakat Bali dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan status sosial penarinya (Rejang Deha: ditarikan oleh remaja putri), cara menarikannya (Rejang Renteng: ditarikan dengan saling memegang selendang), tema dan perlengkapan tarinya terutama hiasan kepalanya (Rejang Oyopadi, Rejang Galuh, Rejang Dewa, dll).<br /><br />Di desa Tenganan, dalam upacara "Aci Kasa" ditarikan tari Rejang Palak, Rejang Mombongin, Rejang Makitut dan Rejang Dewa yang diiringi dengan gamelan Selonding yang masing-masing tarian Rejang tersebut dapat dilihat perbedaannya dari simbol-simbol dan benda sakral yang dibawa penarinya, pola geraknya, cara menarikannya dan tata busananya.<br /><br />6.1.16. Pendet<br /><br /> <br /><br />Tari putri yang memiliki pola gerak yang lebih dinamis dari tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan, ditampilkan setelah tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan dan perlengkapan sesajen lainnya.<br /><br />6.1.17. Janger<br /><br />Merupakan jenis tarian pergaulan, terutama bagi muda mudi, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke-20, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara wanita.<br /><br />Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat.<br /><br />- Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan penampilan peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal tentara Belanda dengan gerak-gerak improvisasi yang kadang-kadang memberi komando kepada penari Janger maupun Kecak).<br />- Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan<br />- Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat menamakannya Janger Gong.<br /><br />Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).<br /><br />6.1.18. Prembon<br /><br />Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada. Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai Prembon.<br /><br />Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942, atas prakarsa para seniman dari Badung: I Nyoman Kaler dan dari Gianyar: I Wayan Griya dan I Made Kredek.<br /><br />Ketika pertama kali diciptakan Prembon lahir dari penggabungan seni Patopengan dan Paarjaan. Lakon yang ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah lainnya sebagaimana halnya dramatari Topeng sedangkan gamelan pengiringnya adalah Gamelan Gong Kebyar.<br /><br />Di daerah Gianyar, Prembon yang banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetanrian.<br /><br />6.1.19. Makare-karean<br /><br />Disebut juga dengan tari Perang Pandan, merupakan salah satu tarian ketangkasan yang melibatkan para pemuda, dengan memakai kostum upacara adat, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tari ini ditampilkan dalam upacara adat di desa Tenganan.<br /><br />Yang menarik, meskipun nampaknya luka-luka yang ditimbulkan oleh senjata pandan berduri itu cukup parah, namun para penarinya tidak merasakan kesakitan. Pada akhir prosesi, luka-luka itu disembuhkan dengan menyiramkan air suci.<br /><br />6.1.20. Abuang<br /><br />Abuang atau Mabuang merupakan tari hiburan dalam upacara penyimpanan Bhatara Bagus Selonding atau disebut upacara ngalemekin, yang ditampilkan sehari setelah upacara tersebut dan tari ini terdapat di desa Tenganan.<br /><br />6.1.21. Gebug Ende<br /><br />Tarian rakyat yang merupakan tari adu ketangkasan yang dibawakan oleh kaum pria, masing-masing penari membawa tongkat rotan dan sebuah perisai (tameng/ende) yang berfungsi sebagai pelindung dari serangan lawan. Tarian ini dimaksudkan sebagai tarian untuk memohon hujan, dan terdapat di daerah Karangasem.<br /><br />6.1.22. Mresi<br /><br />Tarian ini dibawakan oleh penari putra yang belum menikah, gerakan tarinya sangat sederhana namun berwibawa dengan keris sebagai senjata, mereka menari secara berpasangan dan berkelompok diiringi dengan gamelan Selonding. Busana yang dikenakan adalah busana upacara adat, tarian ini terdapat di desa Tenganan.<br /><br />6.1.23. Tari Kontemporer<br /><br />Salah satu tarian kreasi baru yang mempunyai ungkapan artistik yang bebas, muncul sejak makin maraknya pertumbuhan tari-tarian Bali kreasi baru di awal tahun 1970. Di dalam tarian baru ini elemen-elemen seni klasik/ tradisional Bali dipergunakan secara bebas dan kreatif, sesuai rasa estetik individu penatanya.<br /><br />Kreativitas seperti ini melahirkan garapan tari baru yang inovatif yang menawarkan gagasan atau nafas-nafas baru yang dapat dikelompokkan sebagai tari Bali modern.<br /><br />Beberapa contoh tarian kontemporer: <br /><br />6.1.23.1. Cak Rina<br /><br />Salah satu garapan tari yang mengawali munculnya tari Kontemporer Bali modern adalah Cak Tarian Rina, karya Sardono W. Kusumo di Banjar Teges Kanginan Gianyar pada tahun 1972. Ketika itu Sardono dan sejumlah seniman muda dari Taman Ismail Marzuki Jakarta memasukkan ide-ide gerak dan cerita baru (Subali-Sugriwa) ke dalam Cak ini. Lampu-lampu cak yang berbentuk piramid diganti dengan obor-obor yang dapat dibawa bergerak oleh para pemain, sementara pola kakilitan cak masih tetap dipertahankan. Di dalam beberapa bagian dari adegan Cak Rina ini muncul anak-anak menari, sebagian ada yang telanjang yang kemudian menjadikan pagelaran ini sebuah kontroversi dan karya ini nyaris ditolak oleh para pengamat seni di Bali.<br /><br />Dua tahun kemudian Sardono menggarap Calonarang di desa Krambitan (Tabanan Bali) yang melahirkan Dongeng dari Dirah. Berbeda dengan tarian Cak Rina, Dongeng dari Dirah berhasil menarik perhatian masyarakat setempat dan memperoleh kesuksesan besar di Paris. Dengan suksesnya ini, kemarahan masyarakat Bali terhadap Sardono atas Cak Rina-nya nampak agak mengendor dan diam-diam beberapa pengamat seni di daerah ini mulai mengagumi karya seniman kelahiran Surakarta ini.<br /><br />Mulai diterimanya garapan tari kontemporer seperti ini oleh kalangan penonton dan masyarakat setempat merupakan angin sejuk bagi pertumbuhan tari Kontemporer di Bali. Ada sedikitnya 3 buah garapan tari Bali Kontemporer yang patut diketengahkan sebagai bukti munculnya kreasi tari yang sudah mempunyai 'jarak' artistik yang cukup jauh dengan tradisi yang melahirkannya, dan yang mencoba memasukkan unsur-unsur budaya global. Ketiga garapan modern yang dimaksud adalah Setan Bercanda (1976) dan Barong-Barongan (1985) yang keduanya merupakan karya I Wayan Dibia dan tari Ngelawang atau "Barong Nglawang" karya I Ketut Suteja.<br /><br />6.1.23.2. Cak Subali Sugriwa<br /><br />Dramatari yang berpangkal pada dramatari Cak ini ciptaan I Wayan Dibia bersama mahasiswa dan dosen ASTI Denpasar. Cak baru yang diciptakan pada tahun 1976 ini sudah tampil beberapa kali di arena Pekan Kesenian Bali, dan pada acara pagelaran lainnya, baik yang bertaraf nasional maupun internasional, di dalam maupun di luar negeri. Yang tidak kalah menariknya adalah pengaruh Cak ini sudah nampak pada pertunjukan akhir-akhir ini. Pola-pola gerak, teknik kakilitan suara cak, dan konfigurasi cak Subali dan Sugriwa kini sudah muncul ke dalam pertunjukan Cak futuristik.<br /><br />Cak Subali-Sugriwa adalah sebuah garapan baru yang melakonkan pertempuran Subali dan Sugriwa. Adapun lakon yang dibawakan berjudul Kuntir yang mengisahkan perselisihan antara Subali dan Sugriwa. Kisah ini diawali dengan kedatangan Hyang Indra ke tempat Subali dan Sugriwa bersemedi. Hyang Indra meminta kedua putra Resi Gotama ini untuk membunuh Raksasa Lembu Sura dan Mahisa Sura. Jika mereka berhasil, beliau akan memberikan hadiah seorang putri cantik bernama Dewi Tara. Demi ketentraman Khayangan, Subali dan Sugriwa menyatakan kesanggupannya. Ketika Subali masuk istana goa untuk menyerang kedua raksasa ini, ia meminta Sugriwa menutup goa dengan sebuah batu besar, agar kedua raksasa itu tidak melarikan diri. Namun ketika cairan merah dan putihpun keluar dari dalam goa yang ditafsirkan oleh Sugriwa bahwa kakaknya sudah mati terbunuh.<br /><br />Kisah selanjutnya dari lakon Kuntir ini adalah sama dengan yang terjadi dalam cerita Kiskenda Kanda. Sementara teknik kakilitan suara "cak cak cak" masih dipergunakan di dalam cak modern ini, formasi lingkaran berlapis-lapis mengelilingi lampu, seperti yang dilakukan kepada cak "tradisional", ditiadakan atau dikurangi. Para penari cak disebarkan di sekitar stage untuk membuat berbagai macam konfigurasi seperti gunung, batu-batuan tempat bertapanya Subali dan Sugriwa, goa, pepohonan, dan lain-lainnya sesuai dengan kebutuhan dekorasi cerita. Perubahan mendasar yang terjadi dalam cak ini adalah dalam hal gerak. Dalam cak ini semua penari bergerak secara aktif, secara berkelompok maupun perorangan. Ada bagian-bagian koreografi di mana penari berguling-guling di lantai atau berlari berhamburan sambil mengeluarkan suara menjerit atau ketawa-ketawa kecil secara tidak beraturan. Kadang kala ada gerak yang dilakukan secara cepat, dan ada juga secara lambat (slow motion). Lampu cak yang berbentuk piramid diganti dengan obor-obor yang dibawa oleh para penari.<br /><br />Pada bagian akhir, perang antara Subali dan Sugriwa dilakukan di atas pundak orang-orang, dan mayat Subali dibungkus kain putih dan diusung keluar seperti yang terjadi dalam upacara kematian orang Bali.<br /><br />6.1.23.3. Setan Bercanda<br /><br />Tari ini menggambarkan sekelompok setan anak buah Ratu Gede Macaling yang menari-nari keriangan di tengah malam untuk menyebarkan wabah penyakit. Ditarikan oleh antara 5-6 orang penari pria yang bertelanjang dada dan berbusana daun-daunan, Setan Bercanda diiringi dengan musik yang sangat sederhana dari batu-batuan, pecahan bambu dan sepasang gangsa dari gamelan angklung. Embryo dari pada tarian ini adalah tari "Wabah" yang disajikan I Wayan Dibia pada ujian komposisi modern untuk ujian tingkat Seniman Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta pada 1974. Setan Bercanda pernah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan di antara para pemerhati seni di Bali. Pada tahun 1978, setelah tarian ini ditayangkan di televisi, sebagai bagian dari acara Bhinneka Tunggal Ika bingkisan TVRI Denpasar, muncul berbagai kritik pedas melalui suara pembaca Bali Post, sementara ada juga yang menyambutnya dengan nada positif.<br /><br />Walaupun tarian ini sesungguhnya masih bersumber pada berbagai jenis tarian tradisional Bali seperti tari Baris Ketujeng, Baris Memedi dan Sanghyang Jaran. Karena wajah dan penampilannya yang masih aneh, tak urung kreasi ini dituding sebagai kreasi yang dapat merusak kelestarian seni tradisi (budaya Bali).<br /><br />Setelah bencana Setan Bercanda ini, untuk beberapa waktu penciptaan tari-tarian Bali kontemporer nampak menurun bahkan terhenti. Hal ini terbukti dari tidak munculnya tarian-tarian aneh hingga tahun 1984. Polemik yang berkepanjangan dan kritik-kritik pedas yang ditujukan kepada Setan Bercanda-nya Dibia nampaknya membuat para koreografer muda menjadi sedikit ketakutan untuk membuat garapan tari aneh.<br /><br />6.1.23.4. Barong Barongan<br /><br />Pada tahun 1985, setelah kembali dari Amerika (UCLA), I Wayan Dibia menciptakan sebuah garapan baru yang diberi nama Barong-barongan. Garapan ini menggambarkan sekelompok remaja, putra putri yang menari sambil menirukan gerak-gerik Barong Ket. Tari ini lahir dari sebuah pengalaman pribadi dari penciptanya (sebagai penari Barong Ket). Barong-barongan diiringi dengan musik yang sangat sederhana dari batu dan pecah-pecahan bambu yang dimainkan secara kakilitan, cengceng dan sebuah tingklik bambu. Barong-barongan pernah ditampilkan baik dalam pagelaran bertaraf lokal maupun internasional.<br /><br />Pada tahun 1985 Barong-barongan ditampilkan di PKB tahun 1985, pada tahun 1986 ia juga ditampilkan sebagai salah satu mata acara tari dan musik Bali dari STSI Denpasar ke Hongkong, pada tahun 1990 dimasukkan dalam garapan Body Tjak, dan tahun 1994 ditampilkan di Tanz '94 sebagai pemegang posisi ke 7 dalam Internationales Tanz-Festival.<br /><br />6.1.23.5. Ngelawang<br /><br />Pada tahun 1992 I Ketut Suteja, dosen STSI Denpasar, menampilkan sebuah garapan tari kontemporer yang diberi nama Ngelawang. Tari ini banyak diilhami oleh tari Barong Ket yang tidak asing lagi bagi masyarakat Bali. Ngelawang (dari kata lawang yang artinya pintu) adalah sebuah istilah dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain, atau dari satu desa ke desa yang lain. Pertunjukan seperti ini biasa dilakukan pada waktu hari-hari raya besar seperti Galungan dan Kuningan. Di tempat-tempat tertentu ngelawang juga diadakan apabila disuatu desa terjadi wabah penyakit.<br /><br />Dalam garapan ngelawang-nya ini Suteja memasukan ide yang kedua; ngelawang untuk mengusir roh-roh jahat. Dalam garapan ini juga Suteja memasukan cukup banyak gerak-gerak baru yang penuh vitalitas dan memakai gamelan Balaganjur untuk mengiringi garapan ini. Ngelawang ditarikan oleh 8 orang penari yang terdiri dari 4 orang penari putra dan 4 orang penari putri. Di dalam tarian ini ditampilkan 2 buah barong buntut (hanya bagian depan dari barong ket) dan sebuah punggalan (topeng) barong ket. Oleh karena begitu dominannya bentuk barong di dalam garapan ini, maka garapan ini juga disebut sebagai "Barong Ngelawang".<br /><br />Sejak tahun 1992 para pencipta tari di Bali telah berhasil menciptakan beberapa karya penting walaupun pementasannya mungkin hanya dilakukan satu kali. Di antara garapan-garapan tari Kontemporer yang dimaksud adalah Cak Seni Rupa Lata Mahosadhi (1995) dan Ruwatan Bumi (1997), kedua hasil karya Nyoman Erawan, dan Ramwana: Ketika Rama Menjadi Rahwana (1999) karya I Wayan Dibia. Garapan-garapan ini menawarkan beberapa hal baru yang terlihat dalam tema, elemen pertunjukannya dan tata pementasannya. Cak Seni Rupa Erawan menyajikan tafsiran baru terhadap kisah Lata Mahosadhi dan permainan warna-warna cair. Ruwatan Bumi menawarkan tema ruwatan diri yang dilakukan terhadap penciptanya sendiri (Erawan) yang digundul dalam pertunjukan ini. Ram-wana menawarkan interpretasi baru terhadap kisah Ramayana yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik pada tahun 1999. Dalam karya Erawan dan Dibia ini dilibatkan pembacaan puisi dan seni rupa instalasi di alam terbuka.<br /><br />6.2. Wayang Kulit<br /><br />Wayang Kulit, seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya, adalah salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering mempergelarkan Wayang Kulit dalam kaitan dengan upacara agama Hindu, upacara adat Bali, maupun sebagai hiburan semata.<br /><br />Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke-9. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 (896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang.<br /><br />Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.<br /><br />Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang pria.<br /><br />Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi: dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125-130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).<br /><br />Wayang Kulit Bali terdiri dari dua jenis, yaitu:<br /><br />6.2.1. Wayang Lemah<br /><br />Dipentaskan pada umumnya siang hari (lemah) dan dilihat dari fungsinya adalah termasuk kesenian pelengkap upacara keagamaan. Di beberapa tempat disebut dengan Wayang Gedog.<br /><br />Wayang ini dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (benang tukelan) sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada batang kayu dapdap yang dipancangkan pada batang pisang di kedua sisi dalang.<br /><br />Gamelan pengiringnya adalah gender wayang yang berlaras slendro (lima nada). Wayang upacara ini, pementasannya sangat tergantung pada waktu pelaksanaan upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat dipentaskan pada siang hari, sore ataupun malam hari.<br /><br />Pendukung pertunjukan ini adalah yang paling kecil, 3 sampai 5 orang yang terdiri dari seorang dalang dan satu atau dua pasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan wayang lemah biasanya mengambil tempat di sekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan panggung pementasan khusus.<br /><br />Lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita Mahabrata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan upacara yang diiringinya. Jangka waktu pementasan Wayang Lemah pada umumnya singkat, sekitar 1 sampai 2 jam.<br /><br />6.2.2. Wayang Peteng<br /><br />Sesuai dengan namanya, Wayang Peteng dipentaskan pada malam hari (peteng berarti malam) secara terbuka untuk umumnya, sebagai sajian hiburan.<br /><br />Walaupun demikian, ada jenis Wayang yang identik penampilannya, hanya saja waktu penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu upacara keseluruhan.<br /><br />Wayang Peteng terdiri dari beberapa jenis, di antaranya:<br /><br />6.2.2.1. Wayang Parwa<br /><br />Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang membawakan lakon-lakon yang bersumber dari wiracarita Mahabrata yang juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa. Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang paling populer dan terdapat di seluruh Bali. Wayang Parwa dipentaskan pada malam hari, dengan memakai kelir dan lampu blencong dan diiringi dengan Gamelan Gender Wayang.<br /><br />Walaupun demikian, ada jenis Wayang Parwa yang waktu penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu upacara keseluruhan.<br /> <br />Wayang Parwa dipentaskan dalam kaitannya dengan berbagai jenis upacara adat dan agama walaupun pertunjukannya sendiri berfungsi sebagai hiburan yang bersifat sekuler. Dalam pertunjukannya, dalang Wayang Parwa bisa saja mengambil lakon dari cerita Bharata Yudha atau bagian lain dari cerita Mahabharata. Oleh sebab itu jumlah lakon Wayang Parwa adalah paling banyak.<br /><br />Di antara lakon-lakon yang umum dipakai, yang diambil dari kisah Bharata Yudha adalah:<br />- Gugurnya Bisma<br />- Gugurnya Drona<br />- Gugurnya Abhimanyu<br />- Gugurnya Karna<br />- Gugurnya Salya<br />- Gugurnya Jaya-drata<br /><br />Lakon-lakon terkenal sebelum Bharata Yudha misalnya:<br />- Sayembara Dewi Amba<br />- Pendawa-Korawa Aguru<br />- Pendawa-Korawa Berjudi<br />- Sayembara Drupadi<br />- Lahirnya Gatut Kaca<br />- Aswameda Yadnya<br />- Kresna Duta<br />- Matinya Supala<br /><br />Wayang Parwa biasanya didukung oleh sekitar 7 orang yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 4 orang penabuh gender wayang (yang memainkan sepasang pemade dan sepasang kantilan). Durasi pementasannya berkisar antara 3 sampai 4 jam.<br /><br />6.2.2.2. Wayang Ramayana<br /><br />Adalah wayang kulit yang membawa lakon-lakon dari wiracarita Ramayana. Wayang ini dipentaskan pada malam hari, memakai kelir dan lampu blencong, dengan diiringi gamelan batel pewayangan berlaras slendro lima nada yang energik dan dinamis. Wayang Ramayana biasanya dipentaskan sebagai sajian seni hiburan yang bersifat sekuler. Dalam pertunjukannya, dalang wayang Ramayana pada umumnya mementaskan lakon dari bagian Kiskenda Kanda sampai dengan Uttara Kanda.<br /><br />Lakon-lakon wayang Ramayana yang biasa disajikan antara lain:<br />- Perang Subali Sugriwa<br />- Karebut Kumbakarna<br />- Anggada Lina<br />- Meganada Antaka<br />- Katundung Hanoman<br />- Kabiseka Anggada<br />- Anoman Watugangga<br />- Rama Hilang<br /><br />Salah satu ciri khas dari pertunjukan Wayang Ramayana adalah penampilan pasukan keranya (palawaga) dengan pola gerak dan iringan musiknya yang berbeda-beda. Wayang Ramayana didukung oleh sekitar 14 (empat belas) orang yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 11-12 orang penabuh Gamelan Batel Pawayangan yang mengiringi. Durasi pementasan wayang ini berkisar antara 3 sampai 4 jam.<br /><br />6.2.2.3. Wayang Gambuh<br /><br />Adalah salah satu jenis wayang Bali yang langka, pada dasarnya adalah pertunjukan Wayang Kulit yang melakonkan ceritera Malat, seperti wayang panji yang ada di Jawa.<br /><br />Karena lakon dan pola acuan pertunjukan adalah Dramatari Gambuh, maka dalam banyak hal wayang Gambuh merupakan pementasan Gambuh melalui wayang kulit. Tokoh-tokoh yang ditampilkan ditransfer dari tokoh-tokoh Pegambuhan, demikian pula gamelan pengiring dan bentuk ucapan-ucapannya.<br /><br />Konon perangkat wayang Gambuh yang kini tersimpan di Blahbatuh adalah pemberian dari raja Mengwi yang bergelar I Gusti Agung Sakti Blambangan, yang membawa wayang dari tanah Jawa (Blambangan) setelah menaklukan raja Blambangan sekitar tahun 1634.<br /><br />6.2.2.4. Wayang Calonarang<br /><br />Wayang Calonarang juga sering disebut sebagai wayang Leyak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari ceritera Calonarang. Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan, wayang Calonarang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (Wayang Parwa).<br /><br />Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 9 orang penabuh.<br /><br />Diantara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Calonarang ini adalah:<br />- Katundung Ratnamangali<br />- Bahula Duta<br />- Pangesengan Beringin<br /><br />Kekhasan pertunjukan wayang Calonarang terletak pada tarian sisiya-nya dengan teknik permainan ngalinting dan adegan ngundang-ngundang di mana sang dalang membeberkan atau menyebutkan nama-nama mereka yang mempraktekkan pangiwa. Hingga kini wayang Calonarang masih ada di beberapa Kabupaten di Bali walaupun popularitasnya masih di bawah wayang Parwa.<br /><br />6.2.2.5. Wayang Cupak<br /><br />Wayang Cupak termasuk wayang kulit Bali yang sangat langka, adalah pertunjukan wayang kulit yang melakonkan cerita Cupak Grantang yang mengisahkan perjalanan hidup dari dua putra Bhatara Brahma yang sangat berbeda wataknya.<br /><br />Bentuk pertunjukan wayang ini tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Bali lainnya hanya saja tokoh-tokoh utamanya terbatas pada Cupak dan Grantang, Men Bekung dan suaminya Pan Bekung, Raksasa Benaru, Galuh Daha, Prabu Gobagwesi, dan lain sebagainya.<br /><br />Pertunjukan wayang Cupak pada dasarnya masih tetap berpegang kepada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (wayang Parwa).<br /><br />Pagelaran Wayang Cupak melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 9 orang penabuh gamelan batel gender wayang.<br /><br />Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Cupak, adalah:<br />- Matinya Raksasa Benaru<br />- Cupak Dadi Ratu<br />- Cupak Nyuti Rupa (Cupak ke sorga)<br /><br />Kekhasan pertunjukan wayang Cupak ini terasa pada seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat (ginada) dan penampilan tokoh-tokoh Bondres yang sangat ditonjolkan. Wayang Cupak sangat populer di daerah Kabupaten Tabanan.<br /><br />6.2.2.6. Wayang Sasak<br /><br />Di Karangasem terdapat wayang kulit bernafaskan budaya Islam dari kelompok suku Sasak (Lombok Barat) yang disebut Wayang Sasak. Wayang yang mengambil lakon-lakon dari cerita Islam, khususnya dari Serat Menak ini, belakangan ini sudah sangat jarang dipentaskan karena para pelakunya terutama dalangnya yang sudah tiada.<br /><br />Wayang Sasak dalam banyak hal merupakan perpaduan unsur-unsur seni budaya Bali dengan Sasak. Walaupun lakon yang dibawakan adalah cerita Islam, bahasa yang dipakai terdiri dari bahasa Kawi, Bali dan Sasak. Gamelan pengiringnya, seperti yang terlihat dalam Festival Wayang Walter Spies tahun 1996, adalah ensambel kecil yang terdiri dari:<br />- sebuah suling<br />- sebuah pleret<br />- sepasang kendang<br />- sebuah kempul<br />- tawa-tawa<br />- cengceng kecil<br /><br />Gamelan seperti ini banyak persamaannya dengan gamelan Arja atau Pagambuhan Bali. Tata penyajian Wayang Sasak sama dengan Wayang Kulit Bali; penonton menyaksikan bayangan wayang dari balik kelir (bukan dari sisi dalang).<br /><br />6.2.2.7 Wayang Arja<br /><br />Adalah sebuah ciptaan baru yang diciptakan pada tahun 1975 oleh dalang I Made Sidja dari desa Bona, atas dorongan almarhum I Ketut Rindha. Permunculan wayang ini banyak dirangsang oleh kondisi kehidupan Dramatari Arja yang ketika itu memprihatinkan, didesak oleh Drama Gong. Walaupun masih tetap mempertahankan pola pertunjukan wayang tradisional Bali, Wayang Arja menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita Panji (Malat).<br /><br />Dalam wayang ini plot dramatik disusun hampir sama dengan yang terdapat di dalam Dramatari Arja. Oleh sebab itu pertunjukan Wayang Arja berkesan pagelaran Arja dalam bentuk Wayang Kulit. Pertunjukan Wayang Arja melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 9 orang penabuh Gamelan Gaguntangan yang berlaras pelog dan slendro.<br /><br />Di antara lakon-lakon yang biasa ditampilkan adalah:<br />- Waringin Kencana<br />- Klimun Ilang Srepet Teka<br />- Pakang Raras<br />- Banda Kencana<br /><br />Kekhasan pertunjukan Wayang Arja terasa pada seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat yang biasa dipergunakan dalam pertunjukan Dramatari Arja. Juga, bentuk wayangnya menirukan tokoh-tokoh utama dalam Arja dengan segala atributnya. Wayang Arja kurang begitu populer di Bali, walaupun dalang yang biasa membawakan wayang ini terdapat hampir di seluruh Bali.<br /><br />6.2.2.8. Wayang Tantri<br /><br />Wayang Tantri adalah wayang kreasi baru. Walaupun struktur pertunjukan, bentuk-bentuk wayangnya dan dialognya masih tetap mengacu kepada wayang tradisional Bali (kecuali figur-figur binatangnya).<br /><br />Lakon yang dibawakan adalah cerita Ni Diah Tantri dan cerita-cerita mengenai kehidupan binatang lainnya. Wayang ini pertama kali diciptakan pada tahun 1981 oleh I Made Persib, mahasiswa jurusan Seni Pedalangan pada Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, sebagai sebuah garapan pakeliran baru untuk ditampilkan pada Festival Seni Institut Kesenian Indonesia (IKI) di Bandung.<br /><br />Waktu itu Made Persib memilik lakon "Pedanda Baka" atau "Cangak Maketu". Dua tahun kemudian, dengan penafsiran dan penggarapan yang lebih kaya, didukung ketrampilan teknik yang lebih matang, dalang kondang I Wayan Wija dari Banjar Babakan Sukawati mementaskan Wayang Tantri versi baru yang diiringi dengan gamelan batel Semar Pagulingan yang berlaras pelog. Jumlah pemain Wayang Tantri hampir sama dengan Wayang Ramayana.<br /><br />Selain seorang dalang dengan dua orang pembantunya, dalam rombongan Wayang Tantri ini juga ada sekitar 13 orang penabuh gamelan yang memainkan 4 gender rambat, 2 kendang, 1 kajar, 1 klenang, 1 kempur dan kemong, 1 cengceng dan beberapa buah suling. Munculnya wayang Tantri ini tentu saja semakin memperkaya dan menyemarakkan seni pewayangan Bali. Namun yang lebih penting untuk dicatat adalah bahwa wayang Tantri membawa inovasi penting terutama dalam seni musik wayang yang selama ini didominir oleh musik-musik berlaras slendro. Juga cukup menonjol adalah penampilan figur-figur binatang dengan gerak-geriknya yang mendekati kenyataan.<br /><br />6.2.2.9. Wayang Babad<br /><br />Wayang Babad adalah wayang kulit kreasi baru Bali yang paling muda dan oleh sebab itu masih mencari-cari identitas diri. Walaupun struktur pertunjukan bentuk-bentuk wayangnya dan dialognya masih tetap mengacu kepada pola wayang tradisional Bali, kecuali figur- figur bondresnya, lakon yang dibawakan adalah cerita sejarah Bali atau Babad, sumber lakon dari dramatari Topeng Bali.<br /><br />Wayang ini pertama kali diciptakan dan dipentaskan pada tahun 1988 oleh I Gusti Ngurah Serama Semadi sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan program Seniman pada jurusan Pedalangan STSI Denpasar. Konon penciptaan Wayang Babad ini mendapat inspirasi dari pagelaran Wayang Topeng oleh dalang I Made Sidja dari desa Bona. Tahun 1995 I Ketut Agus Supartha, mementaskan wayang sejenis dengan penafsiran, penataan dan pengembangan pementasan yang lebih kaya. Sementara lakon yang dibawakan masih bersumber pada cerita Babad, dalang Ketut Partha tampil dengan gamelan Semar Pagulingan yang berlaras pelog. Pada tahun 1966, Ketut Ciptadi juga menampilkan Wayang Babad sebagai tugas akhirnya dalam menyelesaikan program Sarjana (S1) pada jurusan Pedalangan di STSI Denpasar. Jumlah pemain Wayang Babad hampir sama dengan wayang Tantri, 17 (tujuhbelas) orang, yaitu: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 14 orang penabuh gamelan Semar Pagulingan yang sudah dimodifikasikan untuk pementasan wayang kulit, tanpa trompong dan pengurangan instrumen lain.<br /><br />Munculnya Wayang Babad, di samping memperkaya dan menyemarakkan seni perwayangan Bali, juga membawa inovasi penting terutama dalam lakon. Dengan Wayang Babad masyarakat Bali dapat menyaksikan kisah perjalanan para leluhur melalui pertunjukan wayang.<br /><br />6.2.2.10. Wayang Wong<br /><br />Wayang Wong pada dasarnya adalah seni pertunjukan topeng dan perwayangan dengan pelaku-pelaku manusia atau orang (wong). Dalam membawakan tokoh-tokoh yang dimainkan, semua penari berdialog, semua tokoh utama memakai bahasa Kawi sedangkan para punakawan memakai bahasa Bali. Pada beberapa bagian pertunjukan, para penari juga menyanyi dengan menampilkan bait-bait penting dari Kakawin.<br /><br />Di Bali ada dua Jenis Wayang Wong, yaitu Wayang Wong Ramayana, dan Wayang Wong Parwa. Wayang Wong Ramayana kemudian disebut Wayang Wong saja, ialah dramatari perwayangan yang hanya mengambil lakon dari wiracarita Ramayana. Hampir semua penari mengenakan topeng. Diiringi dengan gamelan Batel Wayang yang berlaras Slendro.<br /><br />Terdapat di desa-desa:<br />- Mas, Telepud, Den Tiyis (Gianyar)<br />- Marga, Apuan, Tunjuk, Klating (Tabanan)<br />- Sulahan (Bangli)<br />- Wates Tengah (Karangasem)<br />- Bualu (Badung)<br />- Prancak, Batuagung (Jembrana)<br /><br />Wayang Wong Parwa yang biasa disebut Parwa yakni dramatari wayang wong yang mengambil lakon wiracarita Mahabrata (Asta Dasa Parwa). Para penarinya umumnya tidak mengenakan topeng, kecuali para punakawan, seperti Malen, Merdah, Sangut, Delem. Diiringi gamelan Batel Wayang yang berlaras Slendro. Parwa terdapat di desa-desa:<br />- Sukawati, Teges, Pujung (Gianyar)<br />- Blahkiuh (Badung).<br /><br />6.3. Seni Tembang<br /><br />Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi empat kelompok:<br />1. Gegendingan<br />2. Sekar Alit<br />3. Sekar Madya<br />4. Sekar Agung<br /><br />6.3.1. Gegendingan<br /><br />Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.<br /><br />Ada tiga jenis gegendingan:<br /><br />6.3.1.1. Gending Rare<br /><br />Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira.<br /><br />Biasanya tiap lagu dilengkapi (atau sebagai pelengkap dari) sebuah permainan (dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat (gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak terlalu diikat oleh hukum/uger-uger seperti guru lagu atau padalingsa. Beberapa contoh dari Gending Rare ini antara lain:<br />- Meong-meong<br />- Juru Pencar<br />- Ongkek-ongkek Ongke<br />- Indang-indang Sidi<br />- Galang Bulan<br />- Ucung-ucung Semanggi<br />- Pul Sinoge<br /><br />Pada jenis gending ini, ada yang seluruh baitnya merupakan isi, dan ada pula yang mengandung bait- bait sampiran bahkan ada yang hanya berupa sampiran tanpa isi yang jelas artinya.<br /><br />6.3.1.2. Gending Jejangeran<br /><br />Gending Jejangeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan bersama-sama saling sahut-menyahut antara kelompok satu dengan yang lain. Ada yang menjadi janger (kelompok putri) ada yang menjadi kecak (kelompok putra). Lama kelamaan Gending Jejangeran ini dinyanyikan juga oleh orang-orang dewasa di dalam tontonan dengan jalan memberi variasi gerak-gerik atau variasi lakon (lelampahan). Beberapa contoh dari Gending Jejangeran ini antara lain:<br />- Putri Ayu<br />- Siap Sangkur<br />- Mejejangeran<br /><br />6.3.1.3. Gending Sanghyang<br /><br />Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) Sanghyang-Sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan jaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang, yang meliputi tarian Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat dan sebagainya. Sistem atau ortenan tembang-tembang ini sama dengan gending-gending rare lainnya, pengertian yang dihasilkan dari isi gending ini sering abstrak, dan tidak menentu karena sulit dicerna. Ini sesuai dengan kaidah gegendingan yang tidak menuntut pengertian yang utuh dan runtut seperti halnya Tembang Macapat. Beberapa contoh dari Gending Sanghyang ini antara lain:<br />- Puspa Panganjali<br />- Kukus Arum<br />- Suaran Kumbang<br /><br />6.3.2. Sekar Alit<br /><br />Berbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat), kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat oleh hukum padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger (peraturan) yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).<br /><br />Adapun jenis-jenis tembang macapat (pupuh) yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat, di antaranya adalah:<br />- Pupuh Sinom, contohnya: Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Sinom Dingdong, Sinom Sasak, Sinom Lawe, Sinom Genjek dan Sinom Silir.<br />- Pupuh Ginada, contohnya: Ginada Basur, Ginada Linggar Petak, Ginada Jayapura, Ginada Bagus Umbara, Ginada Candrawati dan Ginada Eman-eman/Bungkling.<br />- Pupuh Durma, contohnya: Durma Lumrah dan Durma Lawe.<br />- Pupuh Dangdang, contohnya: Dangdang Gula<br />- Pupuh Pangkur, contohnya: Pangkur Lumrah dan Pangkur Jawa/Kakidungan<br />- Pupuh Ginanti, contohnya: Ginanti Lumrah dan Ginanti Pangalang<br />- Pupuh Semarandana, contohnya: Semarandana Lumrah dan Semarandana Mendut<br />- Pupuh Pucung<br />- Pupuh Megatruh<br />- Pupuh Gambuh<br />- Pupuh Demung<br />- Pupuh Adri<br /><br />Masing-masing pupuh yang tersebut di atas mengandung suasana kejiwaan yang berbeda-beda. Suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut sangat berguna untuk mengungkapkan suatu suasana dramatik dari suatu cerita/lakon. Secara umum hubungan antara suasana dengan jenis pupuh dapat dilukiskan sebagai di bawah ini:<br /><br />Suasana Jenis Pupuh<br />Aman, tenang, tentram Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati, dll<br />Gembira, riang, meriah Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatruh, dll<br />Sedih, kecewa, tertekan Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung, dll<br />Marah, tegang, kroda Durma dan Sinom Lumrah<br /><br />Sekalipun demikian, pengaruh dari si penyanyi yang membawakan pupuh tersebut dapat mengubah suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut. Perlu pula diketahui bahwa kelompok tembang ini disebut pupuh adalah berdasarkan bagan atau kerangka lagu yang ada pada masing-masing pupuh ini. Berdasarkan isi atau cerita yang diungkapkan, jenis tembang ini juga di sebut guritan menurut cerita yang dikandungnya. Guritan Basur berarti tembang macapat yang mengungkapkan cerita Basur. Begitu pula halnya Guritan Jayaprana, Sampik, Linggarpetak dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai dalam kelompok tembang macapat ini adalah bahasa Kawi (Jawa Kuno) dan bahasa Bali. Berdasarkan hukum padalingsa-nya tembang-tembang macapat Bali ini dapat disusun seperti tabel berikut ini:<br /><br />Nama Pupuh Jumlah suku kata dan huruf hidup akhir pada setiap baris kalimat tembang beserta nomor barisnya<br /> 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />Sinom 8a 8i 8a 8i 8i 8u/o 8a 8i 12a <br />Ginada 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a <br />Pucung 4u 8u 6a 8i 12a <br />Maskumambang 4a 8i 6a 8i 8a <br />Ginanti 8u 8i 8a 8i 8a 8i <br />Durma 12a 8i 8a 8a 8i 5a 8i <br />Pangkur 8a 12i 8u 8a 12u 8a 8i <br />Semarandana 8i 8a 8o 8a 8a 8u 8a <br />Mijil 10i 6o 4e 10e 8i 6i 8u <br />Magatruh 12u 8i 8u 8i 8o <br />Demung 12a 8i 8u 8i 8a 8u 8a 8i 8a 8u<br />Dangdang 14a 14e 8u 8i 8a 8u 12a 8i 8a <br />Adri 12u 8i 8i 12u 8u 8a/e 8u 8a 8a <br /><br />6.3.3. Sekar Madya<br /><br />Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh guru lagu maupun padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti:<br />- Pangawit (pembuka)<br />- Pamawak (bagian yang pendek)<br />- Panama (bagian yang panjang)<br />- Pangawak (bagian utama dari tembang)<br /><br />Tembang-tembang yang tergolong dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah kidung atau kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari pangawit, panama dan pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.<br /><br />Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog saih pitu (pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/tengahan. Modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan. Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain:<br />- Aji Kembang<br />- Kaki tua<br />- Sidapaksa<br />- Ranggadoja<br />- Rangga Lawe<br />- Pamancangah<br />- Wargasari<br />- Pararaton<br />- Dewaruci<br />- Sudamala<br />- Alis-alis Ijo<br />- Bhrahmana sang Uttpati<br />- Caruk<br />- Bhuksah<br /><br />Selain kidung,ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni wilet dengan jenis-jenisnya antara lain:<br />- Mayura<br />- Jayendria<br />- Manjangan Sluwang<br />- Silih-asih<br />- Sih Tan Pegat<br /><br />6.3.4. Sekar Agung<br /><br />Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi penggunaan bahasanya, kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan tersendiri. Ada dugaan bahwa kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Di dalam kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:<br />- Pengawit/penyemak (pembukaan)<br />- Panampi/pangisep<br />- Pangumbang<br />- Pamalet Kakawin (dilakukan dengan diselingi terjemahannya)<br /><br />Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti:<br />- Aswalalita <br />- Wasantatilaka<br />- Tanukerti<br />- Sardulawikradita<br />- Watapatia Wangeasta<br />- Wirat<br />- Çekarini<br />- Girisa<br />- Prtiwitala<br />- Puspitagra<br />- Saronca<br /><br />Di samping tembang-tembang di atas masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang bertembang. Jenis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:<br />- Sasonggaan (kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa)<br />- Bladbadan (kalimat yang mengandung arti kiasan)<br />- Wawangsalan (kalimat bersajak)<br />- Sasawangan (kalimat perbandingan)<br />- Papindaan (kalimat perbandingan)<br />- Tandak (kalimat yang dilagukan melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya)<br />- Pangalang (tembang pendahuluan)<br />- Sasendon (semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama)<br /><br />Untuk dapat menyanyi dengan baik seorang penembang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:<br />- Suara harus bagus dan tahu pengolahannya<br />- Nafas panjang serta tahu mengaturnya<br />- Mengerti masalah laras (selendro dan pelog)<br />- Mengerti tetabuhan dan menguasai perihal matra<br />- Tahu hukum/uger-uger yang ada pada masing-masing kelompok tembang<br />- Memahami seni sastra<br /><br />6.4. Seni Karawitan<br /><br />Seni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional. Di Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya. Berikut ini beberapa contoh instrumen dalam seni karawitan:<br /><br /> <br />Angklung<br /> <br /><br /> <br />Gender<br /> <br /> <br />Gangsa Kantilan<br /> <br /><br />Gangsa Pamade<br /> <br /><br />Gangsa Ugal<br /> <br /><br />Jegogan<br /> <br /><br /> <br />Gong Pulu<br /> <br /><br />Cengceng<br /> <br /><br />Ricik<br /> <br />Trompong<br /> <br /><br />Kajar<br /> <br /><br />Kempli<br /> <br /><br />Ketuk<br /> <br /><br />Reong<br /> <br /><br /> <br />Kemong<br /> <br /><br />Tawa-tawa<br /> <br /><br />Kempur, Babende, Gong<br /> <br /><br /> <br />Kendang<br /> <br /><br />Suling<br /> <br /><br />Tingklik<br /> <br /><br />Rebab<br /> <br /><br />Genggong<br /> <br /><br />Rebana<br /> <br /> <br />Gong Beri<br /> <br /><br />Gentorag<br /> <br /> <br /><br />Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar:<br /><br />6.4.1. Gamelan Wayah<br /><br />Gamelan Wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominasi oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang. Kalaupun ada kendang, dapat dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.<br /><br />Beberapa gamelan golongan tua antara lain:<br /><br />6.4.1.1. Angklung<br /><br />Gamelan Angklung adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Dibentuk oleh alat-alat gamelan yang relatif kecil dan ringan (sehingga mudah dimainkan sambil berprosesi). Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada. Berdasarkan konteks penggunaaan gamelan ini, serta materi tabuh yang dibawakan angklung dapat dibedakan menjadi:<br />- Angklung klasik/tradisional, dimainkan untuk mengiringi upacara (tanpa tari-tarian).<br />- Angklung kebyar, dimainkan untuk mengiringi pagelaran tari maupun drama.<br /><br />Satu barung gamelan angklung bisa berperan keduanya, karena seringkali mempergunakan alat-alat gamelan dan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat luas gamelan ini dikenal sebagai pengiring upacara-upacara Pitra Yadnya (ngaben). Di sekitar kota Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan gamelan angklung. menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) dan upacara lainnya.<br /> <br />Instrumentasi Gamelan angklung terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />6-8 pasang yang terdiri dari sepasang jegogan, jublag dan selebihnya pamade dan kantilan<br />3-4 pencon reyong, untuk Angklung Kebyar mempergunakan 12 pencon<br />2 buah kendang kecil untuk angklung klasik dan kendang besar angklung kebyar<br />1 buah tawa -tawa<br />1 buah kempur kecuali angklung kebyar mempergunakan gong<br /><br />Nama-nama tabuh yang umum dikenal di kalangan pemain angklung antara lain:<br />- Asep Menyan<br />- Capung Manjus<br />- Capung Ngumbang<br />- Dongkang Menek Biu<br />- Guwak Maling Taluh<br />- Sekar Jepun<br />- Berong<br />- Sekar Ulat<br />- Glagah Katununan<br />- Jaran Sirig<br />- Kupu-kupu Tarum<br />- Meong Magarong<br />- Pipis Samas<br />- Sekar Sandat<br />- Cecek Magelut<br /><br />Sedang tabuh-tabuh Angklung Kebyar sama dengan yang dipakai dalam Gong Kebyar.<br /><br />6.4.1.2. Balaganjur<br />1. <br />Balaganjur adalah pengiring prosesi yang paling umum dikenal di Bali. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap prosesi membawa sesajen ke pura, atau melasti (mensucikan pusaka/pratima), atau upacara ngaben akan diiringi oleh barungan yang sangat dinamis dan bersemangat.<br /><br /><br />Balaganjur yang tergolong barungan madya ini dibentuk oleh instrumen-instrumen seperti:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />6-12 pasang cengceng kopyak<br />2 buah kendang cedugan (lanang dan wadon)<br />1 buah kajar<br />1 buah kempli<br />2 buah gong besar<br />1 buah kempur<br />1 buah pamade<br /><br />Barungan ini ada kalanya dilengkapi dengan sebuah tawa-tawa. Sementara cengceng dimainkan secara kakilitan atau cecandatan, dengan pola ritme yang bervariasi dari pukulan besik atau negteg pukulan telu dan nenem di mana masing-masing terdiri dari pukulan polos (sejalan dengan mat), sangsih (disela-sela mat), dan sanglot (di antaranya). Reyong menjadi satu-satunya kelompok instrumen pembawa melodi. Sebagaimana halnya cengceng, reyong juga dimainkan dalam balaganjur terdiri dari gilak yang dimainkan dalam tempo cepat atau sedang dan pelan.<br /><br /> <br />6.4.1.3. Bebonangan<br /><br />Gamelan Bebonangan seringkali dibaurkan dengan Balaganjur. Sungguhpun sama-sama merupakan barungan untuk mengiringi prosesi dan sama-sama berlaras pelog, Bebonangan yang termasuk barungan alit mempunyai instrumentasi yang relatif lebih sederhana daripada Balaganjur. Instrumen-instrumen yang membentuk barungan Bebonangan sebagian besar berbentuk pencon seperti reyong (yang dilepaskan dari plawah-nya), kemong dan kempur. Adakalanya barungan ini melibatkan dua buah kendang (lanang dan wadon), namun bisa pula hanya dengan 1 buah kendang saja. Begitu juga cengceng yang dipakai dalam barungan ini pada umumnya lebih kecil dari pada yang dipakai dalam Balaganjur.<br /><br />Tabuh-tabuh yang dimainkan pada umumnya berupa gilak atau gagilakan. Pembawa melodi utama dalam barungan ini adalah reyong yang dimainkan secara kakilitan. Di daerah Bali Utara dan Timur, gamelan bebonangan dimainkan untuk mengiringi upacara korban ke laut atau upacara penguburan jenazah.<br /><br />6.4.1.4. Gambang<br /><br />Gamelan Gambang adalah salah satu jenis gamelan langka dan sakral, termasuk barungan alit yang dimainkan hanya untuk mengiringi upacara keagamaan. Di Bali Tengah dan Selatan gamelan ini dimainkan untuk mengiringi upacara ngaben (Pitra Yadnya), sementara di Bali Timur (Karangasem dan sekitarnya) Gambang juga dimainkan dalam kaitan upacara odalan di pura-pura (Dewa Yadnya).<br /><br />Gambar Gamelan Gambang terdapat pada relief candi Penataran, Jawa Timur (abad XV) dan istilah gambang disebut-sebut dalam cerita Malat dari zaman Majapahit akhir. Hal ini menunjukan bahwa Gamelan Gambang sudah cukup tua umurnya. Walaupun demikian, kapan munculnya Gambang di Bali, atau adakah Gambang yang disebut dalam Malat sama dengan Gamelan Gambang yang kita lihat di Bali sekarang ini nampaknya masih perlu penelitian yang lebih mendalam.<br /><br />Gamelan Gambang, berlaras pelog (tujuh nada), dibentuk oleh 6 buah instrumen berbilah. Yang paling dominan adalah 4 buah instrumen berbilah bambu yang dinamakan gambang yang terdiri dari (yang paling kecil ke yang paling besar) pametit, panganter, panyelad, pamero dan pangumbang. Setiap instrumen dimainkan oleh seorang penabuh yang mempergunakan sepasang panggul bercabang dua untuk memainkan pukulan kotekan atau ubit-ubitan, dan sekali-kali pukulan tunggal atau kaklenyongan. Instrumen lainnya adalah 2 tungguh saron krawang yang terdiri dari saron besar (demung) dan kecil (penerus atau kantil), kedua saron biasanya dimainkan oleh seorang penabuh dengan pola pukulan tunggal kaklenyongan.<br /><br />Daerah-daerah yang dipandang sebagai desanya Gambang di Bali antara lain:<br />- Tenganan, Bebandem (Karangsem)<br />- Singapadu, Saba, Blahbatuh (Gianyar)<br />- Kesiut (Tabanan)<br />- Kerobokan, Sempidi (Badung)<br /><br />6.4.1.5. Caruk<br /><br />Caruk termasuk jenis gamelan langka, termasuk barungan alit, adalah gamelan sejenis gambang yang dibentuk oleh 2 gambang berukuran kecil (caruk) dan 1 buah saron. Melihat dari instrumentasinya, dengan jumlah 3 orang pemain. Caruk pada dasarnya adalah gamelan gambang yang diperkecil. Gamelan ini juga tergolong gamelan sakral yang dimainkan hanya dalam kaitan dengan upacara ngaben (Pitra Yadnya) dengan jenis tabuh yang hampir sama dengan gamelan gambang. Kini caruk sudah semakin langka hanya dengan beberapa buah sekaa di daerah Karangasem, Gianyar, Tabanan dan Badung yang masih aktif memainkan gamelan ini.<br /><br />6.4.1.6. Gender Wayang<br /><br />Gender Wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan pewayangan (Wayang Kulit dan Wayang Wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada agak besar) dan sepasang kantilan (nada agak kecil). Keempat gender, masing-masing berbilah sepuluh (dua oktaf) yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul.<br /><br />Gender wayang ini juga dipakai untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya (potong gigi) dan upacara Pitra Yadnya (ngaben). Untuk kedua upacaranya ini, dan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah (tanpa kelir), hanya sepasang gender yang dipergunakan.<br /><br />Untuk upacara ngaben 2 gender dipasang di kedua sisi bade (pengusung mayat) dan dimainkan sepanjang jalan menuju kuburan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit Ramayana, wayang wong Ramayana maupun Mahabharata (Parwa), 2 pasang gender ini dilengkapi dengan sepasang kendang kecil, sepasang cengceng kecil, sebuah kajar, klenang dan instrumen-instrumen lainnya, sehingga melahirkan sebuah barungan yang disebut gamelan Batel Gender Wayang.<br /><br />Pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai sejumlah tabuh yang berdasarkan fungsinya. Tabuh-tabuh yang dimaksud antara lain:<br />- Pategak (pembukaan) yang merupakan tabuh instrumentalia<br />- Tabuh pamungkah (gending-gending untuk mengiringi dalang melakukan puja mantra persembahan, membuka kotak wayang)<br />- Tabuh patangkilan (gending untuk mengiringi adegan pertemuan/persidangan)<br />- Tabuh angkat-angkatan (gending untuk mengiringi adegan sibuk seperti keberangkatan laskar perang dan perjalanan)<br />- Tabuh rebong (gending untuk mengiringi adegan roman)<br />- Tabuh tangis (gending untuk mengiringi suasana sedih)<br />- Tabuh batel (gending untuk mengiringi adegan perang)<br />- Tabuh panyudamalan (gending khusus untuk mengiringi upacara pangruwatan)<br /><br />6.4.1.7. Genggong<br /><br />Genggong juga termasuk gamelan langka dan barungan alit, adalah gamelan yang instrumen utamanya genggong yang terbuat dari pelepah enau. Desa yang telah memiliki tradisi genggong yang kuat adalah Batuan (Gianyar). Di sini genggong dimainkan sebagai pengiring tari, yaitu tari kodok dan sebagai sajian musik instrumental. Barungan gamelan genggong biasanya terdiri dari 4 - 6 buah genggong, 2 buah suling, sepasang kendang kecil, klenang dan sebuah gong pulu (guntang). Kesederhanaan bentuk dan musik yang ditimbulkan oleh barungan ini mengingatkan kita kepada musik dari kalangan masyarakat petani.<br /><br />Genggong pada umumnya hanya memainkan lagu-lagu yang berlaras Slendro. Untuk membunyikannya, genggong dipegang dengan tangan kiri dan menempelkannya ke bibir. Tangan kanan memetik ‘lidah’-nya dengan jalan menarik tali benang yang diikatkan pada ujungnya. Perubahan nada dalam melodi genggong dilakukan dengan mengolah posisi atau merubah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator. Teknik permainan genggong yang khas adalah ngoncang dan ngongkek-nya (menirukan suara katak).<br /><br />6.4.1.8. Gong Beri<br /><br />Gong Beri termasuk barungan alit adalah gamelan langka dan sakral. Hingga kini Gong Beri masih dipelihara dengan baik oleh warga masyarakat desa Renon, Sanur di Denpasar. Gamelan ini biasanya dimainkan untuk mengiringi tari Baris Cina. Istilah Beri sering disebut-sebut di dalam kakawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam Prasasti Blanjong, terdapat istilah Bheri yang juga berarti alat perang. Gong dibuat dari krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson.<br /><br />Gong yang ada dalam barungan ini mempunyai banyak persamaan dengan nekara bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Berbeda dengan instrumen gong lainnya, gong pada gamelan Gong Beri tidak memakai pencon, seperti gong Cina.<br /><br />Barungan Gong Beri terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2 buah gong (bor dan ber)<br />1 buah klenteng<br />1 buah kendang bedug<br />1 buah sungu (kerang besar) <br />1 buah suling kecil<br />1 buah tawa-tawa<br />1 buah gong besar (tak bermoncol)<br />1 pangkon cengceng<br /><br />Gending-gending yang biasa dimainkan adalah:<br />- Gending Pategak<br />- Gending Baris Ireng (baris hitam)<br />- Gending Baris Petak (baris putih)<br /><br /> <br />6.4.1.9. Gong Luwang<br /><br />Gong Luwang adalah gamelan langka yang pada umumnya dipergunakan untuk mengiringi upacara kematian (ngaben). Gamelan yang berlaras pelog (tujuh nada) dan merupakan barungan madya ini, yang barungannya lebih kecil dari pada Gong Kebyar, termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang dimainkan untuk mengiringi suatu pertunjukan tari atau drama. Kalaupun Gong Luwang dimainkan di atas pentas, seperti dalam pagelaran dramatari Calonarang, barungan ini hanya dipakai untuk mengiringi adegan memandikan mayat atau mandusin watangan.<br /><br />Ada 8 atau 9 macam instrumen yang membentuk barungan gamelan Gong Luwang dengan jumlah penabuh antara 16 (enam belas) sampai 20 (duapuluh) orang.<br /><br />Instrumentasi gamelan gong Luwang adalah:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />1 buah saron cenik<br />1 buah saron gede<br />2 buah jegogan<br />1 buah trompong<br />2 buah gong ageng<br />1 buah kempur<br />2-4 pasang cengceng kopyak<br />2 buah gambang bambu (saron)<br />2 buah kendang<br /> <br />Tabuh yang biasa dimainkan antara lain:<br />- Labda<br />- Ginada<br />- Lilit<br />- Manukaba<br />- Tabuh Wargasari<br />- Panji Cenik (dari tabuh Gambang)<br /><br />Tabuh-tabuh Gong Luwang sangat melodis yang diwarnai oleh perpaduan ubit-ubitan reyong dan gambang yang khas yang diberi aksentuasi oleh saron dan jegogan. Peranan kendang sangat kecil karena suara kendang hanya terdengar mendekati jatuhnya gong untuk menandakan akhir dari suatu bagian komposisi. Hingga dewasa ini Gong Luwang masih hidup di desa Singapadu (Gianyar), Tangkas (Klungkung), Kerobokan (Badung) dan Kesiut (Tabanan) SMKI Bali dan STSI Denpasar juga memiliki masing-masing memiliki 1 barung gamelan Gong Luwang.<br /><br />6.4.1.10. Selonding<br /><br />Gamelan Selonding yang terbuat dari besi ini berlaras pelog tujuh nada ini tergolong barungan alit yang langka dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa Tenganan Pegringsingan dan Bongaya (kabupaten Karangasem). Gamelan ini dimainkan untuk mengiringi berbagai upaya adat Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan untuk mengiringi tari Abuang, Perang Pandan (Makare-karean) dan lain-lain.<br /><br />Di kalangan masyarakat Tenganan Pagringsingan gamelan Selonding diberi nama Bhatara Bagus Selonding. Sejarah munculnya Selonding dikaitkan dengan sebuah mitologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu orang-orang Tenganan mendengar suara gemuruh dari angkasa yang datang secara bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun di Bongaya (sebelah timur laut Tenganan) dan pada gelombang kedua suara itu turun didaerah Tenganan Pagringsingan. Setelah hilangnya suara itu diketemukan gamelan Selonding (yang berjumlah tiga bilah). Bilah-bilah itu kemudian dikembangkan sehingga menjadi gamelan Selonding seperti sekarang.<br /><br />Di Tenganan gamelan Selonding terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Ciri-ciri Instrumen<br />8 tungguh berisi 40 buah bilah<br />6 tungguh masing-masing berisi 4 buah bilah<br />2 tungguh berisikan 8 buah bilah.<br /><br />Team Survey Konservatori Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gamelan <br />Selonding di Tenganan meliputi:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2 tungguh gong<br />2 tungguh kempul<br />1 tungguh peenem<br />1 tungguh petuduh<br />1 tungguh nyongyong alit<br />1 tungguh nyongyong ageng<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabuh-tabuh yang dimainkan dengan patet yang berbeda-beda, dapat dikelompokkan menjadi:<br />1. Gending-gending Geguron (lagu-lagu upacara sakral) dengan tabuh-tabuh yang diberi nama:<br />- Ranggatating<br />- Kulkul Badung<br />- Patet Puja Semara<br />- Kebogerit<br />- Dewa<br />- Blegude (Penutup Upacara)<br />- Ranggawuni (untuk menyimpan Bhatara Bagus Selonding). <br />2. Gending-gending Pategak (sebelum upacara dimulai) terdiri dari:<br />- Tabuh sekar Gadung<br />- Nyangnyangan<br />- Rejang Gucek<br />- Rejang Ileh<br />3. Gending-gending untuk mengiringi tari (Rejang dan Kare-karean atau perang Pandan) terdiri dari:<br />- Gending Rejang<br />- Rejang Dauh Tukad<br />- Duren Ijo<br />- Lente<br />- Embung Kelor<br />- Kare-kare<br /><br />Ada pula sejumlah gending Selonding yang diperkirakan berasal dari gamelan Gambang, yaitu:<br />- Pamungkah<br />- Selambur<br />- Kesumba<br />- Pangus<br />- Malat<br />- Puh Raras Tanjung<br />- Puh Orangkamal<br /><br />6.4.2. Gamelan Madya<br /><br />Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan barungan gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam barungan ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting.<br /><br />Beberapa contoh gamelan madya antara lain:<br /><br />6.4.2.1. Gamelan Batel Barong<br /><br />Gamelan Batel Barong adalah sebuah barung alit yang dipakai mengiringi tari Barong Landung atau Barong Bangkal. Dalam banyak hal barungan ini merupakan pengiring prosesi, karena dimainkan sambil berjalan.<br /><br />Batel Barong dibentuk oleh sejumlah alat musik pukul seperti:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2 buah kendang kecil<br />1 buah kajar<br />1 buah kempur<br />1 buah kleneng<br />1 buah kemong<br />1 pangkon ricik<br /><br />Agak berbeda dengan barungan gamelan Bali lainnya, Batel Barong tidak mempergunakan instrumen pembawa melodi. Oleh karena itu musik yang ditampilkan cenderung ritmis dan dinamis.<br /><br />6.4.2.2. Bebarongan<br /><br />Gamelan Bebarongan ini dalam Catur Muni-Muni disebut dengan Semara Ngadeg, adalah barungan madya yang berlaras pelog (lima nada), dipakai mengiringi dramatari Barong Ket. Gamelan ini memiliki instrumen yang tidak jauh berbeda dengan gamelan Palegongan. Belakangan ini dengan semakin populernya Gong Kebyar, semakin banyaknya masyarakat yang mengiringi tari Barong dengan Gong Kebyar.<br /><br />Ada satu perbedaan penting antara gamelan Bebarongan dengan Palegongan. Perbedaan ini menyangkut sistem atau pola permainan teknik kendang bahwa gamelan Bebarongan memakai kendang cedugan (kendang dengan alat pemukul/panggul).<br /><br />Dilihat dari segi jenis tabuh gamelan Bebarongan memakai:<br />- Gilak<br />- Bapang<br />- Omang<br />- Gegaboran<br />- Batel<br />- Biakala<br />- Tunjang<br /><br />Karena gamelan ini merupakan bagian dari pertunjukan Barong Ket, gamelan Bebarongan bisa didapat di desa-desa yang memiliki tradisi Barong Ket yang kuat, seperti:<br />- Jumpai (Klungkung)<br />- Batubulan, Singapadu, Pejeng (Gianyar)<br />- Sanur (Denpasar)<br />- Kuta, Sading (Badung)<br /><br />6.4.2.3. Gamelan Joged Pingitan<br /><br />Gamelan Joged Pingitan, dalam Catur Muni-muni disebut dengan Semara Palinggian adalah pengiring tari Joged Pingitan. Barungannya pada umumnya terdiri dari alat-alat berbilah dari bambu berlaras pelog (lima nada). Untuk memainkan instrumen-instrumen ini penabuhnya mempergunakan 2 panggul dengan teknik kakilitan atau kotekan.<br /><br /> <br />Gamelan Joged Pingitan yang kini masih ada di beberapa tempat di Bali terdiri dari:<br /><br />Jumlah Satuan Instrumen<br />1 pasang rindik besar (pangugal)<br />1 pasang rindik barangan, masing-masing berbilah 14 atau 15<br />1 pasang jegogan<br />1 buah kemplung<br />1 buah kendang kekrumpungan<br />1 buah kajar<br />1 buah kemodong<br />1-2 buah suling<br /><br />Adapun tabuh-tabuh yang biasa dimainkan meliputi:<br />- Bapang Gede<br />- Condong dan Legong<br />- Pacalonarangan<br />- Gandrangan<br /><br />Dari tabuh-tabuh ini, Gandrangan adalah yang paling meriah karena bisa ditarikan secara bebas dan improvisasi. Tabuh-tabuh lain cenderung formal seperti yang terdapat dalam Legong Kraton. Joged Pingitan yang masih aktif antara lain terdapat di daerah Gianyar, Badung dan Denpasar.<br /><br />6.4.2.4. Gamelan Penggambuhan<br /><br />Gamelan yang dalam lontar Aji Gurnita disebut sebagai gamelan Melad perana, adalah gamelan pengiring dramatari Gambuh. Gamelan Penggambuhan termasuk barungan madya dan hingga kini dianggap sebagai salah satu sumber terpenting dari semua bentuk seni tabuh yang muncul di Bali setelah abad XV. Gending-gending Gambuh yang melodis dan ritmis merupakan tabuh-tabuh yang bernafaskan tari dari pada hanya bersifat tabuh instrumental.<br /><br />Tabuh Penggambuhan pada umumnya berkesan formal, karena adanya berbagai aturan yang membedakan satu jenis lagu dengan yang lainnya, dan adanya patet yang mengatur susunan nada-nada. Karena gending-gending Gambuh adalah terkait dengan tarian, maka kebanyakan komposisi lagunya mengikuti pola tari yang diiringi. Gending-gending Gambuh disesuaikan dengan tarian yang mengiringi, setiap jenis tarian mempunyai gending, melodi dan patet tersendiri sesuai dengan perwatakannya.<br /><br />Dalam pertunjukan Gambuh seringkali tampil seorang juru tandak (penyanyi tunggal laki-laki) yang menyanyikan kalimat-kalimat berbahasa Kawi mengikuti irama maupun melodi gamelan untuk menghidupkan berbagai perubahan suasana dramatik dari lakon yang dimainkan. Kadang-kadang juru tandak memberikan terjemahan terhadap dialog tertentu kedalam bahasa Bali agar penonton dapat mengikuti jalannya lakon.<br /><br /> <br />Instrumentasi gamelan Penggambuhan terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2-6 buah suling bambu sepanjang 1 meter dan memakai enam lubang nada<br />1-2 buah rebab<br />1 buah kempur<br />2 buah kendang kecil (lanang wadon)<br />1 pangkon ricik (cengceng kecil)<br />1 pasang kangsi (cengceng yang bertangkai)<br />1 buah gentorag (pohon genta)<br /><br />Suling dan rebab adalah instrumen penting dalam Penggambuhan yang merupakan instrumen pemimpin dan pemangku melodi. Gamelan Penggambuhan berlaras pelog, tepatnya Pelog Saih Pitu (tujuh nada).<br /><br />Tabuh-tabuh yang dimainkan memakai 5 patetan/tetakep, yaitu:<br />- Selisir<br />- Baro<br />- Tembang<br />- Sunaren<br />- Lebeng<br /><br />Di antara tabuh-tabuh yang berupa tabuh Pategak (tabuh yang bukan pengiring tari) dan tabuh Paigelan (tabuh pengiring tari atau drama) yang terdiri dari antara lain:<br />- Batel<br />- Bapang<br />- Tabuh telu<br /><br />6.4.2.5. Gong Gede<br /><br />Gong Gede juga termasuk barungan ageng namun langka, karena hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan Gong Gede yang terlihat memakai sedikitnya 30 (tigapuluh) macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng kopyak adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40-50 orang pemain. Gamelan yang bersuara agung ini dipakai untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan klasik yang cenderung formal namun tetap dinamis, dimainkan untuk mengiringi upacara-upacara besar di pura-pura (Dewa Yadnya), termasuk mengiringi tari upacara seperti Baris, Topeng, Rejang, Pendet dan lain-lain.<br /><br />Beberapa upacara besar yang dilaksanakan oleh kalangan warga puri keturunan raja-raja zaman dahulu juga diiringi dengan gamelan Gong Gede. Akhir-akhir ini Gamelan Gong Gede juga ditampilkan sebagai pengiring upacara formal tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan untuk mengiringi Sendratari.<br /><br />Gong Gede berlaras Pelog lima nada, dengan patutan atau patet tembang, dengan instrumentasi yang meliputi (sesuai yang ada di Kintamani dan STSI Denpasar):<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />1 tungguh trompong barangan (lebih kecil daripada trompong gede)<br />1 buah reong dengan 12 pencon<br />4 buah gangsa jongkok besar (demung)<br />4 buah gangsa jongkok pemade<br />4 buah gangsa jongkok kantilan<br />4 buah penyacah<br />4 buah calung<br />4 buah jegogan<br />1 pangkon kempyung (dua buah pencon)<br />1 buah kempli<br />2 buah gong ageng (lanang wadon)<br />1 buah kempur<br />1 buah bende<br />2 buah kendang (lanang wadon)<br />4-6 pasang cengceng kopyak<br />2 buah kendang<br />1 buah gentorag<br /><br />Sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring upacara agama di pura-pura, pengiring tari-tarian upacara dan pengiring upacara istana, Gong Gede memiliki sejumlah tabuh-tabuh pategak dan iringan tari. Tabuh-tabuh pategak yang dimainkan meliputi:<br />- Semaradana<br />- Jagul<br />- Segara Madu<br />- Lasem<br />- Bandasura<br /><br />Sekar Gong Gede yang hingga kini masih aktif terdapat di desa Batur, Susut, Sulahan (Bangli), Puri Pemecutan (Denpasar), Tampaksiring dan Puri Agung Gianyar (Gianyar), baik SMKI (sekarang SMKN 3 Sukawati) dan STSI Denpasar, masing-masing juga memiliki satu barung Gong Gede.<br /><br />6.4.2.6. Gamelan Pelegongan<br /><br />Dalam Catur Muni-muni gamelan ini disebut dengan Semara Petangian. Gamelan Pelegongan adalah barungan madya berlaras pelog (lima nada) yang konon dikembangkan dari Gamelan Gambuh dan Semar Pagulingan. Barungan ini dipergunakan untuk mengiringi tari Legong Kraton, sebuah tarian klasik yang diduga mendapat pengaruh tari Sanghyang dan Gambuh.<br /><br />Secara fisik gamelan Pelegongan adalah Semar Pagulingan tanpa trompong. Gamelan Pelegongan milik STSI Denpasar terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />1 pasang gender rambat<br />1 pasang gender barungan, masing-masing berbilah 14 (empat belas)<br />1 pasang jegogan<br />1 pasang jublag<br />4 pasang penyacah<br />2 pasang pemade<br />2 pasang gangsa jongkok pemade<br />2 pasang gangsa jongkok kantilan, masing-masing berbilah 5<br />1 pangkon ricik<br />1 buah kajar<br />1 buah kleneng<br />1 buah kemong<br />1 pasang kendang krumpungan (lanang wadon)<br />1 buah rebab<br />1-3 buah suling<br /><br />Mengenai tabuh-tabuh Pelegongan sebagaimana disebutkan dalam Lontar Aji Gurnita berada di antara tabuh-tabuh gamelan Bebarongan, Joged Pingitan dan Semar Pagulingan. Memang pada kenyataannya kini iringan tari Legong masih memakai tabuh-tabuh Bebarongan (Calonarang) dan Semar Pagulingan. Gending-gending Palegongan yang umumnya dimainkan antara lain:<br />- Lasem<br />- Pelayon<br />- Candra Kanta<br />- Kuntir<br />- Kuntul<br />- Jobog<br />- Guak Macok<br />- Semaradana<br /><br />Nama-nama ini ada sesuai dengan koreografi tari Legong Kraton itu sendiri. Beberapa jenis tabuh lepas yang masih banyak dimainkan adalah:<br />- Tangis<br />- Gadung Melati<br />- Raja Cina<br />- Karang Olang<br /><br />Dalam penyajiannya tabuh-tabuh di atas diikat oleh struktur yang sudah baku yang terdiri dari:<br /> <br />- Pengalih/Gaginem<br />- Pengawit<br />- Pengawak<br />- Pengecet<br />- Lelonggoran<br />- Pemalpal<br />- Pekaad<br /> <br /><br />Inti dari gending-gending Palegongan adalah pada Pangawak dan Pengecet. Selebihnya tergantung dari tema yang dimainkan.<br /><br />6.4.2.7. Semar Pagulingan<br /><br />Gamelan yang dalam lontar Catur Muni-muni disebut dengan gamelan Semara Aturu ini adalah barungan madya, yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja pada zaman dahulu. Karena kemerduan suaranya, gamelan Semar Pagulingan (semar=semara, pagulingan=peraduan) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan ke peraduan (tidur). Kini gamelan ini bisa dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi tari-tarian/teater. <br /><br />Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pagulingan; yang berlaras pelog 7 nada dan yang berlaras pelog 5 nada. Kedua jenis Semar Pagulingan secara fisik lebih kecil dari barungan Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya. Gangsa dan trompongnya yang lebih kecil dari pada yang ada dalam Gong Kebyar. Instrumentasi gamelan Semar Pagulingan (milik STSI Denpasar) meliputi:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />1 buah trompong dengan 12 pencon<br />2 buah gender rambat berbilah 14<br />2 buah gangsa barungan berbilah 14<br />2 tungguh gangsa gantungan pemade<br />2 tungguh gangsa gantungan kantil<br />2 tungguh jegogan<br />2 tungguh jublag, masing-masing berbilah 7<br />2 buah kendang kecil<br />2 buah kajar<br />2 buah kleneng<br />1 buah kempur (gong kecil)<br />1 pangkon ricik<br />1 buah gentorag<br />1-2 buah rebab<br />1-2 buah suling<br /><br />Instrumen yang memegang peranan penting dalam barungan ini adalah trompong yang merupakan pemangku melodi. Trompong mengganti peran suling dalam Panggambuhan, dalam hal memainkan melodi dengan dibantu oleh rebab, suling, gender rambat dan gangsa barangan. Sebagai pengisi irama adalah Jublag dan jegogan masing-masing sebagai pemangku lagu, sementara kendang merupakan instrumen yang memimpin perubahan dinamika tabuh. Gending-gending Semar Pagulingan banyak mengambil gending-gending Panggambuhan. Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gamelan Semar Pagulingan adalah:<br />- Sumerta (Denpasar)<br />- Kamasan (Klungkung)<br />- Teges, Peliatan (Gianyar)<br /><br />6.4.3. Gamelan Anyar<br /><br />Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan permainan kendang.<br /><br />6.4.3.1. Adi Merdangga<br /><br />Adi Merdangga adalah sebuah gamelan baru yang merupakan pengembangan dari Balaganjur, gamelan pengiring prosesi tradisional yang biasa dimainkan sambil berjalan. Beberapa alat musiknya dimasalkan dan beberapa teknik pukulannya diperkaya dengan meminjam motif-motif drumband (marching band) modern. Perpaduan seperti ini membuat Adi Merdangga juga disebut drum band tradisional. Gamelan yang baru muncul pada tahun 1984 ini dinamakan Adi Merdangga (Adi = Besar, Merdangga = Kendang), karena di dalam barungan ini dipergunakan puluhan kendang, suatu kebiasaan yang tidak pernah terjadi di dalam barungan gamelan Bali manapun. Adalah kreativitas para dosen dan mahasiswa STSI Denpasar yang telah menghasilkan gamelan baru ini yang kemudian juga ditiru oleh beberapa kabupaten di Bali.<br /><br />Teknik permainan Adi Merdangga masih tetap mempertahankan pola-pola kakilitan cengceng, reyong dan kendang, seperti yang terdapat dalam Balaganjur. Komposisi musik yang dimainkan masih berkisar pada tabuh Gagilakan dalam tempo cepat dan pelan. Yang baru adalah pukulan rampak ala drum band modern yang diselipkan di sela-sela kakilitan tradisional yang melibatkan kendang, cengceng dan reyong. Juga merupakan gagasan baru dalam Adi Merdangga pemain melodi tidak lagi terbatas pada instrumen pencon (reyong) melainkan sudah ditambah dengan beberapa buah suling. Ada dua jenis langkah pengembangan yang terjadi di dalam Adi Merdangga, penambahan alat-alat gamelan dan memasukan gerak tari ke dalam barungan gamelan. Di samping penambahan kendang, cengceng kopyak (cengceng besar) didua atau tiga kali lipatkan dari jumlah yang biasa (6-10 pasang) dan pemasukan instrumen trompong serta beberapa buah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda (besar dan kecil).<br /><br />Sebagai bagian dari barungan ini adalah sejumlah penari putra dan putri pembawa alat-alat seperti tombak dan kipas, yang pada bagian-bagian tertentu dari komposisi musik tampil dengan gerakan tarinya yang dinamis dan ekspresif. Untuk mengimbangi para penari semua pemain gamelan juga bergerak mengikuti pola koreografi yang telah ditentukan. Beberapa penabuh Balaganjur tradisional yang mengenakan busana tradisional madya, penabuh Adi Merdangga menggunakan busana khusus yang terdiri dari celana ketat berwarna hitam kain prada, baju rompi, udeng dengan riasan muka seperlunya. Semuanya ini menunjukan bahwa Adi Merdangga adalah suatu bentuk musik dan tari yang dilakukan sambil berjalan (berpawai).<br /><br />Sebagai barungan gamelan yang masih relatif muda, keberadaannya Adi Merdangga sudah diakui oleh masyarakat Bali. Hal ini dapat dilihat dari penampilan kesenian kolosal ini pada beberapa peristiwa penting seperti dalam Sea Games XIV di Jakarta, Upacara pembukaan World Tourist Organization, Pembukaan Grand Bali Beach Hotel, di samping penampilannya pada setiap pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB). Yang lebih menarik untuk dicatat, tehnik-tehnik dan pola permainan Adi Merdangga yang bersumber pada Balaganjur tradisional kini sudah banyak diserap kembali oleh para pemain gamelan tradisional itu untuk memperkaya Balaganjur mereka.<br /><br />6.4.3.2. Bumbung Gebyog<br /><br />Bumbung Gebyog adalah barungan gamelan alit, yang juga berasal dari Jembrana, yang terbuat dari bambu. Gebyog merupakan musik masyarakat tani yang sangat sederhana bentuknya yang biasanya dimainkan pada waktu musim habis panen, oleh sekelompok ibu-ibu untuk mengungkapkan rasa gembira mereka.<br /><br />Barungan ini dibentuk oleh antara 8 sampai 12 (dua belas) Bumbung Gebyog, tanpa nada pasti, yang dimainkan oleh pemain wanita. Setiap orang pemain memegang sebuah bumbung dan membunyikan instrumennya dengan membenturkan pangkal bumbung pada sebuah alas dari kayu dalam pola kotekan yang lazim disebut oncang-oncangan. Pola kotekan ini meniru pukulan menumbuk padi, atau membuat tepung beras yang juga merupakan kegiatan sehari-hari wanita desa. Gebyog juga dimainkan untuk mengiringi tarian semacam tari Joged Bumbung.<br /><br />6.4.3.3. Gamelan Bumbang<br /><br />Bumbang adalah sebuah barungan bambu yang masih relatif sangat muda usianya. Barungan gamelan yang mirip tektekan ini adalah ciptaan I Nyoman Rembang seorang ahli karawitan yang juga pembuat gamelan Bali, pada tahun 1982. Meskipun baru melalui beberapa penampilannya di Pesta Kesenian Bali maupun di TVRI, Bumbang sudah semakin dikenal oleh kalangan masyarakat luas Bali.<br /><br />Instrumen pokok dari gamelan bumbang adalah alat-alat musik pukul berbentuk setengah kulkul (grantang) yang terbuat dari bambu. Ada sedikitnya 40 orang pemusik (laki-laki) memainkan gamelan ini, setiap orang membawa 1 sampai 2 buah bumbang. Sedikit berbeda dengan Tektekan yang lebih mengutamakan permainan ritme dalam bentuk kakilitan, bumbang menonjolkan kakilitan dan permainan melodi. Hal ini dimungkinkan karena bumbang terdiri dari alat-alat musik pukul yang teratur nada-nadanya.<br /><br />Berdasarkan ukurannya instrumennya bumbang dapat dibedakan menjadi 3 kelompok:<br />- Bumbang Pangede atau Jegogan (mempunyai ukuran paling besar dengan nada paling rendah)<br />- Bumbang Madya atau Pemade (mempunyai ukuran sedang dengan nada satu oktaf di atas bumbang gede)<br />- Bumbang Alit atau Kantilan (mempunyai ukuran paling kecil dengan nada yang tinggi melengking)<br /><br />Melengkapi barungan ini adalah:<br />- Sepasang kendang ukuran menengah<br />- Sepasang cengceng kecil (ricik)<br />- Sebuah Gong Pulu yang berbentuk bilahan<br />- Sebuah Gong (bermoncong) berukuran menengah<br />- Beberapa buah suling bambu<br /><br />Keunikan dari gamelan bumbang adalah kemampuannya membawakan lagu-lagu atau komposisi musik yang diambil dari berbagai jenis seni pertunjukan, baik lagu-lagu yang ber-laras pelog maupun slendro. Sistem nada setiap 1 buah memiliki nada tersendiri memungkinkan barungan ini memainkan lagu-lagu dari laras yang berbeda-beda.<br /><br />6.4.3.4. Gamelan Geguntangan<br /><br />Gamelan Geguntangan adalah barungan baru yang juga disebut sebagai gamelan Arja atau Paarjaan. Gamelan ini adalah pengiring pertunjukan dramatari Arja yang diperkirakan muncul pada permulaan abad XX. Sesuai dengan bentuk Arja yang lebih mengutamakan tembang dan melodrama, maka diperlukan musik pengiring yang suaranya tidak terlalu keras, sehingga tidak sampai mengurangi keindahan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan para penari. Melibatkan antara 10 sampai 12 orang penabuh, gamelan ini termasuk barungan kecil. Instrumen guntang merupakan alat musik penting, di samping suling dan kendang dalam barungan ini.<br /><br />Instrumentasi dari gamelan Geguntangan adalah:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2 buah kendang kekrumpungan (kecil)<br />1 buah guntang kecil<br />1 buah guntang besar (guntang kempur)<br />1 buah kajar<br />1 buah kleneng<br />1 pangkon ricik<br />1 buah tawa-tawa<br />1-6 buah suling (hanya salah satu saja terbuat dari besi)<br /><br />Pada mulanya Arja hanya menggunakan gamelan Geguntangan, namun kira-kira sejak beberapa tahun dalam perkembangan selanjutnya Arja diiringi dengan gamelan gong. Ide semacam ini sudah sejak lama dipraktekkan oleh Sekaa Gong Sengguan Gianyar yang setia mengiringi tari-tarian sejenis Arja atau Prembon dari Puri Gianyar. Namun pemakaian Gong Kebyar sebagai iringan Arja dipopulerkan oleh keluarga Kesenian Bali RRI Stasiun Denpasar dengan Arjanya yang mempergunakan lakon Godongan, Pakang Raras dan lain-lain.<br /><br />Geguntangan adalah satu-satunya barungan gamelan Bali yang memakai 2 macam laras Slendro dan Pelog mengikuti laras tembang yang diiringinya. Perubahan laras dilakukan oleh pemain suling, satu-satunya instrumen pembawa melodi, dengan jalan merubah sistem tutupan (tatekep). Seperti halnya tabuh-tabuh gamelan pengiring tari, drama lainnya dan jenis-jenis tabuh Paigelan.<br /><br /> <br />Tabuh Pategak seringkali diambil dari lagu-lagu Pegambuhan seperti:<br />- Pangecet<br />- Sekar Eled<br />- Pangecet Subandar<br />- Tetabuhan Janger<br /><br />Tabuh Paigelan masih bisa dikelompok lagi menjadi:<br />- Tabuh Papeson (mengiringi tari pembukaan setiap karakter)<br />- Tabuh Panyarita (mengiringi adegan berdialog)<br />- Tabuh Pakaad (mengiringi seseorang atau sekelompok karakter meninggalkan pentas atau melakukan perjalanan)<br /><br />6.4.3.5. Gamelan Genta Pinara Pitu<br /><br />Gamelan Genta Pinara Pitu juga merupakan barungan yang masih relatif baru di dalam jajaran gamelan Bali, Gamelan Genta Pinara Pitu (Genta dibagi tujuh) adalah pengembangan dari pada Gamelan Semar Pagulingan tujuh nada. Pembaharuan yang terjadi dalam gamelan ini adalah pemakaian dua oktaf pelog tujuh nada di dalam 1 instrumen. Pada Semar Pagulingan tradisional satu instrumen hanya mempergunakan 1 oktaf pelog tujuh nada. Gamelan ini adalah ciptaan dari I Wayan Beratha seorang tokoh karawitan dan ahli pembuat gamelan Bali. Gamelan ini diperkenalkan pada tahun 1985, modifikasi dari penciptaan alat gamelan seperti ini adalah untuk menciptakan barungan gamelan yang bisa memainkan lagu-lagu kakebyaran dan gending-gending Semar Pagulingan. Penggunaan gamelan ini tidak terbatas pada pertunjukan tari dan drama saja, karena Gamelan Genta Pinara Pitu juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara keagamaan. Instrumen dari gamelan ini tidak jauh berbeda dengan Gamelan Semar Pagulingan (panca nada) tradisional.<br /><br />Instrumen-instrumen penting yang berperan di dalamnya adalah:<br />- Gangsa (Jegogan, Jublag, Pemade, dan Kantil)<br />- Sepasang kendang<br />- Gong<br />- Kempur<br />- Kemong<br />- Kajar<br />- Cengceng<br />- Beberapa suling bambu<br />- Rebab<br /><br />Instrumen terompong pada saat-saat tertentu juga berfungsi sebagai reyong tergantung dari komposisi musik yang dimainkan. Berbeda dengan Gamelan Semaradana, Genta Pinara Pitu nampaknya kurang berkembang. Sejak pertama kali diciptakan tahun 1986, atas pesanan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, gamelan ini kurang diminati oleh para pemain di desa, karena teknik memainkan gamelan ini tidak mudah.<br /><br /> <br />6.4.3.6. Gamelan Gong Kebyar<br /><br />Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis. Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkok-nya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10. Cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan.<br /><br />Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang, Gong Gede dan Pelegongan. Rasa-rasa musikal maupun pola pukulan instrumen Gong Kebyar ada kalanya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gedeyang kokoh atau Pelegonganyang melodis. Pola gagineman Gender Wayang, pola gegambangan dan pukulan kaklenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar. Gamelan Gong Kebyar adalah produk kebudayaan Bali modern. Barungan ini diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915. Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar. Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng). Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.<br /><br />Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkan dengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan, Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.<br /><br />Lagu-lagunya seringkali merupakan penggarapan kembali terhadap bentuk-bentuk (repertoire) tabuh klasik dengan mengubah komposisinya, melodi, tempo dan ornamentasi melodi. Matra tidak lagi selamanya ajeg, pola ritme ganjil muncul di beberapa bagian komposisi tabuh.<br /><br />Barungan Gong Kebyar bisa diklasifikasikan menjadi 3 :<br />- Utama = Yang besar dan lengkap<br />- Madya = Yang semi lengkap<br />- Nista = Yang sederhana<br /><br /> <br />Barungan yang utama terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />10 buah gangsa berbilah (terdiri dari 2 giying/ gal, 4 pemade, 4 kantilan)<br />2 buah jegogan berbilah 5 - 6<br />2 buah jublag atau calung berbilah 5 - 7<br />1 tungguh reyong berpencon 12<br />1 tungguh terompong berpecon 10<br />2 buah kendang besar (lanang dan wadon) yang dilengkapi dengan 2 buah kendang kecil<br />1 pangkon cengceng<br />1 buah kajar<br />2 buah gong besar (lanang dan wadon)<br />1 buah kemong (gong kecil)<br />1 buah babende (gong kecil bermoncong pipih)<br />1 buah kempli (semacam kajar)<br />1-3 buah suling bambu<br />1 buah rebab<br /><br />6.4.3.7. Gamelan Janger<br /><br />Janger yang merupakan tari pergaulan muda mudi ditarikan oleh para remaja sebanyak 20 sampai 24 orang. Gamelan yang mengiringinya terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />1 buah gender wayang<br />1 pasang kendang kekrumpungan (kecil)<br />1 buah tawa-tawa<br />1 buah kajar<br />1 buah rebana (yang kadang kala digantikan dengan gong pulu)<br />1 buah kleneng<br />1 pangkon ricik<br />1-3 buah suling<br /><br />Walaupun Gender Wayang berlaras slendro (lima nada), Gamelan Janger berlaras slendro dan pelog. Untuk mengiringi lagu-lagu berlaras pelog biasanya Gender Wayang tidak dipergunakan dan pimpinan melodi akan diambil alih oleh suling. Akhir-akhir ini Gamelan Semar Pagulingan juga dipakai untuk mengiringi pertunjukan Janger.<br /><br />6.4.3.8. Gamelan Joged Bumbung<br /><br />Gamelan ini termasuk barungan madya, yaitu sebuah barungan gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi tari Joged Bumbung, sebuah tari pergaulan di Bali yang dibawakan oleh seorang penari remaja putri yang pada bagian tarinya mengundang penonton untuk menari bersama (ngibing).<br /><br />Gamelan Joged Bumbung sering kali juga disebut gamelan gegrantangan, karena instrumen pokoknya terdiri dari tingklik bambu berbentuk gerantang (semacam tabung). Gamelan ini berlaras slendro lima nada (sama seperti gender wayang) dan untuk memainkan instrumen gerantang penabuh memakai 2 panggul, yang kanan memainkan kakembangan (ornamentasi), sedangkan yang kiri memainkan melodi pokok.<br /><br />Instrumentasi gamelan Joged Bumbung pada umumnya terdiri dari:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />4 buah gerantang besar<br />4 buah gerantang kecil<br />1 buah gong kemodong<br />1 buah kleneng<br />1 pangkon ricik<br />1 buah kendang (berukuran sedang)<br />1 buah tawa-tawa<br />3-4 buah suling<br /><br />Di beberapa tempat gamelan Joged Bumbung juga di lengkapi dengan beberapa Kepyak (sepasang tabung bambu yang pecah) dan juga reyong. Mengenai repertoire Gamelan Joged Bumbung diambil dari lagu-lagu rakyat, tabuh-tabuh Gong Kebyar, lagu-lagu Pop dan Gegandrangan (pengiring tarian bersama antara penari dan pengibing).<br /><br />6.4.3.9. Gamelan Manik-asanti<br /><br />Gamelan Manikasanti (manik=permata, santi=damai) ini adalah barungan termuda, dan satu-satunya di Bali, yang diciptakan oleh I Wayan Sinti, guru SMKN 3 Sukawati pada tahun 1994. Secara fisik gamelan ini merupakan perpaduan antara Palegongan dan Semar Pagulingan, memadukan berbagai saih dan patutan yang ada dalam karawitan Bali seperti:<br />- Gong Gede<br />- Gong Luwang<br />- Semar Pagulingan<br />- Palegongan<br />- Angklung<br />- Gong Kebyar<br />- Bebarongan<br />- Selonding<br /><br />Dengan fleksibilitas tangga nada yang dimiliki oleh barungan ini maka gamelan ini dapat memainkan lagu-lagu dari hampir semua gamelan Bali, bukan saja dalam 7 nada melainkan meliputi ke 14 saih yang ada.<br /><br />Barungan ini terdapat di Banjar Dauh Kutuh, Desa Ubung Kaja, Kodya Denpasar, desa kelahiran I Wayan Sinti. Instrumentasi dari gamelan yang tergolong barungan ageng ini hampir sama dengan Gong Kebyar dengan tambahan beberapa gangsa jongkok. Uniknya adalah gangsa-gangsa gantungnya yaitu gender rambat, ugal, pemade dan kantil, berbilah/bernada 11, trompong-nya 14 pencon dan reyong-nya 15 pencon.<br /><br />Catatan: Gangsa Jongkok adalah gangsa yang bilah-bilahnya bertumpu (cushioned) pada tungguh-nya (badan/chasis resonansi gangsa). Sedangkan gangsa gantung adalah gangsa yang bilah-bilahnya digantung (suspended) menggunakan seutas tali regang yang ditumpu oleh beberapa penggantung untuk menjaga jarak layangnya di atas tungguh. Gaung dari getaran gangsa gantung lebih panjang dari pada gangsa jongkok karena getaran bilahnya tidak segera diredam dalam posisinya yang tergantung bebas.<br /><br />6.4.3.10. Gamelan Semaradana<br /><br />Gamelan Semaradana adalah sebuah bariungan gamelan baru yang pada hakekatnya merupakan suatu pengembangan dari gamelan Gong Kebyar dan Semar Pagulingan (sapta nada). Sistem pengaturan nada dari gamelan ini terutama dari kelompok gangsa, menunjukan adanya penggabungan ide dari kedua barungan gamelan tersebut di atas. Gamelan ini adalah ciptaan dari I Wayan Beratha seorang tokoh karawitan sekaligus pembuat gamelan Bali.<br /><br />Gamelan ini diperkenalkan pada tahun 1988. Motivasi dari penciptaan alat-alat gamelan seperti ini adalah menciptakan barungan gamelan yang bisa memainkan lagu-lagu kakebyaran dan gending-gending Semar Pagulingan. Penggunaan gamelan ini tidak terbatas pada pertunjukan tari dan drama saja, gamelan Semaradana juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara keagamaan. Instrumen dari gamelan Semaradana ini tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar.<br /><br />Instrumen-instrumen penting yang berperan di dalamnya adalah:<br />- gangsa, (jegogan, jublag, pemade dan kantil)<br />- sepasang kendang<br />- gong kempur<br />- kemong<br />- kajar<br />- reyong<br />- cengceng<br />- suling bambu<br />- rebab<br /><br />Sejak pertama kali diciptakan, gamelan Semaradana sudah semakin tersebar ke berbagai desa di Bali, bahkan sampai ke luar negeri. Para pemakai gamelan ini merasa bahwa gamelan ini sangat fleksibel, walaupun memainkannya diperlukan teknik khusus.<br /><br />6.4.3.11. Gong Suling<br /><br />Gamelan Gong Suling adalah barungan gamelan yang didominir oleh alat-alat tiup suling bambu yang didukung oleh instrumen-instrumen lainnya. Gamelan yang berlaras pelog lima nada ini diperkirakan muncul sekitar tahun 1950.<br /><br />Gong Suling pada hakekatnya merupakan pengembangan dari Gong Kebyar, tabuh-tabuh yang dibawakan hampir semuanya berasal dari Gong Kakebyaran, hanya saja pembawa melodinya tidak lagi gangsa yang terbuat dari krawang melainkan sejumlah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda.<br /><br />Ada sedikitnya 30 suling di dalam barungan ini. Tingkatan tinggi rendah nadanya meniru tingkatan bunyi gangsa dalam Gong Kebyar. Lebih dari itu fungsi dari masing-masing instrumen juga disusun seperti Gong Kebyar, ada suling yang berfungsi sebagai jegogan, jublag, ugal, pemiade dan kantil.<br /><br />Melengkapi barungan ini adalah:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2 buah kendang<br />1 buah kajar<br />1 buah kemong<br />1 buah kempur<br />1 pangkon ricik<br /><br />Gong Suling yang pada hakekatnya barungan suling bambu yang memainkan tabuh-tabuh kebyar biasanya dipentaskan sebagai tabuh-tabuh instrumen dan sebagai iringan tari atau drama.<br />6.4.3.12. Jegog<br /><br />Barungan ini termasuk gamelan madya yang terdapat hanya didaerah Kabupaten Jembrana. Jegog adalah barungan gamelan berlaras pelog (empat nada) yang terdiri dari instrumen berbentuk tabung bambu. Semula gamelan ini hanya dipakai untuk memainkan musik-musik instrumental dan pengiring pencak silat. Belakangan ini jegog juga dipakai untuk mengiringi tari-tarian Kebyar dan Drama Gong. Bagi masyarakat Jembrana pertunjukan jegog yang paling berkesan adalah jegog yang dilakukan pada hari-hari raya tertentu atau sehabis musim panen.<br /><br />Ada 11 tungguh instrumen dalam barungan ini meliputi:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />3 tungguh instrumen barongan<br />3 tungguh kancilan<br />2 tungguh kentrungan<br />3 tungguh suwir<br />2 tungguh undir<br />1 tungguh jegogan, masing-masing 8 bilah/tabung<br /><br />Jegogan adalah instrumen terbesar dalam barungan ini yang memberikan suara berkualitas gong.<br /><br /> <br />Untuk mengiringi tari-tarian barungan ini dilengkapi dengan beberapa instrumen lain, yaitu:<br />Jumlah Satuan Instrumen<br />2 buah kendang gupakan<br />1 buah kajar<br />1 buah tawa-tawa<br />1 buah cengceng<br />1 buah suling<br />1 buah rebana<br /><br />Untuk memainkan instrumen bilah (pemade dan kantil) penabuh mempergunakan 2 panggul, seperti dalam Gender Wayang. Penabuh Jegogan (instrumen paling besar) hanya mempergunakan sebuah panggul (seperti panggul gong). Teknik kotekan sangat dominan dalam pertunjukan gamelan Jegog.<br /><br />6.4.3.13. Kendang Mabarung<br /><br />Gamelan ini termasuk barungan langka yang terdapat di daerah Jembrana, daerah asal gamelan Jegog dan Gebyog. Ada yang berpendapat bahwa Kendang Mabarung adalah gemelan Angklung yang memakai kendang besar atau kendang barung. Akan tetapi karena peranan kendang besar sangat menonjol dalam pertunjukan, maka penamaan terhadap barungan ini menjadi terfokus kepada kendang.<br /><br />Instrumen pokok dalam barungan ini adalah dua kendang raksasa yang panjangnya sekitar 3 meter dengan garis tengah sekitar 1 meter. Musik yang ditimbulkan cenderung berkesan ritmis, karena pukulan kendang itu sendiri mempunyai pola ritme yang bermacam-macam. Pembawa melodi dalam barungan ini adalah instrumen angklung yang berlaras pelog empat nada sama seperti laras Jegog. Penabuh Kendang Mabarung adalah 2 orang, masing-masing memukul 1 sisi kendang dengan alat pemukul. Teknik pukulannya adalah kotekan yang dilakukan secara imbal. Kendang Mabarung sering ditampilkan untuk mengiringi perlombaan Makepung, kadangkala untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya.<br /><br />6.4.3.14. Okokan/Grumbungan<br /><br />Okokan adalah instrumen semacam bel berukuran raksasa yang dibuat dari kayu yang dijadikan alat komunikasi oleh kelompok masyarakat di desa-desa terpencil. Instrumen yang sama, namun dengan ukuran yang lebih kecil disebut kroncongan yang biasa dipasang di atas pohon untuk mengusir binatang--binatang perusak tanaman kelapa, sebagai kalung ternak (sapi maupun kerbau).<br /><br />Atas prakarsa masyarakat Baturiti (kabupaten Tabanan) dan Tegalalang (Kabupaten Gianyar) di mana terdapat cukup banyak instrumen okokan, alat-alat bunyi ini ditata menjadi sebuah barungan yang disebut Okokan atau Grumbungan.<br /><br />Ada sedikitnya 30 buah okokan dalam barungan ini. Ada sejumlah pemain yang memainkan sebuah okokan secara lepas-lepas dan ada pula setiap dua orang merangkai 2 alat menjadi satu unit yang diusung oleh dua orang. Penabuh yang sekaligus pengusung mengambil posisi dibelakang okokan dan membunyikannya dengan cara mengocoknya. Selain okokan dalam barungan ini juga dimasukkan dua buah kendang, 1 buah kajar dan sejumlah instrumen pukul lainnya. Musik yang ditimbulkan barungan berukuran besar ini sangat ritmis dan bersuasana magis. Sejak permulaan Pekan Kesenian Bali, Okokan selalu ditampilkan dalam acara pawai pembukaan pada pesta budaya tahunan ini.<br /><br />6.4.3.15. Tektekan<br /><br />Adalah sebuah barungan gamelan yang relatif masih baru yang muncul di daerah Tabanan. Di desa Kerambitan, telah lama berlangsung suatu tradisi arak-arakan mengelilingi desa untuk mengusir roh-roh jahat yang dianggap mengganggu kehidupan masyarakat. Arak-arakan seperti ini biasa dilakukan saat desa terserang wabah penyakit. Instrumen baku dari barungan ini, yang melibatkan sedikitnya 50 orang penabuh laki-laki, adalah sebuah kentongan atau kulkul dari bambu. Masing-masing penabuh memegang sebuah kentongan dengan ukuran berbeda-beda dan memainkan instrumen mereka dengan pola kakilitan seperti ritme cak atau cengceng kopyak dalam Balaganjur. Selain kulkul, barungan ini juga dilengkapi dengan gong, tawa-tawa, sebuah kemong, beberapa buah suling dan sepasang kendang.<br /><br />Gamelan ini kini menjadi bagian dari pertunjukan Calonarang. Bagi masyarakat luas Tektekan adalah pertunjukan Calonarang dari Tabanan yang terkenal dengan demonstrasi kekebalan. Pada bagian akhir pertunjukan pemain rangda ditikam beramai-ramai oleh penari keris (dan juga oleh penonton). Dalam masa dua puluh tahun belakangan ini Tektekan telah menjadi salah satu acara yang digemari oleh wisatawan<br /><br />6.4.4. Perkembangan Karawitan Bali<br /><br />Dalam periode tahun 1970 sampai dengan 1990-an, seni karawitan Bali mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Kemajuan seni karawitan Bali pada waktu itu memperlihatkan dua sisi yang menarik dan sangat menentukan masa depan dari seni karawitan di daerah ini.<br /><br />Di satu sisi telah terjadi penyebaran gamelan keseluruh Bali, bahkan keluar daerah serta keluar negeri. Kondisi ini diikuti oleh munculnya komposisi-komposisi karawitan baru yang semakin rumit dengan teknik permainan yang semakin kompleks.<br /><br />Di sisi lain terlihat terjadinya perubahan ekspresi musikal dan pembaruan gaya-gaya musik lokal. Di Bali dewasa ini hampir setiap desa telah memiliki gamelan. Banyak desa bahkan memiliki 2-3 barungan gamelan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jenis gamelan yang paling baik perkembangannya adalah Gong Kebyar. Kiranya hal ini disebabkan oleh keberadaan daripada barungan gamelan ini yang serba guna dan yang paling sesuai dengan selera masyarakat banyak terutama kalangan generasi muda.<br /><br />Ada beberapa contoh yang dapat dijadikan bukti terhadap perkembangan Gong Kebyar ini. Di Desa Singapadu sebuah desa di Kabupaten Gianyar misalnya, hingga sekitar akhir tahun 1960 hanya ada 1 barung Gong Kebyar dan 7 barung gamelan Geguntangan atau Paarjan. Dua puluh tahun kemudian di desa yang terdiri dari 13 banjar dinas ini telah ada 6 barung Gong Kebyar dan 2 barung Geguntangan. Jumlah ini masih perlu ditambah 2 barung Gong Kebyar yang dimiliki oleh sanggar atau sekaa pribadi. Di kota-kota besar diluar Bali seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta juga telah berdiri grup musik dan gamelan Bali. Dapat dipastikan bahwa gamelan yang dimiliki oleh group-group ini adalah gamelan Gong Kebyar.<br /><br />Di tingkat Internasional, gamelan Bali (Gong Kebyar, Semar Pagulingan dan Gender Wayang) sudah tersebar ke Eropa, Jerman, Australia, Jepang, Canada, India dan mungkin yang terbanyak ke Amerika Serikat. Walaupun kebanyakan dari barungan gamelan Bali ini ditempatkan di perwakilan RI, ataupun universitas-universitas, semakin banyak grup-grup swasta dan perorangan yang memiliki gamelan sendiri. Group Sekar Jaya El Ceritto, California, Giri Mekar di Woodstock, New York (keduanya di Amerika Serikat), dan group Sekar Jepun di Tokyo Jepang adalah beberapa group kesenian asing yang hingga kini masih aktif. Menjadi semakin kompleksnya komposisi gamelan Bali yang diwarnai dengan melodi serta teknik cecadetan yang semakin rumit.<br /><br />Belakangan ini muncul komposisi-komposisi musik baru yang menampilkan melodi yang lincah dan mempergunakan banyak nada. Hal ini sangat berbeda dengan gending-gending dari masa lampau yang melodi-melodinya sangat sederhana, mempergunakan beberapa nada saja dan berisikan banyak pengulangan. Pola-pola cecadetan yang muncul belakangan ini sudah banyak memakai pola ritme/hitungan tidak ajeg seperti tiga, lima atau tujuh.<br /><br />Dalam komposisi lama, dalam gender wayang sekalipun pola ritme/hitungan ajeg sangat dominan. Perubahan ini juga diikuti oleh masuknya jenis pukulan rampak dan keras, yang datangnya secara tiba- tiba seperti yang terjadi pada Gong Kebyar. Tambah lagi ekspresi musikal hampir semua gamelan Bali menjadi ngebyar (meniru Gong Kebyar). Nampaknya perubahan ini besar kaitannya dengan adanya pengaruh gamelan Gong Kebyar.<br /><br />Kecenderungan yang lain adalah pengembangan barungan dengan cara menambah beberapa instrumen baru. Gejala ini yang terlihat dalam pengembangan gamelan Geguntangan, munculnya Adi Merdangga dan gamelan pengiring sendratari. Hal ini kiranya berkaitan dengan munculnya stage-stage pementasan besar dengan penonton yang berada jauh dari arena pentas (tempat menari). Agar musik dapat didengar oleh penonton yang berada di kejauhan ini, maka penambahan instrumen menjadi perlu selain menggunakan sistem amplifikasi. Misalnya saja pada tahun 1970, gamelan Geguntangan adalah suatu barungan kecil yang menimbulkan suara lembut merdu. Kini Geguntangan sudah dilengkapi dengan beberapa buah kulkul, dengan beberapa instrumen bilah seperti cuing dan lain-lain. Ada kecenderungan bahwa perkembangan seni Karawitan Bali lebih didominir oleh gaya Bali Selatan.<br /><br />Seni Karawitan sebagaimana halnya kesenian Bali lainnya, juga meliputi dua gaya daerah: Bali Utara dan Bali Selatan. Perbedaan antara kedua gaya ini tampak jelas dalam tempo, dinamika dan ornamentasi dari pada tabuh- tabuh dari masing-masing gaya.<br /><br />Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk tempo tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih cepat dari yang di Bali Selatan. Hal ini juga menyangkut masalah dinamika di mana tanjakan dan penurunan tempo musik Bali Utara lebih tajam daripada Bali Selatan. Namun demikian, ornamentasi tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih rumit daripada Bali Selatan. Akhir-akhir ini tabuh-tabuh gaya Bali Utara terasa semakin jarang kedengarannya, sebaliknya tabuh-tabuh Bali Selatan semakin keras gemanya. Semua yang sudah diuraikan di atas mengisyaratkan kemajuan karawitan Bali baik secara kuantitas maupun kualitas. Ada kecendrungan bahwa di masa yang akan datang seni karawitan Bali, khususnya instrumental yang didominir oleh gamelan Gong Kebyar dan ekspresi ngebyar akan masuk ke jenis-jenis gamelan non-kebyar. Sementara karawitan gaya Bali Utara dan Selatan akan berbaur menjadi satu (mengingat pemusik kedua daerah budaya ini sudah semakin luluh), gamelan klasik seperti Semar Pagulingan nampaknya akan bangkit kembali.<br /><br />Di masa yang akan datang, bentuk-bentuk seni karawitan dan barungan gamelan Bali baru akan terus bermunculan. Adanya "ebiasaan di kalangan seniman Bali untuk terus mencoba, mencari dan menggali ide-ide baru, baik dari dalam seni budaya tradisi mereka maupun dari unsur luar yang senafas, sangat memungkinkan akan terwujudnya perkembangan seni karawitan Bali yang lebih baik di masa yang akan datang.<br /><br />6.4.5. Karawitan Kontemporer<br /><br />Tahun 1970 adalah saat masa penting dalam sejarah perkembangan seni karawitan Bali. Pada waktu itu muncul garapan karawitan kontemporer Bali, garapan karawitan modern yang eksperimental sifatnya namun masih bersumber dan berakar pada musik tradisi.<br /><br />Awal pertumbuhan karawitan kontemporer Bali ditandai oleh garapan musik berjudul Gema Eka Dasa Rudra karya I Nyoman Astita pada tahun 1979. Dalam garapan karawitan ini Astita mencoba menuangkan interpretasinya terhadap suasana musikal dari serangkaian upacara ritual dalam karya agung Eka Dasa Rudra di Besakih tahun 1978. Barungan gamelan yang dijadikan dasar adalah Semar Pagulingan yang dikembangkan dengan jalan menambah beberapa buah gong dan kempul, cengceng kopyak, kentungan (alat menumbuk padi), kulkul (kentongan), serta sapu lidi. Dengan alat-alat ini Astita menyajikan sedikitnya 5 warna musik Bali : Semar Pagulingan, Gong Kebyar, Balaganjur, Angklung dan Gong Beri untuk melukiskan jalannya upacara Eka Dasa Rudra.<br /><br />Di samping memadukan alat-alat gamelan dengan alat-alat yang non gamelan, Gema Eka Dasa Rudra lahir dengan menawarkan dua gagasan baru.<br />- Pertama, dalam garapan dilakukan beberapa perubahan patet gending dan merangkai lagu-lagu yang berlaras pelog dengan slendro. Struktur nada gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu memungkinkan untuk melakukan semuanya ini. Oleh karena itu dalam kreasi musik ini ada lagu-lagu yang dimainkan dalam patet selisir, patet tembung dan lain-lainnya. Laras Slendro muncul ketika diperdengarkan lagu-lagu gamelan Angklung dan laras Pelog terdengar pada waktu Balaganjur dan Kakebyaran.<br />- Kedua, sepanjang perjalanan musik Gema Eka Dasa Rudra ini para pemain menabuh atau menyanyi sambil menari. Dengan gerak-gerak yang sederhana, para penabuh mencoba untuk menvisualkan beberapa aktivitas yang terjadi dalam upacara Eka Dasa Rudra yang sesungguhnya. Dengan demikian Gema Eka Dasa Rudra menjadi sebuah sajian musik yang sifatnya audio-visual yang menarik untuk dilihat dan didengar.<br /><br />Munculnya Gema Eka Dasa Rudra yang dipersiapkan untuk Festifal Komponis Muda di TIM Jakarta ini mendapat sambutan positif dari kalangan pengamat dan budayawan Bali, sehingga merangsang tumbuhnya karya-karya karawitan kontemporer lainnya. Di antara karya-karya penting yang muncul sesudahnya adalah:<br />- Uma Sadina oleh Nyoman Astita<br />- Trompong Beruk oleh Wayan Rai S<br />- Sumpah Palapa oleh Nyoman Windha<br />- Kosong oleh Ketut Gede Astawa<br /><br />Kehadiran karya-karya ini membuat semakin semaraknya kehidupan seni karawitan kontemporer di daerah Bali.<br /><br />6.5. Pesta Kesenian Bali<br /><br />Pesta Kesenian Bali diselenggarakan sebagai upaya persembahan karya cipta seni terbaik masyarakat. Bilapun kini masyarakat berkeinginan memilih antara kesenian dan kerajinan, profan dan sekular, pesanan dan kreativitas murni masyarakat Bali, semua itu mereka kerjakan dengan semangat ‘persembahan’. Perbedaan itu tidak akan mengurangi hakekat berkesenian. Kegiatan berkesenian didasari oleh motivasi sebagai persembahan yang terbaik dan spirit dalam segala aktivitas masyarakat Bali<br /><br />Seni yang ditampilkan adalah persembahan dan karya cipta yang dihasilkan juga sebagai persembahan. Hal ini yang masih dijadikan. Persembahan seni dan karya cipta mengandung makna pembebasan yang iklas yang dalam ajaran Hindu sering disebut dengan yadnya. Yadnya yang dipersembahkan melalui seni dan karya cipta menjadikan hasil ciptaannya sebagai persembahan terbaik, maka sedapat mungkin seseorang seniman tidak akan mempersembahkan miliknya atau karyanya yang paling jelek atau seadanya, apalagi persembahan itu berupa seni dan karya cipta yang terlahir dari budi daya sebagai hulu cinta kasih dan peradaban rohani seni masyarakat.<br /><br />Pesta Kesenian Bali merupakan media dan sarana untuk menggali dan melestarikan seni budaya serta meningkatkan kesejahteraan. Penggalian dan pelestarian seni budaya meliputi filosofi, nilai-nilai luhur dan universal, konsep-konsep dasar, warisan budaya baik benda atau bukan benda yang bernilai sejarah tinggi, ilmu pengetahuan dan seni sebagai representasi peradaban serta pengembangan kesenian melalui kreasi, inovasi, adaptasi budaya dengan harapan agar tetap hidup dan ajeg berjcelanjutan dalam konteks perubahan waktu dan jaman serta dalam lingkungan yang selalu berubah.<br /><br />Menampung hasil karya cipta, seni dan aspirasi berkesenian baik kesenian hasil rekonstruksi, seni hasil inovasi, atraksi kesenian serta apresiasi seni dan budaya masyarakat, maka Pemerintah Propinsi Bali, sejak tahun 1979, oleh Almarhum Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menggagas dan memprakarsai suatu wadah pesta rakyat, yang sampai sekarang disebut Pesta Kesenian Bali (PKB), yang pertama kalinya di gelar.<br /><br />Dasar Penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali adalah Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 07 Tahun 1986 tentang Pesta Kesenian Bali. Pesta Kesenian Bali yang digelar pertama kali pada tahun 1979, berlangsung kurang lebih 2 bulan tepatnya dari tanggal 20 Juni 1979 sampai 23 Agustus 1979, dan setiap tahun telah memberikan kesempatan untuk menampilkan karya-karya seni terbaik, sebagai wahana pembinaan, pelestarian dan pengembangan seni budaya masyarakat. Pelestarian seni budaya dengan menampilkan kesenian-kesenian klasik yang sudah hampir punah dan terpendam di masyarakat. Melalui Pesta Kesenian Bali, memotivasi masyarakat untuk menggali, menemukan dan menampilkan kepada masyarakat pada pesta rakyat ini. Penyelenggaraan PKB dari tahun ketahun telah memberikan nuansa tersendiri bagi keajegan seni budaya Bali dengan menampilkan thema yang selalu berbeda-beda. Kiranya cara berkesenian masyarakat Bali yang dipersembahkan kedalam wadah Pests Kesenian Bali, setiap tahunnya juga berbeda-beda. <br /><br />Dalam sejarah perjalanan pesta seni rakyat yang akbar ini pada umumnya selalu dibuka oleh pejabat tinggi negara. Hanya pada PKB yang pertama kali tahun 1979 dibuka oleh Almarhum Prof DR. Ida Bagus Mantra yang saat itu menjabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali sekaligus sebagai penggagas PKB. Selebihnya pembukaan PKB dilaksanakan oleh Menteri, Wakil Presiden, Presiden dan Ibu Negara.<br /><br />6.6. Rumah Tradisional<br /><br />6.6.1. Metodologi Arsitektur Bali<br /><br />Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedanda atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura.<br /><br />Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.<br /><br />6.6.2. Hirarki Pola Ruang Rumah Tinggal<br /><br />Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakan satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan barat.<br /><br />Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali:<br />1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.<br />2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kaluh kelod.<br />3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.<br />4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang. <br />5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.<br />6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.<br />7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.<br />8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di lokasi kangin.<br />9. Paon yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.<br />10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.<br /><br />6.6.3. Teknik Konstruksi dan Material<br /><br />Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama.<br /><br />Nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bila dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.<br /><br />Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.<br /><br />Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.<br /><br />Sistem konstruksi yang lain adalah system kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2x3 kolom. Bale tiang sangga adalah sebuah bale dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3x3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3x4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2x8 atau 2x12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.<br /><br />6.7. Pura<br /><br />Pura adalah tempat beribadah bagi umat Hindu Bali. Arsitektur pura juga merujuk pada asta kosala-kosali. Pura-pura pada zaman dahulu kala dibangun di kaki gunung, karena orang Bali percaya bahwa gunung terutama gunung Agung adalah pusat dunia. Di puncaknya adalah tempat ber-stana¬-nya Bhatara Siwa. Contoh pura yang terkenal di Bali adalah Pura Besakih dan Pura Tanah Lot.<br /><br />6.7.1. Pura Besakih<br /><br />Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan Pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.<br /><br />Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Ida Hyang Widhi Waça agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di Pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.<br /><br />Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten/sesaji)<br /><br />Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (konon ke gunung Raung di Jawa Timur). Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Ida Hyang Widhi Waça bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Ida Hyang Widhi Waça, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.<br /><br />Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten/sesajen) selengkapnya diperciki tirta pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.<br /><br />Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.<br /><br /> <br /><br /><br /> <br />1. Pura Pesimpangan<br />2. Pura Dalem Puri<br />3. Pura Manik Mas<br />4. Pura Bangun Sakti<br />5. Pura Ulun Kulkul<br />6. Pura Merajan Selonding<br />7. Pura Goa<br />8. Pura Banua<br />9. Pura Merajan Kanginan<br />10. Pura Hyang Haluh (Jenggala)<br />11. Pura Basukihan<br />12. Pura Penataran Agung<br />13. Pura Batu Madeg<br />14. Pura Batu Kiduling Kreteg<br />15. Pura Gelap<br />16. Pura Pengubengan<br />17. Pura Batu Tirtha<br />18. Pura Batu Peninjoan<br />19. Komplek Pedarman<br /> <br /><br />6.7.2. Pura Tanah Lot<br />Tanah Lot merupakan obyek wisata yang sangat terkenal, hampir setiap wisatawan yang liburan ke Bali pasti menyempatkan diri menikmati obyek wisata ini. Tanah Lot terletak di desa Beraban, kecamatan Kediri, kabupaten Tabanan, di barat daya pulau Bali, kira-kira 30 menit dari Kuta. Di Tanah Lot terdapat dua pura, Pura Tanah Lot yang terletak diatas sebuah batu karang besar yang berada di tengah pantai. Di sebelahnya terdapat satu pura lagi yang terletak diatas tebing yang menjorok ke laut (mirip pura Uluwatu). Pura Tanah Lot termasuk pura Sad Kahyangan yaitu pura-pura yang menjadi sendi untuk menjaga keasrian dan keselamatan pulau Bali.<br /><br />Menurut legenda, pura Tanah Lot dibangun oleh seorang Brahmana suci yang bernama Danghyang Nirartha atau disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra pada abad ke 16, beliau datang ke Bali untuk menyebarkan dan menguatkan ajaran agama Hindu. Danghyang Nirartha juga meninggalkan selendangnya yang menjadi sebuah ular penjaga pura Tanah Lot. Ular ini masih ada sampai sekarang dan dipercaya dapat memberikan keselamatan dan mengabulkan doa orang yang menyentuhnya. Selain pura Tanah Lot, ada beberapa pura Sad Kahyangan lain yang dibangun oleh Danghyang Nirartha selama pengembaraannya di Bali, misalnya Pura Petitenget, Pura Uluwatu dan lainnya. Dipercaya Danghyang Nirartha akhirnya “Moksa” (meninggal tanpa jasad) di Pura Uluwatu.<br /><br />Selain terdapat ular yang hingga saat ini masih menjadi kepercayaan penduduk setempat, hal fenomenal lainnya adalah terdapat sumber air tawar di sisi utara Pura Tanah Lot padahal Pura ini terletak di atas pantai. Air suci ini disebut Tirta Pabersihan, banyak umat dan pengunjung yang menggunakan air ini untuk penyucian secara niskala.<br /><br />Tanah Lot terkenal dengan pemandangannya yang indah, bila cuaca baik, kita dapat melihat matahari tenggelam (sunset) yang sangat indah, ketika sang Surya tenggelam di kaki cakrawala, sungguh pemandangan yang dapat membuat mata berhenti berkedip. Dijalan menuju pantai Tanah Lot banyak dijumpai penunjang pariwisata seperti hotel, restaurant, art shop, dan lainnya. Waktu yang baik untuk berkunjung kesana adalah pukul 16:00, jadi kita dapat melihat-lihat pemandangan dengan tebing yang curam, pura Tanah Lot yang mengagumkan, dan pemandangan pantai sambil menunggu sunset. Pada bulan-bulan ini, sunset biasanya terjadi sekitar pukul 18:30.<br /><br />Seperti pura lainnya, pura Tanah Lot juga memiliki odalan (hari raya) yang dirayakan setiap 210 hari sekali, yaitu setiap “Buda Cemeng Langkir”, berdekatan dengan hari raya Galungan dan Kuningan. Pada saat odalan, seluruh umat Hindu dari segala penjuru Bali akan datang untuk bersembahyang, begitu juga wisatawan akan banyak yang datang untuk menyaksikan upacara dan keindahan Tanah Lot, akan tetapi wisatawan tidak diijinkan untuk memasuki bagian utama (”Utama Mandala”) pura Tanah Lot, kecuali yang masuk untuk bersembahyang. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kesucian pura Tanah Lot.<br /><br />6.8. Bahasa Bali<br /><br />Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya.<br /><br />Bahasa Bali dalam keluarga bahasa Austronesia sering ditengarai paling dekat berkerabat dengan bahasa Jawa. Namun hal ini tidaklah begitu. Bahasa Bali paling dekat dengan bahasa Sasak dan beberapa bahasa di pulau Sumbawa bagian barat. Kemiripannya dengan bahasa Jawa hanya karena pengaruh kosakata atas bahasa Jawa karena aktivitas kolonisasi Jawa pada masa lampau, terutama pada abad ke-14 Masehi. Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi. Bahkan dalam keluarga Austronesia, secara fonologis bahasa Bali lebih mirip bahasa Melayu daripada bahasa Jawa. Namun fonem /r/ pada posisi akhir dalam bahasa Melayu, seringkali menjadi /h/ pada bahasa Bali.<br /><br />Bahasa Bali banyak terpengaruh bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Kuna dan lewat bahasa Jawa ini, juga bahasa Sansekerta. Kemiripan dengan bahasa Jawa terutama terlihat dari tingkat-tingkat bahasa yang terdapat dalam bahasa Bali yang mirip dengan bahasa Jawa. Maka tak mengherankanlah jika bahasa Bali halus yang disebut basa Bali Alus Mider mirip dengan bahasa Jawa Krama.<br /><br /> <br />6.9. Aksara Bali<br /><br />Sangatlah beruntung Bali, karena tak cuma memiliki tradisi bahasa lisan, melainkan juga memiliki tradisi aksara. Sungguh tidak banyak bahasa-bahasa di dunia yang memiliki tradisi aksara. Bahasa-bahasa di bagian timur Indonesia misalnya, lebih banyak tidak memiliki tradisi aksara.<br /><br />Cukup panjang, memang, perjalanan sejarah bahasa dan aksara Bali. Malah, perkembangan aksara Bali hingga seperti sekarang telah melalui proses keterpengaruhan dari bahasa lain khususnya bahasa Jawa Kuno.<br /><br />Penelitian yang pernah dilakukan memberikan dugaan kuat aksara Bali berkembang dari huruf Pallawa yang dikenal dengan nama huruf Bali Kuno. Huruf ini berkembang pada sekitar abad ke-9 sampai abad ke-10 dan terus mengalir sampai kini. Sistem yang digunakan yakni sistem silabik. Artinya, satu tanda mewakili satu suku kata yang diambil dari huruf awal suku kata yang diambil dari huruf awal suku kata dimaksud. Tiap suku kata dibentuk dari satu konsonan dan satu vokal.<br /><br />Dr. Rudolf Gorris menemukan bahwa bahasa Bali Kuna dominan digunakan dalam prasasti-prasasti periode awal zaman Bali Kuna. Sedikitnya ada 33 prasasti yang menggunakan bahasa Bali Kuna. Setelah masa pemerintahan Raja Udayana Gunapriyadharmapatni (989-1011) mulailah digunakan bahasa dan aksara Jawa Kuna. Tatkala masuk pengaruh Majapahit, bahasa Kawi-Bali pun mulai digunakan, terutama di naskah-naskah lontar.<br /><br />Huruf-Huruf Konsonan Utama<br /><br /> <br /> <br />Bentuk Huruf-Huruf Konsonan Lain<br /><br /> <br /><br />Vowel dan Tanda Baca Lain<br /><br /> <br /><br />Angka<br /> <br /><br />6.10. Pakaian Adat Bali<br /><br /><br /><br />Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:<br />- Udeng (ikat kepala)<br />- Kain kampuh<br />- Umpal (selendang pengikat)<br />- Kain wastra (kemben)<br />- Sabuk<br />- Keris<br />- Beragam ornamen perhiasan<br />Sering pula dikenakan baju kemeja, jas, dan alas kaki sebagai pelengkap.<br /><br /><br /><br /><br />Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:<br />- Gelung (sanggul)<br />- Sesenteng (kemben songket)<br />- Kain wastra<br />- Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada<br />- Selendang songket bahu ke bawah<br />- Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam<br />- Beragam ornamen perhiasan<br />Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.<br /><br /><br /><br />6.11. Makanan Khas Bali<br /><br />Makanan Utama<br /> <br />- Ayam/bebek betutu<br />- Babi guling<br />- Bandot<br />- Be kokak mekuah<br />- Be pasih mesambel matah<br />- Berengkes<br />- Cerancam<br />- Grangasem<br />- Jejeruk<br />- Jukut ares<br />- Jukut urab<br />- Komoh<br />- Lawar<br />- Nasi bubuh<br />- Nasi kuning bali<br />- Nasi tepeng<br />- Nasi yasa<br />- Penyon<br />- Sate kablet<br />- Sate languan<br />- Sate lembat<br />- Sate lilit<br />- Sate pentul<br />- Sate penyu<br />- Sate tusuk<br />- Serapah<br />- Serombotan<br />- Timbungan<br />- Tum<br />- Urutan<br /> <br /><br />Jajanan<br /> <br />- Bubuh sagu<br />- Bubuh sumsum<br />- Bubuh tuak<br />- Jaja abug<br />- Jaja bantal<br />- Jaja batun duren<br />- Jaja begina<br />- Jaja bendu<br />- Jaja bikang<br />- Jaja cerorot<br />- Jaja godoh<br />- Jaja iwel<br />- Jaja jongkok<br />- Jaja ketimus<br />- Jaja klepon<br />- Jaja lak-lak<br />- Jaja reta<br />- Jaja sabun<br />- Jaja saga<br />- Jaja sengait<br />- Jaja sumping<br />- Jaja tain buati<br />- Jaja ongol-ongol<br />- Jaja uli misi tape<br />- Jaja wajik<br />- Rujak bulung<br />- Rujak kuah pindang<br />- Rujak manis<br />- Rujak tibah<br /> <br /><br />6.12. Senjata Tradisional<br /><br /> <br />- Keris<br />- Tombak<br />- Tiuk<br />- Taji<br />- Kandik<br />- Caluk<br />- Arit<br />- Udud<br />- Gelewang<br />- Trisula<br />- Panah<br />- Penampad<br />- Garot<br />- Tulud<br />- Kis-Kis<br />- Anggapan<br />- Berang<br />- Blakas<br />- Pengiris<br /> <br /><br />6.13. Produk Budaya Lain<br /><br />Sesungguhnya terdapat masih banyak lagi adat budaya yang khas dari orang Bali. Diantaranya yang cukup terkenal adalah tradisi Med-Medan dan penggunaan Kain Poleng. Dua produk budaya ini bukanlah yang terakhir karena masih banyak produk budaya Bali yang tidak sempat kami bahas.<br /><br />6.13.1. Med-Medan<br /><br />Tradisi unik yang hingga kini tetap bertahan di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan adalah med-medan. Med-medan berasal dari kata omed-omedan yang artinya saling tarik. Tradisi ini rutin dilangsungkan pada Ngembak Geni (sehari setelah Hari Raya Nyepi). <br /><br />Sebelum med-medan dimulai, anggota sekaa teruna melakukan persembahyangan bersama di Pura Banjar Kaja dipimpin pemangku setempat. Acara diawali dengan pementasan tarian barong bangkal di lokasi med-medan (tepatnya di jalan raya jurusan Sesetan-Kota Denpasar atau di depan Balai Banjar Kaja, Sesetan). Selanjutnya puluhan anggota sekaa teruna yang sudah mengenakan pakaian adat madya membagi diri. Anggota laki-laki berada di kiri (utara jalan) dan perempuan berada di kanan (selatan).<br /><br />Ketika aba-aba dimulai, masing-masing kelompok berlarian melintasi lokasi lawan jenis. Air PAM pun dikucurkan oleh anggota krama banjar ke tubuh mereka dengan menggunakan ember dan selang. Dalam keadaan basah kuyup mereka ‘mengunggulkan’ salah satu anggotanya untuk dihadap-hadapkan dengan anggota lawan jenis. Tarik-tarikan pun terjadi. Anggota laki-laki memegang tubuh sang perempuan, sehingga terjadi saling omed (saling tarik). Demikianlah seterusnya hingga semua kebagian.<br /><br />Lalu, bagaimana tradisi ini bisa terjadi? Kelian Banjar Kaja Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan Pasek Nyoman Adnyana didampingi Pemangku Gede Banjar Kaja Sesetan Wayan Suadi mengatakan, med-medan dulunya hanyalah sebuah kebiasaan. Tetapi belakangan oleh krama Banjar Kaja Sesetan dijadikan acara yang sakral. Munculnya med-medan bermula dari sembuhnya seorang sesepuh Puri Oka Sesetan, AA Made Raka dari suatu penyakit. Kapan itu terjadi, tak disebutkan secara pasti.<br /><br />Oleh karena menderita sakit, tokoh puri itu tidak menginginkan adanya keramaian (med-medan) di hari raya Nyepi. Tetapi krama banjar memberanikan diri membuatnya dengan segala risiko. Mendengar adanya keramaian, AA Made Raka berusaha mendatanginya. Tetapi aneh, sakit yang dideritanya sembuh seketika setelah menyaksikan acara tersebut. Dari situ muncul upaya tetap melaksanakan tradisi tersebut di Hari Raya Nyepi.<br /><br />Belakangan, tepatnya pada zaman Belanda, med-medan sempat dilarang. Kendati demikian tidak menyurutkan krama untuk tetap melanjutkan tradisi unik tersebut. Kegiatan pun lantas dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi. Dulu, med-medan dilangsungkan pada Hari Raya Nyepi. Tetapi sejak tahun 1979 agar tidak mengganggu pelaksanaan catur brata penyepian, med-medan akhirnya dilaksanakan pada Ngembak Geni.<br /><br />Dikatakan, med-medan juga sempat ditiadakan karena ada penyimpangan berupa adegan ciuman. Tetapi peristiwa aneh pun terjadi. Sepasang babi yang tidak diketahui asal-muasalnya berkelahi di halaman Pura Banjar. Darah babi pun berceceran di mana-mana. Warga banjar yang melihat kejadian itu sertamerta melerainya, tetapi tak berhasil. Akhirnya, ada bawos agar med-medan tetap dilangsungkan. Begitu tradisi itu dilangsungkan, kedua ekor babi itu menghilang tanpa jejak. Darah yang tadinya terlihat membasahi tanah, hilang seketika. Sejak itulah krama tidak berani lagi meniadakan med-medan sehingga lestari sampai sekarang.<br /><br /> <br />6.13.2. Kain Poleng<br /><br /> <br /><br />Sering terlihat bahwa orang Bali melilitkan kain poleng (kain berwarna hitam-putih) pada tugu di persimpangan jalan, patung, bahkan pohon-pohon besar. Maksud dan tujuan dari pemberian kain poleng tersebut adalah sebagai penetralisir kekuatan-kekuatan negatif yang berasal dari bhuta-bhuta (makhluk-makhluk rendahan yang tidak nampak). Kain poleng juga terkadang berfungsi untuk memberikan kesan tenget (angker) pada suatu tempat agar orang-orang yang melintasi daerah tersebut menaruh hormat karena tempat itu ‘ada penunggunya’. Biasanya orang Bali yang tempat tinggalnya dekat dengan daerah yang diberi kain poleng akan menghaturkan sesajen, yang dimaksudkan agar bhuta-bhuta itu tidak mengganggu kehidupan manusia.<br /> <br />7. TRUNYAN<br /><br /><br />Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.<br /><br />Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.<br /> <br />Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata taru dan menyan berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.<br /><br />Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.<br /> <br />Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.<br /> <br />Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:<br />1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.<br />2. Dikubur/dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.<br /> <br />Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat beberapa jenis kuburan yaitu:<br />1. Sema wayah, diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah.<br />2. Sema bantas, diperuntukkan untuk dengan penguburan.<br />3. Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.<br /><br />Asal muasal daerah ini juga cukup unik. Ceritanya, di daerah ini konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu ceritanya mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau akhirnya bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.<br /><br />Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan.<br /><br />Keunikan Trunyan lainnya adalah peninggalan purbakala. Prasasti Trunyan tahun saka 813 (891 masehi) menyebutkan keberadaan sebuah pura yang bernama Pura Turun Hyang. Di pura tersebut terdapat bangunan suci meru yang bertumpang tujuh. Dan di dalam meru tersebut tersimpan sebuah arca Batu Megalitik setinggi kurang lebih 4 meter yang oleh masyarakat Trunyan sangat disakralkan. Arca tersebut juga dikenal dengan sebutan Arca Da Tonta.<br /> <br />8. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI<br /><br /><br />Hampir tidak ada wilayah dan komunitas Nusantara yang tidak tersentuh arus globalisasi dan modernisasi. Begitu pula dengan Bali. Daerah ini sangat intens memperoleh peluang dan menerima dampak globalisasi dan modernisasi. Di samping mengusung sains, teknologi, dan informasi, globalisasi dan modernisasi juga menggandeng kapitalisme, materialisme, pragmatisme sampai dengan terorisme. Krisis modernitas yang sangat kasat mata adalah rapuhnya moral, menguatnya konsumerisme, merebaknya fragmentasi sosial, konflik kekerasan yang cenderung mengarah ke dehumanisasi. Kapital sosial, legal dan kultural publik mendapat ancaman yang serius. <br /><br />Sementara, makin berkelanjutannya kemiskinan moral, lunturnya etika publik, lemahnya logika massa, biasnya wibawa hukum, kuatnya hedonisme, dan lemahnya kendali agama merupakan fakta sosial tentang dehumanisasi. Perilaku korupsi berkelanjutan, demo tiada batas, perebutan sumber daya, isu money politics, pluralitas partai tanpa perekat wawasan kebangsaan, konflik separatisme merupakan benih gerak ke arah khaostik negara. <br /><br />Gerak modernisasi masyarakat Nusantara, termasuk Bali adalah bergesernya paradigma sosial dari komunitas mekanik ke organik, kecenderungan meluasnya spesialisasi networking dan interdependensi, serta meningkatnya kepadatan populasi dan pluralitas. Dalam perspektif mentalitas; mental menerabas, sikap instan, menyepelekan mutu, menjauhi disiplin dan menafikan etos kerja, merupakan kondisi aktual dan profil sebagian besar masyarakat negara ini. Kondisi empiris ini menjadi masalah besar dalam upaya membangun sinergi kebudayaan, agama dan sains yang berorientasi kualitas.<br /><br />Contoh konkret terjadinya pengikisan budaya adalah banyaknya masyarakat Bali yang tidak mengenal lagi budayanya dengan baik. Bahkan sejak kecil mereka seperti kehilangan budaya mereka. Tidak sedikit diantara anak-anak Bali tersebut yang tidak mengenal lagi cerita rakyat. Posisi Ni Tuung Kuning, Rare Angon, dan I Siap Badeng kini telah digantikan oleh Doraemon, Sinchan, Sailormoon, Batman dan rupa-rupa tokoh kartun lainnya yang seluruhnya merupakan produk impor. Padahal di dalam beragam cerita rakyat tersebut mengandung banyak sekali nilai-nilai luhur kemanusiaan yang diyakini mampu menghaluskan budi pekerti anak-anak Bali yang belum tentu terkandung dalam cerita impor yang tidak sejalan dengan budaya Bali. Bahkan, tak jarang isi buku itu justru menyesatkan dan membuat generasi muda kehilangan pijakan sebagai manusia Bali dan membuat semakin berjaraknya masyarakat Bali dengan seni budayanya yang adiluhung.<br /><br />Nasib yang sama juga menimpa permainan tradisional Bali. Goak Maling Taluh, Meong-meongan dan Teng, Teng, Nyer. Permainan sederhana yang dinyakini mampu meneguhkan jiwa sportivitas anak-anak Bali itu kini sudah tidak ada lagi yang melirik. Saat ini, anak-anak Bali lebih merasa betah duduk berjam-jam di depan perangkat elektronik bernama playstation lengkap dengan beragam menu permainan beraroma kekerasan. Mereka pun tak perlu lagi bersosialisasi dengan rekan-rekan sebaya lantaran semua permainan itu bisa dilakoni seorang sendiri. Tanpa disengaja, ragam permainan berbasis teknologi canggih itu pun menggiring anak-anak Bali menjadi pribadi yang individualis, agresif dan egois.<br /><br />Keterasingan dengan permainan rakyat asli Bali tidak hanya terjadi pada anak-anak di kawasan perkotaan saja tapi juga merambah anak-anak di pedesaan. Padahal permainan rakyat tersebut mengandung nilai nilai positif. Pertama, dengan mengenal permainan rakyat itu, anak-anak akan tergugah untuk lebih menghargai, menghayati dan membanggakan seni budaya yang dimilikinya. Sebab, permainan rakyat itu merupakan budaya lokal yang boleh jadi tidak ada di daerah/negara lainnya. Kedua, permainan rakyat juga sangat konstruktif dalam pengembangan kepribadian anak-anak. Permainan rakyat tersebut akan memupuk jiwa kebersamaan anak-anak karena permainan rakyat itu cenderung bersifat kolektif atau harus dilakukan oleh banyak orang. Di sini, anak-anak dituntut bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan rekan sebayanya. Permainan rakyat ini juga merupakan media pembelajaran yang efektif bagi anak-anak untuk belajar berdemokrasi, menghargai kesepakatan bersama dan berani mengeluarkan pendapat. Dalam permainan rakyat, anak-anak dididik untuk bersikap jujur dan sportif karena permainan rakyat seringkali berakhir dengan predikat kalah dan menang. Selain itu, permainan rakyat juga sangat relevan untuk mendidik anak-anak menjadi insan yang taat hukum mengingat di dalam permainan rakyat itu ada sejumlah rambu-rambu atau peraturan yang wajib ditaati di mana peraturan itu disusun oleh mereka sendiri berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dalam permainan tersebut.<br /><br />Ragam permainan rakyat Bali juga mengandung unsur keindahan. Di samping menghayati betapa nikmatnya bermain, kerapkali anak-anak juga menikmati indahnya lagu dan tari-tarian karena sebagian permainan rakyat Bali juga disertai dengan gerak tari dan lagu-lagu. Apalagi jika permainan itu diiringi dengan gamelan sederhana seperti rindik bambu sehingga nuansa estetisnya makin mencuat.<br /><br />Globalisasi tidak hanya berpengaruh kepada kehidupan budaya masyarakat Bali, tapi juga berdampak pada lingkungan Bali. Pembangunan sebagai dampak komersialisasi dari industri pariwisata, yang lebih banyak terfokus pada pembangunan fisik dan infrastruktur, tanpa disertai oleh pembangunan lingkungan yang berkelanjutan, banyaknya lahan di Bali yang mengalami kerusakan atau mengalami konversi dari sawah dan kebun menjadi hotel, resort dan villa, terjadinya abrasi pantai yang terus menerus, kerusakan terumbu karang, belum lagi tingginya polusi di banyak kota di Bali akibat meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.<br /><br />Untuk mengantisipasi kerusakan alam yang terjadi, Bali tetap bertahan dengan menjalankan ajaran agamanya yang tidak lepas dari filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana mengandung arti tiga penyebab kesejahteraan. Kesejahteraan dapat dicapai melalui hubungan yang harmoni antara ketiga elemen yaitu antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan) dan manusia dengan alam sekitar (palemahan). Bagi masyarakat Bali, Tri Hita Karana mempunyai makna yang mendalam dimana ada konsep kepemilikan yang saling terkait di antara ketiga elemen. Bila manusia merasa memiliki planet bumi ini, maka ia akan bertanggung jawab dalam melestarikannya dan berhenti bermusuhan satu dengan lainnya. Industrialisasi telah menyebabkan individualisme dan bila dihadapkan pada suatu tanggung jawab, orang akan cenderung bertanya mengapa saya yang harus melakukannya. Tri Hita Karana mempunyai konsep yang berbeda, mengapa bukan saya? Setiap individu harus ambil bagian dalam menjaga keharmonisan di antara sesama dan alamnya. Dengan demikian industrialisasi dapat terus berjalan, dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Contoh yang mudah adalah memikirkan pembuangan limbah yang memenuhi kaidah amdal sewaktu membangun sarana fisik seperti hotel atau pabrik misalnya.<br /><br />Pembangunan yang dilakukan pemerintah juga tidak jarang menimbulkan masalah tersendiri. Pesatnya pembangunan yang terjadi di Bali telah menjadi magnet raksasa yang mampu menarik para pendatang. Pembangunan yang terjadi di Bali harusnya mampu diterjemahkan secara benar oleh pemerintah, apakah itu merupakan pembangunan Bali atau pembangunan di Bali.<br /><br />Pembangunan Bali lebih menitikberatkan pada membangun Bali dengan memprioritaskan potensi dan sumber daya Bali. Modal, tenaga kerja maupun sumber produksi lainnya dengan memanfaatkan sumber lokal. Dengan demikian berbagai piranti untuk mendukung pemanfaatan sumber daya lokal diciptakan, dikondisikan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Model ini membawa konsekuensi bahwa hasil-hasil pembangunan Bali benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat Bali, dinikmati oleh sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Hal ini akan memberikan multiplier effect di daerah Bali, pelipatgandaan pendapatan, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan sarana lainnya akan terjadi di Bali dan oleh masyarakat Bali. Sementara itu, pembangunan di Bali memang banyak aktivitas dan kegiatan ekonomi dilakukan di Bali, namun sarana dan prasarana produksi tidak tertutup kemungkinannya sebagian besar berasal dari luar daerah. Modal, tenaga kerja serta sarana produksi lainnya dibawa dari luar daerah. Dengan demikian aktivitas ekonomi kelihatan tinggi di Bali, tetapi multiplier efect serta pelipatgandaanya akan terjadi di luar daerah Bali. Jika kondisi ini terjadi maka tidak salah orang mengatakan bahwa masyarakat Bali hanya sebagai penonton terhadap glamornya aktivitas ekonomi di Bali.<br /><br />Dan semoga saja pembangunan dan modernisasi yang terjadi di Bali tidak menjadikan masyarakat Bali kehilangan tradisinya dan menempatkan masyarakat Bali hanya sebagai sebutan semata tanpa adat dan budaya.<br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-2393416319492956382008-11-09T07:12:00.000-08:002008-11-10T23:56:16.906-08:00Kebudayaan JawaDaerah kebudayaan Jawa sangatlah luas meliputi seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa. Ada daerah yang disebut daerah Kejawen yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar yang tersebut di atas disebut daerah Pesisir dan Ujung Timur. Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka seluruh kebudayan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah yakni Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa.<span class="fullpost"><br />Sama halnya dengan daerah Kejawen lainnya, di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebelah selatan terdapat kelompok-kelompok masyarakat orang Jawa yang masih mengikuti atau mendukung kebudayaan Jawa ini. Pada umumnya, mereka itu membentuk kesatuan-kesatuan hidup yang menetap di desa-desa.<br /><br />Penduduk <br />Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta data pada tahun 2004. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu saja Jakarta mereka banyak ditemukan. Selain suku Jawa baku terdapat subsuku Osing dan Tengger.<br />Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan dan halus.Tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.<br />Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.<br />Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia ataupun status sosialnya. <br /><br />Bentuk Desa<br />Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang Jawa, di daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara adminstratif desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah bagian desa ini diketuai oleh seorang Kepala Dukuh. Di sini dijumpai sejumlah perumahan penduduk beserta tanah-tanah pekarangannya, yang satu sama lain dipisah-pisahkan dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan. Ada di antara rumah-rumah itu yang dilengkapi dengan lumbung padi, kandang-kandang ternak dan perigi, yang dibangun di dekat-dekat rumah atau di halaman pekarangannya. Kemudian sebuah dukuh dengan dukuh lainnya, dihubungkan oleh jalan-jalan desa, yang luasnya sering tidak lebih dari 2 meter. Selain rumah-rumah tersebut yang tampak berkelompok, dan yang sebagian berjajar menghadap jalan desa itu, ada juga Balai Desa, tempat pemerintahan desa berkumpul, atau mengadakan rapat-rapat desa, yang diadakan tiap-tiap 35 hari sekali. Untuk menampung kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan, dan sosial ekonomi rakyat, biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau masjid.<br /><br />A. MITOLOGI KEBUDAYAAN JAWA<br /><br />Pemahaman Tentang Mitos<br />Kebudayaan Jawa mempunyai ciri khas yaitu terletak dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat mempertahankan keasliannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebudayaan Jawa tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam mencerna masukan-masukan budaya dari luar. Hal tersebut menjadikan kebudayaan Jawa kaya akan unsur-unsur budaya yang kemudian menyatu dan menjadi milik kebudayaan Jawa sekarang ini di mana berbagai macam persilangan budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan budaya Jawa.<br /><br />Ratu Kidul dalam Mitos<br />Di kalangan masyarakat Jawa, sebenarnya terdapat banyak cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul. Salah satu cerita dalam Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa waktu kerajaan Pajajaran di bawah kekuasaan Prabu Mundingsari, ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Suwidi. Putri tersebut mempunyai kebiasaan bertapa dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Banyak sekali raja dan pangeran yang melamarnya, tetapi tidak satupun yang diterima karena ia lebih mementingkan segi kerohanian. Penolakan-penolakan itu membuat Sang Prabu marah dan prihatin terhadap putrinya. Akibatnya, ia mengusir putrinya sendiri dari kerajaan. Kemudian Ratna Suwidi mengembara seorang diri, naik turun gunung dan menembus lebatnya hutan menuju ke arah timur. Tujuannya adalah mencari tempat yang cocok untuk bertapa. Akhirnya, ia menemukan puncak Gunung Kombang yang dirasa cocok untuk bertapa. Di puncak gunung itu ada sebatang cemara. Dengan kesaktiannya, ia mengubah diri menjadi lelaki. Pohon cemara yang berada di puncak gunung tersebut diabadikan menjadi nama samarannya yaitu Hajar Cemara Tunggal. Sang pertapa ini kemudian terkenal dengan kesaktiannya.<br />Pada suatu hari, Hajar Cemara Tungal didatangi dewa dan ditanya tentang keinginannya bertapa terus menerus. Ratna Suwidi menJawab bahwa ia ingin sekali tidak bisa meninggal dunia dan bisa hidup sepanjang zaman. Kemudian dewa berkata bahwa manusia tidak dapat hidup sepanjang zaman, tetapi keinginan Ratna Suwidi itu dapat terkabulkan apabila ia bersedia menjadi makhluk halus. Dengan menyetujui saran dewa tersebut, maka Ratna Suwidi kemudian berubah menjadi makhluk halus yang membawahi semua makhlus di seluruh tanah Jawa.<br />Dikisahkan pula waktu Hajar Cemara Tunggal masih berada di puncak Gunung Kombang, ia didatangi Raden Sesuruh, seorang putra mahkota kerajaan Pajajaran yang melarikan diri bersama pengikutnya karena terjadi perebutan kekuasan. Hajar Cemara Tunggal tahu maksud dan tujuan Raden Sesuruh yang datang menemuinya. Sang Hajar kemudian memberi petunjuk kepada Raden Sesuruh supaya berjalan terus ke arah timur. Apabila nanti di suatu tempat menemukan batang pohon Kemaja berbuah hanya satu dan rasanya pahit, maka tempat itulah yang dapat digunakan oleh Raden Sesuruh untuk memegang kekuasaan dan menurunkan raja di tanah Jawa. Dari tempat itulah Raden Sesuruh dapat membalas sakit hati atas perlakuan raja Pajajaran.<br />Hajar Cemara Tunggal kemudian menceritakan kisah pelariannya dan siapa sebenarnya dirinya. Berdasarkan garis keturunan, sebenarnya Hajar Cemara Tunggal adalah adik perempuan dari kakek Raden Sesuruh. Tetapi di tengah-tengah cerita tiba-tiba Sang Hajar berubah wujudnya, ia berubah menjadi putri cantik Ratna Suwidi. Berkat kesaktiannya, ia dapat mancala putra-mancala putri. Raden Sesuruh terpesona dan jatuh cinta kepada putri cantik yang ada di depannya tersebut kemudian ia mendekati dan merayunya. Seketika itu juga putri itu menghilang dari pandangan mata Raden Sesuruh dan menjelma menjadi Hajar Cemara Tunggal lagi. Dengan rasa malu, Raden Sesuruh segera bersujud di kaki Sang Hajar meminta maaf.<br />Sang Hajar melanjutkan ceritanya dengan nada menghibur, bahwa kelak apabila Raden Sesuruh telah dinobatkan sebagai raja Majapahit, mereka akan bertemu kembali. Kelak setelah Raden Sesuruh memegang kekuasaan dan membawahi seluruh tanah Jawa, Hajar Cemara Tunggal tidak lagi bertapa di Gunung Kombang, melainkan pindah ke samudera pasir. Selama bertahta di samudera pasir atau Laut Selatan Jawa, ia akan berubah wujud seperti semula yaitu sebagai putri yang cantik jelita dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Pesan terakhir Sang Hajar kepada Raden Sesuruh adalah apabila Raden Sesuruh beserta keturunannya yang menjadi raja tanah Jawa menemui halangan, sebaiknya memanggil Sang Hajar. Dengan sekejap, Sang Hajar pasti akan datang bersama makhluk halus bawahannya. Selain itu, kelak akan ada keturunan Raden Sesuruh yang menjadi raja Jawa akan dapat mengawini Kanjeng Ratu Kidul<br /><br />Peran Mitologi Kanjeng Ratu Kidul<br />Dalam modelnya, Leach (1981:82) menjelasan bahwa aktivitas-aktivitas ritual merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan dunia datan kasat mata. Praktik-praktik keagamaan seperti penyelenggaraan Tari Bedaya Lambang Sari dan Tari Bedaya Semang merupakan usaha dari para penguasa Mataram untuk berhubungan dengan alam supranatural.<br />Pada prinsipnya, mitologi Kanjeng Ratu Kidul digunakan oleh penguasa Kasultanan Yogyakarta sebagai kerangka acuan dalam menjalankan pemerintahan. Selain itu juga digunakan untuk menjamin keselamatan dan ketentraman hidup serta digunakan sebagai pengantara manusia dengan alam supranatural. <br /> <br />B. BAHASA DAN AKSARA JAWA<br />C.1 Bahasa Jawa<br />Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau Jawa. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah tingkatannya atau status sosialnya. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Bahasa Jawa Krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal tetapi yang sebaya dalam umur dan derajat, juga terhadap orang yang umurnya lebih tua atau status sosialnya lebih tinggi. Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa. <br />Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :<br />• Dialek daerah, dan <br />• Dialek sosial <br />Beberapa jenis dialeg Jawa :<br />Dialeg Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain.<br />Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Semarang. Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frase, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya<br />Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah. Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.<br />Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu, tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek "bandek" (Yogya-Solo) dan dialek "ngapak" (Banyumas).<br />Dialek Tegal adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Tegal. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya, yaitu pengucapan kata dan kalimat yang agak kental.<br /><br />C.2 Aksara Jawa <br />Bahasa Jawa memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubah sesuai dari huruf Arab.<br />Hanacaraka atau dikenal dengan nama caraka adalah abjad / alat tulis yang digunakan oleh suku Jawa (juga Madura, Sunda, Bali, Palembang, dan Sasak). Aksara Jawa bila diamati lebih lanjut memiliki sifat silabik (kesuku-kataan). Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili 2 buah huruf (aksara) dalam huruf latin.<br />Pasangan berguna untuk menuliskan huruf mati. Pasangan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup (diakhiri) konsonan dengan suku kata berikutnya.<br />Aksara Murda<br />Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan :<br /> Nama Gelar <br /> Nama Diri <br /> Nama Geografi <br /> Nama Lembaga Pemerintah <br /> Dan Nama Lembaga Berbadan Hukum.<br />Aksara swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya.<br />Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. Di dalam tulisan Jawa, aksara yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a.<br /> Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh doi dalam bahasa Indonesia, misalnya : <br /> Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa<br /><br />C. MATA PENCAHARIAN<br />Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang. Terutama bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang Jawa. Meski banyak pengusaha Indonesia yang sukses berasal dari suku Jawa, orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri, banyak diantara suku Jawa bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja indonesia seperti pembantu, dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang. Dan tentunya kini semakin bertambah banyak. Banyak variasi pekerjaan sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki.<br />Selain itu, bertani juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat orang Jawa di desa-desa. Di dalam melakukan pekerjaan pertanian ini, diantara mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering (tegalan), terutama mereka yang hidup di daerah pegunungan. Sedangkan yang lain, yaitu yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-tanah pertanian tersebut untuk dijadikan sawah. Biasanya disamping tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu musim kemarau dimana air sangat kurang untuk pengairan sawah-saah itu. Tanaman penyela tersebut, diantaranya adalah ketela pohon, ketela rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, kacang brol, dan lain-lain.<br />Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok bertani tersebut, adapula beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha kerja sambilan membuat makanan tempe, mencetak batu merah, membuat minyak goreng kelapa, membatik, menganyam tikar, dan menjadi tukang-tukang kayu, batu atau reparasi sepeda dan lapangan-lapangan pekerjaan lain yang mungkin dikerjakan.<br />D. SISTEM KEMASYARAKATAN <br /> Lapisan sosial<br /> Priyayi<br />Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa para dan yayi yang secara harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja. Namun menurut Robson (1971) kata ini bisa pula berasal dari kata Sansekerta priyā, yang berarti kekasih.<br />Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.<br />Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.<br />Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi-non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.<br /> Ningrat <br />Adalah keluarga keraton dan keturunan bangsawan lainnya. Yang biasanya mempunyai gelar-gelar yang menandakan tingkat kebangsawanannya. Misalnya seorang laki-laki ningrat yang merupakan keturunan langsung (generasi pertama) dari raja/pemimpin yang memerintah akan mendapat tambahan Bandara (baca "bandoro") di depan gelarnya, sehingga menjadi Bandara Raden Mas (disingkat BRM).<br /><br /> Wong Cilik<br />Merupakan golongan masyarakat yang paling bawah, biasanya hidup didesa-desa dengan sesuai dengan mata pencaharian mereka sebagai petani, tukang dan pekerja kasar lainnya. Golongan ini juga dapat digolongkan lagi menjadi :<br />a. Wong baku<br />Merupakan lapisan tertinggi dalam lingkungan desa di Jawa, mereka adalah keturunan orang-orang yang dahulu yang pertama kali menetap didesa, mereka memiliki sawah, rumah, serta pekarangannya.<br />b. Kuli gandok atau lindung<br />Mereka adalah orang laki-laki yang sudah kawin, akan tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri,sehingga terpaksa menetap di kediaman mertuanya.<br />c. Joko, sinoman, atau bujangan<br />Mereka semua belum menikah, dan masih tinggal bersama orang tuanya atau tinggal (ngenger) dirumah orang lain. akan tetapi golongan bujang ini bisa mempunyai tanah baik dari pembelian atau warisan.<br />Desa-desa di Jawa sering dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang disebut dukuh, oleh karena itu dalam susunan kepemimpinan desa tiap-tiap dukuh diketuai oleh kepala dukuh. Dalam hal memelihara dan membangun masyarakat desanya, para pamong desa harus sering menggerakkan masyarakat dengan gugur gunung atau kerik desa guna bekerja sama membersihkan, memperbaiki dan membuat sarana fasilitas pedesaan. <br /><br />E. SISTEM KEKERABATAN<br />Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki atau wanita ayah dan ibu beserta istri atupun suami masing – masing diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah siwa atau uwa. Adapun adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin menjadi paman dan bibi. <br />Dalam adat masyarakat Jawa dikenal adanya ngarang wulu serta wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi merupakan pernikahan sororat. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari satu istri (poligami).<br />Masyarakat Jawa mengenal beberapa sistem pernikahan, yaitu :<br />a. Pelamaran biasa<br />b. Magang atau ngenger, ialah seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.<br />c. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga kyai agung.<br />d. Ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak kerabat si gadis yang melamar si jejaka.<br />e. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan seorang pria dan wanita atas kemauan kedua orang tua mereka.<br />Menurut adat Jawa apabila akan diadakan suatu perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan berbagai upacara-upacara sampai dilaksanakannya peresmian perkawinan. Upacara- upacara tersebut adalah<br /> Nakokake<br />Seorang pria pertama-tama datang ke kediaman orang tua si gadis dengan didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang tuanya untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis sudah ada empunya atau belum (legan). Jika orang tua si gadis telah meninggal, hal itu yang disebut nakokake kepada wali, yakni anggota kerabat dekat menurut garis laki – laki (patrilineal). <br /> Nontoni<br />Calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon istrinya.<br /> Persiapan <br />Penunjukkan Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi pemimpin dari acara pernikahan. Dia mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin, perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan. <br />Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta pernikahan. Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang terdiri dari teman dekat, keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakang dan berapa banyaknya tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih). <br />Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah Ijab (catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri.<br />Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), terdiri dari berbeda Tuwuhan (tanaman dan daun), yaitu :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.1 Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak<br /><br />• Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti: Suami akan menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang sangat mudah tumbuh dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja. <br />• Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang bersama untuk bantuan nikah. <br />• Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka. <br />• Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap srep berarti: Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi keluarga. <br />• Bekletepe <br />Bleketepe yang berada di atas pintu gerbang berarti menjauhkan dari gangguan roh jahat dan menunjukan di rumah mana pesta itu diadakan. <br /><br /><br /><br /><br /><br />Selain pemasangan tarub juga dikenal adanya Kembar Mayang yang merupakan karangan dari bermacam daun (sebagian besar daun kelapa di dalam batang pohon pisang). Itu dekorasi sangat indah dan mempunyai arti yang luas. <br />• Mempunyai bentuk seperti gunung. Gunung itu tinggi dan besar, berarti laki-laki harus punya banyak pengetahuan, pengalaman dan kesabaran. <br />• Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana. <br />• Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan hasrat untuk kehidupan yang baik. <br />• Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya. <br />• Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam mengambil keputusan untuk keluarganya. <br />• Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang tinggi. <br />• Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi keluarganya dan masyarakat sekitarnya. <br />• Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan setan. <br />• Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai pikiran yang jernih dan tenang dalam mengadapi masalah. <br />• Daun Dlingo Benglé: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya, itu digunakan untuk melindungi gangguan setan. <br />• Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah karangan.<br />Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat hidangan spesial yang dinamakan Sajen. Tradisionil Sajen (persembahan) dalam pesta adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah simbol yang sangat berarti, di mana Tuhan Pencipta melidungi kami. Sajen berarti untuk mendoakan leluhur dan untuk melindungi dari gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat di mana pesta itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah pintu gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-lain. <br />Siraman sajen terdiri dari:<br />• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan. <br />• Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan. <br />• Makanan: ayam, daging, tahu, telur. <br />• Tujuh macam bubur. <br />• Pisang raja dan buah lainnya. <br />• Kelapa muda. <br />• Kue manis, lemper, cendol. <br />• Teh dan kopi pahit. <br />• Rokok dan kretek. <br />• Lantera. <br />• Buna Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan air Suci.<br /> Siraman. <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.3 Siraman<br />Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum Ijab dan Panggih. Siraman di adakan di rumah orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman. Daftar nama dari orang yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya orangtua, tetapi juga keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi orang yang bermoral baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya tujuh orang. Bahasa Jawa tujuh itu PITU, mereka memberi nama PITULUNGAN (berarti menolong). Yang harus dipersiapkan:<br />• Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga atau perunggu. Air dari sumur atau mata air. <br />• Bunga Setaman - mawar, melati, magnolia dan kenanga - di campur dengan air. <br />• Aroma - lima warna - berfungsi seperti sabun. <br />• Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang, santan, air asam Jawa). <br />• gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama. <br />• Kursi kecil, ditutup dengan:<br />• Tikar - kain putih - beberapa macam daun - dlingo benglé (tanaman untuk obat-obatan) - bango tulak (kain dengan 4 macam motif) - lurik (motif garis dengan potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu). <br />• Memakai kain putih selama Siraman. <br />• Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari. <br />• Handuk. <br />• Kendi.<br />Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa air-bunga ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci Perwitosari, berarti air suci dan simbol dari intisari kehidupan. Air ini diletakan di rumah pengantin laki-laki. <br />Dalam pelaksanaan upacara Siraman Pengantin perempuan/laki-laki datang dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke tempat Siraman. Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki dengan kain batik, handuk, dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah Siraman. Dia mendudukkan di kursi dan berdoa. Orang pertama yang menyiramkan air ke pengantin adalah ayah. Ibu boleh menyiramkan setalah ayah. Setelah mereka, orang lain boleh melakukan Siraman. Orang terakhir yang melakukan Siraman adalah Pemaes atau orang sepesial yang telah ditunjuk. Pengantin perempuan/laki-laki duduk dengan kedua tangan di atas dada dengan posisi berdoa. Mereka menyiramkan air ke tangannya dan membersihkan mulutnya tiga kali. Kemudian mereka menyiramkan air ke atas kepala, wajah, telinga, leher, tangan dan kaki juga sebanyak tiga kali. Pemaes menggunakan tradisionil shampoo dan conditioner. Setelah Kendi itu kosong, Pemaes atau orang yang ditunjuk memecahkan kendi ke lantai dan berkata: 'Wis Pecah Pamore' - berarti dia itu tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).<br />Upacara Ngerik <br />Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin. Pemaes mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi pewangi (ratus) di seluruh rambutnya. Dia mengikat rambut ke belakang dan mengeraskannya (gelung). Setelah itu Pemaes membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap untuk di dandani. Pemaes sangat behati-hati dalam merias pengantin. Dandanan itu tergantun dari bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita memakai kebaya dan kain batik dengan motif Sidomukti atau Sidoasih. Itu adalah simbol dari kemakmuran hidup. <br /><br /> Upacara Midodareni <br />Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat sama dengan Ijab dan Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang berarti Dewi. Pada malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi cantik sama seperti Dewi. Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan datang dari kayangan. Pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai tengah malam di temani dengan beberapa wanita yang dituakan. Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita akan datang berkunjung; semuanya harus wanita. <br />Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan untuk yang terakhir kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan bertanggung Jawab. <br />Yang harus diletakan di kamar pengantin :<br />• Satu set Kembar Mayang. <br />• Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras, kacang, dan lain-lain) di lapisi dengan kain Bango Tulak. <br />• Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi dengan daun dadap srep. <br />• Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan bunga) diletakan di bawah tempat tidur. <br />• Suruh Ayu (daun betel).<br />• Kacang Areca.<br />• Tujuh macam kain dengan corak letrek. <br />Di tengah malam semua sajen di ambil dari kamar. Keluarga dan tamu dapat makan bersama. Di kamar lain, keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita bertemu dengan keluarga dari pengantin laki-laki. <br /> <br /> Peningsetan atau Srah-Srahan<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.4 Upacara Srah-srahan<br />Peningsetan berasal dari kata singset (berarti ikatan). Kedua keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan. Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin perempuan. Mereka membawa hadiah: <br />• Suruh Ayu (daun betel), mengharapkan untuk keselamatan. <br />• Beberapa kain batik dengan corak berbeda, mengharapkan untuk kebahagiaan dan kehidupan yang baik. <br />• Kain Kebaya. <br />• Setagen putih untuk tanda kekuatan. <br />• Buah-buahan, mengharapkan kesehatan. <br />• Beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain, tanda dasar kehidupan. <br />• Cincin untuk pasangan pengantin. <br />• Sumbangan uang untuk pesta pernikahan. <br /><br />Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah. Hanya pengantin laki-laki tidak bisa bertamu ke kamar pengantin perempuan yang sudah bagus di dekorasi. Pengantin laki-laki tiba bersama dengan keluarganya, tetapi dia tidak boleh masuk ke rumah. Hanya keluarganya boleh masuk ke rumah. Dia duduk di serambi depan rumah bersama dengan beberapa teman dan keluarga. Selama itu, dia hanya diberi segelas air dan tidak boleh merokok. Dia boleh makan hanya setelah malam hari. Dengan maksud agar dia bisa menahan lapar dan godaan. Sebelum keluarganya meninggalkan rumah, utusan dari keluarga pengnatin laki-laki mengatakan kepada tuan rumah bahwa mereka akan mengambil alih tanggungJawab pengantin laki-laki. Utusan menyatakan bahwa pengantin laki-laki tidak kembali ke rumah. Setelah pengunjung meninggalkan rumah, pengantin laki-laki boleh masuk ke rumah, tetapi tidak ke kamar pengantin. Orangtua dari pengantin perempuan akan mengurus penginapannya. <br />Itu disebut Nyantri. Nyantri dilakukan untuk keamanan dan praktisnya, dengan pertimbangan bahwa besok dia harus berpakaian pengantin dan siap untuk Ijab dan upacara pernikahan lain.<br /> Upacara Ijab <br />Upacara ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Tempat di adakan Ijab diletakan Sanggan atau Sajen disekitarnya. Pengantin wanita dengan gelungan, minyak rambut mengkilap, perhiasan emas dan kebaya untuk saat ini. Pengantin laki-laki juga berpakaian khusus untuk upacara ini. Pasangan pengantin muncul terbaik. Mereka dihormati seperti Raja dan Ratu di hari itu. <br /> <br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.5 Upacara Ijab<br />Setelah selesainya rangkaian persiapan maka dilanjutkan dengan upacara perkawinan. Upacara perkawinan menurut adat Jawa terdiri dari beberapa tahapan yaitu :<br /> Upacara Panggih<br />Suara sangat bagus dan mistik dari Gamelan digabungkan dengan tradisi Panggih atau Temu: pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub. Pengantin laki-laki di antar oleh keluarga dekatnya (tetapi bukan orangtuanya karena mereka tidak boleh berada selama upacara), tiba di rumah dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita, di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya. Di depannya dua puteri disebut Patah, dengan membawa kipas. Dua wanita dituakan atau dua putera membawa dua Kembar Mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih. Satu orang wanita dari keluarga pengantin laki-laki berjalan keluar dari barisan dan memberi Sanggan ke ibu pengantin perempuan, sebagai tanda dari penghargaan kepada tuan rumah dari upacara. Selama upacara Panggih, Kembar Mayang di bawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah, melukiskan bahwa setan tidak akan menggangu selama upacara di rumah dan di sekitarnya. Untuk dekorasi, dua Kembar Mayang diletakan di samping kanan dan kiri dari kursi pasangan pengantin. Dekorasi itu hanya digunakan bila pasangan pengantin sebelumnya tidak pernah menikah. <br /> Upacara Balangan Suruh<br />Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulia melempar sebundel daun betel dengan jeruk di dalamnya bersama dengan benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain, itu akan mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau perempuan.<br /> Upacara Wiji Dadi <br />Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air dicampur dengan bermacam bunga. Itu melukiskan bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah yang bertangung Jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya. <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.6 Upacara Wiji Dadi<br /> Upacara Sindur Binayang <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.7 Upacara Sindur Binayang<br />Setelah upacara Wiji Dadi, ayah pengantin perempuan mengantar pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin perempuan menutup pundak pasangan pengantin dengan Sindur. Itu berarti bahwa ayah akan menunjukan jalan kebahagiaan. Ibu memberi dorongan moral. <br /> Upacara Timbang<br /><br /> <br /><br /> <br />Gambar 2.8 Upacara Timbang<br />Kedua pasangan pengantin duduk di atas pangkuan ayah dari pengantin wanita, sementara dia bicara bahwa mereka sama beratnya, berarti dia cinta mereka sederajat. <br /> Upacara Tanem <br />Ayah pengantin wanita mendudukan pasangan pengantin ke kursi pengantin. Itu melukiskan bahwa dia menyetujui perkawinan. Dia memberi restu.<br /> Upacara Tukar Kalpika <br />Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta.<br /> <br /> Upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.9 Upacara Kacar-Kucur<br /><br />Dengan dibantu oleh Pemaes, pasangan pengantin berjalan bergandengan tangan dengan jari kelingking ke tempat upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya. Di sana, pengantin perempuan mendapat dari pengantin laki-laki beberapa kedelai, kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo benglé, bunga, dan beberapa mata uang yang berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Itu melukiskan bahwa suami akan memberi semua gajinya ke istrinya. Pengantin perempuan sangat berhati-hati dalam menerima pemberiannya di dalam kain putih, di atas tikar yang sudah diletakan di pangkuannya. Dia akan mengurus dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. <br /> Upacara Dahar Klimah atau Dahar Kembul <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.10 Upacara dahar klimah<br />Pasangan pengantin makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Pemaes, menjadi pemimpin dari upacara, memberi piring ke pengantin wanita (dengan nasi kuning, dadar telur, tahu, tempe, abon dan hati ayam). Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lain.<br /> Upacara Mertui<br />Orangtua pengantin wanita menjemput orangtua pengantin laki-laki di depan rumah. Mereka berjalan bersama menuju ke tempat upacara. Kedua ibu berjalan di depan, dan kedua ayah berjalan di belakang. Orangtua dari pengantin laki-laki duduk di sebelah kiri dari pasangan pengantin. Orangtua dari pengantin perempuan duduk di sebelah kanan dari pasangan pengantin. <br /> Upacara Sungkeman<br /><br /><br /><br /><br /> <br />Gambar 2.11 Upacara Sungkeman<br />Mereka bersujud untuk mohon doa restu dari orangtua mereka. Pertama ke orangtua pengantin wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya. Orantua pasangan pengantin memakai motif batik yang sama (Truntum), berarti pasangan akan selalu mempunyai cukup keuntungan untuk hidup baik, mereka juga memakai Sindur seperti ikat pinggang. Warna merah dari Sindur dengan pinggir berliku berarti bahwa hidup itu seperti sungai mengalir di gunung. Orangtua mengantar mereka ke kehidupan nyata dan mereka akan membentuk keluarga yang kuat.<br />Setelah upacara Pernikahan, dilanjutkan dengan pesta resepsi. Pasangan pengantin baru bersama dengan orangtuanya menerima ucapan selamat dari para tamu. Bersamaan dengan itu, beberapa penari Jawa menpertunjukan (tari klasiek Gathot Kaca-Pergiwo, fragment dari cerita wayang atau tari lebih modern Karonsih). Semantara semua tamu menikmati pesta dan makan santapan, diiringi suara gamelan di ruang resepsi. <br /> <br /><br /> <br /><br /><br /><br />Gambar 2.12 Tari Klasiek<br />Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar, atau sama dengan lima hari sejak mereka dipertemukan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi di tempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten. <br />Selain masalah perkawinan, dalam adat Jawa juga diatur mengenai masalah perceraian (pegatan). Dalam hal ini, perceraian hanya bisa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, istri tidak dalam keadaan hamil dan di hadapan pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak. Sedangkan sebaliknya istri pun berhak meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Apabila seorang istri meminta cerai sedangkan suaminya tidak bersedia maka istri mengadu kepada kaum yang akan meneruskan pengaduan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Akhirnya, Kantor Urusan Agama Kabupaten yang akan memberi keputusan.Pengaduan gugatan perceraian bertingkat-tingkat tersebut dinamakan rapak. <br />Apabila setelah bercerai, suami istri ingin rukun kembali sebelum melebihi jangka waktu seratus hari maka disebut rujuk, sedangkan apabila hal itu dijalankan melebihi batas waktu tersebut dinamakan balen. Baik rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, karena apabila sudah mencapai talak sebanyak tiga kali maka suami istri tersebut harus bercerai selamanya. Dalam hubingan ini sorang janda dapat bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah lewat masa iddahnya, yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid.<br />Dalam sebuah keluarga (kulawarga atau keluarga-batih) Jawa kepala keluarga disebut somah. keluarga-batih dalam bentuk keluarga yang luas adalah suatu pengelompokan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal. Suatu kekerabatan yang lain ialah sanak-sadulur yang terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang sampai derajat ketiga. Selain itu terdapat kelompok kekerabatan lain yang disebut alurwaris. Kelompok ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya, yang tugasnya memelihara makam leluhur.<br />Setelah pernikahan pasangan pengantin Jawa bebas menentukan apakah ia akan menetap di sekitar tempat kediaman sendiri atau kerabat, atau mereka memilih untuk tinggal di tempat tinggal yang baru. Adat menetap sesudah nikah ada tiga sifat:<br />a. Utrolokal, artinya mempunyai tempat tinggal sendiri yang terlepas dari tempat menetap kerabat masing-masing pihak.<br />b. Neolokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat tempat kediaman kerabat suami.<br />c. Uxorilokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat tempat kediaman kerabat istri.<br />Dalam pembagian warisan harta peninggalan orang tua dikenal adanya 2 macam cara yaitu perdamaian dan sepikul segendongan. Menurut cara perdamaian, pembagian harta dilakukan melalui permusyawaratan antara para ahli waris. Biasanya orang tua cenderung memberikan rumah kediamannya kepada tabon, yaitu seorang anak laki-laki atau perempuanyang tetap tinggal di rumah bersama orang tua. Pemeliharaan benda pusaka diserahkan kepada anak laki-laki tertua, sedangkan ternak dibagikan sama sesuai jumlah yang ada.<br />Menurut cara sepikul segendongan, anak laki-laki ditetapkan mendapat bagian 2/3 sedangkan perempuan 1/3 dari seluruh jumlah warisan orang tua. Biasanya dipergunakan untuk pembagian warisan tanah pekarangan. Besarnya jumlah pembayaran pajak dituliskan dalam surat tanda pembayaran pajak yang disebut kohir (petuk) yang biasanya dipegang ahli waris yang paling tua.<br />Tanah pertanian (sawah) yang bisa diwariskan adalah sawah sanggan (milik pribadi) yang terdiri atas tiga macam yaitu:<br />a. Sawah gantungan, merupakan sawah bagian warisan dari seseorang yang pergi meninggalkan sawah tadi, sehingga harus dipelihara dan digarap oleh saudaranya sendiri, tetapi setelah ia datang hak dan kewajiban tanah pertanian itu kembali kepadanya. <br />b. Sawah dunungan, sesungguhnya belum menjadi harta warisan namun sudah ditunjuk kepada siapa masing-masing bagian sawah itu akan diberikan. Biasanya anak yang lebih tua mendapat bagian di sebelah barat dan anak yang muda di sebelah timur.<br />c. Sawah garapan, sawah ini juga belum menjadi benda warisan tetapi sudah diberi ijin dari orang tua untuk digarap oleh anak-anak atau menantu laki-lakinya dan setelah orang tua meninggal akan menjadi warisan bagi penggarapnya.<br />Dalam adat Jawa dikenal adanya pembedaan harta benda milik suami sendiri sebelum kawin (benda gawan) dan harta kekayaan yang diperoleh selama hidup bersama (benda gana gini) keduanya dapat diwariskan. Benda gawan kembali kepada kerabat masing-masing apabila suami istri tidak mempunyai anak, sedangkan benda gana gini baru dipersoalkan pembagiannya jika kedua orang tersebut bercerai, yaitu banda gana untuk suami dan banda gini untuk istri.<br /><br />F. RELIGI<br />Agama Islam berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa. Selain itu, terdapat pemeluk agama nasrani dan agama besar lainnya.Pemeluk agama Islam pada masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu :<br />• Islam Santri <br />Adalah penganut agama Islam Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya.<br />• Islam Kejawen<br />Penganut agama Islam ini beranggapan walaupun tidak menjalankan shalat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam. Kecuali itu mereka tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Tuhan mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi.<br />Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga mereka memiliki sikap nerima yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Selain itu, orang Jawa pada suatu kekuatan yang disebut kasakten, arwah atau roh leluhur, dan makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggalnya. Menurut kepercayaan makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, namun sebaliknya mereka juga dapat menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Maka apabila seorang Jawa hidup tanpa menderita gangguan ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta, misalnya dengan berpuasa, pantang makan makanan tertentu, ber¬selamatan, dan bersaji.<br />Selamatan adalah upacara makan bersama yang makanannya telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan apapun. Upacara ini dipimpin oleh modin, yaitu seorang pegawai masjid yang berkewajiban mengumandangkan adzan karena dianggap mahir membaca do keselamatan dari dalam ayat-ayat Al Quran.<br />Upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni:<br />1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, serta upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya. <br />Upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya dilakukan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang meninggal dunia, terutama keluarganya. Rangkaian upacara selamatan (sedekahan) yang ditujukan untuk menolong keselamatan roh nenek moyang tersebut di dalam akhirat ialah:<br />a. Sedekah Surtanah atau Geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Upacara adat ini diselenggarakan setelah acara penguburan jenazah. Tujuannya untuk memberikan doa supaya arwah dari orang yang meninggal itu mendapat pengampunan. Upacara surtanah ini diselenggarakan secara sederhana, yang hadir umumnya adalah saudara, tetangga yang dekat dan ulama yang diundang. Selain doa biasanya juga ada acara tahlilan yang dilanjutkan dengan mengaji bersama. Tidak ada undangna khusus untuk acara ini, umumnya tetangga hadir dengan membawa bahan-bahan panganan ( beras, telur, bahan untuk sayur, gula, kopi ataupun uang dan lain-lain )yang tujuannya untuk meringankan beban keluarga.<br />Inti dari upacara surtanah adalah berdoa, yang diutamakan untuk berdoa adalah putra-putri dari orang yang meninggal, saudara dekat, teman atau tetangga atau siapa saja yang mau ikut berdoa. Tidak ada acara kendhuren, jika ada hidangna yang disajikan itu hanya seadanya. Bisa juga jika keluarga yang ”kesripahan” ingin sodaqoh bisa dengan membuat makanan yang banyak atau menyiapkan besek untuk dibawa pulang yang hadir tapi itu tidak wajib. Yang dianjurkan adalah orang lain yang membawa bantuan untuk keluarga yang ”kesripahan”.<br />b. Sedekah Nelung dina ialah upacara selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang.<br />c. Sedekah Mitung dina ialah upacara selamatan saat sesudah menginggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh.<br />d. Sedekah Matangpuluh dina atau upacara keselamatan kematian seseorang pada hari keempat puluh.<br />e. Sedekah Nyatus yakni upacara keselamatan kematian yang diadakan sesudah hari keseratus sejak saat kematiannya.<br />f. Sedekah Mendak sepisan dan Mendak pindo, masing-masing upacara selamatan kematian yang dilakukan pada waktu sesudah satu tahun dan dua tahun dari saat meninggal seseorang.<br />g. Sedekah Nyewu, sebagai upacara selamatan sesudah kematian seseorang bertepatan dengan genap seribu harinya. Upacara juga disebut sedekah Nguwis-nguwisi artinya yang terakhir kalinya.<br />2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen padi.<br />3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam<br />4. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu berkaitan dengan kejadian-kejadian, misalnya menempati rumah atau menolak bahaya (ngruwat).<br />Selain upacara selamatan, pada masyarakat Jawa juga dikenal adanya sesajen. Sesajen merupakan penyerahan sajian pada waktu dan di tempat tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat yang dipilih biasanya tempat yang dianggap keramat dan mengandung bahaya ghaib (angker)agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Sesajen merupakan ramuan tiga macam bunga (kembang telon) yang dimasukkan ke dalam air,kemenyan, uang recehan, dan kue apem yang ditaruh dalam besek ataupun bungkusan daun pisang kemudian ditempatkan di atas meja untuk dikutug. Ada sesajen yang dibuat pada tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Masyarakat Jawa juga mengenal adanya upacara sesaji panyadran agung yang dilakukan tiap tahun oleh keluarga Kraton Yogyakarta bertepatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau disebut juga Gerebeg Mulud.<br />Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris, gamelan,bahkan pada burung perkutut, kendaraan istana (kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada raksasa Batara Kala. Untuk kendaraan istana setiap setahun sekali pada hari Jumat Kliwon pada bulan Sura dibersihkan dengan upacara siraman yang dilakukan di dalam lingkunagn istana (Ratawijaya) secara terbuka. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, air bekas siraman tersebut dapat memberi berkah. Sedangkan Batara Kala adalah raksasa yang mempuyai kekuatan sakti untuk mendatangkan bencana pada benda atau manusia, sehingga orang Jawa yang mempunyai anak akan mengadakan ruwatan untuk menghindarkan anaknya dari bahaya. Ruwatan dilakukan oleh dukun, yang pandai menyembuhkan penyakit dan mengenyahkan ruh jahat. Ruwatan biasanya disrtai pertunjukkan wayang kulit sehari semalam dengan mengambil cerita Batara Kala.<br />Dalam kehidupan masyarakat Jawa terdapat berbagai macam aliran kebatinan, yang macamya yaitu:<br />1. Gerakan atau aliran kebatinan yang keuaniyahan, yang percaya pada adanya ruh halus, atau badan halus, serta jin dan lain-lain.<br />2. Aliran yang keislam-islaman, yang ajarannya banyak mengambil unsur keimanan agama Islam, dengan syariat yang sengaja dibedakan dengan syariat Islam dan mengandung banyak unsur Hindu-Jawa.<br />3. Aliran kehindu-jawian, yang pengikutnya percaya kapada dewa agama Hindu<br />4. Aliran yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan Tuhan.<br />Contoh aliran kebatinan yang pernah berkembang di daerah selatan Yogyakarta misalnya ”ADARI” singkatan ”Agama Jawa Asli Republik Indonesia”, Hidup Betul, Hendra Pusara, Hidup Betul Iman Agama Hak, dan Parda Pusara Penitisan Rohani. Hampir semua gerakan kebatinan ini bertujuan menuju kesempurnaan hidup manusia.<br />Selain yang telah dijelaskan, terdapat upacara- upacara adat yang lain yaitu sebagai berikut :<br />• Sadran<br />Sadran merupakan Upacara masyarakat Jawa Baru (dan Madura serta mungkin juga Sunda) yang disebut dengan nama sadran atau bentuk verbal nyadran, merupakan reminisensi daripada upacara sraddha Hindu yang dilakukan pada jaman dahulukala.<br />Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran Islam berpuasa.<br />Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa yang tidak menganut ajaran Islam pula.<br />• Mitung Mbengeni<br />Mitung Mbengeni (berasal dari Bahasa Jawa: pitu: tujuh; bengi: malam) adalah sebuah prosesi yang dilakukan pada bayi pada malam ketujuh sejak kelahirannya. Mekanismenya hampir sama dengan prosesi tasyakuran biasa. Hanya pada menu makanannya ditambahin menu ngethingi.<br />Mitung mbengeni juga sebagai pertanda puput puser pada bayi. Untuk orang jaman dulu, puput puser dilakukan oleh seorang dukun bayi, dia sekaligus yang menolong proses persalinan sampai dengan perawatan selama sang ibu atau keluarga belum bisa memperlakukan bayi sebagaimana mestinya.<br />• Ngerak<br />Ngerak adalah sebuah tradisi memandikan anak kecil dengan umur dibawah 5 tahun, disebuah belik. Sebelum berangkat dari rumah, dilakukan prosesi iring-iringan, dengan menempatkan si anak didepan dengan posisi di gendong dengan menggunakan selendang berwarna kuning. Sesampainya di belik, kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa oleh sesepuh setempat. Sesampainya dirumah, si anak di suruh menaiki piramida yang terbuat dari bambu yang berisi pernak-pernik, mulai dari permainan, sampai dengan makanan. Sedangkan yang paling menarik adalah seekor ayam panggang yang ditaruh disebelah kiri tas piramida. Uniknya, sebagian besar dari anak-anak peserta Ngerak tertarik untuk mengambil kaki ayam panggang tersebut. Entah sebuah kebetulan ataukah memang bermakna khusus.<br />• Mantu Poci<br />Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal (Jawa Tengah), dengan cara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah berukuran raksasa.<br />Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak sumbangan berbentuk rumah.<br />Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.<br />• Ruwatan <br /> Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya. Upacara adat ini berasal dari buadaya adat Jawa kuna yang sifatnya sinkretis, tetapi sekarang diadaptasi dengan ajaran agama. <br /> <br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.13 Upacara ruwatan<br />Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang Jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Tradisi ruwatan di Jawa ( Jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita Jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit. <br />Dalam tradisi Jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian spermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Jenis manusia yang disukai Bathara Kala yaitu :<br />a. Yang akan mengalami penderitaan atau sukerta.<br />b. Yang lahir tunggal atau ontang-anting.<br />c. Kembang sepasang atau kembar.<br />d. Sendang kapit pancuran atau laki-laki, perempuan, laki-laki.<br />e. Uger-uger lawang atau dua anak laki-laki semua.<br />Sesajen yang perlu disiapkan untuk upacara ini adalah :<br />a. Kain pitung werna <br />b. Beras kuning <br />c. Jarum kuning <br />d. Kembang pitung rupa <br />Jika untuk tolak bala atau membuang sial orang yang mengalami sukerta, orang yang diruwat harus menjalani siraman air suci dan gunting rambut, rambutnya lalu dilarung di laut.<br />Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.<br />• Tumpeng<br />Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai 'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi 'tumpengan' pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.<br />Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali. <br />• Kutug<br />Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh penganut ajaran tertentu, dengan tujuan agar mendapat lindungan, keselamatan dan berkah dari Syang Hyang Widi. Ritual ini biasanya dilakukan oleh kepala adat, dihari-hari tertentu.<br />• Ngethingi<br />Ngethingi merupakan tradisi tasyakuran sebagai bentuk atau moment peringatan terhadap seorang bayi ketika berusia tertentu. Ritualnya, sebuah keluarga yang dikaruniai tambahan jumlah anggota baru (melahirkan) wajib melaksanakan syukuran dengan selalu membuat masakan yang berbahan dasar sayur-sayuran (lebih tepatnya dan lazimnya yang digunakan adalah daun pepaya muda). Ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh suatu keluarga dalam rangka ngethingi. Diantaranya adalah :<br />1. Mitung Mbengeni <br />2. Neloni <br />3. Mitoni <br />4. Nyetauni <br />5. Ngarotengahi <br />• Malam Satu Suro<br />Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penganggalan islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah islam dijaman etelah nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahum 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa pada waktu itu.<br /><br />Tradisi Jawa<br />Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.<br /><br />Pantai Parangkusumo<br />Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.<br />Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.<br /><br />Wayang Kulit Semalam Suntuk<br /> <br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br />Gambar 2.14 Wayang Kulit<br />Tradisi dan warisan budaya Jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.<br />Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran wayang malam itu.<br /><br />Cepuri Parangkusumo<br />Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.<br />Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.<br />Diantara rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan Senopati dengan pakaian Jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin pengunjung lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru kunci sendiri duduk bersila tepat di depan gapura setelah pengunjung masuk. Tiap pengunjung yang masuk wajib menemui juru kunci dan menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan berdoa.<br />Rombongan peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah rombongan peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar. Mereka menggunakan pakaian Jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain putih dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.<br /><br />Puro Pakualaman <br />Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua” di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo, di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda. Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.<br />Bahkan, warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.<br />• Ngupat<br />Ngupat atau ngupati adalah salah satu upacara adat yang dilakukan saat calon ibu mengandung ( mbobot ) 4 bulan. Kata ”ngupat ” berasal dari kata papat ( 4 ) atau kupat. Tujuannya adalah untuk keselamatan calon bayi dan ibu atau untuk tolak bala jadi hampir sama seperti mitoni. Yang membedakan dengan upacara adat ”meteng” lainnya yaitu ada sajian kupat yang ditaruh didalam tempat yang biasa disebut ”besek” yang dibawa pulang oleh orang yang hadir pada acara kenduren.<br />Ngupati ini mengandung maksud sebagai lambang bahwa ”jabang bayi” sudah masuk dalam tahap keempat dalam proses penciptaan manusia.<br />Waktunya harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut hitungan hari Jawa.<br />• Ngliman<br />Ngliman adalah salah satu upacara adat ”wetwngan” yang diselenggarakan ketika calon ibu mengandung lima bulan. Kata ”ngliman” berasal dari kata lima ( 5 ). Tujuan dari upacara adat ini adalah sama dengan ngupati yaitu upacara untuk keselamatan bayi dan calon ibu atau juga untuk tolak bala. <br />Upacara adat ini kurang dikenal pada daerah-daerah tertentu, berbeda dengan upacara adat ”mitoni” yang sudah umum dikenal oleh masyarakat Jawa dan juga dikenal oleh masyarakat nusantara. <br />• Mitoni atau Tingkeban<br />Mitoni berasal dari kata ”pitu” ( 7 ). Upacara adat ini diselenggarakan saat calon ibu mengandung 7 bulan. Tujuannya adalah untuk keselamatan calon bayi dan calon ibu dan juga untuk tolak bala. Di daerah tertentu upacara ini juga disebut tingkeban.<br />Jabang bayi yang berumur tujuh bulan itu sudah mempunyai raga yang sempurna. Jadi menurut orang Jawa ”wetengan” umur tujuh bulan itu proses penciptaan manusia itu sudah nyata dan sudah sempurna atau Sapta Kawasa Jati.<br />Rangkaian acara dari ”mitoni” adalah sebagai berikut :<br />Rangkaian acara untuk upacara mitoni ini lebih banyak daripada upacara ngupati, yaitu:<br />1) Siraman <br />2) Memasukkan telur ayam kampung didalam kain calon ibu oleh calon bapak.<br />3) Salin rasukan ( ganti baju )<br />4) Brojolan ( memasukkan kelapa gading muda ).<br />5) Memutus lawe atau lilitan benang ( janur ).<br />6) Memecahkan wajan dan gayung.<br />7) Mencuri telur.<br />8) Kenduren.<br />Waktu pelaksanaannya menurut orang Jawa mitoni itu harus diselenggarakan pada hari yang benar-benar bagus, yaitu hari senin siang sampai malam. Atau hari jumat siang sampai malam.<br />• Mendhem ari-ari<br />Mendhem ari-ari adalah salah satu upacara kelahiran yang umum diselenggarakan dan juga di daerah – daerah ( suku-suku ) lain. Ari-ari itu bagian penghubung antara ibu dan bayi waktu bayi masih didalam rahim. Istilah lain dari ari-ari adalah aruman atau embing-embing ( mbingmbing ). <br />Orang Jawa itu percaya bahwa bahwa ari-ari itu adalah salah satu dari ”sedulur papat” atau ”sedulur kembar” dari si bayi sehingga ari-ari harus dirawat dan dijaga. Yaitu tempat yang digunakan untuk memendham ari-ari diberi lampu (umumnya lampu senthir) untuk penerangan, ini menjadi simbol pepadadang untuk bayi. Senthir itu dihidupkan sampai 35 hari (selapan dina). <br />Tata caranya adalah sebagai berikut ;<br />1) Ari-ari dicuci sampai bersih dan dimasukkan kedalam kendhi atau batok kelapa.<br />2) Sebelum ari-ari dimasukkan alas kendhi diberi ”godhong senthe” lalu kendhi itu ditutup dengan lemper yang masih baru dan dibungkus kain mori.<br />3) Kendhi lalu digendong, dipayungi, dibawa ke lokasi penguburan.<br />4) Lokasi penguburan kendhi harus berada di sebelah kanan pintu utama rumah. Yang memendam kendhi harus bapak dari bayi.<br />• Brokohan <br />Brokohan adalah salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat. Brokohan itu asal katanya dari bahasa Arab yaitu ”barokah” yang artinya mengharapkan berkah.<br />Tujuannya adalah untuk keselamatan proses kelahiran juga untuk perlindungan terhadap bayi dan dengan harapan bayi yang lahir menjadi anak yang baik perilakunya. <br />Rangkaian acaranya diawali dari mendhem ari-ari yang dilanjutkan dengna bagi-bagi sesajen brokohan untuk saudara dan tetangga.<br />• Sepasaran<br />Adalah salah satu upacara adat Jawa waktu bayi berumur 5 hari. Upacara adat ini umumnya diselenggarakan secara sederhanatetapi jika bersamaan dengan pemberian anma bayi, upacara ini diselenggarakan secara lebih meriah. Kata sepasaran berasal dari kata sepasar. Umumnya diselenggarakan sore dengan acara kenduren dengan mengundang saudara dan tetangga. Suguhan yang disajikan umumnya adalah air minum dan ”jajan pasar” tetapi juga ada “besek” yang nantinya dibawa pulang.<br />• Puputan atau Dhautan<br />Puputan itu sebenarnya mempunyai makna ”tali puser bayi puput”. Jadi upacara ini diselenggarakan waktu bubar pupute dari pusar bayi. Biasanya ada upacara slametan di upacara puputan ini. Acaranya yaitu kendhuren, bancakan dan memberi nama bayi. Acara ini bagus diselenggarakan setelah maghrib.<br />• Tedhak siti atau Tedhak Siten<br />Tedhak siti adalah salah satu upacara adat untuk anak yang berumur 7 bulan. Upacara ini di daerah yang lain di nusantara juga ada, biasanya disebut ”injak tanah” di Jakarta atau juga disebut ”mudhun lemah”. Tedhak Siten itu berasal dari kata tedhak atau idhak dan siten ( dari kata siti yang berari lemah atau tanah ). Upacara ini sebagai lambang bahwa anak bersiap-siap menjalani hidup dengan dituntun orangtua dan diselanggarakan jika anak sudak berumur 7 selapan atau 245 hari ( 7 x 35 = 245 ).<br />Urutan kegiatannya :<br />1) Tedhak sega pitung warna <br />2) Mudhun tangga tebu <br />3) Ceker-ceker <br />4) Kurungan <br />5) Sebar udik-udik <br />6) Siraman <br />• Sedekah Bumi<br />Bersih desa adalah salah satu upacara adat Jawa yang diselenggarakan setelah selesainya panen padi, jadi maksudnya sebagai ungkapan syukur “tandhuran” padi berhasil panen dan hasilnya baik. Upacara adat ini kadang juga disebut upacara mreti desa dan biasanya digabung dengn upacara adat sedekah bumi atau mreti bumi. Setiap daerah mempunyai atat cara dan prosesi upacara yang berlainan menurut kebiasaan masing-masing tetapi tujuannya sama saja.<br />Pada jaman dahulu upacara adat ini dikaitkan dengan Dewi sri yang dianggap sebagai dewi Padi karena keberhasilan panen itu hasil kemurahan dari Dewi sri yang wajib disyukuri.<br />Tujuan dari mengadakan upacara ini adalah:<br />1) Untuk mengucapakan syukur kepada tuhanyang sudah memberi hasil panen padi yang melimpah.<br />2) Untuk menjaga keselamatan para warga desa dari gangguan hal-hal yang gaib, roh atau arwah yang gentayangan dan juga dari gangguan penyakit, serta bencana.<br />3) Untuk membersihkan desa dan warganya dari halangna atau kesusahan supaya keadaan desa menjadi tentram dan aman.<br />Prosesi<br />Umumnya dimulai setelah panen pertama. Lokasi upacara pertama di sawah yang sudah dilengkapi dengan ”ubo rampe’ yaitu janur kuning, kembang setaman, kemenyan, kaca, suri, banyu kendhi, jajan pasar, bungkusan nasi dan pisang. Setelah acara berdoa, padi yang sudah dipetik digotong ke lumbung padi. Di lumbung padi juga disiapkan perangkat upacara lanjutan yang umumnya dibuat dari daun. Diantaranya daunkluwih, dhadhap serep, godhong mojo, godhong tebu, godhong jati juga godhong luh. Masing-masing godhong ( daun ) itu mempunyai makna.<br />• Munggah wuwungan<br />Adalah salah satu upacara adat yang diselenggarakan setelah wuwungan dibangun dalam proses membangun rumah. Istilah munggah wuwungan ini biasanya disebut juga munggah gendheng. Upacara ini diselenggarakan saat rangka wuwungan sudah jadi tetapi gendeng belum dipasang. Upacara adat ini uga dikenal di daerah-daerah lain di Nusantara.<br />Upacara ini sebenarnya upacara untuk syukuran karena rumah yang dibangun sudah mempunyai wuwungan jadi sebentar lagi sudsh bisa dipake sehingga tidak akan kepanasan atau kehujanan. Puncak acaranya adalah kendhuren, diutamakan untuk tuakang-tukang yang membangun rumah dan para tetangga yang berada dekat dengan rumah yang dibangun. Acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh ulama. Biasanya acara kendhuren munggah wuwungan ini diselenggarakan siang atau setelah shalat dhuhur, jadi sekalian dengan makan siang para tukang dan jamaah serta ulama yang baru keluar dari masjid atau langgar bisa langsung ikut dan pulangnya bisa membawa besek.<br />Sesajen juga perlu disiapkan untuk digantung disalah satu kayu di wuwungan. Yang tidak digantung hanya bendhera merah putih yang dipasang dengan galah dengna panjang sedang 9 tidak terlalu panjang ), yang bisa kelihatan dari rumah tetangganya.<br />Sesajen yang harus disiapkan :<br />1) Gedhang setandan <br />2) Tebu ireng sewit <br />3) Pari secukupe <br />4) Kelapa seiji uga bendhera <br />• Grebeg Maulud<br />Perayaan Grebeg<br /> Puncak peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. diperingati dengan penyelenggaraan upacara Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud, atau pagi hari esoknya, setelah kedua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu dibawa masuk kembali ke dalam Kraton oleh masyarakat Yogyakarta, kejadian ini lazim disebut dengan istilah Bendhol Songsong. Pada pagi hari, pukul 08.00, upacara dimulai dengan parade kesatuan prajurit Kraton yang mengenakan pakaian kebesarannya masing-masing. Puncak dari upacara ini adalah iringan gunungan yang dibawa ke Masjid Agung .<br /> Setelah di Masjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagian gunungan dibagi-bagikan pada masyarakat umum dengan jalan diperebutkan. Bagian-bagian dari gunungan ini umumnya dianggap akan memperkuat tekad dan memiliki daya tuah terutama bagi kaum petani, mereka menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman.<br /> Selain upacara Grebeg Maulud, didalam satu kurun tahun Jawa terdapat upacara-upacara Grebeg yang lain, yakni Grebeg Syawal yang diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan hari Raya Qurban Idhul Adha.<br />• Upacara Jamasan<br /> Bagi orang Jawa, benda-benda pun dianggap memiliki jiwa. Oleh karena itu, benda-benda itu harus diperlakukan istimewa yang nyaris sama seperti manusia itu sendiri. Mungkin saja ini masih dianggap sebagai animisme, tapi tentu saja orang Jawa akan menyangkalnya. Yang jelas, untuk benda-benda milik Keraton Yogyakarta seperti kereta, gamelan, maupun pusaka, semuanya memiliki nama seperti manusia. Ada Kiai Sangkelat, Kiai Nagasasra (keris), Kiai Guntur Madu (gamelan), ada pula Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Puspakamanik (kereta). Di Keraton Yogyakarta, benda-benda itu selalu dicuci yang diistilahkan dengan nama dijamasi pada bulan Sura (Muharam) dan selalu pada hari istimewa Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. <br /> Cara jamasan itu sendiri juga khas. Semua yang terlibat dalam ritual itu harus mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Mereka, semuanya laki-laki, mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon. Mereka berbusana seperti itu karena mereka akan menjamasi sebuah kereta. Kereta ini dibuat pada tahun 1750-an, semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, diberi nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta itu menjadi tunggangan Sultan Hamengku Buwono I sampai III. Kereta itulah yang setiap bulan Sura selalu dijamasi karena dianggap sebagai kereta cikal-bakal kereta lainnya. Berbentuk anggun, bergaya kereta kerajaan-kerajaan Eropa, beroda empat, dua buah yang besar di belakang, dan dua buah di depan agak kecil, diperkirakan ditarik oleh enam sampai delapan kuda. Sebuah simbol kewibawaan seorang raja. Kereta yang penuh ukiran itu sendiri memiliki pintu dan atap sehingga mirip mobil. Kereta itu tersimpan di dalam Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada sekitar selusin kereta yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, dan dia selalu ditemani oleh salah sebuah kereta lain yang dipilih secara bergantian setiap tahunnya. <br /> Kemudian ada Kyai Puspakamanik, sebuah kereta hadiah dari Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1901. Kereta itu menjadi tumpangan para pangeran pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Jamasan biasanya seorang pejabat keraton yang khusus menangani masalah perawatan kereta.<br /> Proses pencucian kereta ini memiliki nilai wisata ritual magis religius. Sehingga banyak orang rela berebut bekas air cucian kereta dengan cara menampung aliran air dari badan kereta dan memasukkan air bekas cucian itu ke dalam botol bekas air kemasan maupun jerigen. hal ini dikarenakan masyarakat Jawa percaya bahwa air ini akan membawa berkah bagi mereka, karena mereka percaya bahwa air ini mengandung hal gaib/sakti karena pemiliknya merupakan orang yang sakti.<br /> Sebenarnya, di samping jamasan kereta, di dalam keraton juga ada jamasan pusaka. Akan tetapi, jamasan pusaka itu tidak boleh dilihat oleh umum. Misteri jamasan pusaka itu sendiri akhirnya memang tinggal misteri yang dipelihara turun-temurun. Semisteri pusaka yang dipercayai memiliki kekuatan supra natural itu sendiri.<br />• Upacara Labuhan<br />Selain itu terdapat pula Upacara Labuhan yang merupakan rangkaian dari Tradisi 1 Sura. Dimana pagi hari sesudah malam 1 Sura maka diadakan Upacara labuhan yaitu dengan mempersembahkan pakaian wanita , alat-alat rias, sirih, bunga dan lain-lain ke laut selatan , sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Ratu Kidul Penguasa laut Selatan . Berbagai pakaian bekas yang pernah dipergunakan oleh Sri Sultan, potongan rambut serta potongan kuku beliau ditanam di dalam areal tanah sengker (suatu areal tanah yang dianggap keramat di daerah Parangkusumo). Sehingga bisa dikatakan bahwa kedua upacara ini yaitu tradisi malam 1 Suro dan Upacara Labuhan merupakan 2 hal yang saling berkaitan di dalam tradisi Kraton Yogyakarta.<br /><br />G. PRODUK BUDAYA<br />H.1 Seni Tari<br />Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan. <br />Seni tari dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :<br />1. Tari Klasik<br />2. Tari Tradisional<br />3. Tari garapan Baru<br />Beberapa jenis tari yang ada antara lain :<br />1. TARI KLASIK <br />• Tari Bedhaya<br /> Pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".<br />Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya berfungsi menjamu tamu raja dan menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara keperluan adat di lingkungan Istana. Disamping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang bertema kepahlawanan dan bersifat monumental.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.15 Tari Bedhaya<br />• Tari Srimpi<br />Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung. <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.16 Tari Serimpi<br />• Tari Bondan<br />Tari ini dibagi menjadi :<br />o Bondan Cindogo<br />o Bondan Mardisiwi<br />o Bondan Pegunungan atau tani<br /> Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira, mengungkapkan rasa kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi pada Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, dan perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.17 Tari Bondan<br /> Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap. <br />2. TARI TRADISIONAL <br /> Beberapa contoh kesenian tradisional :<br />o Obeg dan Begalan, di Cilacap<br /> Pemain Obeg ini terdiri dari beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu (kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang atau dukun yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar. Di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur.<br /> Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas. Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa Jawa disebut begal. Biasanya usai pertunjukan, barang-barang yang dipikul diperebutkan para penonton. Sayangnya pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu lama karena masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.<br />o Lengger dari Wonosobo<br />Dimainkan oleh dua orang laki-laki yang masing-masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi dengan bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa. Tarian ini mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai keadaan tidak sadar.<br /><br />3.TARI GARAPAN BARU <br /> Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional.<br /> Sebagai contoh :<br />o Tari prawiroguno<br />Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.<br />o Tari Tepak-Tepak Putri<br /><br />H.2 Seni Musik<br />Beberapa jenis alat musik yang terdapat di Jawa, diantaranya :<br />GAMELAN JAWA<br /> Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.<br />Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Seperangkat gamelan tersebut diantaranya :<br />1) Kendang <br />Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor dari musik gamelan. Ada 5 ukuran kendang dari 20 cm - 45 cm. <br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.18 Kendang<br />2) Gambang<br />Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga. <br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.19 Gambang<br /><br /><br />3) Gong<br />Setiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm, terbuat dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya panjang.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.20 Gong<br />4) Clempung<br />sebuah instrument kecil, dimana setiap satu set slendro dan pelog membutuhkan satu clempung.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.21 Clempung<br />5) Suling<br />Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling. <br /><br /><br /><br /><br />6) Rebab<br />Sejenis Alat musik gesek.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.23 Rebab<br />H.3 Kalender Jawa<br />Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, mengubah penanggalan Saka menjadi Kalender Jawa ini.<br />A. Daftar bulan Jawa Islam<br />Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. nama bulannya antara lain : <br />1. Sura 5. Jumadilawal 9. Poso (siyam)<br />2. Sapar 6. Jumadilakhir 10. Sawal <br />3. Mulud 7. Rejeb 11.Sela(Dulkangidah)<br />4.Bakdamulud 8. Ruwah (Saban) 12.Besar (Dulkijah) <br /><br />B. Daftar bulan Jawa matahari<br />Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV .Daftar nama dan lama setiap mangsa berbeda-beda antara lain : <br /><br />I. Kasa / Kartika (23 Juni-2 Agustus) VII. Kapitu / Palguna (23 Desember-3 Februari)<br />II. Karo / Pusa (3 Agustus-25 Agustus) VIII. Kawolu / Wisaka (4 Februari-1 Maret)<br />III. Katiga / Manggasri (26 Agustus-18 September) IX. Kasanga / Jita (2 Maret-26 Maret)<br />IV. Kapat / Setra (19 September-13 Okober) X. Kasepuluh / Srawana (27 Maret-19 April)<br />V. Kalima / Manggala (14 Oktober-9 November) XI. Kasewelas / Sadha (20 April-12 Mei)<br />VI. Kanem / Maya (10 November-22 Desember) XII. Karolas / Asuji (13 Mei-22Juni)<br /><br />C. Pembagian pekan<br />Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari: Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon<br />Sistim Penanggalan Jawa disebut juga Penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran Bulan mengitari Bumi. Namun, ada perbedaan antara system perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah yaitu pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan. Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap yaitu pada saat matahari terbenam (surup-antara pukul 17.00 sampai dengan 18.00), sedangkan pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan dengan Hilal dan Rukyat.<br /><br />H.4 Rumah Adat<br />Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Rumah Jawa adalah arsitektur tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok) yaitu :<br /><br />1. Joglo (atap joglo) atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. Bentuk Rumah Joglo: Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (dalem).<br />2. Limasan (atap limas), yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. Bentuk rumah Limasan: Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.24 Limasan<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.25 Joglo<br />3. Kampung (atap pelana), yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja. Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal<br />4. Panggang Pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi. <br />Bentuk Rumah Panggang-pe :Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lain-lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda, tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya<br />5. Mesjidan/Tajugan, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing. <br />Bentuk Rumah Tajug :Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal.<br />Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup handal terhadap gempa. Tata ruang dan struktur yang cocok untuk daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional.<br />Bangunan rumah yang lain terdiri dari: pendhapa, terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah buri) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Disamping bangunan rumah tersebut, tempat tinggal (rumah) masih dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.<br /><br /> <br />H.5 Karya Sastra<br />Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri, Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna). Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. <br />Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:<br />A. Sastra Jawa Kuna<br />Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini berisi tentang sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuna diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuna jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks <br />B. Sastra Jawa Tengahan<br />Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.<br />Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa:<br />C. Sastra Jawa Baru<br />Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah.<br /><br /><br />D. Sastra Jawa Modern<br />Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. <br /><br />H.6 Wayang<br />Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa¬yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir.<br />Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. <br />1. Wayang Kulit di Jawa Timur<br />2. Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah,<br />3. Wayang Golek di Jawa Barat<br /> Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".<br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.26 Wayang Kulit<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.27 Wayang wong<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />Gambar 2.28 Wayang Golek<br />H.7 Pakaian Adat / Rasukan adat jawa<br />Rasukan adat Jawa atau pakaian adat Jawa yang umumnya disebut rasukan kejawen yang sudah ada sejak jaman dahulu dan mulai terbentuk lengkap pada jaman kerajaan demak. Masing-masing jenis rasukan Jawa ini mempunyai makna perumpamaan atau melambangakn nilai-nilai luhur filosofi Jawa.<br />Pada umumnya rasukan Jawa dibagi menjadi 4 bagian yaitu;<br />• 1 Bagian ndhuwur/bagian atas (Penutup Kepala)<br /> Iket dan blangkon<br />Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk bagian kepala selain menggunakan blangkon biasanya orang Jawa kuna (tradisional) mengenakan "iket" yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus kenceng (kuat) supaya ikatan tidak mudah terlepas. Makna iket dimaksudkan manusia seyogyanya mempunyai pemikiran yang kenceng, tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang. <br />• 2 Bagian tengah (bagian tengah)<br /> Beskap<br />Busana kejawen seperti beskap selalu dilengkapi dengan benik (kancing baju) disebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam benik itu adalah agar orang (Jawa) dalam melakukan semua tindakannya apapun selalu diniknik, diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain, dapat , menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. <br /> Jarik lan wiron utawa wiru <br />Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap orang lain). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati, tidak grusa-grusu (emosional). Wiru Jarik atau kain dikenakan selalu dengan cara mewiru (meripel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron ( rimple ) diperoleh dengan cara melipat-lipat (mewiru). Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan wiwiren aja nganti kleru, kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis. <br /> Sabuk<br />Sabuk (ikat pinggang) dikenakan dengan cara dilingkarkan (diubetkan) ke badan. Ajaran ini tersirat dari sabuk tersebut adalah bahwa harus bersedia untuk tekun berkarya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah manusia harus ubed (bekerja dengan sungguh-sungguh) dan jangan sampai kerjanya tidak ada hasil atau buk (impas/tidak ada keuntungan). Kata sabuk berarti usahakanlah agar segala yang dilakukan tidak ngebukne. Jadi harus ubed atau gigih. <br />• 3 Bagian mburi (bagian belakang)<br /> Curiga atau keris dan rangka<br />Curiga atau keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat di dalam warangka atau wadahnya. Curiga dikenakan di bagian belakang badan. Keris ini mempunyai pralambang bahwa keris sekaligus warangka sebagaimana manusia sebagai ciptaan dan penciptanya Yatu Allah Yang Maha Kuasa, manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa untuk ngungkurake godhaning (mengalahkan godaan) setan yang senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak kebaikan.<br />• 4 Bagian ngisor (bagain bawah)<br /> Canela yaitu: cripu, selop atau sandal<br />Canela mempunyai arti "Canthelna jroning nala" (peganglah kuat dalam hatimu) canela sama artinya Cripu, Selop, atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-NYA. Dalam hati hanyalah sumeleh (pasrah) kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. <br /><br />Batik<br />Darimanakah kata Batik ? Batik adalah kata dari bahasa Indonesia, tepatnya Ambatik (bahasa Jawa yang berarti menggambar dan melukis), sehingga batik adalah asli dari Indonesia walaupun banyak beredar sekarang batik Malaysia sampai Myanmar. Batik pada prinsipnya merupakan proses pencelupan dan pencucian dan menggunakan malam sebagai bahan dasar. Kata ""tik" dari "setitik" berarti sedikit menggambarkan proses yang bertingkat sedikit demi sedikit. Batik merupakan busana hasil kerajinan rakyat dimana batik dibuat dengan menggunakan cara tradisional dan cara modern. "Falsafah batik sebenarnya berakar pada petani, yang dibawa masuk ke keraton, lalu diperbaiki dan diperhalus. Baru kemudian timbul falsafah batik yang tidak berpijak pada pertanian." <br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.29 Batik<br />Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain, canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik. <br />H.8 Keris<br />Keris atau tosan aji adalah salah satu senjata tradisional masyarakat Jawa serta menjadi salah satu lambang utama seorang laki-laki. Keriss mempunyai makna jantan perkasa dan dewasa, atau laki-laki Jawa itu harus tangguh, sanggup melindungi diri sendiri, keluarga dan membela Negara. Keris, atau pisau belati, adalah hasil kegaiban yang lain dari Jawa kuno. Keris adalah bagian integral dari upacara Jawa. Keris dipakai oleh lelaki untuk peristiwa penting dan tatacara tradisionil.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.30 Keris<br />Bagian-bagian keris<br />Keris mempunyai tiga bagian utama, masing masing bagain mempunyai bagian-bagian lagi yang lebih detil yang biasanya berupa ukiran. Ukiran pada bagian-bagian keris Jawa mempunyai makna dan karakter yang berbeda-beda.<br />Bagian-bagian keris itu antara lain;<br />• Wilah <br />Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk, banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). <br />• Warangka atau sarung keris <br />Warangka, atau sarung keris, adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Fungsi warangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. <br />• Gaman<br />Merupakan pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.<br />Pamor Keris<br />Pamor merupakan hiasan atau motif atau ornamen yang terdapat pada bilah tosan aji (Keris, Tombak, Pedang atau Wedung dan lain lainnya). Hiasan ini dibentuk bukan karena diukir atau diserasah (Inlay) atau dilapis tetapi karena teknik tempaan yang menyatukan beberapa unsure logam yang berlainan.<br /><br />H.9 Makanan Khas<br /> Makanan khas Jawa Timur diantaranya adalah: Tahu Campur Lamongan, Madu mongso, Rujak Cingur, Rawon dan rujak peti.<br /> Makanan khas Jawa Tengah diantaranya adalah: Mangut, Pindang Tempe, Jenang Waluh, Jadah, Kerupuk Bakar, Gula Semut, Kupat Tahu.<br /> Makanan khas Yogyakarta diantaranya adalah Gudeg, Nasi pecel, Opor ayam, Tongseng, Tumpeng, Mangut lele, Geplak, Bakpia.<br /><br />H.10 Ketoprak dan Ludruk<br />Ketoprak (bahasa Jawa kethoprak) adalah sejenis seni pentas yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.<br /><br />H.11 Reog <br />Reog adalah salah satu seni yang ada di Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Di daerah ini kondisi sosio kultural masih sangat kental dengan hal-hal yang dianggap magis dan dapat mereka buktikan dengan kemampuan mereka (masyarakat Ponorogo) dan Religi/Kebatinan yang sangat kuat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2.32 Reog<br />Pementasan Seni Reog<br />Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,<br />Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.<br />H.12 LAGU ADAT JAWA<br />MACAPAT<br />Adalah lagu tradisional dari tanah Jawa. Macapat juga menular ke kebudayaan Bali, madura dan Sunda. Jika dilihat dari ”kerata basa”, macapat artinya ”maca papat-papat”. Membacanya memang dirakit tiap empat suku kata. Lagu ini mulai ada di jaman Majapahit, dan dimulai saat walisanga memegang kekuasaan. Aturan-aturan pada macapat itu lebih mudah. Kitab-kitab pada jaman Mataram Baru, seperti wedathama, Wulangreh, Serat Wirid Hidayat Jati, Kalathida, dan yang lain-lain disusun dengna lagu ini. <br />Aturan – aturan itu ada pada :<br />• Guru gatra : bilangan baris/gatra tiap bait. <br />• Guru wilangan : bilangan suku kata tiap gatra.<br />• Guru lagu : suara vokal di akhir tiap baris.<br />Macapat bisa dibagi menjadi tiga jenis yaitu :<br />1. Sekar Macapat atau Sekar Alit<br />2. Sekar Madya atau Sekar Tengahan<br />3. Sekar Ageng<br /><br />LAGU-LAGU LAIN SELAIN MACAPAT<br />Kumpulan lagu (Jawa)<br /> ANDE ANDE LUMUT <br /> YEN ING TAWANG ANA LINTANG<br /> CUBLAK CUBLAK SUWENG<br /> LIR-ILIR<br /> SUWE ORA JAMU <br /><br /><br /> <br />BAB III<br />PENUTUP<br /><br />Kebudayaan Jawa merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang memiliki nilai yang sangat luhur bersama dengan kebudayaan bangsa Indonesia lainnya. Oleh kerenanya, sudah layak apabila kita mengetahui serta memahami kebudayaan Jawa agar tercapai pemahaman yang tepat mengenai kebudayaan Jawa. Hendaknya patut digaris bawahi bahwa kata “memahami” merupakan sesuatu yang amat penting untuk dapat memperoleh pandangan yang benar dan jelas mengenai kebudayaan Jawa itu sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya tidaklah cukup apabila kita ingin memahami kebudayaan Jawa dalam waktu yang singkat tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dan mendalam. Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan usaha kami untuk menyediakan berbagai pengetahuan seputar kebudayaan Jawa<br />Secara khusus pula makalah ini kami buat untuk teman-teman di lingkungan Kampus STAN yang memiliki latar belakang bukan dari budaya Jawa untuk menambah pengetahuan sekaligus sebagai bekal bagi teman-teman di lingkungan kerja nanti, supaya kita dapat berkomunikasi lintas budaya. Dan akhirnya, sesungguhnya makalah ini jauh dari lengkap dan mendalam mengenai kebudayaan Jawa. Kami meminta maaf apabila di dalam makalah ini ada pernyataan yang kurang berkenan di hati teman-teman. Terima kasih.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Soemargoro, K. 2004. Buku Profil Provinsi RI. Jakarta: PT Intermasa.<br /><br />Twikromo, Y Argo. 2006. Mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Yogyakarta: Nindia Pustaka.<br /><br />http://id.wikipedia.org<br /><br />http://heritageofjava.com<br /><br />www.sekarjagad.org</span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-80017330702079297632008-11-10T23:51:00.000-08:002008-11-10T23:52:50.577-08:00Yui - Tokyo Lyrics<span class="fullpost"><br /><br />Sumi nareta kono heya wo<br />Dete yuku hi ga kita<br />Atarashii tabidachi ni mada tomadotteru<br /><br />Eki made mukau BASU no naka<br />Tomodachi ni MEERU shita<br /><br />Asa no HOOMU de denwa mo shitemita<br />Demo nanka chigau ki ga shita<br /><br />Furui GITAA wo hitotsu motte kita<br />Shashin wa zenbu oitekita<br /><br />Nanika wo tebanashite soshite te ni ireru<br />Sonna kurikaeshi ka na?<br /><br />Tsuyogari wa itsudatte yume ni tsuduiteru<br />Okubyou ni nattara soko de togireru yo<br /><br />Hashiri dashita densha no naka<br />Sukoshi dake naketekita<br /><br />Mado no soto ni tsuduiteru kono machi wa<br />Kawara nai de to negatta<br /><br />Furui GITAA wo atashi ni kureta hito<br />Toukyou wa kowaitte itte ta<br /><br />Kotae wo sagasu no wa mou yameta<br />Machigai darakede ii<br /><br />Akai yuuyake ga BIRU ni togireta<br />Namida wo koraetemo<br /><br />Tsugi no asa ga yattekuru tabigoto ni<br />Mayou koto datte aru yo ne?<br /><br />Tadashii koto bakari erabe nai<br />Sore kurai wakatteru<br /><br /><br /><br /></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-10778423757692589392008-11-10T23:25:00.000-08:002008-11-10T23:28:41.202-08:00Yui - Good Bye Days Lyrics<span class="fullpost"><br /><br />Dakara ima ai ni yuku<br />So kimetanda<br />Poketto no kono kyoku wo<br />kimi ni kikasetai<br /><br />Sotto boryu-mu wo agete<br />Tashikamete mitayo<br /><br />Oh Good-bye Days<br />Ima, kawaru ki ga suru<br />Kinou made ni<br />So Long<br />Kakko yokunai<br />Yasashisa ga soba ni aru kara<br />La la la la la with you<br /><br />Katahou no earphone wo<br />Kimi ni watasu<br />Yukkuri to nagare komu<br />Kono shunkan<br /><br />Umaku aisete imasu ka?<br />Tama ni mayou kedo<br /><br />Oh Good-bye Days<br />Ima, kawari hajimeta<br />Mune no oku<br />All Right<br />Kakko yokunai<br />Yasashisa ga soba ni aru kara<br />La la la la la with you<br /><br />Dekireba kanashii<br />Omoi nante shitaku nai<br />Demo yattekuru deshou, oh<br />Sono toki egao de<br />"Yeah, Hello My Friends" nante sa<br />Ieta nara ii noni<br /><br />Onaji uta wo<br />Kuchizusamu toki<br />Soba ni ite I Wish<br />Kakko yokunai<br />Yasashisa ni aeta yokatta yo<br />La la la la good-bye days</span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-5689471971587524852008-09-22T23:26:00.000-07:002008-11-10T19:32:07.483-08:00Kebudayaan Aceh<p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="font-size: 14pt; line-height: 150%;">KEBUDAYAAN ACEH<br /><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.7pt; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Identifikasi Geografi<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; line-height: normal;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1045" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;" wrapcoords="-32 0 -32 21555 21600 21555 21600 0 -32 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image001.jpg" title="Peta Aceh"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image002.jpg" shapes="_x0000_s1045" align="left" height="396" hspace="12" width="564" /><!--[endif]--><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";"><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian negara </span><st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Asia</span></st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"> lainnya. </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi Telong (2.566 m), Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam (1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2, yang terdiri atas kawasan hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="ES">- Adapun batas batas nya yaitu <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Sebelah utara dengan Laut Andaman<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Sebelah timur dengan Selat Melaka<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Sebelah barat dengan Samudra Hindia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Daerah Melingkupi<span style=""> </span>: 119 Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Nanggroe (Banyaknya Dati II): 21 Kabupaten<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Banyaknya Kecamatan<span style=""> </span>: 228<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Mukim<span style=""> </span>: 642<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Kelurahan<span style=""> </span>: 111<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">- Gampong (Desa)<span style=""> </span>: 5947<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Keindahan alam daerah Aceh yang paling penting adalah hutan tropis basah, lereng-lereng dan gunung merapi. Gunung merapi yang semi aktif dan ditumbuhi dengan hutan lebat banyak terdapat sumber air panas dan danau, serta hutan itu sendiri merupakan habitat yang baik bagi sejumlah binatang dan tumbuhan langka yang masih bersisa. Aceh mempunyai kekayaan sumber bumi seperti minyak dan gas asli.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Sejarah Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Babad Cina pada awal 6 M telah menyatakan kewujudan sebuah kerajaan di bagian ujung utara pulau Sumatra yang mereka kenali sebagai Po-Li. Dibandingkan dengan kawasan-kawasan [di Indonesia] yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh memainkan peranan penting dalam tranformasi yang dijalani daerah ini sejak berdirinya. Marco Polo, pada 1292, sewaktu dalam pelayaran ke Parsi dari </span><st1:country-region><st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">China</span></st1:place></st1:country-region><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"> telah singgah ke </span><st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Sumatra</span></st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">. Beliau melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bagian utara pulau tersebut. Mereka termasuk perlabuhan Perlak, Samudera dan Lamuri.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 840 M (225 H). Sultan pertama Kerajaan Perlak yang terpilih adalah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy dengan puteri Meurah Perlak) yang bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah. Kerajaan ini berdiri sekitar 40 tahun setelah</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT"> Islam tiba di Bandar Perlak yang dibawa oleh saudagar dari Teluk Kambey(</span><st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">Gujarat</span></st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">) pimpinan Nakhuda Khalifah. Kerajaan inilah yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Penguasaan pelabuhan di Malaka oleh Portugis pada 1511 telah menyebabkan banyak pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh. Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran kepada Aceh, dan menandakan mulanya penguasaan Aceh dalam perdagangan dan politik di utara pulau Sumatra khususnya dan Nusantara umumnya. Keadaan ini bertahan hingga ia mencapai puncaknya antara tahun 1610 dan 1640.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Kemunduran Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641 disebabkan penguasaan perdagangan oleh Inggeris dan Belanda. Ini juga menyebabkan mereka berlumba-lumba menguasai sebanyak-banyaknya kawasan di Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka. Perjanjian London 1824 yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Belanda telah mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung dari 1873 hingga 1942 (tetapi tidak berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda dan merenggut lebih 10,000 orang tentara.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Pasca-pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM), atau sering dikenal dengan Operasi Jaring Merah, pada 7 Agustus 1998 yang sudah berlangsung selama 10 Tahun sejak 1989, tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema. Selain itu, muncul tuntutan pungutan suara sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah </span><st1:city><st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Jakarta</span></st1:place></st1:city><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">. Tuntutan itu digerakkan oleh para intelektual muda Aceh yang terhimpun dalam Organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya tercermin dalam aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 yang dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai kabupaten di Aceh. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, dengan mengusung isu Antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002, dengan aksi yang paling fenomenal, karena dalam aksinya mereka menuntut gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Aksi yang berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM seperti Taufik Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam, Habibir, Ihsan, dan beberapa orang lagi. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa campurtangan PBB untuk memediasi konflik Aceh</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT"> tak dapat ditolak.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IT"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Identifikasi Pemerintahan<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Adapun susunan pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam yaitu <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Barat<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Barat Daya<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Besar<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Jaya<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Selatan<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Singkil<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Tamiang<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Tengah<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Tenggara<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Timur<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Aceh Utara<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Bener Meriah<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Bireuen<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Gayo Lues<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Nagan Raya<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Pidie<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kota Banda Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kota Langsa<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kota Lhokseumawe<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kota Sabang<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kabupaten Simeulue<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Identifikasi Demografi<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Sebagian besar penduduknya merupakan ras Melayu, tetapi terdapat juga campuran ras Arab, Cina, Eropa dan </span><st1:country-region><st1:place><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">India</span></st1:place></st1:country-region><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">. Selain itu Aceh dikelompokkan menjadi beberapa suku seperti suku Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Singkil, Aneuk Jamee and Simeulue. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Di Aceh terdapat beberapa subsuku yaitu Aceh sebagai mayoritas yang mendiami sebagian besar kawasan Aceh, Gayo mendiami Aceh Tengah dan sebagian Aceh Tenggara, Alas mendiami Aceh Tenggara, Tamiang mendiami sebagian Aceh Timur, Kluet dan Aneuk</span><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> Jamee</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> mendiami sebagian Aceh Selatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><span style=""> </span>Jumlah penduduk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005<o:p></o:p></span></p> <table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; width: 383.05pt; margin-left: 23.4pt; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" width="511"> <tbody><tr style=""> <td style="border: 1pt solid navy; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">No<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: navy navy navy -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">Kabupaten/ Kota<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: navy navy navy -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">Laki Laki<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: navy navy navy -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">Perempuan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: navy navy navy -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">Jumlah<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">1<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Simeuleu<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">40.519<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">37.870<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">78.389<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">2<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Aceh Singkil<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">75.177<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">73.100<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">148.277<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">3<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Aceh Selatan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">93.684<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">97.855<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">191.539<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">4<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Aceh Tenggara<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">84.143<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">84.910<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">169.053<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">5<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Aceh Timur <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">150.785<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">153.858<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">304.643<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">6<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Aceh Tengah<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">81.016<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">79.533<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">160.549</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">7<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aceh Barat<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">76.932<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">73,518<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">150.450<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">8<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Aceh Besar<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">152.377<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">144.164<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">296.541<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">9<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Pidie<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">228.404<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">245.955<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">474.359<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">10<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Bireuen<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">169.767<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">182,068<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">351.835<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">11<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Aceh Utara<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">241.942<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">251.728<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">493.670<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">12<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Aceh Barat Daya</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">56.809<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">58.867<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">155.676<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">13<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Gayo Lues<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">35.488<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">36.557<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">72.045<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">14<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Aceh Tamiang<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">118.581<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">116.733<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">235.214<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">15<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Nagan Raya<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">61.609<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">62.134<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">123.743<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">16<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="ES">Aceh Jaya<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">31.515<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">29.145<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">60.660<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">17<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Bener Meriah<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">53.168<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">52.980<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">106.148<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">18<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Banda Aceh<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">94.052<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">83.829<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">177.881<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">19<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sabang<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">14.663<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">13.934<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">28.597<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">20<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Langsa<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">68.518<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">69.068<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">137.586<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">21<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Lhokseumawe<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">76.614</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">78.020<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">154.634<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">22<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Pidie Jaya<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">-<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">-<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">-<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 27pt;" width="36"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">23<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 100.15pt;" valign="top" width="134"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Subulussalam<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">-<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">-<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="FI">-<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td colspan="2" style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color navy navy; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 127.15pt;" valign="top" width="170"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="FI">Jumlah<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">2.005.763</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">2.025.826<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color navy navy -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 85.3pt;" width="114"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="" lang="SV">4.031.589<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><span style="">5.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Perekonomian<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><span style="">a)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="">Perekonomian Aceh sangat bergantung pada sektor pertambangan1 (termasuk minyak dan gas), yang menyumbangkan 23 persen PDB pada tahun 2005. </span>Industri<span style=""> </span>manufaktur, yang menyumbangkan 22<span style=""> </span>persen dari PDB sangat dipengaruhi<span style=""> </span>oleh ketersedian gas dengan harga yang<span style=""> </span>relatif murah. <span style="">Pada tahun 2005, perekonomian Aceh</span> <span style="">menurun sebesar 13 persen</span>. Hal ini terutama disebabkan karena penurunan produksi pada sektor pertambangan, pertanian dan industri manufaktur. <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;">Sementara itu sektor jasa mengalami peningkatan <span style="">Tingkat konsumsi oleh masyarakat</span> <span style="">meningkat secara signifikan selama tahun 2005, yang sebagian besar dipenuhi</span> <span style="">oleh impor antar-propinsi</span>. Neraca perdagangan antar propinsi berubah dari surplus 13 persen pada tahun 2004, yang disebabkan oleh ekspor komoditas bahan mentah dalam volume besar, menjadi defisit sebesar 12 persen pada tahun 2005. <span style="">Investasi meningkat secara substansial</span>. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) didominasi oleh pembelanjaan publik oleh pemerintah pada setiap level pemerintahan. <span style="" lang="SV">Hal ini mencerminkan pentingnya peran investasi public dalam rekonstruksi Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_3" spid="_x0000_s1030" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image003.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="15" width="96"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image004.gif" shapes="Picture_x0020_3" height="288" width="346" /></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <br /> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_2" spid="_x0000_s1029" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image005.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="17" width="108"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image006.gif" shapes="Picture_x0020_2" height="292" width="317" /></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <br /> <p class="ListParagraph" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">b)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Lapangan Pekerjaan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Permasalahan lapangan kerja baru masih merupakan tantangan utama di Aceh. </span><span style="" lang="FI">Pengangguran meningkat<span style=""> </span>dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi<span style=""> </span>12 persen pada tahun 2006. Kenaikan<span style=""> </span>upah juga terjadi, yang disebabkan<span style=""> </span>oleh kombinasi dari ke empat faktor<span style=""> </span>berikut ini: <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="FI"><span style="">i)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="FI">kekurangan pasokan jenis-jenis tenaga kerja tertentu<span style=""> </span>yang banyak diperlukan2 (pekerja<span style=""> </span>konstruksi yang semi-terampil);<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="FI"><span style="">ii)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="FI">kurangnya mobilitas populasi<span style=""> </span>menciptakan kurangnya tenaga kerja di wilayah-wilayah tertentu, seperti yang tercermin dari tingginya aliran tenaga kerja bidang konstruksi dari Sumatra Utara; <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="FI"><span style="">iii)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="FI">kenaikan upah menyusul laju infl asi yang tinggi untuk melindungi daya beli para pekerja; dan <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="FI"><span style="">iv)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="FI">tersedianya jaring pengaman sosial secara meluas oleh LSM dan donor yang berakibat membuat orang-orang tidak terdorong untuk mencari pekerjaan berupah rendah secara aktif.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Struktur lapangan pekerjaan bergeser dari bidang pertanian ke sektor lainnya, terutama jasa. </span><span style="" lang="SV">Pergeseran komposisi sector<span style=""> </span>lapangan pekerjaan di Aceh dari<span style=""> </span>pertanian ke sektor lainnya, mengikuti<span style=""> </span>trend pergeseran pada tingkat<span style=""> </span>nasional, yang pada saat ini sector<span style=""> </span>pertanian hanya mampu menyerap<span style=""> </span>sekitar 45 persen dari seluruh total<span style=""> </span>lapangan kerja. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kecenderungan<span style=""> </span>ini kemungkinan besar diperkuat<span style=""> </span>oleh kebutuhan akan upaya-upaya<span style=""> </span>rekonstruksi di Aceh. Di lain pihak,<span style=""> </span>jumlah angkatan kerja telah meningkat<span style=""> </span>sebesar 5 persen semenjak tsunami,<span style=""> </span>hal ini merupakan salah satu penyebab<span style=""> </span>mengapa pengangguran meningkat<span style=""> </span>walaupun terdapat upaya rekonstruksi<span style=""> </span>besar-besaran.<span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Sektor pertanian masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja yang terbesar, pada tahun 2006. </span><span style="" lang="SV">Sektor ini menyerap 56 persen<span style=""> </span>dari tenaga kerja, namun sector<span style=""> </span>jasa (termasuk konstruksi) pada<span style=""> </span>saat ini mempekerjakan 38 persen<span style=""> </span>dari keseluruhan angkatan kerja.<span style=""> </span>Penurunan lapangan kerja secara<span style=""> </span>keseluruhan sejak tahun 2003<span style=""> </span>terutama disebabkan oleh penurunan<span style=""> </span>lapangan kerja pada sektor pertanian.<span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Di luar pertanian, total lapangan kerja<span style=""> </span>yang tersedia meningkat sebesar 8<span style=""> </span>persen antara tahun 2003 sampai<span style=""> </span>dengan tahun 2006. Pada periode yang<span style=""> </span>sama, lapangan kerja pada sector<span style=""> </span>pertambangan meningkat sebesar 70<span style=""> </span>persen, salah satu penyebabnya adalah<span style=""> </span>upaya-upaya rekonstruksi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Sementara<span style=""> </span>itu jumlah industri rumah tangga dan<span style=""> </span>industri meningkat secara substansial<span style=""> </span>selama dua tahun terakhir sebagai<span style=""> </span>akibat dari banyaknya bantuan yang<span style=""> </span>dilakukan oleh donor dan LSM secara<span style=""> </span>terus-menerus kepada masyarakat<span style=""> </span>untuk memperbaiki mata pencaharian mereka, yang mendorong banyak orang untuk memulai usaha kecil. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_5" spid="_x0000_s1046" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image007.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="position: absolute; z-index: 21; left: 0px; margin-left: 72px; margin-top: 54px; width: 384px; height: 348px;"><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image008.gif" shapes="Picture_x0020_5" height="348" width="384" /></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya lapangan kerja pada sektor manufaktur.<span style=""><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_4" spid="_x0000_s1047" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image009.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="0" width="120"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image010.gif" shapes="Picture_x0020_4" height="228" width="300" /></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <br /> <p class="ListParagraph" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">c)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Perdagangan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -13.75pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">i)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Ekspor<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ekspor Aceh sangat bergantung pada gas alam <i style="">(Liquid Natural Gas–LNG)</i></span><i style=""><span style="" lang="SV">.</span></i><span style="" lang="SV"> Ekspor non-migas didominasi oleh industri-industri yang bergantung pada</span><span style="" lang="SV"> <span style="">ketersediaan gas dengan harga murah</span>. Konflik yang berkepanjangan juga menyebabkan menurunnya produksi gas dan ketidakpastian kebijakan pemerintah terhadap penyubsidian gas menyebabkan penurunan ekspor industri non-migas secara dramatis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dua perusahaan produsen pupuk telah mengurangi produksinya secara signifi kan sejak awal dekade ini, kedua perusahaan ini adalah PT Pupuk Iskandar Muda pada tahun 2001 dan PT Aceh Asean Fertilizer pada tahun 2005. <span style="">Ekspor komoditas juga menurun. Produk-produk pertanian dan perikanan</span> <span style="">diharapkan merupakan alternative utama yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekspor. Namun, sejak tahun 2000 ekspor mengalami penurunan walaupun harga dan permintaan internasional meningkat.</span><span style=""> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 150%;" align="center"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_10" spid="_x0000_s1033" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image011.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="12" width="120"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image012.gif" shapes="Picture_x0020_10" height="240" width="326" /></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;" align="center"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;" align="center"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: center; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;" align="center"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_7" spid="_x0000_s1032" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;margin-left:81pt;margin-top:9.9pt;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image013.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="13" width="108"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image014.gif" shapes="Picture_x0020_7" height="264" width="326" /></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span style="font-size: 8pt; line-height: 150%;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <br /> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="PT-BR"><span style="">ii)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="PT-BR">Impor<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="PT-BR">Impor meningkat secara substansial setelah tsunami, dari US$ 12,9 juta pada tahun 2004 menjadi US$ 18,5 juta pada tahun 2006</span><span style="" lang="PT-BR">. </span><span style="" lang="SV">Sebagian besar<span style=""> </span>hal ini disebabkan dari upaya-upaya<span style=""> </span>rekonstruksi dan juga meningkatnya<span style=""> </span>konsumsi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_9" spid="_x0000_s1031" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image015.emz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="0" width="108"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image016.gif" shapes="Picture_x0020_9" height="246" width="323" /></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <br /> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">6.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Sistem Kemasyarakatan Dan Kekerabatan<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES"><span style="">a)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Sejarah Masyarakat Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut <i style="">Aceh Rayeuk</i>, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Semasa masih sebagai kerajaan, <i style="">Aceh Rayeuk</i> (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (<i style="">Aceh Proper</i>) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke darah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan <i style="">Onderhorigheden.</i> <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh.Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang. Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, <i style="">Aneuk Jamee</i>, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis in adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi) Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebahai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi,<span style=""> </span>sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh).<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="ES"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">b)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Sistem Kemasyarakatan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Etnis Aceh dibagi ke dalam empat <i style="">kawom</i> (kaum) atau <i style="">sukee</i> (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat <i style="">kawom</i> atau <i style="">sukee</i> tersebut, yaitu :<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">a.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kawom</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> atau <i style="">sukee lhee reutoh</i> (kaum atau suku tiga ratus). </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">b.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Kawom</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> atau <i style="">sukee imuem peut</i> (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">c.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Kawom</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> atau <i style="">sukee tol Batee</i> (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">d.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kawom</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> atau <i style="">sukee Ja Sandang</i> (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat <i style="">kawom</i> ini seringkali terlibat dalam konflik internal. <i style="">Kawom-kawom</i> ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama <i style="">kawom</i> cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam <i style="">kawom-kawom</i> tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. <i style="">“Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “</i>. Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk Narit Maja : <i style="">“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“. Pou Teumeureuhom;</i> Simbol pemegang kekuasaan. <i style="">Syiah Kuala;</i> Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. <i style="">Qanun;</i> Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. <i style="">Reusam;</i> Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu ” <i style="">Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”</i><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat <i style="">(leading)</i> sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan <i style="">Gampong </i>dan kawasan <i style="">Mukim</i>:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">a. <i style="">Gampong:</i> Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh <i style="">Keuchik</i> dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. <i style="">Keuchik</i> adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003) <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">b. <i style="">Mukim:</i> kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa <i style="">Gampong</i> yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh <i style="">Imeum Mukim</i>. </span><i style=""><span style="" lang="SV">Imeum Mukim</span></i><span style="" lang="SV"> adalah Kepala Pemerintahan <i style="">Mukim</i> (Qanun No.4 Tahun 2003)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">c)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Struktur Masyarakat <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan <i style="">Umara</i> dan golongan <i style="">Ulama</i>. <i style="">Umara</i> dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, <i style="">Uleebalang</i> sebagai pimpinan unit Pemerintah <i style="">Nanggroe</i> (negeri), <i style="">Panglima Sagoe</i> (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan <i style="">Keuchiek</i> atau <i style="">Geuchiek</i> yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan <i style="">Gampong</i> (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Sementara golongan <i style="">Ulama</i> yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut <i style="">Ureung Nyang Malem</i>. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok <i style="">Ulama</i> ini dapat disebutkan, yaitu : <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -9pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Rockwell;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tengku Meunasah</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah <i style="">Gampong</i> (kampung).<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -9pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Rockwell;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Imum Mukim</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -9pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Rockwell;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Qadli (kadli)</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">, yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga pada tingkat <i style="">Nanggroe</i> yang disebut <i style="">Kadli Uleebalang</i>. <i style="">Teungku-teungku</i>, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah <i style="">Teungku Chiek</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 27pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">d)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Pola Kehidupan Masyarakat Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 22.5pt; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pola kehidupan masyarakat Aceh<span style=""> </span>diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut :<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">a.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut <i style="">Ureung Le</i> (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">b.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">c.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">d.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar<em> "Tuanku" </em>keturunan <em>"Uleebalang"</em> yang bergelar <em>"Teuku" </em>(bagi laki-laki) dan <em>"Cut"</em> (bagi perempuan).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut <em>"Gampong" </em>(Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat. Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula ke dalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu sangat berbeda dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan terbuka. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa sub etnis, yaitu <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style=""> </span>Aceh <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Alas, orang Alas berasal dari kabupaten Aceh Tenggara yang lazim disebut Tanah Alas. Sukubangsa ini dianggap sebagai pecahan dari sukubangsa Gayo. Jumlah penduduknya diperkirakan sekitar 90.000 jiwa lebih. Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Aneuk Jamee</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">, suku bangsa Anak Jamek atau <i style="">Aneuk Jamee</i> di kecamatan Samadua dan Manggeng, Kabupaten Aceh Selatan. Jumlah populasinya diperkirakan sekitar 14.000 jiwa. <i style="">Aneuk Jamee</i> dalam bahasa Aceh secara harfiah berarti "anak tamu" atau pendatang. Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Gayo, orang Gayo berdiam di Kabupaten Aceh Tengah, sebagian lain di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut Tawar. </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";">Tempat bermukim orang Gayo disebut Tanoh Gayo (Tanah Gayo). Diperkirakan jumlah orang Gayo seluruhnya sekitar 120.000 jiwa.</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Gumbak Cadek, suku bangsa ini dikenal pula dengan nama orang Muslim Gunung Kong atau Orang Cumbok. Mereka hidup dari peladangan berpindah di hutan-hutan kebupaten Aceh Barat. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tamiang, orang Tamiang mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, yang dahulu merupakan wilayah administratif Kawedanan Tamiang. Diperkirakan saat ini orang Tamiang berjumlah sekitar 125.000 jiwa lebih.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Kluet<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Simeulu<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -13.5pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Singkil<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 22.5pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">e)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Sistem Kekerabatan<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Adat Aceh dari masa istri dalam keadaan hamil sampai kepada anaknya dikawinkan <i style="">(Mampleue)</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Meunineum</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> biasa juga disebut <i style="">Keumaweueh</i> <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 19.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Pada waktu hamil pertama seorang istri, yang dinamakan <i style="">Meutijeuem</i>, sampai pada waktu hamil 5 bulan, oleh pihak orang tua perempuan yang hamil tersebut diadakan sedikit kenduri dengan disertai nasi ketan dan dipanggil ahli famili dari pihak istri yang hamil. Setelah ahli famili dari pihak istri berkumpul, maka diadakan upacara basuh Kepala <i style="">(Rhah Ulee)</i>.Upacara meunieum ini ada juga dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Bahan makanan yang dibawa oleh pihak orang tua si suami ialah <i style="">Bu Kulah</i> yaitu nasi putih yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk Piramid di dalam hidang, <i style="">bu leukat</i> (nasi ketan) untuk peusunting meunantu yang sedang hamil, disertai Ayam Panggang dan <i style="">Tumpou.<o:p></o:p></i></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 19.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Maksud tujuan dari upacara adat <i style="">Meunineum</i> ini pada mulanya ialah lebih menguatkan rasa persaudaraan antara kedua belah pihak (suami-istri) dan utnuk lebih menguatkan silaturrahmi antara sesama ahli famili. Makanan yang dibawa ini dibagi-bagikan juga kepada famili pihak istri.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Kelahiran Bayi<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 19.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Setelah bayi lahir dan setelah dibersihkan, maka kalau bayi tersebut laki-laki diazankan ditelinga kanan dan kalau bayi tersebut perempuan di<i style="">qamat</i>kan ditelinga kiri, yang dilakukan olah Ayah si bayi ataupun oleh kerabat tertua yang terpandang alim dalam keluarga.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Upacara Adat <i style="">Peucicap</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 19.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Menurut penyelidikan kami kepada orang-orang tua, bawah upacara ini dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-zam.Oleh pihak orang tua si suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu <i style="">ija</i> (kain) ayunan, <i style="">ija geudong</i> (kain pembalut) bayi, <i style="">ija tumpe</i> (popok), tilam, bantal dan tali ayun (tali ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari emas. Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru melahirkan, yang diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan Akikah, yaitu menyembelih seekor kambing, cukur rambut bayi dan pemberian nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan sebaran beras- padi serta doa selamat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Peusijuek Dapu</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> dan <i style="">Peutron Aneuk</i> (Pada Hari Ke 44 Setelah Anak Dilahirkan Yaitu Setelah <i style="">Madeueng</i>)<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Upacara <i style="">peusijuek dapu</i> (setawar sedingin tempat berdiang) dilakukan oleh orang tua dan ahli famili dari orang tua suami, yaitu orang tua pihak suami menyunting ketan kepada menantunya yang perempuan dengan uang <i style="">Teumeutuek</i> dan disertai dengan sepersalinan pakaian. Kalau di kalangan orang-orang bangsawan, selaian kepada menantu perempuan, juga turut diberi persalinan pakaian kepada orang-orang (dayang-dayang) yang turut serta mengasuh perempuan yang <i style="">medeueng</i> setelah melahirkan. </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Selain itu pada hari itu juga diadakan upacara turun anak kehalaman <i style="">(Peutron Aneuk).</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="FI"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Peutron</span></i><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> Aneuk<o:p></o:p></span></i></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Anak yang telah berumur 44 hari tersebut diturunkan kehalaman dengan dipayungi dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugiho tanoh). Pada upacara ini diatas kepala si anak dibelah Buah Kelapa dengan alas kain putih yang dipegang oleh 4 orang. Kelapa yang telah dibelah tersebut, sebelah diberikan kepada pihak orang tua suami dan sebelah lagi diberikan kepada pihak orang tua si istri, d</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">engan tujuan supaya kedua belah pihak tetap kekal dalam persatuan, rukun damai, kompak dan teguh dalam persaudaraan. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Selanjutnya diadakan pembakaran petasan (mercon) dan disuruh orang-orang yang tangkas dan ahli bermain pedang mempertunjukkan ketangkasan dengan mencincang batang pisang, supaya anak tersebut nanti berani dalam menghadapi peperangan membela negara, dan dapat menjadi Panglima Perang yang tangkas dan arif bijaksana. Selanjutnya anak tersebut ditempatkan ke dalam sebuah balai di halaman, dengan tujuan supaya anak tersebut nanti dapat menyesuaikan dirinya dengan masyarakat dan dapat menjadi orang terkemuka dalam Masyarakat. Setelah Upacara tersebut barulah anak itu dibawa masuk ke dalam rumah dengan terlebih dahulu orang tua yang membawa memberi Salam dan disambut salam serta do’a restu untuk kebahagian si anak.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="FI"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Menyerahkan</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> Anak Ketempat Pengajian<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Setelah anak berumur 7 tahun, anak tersebut dihantar oleh orang tuanya ketempat pengajian (Guru Mengaji), kalau anak lelaki ke tempat pengajian anak-anak laki-laki, kalau anak perempuan ke tempat pengajian anak perempuan dengan guru wanita. Pada waktu mengantar anak tersebut dibawa serta ketan kuning dengan tumpo dan ayam panggang, pisang abin beberapa sisir, kain putih 6 hasta, sehelai kain sarung, sedekah sekedarnya dan Beureuteh (Beras Padi digongseng) dicampur kembang. Oleh Guru mengaji dibagi-bagikan makanan yang dibawa tersebut diantara anak-anak mengaji, supaya terdapat kekompakan dan persatuan yang baik antara anak yang baru mengaji dengan murid-murid yang lama.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="FI"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Upacara</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> Sunat Rasul (Khitan)<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Sunat Rasul dilakukan setelah anak berumur antara 10 sampai 13 tahun. Anak tersebut diberi berpakaian adapt didudukkan diatas pelaminan dimaba diadakan acara Peusijeuk dengan setawar sedingin, beras padi serta dipesunting dengan ketan oleh kaum kerabat pihak ayah dan ibu serta teumeuntuk (pemeberian) uang oleh kaum kerabat. Selain itu juga ada teumeuntuk uang dari pihak tamu yang diundang kepada orang tua si anak, ataupun hantaran berupa benda. Pada upacara Sunat Rasul ini diadakan jamuan kenduri, yang bagi rakyat menurut daya dan bagi Bangsawan diadakan secara mewah, hamper menyerupai kenduri Perkawinan.Upacara Sunat Rasul dilakukan oleh mudim dengan anak tersebut disuruh mengucapkan Dua Kalimah Syahadah.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="FI"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Upacara Adat dalam Menyelesaikan Persengketaan atau Perkelahian Antar Anak-Anak.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Dalam suatu perkelahian antara anak-anak, jika terjadi pertumpahan darah <i style="">(rho darah),</i> oleh orang tua-tua kampung terus diadakan perdamaian diantara kedua belah pihak orang tua anak-anak yang berkelahi, dengan diwajibkan bagi pihak yang memukul dhirt kepada orang tua anak yang keluar darah, yaitu diwajibkan membawa ketan kuning, tumpou, kain putih 6 hasta, pakaian satu salin dan uang. Selama belum sembuh, segala urusan pengobatan ditanggung oleh pihak yang tidak rho darah dan dihadapkan orang-orang tua kampong kedua belah pihak orang tua anak-anak tersebut diadakan upacara bermaaf-maafan.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="FI"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pertunangan Menjelang Pernikahan<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Kalau seorang anak lelaki yang telah dewasa hendak dijodohkan dengan anak perempuan dari seseorang, terlebih dulu diutus seorang yang bijak dalam berbicara untuk megadakan urusan perjodohan <i style="">(meuselungoue)</i>,dan pada orang tua dari anak perempuan.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Dalam pembicaraan tersebut dibicarakan</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> persetujuan perjodohan dan penetapan mas kawin (mahar) serta penentuan hari membawa tanda (ikatan).<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="FI"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Ba Ranub <i style="">Kong Haba</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak maka datanglah serombongan orang tua-tua dari pihak lelaki kepada pihak orang tua perempuan dengan membawa sirih penguat ikatan <i style="">(ranub kong haba),</i> yaitu sirih lengkap dengan alat-alatnya dalam cerana, pisang talon (Pisang Raja dan Wajib 1 Talam), ada juga yang disertakan kain baju.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Selain itu juga dibawa benda mas 1 atau 2 mayam dengan ketentuan menurut adat kalau ikatan ini putus disebabkan oleh pihak lelaki yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut hilang. Tetapi kalau ikatan putus disebabkan karena pihak perempuan yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut harus dikembalikan dengan dua kali ganda. Pada upacara ini juga ditentukan hari dan bulan diadakannya pernikahan dan pulang penganten (Woe <i style="">Linto</i>).<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Upacara</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> Adat Perkawinan <i style="">(Woe Linto)</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 19.5pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tiga hari sebelum naik Pengantin <i style="">(Woe Linto)</i> terlebih dahulu oleh pihak pengantin laki <i style="">(Linto)</i> diantar kepada pihak pengantin perempuan <i style="">(Dara Baro)</i> sirih inai <i style="">(Ranub Gaca)</i>, Ranub lipat/Ranub Gapu 1 hidang, 1 hidang alat-lat pakaian <i style="">Dara Baro</i>, 1 Hidang <i style="">Breueh Pade</i>, 1 hidang telur rebus yang diberi berwarna, setawar sedingin, dan daun inai <i style="">(Gaca)</i> untuk inai <i style="">Dara Baro</i>.<span style=""> </span>Di rumah <i style="">Dara Baro</i> diadakan acara <i style="">Koh Andam.</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Mampleue</span></i><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> (Mempelai) <i style="">Woe Linto</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Pada upacara mempelai <i style="">Linto</i> diberi berpakaian Adat dan dihantar ke rumah <i style="">Dara Baro</i> beramai-ramai, dengan didahului oleh orang tua yang bijak, dan <i style="">Linto</i> diapit oleh anak-anak muda yang sebaya. Bawaan dari pihak <i style="">Linto</i> ialah Jeunamee (mahar atau mas kawin) seumpama1 bongkol mas, diisi dalam cerana beserta Jinong Kunyet dab Beras Padi. Cerana dibungkus dengan kain Sutra Kuning yang pada ujung kain diletakkan bohru dari emas, ranub rajeu’ atau ranub peurakan,<span style=""> </span>kue-kue (peunajoh) wajeb, meuseukat, dhoi-dhoi, bhoi, penajoh tho keukarah, bungong kayee dan lain-lain. Di halaman rumah <i style="">Dara Baro</i> rombongan <i style="">Linto</i> dijemput (dinantikan) oleh orang tua dari pihak <i style="">Linto</i> diberi salam dengan kata-kata bersanjak yang disambut pula dengan kata-kata halus bersanjak oleh pihak <i style="">Dara Baro</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Setelah itu <i style="">Linto</i> dibawa naik ke rumah, yang sewaktu tiba ditangga <i style="">Linto</i> disetawar-sedingin, dengan siraman air Mawar dan Beras Padi. Setiba diatas rumah <i style="">Linto</i> bersama rombongan ditempatkan di serambi, didudukkan di atas Pelaminan kecil, dimana diadakan jamuan makan, dan pernikahan Ijab Kabul. Ada juga pernikahan Ijab Kabul ini didahulukan harinya sebelum Upacara mempelai. Selain itu barulah <i style="">Linto</i> dijemput (dibawa) ke pelaminan besar untuk disandingkan dengan <i style="">Dara Baro</i>. Biasanya setelah bersanding, <i style="">Linto</i> bersama rombongan pulang kembali ke rumah orang tuanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Upacara Sesudah <i style="">Mampleue</i> <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Upacara Petujoh, yaitu <i style="">Linto</i> pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan kira-kira 25 orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman Kelapa yang dilakukam oleh <i style="">Linto</i> bersama <i style="">Dara Baro</i>. Pada Upacara Peutujoh oleh ibu <i style="">Dara Baro</i> diadakan teumeutuek (pemberian) uang kepada <i style="">Linto</i> disertai sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua <i style="">Dara Baro</i>, oleh <i style="">Linto</i> dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu <i style="">Linto</i>. Selanjutnya boleh ibu <i style="">Linto</i> membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada <i style="">Dara Baro</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 39pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tueng <i style="">Dara Baro</i><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Kira-kira hari ke-10 sampai 1 bulan, <i style="">Dara Baro</i> dijemput oleh ibu <i style="">Linto</i> dengan ranub Batee dan Gateng, <i style="">Dara Baro</i> dibawa ketempat <i style="">Linto</i>. Sesampainya di rumah <i style="">Linto</i> diadakan upacara, yaitu Peusijeuk <i style="">Dara Baro</i> dan Teumeutuek kepada <i style="">Dara Baro</i> yang dilakukan oleh ibu dan kerabat <i style="">Linto</i>. Tangan <i style="">Linto</i> dan <i style="">Dara Baro</i> dimasukkan ke dalam empang beras dan empang garam, sebagai ganti memberi tahu bahwa ini adalah rumahnya sendiri dan tahu dimana beras dan garam untuk perjanjian di masa-masa mendatang. Bawaan dari <i style="">Dara Baro</i> sewaktu pergi kerumah <i style="">Linto</i> adalah kue-kue Adat 3 hidang yang terdiri dari wajeb, dodoi, meusekat dan kue-kue kering lainnya serta ranub bate, kue-kue bawaan Daro Baro tersebut, oleh ibu <i style="">Linto</i> dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga. Selanjutnya oleh orang tua pihak <i style="">Linto</i> dihadiahkan kepada <i style="">Dara Baro</i> sesuatu benda menurut kemampuan dan lazim yaitu hewan betina. Demikianlah sekitar Adat Aceh, yang dapat kami paparkan menurut pengetahuan kami dan yang dapat kami tanyakan dari orang-orang tua, dengan pengharapan supaya dikoreksi kembali.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">7.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Produk Budaya<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">a)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Bahasa<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting ada;ah dialek Banda. Dialaek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda eu kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vocal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti turun menjadi tron, karena hilangnya suku pertama, seperti daun menjadi beuec. Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia bagian timur. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya<span style=""> </span>Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">b)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Pakaian Adat dan Perhiasan Pengantin<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pengantin laki-laki (<i style="">Linto</i> baro) maupun pengantin perempuan (<i style="">Dara Baro</i>), keduanya sama-sama menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket. </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_166" spid="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\baju_adat.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:18pt;margin-top:9pt;" wrapcoords="-514 0 -514 21228 21600 21228 21600 0 -514 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image017.jpg" title="baju_adat"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image018.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\baju_adat.jpg" shapes="Picture_x0020_166" align="left" height="177" hspace="12" width="120" /><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Bahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari kain katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam, sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana panjang hitam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Belakangan ini terdapat suatu kecenderungan untuk menerapkan benang emas pada bagian ujung lengan baju laki-laki, juga pada kerah, kantong dan pada bagian ujung kaki celana. Demikian juga dengan pakaian pengantin perempuan. Padahal, dulunya pakaian pengantin laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak diberi sulaman atau ragam hias. Alasannya adalah karena ragam hias telah dipenuhi dengan aksesoris yang berbentuk aneka ragam perhiasan yang terdiri dari berbagai bahan yang membuat suasana kemilau dan gemerlap. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><span style="" lang="SV">Sejarah Singkat Perhiasan<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Perhiasan dikenal oleh semua bangsa di dunia. Orang memakai perhiasan dengan tujuan yang bermacam-macam, antara lain untuk memenuhi kelengkapan pakaian upacara keagamaan dan adat sebagai simbol status di dalam masyarakat ataupun hanya agar kelihatan lebih cantik, anggun, berwibawa, dan bahkan juga memberikan kekuatan magis. Sejak zaman prasejarah, bangsa-bangsa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sudah mengenal perhiasan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Berbagai bahan dan jenis perhiasan telah dibuat sejalan dengan kemajuan teknologi. Perhiasan yang mendapat pengaruh India, antara lain bersifat religius, misalnya tali kasta (untuk menyembuhkan penyakit atau sebagai jimat) dan menunjukkan lambang status di dalam masyarakat, seperti mahkota, kalung, cincin, rantai yang digunakan oleh raja atau bangsawan. Demikian juga pemakaian perhiasan pada masa Islam yang menunjukkan lambang status.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kedatangan bangsa Barat turut mempengaruhi pola ragam bias dan bentuk perhiasan. Perhiasan di Eropa pun menunjukkan simbol dan status, serta mengekspresikan rasa cinta dan mempercantik diri. Salah satu bukti bahwa ada pengaruh budaya Barat di Indonesia, adalah perhiasan kalung dengan ragam bias berupa gambar singa, burung merpati dan bunga. Ragam bias gambar singa, burung dan bunga banyak digunakan di Eropa. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Budaya Aceh termasuk seni kerajinan perhiasannya sangat dipengaruhi oleh peradaban Islam. Motif, ornamen dan desain perhiasan tradisional Aceh merupakan terjemahan dari peradaban Islam. Pada umumnya ornamen diciptakan dari abstraksi tumbuh-tumbuhan dengan daun, tangkai, bunga dan buahnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Perhiasan tradisional Aceh juga mengenal ornamen yang merupakan abstraksi benda-benda alamiah seperti awan, bulan, bintang dan lain-lain. Bentuk geometris, seperti Bieng meuih, reunek leuek, gigoe daruet, boh eungkot dan sebagainya. Dengan bentuk ornamen yang alamiah dan abstrak tersebut menghasilkan motif-motif yang menarik. Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span class="pink"><span style="" lang="SV"><span style="">1)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_21" spid="_x0000_s1034" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Keureusang.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:18pt;margin-top:18.95pt;" wrapcoords="-379 0 -379 21032 21600 21032 21600 0 -379 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image019.jpg" title="Keureusang"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image020.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Keureusang.jpg" shapes="Picture_x0020_21" align="left" height="108" hspace="12" width="120" /><!--[endif]--><span class="pink"><span style="" lang="SV">Keureusang, <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span class="tulisan31"><span style="color: windowtext;" lang="SV">Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.</span></span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Patam Dhoe, <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span class="tulisan31"><span style="color: windowtext;" lang="SV">Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. </span></span><span style="" lang="SV"><br /></span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_22" spid="_x0000_s1035" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Patam Dhoe.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:18pt;margin-top:0;" wrapcoords="-400 0 -400 21000 21600 21000 21600 0 -400 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image021.jpg" title="Patam Dhoe"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image022.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Patam Dhoe.jpg" shapes="Picture_x0020_22" align="left" height="120" hspace="12" width="132" /><!--[endif]--><span class="tulisan31"><span style="color: windowtext;" lang="SV">Patam Dhoeterbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span class="tulisan31"><span style="color: windowtext;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span class="pink"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span class="pink"><span style="" lang="SV"><span style="">3)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span></span><!--[endif]-->Peuniti<span class="pink"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">4)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_24" spid="_x0000_s1036" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Simplah.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:18pt;margin-top:20.65pt;" wrapcoords="-338 0 -338 21346 21611 21346 21611 0 -338 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image023.jpg" title="Simplah"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image024.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Simplah.jpg" shapes="Picture_x0020_24" align="left" height="132" hspace="12" width="128" /><!--[endif]-->Simplah<span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. </span><span style="" lang="SV">Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span class="pink"><span style="" lang="SV"><span style="">5)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span></span><!--[endif]--><span class="pink">Subang Aceh</span><span class="pink"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_25" spid="_x0000_s1037" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Subang Aceh.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:18pt;margin-top:6.3pt;" wrapcoords="-320 0 -320 21073 21760 21073 21760 0 -320 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image025.jpg" title="Subang Aceh"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image026.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Subang Aceh.jpg" shapes="Picture_x0020_25" align="left" height="125" hspace="12" width="132" /><!--[endif]--><span class="tulisan31"><span style="color: windowtext;" lang="SV">Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". </span></span><span class="tulisan31"><span style="color: windowtext;">Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.</span></span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">6)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]-->Taloe Jeuem<span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_26" spid="_x0000_s1038" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Taloe Jeuem.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:18pt;margin-top:5.4pt;" wrapcoords="-343 0 -343 21086 21611 21086 21611 0 -343 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image027.jpg" title="Taloe Jeuem"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image028.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Taloe Jeuem.jpg" shapes="Picture_x0020_26" align="left" height="121" hspace="12" width="144" /><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span></span><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;">Selain itu, kita menjumpai satu ornamen yang merupakan motif khas Aceh yang terkenal dengan nama <i style="">"bungong kalimah"</i> yang sering dimunculkan dalam bentuk tulisan "Allah", "Muhammad" dan ayat-ayat lainnya dari Al-Quran.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">c)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tarian Tradisional<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Saman<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1048" type="#_x0000_t75" alt="" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Tari_Saman.jpg" title=""Tari Saman.jpg"" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:33.75pt;" wrapcoords="-204 0 -204 21448 21600 21448 21600 0 -204 0" button="t"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image029.jpg" href="file:///H:\ATJEH\aceh\Tari_Saman_files\Tari_Saman.jpg"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Tari_Saman.jpg"><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image030.jpg" title=""Tari Saman.jpg"" shapes="_x0000_s1048" align="left" border="0" height="180" hspace="12" width="192" /></a><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan iringan alat </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Musik" title="Musik"><span style="" lang="SV">musik</span></a></span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">, berupa gendang dan menggunakan </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Suara" title="Suara"><span style="" lang="SV">suara</span></a></span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dada" title="Dada"><span style="" lang="SV">dada</span></a></span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> dan pangkal </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Paha" title="Paha"><span style="" lang="SV">paha</span></a></span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Formasi" title="Formasi"><span style="" lang="SV">formasi</span></a></span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";"><a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tarian&action=edit" title="Tarian"><span style="" lang="SV">tarian</span></a></span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini dilakukan secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan posisi duduk berlutut dan berbanjar/bersaf tanpa menggunakan alat musik pengiring.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak dibawak/ditarikan oleh kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah banyak ditarikan oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan penari wanita. Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tari Likok Pulo Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Acej atau sering juga disebut<span style=""> </span>Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Seorang pemaian utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan oleh tubuh, keterampilan, keseragaman/kesetaraan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Laweut<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Laweut berasal dari kata Selawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II (PKA II). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pi atas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="IT"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">Tari Pho<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. </span><span style="" lang="SV">Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu<span style=""> </span>biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara</span><span style="" lang="IT">-upacara adat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="IT"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">Seudati<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. </span><span style="" lang="SV">Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tarian ini juga termasuk kategori <i>Tribal War Dance</i> atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan </span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Belanda" title="Belanda"><span style="" lang="SV">Belanda</span></a><span style="" lang="SV">, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT"><span style="">d)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">Alat Musik Tradisional<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="IT"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">Serune Kalee<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tembaga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Gendang (Geundrang)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan</span><span style="" lang="SV"> pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Canang<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya "Canang Trieng", di Gayo disebut "Teganing", di Tamiang disebut "Kecapi" dan di Alas disebut dengan "Kecapi Olah". Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Rapai<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">e)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Senjata<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Reuncong (Rencong)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh yaitu :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">-<span style=""> </span>Reuncong Meucugek : <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Disebut reuncong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">-<span style=""> </span>Reuncong Meupucok :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Reuncong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari gading atau emas. Bagian pangkal gagang dihiasi emas bermotif tumpal (pucok rebung) serta diberi permata ditampuk gagang, panjang keseluruhan rencong sekitar 30 cm. Sarung rencong juga dibuat dari gading serta diberi ikatan dengan emas. Bilah terbuat dari besi putih.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">-<span style=""> </span>Reuncong Pudoi :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekuranan atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudo atau yang belum sempuna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">-<span style=""> </span>Reuncong Meukure:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Perbedaan rencong dengan rencong jenis lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertenu seperti gambar ular, lipan bunga dan lainnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 13.5pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Siwaih<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hamper sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahgian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwaih yang telah diberikan hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Peudeung (Pedang)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Rockwell;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Peudeung Habsyah (dari negara Abbsinia), <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Rockwell;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Rockwell;" lang="SV"><span style="">-<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Peudeung Turki berasal dari Turi<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style=""> </span>Tombak<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Selain rencong, siwaih dan pedang; terdapat jenis senjata lain yaitu tombak. Tombak Meujanggot merupakan salah satu tombak yang ada di Aceh. Gagangnya terbuat dari kayu, bilahnya dari besi dengan ukiran motif lingkaran, segitiga dan persegi panjang. Panjangnya sekitar 200 cm. Pangkal (teubueng) di antara gagang dan bilah disematkan potongan kain dan ijuk menyerupai jenggot. Tombak ini digunakan sebagai perlengkapan upacara/lembaga kebesaran raja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">f)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Permainan Tradisional<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style=""> </span>Geulayang Tunang<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan tunang berarti pertandingan. Jadi geulayang tuning<span style=""> </span>adalah pertandingan laying-layang atau adu laying yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style=""> </span>Geudeue-Geudeue<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Geudeue-Geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style=""> </span>Peupok Leumo<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Peupok Leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung<span style=""> </span>atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. </span><span style="" lang="FI">Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari Minggu, Jumat atau hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00 - 18.00.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara Peupok leumo tuning ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktu tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style=""> </span>Pacu Kude<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Pacu Kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktir di daerah pegunungan, di samping untuk membajak sawah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Bola Keranjang (bahasa gayo: tipak rege).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Sejenis bola yang dibuat dari rotan belah dipergunakan pada permainan sepak raga (sepak takraw). Permainan ini sudah jarang sekali dilakukan sekarang ini. Pada bola keranjang diikat rumbai-rumbai kain yang berwarna merah, putih dan hitam sebanyak 15 helai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Pada masa dahulu sepak raga merupakan sejenis permainan rakyat. Permainan ini sangat digemari oleh anak-anak, remaja/pemuda maupun orang-orang dewasa. Mereka memanfaatkan waktu-waktu senggangnya dengan permainan ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">g)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Tempat Wisata<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kerkhoff<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_204" spid="_x0000_s1028" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\kerkop1.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:36pt;margin-top:4.55pt;" wrapcoords="-404 0 -404 21323 21802 21323 21802 0 -404 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image031.jpg" title="kerkop1"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image032.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\kerkop1.jpg" shapes="Picture_x0020_204" align="left" height="180" hspace="12" width="168" /><!--[endif]--><span style="" lang="FI">Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Bukti sejarah ini dapat ditemukan dipekuburan Belanda (Kerkhoff) ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda yang kuburannya masih dirawat dengan baik.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang meninggal dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="Picture_x0020_203" spid="_x0000_s1027" type="#_x0000_t75" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\krueng_raya1.jpg" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:36pt;margin-top:19.85pt;" wrapcoords="-237 0 -237 21430 21600 21430 21600 0 -237 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image033.jpg" title="krueng_raya1"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image034.jpg" alt="E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\krueng_raya1.jpg" shapes="Picture_x0020_203" align="left" height="156" hspace="12" width="182" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Krueng Raya<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Krueng Raya, 35 Km dari Banda Aceh merupakansebuah tempat pelabuhan yang bernama "Pelabuhan Malahayati", yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari Banda Aceh. Sepanjang jalan ditemukan beberapa tempat yang menarik, antara lain :<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pantai Ujong Batee <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Pantai Ujong Batee terletak sekitar 17 km arah timur Banda Aceh. Sangat cocok sebagai tempat rekreasi sambil berenang, memancing, surfing, dsb. Pantainya yang ditumbuhi pohon cemara yang lebat merupakan pelindung para pengunjung bila hari panas sehingga cukup nyaman untuk bersantai. Dekat pantai ini terdapat sebuah restauran yang menyajikan makanan khas Aceh yang terkenal yaitu Kepiting Besar, Udang Windu, Tiram, Telur Penyu, dan berbagai hasil laut dan pertanian lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Lamreh <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Lewat sedikit dari Pelabuhan Malahayati, terletak diatas bukit yang dulunya sangat tandus. Kini telah ditanami pepohonan. Dari atas bukit Lamreh ini kita dapat melihat panorama laut yang indah.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Benteng Indra Patra<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Terletak dekat pantai Ujong Batee, menurut riwayat dibangun pada masa pra Islam di Aceh yaitu dimasa kerajaan Lamuri. Dibuat dari beton kapur, cukup kuat untuk mempertahankan diri dari serangan Portugis dimasa lalu.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Makam Laksamana Malahayati<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Menurut sejarah, Laksamana Malahayati adalah seorang wanita yang memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh. Pada masa hayatnya ia pernah memangku jabatan Penguasa Pelabuhan dan memegang jabatan penting lainnya dalam Kerajaan Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Ie Su-uem<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Di daerah Krueng Raya juga dijumpai sumber air panas alam yang konon baik sekali digunakan untuk mandi dan dapat pula menyembuhkan beberapa jenis penyakit dan membuat badan sehat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Mesjid Raya Baiturrahman<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1042" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-99 0 -99 21453 21600 21453 21600 0 -99 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image035.jpg" title="masjid_raya1"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image036.jpg" shapes="_x0000_s1042" align="left" height="156" hspace="12" width="240" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Dipusat kota Banda Aceh berdiri dengan megahnya sebuah Mesjid yang agung yang bernama "MESJID RAYA BAITURRAMAN". Zaman dulu ditempat ini berdiri sebuah Mesjid Kerajaan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873 Mesjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah Mesjid sebagai penggantinya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Mesjid ini berkubah tunggal dan dibangun pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959 – 1968).<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Mesjid ini merupakan salah satu Mesjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk Yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan Mesjid tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Museum Negeri Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1043" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-110 0 -110 21438 21600 21438 21600 0 -110 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image037.jpg" title="Museum Aceh"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image038.jpg" shapes="_x0000_s1043" align="left" height="156" hspace="12" width="204" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kota Banda Aceh memiliki sebuah Museum Negeri yang terletak dalam sebuah Kompleks. Bangunan induk Museum berupa sebuah rumah tradisional Aceh, dibuat pada tahun 1914 untuk Gelanggang Pameran di Semarang, yang kemudian dibawa pulang ke Banda Aceh tahun 1915 oleh Gubernur Van Swart (Belanda) yang kemudian dijadikan Museum.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Sekarang ini lingkungan Museum ini telah bertambah dengan bangunan baru yang mengambil motif-motif bangunan Aceh seperti halnya bangunan Balai Pertemuan yang berbentuk kerucut yang bentuknya diambil dari cara orang Aceh membungkus nasi dengan daun pisang yang dinamakan "Bukulah". Bukulah ini antara lain dihidangkan pada kenduri-kenduri tertentu seperti Kenduri Blang, Kenduri Maulid Nabi Besar Muhammad Saw dan lain sebagainya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Ruang pamer Museum yang baru, memiliki bangunan 3 lantai, dipenuhi oleh berbagai koleksi barang-barang purbakala yang ditata dengan baik. Salah satu koleksi Museum ini adalah Lonceng Besar yang diberi nama "CakraDonya". Lonceng ini merupakan hadiah dari Kerajaan Cina tempo dulu yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho pada tahun 1414. Beranda depan Museum memiliki bentuk khas yang juga memperlihatkan ukiran-ukiran kayu dengan motif Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Dikompleks ini sekaligus dijumpai makam sultan-sultan Aceh dimasa lalu. Makam para Sultan pada umumnya dinuat dari Batu Gunung dan dihiasi dengan Kaligraphi Arab yang indah mempesona, salah satunya adalah Makam Sultan Iskandar Muda.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pantai Lhoknga Dan Lampuuk<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1039" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" wrapcoords="-45 0 -45 21535 21600 21535 21600 0 -45 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image039.jpg" title="Lampuuk"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image040.jpg" shapes="_x0000_s1039" align="left" height="198" hspace="12" width="240" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pantai Lhoknga dan Lampuuk terletak di pantai barat Aceh. Dari Banda Aceh kurang lebih 17 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu kurang dari 20 menit.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pantai ini cukup indah dan dapat digunakan sebagai tempat berenang, berjemur di pasir putih, memancing, berlayar, menyelam dan kegiatan rekreasi lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Di sore hari pantai ini terasa lebih indah, dimana kita dapat menyaksikan matahari terbenam (Sun-Set) yang penuh pesona yang memberikan suatu kenikmatan sendiri. Dikawasan Pantai Lampuuk, anda dapat bermain golf dengan latar belakang panorama laut di Padang Golf Seulawah. Lewat sedikit dari pantai Lhoknga, anda dapat menyaksikan panorama Taman Tepi Laut yang sangat indah.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Taman Sari<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1040" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" wrapcoords="-135 0 -135 21414 21600 21414 21600 0 -135 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image041.jpg" title="taman"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image042.jpg" shapes="_x0000_s1040" align="left" height="192" hspace="12" width="228" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Sultan membangun sebuah gunung buatan yaitu Gunongan dimana permaisuri dapat memanjatinya. Begitu bangunan ini siap, permaisuri menjadi berbahagia dan lebih banyak menghabiskan waktunya disini terutama pada saat matahari akan tenggelam.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kerajaan Aceh dahulu mempunyai taman yang indah yang dinamakan "Taman Sari". Taman ini berada disekitar Istana dan berada pada aliran sebuah sungai yang bernama "Krueng Daroy". Bangunan yang masih dapat dilihat antara lain adalah "Pinto-khop" yang merupakan pintu penghubung antara Istana dan taman. Disamping itu terdapat sebuah bangunan yang merupakan gunung buatan yang disebut "Gunongan". <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1041" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-106 0 -106 21423 21600 21423 21600 0 -106 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image043.jpg" title="gunong"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image044.jpg" shapes="_x0000_s1041" align="left" height="180" hspace="12" width="228" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Gunongan merupakan sebuah bangunan peninggalan Sultan Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri Phang. Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu akan kampung halamannya, Pahang - Malaysia. Sultan kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri dapat bermain, namun disini tidak.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Monumen RI<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Setelah Indonesia merdeka (1945) Belanda masih ingin menjajah Negeri ini. Dalam perjuangan phisik melawan penjajahan Belanda tersebut, pada tahun 1948 Indonesia membutuhkan sebuah pesawat terbang untuk menembus blokade musuh, karena banyak wilayah telah dikuasai Belanda. Untuk memperoleh sebuah pesawat terbang untuk kepentingan negara waktu itu dirasa sangat sulit, karena sedang berjuang dan keadaan keuangan negara belum memungkinkan. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Presiden pertama Republik Indonesia "Soekarno" menghimbau agar rakyat Aceh menyumbangkan dana untuk membeli pesawat terbang yang diperlukan. Dalam waktu singkat dana yang diperlukan dapat terkumpul dan berhasil dibeli sebuah pesawat Douglas DC. 3. Disamping menembus blokade musuh pesawat ini juga digunakan untuk pengangkutan senjata dari luar negeri untuk mengusir penjajah. Pesawat ini kemudian merupakan cikal bakal Perusahaan Garuda Indonesia Airways yang kini merupakan perusahaan penerbangan terbesar sekaligus "pembawa bendera Indonesia".<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Untuk mengenang jasa, masyarakat Aceh yang patriotik ini, pemerintah membangun sebuah Monumen yang terletak di Jantung Kota Banda Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pendopo Gubernur<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pendopo Gubernur dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1880 diatas tanah bekas Istana Kerajaan Aceh dan diperuntukkan sebagai tempat tinggal Gubernur Belanda. Kini bangunan tersebut merupakan tempat kediaman resmi Gubernur Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.75in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1044" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-43 0 -43 21531 21600 21531 21600 0 -43 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image045.jpg" title="Pendopo"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image046.jpg" shapes="_x0000_s1044" align="left" height="199" hspace="12" width="321" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">h)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Makanan Tradisional<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Masakan Aceh pada umumnya didominasi dengan citarasa pedas. Untuk bumbunya, rempah-rempah termasuk jenis bumbu yang paling sering digunakan. </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Namun, di Gampoeng Aceh ini, nilai pedasnya cenderung lebih dikurangi, karena untuk menyesuaikan dengan selera pengunjungnya, sedangkan penggunaan rempah-rempah lebih diting</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">katkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="ES"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1049" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-120 0 -120 21479 21600 21479 21600 0 -120 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image047.jpg" title="200_bebek bakar"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image048.jpg" shapes="_x0000_s1049" align="left" height="179" hspace="12" width="180" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Bebek</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES"> Bakar<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Bebeknya dibersihkan dengan cara khusus, sehingga dagingnya pun tidak berbau. Setelah dibakar bulu halusnya, bebek dibelah jadi 4. Sebelum dimasak, dibumbui dengan 19 macam rempah-rempah. Setelah itu, diberi daun kari, agar lebih harum, baru kemudian dipanggang. Penyajiannya dengan nasi gurih, cabe hijau, timun, dan tomat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="ES"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Kari Kambing<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1050" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" wrapcoords="-108 0 -108 21492 21600 21492 21600 0 -108 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image049.jpg" title="200_kari kambing"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image050.jpg" shapes="_x0000_s1050" align="left" height="186" hspace="12" width="192" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Daging kambing dimasak dengan bumbu utamanya adalah cabe keling atau cabe India. Cabe keling atau cabe India ini sebenarnya merupakan cabai merah yang sudah dikeringkan selama satu minggu, sehingga rasanya pun sangat pedas. Kuahnya yang sangat memerah, benar-benar sepedas citarasanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="ES"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1051" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-108 0 -108 21492 21600 21492 21600 0 -108 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image051.jpg" title="200_martabak aceh"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image052.jpg" shapes="_x0000_s1051" align="left" height="180" hspace="12" width="192" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Martabak Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Bahan dasarnya adalah 1 kg terigu. Setelah diaduk, adonan terigunya dipukul-pukul, sehingga membentuk seperti martabak Bangka yang sudah sering kita jumpai, baru kemudian dimasak. </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Untuk menikmatinya, tersedia pilihan antara kari kambing atau kuah duren.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="ES">Mie</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"> Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1052" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" wrapcoords="-108 0 -108 21492 21600 21492 21600 0 -108 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image053.jpg" title="200_mie aceh"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image054.jpg" shapes="_x0000_s1052" align="left" height="180" hspace="12" width="192" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT">Mienya dibuat sendiri dari adonan terigu yang digiling. Bumbunya hampir sama dengan bumbu yang digunakan untuk membuat jenis mie goreng pada umumnya, hanya saja lebih ditambah rempah-rempah dan rasanya pun lebih spicy.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="IT"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Wingdings;" lang="FI"><span style="">v<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1053" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-108 0 -108 21492 21600 21492 21600 0 -108 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PC14\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image055.jpg" title="200_mie kepiting"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PC14/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image056.jpg" shapes="_x0000_s1053" align="left" height="180" hspace="12" width="192" /><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Mie Kepiting<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Kepiting digodok setengah matang dengan bumbu yang digunakan untuk mie aceh. Setelah itu. kepiting dibelah menjadi 8, dan dicuci. Digodok lagi, dan ditambahkan mie. Taste seafood dari kepitingnya sangat kuat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: normal;"><span style="font-size: 8pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">8.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Agama<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI">Islam merupakan agama yang dominan yaitu sekitar 98% dari populasi. Masyarakat asli Aceh terutama beragama Islam, dan sisanya adalah agama Budha, Kristen dan Hindu yang dianut oleh keturunan Jawa, Cina, Batak dan India. Kendati demikian kehidupan beragama di Aceh cukup harmonis dengan toleransi yang cukup tinggi. Sarana peribadatan seperti mesjid dan menasah terdapat di seluruh pelosok Aceh, sedangkan Gereja, Toa Peh Kong dan Kuil Hindu hanya terdapat di kota-kota besar saja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"><span style="">9.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pembangunan Dan Modernisasi<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Sejak dahulu Aceh boleh dikatakan telah mengalami perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan. Perubahan-perubahan yang tampaknya bergerak sangat lambat itu, disebabkan oleh faktor asing, pembangunan di desa-desa, perubahannya tidak signifikan. Pembangunan di Aceh terhambat karena keamanan yang kurang, komunikasi yang buruk, dan sikap apatis dari rakyat terhadap gagasan untuk membangun. Hal itu karena pemerintahan tidak dijalankan secara konsekuen sehingga usaha pembangunanpun terhambat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Rakyat pedesaaan masih kurang dalam hal pendidikan dan penerangan. Pendidikan umum yang modern adalah media yang ampuh untuk membawa perubahan dan pembangunan. Sebenarnya Aceh mempunyai potensi yang besar untuk membangun, hanya cara menggerakkannnya yang kurang. Penggeraknya adalah pemimpin-pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di desa, seperti <i style="">keusyik </i>dan orang-orang yang berwibawa, seperti Teungku. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Modernisasi dalam bidang pemerintahan belum tererealisir dengan baik dan sering membawa atau menimbulkan birokrasi dalam arti buruk yang diakibatkan karena korelasi antara peraturan-perarturan dan pelaksanaannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Modernisasi dalam bidang teknologi juga belum banyak terlihat terutama pada masyarakat yang tinggal di pedalaman. Walaupun demikian, telah diusahakan menggunakan teknologi dalam pertanian, seperti pembuatan pupuk buatan, penyemprotan hama, dan lain-lain. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Intinya, masih banyak potensi utnuk dibangun, misalnya dalam sektor pertanian. Pengetahuan dan pengertian dari pemerintah tentang masyarakat Aceh mengenai cara menggerakkna potensi tersebut harus ditingkatkan. Perlu ditambah jumlah tenaga yang mempunyai keahlian membangun serta prasarananya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; line-height: 150%;"><i style=""><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pembangunan Di Aceh Pasca Tsunami<o:p></o:p></span></i></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Bencana tsunami yang melanda pantai Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, merupakan salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah. Lebih dari 130.000 orang meninggal di Indonesia saja, dan 500.000 lainnya kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, serta keluarga mereka. Dalam hitungan hari, dunia menggerakkan program bantuan darurat terbesar yang pernah ada; pemerintah asing, komunitas dan organisasi swasta, termasuk 500 lembaga pemberi bantuan, datang ke Aceh untuk membagikan makanan, minuman, dan tempat berlindung bagi mereka yang selamat.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Proses rehab-rekon Aceh bisa dikatakan try-error. Walaupun sudah dilakukan dengan berbagai metode. Hal ini terjadi karena pelaku rehab-rekon belum memiliki pengalaman dalam menangani musibah sebesar ini. Project management, SDM, kendala lokasi pekerjaan merupakan contoh-contoh yang bisa menghambat kinerja lembaga-lembaga seperti NGO nasional maupun internasional dalam melaksanakan rehab-rekon di Aceh. </span><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Juga dalam pengelolaan budget yang ada sangat sering terjadi perubahan. Harus diakui ada beberapa donor yang sangat kaku, sehingga banyak permintaan perubahan anggaran/aktivitas yang seharusnya bisa di sesuaikan menjadi tidak boleh diubah sama sekali. Padahal proses rehab-rekon ini tentu memiliki dinamika.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Beberapa sektor rehab-rekon yang menjadi indikator bisa dikatakan jalan ditempat. Dibidang perumahan proses pembangunan perumahan masih mengalami beberapa persoalan, seperti ketika memakai metode pendampingan. Akibatnya pembangunan berjalan lamban. Mungkin resiko dalam pembangunan perumahan akan menjadi minim apabila pengerjaan rumah diberikan kepada pemiliknya. Apalagi calon penghuni “rumah baru” biasanya acap mengeluh ketika pembangunan “rumahya” diberikan kepada kontraktor yang pengawasannya hampir minim sehingga menghasilkan produk rumah yang ‘mengecewakan”. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Masalah lainnya adalah pada kebijakan pemerintah dalam membentuk tata ruang yang lebih baik dalam pembangunan lingkungan perumahan paska tsunami. Salah satu tata ruang yang dimaksud misalnya adanya pengosongan enam meter badan jalan, saluran air, dan lain-lain. Namun, dari 300 desa tsunami hanya 37 desa yang sudah membuat tata ruang sebagaimana idealnya keinginan pemerintah tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tsunami memang telah menghancurkan bayak sektor-sektor alam, seperti tambak, sawah, kebun dan sumber daya alam lainnya. Upaya melakukan recovery di bidang ini harus diakui memang agak sulit. Akan ada banyak tantangan yang ditemui, oleh karenanya perlu kerja sama yang tepat antar NGO maupun donor, dengan mengadakan recovery dan revitalisasi secara bersama dan terkoordinasi.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Keadaan rehab-rekon ini juga semakin terdesak dengan keadaan Aceh yang kini berada dalam keadaan <i style="">Booming Reconstruction,</i> yang mengakibatkan naiknya kebutuhan secara dramatis dibiaya rehab-rekon seperti material<span style=""> </span>dan juga upah pekerja. Akan tetapi yang anehnya, walau Aceh sedang <i style="">Booming Reconstructions,</i> tetap saja angka penggangguran masih tinggi. Persoalan lain adalah, adanya role sharing antara pelaku rehab-rekon yang tidak berjalan dengan baik. Keruwetan ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa banyak NGO terkesan mengejar target penyerapan anggaran.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Walau demikian, kelambanan proses rehab-rekon ini juga semestinya tidak boleh menjadikan siapa pun untuk mencari kambing hitam. Sebab, menurut suatu kaidah lama: musibah suatu kaum adalah anugerah bagi kaum lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Walaupun indikator sulit ditemukan bahwa rehab-rekon ternyata juga telah merusak mental spritual mayarakat Aceh. Akan tetapi, hal ini diperlihatkan dengan adanya pergeseran nilai yang kuat dalam tradisi sosial masyarakat Aceh. Namun demikian, setiap kita mesti juga mengakui ada hal-hal positif dari proses rehab-rekon ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Pembangunan kembali Aceh bukan hanya tentang membangun rumah melainkan membangun kembali masyarakat—sistem pelayanan kesehatan, pekerjaan, sumber air yang aman, jalan dan jembatan, mata pencaharian juga rasa kemasyarakatan dan keamanan.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Membangun kembali sistem kesehatan<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Ketika tsunami melanda Aceh, dimana juga telah menghancurkan sistem kesehatan yang sudah sangat terbatas akibat 30 tahun perang saudara. Bencana ini menghancurkan lebih dari 400 fasilitas kesehatan, dan menewaskan banyak dokter, perawat, dan penyedia jasa kesehatan lainnya yang dibutuhkan untuk membangun kembali sektor kesehatan pasca tsunami. Tujuan dari strategi pembangunan kesehatan adalah untuk memperbaiki kesehatan ibu dan anak serta masyarakatnya di daerah-daerah yang telah ditargetkan di Aceh, dan dengan demikian memperbaiki kualitas hidup mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Membangun kembali masyarakat<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tujuan dari proyek pembangunan tempat tinggal adalah untuk memulihkan dan memperbaiki kualitas hidup para keluarga yang terkena dampak tsunami dengan cara membangun kembali dan merehabilitasi rumah-rumah serta fasilitas masyarakat, pemulihan mata pencaharian, pengurangan resiko bencana, pemberdayaan masyarakat serta penguatan tata pemerintahan setempat. Anggota masyarakat berpartisipasi di setiap tahapan proses rekonstruksi. Sebagai bagian dari proyek rekonstruksi, mereka yang selamat bekerja sama untuk membangun atau memperbaiki fasilitas sanitasi yang dibutuhkan di komunitas baru mereka. Dengan membersihkan, memperbaiki dan mengebor sumur, membangun jamban dan sistem sanitasi serta menyediakan air bersih, diharapkan dapat memperbaiki kondisi air bersih dan sanitasi bagi lebih dari 100.000 orang.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Membangun Kembali Mata Pencaharian<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tsunami tidak hanya menghancurkan rumah-rumah; tapi juga menghancurkan pekerjaan dan pendapatan, sehingga banyak yang selamat tidak mampu menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Beberapa cara dilakukan untuk memperoleh kembali mata pencaharian mereka melalui sederet kegiatan seperti perbaikan dan pembangunan sektor pertanian, perikanan, peternakan dan usaha kecil, seperti kepemilikan becak (taksi motor), usaha jahit atau membuka warung. <o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: Symbol;" lang="SV"><span style="">·<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Membangun Kembali Masa Depan dan Menghadapai Risiko Bencana Di Masa Datang<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pemulihan memerlukan waktu, dan diperlukan partisipasi masyarakat Aceh untuk membangun kembali rumah, komunitas dan kehidupan mereka di tahun-tahun mendatang. Masyarakat perlu memastikan rumah dan desa baru mereka lebih siap menghadapi bencana apapun di masa datang, dengan menyertakan mitigasi risiko bencana ke dalam semua kegiatannya. Perencanaan oleh masyarakat <i style="">(Community Planning) </i>menjamin semua orang mengetahui rute penyelamatan diri yang terbaik jika suatu bencana lain terjadi; pembuatan rumah bermutu tinggi membuat rumah lebih tahan terhadap gempa bumi yang kuat atau banjir, dan sistem peringatan dini memberi lebih banyak waktu kepada orang untuk menyelamatkan diri dalam situasi darurat. Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in;"><span style="font-size: 8pt;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; text-indent: -19.85pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"><span style="">10.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Problematika<span style=""> </span>kebudayaan di Aceh<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Konsep, politik dan strategi kebudayaan, dalam suatu kawasan teritori seperti Aceh –yang di dalamnya terdapat beraneka ragam (sub)etnik dan bahasa, selalu saja melahirkan tiga lingkup pengkajian penting penting, yakni: (a) bagaimana menuntaskan pemetaan hubungan antara lokal, nasional dan global dalam konteks kebudayaan? (b) Apa dan bagaimana yang disebut identitas dan krisis kebudayaan? (c) perubahan apa yang mungkin terjadi dan bagaimana memberdayakan kebudayaan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Memahami jalan kebudayaan dan proses seperti itu, turut menentukan dalam perumusan, pembentukan dan pemetaan berbagai masalah dan penyelesaiannya, termasuk berbagai masalah dan kebijakan yang menyangkut dengan publik. Salah memahami konsep kebudayaan pada akhirnya hanya akan melahirkan pembangunan kebudayaan yang kurang tepat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Masyarakat Aceh adalah semuanya Islam. Hal ini kemudian berimplikasi kepada kenyataan kebudayaan di Aceh. Kebudayaan menyangkut kepada hal-hal yang sangat kompleks. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Kebudayaan mudah difahami di Banda Aceh. </span><span style="" lang="SV">Namun demikian, ketika memasuki wilayah wujud, mereka kesulitan untuk menunjukkan kebudayaan. Sehingga kebudayaan sering dikonkretkan kepada tari seudati, rumoh Aceh, pakaian adat, dan lain-lain yang akhirnya akan memberi pemahaman kepada konsep kebudayaan yang sangat sempit.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pascatsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah membawa banyak kerusakan di Aceh, membuat langkah pembangunan kembali sebagai jalan yang harus ditempuh. Dalam usaha rekonstruksi dan rehabilitasi, tersimpullah salah satu keputusan penting di Aceh bahwa pendekatan kultural dalam membangun Aceh –pascatsunami dan penandatanganan damai—harus dijadikan salah satu hal penting diperhatikan berbagai pihak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Dalam konteks kebudayaan (culture), bencana itu berimplikasi serius. Ada masalah yang tersisa dalam konteks kebudayaan pascabencana. Perubahan wujud kebudayaan di Aceh setelah melewati bentang perjalanan sejarah yang panjang, termasuk akibat bencana tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kebudayaan di mata banyak kalangan, terutama di mata mereka yang berkesempatan ambil peran dalam kerja-kerja perbaikan Aceh, tidak dilihat sebagai pokok penting dalam agenda “rehab-ulang” dalam konsepsi kebudayaan yang luas.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kebudayaan Aceh merupakan bagian dari hubungan nasional yang dimiliki nilai khas, terutama ketika dilihat dari segi ruhnya yang Islami. Akan tetapi dalam dinamika proses pewarisan tersebut beberapa unsur budaya luhur ikut memudar atau bahkan menghilang seiring semakin menguatnya pengaruh globalisasi yang membayangi masyarakat Aceh. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Setiap kebudayaan masyarakat bangsa di mana pun di dunia selalu mengalami pasang surut, hal ini dapat sebabkan oleh banyak faktor dalam masyarakat: disebabkan faktor politik yang tidak menentu, perebutan kekuasaan, atau konflik sosial lainnya. Demikian pula halnya dengan kebudayaan Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Identitas Aceh mencakup: Islam, adat, bahasa Aceh, Serambi Mekkah, Dayah, Pendidikan, tari, peusijuek (menepungtawari), peunujoeh (tujuh hari setelah kematian), hiem (teka-teki), pakaian adat, rumah Aceh, rapai, seudati, panton seumapa, perlawanan, keras kepala, dan Saman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kenyataan ini, menggambarkan bahwa ternyata, pemahaman orang Aceh terhadap identitas menjadi berbeda-beda. Padahal untuk penyebutan terhadap identitas Aceh, dominan disebut dalam masyarakat. Hal ini mengkonkretkan tiga identitas: fanatik terhadap Islam, bahasa Aceh, dan terbuka terhadap tamu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Penggunaan bahasa Aceh dalam masyarakat sangat kurang dipergunakan mengingat, bahwa masyarakat yang hidup di Banda Aceh sudah cenderung heterogen –tidak lagi homogen. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Sebagian masyarakat merasa sangat nyaman dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih komunikatif bila dibandingkan dengan bahasa Aceh. Mereka umumnya susah memahami bila menggunakan bahasa Aceh untuk menyampaikan sesuatu kepada anak-anak dan keluarga mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Kondisi ini, tentu harus menjadi “lampu kuning” di masa depan. Bagaimana pun, bahasa Aceh harus dibumikan di bumi Aceh sendiri. Namun, hendaknya dapat menjadi catatan bagi pengembangan bahasa Aceh di masa depan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Sementara tingkat keterbukaan masyarakat Aceh terhadap tamu sudah banyak yang berubah. Hal ini kian marak ditemukan pascatsunami di mana hidup tanpa kepastian sudah menjadi gejala baru dala kehidupan masyarakat kita.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Titik-titik kritis yang didapat dalam kenyataan adalah sebagai berikut:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Titik kritis pertama adalah ketika sebagian orang Aceh seperti tidak melihat ada sesuatu yang kritis sejak dari pemahaman kebudayaannya. Identitas yang berupa “Citra diri” dan “harga diri”, sebenarnya adalah cermin, dan bukan sebagai keegoan. </span><span style="" lang="IT">Masalah ada di dalam diri, juga ada di luar diri. Kenyataan bisa diukur, dengan sejauhmana “luar” mau menghargai kebudayaan lokal sebagaimana semua lembaga dunia menyepakati pentignya Code of Conduct dalam memberikan bantuan untuk daerah-daerah yang mengalami bencana seperti Aceh. Ini adalah kenyataan yang juga berpengaruh sejauhmana mengentalnya titik kritis kebudayaan melalui identitas lokal di Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Titik kritis kedua adalah pemahaman terhadap agama –khususnya dengan apa yang disebut sebagai Fanatik terhadap agama. Dengan kata lain, masih terbuka peluang untuk dipertanyakan bahwa bagaimana pemahaman orang Aceh terhadap agama hingga melahirkan fanatik seperti yang terlihat sekarang ini. Juga semakin mengemuka kecenderungan seolah-olah bentuk pemahaman orang Aceh terhadap agama harus sesuai dengan bentuk pemahaman orang non-Aceh terhadap agama. Padahal orang Aceh –sebagai orang daerah manapun di dunia—memiliki karakteristik tersendiri bagaimana pemahaman itu, yang didapat dari proses hidup dan berkehidupan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Titik kritis ketiga adalah tentang kenyataan seolah-olah bahasa Aceh tidak lagi dipandang sebagai cermin diri dalam makna yang luas. Penggunaan bahasa telah dipandang sebagai alat komunikasi semata, tanpa melihat bahwa bahasa juga adalah kekayaan kebudayaan yang bisa mencerminkan kondisi dan perkembangan bagi penuturnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Titik kritis yang keempat adalah terdapat perbedaan antara konsep terbuka terhadap tamu yang selama ini dipahami dengan kenyataan terbuka terhadap tamu itu sendiri. Ada gejala bahwa masyarakat Aceh cenderung menjadi masyarakat tertutup. Adanya perbedaan pemahaman ini, berimplikasi kepada sejauhmana tingkat kolektivitas maupun individualitas orang Aceh. Bisa dikatakan bahwa semakin tertutup suatu masyarakat maka kecenderungan meningginya eksistensi individualitas dalam masyarakat itu. Kenyataan ini juga bisa diukur dengan tingkat solidaritas social dalam masyarakat Aceh. Diakui atau tidak, solidaritas social di Aceh sedang mengalami masalah. Proses penyelesaian masalah terhadap sesama terhadap semua persoalan yang hadir sesudah tsunami, dapat menjadi misal dari kenyataan ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Semua yang dipaparkan di atas, memperlihatkan kecenderungan sebagai berikut:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Kecenderungan pertama, dalam konteks kebudayaan di Aceh, masyarakat Aceh ke depan semakin terbuai dengan kenyataan masa lalu, sementara alpa untuk mempersiapkan segala hal untuk menyambut masa depan yang pastinya belum diketahui bagaimana perkembangannya. Keterbuaian terhadap masa lalu serta lupa mempersiapkan masa depan (sengaja atau tidak), telah menyebabkan masyarakat Aceh terjebak dalam anomali-anomali. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Kecenderungan ini, makin mempersurut kemungkinan berkembangnya wajah cerah kebudayaan di masa depan. Interaksi sumbat, maka individualitas makin mengental ketimbang kolektivitas. Kecenderungan ini sudah berlangsung di Banda Aceh. Jadi kondisi ini diperparah lagi dengan berbagai interaksi dengan berbagai budaya yang individual, maka masa depan, orang akan mengurangi tingkat kertegantungannya dari orang lain –dalam segala hal. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Sementara dalam konteks hubungan lokal, nasional dan global, salah satu masalah yang timbul adalah penggunaan kerangka “pasti” dalam berbagai penyelesaian masalah. Dalam konteks Aceh, logika yang bertumpu pada sejauhmana ketersediaan uang/modal dan seberapa besar untung yang diperoleh, makin memupuk fenomena tentang kecenderungan pergeseran dari kolektivitas kepada individualitas, dari motif sosial atau setengah sosial menjadi ekononomi, dari kemapanan nilai menjadi ketidakmapanan nilai. Konsekuensi dari kecenderungan ini adalah tumbuh suburnya sikap dan potret di Aceh sebagai cermin dari fenomena budaya global.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="IT">Semoga segala promblematika yang terjadi di Aceh dapat segera teratasi. Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin: 0in 0in 0.0001pt 0.25in; text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 150%; font-family: "Times New Roman";" lang="PT-BR"><o:p> </o:p></span></p>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-271994631151019622.post-31215500094001427472008-09-28T21:18:00.000-07:002008-11-09T07:09:43.108-08:00Kebudayaan AmbonKEBUDAYAAN AMBON<br /><br />A.IDENTIFIKASI BUDAYA AMBON<br />Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.<span class="fullpost"> <span style="color: rgb(0, 0, 255);"><span class="fullpost"> </span></span><br /><span class="fullpost">Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.<br />Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan bernenang.<br />Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.<br /><br />B.KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN<br />Bentuk Desa di Ambon<br />Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumah-rumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.<br />Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.<br /><br />C.SISTEM KEMASYARAKATAN<br />Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan ata persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah "PELA".<br />Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm 183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.<br />Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya "Pela (Gandong)" bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.<br />Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara.<br />Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :<br />Tuan tanah<br />Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan<br />Kapitan<br />Seseorang yang ahli dalam peperangan<br />Kewang<br />Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan<br />Marinyo<br />Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :<br />Patalima<br />Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.<br />Jajaro<br />Organisasi kewanitaan Suku Ambon<br />Ngungare<br />Organisasi kepemudaan<br />Pela Keras<br />Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.<br /><br />Pela Minum Darah<br />Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.<br />Pela Makan Sirih<br />Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah<br />Muhabet<br />Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian<br />Patasiwa<br />sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelomp[ok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam warga-warganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.<br /><br />Pengertian Pela<br /> Pela berasal dari kata "Pila" yang berarti "buatlah sesuatu untuk bersama". Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi "pilatu", artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong dsatu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).<br /><br />Jenis-Jenis Pela<br />a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah<br />Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat "persaudaraan darah" untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:<br />- tidak boleh menikah<br />- saling membantu dan memikul beban.<br />Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.<br /><br />b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih<br /> Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.<br /><br />c) Pela Ade Kaka<br />Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.<br /><br />Panas Pela<br /> Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.<br /><br />Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi<br />Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh. Inilah suatu pergumulan.<br /><br />D. SISTEM KEKERABATAN<br /> Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.<br /> Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal.<br /> Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.<br />E. MATA PENCAHARIAN<br /> Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batang-batang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buah-buahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.<br /> Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).<br /> Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan.<br /> Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orang-orang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.<br /><br />F.AGAMA DAN ADAT<br /> Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.<br /> Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.<br /><br /><br /><br />G.UPACARA ADAT<br />”Antar Sontong”<br />Antar sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka menuju pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk menciduk mereka dari laut.<br />”Pukul Manyapu”<br />Pukul manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa Mamala-Morela yang biasanya dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul Fitri.<br /><br />H.SISTEM PERKAWINAN<br /> Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin masuk.<br /> Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.<br /> Bentuk perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.<br /> Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:<br />1.Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.<br />2.Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen.<br />3.Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya yang disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.<br />Orang-orang yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan hukum Islam. Namun disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila sang suami belum mampu membayar mas kawin menurut adat maka wanita itu tidak perlu ikut bersama suaminya. Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam), pengantin laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas, gong dan madanolam. Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi mereka ang beragama Nasrani.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II<br />PRODUK BUDAYA<br /><br />A.BUSANA TRADISIONAL AMBON<br />Ambon merupakan ibukota propinsi Maluku yang berada di kawasan Maluku Tengah. Keberadaan busana adat Ambon, tidak hanya didominasi oleh busana yang dikenakan pada saat menghadiri upacara-upacara saja, melainkan tampak juga dalam busana seharihari. Meskipun busana adat yang biasa dipakai dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari termasuk jarang digunakan lagi saat ini, keberadaannya tetap penting untuk diungkapkan sebagai gambaran kekhasan busana mereka di masa lalu.<br />Ada beberapa contoh busana yang pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera masing-masing. Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian rupa dengan rapih. Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain palekat, yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita. Kebaya manapal yang sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di rumah, biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. Bila mereka akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain pelekat. Selain busana sehari-hari yang telah disebutkan tadi, masih ada lagi busana lain yang khususnya dipakai oleh untuk kaum wanita yang merupakan pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon ratusan tahun lamanya. Mereka biasanya mengenakan baju cele, yakni sejenis kebaya berlengan pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 sentimeter tanpa kancing. Bila akan bepergian, mereka akan melengkapinya dengan sapu tangan. Untuk busana kerja di rumah atau dikebun, baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat menyebutnya baju cele tangan sepanggal.<br />Sementara itu kaum pria di Ambon mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung yang berlengan pendek dan tidak berkancing, dilengkapi dengan celana kartou yakni celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan. Khusus untuk kaum pria yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut celana Makasar yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar. Sedangkan busana yang dikenakan pada saat bepergian, biasanya terdiri atas baju baniang yakni baju berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing, dengan leher agak tertutup. Pasangannya adalah celana panjang berikut topi yang dikenakan di kepala.<br />Penampilan gaya berbusana warga masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara keagamaan berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. Walaupun model bajunya sama, tapi kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan dalam kesempatan tersebut biasanya hitam polos<br />atau warna dasar hitam. Kecuali pada saat upacara sidi yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk menjadi pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu busana hitam ini ditabukan atau dilarang digunakan.<br />Busana dalam upacara keagamaan biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas baju dan kain hitam atau kebaya dan kain hitam. Dilengkapi dengan kaeng pikol, yakni kain hitam berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri; kole, yakni baju dalam atau kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya hitam; lenso pinggang, yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang diletakkan di pinggang melainkan hanya dipegang saja. Sementara itu busana prianya terdiri atas baniang, kebaya hitam, dan celana panjang, Jenis busana lain, khususnya dalam upacara sidi, dipakai oleh kaum remaja yang berasal dari golongan bangsawan diantaranya baju tangan kancing, yakni baju cele berlengan panjang dengan kancing pada pergelangan tangannya; busana rok, yang terdiri atas kebaya putih berlengan panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending pengikat pinggang yang terbuat dari perak, bersepatu dengan kaus kaki putih; dan seperangkat busana yang terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna putih, dan kaus tangan berwarna putih.<br />Adapun busana yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat seperti pelantikan raja, pembersihan negeri, penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama. Hanya ada penambahan tertentu pada kelengkapan busana mereka. Busana raja terdiri atas baju hitam, celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala disalempang di dada, patala di pinggang, dan topi. Begitu pula kaum wanitanya yang memakai baju hitam seperti baju cele . Para tua-tua adat mengenakan baju hitam, celana panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat pinggang. Sedangkan pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana panjang hitam tanpa menggunakan alas kaki.<br /><br />B.MAKANAN TRADISIONAL<br />- Papeda<br />- Sagu<br /><br />C.ALAT MUSIK<br />- Ukulele<br /><br />D.TARIAN TRADISIONAL<br />- tari perang<br /><br />BAB III<br />PERMASALAHAN, PEMBANGUNAN, DAN MODERNISASI DI AMBON<br /><br /><br />Peristiwa Kerusuhan Yang Terjadi Di Ambon<br />Sebelumnya mohon ma'af bagi yang sudah pernah membacanya dan karena artikel ini agak panjang. Paling tidak informasi ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita atas runtutan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon.<br /><br />Sejarah Islam Di Ambon<br /> Pembantaian, penghancuran, pembakaran, penjarahan dan pengusiran secara besar-besaran di Ambon agaknya tak pernah terbayangkan masyarakat muslim Ambon. Ambon yang dulunya sejuk dan damai, kini berubah menjadi daerah yang paling mencekam dan menakutkan, khususnya bagi umat Islam Ambon.<br /> Menilik bentuk kerusuhan, sasaran penghancuran dan korban yang teraniaya, maka dapat dipastikan bahwa kerusuhan tersebut benar-benar karena masalah SARA, khususnya agama, meskipun bukan ini faktor satu-satunya. Bahkan, peristiwa yang memalukan itu bukan sekedar bernuansa SARA, tetapi merupakan potret sebuah kebiadaban yang keji terhadap umat Islam. Kejadian ini sekaligus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa di mana Islam minoritas di situ Islam selalu ditindas.<br /><br />Potensi Konflik<br /> Sebenarnya dalam masyarakat Ambon tersimpan potensi konflik yang cukup besar, meskipun katanya di sana ada budaya pela gandong. Potensi konflik tersebut terlihat pada komposisi Islam-Kristen yang berimbang dan selama ini terjadi musabaqah dalam ekonomi, politik dan agama. Potensi tersebut semakin memanas ketika arus reformasi bergulir dan kepemimpinan politik berada di tangan Habibie yang diisukan ingin lebih melancarkan Islamisasi, termasuk politik.<br /> Secara psikologis, keterancaman orang-orang Maluku semakin terasa, dengan naiknya Habibie di panggung politik nasional yang dianggap sebagai representasi kekuatan Islam Sulawesi.<br /><br />Sasaran Penghancuran Dan Pembantaian<br /> Fakta membuktikan bahwa sasaran penghancuran dan pembantaian adalah umat Islam. Orang Islam diklaim sebagai pendatang dan Islam dipandang sebagai agama asing, bukan agama penduduk asli. Padahal, kalau kita mau jujur pada sejarah, ternyata Islamlah agama yang lebih awal datang ke Ambon daripada Katholik atau Protestan yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda. Dan harus dicatat bahwa Islam telah berhasil meletakkan fondasi kebudayaan Ambon dengan nuansa Islami.<br /> Bangsa Eropa yang pertama sekali datang ke Maluku adalah Portugis (1511). Selain mengeruk kekayaan alamnya, mereka juga memperkenalkan agama Kristen. Pada tahun 1605 Belanda yang menganut Kristen Protestan merebut benteng Portugis dan mengusirnya.<br /> Ketika terjadi perang reformasi di Eropa, orang Belanda yang Protestan memerangi dan membasmi orang-orang Portugis yang Khatolik. Karena itu, sampai tahun 1950 agama Protestan menjadi dominan di Ambon.<br /> Namun, sekali lagi harus dicatat, bahwa Islam jauh lebih dahulu berkembang di Ambon. Islam mulai masuk ke daerah ini sejak abad ke 7. Sedangkan Khatolik abad ke 16. Protestan abad 17. Jadi yang meletakkan budaya kehidupan Maluku sebenarnya adalah Islam.<br /> Tapi, sangat disayangkan, buku sejarah yang ada, sengaja diselewengkan. Dalam sejarah yang ditulis "Belanda" itu, hubungan Arab-Indonesia pada abad-abad awal itu dihilangkan. Seolah-olah Hindu dan China lebih dahulu yang datang ke Maluku. Padahal Thomas Arnold dalam buku The Preaching of Islam, menjelaskan, yang masuk lebih awal adalah bangsa Arab.<br /> Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan yang bernuansa Arab itu dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.<br /> Di Maluku, sebelum kedatangan bangsa Eropa, Islam berkembang pesat, kerajaan Islam berdiri tegar, seperti Ternate, Tidore. Jadi Islam sebenarnya bukan agama baru di Maluku. Sejak abad 7-11 Maluku sangat ramai dikunjungi saudagar-saudagar Arab, Persia dan Gujarat. Selain berdagang mereka juga menyebarkan Islam sampai kepada raja-raja Maluku. Pada abad XV di bawah pengaruh Sultan Ternate, Tidore dan Hitu, Islam berkembang dengan pesat pada hampir seluruh pulau-pulau Maluku. Islam masuk dengan jalan damai, dan penuh kesejukan, tanpa kekerasan.<br /> Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa selama menjajah, Belanda juga menyebarkan agama Kristen, sebagaimana pedagang Arab menyebarkan Islam. Penduduk Ambon yang mau memeluk Kristen mendapat perlakuan istimewa dari Kolonial Belanda. Mereka lebih berkesempatan dalam pendidikan dan lowongan kerja sebagai tentara dan pegawai Belanda.<br /> Berdasarkan sejarah di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Maluku sudah lama terintegrasi dalam sistem politik Belanda. Sejak itu beribu-ribu orang Ambon Nasrani meninggalkan kampung halaman untuk bekerja pada dinas militer maupun sipil di seluruh nusantara. Mereka digunakan sebagai Serdadu Kolonial dalam menguasai wilayah-wilayah Nusantara yang belum ditaklukkan. Pengalaman penyerbuan Belanda ke Aceh pada 1873 adalah bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang terkooptasi oleh penjajah. Pengalaman ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari orang-orang yang dieksploitasi habis-habisan di bawah monopoli rempah-rempah menjadi orang yang bersekutu dengan Belanda.<br /> Secara ideologis, akibat kedudukan istimewa ini, banyak orang Nasrani merasa mempunyai hubungan khusus dengan Belanda, karena mempunyai kesamaan agama maupun tugas, teristimewa kemiliteran (Richard Chauvel, dalam Audrey Kahin, 1985: 244).<br /> Bila orang-orang Ambon Nashara ikut dalam usaha-usaha kolonial, maka umat Islam Ambon tak mau ikut serta dalam usaha tersebut. Selain karena Belanda tidak merekrut mereka, umat Islam juga memang tidak mau bersekongkol dengan penjajah zalim. Karena itu umat Islam tidak mau memasuki pendidikan dinas militer Belanda. Maka tak aneh, sampai tahun 1920-an di desa-desa Islam tidak ada fasilitas pendidikan sekuler. Maka wajar, jika hasil sensus 1950 menunjukkan bahwa 90% umat Islam masih buta huruf. Jadi, pengalaman orang Ambon Nashara berbeda sekali dengan pengalaman Ambon muslim.<br /> Orang-orang Nashara dengan bantuan pendidikan Belanda mendominasi masyarakat Ambon sedemikian rupa, sehingga banyak orang menyangka bahwa Ambon adalah daerah Kristen semata. Maka wajar, jika masyarakat Ambon kemudian menganggap Belanda bukan sebagai penjajah. Hal inilah menurut Chauvel, yang mengakibatkan proklamasi Kemerdekaan RI 1945, tak banyak mendapat sambutan di sana.<br /> Pada tanggal 24 April 1950 Dr. Soumokil memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan. Hubungan Islam-Nasrani yang demikian tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa para pemimpin sipil RMS berikut serdadunya yang semua terdiri dari orang-orang Nashara. Sementara korban para serdadu itu banyak orang Islam. Ketakutan ini beralasan, karena menurut catatan Coorly (1968: 267) jumlah umat Islam terus meningkat yang sebelumnya sekitar 35% menjadi 49% di awal Orde Baru. Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman bagi Kristen di sana. Karena itu, ketika kerusuhan terjadi tidak mengherankan jika bendera RMS dinaikkan di berbagai tempat.<br /> Kembali kepada persoalan nasib ketertinggalan umat Islam di zaman penjajahan Belanda. Bahwa, era kemerdekaan RI 1945 merupakan angin segar dan nafas baru bagi umat Islam Ambon untuk mulai berkembang. Secara perlahan ekonomi Islam membaik dan pendidikan semakin meningkat. Pada awal Orde Baru beberapa sarjana muslim mulai menduduki posisi-posisi penting di Ambon, meskipun belum dominan. Baru pasca 1970, banyak putra daerah (penduduk asli) yang muslim, menduduki jabatan-jabatan strategis mulai dari tingkat propinsi Maluku hingga kecamatan secara adil bukan dominatif. Perkembangan Islam yang pesat dalam politik, pendidikan dan ekonomi ini , dianggap sebagai ancaman. Ketika era reformasi semakin mengarah kepada penguatan pengaruh muslim. Maka kerusuhan dan pembersihan etnispun tak terelakkan.<br /> Solusi yang ampuh untuk mengatasinya adalah saling menghormati sesama pemeluk agama, dapat menahan diri , tidak memperturutkan kebencian secara emosional dan kembali kepada nilai ajaran agama masing-masing. Sebab tidak ada satu agamapun yang mengajarkan agar pemeluknya membenci dan memerangi pemeluk agama lain.<br /><br />Pembangunan Dan Modernisasi<br />Portugal Akan Bantu Desa Bersejarahnya di Ambon<br />Ambon (ANTARA News) - Pemerintah Portugal menjanjikan akan memberikan bantuan kepada sejumlah desa di Kota Ambon yang memiliki sejarah dan nilai historis dengan bangsa dan negaranya, kata Dubes Portugal, Jose Imanuel Santos Braga. "Bantuan untuk desa-desa yang memiliki hubungan sejarah dengan Portugal ini akan segera dibantu guna memberdayakan masyarakatnya," kata Duta Besar Portugal untuk RI itu kepada ANTARA News, seusai melakukan pertemuan dengan Wakil Walikota Ambon, Dra. Olivia Latuconsina, Selasa.<br />Sejumlah desa yang akan dibantu, menurut dia, adalah Desa Tawiri, Hative Besar, Rumah Tiga dan Galala di Kecamatan Baguala, Desa Batu Merah, Galala, Soya, serta Hatalae di Kecamatan Sirimau. Ia mengemukakan, masyarakat Portugal selama ini sudah mengenal secara baik tentang Kota Ambon, namun hanya sebatas dari buku-buku maupun siaran televisi. "Diharapkan bantuan dan kerja sama dengan desa-desa di Ambon ini akan lebih mempererat hubungan emosional, serta menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Portugal untuk berkunjung ke Ambon di masa mendatang," kata Braga.<br />Bantuan bagi desa-desa tersebut, dikatakannya, merupakan proyek jangka pendek bernilai sekira Rp150 juta hingga Rp300 juta, khususnya untuk pengembangan di bidang kesehatan, pendidikan dan kebersihan. Pemerintah Portugal pun menaruh perhatian besar terhadap kepedulian Pemerintah Kota Ambon dan Pemerintah Provinsi Maluku yang merawat secara baik kondisi benteng "Victoria" yang merupakan salah satu peninggalan bangsa Portugis di jantung Kota Ambon, bahkan menjadikannya sebagai salah satu cagar budaya, demikian Jose Braga.<br />Sementara itu, Olivia Latuconsina menyambut baik niat Pemerintah Portugal membantu desa-desa di Kota Ambon yang memiliki keterikatan historis dengan bangsa tersebut. Ia menilai, kerja sama itu akan terus ditingkatkan hingga menjadi "kota bersaudara kembar" (sister city), namun hal yang diprioritaskan baru bersifat jangka pendek sebagai pintu masuk untuk memperoleh bantuan dari negara-negara Eropa. "Kita fokuskan dulu untuk merealisir program jangka pendek yang telah disepakati, sehingga benar-benar berdampak untuk pemberdayaan masyarakat yang terpuruk akibat konflik sejak 1999, terutama pada desa-desa yang memiliki hubungan historis dengan Portugal. Setelah itu barulah dijajaki kerja sama jangka panjang termasuk kota bersaudara," demikian Olivia Latuconsina. (*)<br /><br /><br />PENUTUP<br /><br /><br /> Kepulauan Maluku didominasi oleh suku Ambon yang memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan dari daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang perlu dijaga kelestariannya.<br /><br /> Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku berbeda-beda, hal ini terkait adanya perbedaan secara demografi astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang menempati daerah tersebut.<br /><br />BAB I<br />KEBUDAYAAN MINAHASA<br /><br /><br />A.IDENTIFIKASI<br /> Minahasa adalah kawasan didalam propinsi di semenanjung Sulawesi Utara di Indonesia, sesuatu daerah yang indah, terletak di bagian utara timur pulau Sulawesi, yang mencakup 27.515 km persegi, terdiri dari empat daerah - Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.<br /> Minahasa juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langkah seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum).<br /> Kebanyakan penduduk Minahasa adalah orang yang beragama Kristen, yang ramah dan salah satu suku-bangsa yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Europa terjadi saat pedagang Espanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.<br /> Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur laut<br />jazirah sulawesi utara. Luas daerah ini, termasuk kota Manado dan Bitung. Luas daerah ini termasuk kota-kota Manado dan Bitung, kurang dari 6.000 km2. Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang), orang Minahasa, atau pula Kawanua. Tetangga-tetangganya di sebelah utara adalah orang Sangir dan orang Talaud, serta orang Bolaang Mongondow di sebelah selatan.<br />Penduduk Minahasa dapat dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik, yaitu :<br />a.Tounséa<br />b.Toumbulu<br />c.Tountemboan<br />d.Toulour<br />e.Tounsawang<br />f.Pasan<br />g.Panosakan<br />h.Bantik<br />Setiap kelompok subetnik ini memiliki bahasa sendiri yang disebut dengan nama subetnik itu sendiri.<br /> Malayu Manado adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antara orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun antara mereka denga penduduk dari suku-suku bangsa lainnya, baik dalam lingkungan pergaulan kota maupun dalam lingkungan pergaulan desa. Bahkan lebih dari itu, terutama di kota-kota, secara umum terlihat orang-orang menggunakan Malayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa atau bahasa suku bangsa yang bersangkutan. Peranan Malayu Manado seperti di kota-kota ini sudah terlihat pula secara jelas di desa-desa yang penduduknya merupakan campuran dari berbagai subetnik tersebut di atas. Generasi terakhir dari orang MInahasa di kota-kota dan di desa-desa yang dimaksud tidak dapat lagi menggunakan bahasa pribumi subetnik yang bersangkutan. Proses indigenisasi Malayu Manado sedang berlangsung dengan pesat, membentuk suatu cirri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.<br /><br />B.ASAL USUL SUKU MINAHASA ANAK SUKU TONSEA<br /> Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek) Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku : Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 . Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dan lain-lain.<br />Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.<br />Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan minahasa. Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal.<br /><br />C.DATA KEPENDUDUKAN DAN DESA<br /> Sekarang ini wilayah yang dianggap wilayah etnik orang MInahasa yang terdiri dari delapan kelompok tersebut di atas, terbagi pada tiga wilayah administrasi pemerintahan, yaitu Kabupaten Minahasa, Kota Madya Manado, dan Kota Bitung. Mayoritas dari penduduk di ketiga wilayah ini ialah suku bangsa Minahasa. Selain tiga wilayah tersebut, di Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat Kab. Gorontalo, Kab. Bolaang Mongondow, Kab.Sangihe Talaud, Kodya Gorontalo, dan Kodya Bitung.<br /> Kabupaten MInahasa mampunyai 468 desa (kampung), senagai kesatuan-kesatuan administrasi yang dipimpin oleh kepala desa, secara adat disebut Hukum Tua (Kuntua). Dewasa ini, kesatuan administrasi desa telah dirubah menjadi kelurahan dan dipimpin oleh seorang Lurah. Apa yang sekarang dikenal sebagai aparatur pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa / Lurah, Orang-orang Tua Desa, dan Pamong Desa yang mengepalai sub-sub wilayah di dalam desa dan yang bertugas sebagai juru tulis, pengukur tanah, pengurus perkebunan, pengurus pengairan, dan pejabat urusan agama. Di seluruh Minahasa terdapat 27 kecamatan.<br /> Kecuali desa sebagai kesatuan administrasi tersebut ada juga perkampungan yang berupa kompleks perumahan bersama dengan kebun-kebun dan sawah-sawah yang secara administratif merupakan bagian dari suatu desa. Ada kalanya suatu bagian desa ditingkatkan menjadi desa dengan kepala desa sendiri.<br /> Suatu masyarakat pedesaan dapat pula merupakan kelompok dari beberapa desa. Masyarakat seperti itu memperlihatkan ciri-ciri kesatuan adat tertentu dan sering kali memiliki suatu bahasa atau dialek tersendiri. Suatu kelompok desa yang sudah demikian besarnya itu, biasanya juga merupakan tempat kedudukan Kepala Kecamatan (Camat). Baik desa anak, desa, maupun kelompok desa-desa seperti itu, disebut wanua.<br /> Pola perkampungan di Minahasa bersifat menetap, dalam arti bahwa suatu desa cenderung tidak berkurang penduduknya atau lenyap karena ditinggalkan akibat ladang-ladang yang makin jauh. Desa itu sendiri memang merupakan pusat aktifitas social dari para petani. Kecuali itu, setiap desa dalam perkembangannya bersifat mengelompok menjadi padat dan luas.<br /> Aspek lain dari pola desa di Minahasa ialah bahwa kelompok rumah-rumah itu mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.desa yang mulai menjadi besar, pada sebelah menyebelah jalan raya dihubungkan dengan jalan-jalan samping untuk masuk lebih dalam. Namun demikian, jalan raya tetap sebagai urat nadi desa dan sepanjang itu terletak pusat-pusat aktivitas desa seperti kantor Kepala Desa, pasar, gereja, kantor polisi, pertokoan, warung, dan sebagainya. Walaupun demikian ada pula contoh-contoh dari desa yang berbentuk meluas dimana pusat-pusat aktivitas desa tidak terletak pada satu deretan memanjang pada jalan raya tetapi tersebar.<br /> Kelancaran komunikasi antar desa terutama untuk jarak-jarak yang agak jauh banyak ditentukan oleh kendaraan-kendaraan seperti bis kecil dan kendaraan bermotor lainnya, namun demikian ini hanya terbatas pada jalan-jalan yang baik. Di desa-desa yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan-kendaraan bermotor, maka gerobak yang ditarik oleh sapi (roda sapi) atau gerobak yang ditarik oleh kuda (roda kuda) menjadi alat pengangkutan yang pokok. Roda sapi juga penting sebagai alat pengangkutan yang menghubungkan desa dengan lokasi pertanian. Jaringan jalan-jalan desa seperti itu, yang disebut jalan roda, menghubungkan tempat-tempat pertanian dengan desa, atau beberapa desa yang berdekatan. Kebanyakan dari jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor.<br /> Bentuk rumah orang MInahasa sekarang telah banyak berbeda dari bentuk-bentuk rumah kuno, walaupun masih juga terlihat adanya unsur-unsur yang khas. Unsur-unsur khas yang dimaksud antara lain lantai rumah yang berada diatas tiang-tiang yang tingginya sampai 21/2 meter. Tiang-tiang tersebut dapat dibuat dari kayu (balak) maupun dari batu kapur. Ruangan depan yang biasanya selebar rumah dimana terdapat sebuah atau dua buah tangga tidak berdinding tetapi dikelilingi dengan regel setinggi kurang lebih 1 meter dengan terali-terali dari kayu yang berukir secara sederhana. Biasanya di atas regel diletakkan gerabah-gerabah bertanah yang ditanami berbagai tanaman kembang atau tanaman hias lainnya. Dapat juga ditemukan tiang-tiang dalam ruangan itu yang dihiasi dengan ukiran-ukiran seerhana.<br /> Sebuah rumah biasanya dibagi dua oleh gang pada bagian tengah. Sepanjang gang itu terletak kamar-kamar di kedua sisinya. Bagian bawah rumah atau kolong rumah, biasanya dipakai sebagai gudang kalau diberi dinding, atau pula sebagai kamar, atau tempat gerobak dan alat-alat pertanian. Rumah yang biasanya berbentuk persegi panjang itu, beratapkan daun rumbia atau seng. Genteng tidak dikenal di Minahasa. Selain dari bangunan induk itu, suatu rumah juga mempunyai bangunan-bangunan tambahan pada bagian belakang atau samping, yang dipakai unuk dapur dan lain-lain. Tidak setiap rumah mempunyai sumur. Mereka yang tidak mempunyai sumur mengambil air dari mata air dengan bambu atau dari sumur tetangga. Umumnya, setiap rumah tangga memiliki jamban; namun demikian, apa yang terlihat pada penduduk pedesaan pada umumnya belum sesuai dengan persyaratan sanitasi lingkungan.<br /> Adapun bentuk rumah seseorang di dalam desa dapat menentukan pula apakah ia tergolong pada orang yang kaya atau tidak. Biasanya orang yang lebih kaya membuat rumah dari bahan-bahan yang lebih mahal, misalnya seng untuk atap, kaca untuk isi jendela, sedangkan jenis-jenis kayu yang dipakai adalah dari jenis kayu yang baik seperti cempaka, wasian, bahkan lingua yang terkenal sebagai kayu terbaik. Rumah seperti itu di kalangan penduduk desa disebut rumah seng atau rumah kaca. Dahulu rumah-rumah tradisional selalu dicat putih, dengan menggunakan tanah kapur sebagai bahan catnya.<br /><br />D.EKONOMI<br /> Ekonomi pedesaan sebagai suatu aspek yang mengandung ciri-ciri perilaku “petani” Minahasa tentu bukan padanan istilah ekonomi nasional. Ekonomi pedesaan merupakan suatu kompleks pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma yang terwujud sebagai pranata-pranata social yang mengatur proses dan mekanisme produksi, ditribusi, dan konsumsi yang diturunkan secara antargenerasional, yang dipengaruhi oleh ekonomi nasional, perubahan sosiobudaya umum, dan perubahan-perubahan ekologis dalam lingkungan-lingkungan sumber-sumber ekonomi. Kecuali itu, dari segi kebudayaan, proses-proses produksi, ditribusi, dan konsumsi dari setiap kegiatan ekonomi tidak terlepas dari segi-segi lain, seperti teknologi, aturan dan organisasi kerja, upacara keagamaan, nilai dan etos kerja, motivasi, dan lain-lain, kesemuanya merupakan pola/pola-pola mata pencaharian yang menunjukkan perbedaan dengan sistem ekonomi nasional, atau modern, atau formal. Namun demikian ini bukan berarti ekonomi nasioanl terpisah dari ekonomi pedesaan. Seperti dikemukakan di atas, ekonomi nasional mempengaruhi dan merupakan salah satu factor yang meyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi pedesaan maupun segi-segi kebudayaan lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa ekonomi pedesaan merupakan suatu kategori ekonomi di dalam ekonomi nasional.<br /> Di Minahasa, jaringan jalan raya tergolong baik, serta adanya pelabuhan Bitung dan bandara Sam Ratulangi, adanya industri-industri kecil, toko-toko di kota, dan kegiatan-kegiatan ekonomi modern lainnya memang secara erat berhubungan dengan, dan sangat mempengaruhi, ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang masih tradisional. Ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuk tersendiri yang menunjukkan adanya perbedaan dari masyarakat- masyarakat pedesaan lainnya, seperti Sangir, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Jawa, Bali, dan sebagainya, terutama dari segi sosiobudaya. Namun, pernyataan ini tidak mengabaikan adanya kenyataan-kenyataan variasi intrabudaya di dalam setiap masyarakat etnis ini, bukan hanya seperti yang dimaksud dengan keragaman pola-pola kegiatan ekonomi tersebut di atas tetapi juga keragaman antarlokalitas pedesaan yang diperlihatkan oleh setiap kegiatan ekonomi karena keragaman sub budaya maupun karena variasi lingkungan fisik yang melahirkan bentuk adaptasi yang berbeda-beda. Berbagai prasarana, sarana, dan pranata ekonomi di Minahsa sekarang telah mengalami perkembangan, jauh berbeda dari masa-masa, katakanlah Orde Baru. Jalan, jembatan, dan pengangkutan darat telah cukup berkembang, menyebabkan tidak ada lagi desa - yang memiliki peranan ekonomis berarti – yang masih terisolasi. Sekalipun desa-desa secara ekonomis tergolong tidak penting dengan jaringan jalan yang tidak beraspal, namun dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Sekarang, desa-desa terpencil yang yang hanya dapat dicapai dengan gerobak sangat terbatas jumlahnya. Namun peranan gerobak ini masih dapat mencukupi kebutuhan distribusi dan pengankutan keluar desa-desa jenis ini. Rata-rata panjang jalan gerobak (jalan roda) ini sampai pada jalan atau desa lain yang terletak dalam jaringan lalulintas kendaraan bermotor adalah sekitar 5 km, suatu jarak yang relatif singkat. Panjang jalan di kabupaten Minahasa adalah 722.052 km; terdiri dari jalan Negara 213,860 km, jalan provinsi 118.075 km, dan jalan kabupaten 390.605 km (BAPPEDA tingkat II Minahasa 1985 : 63). Selain kemajuan sarana dan prasarana pengangkutan darat, bandara Sam Ratulangi dan pelabuhan samudra Bitung terus mengalami pengembangan dan peningkatan daya tamping pemakai-pemakainya maupun bagi berbagai kegiatan ekonomi, langsung maupun tidak langsung.<br /> Berbagai pabrik, pertokoan yang menjual barang-barang mewah maupun kebutuhan sehari-hari, kegiatan-kegiatan perdagangan ekspor dan impor antar pulau maupun lokal, dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya tergolong pada kegiatan ekonomi modern, menunjukkan gejala-gejala perkembangan ekonomi.<br /> Kebutuhan masyarakat akan tenaga listrik dipenuhi dengan adanya pembangkit listrik tenaga air pada sungai Tondano di desa Tanggari selain pembangkit listrik tenaga air terjun di Tonsea Lama yang sudah dibangun sejak sebelum Perang Dunia II, yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan berbagai industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Demikian pula pusat pendayagunaan panas bumi seperti yang terdapat di Lahendong.<br /> Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Perkebunan-perkebunan tersebut terus mengalami peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan metode dan teknologi pertanian modern. Komoditi lain seperti coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mete, juga sudah digiatkan secara intensif.<br /> Persawahan juga menunjukkan perkembanga dalam peningkatan produksi padi, misalnya perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk dan bibit unggul. Pertebatan ikan mas dengan mempraktekkan metode baru (menggunakan air yang mengalir deras ke dalam tebat-tebat yang terbuat dari semen) sudah dijalankan di banyak desa, terutama oleh petani-petani kaya.<br /> Perladangan tradisional (kebun kering) yang umum di MInahasa ialah perladangan jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Bisanya petani menanam pula dalam kebun jagung berbagai jenis sayur, tanaman bumbu masakan, dan buah-buahan (terutama kelapa, alpukat, papaya, jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, jambu air) untuk konsumsi sendiri. Pemerintah Daerah telah mengusahakan peningkatan produksi melalui Koperasi Unit Desa (KUD).<br /> Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh perikani yang berpusat di Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang. Nelayan tradisional mulai meningkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan menggunakan peralatan yang lebih baik. Teknologi tradisional dipergunakan pula dalam penangkapan jenis-jenis biotic sumber protein di danau-danau dan sungai-sungai. Desa-desa di sekeliling danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi sebagian dari kebutuhan protein hewani yang dapat diperoleh di pasar di kota-kota.<br /> Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagai kebutuhab penduduk. Berbagai jenis kebutuhan makanan (binatang dan tumbuhan) untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pesta, bersumber dari hutan. Jenis binatang yang umum dimakan ialah babi hutan, tikus hutan (ekor putih), dan kalong. Sedangkan yang lainnya jarang dimakan karena sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan oleh orang Minahasa seperti rusa, anoa, babirusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan, telur burung maleo, dan jenis-jenis unggas lainnya. Berbagai jenis tumbuhan liar baik yang terdapat di hutan maupun lingkungan-lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan sayuran, terutama pangi, rebung, dan pakis. Demikian pula hutan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan seperti mangga, pakoba, dan kemiri. Selain itu, enau (tumbuhan ini tumbuh di hutan maupun kebun) merupakan sumber nira sebagai minuman yng terkenal di Minahsa (disebut saguer), maupun bahan gula merah.<br /> Hutan juga merupakan sumber daya untuk berbagai kebutuhan kayu sebagai bahan untuk membuat berbagai alat, dan bahan untuk bangunan gedung dan rumah. Selain dari pada itu, hutan dan lingkungan fisik lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tanaman-tanaman yang member bahan-bahan untuk berbagai kebutuhan umum, seperti rotan, kayu bakar, dan daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali luas hutan di Minahasa semakin berkurang terutama karena ekstensifikasi perkebunan cengkeh yang dilakukan oleh penduduk desa dan kota.<br />E.KEKERABATAN<br /> Pada umunya orang Minahasa membenarkan kebebasan orang untuk menentukan jodohnya sendiri; walaupun dulu kalanya dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orang tua sekalipun yang bersangkutan belum saling mengenal. Dalam hal pembatasan jodoh dalam perkawinan ada adat eksogami yang mewajibkan orang kawin di luar family, ialah kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari saudara-saudara sekandung ibu dan ayah, baik pria maupun wanita; beserta semua keluarga batih dari anak-anak mereka.<br /> Sesudah nikah, secara ideal pengantin baru tinggal menurut aturan neolokal (tumampas) pada tempat kediaman yang baru dan tidak mengelompok di sekitar tempat kerabat si suami maupun kerabat si isteri. Dalam kenyataan, ada neolokal ini tidak lagi diharuskan. Rumah tangga (sanga awu, satu dapur) baru dapat tinggal dalam lingkungan kekerabatan pihak suami maupun pihak isteri sampai mereka memperoleh rumah sendiri.<br /> Bentuk rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari hanya satu keluarga batih dan dapat pula lebih. Anak tiri dan anak angkat karena adopsi dianggap sebagai anggota kerabat penuh dalam keluarga batih maupun kelompok kekerabatan yang lebih luas. Dulu ada kecenderungan untuk memperluas jumlah anggota keluarga batih dengan adopsi karena hal ini dapat menambah tenaga kerja untuk pekerjaan pertanian. Suatu rumah tangga yang memiliki lebih dari satu kelurga batih dapat terjadi bilamana sesudah perkawinan, rumah tangga baru ini tinggal bersama dengan salah satu orang tua mereka. Bentuk rumah tangga lainnya adalah seperti apa yang dilukiskan oleh Padtbrugge yang terdapat beberapa abad yang lalu yaitu rumah famili besar yang didiami oleh enam sampai Sembilan keluarga batih, masing-masing sebagai rumah tangga sendiri karena masing-masing keluarga batih itu memiliki dapurnya sendiri. Dasar perwujudan keluarga batih orang Minahasa melalui adat perkawinan adalah monogamy.<br /> Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral, dimana hubungan kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun wanita.<br /> Telah kita kenal bahwa pada zaman dahulu dikenal suatu kelompok kekerabatan keluarga luas yang tinggal pada sebuah rumahbesar, yang rupa-rupanya mengenal adat menetap sesudah menikah yang utrolokal. Sekarang keluarga luas seperti itu tidak ada lagi. Kelompok kekerabatan yang penting yang terdapat sekarang ini dengan prinsip keturunan tersebut di atas tadi ialah taranak, atau yang lebih lazim disebut famili, suatu kelompok kekerabatan yang dalam antropologi biasanya disebut kindred. Kelompok ini sering juga disebut patuari, sekalipun istilah ini dipakai juga untuk hubungan-hubungan kekerabatan yang lebih luas yang tidak mempunyai fungsi kekerabatan apa-apa lagi. Suatu famili setidaknya memiliki ayah dan ibu dari sepasang suami-isteri, saudara-saudara ayah dan ibu, serta anak-anak dan cucu-cucu mereka, saudara-saudara sekandung dari suami-isteri dan anak-anak mereka, dan anak-anak sendiri.<br /> Identitas hubungan kekerabatan seseorang dalam kelompok famili ialah nama famili yang disebut fam. Nama famili diambil dari nama famili suami atau ayah tanpa perubahan prinsip keturunan bilateral. Hal ini diperkuat pula dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan fam isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah, tanpa mencantumkan nama kecil suami. Akan timbul suatu masalah identitas famili, yang disebut hilang fam, bila sepasang suami-isteri tidak memiliki anak laki-laki yang akan mendukung fam ayah mereka.<br /> Masalah lain yang sangat erat berhubungan dengan batas-batas hubungan kekerabatan bilateral itu adalah penurunan warisan yang terdiri dari semua harta milik yang diperoleh suami-isteri sebagai warisan dari orang tua mereka masing-masing, ditambah dengan harta yang mereka peroleh bersama selama berumah tangga. Benda-benda warisan yang belum dapat atau tidak dapat dibagi, penggunaannya secara berganti-ganti atau bergiliran yang diatur oleh saudara laki-laki yang tertua.<br /><br />F.SISTEM PEMERINTAHAN<br /> Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.<br /> Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.<br /> Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.<br /> Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.<br /> Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.<br /><br /><br />G.SOLIDARITAS DAN KERUKUNAN<br />Mapalus adalah suatu bentuk kerja sama yang tumbuh dalam masyarakat di Minahasa untuk saling bantu membantu dan tolong menolong menghadapi kendala hidup baik perorangan maupun kelompok.<br />Kerja sama yang dimaksud mencakup berbagai aspek kegiatan baik sosial maupun ekonomi sedangkan kelompok masyarakat yang dimaksud dapat dikolompokkan secara wilayah seperti Mapalus kampung Sendangan dll., kerabat seperti Mapalus Pemuda, perkumpulan seperti Kumawangkoan dll., keluarga seperti kel.besar Lapian, Masengi dll.<br />Mapalus yang lengkap di Kawangkoan banyak diketahui dari penuturan orang2 tua sedangkan yang dialami generasi sekarang tinggal sebagian kecil saja karena banyak aktivitas2 mapalus yang sudah tidak dilakukan sejalan dengan perkembangan teknologi dan taraf hidup masyarakat dengan konsekwensi kehidupan individualistis yang makin dominan.<br />Bentuk Mapalus dalam sejarah Kawangkoan dikenal dalam beberapa aspek kegiatan masyarakat Seperti:<br />1. Kegiatan Sosial, antara lain:<br />- Mendu impero’ongan, yaitu suatu kegiatan kerja bakti kampung atau lingkungan.<br />- Berantang, adalah kegiatan membantu keluarga yang terkena kedukaan.<br />- Sumakey, adalah kegiatan bersama dalam acara syukuran.<br />2. Kegiatan Ekonomi dan keuangan antara lain:<br />- Ma’endo, yaitu usaha bersama untuk menggarap kebun atau perbaikan rumah.<br />- Pa’ando, yaitu aktivitas keuangan dalam bentuk arisan.<br /><br /><br />H.KEGIATAN SOSIAL<br />Mendu Impero’ongan<br />Adalah suatu kerja sama dalam bentuk kerja bakti yang dilakukan didalam kampung apakah itu dalam tingkat wilayah desa ataukah wilayah lingkungan/Jaga tergantung kelompok tersebut apakah sekampung ataukah se lingkungan.Kegiatan2 yang dilakukan adalah kebersihan lingkungan, membuka pengairan untuk dialirkan ke kampung. Sebelum peristiwa Permesta, masyarakat Kawangkoan secara Mapalus/gotong royong membuka perairan yang bersumber dari Batu Pinabetengan dialirkan ke Kawangkoan dengan jarak kurang lebih 4 KM. Air tersebut walaupun tidak untuk diminum karena hanya disalurkan melalui got2 dipinggir jalan, namun sangat membantu usaha peternakan dan kebersihan kampung dan yang tak kalah penting untuk menjaga kemungkinan terjadinya kebakaran. Sejak adanya Perusahaan Air Minum di Kawangkoan maka got2 tidak dirawat lagi sehingga aliran air sudah tidak ada. Bentuk kerja bakti lainnya adalah masyarakat sekampung be-ramai2 ke taman pemakaman membersihkan tempat pemakaman kampung yang biasanya dilakukan menjelang hari Natal dan Tahun Baru. Masih ada aktivitas orang2 tua dulu yang masih tergolong kerja bakti (bukan kerja paksa lho) adalah mengerjakan tanah milik desa yang hasil garapannya diberikan kepada Hukum Tua (karena Hkm.Tua tidak digaji seperti lurah jaman sekarang). Semua pekerjaan pekerjaan diatas dilaksanakan dengan penuh suka relah oleh masyarakat karena semuanya dilaksanakan dalam kepentingan bersama bahkan sangat tercela apabila ada diantara anggota masyarakat yang tidak ikut sekalipun oprang itu dikenal kaya. Budaya malu masih sangat tinggi kala itu.<br /><br />Berantang<br />Berantang sudah dikenal sejak jaman nenek moyang kita yaitu cara masyarakat membantu keluarga yang terkena duka/kematian. Jaman dulu ada satu lembaga yang dibentuk dikampung yang disebut “Pimaesaan”(Bukan Pinaesaan E Kumawangkoan) yang mengatur bantuan kedukaan sejak meninggal sampai hari kedua kematian. Yang disiapkan mulai dari peti jenazah, konsumsi kecil pada hari pertama menghadapi acara pemakaman dan hari kedua makan bersama. Semua disiapkan secara bersama yang dikoordinir oleh Pinaesaan dengan tujuan membantu keluarga yang terkena musibah untuk tidak terlalu terbebani baik pisik maupun mental, bahkan dalam berantang masih tersisa saldo uang yang terkumnpul serta sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh para pelayat dan kelebihan2 itu diserahkan kepada keluarga. Dahulu berantang dilakukan secara disiplin sekali sehingga tidak ada penyimpangan2 yang terjadi yang membuat cukup banyak dana dan makanan yang tersisa namun perkembangan masa kema-sa seiring perkembangan teknologi sehingga nilai2 moral manusia makin merosot sehingga sekarang ini banyak keluarga yang terkena musibah harus berkorban mengeluarkan dana sendiri menutupi bon-bon pembelian bahan di-warung2 maupun toko2 yang dilakukan oleh pelaksana. Kejadian ini membuat Sistim Mapalus yang sangat dibanggakan justeru mengecewakan yang tentunya bukan karena sistimnya tetapi karena moral pelaksana yang buruk.<br />Sampai sekarang masih dapat kita saksikan gedung2 Pinaesaan, kebun2 milik kampung, seng2 untuk tenda2, kereta jenazah yang ada di Kawangkoan sebagai bukti dari kejayaan Pinaesaan sebagai pelaksana Mapalus tempo dulu.<br /><br />Sumakey<br />Adalah bentuk kebersamaan masyarakat di Kawangkoan mengadakan syukuran dalam acara2 di Gereja, pernikahan, hari ulang tahun perkumpulan dan kedukaan. Di Gereja sering dilakukan kebaktian2 khusus seperti hari2 gereja, pengucapan syukur panen yang dipusatkan di Gereja. Jemaat membawa makanan masing2 ke gereja dan setelah kebaktian syukur jemaat makan bersama.<br />Dalam hal pernikahan, sanak famili dari keluarga pengantin sudah membagi tugas untuk membawa bahan2 yang akan digunakan dalam resepsi, seperti ayam, babi, beras, ikan dan keperluan komsumsi lainnya. Bahan2 tersebut dimasak ber-sama2 dirumah keluarga pengantin untuk disuguhkan kepada undangan. Dengan demikian keluarga pengantin sangat tertolong dalam biaya konsumsi.<br />Dalam kedukaan sumakey dilakukan juga yaitu pada pagi subuh hari kedua kedukaan dimana pada pagi subuh masyarakat ber bondong2 datang kerumah duka membawa kue2 dan minuman kopi atau teh untuk dicicipi bersama-sama dengan keluarga, dan sesudah minum, bersama-sama berziarah kepemakaman. Pada hari minggu berikutnya dikenal dikampung dengan acara “Mingguan” setelah sama-sama pulang Gereja sanak famili masih datang menghibur keluarga dengan makan siang bersama dan untuk itu masing2 keluarga membawa makanan dari rumahnya.<br />Untuk yang terakhir ini keadaan sudah berubah dimana acara tetap dilakukan tapi nilai mapalusnya sudah hilang karena keluarga yang berduka menyediakan konsumsi sendiri untuk menjamu tamu dengan alasan sebagai ucapan terima kasih kepada pihak2 yang sudah lelah membantu keluarga saat pemakaman dan pelaksanaan berantang. Bagi keluarga yang mampu tidak menjadi masalah tetapi bagi keluarga yang tidak mampu hal ini sangat membebani.<br /><br />I.ASPEK EKONOMI/KEUANGAN<br />Ma’endo<br />Bentuk kebersamaan ini dilakukan oleh masayarkat Kawangkoan untuk menggarap kebun atau mengadakan perbaikan rumah.<br />Ada 2 cara yang dilakukan yaitu:<br />1. Sekelompok orang terdiri dari 20 sampai 30 orang membentuk kerja sama menawarkan tenaga mengerjakan kebun atau rumah orang dan dari jasa ini mereka diberi imbalan uang. Dalam kelompok ini ada pimpinan dan pengawas yang dipilih oleh anggota2nya dan biasanya nya dipilihl dari yang tertua dari kelompok itu. Menurut cerita orang tua, pangawas yang sangat berwibawa tidak segan2 mencambuki anggotanya yang lambat bekerja sehingga yang sudah terlambat harus mengejar teman2 nya yang sudah didepan. Mungkin mereka mengejar target karena dalam 1 hari dapat mengerjakan 3 atau 4 bidang kebun. Hebatnya tindakan pengawas tidak ada yang berani melawan hal mana membuktikan bahwa disiplin kelompok ini sangat tinggi. Pendapatan dibagi secara adil dan merata pada setiap minggu.<br />2. Cara kedua adalah sekelompok orang pemilik kebun dan atau rumah membentuk kelompok arisan untuk menggarap kebun/rumah Anggota2nya secara bergilir (Ma’endo arisan). Tentunya bagi anggota yang memilik kebun/rumah lebih besar memberikan tambahan dalam bentuk uang dan menjadi tabungan kelompok. Pada saat itu keichlasan sangat berperan sehingga kalau ada beda-beda tipis tidak terlalu dipermasalahkan.<br />Dalam hal perbaikan rumah jaman dulu dulu umumnya rumah2 di Kawangkoan masih menggunakan atap rumbiah sedangkan rumah yang beratap seng masih sangat sedikit. Karena umumnya rumah dari atap rumbiah maka setiap tahun atap harus diganti baru. Disini beberap kelompok orang membentuk arisan ba’atap untuk mengerjakannya. Masa berganti masa perkembangan ekonomi masyarakat makin meningkatmakaseng bukan lagi menjadi barang langkah sehingga secara ber-angsur2 rumah2 di Kawangkoan beratap seng maka Ma’endo hilang. Ma’endo penggarap kebunpun demikian dimana cangkul mulai diganti dengan mesin maka ma’endo pun hilang.<br /><br />Pa’ando<br />Bentuk mapalus ini biasanya dilakukan oleh ibu2 yang membentuk kelompok arisan uang yang dijalankan setiap minggu. Arisan ini sangat membantu keluarga2 yang membutuhkan biaya cukup besar seperti sekolah anak2, perbaikan rumah dll. Pa’ando telah dijalankan di mana2 sampai kepada orang2 Kawangkoan di Jakarta bahkan sudah meluas ke mana2 di seluruh Indonesia.<br />Dari sejarah Mapalus yang diwujudkan oleh masyarakat Kawangkoan secara turun temurun ternyata sudah banyak menolong masyarakat Kawangkoan dalam peningkatan kesejahteraan dan juga kebersamaan sekaligus meningkatkan iman kepada Tuhan yang sudah menganugerahkan segala berkat kepada mereka.<br />Walaupun beberapa kegiatan mapalus telah hilang ditelan oleh perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat namun nilai2 luhur dari mapalus sebagai budaya nenek moyang kita sangat berarti dalam membina kerukunan(me-lo’or2an), saling tolong menolong(men-sule2an) satu dengan yang lain.<br />Demikian juga dalam pelaksanaan “berantang” yang sudah terdapat penyimpangan.<br />Hal ini terjadi bukan karena kesalahan berantang itu sendiri yang bertujuan luhur tetapi justeru terletak pada manusia pelaksananya yang tidak bermoral.<br />Dahulu Mapalus begitu luas jangkauannya dan dapat dilaksanakan oleh sedikit maupun banyak orang, telah melibatkan sikaya maupun simiskin, sipintar maupun sibodoh karena didalam Mapalus keichlasan dan rela berkorban yang menjadi syarat utama. Tanpa keichlasan dan rela berkorban apalagi masuknya unsur mementingkan diri sendiri merupakan racun dari Mapalus yang bukan membawa anggota2 kepada peningkatan taraf hidup moril maupun materil tetap sebaliknya akan membawa kekecewaan dan penderitaan.<br />Mapalus mengajak orang untuk bersatu dan bersekutu saling menolong satu dengan yang lain yang berarti juga bersekutu untuk memuliakan Tuhan.<br />Karena itu di Kawangkoan Pemerintah ikut memberi perhatian terhadap kehidupan mapalus ini, pihak gerejani ikut mendorong jemaat bermapalus pihak intelektual ikut memikirkan perkembangan mapalus maka lengkaplah Mapalus menjadi suatu sarana pembangunan iman, moral dan material untuk pembangunan masyarakat Kawangkoan sebagai bagian dari Pembangunan Bangsa Indonesia.<br />Melihat dimensi Mapalus yang cukup luas terhadap kehidupan masyarakat, yang mewujudkan sifat kasih sebagai perintah Tuhan, menganjurkan kepedulian terhadap mereka yang susah sebagai wujud perikemanusiaan, dengan kelompok2 yang mau bersatu dan tunduk pada kehendak suara terbanyak sebagai wujud demokrasi dan bermuara pada peningkatan kesejahtaraan bersama yang kesemuanya bersumber pada nilai2 luhur budaya nenek moyang kita.<br />Kerukunan yang telah mencakup wilayah kecamatan atau wilayah distrik dulu disebut dengan pakasa’an yang artinya wilayah kesatuan adat yang sama dengan apa yang dahulu disebut walak, oleh pemerintah Belanda disebut distrik.<br />J.RELIGI<br />Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yang sekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islam merupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen. Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati (yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).<br />Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaib dalam menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan atau mata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan (sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.<br />Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatangaib lainnya. Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidup mereka tidak diganggu sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan mengembangkan sustu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na’amkungan atau ma’ambo atau masambo.<br />Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa, salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo, dan untuk sewa yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi ialah karema.<br />Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya yang dikenal oleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah sebagai penunjuk jalan bagi lumimuut (wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang bernama to’ar, yang juga dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu sebagai cultural hero (dewa pembawa adat).<br />Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar ( kepala walak dan komunitas desa; tona’as ). Mereka juga dalam hidupnya memiliki keahlian dan prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada kepercayaan bahwa opo-opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka ( puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Pelanggaran yang terjadi dapat mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami bencana atau kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang diberikan akan hilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi dsb.<br />Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak, pok-pok dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan keadaan tertentu dapat maengganggu manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut sangat dirasakan peranan dari opo-opo yang dapat menghadapi atau mengalahkan mereka atau mengatasi gangguan dari mereka.<br />Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggal dianggap selalu berada di sekitar kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu datang menun jukkan dirinya dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorang sebagai media yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan kerabatnya. Mukur yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan bisa menolong kerabatnya.<br />Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang mempunyai kekuatan sakti seperti rambut dan kuku. Binatang-binatang yang memiliki kekuatan sakti adalah ular hitam dan beberapa jenis burung, terutama burung hantu (manguni). Untuk tumbuh-tumbuhan yang memiliki kekuatan sakti adalah tawa’ang, goraka (jahe), balacai, jeruk suangi dll. Gejala alam seperti gunung meletus dan hujan lebat bersama petir secara terus-menerus dianggap sebagai amarah para dewa. Senjata yang dianggap memiliki kekuatan sakti yang harus dijaga dengan baik adalah keris, santi (pedang panjang), lawang (tombak), dan kelung (perisai). Ucapan berupa sumpah dan kutukan juga dikenal sebagai kata-kata yang dianggap dapat mengakibatkan malapetaka, apalagi kalau yang mengatakannya orangtua, kata-katanya dianggap memiliki kekuatan sakti. Benda-benda jimat baik yang diwariskan orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona’as yang disebut paereten adalah benda-benda yang kesaktiannya dipercaya yang sampai sekarang masih dipakai.<br />Jiwa yang dianggap sebagai kekuatan yang ada dalam tubuh manusia yang menyebabkan adanya hidup, rupanya memiliki konsepsi yang sama dengan jiwa sesudah meninggalkan tubuh karena mati atau roh. Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan.<br />Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah : gegenang (ingatan), pemendam (perasaan), dan keketer (kekuatan). Gegenang adalah unsure yang utama dalam jiwa.<br />Pada saat sekarang, sesuai dengan aturan-aturan agama Kristen, maka konsepsi dunia akhirat (sekalipun untuk mereka yang masih melakukan upacara-upacara kepercayaan pribumi untuk mendapatkan kekuatan sakti dari makhluk-makhluk halus) ialah surga bagi yang selamat, serta neraka bagi yang berdosa dan tidak percaya.<br />Upacara-upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan oleh orang minahasa sebagai perwujudan untuk mengadakan hubungan dengan dunia gaib atau sebagaikelakuakn religi atas dasar suatu emosi keagamaan, upacara-upacara itu diantaranya adalah yang biasa dilakukan pada malam hari di rumah tona’as atau di rumah orang lain, bisa juga di tempat-tempat keramat seperti kuburan opo-opo, batu-batu besar dan di bawah pohon besar. Pada saat tertentu yang dianggap penting upacara dapat dilakukan di Watu Pinabetengan, tempat di mana secara mitologis paling keramat di Minahasa.<br />Upacara dilakukan pada saat tertentu, misalnya pada malam bulan purnama. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara keagamaan pribumi dikenal dengan nama walian, pemimpin upacara dapat dipegang oleh wanita atau pria.<br />Agama-agama resmi yang umum diatur oleh orang Minahasa antara lain Protestan (yang terdiri dari berbagai sekte), katolik dan Islam. Terlepas dari tingkat kepercayaan perseorangan, unsure-unsur religi pribumi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Misalnya komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen yang diluar upacara-upacara formal Gerejani seperti yang terlihat dalam upacara-upacara dari masa hamil sampai masa meninggal maupun pada perilaku keagamaan sehari-hari. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada contoh sebelumnya dapat dilihat adanya komponen religi pribumi dalam kebudayaan Minahasa yang secara mendalam telah mengalami perubahan melalui jalur-jalur kolonialisme, pendidikan formal, dan kristenisasi maupun jalur-jalur kontak atau difusi budaya lainnya.<br /><br />BAB II<br />PRODUK BUDAYA<br /><br /><br />A. RUMAH ADAT<br />Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.<br /><br />B.BAHASA<br /> Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Tomohon selain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari delapan macam jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota Tomohon adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Tomohon termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota Tomohon khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat berusia lanjut.<br /><br />C.PAKAIAN ADAT<br /> Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.<br /> Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak.<br /><br />Baju Ikan Duyung<br /> Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci.<br /> Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih.<br /> Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju.<br /><br />Busana Pemuka Adat<br /> Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.<br /> Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.<br />D.ALAT MUSIK<br />- Kolintang<br />Kolintang adalah instrument musik tradisional yang sudah sangat terkenal di Indonesia. Instrument kolintang telah diketahui sejak jaman dahulu dan telah dipopulerkan oleh masyarakat melalui berbagai macam pertunjukan. Instrument ini semuanya terbuat dari kayu dan disebut "mawenang".<br />- Musik Bambu<br />Musik bambu adalah alat musik yang dibuat dari bambu dan dimainkan oleh kurang lebih 40 orang. beberapa jenis musik bambu adalah :<br />- Musik Bambu Melulu : seluruh instrument terbuat dari bambu<br />- Musik Bambu Klarinet : sebagian instrument terbuat dari bambu dan sebagian dari "bia"<br />- Musik Bambu Seng ; beberapa instrument terbuat dari bambu<br />- Musik Bia : instrument terbuat dari bia.<br /><br />E.LAGU DAERAH<br />- O Ina Ni Keke<br />- Oh Minahasa<br /><br />F.MAKANAN<br />- Bubur manado<br />- Ayam rica-rica<br />- Biakolobi<br /><br />G.TARI-TARIAN<br />Tari Maengket<br />Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa, maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : - Maowey Kamberu - Marambak – Lalayaan.<br />Tari Maowey Kamberu<br />Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak.<br />Tari Marambak<br />Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.<br />Tari Lalayaan<br />Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa.<br />Tari Katrili<br />Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa.<br />Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan.<br /><br /><br />Tari Kabasaran<br />Adalah Tari Perang, merupakan tarian tradisional Minahasa yang menceritakan bagaimana suku Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang hendak mendudukinya. Tari Perang ini memperagakan bagaimana menggunakan Pedang Perisai dan Tombak. Tarian Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti Penyambutan tamu dan atau diberbagai Acara.<br /><br />BAB III<br />UPACARA ADAT<br /><br /><br />A.PERNIKAHAN ADAT MINAHASA<br /> Proses pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.<br /><br /> Upacara Perkawinan adat<br /> Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).<br /><br /> Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan<br /> Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa. Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah. Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.<br /><br />B.UPACARA ADAT LAINNYA<br /> Syukuran<br /> Di samping itu di seluruh tanah Minahasa setiap tahunnya di setiap kecamatan atau kawasan diadakan upacara syukuran yang dikaitkan dengan upacara keagamaan. Kegiatan ini dipusatkan di gereja-gereja yang ada di kecamatan atau kawasan tersebut. Maksud diadakannya upacara syukuran adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat dan anugerah yang telah Tuhan berikan di Tanah Minahasa termasuk masyarakat Tomohon dalam setahun, upacara syukuran ini memiliki kemiripan dengan upacara "Thanksgiving" di Amerika.<br /><br /> Naik Rumah Baru<br /> Selain upacara syukuran di atas, di tanah Minahasa juga dikenal memiliki upacara-upacara adat yang lain seperti jika seseorang/keluarga akan menempati sebuah rumah atau menempati tempat kediaman baru maka orang/keluarga tersebut akan melaksanakan upacara syukuran "Naik Rumah Baru", hal ini dianalogikan dengan bentuk rumah tradisional Minahasa yang berbentuk rumah panggung sehingga untuk memasukinya harus menaiki sejumlah anak tangga<br /><br /><br />BAB IV<br />PARIWISATA<br /><br /><br />WISATA MEGALIT DI MINAHASA BATU-BATU EKSOTIK DARI NEGERI BIBIR PASIFIK<br />1.Waruga<br />Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: wale dan maruga. “Wale artinya rumah, dan maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Salah satu sisa megalit yang begitu terkenal dan dominan di Minahasa adalah waruga (peti kubur batu). Ini bukan sembarang peti kubur biasa. Yang istimewa, peti kubur ini terdiri atas dua bagian: badan dan tutup. Tiap-tiap bagian itu terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Umumnya, berbentuk kotak segiempat (kubus) untuk bagian badannya dan hanya sedikit yang berbentuk segidelapan atau bulat. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur jasad orang yang meninggal. “Posisi mayat di dalam batu ini dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu. Yang laki-laki, tangan berada dalam posisi kunci tangan dan perempuan kepal tangan,” papar Anton Tahuna (38) juru kunci kompleks waruga Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa. Posisi mayat tersebut terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan semestinya mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dikenal dalam bahasa lokal adalah whom. Setiap waruga biasanya dipakai untuk satu famili. Ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mayat yang berasal dari kesamaan profesi sebelum wafat. Di dalam waruga seringkali ditemukan tulang-tulang manusia yang berasosiasi dengan benda lain, macam keramik Cina, perhiasan, alat-alat logam dan manik-manik. “Waktu dikubur, barang-barang kesayangan mereka semasa hidup harus disertakan juga sebagai bekal kubur. Karena itu, di bagian bawah mayat ada piring yang besar. Maksudnya, supaya perhiasan tadi tidak jatuh ke bawah tetapi justru jatuh ke piring tadi.<br /><br /><br />2. Watu Pinawetengan<br />Batu ini merupakan bongkahan batu-batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki dan perempuan dan motif garis-garis serta motif yang tak jelas maksudnya. Para ahli menduga, goresan-goresan ini merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit.<br />Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan orang, seperti kesembuhan dari penyakit dan perlindungan dari marabahaya. Dengan melakukan ritual ibadah yang dipandu seorang tonaas (mediator spiritual), sebagian orang percaya doa mereka akan cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan – menegaskan, masyarakat yang datang ke sini bukan bertujuan menyembah batu, melainkan menjadikan batu sebagai tempat atau sarana ibadah. Soal asal-usul batu ini, masyarakat setempat percaya di sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu. Para pemimpin itu bersepakat untuk membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PENUTUP<br /><br /><br /><br /> Pulau Sulawesi di huni oleh beranekaragam suku bangsa, dimana masing-masing mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri diantaranya suku-suku bangsa tersebut, salah satunya suku Minahasa yang mendiami daerah pada bagian Timur Jazirah Sulawesi Utara.<br /> Suku Minahasa memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan dari daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang perlu dijaga kelestariannya.<br /> Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku berbeda-beda, hal ini terkait adanya perbedaan secara demografi astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang menempati daerah tersebut.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]<br />http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]<br />http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa [14 Des 2007]<br />http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30 Nov 2007]<br />http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]<br />http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html [14 Des 2007]<br />http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.html [30 Nov 2007]<br />http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7 [06 Des 2007]<br />http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30 Nov 2007].<br />http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7<br />http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/<br />http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm<br />http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa<br />http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/<br />http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]<br />http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html<br />http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.htm<br /><br /><br /><br />LAMPIRAN</span><span class="fullpost"><span style="color: rgb(0, 0, 255);"></span></span></span>jp.bond19http://www.blogger.com/profile/02183132699881751971noreply@blogger.com0