September 22, 2008

Kebudayaan Aceh

KEBUDAYAAN ACEH

1. Identifikasi Geografi

Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi Telong (2.566 m), Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam (1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).

Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2, yang terdiri atas kawasan hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut.

- Adapun batas batas nya yaitu

- Sebelah utara dengan Laut Andaman

- Sebelah timur dengan Selat Melaka

- Sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara

- Sebelah barat dengan Samudra Hindia.

- Daerah Melingkupi : 119 Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai

- Nanggroe (Banyaknya Dati II): 21 Kabupaten

- Banyaknya Kecamatan : 228

- Mukim : 642

- Kelurahan : 111

- Gampong (Desa) : 5947

Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004.

Keindahan alam daerah Aceh yang paling penting adalah hutan tropis basah, lereng-lereng dan gunung merapi. Gunung merapi yang semi aktif dan ditumbuhi dengan hutan lebat banyak terdapat sumber air panas dan danau, serta hutan itu sendiri merupakan habitat yang baik bagi sejumlah binatang dan tumbuhan langka yang masih bersisa. Aceh mempunyai kekayaan sumber bumi seperti minyak dan gas asli.

2. Sejarah Aceh

Babad Cina pada awal 6 M telah menyatakan kewujudan sebuah kerajaan di bagian ujung utara pulau Sumatra yang mereka kenali sebagai Po-Li. Dibandingkan dengan kawasan-kawasan [di Indonesia] yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar.

Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh memainkan peranan penting dalam tranformasi yang dijalani daerah ini sejak berdirinya. Marco Polo, pada 1292, sewaktu dalam pelayaran ke Parsi dari China telah singgah ke Sumatra. Beliau melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bagian utara pulau tersebut. Mereka termasuk perlabuhan Perlak, Samudera dan Lamuri.

Kerajaan Islam pertama yang berdiri di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 840 M (225 H). Sultan pertama Kerajaan Perlak yang terpilih adalah Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy dengan puteri Meurah Perlak) yang bergelar Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah. Kerajaan ini berdiri sekitar 40 tahun setelah Islam tiba di Bandar Perlak yang dibawa oleh saudagar dari Teluk Kambey(Gujarat) pimpinan Nakhuda Khalifah. Kerajaan inilah yang kemudian dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Penguasaan pelabuhan di Malaka oleh Portugis pada 1511 telah menyebabkan banyak pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh. Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran kepada Aceh, dan menandakan mulanya penguasaan Aceh dalam perdagangan dan politik di utara pulau Sumatra khususnya dan Nusantara umumnya. Keadaan ini bertahan hingga ia mencapai puncaknya antara tahun 1610 dan 1640.

Kemunduran Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641 disebabkan penguasaan perdagangan oleh Inggeris dan Belanda. Ini juga menyebabkan mereka berlumba-lumba menguasai sebanyak-banyaknya kawasan di Nusantara untuk kegiatan perdagangan mereka. Perjanjian London 1824 yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda untuk menguasai segala kawasan British di Sumatra sementara Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.

Belanda telah mendapati lebih sukar untuk melawan Aceh dari apa yang mereka sangkakan. Perang Aceh, yang berlansung dari 1873 hingga 1942 (tetapi tidak berlanjut-lanjut), merupakan sebuah peperangan paling lama dihadapi oleh Belanda dan merenggut lebih 10,000 orang tentara.

Pasca-pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM), atau sering dikenal dengan Operasi Jaring Merah, pada 7 Agustus 1998 yang sudah berlangsung selama 10 Tahun sejak 1989, tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian bergema. Selain itu, muncul tuntutan pungutan suara sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah Jakarta. Tuntutan itu digerakkan oleh para intelektual muda Aceh yang terhimpun dalam Organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).

SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berhasil mengakomodasi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Misalnya tercermin dalam aksi kolosal yang dibuat oleh SIRA pada 8 November 1999 yang dihadiri oleh 2 Juta rakyat Aceh dari berbagai kabupaten di Aceh. SIRA yang dipimpin oleh Muhammad Nazar berhasil memobilisir perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.

Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, dengan mengusung isu Antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002, dengan aksi yang paling fenomenal, karena dalam aksinya mereka menuntut gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Aksi yang berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM seperti Taufik Al Mubarak, Muhammmad MTA, Asmara, Askalani, Imam, Habibir, Ihsan, dan beberapa orang lagi. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa campurtangan PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak.

3. Identifikasi Pemerintahan

Adapun susunan pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam yaitu

Ø Kabupaten Aceh Barat

Ø Kabupaten Aceh Barat Daya

Ø Kabupaten Aceh Besar

Ø Kabupaten Aceh Jaya

Ø Kabupaten Aceh Selatan

Ø Kabupaten Aceh Singkil

Ø Kabupaten Aceh Tamiang

Ø Kabupaten Aceh Tengah

Ø Kabupaten Aceh Tenggara

Ø Kabupaten Aceh Timur

Ø Kabupaten Aceh Utara

Ø Kabupaten Bener Meriah

Ø Kabupaten Bireuen

Ø Kabupaten Gayo Lues

Ø Kabupaten Nagan Raya

Ø Kabupaten Pidie

Ø Kota Banda Aceh

Ø Kota Langsa

Ø Kota Lhokseumawe

Ø Kota Sabang

Ø Kabupaten Simeulue

4. Identifikasi Demografi

Sebagian besar penduduknya merupakan ras Melayu, tetapi terdapat juga campuran ras Arab, Cina, Eropa dan India. Selain itu Aceh dikelompokkan menjadi beberapa suku seperti suku Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Kluet, Singkil, Aneuk Jamee and Simeulue.

Di Aceh terdapat beberapa subsuku yaitu Aceh sebagai mayoritas yang mendiami sebagian besar kawasan Aceh, Gayo mendiami Aceh Tengah dan sebagian Aceh Tenggara, Alas mendiami Aceh Tenggara, Tamiang mendiami sebagian Aceh Timur, Kluet dan Aneuk Jamee mendiami sebagian Aceh Selatan.

Jumlah penduduk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005

No

Kabupaten/ Kota

Laki Laki

Perempuan

Jumlah

1

Simeuleu

40.519

37.870

78.389

2

Aceh Singkil

75.177

73.100

148.277

3

Aceh Selatan

93.684

97.855

191.539

4

Aceh Tenggara

84.143

84.910

169.053

5

Aceh Timur

150.785

153.858

304.643

6

Aceh Tengah

81.016

79.533

160.549

7

Aceh Barat

76.932

73,518

150.450

8

Aceh Besar

152.377

144.164

296.541

9

Pidie

228.404

245.955

474.359

10

Bireuen

169.767

182,068

351.835

11

Aceh Utara

241.942

251.728

493.670

12

Aceh Barat Daya

56.809

58.867

155.676

13

Gayo Lues

35.488

36.557

72.045

14

Aceh Tamiang

118.581

116.733

235.214

15

Nagan Raya

61.609

62.134

123.743

16

Aceh Jaya

31.515

29.145

60.660

17

Bener Meriah

53.168

52.980

106.148

18

Banda Aceh

94.052

83.829

177.881

19

Sabang

14.663

13.934

28.597

20

Langsa

68.518

69.068

137.586

21

Lhokseumawe

76.614

78.020

154.634

22

Pidie Jaya

-

-

-

23

Subulussalam

-

-

-

Jumlah

2.005.763

2.025.826

4.031.589

5. Perekonomian

a) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Perekonomian Aceh sangat bergantung pada sektor pertambangan1 (termasuk minyak dan gas), yang menyumbangkan 23 persen PDB pada tahun 2005. Industri manufaktur, yang menyumbangkan 22 persen dari PDB sangat dipengaruhi oleh ketersedian gas dengan harga yang relatif murah. Pada tahun 2005, perekonomian Aceh menurun sebesar 13 persen. Hal ini terutama disebabkan karena penurunan produksi pada sektor pertambangan, pertanian dan industri manufaktur.

Sementara itu sektor jasa mengalami peningkatan Tingkat konsumsi oleh masyarakat meningkat secara signifikan selama tahun 2005, yang sebagian besar dipenuhi oleh impor antar-propinsi. Neraca perdagangan antar propinsi berubah dari surplus 13 persen pada tahun 2004, yang disebabkan oleh ekspor komoditas bahan mentah dalam volume besar, menjadi defisit sebesar 12 persen pada tahun 2005. Investasi meningkat secara substansial. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) didominasi oleh pembelanjaan publik oleh pemerintah pada setiap level pemerintahan. Hal ini mencerminkan pentingnya peran investasi public dalam rekonstruksi Aceh.







b) Lapangan Pekerjaan

Permasalahan lapangan kerja baru masih merupakan tantangan utama di Aceh. Pengangguran meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 12 persen pada tahun 2006. Kenaikan upah juga terjadi, yang disebabkan oleh kombinasi dari ke empat faktor berikut ini:

i) kekurangan pasokan jenis-jenis tenaga kerja tertentu yang banyak diperlukan2 (pekerja konstruksi yang semi-terampil);

ii) kurangnya mobilitas populasi menciptakan kurangnya tenaga kerja di wilayah-wilayah tertentu, seperti yang tercermin dari tingginya aliran tenaga kerja bidang konstruksi dari Sumatra Utara;

iii) kenaikan upah menyusul laju infl asi yang tinggi untuk melindungi daya beli para pekerja; dan

iv) tersedianya jaring pengaman sosial secara meluas oleh LSM dan donor yang berakibat membuat orang-orang tidak terdorong untuk mencari pekerjaan berupah rendah secara aktif.

Struktur lapangan pekerjaan bergeser dari bidang pertanian ke sektor lainnya, terutama jasa. Pergeseran komposisi sector lapangan pekerjaan di Aceh dari pertanian ke sektor lainnya, mengikuti trend pergeseran pada tingkat nasional, yang pada saat ini sector pertanian hanya mampu menyerap sekitar 45 persen dari seluruh total lapangan kerja.

Kecenderungan ini kemungkinan besar diperkuat oleh kebutuhan akan upaya-upaya rekonstruksi di Aceh. Di lain pihak, jumlah angkatan kerja telah meningkat sebesar 5 persen semenjak tsunami, hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa pengangguran meningkat walaupun terdapat upaya rekonstruksi besar-besaran.

Sektor pertanian masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja yang terbesar, pada tahun 2006. Sektor ini menyerap 56 persen dari tenaga kerja, namun sector jasa (termasuk konstruksi) pada saat ini mempekerjakan 38 persen dari keseluruhan angkatan kerja. Penurunan lapangan kerja secara keseluruhan sejak tahun 2003 terutama disebabkan oleh penurunan lapangan kerja pada sektor pertanian.

Di luar pertanian, total lapangan kerja yang tersedia meningkat sebesar 8 persen antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Pada periode yang sama, lapangan kerja pada sector pertambangan meningkat sebesar 70 persen, salah satu penyebabnya adalah upaya-upaya rekonstruksi.

Sementara itu jumlah industri rumah tangga dan industri meningkat secara substansial selama dua tahun terakhir sebagai akibat dari banyaknya bantuan yang dilakukan oleh donor dan LSM secara terus-menerus kepada masyarakat untuk memperbaiki mata pencaharian mereka, yang mendorong banyak orang untuk memulai usaha kecil.

Yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya lapangan kerja pada sektor manufaktur.




c) Perdagangan

i) Ekspor

Ekspor Aceh sangat bergantung pada gas alam (Liquid Natural Gas–LNG). Ekspor non-migas didominasi oleh industri-industri yang bergantung pada ketersediaan gas dengan harga murah. Konflik yang berkepanjangan juga menyebabkan menurunnya produksi gas dan ketidakpastian kebijakan pemerintah terhadap penyubsidian gas menyebabkan penurunan ekspor industri non-migas secara dramatis.

Dua perusahaan produsen pupuk telah mengurangi produksinya secara signifi kan sejak awal dekade ini, kedua perusahaan ini adalah PT Pupuk Iskandar Muda pada tahun 2001 dan PT Aceh Asean Fertilizer pada tahun 2005. Ekspor komoditas juga menurun. Produk-produk pertanian dan perikanan diharapkan merupakan alternative utama yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekspor. Namun, sejak tahun 2000 ekspor mengalami penurunan walaupun harga dan permintaan internasional meningkat.






ii) Impor

Impor meningkat secara substansial setelah tsunami, dari US$ 12,9 juta pada tahun 2004 menjadi US$ 18,5 juta pada tahun 2006. Sebagian besar hal ini disebabkan dari upaya-upaya rekonstruksi dan juga meningkatnya konsumsi.




6. Sistem Kemasyarakatan Dan Kekerabatan

a) Sejarah Masyarakat Aceh

Pada waktu masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar, yang di dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk, yaitu salah satu kabupaten atau daerah tingkat II di Nanggroe Aceh Darussalam.

Semasa masih sebagai kerajaan, Aceh Rayeuk (Aceh Besar) merupakan inti Kerajaan Aceh (Aceh Proper) dan telah menyebarkan sebagian penduduknya ke darah-daerah lain di sekitarnya (daerah takluk) yang oleh Belanda dinamakan Onderhorigheden.

Sebutan Aceh juga digunakan oleh orang-orang di daerah takluk di luar Aceh Rayeuk (Aceh Besar) dalam wilayah Kerajaan Aceh untuk menyebut nama ibukota kerajaan yang sekarang bernama Banda Aceh.Mereka yang mendiami pesisir Timur seperti Pidie, Aceh Utara hingga Aceh Timur, dan Pesisir Barat dan Selatan, jika mau ke ibukota kerajaan (Banda Aceh) mengatakan mau pergi ke Aceh.

Sebutan ini masih ada yang menggunakannya sampai sekarang. Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam.

Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis in adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi) Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat.

Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi Aceh sewaktu masih sebahai sebuah kerajaan menyebutkan dengan nama beragam. Orang Portugis misalnya menyebut dengan nama Achen dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Perancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh (orang Aceh).

b) Sistem Kemasyarakatan

Etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Keempat kawom atau sukee tersebut, yaitu :

a. Kawom atau sukee lhee reutoh (kaum atau suku tiga ratus). Mereka berasal dari orang-orang Mante-Batak sebagai penduduk asli.

b. Kawom atau sukee imuem peut (kaum atau suku imam empat). Mereka berasal dari orang-orang Hindu atau India sebagai pendatang.

c. Kawom atau sukee tol Batee (kaum atau suku yang mencukupi batu). Mereka bersal dari berbagai etnis, pendatang dari baerbagai tempat.

d. Kawom atau sukee Ja Sandang (kaum atau suku penyandang). Mereka adalah para imigran Hindu yang telah memeluk agama Islam.

Pada awalnya, akibat asal-usul yang berbeda, keempat kawom ini seringkali terlibat dalam konflik internal. Kawom-kawom ini sampai sekarang masih merupakan dasar masyarakat Aceh dan solidaritas sesama kawom cukup tinggi. Mereka loyal kepada pimpinannya. Semua keputusan atau tindakan yang akan diambil selalu melibatkan pimpinan dan orang-orang yang dituakan dalam kawom-kawom tersebut.

Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. “Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “. Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya Ideal, dalam bentuk Narit Maja : “Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“. Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala; Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam; Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu ” Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”

Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim:

a. Gampong: Kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dipimpin oleh Keuchik dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Qanun, No.5 Tahun 2003)

b. Mukim: kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imeum Mukim. Imeum Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim (Qanun No.4 Tahun 2003)

c) Struktur Masyarakat

Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan Umara dan golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan.

Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit Pemerintah Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.

Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :

- Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).

- Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.

- Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.

d) Pola Kehidupan Masyarakat Aceh

Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut :

a. Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.

b. Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana.

c. Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.

d. Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar "Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan "Cut" (bagi perempuan).

Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya.

Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat. Selain itu, penggolongan masyarakat Aceh dapat dibagi pula ke dalam empat kelompok, yaitu golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri; kelompok ulama, yaitu orang-orang yang berpengetahuan di bidang agama; kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan), dan kelompok rakyat biasa.

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Aceh sebagai sebuah entitas etnis dan wilayah tertentu sangat berbeda dengan etnis atau wilayah lainnya di Indonesia.

Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan terbuka. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa sub etnis, yaitu

· Aceh

· Alas, orang Alas berasal dari kabupaten Aceh Tenggara yang lazim disebut Tanah Alas. Sukubangsa ini dianggap sebagai pecahan dari sukubangsa Gayo. Jumlah penduduknya diperkirakan sekitar 90.000 jiwa lebih. Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.

· Aneuk Jamee, suku bangsa Anak Jamek atau Aneuk Jamee di kecamatan Samadua dan Manggeng, Kabupaten Aceh Selatan. Jumlah populasinya diperkirakan sekitar 14.000 jiwa. Aneuk Jamee dalam bahasa Aceh secara harfiah berarti "anak tamu" atau pendatang. Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh.

· Gayo, orang Gayo berdiam di Kabupaten Aceh Tengah, sebagian lain di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Timur, terutama di sekitar Danau Laut Tawar. Tempat bermukim orang Gayo disebut Tanoh Gayo (Tanah Gayo). Diperkirakan jumlah orang Gayo seluruhnya sekitar 120.000 jiwa.

· Gumbak Cadek, suku bangsa ini dikenal pula dengan nama orang Muslim Gunung Kong atau Orang Cumbok. Mereka hidup dari peladangan berpindah di hutan-hutan kebupaten Aceh Barat.

· Tamiang, orang Tamiang mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, yang dahulu merupakan wilayah administratif Kawedanan Tamiang. Diperkirakan saat ini orang Tamiang berjumlah sekitar 125.000 jiwa lebih.

· Kluet

· Simeulu

· Singkil

e) Sistem Kekerabatan

Adat Aceh dari masa istri dalam keadaan hamil sampai kepada anaknya dikawinkan (Mampleue)

- Meunineum biasa juga disebut Keumaweueh

Pada waktu hamil pertama seorang istri, yang dinamakan Meutijeuem, sampai pada waktu hamil 5 bulan, oleh pihak orang tua perempuan yang hamil tersebut diadakan sedikit kenduri dengan disertai nasi ketan dan dipanggil ahli famili dari pihak istri yang hamil. Setelah ahli famili dari pihak istri berkumpul, maka diadakan upacara basuh Kepala (Rhah Ulee).Upacara meunieum ini ada juga dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Bahan makanan yang dibawa oleh pihak orang tua si suami ialah Bu Kulah yaitu nasi putih yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk Piramid di dalam hidang, bu leukat (nasi ketan) untuk peusunting meunantu yang sedang hamil, disertai Ayam Panggang dan Tumpou.

Maksud tujuan dari upacara adat Meunineum ini pada mulanya ialah lebih menguatkan rasa persaudaraan antara kedua belah pihak (suami-istri) dan utnuk lebih menguatkan silaturrahmi antara sesama ahli famili. Makanan yang dibawa ini dibagi-bagikan juga kepada famili pihak istri.

- Kelahiran Bayi

Setelah bayi lahir dan setelah dibersihkan, maka kalau bayi tersebut laki-laki diazankan ditelinga kanan dan kalau bayi tersebut perempuan diqamatkan ditelinga kiri, yang dilakukan olah Ayah si bayi ataupun oleh kerabat tertua yang terpandang alim dalam keluarga.

- Upacara Adat Peucicap

Menurut penyelidikan kami kepada orang-orang tua, bawah upacara ini dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-zam.Oleh pihak orang tua si suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu ija (kain) ayunan, ija geudong (kain pembalut) bayi, ija tumpe (popok), tilam, bantal dan tali ayun (tali ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari emas. Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru melahirkan, yang diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan Akikah, yaitu menyembelih seekor kambing, cukur rambut bayi dan pemberian nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan sebaran beras- padi serta doa selamat.

- Peusijuek Dapu dan Peutron Aneuk (Pada Hari Ke 44 Setelah Anak Dilahirkan Yaitu Setelah Madeueng)

Upacara peusijuek dapu (setawar sedingin tempat berdiang) dilakukan oleh orang tua dan ahli famili dari orang tua suami, yaitu orang tua pihak suami menyunting ketan kepada menantunya yang perempuan dengan uang Teumeutuek dan disertai dengan sepersalinan pakaian. Kalau di kalangan orang-orang bangsawan, selaian kepada menantu perempuan, juga turut diberi persalinan pakaian kepada orang-orang (dayang-dayang) yang turut serta mengasuh perempuan yang medeueng setelah melahirkan. Selain itu pada hari itu juga diadakan upacara turun anak kehalaman (Peutron Aneuk).

- Peutron Aneuk

Anak yang telah berumur 44 hari tersebut diturunkan kehalaman dengan dipayungi dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugiho tanoh). Pada upacara ini diatas kepala si anak dibelah Buah Kelapa dengan alas kain putih yang dipegang oleh 4 orang. Kelapa yang telah dibelah tersebut, sebelah diberikan kepada pihak orang tua suami dan sebelah lagi diberikan kepada pihak orang tua si istri, dengan tujuan supaya kedua belah pihak tetap kekal dalam persatuan, rukun damai, kompak dan teguh dalam persaudaraan.

Selanjutnya diadakan pembakaran petasan (mercon) dan disuruh orang-orang yang tangkas dan ahli bermain pedang mempertunjukkan ketangkasan dengan mencincang batang pisang, supaya anak tersebut nanti berani dalam menghadapi peperangan membela negara, dan dapat menjadi Panglima Perang yang tangkas dan arif bijaksana. Selanjutnya anak tersebut ditempatkan ke dalam sebuah balai di halaman, dengan tujuan supaya anak tersebut nanti dapat menyesuaikan dirinya dengan masyarakat dan dapat menjadi orang terkemuka dalam Masyarakat. Setelah Upacara tersebut barulah anak itu dibawa masuk ke dalam rumah dengan terlebih dahulu orang tua yang membawa memberi Salam dan disambut salam serta do’a restu untuk kebahagian si anak.

- Menyerahkan Anak Ketempat Pengajian

Setelah anak berumur 7 tahun, anak tersebut dihantar oleh orang tuanya ketempat pengajian (Guru Mengaji), kalau anak lelaki ke tempat pengajian anak-anak laki-laki, kalau anak perempuan ke tempat pengajian anak perempuan dengan guru wanita. Pada waktu mengantar anak tersebut dibawa serta ketan kuning dengan tumpo dan ayam panggang, pisang abin beberapa sisir, kain putih 6 hasta, sehelai kain sarung, sedekah sekedarnya dan Beureuteh (Beras Padi digongseng) dicampur kembang. Oleh Guru mengaji dibagi-bagikan makanan yang dibawa tersebut diantara anak-anak mengaji, supaya terdapat kekompakan dan persatuan yang baik antara anak yang baru mengaji dengan murid-murid yang lama.

- Upacara Sunat Rasul (Khitan)

Sunat Rasul dilakukan setelah anak berumur antara 10 sampai 13 tahun. Anak tersebut diberi berpakaian adapt didudukkan diatas pelaminan dimaba diadakan acara Peusijeuk dengan setawar sedingin, beras padi serta dipesunting dengan ketan oleh kaum kerabat pihak ayah dan ibu serta teumeuntuk (pemeberian) uang oleh kaum kerabat. Selain itu juga ada teumeuntuk uang dari pihak tamu yang diundang kepada orang tua si anak, ataupun hantaran berupa benda. Pada upacara Sunat Rasul ini diadakan jamuan kenduri, yang bagi rakyat menurut daya dan bagi Bangsawan diadakan secara mewah, hamper menyerupai kenduri Perkawinan.Upacara Sunat Rasul dilakukan oleh mudim dengan anak tersebut disuruh mengucapkan Dua Kalimah Syahadah.

- Upacara Adat dalam Menyelesaikan Persengketaan atau Perkelahian Antar Anak-Anak.

Dalam suatu perkelahian antara anak-anak, jika terjadi pertumpahan darah (rho darah), oleh orang tua-tua kampung terus diadakan perdamaian diantara kedua belah pihak orang tua anak-anak yang berkelahi, dengan diwajibkan bagi pihak yang memukul dhirt kepada orang tua anak yang keluar darah, yaitu diwajibkan membawa ketan kuning, tumpou, kain putih 6 hasta, pakaian satu salin dan uang. Selama belum sembuh, segala urusan pengobatan ditanggung oleh pihak yang tidak rho darah dan dihadapkan orang-orang tua kampong kedua belah pihak orang tua anak-anak tersebut diadakan upacara bermaaf-maafan.

- Pertunangan Menjelang Pernikahan

Kalau seorang anak lelaki yang telah dewasa hendak dijodohkan dengan anak perempuan dari seseorang, terlebih dulu diutus seorang yang bijak dalam berbicara untuk megadakan urusan perjodohan (meuselungoue),dan pada orang tua dari anak perempuan.

Dalam pembicaraan tersebut dibicarakan persetujuan perjodohan dan penetapan mas kawin (mahar) serta penentuan hari membawa tanda (ikatan).

- Ba Ranub Kong Haba

Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak maka datanglah serombongan orang tua-tua dari pihak lelaki kepada pihak orang tua perempuan dengan membawa sirih penguat ikatan (ranub kong haba), yaitu sirih lengkap dengan alat-alatnya dalam cerana, pisang talon (Pisang Raja dan Wajib 1 Talam), ada juga yang disertakan kain baju.

Selain itu juga dibawa benda mas 1 atau 2 mayam dengan ketentuan menurut adat kalau ikatan ini putus disebabkan oleh pihak lelaki yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut hilang. Tetapi kalau ikatan putus disebabkan karena pihak perempuan yang memutuskannya, maka tanda mas tersebut harus dikembalikan dengan dua kali ganda. Pada upacara ini juga ditentukan hari dan bulan diadakannya pernikahan dan pulang penganten (Woe Linto).

- Upacara Adat Perkawinan (Woe Linto)

Tiga hari sebelum naik Pengantin (Woe Linto) terlebih dahulu oleh pihak pengantin laki (Linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (Dara Baro) sirih inai (Ranub Gaca), Ranub lipat/Ranub Gapu 1 hidang, 1 hidang alat-lat pakaian Dara Baro, 1 Hidang Breueh Pade, 1 hidang telur rebus yang diberi berwarna, setawar sedingin, dan daun inai (Gaca) untuk inai Dara Baro. Di rumah Dara Baro diadakan acara Koh Andam.

- Mampleue (Mempelai) Woe Linto

Pada upacara mempelai Linto diberi berpakaian Adat dan dihantar ke rumah Dara Baro beramai-ramai, dengan didahului oleh orang tua yang bijak, dan Linto diapit oleh anak-anak muda yang sebaya. Bawaan dari pihak Linto ialah Jeunamee (mahar atau mas kawin) seumpama1 bongkol mas, diisi dalam cerana beserta Jinong Kunyet dab Beras Padi. Cerana dibungkus dengan kain Sutra Kuning yang pada ujung kain diletakkan bohru dari emas, ranub rajeu’ atau ranub peurakan, kue-kue (peunajoh) wajeb, meuseukat, dhoi-dhoi, bhoi, penajoh tho keukarah, bungong kayee dan lain-lain. Di halaman rumah Dara Baro rombongan Linto dijemput (dinantikan) oleh orang tua dari pihak Linto diberi salam dengan kata-kata bersanjak yang disambut pula dengan kata-kata halus bersanjak oleh pihak Dara Baro.

Setelah itu Linto dibawa naik ke rumah, yang sewaktu tiba ditangga Linto disetawar-sedingin, dengan siraman air Mawar dan Beras Padi. Setiba diatas rumah Linto bersama rombongan ditempatkan di serambi, didudukkan di atas Pelaminan kecil, dimana diadakan jamuan makan, dan pernikahan Ijab Kabul. Ada juga pernikahan Ijab Kabul ini didahulukan harinya sebelum Upacara mempelai. Selain itu barulah Linto dijemput (dibawa) ke pelaminan besar untuk disandingkan dengan Dara Baro. Biasanya setelah bersanding, Linto bersama rombongan pulang kembali ke rumah orang tuanya.

- Upacara Sesudah Mampleue

Upacara Petujoh, yaitu Linto pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan kira-kira 25 orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman Kelapa yang dilakukam oleh Linto bersama Dara Baro. Pada Upacara Peutujoh oleh ibu Dara Baro diadakan teumeutuek (pemberian) uang kepada Linto disertai sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua Dara Baro, oleh Linto dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu Linto. Selanjutnya boleh ibu Linto membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada Dara Baro.

- Tueng Dara Baro

Kira-kira hari ke-10 sampai 1 bulan, Dara Baro dijemput oleh ibu Linto dengan ranub Batee dan Gateng, Dara Baro dibawa ketempat Linto. Sesampainya di rumah Linto diadakan upacara, yaitu Peusijeuk Dara Baro dan Teumeutuek kepada Dara Baro yang dilakukan oleh ibu dan kerabat Linto. Tangan Linto dan Dara Baro dimasukkan ke dalam empang beras dan empang garam, sebagai ganti memberi tahu bahwa ini adalah rumahnya sendiri dan tahu dimana beras dan garam untuk perjanjian di masa-masa mendatang. Bawaan dari Dara Baro sewaktu pergi kerumah Linto adalah kue-kue Adat 3 hidang yang terdiri dari wajeb, dodoi, meusekat dan kue-kue kering lainnya serta ranub bate, kue-kue bawaan Daro Baro tersebut, oleh ibu Linto dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga. Selanjutnya oleh orang tua pihak Linto dihadiahkan kepada Dara Baro sesuatu benda menurut kemampuan dan lazim yaitu hewan betina. Demikianlah sekitar Adat Aceh, yang dapat kami paparkan menurut pengetahuan kami dan yang dapat kami tanyakan dari orang-orang tua, dengan pengharapan supaya dikoreksi kembali.

7. Produk Budaya

a) Bahasa

Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting ada;ah dialek Banda. Dialaek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda eu kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).

Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vocal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti turun menjadi tron, karena hilangnya suku pertama, seperti daun menjadi beuec. Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia bagian timur.

Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.

Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.

b) Pakaian Adat dan Perhiasan Pengantin

Pengantin laki-laki (Linto baro) maupun pengantin perempuan (Dara Baro), keduanya sama-sama menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket. E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\baju_adat.jpgBahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari kain katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam, sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana panjang hitam.

Belakangan ini terdapat suatu kecenderungan untuk menerapkan benang emas pada bagian ujung lengan baju laki-laki, juga pada kerah, kantong dan pada bagian ujung kaki celana. Demikian juga dengan pakaian pengantin perempuan. Padahal, dulunya pakaian pengantin laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak diberi sulaman atau ragam hias. Alasannya adalah karena ragam hias telah dipenuhi dengan aksesoris yang berbentuk aneka ragam perhiasan yang terdiri dari berbagai bahan yang membuat suasana kemilau dan gemerlap.

Sejarah Singkat Perhiasan

Perhiasan dikenal oleh semua bangsa di dunia. Orang memakai perhiasan dengan tujuan yang bermacam-macam, antara lain untuk memenuhi kelengkapan pakaian upacara keagamaan dan adat sebagai simbol status di dalam masyarakat ataupun hanya agar kelihatan lebih cantik, anggun, berwibawa, dan bahkan juga memberikan kekuatan magis. Sejak zaman prasejarah, bangsa-bangsa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sudah mengenal perhiasan.

Berbagai bahan dan jenis perhiasan telah dibuat sejalan dengan kemajuan teknologi. Perhiasan yang mendapat pengaruh India, antara lain bersifat religius, misalnya tali kasta (untuk menyembuhkan penyakit atau sebagai jimat) dan menunjukkan lambang status di dalam masyarakat, seperti mahkota, kalung, cincin, rantai yang digunakan oleh raja atau bangsawan. Demikian juga pemakaian perhiasan pada masa Islam yang menunjukkan lambang status.

Kedatangan bangsa Barat turut mempengaruhi pola ragam bias dan bentuk perhiasan. Perhiasan di Eropa pun menunjukkan simbol dan status, serta mengekspresikan rasa cinta dan mempercantik diri. Salah satu bukti bahwa ada pengaruh budaya Barat di Indonesia, adalah perhiasan kalung dengan ragam bias berupa gambar singa, burung merpati dan bunga. Ragam bias gambar singa, burung dan bunga banyak digunakan di Eropa.

Budaya Aceh termasuk seni kerajinan perhiasannya sangat dipengaruhi oleh peradaban Islam. Motif, ornamen dan desain perhiasan tradisional Aceh merupakan terjemahan dari peradaban Islam. Pada umumnya ornamen diciptakan dari abstraksi tumbuh-tumbuhan dengan daun, tangkai, bunga dan buahnya.

Perhiasan tradisional Aceh juga mengenal ornamen yang merupakan abstraksi benda-benda alamiah seperti awan, bulan, bintang dan lain-lain. Bentuk geometris, seperti Bieng meuih, reunek leuek, gigoe daruet, boh eungkot dan sebagainya. Dengan bentuk ornamen yang alamiah dan abstrak tersebut menghasilkan motif-motif yang menarik. Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain:

1) E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Keureusang.jpgKeureusang,

Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.

2) Patam Dhoe,

Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota.
E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Patam Dhoe.jpgPatam Dhoeterbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

3) Peuniti

Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

4) E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Simplah.jpgSimplah

Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.

5) Subang Aceh

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Subang Aceh.jpgSubang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.

6) Taloe Jeuem

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Taloe Jeuem.jpgSeuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

Selain itu, kita menjumpai satu ornamen yang merupakan motif khas Aceh yang terkenal dengan nama "bungong kalimah" yang sering dimunculkan dalam bentuk tulisan "Allah", "Muhammad" dan ayat-ayat lainnya dari Al-Quran.

c) Tarian Tradisional

v Saman

Tarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.

Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan iringan alat musik, berupa gendang dan menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah.

Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini dilakukan secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan posisi duduk berlutut dan berbanjar/bersaf tanpa menggunakan alat musik pengiring.

Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak dibawak/ditarikan oleh kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah banyak ditarikan oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan penari wanita. Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.

v Tari Likok Pulo Aceh

Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Acej atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu.

Seorang pemaian utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan oleh tubuh, keterampilan, keseragaman/kesetaraan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.

v Laweut

Laweut berasal dari kata Selawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II (PKA II).

Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pi atas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

v Tari Pho

Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom.

Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

v Seudati

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.

d) Alat Musik Tradisional

v Serune Kalee

Serune Kalee adalah instrumen tiup tradisional Aceh yaitu sejenis Clarinet terutama terdapat di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, dan Aceh Barat. Alat ini terbuat dari kayu, bagian pangkal kecil serta di bagian ujungnya besar menyerupai corong. Di bagian pangkal terdapat piringan penahan bibir peniup yang terbuat dari kuningan yang disebut perise.

Serune ini mempunyai 7 buah lobang pengatur nada. Selain itu terdapat lapis kuningan serta 10 ikatan dari tem­baga yang disebut klah (ring) serta berfungsi sebagai pengamanan dari kemungkinan retak/pecah badan serune tersebut. Alat ini biasanya digunakan bersama genderang clan rapai dalam upacara-upacara maupun dalam mengiringi tarian-tarian tradisional.

v Gendang (Geundrang)

Gendang terdapat hampir di seluruh daerah Aceh. Gendang berfungsi sebagai alat musik tradisional, yang bersama-sama dengan alat musik tiup seurune kalee mengiringi setiap tarian tradisional baik pada upacara adat maupun upacara iainnya.

Alat ini terbuat dari kayu nangka, kulit kambing dan rotan. Pembuatan gendang yaitu dengan melubangi kayu nangka yang berbentuk selinder sedemikian rupa sehingga badan gendang menyerupai bambam. Pada permukaan lingkarannya (kiri-kanan) dipasang kulit kambing, yang sebelumnya telah dibuat ringnya dari rotan dengan ukuran persis seperti ukuran lingkaran gendangnya.

Sebagai alat penguat/pengencang permukaan kulit dipakai tali yang juga terbuat dari kulit. Tali ini menghubungkan antara kulit gendang yang kanan dengan kiri. Alat pemukul (stick) gendang juga dibuat dari kayu yang dibengkakkan pada ujungnya yaitu bagian yang dipukul ke kulit.

v Canang

Canang adalah alat musik pukul tradisional yang terdapat dalam kelompok masyarakat Aceh, Gayo, Tamiang dan Alas. Masyarakat Aceh menyebutnya "Canang Trieng", di Gayo disebut "Teganing", di Tamiang disebut "Kecapi" dan di Alas disebut dengan "Kecapi Olah". Alat ini terbuat dari seruas bambu pilihan yang cukup tua dan baik. Kemudian bambu tersebut diberi lubang, selanjutnya ditoreh arah memanjang untuk mendapatkan talinya. Lobang yang terdapat pada ruas bambu itu disebut kelupak (Alas dan Gayo).

Jumlah tali tidak sama pada setiap daerah. Pada Canang Trieng terdapat 5 buah tali (senar) yaitu 4 buah yang saling berdekatan terletak di kiri sedangkan sebuah lagi agak besar terletak di kanan lubang. Tali sebelah kiri dipetik menggunakan lidi, sedangkan tali sebelah kanan dipetik dengan kuku/ibu jari kiri.

Tali kecapi ada yang 3 buah dan ada yang 4 buah. Sedangkan Kecapi Olah terdapat 4 sampai 5 buah, yang masing-masing tali diberi nama sendiri yaitu gong (tali besar dekat keleepak), tingkat (1 atau 2 buah tali yang letaknya di tengah) dan gerindik (tali yang paling halus/tinggi suaranya), dipetik dengan bambu yang telah diraut tipis.

Pada teganing terdapat 3 buah tali yang paling tipis terletak paling kanan dan paling kasar terletak paling kiri. Masing-masing tali ini disebut secara berurutan dengan nama canang, memong dan gong. Cara memainkan teganing yaitu dengan memukul talinya dengan kayu pemukul yang disebut peguel.

v Rapai

Rapai merupakan sejenis alat instrumen musik tradisional Aceh, sama halnya dengan gendang. Rapai dibuat dari kayu yang keras (biasanya dari batang nangka) yang setelah dibulatkan lalu diberi lobang di tengahnya. Kayu yang telah diberi lobang ini disebut baloh. Baloh ini lebih besar bagian atas dari pada bagian bawah. Bagian atas ditutup dengan kulit kambing sedangkan bawahnya dibiarkan terbuka. Penjepit kulit atau pengatur tegangan kulit dibuat dari rotan yang dibalut dengan kulit. (Penjepit ini dalam bahasa Aceh disebut sidak).

Rapai digunakan sebagai alat musik pukul pada upacara-upacara terutama yang berhubungan dengan keagamaan, perkawinan, kelahiran dan permainan tradisional yaitu debus. Memainkan rapai dengan cara memukulnya dengan tangan dan biasanya dimainkan oleh kelompok (group). Pemimpin permainan rapai disebut syeh atau kalipah.

e) Senjata

v Reuncong (Rencong)

Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh yaitu :

- Reuncong Meucugek :

Disebut reuncong meucugek karena pada gagang rencong tersebut terdapat suatu bentuk panahan dan perekat yang dalam istilah Aceh disebut cugek atau meucugek.

- Reuncong Meupucok :

Reuncong ini memiliki pucuk di atas gagangnya yang terbuat dari ukiran logam yang pada umumnya dari gading atau emas. Bagian pangkal gagang dihiasi emas bermotif tumpal (pucok rebung) serta diberi permata ditampuk gagang, panjang keseluruhan rencong sekitar 30 cm. Sarung rencong juga dibuat dari gading serta diberi ikatan dengan emas. Bilah terbuat dari besi putih.

- Reuncong Pudoi :

Istilah pudoi dalam masyarakat Aceh adalah sesuatu yang dianggap masih kekuranan atau masih ada yang belum sempurna. Gagang rencong ini hanya lurus saja dan pendek sekali. Jadi, yang dimaksud pudo atau yang belum sempuna adalah pada bentuk gagang rencong tersebut.

- Reuncong Meukure:

Perbedaan rencong dengan rencong jenis lain adalah pada mata rencong. Mata rencong diberi hiasan tertenu seperti gambar ular, lipan bunga dan lainnya.

v Siwaih

Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang. Bentuknya hamper sama dengan rencong tetapi siwaih ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi dari rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahgian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwaih yang telah diberikan hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada sebagai senjata.

v Peudeung (Pedang)

Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu:

- Peudeung Habsyah (dari negara Abbsinia),

- Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat)

- Peudeung Turki berasal dari Turi

v Tombak

Selain rencong, siwaih dan pedang; terdapat jenis senjata lain yaitu tombak. Tombak Meujanggot merupakan salah satu tombak yang ada di Aceh. Gagangnya terbuat dari kayu, bilahnya dari besi dengan ukiran motif lingkaran, segitiga dan persegi panjang. Panjangnya sekitar 200 cm. Pangkal (teubueng) di antara gagang dan bilah disematkan potongan kain dan ijuk menyerupai jenggot. Tombak ini digunakan sebagai perlengkapan upacara/lembaga kebesaran raja.

f) Permainan Tradisional

v Geulayang Tunang

Geulayang Tunang terdiri dari dua kata yaitu geulayang yang berarti layang-layang dan tunang berarti pertandingan. Jadi geulayang tuning adalah pertandingan laying-layang atau adu laying yang diselenggarakan pada waktu tertentu. Permainan ini sangat digemari di berbagai daerah di Aceh. Mengenai nama permainan ini kadang-kadang juga ada pula yang menyebutnya adud geulayang. Kedua istilah yang disebutkan terakhir sama artinya, hanya lokasinyalah yang berbeda.

Pada zaman dahulu permainan ini diselenggarakan sebagai pengisi waktu setelah mereka panen padi. Sebagai pengisi waktu, permainan ini sangat bersifat rekreatif. Oleh karena itu, permainan ini sering kali dilombakan dalam acara peringatan hari kemerdekaan RI atau event-event lainnya.

v Geudeue-Geudeue

Geudeue-Geudeue atau disebut juga due-due adalah permainan ketangkasan yang terdapat di Pidie. Di samping ketangkasan, gesit, keberanian dan ketabahan pemain geudeue-geudeue harus bertubuh tegap dan kuat. Permainan ini kadang-kadang berbahaya karena permainan ini merupakan permainan adu kekuatan.

Cara memainkannya adalah seorang yang berbadan tegap tampil di arena. Ia menantang dua orang lain yang juga bertubuh tegap. Pihak pertama mengajak pihak kedua yang terdiri dari 2 orang supaya menyerbu kepadanya. Ketika terjadi penyerbuan, pihak pertama memukul dan menghempaskan penyerangnya (pok), sedangkan pihak yang pihak kedua menghempaskan pihak yang pertama.

Dalam tiap permainan bertindak 4 orang juru pemisah yang disebut ureueng seumubla (juri), yang berdiri selang-seling mengawasi setiap pemain.

v Peupok Leumo

Peupok Leumo adalah sejenis permainan yang khas terdapat di Aceh Besar. Permainan ini merupakan suatu permainan mengadu sapi. Permainan ini sebelumnya berkembang di kalangan peternak sapi. Zaman dahulu lazimnya peupok leumo diselenggarakan oleh sekelompok peternak yang berada pada satu lokasi seperti yang berada pada satu kampung atau lebih luas lagi satu mukim, diselenggarakan seminggu sekali. Untuk menentukan hari-hari penyelenggaraan setiap hari Minggu, Jumat atau hari lainnya. Dapat juga diselenggarakan pada sore hari, pukul 16.00 - 18.00.

Selain peupok leumo masih ada lagi acara peupok leumo tunang, yaitu permainan peupok leumo untuk mencari sapi yang akan keluar sebagai pemenang. Acara Peupok leumo tuning ini biasanya diselenggarakan oleh sebuah panitia. Waktu tergantung kepada cuaca dan musim-musim tertentu seperti sehabis panen atau waktu lain seperti pada hari-hari besar dan sebagainya.

v Pacu Kude

Pacu Kude dapat diartikan duduk di atas kuda yang lari atau dapat diartikan sebagai pacuan kuda. Permainan ini terdapat di Kabupaten Aceh Tengah. Karena daerah ini terdapat padang rumput yang sangat luas serta kuda adalah alat angkutan yang sangat praktir di daerah pegunungan, di samping untuk membajak sawah.

Sehabis panen kuda-kuda ini tidak mempunyai kegiatan apa-apa yang dianggap penting. Waktu-waktu seperti itu sering kuda-kuda tersebut berlari-lari berkelompok. Kebiasaan ini dikoordinir akhirnya terbentuk permainan pacu kude.

Pada awalnya permainan ini adalah permainan informal, tidak ada aturan yang baku untuk dilaksanakan. Namun lama kelamaan, permainan ini ditingkatkan menjadi permainan resmi dan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi.

v Bola Keranjang (bahasa gayo: tipak rege).

Sejenis bola yang dibuat dari rotan belah dipergunakan pada permainan sepak raga (sepak takraw). Permainan ini sudah jarang sekali dilakukan sekarang ini. Pada bola keranjang diikat rumbai-rumbai kain yang berwarna merah, putih dan hitam sebanyak 15 helai.

Pada masa dahulu sepak raga merupakan sejenis permainan rakyat. Permainan ini sangat digemari oleh anak-anak, remaja/pemuda maupun orang-orang dewasa. Mereka memanfaatkan waktu-waktu senggangnya dengan permainan ini.

g) Tempat Wisata

v Kerkhoff

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\kerkop1.jpgSebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Bukti sejarah ini dapat ditemukan dipekuburan Belanda (Kerkhoff) ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda yang kuburannya masih dirawat dengan baik.

Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang meninggal dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.

v E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\krueng_raya1.jpgKrueng Raya

Krueng Raya, 35 Km dari Banda Aceh merupakansebuah tempat pelabuhan yang bernama "Pelabuhan Malahayati", yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari Banda Aceh. Sepanjang jalan ditemukan beberapa tempat yang menarik, antara lain :

v Pantai Ujong Batee

Pantai Ujong Batee terletak sekitar 17 km arah timur Banda Aceh. Sangat cocok sebagai tempat rekreasi sambil berenang, memancing, surfing, dsb. Pantainya yang ditumbuhi pohon cemara yang lebat merupakan pelindung para pengunjung bila hari panas sehingga cukup nyaman untuk bersantai. Dekat pantai ini terdapat sebuah restauran yang menyajikan makanan khas Aceh yang terkenal yaitu Kepiting Besar, Udang Windu, Tiram, Telur Penyu, dan berbagai hasil laut dan pertanian lainnya.

v Lamreh

Lewat sedikit dari Pelabuhan Malahayati, terletak diatas bukit yang dulunya sangat tandus. Kini telah ditanami pepohonan. Dari atas bukit Lamreh ini kita dapat melihat panorama laut yang indah.

v Benteng Indra Patra

Terletak dekat pantai Ujong Batee, menurut riwayat dibangun pada masa pra Islam di Aceh yaitu dimasa kerajaan Lamuri. Dibuat dari beton kapur, cukup kuat untuk mempertahankan diri dari serangan Portugis dimasa lalu.

v Makam Laksamana Malahayati

Menurut sejarah, Laksamana Malahayati adalah seorang wanita yang memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh. Pada masa hayatnya ia pernah memangku jabatan Penguasa Pelabuhan dan memegang jabatan penting lainnya dalam Kerajaan Aceh.

v Ie Su-uem

Di daerah Krueng Raya juga dijumpai sumber air panas alam yang konon baik sekali digunakan untuk mandi dan dapat pula menyembuhkan beberapa jenis penyakit dan membuat badan sehat.

v Mesjid Raya Baiturrahman

Dipusat kota Banda Aceh berdiri dengan megahnya sebuah Mesjid yang agung yang bernama "MESJID RAYA BAITURRAMAN". Zaman dulu ditempat ini berdiri sebuah Mesjid Kerajaan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873 Mesjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah Mesjid sebagai penggantinya.

Mesjid ini berkubah tunggal dan dibangun pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959 – 1968).

Mesjid ini merupakan salah satu Mesjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk Yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan Mesjid tersebut.

v Museum Negeri Aceh

Kota Banda Aceh memiliki sebuah Museum Negeri yang terletak dalam sebuah Kompleks. Bangunan induk Museum berupa sebuah rumah tradisional Aceh, dibuat pada tahun 1914 untuk Gelanggang Pameran di Semarang, yang kemudian dibawa pulang ke Banda Aceh tahun 1915 oleh Gubernur Van Swart (Belanda) yang kemudian dijadikan Museum.

Sekarang ini lingkungan Museum ini telah bertambah dengan bangunan baru yang mengambil motif-motif bangunan Aceh seperti halnya bangunan Balai Pertemuan yang berbentuk kerucut yang bentuknya diambil dari cara orang Aceh membungkus nasi dengan daun pisang yang dinamakan "Bukulah". Bukulah ini antara lain dihidangkan pada kenduri-kenduri tertentu seperti Kenduri Blang, Kenduri Maulid Nabi Besar Muhammad Saw dan lain sebagainya.

Ruang pamer Museum yang baru, memiliki bangunan 3 lantai, dipenuhi oleh berbagai koleksi barang-barang purbakala yang ditata dengan baik. Salah satu koleksi Museum ini adalah Lonceng Besar yang diberi nama "CakraDonya". Lonceng ini merupakan hadiah dari Kerajaan Cina tempo dulu yang dibawa oleh Laksamana Ceng Ho pada tahun 1414. Beranda depan Museum memiliki bentuk khas yang juga memperlihatkan ukiran-ukiran kayu dengan motif Aceh.

Dikompleks ini sekaligus dijumpai makam sultan-sultan Aceh dimasa lalu. Makam para Sultan pada umumnya dinuat dari Batu Gunung dan dihiasi dengan Kaligraphi Arab yang indah mempesona, salah satunya adalah Makam Sultan Iskandar Muda.

v Pantai Lhoknga Dan Lampuuk

Pantai Lhoknga dan Lampuuk terletak di pantai barat Aceh. Dari Banda Aceh kurang lebih 17 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dalam waktu kurang dari 20 menit.

Pantai ini cukup indah dan dapat digunakan sebagai tempat berenang, berjemur di pasir putih, memancing, berlayar, menyelam dan kegiatan rekreasi lainnya.

Di sore hari pantai ini terasa lebih indah, dimana kita dapat menyaksikan matahari terbenam (Sun-Set) yang penuh pesona yang memberikan suatu kenikmatan sendiri. Dikawasan Pantai Lampuuk, anda dapat bermain golf dengan latar belakang panorama laut di Padang Golf Seulawah. Lewat sedikit dari pantai Lhoknga, anda dapat menyaksikan panorama Taman Tepi Laut yang sangat indah.

v Taman Sari

Sultan membangun sebuah gunung buatan yaitu Gunongan dimana permaisuri dapat memanjatinya. Begitu bangunan ini siap, permaisuri menjadi berbahagia dan lebih banyak menghabiskan waktunya disini terutama pada saat matahari akan tenggelam.

Kerajaan Aceh dahulu mempunyai taman yang indah yang dinamakan "Taman Sari". Taman ini berada disekitar Istana dan berada pada aliran sebuah sungai yang bernama "Krueng Daroy". Bangunan yang masih dapat dilihat antara lain adalah "Pinto-khop" yang merupakan pintu penghubung antara Istana dan taman. Disamping itu terdapat sebuah bangunan yang merupakan gunung buatan yang disebut "Gunongan".

Gunongan merupakan sebuah bangunan peninggalan Sultan Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri Phang. Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu akan kampung halamannya, Pahang - Malaysia. Sultan kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri dapat bermain, namun disini tidak.

v Monumen RI

Setelah Indonesia merdeka (1945) Belanda masih ingin menjajah Negeri ini. Dalam perjuangan phisik melawan penjajahan Belanda tersebut, pada tahun 1948 Indonesia membutuhkan sebuah pesawat terbang untuk menembus blokade musuh, karena banyak wilayah telah dikuasai Belanda. Untuk memperoleh sebuah pesawat terbang untuk kepentingan negara waktu itu dirasa sangat sulit, karena sedang berjuang dan keadaan keuangan negara belum memungkinkan.

Presiden pertama Republik Indonesia "Soekarno" menghimbau agar rakyat Aceh menyumbangkan dana untuk membeli pesawat terbang yang diperlukan. Dalam waktu singkat dana yang diperlukan dapat terkumpul dan berhasil dibeli sebuah pesawat Douglas DC. 3. Disamping menembus blokade musuh pesawat ini juga digunakan untuk pengangkutan senjata dari luar negeri untuk mengusir penjajah. Pesawat ini kemudian merupakan cikal bakal Perusahaan Garuda Indonesia Airways yang kini merupakan perusahaan penerbangan terbesar sekaligus "pembawa bendera Indonesia".

Untuk mengenang jasa, masyarakat Aceh yang patriotik ini, pemerintah membangun sebuah Monumen yang terletak di Jantung Kota Banda Aceh.

v Pendopo Gubernur

Pendopo Gubernur dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1880 diatas tanah bekas Istana Kerajaan Aceh dan diperuntukkan sebagai tempat tinggal Gubernur Belanda. Kini bangunan tersebut merupakan tempat kediaman resmi Gubernur Aceh.

h) Makanan Tradisional

Masakan Aceh pada umumnya didominasi dengan citarasa pedas. Untuk bumbunya, rempah-rempah termasuk jenis bumbu yang paling sering digunakan. Namun, di Gampoeng Aceh ini, nilai pedasnya cenderung lebih dikurangi, karena untuk menyesuaikan dengan selera pengunjungnya, sedangkan penggunaan rempah-rempah lebih ditingkatkan.

v Bebek Bakar

Bebeknya dibersihkan dengan cara khusus, sehingga dagingnya pun tidak berbau. Setelah dibakar bulu halusnya, bebek dibelah jadi 4. Sebelum dimasak, dibumbui dengan 19 macam rempah-rempah. Setelah itu, diberi daun kari, agar lebih harum, baru kemudian dipanggang. Penyajiannya dengan nasi gurih, cabe hijau, timun, dan tomat.

v Kari Kambing

Daging kambing dimasak dengan bumbu utamanya adalah cabe keling atau cabe India. Cabe keling atau cabe India ini sebenarnya merupakan cabai merah yang sudah dikeringkan selama satu minggu, sehingga rasanya pun sangat pedas. Kuahnya yang sangat memerah, benar-benar sepedas citarasanya.

v Martabak Aceh

Bahan dasarnya adalah 1 kg terigu. Setelah diaduk, adonan terigunya dipukul-pukul, sehingga membentuk seperti martabak Bangka yang sudah sering kita jumpai, baru kemudian dimasak. Untuk menikmatinya, tersedia pilihan antara kari kambing atau kuah duren.

v Mie Aceh

Mienya dibuat sendiri dari adonan terigu yang digiling. Bumbunya hampir sama dengan bumbu yang digunakan untuk membuat jenis mie goreng pada umumnya, hanya saja lebih ditambah rempah-rempah dan rasanya pun lebih spicy.

v Mie Kepiting

Kepiting digodok setengah matang dengan bumbu yang digunakan untuk mie aceh. Setelah itu. kepiting dibelah menjadi 8, dan dicuci. Digodok lagi, dan ditambahkan mie. Taste seafood dari kepitingnya sangat kuat.

8. Agama

Islam merupakan agama yang dominan yaitu sekitar 98% dari populasi. Masyarakat asli Aceh terutama beragama Islam, dan sisanya adalah agama Budha, Kristen dan Hindu yang dianut oleh keturunan Jawa, Cina, Batak dan India. Kendati demikian kehidupan beragama di Aceh cukup harmonis dengan toleransi yang cukup tinggi. Sarana peribadatan seperti mesjid dan menasah terdapat di seluruh pelosok Aceh, sedangkan Gereja, Toa Peh Kong dan Kuil Hindu hanya terdapat di kota-kota besar saja.

9. Pembangunan Dan Modernisasi

Sejak dahulu Aceh boleh dikatakan telah mengalami perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan. Perubahan-perubahan yang tampaknya bergerak sangat lambat itu, disebabkan oleh faktor asing, pembangunan di desa-desa, perubahannya tidak signifikan. Pembangunan di Aceh terhambat karena keamanan yang kurang, komunikasi yang buruk, dan sikap apatis dari rakyat terhadap gagasan untuk membangun. Hal itu karena pemerintahan tidak dijalankan secara konsekuen sehingga usaha pembangunanpun terhambat.

Rakyat pedesaaan masih kurang dalam hal pendidikan dan penerangan. Pendidikan umum yang modern adalah media yang ampuh untuk membawa perubahan dan pembangunan. Sebenarnya Aceh mempunyai potensi yang besar untuk membangun, hanya cara menggerakkannnya yang kurang. Penggeraknya adalah pemimpin-pemimpin dan orang-orang yang berpengaruh di desa, seperti keusyik dan orang-orang yang berwibawa, seperti Teungku.

Modernisasi dalam bidang pemerintahan belum tererealisir dengan baik dan sering membawa atau menimbulkan birokrasi dalam arti buruk yang diakibatkan karena korelasi antara peraturan-perarturan dan pelaksanaannya.

Modernisasi dalam bidang teknologi juga belum banyak terlihat terutama pada masyarakat yang tinggal di pedalaman. Walaupun demikian, telah diusahakan menggunakan teknologi dalam pertanian, seperti pembuatan pupuk buatan, penyemprotan hama, dan lain-lain.

Intinya, masih banyak potensi utnuk dibangun, misalnya dalam sektor pertanian. Pengetahuan dan pengertian dari pemerintah tentang masyarakat Aceh mengenai cara menggerakkna potensi tersebut harus ditingkatkan. Perlu ditambah jumlah tenaga yang mempunyai keahlian membangun serta prasarananya.

Pembangunan Di Aceh Pasca Tsunami

Bencana tsunami yang melanda pantai Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, merupakan salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah. Lebih dari 130.000 orang meninggal di Indonesia saja, dan 500.000 lainnya kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, serta keluarga mereka. Dalam hitungan hari, dunia menggerakkan program bantuan darurat terbesar yang pernah ada; pemerintah asing, komunitas dan organisasi swasta, termasuk 500 lembaga pemberi bantuan, datang ke Aceh untuk membagikan makanan, minuman, dan tempat berlindung bagi mereka yang selamat.

Proses rehab-rekon Aceh bisa dikatakan try-error. Walaupun sudah dilakukan dengan berbagai metode. Hal ini terjadi karena pelaku rehab-rekon belum memiliki pengalaman dalam menangani musibah sebesar ini. Project management, SDM, kendala lokasi pekerjaan merupakan contoh-contoh yang bisa menghambat kinerja lembaga-lembaga seperti NGO nasional maupun internasional dalam melaksanakan rehab-rekon di Aceh. Juga dalam pengelolaan budget yang ada sangat sering terjadi perubahan. Harus diakui ada beberapa donor yang sangat kaku, sehingga banyak permintaan perubahan anggaran/aktivitas yang seharusnya bisa di sesuaikan menjadi tidak boleh diubah sama sekali. Padahal proses rehab-rekon ini tentu memiliki dinamika.

Beberapa sektor rehab-rekon yang menjadi indikator bisa dikatakan jalan ditempat. Dibidang perumahan proses pembangunan perumahan masih mengalami beberapa persoalan, seperti ketika memakai metode pendampingan. Akibatnya pembangunan berjalan lamban. Mungkin resiko dalam pembangunan perumahan akan menjadi minim apabila pengerjaan rumah diberikan kepada pemiliknya. Apalagi calon penghuni “rumah baru” biasanya acap mengeluh ketika pembangunan “rumahya” diberikan kepada kontraktor yang pengawasannya hampir minim sehingga menghasilkan produk rumah yang ‘mengecewakan”.

Masalah lainnya adalah pada kebijakan pemerintah dalam membentuk tata ruang yang lebih baik dalam pembangunan lingkungan perumahan paska tsunami. Salah satu tata ruang yang dimaksud misalnya adanya pengosongan enam meter badan jalan, saluran air, dan lain-lain. Namun, dari 300 desa tsunami hanya 37 desa yang sudah membuat tata ruang sebagaimana idealnya keinginan pemerintah tersebut.

Tsunami memang telah menghancurkan bayak sektor-sektor alam, seperti tambak, sawah, kebun dan sumber daya alam lainnya. Upaya melakukan recovery di bidang ini harus diakui memang agak sulit. Akan ada banyak tantangan yang ditemui, oleh karenanya perlu kerja sama yang tepat antar NGO maupun donor, dengan mengadakan recovery dan revitalisasi secara bersama dan terkoordinasi.

Keadaan rehab-rekon ini juga semakin terdesak dengan keadaan Aceh yang kini berada dalam keadaan Booming Reconstruction, yang mengakibatkan naiknya kebutuhan secara dramatis dibiaya rehab-rekon seperti material dan juga upah pekerja. Akan tetapi yang anehnya, walau Aceh sedang Booming Reconstructions, tetap saja angka penggangguran masih tinggi. Persoalan lain adalah, adanya role sharing antara pelaku rehab-rekon yang tidak berjalan dengan baik. Keruwetan ini ditambah lagi oleh kenyataan bahwa banyak NGO terkesan mengejar target penyerapan anggaran.

Walau demikian, kelambanan proses rehab-rekon ini juga semestinya tidak boleh menjadikan siapa pun untuk mencari kambing hitam. Sebab, menurut suatu kaidah lama: musibah suatu kaum adalah anugerah bagi kaum lainnya.

Walaupun indikator sulit ditemukan bahwa rehab-rekon ternyata juga telah merusak mental spritual mayarakat Aceh. Akan tetapi, hal ini diperlihatkan dengan adanya pergeseran nilai yang kuat dalam tradisi sosial masyarakat Aceh. Namun demikian, setiap kita mesti juga mengakui ada hal-hal positif dari proses rehab-rekon ini.

Pembangunan kembali Aceh bukan hanya tentang membangun rumah melainkan membangun kembali masyarakat—sistem pelayanan kesehatan, pekerjaan, sumber air yang aman, jalan dan jembatan, mata pencaharian juga rasa kemasyarakatan dan keamanan.

· Membangun kembali sistem kesehatan

Ketika tsunami melanda Aceh, dimana juga telah menghancurkan sistem kesehatan yang sudah sangat terbatas akibat 30 tahun perang saudara. Bencana ini menghancurkan lebih dari 400 fasilitas kesehatan, dan menewaskan banyak dokter, perawat, dan penyedia jasa kesehatan lainnya yang dibutuhkan untuk membangun kembali sektor kesehatan pasca tsunami. Tujuan dari strategi pembangunan kesehatan adalah untuk memperbaiki kesehatan ibu dan anak serta masyarakatnya di daerah-daerah yang telah ditargetkan di Aceh, dan dengan demikian memperbaiki kualitas hidup mereka.

· Membangun kembali masyarakat

Tujuan dari proyek pembangunan tempat tinggal adalah untuk memulihkan dan memperbaiki kualitas hidup para keluarga yang terkena dampak tsunami dengan cara membangun kembali dan merehabilitasi rumah-rumah serta fasilitas masyarakat, pemulihan mata pencaharian, pengurangan resiko bencana, pemberdayaan masyarakat serta penguatan tata pemerintahan setempat. Anggota masyarakat berpartisipasi di setiap tahapan proses rekonstruksi. Sebagai bagian dari proyek rekonstruksi, mereka yang selamat bekerja sama untuk membangun atau memperbaiki fasilitas sanitasi yang dibutuhkan di komunitas baru mereka. Dengan membersihkan, memperbaiki dan mengebor sumur, membangun jamban dan sistem sanitasi serta menyediakan air bersih, diharapkan dapat memperbaiki kondisi air bersih dan sanitasi bagi lebih dari 100.000 orang.

· Membangun Kembali Mata Pencaharian

Tsunami tidak hanya menghancurkan rumah-rumah; tapi juga menghancurkan pekerjaan dan pendapatan, sehingga banyak yang selamat tidak mampu menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Beberapa cara dilakukan untuk memperoleh kembali mata pencaharian mereka melalui sederet kegiatan seperti perbaikan dan pembangunan sektor pertanian, perikanan, peternakan dan usaha kecil, seperti kepemilikan becak (taksi motor), usaha jahit atau membuka warung.

· Membangun Kembali Masa Depan dan Menghadapai Risiko Bencana Di Masa Datang

Pemulihan memerlukan waktu, dan diperlukan partisipasi masyarakat Aceh untuk membangun kembali rumah, komunitas dan kehidupan mereka di tahun-tahun mendatang. Masyarakat perlu memastikan rumah dan desa baru mereka lebih siap menghadapi bencana apapun di masa datang, dengan menyertakan mitigasi risiko bencana ke dalam semua kegiatannya. Perencanaan oleh masyarakat (Community Planning) menjamin semua orang mengetahui rute penyelamatan diri yang terbaik jika suatu bencana lain terjadi; pembuatan rumah bermutu tinggi membuat rumah lebih tahan terhadap gempa bumi yang kuat atau banjir, dan sistem peringatan dini memberi lebih banyak waktu kepada orang untuk menyelamatkan diri dalam situasi darurat. Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh.

10. Problematika kebudayaan di Aceh

Konsep, politik dan strategi kebudayaan, dalam suatu kawasan teritori seperti Aceh –yang di dalamnya terdapat beraneka ragam (sub)etnik dan bahasa, selalu saja melahirkan tiga lingkup pengkajian penting penting, yakni: (a) bagaimana menuntaskan pemetaan hubungan antara lokal, nasional dan global dalam konteks kebudayaan? (b) Apa dan bagaimana yang disebut identitas dan krisis kebudayaan? (c) perubahan apa yang mungkin terjadi dan bagaimana memberdayakan kebudayaan?

Memahami jalan kebudayaan dan proses seperti itu, turut menentukan dalam perumusan, pembentukan dan pemetaan berbagai masalah dan penyelesaiannya, termasuk berbagai masalah dan kebijakan yang menyangkut dengan publik. Salah memahami konsep kebudayaan pada akhirnya hanya akan melahirkan pembangunan kebudayaan yang kurang tepat.

Masyarakat Aceh adalah semuanya Islam. Hal ini kemudian berimplikasi kepada kenyataan kebudayaan di Aceh. Kebudayaan menyangkut kepada hal-hal yang sangat kompleks.

Kebudayaan mudah difahami di Banda Aceh. Namun demikian, ketika memasuki wilayah wujud, mereka kesulitan untuk menunjukkan kebudayaan. Sehingga kebudayaan sering dikonkretkan kepada tari seudati, rumoh Aceh, pakaian adat, dan lain-lain yang akhirnya akan memberi pemahaman kepada konsep kebudayaan yang sangat sempit.

Pascatsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang telah membawa banyak kerusakan di Aceh, membuat langkah pembangunan kembali sebagai jalan yang harus ditempuh. Dalam usaha rekonstruksi dan rehabilitasi, tersimpullah salah satu keputusan penting di Aceh bahwa pendekatan kultural dalam membangun Aceh –pascatsunami dan penandatanganan damai—harus dijadikan salah satu hal penting diperhatikan berbagai pihak.

Dalam konteks kebudayaan (culture), bencana itu berimplikasi serius. Ada masalah yang tersisa dalam konteks kebudayaan pascabencana. Perubahan wujud kebudayaan di Aceh setelah melewati bentang perjalanan sejarah yang panjang, termasuk akibat bencana tersebut.

Kebudayaan di mata banyak kalangan, terutama di mata mereka yang berkesempatan ambil peran dalam kerja-kerja perbaikan Aceh, tidak dilihat sebagai pokok penting dalam agenda “rehab-ulang” dalam konsepsi kebudayaan yang luas.

Kebudayaan Aceh merupakan bagian dari hubungan nasional yang dimiliki nilai khas, terutama ketika dilihat dari segi ruhnya yang Islami. Akan tetapi dalam dinamika proses pewarisan tersebut beberapa unsur budaya luhur ikut memudar atau bahkan menghilang seiring semakin menguatnya pengaruh globalisasi yang membayangi masyarakat Aceh.

Setiap kebudayaan masyarakat bangsa di mana pun di dunia selalu mengalami pasang surut, hal ini dapat sebabkan oleh banyak faktor dalam masyarakat: disebabkan faktor politik yang tidak menentu, perebutan kekuasaan, atau konflik sosial lainnya. Demikian pula halnya dengan kebudayaan Aceh.

Identitas Aceh mencakup: Islam, adat, bahasa Aceh, Serambi Mekkah, Dayah, Pendidikan, tari, peusijuek (menepungtawari), peunujoeh (tujuh hari setelah kematian), hiem (teka-teki), pakaian adat, rumah Aceh, rapai, seudati, panton seumapa, perlawanan, keras kepala, dan Saman.

Kenyataan ini, menggambarkan bahwa ternyata, pemahaman orang Aceh terhadap identitas menjadi berbeda-beda. Padahal untuk penyebutan terhadap identitas Aceh, dominan disebut dalam masyarakat. Hal ini mengkonkretkan tiga identitas: fanatik terhadap Islam, bahasa Aceh, dan terbuka terhadap tamu.

Penggunaan bahasa Aceh dalam masyarakat sangat kurang dipergunakan mengingat, bahwa masyarakat yang hidup di Banda Aceh sudah cenderung heterogen –tidak lagi homogen.

Sebagian masyarakat merasa sangat nyaman dalam menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dipandang lebih komunikatif bila dibandingkan dengan bahasa Aceh. Mereka umumnya susah memahami bila menggunakan bahasa Aceh untuk menyampaikan sesuatu kepada anak-anak dan keluarga mereka.

Kondisi ini, tentu harus menjadi “lampu kuning” di masa depan. Bagaimana pun, bahasa Aceh harus dibumikan di bumi Aceh sendiri. Namun, hendaknya dapat menjadi catatan bagi pengembangan bahasa Aceh di masa depan.

Sementara tingkat keterbukaan masyarakat Aceh terhadap tamu sudah banyak yang berubah. Hal ini kian marak ditemukan pascatsunami di mana hidup tanpa kepastian sudah menjadi gejala baru dala kehidupan masyarakat kita.

Titik-titik kritis yang didapat dalam kenyataan adalah sebagai berikut:

Titik kritis pertama adalah ketika sebagian orang Aceh seperti tidak melihat ada sesuatu yang kritis sejak dari pemahaman kebudayaannya. Identitas yang berupa “Citra diri” dan “harga diri”, sebenarnya adalah cermin, dan bukan sebagai keegoan. Masalah ada di dalam diri, juga ada di luar diri. Kenyataan bisa diukur, dengan sejauhmana “luar” mau menghargai kebudayaan lokal sebagaimana semua lembaga dunia menyepakati pentignya Code of Conduct dalam memberikan bantuan untuk daerah-daerah yang mengalami bencana seperti Aceh. Ini adalah kenyataan yang juga berpengaruh sejauhmana mengentalnya titik kritis kebudayaan melalui identitas lokal di Aceh.

Titik kritis kedua adalah pemahaman terhadap agama –khususnya dengan apa yang disebut sebagai Fanatik terhadap agama. Dengan kata lain, masih terbuka peluang untuk dipertanyakan bahwa bagaimana pemahaman orang Aceh terhadap agama hingga melahirkan fanatik seperti yang terlihat sekarang ini. Juga semakin mengemuka kecenderungan seolah-olah bentuk pemahaman orang Aceh terhadap agama harus sesuai dengan bentuk pemahaman orang non-Aceh terhadap agama. Padahal orang Aceh –sebagai orang daerah manapun di dunia—memiliki karakteristik tersendiri bagaimana pemahaman itu, yang didapat dari proses hidup dan berkehidupan.

Titik kritis ketiga adalah tentang kenyataan seolah-olah bahasa Aceh tidak lagi dipandang sebagai cermin diri dalam makna yang luas. Penggunaan bahasa telah dipandang sebagai alat komunikasi semata, tanpa melihat bahwa bahasa juga adalah kekayaan kebudayaan yang bisa mencerminkan kondisi dan perkembangan bagi penuturnya.

Titik kritis yang keempat adalah terdapat perbedaan antara konsep terbuka terhadap tamu yang selama ini dipahami dengan kenyataan terbuka terhadap tamu itu sendiri. Ada gejala bahwa masyarakat Aceh cenderung menjadi masyarakat tertutup. Adanya perbedaan pemahaman ini, berimplikasi kepada sejauhmana tingkat kolektivitas maupun individualitas orang Aceh. Bisa dikatakan bahwa semakin tertutup suatu masyarakat maka kecenderungan meningginya eksistensi individualitas dalam masyarakat itu. Kenyataan ini juga bisa diukur dengan tingkat solidaritas social dalam masyarakat Aceh. Diakui atau tidak, solidaritas social di Aceh sedang mengalami masalah. Proses penyelesaian masalah terhadap sesama terhadap semua persoalan yang hadir sesudah tsunami, dapat menjadi misal dari kenyataan ini.

Semua yang dipaparkan di atas, memperlihatkan kecenderungan sebagai berikut:

Kecenderungan pertama, dalam konteks kebudayaan di Aceh, masyarakat Aceh ke depan semakin terbuai dengan kenyataan masa lalu, sementara alpa untuk mempersiapkan segala hal untuk menyambut masa depan yang pastinya belum diketahui bagaimana perkembangannya. Keterbuaian terhadap masa lalu serta lupa mempersiapkan masa depan (sengaja atau tidak), telah menyebabkan masyarakat Aceh terjebak dalam anomali-anomali.

Kecenderungan ini, makin mempersurut kemungkinan berkembangnya wajah cerah kebudayaan di masa depan. Interaksi sumbat, maka individualitas makin mengental ketimbang kolektivitas. Kecenderungan ini sudah berlangsung di Banda Aceh. Jadi kondisi ini diperparah lagi dengan berbagai interaksi dengan berbagai budaya yang individual, maka masa depan, orang akan mengurangi tingkat kertegantungannya dari orang lain –dalam segala hal.

Sementara dalam konteks hubungan lokal, nasional dan global, salah satu masalah yang timbul adalah penggunaan kerangka “pasti” dalam berbagai penyelesaian masalah. Dalam konteks Aceh, logika yang bertumpu pada sejauhmana ketersediaan uang/modal dan seberapa besar untung yang diperoleh, makin memupuk fenomena tentang kecenderungan pergeseran dari kolektivitas kepada individualitas, dari motif sosial atau setengah sosial menjadi ekononomi, dari kemapanan nilai menjadi ketidakmapanan nilai. Konsekuensi dari kecenderungan ini adalah tumbuh suburnya sikap dan potret di Aceh sebagai cermin dari fenomena budaya global.

Semoga segala promblematika yang terjadi di Aceh dapat segera teratasi. Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh.

0 komentar: