November 09, 2008

Kebudayaan Jawa

Daerah kebudayaan Jawa sangatlah luas meliputi seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa. Ada daerah yang disebut daerah Kejawen yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar yang tersebut di atas disebut daerah Pesisir dan Ujung Timur. Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka seluruh kebudayan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah yakni Yogyakarta dan Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa.
Sama halnya dengan daerah Kejawen lainnya, di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebelah selatan terdapat kelompok-kelompok masyarakat orang Jawa yang masih mengikuti atau mendukung kebudayaan Jawa ini. Pada umumnya, mereka itu membentuk kesatuan-kesatuan hidup yang menetap di desa-desa.

Penduduk
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta data pada tahun 2004. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu saja Jakarta mereka banyak ditemukan. Selain suku Jawa baku terdapat subsuku Osing dan Tengger.
Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan dan halus.Tetapi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Di dalam pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia ataupun status sosialnya.

Bentuk Desa
Desa sebagai tempat kediaman yang tetap pada masyarakat orang Jawa, di daerah pedalaman, adalah suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Secara adminstratif desa langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah kecamatan dan terdiri dari dukuh-dukuh. Tiap-tiap wilayah bagian desa ini diketuai oleh seorang Kepala Dukuh. Di sini dijumpai sejumlah perumahan penduduk beserta tanah-tanah pekarangannya, yang satu sama lain dipisah-pisahkan dengan pagar-pagar bambu atau tumbuh-tumbuhan. Ada di antara rumah-rumah itu yang dilengkapi dengan lumbung padi, kandang-kandang ternak dan perigi, yang dibangun di dekat-dekat rumah atau di halaman pekarangannya. Kemudian sebuah dukuh dengan dukuh lainnya, dihubungkan oleh jalan-jalan desa, yang luasnya sering tidak lebih dari 2 meter. Selain rumah-rumah tersebut yang tampak berkelompok, dan yang sebagian berjajar menghadap jalan desa itu, ada juga Balai Desa, tempat pemerintahan desa berkumpul, atau mengadakan rapat-rapat desa, yang diadakan tiap-tiap 35 hari sekali. Untuk menampung kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan, dan sosial ekonomi rakyat, biasanya ada sekolah-sekolah, langgar atau masjid.

A. MITOLOGI KEBUDAYAAN JAWA

Pemahaman Tentang Mitos
Kebudayaan Jawa mempunyai ciri khas yaitu terletak dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat mempertahankan keasliannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebudayaan Jawa tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam mencerna masukan-masukan budaya dari luar. Hal tersebut menjadikan kebudayaan Jawa kaya akan unsur-unsur budaya yang kemudian menyatu dan menjadi milik kebudayaan Jawa sekarang ini di mana berbagai macam persilangan budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan budaya Jawa.

Ratu Kidul dalam Mitos
Di kalangan masyarakat Jawa, sebenarnya terdapat banyak cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul. Salah satu cerita dalam Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa waktu kerajaan Pajajaran di bawah kekuasaan Prabu Mundingsari, ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Suwidi. Putri tersebut mempunyai kebiasaan bertapa dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Banyak sekali raja dan pangeran yang melamarnya, tetapi tidak satupun yang diterima karena ia lebih mementingkan segi kerohanian. Penolakan-penolakan itu membuat Sang Prabu marah dan prihatin terhadap putrinya. Akibatnya, ia mengusir putrinya sendiri dari kerajaan. Kemudian Ratna Suwidi mengembara seorang diri, naik turun gunung dan menembus lebatnya hutan menuju ke arah timur. Tujuannya adalah mencari tempat yang cocok untuk bertapa. Akhirnya, ia menemukan puncak Gunung Kombang yang dirasa cocok untuk bertapa. Di puncak gunung itu ada sebatang cemara. Dengan kesaktiannya, ia mengubah diri menjadi lelaki. Pohon cemara yang berada di puncak gunung tersebut diabadikan menjadi nama samarannya yaitu Hajar Cemara Tunggal. Sang pertapa ini kemudian terkenal dengan kesaktiannya.
Pada suatu hari, Hajar Cemara Tungal didatangi dewa dan ditanya tentang keinginannya bertapa terus menerus. Ratna Suwidi menJawab bahwa ia ingin sekali tidak bisa meninggal dunia dan bisa hidup sepanjang zaman. Kemudian dewa berkata bahwa manusia tidak dapat hidup sepanjang zaman, tetapi keinginan Ratna Suwidi itu dapat terkabulkan apabila ia bersedia menjadi makhluk halus. Dengan menyetujui saran dewa tersebut, maka Ratna Suwidi kemudian berubah menjadi makhluk halus yang membawahi semua makhlus di seluruh tanah Jawa.
Dikisahkan pula waktu Hajar Cemara Tunggal masih berada di puncak Gunung Kombang, ia didatangi Raden Sesuruh, seorang putra mahkota kerajaan Pajajaran yang melarikan diri bersama pengikutnya karena terjadi perebutan kekuasan. Hajar Cemara Tunggal tahu maksud dan tujuan Raden Sesuruh yang datang menemuinya. Sang Hajar kemudian memberi petunjuk kepada Raden Sesuruh supaya berjalan terus ke arah timur. Apabila nanti di suatu tempat menemukan batang pohon Kemaja berbuah hanya satu dan rasanya pahit, maka tempat itulah yang dapat digunakan oleh Raden Sesuruh untuk memegang kekuasaan dan menurunkan raja di tanah Jawa. Dari tempat itulah Raden Sesuruh dapat membalas sakit hati atas perlakuan raja Pajajaran.
Hajar Cemara Tunggal kemudian menceritakan kisah pelariannya dan siapa sebenarnya dirinya. Berdasarkan garis keturunan, sebenarnya Hajar Cemara Tunggal adalah adik perempuan dari kakek Raden Sesuruh. Tetapi di tengah-tengah cerita tiba-tiba Sang Hajar berubah wujudnya, ia berubah menjadi putri cantik Ratna Suwidi. Berkat kesaktiannya, ia dapat mancala putra-mancala putri. Raden Sesuruh terpesona dan jatuh cinta kepada putri cantik yang ada di depannya tersebut kemudian ia mendekati dan merayunya. Seketika itu juga putri itu menghilang dari pandangan mata Raden Sesuruh dan menjelma menjadi Hajar Cemara Tunggal lagi. Dengan rasa malu, Raden Sesuruh segera bersujud di kaki Sang Hajar meminta maaf.
Sang Hajar melanjutkan ceritanya dengan nada menghibur, bahwa kelak apabila Raden Sesuruh telah dinobatkan sebagai raja Majapahit, mereka akan bertemu kembali. Kelak setelah Raden Sesuruh memegang kekuasaan dan membawahi seluruh tanah Jawa, Hajar Cemara Tunggal tidak lagi bertapa di Gunung Kombang, melainkan pindah ke samudera pasir. Selama bertahta di samudera pasir atau Laut Selatan Jawa, ia akan berubah wujud seperti semula yaitu sebagai putri yang cantik jelita dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Pesan terakhir Sang Hajar kepada Raden Sesuruh adalah apabila Raden Sesuruh beserta keturunannya yang menjadi raja tanah Jawa menemui halangan, sebaiknya memanggil Sang Hajar. Dengan sekejap, Sang Hajar pasti akan datang bersama makhluk halus bawahannya. Selain itu, kelak akan ada keturunan Raden Sesuruh yang menjadi raja Jawa akan dapat mengawini Kanjeng Ratu Kidul

Peran Mitologi Kanjeng Ratu Kidul
Dalam modelnya, Leach (1981:82) menjelasan bahwa aktivitas-aktivitas ritual merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan dunia datan kasat mata. Praktik-praktik keagamaan seperti penyelenggaraan Tari Bedaya Lambang Sari dan Tari Bedaya Semang merupakan usaha dari para penguasa Mataram untuk berhubungan dengan alam supranatural.
Pada prinsipnya, mitologi Kanjeng Ratu Kidul digunakan oleh penguasa Kasultanan Yogyakarta sebagai kerangka acuan dalam menjalankan pemerintahan. Selain itu juga digunakan untuk menjamin keselamatan dan ketentraman hidup serta digunakan sebagai pengantara manusia dengan alam supranatural.

B. BAHASA DAN AKSARA JAWA
C.1 Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau Jawa. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah tingkatannya atau status sosialnya. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Bahasa Jawa Krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang belum dikenal tetapi yang sebaya dalam umur dan derajat, juga terhadap orang yang umurnya lebih tua atau status sosialnya lebih tinggi. Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa.
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
• Dialek daerah, dan
• Dialek sosial
Beberapa jenis dialeg Jawa :
Dialeg Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain.
Dialek Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Semarang. Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frase, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatang menjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak Ngapak adalah kelompok bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah. Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
Dialek Kedu adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Kedu, tersebar di timur Kebumen: Prembun, Purworejo, Magelang dan khususnya Temanggung. Dialek ini terkenal dengan cara bicaranya yang khas, sebab merupakan pertemuan antara dialek "bandek" (Yogya-Solo) dan dialek "ngapak" (Banyumas).
Dialek Tegal adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di daerah Tegal. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya, yaitu pengucapan kata dan kalimat yang agak kental.

C.2 Aksara Jawa
Bahasa Jawa memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubah sesuai dari huruf Arab.
Hanacaraka atau dikenal dengan nama caraka adalah abjad / alat tulis yang digunakan oleh suku Jawa (juga Madura, Sunda, Bali, Palembang, dan Sasak). Aksara Jawa bila diamati lebih lanjut memiliki sifat silabik (kesuku-kataan). Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili 2 buah huruf (aksara) dalam huruf latin.
Pasangan berguna untuk menuliskan huruf mati. Pasangan memiliki fungsi untuk menghubungkan suku kata yang tertutup (diakhiri) konsonan dengan suku kata berikutnya.
Aksara Murda
Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (hampir setara dengan huruf kapital) yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan :
 Nama Gelar
 Nama Diri
 Nama Geografi
 Nama Lembaga Pemerintah
 Dan Nama Lembaga Berbadan Hukum.
Aksara swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk mempertegas pelafalannya.
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. Di dalam tulisan Jawa, aksara yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a.
 Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh doi dalam bahasa Indonesia, misalnya :
 Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa

C. MATA PENCAHARIAN
Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang. Terutama bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang Jawa. Meski banyak pengusaha Indonesia yang sukses berasal dari suku Jawa, orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri, banyak diantara suku Jawa bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja indonesia seperti pembantu, dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang. Dan tentunya kini semakin bertambah banyak. Banyak variasi pekerjaan sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimiliki.
Selain itu, bertani juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat orang Jawa di desa-desa. Di dalam melakukan pekerjaan pertanian ini, diantara mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun kering (tegalan), terutama mereka yang hidup di daerah pegunungan. Sedangkan yang lain, yaitu yang bertempat tinggal di daerah-daerah yang lebih rendah mengolah tanah-tanah pertanian tersebut untuk dijadikan sawah. Biasanya disamping tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu musim kemarau dimana air sangat kurang untuk pengairan sawah-saah itu. Tanaman penyela tersebut, diantaranya adalah ketela pohon, ketela rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, kacang brol, dan lain-lain.
Selain sumber penghasilan dari lapangan pekerjaan pokok bertani tersebut, adapula beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha kerja sambilan membuat makanan tempe, mencetak batu merah, membuat minyak goreng kelapa, membatik, menganyam tikar, dan menjadi tukang-tukang kayu, batu atau reparasi sepeda dan lapangan-lapangan pekerjaan lain yang mungkin dikerjakan.
D. SISTEM KEMASYARAKATAN
 Lapisan sosial
Priyayi
Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawa para dan yayi yang secara harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja. Namun menurut Robson (1971) kata ini bisa pula berasal dari kata Sansekerta priyā, yang berarti kekasih.
Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden.
Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama.
Istilah priyayi menjadi terkenal saat Clifford Geertz melakukan penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, dan mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan mengamalkan agama. Abangan digunakan untuk mereka yang bukan priyayi dan juga bukan santri. Namun penggolongan ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi-non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri - abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.
Ningrat
Adalah keluarga keraton dan keturunan bangsawan lainnya. Yang biasanya mempunyai gelar-gelar yang menandakan tingkat kebangsawanannya. Misalnya seorang laki-laki ningrat yang merupakan keturunan langsung (generasi pertama) dari raja/pemimpin yang memerintah akan mendapat tambahan Bandara (baca "bandoro") di depan gelarnya, sehingga menjadi Bandara Raden Mas (disingkat BRM).

Wong Cilik
Merupakan golongan masyarakat yang paling bawah, biasanya hidup didesa-desa dengan sesuai dengan mata pencaharian mereka sebagai petani, tukang dan pekerja kasar lainnya. Golongan ini juga dapat digolongkan lagi menjadi :
a. Wong baku
Merupakan lapisan tertinggi dalam lingkungan desa di Jawa, mereka adalah keturunan orang-orang yang dahulu yang pertama kali menetap didesa, mereka memiliki sawah, rumah, serta pekarangannya.
b. Kuli gandok atau lindung
Mereka adalah orang laki-laki yang sudah kawin, akan tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri,sehingga terpaksa menetap di kediaman mertuanya.
c. Joko, sinoman, atau bujangan
Mereka semua belum menikah, dan masih tinggal bersama orang tuanya atau tinggal (ngenger) dirumah orang lain. akan tetapi golongan bujang ini bisa mempunyai tanah baik dari pembelian atau warisan.
Desa-desa di Jawa sering dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang disebut dukuh, oleh karena itu dalam susunan kepemimpinan desa tiap-tiap dukuh diketuai oleh kepala dukuh. Dalam hal memelihara dan membangun masyarakat desanya, para pamong desa harus sering menggerakkan masyarakat dengan gugur gunung atau kerik desa guna bekerja sama membersihkan, memperbaiki dan membuat sarana fasilitas pedesaan.

E. SISTEM KEKERABATAN
Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki atau wanita ayah dan ibu beserta istri atupun suami masing – masing diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah siwa atau uwa. Adapun adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang dibedakan menurut jenis kelamin menjadi paman dan bibi.
Dalam adat masyarakat Jawa dikenal adanya ngarang wulu serta wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi merupakan pernikahan sororat. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari satu istri (poligami).
Masyarakat Jawa mengenal beberapa sistem pernikahan, yaitu :
a. Pelamaran biasa
b. Magang atau ngenger, ialah seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya pada kerabat si gadis.
c. Triman, yaitu seorang yang mendapat istri sebagai pemberian atau penghadiahan dari salah satu lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga kyai agung.
d. Ngunggah-ngunggahi, yaitu pihak kerabat si gadis yang melamar si jejaka.
e. Paksa (peksan), yaitu suatu perkawinan seorang pria dan wanita atas kemauan kedua orang tua mereka.
Menurut adat Jawa apabila akan diadakan suatu perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan berbagai upacara-upacara sampai dilaksanakannya peresmian perkawinan. Upacara- upacara tersebut adalah
 Nakokake
Seorang pria pertama-tama datang ke kediaman orang tua si gadis dengan didampingi oleh orang tua sendiri atau wakil orang tuanya untuk menanyakan kepadanya, apakah si gadis sudah ada empunya atau belum (legan). Jika orang tua si gadis telah meninggal, hal itu yang disebut nakokake kepada wali, yakni anggota kerabat dekat menurut garis laki – laki (patrilineal).
 Nontoni
Calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon istrinya.
 Persiapan
Penunjukkan Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi pemimpin dari acara pernikahan. Dia mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin, perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan.
Banyak yang harus dipersiapkan untuk setiap upacara pesta pernikahan. Untuk itu dibentuk sebuah panitia kecil yang terdiri dari teman dekat, keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar belakang dan berapa banyaknya tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih).
Panitia mengurus seluruh persiapan perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka, transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah Ijab (catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami istri.
Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), terdiri dari berbeda Tuwuhan (tanaman dan daun), yaitu :







Gambar 2.1 Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak

• Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti: Suami akan menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang sangat mudah tumbuh dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja.
• Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang bersama untuk bantuan nikah.
• Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama lain dan akan merawat keluarga mereka.
• Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap srep berarti: Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi keluarga.
• Bekletepe
Bleketepe yang berada di atas pintu gerbang berarti menjauhkan dari gangguan roh jahat dan menunjukan di rumah mana pesta itu diadakan.





Selain pemasangan tarub juga dikenal adanya Kembar Mayang yang merupakan karangan dari bermacam daun (sebagian besar daun kelapa di dalam batang pohon pisang). Itu dekorasi sangat indah dan mempunyai arti yang luas.
• Mempunyai bentuk seperti gunung. Gunung itu tinggi dan besar, berarti laki-laki harus punya banyak pengetahuan, pengalaman dan kesabaran.
• Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati dalam kehidupan, pintar dan bijaksana.
• Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan hasrat untuk kehidupan yang baik.
• Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya.
• Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam mengambil keputusan untuk keluarganya.
• Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang tinggi.
• Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
• Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan setan.
• Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai pikiran yang jernih dan tenang dalam mengadapi masalah.
• Daun Dlingo Benglé: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya, itu digunakan untuk melindungi gangguan setan.
• Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah karangan.
Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat hidangan spesial yang dinamakan Sajen. Tradisionil Sajen (persembahan) dalam pesta adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah simbol yang sangat berarti, di mana Tuhan Pencipta melidungi kami. Sajen berarti untuk mendoakan leluhur dan untuk melindungi dari gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat di mana pesta itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah pintu gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-lain.
Siraman sajen terdiri dari:
• Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan.
• Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan.
• Makanan: ayam, daging, tahu, telur.
• Tujuh macam bubur.
• Pisang raja dan buah lainnya.
• Kelapa muda.
• Kue manis, lemper, cendol.
• Teh dan kopi pahit.
• Rokok dan kretek.
• Lantera.
• Buna Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan air Suci.
 Siraman.





Gambar 2.3 Siraman
Makna dari pesta Siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum Ijab dan Panggih. Siraman di adakan di rumah orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman. Daftar nama dari orang yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya orangtua, tetapi juga keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi orang yang bermoral baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya tujuh orang. Bahasa Jawa tujuh itu PITU, mereka memberi nama PITULUNGAN (berarti menolong). Yang harus dipersiapkan:
• Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga atau perunggu. Air dari sumur atau mata air.
• Bunga Setaman - mawar, melati, magnolia dan kenanga - di campur dengan air.
• Aroma - lima warna - berfungsi seperti sabun.
• Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang, santan, air asam Jawa).
• gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama.
• Kursi kecil, ditutup dengan:
• Tikar - kain putih - beberapa macam daun - dlingo benglé (tanaman untuk obat-obatan) - bango tulak (kain dengan 4 macam motif) - lurik (motif garis dengan potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu).
• Memakai kain putih selama Siraman.
• Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari.
• Handuk.
• Kendi.
Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa air-bunga ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci Perwitosari, berarti air suci dan simbol dari intisari kehidupan. Air ini diletakan di rumah pengantin laki-laki.
Dalam pelaksanaan upacara Siraman Pengantin perempuan/laki-laki datang dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke tempat Siraman. Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki dengan kain batik, handuk, dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah Siraman. Dia mendudukkan di kursi dan berdoa. Orang pertama yang menyiramkan air ke pengantin adalah ayah. Ibu boleh menyiramkan setalah ayah. Setelah mereka, orang lain boleh melakukan Siraman. Orang terakhir yang melakukan Siraman adalah Pemaes atau orang sepesial yang telah ditunjuk. Pengantin perempuan/laki-laki duduk dengan kedua tangan di atas dada dengan posisi berdoa. Mereka menyiramkan air ke tangannya dan membersihkan mulutnya tiga kali. Kemudian mereka menyiramkan air ke atas kepala, wajah, telinga, leher, tangan dan kaki juga sebanyak tiga kali. Pemaes menggunakan tradisionil shampoo dan conditioner. Setelah Kendi itu kosong, Pemaes atau orang yang ditunjuk memecahkan kendi ke lantai dan berkata: 'Wis Pecah Pamore' - berarti dia itu tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).
Upacara Ngerik
Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin. Pemaes mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi pewangi (ratus) di seluruh rambutnya. Dia mengikat rambut ke belakang dan mengeraskannya (gelung). Setelah itu Pemaes membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap untuk di dandani. Pemaes sangat behati-hati dalam merias pengantin. Dandanan itu tergantun dari bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita memakai kebaya dan kain batik dengan motif Sidomukti atau Sidoasih. Itu adalah simbol dari kemakmuran hidup.

 Upacara Midodareni
Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat sama dengan Ijab dan Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang berarti Dewi. Pada malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi cantik sama seperti Dewi. Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan datang dari kayangan. Pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai tengah malam di temani dengan beberapa wanita yang dituakan. Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita akan datang berkunjung; semuanya harus wanita.
Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan untuk yang terakhir kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan bertanggung Jawab.
Yang harus diletakan di kamar pengantin :
• Satu set Kembar Mayang.
• Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras, kacang, dan lain-lain) di lapisi dengan kain Bango Tulak.
• Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi dengan daun dadap srep.
• Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan bunga) diletakan di bawah tempat tidur.
• Suruh Ayu (daun betel).
• Kacang Areca.
• Tujuh macam kain dengan corak letrek.
Di tengah malam semua sajen di ambil dari kamar. Keluarga dan tamu dapat makan bersama. Di kamar lain, keluarga dan teman dekat dari pengantin wanita bertemu dengan keluarga dari pengantin laki-laki.

 Peningsetan atau Srah-Srahan





Gambar 2.4 Upacara Srah-srahan
Peningsetan berasal dari kata singset (berarti ikatan). Kedua keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan. Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin perempuan. Mereka membawa hadiah:
• Suruh Ayu (daun betel), mengharapkan untuk keselamatan.
• Beberapa kain batik dengan corak berbeda, mengharapkan untuk kebahagiaan dan kehidupan yang baik.
• Kain Kebaya.
• Setagen putih untuk tanda kekuatan.
• Buah-buahan, mengharapkan kesehatan.
• Beras, gula, garam, minyak, dan lain-lain, tanda dasar kehidupan.
• Cincin untuk pasangan pengantin.
• Sumbangan uang untuk pesta pernikahan.

Dalam kesempatan ini, kedua keluarga beramah tamah. Hanya pengantin laki-laki tidak bisa bertamu ke kamar pengantin perempuan yang sudah bagus di dekorasi. Pengantin laki-laki tiba bersama dengan keluarganya, tetapi dia tidak boleh masuk ke rumah. Hanya keluarganya boleh masuk ke rumah. Dia duduk di serambi depan rumah bersama dengan beberapa teman dan keluarga. Selama itu, dia hanya diberi segelas air dan tidak boleh merokok. Dia boleh makan hanya setelah malam hari. Dengan maksud agar dia bisa menahan lapar dan godaan. Sebelum keluarganya meninggalkan rumah, utusan dari keluarga pengnatin laki-laki mengatakan kepada tuan rumah bahwa mereka akan mengambil alih tanggungJawab pengantin laki-laki. Utusan menyatakan bahwa pengantin laki-laki tidak kembali ke rumah. Setelah pengunjung meninggalkan rumah, pengantin laki-laki boleh masuk ke rumah, tetapi tidak ke kamar pengantin. Orangtua dari pengantin perempuan akan mengurus penginapannya.
Itu disebut Nyantri. Nyantri dilakukan untuk keamanan dan praktisnya, dengan pertimbangan bahwa besok dia harus berpakaian pengantin dan siap untuk Ijab dan upacara pernikahan lain.
 Upacara Ijab
Upacara ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Tempat di adakan Ijab diletakan Sanggan atau Sajen disekitarnya. Pengantin wanita dengan gelungan, minyak rambut mengkilap, perhiasan emas dan kebaya untuk saat ini. Pengantin laki-laki juga berpakaian khusus untuk upacara ini. Pasangan pengantin muncul terbaik. Mereka dihormati seperti Raja dan Ratu di hari itu.





Gambar 2.5 Upacara Ijab
Setelah selesainya rangkaian persiapan maka dilanjutkan dengan upacara perkawinan. Upacara perkawinan menurut adat Jawa terdiri dari beberapa tahapan yaitu :
 Upacara Panggih
Suara sangat bagus dan mistik dari Gamelan digabungkan dengan tradisi Panggih atau Temu: pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub. Pengantin laki-laki di antar oleh keluarga dekatnya (tetapi bukan orangtuanya karena mereka tidak boleh berada selama upacara), tiba di rumah dari orangtua pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita, di antar oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya. Di depannya dua puteri disebut Patah, dengan membawa kipas. Dua wanita dituakan atau dua putera membawa dua Kembar Mayang yang tingginya sekitar satu meter atau lebih. Satu orang wanita dari keluarga pengantin laki-laki berjalan keluar dari barisan dan memberi Sanggan ke ibu pengantin perempuan, sebagai tanda dari penghargaan kepada tuan rumah dari upacara. Selama upacara Panggih, Kembar Mayang di bawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah, melukiskan bahwa setan tidak akan menggangu selama upacara di rumah dan di sekitarnya. Untuk dekorasi, dua Kembar Mayang diletakan di samping kanan dan kiri dari kursi pasangan pengantin. Dekorasi itu hanya digunakan bila pasangan pengantin sebelumnya tidak pernah menikah.
 Upacara Balangan Suruh
Pengantin wanita bertemu dengan pengantin laki-laki. Mereka mendekati satu sama lain, jaraknya sekitar tiga meter. Mereka mulia melempar sebundel daun betel dengan jeruk di dalamnya bersama dengan benang putih. Mereka melakukannya dengan keinginan besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain, itu akan mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau perempuan.
 Upacara Wiji Dadi
Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air dicampur dengan bermacam bunga. Itu melukiskan bahwa pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah yang bertangung Jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya.





Gambar 2.6 Upacara Wiji Dadi
 Upacara Sindur Binayang





Gambar 2.7 Upacara Sindur Binayang
Setelah upacara Wiji Dadi, ayah pengantin perempuan mengantar pasangan pengantin ke kursi pengantin, ibu pengantin perempuan menutup pundak pasangan pengantin dengan Sindur. Itu berarti bahwa ayah akan menunjukan jalan kebahagiaan. Ibu memberi dorongan moral.
 Upacara Timbang




Gambar 2.8 Upacara Timbang
Kedua pasangan pengantin duduk di atas pangkuan ayah dari pengantin wanita, sementara dia bicara bahwa mereka sama beratnya, berarti dia cinta mereka sederajat.
 Upacara Tanem
Ayah pengantin wanita mendudukan pasangan pengantin ke kursi pengantin. Itu melukiskan bahwa dia menyetujui perkawinan. Dia memberi restu.
 Upacara Tukar Kalpika
Pertukaran cincin pengantin simbol dari tanda cinta.

 Upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya





Gambar 2.9 Upacara Kacar-Kucur

Dengan dibantu oleh Pemaes, pasangan pengantin berjalan bergandengan tangan dengan jari kelingking ke tempat upacara Kacar Kucur atau Tampa Kaya. Di sana, pengantin perempuan mendapat dari pengantin laki-laki beberapa kedelai, kacang, padi, jagung, beras kuning, jamu dlingo benglé, bunga, dan beberapa mata uang yang berbeda nilainya (jumlah dari mata uang harus genap). Itu melukiskan bahwa suami akan memberi semua gajinya ke istrinya. Pengantin perempuan sangat berhati-hati dalam menerima pemberiannya di dalam kain putih, di atas tikar yang sudah diletakan di pangkuannya. Dia akan mengurus dan menjadi ibu rumah tangga yang baik.
 Upacara Dahar Klimah atau Dahar Kembul





Gambar 2.10 Upacara dahar klimah
Pasangan pengantin makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Pemaes, menjadi pemimpin dari upacara, memberi piring ke pengantin wanita (dengan nasi kuning, dadar telur, tahu, tempe, abon dan hati ayam). Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya. Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lain.
 Upacara Mertui
Orangtua pengantin wanita menjemput orangtua pengantin laki-laki di depan rumah. Mereka berjalan bersama menuju ke tempat upacara. Kedua ibu berjalan di depan, dan kedua ayah berjalan di belakang. Orangtua dari pengantin laki-laki duduk di sebelah kiri dari pasangan pengantin. Orangtua dari pengantin perempuan duduk di sebelah kanan dari pasangan pengantin.
 Upacara Sungkeman





Gambar 2.11 Upacara Sungkeman
Mereka bersujud untuk mohon doa restu dari orangtua mereka. Pertama ke orangtua pengantin wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya. Orantua pasangan pengantin memakai motif batik yang sama (Truntum), berarti pasangan akan selalu mempunyai cukup keuntungan untuk hidup baik, mereka juga memakai Sindur seperti ikat pinggang. Warna merah dari Sindur dengan pinggir berliku berarti bahwa hidup itu seperti sungai mengalir di gunung. Orangtua mengantar mereka ke kehidupan nyata dan mereka akan membentuk keluarga yang kuat.
Setelah upacara Pernikahan, dilanjutkan dengan pesta resepsi. Pasangan pengantin baru bersama dengan orangtuanya menerima ucapan selamat dari para tamu. Bersamaan dengan itu, beberapa penari Jawa menpertunjukan (tari klasiek Gathot Kaca-Pergiwo, fragment dari cerita wayang atau tari lebih modern Karonsih). Semantara semua tamu menikmati pesta dan makan santapan, diiringi suara gamelan di ruang resepsi.






Gambar 2.12 Tari Klasiek
Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar, atau sama dengan lima hari sejak mereka dipertemukan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi di tempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten.
Selain masalah perkawinan, dalam adat Jawa juga diatur mengenai masalah perceraian (pegatan). Dalam hal ini, perceraian hanya bisa dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak, istri tidak dalam keadaan hamil dan di hadapan pengulu. Suami dapat menceraikan istrinya dengan menjatuhkan talak. Sedangkan sebaliknya istri pun berhak meminta cerai, yaitu dengan memberikan taklik. Apabila seorang istri meminta cerai sedangkan suaminya tidak bersedia maka istri mengadu kepada kaum yang akan meneruskan pengaduan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan. Akhirnya, Kantor Urusan Agama Kabupaten yang akan memberi keputusan.Pengaduan gugatan perceraian bertingkat-tingkat tersebut dinamakan rapak.
Apabila setelah bercerai, suami istri ingin rukun kembali sebelum melebihi jangka waktu seratus hari maka disebut rujuk, sedangkan apabila hal itu dijalankan melebihi batas waktu tersebut dinamakan balen. Baik rujuk maupun balen hanya bisa dilaksanakan sesudah talak sampai tiga kali, karena apabila sudah mencapai talak sebanyak tiga kali maka suami istri tersebut harus bercerai selamanya. Dalam hubingan ini sorang janda dapat bergaul dengan seorang laki-laki lain setelah lewat masa iddahnya, yang lamanya tiga bulan sepuluh hari atau tiga kali lingkaran haid.
Dalam sebuah keluarga (kulawarga atau keluarga-batih) Jawa kepala keluarga disebut somah. keluarga-batih dalam bentuk keluarga yang luas adalah suatu pengelompokan dari dua-tiga keluarga atau lebih dalam satu tempat tinggal. Suatu kekerabatan yang lain ialah sanak-sadulur yang terdiri dari orang-orang kerabat keturunan dari seorang nenek moyang sampai derajat ketiga. Selain itu terdapat kelompok kekerabatan lain yang disebut alurwaris. Kelompok ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya, yang tugasnya memelihara makam leluhur.
Setelah pernikahan pasangan pengantin Jawa bebas menentukan apakah ia akan menetap di sekitar tempat kediaman sendiri atau kerabat, atau mereka memilih untuk tinggal di tempat tinggal yang baru. Adat menetap sesudah nikah ada tiga sifat:
a. Utrolokal, artinya mempunyai tempat tinggal sendiri yang terlepas dari tempat menetap kerabat masing-masing pihak.
b. Neolokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat tempat kediaman kerabat suami.
c. Uxorilokal, apabila pasangan pengantin menetap di dekat tempat kediaman kerabat istri.
Dalam pembagian warisan harta peninggalan orang tua dikenal adanya 2 macam cara yaitu perdamaian dan sepikul segendongan. Menurut cara perdamaian, pembagian harta dilakukan melalui permusyawaratan antara para ahli waris. Biasanya orang tua cenderung memberikan rumah kediamannya kepada tabon, yaitu seorang anak laki-laki atau perempuanyang tetap tinggal di rumah bersama orang tua. Pemeliharaan benda pusaka diserahkan kepada anak laki-laki tertua, sedangkan ternak dibagikan sama sesuai jumlah yang ada.
Menurut cara sepikul segendongan, anak laki-laki ditetapkan mendapat bagian 2/3 sedangkan perempuan 1/3 dari seluruh jumlah warisan orang tua. Biasanya dipergunakan untuk pembagian warisan tanah pekarangan. Besarnya jumlah pembayaran pajak dituliskan dalam surat tanda pembayaran pajak yang disebut kohir (petuk) yang biasanya dipegang ahli waris yang paling tua.
Tanah pertanian (sawah) yang bisa diwariskan adalah sawah sanggan (milik pribadi) yang terdiri atas tiga macam yaitu:
a. Sawah gantungan, merupakan sawah bagian warisan dari seseorang yang pergi meninggalkan sawah tadi, sehingga harus dipelihara dan digarap oleh saudaranya sendiri, tetapi setelah ia datang hak dan kewajiban tanah pertanian itu kembali kepadanya.
b. Sawah dunungan, sesungguhnya belum menjadi harta warisan namun sudah ditunjuk kepada siapa masing-masing bagian sawah itu akan diberikan. Biasanya anak yang lebih tua mendapat bagian di sebelah barat dan anak yang muda di sebelah timur.
c. Sawah garapan, sawah ini juga belum menjadi benda warisan tetapi sudah diberi ijin dari orang tua untuk digarap oleh anak-anak atau menantu laki-lakinya dan setelah orang tua meninggal akan menjadi warisan bagi penggarapnya.
Dalam adat Jawa dikenal adanya pembedaan harta benda milik suami sendiri sebelum kawin (benda gawan) dan harta kekayaan yang diperoleh selama hidup bersama (benda gana gini) keduanya dapat diwariskan. Benda gawan kembali kepada kerabat masing-masing apabila suami istri tidak mempunyai anak, sedangkan benda gana gini baru dipersoalkan pembagiannya jika kedua orang tersebut bercerai, yaitu banda gana untuk suami dan banda gini untuk istri.

F. RELIGI
Agama Islam berkembang baik di kalangan masyarakat Jawa. Selain itu, terdapat pemeluk agama nasrani dan agama besar lainnya.Pemeluk agama Islam pada masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu :
• Islam Santri
Adalah penganut agama Islam Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya.
• Islam Kejawen
Penganut agama Islam ini beranggapan walaupun tidak menjalankan shalat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam. Kecuali itu mereka tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Tuhan mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi.
Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga mereka memiliki sikap nerima yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Selain itu, orang Jawa pada suatu kekuatan yang disebut kasakten, arwah atau roh leluhur, dan makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggalnya. Menurut kepercayaan makhluk halus tersebut dapat mendatangkan sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun keselamatan, namun sebaliknya mereka juga dapat menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Maka apabila seorang Jawa hidup tanpa menderita gangguan ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta, misalnya dengan berpuasa, pantang makan makanan tertentu, ber¬selamatan, dan bersaji.
Selamatan adalah upacara makan bersama yang makanannya telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan apapun. Upacara ini dipimpin oleh modin, yaitu seorang pegawai masjid yang berkewajiban mengumandangkan adzan karena dianggap mahir membaca do keselamatan dari dalam ayat-ayat Al Quran.
Upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam sesuai peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-hari, yakni:
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, serta upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya.
Upacara yang berhubungan dengan kematian serta saat sesudahnya dilakukan karena orang Jawa sangat menghormati arwah orang meninggal dunia, terutama keluarganya. Rangkaian upacara selamatan (sedekahan) yang ditujukan untuk menolong keselamatan roh nenek moyang tersebut di dalam akhirat ialah:
a. Sedekah Surtanah atau Geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang. Upacara adat ini diselenggarakan setelah acara penguburan jenazah. Tujuannya untuk memberikan doa supaya arwah dari orang yang meninggal itu mendapat pengampunan. Upacara surtanah ini diselenggarakan secara sederhana, yang hadir umumnya adalah saudara, tetangga yang dekat dan ulama yang diundang. Selain doa biasanya juga ada acara tahlilan yang dilanjutkan dengan mengaji bersama. Tidak ada undangna khusus untuk acara ini, umumnya tetangga hadir dengan membawa bahan-bahan panganan ( beras, telur, bahan untuk sayur, gula, kopi ataupun uang dan lain-lain )yang tujuannya untuk meringankan beban keluarga.
Inti dari upacara surtanah adalah berdoa, yang diutamakan untuk berdoa adalah putra-putri dari orang yang meninggal, saudara dekat, teman atau tetangga atau siapa saja yang mau ikut berdoa. Tidak ada acara kendhuren, jika ada hidangna yang disajikan itu hanya seadanya. Bisa juga jika keluarga yang ”kesripahan” ingin sodaqoh bisa dengan membuat makanan yang banyak atau menyiapkan besek untuk dibawa pulang yang hadir tapi itu tidak wajib. Yang dianjurkan adalah orang lain yang membawa bantuan untuk keluarga yang ”kesripahan”.
b. Sedekah Nelung dina ialah upacara selamatan kematian yang diselenggarakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang.
c. Sedekah Mitung dina ialah upacara selamatan saat sesudah menginggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh.
d. Sedekah Matangpuluh dina atau upacara keselamatan kematian seseorang pada hari keempat puluh.
e. Sedekah Nyatus yakni upacara keselamatan kematian yang diadakan sesudah hari keseratus sejak saat kematiannya.
f. Sedekah Mendak sepisan dan Mendak pindo, masing-masing upacara selamatan kematian yang dilakukan pada waktu sesudah satu tahun dan dua tahun dari saat meninggal seseorang.
g. Sedekah Nyewu, sebagai upacara selamatan sesudah kematian seseorang bertepatan dengan genap seribu harinya. Upacara juga disebut sedekah Nguwis-nguwisi artinya yang terakhir kalinya.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam
4. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu berkaitan dengan kejadian-kejadian, misalnya menempati rumah atau menolak bahaya (ngruwat).
Selain upacara selamatan, pada masyarakat Jawa juga dikenal adanya sesajen. Sesajen merupakan penyerahan sajian pada waktu dan di tempat tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat yang dipilih biasanya tempat yang dianggap keramat dan mengandung bahaya ghaib (angker)agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Sesajen merupakan ramuan tiga macam bunga (kembang telon) yang dimasukkan ke dalam air,kemenyan, uang recehan, dan kue apem yang ditaruh dalam besek ataupun bungkusan daun pisang kemudian ditempatkan di atas meja untuk dikutug. Ada sesajen yang dibuat pada tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Masyarakat Jawa juga mengenal adanya upacara sesaji panyadran agung yang dilakukan tiap tahun oleh keluarga Kraton Yogyakarta bertepatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau disebut juga Gerebeg Mulud.
Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris, gamelan,bahkan pada burung perkutut, kendaraan istana (kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada raksasa Batara Kala. Untuk kendaraan istana setiap setahun sekali pada hari Jumat Kliwon pada bulan Sura dibersihkan dengan upacara siraman yang dilakukan di dalam lingkunagn istana (Ratawijaya) secara terbuka. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, air bekas siraman tersebut dapat memberi berkah. Sedangkan Batara Kala adalah raksasa yang mempuyai kekuatan sakti untuk mendatangkan bencana pada benda atau manusia, sehingga orang Jawa yang mempunyai anak akan mengadakan ruwatan untuk menghindarkan anaknya dari bahaya. Ruwatan dilakukan oleh dukun, yang pandai menyembuhkan penyakit dan mengenyahkan ruh jahat. Ruwatan biasanya disrtai pertunjukkan wayang kulit sehari semalam dengan mengambil cerita Batara Kala.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa terdapat berbagai macam aliran kebatinan, yang macamya yaitu:
1. Gerakan atau aliran kebatinan yang keuaniyahan, yang percaya pada adanya ruh halus, atau badan halus, serta jin dan lain-lain.
2. Aliran yang keislam-islaman, yang ajarannya banyak mengambil unsur keimanan agama Islam, dengan syariat yang sengaja dibedakan dengan syariat Islam dan mengandung banyak unsur Hindu-Jawa.
3. Aliran kehindu-jawian, yang pengikutnya percaya kapada dewa agama Hindu
4. Aliran yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan Tuhan.
Contoh aliran kebatinan yang pernah berkembang di daerah selatan Yogyakarta misalnya ”ADARI” singkatan ”Agama Jawa Asli Republik Indonesia”, Hidup Betul, Hendra Pusara, Hidup Betul Iman Agama Hak, dan Parda Pusara Penitisan Rohani. Hampir semua gerakan kebatinan ini bertujuan menuju kesempurnaan hidup manusia.
Selain yang telah dijelaskan, terdapat upacara- upacara adat yang lain yaitu sebagai berikut :
• Sadran
Sadran merupakan Upacara masyarakat Jawa Baru (dan Madura serta mungkin juga Sunda) yang disebut dengan nama sadran atau bentuk verbal nyadran, merupakan reminisensi daripada upacara sraddha Hindu yang dilakukan pada jaman dahulukala.
Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran Islam berpuasa.
Upacara sadran ini dilakukan dengan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa yang tidak menganut ajaran Islam pula.
• Mitung Mbengeni
Mitung Mbengeni (berasal dari Bahasa Jawa: pitu: tujuh; bengi: malam) adalah sebuah prosesi yang dilakukan pada bayi pada malam ketujuh sejak kelahirannya. Mekanismenya hampir sama dengan prosesi tasyakuran biasa. Hanya pada menu makanannya ditambahin menu ngethingi.
Mitung mbengeni juga sebagai pertanda puput puser pada bayi. Untuk orang jaman dulu, puput puser dilakukan oleh seorang dukun bayi, dia sekaligus yang menolong proses persalinan sampai dengan perawatan selama sang ibu atau keluarga belum bisa memperlakukan bayi sebagaimana mestinya.
• Ngerak
Ngerak adalah sebuah tradisi memandikan anak kecil dengan umur dibawah 5 tahun, disebuah belik. Sebelum berangkat dari rumah, dilakukan prosesi iring-iringan, dengan menempatkan si anak didepan dengan posisi di gendong dengan menggunakan selendang berwarna kuning. Sesampainya di belik, kemudian dimandikan dengan kembang tujuh rupa oleh sesepuh setempat. Sesampainya dirumah, si anak di suruh menaiki piramida yang terbuat dari bambu yang berisi pernak-pernik, mulai dari permainan, sampai dengan makanan. Sedangkan yang paling menarik adalah seekor ayam panggang yang ditaruh disebelah kiri tas piramida. Uniknya, sebagian besar dari anak-anak peserta Ngerak tertarik untuk mengambil kaki ayam panggang tersebut. Entah sebuah kebetulan ataukah memang bermakna khusus.
• Mantu Poci
Mantu Poci adalah salah satu kebudayaan di wilayah Tegal (Jawa Tengah), dengan cara inti melangsungkan 'pesta perkawinan' antara sepasang poci tanah berukuran raksasa.
Mantu poci pada umumnya diselenggarakan oleh pasangan suami istri yang telah lama berumah tangga namun belum juga dikarunai keturunan. Seperti layaknya pesta perkawinan, mantu poci juga dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan undangan. Lengkap dengan dekorasi, sajian makanan, dan beraneka pementasan untuk menghibur para undangan yang hadir. Tak lupa pula, di pintu masuk ruang resepsi disediakan kotak sumbangan berbentuk rumah.
Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.
• Ruwatan
Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya. Upacara adat ini berasal dari buadaya adat Jawa kuna yang sifatnya sinkretis, tetapi sekarang diadaptasi dengan ajaran agama.





Gambar 2.13 Upacara ruwatan
Tradisi "upacara /ritual ruwatan" hingga kini masih dipergunakan orang Jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Tradisi ruwatan di Jawa ( Jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita Jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit.
Dalam tradisi Jawa orang yang keberadaannya mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian spermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung ". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Jenis manusia yang disukai Bathara Kala yaitu :
a. Yang akan mengalami penderitaan atau sukerta.
b. Yang lahir tunggal atau ontang-anting.
c. Kembang sepasang atau kembar.
d. Sendang kapit pancuran atau laki-laki, perempuan, laki-laki.
e. Uger-uger lawang atau dua anak laki-laki semua.
Sesajen yang perlu disiapkan untuk upacara ini adalah :
a. Kain pitung werna
b. Beras kuning
c. Jarum kuning
d. Kembang pitung rupa
Jika untuk tolak bala atau membuang sial orang yang mengalami sukerta, orang yang diruwat harus menjalani siraman air suci dan gunting rambut, rambutnya lalu dilarung di laut.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.
• Tumpeng
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai 'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi 'tumpengan' pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun pisang.
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali.
• Kutug
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh penganut ajaran tertentu, dengan tujuan agar mendapat lindungan, keselamatan dan berkah dari Syang Hyang Widi. Ritual ini biasanya dilakukan oleh kepala adat, dihari-hari tertentu.
• Ngethingi
Ngethingi merupakan tradisi tasyakuran sebagai bentuk atau moment peringatan terhadap seorang bayi ketika berusia tertentu. Ritualnya, sebuah keluarga yang dikaruniai tambahan jumlah anggota baru (melahirkan) wajib melaksanakan syukuran dengan selalu membuat masakan yang berbahan dasar sayur-sayuran (lebih tepatnya dan lazimnya yang digunakan adalah daun pepaya muda). Ada beberapa tahapan yang dilakukan oleh suatu keluarga dalam rangka ngethingi. Diantaranya adalah :
1. Mitung Mbengeni
2. Neloni
3. Mitoni
4. Nyetauni
5. Ngarotengahi
• Malam Satu Suro
Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penganggalan islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah islam dijaman etelah nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahum 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriyah dengan sistem Kalender Jawa pada waktu itu.

Tradisi Jawa
Malam hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual menjelang 1 Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian, warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu, atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.

Pantai Parangkusumo
Dari sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta, Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian saya untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah. Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya dapat dari penuturan warga sekitar.
Wayang dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat tradisional, pijat tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.

Wayang Kulit Semalam Suntuk







Gambar 2.14 Wayang Kulit
Tradisi dan warisan budaya Jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting, khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.
Dijubeli ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran wayang malam itu.

Cepuri Parangkusumo
Merupakan area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu pintu/gapura masuk.
Kembang, dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.
Diantara rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan Senopati dengan pakaian Jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin pengunjung lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru kunci sendiri duduk bersila tepat di depan gapura setelah pengunjung masuk. Tiap pengunjung yang masuk wajib menemui juru kunci dan menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan berdoa.
Rombongan peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah rombongan peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar. Mereka menggunakan pakaian Jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain putih dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.

Puro Pakualaman
Pagelaran wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di pelosok kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua” di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan malam satu Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan pesisir Parangkusumo, di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda. Selebihnya warung dan pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun tak lepas menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.
Bahkan, warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.
• Ngupat
Ngupat atau ngupati adalah salah satu upacara adat yang dilakukan saat calon ibu mengandung ( mbobot ) 4 bulan. Kata ”ngupat ” berasal dari kata papat ( 4 ) atau kupat. Tujuannya adalah untuk keselamatan calon bayi dan ibu atau untuk tolak bala jadi hampir sama seperti mitoni. Yang membedakan dengan upacara adat ”meteng” lainnya yaitu ada sajian kupat yang ditaruh didalam tempat yang biasa disebut ”besek” yang dibawa pulang oleh orang yang hadir pada acara kenduren.
Ngupati ini mengandung maksud sebagai lambang bahwa ”jabang bayi” sudah masuk dalam tahap keempat dalam proses penciptaan manusia.
Waktunya harus diselenggarakan pada hari yang baik menurut hitungan hari Jawa.
• Ngliman
Ngliman adalah salah satu upacara adat ”wetwngan” yang diselenggarakan ketika calon ibu mengandung lima bulan. Kata ”ngliman” berasal dari kata lima ( 5 ). Tujuan dari upacara adat ini adalah sama dengan ngupati yaitu upacara untuk keselamatan bayi dan calon ibu atau juga untuk tolak bala.
Upacara adat ini kurang dikenal pada daerah-daerah tertentu, berbeda dengan upacara adat ”mitoni” yang sudah umum dikenal oleh masyarakat Jawa dan juga dikenal oleh masyarakat nusantara.
• Mitoni atau Tingkeban
Mitoni berasal dari kata ”pitu” ( 7 ). Upacara adat ini diselenggarakan saat calon ibu mengandung 7 bulan. Tujuannya adalah untuk keselamatan calon bayi dan calon ibu dan juga untuk tolak bala. Di daerah tertentu upacara ini juga disebut tingkeban.
Jabang bayi yang berumur tujuh bulan itu sudah mempunyai raga yang sempurna. Jadi menurut orang Jawa ”wetengan” umur tujuh bulan itu proses penciptaan manusia itu sudah nyata dan sudah sempurna atau Sapta Kawasa Jati.
Rangkaian acara dari ”mitoni” adalah sebagai berikut :
Rangkaian acara untuk upacara mitoni ini lebih banyak daripada upacara ngupati, yaitu:
1) Siraman
2) Memasukkan telur ayam kampung didalam kain calon ibu oleh calon bapak.
3) Salin rasukan ( ganti baju )
4) Brojolan ( memasukkan kelapa gading muda ).
5) Memutus lawe atau lilitan benang ( janur ).
6) Memecahkan wajan dan gayung.
7) Mencuri telur.
8) Kenduren.
Waktu pelaksanaannya menurut orang Jawa mitoni itu harus diselenggarakan pada hari yang benar-benar bagus, yaitu hari senin siang sampai malam. Atau hari jumat siang sampai malam.
• Mendhem ari-ari
Mendhem ari-ari adalah salah satu upacara kelahiran yang umum diselenggarakan dan juga di daerah – daerah ( suku-suku ) lain. Ari-ari itu bagian penghubung antara ibu dan bayi waktu bayi masih didalam rahim. Istilah lain dari ari-ari adalah aruman atau embing-embing ( mbingmbing ).
Orang Jawa itu percaya bahwa bahwa ari-ari itu adalah salah satu dari ”sedulur papat” atau ”sedulur kembar” dari si bayi sehingga ari-ari harus dirawat dan dijaga. Yaitu tempat yang digunakan untuk memendham ari-ari diberi lampu (umumnya lampu senthir) untuk penerangan, ini menjadi simbol pepadadang untuk bayi. Senthir itu dihidupkan sampai 35 hari (selapan dina).
Tata caranya adalah sebagai berikut ;
1) Ari-ari dicuci sampai bersih dan dimasukkan kedalam kendhi atau batok kelapa.
2) Sebelum ari-ari dimasukkan alas kendhi diberi ”godhong senthe” lalu kendhi itu ditutup dengan lemper yang masih baru dan dibungkus kain mori.
3) Kendhi lalu digendong, dipayungi, dibawa ke lokasi penguburan.
4) Lokasi penguburan kendhi harus berada di sebelah kanan pintu utama rumah. Yang memendam kendhi harus bapak dari bayi.
• Brokohan
Brokohan adalah salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Upacara adat ini mempunyai makna sebagai ungkapan syukur dan sukacita karena kelahiran itu selamat. Brokohan itu asal katanya dari bahasa Arab yaitu ”barokah” yang artinya mengharapkan berkah.
Tujuannya adalah untuk keselamatan proses kelahiran juga untuk perlindungan terhadap bayi dan dengan harapan bayi yang lahir menjadi anak yang baik perilakunya.
Rangkaian acaranya diawali dari mendhem ari-ari yang dilanjutkan dengna bagi-bagi sesajen brokohan untuk saudara dan tetangga.
• Sepasaran
Adalah salah satu upacara adat Jawa waktu bayi berumur 5 hari. Upacara adat ini umumnya diselenggarakan secara sederhanatetapi jika bersamaan dengan pemberian anma bayi, upacara ini diselenggarakan secara lebih meriah. Kata sepasaran berasal dari kata sepasar. Umumnya diselenggarakan sore dengan acara kenduren dengan mengundang saudara dan tetangga. Suguhan yang disajikan umumnya adalah air minum dan ”jajan pasar” tetapi juga ada “besek” yang nantinya dibawa pulang.
• Puputan atau Dhautan
Puputan itu sebenarnya mempunyai makna ”tali puser bayi puput”. Jadi upacara ini diselenggarakan waktu bubar pupute dari pusar bayi. Biasanya ada upacara slametan di upacara puputan ini. Acaranya yaitu kendhuren, bancakan dan memberi nama bayi. Acara ini bagus diselenggarakan setelah maghrib.
• Tedhak siti atau Tedhak Siten
Tedhak siti adalah salah satu upacara adat untuk anak yang berumur 7 bulan. Upacara ini di daerah yang lain di nusantara juga ada, biasanya disebut ”injak tanah” di Jakarta atau juga disebut ”mudhun lemah”. Tedhak Siten itu berasal dari kata tedhak atau idhak dan siten ( dari kata siti yang berari lemah atau tanah ). Upacara ini sebagai lambang bahwa anak bersiap-siap menjalani hidup dengan dituntun orangtua dan diselanggarakan jika anak sudak berumur 7 selapan atau 245 hari ( 7 x 35 = 245 ).
Urutan kegiatannya :
1) Tedhak sega pitung warna
2) Mudhun tangga tebu
3) Ceker-ceker
4) Kurungan
5) Sebar udik-udik
6) Siraman
• Sedekah Bumi
Bersih desa adalah salah satu upacara adat Jawa yang diselenggarakan setelah selesainya panen padi, jadi maksudnya sebagai ungkapan syukur “tandhuran” padi berhasil panen dan hasilnya baik. Upacara adat ini kadang juga disebut upacara mreti desa dan biasanya digabung dengn upacara adat sedekah bumi atau mreti bumi. Setiap daerah mempunyai atat cara dan prosesi upacara yang berlainan menurut kebiasaan masing-masing tetapi tujuannya sama saja.
Pada jaman dahulu upacara adat ini dikaitkan dengan Dewi sri yang dianggap sebagai dewi Padi karena keberhasilan panen itu hasil kemurahan dari Dewi sri yang wajib disyukuri.
Tujuan dari mengadakan upacara ini adalah:
1) Untuk mengucapakan syukur kepada tuhanyang sudah memberi hasil panen padi yang melimpah.
2) Untuk menjaga keselamatan para warga desa dari gangguan hal-hal yang gaib, roh atau arwah yang gentayangan dan juga dari gangguan penyakit, serta bencana.
3) Untuk membersihkan desa dan warganya dari halangna atau kesusahan supaya keadaan desa menjadi tentram dan aman.
Prosesi
Umumnya dimulai setelah panen pertama. Lokasi upacara pertama di sawah yang sudah dilengkapi dengan ”ubo rampe’ yaitu janur kuning, kembang setaman, kemenyan, kaca, suri, banyu kendhi, jajan pasar, bungkusan nasi dan pisang. Setelah acara berdoa, padi yang sudah dipetik digotong ke lumbung padi. Di lumbung padi juga disiapkan perangkat upacara lanjutan yang umumnya dibuat dari daun. Diantaranya daunkluwih, dhadhap serep, godhong mojo, godhong tebu, godhong jati juga godhong luh. Masing-masing godhong ( daun ) itu mempunyai makna.
• Munggah wuwungan
Adalah salah satu upacara adat yang diselenggarakan setelah wuwungan dibangun dalam proses membangun rumah. Istilah munggah wuwungan ini biasanya disebut juga munggah gendheng. Upacara ini diselenggarakan saat rangka wuwungan sudah jadi tetapi gendeng belum dipasang. Upacara adat ini uga dikenal di daerah-daerah lain di Nusantara.
Upacara ini sebenarnya upacara untuk syukuran karena rumah yang dibangun sudah mempunyai wuwungan jadi sebentar lagi sudsh bisa dipake sehingga tidak akan kepanasan atau kehujanan. Puncak acaranya adalah kendhuren, diutamakan untuk tuakang-tukang yang membangun rumah dan para tetangga yang berada dekat dengan rumah yang dibangun. Acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh ulama. Biasanya acara kendhuren munggah wuwungan ini diselenggarakan siang atau setelah shalat dhuhur, jadi sekalian dengan makan siang para tukang dan jamaah serta ulama yang baru keluar dari masjid atau langgar bisa langsung ikut dan pulangnya bisa membawa besek.
Sesajen juga perlu disiapkan untuk digantung disalah satu kayu di wuwungan. Yang tidak digantung hanya bendhera merah putih yang dipasang dengan galah dengna panjang sedang 9 tidak terlalu panjang ), yang bisa kelihatan dari rumah tetangganya.
Sesajen yang harus disiapkan :
1) Gedhang setandan
2) Tebu ireng sewit
3) Pari secukupe
4) Kelapa seiji uga bendhera
• Grebeg Maulud
Perayaan Grebeg
Puncak peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. diperingati dengan penyelenggaraan upacara Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada tanggal 12 Maulud, atau pagi hari esoknya, setelah kedua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu dibawa masuk kembali ke dalam Kraton oleh masyarakat Yogyakarta, kejadian ini lazim disebut dengan istilah Bendhol Songsong. Pada pagi hari, pukul 08.00, upacara dimulai dengan parade kesatuan prajurit Kraton yang mengenakan pakaian kebesarannya masing-masing. Puncak dari upacara ini adalah iringan gunungan yang dibawa ke Masjid Agung .
Setelah di Masjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagian gunungan dibagi-bagikan pada masyarakat umum dengan jalan diperebutkan. Bagian-bagian dari gunungan ini umumnya dianggap akan memperkuat tekad dan memiliki daya tuah terutama bagi kaum petani, mereka menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak tanaman.
Selain upacara Grebeg Maulud, didalam satu kurun tahun Jawa terdapat upacara-upacara Grebeg yang lain, yakni Grebeg Syawal yang diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih masyarakat kepada Tuhan dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan hari Raya Qurban Idhul Adha.
• Upacara Jamasan
Bagi orang Jawa, benda-benda pun dianggap memiliki jiwa. Oleh karena itu, benda-benda itu harus diperlakukan istimewa yang nyaris sama seperti manusia itu sendiri. Mungkin saja ini masih dianggap sebagai animisme, tapi tentu saja orang Jawa akan menyangkalnya. Yang jelas, untuk benda-benda milik Keraton Yogyakarta seperti kereta, gamelan, maupun pusaka, semuanya memiliki nama seperti manusia. Ada Kiai Sangkelat, Kiai Nagasasra (keris), Kiai Guntur Madu (gamelan), ada pula Kanjeng Nyai Jimat dan Kyai Puspakamanik (kereta). Di Keraton Yogyakarta, benda-benda itu selalu dicuci yang diistilahkan dengan nama dijamasi pada bulan Sura (Muharam) dan selalu pada hari istimewa Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon.
Cara jamasan itu sendiri juga khas. Semua yang terlibat dalam ritual itu harus mengenakan pakaian adat Jawa peranakan. Mereka, semuanya laki-laki, mengenakan kain panjang, surjan, dan penutup kepala blangkon. Mereka berbusana seperti itu karena mereka akan menjamasi sebuah kereta. Kereta ini dibuat pada tahun 1750-an, semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, diberi nama Kanjeng Nyai Jimat. Kereta itu menjadi tunggangan Sultan Hamengku Buwono I sampai III. Kereta itulah yang setiap bulan Sura selalu dijamasi karena dianggap sebagai kereta cikal-bakal kereta lainnya. Berbentuk anggun, bergaya kereta kerajaan-kerajaan Eropa, beroda empat, dua buah yang besar di belakang, dan dua buah di depan agak kecil, diperkirakan ditarik oleh enam sampai delapan kuda. Sebuah simbol kewibawaan seorang raja. Kereta yang penuh ukiran itu sendiri memiliki pintu dan atap sehingga mirip mobil. Kereta itu tersimpan di dalam Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Di sana ada sekitar selusin kereta yang sebagian besar masih bisa digunakan. Setiap Kanjeng Nyai Jimat dijamasi, dan dia selalu ditemani oleh salah sebuah kereta lain yang dipilih secara bergantian setiap tahunnya.
Kemudian ada Kyai Puspakamanik, sebuah kereta hadiah dari Kerajaan Belanda yang dibuat pada tahun 1901. Kereta itu menjadi tumpangan para pangeran pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Jamasan biasanya seorang pejabat keraton yang khusus menangani masalah perawatan kereta.
Proses pencucian kereta ini memiliki nilai wisata ritual magis religius. Sehingga banyak orang rela berebut bekas air cucian kereta dengan cara menampung aliran air dari badan kereta dan memasukkan air bekas cucian itu ke dalam botol bekas air kemasan maupun jerigen. hal ini dikarenakan masyarakat Jawa percaya bahwa air ini akan membawa berkah bagi mereka, karena mereka percaya bahwa air ini mengandung hal gaib/sakti karena pemiliknya merupakan orang yang sakti.
Sebenarnya, di samping jamasan kereta, di dalam keraton juga ada jamasan pusaka. Akan tetapi, jamasan pusaka itu tidak boleh dilihat oleh umum. Misteri jamasan pusaka itu sendiri akhirnya memang tinggal misteri yang dipelihara turun-temurun. Semisteri pusaka yang dipercayai memiliki kekuatan supra natural itu sendiri.
• Upacara Labuhan
Selain itu terdapat pula Upacara Labuhan yang merupakan rangkaian dari Tradisi 1 Sura. Dimana pagi hari sesudah malam 1 Sura maka diadakan Upacara labuhan yaitu dengan mempersembahkan pakaian wanita , alat-alat rias, sirih, bunga dan lain-lain ke laut selatan , sebagai bentuk permohonan untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Ratu Kidul Penguasa laut Selatan . Berbagai pakaian bekas yang pernah dipergunakan oleh Sri Sultan, potongan rambut serta potongan kuku beliau ditanam di dalam areal tanah sengker (suatu areal tanah yang dianggap keramat di daerah Parangkusumo). Sehingga bisa dikatakan bahwa kedua upacara ini yaitu tradisi malam 1 Suro dan Upacara Labuhan merupakan 2 hal yang saling berkaitan di dalam tradisi Kraton Yogyakarta.

G. PRODUK BUDAYA
H.1 Seni Tari
Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan.
Seni tari dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Tari Klasik
2. Tari Tradisional
3. Tari garapan Baru
Beberapa jenis tari yang ada antara lain :
1. TARI KLASIK
• Tari Bedhaya
Pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan dengan jumlah Wali Sanga. Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya berfungsi menjamu tamu raja dan menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara keperluan adat di lingkungan Istana. Disamping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang bertema kepahlawanan dan bersifat monumental.





Gambar 2.15 Tari Bedhaya
• Tari Srimpi
Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan : air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga melambangkan empat penjuru mata angin. Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir Mendhung.





Gambar 2.16 Tari Serimpi
• Tari Bondan
Tari ini dibagi menjadi :
o Bondan Cindogo
o Bondan Mardisiwi
o Bondan Pegunungan atau tani
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira, mengungkapkan rasa kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi pada Bondan Cindogo satu-satunya anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan Mardisiwi tidak, dan perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi seperti pada Bondan Cindogo.





Gambar 2.17 Tari Bondan
Sedangkan Bondan Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap.
2. TARI TRADISIONAL
Beberapa contoh kesenian tradisional :
o Obeg dan Begalan, di Cilacap
Pemain Obeg ini terdiri dari beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu (kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang atau dukun yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar. Di daerah lain dikenal dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, jathilan (Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas. Disebut begalan karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa Jawa disebut begal. Biasanya usai pertunjukan, barang-barang yang dipikul diperebutkan para penonton. Sayangnya pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu lama karena masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.
o Lengger dari Wonosobo
Dimainkan oleh dua orang laki-laki yang masing-masing berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi dengan bunyi-bunyian yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa. Tarian ini mengisahkan ceritera Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya yang pergi tanpa pamit. Dalam pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang digambarkan memakai topeng. Pada puncak tarian penari mencapai keadaan tidak sadar.

3.TARI GARAPAN BARU
Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional.
Sebagai contoh :
o Tari prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng sebagai alat untuk melindungi diri.
o Tari Tepak-Tepak Putri

H.2 Seni Musik
Beberapa jenis alat musik yang terdapat di Jawa, diantaranya :
GAMELAN JAWA
Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Seperangkat gamelan tersebut diantaranya :
1) Kendang
Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor dari musik gamelan. Ada 5 ukuran kendang dari 20 cm - 45 cm.





Gambar 2.18 Kendang
2) Gambang
Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.




Gambar 2.19 Gambang


3) Gong
Setiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm, terbuat dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya panjang.





Gambar 2.20 Gong
4) Clempung
sebuah instrument kecil, dimana setiap satu set slendro dan pelog membutuhkan satu clempung.





Gambar 2.21 Clempung
5) Suling
Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.




6) Rebab
Sejenis Alat musik gesek.






Gambar 2.23 Rebab
H.3 Kalender Jawa
Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, mengubah penanggalan Saka menjadi Kalender Jawa ini.
A. Daftar bulan Jawa Islam
Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. nama bulannya antara lain :
1. Sura 5. Jumadilawal 9. Poso (siyam)
2. Sapar 6. Jumadilakhir 10. Sawal
3. Mulud 7. Rejeb 11.Sela(Dulkangidah)
4.Bakdamulud 8. Ruwah (Saban) 12.Besar (Dulkijah)

B. Daftar bulan Jawa matahari
Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV .Daftar nama dan lama setiap mangsa berbeda-beda antara lain :

I. Kasa / Kartika (23 Juni-2 Agustus) VII. Kapitu / Palguna (23 Desember-3 Februari)
II. Karo / Pusa (3 Agustus-25 Agustus) VIII. Kawolu / Wisaka (4 Februari-1 Maret)
III. Katiga / Manggasri (26 Agustus-18 September) IX. Kasanga / Jita (2 Maret-26 Maret)
IV. Kapat / Setra (19 September-13 Okober) X. Kasepuluh / Srawana (27 Maret-19 April)
V. Kalima / Manggala (14 Oktober-9 November) XI. Kasewelas / Sadha (20 April-12 Mei)
VI. Kanem / Maya (10 November-22 Desember) XII. Karolas / Asuji (13 Mei-22Juni)

C. Pembagian pekan
Pekan yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan terdiri dari hari-hari: Legi, Paing, Pon, Wage, dan Kliwon
Sistim Penanggalan Jawa disebut juga Penanggalan Jawa Candrasangkala atau perhitungan penanggalan berdasarkan peredaran Bulan mengitari Bumi. Namun, ada perbedaan antara system perhitungan penanggalan Jawa dengan penanggalan Hijriah yaitu pada saat penetapan pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan. Jawa menetapkan bahwa pergantian hari ketika pergantian sasi waktunya adalah tetap yaitu pada saat matahari terbenam (surup-antara pukul 17.00 sampai dengan 18.00), sedangkan pergantian hari ketika pergantian sasi/bulan pada penanggalan Hijriah ditentukan dengan Hilal dan Rukyat.

H.4 Rumah Adat
Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang. Rumah Jawa adalah arsitektur tradisional Jawa yang berkembang sejak abad ke-13 terdiri atas 5 tipe dasar (pokok) yaitu :

1. Joglo (atap joglo) atau Tikelan, yaitu bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. Bentuk Rumah Joglo: Memiliki ciri; atap terdiri dari 4 (empat) buah sisi soko guru dengan pemidangannya (alengnya) dan berblandar tumpang sari. Bangunan ini umumnya dipergunakan sebagai pendopo dan juga untuk tempat tinggal (dalem).
2. Limasan (atap limas), yaitu bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya. Bentuk rumah Limasan: Terutama terlihat pada atapnya yang memiliki 4 (empat) buah bidang sisi, memakai dudur. Kebanyakan untuk tempat tinggal.







Gambar 2.24 Limasan







Gambar 2.25 Joglo
3. Kampung (atap pelana), yaitu bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja. Bentuk Rumah Kampung : Umumnya sebagai tempat tinggal, baik di kota maupun di desa dan di gunung-gunung. Perkembangan dari bentuk ini juga dipergunakan sebagai tempat tinggal
4. Panggang Pe, yaitu bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
Bentuk Rumah Panggang-pe :Banyak kita jumpai sebagai tempat jualan minuman, nasi dan lain-lainnya yang terdapat di tepi jalan. Apabila diperkembangkan dapat berfungsi sebagai tempat ronda, tempat mobil / garasi, pabrik, dan sebagainya
5. Mesjidan/Tajugan, yaitu bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing.
Bentuk Rumah Tajug :Ciri utamanya pada atap berbentuk runcing, soko guru dengan blandar-blandar tumpang sari, berdenah bujur sangkar, lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Dipergunakan sebagai tempat suci, semisal : Masjid, tempat raja bertahta, makam. Tidak ada yang untuk tempat tinggal.
Bahan bangunan rumah Jawa ialah terutama dari kayu jati. Di samping itu arsitektur Jawa memiliki ketahanan yang cukup handal terhadap gempa. Tata ruang dan struktur yang cocok untuk daerah beriklim tropis yang sering mengalami gempa dan sesuai untuk peri kehidupan manusia yang memiliki kepribadian senang berada di udara terbuka. Halaman yang lega dengan perkerasan pasir atau kerikil sangat bermanfaat untuk penyerapan air hujan. Sedangkan pepohonan yang ditanam seringkali memiliki sasraguna (multi fungsi), yaitu sebagai peneduh, penyaring debu, peredam angin dan suara, juga sebagai sumber pangan bagi manusia dan binatang bahkan sering pula dimanfaatkan untuk obat tradisional.
Bangunan rumah yang lain terdiri dari: pendhapa, terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah buri) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Disamping bangunan rumah tersebut, tempat tinggal (rumah) masih dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.


H.5 Karya Sastra
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri, Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna). Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya.
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
A. Sastra Jawa Kuna
Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini berisi tentang sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuna diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuna jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks
B. Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa:
C. Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah.


D. Sastra Jawa Modern
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya.

H.6 Wayang
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa¬yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.
1. Wayang Kulit di Jawa Timur
2. Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah,
3. Wayang Golek di Jawa Barat
Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".




Gambar 2.26 Wayang Kulit







Gambar 2.27 Wayang wong






Gambar 2.28 Wayang Golek
H.7 Pakaian Adat / Rasukan adat jawa
Rasukan adat Jawa atau pakaian adat Jawa yang umumnya disebut rasukan kejawen yang sudah ada sejak jaman dahulu dan mulai terbentuk lengkap pada jaman kerajaan demak. Masing-masing jenis rasukan Jawa ini mempunyai makna perumpamaan atau melambangakn nilai-nilai luhur filosofi Jawa.
Pada umumnya rasukan Jawa dibagi menjadi 4 bagian yaitu;
• 1 Bagian ndhuwur/bagian atas (Penutup Kepala)
 Iket dan blangkon
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk bagian kepala selain menggunakan blangkon biasanya orang Jawa kuna (tradisional) mengenakan "iket" yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus kenceng (kuat) supaya ikatan tidak mudah terlepas. Makna iket dimaksudkan manusia seyogyanya mempunyai pemikiran yang kenceng, tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang.
• 2 Bagian tengah (bagian tengah)
 Beskap
Busana kejawen seperti beskap selalu dilengkapi dengan benik (kancing baju) disebelah kiri dan kanan. Lambang yang tersirat dalam benik itu adalah agar orang (Jawa) dalam melakukan semua tindakannya apapun selalu diniknik, diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain, dapat , menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
 Jarik lan wiron utawa wiru
Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap orang lain). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati, tidak grusa-grusu (emosional). Wiru Jarik atau kain dikenakan selalu dengan cara mewiru (meripel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron ( rimple ) diperoleh dengan cara melipat-lipat (mewiru). Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan wiwiren aja nganti kleru, kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis.
 Sabuk
Sabuk (ikat pinggang) dikenakan dengan cara dilingkarkan (diubetkan) ke badan. Ajaran ini tersirat dari sabuk tersebut adalah bahwa harus bersedia untuk tekun berkarya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itulah manusia harus ubed (bekerja dengan sungguh-sungguh) dan jangan sampai kerjanya tidak ada hasil atau buk (impas/tidak ada keuntungan). Kata sabuk berarti usahakanlah agar segala yang dilakukan tidak ngebukne. Jadi harus ubed atau gigih.
• 3 Bagian mburi (bagian belakang)
 Curiga atau keris dan rangka
Curiga atau keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat di dalam warangka atau wadahnya. Curiga dikenakan di bagian belakang badan. Keris ini mempunyai pralambang bahwa keris sekaligus warangka sebagaimana manusia sebagai ciptaan dan penciptanya Yatu Allah Yang Maha Kuasa, manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa untuk ngungkurake godhaning (mengalahkan godaan) setan yang senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak kebaikan.
• 4 Bagian ngisor (bagain bawah)
 Canela yaitu: cripu, selop atau sandal
Canela mempunyai arti "Canthelna jroning nala" (peganglah kuat dalam hatimu) canela sama artinya Cripu, Selop, atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-NYA. Dalam hati hanyalah sumeleh (pasrah) kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Batik
Darimanakah kata Batik ? Batik adalah kata dari bahasa Indonesia, tepatnya Ambatik (bahasa Jawa yang berarti menggambar dan melukis), sehingga batik adalah asli dari Indonesia walaupun banyak beredar sekarang batik Malaysia sampai Myanmar. Batik pada prinsipnya merupakan proses pencelupan dan pencucian dan menggunakan malam sebagai bahan dasar. Kata ""tik" dari "setitik" berarti sedikit menggambarkan proses yang bertingkat sedikit demi sedikit. Batik merupakan busana hasil kerajinan rakyat dimana batik dibuat dengan menggunakan cara tradisional dan cara modern. "Falsafah batik sebenarnya berakar pada petani, yang dibawa masuk ke keraton, lalu diperbaiki dan diperhalus. Baru kemudian timbul falsafah batik yang tidak berpijak pada pertanian."




Gambar 2.29 Batik
Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain, canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.
H.8 Keris
Keris atau tosan aji adalah salah satu senjata tradisional masyarakat Jawa serta menjadi salah satu lambang utama seorang laki-laki. Keriss mempunyai makna jantan perkasa dan dewasa, atau laki-laki Jawa itu harus tangguh, sanggup melindungi diri sendiri, keluarga dan membela Negara. Keris, atau pisau belati, adalah hasil kegaiban yang lain dari Jawa kuno. Keris adalah bagian integral dari upacara Jawa. Keris dipakai oleh lelaki untuk peristiwa penting dan tatacara tradisionil.






Gambar 2.30 Keris
Bagian-bagian keris
Keris mempunyai tiga bagian utama, masing masing bagain mempunyai bagian-bagian lagi yang lebih detil yang biasanya berupa ukiran. Ukiran pada bagian-bagian keris Jawa mempunyai makna dan karakter yang berbeda-beda.
Bagian-bagian keris itu antara lain;
• Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris. Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk, banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13).
• Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris, adalah komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Fungsi warangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya.
• Gaman
Merupakan pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.
Pamor Keris
Pamor merupakan hiasan atau motif atau ornamen yang terdapat pada bilah tosan aji (Keris, Tombak, Pedang atau Wedung dan lain lainnya). Hiasan ini dibentuk bukan karena diukir atau diserasah (Inlay) atau dilapis tetapi karena teknik tempaan yang menyatukan beberapa unsure logam yang berlainan.

H.9 Makanan Khas
 Makanan khas Jawa Timur diantaranya adalah: Tahu Campur Lamongan, Madu mongso, Rujak Cingur, Rawon dan rujak peti.
 Makanan khas Jawa Tengah diantaranya adalah: Mangut, Pindang Tempe, Jenang Waluh, Jadah, Kerupuk Bakar, Gula Semut, Kupat Tahu.
 Makanan khas Yogyakarta diantaranya adalah Gudeg, Nasi pecel, Opor ayam, Tongseng, Tumpeng, Mangut lele, Geplak, Bakpia.

H.10 Ketoprak dan Ludruk
Ketoprak (bahasa Jawa kethoprak) adalah sejenis seni pentas yang berasal dari Jawa. Dalam sebuah pentasan ketoprak, sandiwara yang diselingi dengan lagu-lagu Jawa, yang diiringi dengan gamelan disajikan. Tema cerita dalam sebuah pertunjukan ketoprak bermacam-macam. Biasanya diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa.








Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.

H.11 Reog
Reog adalah salah satu seni yang ada di Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Di daerah ini kondisi sosio kultural masih sangat kental dengan hal-hal yang dianggap magis dan dapat mereka buktikan dengan kemampuan mereka (masyarakat Ponorogo) dan Religi/Kebatinan yang sangat kuat.






Gambar 2.32 Reog
Pementasan Seni Reog
Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
H.12 LAGU ADAT JAWA
MACAPAT
Adalah lagu tradisional dari tanah Jawa. Macapat juga menular ke kebudayaan Bali, madura dan Sunda. Jika dilihat dari ”kerata basa”, macapat artinya ”maca papat-papat”. Membacanya memang dirakit tiap empat suku kata. Lagu ini mulai ada di jaman Majapahit, dan dimulai saat walisanga memegang kekuasaan. Aturan-aturan pada macapat itu lebih mudah. Kitab-kitab pada jaman Mataram Baru, seperti wedathama, Wulangreh, Serat Wirid Hidayat Jati, Kalathida, dan yang lain-lain disusun dengna lagu ini.
Aturan – aturan itu ada pada :
• Guru gatra : bilangan baris/gatra tiap bait.
• Guru wilangan : bilangan suku kata tiap gatra.
• Guru lagu : suara vokal di akhir tiap baris.
Macapat bisa dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
1. Sekar Macapat atau Sekar Alit
2. Sekar Madya atau Sekar Tengahan
3. Sekar Ageng

LAGU-LAGU LAIN SELAIN MACAPAT
Kumpulan lagu (Jawa)
 ANDE ANDE LUMUT
 YEN ING TAWANG ANA LINTANG
 CUBLAK CUBLAK SUWENG
 LIR-ILIR
 SUWE ORA JAMU



BAB III
PENUTUP

Kebudayaan Jawa merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia yang memiliki nilai yang sangat luhur bersama dengan kebudayaan bangsa Indonesia lainnya. Oleh kerenanya, sudah layak apabila kita mengetahui serta memahami kebudayaan Jawa agar tercapai pemahaman yang tepat mengenai kebudayaan Jawa. Hendaknya patut digaris bawahi bahwa kata “memahami” merupakan sesuatu yang amat penting untuk dapat memperoleh pandangan yang benar dan jelas mengenai kebudayaan Jawa itu sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya tidaklah cukup apabila kita ingin memahami kebudayaan Jawa dalam waktu yang singkat tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dan mendalam. Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan usaha kami untuk menyediakan berbagai pengetahuan seputar kebudayaan Jawa
Secara khusus pula makalah ini kami buat untuk teman-teman di lingkungan Kampus STAN yang memiliki latar belakang bukan dari budaya Jawa untuk menambah pengetahuan sekaligus sebagai bekal bagi teman-teman di lingkungan kerja nanti, supaya kita dapat berkomunikasi lintas budaya. Dan akhirnya, sesungguhnya makalah ini jauh dari lengkap dan mendalam mengenai kebudayaan Jawa. Kami meminta maaf apabila di dalam makalah ini ada pernyataan yang kurang berkenan di hati teman-teman. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Soemargoro, K. 2004. Buku Profil Provinsi RI. Jakarta: PT Intermasa.

Twikromo, Y Argo. 2006. Mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Yogyakarta: Nindia Pustaka.

http://id.wikipedia.org

http://heritageofjava.com

www.sekarjagad.org

0 komentar: