November 19, 2008

Kebudayaan Bugis

Kota Makassar sebagai tempat dimana suku Bugis banyak bermukim mempunyai posisi strategis karena berada di persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah utara ke wilayah selatan Indonesia. Dengan kata lain, wilayah kota Makassar berada koordinat 119 BT dan 5,8 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 - 5 ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai.Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km².

Jumlah kecamatan di kota Makassar sebanyak 14 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Diantara kecamat-an tersebut, ada tujuh kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso, Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya.

Kota Makassar sendiri berdekatan dengan sejumlah kabupaten yakni sebelah utara dengan kabupaten Pangkep, sebelah timur dengan kabupaten Maros, sebelah selatan dengan kabupaten Gowa dan sebelah barat dengan Selat Makassar.



1. SEJARAH

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia.

a) Kerajaan Bugis

Kerajaan pertama Bugis mengikut La Galigo ialah Wewang Nriwuk, Luwuk dan Tompoktikka. Luwuk mendapat kedudukan istimewa kerana ianya dianggap sebagai ketua Bugis. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, berlakunya perubahan didalam sosio-politik, ekonomi dan agama disebabkan berlakunya migrasi penduduk dari persisiran pantai hingga ke tengah hutan belantara membuka penempatan baru. Didalam bidang ekonomi, penanaman padi sawah, pembuatan besi dan penggunaan kuda diperkenalkan. Dari segi agama, adat membakar mayat di sesetengah tempat mula diamalkan. Pada akhir abad ke 15, munculnya beberapa kerajaan baru menentang kerajaan Luwuk. Antaranya ialah Gowa (Makassar), Bone dan Wajo'. Kematian Dewaraja, seorang raja Luwuk, menyebabkan perebutan dinasti untuk memerintah Tana Ugi. Gowa bersekutu dengan Bone menawan Luwuk dan sekaligus mempunyai pengaruh yang besar ke atas Sulawesi Selatan.

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir.
Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui didaerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.

b) Pengkolonian Belanda

Belanda kemudiannya mengabungkankan seluruh Sulawesi Selatan menjadi sebuah koloni yang stabil. Kesan pengkolonian ini membawa kepada pengenalan cukai di Sulawesi Selatan, buruh paksa dan pendaftaran untuk pengenalan diri. Sistem buruh paksa (digunakan untuk pembinaan jalan) adalah suatu unsur baru dalam kebudayaan Bugis dan menyumbang kepada migrasi Bugis terutamanya golongan bangsawan ke Tanah Melayu dari tahun 1910 hingga 1930.

Sistem cukai yang diperkenalkan Belanda meliputi cukai tanah dan cukai kepala (untuk lelaki dewasa kecuali golongan bangsawan.) Orang kampung yang kebanyakkannya miskin sering menghadapi kesusahan membayar cukai. Selepas pembayaran cukai, mereka akan menerima surat kampung yang merupakan resit, pengenalan diri dan sijil penetapan. Ini sekaligus menyebabkan tradisi nomad Bugis diharamkan dan penetapan tetap dikuatkuasakan.

Sistem kehakiman baru pula diperkenalkan dengan kehakiman barat diserapkan dalam sistem kehakiman tempatan. Disetiap daerah, sebuah mahkamah dibina dan hakim merupakan orang tempatan mempunyai ilmu tentang kehakiman tempatan dan pada masa yang sama diawasi oleh seorang pegawai Belanda
.
Dalam hal ikhwal masyarkat, Belanda terpaksa menghadapi tentangan yang bergerak secara senyap dikepalai oleh golongan bangsawan. Sebelum pencerobohan Jepang, tidak banyak gerakan ini berjaya disekat Belanda. Paling membimbangkan Belanda ialah kebangkitan nasionalis di Jawa dan cawangannya di Sulawesi Selatan. Parti Sarikat Islam atau Partai Sarikat Islam,PSI, yang berpusat di Jawa pada tahun 1918 membuka cawangannya di Makassar.
Parti ini kemudiannya ditukar nama menjadi Parti Sarikat Islam Indonesia,PSII dan menjadi sebuah pergerakkan nasionalis paling aktif di Indonesia. Cawangan bagi Parti Nasional Indonesia atau Partai Nasional Indonesia yang lebih sekular diasaskan oleh Sukarno turut membuka cawangan di Makassar. Gerakan lain yang lebih bersifat sederhana ialah Persatuan Selebes Selatan dan Muhammadiyah.

c) Pendudukan Jepang (1942-1945) dan Asas Pembentukan Indonesia (1945-1950)

Zaman pendudukan Jepang merupakan suatu titik hitam dalam sejarah Sulawesi Selatan. Walaupun tidak banyak perubahan dalam sistem pemerintahan, tetapi pendudukan telah mencetuskan suatu perubahan dalam minda Indonesia dan Asia umumnya. Orang Eropah yang dilihat berkuasa pada mulanya senang disingkirkan oleh orang Asia dan kesannya menyebabkan penentangan Belanda selepas kekalahan Jepang.

Kekalahan Jepang pada Agustus 1945 memberi peluang kepada Indonesia untuk merdeka. Sebaik sahaja pengumuman kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Muhamamad Hatta, Dr Ratulangi dilantik menjadi gubernur di Sulawesi pada 19 Agustus. Pada bulan September, tentera bersekutu Belanda mendarat di Sulawesi akan tetapi tidak menerima tentangan seperti di Jawa. Ini kerana kekurangan teknik serangan gerila oleh penduduk Sulawesi. Kumpulan tentera bersekutu ini turut membawa pegawai Belanda bagi menggantikan Dr Ratulangi.

Kumpulan gerila kemudiannya ditubuhkan dibawah Dr Ratulangi. Serangan gerila ini kemudiannya berjaya dipatahkan Belanda dan pemimpin-pemimpinnya dipenjarakan di Jawa. Ini menyebabkan kumpula gerila di Sulawesi berpecah belah. Bagi golongan-golongan muda, mereka bersatu dengan gerakan gerila di Jawa. Antara mereka ialah Kahar Muzakkar dari Luwu', Andi' Mattalata dan Yusuf. Pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia ditubuhkan selepas komuniti dunia mengiktiraf kemerdekaan Indonesia.



d) Bugis dan Pembentukan Indonesia

Pada tahun 1799, Belanda menguasai seluruh Sulawesi Selatan. Dalam tempoh pemerintahan Belanda, pelbagai unsur-unsur baru diperkenalkan seperti sistem cukai dan buruh paksa. Pendudukan Jepang pada tahun 1942 mengubah pemikiran rakyat Sulawesi Selatan terhadap Belanda. Pada tahun 1945, selepas pengunduran Jepang, Sukarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia tanpa pengiktirafan Belanda. Ini mencetuskan pertumpahan darah di Indonesia. Belanda kemudiannya terpaksa berundur dari Indonesia selepas komuniti dunia mengiktiraf kemerdekaan Indonesia.

e) Pengislaman Bugis

Sulawesi Selatan pada abad ke 16 mengalami suatu perubahan yang besar. Dalam tempoh masa ini, komuniti Bugis dan Makassar berjaya diislamkan oleh Abdul Makmur, seorang Minangkabau. Manakala pada pertengahan abad ke 16, Sulawesi Selatan dikuasai oleh Gowa dan Bone. Kerana kedua-dua negeri ingin meluaskan kuasa mereka, maka tercetuslah peperangan sesama mereka dan Bone dikalahkan. Sebagai membalas dendam, seorang putera Bone bernama Arung Palakka bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Makassar. Pada tahun 1667-1777, Makassar jatuh ketangan Belanda dan ini menyebabkan migrasi Bugis ke Sumatra dan Tanah Melayu.

A. SISTEM KEMASYARAKATAN

1. SUKU BANGSA ORANG BUGIS

Di Sulawesi Selatan ada empat suku besar yang mendominasi struktur masyarakat setempat. Ada suku Mangkasara, yang lebih di kenal di luar dengan nama Makassar, suku Bugis, Mandar dan suku Toraja. Di antara keempat suku tersebut, suku Bugis dan Makassar mendominasi daerah ini baik dari jumlah populasi maupun penyebarannya.

Suku Bugis atau rumpun Bugis itu tidak hanya ada satu suku melainkan 14 suku rumpun Bugis. Suku-suku tersebut antara lain, Suku Bentong, Bugis, Campalagian, Duri, Enrekang, Konjo Pagunungan, Konjo Pesisir, Luwu, Maiwa, Suku Makassar, Mamuju, Mandar, Pannei dan Ulumanda.

Suku Bentong memiliki populasi 25.000 jiwa, sementara suku Camaplagian dengan populasi jiwa 30.000 jiwa, sementara suku Duri dengan populasi sebanyak 475 jiwa. Untuk suku Enrekang, memiliki populasi 50.000 jiwa. Suku Konjo Pegunungan , dengan populasi sebanyak 150.000 jiwa, untuk Konjo Pesisir jumlah populasi sebanyak 125.000 jiwa, sementara suku Luwu, mimiliki populasi 38.000 jiwa suku Maiwa memiliki pupulasi 50.000 jiwa, Suku Makassar memiliki populasi 2.240.000 jiwa, suku Mamuju berpopulasi 60.000 jiwa, suka Mandar berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei berpopulasi 250.000 jiwa, suku Pannei memiliki 10.000 huwa dab suku Ulumanda memiliki 31.000 populasi,sementara suku Bugis sendiri yang masih terletak di Propinsi Sulawesi Selatan, yang memiliki populasi paling besar yaitu 3.800.000 jiwa.

Suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai 'Bahasa Ugi' dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang disebut ‘aksara’ Bugis. Tulisan ini telah ada sejak abad ke-12 seiring meluasnya pengaruh hindu di kepulauan indonesia.

Suku bangsa Bugis sudah lama berhubungan dengan Australia dan orang pribumi Australia yaitu Aborijin. Para nelayan Bugis secara teratur berlayar ke perairan Australia sebelah utara setidaknya sejak tahun 1650. Tujuan mereka adalah untuk mencari ikan teripang yang kemudian mereka asapi. Kemudian mereka membawa tripang itu kembali ke Sulawesi, dan selanjutnya diekspor ke Cina. Perjalanan mereka itu disesuaikan waktunya supaya mereka tiba di pantai utara Australia pada bulan Desember, yakni awal musim hujan. Mereka pulang di bulan Maret atau April, yakni akhir musim hujan.

Banyak orang-orang Aborijin yang bekerja untuk para nelayan tripang tersebut, mempelajari bahasa mereka, menggunakan kebiasaan menghisap tembakau, membuat gambar perahu, mempelajari tarian mereka dan 'meminjam' beberapa kisah yang mereka ceritakan. Beberapa orang Aborijin ikut berlayar dengan para nelayan itu pada saat mereka pulang ke Sulawesi, dan kembali ke Australia pada musim monsun berikutnya, dan beberapa di antaranya ada yang menetap di Sulawesi. Pengaruh orang Bugis masih dapat dilihat dalam bahasa dan kebiasaan yang digunakan oleh orang-orang tersebut pada saat ini.

2. MASYARAKAT BUGIS

Terdiri dari Maros, Pangkep, Barru, Pinrang, Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Enrekang, Luwu, Sinjai, Bulu Kumba, Polmas serta kotamadya Ujung Pandang dan Pare-pare. Demografi penduduk berpusat pada Maros, Pangkep, Enrekang, Sinjai, Bulukumba, dan kotamadya Ujung Pandang.

Kerajaan-kerajaan yang terkenal di wilayah ini diantaranya Tana Luwu, Tana Bone, Tana Wajo, Tana Soppeng, Tana Suppa. Kerajaan Bugis bersatu disebut tana Ugi atau Nagari Bugis. Tana Ugi memiliki hubungan persaudaraan atau persahabatan didasarkan atas kesadaran kesatuan etnis yang disebut Sempugi yang dijunjung tinggi.

Etnik Bugis cenderung menerapkan strategi sosial kemasyarakatan yang bersifat menjaga hubungan kekerabatan, jaringan sosial dengan patron dan pemanfaatan paguyuban. Namun, adaptasi lingkungan tidak begitu menonjol karena mereka sangat memahami lingkungan kota Makassar. Sesama masyarakat Ugi memiliki hubungan darah yang terjalin erat, tak heran dalam Wari tata tertib garis keturunan tiap kerajaan Bugis menghormati leluhur yang paling tua kearah muda yakni Tana Luwu, Bone, Soppeng baru menyusul lainnya.

Orang Bugis dan Makasar digolongkan turunan orang Melayu Muda. Orang Melayu Muda datang sekitar tahun 1500 SM, mendiami daerah pesisir hingga pedalaman dan pegunungan. Ada asumsi yang menyatakan bahwa keturunan Melayu Muda mendesak orang Melayu Tua dimana orang Melayu Tua adalah masyarakat terdesak yang bermukim di pegunungan di sebelah utara wilayah Sulawesi Selatan. Pendapat tersebut menggiring kenyataan bahwa orang-orang yang terdesak tersebut pada akhirnya disebutkan sebagai Toraja (Kelompok Melayu Tua). Hal tersebut seperti dinyatakan oleh Mattulada yang menyatakan bahwa baik orang Bugis dan Makasar keduanya satu stam dengan orang Toraja. Akan tetapi suku Bugis dan Makasar telah mengalami perkembangan kebudayaan lebih dari orang Toraja.


Di sisi lain yang dianut, Masyarakat Sulawesi Selatan pada awal peradabannya dipengaruhi oleh mitos, baik berwujud tradisi lisan maupun tulisan. Mitos Simpuruksiang di Luwu, Sengingridi di Bone, Petta Sekkanyli di Soppeng, Puteri Tamalate di Gowa merupakan tomanurung yang membentuk corak kebudayaan orang Bugis dan Makasar. Mitos Surek Galigo menceriterakan tentang negeri Bugis, ketika Batara Guru dari dunia atas bertemu dengan We Nyelik Timo dari dunia bawah. Dalam sistem falsafah, para pemikir modern menentang hal di atas, sebab hal tersebut membingungkan, penuh barang asing, bahkan dapat mendatangkan kebiadaban.

Untuk kepentingan intelektual yang tinggi, subyek tentang kekaguman dan pemujaan dipandang sebagai cikal bakal kebudayaan umat manusia. Orang Bugis mengenal mitos Galigo dan termaktub dalam Surek Galigo. Isinya menceritakan tentang awal mula ditempatinya negeri Luwu yang dipandang sebagai negeri Bugis tertua. Perpaduan dunia atas (boting langit), dunia bawah (burikliung), dan dunia tengah (alekawa) digunakan oleh mereka untuk perkawinan antara orang-orang sedaerah, dimana perkawinan mengharuskan orang mencari jodoh di lingkungan sosial sendiri.

Perkawinan tersebut dikatakan sebagai perkawinan sepupu. Jenis perkawinan boting langit antara lain antara Datu Patoto dengan Datu Palinge, perkawinan burikliung antara Guru ri Selleng dengan Simpuru Toja, sedangkan perkawinan eksogam merupakan perkawinan Batara Guru dari boting langit dengan We Nyili Timok dari burikliung.





3. PANDANGAN HIDUP SUKU BUGIS

Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik.

Terdapat literatur yang menunjuk kata Simallappareng, yang diartikan dengan saling lapang dada. Seperti dalam ungkapan Simallapparengngi rekkuwa purai sisala masseajing (saling melapangkan hati tanpa kecanggungan sesudah berselisih dengan sanak keluarganya). Secara struktural kata ini terdiri atas Si, Malappa, rengngi yang berakar dari kata malappa yang berarti lapang.

Atas uraian kata kunci "Simallaparengging" dan "Sisala" dalam ungkapan tersebut mengandung konsep saling melapangkan hati setelah sebelumnya terjadi perbedaan pandangan.

Kata masseajing (sanak keluarga) dalam ungkapan dimaksud, mengandung arti ruang lingkup perbedaan pandangan yaitu terbatas pada hubungan antar warga dalam arti luas. Dengan pendekatan kebahasaan tersebut, terlihat juga dalam judul ungkapan ini yaitu duwai padecengi tana: dua hal yang memperbaiki negara. Kata tana menunjukkan negara, sebagai tempat dalam melakukan komunikasi internal sesama warga.

Dengan uraian di atas tampak bahwa makna dasar dari kata "malappa" adalah kelapangan hati baik secara kongkrit maupun abstrak. Dengan demikian kata tersebut relevan dengan esensi rekonsiliasi, yang mengandung arti psikhis dan fisik serta bersifat dinamik.

a) Rupatauwe Atannai Dewatae

Dalam literatur ditemukan ungkapan Tellu riala Sappo (tiga hal dijadikan pagar) Tau'e ridewata (salah satu diantaranya adalah takut kepada Tuhan). Pernyataan ini menggambarkan adanya hubungan vertikal manusia dengan Tuhan-nya, mencapai puncaknya dalam wujud taqwa, dan membentuk kepribadian dalam diri seorang hamba. Aspek lain menunjukkan bahwa manusia adalah hamba Tuhan, yang dalam berinteraksi sesamanya, tidak luput dari sifat keterbatasan yang tentu saja berbeda dengan sifat Tuhan dewata.

Keterbatasan manusia dalam melaksanakan interaksi antar sesama dimaksudkan untuk mencapai unganna decengge ri liono (kebaikan di dunia), terwujud dalam ketidakmampuan manusia secara permanen untuk tidak berbuat kesalahan sebagai aset yang dapat dimaafkan oleh sesama. Pandangan ini didasari dari pernyataan di bawah ini:

Tellui Uwangenna decenna rilino (Tiga macam kebaikan dunia) :

• Pesangkaienggi alena maggau maja (Mencegah dirinya berbuat buruk);
• pesangkaienggi alena makkeda ada maja (mencegah dirinya berbicara buruk);
• pesangkaienggi nawa-nawanna maja (mencegah dirinya berfikir buruk).

Kemampuan mengendalikan diri dalam tiga aspek kepribadian manusia, mengantarkan yang bersangkutan untuk memperoleh uwangena lino kebaikan dunia. Hal lain adalah bahwa secara tersurat pernyataan ini mengakui perlunya pembinaan kepribadian tersebut dan dalam kenyataannya, tentu saja tidak semua manusia dapat dengan mudah mencapai tri sukses pembinaan kepribadian tersebut.

b) Asabbarakeng (Kesabaran)

Asabarakeng adalah salah satu nilai yang berkembang dalam budaya Bugis. Sebuah pernyataan menarik: emakkunrai sappoi alemu nasaba sirimu, e warowane sappoi alemu nasaba asabbarakeng (Hai perempuan pagari dirimu dengan kehormatanmu, hai pria pagari dirimu dengan kesabaranmu). Karena itu, asabbarakeng adalah berfungsi sebagai perisai dan secara sesensial asabbarakeng mengandung arti siri atau kehormatan.

Konsep yang terkandung dari asabbarakeng adalah pengendalian diri dari hal-hal yang dapat menjermuskan kehormatan seseorang. Dan secara implikatif konsep ini dapat melahirkan sikap siaddampengeng saling memaafkan atas terwujudnya potensi negatif seseorang; dan sitiroang deceng (mengarahkan kepada hal-hal yang bermanfaat) sebagai upaya perwujudan potensi positif sesama manusia.

Dalam kaitannya dengan prinsip ini, nampak bahwa Silappareng (Rekonsiliasi) harus dilihat dari wujud dari kesabaran untuk melaksanakan rekonsiliasi, sebab tanpa prinsip ini, maka dendam pun sebagai bias-bias perbuatan negatif tak dapat terkalahkan.

c) Alempureng (Kejujuran)

Sebuah dialog interaktif antara Lamellong Kajao Lalido dengan Raja Bone prihal kejujuran. Raja Bone bertanya aga appongenna accae Kajao? (apa pangkalnya kecakapan Kajao?); Kajao menjawab: Lempu'e (Kejujuran) (Ibid). Selanjutnya diketahui bahwa Sabbinna lempu'e limai (Bukti dari kejujuran ada lima):

• Narekko salai nangawwi asalanna (Kalau bersalah ia mengakui kesalahannya);
• Narekko rionroi sala naddampengengngi tau ripasalae (Kalau ditempati bersalah ia maafkan orang yang bersalah);
• Narekko risanrekiwi de napacekongeng (Kalau diharapkan/disandari ia tidak mengecewakan);
• Narekko rirennuangngi de naripabelleang (Apabila dipercaya is tidak menipu);
• Narekko majjanciwi narupaiwi jancinna (Kalau berjanji ia menepati janji).

Implementasi kejujuran tersebut cenderung mengandung sisi internal yakni memberikan kesiapan psikologis untuk mengakui kesalahan yang diperbuatnya dan kesiapan tidak mengecewakan orang lain. Konsep pembinaan kepribadian secara internal ini dapat saja diterima dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, karena bukankah masyarakat yang berperdaban merupakan kumpulan dari pribadi-pribadi yang memiliki kehandalan kepribadian secara internal.

Dalam kebudayaan Bugis pola pikir yang terpakai dalam mengamati sesuatu adalah :

a) Manganro Ri ade';

Manganro ri ade adalah relevan dengan petisi atau permohonan yang dikemukakan oleh masyarakat kepada raja atau pemerintah dalam rangka memenuhi kesejahteran warga masyarakat. Misalnya, masyarakat memohon kesiapan raja memimpin doa mohon hujan. Dalam konteks ini kiranya pendekatan ini relevan dengan pendekatan yuridis, yaitu permohonan masyarakat kepada pemerintah untuk menetapkan aturan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi.

b) Mallimpo ade'.

Mallimpo Ade yaitu semacam tindakan protes kepada raja atau pemerintah atas kesewenang-wenagan yang merajelala dalam kehidupan masyarakat (Ibid). Dalam konteks ini kiranya pendekatan ini relevan dengan pendekatan sosial politik.

4. LAPISAN DALAM MASYARAKAT BUGIS

H.J. Friedericy pernah menuliskan pelapisan masyarakat orang bugis-makassar dari zaman sebelum pemerintahan kolonial belanda menguasai langsung daerah Sulawesi Selatan. Menurut Friedericy dalam masyarakat bugis-makassar terdapat tiga lapisan pokok, yaitu :

1. Anakarung adalah lapisan kaum kerabat raja-raja.
2. To-mara-deka adalah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari masyarakat Sulawesi Selatan.
3. Ata adalah lapisan orang budak yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.

Pada awal mulanya hanya terdapat dua lapisan dalam masyarakat bugis-makassar, sedangkan lapisan Ata terbentuk dengan berjalannya waktu dalam perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada permulaan abad ke-20 lapisan Ata mulai hilang, karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari agama.

Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan ana karung dan to maradeka dalam kehidupan masyarakat juga mulai berkurang dengan cepat. Adapun gelar-gelar ana karung seperti karaenta,Puatta, andi dan Daeng walaupun masih sering dipakai, tetapi tidak lagi mempunyai arti seperti dulu dan sekarang malah sering dengan sengaja diperkesilkan artinya dalam proses perkembangan sosialisasi dan dalam demokratisasi dari masyarakat indonesia. Stratifikasi sosial masyarakat lama sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan, namun suatu stratifikasi yang baru yang lebih condong untuk berkembang atas dasar tinggi-rendahnya pangkat dalam birokrasi kepegawaian, atau atas dasar pendidikan sekolahan belum juga berkembang dan mencapai wujud yang mantap.

5. DAENG

Orang Bugis-Makassar melestarikan sebutan Daeng untuk menegaskan identitas mereka. Bagi masyarakat Bugis, panggilan Daeng terbatas untuk merujuk pada seorang yang dituakan. Tapi bagi masyarakat Makassar, Daeng juga adalah nama khusus atau disebut paddaengang, cerminan harapan yang luhur.
Di kalangan masyarakat Makassar, gelar Daeng atau Paddaengang disebut sebagai areng alusu’ (nama halus), yang penulisannya disandingkan dengan nama resmi. Inti pemberian gelar ini adalah menyematkan harapan agar si penyandang nama menempuh hidup sesuai makna paddaengangnya.


Sebuah nama yang disandang diresmikan saat pelaksanaan aqiqah, yang dalam bahasa Makassarnya disebut a’caru caru. Pada saat aqiqah ini juga sudah diancang-ancang sebuah nama daeng untuknya dengan meminta masukan dari nenek dan kakek di keluarga besar. Nama daeng biasanya diusulkan dari nama nenek, kakek dan buyut baik dari garis ayah maupun ibu.

Gelar sebagai Daeng kemudian diresmikan saat dikhitan. Tahapan a’gau gau (khitanan) secara tradisional terdiri dari tiga, yakni barazanji, penammatan Al Quran, dan sebuah tahapan yang disebut Atta’ba di mana sumbangan dari pihak keluarga bagi yang anak dikhitan disebutkan. Pada proses atta’ba inilah diumumkan tentang pemberian nama Daeng.

Atta’ba yang dipandu seorang Imam itu mengumumkan: “Anne alloa nia ngaseng maki mae, para bija, purina, cikali, nenek , dato’na iya ngaseng niaka di kamponga battumaki ri patta’bakanna i daeng”.

Artinya: ”Hari ini datanglah ke sini, keluarga, om, sepupu, nenek dan kakek, semua yang ada di kampung datanglah ri pattabbakanna daeng”.

6. KONSEP SIRI

Etnis Bugis boleh dikata seperti "semut merah" karena selain didukung oleh budaya siri yang kuat, etnis ini juga mempunyai sifat berani menanggung risiko, keras, kuat dalam bersaing, dan mudah emosi. Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :

- "...aja mumae’lo nabe’tta taue’ makkalla ‘ ricappa’na lete’ngnge…”.
Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki).

- "...naia riasengage’ to warrani maperengnge’ nare’kko moloio roppo-roppo ri laommu, rewe’ko paimeng sappa laleng molai…”.

Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.

Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.

Falsafah Sirik

Berbagai pandangan para ahli hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi Selatan berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya

sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni :

 pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan,
 kedua sirik yang berakibat kriminal,
 ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan
 keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik).


Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia. Bentuk sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.

Dari berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati. Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.

Sejak dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut “Tumannyala”.

Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.

Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi :
“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudikan, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan). “Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan.

Demikian pula dalam ungkapan Makassar berbunyi :
“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya)


Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.

Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan brarti bodoh.

Jika orang Makassar merasa harga dirinya direndahkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri

Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.

Istilah Pacce

Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan dalam kalbu karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya. Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.

Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng nipak bula sibatangngang10) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).






7. BENTUK DESA

Desa-desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratf, gabungan-gabungan sejumlah kampung-kampung lama, yang disebut desa-desa gaya baru. Satu kampung lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami di antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak berderet, menghadap ke selatan atau barat. Kalau ada sunga di desa, maka akan diusahakan agar rumah-rumah dibanguan dengan membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (posisi tana) dengan suatu pohon waringin yang besar, dan kadang-kadang dengan suatu rumah pemujaan atau saukang. Kecuali tempat keramat tiap kampung selalu ada langgar atau masjidnya.

Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang matowa (atau jannang, lompo’, toddo’) dengan kedua pembantunya yang disebut sariang atau parennung. Suatu gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis dan pa’rasangan atau bori’ dalam bahasa Makassar. Pimpinan wanua dulu disebut arung pailili’ atau sullewatung dalam bahasa Bugis dan gallarang atau karaeng dalam bahasa Makassar. Pada masa sekarang dalam srujtur tata pemerintahan negara Republik Indoesia, wanua menjadi suatu kecamatan.

Rumah dan masjid. Rumah dalam kebudayaan Bugis-Makassar, dibangun diatas tiang terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsinya yang khusus ialah; (a) Rakkeang dalam bahasa Bugis atau pammakkung dalam bahasa Makassar, adalah bagian atas rumah di bawah atap, yang di pakai untuk menyimpan padai dan lain persediaan pangan dan juga untuk menyimpan benda-benda pusaka; (b) Ale-Bola dalam bahasa Bugis atau kalle-balla’ dalam bahasa Makassar, adalah runag dimana orang tinggal, yang terbagai-bagi ke dalam ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, untuk tidur, untuk makan dan untuk dapur; (c) Awasao dalam bahasa Bugis atau passiringan dalam bahasa Makassar, adalah bagian di bawah lantai panggung, yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan untuk kandang ayam, kambing dan sebagianya. Pada zaman sekarang, bagian bawah ini sering ditutup dengan dinding, dan sering dipakai untuk tempat tinggal manusia pula.

Rumah orang Bugis-Makassar juga digolong-golongkan menurut lapisan sosial dari penghuninya. Berdasarkan hal itu, maka ada tiga macam rumah ialah : (a) Sao-raja dalam bahasa Bugis atau balla, lompo dalam bahasa Makassar, adalah rumah berdasar yang didiami oleh keluarga kaum bangsawan. Rumah-rumah ini biasanya mempunyai tangga dengan alas bertingkatdi bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana). Dan mempunyai bubungan yang bersusun tiga atau lebih; (b) Sao-piti’ dalam bahasa Bugis, atau tarata’ dalam bahasa Makassar, bentuknya lebih kecil, tanpa sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun dua; (c) Bola dalam bahasa Bugis, atau balla’ dalam bahasa Makassar, merupakan rumah adat rakyat pada umumnya.

Semua rumah Bugis-Makasaar yang berbentuk adat, mempunyai suatu panggung di depan pintu masih di bagian atas dari tangga. Panggung itu yang disebut tamping, adalah tempat bagi para tamu untuk mengunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah

Pada permulaan membanguna rumah seorang ahli adat dalam hal membanguna rumah (panrita-bola), menentukan tanah tempat rumah itu akan didirikan. Beberapa macam ramuan diletakkan pada tempat tiang tengah akan didirikan. Kadang-kadang ditanam kepala kerbau di temapt itu.
Setelah kerangka rumah ddirikan, maka di bagian atas dari tiang tengah digantungkan juga ramuan-ramuan dan sajian untuk menolak malapetaka yang mungkin dapat menimpa rumah itu.
B. MATA PENCAHARIAN

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Masyarakat nelayan dapat dicontohkan adalah suku bangsa Bugis dan Makassar. Orang Bugis dan Makassar ada yang tinggal di desa-desa di daerah pantai, mencari ikan merupakan suatu mata pencaharian hidup yang amat penting. Dalam hal ini, mereka menangkap ikan dengan perahu-perahu layar sampai jauh di laut.
Tampaknya jelas sekali, bahwa orang Bugis dan Makassar adalah sebagai suku bangsa pelaut di Nusantara ini yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad yang lalu.

Sebagai suku bangsa pelaut, mereka telah mampu menciptakan teknologi pelayaran yang sesuai dengan alam lingkungan kelautan, tersebutlah perahu-perahu layar terkenal ciptaan mereka tersebut, yaitu tipe ‘Pinisi’ dan ‘Lambo’. Kedua tipe perahu ini telah teruji kemam-puannya mengarungi perairan Nusantara dan lebih jauh dari itu telah berlayar sampai ke Srilangka dan Philipina untuk ‘berdagang’.

Kemampuan berlayar dengan teknologi pelayaran yang dimiliki itu, telah mendorong terciptanya hukum niaga dalam pelayaran, seperti disebut dalam bahasa Bugis dan Makassar “Ade alloppiloping bicaranna pabbolu'e” dan yang tertulis pada lontar oleh “Amanna Gappa” dalam abad ke 17. Dengan tulisan tersebut, terungkap jelas, bahwa masyarakat yang tinggal di daerah pantai mampu membentuk tempat tinggal yang disebut ‘desa nelayan’. Khusus suku Bugis Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan yang mampu mengembangkan masyarakat-nya dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan tersebut.

C. SISTEM KEKERABATAN
Dalam hal pernikahan, suku bangsa Bugis memegang kepercayaan dan standar-standar tertentu mengenai kecocokan pasangan suami-isteri ideal seperti agama, kekerabatan, status sosial, dan sifat-sifat pribadinya. Oleh karena itu, seleksi pengantin wanita atau pengantin laki-laki adalah soal yang tidak dapat diserahkan pada pemuda Bugis sendiri. Orang tuanya berperan besar dalam memilih pasangan buat anaknya. Dalam pemilihan pasangan tersebut, status sosial dan kemampuan keuangan sangat penting. Untuk para lelaki kemampuan keuangan merupakan hal yang ditekankan dan untuk para wanita, kemampuan domestik sebagai pengurus rumah-tangga. Selanjutnya, laki-laki dan wanita diharapkan menikah atau etiket jelek tertentu akan diletakkan kepada mereka. Etiket bagi wanita berhubungan dengan nilai perdagangan mereka sedangkan etiket negatif bagi laki-laki yang belum menikah behubungan dengan daya seksual mereka.
Sebagai catatan terakhir mengenai pernikahan orang Bugis, konsep perkawinan dalam agama Islam sendiri berhubungan dengan konsep halal [mengizinkan] dan haram [terlarang]. Karena seks di luar perkawinan terlarang maka perkawinan adalah satu-satunya cara untuk mensahkan aktivitas seksual di antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Oleh karena itu, sebaiknya mereka menikah untuk mensahkan hubungan seksualnya. Kalau tidak, persetubuhan akan dipertimbangkan sebagai perbuatan zina.

D. SISTEM KEPERCAYAAN / RELIGI

1. PRA-ISLAM

Pada zaman pra-Islam religi orang Bugis-Makaasar, seperti tampak dari Sure’Galigo, mengandung suatu kepercayaan kepada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, yaitu:
1. Patoto-e, yaitu dewa yang menentukan nasib;
2. Dewata Seuwa-e, yaitu dewa yang tunggal;
3. Turie a’rana, yaitu kehendak yang tertinggi.

Sisa-sisa kepercayaan ini masih terlihat pada orang To Latang di Kabupaten Sindenreng-Rappang dan orang-orang Amma Towa di Kajjang Kabupaten Bulukumba. Orang Bugis-Makasar masih menjadikan adat mereka sebagai sesuatu yang sakral dan keramat. Sistem adat yang keramat itu di dasarkan lima unsur pokok pangaderreng sebagai berikut ;

1. Ade’ (ada’ dalam bahasa Makasar) adalah unsur panganderreng yang terdiri atas:
 Ade’ akkalabinengeng, yaitu norma mengenai perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga, dan sopan santun pergaulan antara kaum kerabat.

 Ade’ tana yaitu norma mengenai pemerintahan Negara yang terwujud dalam bentuk hukum Negara, hokum antar Negara, dan etika serta pembinaan insan politik.Pembinaan dan pengawasan ade’ dalam masyarakat Bugis-Makasar dilakukan oleh beberapa pejabat adat, seperti: pakka-tenniade’, pampawa ade’, dan parewa ade’


2. Bicara, merupakan unsur Panngaderreng mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hokum adat, acara di muka pengadilan, dan gugatan.

3. Rampang, berarti perumpamaan, kias, atau analogi. Sebagai unsur dari panngaderreng, rampang menjaga kepastian dan kesinambungan dari suatu keputusan hukum tak tertulis masa lampau sampai sekarang dan membuat analogi hukum kasus yang dihadapi dengan keputusan masa lampau. Rampang juga berupa perumpamaan-perumpamaan tingkah laku ideal dalam berbagai lapangan hidup, baik kekerabatan politik, maupun pemerintahan. Kecuali itu rapang rupa-rupanya juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap keamanan sdeorang warga masyarakat.

4. Wari, adalah unsur pangaderreng yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antar raja; untuk memlihara tata-susunan dan tata-penempatan hal-hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat; untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan social; untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu Negara dengan raja-raja dari Negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda ddalam tata upacara kebesaran.

5. Sara, adalah unsur panngaderreng yang mengandung pranata hukum dalam hal ini ialah hukum Islam.


Kelima unsur keramat di atas, terjalin menjadi satu dan mewarnai alam pikiran orang Bugis-Makasar. Unsur tersebut menghadirkan rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial, martabat, dan harga diri yang tertuang dalam konsep siri. Siri adalah rasa malu dan rasa kehormatan seseorang.

2. ISLAM MASUK

Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi selatan pada permulaan abad ke-17. Agama Islam dapat mudah diterima dan prose itu dipercepat dengan dan oleh kontak yang terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan orang Bugis-Makassar ke negeri-negeri lain yang sudah beragama Islam.

Dalam abad ke-20 ini, terutama karena pengaruh gerakan-gerakan pemurnian ajaran-ajaran agama Islam, seperti misalnya gerakan Muhammadiyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian dari panngaderreng itu sebagai syirk, tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan sebaiknya ditinggalkan. Demikian juga Islam di Sulawesi Selatan juga telah mengalami proses pemurnian.

3. ISLAM DI SULAWESI

Kira-kira 90% penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk Agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat atau katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota, terutama Ujung Pandang.

Kegiatan-kegiatan da’wah Islam dilakukan oleh organisasi Islam yang amat aktif seperti Muhammadiyah, Darudda’wah wal Irsjad, partai-partai politik Islam dan Ikatan Mesjid dan Mushalla dengan Pusat Islamnya di Ujung Pandang. Kegiatan-kegiatan dari Missi Katolik dan Penyebar Injil lainnya juga ada di Sulawesi Selatan.

Pakar sejarah menyebutkan bahwa sesungguhnya agama Islam sudah sampai di Makassar sejak kepemimpinan raja Gowa ke-10 Tunipalangga (1546-1565), ketika raja memberi ijin kepada pedagang-pedagang melayu menetap di Somba Opu. Sementara itu dalam Lontara Makassar diperoleh keterangan bahwa sebelum permulaan abad ke XVII sudah terdapat pemuka agama Islam dikalangan orang Makassar yang menerima Islam dari Demak, ataupun dari Malaka dan Ternate. Raja Gowa dan Tallo mula-mula menerima Islam dengan resmi sebagai agamanya. Raja Tallo “Malingkang Daeng Manyonri, Karaeng M. Tumenanga ri Bonto Biraeng” yang bergelar Sultan Abdullah Awwalul Islam memeluk Islam pada malam Jum’at, 22 September 1605 M. Di saat yang sama, Kerajaan Gowa diperintah oleh raja ke 14, Sultan Alauddin yang bergelar I Mangerangi daeng Manrabia, kakek dari Sultan Hasanuddin.




Keduanya merupakan peletak dasar tonggak pemberlakuan syariat Islam di kerajaan Makassar yang berlanjut secara turun temurun ke raja-raja berikutnya. Penyebaran agama Islam di Makassar pada awalnya sangat dipengaruhi oleh kehadiran Abdul Ma’mur Khatib Tunggal atau Dato’ Ri Bandang yang tiba di Tallo pada bulan September 1605. Beliau mengajarkan materi syariat Islam sebagai pembahasan awal dalam dakwah dan penyebarannya.

Dalam berdakwah, Datok ri Bandang dibantu dua orang rekannya yaitu Datok Pattimang dan Dato di Tiro yang kemudian dikenal dengan nama Datuk Tellu’e (tiga datuk). Ketiga Datuk ini bukanlah orang Bugis-Makassar melainkan orang Minang yang merantau ke Sulawesi Selatan. Sebelum ke jazirah Sulawesi, mereka sebelumnya belajar agama di Aceh. Kehadiran ke tiga datuk ini atas rekomendasi pemerintah kerajaan Aceh yang dipimpin oleh seorang Ratu, rekomendasi tersebut berdasarkan surat permohonan masyarakat Sulawesi Selatan agar kerajaan Aceh mengirimkan guru agama untuk menyiarkan Islam di daerahnya.

Dua tahun setelah raja Gowa dan Tallo memeluk agama Islam, seluruh rakyat Gowa dan Tallo dinyatakan memeluk agama Islam yang ditandai dengan sholat Jum’at pertama di Masjid Tallo pada hari Jum’at tanggal 9 Nopember 1607, bertepatan dengan hari 19 Rajab 1016 Hijriah. “Hari ini Raja telah masuk Islam, maka masuk Islamlah kalian semua,” tegas Raja Tallo dalam deklarasi tersebut.

Selanjutnya peristiwa bersejarah ini menjadi dasar penetapan hari jadi kota Makassar. Raja Gowa mengemukakan bahwa walaupun Islam sebagai panutan resmi kerajaan namun semua golongan dalam wilayah kerajaan Makassar tetap mempunyai hak sama dan mempunyai kebebasan memeluk dan menjalankan keyakinan menurut agamanya, dan mendapat perlindungan dari kerajaan, penghargaan terhadap keberagaman.

4. KULTUR HAJI DALAM MASYARAKAT BUGIS MAKASSAR

Dalam kultur sebagian masyarakat Bugis-Makassar atau nusantara, gelar haji yang diperoleh setelah menunaikan ibadah haji itu dianggap sebagai prestise yang menunjukkan status sosial yang ‘lebih’ dibanding yang lain. Status sosial ini tidak karena tuntutan sang haji, tapi dielaborasi karena adanya penghargaan masyarakat sekitarnya. Penghargaan ini terlebih dikarenakan untuk menunaikan ibadah haji itu perlu pengorbanan yang besar; waktu, harta dan kadang nyawa. Apalagi di jaman dulu sebelum transportasi semudah jaman sekarang, menunaikan ibadah haji teramat sulit dan lama.

Uniknya juga, dalam prosesi lamaran pernikahan dalam budaya bugis makassar, faktor ke-haji-an kerap menjadi penentu dalam menetapkan uang panaik atau dui’menre’ atau uang mahar bagi mempelai perempuan.

Selepas berhaji di tanah suci, dalam kultur bugis/makassar ada semacam ritual wisuda yang dinamakan ‘mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok/kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh syekh atau ulama yang disegani. Untuk yang perempuan, biasanya disimbolkan dengan kerudung kepala yang dipuntir mengelilingi tepi rambut dan dipasangi manik-manik atau hiasan berwarna emas atau perak.

Menurut Fuad Rumi, seorang ulama dan cendekiawan Makassar, kehajian terakulturasi ke dalam budaya kita untuk memberi simbol status bagi seseorang. Menjadi haji, adalah sebuah kehormatan, dan kehormatan itu disimbolkan dengan gelar dan pakaian


5. BISSU

Budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan ( makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu.
Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya

Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu , Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi.

Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit. Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan.

Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha,

Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang.
Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa.

Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi.


Menjadi Bissu

Menjadi Bissu dipercaya merupakan anugerah dari dewata. Tidak semua orang, bahkan jenis calabai, bisa menjadi bissu atas kehendak sendiri. Walaupun sebahagian besar Bissu pada mulanya memiliki kecenderungan sebagai calabai. Metamorfosis menjadi seorang Bissu biasanya dimulai sejak kanak-kanak, ketika seorang anak mengidap ambiguitas orientasi seksual dan di saat yang sama menampakkan ‘keterkaitan’ dengan dunia gaib. Anak-anak dengan keunikan ganda ini kemudian akan dipersiapkan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu diperlukan banyak persyaratan untuk membuktikan bahwa dia menerima ‘berkat ‘itu diantaranya berbaring dalam sebuah rakit bambu di tengah danau selama tiga hari tiga malam tanpa makan, minum dan bergerak. Jika berhasil, maka dia kemudian akan ditahbiskan menjadi Bissu sejati.

Konflik dengan Islam

Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari 40 malam. Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.

Gerakan pemurnian ajaran Islam “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini.

E. PRODUK BUDAYA

1. RUMAH ADAT

Tidak disebut rumah adat Bugis / Makassar jika rumah tersebut tidak memiliki Timpa’ Laja’ di atapnya. Bahkan jika rumah tersebut adalah rumah panggung yang megah, atau rumah seorang raja, tidak akan disebut rumah adat jika tidak memiliki Timpa’ Laja’ di atapnya.
Sangat khas, karena dengannya kita dapat mengetahui status sosial pemiliknya dalam masyarakat. Sudah menjadi peraturan -yang tidak tertulis- bahwa semakin tinggi status sosial seseorang, maka timpa’ laja’ rumahnya semakin banyak
.
Timpa’ laja’ adalah susunan atap tambahan di bagian depan atap pelana rumah adat Bugis / Makassar. Tersusun rapi secara vertikal, yang jumlahnya adalah merupakan gambaran status sosial sang pemiliknya



Rumah Adat dan Budaya Karampuang

Karampuang merupakan asimilasi dari nama tempat dimana digambarkan sebagai pertemuan antara Karaeng (Suku Makassar) dan Puang (Suku bugis) sehingga tempat tersebut kemudian diberinama Karaeng Puang. Dan orang menyebutnya Karampuang. Karampuang sendiri merupakan nama sebuah dusun/perkampungan tua yang tetap melestarikan kebudayaannya. Upacara-upacara adat ritual kuno tetap bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya, walaupun saat ini teknologi dan pola hidup modern mulai merambah kawasan adat ini.

Dalam kawasan wilayah adat Karampuang berdiri megah dua buah rumah adat berarsitektur bugis kuno, salah satu diantaranya didiamin oleh To Matoa atau Puang Matoa (Arung) dan salah satunya lagi didiami oleh Gella (Kepala Pemerintahan Adat).

Rumah adat Karampuang pada dasarnya bersimbolkan perempuan dan pola pembuatan bernuansa tradisional. Bahan ramuan rumah ini tidak menggunakan bahan dari hasil industri seperti komponen paku, seng dan sejenisnya. Karampuang hingga masih memiliki perangkat adat yang lengkap dan tetap terpelihara keutuhannya dalam kondisi perkembangan teknologi modern sekarang ini. Jadi rumah adat ini hanya menggunakan bahan-bahan yang ada di dalam kawasan Adat Karampuang. Dan untuk merenovasi atau mengganti salah satu tiang atau alat-alat penting dari rumah adat tersebut, ramuan kayunya harus diambil dari dalam hutan kawasan adat, kayu tersebut harus ditarik dan pantang sekali dipikul. Upacara pengangkutan kayu dari hutan ke kawasan rumah adat dikenal dengan nama upacara madduik.


Profil Anjungan Rumah Adat Bugis

Rumah adat Bugis, Makasar, hiasannya sudah ditentukan menurut status sosial penghuni atau pemiliknya. Raja biasanya menempati rumah yang disebut Soraja, Salassa atau Balla lompo. Saoraja berasal dari kata Sao = rumah, raja = besar. Pemberian nama ini didasarkan kepada fungsi rumah, status penghuni dan besarnya ukuran. Sedangkan rumah bagi orang biasa ukurannya lebih kecil, disebut Bola.

Bentuk Saoraja atau Bulla Lompo adalah rumah panggung persegi panjang atau kolong rumah, alle bola atau kalle balla yaitu bagian tengah yang didiami dan bagian atas yakni bagian di bawah atap disebut rabkeang atau perumakkang. Pada umumnya rumah Bugis, Makasar dibagi atas beberapa ruangan yang dalam bahasa daerah disebut lintang, yaitu 3 ruangan atau tiga lontang, yang masing-masing mempunyai nama dan fungsi sendiri.

Ada pula rumah yang serupa memiliki dua lontang. Ruang pertama disebut Lintang ri Saliweng yang artinya petak di luar, dipergunakan untuk menerima tamu, dan sebelum ada kebiasaan memakai kursi, biasanya tamu duduk di atas sehelai tikar pandan yang disebut tappere atau di atas jali yakni tikar rotan. Ruang kedua adalah Lontang ri tenguga atau petak di tengah merupakan tempat yang paling suci dari seluruh rumah, menurut kepercayaan ruang ini merupakan tempat Dewi pelindung rumah tangga. Karena itu tempat ini tidak umum, dan di ruang tengah ini pula terdapat tiang pusat. Di dekat atau di tiang pusat ini biasanya diletakkan pusaka seperti keris, tombak, kelewang dan sebagainya.

Antara Lontang ri saliweng da lontang tengnya ada dinding yang disebut - rehring lawa tenganga. Ruang ketiga adalah Lontang in ladeng atau petak yang berfungsi sebagai ruang tidur keluarga yang empunya rumah. Lontang ini biasanya dibagi dua, bagian dalam untuk ruang tidur anak gadis yang empunya rumah, sedang bagian luar untuk ruang tidur ibu bapak.

Lantai Saoraja atau Balla; Lompo bertingkat dua, bagian yang tinggi disebut Watampola, dan yang rendah disebut Tamping. Tamping ini dapat disamakan dengan emper pada rumah jawa. Tamping membujur sepanjang rumah, di sisi ketiga lontang tadi, yang seakan-akan merupakan lorong masuk dari pintu dengan ke pintu belakang dan merupakan penghubung dari ketiga lontang tadi. Orang yang memakai sandal atau sepatu biasanya melepas dan menaruh pada tamping ini, sebelum naik ke Lontang ri Soliweng.

Di depan rumah sebelum masuk ke Lontang ri saliweng terdapat ruangan kecil atau bangunan yang menempel, disebut lego-lego, berfungsi sebagai ruang tunggu bagi tamu sebelum dipersilahkan masuk ke Lontang ri saliweng, oleh tuan rumah. Kadang-kadang lego-lego ini dipergunakan oleh tuan rumah sebagai tempat duduk berangin-angin. Di belakang rumah terdapat ruangan atau bangunan tambahan yang lantainya setingkat dengan tamping, disebut Jongke. Jongke berfungsi sebagai dapur, tempat makan, serta tempat peralatan dapur.

Bagi orang kebanyakan rumahnya hanya berlontang dua, dan lantainya datar tanpa bertingkat. Timpak lajaknyapun paling banyak bersusun 3, serta tidak diberi ukiran. Di anjungan, ruangan Saoraja dipergunakan untuk memperagakan berbagai aspek budaya tradisional daerah Sulawesi Selatan, antara lain model pakaian adat dari suku-suku yang ada di daerah tersebut serta berbagai hasil kerajinan dan benda-benda seni.

Bangunan Saoraja diberi hiasan berupa ukiran-ukiran dengan motif bunga-bungaan, binatang dan alam semesta. Misalnya bunga Parereng, bentuknya tanaman menjalar, daun semangi atau daun melati. Ukiran ini mengandung arti harapan agar rezeki orang di rumah tersebut murah dan tidak putus-putusnya. Ukiran manik-manik, dengan bentuk seekor burung atau ayam jantan atau burung kakak tua, atau garuda, ditempatkan dipuncak bangunan bagian depan dan belakang, disebut anjung bola. Maksud harapan agar kehidupan rumah itu dalam keadaan baik-baik saja, karena garuda melambangkan kejayaan. Ukiran Olok Kalo eppa ajena atau binatang berkaki empat, bentuknya kerbau dengan tanduknya, babi, rusa berlari atu seekor singa. Ukiran ini juga ditempatkan di puncak bubungan, maksudnya : kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial penghuni rumah, singa lambang keberanian dan kesaktian. Ukiran naga atau ular besar melambangkan kekuatan, penempatannya juga pada puncak bubungan atau induk tangga

2. PAKAIAN ADAT

Baju bodo adalah baju adat Bugis-Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan Lipa' sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo. Konon dahulu kala, ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.

1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.
2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.
3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun.
4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.
5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan
6. Warna ungu dipakai oleh para janda.

Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah.
Begitu pula untuk passappi'-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak) juga digunakan oleh pagar ayu.

Busana Bugis

Busana bangsawan Bugis banyak mempengaruhi busana tradisional rakyat Selangor. Kain sarung Bugis terkenal sebagai busana kaum wanita yang dipakai dengan Baju Kebaya Labuh. Manakala kaum lelaki pula bergaya dengan Baju Sikap sut padanan lima dilengkapi tengkolok, baju, seluar, bengkung dan kain samping tenunan Bugis bergarus atau bertelepuk perada emas warisan keluarga bangsawan Bugis.

3. BAHASA

Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Juga dikenali sebagai Ugi). Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi.

Bahasa Bugis digunakan oleh Suku Bugis yang jumlah populasi lebih dari empat juta orang. Suku Bugis yang berada di daerah yaitu Sulawesi Selatan yang ibu kotanya termasuk dalam katagori kota metropolitan di Indonesia. Berbagai etnis ada di provinsi tersebut, namun etnis atau suku aslinya adalah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Keempat etnis ini merupakan suku terbesar di Sulewesi Selatan.

Walaupun etnis Bugis lebih dominan, akan tetapi fenomena penggunaan bahasa masih bervariasi. Hal itu disebabkan karena bahasa Bugis memiliki dialek-dialek yang berbeda, misalnya Bugis dialek Bone berbeda dengan dialek Makassar, Mandar, Toraja dan lain sebagainya. Namun, perbedaan itu merupakan ciri dari daerah itu sendiri dan menunjukkan perbedaan dengan daerah yang lain.

Propinsi Sulawesi Selatan terdiri atas banyak suku yang berbeda dan kemudian digolongkan dalam 3 kelompok suku. Suku-suku itu adalah : Bugis, Makassar dan Toraja yang ketiganya memiliki perbedaan mencolok dari segi bahasa daerah. Ketiga suku tersebut kemudian terpisah lagi dalam beberapa sub-suku yang lebih kecil. Suku Bugis misalnya, ada Bugis Bone (yang lingkup bahasa dan wilayahnya paling luas), bugis Sinjai dan beberapa sub suku Bugis lainnya yang kadang-kadang juga punya bahasa yang agak berbeda. Sementara suku Makassar terbagi atas beberapa sub suku yang lebih kecil yang mempunyai logat dan bahasa yang juga berbeda, misalnya daerah Bulukumba dan Selayar yang secara fisik dianggap suku Makassar namun memiliki bahasa daerah yang lumayan berbeda dengan bahasa Makassarnya orang Gowa dan Takalar. Sebagai info lagi, sebuah kabupaten kecil sebelah utara kota Makassar bernama Enrekang terbagi atas 3 daerah berbahasa berbeda, sebelah selatan bahasanya mirip bahasa Bugis karena memang berbatasan langsung dengan daerah suku Bugis, bagian tengah berbahasa daerah sendiri, sementara bagian utara berbahasa daerah yang mirip bahasa Toraja karena memang berbatasan langsung dengan daerah Toraja.
Bahasa Indonesia yang kemudian dipakai sebagai bahasa pemersatu kemudian terpengaruh oleh bahasa daerah itu sendiri. Beberapa istilah bahasa daerah kemudian ikut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia, di antaranya ya partikel-partikel tadi.

4. AKSARA

Jika suatu suku kata diakhiri /a/, maka untuk penulisannya cukup ditulis huruf konsonannya saja, misalnya pada> cukup ditulis pd. Akan tetapi, suku kata tidak diakhiri huruf vokal /a/, maka huruf vokal tersebut tetap ditulis, misalnya tabu > ditulis tbu. Terdapat pengecualian bila suku kata diskhiri huruf vokal [e], misalnya pede ditulis eped.



5. TARIAN
a) Tarian Patenun

Tarian tradisional Bugis Sulawesi Selatan. Tarian inipun juga dibawakan oleh 3 gadis cantik berbaju adat Bugis, yakni baju bodo. Tarian Patenun inipun tidak kalah menariknya dari tarian Pagelu. Dimana tarian Patenun ini biasanya disugguhkan untuk menyambut tamu pejabat maupun pada acara-acara resmi di Bugis. Tarian ini menggambarkan, cara membuat kain sutra dengan ditenun, sehingga nampak gerakan ketiga penari layaknya seseorang sedang menenun.

b) Tari Pabitte

6. UPACARA ADAT
a) UPACARA SELAMETAN KAPAL-BAGAN

Merupakan upacara peluncuran kapal yang sekaligus sebagai bagan penangkap ikan. Adat ini dilaksanakan di tempat kapal tersebut lego jangkar, yaitu di tengah laut. Pada acara tersebut dilakukan pembacaaan doa langsung dilanjutkan dengan makan bersama diiringi ombak yang berayun serta angin laut.

b) PESTA ADAT MA’PIGAU SIHANUA KARAMPUANG

Pesta Adat / Upacara Adat yang berlangsung setiap minggu dalam bulan November tahun berjalan. Upacara adat ini dirangkaikan dengan beberapa atraksi wisata seperti Upacara Ma’dduik, Mappacing hanua, menre bulu, masulo beppa, mabacce, buruda sikkiri, elong patong serta prosesi adat lainnya. Puncak acara yaitu mappugau sihanua dimana upacara adat ini seluruh komponen masyarakat karampuang khususnya dan masyarakat sinjai pada umumnya berkumpul merayakan pesta panen tersebut dan biasanya pula dihadiri dari segala komponen daerah- daerah lainnya. Pesta ini sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan panen pertanian dan perkebunan mereka.

c) PROSESI MADDUIK

Prosesi ini diawali para sesepuh dan masyarakat karampuang bergotong-royong menjaga kelestarian dan keutuhan Rumah Adat, yang tiap tahunnya dengan mengganti tiangnya yang sudah rapuh dengan tiang baru yang diambil dari hutan adat.
Dalam prosesi ini diwujudkan dengan penebangan pohon di hutan Adat secara bergotong royong, kemudian secara beramai-ramai pula para masyarakat karampuang menarik atau madduik secara bersama-sama melalui beberapa tali yang diikatkan pada masing-masing batang pohon yang sudah di tebang, yang kemudian dibawa menuju Rumah Adat untuk selanjutnya prosesi penggantian Tiang Rumah.
Dengan beberapa prosesi-prosesi penting yang berjalan, dirangkaian pula dengan adanya kesenian – kesenian tradisonal adat masyarakat karampuang seperti kesenian tradisonal Mappadekko, Elong Poto, Buruda’ dan Sikkiri.

d) PESTA RAKYAT MA’RIMPA SALO

Ma’rimpa salo berasal dari bahasa bugis yang terdari dari dua kata, yaitu Ma’rimpa yang berarti menghalau dan salo yang berarti sungai. Jadi Ma’rimpa salo berarti “Menghalau ikan di sungai “Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk pesta rakyat.

Pesta rakyat ini dilaksanakan setiap tanggal 21 bulan September setiap tahun berjalan, yang merupakan manivestasi dari rasa syukur atas keberhasilan panen ikan dan panen padi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Sanjai dan Desa Bua di lingkungan kerajaan Sanjai dan Kerajaan Bua. Pesta rakyat ini bermakna sebagai suatu bentuk kegiatan menangkap ikan air tawar (sungai) dengan jalan menghalau ikan dari arah hulu sungai menuju muara sungai. Kegiatan ini dilakukan secra bergotong royong pada dua desa (kearuan) sebagai rasa puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala bentuk keberhasilan Panen Padi (Lao Ruma) maupun Keberhasilan Panen Ikan (Mappaenre bale) setiap tahunnya.

Keunikan pesta rakyat ini dapat kita lihat, pada saat ikan akan ditangkap. Dimana pa’rimpa tiba disisi Balle, dan selanjutnya masyarakat beramai-ramai turun ke dalam Balle untuk menangkap ikan, baik menggunakan jala, maupun langsung dengan tangan.

e) PESTA RAKYAT MA’PANRE TASI

Ma’panre Tasi merupakan pesta rakyat yang khususnya dalam lingkungan ke Aruagan Sanjai. Pesta ini dilakukan bersama-sama olah semua komponen masyarakat sehingga disebut Turung Sihanua.

Ma’panre Tasi berasal dari bahasa bugis yang terdiri dari dua kata yaitu Ma’panre yang berarti memberi makan dan Tasi berarti laut, jadi Ma’panre Tasi artinya memberikan makanan di laut. Dilaksankan secara turun temurun olah masyarakat keAruang Sanjai yang sekarang menjadi Desa Pasimarannu dari pemerkaran Desa Panaikang di Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.

Pesta Rakyat Ma’panre Tasi bermakna suatu bentuk kegiatan pesta rakyat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala bentuk keberhasilan Lao Rumah (Panen Padi dan Jagung) maupun Ma’panre Bale ( panen Ikan/ Tangkapan ikan di laut) setiap tahunnya.

Menurut cerita yang tumbuh di masyarakat, Mappanretasi berasal dari sebuah legenda yang meriwayatkan adanya Dewa Laut yang keluar atau dilahirkan dari dalam bambu [aur kuning] yang tumbuh di bawah gunung Wono Karaeng di Sulawesi. Upacara Mappanretasi dilakukan oleh penduduk Pagatan, yang mayoritas berasal dari suku Bugis, dilaksanakan sebagai tradisi untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala pemberian-Nya berupa hasil yang berasal dari laut. Selain itu memohon perlindungan-Nya untuk keselamatan para nelayan selama mencari nafkah di laut.

Pada setiap bulan April di saat bulan purnama, setelah selesai prosesi 'Panca Ikan Masyarakat Nelayan' di empat desa, Pejala, Juku Eja, Gusunge dan Wiritasi, digelar upacara pesta laut.
f) MACCERA MANURUNG

Masyarakat di daerah berhawa sejuk ini juga mengenal tradisi Maccera Manurung. Upacara adat ini hanya dilakukan delapan tahun sekali selama empat hari berturut-turut.
Upacara ini dipandu oleh pemangku adat. Para pemangku adat tersebut diwajibkan menjalani masa-masa pantangan sebelum perhelatan dimulai. 'Mereka pantang memakan sayur seperti kangkung, daun ubi, juga daging kambing serta garam.
Upacara berlangsung dalam empat tahap. Tahap pertama yakni menabuh gendang yang bertujuan untuk membangkitkan tanah. Masyarakat setempat meyakini, tanah adalah inti dari seluruh jagat sehingga dialah yang pertama kali dibangunkan. Gendang yang ditabuh adalah sebuah gendang tradisional yang hanya dikeluarkan saat upacara adat ini. Orang-oang yang hadir menyaksikan upacara ini biasanya berusaha merebut kayu-kayu yang berjatuhan di sekitar gendang, yang dipercaya memiliki keampuhan mengobati berbagai penyakit. Ritual menabuh gendang tua itu dilakukan pada hari Jumat.
Ritual selanjutnya adalah Majjaga. Dalam acara ini dipersembahkan tari-tarian sebagai simbol kesetiaan kepada raja dan kerajaan. Para penari yang kebanyakan laki-laki, menari dengan bertelanjang dada di tengah hawa yang dingin. Rangkaian upacara selanjutnya adalah Liang Wae, yakni mengeluarkan air dari pusat bumi. Mereka melakukan ritual dengan berdoa di sebuah lubang sumber mata air yang terletak di tengah hutan dengan ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Saat mereka berdoa, air tersebut akan memancar keluar dari lubangnya. Jika mata air tersebut tidak memancar keluar, maka seluruh warga kampung harus bersiaga dengan kemungkinan buruk seperti gagal panen, atau akan ada orang yang menjadi gila di kampung itu.
Sebaliknya jika mata air itu memancar, air tersebut akan jadi rebutan. Para perantau yang sudah lama meninggalkan Enrekang biasanya paling bersemangat memperebutkan air itu. ''Air tersebut dipercaya bisa membawa berkah atau menambah rezeki bagi yang menyimpannya.

Prosesi terakhir dari rangkaian upacara Maccera Manurung ini adalah Mappeong, yakni pemberian persembahan kepada leluhur. Persembahan tersebut, kata Agus, diberikan sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang telah diperoleh masyarakat selama delapan tahun. Salah satu 'menu' persembahan yang selalu ada adalah beras pulut yang dimasak dalam bambu dan dibakar.

g) PESTA ADAT TAROWANG

Merupakan pesta yang digelar untuk menutup pesta adat Jene-jene Sappara (Mandi di Bulan Syafar) di Pantai Desa Balang Loe Tarowang, Kecamatan Tarowang, Jeneponto. Pesta adat Jene-jene yang bertujuan memohon keselamatan kepada Tuhan yang berlangsung 10 hari. Sejumlah kegiatan kesenian ditampilkan dalam kegiatan ini, seperti massempa (adu tendangan) dan abbatte (adu ayam).

h) RITUAL PALILI

Pada masa lampau, pelaksanaan upacara ritual Palili yang dipelopori oleh kaum bangsawan dan hartawan Bugis di Segeri dilaksanakan sangat meriah dan hikmat. Upacara ini dilaksanakan sekali setahun sebagai tanda memulai mengerjakan sawah untuk bertanam padi. Akan tetapi sejak tahun 1966, upacara ini sudah disederhanakan. Kalau tadinya upacara berlangsung selama 40 hari – 40 malam, kemudian berubah 7 hari- 7 malam, sekarang hanya satu malam saja.

i) GENRANG BALISUMANGE

Diperagakan oleh rumpun bangsawan untuk mengiringi upacara adat perkawinan, upacara malam perkawinan adat bugis Bone lingkungan Saoraja. Genrang Balisumange biasa juga digelar pada acara perkawinan antar rumpun bangsawan, mulai dari mappettu ada, tudang penni, sampai hari perkawinan (esso botting); selalu diiringi dengan anak baccing dan kancing.


j) PADUNGKU

Padungku merupakan pesta panen yang digelar sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil pertanian yang diperoleh. Warga Soroako dewasa ini menggelar ritual Padungku setiap dua kali panen. Dalam ritual ini, masyarakat berkumpul dan bergembira menikmati sajian makanan dan hiburan musik bambu (pebambu) serta menumbuk lesun. Pertunjukan menunbuk lesun, yang dalam bahasa Soroako dikenal dengan nohu bangka dimainkan oleh kelompok ibu-ibu. Nohu bangka ini merupakan pertunjukan yang serupa dengan Mappadendang dalam pesta panen di masyarakat bugis. Pada malam hari, ritual Padungku biasanya diisi dengan dero (tarian tradisional warga setempat dan juga di wilayah Sulawesi Tengah yang dilakukan dengan berpegang tangan sambil membuat formasi melingkar diiringi dengan lagu).

k) UPACARA MACCERATASI

Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut. itulah bagian utama dari prosesi Upacara Adat Macceratasi. Kendati intinya hampir sama dengan upacara laut yang biasa dilakukan masyarakat nelayan tradisional lainnya. Namun upacara adat yang saru ini punya hiburan tersendiri.

Macceratasi merupakan upacara adat masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama dan terus dilakukan secara turun-temurun setiap setahun sekali.

Prosesi utama Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing, dan ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan darah kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang tinggal sekitar pantai dan sekitarnya, berharap mendapatkan rezeki yang melimpah dari kehidupan laut.

Sebelum Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung Tawar untuk meminta berkah kepada Allah SWT. Sehari kemudian diadakan pelepasan perahu bagang dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas beramai-ramai oleh nelayan bagang, baik dari Suku Bugis, Mandar maupun Banjar. Keseluruhan upacara adat ini sekaligus melambangkan kerekatan kekeluargaan antar nelayan.

Untuk meramaikan upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa kesenian hadrah, musik tradisional, dan atraksi pecak silat. Usai pelepasan bagang, ditampilkan atraksi meniti di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki Suku Bajau. Atraksi ini pun selalu dipertunjukkan bahkan dipertandingkan pada saat Upacara Adat Salamatan Leut (Pesta Laut) sebagai pelengkap hiburan masyarakat.

7. LAGU
a) Tulolona Sulawesi
b) Angin mamiri

Angin mamiri ku pasang
Pitujui tongtongana
Tusarua takkan lupa
Eaule na mangu rangi
Tutenaya, tutenaya parisina
Batumi angin mamiri
Angin ngerang dingin-dingin
Nama lonta sari kuku
Eaule na mangu rangi
Matolorang, matolorang jenemato

c) Lagu lainnya :
Ade’ pangampe, Aja tapassaka, Aja’na iya’ musenge, Ajana murewe, Ajana, Amir shabu-shabu, An amry mandar, Ana’ malie, Anci laricci, Anrita cellenge, Armand- taparengnge mandar, Balo lipa’, Balo, Biiu-biu, Bugis- tau sipaku siaku, Bulu’ alauna tempe, De’ma rogi, Doi perellu, Dua lipu ripasewa, Genne’ni kapang, Idi nasabari, Janjingku, Lebba garisi llimangku, Les samu samu, Lussa rilantang bangngia, Nipassalasa, Pakelong, Salasa mangantalai, Sipuliang memang tongki, Subang kacayya, Susami kapang lapia, Ta’lettekami cinkku, Teako takkalupi, Tuna la’leang kalenna, dll.


8. SASTRA
a) I LA GALIGO

Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘.

Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai). Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

b) PUISI TEKA-TEKI A LA ORANG BUGIS

Kebesaran epos-mitos La Galigo telah membunuh banyak genre sastra klasik Bugis. La Galigo yang diduga sebagai karya sastra terpanjang dalam sejarah sastra dunia itu terlalu banyak menyedot perhatian padahal begitu banyak karya sastra Bugis lain yang menarik untuk diperbincangkan, seperti :
• Menyembunyikan Maksud di Balik Tiga Lapis Sarung, p1
• Permainan Bahasa, Kunci Jawaban, p1
• Referensi, p1

Selain jumlahnya yang diperkirakan sampai 2.500.000 karya, kualitas karya-karya itu juga sangat layak untuk jadi bahan kajian. Sebuah tulisan yang membahas sebuah genre puisi Bugis, élong, membicarakan ulang satu jenis élong yang sangat unik yakni “élong maliung bettuanna”, puisi teka-teki yang harus menggunakan rumus tertentu agar bertemu jawabannya. Menurut Salim (1990:3-5), sedikitnya ada 14 jenis élong yang bisa dibedakan menurut isi (content), peristiwa (occasion) di mana lagu itu nyanyikan dan terakhir sifat-sifat formalnya (formal peculiarities).

Ada élong yang secara khusus membicarakan perihal keluarga, agama dan hiburan semata. Sejumlah lainnya dipentaskan pada peristiwa-persitiwa khusus, semisal élong madduta (lagu melamar) dan élong osong (lagu perang).
Ada juga élong, seperti puisi klasik Jepang, haiku, yang terdiri dari aturan-aturan baris dan jumlah silabel. Lainnya, terdapat élong yang rangkaian huruf awalnya membentuk nama-nama hari. Keunikan-keunikan itulah yang membuat élong bisa menjadi media untuk melakukan permainan bahasa. Tak berbeda dengan pantun, élong sekaligus bisa menjadi sastra lisan dan tulisan. Nama élong (secara harafiah berarti ‘lagu’) sendiri menunjukkan bahwa puisi ini awalnya adalah sastra lisan. Dalam sejarahnya kadang-kadang élong memang dipertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen seperti biolin dan suling, meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa. Dulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis lomba—sambil berpesta pora minum tuak dan makan melimpah.

Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan dalam prosesi melamar, di mana dua kelompok, masing-masing dari pihak laki dan perempuan, saling melempar bait-bait élong hingga hadirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Hal seperti itu tak lagi bisa ditemukan di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu, status dan harta menjadi faktor paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Di daerah Bone, Pinrang dan Sidrap, misalnya, orang tua seorang gadis bisa saja meminta uang ratusan juta sebagai syarat pernikahan.




9. SENJATA TRADISIONAL

a) BADIK SARI

Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.


Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan pemiliknya.

b) BADIK MAKASSAR

Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).

c) BADIK BUGIS

Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.

Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian

Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.

Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.

Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale.
Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.

Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.

Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.

Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).

10. MAKANAN KHAS

Main dish : Daging masak Lemak, Tumbu/sawa/kampalo, Burasa, Barobbo, Nasi
Bugis,Sate, Nasu Likku, Coto Makassar, Sambala goreng, Sokko Bampa, Nasu Buku,Bale tunu.

Side Dish : Putu, Sokko Palopo, Bepa Laiya, Gambang , Beppa Jintan(g), Beppa



Pute,
Barongko/Sarekaja, Baulu peca, bangke, kacipo (buah rotan), Dempo,
Kacang Hai, Taripang/Sawalla, Baulu Kerisi.

Minuman : Panas, Sejuk, Ais Batu.

a) COTO MAKASSAR

Masakan khas daerah berupa sop berkuah dengan bahan-bahan dasar yang terdiri dari usus, hati, otak, daging sapi atau kuda, dimasak dengan bumbu sereh, laos, ketumbar, jintan, bawang merah, bawang putih, garam yang sudah dihaluskan, daun salam, jeruk nipis, dan kacang. Pada umumnya Coto Makassar disajikan/dimakan bersama ketupat.

b) SOP KONRO

Masakan khas daerah yang disajikan berupa sop berkuah maupun dibakar dengan bahan-bahan dasar seperti tulang rusuk sapi atau kerbau, dimasak/dibakar dengan bumbu ketumbar, jintan, sereh, kaloa, bawang merah, bawang putih, garam, vitsin yang sudah dihaluskan. Sop Konro pada umumnya disajikan/dimakan bersama nasi putih dan sambal.

c) SOP SAUDARA

Masakan khas daerah yang berupa sop berkuah dengan bahan-bahan dasar seperti daging sapi/kerbau yang dimasak dengan aneka bumbu dan disajikan bersama nasi putih atau ketupat dengan Ikan Bakar sebagai tambahan lauknya.

d) PALLU MARA

e) JALAN(G)KOTE

f) PALLU BASA

g) LANGGA ROKO

h) KAPURUNG

i) ES PALLU BUTUNG

j) PISANG EPE'

Makanan khas daerah yang terbuat dari pisang kepok yang mengkal, dibakar dan dipipihkan. Pisang Epe' disajikan dengan kuah air gula merah yang biasanya telah dicampur dengan durian atau nangka yang aromanya dapat membangkitkan selera.

k) ES PISANG HIJAU

Terbuat dari pisang raja, dibungkus dengan tepung terigu yang sudah diberi santan dan air daun pandan sebagai pewarna dang pengharum sehingga berwarna hijau, disajikan dengan saus yang diberi es serut dan sirop.Terbuat dari pisang yang sudah dipotong-potong, dimasak dengan santan yang diberi tepung terigu, gula pasir, vanili, serta sedikit garam dan disajikan dengan es serut dan sirop merah.

l) BARONGKO

Barongko adalah makanan penutup khas daerah Bugis-Makassar yang dibuat dari buah Pisang Kepok matang yang dikukus dengan daun pisang. Dahulu paada masa pemerintahan kerajaan di Sulawesi Selatan, Barongko merupakan makanan penutup yang mewah, dan hanya disajikan untuk Raja-raja, dan disajikan pada moment-moment tertentu, seperti acara perkawinan, ulang tahun, dan lain. lain. Untuk menambah cita rasa dan selera, bahan dasar Barongko biasanya ditambah dengan irisan buah Nangka atau Kelapa muda.

m) OTAK-OTAK

11. PARIWISATA

a) BENTENG SOMBA OPPU

Benteng somba opu sama kedudukannya dengan benteng Makassar. Keduanya merupakan peninggalan sejarah keperkasaan kerajaan masa lalu di Sulawesi Selatan. Benteng Somba Opu merupakan tempat yang tepat untuk di kunjungi tahap awal bagi orang yang berminat menghargai sebagai bukti sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.

b) BENTENG BALANGNIPA

Benteng ini dibangun tahun 1557 oleh persekutuan tiga kerajaan yaitu Tondong Bulo-Bulo dan Lamatti yang dikenal dengan mana Kerajaan Tellu Limpoe. Benteng ini pada awal pembangunannya hanya terbuat dari batu gunung yang diikat dengan Lumpur dari Sungai Tangka dengan ketebalan dinding “Siwalu reppa” Setengah depa”. Bentuk dan struktur bangunan benteng tersebut adalah segi empat dan memiliki 4 buah bastion (pertahanan).

Ketika Belanda menyerang dan menguasai Sinjai, benteng ini dijadikan pertahanan guna membendung serangan yang dilancarkan oleh Belanda dari Teluk Bone. Tahun 1859 Benteng ini direbut oleh Belanda melalui Perang Manggarabombang, setelah Belanda berkuasa Benteng Balangnipa dipergunakan untuk membendung baik serangan dari orang-orang pribumi Persekutuan Kerajaan Tellu Limpo’e maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Tahun 1864 Benteng Balangnipa direnovasi oleh Belanda dengan menggunakan sentuhan arsitektur Eropa dan selesai pada tahun 1868 (dengan bentuk seperti sekarang).

Benteng ini terletak di Kelurahan Balangnipa Kec. Sinjai Utara kurang lebih 1 Km dari Pusat Kota. Tempat ini tetap terpelihara sebagai salah satu Situs Peninggalan Sejarah Kepurbakalaan dan dipergunakan sebagai Museum dan Tempat pembinaan Budaya dan arena atraksi seni budaya tradisional.

c) SITUS PENINGGALAN SEJARAH BATU PAKE GOJENG BATU PAKE

Berarti Batu yang dipahat sedangkan Gojeng adalah nama tempat lokasi atau lokasi dimana batu pahat tersebut ditemukan. Di bawah batu pahat tersebut terdapat kuburan batu, sehingga masyarakat setempat lebih mengenal lokasi tersebut sebagai kuburan batu.

Tahun 1982 dilakukan penggalian penyelematan (rescue excavation) di kawasan Batu Pake Gojeng dan ditemukan berbagai benda cagar budaya seperti keramin dan pecahannya yang diperkirakan berasala dari zaman dinasti Ming , Fosil kayu dan Peti Mayat.

d) WISATA ALAM

• HUTAN BAKAO (MANGROVE) TONGKE-TONGKE

Hutan bakau / Mangrove ini dalam perkembanganya telah menjadi objek wisata yang ramai dan diminati, baik oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara, terutama sekali para ilmuan yang gemar melakukan penelitian. Hutan bakau ini terletak di Desa Tongke-Tongke Kec. Sinjai Timur sekitar 7 Km Dari pusat Kota sinjai.

Desa tongke-tongke dengan kekayaan hutan bakaunya telah dijuluki sebagai Laboratorium Bakau Sulawesi Selatan. Pengembangan hutan bakau ini berlokasi pada pesisir sebelah timur kota sinjai dengan luas kurang lebih 786 Ha, yang dikembangkan melalui swadaya musrni masyarakat. Keunikan hutan bakau ini anda dapat melihat berbagai aneka jenis bebunyian dan pekikan satwa di pagi hari dan dekapan sayap ribuan kelelawar yang bergelantungan di atas pohon-pohon bakau pada siang hari, serta aneka satwa air lainnya.

• ENREKANG

Orang-orang Bugis menghormati tempat tersebut dan menyebutnya tana ri galla tana riabbusungi (negeri suci yang dihormati). Bahkan hingga kini, masyarakat Toraja yang merupakan tetangga dari daerah ini, selalu menyerahkan sekerat daging bagi leluhurnya di Bambapuang setiap kali mereka menggelar pesta.

Hal lain yang layak dinikmati dari bumi Enrekang adalah air terjun dan kolam renang alami. Air terjun Lewaja yang berada sekitar empat kilometer ke arah selatan kota Enrekang merupakan tempat relaksasi yang sangat alami.

Air terjun ini selalu ramai dikunjungi oleh warga Enrekang maupun mereka yang datang dari luar Enrekang. Lewaja juga dikenal sebagai tempat suci yang dipakai untuk ritual mandi bersama masyarakat Enrekang sebelum memasuki bulan Ramadhan

• AIR TERJUN DAN KOLAM PERMANDIAN BARUTTUNG

Terletak di Kel. Sangiasseri kec. Sinjai Selatan berjarak ± 25 Km dari pusat kota Sinjai. Atau ± 700 meter dari ibu kota kecamatan Sinjai Selatan, Poros Makassar – Sinjai. Objek wisata tersebut memiliki panorama alam yang amat indah dengan kesejukan perbukitan,. Selain itu pada bulan maret s.d mei setiap tahunnya merupakan musim buah-buahan, anda dapat membawa buah tangan dari kabupaten Sinjai, berupa Rambutan, manggis, Durian yang merupakan hasil tanaman masyarakat Sinjai. Tak jauh dari Air Terjun tersebut ada dapat pula menyaksikan Ikan Belut di sungai Bejo. Objek wisata ikan belut tersebut banyak diminati oleh wisatawan local dan nusantara.

• AIR TERJUN KEMBAR BATU BARA’E

Kawasan Air terjun ini terletak di desa Barambang – Batu Belerang Kec. Sinjai Borong sekitar 40 Km mdri Pusat Kota Sinjai. Disebut air terjun kembang, dikarenakan terdapatnya dua air terjun yang berdampingan dengan jarak keduanya hanya sekitar 60 Meter, dengan ketinggian masing-masing air terjun sekitara 40 dan 45 m.
Batu bara’e (dalam bahasa makassar) berarti Kandang binatang” yang terbuat dari batu. Konon dulu tempat tersebut merupakan tempat mengandangan seekor kerbau raksasa.

AIR TERJUN BARANIA DAN PANORAMA ALAM

Kawasan ini terletak di Desa Barania kec. Sinjai Barat pada jalur lintas Sinjai – Malono (Kab. Gowa) . Selain itu kawasan Kec. Sinjai barat yang memiliki keindahan alam pegunungan, yang letaknya berada di kaki gunung bawakaraeng dengan ketinggian ± 750 meter dair permukaan laut.

Disamping air terjun barania, Kec Sinjai Barat yang terkenal dengan daerah pengembangan holtikultura memiliki banyak potensi wisata lainnya yang tak kalah menariknya, seperti Perkebunan, pengolahan Markisa segar, tanaman sayuran dan kopi arabika. Dan anda dapat pula menyaksikan acara ziarah ke kompleks makan raja-raja turungeng, makan Srikandi Balakia dan pusat pengembangan peternakan sapi perah.

• AIR TERJUN LANTA’E

Terletak di Desa Palangka kec. Sinjai Selatan, kira-kira 25 Km dari pusat kota sinjai atau ± 7 Km dari nibu kota kec. Sinjai selatan. Air terjun lanta’e mempunyai ketinggian sekitar 40 m. Dan disebut air terjun lanta’e karena kondisi jatuhnya air melalui medan yang bertangga (dua anak tangga). Selain dalam kawasan objek wisata tersebut anda juga dapat menikmati berbagai objek wisata lain yang tak kalah menariknya, Seperti “Pancuran Tujuh” yakni tujun buah panjuran dari ruas-ruas batan bamboo secara berdampingan satu sama lain dengan jarak antara rata-rata 100 cm. Oleh masyarakat setempat diyakini bahwa lokasi panjuran tujuh tersebut merupakan tempat mandi bidadari yang turun dari kayangan. Serta air dari ketujuh pancuran tersebut dapat menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain penyakit kulit .

Selain itu dapat pula menyaksikan Pohon raksanan yang diperkirakan telah berusia ± 500 tahun , serta kesejukan alam nan indah, serta hamparan tambak air tawar tempat budiaya udang “gala” dan ikan air tawar.

Kawasan air terjun Lanta’e dilengkapi dengan sarana pendukung , seperti sarana jalan yang memadai, dan tempat-tempat peristirahatan yang sederhana bentuknya dan mempunyai keunikan tersendiri.

• PERMANDIAN AIR PANAS PANGGO

Berada di desa kaloling kec. Sinjai timur ± 8 Km dari pusat kota Kawasan air panas panggo memiliki tempratur ± 65 derajat celcius. Objek wisata ini sangat potensi untuk dikembangkan, karena selain memiliki areal pengembangan yang cukup luas (±2Ha) juga didikung dengan adanya aliran sungai besar yang airnya cukup jernih.


• AIR PANAS TONDONG

Berada di desa kampala kec. Sinjai timur ± 9 Km dari pusat kota . Air panas tondong mempunyai tempratur 55 derajat celcius. Sejak dahulu kala tempat ini banyak dikunjungi baik oleh masyarakat (wisatawan local) maupun domestik. Mandi dengan menggunakan sumber air panas tondong dapat menyembuhkan berbagai penyakit terutama penyakit kulit dan gatal-gatal.

• GUA HARA-HARA

Gua ini berada di kawasan adat Karampuang sekitar Kec. Bulupoodo, lebih kurang 31 Km dari Pusat kota Sinjai. Keunikan gua ini terdapat berbagai gambar, tulisan yang digores diatas batu yang merupakan objek peninggalan pra sejarah yang ada di Kabupaten Sinjai.


e) WISATA BAHARI

• KEPULAUAN SEMBILAN

Gugusan pulau-pulau sembilan terletak sekitar 3 Mil dari pusat kota, berda di teluk Bone objek wisata ini dapat ditempuh sekitar ± 15 hingga 20 menit perjalanan laut dengan menggunakan perahu motor. Pulau-pulau sembilan merupakan deretan pulau yang sangat indah, maka kawasan ini sangat cocok sebagai tempat rekreasi bagi keluarga. Disamping itu, kawasan gugusan pulau-pulau sembilan yang didukung oleh arus gelombang yang amat kecil dan tenang, bahkan hampir-hampir tidak dijumpai ombak yang besar sangat cocok untuk dijadikan tempat arena olah raga air, seperti Menyelam, ski air dayung dan memancing.

Ekosistem perairan gugusan pulau-pulau sembilan terdiri atas terumbu karang, padang lamun dan pasir. Jajaran 9 buah pulau yang sebagain daerahnya adalah perbukitan merupakan pemandangan yang indah di tengah laut. Keanekaragaman karang dan ikan karang merupakan daya tarik untuk melakukan kegiatan snorkelling, penyelaman dan memancing.
Selain itu panorama matahari terbit di laut dan terbenam di balik gunung dapat disaksikan jika kita berada di kawasan gugusan pulau ini. Kawasan ini ditumbuhi dengan biota-biota laut yang unik dengan terumbu karang yang indah beraneka ragam.

• UJUNG KUPANG

Terletak di desa sanjai kec. Sinjai Timur sekitar 15 Km dari Pusat Kota . Ujung Kupang merupakan salah satu objek wisata yang berpantai pasir putih selain yang anda dapat jumpai di gugusan pulau sembilan. Objek ini juga bersebelahan langsung dengan gugusan pulau-pulau sembilan dan hutan bakau Tongke-Tongke.


f) WISATA BOGA

• TPI LAPPA

Wisata ini terletak di kelurahan Lappa kec. Sinjai Utara sekitar 4 Km Dari ibukota Sinjai. Berwisata di kabupaten sinjai tidaklah lengkap jika anda tidak berkunjung Ke TPI Lappa. Dalam kawasan TPI Lappa kita dapat menyaksikan kesibukan para nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di tempat ini.

Selain itu kita dapat menikmati gurinya ikan segar yang anda dapat bakar sendiri atau dengan menggunakan jasa pemilik kios pembakaran ikan yang tersedia di tempat itu. Wisata ini ramai pada malam hari. Selain ikan segar kita dapat menikmati suguhan minuman khas sinjai, yakni Irex Sinjai yang terbuat dari Tape dicampur dengan Madu serta ramuan-ramuan lain yang rasanya sangat segar serta nikmat. Ditempat ini pula kita dapat menyebran ke kawasan gugusan pulau sembilan yang berjarak 3 mil laut dengan menggunakan perahu-perahu boot yang telah disiapkan oleh para penyewa kapal. Yang sangat profesional.


TEKNOLOGI

KAPAL PINISI DARI TANAH BERU

Nelayan suku Bugis Makassar, yang dikenal sejak puluhan tahun silam sebagai pelaut ulung, mengarungi lautan luas Samudra Hindia menggunakan perahu kayu (perahu layar).

Suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, abad silam. Mereka memiliki keberanian dan kemampuan mengarungi lautan dengan perahu layar, antar pulau di Indonesia maupun samudra yang memiliki entakan ombak besar untuk menjaring ikan maupun berdagang hasil bumi41

Pelayarannya dari Indonesia ke Madagaskar menggunakan perahu layar yang sejauh ini tetap populer, yakni perahu kayu jenis pinisi. Suku Bugis Makassar yang merantau ke sana dengan menggunakan perahu jenis pinisi saat itu, kini keturunannya telah menjadi “mukimin” dan menjadi bagian komunitas warga Madagaskar.

Diperoleh catatan, selain perahu jenis pinisi yang dikenal tangguh, terdapat jenis perahu lain yang biasa dipergunakan nelayan Bugis. Perahu Pinisi sendiri, merupakan jenis perahu dagang yang memiliki ukuran paling besar (20 sampai 100 ton), dibanding jenis-jenis perahu lainnya. Jenis perahu ini mampu mengarungi dan menjelajah lautan besar.

Pada abad silam, perahu jenis pinisi juga dipergunakan untuk mengangkut bala tentara. Namun tidak dipergunakan untuk perang laut. Pinisi sebagai perahu niaga, dipimpin oleh seorang ana’koda (nakhoda). Kemudian juru mudi, juru batu serta awak perahu yang disebut sawi.

Jenis perahu lainnya, adalah jenis Lambo Palari. Jenis ini lebih kecil dari pinisi, bobotnya (10 - 50 ton). Perbedaan lain dengan pinisi, Lambo hanya memiliki satu tiang agung dan layar utama, ditambah layar berlapis-lapis di bagian depan dan di puncak tiang agung. Jenis serupa Lambo Palari adalah Lambo Calabai.

Kemudian jenis perahu lainnya, yang ukurannya lebih kecil adalah jenis Jarangka, Soppe dan Pajala. Jenis-jenis perahu yang lebih kecil ini mempergunakan layar segi empat yang mampu bergerak lincah mengarungi lautan. Dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan antar pulau sekitar Sulawesi Selatan, selain dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan jauh ke tengah lautan. Awak perahu Pajala berbeda dengan perahu dagang. Perahu nelayan ini, dipimpin seorang punjala (pemimpin dan pengemudi perahu –red

Perajin Tana Beru

Dewasa ini walau para pembuat kapal kayu motor sudah tersebar di pelosok nusantara, adalah perajin perahu di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan pinisi. Disinilah salah satu lokasi kemegahan pinisi dilahirkan.

Tana Beru banyak memproduksi kapal pinisi. Kapal yang sampai sekarang masih banyak dipakai untuk melayari laut nusantara. Para pembuat perahu tradisional disini, secara turun-temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.

Sebuah upacara ritual biasa dilakukan untuk memulai sebuah proses pembuatan perahu. Para perajin, sebelum memulai pekerjaannya, terlebih dahulu harus mencari hari atau waktu terbaik pencarian kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari bahan baku, adalah pada hari kelima dan ketujuh pada bulan berjalan. Angka lima, diartikan rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka tujuh berarti selalu dapat rezeki.

Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang saat matahari sedang naik. Selain beberapa jenis perahu, juga terdapat alat (jaring) penangkap ikan yang sampai sekarang masih tetap dipergunakan nelayan Bugis. Perahu jenis pinisi, menjadi lambang keberanian anak bangsa dalam mengarungi lautan. Dalam abad 20 ini, pinisi kembali membuktikan ketangguhan melayari samudra, di antaranya mengikuti expo Vancouver di Kanada. Selain ekspedisi Amana Gappa, mengarungi Samudra Hindia menuju Madagaskar.


F. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI BUGIS MAKASSAR

Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat.

Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural.
Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.

Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG

MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 November 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'.


Barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar.

Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.

Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.

Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca revolusi.

Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha

Pembangunan di daerah bugis-makassar baru berjalan pada tahun 1965 karena isu keamanan dan kestabilan politik. Pada dasarnya pembangunan di bugis-makassar sama dengan derah-daerah lain di Indonesia yang lebih mengedepankan aspek agraris. Pemberian teladan oleh pemerintah dalam bertani kemudian diikuti oleh masyarakat merupakan salah satu cara dalam memebangun sektor pertanian di daerah ini. Selain itu, usaha intensifikasi dan ekstensifikasi juga terus dilakukan.


Potensi terbesar pada masyarakat bugis-makassar terletak pada sektor pelayaran rakyat dan perikanan, karena dua sektor tersebut berkaitan erat dengan kebudayaan nenek moyang mereka yang merupakan pelayar-pelayar hebat sejak beberapa abad lamanya. Secara alamiyah pun orang bugis-makassar memiliki bakat dalam hal pelayaran dan perikanan ini.

Seperti daerah lain di Indonesia, pembangunan yang dilakukan selalu saja terhambata oleh suatu faktor. Faktor tersebut berupa tidak matangnya pemerintah dalam merencanakan tiap pembangunannya, baik dalam hal peraturan yang mengatur jalannya proyek ataupu masalah dana. Selain itu, masalah sosial yang menjadi salah satu faktor penting dalam pembangunan kerap kali menjadi salah faktor faktor penghambat pelaksanaan pembangunan yang seharusnya tidak perlu terjadi.



BAB III
PEMBAHASAN KEBUDAYAAN MAKASSAR

A. SEJARAH KOTA MAKASSAR

Sejak abad ke-16, Makassar merupakan pusat perdagangan yang dominan di Indonesia Timur, dan kemudian menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara. Raja-raja Makassar menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang ketat, di mana seluruh pengunjung ke Makassar berhak melakukan perniagaan di sana, dan menolak upaya VOC (Belanda) untuk memperoleh hak monopoli di kota tersebut. Selain itu, sikap yang toleran terhadap agama berarti bahwa meskipun Islam semakin menjadi agama yang utama di wilayah tersebut, pemeluk agama Kristen dan kepercayaan lainnya masih tetap dapat berdagang di Makassar. Hal ini menyebabkan Makassar menjadi pusat yang penting bagi orang-orang Melayu yang bekerja dalam perdagangan di kepulauan Maluku, dan juga menjadi markas yang penting bagi pedagang-pedagang dari Eropa dan Arab.
Kepentingan Makassar menurun seiring semakin kuatnya Belanda di wilayah tersebut, dan semakin mampunya mereka menerapkan monopoli perdagangan rempah-rempah seperi keinginan mereka. Pada tahun 1667, Belanda, bersama dengan pangeran Bugis Arung Palakka, menginvasi dan merebut Makassar, sehingga menghapus statusnya sebagai pusat perdagangan yang independen. Peristiwa serangan itu menandai berdirinya Kota Makassar. Kota ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-400 pada 9 November 2007.
PemerintahanKota Makassar dibagi kepada 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah:

• Biring Kanaya
• Bontoala
• Makassar
• Mamajang
• Manggala
• Mariso
• Panakkukang
• Rappocini
• Tallo
• Tamalate
• Tamalanrea
• Ujung Pandang
• Ujung Tanah
• Wajo
B. SUKU MAKASSAR

Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat Terbuka.

Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.

Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat Suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Dim anapun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa memerangi Belanda disana. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui.

Sejarah Makassar masih sangat panjang. Generasi demi generasi yang terampas harga diri dan kepercayaan dirinya sedang bangkit bertahap demi bertahap sambil berusaha menyambung kebesaran nama Makassar, "Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku. Tamammelokka Punna Teai Labuang.

C. TRANSPORTASI

1. Transportasi Udara

Kota Makassar mempunyai sebuah bandara internasional, Bandara Hasanuddin.

2. Transportasi Darat

• Pete-pete

Di kota Makassar terdapat sekitar 6000 bus mini atau juga dikenal dengan sebutan pete-pete yang menjadi komuter utama di kota ini. Jumlah pete-pete di kota ini seringkali dianggap terlalu banyak mengingat kota ini hanya membutuhkan sekitar 3000 pete-pete. Hal ini berarti terdapat 2 pete-pete untuk seorang komuter.

• Bus

Pada umumnya bus hanya digunakan untuk transportasi dalam skala besar dan bus tidak bersifat publik di dalam kota. Pada umumnya untuk skala antar kota.Kini Angkutan tersebut dikonfersi menjadi Bus Way. Pemerintah akan membangun Infrasturktur tersebut 2008 mendatang.

• Taksi

Taksi adalah komuter paling eksklusif di kota ini.

• Becak

Makassar terkenal dengan angkutan tradisional becak. Jumlahnya sendiri mencapai 1.500 unit. Pemerintah setempat memberlakukan becak untuk pariwisata. Khusus beroperasi disekitar kawasan wisata saja. Tarifnya tergantung kesepakatan dengan penggayung.

D. BUSANA TRADISIONAL MAKASSAR

Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar. Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.

Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis.

Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.

Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.


Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.

Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.

Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.

Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.

Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii.

Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.
FALSAFAH “SIPAKATAU”

Sesungguhnya budaya Makasar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.


Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.

Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.

Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata.

Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


BABIV
PENUTUP

Suku Bugis, Makassar, adalah suku-suku yang mendiami Sulawesi Selatan. Masing-masing suku-suku tersebut mempunyai adat istiadat yang khas dan berbeda-bada. Perbedaan tersebut meliputi dalam hal bahasa, kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem kekerabatan, dan produk-produk budaya lainnya.

Suku Bugis suku terbesar ketiga setelah Jawa dan Sunda. Hal ini disebabkan karena Suku Bugis tersebar di beberapa bagian Indonesia. Sejak zaman dahulu Suku Bugis terkenal sebagai suku perantau yang suka berlayar ke daerah lain. Perjalanan ini dilakukan dengan kapal yang sangat terkenal bernama kapal pinisi. Kapal ini terkenal sebagai kapal yang sangat tangguh. Pembuatannya pun dengan ritual tertentu. Selain kapal pinisi, di suku ini juga terkenal dengan adanya Bissu dalam kepercayaan sebelum Islam masuk. Bissu dianggap sebagai seorang yang ahli dalam adat, walaupun Bissu ini sebenarnya adalah waria.

Suku Makassar, identik dengan Suku Bugis. Beberapa unsur kebudayaan suku ini mirip dengan unsur budaya suku Bugis. Makanan khas suku ini adalah Coto Makassar yang terkenal enak dan sekarang telah ada di seluruh penjuru Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://sayapbidadari.blogspot.com/2007/06/pakaian-adat-baju-bodo.html
http://www.angingmammiri.org/lomba/
http://enrekang.iblog.com/post/205827/307403
www.makassarkota.go.id
http://caffe-pojok.forumsline.com/sulsel-f49/our-big-culture-t338.htm
http://indonesianmuslim.com/religi-tradisi-dan-seni-di-sulawesi-selatan.html
http://id.wikipedia.org/wiki
http://www.sabah.org.my/bm/daerah/daerah/twu/tawau/bugis.htm
http://sulawesi.cseas.kyoto-u.ac.jp/lib/pdf/Yahya.pdf.
http://buginese.blogspot.com/2007_01_01_archive.html
http://www.ranesi.nl/dialog/bugis_lagaligo070531
http://www.korantempo.com/news/2004/3/18/Budaya/54.html
http://buginese.blogspot.com/2007/12/kultur-haji-bagi-bugis-makassar.html
http://reipras94.multiply.com/journal/item/84
http://www.duniaesai.com/antro/antro5.html
http://www.shanemacpherson.com/Karyasukubangsabugis.htm
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/21/nas07.html
http://www.geocities.com
http://www.heritage.gov.my/kekkwa/viewbudaya.php?id=106



















DAFTAR ISI

Bab 1



0 komentar: