September 28, 2008

Kebudayaan Ambon

KEBUDAYAAN AMBON

A.IDENTIFIKASI BUDAYA AMBON
Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.
Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton, Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan bernenang.
Pendukung kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku.

B.KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Bentuk Desa di Ambon
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil rumah-rumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai, Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman” disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan kekerabatan lainnya.

C.SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan ata persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah "PELA".
Hubungan pela ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat. Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm 183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.
Hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya "Pela (Gandong)" bisa menjadi jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang masih merupakan pergumulan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”, yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara.
Berikut adalah beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat Suku Ambon :
Tuan tanah
Seseorang yang ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
Kapitan
Seseorang yang ahli dalam peperangan
Kewang
Seseorang yang bertugas untuk menjaga hutan
Marinyo
Seseorang yang bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon, banyak dijumpai Organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :
Patalima
Lima bagian, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
Jajaro
Organisasi kewanitaan Suku Ambon
Ngungare
Organisasi kepemudaan
Pela Keras
Organisasi antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa, peperangan, dan lain-lain.

Pela Minum Darah
Hampir sama dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
Pela Makan Sirih
Organisasi antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
Muhabet
Organisasi yang mengurus semua kegiatan upacara kematian
Patasiwa
sembilan bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi menjadi dua kelomp[ok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam warga-warganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.

Pengertian Pela
Pela berasal dari kata "Pila" yang berarti "buatlah sesuatu untuk bersama". Sedangkan jika ditambah dengan akhiran -tu, menjadi "pilatu", artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong dsatu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).

Jenis-Jenis Pela
a) Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Dikatakan demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat "persaudaraan darah" untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutan-tuntutan, antara lain:
- tidak boleh menikah
- saling membantu dan memikul beban.
Pela keras ini biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.

b) Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela ini tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras, karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.

c) Pela Ade Kaka
Pela jenis ini pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri. Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah darah.

Panas Pela
Panas Pela adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan persaudaraan dan kekeluargaan.

Hubungan Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat runtuh. Inilah suatu pergumulan.

D. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.
Mata rumah penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu tanah milik kerabat patrilineal.
Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan keempat nenek moyang.
E. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batang-batang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buah-buahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu adalah makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman. Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan.
Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orang-orang ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina dinamakan jungku atau orambi.

F.AGAMA DAN ADAT
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.
Pemantapan kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati diantara sesama dan antar sesama umat beragama.



G.UPACARA ADAT
”Antar Sontong”
Antar sontong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk mengundang cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka menuju pantai di mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk menciduk mereka dari laut.
”Pukul Manyapu”
Pukul manyapu adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa Mamala-Morela yang biasanya dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul Fitri.

H.SISTEM PERKAWINAN
Orang Ambon mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin masuk.
Kawin Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa juga karena takut keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala persyaratan adat.
Bentuk perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya. Kemudian mereka mengumpulkan anggota famili untuk membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.
Bentuk perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga sebab utama terjadinya perkawinan ini:
1.Karena kaum kerabat si pria tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
2.Karena keluarga si gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak laki-laki sehingga si gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan klen.
3.Karena ayah si pemuda tidak bersedia menerima menantu perempuannya yang disebabkan karena perbedaan status atau karena alasan lainnya.
Orang-orang yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan hukum Islam. Namun disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila sang suami belum mampu membayar mas kawin menurut adat maka wanita itu tidak perlu ikut bersama suaminya. Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam), pengantin laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas, gong dan madanolam. Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi mereka ang beragama Nasrani.








BAB II
PRODUK BUDAYA

A.BUSANA TRADISIONAL AMBON
Ambon merupakan ibukota propinsi Maluku yang berada di kawasan Maluku Tengah. Keberadaan busana adat Ambon, tidak hanya didominasi oleh busana yang dikenakan pada saat menghadiri upacara-upacara saja, melainkan tampak juga dalam busana seharihari. Meskipun busana adat yang biasa dipakai dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari termasuk jarang digunakan lagi saat ini, keberadaannya tetap penting untuk diungkapkan sebagai gambaran kekhasan busana mereka di masa lalu.
Ada beberapa contoh busana yang pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang digunakan untuk bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera masing-masing. Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun sedemikian rupa dengan rapih. Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain palekat, yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita. Kebaya manapal yang sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di rumah, biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. Bila mereka akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain pelekat. Selain busana sehari-hari yang telah disebutkan tadi, masih ada lagi busana lain yang khususnya dipakai oleh untuk kaum wanita yang merupakan pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon ratusan tahun lamanya. Mereka biasanya mengenakan baju cele, yakni sejenis kebaya berlengan pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 sentimeter tanpa kancing. Bila akan bepergian, mereka akan melengkapinya dengan sapu tangan. Untuk busana kerja di rumah atau dikebun, baju cele tersebut dijahit dengan panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat menyebutnya baju cele tangan sepanggal.
Sementara itu kaum pria di Ambon mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung yang berlengan pendek dan tidak berkancing, dilengkapi dengan celana kartou yakni celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan. Khusus untuk kaum pria yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut celana Makasar yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar. Sedangkan busana yang dikenakan pada saat bepergian, biasanya terdiri atas baju baniang yakni baju berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing, dengan leher agak tertutup. Pasangannya adalah celana panjang berikut topi yang dikenakan di kepala.
Penampilan gaya berbusana warga masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara keagamaan berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. Walaupun model bajunya sama, tapi kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan dalam kesempatan tersebut biasanya hitam polos
atau warna dasar hitam. Kecuali pada saat upacara sidi yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk menjadi pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu busana hitam ini ditabukan atau dilarang digunakan.
Busana dalam upacara keagamaan biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas baju dan kain hitam atau kebaya dan kain hitam. Dilengkapi dengan kaeng pikol, yakni kain hitam berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri; kole, yakni baju dalam atau kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya hitam; lenso pinggang, yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang diletakkan di pinggang melainkan hanya dipegang saja. Sementara itu busana prianya terdiri atas baniang, kebaya hitam, dan celana panjang, Jenis busana lain, khususnya dalam upacara sidi, dipakai oleh kaum remaja yang berasal dari golongan bangsawan diantaranya baju tangan kancing, yakni baju cele berlengan panjang dengan kancing pada pergelangan tangannya; busana rok, yang terdiri atas kebaya putih berlengan panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending pengikat pinggang yang terbuat dari perak, bersepatu dengan kaus kaki putih; dan seperangkat busana yang terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna putih, dan kaus tangan berwarna putih.
Adapun busana yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat seperti pelantikan raja, pembersihan negeri, penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama. Hanya ada penambahan tertentu pada kelengkapan busana mereka. Busana raja terdiri atas baju hitam, celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala disalempang di dada, patala di pinggang, dan topi. Begitu pula kaum wanitanya yang memakai baju hitam seperti baju cele . Para tua-tua adat mengenakan baju hitam, celana panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat pinggang. Sedangkan pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana panjang hitam tanpa menggunakan alas kaki.

B.MAKANAN TRADISIONAL
- Papeda
- Sagu

C.ALAT MUSIK
- Ukulele

D.TARIAN TRADISIONAL
- tari perang

BAB III
PERMASALAHAN, PEMBANGUNAN, DAN MODERNISASI DI AMBON


Peristiwa Kerusuhan Yang Terjadi Di Ambon
Sebelumnya mohon ma'af bagi yang sudah pernah membacanya dan karena artikel ini agak panjang. Paling tidak informasi ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita atas runtutan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon.

Sejarah Islam Di Ambon
Pembantaian, penghancuran, pembakaran, penjarahan dan pengusiran secara besar-besaran di Ambon agaknya tak pernah terbayangkan masyarakat muslim Ambon. Ambon yang dulunya sejuk dan damai, kini berubah menjadi daerah yang paling mencekam dan menakutkan, khususnya bagi umat Islam Ambon.
Menilik bentuk kerusuhan, sasaran penghancuran dan korban yang teraniaya, maka dapat dipastikan bahwa kerusuhan tersebut benar-benar karena masalah SARA, khususnya agama, meskipun bukan ini faktor satu-satunya. Bahkan, peristiwa yang memalukan itu bukan sekedar bernuansa SARA, tetapi merupakan potret sebuah kebiadaban yang keji terhadap umat Islam. Kejadian ini sekaligus menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia, bahwa di mana Islam minoritas di situ Islam selalu ditindas.

Potensi Konflik
Sebenarnya dalam masyarakat Ambon tersimpan potensi konflik yang cukup besar, meskipun katanya di sana ada budaya pela gandong. Potensi konflik tersebut terlihat pada komposisi Islam-Kristen yang berimbang dan selama ini terjadi musabaqah dalam ekonomi, politik dan agama. Potensi tersebut semakin memanas ketika arus reformasi bergulir dan kepemimpinan politik berada di tangan Habibie yang diisukan ingin lebih melancarkan Islamisasi, termasuk politik.
Secara psikologis, keterancaman orang-orang Maluku semakin terasa, dengan naiknya Habibie di panggung politik nasional yang dianggap sebagai representasi kekuatan Islam Sulawesi.

Sasaran Penghancuran Dan Pembantaian
Fakta membuktikan bahwa sasaran penghancuran dan pembantaian adalah umat Islam. Orang Islam diklaim sebagai pendatang dan Islam dipandang sebagai agama asing, bukan agama penduduk asli. Padahal, kalau kita mau jujur pada sejarah, ternyata Islamlah agama yang lebih awal datang ke Ambon daripada Katholik atau Protestan yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda. Dan harus dicatat bahwa Islam telah berhasil meletakkan fondasi kebudayaan Ambon dengan nuansa Islami.
Bangsa Eropa yang pertama sekali datang ke Maluku adalah Portugis (1511). Selain mengeruk kekayaan alamnya, mereka juga memperkenalkan agama Kristen. Pada tahun 1605 Belanda yang menganut Kristen Protestan merebut benteng Portugis dan mengusirnya.
Ketika terjadi perang reformasi di Eropa, orang Belanda yang Protestan memerangi dan membasmi orang-orang Portugis yang Khatolik. Karena itu, sampai tahun 1950 agama Protestan menjadi dominan di Ambon.
Namun, sekali lagi harus dicatat, bahwa Islam jauh lebih dahulu berkembang di Ambon. Islam mulai masuk ke daerah ini sejak abad ke 7. Sedangkan Khatolik abad ke 16. Protestan abad 17. Jadi yang meletakkan budaya kehidupan Maluku sebenarnya adalah Islam.
Tapi, sangat disayangkan, buku sejarah yang ada, sengaja diselewengkan. Dalam sejarah yang ditulis "Belanda" itu, hubungan Arab-Indonesia pada abad-abad awal itu dihilangkan. Seolah-olah Hindu dan China lebih dahulu yang datang ke Maluku. Padahal Thomas Arnold dalam buku The Preaching of Islam, menjelaskan, yang masuk lebih awal adalah bangsa Arab.
Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Penamaan yang bernuansa Arab itu dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku.
Di Maluku, sebelum kedatangan bangsa Eropa, Islam berkembang pesat, kerajaan Islam berdiri tegar, seperti Ternate, Tidore. Jadi Islam sebenarnya bukan agama baru di Maluku. Sejak abad 7-11 Maluku sangat ramai dikunjungi saudagar-saudagar Arab, Persia dan Gujarat. Selain berdagang mereka juga menyebarkan Islam sampai kepada raja-raja Maluku. Pada abad XV di bawah pengaruh Sultan Ternate, Tidore dan Hitu, Islam berkembang dengan pesat pada hampir seluruh pulau-pulau Maluku. Islam masuk dengan jalan damai, dan penuh kesejukan, tanpa kekerasan.
Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa selama menjajah, Belanda juga menyebarkan agama Kristen, sebagaimana pedagang Arab menyebarkan Islam. Penduduk Ambon yang mau memeluk Kristen mendapat perlakuan istimewa dari Kolonial Belanda. Mereka lebih berkesempatan dalam pendidikan dan lowongan kerja sebagai tentara dan pegawai Belanda.
Berdasarkan sejarah di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Maluku sudah lama terintegrasi dalam sistem politik Belanda. Sejak itu beribu-ribu orang Ambon Nasrani meninggalkan kampung halaman untuk bekerja pada dinas militer maupun sipil di seluruh nusantara. Mereka digunakan sebagai Serdadu Kolonial dalam menguasai wilayah-wilayah Nusantara yang belum ditaklukkan. Pengalaman penyerbuan Belanda ke Aceh pada 1873 adalah bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang terkooptasi oleh penjajah. Pengalaman ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari orang-orang yang dieksploitasi habis-habisan di bawah monopoli rempah-rempah menjadi orang yang bersekutu dengan Belanda.
Secara ideologis, akibat kedudukan istimewa ini, banyak orang Nasrani merasa mempunyai hubungan khusus dengan Belanda, karena mempunyai kesamaan agama maupun tugas, teristimewa kemiliteran (Richard Chauvel, dalam Audrey Kahin, 1985: 244).
Bila orang-orang Ambon Nashara ikut dalam usaha-usaha kolonial, maka umat Islam Ambon tak mau ikut serta dalam usaha tersebut. Selain karena Belanda tidak merekrut mereka, umat Islam juga memang tidak mau bersekongkol dengan penjajah zalim. Karena itu umat Islam tidak mau memasuki pendidikan dinas militer Belanda. Maka tak aneh, sampai tahun 1920-an di desa-desa Islam tidak ada fasilitas pendidikan sekuler. Maka wajar, jika hasil sensus 1950 menunjukkan bahwa 90% umat Islam masih buta huruf. Jadi, pengalaman orang Ambon Nashara berbeda sekali dengan pengalaman Ambon muslim.
Orang-orang Nashara dengan bantuan pendidikan Belanda mendominasi masyarakat Ambon sedemikian rupa, sehingga banyak orang menyangka bahwa Ambon adalah daerah Kristen semata. Maka wajar, jika masyarakat Ambon kemudian menganggap Belanda bukan sebagai penjajah. Hal inilah menurut Chauvel, yang mengakibatkan proklamasi Kemerdekaan RI 1945, tak banyak mendapat sambutan di sana.
Pada tanggal 24 April 1950 Dr. Soumokil memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan. Hubungan Islam-Nasrani yang demikian tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa para pemimpin sipil RMS berikut serdadunya yang semua terdiri dari orang-orang Nashara. Sementara korban para serdadu itu banyak orang Islam. Ketakutan ini beralasan, karena menurut catatan Coorly (1968: 267) jumlah umat Islam terus meningkat yang sebelumnya sekitar 35% menjadi 49% di awal Orde Baru. Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman bagi Kristen di sana. Karena itu, ketika kerusuhan terjadi tidak mengherankan jika bendera RMS dinaikkan di berbagai tempat.
Kembali kepada persoalan nasib ketertinggalan umat Islam di zaman penjajahan Belanda. Bahwa, era kemerdekaan RI 1945 merupakan angin segar dan nafas baru bagi umat Islam Ambon untuk mulai berkembang. Secara perlahan ekonomi Islam membaik dan pendidikan semakin meningkat. Pada awal Orde Baru beberapa sarjana muslim mulai menduduki posisi-posisi penting di Ambon, meskipun belum dominan. Baru pasca 1970, banyak putra daerah (penduduk asli) yang muslim, menduduki jabatan-jabatan strategis mulai dari tingkat propinsi Maluku hingga kecamatan secara adil bukan dominatif. Perkembangan Islam yang pesat dalam politik, pendidikan dan ekonomi ini , dianggap sebagai ancaman. Ketika era reformasi semakin mengarah kepada penguatan pengaruh muslim. Maka kerusuhan dan pembersihan etnispun tak terelakkan.
Solusi yang ampuh untuk mengatasinya adalah saling menghormati sesama pemeluk agama, dapat menahan diri , tidak memperturutkan kebencian secara emosional dan kembali kepada nilai ajaran agama masing-masing. Sebab tidak ada satu agamapun yang mengajarkan agar pemeluknya membenci dan memerangi pemeluk agama lain.

Pembangunan Dan Modernisasi
Portugal Akan Bantu Desa Bersejarahnya di Ambon
Ambon (ANTARA News) - Pemerintah Portugal menjanjikan akan memberikan bantuan kepada sejumlah desa di Kota Ambon yang memiliki sejarah dan nilai historis dengan bangsa dan negaranya, kata Dubes Portugal, Jose Imanuel Santos Braga. "Bantuan untuk desa-desa yang memiliki hubungan sejarah dengan Portugal ini akan segera dibantu guna memberdayakan masyarakatnya," kata Duta Besar Portugal untuk RI itu kepada ANTARA News, seusai melakukan pertemuan dengan Wakil Walikota Ambon, Dra. Olivia Latuconsina, Selasa.
Sejumlah desa yang akan dibantu, menurut dia, adalah Desa Tawiri, Hative Besar, Rumah Tiga dan Galala di Kecamatan Baguala, Desa Batu Merah, Galala, Soya, serta Hatalae di Kecamatan Sirimau. Ia mengemukakan, masyarakat Portugal selama ini sudah mengenal secara baik tentang Kota Ambon, namun hanya sebatas dari buku-buku maupun siaran televisi. "Diharapkan bantuan dan kerja sama dengan desa-desa di Ambon ini akan lebih mempererat hubungan emosional, serta menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Portugal untuk berkunjung ke Ambon di masa mendatang," kata Braga.
Bantuan bagi desa-desa tersebut, dikatakannya, merupakan proyek jangka pendek bernilai sekira Rp150 juta hingga Rp300 juta, khususnya untuk pengembangan di bidang kesehatan, pendidikan dan kebersihan. Pemerintah Portugal pun menaruh perhatian besar terhadap kepedulian Pemerintah Kota Ambon dan Pemerintah Provinsi Maluku yang merawat secara baik kondisi benteng "Victoria" yang merupakan salah satu peninggalan bangsa Portugis di jantung Kota Ambon, bahkan menjadikannya sebagai salah satu cagar budaya, demikian Jose Braga.
Sementara itu, Olivia Latuconsina menyambut baik niat Pemerintah Portugal membantu desa-desa di Kota Ambon yang memiliki keterikatan historis dengan bangsa tersebut. Ia menilai, kerja sama itu akan terus ditingkatkan hingga menjadi "kota bersaudara kembar" (sister city), namun hal yang diprioritaskan baru bersifat jangka pendek sebagai pintu masuk untuk memperoleh bantuan dari negara-negara Eropa. "Kita fokuskan dulu untuk merealisir program jangka pendek yang telah disepakati, sehingga benar-benar berdampak untuk pemberdayaan masyarakat yang terpuruk akibat konflik sejak 1999, terutama pada desa-desa yang memiliki hubungan historis dengan Portugal. Setelah itu barulah dijajaki kerja sama jangka panjang termasuk kota bersaudara," demikian Olivia Latuconsina. (*)


PENUTUP


Kepulauan Maluku didominasi oleh suku Ambon yang memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan dari daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang perlu dijaga kelestariannya.

Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku berbeda-beda, hal ini terkait adanya perbedaan secara demografi astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang menempati daerah tersebut.

BAB I
KEBUDAYAAN MINAHASA


A.IDENTIFIKASI
Minahasa adalah kawasan didalam propinsi di semenanjung Sulawesi Utara di Indonesia, sesuatu daerah yang indah, terletak di bagian utara timur pulau Sulawesi, yang mencakup 27.515 km persegi, terdiri dari empat daerah - Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Minahasa juga terkenal oleh sebab tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, didarat maupun dilaut. Tertutup dengan daunan hijau pepohonan kelapa dan kebun-kebun cengkeh, tanah itu juga menyumbang variasi buah-buahan dan sayuran yang lengkap. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langkah seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum).
Kebanyakan penduduk Minahasa adalah orang yang beragama Kristen, yang ramah dan salah satu suku-bangsa yang paling dekat dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Europa terjadi saat pedagang Espanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari confederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
Orang Minahasa adalah suatu suku bangsa yang mendiami suatu daerah pada bagian timur laut
jazirah sulawesi utara. Luas daerah ini, termasuk kota Manado dan Bitung. Luas daerah ini termasuk kota-kota Manado dan Bitung, kurang dari 6.000 km2. Dalam ucapan umum orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Touwenang (orang Wenang), orang Minahasa, atau pula Kawanua. Tetangga-tetangganya di sebelah utara adalah orang Sangir dan orang Talaud, serta orang Bolaang Mongondow di sebelah selatan.
Penduduk Minahasa dapat dibagi ke dalam delapan kelompok subetnik, yaitu :
a.Tounséa
b.Toumbulu
c.Tountemboan
d.Toulour
e.Tounsawang
f.Pasan
g.Panosakan
h.Bantik
Setiap kelompok subetnik ini memiliki bahasa sendiri yang disebut dengan nama subetnik itu sendiri.
Malayu Manado adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antara orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun antara mereka denga penduduk dari suku-suku bangsa lainnya, baik dalam lingkungan pergaulan kota maupun dalam lingkungan pergaulan desa. Bahkan lebih dari itu, terutama di kota-kota, secara umum terlihat orang-orang menggunakan Malayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa atau bahasa suku bangsa yang bersangkutan. Peranan Malayu Manado seperti di kota-kota ini sudah terlihat pula secara jelas di desa-desa yang penduduknya merupakan campuran dari berbagai subetnik tersebut di atas. Generasi terakhir dari orang MInahasa di kota-kota dan di desa-desa yang dimaksud tidak dapat lagi menggunakan bahasa pribumi subetnik yang bersangkutan. Proses indigenisasi Malayu Manado sedang berlangsung dengan pesat, membentuk suatu cirri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.

B.ASAL USUL SUKU MINAHASA ANAK SUKU TONSEA
Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti: Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek) Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku : Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 . Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dan lain-lain.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan minahasa. Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal.

C.DATA KEPENDUDUKAN DAN DESA
Sekarang ini wilayah yang dianggap wilayah etnik orang MInahasa yang terdiri dari delapan kelompok tersebut di atas, terbagi pada tiga wilayah administrasi pemerintahan, yaitu Kabupaten Minahasa, Kota Madya Manado, dan Kota Bitung. Mayoritas dari penduduk di ketiga wilayah ini ialah suku bangsa Minahasa. Selain tiga wilayah tersebut, di Provinsi Sulawesi Utara juga terdapat Kab. Gorontalo, Kab. Bolaang Mongondow, Kab.Sangihe Talaud, Kodya Gorontalo, dan Kodya Bitung.
Kabupaten MInahasa mampunyai 468 desa (kampung), senagai kesatuan-kesatuan administrasi yang dipimpin oleh kepala desa, secara adat disebut Hukum Tua (Kuntua). Dewasa ini, kesatuan administrasi desa telah dirubah menjadi kelurahan dan dipimpin oleh seorang Lurah. Apa yang sekarang dikenal sebagai aparatur pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa / Lurah, Orang-orang Tua Desa, dan Pamong Desa yang mengepalai sub-sub wilayah di dalam desa dan yang bertugas sebagai juru tulis, pengukur tanah, pengurus perkebunan, pengurus pengairan, dan pejabat urusan agama. Di seluruh Minahasa terdapat 27 kecamatan.
Kecuali desa sebagai kesatuan administrasi tersebut ada juga perkampungan yang berupa kompleks perumahan bersama dengan kebun-kebun dan sawah-sawah yang secara administratif merupakan bagian dari suatu desa. Ada kalanya suatu bagian desa ditingkatkan menjadi desa dengan kepala desa sendiri.
Suatu masyarakat pedesaan dapat pula merupakan kelompok dari beberapa desa. Masyarakat seperti itu memperlihatkan ciri-ciri kesatuan adat tertentu dan sering kali memiliki suatu bahasa atau dialek tersendiri. Suatu kelompok desa yang sudah demikian besarnya itu, biasanya juga merupakan tempat kedudukan Kepala Kecamatan (Camat). Baik desa anak, desa, maupun kelompok desa-desa seperti itu, disebut wanua.
Pola perkampungan di Minahasa bersifat menetap, dalam arti bahwa suatu desa cenderung tidak berkurang penduduknya atau lenyap karena ditinggalkan akibat ladang-ladang yang makin jauh. Desa itu sendiri memang merupakan pusat aktifitas social dari para petani. Kecuali itu, setiap desa dalam perkembangannya bersifat mengelompok menjadi padat dan luas.
Aspek lain dari pola desa di Minahasa ialah bahwa kelompok rumah-rumah itu mempunyai bentuk memanjang mengikuti jalan raya.desa yang mulai menjadi besar, pada sebelah menyebelah jalan raya dihubungkan dengan jalan-jalan samping untuk masuk lebih dalam. Namun demikian, jalan raya tetap sebagai urat nadi desa dan sepanjang itu terletak pusat-pusat aktivitas desa seperti kantor Kepala Desa, pasar, gereja, kantor polisi, pertokoan, warung, dan sebagainya. Walaupun demikian ada pula contoh-contoh dari desa yang berbentuk meluas dimana pusat-pusat aktivitas desa tidak terletak pada satu deretan memanjang pada jalan raya tetapi tersebar.
Kelancaran komunikasi antar desa terutama untuk jarak-jarak yang agak jauh banyak ditentukan oleh kendaraan-kendaraan seperti bis kecil dan kendaraan bermotor lainnya, namun demikian ini hanya terbatas pada jalan-jalan yang baik. Di desa-desa yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan-kendaraan bermotor, maka gerobak yang ditarik oleh sapi (roda sapi) atau gerobak yang ditarik oleh kuda (roda kuda) menjadi alat pengangkutan yang pokok. Roda sapi juga penting sebagai alat pengangkutan yang menghubungkan desa dengan lokasi pertanian. Jaringan jalan-jalan desa seperti itu, yang disebut jalan roda, menghubungkan tempat-tempat pertanian dengan desa, atau beberapa desa yang berdekatan. Kebanyakan dari jalan-jalan tersebut tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor.
Bentuk rumah orang MInahasa sekarang telah banyak berbeda dari bentuk-bentuk rumah kuno, walaupun masih juga terlihat adanya unsur-unsur yang khas. Unsur-unsur khas yang dimaksud antara lain lantai rumah yang berada diatas tiang-tiang yang tingginya sampai 21/2 meter. Tiang-tiang tersebut dapat dibuat dari kayu (balak) maupun dari batu kapur. Ruangan depan yang biasanya selebar rumah dimana terdapat sebuah atau dua buah tangga tidak berdinding tetapi dikelilingi dengan regel setinggi kurang lebih 1 meter dengan terali-terali dari kayu yang berukir secara sederhana. Biasanya di atas regel diletakkan gerabah-gerabah bertanah yang ditanami berbagai tanaman kembang atau tanaman hias lainnya. Dapat juga ditemukan tiang-tiang dalam ruangan itu yang dihiasi dengan ukiran-ukiran seerhana.
Sebuah rumah biasanya dibagi dua oleh gang pada bagian tengah. Sepanjang gang itu terletak kamar-kamar di kedua sisinya. Bagian bawah rumah atau kolong rumah, biasanya dipakai sebagai gudang kalau diberi dinding, atau pula sebagai kamar, atau tempat gerobak dan alat-alat pertanian. Rumah yang biasanya berbentuk persegi panjang itu, beratapkan daun rumbia atau seng. Genteng tidak dikenal di Minahasa. Selain dari bangunan induk itu, suatu rumah juga mempunyai bangunan-bangunan tambahan pada bagian belakang atau samping, yang dipakai unuk dapur dan lain-lain. Tidak setiap rumah mempunyai sumur. Mereka yang tidak mempunyai sumur mengambil air dari mata air dengan bambu atau dari sumur tetangga. Umumnya, setiap rumah tangga memiliki jamban; namun demikian, apa yang terlihat pada penduduk pedesaan pada umumnya belum sesuai dengan persyaratan sanitasi lingkungan.
Adapun bentuk rumah seseorang di dalam desa dapat menentukan pula apakah ia tergolong pada orang yang kaya atau tidak. Biasanya orang yang lebih kaya membuat rumah dari bahan-bahan yang lebih mahal, misalnya seng untuk atap, kaca untuk isi jendela, sedangkan jenis-jenis kayu yang dipakai adalah dari jenis kayu yang baik seperti cempaka, wasian, bahkan lingua yang terkenal sebagai kayu terbaik. Rumah seperti itu di kalangan penduduk desa disebut rumah seng atau rumah kaca. Dahulu rumah-rumah tradisional selalu dicat putih, dengan menggunakan tanah kapur sebagai bahan catnya.

D.EKONOMI
Ekonomi pedesaan sebagai suatu aspek yang mengandung ciri-ciri perilaku “petani” Minahasa tentu bukan padanan istilah ekonomi nasional. Ekonomi pedesaan merupakan suatu kompleks pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma yang terwujud sebagai pranata-pranata social yang mengatur proses dan mekanisme produksi, ditribusi, dan konsumsi yang diturunkan secara antargenerasional, yang dipengaruhi oleh ekonomi nasional, perubahan sosiobudaya umum, dan perubahan-perubahan ekologis dalam lingkungan-lingkungan sumber-sumber ekonomi. Kecuali itu, dari segi kebudayaan, proses-proses produksi, ditribusi, dan konsumsi dari setiap kegiatan ekonomi tidak terlepas dari segi-segi lain, seperti teknologi, aturan dan organisasi kerja, upacara keagamaan, nilai dan etos kerja, motivasi, dan lain-lain, kesemuanya merupakan pola/pola-pola mata pencaharian yang menunjukkan perbedaan dengan sistem ekonomi nasional, atau modern, atau formal. Namun demikian ini bukan berarti ekonomi nasioanl terpisah dari ekonomi pedesaan. Seperti dikemukakan di atas, ekonomi nasional mempengaruhi dan merupakan salah satu factor yang meyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekonomi pedesaan maupun segi-segi kebudayaan lainnya. Dapat pula dikatakan bahwa ekonomi pedesaan merupakan suatu kategori ekonomi di dalam ekonomi nasional.
Di Minahasa, jaringan jalan raya tergolong baik, serta adanya pelabuhan Bitung dan bandara Sam Ratulangi, adanya industri-industri kecil, toko-toko di kota, dan kegiatan-kegiatan ekonomi modern lainnya memang secara erat berhubungan dengan, dan sangat mempengaruhi, ekonomi pedesaan yang berpangkal pada sektor pertanian rakyat yang masih tradisional. Ekonomi pedesaan di Minahasa mempunyai bentuk tersendiri yang menunjukkan adanya perbedaan dari masyarakat- masyarakat pedesaan lainnya, seperti Sangir, Gorontalo, Bolaang Mongondow, Jawa, Bali, dan sebagainya, terutama dari segi sosiobudaya. Namun, pernyataan ini tidak mengabaikan adanya kenyataan-kenyataan variasi intrabudaya di dalam setiap masyarakat etnis ini, bukan hanya seperti yang dimaksud dengan keragaman pola-pola kegiatan ekonomi tersebut di atas tetapi juga keragaman antarlokalitas pedesaan yang diperlihatkan oleh setiap kegiatan ekonomi karena keragaman sub budaya maupun karena variasi lingkungan fisik yang melahirkan bentuk adaptasi yang berbeda-beda. Berbagai prasarana, sarana, dan pranata ekonomi di Minahsa sekarang telah mengalami perkembangan, jauh berbeda dari masa-masa, katakanlah Orde Baru. Jalan, jembatan, dan pengangkutan darat telah cukup berkembang, menyebabkan tidak ada lagi desa - yang memiliki peranan ekonomis berarti – yang masih terisolasi. Sekalipun desa-desa secara ekonomis tergolong tidak penting dengan jaringan jalan yang tidak beraspal, namun dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Sekarang, desa-desa terpencil yang yang hanya dapat dicapai dengan gerobak sangat terbatas jumlahnya. Namun peranan gerobak ini masih dapat mencukupi kebutuhan distribusi dan pengankutan keluar desa-desa jenis ini. Rata-rata panjang jalan gerobak (jalan roda) ini sampai pada jalan atau desa lain yang terletak dalam jaringan lalulintas kendaraan bermotor adalah sekitar 5 km, suatu jarak yang relatif singkat. Panjang jalan di kabupaten Minahasa adalah 722.052 km; terdiri dari jalan Negara 213,860 km, jalan provinsi 118.075 km, dan jalan kabupaten 390.605 km (BAPPEDA tingkat II Minahasa 1985 : 63). Selain kemajuan sarana dan prasarana pengangkutan darat, bandara Sam Ratulangi dan pelabuhan samudra Bitung terus mengalami pengembangan dan peningkatan daya tamping pemakai-pemakainya maupun bagi berbagai kegiatan ekonomi, langsung maupun tidak langsung.
Berbagai pabrik, pertokoan yang menjual barang-barang mewah maupun kebutuhan sehari-hari, kegiatan-kegiatan perdagangan ekspor dan impor antar pulau maupun lokal, dan masih banyak lagi lainnya, kesemuanya tergolong pada kegiatan ekonomi modern, menunjukkan gejala-gejala perkembangan ekonomi.
Kebutuhan masyarakat akan tenaga listrik dipenuhi dengan adanya pembangkit listrik tenaga air pada sungai Tondano di desa Tanggari selain pembangkit listrik tenaga air terjun di Tonsea Lama yang sudah dibangun sejak sebelum Perang Dunia II, yang menyebabkan peningkatan pertumbuhan berbagai industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Demikian pula pusat pendayagunaan panas bumi seperti yang terdapat di Lahendong.
Dalam sektor pertanian sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II berkembang perkebunan rakyat tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Perkebunan-perkebunan tersebut terus mengalami peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi dengan metode dan teknologi pertanian modern. Komoditi lain seperti coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mete, juga sudah digiatkan secara intensif.
Persawahan juga menunjukkan perkembanga dalam peningkatan produksi padi, misalnya perbaikan dan pembangunan irigasi, penggunaan pupuk dan bibit unggul. Pertebatan ikan mas dengan mempraktekkan metode baru (menggunakan air yang mengalir deras ke dalam tebat-tebat yang terbuat dari semen) sudah dijalankan di banyak desa, terutama oleh petani-petani kaya.
Perladangan tradisional (kebun kering) yang umum di MInahasa ialah perladangan jagung, umumnya untuk konsumsi petani sendiri. Bisanya petani menanam pula dalam kebun jagung berbagai jenis sayur, tanaman bumbu masakan, dan buah-buahan (terutama kelapa, alpukat, papaya, jeruk, nangka, sirsak, jambu biji, jambu air) untuk konsumsi sendiri. Pemerintah Daerah telah mengusahakan peningkatan produksi melalui Koperasi Unit Desa (KUD).
Selain pengembangan perikanan laut yang dilaksanakan oleh perikani yang berpusat di Aertembaga, terutama penangkapan dan pengolahan cakalang. Nelayan tradisional mulai meningkatkan produksi berbagai jenis ikan dan binatang laut dengan menggunakan peralatan yang lebih baik. Teknologi tradisional dipergunakan pula dalam penangkapan jenis-jenis biotic sumber protein di danau-danau dan sungai-sungai. Desa-desa di sekeliling danau Tondano ada segolongan penduduk yang khusus menjalankan kegiatan menangkap berbagai jenis ikan dan binatang danau. Golongan nelayan ini mengisi sebagian dari kebutuhan protein hewani yang dapat diperoleh di pasar di kota-kota.
Hutan merupakan sumber energi maupun materi untuk berbagai kebutuhab penduduk. Berbagai jenis kebutuhan makanan (binatang dan tumbuhan) untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pesta, bersumber dari hutan. Jenis binatang yang umum dimakan ialah babi hutan, tikus hutan (ekor putih), dan kalong. Sedangkan yang lainnya jarang dimakan karena sudah tergolong langka atau tidak umum dimakan oleh orang Minahasa seperti rusa, anoa, babirusa, monyet, ular piton, biawak, ayam hutan, telur burung maleo, dan jenis-jenis unggas lainnya. Berbagai jenis tumbuhan liar baik yang terdapat di hutan maupun lingkungan-lingkungan fisik lainnya merupakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan sayuran, terutama pangi, rebung, dan pakis. Demikian pula hutan menghasilkan berbagai jenis buah-buahan seperti mangga, pakoba, dan kemiri. Selain itu, enau (tumbuhan ini tumbuh di hutan maupun kebun) merupakan sumber nira sebagai minuman yng terkenal di Minahsa (disebut saguer), maupun bahan gula merah.
Hutan juga merupakan sumber daya untuk berbagai kebutuhan kayu sebagai bahan untuk membuat berbagai alat, dan bahan untuk bangunan gedung dan rumah. Selain dari pada itu, hutan dan lingkungan fisik lainnya merupakan tempat bertumbuhnya tanaman-tanaman yang member bahan-bahan untuk berbagai kebutuhan umum, seperti rotan, kayu bakar, dan daun rumbia (bahan atap rumah). Sayang sekali luas hutan di Minahasa semakin berkurang terutama karena ekstensifikasi perkebunan cengkeh yang dilakukan oleh penduduk desa dan kota.
E.KEKERABATAN
Pada umunya orang Minahasa membenarkan kebebasan orang untuk menentukan jodohnya sendiri; walaupun dulu kalanya dikenal juga penentuan jodoh atas kemauan orang tua sekalipun yang bersangkutan belum saling mengenal. Dalam hal pembatasan jodoh dalam perkawinan ada adat eksogami yang mewajibkan orang kawin di luar family, ialah kelompok kekerabatan yang mencakup semua anggota keluarga batih dari saudara-saudara sekandung ibu dan ayah, baik pria maupun wanita; beserta semua keluarga batih dari anak-anak mereka.
Sesudah nikah, secara ideal pengantin baru tinggal menurut aturan neolokal (tumampas) pada tempat kediaman yang baru dan tidak mengelompok di sekitar tempat kerabat si suami maupun kerabat si isteri. Dalam kenyataan, ada neolokal ini tidak lagi diharuskan. Rumah tangga (sanga awu, satu dapur) baru dapat tinggal dalam lingkungan kekerabatan pihak suami maupun pihak isteri sampai mereka memperoleh rumah sendiri.
Bentuk rumah tangga orang Minahasa dapat terdiri dari hanya satu keluarga batih dan dapat pula lebih. Anak tiri dan anak angkat karena adopsi dianggap sebagai anggota kerabat penuh dalam keluarga batih maupun kelompok kekerabatan yang lebih luas. Dulu ada kecenderungan untuk memperluas jumlah anggota keluarga batih dengan adopsi karena hal ini dapat menambah tenaga kerja untuk pekerjaan pertanian. Suatu rumah tangga yang memiliki lebih dari satu kelurga batih dapat terjadi bilamana sesudah perkawinan, rumah tangga baru ini tinggal bersama dengan salah satu orang tua mereka. Bentuk rumah tangga lainnya adalah seperti apa yang dilukiskan oleh Padtbrugge yang terdapat beberapa abad yang lalu yaitu rumah famili besar yang didiami oleh enam sampai Sembilan keluarga batih, masing-masing sebagai rumah tangga sendiri karena masing-masing keluarga batih itu memiliki dapurnya sendiri. Dasar perwujudan keluarga batih orang Minahasa melalui adat perkawinan adalah monogamy.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh prinsip keturunan bilateral, dimana hubungan kekerabatan ditentukan berdasarkan garis keturunan pria maupun wanita.
Telah kita kenal bahwa pada zaman dahulu dikenal suatu kelompok kekerabatan keluarga luas yang tinggal pada sebuah rumahbesar, yang rupa-rupanya mengenal adat menetap sesudah menikah yang utrolokal. Sekarang keluarga luas seperti itu tidak ada lagi. Kelompok kekerabatan yang penting yang terdapat sekarang ini dengan prinsip keturunan tersebut di atas tadi ialah taranak, atau yang lebih lazim disebut famili, suatu kelompok kekerabatan yang dalam antropologi biasanya disebut kindred. Kelompok ini sering juga disebut patuari, sekalipun istilah ini dipakai juga untuk hubungan-hubungan kekerabatan yang lebih luas yang tidak mempunyai fungsi kekerabatan apa-apa lagi. Suatu famili setidaknya memiliki ayah dan ibu dari sepasang suami-isteri, saudara-saudara ayah dan ibu, serta anak-anak dan cucu-cucu mereka, saudara-saudara sekandung dari suami-isteri dan anak-anak mereka, dan anak-anak sendiri.
Identitas hubungan kekerabatan seseorang dalam kelompok famili ialah nama famili yang disebut fam. Nama famili diambil dari nama famili suami atau ayah tanpa perubahan prinsip keturunan bilateral. Hal ini diperkuat pula dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan fam isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah, tanpa mencantumkan nama kecil suami. Akan timbul suatu masalah identitas famili, yang disebut hilang fam, bila sepasang suami-isteri tidak memiliki anak laki-laki yang akan mendukung fam ayah mereka.
Masalah lain yang sangat erat berhubungan dengan batas-batas hubungan kekerabatan bilateral itu adalah penurunan warisan yang terdiri dari semua harta milik yang diperoleh suami-isteri sebagai warisan dari orang tua mereka masing-masing, ditambah dengan harta yang mereka peroleh bersama selama berumah tangga. Benda-benda warisan yang belum dapat atau tidak dapat dibagi, penggunaannya secara berganti-ganti atau bergiliran yang diatur oleh saudara laki-laki yang tertua.

F.SISTEM PEMERINTAHAN
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga. Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilih Tonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.


G.SOLIDARITAS DAN KERUKUNAN
Mapalus adalah suatu bentuk kerja sama yang tumbuh dalam masyarakat di Minahasa untuk saling bantu membantu dan tolong menolong menghadapi kendala hidup baik perorangan maupun kelompok.
Kerja sama yang dimaksud mencakup berbagai aspek kegiatan baik sosial maupun ekonomi sedangkan kelompok masyarakat yang dimaksud dapat dikolompokkan secara wilayah seperti Mapalus kampung Sendangan dll., kerabat seperti Mapalus Pemuda, perkumpulan seperti Kumawangkoan dll., keluarga seperti kel.besar Lapian, Masengi dll.
Mapalus yang lengkap di Kawangkoan banyak diketahui dari penuturan orang2 tua sedangkan yang dialami generasi sekarang tinggal sebagian kecil saja karena banyak aktivitas2 mapalus yang sudah tidak dilakukan sejalan dengan perkembangan teknologi dan taraf hidup masyarakat dengan konsekwensi kehidupan individualistis yang makin dominan.
Bentuk Mapalus dalam sejarah Kawangkoan dikenal dalam beberapa aspek kegiatan masyarakat Seperti:
1. Kegiatan Sosial, antara lain:
- Mendu impero’ongan, yaitu suatu kegiatan kerja bakti kampung atau lingkungan.
- Berantang, adalah kegiatan membantu keluarga yang terkena kedukaan.
- Sumakey, adalah kegiatan bersama dalam acara syukuran.
2. Kegiatan Ekonomi dan keuangan antara lain:
- Ma’endo, yaitu usaha bersama untuk menggarap kebun atau perbaikan rumah.
- Pa’ando, yaitu aktivitas keuangan dalam bentuk arisan.


H.KEGIATAN SOSIAL
Mendu Impero’ongan
Adalah suatu kerja sama dalam bentuk kerja bakti yang dilakukan didalam kampung apakah itu dalam tingkat wilayah desa ataukah wilayah lingkungan/Jaga tergantung kelompok tersebut apakah sekampung ataukah se lingkungan.Kegiatan2 yang dilakukan adalah kebersihan lingkungan, membuka pengairan untuk dialirkan ke kampung. Sebelum peristiwa Permesta, masyarakat Kawangkoan secara Mapalus/gotong royong membuka perairan yang bersumber dari Batu Pinabetengan dialirkan ke Kawangkoan dengan jarak kurang lebih 4 KM. Air tersebut walaupun tidak untuk diminum karena hanya disalurkan melalui got2 dipinggir jalan, namun sangat membantu usaha peternakan dan kebersihan kampung dan yang tak kalah penting untuk menjaga kemungkinan terjadinya kebakaran. Sejak adanya Perusahaan Air Minum di Kawangkoan maka got2 tidak dirawat lagi sehingga aliran air sudah tidak ada. Bentuk kerja bakti lainnya adalah masyarakat sekampung be-ramai2 ke taman pemakaman membersihkan tempat pemakaman kampung yang biasanya dilakukan menjelang hari Natal dan Tahun Baru. Masih ada aktivitas orang2 tua dulu yang masih tergolong kerja bakti (bukan kerja paksa lho) adalah mengerjakan tanah milik desa yang hasil garapannya diberikan kepada Hukum Tua (karena Hkm.Tua tidak digaji seperti lurah jaman sekarang). Semua pekerjaan pekerjaan diatas dilaksanakan dengan penuh suka relah oleh masyarakat karena semuanya dilaksanakan dalam kepentingan bersama bahkan sangat tercela apabila ada diantara anggota masyarakat yang tidak ikut sekalipun oprang itu dikenal kaya. Budaya malu masih sangat tinggi kala itu.

Berantang
Berantang sudah dikenal sejak jaman nenek moyang kita yaitu cara masyarakat membantu keluarga yang terkena duka/kematian. Jaman dulu ada satu lembaga yang dibentuk dikampung yang disebut “Pimaesaan”(Bukan Pinaesaan E Kumawangkoan) yang mengatur bantuan kedukaan sejak meninggal sampai hari kedua kematian. Yang disiapkan mulai dari peti jenazah, konsumsi kecil pada hari pertama menghadapi acara pemakaman dan hari kedua makan bersama. Semua disiapkan secara bersama yang dikoordinir oleh Pinaesaan dengan tujuan membantu keluarga yang terkena musibah untuk tidak terlalu terbebani baik pisik maupun mental, bahkan dalam berantang masih tersisa saldo uang yang terkumnpul serta sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh para pelayat dan kelebihan2 itu diserahkan kepada keluarga. Dahulu berantang dilakukan secara disiplin sekali sehingga tidak ada penyimpangan2 yang terjadi yang membuat cukup banyak dana dan makanan yang tersisa namun perkembangan masa kema-sa seiring perkembangan teknologi sehingga nilai2 moral manusia makin merosot sehingga sekarang ini banyak keluarga yang terkena musibah harus berkorban mengeluarkan dana sendiri menutupi bon-bon pembelian bahan di-warung2 maupun toko2 yang dilakukan oleh pelaksana. Kejadian ini membuat Sistim Mapalus yang sangat dibanggakan justeru mengecewakan yang tentunya bukan karena sistimnya tetapi karena moral pelaksana yang buruk.
Sampai sekarang masih dapat kita saksikan gedung2 Pinaesaan, kebun2 milik kampung, seng2 untuk tenda2, kereta jenazah yang ada di Kawangkoan sebagai bukti dari kejayaan Pinaesaan sebagai pelaksana Mapalus tempo dulu.

Sumakey
Adalah bentuk kebersamaan masyarakat di Kawangkoan mengadakan syukuran dalam acara2 di Gereja, pernikahan, hari ulang tahun perkumpulan dan kedukaan. Di Gereja sering dilakukan kebaktian2 khusus seperti hari2 gereja, pengucapan syukur panen yang dipusatkan di Gereja. Jemaat membawa makanan masing2 ke gereja dan setelah kebaktian syukur jemaat makan bersama.
Dalam hal pernikahan, sanak famili dari keluarga pengantin sudah membagi tugas untuk membawa bahan2 yang akan digunakan dalam resepsi, seperti ayam, babi, beras, ikan dan keperluan komsumsi lainnya. Bahan2 tersebut dimasak ber-sama2 dirumah keluarga pengantin untuk disuguhkan kepada undangan. Dengan demikian keluarga pengantin sangat tertolong dalam biaya konsumsi.
Dalam kedukaan sumakey dilakukan juga yaitu pada pagi subuh hari kedua kedukaan dimana pada pagi subuh masyarakat ber bondong2 datang kerumah duka membawa kue2 dan minuman kopi atau teh untuk dicicipi bersama-sama dengan keluarga, dan sesudah minum, bersama-sama berziarah kepemakaman. Pada hari minggu berikutnya dikenal dikampung dengan acara “Mingguan” setelah sama-sama pulang Gereja sanak famili masih datang menghibur keluarga dengan makan siang bersama dan untuk itu masing2 keluarga membawa makanan dari rumahnya.
Untuk yang terakhir ini keadaan sudah berubah dimana acara tetap dilakukan tapi nilai mapalusnya sudah hilang karena keluarga yang berduka menyediakan konsumsi sendiri untuk menjamu tamu dengan alasan sebagai ucapan terima kasih kepada pihak2 yang sudah lelah membantu keluarga saat pemakaman dan pelaksanaan berantang. Bagi keluarga yang mampu tidak menjadi masalah tetapi bagi keluarga yang tidak mampu hal ini sangat membebani.

I.ASPEK EKONOMI/KEUANGAN
Ma’endo
Bentuk kebersamaan ini dilakukan oleh masayarkat Kawangkoan untuk menggarap kebun atau mengadakan perbaikan rumah.
Ada 2 cara yang dilakukan yaitu:
1. Sekelompok orang terdiri dari 20 sampai 30 orang membentuk kerja sama menawarkan tenaga mengerjakan kebun atau rumah orang dan dari jasa ini mereka diberi imbalan uang. Dalam kelompok ini ada pimpinan dan pengawas yang dipilih oleh anggota2nya dan biasanya nya dipilihl dari yang tertua dari kelompok itu. Menurut cerita orang tua, pangawas yang sangat berwibawa tidak segan2 mencambuki anggotanya yang lambat bekerja sehingga yang sudah terlambat harus mengejar teman2 nya yang sudah didepan. Mungkin mereka mengejar target karena dalam 1 hari dapat mengerjakan 3 atau 4 bidang kebun. Hebatnya tindakan pengawas tidak ada yang berani melawan hal mana membuktikan bahwa disiplin kelompok ini sangat tinggi. Pendapatan dibagi secara adil dan merata pada setiap minggu.
2. Cara kedua adalah sekelompok orang pemilik kebun dan atau rumah membentuk kelompok arisan untuk menggarap kebun/rumah Anggota2nya secara bergilir (Ma’endo arisan). Tentunya bagi anggota yang memilik kebun/rumah lebih besar memberikan tambahan dalam bentuk uang dan menjadi tabungan kelompok. Pada saat itu keichlasan sangat berperan sehingga kalau ada beda-beda tipis tidak terlalu dipermasalahkan.
Dalam hal perbaikan rumah jaman dulu dulu umumnya rumah2 di Kawangkoan masih menggunakan atap rumbiah sedangkan rumah yang beratap seng masih sangat sedikit. Karena umumnya rumah dari atap rumbiah maka setiap tahun atap harus diganti baru. Disini beberap kelompok orang membentuk arisan ba’atap untuk mengerjakannya. Masa berganti masa perkembangan ekonomi masyarakat makin meningkatmakaseng bukan lagi menjadi barang langkah sehingga secara ber-angsur2 rumah2 di Kawangkoan beratap seng maka Ma’endo hilang. Ma’endo penggarap kebunpun demikian dimana cangkul mulai diganti dengan mesin maka ma’endo pun hilang.

Pa’ando
Bentuk mapalus ini biasanya dilakukan oleh ibu2 yang membentuk kelompok arisan uang yang dijalankan setiap minggu. Arisan ini sangat membantu keluarga2 yang membutuhkan biaya cukup besar seperti sekolah anak2, perbaikan rumah dll. Pa’ando telah dijalankan di mana2 sampai kepada orang2 Kawangkoan di Jakarta bahkan sudah meluas ke mana2 di seluruh Indonesia.
Dari sejarah Mapalus yang diwujudkan oleh masyarakat Kawangkoan secara turun temurun ternyata sudah banyak menolong masyarakat Kawangkoan dalam peningkatan kesejahteraan dan juga kebersamaan sekaligus meningkatkan iman kepada Tuhan yang sudah menganugerahkan segala berkat kepada mereka.
Walaupun beberapa kegiatan mapalus telah hilang ditelan oleh perkembangan teknologi dan komunikasi yang pesat namun nilai2 luhur dari mapalus sebagai budaya nenek moyang kita sangat berarti dalam membina kerukunan(me-lo’or2an), saling tolong menolong(men-sule2an) satu dengan yang lain.
Demikian juga dalam pelaksanaan “berantang” yang sudah terdapat penyimpangan.
Hal ini terjadi bukan karena kesalahan berantang itu sendiri yang bertujuan luhur tetapi justeru terletak pada manusia pelaksananya yang tidak bermoral.
Dahulu Mapalus begitu luas jangkauannya dan dapat dilaksanakan oleh sedikit maupun banyak orang, telah melibatkan sikaya maupun simiskin, sipintar maupun sibodoh karena didalam Mapalus keichlasan dan rela berkorban yang menjadi syarat utama. Tanpa keichlasan dan rela berkorban apalagi masuknya unsur mementingkan diri sendiri merupakan racun dari Mapalus yang bukan membawa anggota2 kepada peningkatan taraf hidup moril maupun materil tetap sebaliknya akan membawa kekecewaan dan penderitaan.
Mapalus mengajak orang untuk bersatu dan bersekutu saling menolong satu dengan yang lain yang berarti juga bersekutu untuk memuliakan Tuhan.
Karena itu di Kawangkoan Pemerintah ikut memberi perhatian terhadap kehidupan mapalus ini, pihak gerejani ikut mendorong jemaat bermapalus pihak intelektual ikut memikirkan perkembangan mapalus maka lengkaplah Mapalus menjadi suatu sarana pembangunan iman, moral dan material untuk pembangunan masyarakat Kawangkoan sebagai bagian dari Pembangunan Bangsa Indonesia.
Melihat dimensi Mapalus yang cukup luas terhadap kehidupan masyarakat, yang mewujudkan sifat kasih sebagai perintah Tuhan, menganjurkan kepedulian terhadap mereka yang susah sebagai wujud perikemanusiaan, dengan kelompok2 yang mau bersatu dan tunduk pada kehendak suara terbanyak sebagai wujud demokrasi dan bermuara pada peningkatan kesejahtaraan bersama yang kesemuanya bersumber pada nilai2 luhur budaya nenek moyang kita.
Kerukunan yang telah mencakup wilayah kecamatan atau wilayah distrik dulu disebut dengan pakasa’an yang artinya wilayah kesatuan adat yang sama dengan apa yang dahulu disebut walak, oleh pemerintah Belanda disebut distrik.
J.RELIGI
Unsur-unsur kepercayaan pribumi yang dapat disaksikan pada orang Minahasa yang sekarang secara resmi telah memeluk agama-agama Protestan, Katolik maupun Islam merupakan peninggalan sistem religi zaman dahulu sebelum berkembangnya agama Kristen. Unsur-unsur ini mencakup : konsep-konsep dunia gaib, makhluk dan kekuatan adikodrati (yang dianggap “baik” dan “jahat” serta manipulasinya, dewa tertinggi, jiwa manusia, benda berkekuatan gaib, tempat keramat, orang berkekuatan gaib, dan dunia akhirat).
Unsur-unsur religi pribumi terdapat dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa lingkaran hidup individu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian maupun dalam bentuk-bentuk pemberian kekuatan gaib dalam menghadapai berbagai jenis bahaya, serta yang berhubungan dengan pekerjaan atau mata pencaharian. Unsur-unsur ini tentu juga tampak dalam wujud sebagai kedukunan (sistem medis makatana) yang sampai sekarang masih hidup.
Dunia gaib sekitar manusia dianggap didiami oleh makhluk-makhluk halus seperti roh-roh leluhur baik maupun jahat, hantu-hantu dan kekuatangaib lainnya. Usaha manusia untuk mengadakan hubungan dengan makhluk-makhluk tersebut bertujuan supaya hidup mereka tidak diganggu sebaliknya dapat dibantu dan dilindungi, dengan mengembangkan sustu kompleks sistem upacara pemujaan yang dahulu dikenal sebagai na’amkungan atau ma’ambo atau masambo.
Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa, salah satunya adalah dewa tertinggi. Dewa oleh penduduk disebut empung atau opo, dan untuk sewa yang tertinggi disebut opo wailan wangko. Dewa yang penting sesudah dewa tertinggi ialah karema.
Opo wailan wangko dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan isinya yang dikenal oleh manusia yang memujanya. Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah sebagai penunjuk jalan bagi lumimuut (wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan seorang pria yang bernama to’ar, yang juga dianggap sebagai pembawa adat khususnya cara-cara pertanian yaitu sebagai cultural hero (dewa pembawa adat).
Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu yang pada masa hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan seperti pemimpin-pemimpin komunitas besar ( kepala walak dan komunitas desa; tona’as ). Mereka juga dalam hidupnya memiliki keahlian dan prestasi seperti dalam perang, keagamaan dan kepemimpinan. Ada kepercayaan bahwa opo-opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka ( puyun) apabila mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan. Pelanggaran yang terjadi dapat mangakibatkan yang bersangkutan akan mengalami bencana atau kesulitan hidup akibat murka opo-opo, ataupun kekuatan sakti yang diberikan akan hilang. Disamping itu, ada juga opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik, seperti untuk mencuri, berjudi dsb.
Konsepsi makhluk halus lainnya seperti hantu ialah panunggu, lulu, puntianak, pok-pok dsb yang dianggap berada di tempat tertentu dan pada saat dan keadaan tertentu dapat maengganggu manusia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut sangat dirasakan peranan dari opo-opo yang dapat menghadapi atau mengalahkan mereka atau mengatasi gangguan dari mereka.
Roh (mukur) orangtua sendiri ataupun roh-roh kerabat yang sudah meninggal dianggap selalu berada di sekitar kelurganya yang masih hidup, yang sewaktu-waktu datang menun jukkan dirinya dalam bentuk bayangan atau mimpi atau dapat pula melalui seseorang sebagai media yang dimasuki oleh mukur sehingga bisa bercakap-cakap dengan kerabatnya. Mukur yang demikian tidak dianggap berbahaya malahan bisa menolong kerabatnya.
Kepercayaan orang Minahasa bahwa ada bagian tubuh yang mempunyai kekuatan sakti seperti rambut dan kuku. Binatang-binatang yang memiliki kekuatan sakti adalah ular hitam dan beberapa jenis burung, terutama burung hantu (manguni). Untuk tumbuh-tumbuhan yang memiliki kekuatan sakti adalah tawa’ang, goraka (jahe), balacai, jeruk suangi dll. Gejala alam seperti gunung meletus dan hujan lebat bersama petir secara terus-menerus dianggap sebagai amarah para dewa. Senjata yang dianggap memiliki kekuatan sakti yang harus dijaga dengan baik adalah keris, santi (pedang panjang), lawang (tombak), dan kelung (perisai). Ucapan berupa sumpah dan kutukan juga dikenal sebagai kata-kata yang dianggap dapat mengakibatkan malapetaka, apalagi kalau yang mengatakannya orangtua, kata-katanya dianggap memiliki kekuatan sakti. Benda-benda jimat baik yang diwariskan orangtua ataupun yang didapat dari walian atau tona’as yang disebut paereten adalah benda-benda yang kesaktiannya dipercaya yang sampai sekarang masih dipakai.
Jiwa yang dianggap sebagai kekuatan yang ada dalam tubuh manusia yang menyebabkan adanya hidup, rupanya memiliki konsepsi yang sama dengan jiwa sesudah meninggalkan tubuh karena mati atau roh. Konsepsi jiwa dan roh ini disebut katotouan.
Unsur kejiwaan dalam kehidupan manusia adalah : gegenang (ingatan), pemendam (perasaan), dan keketer (kekuatan). Gegenang adalah unsure yang utama dalam jiwa.
Pada saat sekarang, sesuai dengan aturan-aturan agama Kristen, maka konsepsi dunia akhirat (sekalipun untuk mereka yang masih melakukan upacara-upacara kepercayaan pribumi untuk mendapatkan kekuatan sakti dari makhluk-makhluk halus) ialah surga bagi yang selamat, serta neraka bagi yang berdosa dan tidak percaya.
Upacara-upacara keagamaan pribumi masih banyak dilakukan oleh orang minahasa sebagai perwujudan untuk mengadakan hubungan dengan dunia gaib atau sebagaikelakuakn religi atas dasar suatu emosi keagamaan, upacara-upacara itu diantaranya adalah yang biasa dilakukan pada malam hari di rumah tona’as atau di rumah orang lain, bisa juga di tempat-tempat keramat seperti kuburan opo-opo, batu-batu besar dan di bawah pohon besar. Pada saat tertentu yang dianggap penting upacara dapat dilakukan di Watu Pinabetengan, tempat di mana secara mitologis paling keramat di Minahasa.
Upacara dilakukan pada saat tertentu, misalnya pada malam bulan purnama. Tokoh tradisional yang melakukan dan memimpin upacara keagamaan pribumi dikenal dengan nama walian, pemimpin upacara dapat dipegang oleh wanita atau pria.
Agama-agama resmi yang umum diatur oleh orang Minahasa antara lain Protestan (yang terdiri dari berbagai sekte), katolik dan Islam. Terlepas dari tingkat kepercayaan perseorangan, unsure-unsur religi pribumi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Misalnya komponen pribumi terpadu bersama komponen Kristen yang diluar upacara-upacara formal Gerejani seperti yang terlihat dalam upacara-upacara dari masa hamil sampai masa meninggal maupun pada perilaku keagamaan sehari-hari. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada contoh sebelumnya dapat dilihat adanya komponen religi pribumi dalam kebudayaan Minahasa yang secara mendalam telah mengalami perubahan melalui jalur-jalur kolonialisme, pendidikan formal, dan kristenisasi maupun jalur-jalur kontak atau difusi budaya lainnya.

BAB II
PRODUK BUDAYA


A. RUMAH ADAT
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.

B.BAHASA
Di Minahasa ada sekitar empat bahasa daerah diantaranya bahasa Totemboan, Tombulu, Tonsea, Bantik, Tonsawang. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Tomohon selain menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan juga menggunakan bahasa daerah Minahasa. Seperti diketahui di Minahasa terdiri dari delapan macam jenis bahasa daerah yang dipergunakan oleh delapan etnis yang ada, seperti Tountemboan, Toulour, Tombulu, dll. Bahasa daerah yang paling sering digunakan di Kota Tomohon adalah bahasa Tombulu, karena memang wilayah Tomohon termasuk dalam etnis Tombulu. Selain bahasa percakapan di atas, ternyata ada juga masyarakat di Minahasa dan Kota Tomohon khususnya para orang tua yang menguasai Bahasa Belanda karena pengaruh jajahan dari Belanda serta sekolah-sekolah jaman dahulu yang menggunakan Bahasa Belanda. Saat ini, semakin hari masyarakat yang menguasai dan menggunakan Bahasa Belanda tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin berkurangnya masyarakat berusia lanjut.

C.PAKAIAN ADAT
Di masa lalu busana sehari-hari wanita Minahasa terdiri dari baju sejenis kebaya, disebut wuyang (pakaian kulit kayu). Selain itu, mereka pun memakai blus atau gaun yang disebut pasalongan rinegetan, yang bahannya terbuat dari tenunan bentenan. Sedangkan kaum pria memakai baju karai, baju tanpa lengan dan bentuknya lurus, berwarna hitam terbuat dari ijuk. Selain baju karai, ada juga bentuk baju yang berlengan panjang, memakai krah dan saku disebut baju baniang. Celana yang dipakai masih sederhana, yaitu mulai dari bentuk celana pendek sampai celana panjang seperti bentuk celana piyama.
Pada perkembangan selanjutnya busana Minahasa mendapatkan pengaruh dari bangsa Eropa dan Cina. Busana wanita yang memperoleh pengaruh kebudayaan Spanyol terdiri dari baju kebaya lengan panjang dengan rok yang bervariasi. Sedangkan pengaruh Cina adalah kebaya warna putih dengan kain batik Cina dengan motif burung dan bunga-bungaan. Busana pria pengaruh Spanyol adalah baju lengan panjang (baniang) yang modelnya berubah menyerupai jas tutup dengan celana panjang. Bahan baju ini terbuat dari kain blacu warna putih. Pada busana pria pengaruh Cina tidak begitu tampak.

Baju Ikan Duyung
Pada upacara perkawinan, pengantin wanita mengenakan busana yang terdiri dari baju kebaya warna putih dan kain sarong bersulam warna putih dengan sulaman motif sisik ikan. Model busana pengantin wanita ini dinamakan baju ikan duyung. Selain sarong yang bermotifkan ikan duyung, terdapat juga sarong motif sarang burung, disebut model salimburung, sarong motif kaki seribu, disebut model kaki seribu dan sarong motif bunga, disebut laborci-laborci.
Aksesori yang dipakai dalam busana pengantin wanita adalah sanggul atau bentuk konde, mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), anting dan gelang. Aksesori tersebut mempunyai berbagai variasi bentuk dan motif. Konde yang menggunakan 9 bunga Manduru putih disebut konde lumalundung, sedangkan Konde yang memakai 5 tangkai kembang goyang disebut konde pinkan. Motif Mahkota pun bermacam-macam, seperti motif biasa, bintang, sayap burung cendrawasih dan motif ekor burung cendrawasih.
Pengantin pria memakai busana yang terdiri dari baju jas tertutup atau terbuka, celana panjang, selendang pinggang dan topi (porong). Busana pengantin baju jas tertutup ini, disebut busana tatutu. Potongan baju tatutu adalah berlengan panjang, tidak memiliki krah dan saku. Motif dalam busana ini adalah motif bunga padi, yang terdapat pada hiasan topi, leher baju, selendang pinggang dan kedua lengan baju.

Busana Pemuka Adat
Busana Tonaas Wangko adalah baju kemeja lengan panjang berkerah tinggi, potongan baju lurus, berkancing tanpa saku. Warna baju hitam dengan hiasan motif bunga padi pada leher baju, ujung lengan dan sepanjang ujung baju bagian depan yang terbelah. Semua motif berwarna kuning keemasan. Sebagai kelengkapan baju dipakai topi warna merah yang dihiasi motif bunga padi warna kuning keemasan pula.
Busana Walian Wangko pria merupakan modifikasi bentuk dari baju Tonaas Wangko, hanya saja lebih panjang seperti jubah. Warna baju putih dengan hiasan corak bunga padi. Dilengkapi topi porong nimiles, yang dibuat dari lilitan dua buah kain berwarna merahhitam dan kuning-emas, perlambang penyatuan 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia dan alam baka. Sedangkan Walian Wangko wanita, memakai baju kebaya panjang warna putih atau ungu, kain sarong batik warna gelap dan topi mahkota (kronci). Potongan baju tanpa kerah dan kancing. Dilengkapi selempang warna kuning atau merah, selop, kalung leher dan sanggul. Hiasan yang dipakai adalah motif bunga terompet.
D.ALAT MUSIK
- Kolintang
Kolintang adalah instrument musik tradisional yang sudah sangat terkenal di Indonesia. Instrument kolintang telah diketahui sejak jaman dahulu dan telah dipopulerkan oleh masyarakat melalui berbagai macam pertunjukan. Instrument ini semuanya terbuat dari kayu dan disebut "mawenang".
- Musik Bambu
Musik bambu adalah alat musik yang dibuat dari bambu dan dimainkan oleh kurang lebih 40 orang. beberapa jenis musik bambu adalah :
- Musik Bambu Melulu : seluruh instrument terbuat dari bambu
- Musik Bambu Klarinet : sebagian instrument terbuat dari bambu dan sebagian dari "bia"
- Musik Bambu Seng ; beberapa instrument terbuat dari bambu
- Musik Bia : instrument terbuat dari bia.

E.LAGU DAERAH
- O Ina Ni Keke
- Oh Minahasa

F.MAKANAN
- Bubur manado
- Ayam rica-rica
- Biakolobi

G.TARI-TARIAN
Tari Maengket
Maengket adalah tari tradisional Minahasa dari zaman dulu kala sampai saat ini masih berkembang. Maengket sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama menanam padi di lading. Kalau dulu Nenek Moyang Minahasa, maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Maengket terdiri dari 3 babak, yaitu : - Maowey Kamberu - Marambak – Lalayaan.
Tari Maowey Kamberu
Maowey Kamberu adalah suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak.
Tari Marambak
Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan, rakyat Minahasa Bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampong diundang dalam pengucapan syukur.
Tari Lalayaan
Lalayaan adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa.
Tari Katrili
Menurut legenda rakyat Minahasa, tari katrili adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di Tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian katrili. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka didalam menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa.
Sekembalinya Bangsa Spanyol kenegaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari Rakyat Minahasa pada umumnya. Tari katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan.


Tari Kabasaran
Adalah Tari Perang, merupakan tarian tradisional Minahasa yang menceritakan bagaimana suku Minahasa mempertahankan tanah Minahasa dari musuh yang hendak mendudukinya. Tari Perang ini memperagakan bagaimana menggunakan Pedang Perisai dan Tombak. Tarian Kabasaran ini ditarikan untuk acara-acara khusus seperti Penyambutan tamu dan atau diberbagai Acara.

BAB III
UPACARA ADAT


A.PERNIKAHAN ADAT MINAHASA
Proses pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Upacara Perkawinan adat
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita. Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam. Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).

Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan
Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa. Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah. Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.

B.UPACARA ADAT LAINNYA
Syukuran
Di samping itu di seluruh tanah Minahasa setiap tahunnya di setiap kecamatan atau kawasan diadakan upacara syukuran yang dikaitkan dengan upacara keagamaan. Kegiatan ini dipusatkan di gereja-gereja yang ada di kecamatan atau kawasan tersebut. Maksud diadakannya upacara syukuran adalah untuk mengucap syukur atas segala berkat dan anugerah yang telah Tuhan berikan di Tanah Minahasa termasuk masyarakat Tomohon dalam setahun, upacara syukuran ini memiliki kemiripan dengan upacara "Thanksgiving" di Amerika.

Naik Rumah Baru
Selain upacara syukuran di atas, di tanah Minahasa juga dikenal memiliki upacara-upacara adat yang lain seperti jika seseorang/keluarga akan menempati sebuah rumah atau menempati tempat kediaman baru maka orang/keluarga tersebut akan melaksanakan upacara syukuran "Naik Rumah Baru", hal ini dianalogikan dengan bentuk rumah tradisional Minahasa yang berbentuk rumah panggung sehingga untuk memasukinya harus menaiki sejumlah anak tangga


BAB IV
PARIWISATA


WISATA MEGALIT DI MINAHASA BATU-BATU EKSOTIK DARI NEGERI BIBIR PASIFIK
1.Waruga
Dalam bahasa kuno Minahasa, kata waruga berasal dari dua kata: wale dan maruga. “Wale artinya rumah, dan maruga artinya badan yang hancur lebur menjadi abu. Salah satu sisa megalit yang begitu terkenal dan dominan di Minahasa adalah waruga (peti kubur batu). Ini bukan sembarang peti kubur biasa. Yang istimewa, peti kubur ini terdiri atas dua bagian: badan dan tutup. Tiap-tiap bagian itu terbuat dari sebuah batu utuh (monolith). Umumnya, berbentuk kotak segiempat (kubus) untuk bagian badannya dan hanya sedikit yang berbentuk segidelapan atau bulat. Di dalam bagian badan waruga terdapat rongga sebagai kubur jasad orang yang meninggal. “Posisi mayat di dalam batu ini dalam keadaan jongkok, sesuai posisi bayi dalam rahim ibu. Yang laki-laki, tangan berada dalam posisi kunci tangan dan perempuan kepal tangan,” papar Anton Tahuna (38) juru kunci kompleks waruga Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa. Posisi mayat tersebut terkait dengan filosofi manusia mengawali kehidupan dengan posisi jongkok dan semestinya mengakhiri hidup dengan posisi yang sama. Filosofi ini dikenal dalam bahasa lokal adalah whom. Setiap waruga biasanya dipakai untuk satu famili. Ada juga waruga yang dipersiapkan untuk mayat yang berasal dari kesamaan profesi sebelum wafat. Di dalam waruga seringkali ditemukan tulang-tulang manusia yang berasosiasi dengan benda lain, macam keramik Cina, perhiasan, alat-alat logam dan manik-manik. “Waktu dikubur, barang-barang kesayangan mereka semasa hidup harus disertakan juga sebagai bekal kubur. Karena itu, di bagian bawah mayat ada piring yang besar. Maksudnya, supaya perhiasan tadi tidak jatuh ke bawah tetapi justru jatuh ke piring tadi.


2. Watu Pinawetengan
Batu ini merupakan bongkahan batu-batu besar alamiah, sehingga bentuknya tidak beraturan. Pada bongkahan batu tersebut terdapat goresan-goresan berbagai motif yang dibuat oleh tangan manusia. Goresan-goresan itu ada yang membentuk gambar manusia, menyerupai kemaluan laki-laki dan perempuan dan motif garis-garis serta motif yang tak jelas maksudnya. Para ahli menduga, goresan-goresan ini merupakan simbol yang berkaitan dengan kepercayaan komunitas pendukung budaya megalit.
Watu Pinawetengan telah sejak lama menjadi tempat permohonan orang, seperti kesembuhan dari penyakit dan perlindungan dari marabahaya. Dengan melakukan ritual ibadah yang dipandu seorang tonaas (mediator spiritual), sebagian orang percaya doa mereka akan cepat dikabulkan. Arie Ratumbanua – juru kunci Watu Pinawetengan – menegaskan, masyarakat yang datang ke sini bukan bertujuan menyembah batu, melainkan menjadikan batu sebagai tempat atau sarana ibadah. Soal asal-usul batu ini, masyarakat setempat percaya di sinilah tempat bermusyawarah para pemimpin dan pemuka masyarakat Minahasa asli keturunan Toar-Lumimuut (nenek moyang masyarakat Minahasa) pada masa lalu. Para pemimpin itu bersepakat untuk membagi daerah menjadi enam kelompok etnis suku-suku bangsa yang tergolong ke dalam kelompok-kelompok etnis Minahasa






PENUTUP



Pulau Sulawesi di huni oleh beranekaragam suku bangsa, dimana masing-masing mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri diantaranya suku-suku bangsa tersebut, salah satunya suku Minahasa yang mendiami daerah pada bagian Timur Jazirah Sulawesi Utara.
Suku Minahasa memiliki berbagai macam kebudayaan yang merupakan kekayaan dari daerahmya. Berbagai macam kebudayaan ini merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang perlu dijaga kelestariannya.
Dari berbagai macam keebudayaan yang ada pada setiap suku berbeda-beda, hal ini terkait adanya perbedaan secara demografi astronomi, serta Sumber Daya Manusia yang menempati daerah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]
http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm [30 NOV 2007]
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa [14 Des 2007]
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30 Nov 2007]
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html [14 Des 2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.html [30 Nov 2007]
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7 [06 Des 2007]
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/ [30 Nov 2007].
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=11&mnorutisi=7
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://kawangkoan1.tripod.com/kebudayaan.htm
http://www.tamanmini.com/anjungan/sulut/budaya//busana_tradisional_minahasa
http://sigarlaki.wordpress.com/2007/10/28/asal-usul-suku-minahasa/
http://www.kkk.or.id/artikel3.htm [30 Nov2007]
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/025/wis02.html
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0729/wis01.htm



LAMPIRAN

0 komentar: