November 13, 2008

Kebudayaan Bali

Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.

Penduduk Bali asli adalah sebagian besar suku Bali menganut agama Hindu Dharma yang sangat terikat pada segi-segi kehidupan sosial, yaitu:
1. Pada kewajiban melakukan pemujaan terhadap pura tertentu
2. Pada satu tempat tinggal bersama atau komunitas
3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam subak tertentu
4. Pada satu status sosial atas dasar warna
5. Pada ikatan kekerabatan menurut prinsip patrilineal
6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu
7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu

Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dahulu menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di Bali, yaitu Masyarakat Bali-Aga dan Bali-Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali-Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Sekarang ini komunikasi modern, pendidikan, serta proses modernisasi telah membawa banyak perubahan-perubahan juga dalam masyarakat dan kebudayaan di desa-desa tersebut. Orang Bali-Majapahit yang pada umumnya diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali. Kecuali di pulau Bali, ada juga orang Bali di bagian barat dari Pulau Lombok, sedangkan usaha transmigrasi oleh pemerintah telah menyebarkan mereka ke daerah-daerah lain seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Leluhur orang Bali masuk ke Bali dalam tiga periode: gelombang pertama adalah suku proto-Melayu yang datang dari Jawa dan Kalimantan pada zaman prasejarah; gelombang kedua adalah migrasi sedikit demi sedikit dari Jawa pada zaman Hindu; gelombang ketiga dan terakhir juga datang dari Jawa sekitar abad ke-15 dan 16, masa konversi Islam di Pulau Jawa, para aristrokrat Jawa terutama dari Kerajaan Majapahit melarikan diri dari ke Bali untuk menghindari pengkonversion Islam, merekalah yang akhirnya membentuk kultur Bali yang merupakan suatu bentuk sinkretisasi dari kultur Jawa klasik dengan banyak tambahan elemen Bali. Kenyataannya memang leluhur suku Bali kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.


1.1. Identifikasi Geografi

Secara geografis Bali terletak diantara dua lautan luas yaitu Samudra Indonesia dan Laut Jawa dan diapit oleh Pulau Jawa disebelah barat dan Pulau Lombok di sebelah timur. Bali merupakan bagian dari Kepulauan Sunda Kecil. Pulau Bali yang mempunyai panjang 153 km dan lebar 112 km secara astronomi terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur

Pulau Bali dikeliling oleh beberapa pulau kecil-kecil seperti Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan yang terletak di selatan Pulau Bali dan Pulau Manjangan yang terletak di utara Pulau Bali. Pulau Nusa Penida merupakan pulau terbesar kedua jaraknya sekitar sembilan km dari pantai selatan Pulau Bali.

Pulau Bali yang terletak di deretan pegunungan api terdapat gunung berapi yang masih aktif diantaranya Gunung Agung dan Gunung Batur. Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung Agung pernah meletus tahun 1963 yang menyebabkan hujan abu di sebagian besar Pulau Bali. Sedangkan Gunung Batur terakhir meletus tahun 1994 dimana letusannya tidak begitu besar.

Deretan pegunungan di Pulau Bali terletak di sebelah utara pulau, sehingga daerah utara Pulau Bali sebagian besar dataran tinggi. Berbeda dengan bagian utara, bagian selatan merupakan daerah dataran rendah yang subur. Keindahan dataran tinggi dengan pegunungan dan lembahnya juga dihiasi dengan danau. Ada beberapa danau di Bali yaitu Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Danau terbesar adalah Danau Batur yang letaknya di Kabupaten Bangli.

Karena letaknya disekitar 8° Lintang Selatan, Bali mempunyai iklim tropis jadi sepanjang tahun ada matahari. Umumnya daerah yang beriklim tropis mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim panas. Di mana musim hujan biasanya jatuh sekitar bulan Nopember sampai bulan Maret dan musim kemarau jatuh sekitar bulan April sampai Oktober.

Pulau Bali yang beriklim tropis mempunyai beraneka ragam flora dan fauna. Sebagaian besar flora dan fauna yang hidup di Pulau Bali merupakan falura dan fauna yang umum hidup di daerah tropis (Jawa-Indonesia). Jalak Bali yang merupakan hewan langka yang dilindungi, keindahan bulu dan kicauannya membuat pecinta burung memburunya.

Walaupun dengan kekayaan tambang yang miskin tetapi Pulau Bali memiliki keindahan alam yang tiada duanya sehingga sering disebut paradise island. Keindahan alam yang mempesona para wisatawan dan dengan kekhasan budaya menyebabkan kemajuan yang pesat pada sektor pariwisata.


1.2. Identifikasi Demografi

Berdasarkan data statistik tahun 2002 tercatat jumlah penduduk di Bali sebanyak 3.216.881 jiwa yang terdiri dari 1.632.995 jiwa (50,76%) penduduk laki-laki dan 1.583.886 jiwa (49,24%) penduduk perempuan. Jumlah penduduk tahun 2002 ini naik 1,92% dari tahun sebelumnya sebanyak 3.156.392 jiwa. Dengan luas wilayah 5.632,86 km2, maka kepadatan penduduk di Bali telah mencapai 571 jiwa/km2.

Selain penduduk asli Bali ada juga pendatang dari Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatra, Sulawesi bahkan dari Kalimantan. Sebagian besar penduduk yang dari luar Pulau Bali ke Bali karana tugas pekerjaan dan mencari nafkah di Bali. Tapi ada juga yang sudah turun temurun bertempat tinggal di Bali sehingga sudah beradaptasi sama kebudayaan di Bali. Seperti kampung Bugis di Serangan, di Kepaon dan banyak lagi.

1.2.1. Bahasa

Bahasa Bali memiliki tradisi sastra, baik tulisan maupun lisan serta didukung oleh sistem aksara tersendiri. Bahasa Bali merupakan bahasa penghantar yang umum masyarakat Bali, selain itu bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional juga digunakan khususnya untuk hubungan formal. Sedangkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional digunakan bagi masyarakat pelaku pariwisata. Lebih lanjut mengenai Bahasa dan Aksara Bali dapat dibaca pada bagian Produk Budaya.

1.2.2. Transportasi

Sebagaian besar penduduk Bali memiliki kendaraan sendiri, biasanya minimal mereka memiliki sepeda motor. Sehingga kendaraan umum kurang tersedia, kalaupun ada hanya melewati jalan-jalan tertentu dan rutenya terbatas, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain:
- Dokar (kendaraan dengan menggunakan hewan kuda sebagai alat penarik)
- Ojek (kendaraan umum dengan menggunakan sepeda motor)
- Bemo (kendaraan umum sejenis mikrolet)
- Bemo dalam kota
- Bemo luar kota (dengan jenis lebih besar)
- Taksi
- Bus antar kota atau kabupaten
- Bus luar pulau

Untuk transportasi ke luar Pulau Bali, tersedia transportasi udara dan laut. Seperti pelabuhan Gilimanuk penyeberangan ke Pulau Jawa yang menggunakan kapal ferry yang memakan waktu antara 30 menit sampai 45 menit. Untuk penyeberangan ke Pulau Lombok, penyeberangan laut melalui pelabuhan Padang Bay menuju Lembar memakan waktu sekitar 4 jam. Juga kita bisa menggunakan transportasi udara yang dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai.


1.2.3. Pemerintahan

Propinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota madya, 51 kecamatan, 658 desa, 3.568 banjar dinas. Propinsi Bali dipimpin oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten dipimpin oleh seorang bupati dan kota madya dipimpin oleh seorang walikota.

Daftar Daerah Tingkat II di Bali:
1. Kabupaten Badung
2. Kabupaten Bangli
3. Kabupaten Buleleng
4. Kabupaten Gianyar
5. Kabupaten Jembrana
6. Kabupaten Karangasem
7. Kabupaten Klungkung
8. Kabupaten Tabanan
9. Kota Madya Denpasar

1.3. Identifikasi Sejarah

1.3.1 Masa Prasejarah

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya. Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi:
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar.

Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar yaitu goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. Di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. Dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

Dari peninggalan-peninggalan arkeologi yang dapat dijumpai di Bali, membuktikan bahwa pada masa itu manusia Bali telah memiliki suatu kepercayaan yang tersistem walaupun masih sederhana yaitu:
- Kepercayaan pada gunung sebagai alam arwah tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Gunung dan laut melambangkan laki dan perempuan yang menciptakan kesuburan.
- Kepercayaan alam nyata dan tidak nyata. Alam nyata adalah tempat kehidupan di dunia ini sedangkan alam tidak nyata adalah alam yang dituju oleh orang yang telah meninggal. Dan di alam tidak nyata pun ada kemungkinan kembali ke alam nyata.
- Kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian dan akan menjelma kembali atau yang saat ini dikenal dengan nama reinkarnasi.
- Kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang dipuja untuk mohon perlindungan oleh keturunannya.

Manusia Bali keturunan Austronesia pada masa itu hidup berkelompok dan dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umumnya disebut dengan Sahing 16, dan kepala suku atau pimpinannya disebut dengan nama Jro Gede yang penunjukannya dilakukan dengan sistem hulu apad yaitu sistem giliran menurut usia tertua anggota persekutuan. Persekutuan kepemimpinan tersebut masih ada sekarang dan tetap dipertahankan di desa-desa Bali Aga, terutama dalam hal adat. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali.

Manusia Austronesia inilah yang menjadi leluhur sebagian orang Bali Mula, yang kemudian membaur pada masa berikutnya dengan orang-orang yang datang dari luar Bali. Kebudayaan Bali Mula masih melanjutkan tradisi bangsa Austronesia, walaupun kedatangan kebudayaan agama Hindu, tetapi mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja, misalnya ngaben mereka terima tapi membakar mayat tidak, lalu muncullah istilah beya tanem. Dan saat ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, parasbaan, kapas dan lain-lainnya, mereka hanya menggunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang, plawa dan sebagainya.

Mereka yang dikelompokkan sebagai warga Bali Mula, dengan ketua kelompok yang kemudian disebut dengan Pasek Bali, diantaranya adalah Pasek Taro.

1.3.2. Masa Sejarah

1.3.2.1. Masuknya Agama Hindu

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata Walidwipa. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah panglapuan. Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah pakiran-kiran i jro makabaihan. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.

1.3.2.2. Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.

1.3.2.3. Zaman Gelgel

Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460-1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550-1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605-1686).

1.3.2.4. Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

2. MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian utama masyarakat Bali adalah bertani meskipun Bali terkenal akan pariwisatanya. Hampir 70% dari mereka berpenghidupan dari bercocok tanam dan hanya 30% hidup dari peternakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai, atau lainnya. Karena adanya perbedaan lingkungan alam dan iklim di berbagai tempat di Bali, maka terdapat perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam.

Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran sedikit dan curah hujan kurang sehingga bercocok tanam relatif lebih terbatas daripada di Bali selatan. Selain bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara sebelah timur dan barat terdapat usaha perkebunan buah (jeruk), palawija, kelapa, dan kopi (di pegunungan). Kebun kopi rakyat menurut catatan Dinas Pertanian, meliputi wilayah seluas 26.657 Ha dan terutama terdapat di daerah pegunungan daerah Buleleng (Singaraja) dan Tabanan. Kadang letaknya sangat tinggi dan sulit didatangi. Jenis kopi yang ditanam adalah Robusta dan Arabica. Hasil perkebunan ini diekspor dan cukup membantu perekonomian rakyat. Dari segi hasil, setelah kopi maka kelapa menjadi sumber pendapatan yang juga penting. Luas kebun-kebun kelapa mencapai 6.650,5 Ha. Kelapa juga merupakan komoditi ekspor selain digunakan untuk keperluan lokal. Selain untuk membuat kopra, batok serta serabut kelapa digunakan untuk bahan kerajinan rakyat. Sedangkan hasil perkebunan buah seperti jeruk (di Kabupaten Buleleng) dan salak (di Karangasem), dijual terutama di kota-kota besar di Jawa.

Di daerah Bali selatan yang merupakan dataran yang lebih luas, dan pada umumnya dengan curah hujan yang cukup baik, penduduk terutama bercocok tanam di sawah. Untuk itu diperlukan sistem pengairan yang baik, maka berkembanglah sistem subak, yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Bila air cukup, padi ditanam secara terus menerus tanpa diselingi penanaman palawija (sistem ini disebut tulak sumur). Sebaliknya, apabila keadaan air kurang cukup, maka diadakan giliran penanaman padi dan palawija (sistem ini disebut kertamasa).

Di daerah-daerah yang karena luas tanah pada umumnya tidak mencukupi keperluan penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat, terdapat sistem penggarapan tanah yang dikerjakan oleh buruh tani. Sebelum ada undang-undang yang mengatur hal ini, terdapat berbagai sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarapnya. Sistem bagi hasil tersebut misalnya nandu, pembagian setengah-setengah; nelon (3/5-2/5); ngepit (2/5-1/3); dan mrapat (3/4-1/4) antara pemilik dan penggarap. Di daerah yang airnya kurang atau mendapat air dari hujan, ditanam padi gaga, jagung, kacang-kacangan, dsb. Karena itu keadaan makan penduduk Bali di berbagai daerah berbeda-beda, ada yang makan beras tulen dan ada yang makan beras campuran (dengan jagung atau ketela rambat, disebut cacah).

Kecuali bercocok tanam, beternak merupakan usaha yang penting dalam masyarakat pedesaan di Bali. Binatang ternak yang utama aalah babi dan sapi. Babi dipelihara terutama oleh para wanita, biasanya sebagai sambilan dari dalam kehidupan rumah tangga; sedangkan sapi untuk sebagian digunakan dalam hubungan dengan pertanian, sebagai tenaga pembantu di sawah atau ladang, dan sebagian dipelihara untuk dagingnya. Hampir setiap keluarga di Bali memelihara babi sebagai sambilan karena pembiakannya yang relatif lebih cepat dan mudah daripada sapi. Daerah peternakan sapi yang baik terdapat di Penebel dan Marga (Tabanan), karena daerah tersebut bergunung-gunung dan mendapat curah hujan yang cukup, sehingga tersedia banyak rumput untuk ternak. Selai babi dan sapi, terdapat peternakan kerbau, kambing, dan kuda, tetapi hasilnya relatif lebih kecil.

Mata pencaharian lainnya adalah perikanan, baik perikanan darat maupun laut. Perikanan darat merupakan usaha sambilan dari pertanian terutama di daerah-daerah yang cukup air. Jenis ikan yang dipelihara adalah ikan mas, karper, dan mujair. Perikanan laut terdapat di sepanjang pantai. Ikan yang ditangkap yaitu ikan tongkol, udang, cumi-cumi, dan jenis ikan laut lainnya. Di Bali terdapat juga industri dan kerajinan rumah tangga usaha perseorangan, atau usaha menengah yang meliputi kerejinan pembuatan barang-barang anyaman, patung, kain tenun, benda-benda mas, perak, dan besi, perusahaan mesin-mesin, percetakan, pabrik kopi, pabrik rokok, pabrik makanan kaleng, tekstil, pemintalan, dll. Usaha dalam bidang ini memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Selain itu, karena keadaan alam dan pemandangan yang menarik, kegiatan-kegiatan adat, upacara, dan kesenian, maka bidang pariwisata Bali terkenal dan berkembang pesat. Untuk menunjang pariwisata, berkembang usaha-usaha di bidang perhotelan, taksi, travel bureau, toko kesenian, dan sebagainya, terutama di daerah Denpasar (Badung), Gianyar, Bangli, dan Tabanan. Pariwisata telah merangsang perkembangan kreasi-kreasi di bidang kesenian, baik seni tari maupun seni rupa.

Kegiatan di sektor pariwisata inilah yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian Bali. Sehingga pasca peristiwa bom Bali I dan bom Bali II, perekonomian Bali sejenak mengalami kelumpuhan. Dampak dari peristiwa yang memilukan tersebut tidak hanya dirasakan masyarakat Bali, tetapi juga oleh bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seperti kita ketahui, bahwa banyak negara, seperti Australia, Amerika Serikat, dan negara – negara lain menetapkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Akibatnya semakin menurun jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali. Namun saat ini seiring dengan berjalannya waktu, dunia pariwisata di Bali sudah pulih seperti saat sebelum terjadinya bom Bali.

3. SISTEM KEKERABATAN


Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.

Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang umumnya bersifat exogam.

Orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) di Bali itu adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klen-nya terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu pada keluarga, serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Dahulu apabila terjadi perkawinan campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadia-nya, dan secara fisik suami-isteri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukum semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada waktu ini perkawinan campuran antar-kasta sudah relatif lebih banyak dilaksanakan.

Lain bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki isteri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawinan antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya).

Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu dapat memperoleh seorang isteri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasarkan adat.

Adat perkawinan Bali meliputi suatu rangkaian peristiwa-peristiwa seperti kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah dibawa lari untuk dikawini; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk minta diri kepada ruh leluhurnya. Di beberapa daerah di Bali (tidak di semua daerah), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku luh), tetapi rupa-rupanya adat ini terutama di antara keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.

Sesudah pernikahan, suami isteri baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami isteri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami isteri baru itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan lari si isteri (nyeburin). Tempat di mana suami isteri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami isteri tinggal secara virilokal, maka anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan keturunan mereka yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si isteri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si isteri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan).

3.1. Keluarga Batih, Keluarga Luas, dan Rumah Tangga

Akibat dari perkawinan adalah terbentuknya suatu keluarga batih, dan bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena poligini diijinkan, maka ada juga keluarga-keluarga batih yang sifatnya poligini. Walaupun demikian, keluarga-keluarga yang bersifat poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan-lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.

Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak-anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan lain-lain orang yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun yang bukan kerabat (pembantu rumah tangga dan lain-lain). Sesudah beberapa, kalau seorang anak laki-laki sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mempu untuk berdiri sendiri, ia memisahkan diri dari rumah tangga orang tua dan mendirikan rumah dan rumah tangga sendiri yang baru (ngarangin). Salah satu dari anak laki-laki biasanya tetap tinggal di kompleks perumahan orang tua (ngerobin) untuk nanti dapat membantu orang tua kalau mereka sudah tidak berdaya lagi dan untuk menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua. Dengan demikian, sebenarnya suatu rumah tangga yang sudah tua terdiri dari suatu keluarga luas virilokal yang terdiri dari suatu keluarga batih senior dengan beberapa keluarga batih yunior yang hidup bersama dalam satu kompleks perumahan (uma) sebagai kesatuan yang formil.

3.2. Klen Kecil dan Klen Besar

Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Struktur dari tunggal dadia ini berbeda-beda dipelbagai tempat di Bali. Di desa-desa di pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Di desa-desa di tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing-masing kediamannya, yang disebut kemulan taksu. Di samping itu, keluarga batih yang hidup neolokal seperti juga masih terikat oleh dan masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pura asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka. Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian suatu pura serupa itu mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas anggota-anggota dari suatu klen kecil.

Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja pura leluhur yang sama disebut pura paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian dapat disebut klen besar.

Dalam praktek, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarganya yang merasakan dirinya senior, yaitu keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

4. SISTEM KEMASYARAKATAN


4.1 Sistem Pelapisan

Sistem pelapisan masyarakat di Bali didasarkan atas keturunan; karena itu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat yang bersifat patrilineal. Ada pelbagai klen yang mempunyai sejarah keturunan (babad, pamancangah, pretasti) sendiri-sendiri yang masing-masing kembali sampai pada sejarah penaklukan oleh Majapahit dalam abad ke-14. Orang-orang bangga apabila dapat menyusur keturunan mereka sampai pada raja-raja atau bangsawan-bangsawan dari zaman Majapahit itu. Pelbagai keturunan inilah yang memberikan susunan yang lebih kompleks kepada klen-klen patrileneal yang terdapat di Bali daratan. Karena proses sejarah yang kembali ke zaman Majapahit, maka klen-klen di Bali daerah dataran, tersusun dalam suatu susunan berlapis tinggi rendah berdasarkan jarak hubungan kekerabatan dari leluhur-leluhur dari klen-klen itu dengan seorang tokoh raja atau bangsawan dari Majapahit. Di Bali daerah pegunungan, susunan klen berlapis tinggi rendah serupa itu tidak ada; bahkan batas-batas antara klen-klen dalam kehidupan masyarakat tidak tampak begitu nyata.

Susunan tinggi rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan atas sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruhi oleh sistem kasta yang termaktub dalam kitab-kitab suci Hindu Kuno, yaitu sistem keempat kasta: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan Sudra. Di Bali wangsa-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama sebagai kesatuan disebut Triwangsa, dan lapisan yang keempat disebut Jaba. Hanya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk anya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk Triwangsa, lagipula warga klen-klen besar yang termasuk Triwangsa biasanya tersebar luas di seluruh Bali. Sebaliknya, lebih dari 85% dari rakyat Bali termasuk warga Jaba, dan warga klen-klen yang termasuk Jaba tinggalnya lebih terpusat pada daerah-daerah terbatas.

Gelar-gelar bagi warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita; gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokorda, dan bagi warga klen-klen Wesia adalah Gusti. Selain itu banyak gelar-gelar lain yang diturunkan oleh klen-klen tertentu tetapi yang kurang terang mengenai kedudukannya dalam wangsa. Pemegang gelar-gelar serupa itu tentu akan mengakuinya sebagai gelar wangsa tinggi, lainnya berpendapat bahwa gelar-gelar serupa itu termasuk wangsa-wangsa yang rendah dan demikian selalu memang ada perselisihan mengenai kedudukan dari orang-orang yang mempunyai gelar-gelar tadi dalam upacara adat dan dalam sopan santun pergaulan Bali.

Zaman modern dengan pendidikannya telah banya membawa perubahan dalam sistem pelapisan wangsa ini. Misalnya undang-undang (awig-awig) yang menghukum adanya perkawinan antara gadis yang lebih tinggi dengan laki-laki yang wangsa-nya lebih rendah telah dihapuskan. Pendeta-pendeta tidak usah lagi berasal dari wangsa Brahmana, dan akhir-akhir ini mereka malahan sudah dianggap sederajat dengan pendeta-pendeta dari wangsa Brahmana.


4.2. Lembaga Tradisional

Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak dan seka/sekaha. Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut desa. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana. Desa dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah kecamatan.

Konsep Tri Hita Karana adalah satu konsep yang mengintegrasikan secara selaras tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang diyakini oleh orang Bali. Ketiga komponen tersebut adalah:
1. Parahyangan, yaitu Tuhan yang memberikan perlindungan bagi kehidupan.
2. Palemahan, yaitu seluruh wilayah lembaga tersebut.
3. Pawongan, yaitu sumber daya manusia yang terdiri atas semua warga lembaga yang bersangkutan.

4.2.1. Desa

Desa di Bali didasarkan atas kesatuan tempat. Sebagian dari tanah wilayahnya adalah milik para warga desa sebagai individu, tetapi sebagian lagi adalah tanah yang ada di bawah hak pengawasan desa, atau secara konkret dibawah pengawasan pimpinan desa. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan desa-desa adat di daerah datar. Desa-desa adat di pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama desa), mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut balai agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa di daerah datar biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas.

Pada komplek bangunan (bale) yang ditempati keluarga inti maupun keluarga luas, dibangun diatas suatu pekarangan yang bisanya dikelilingi oleh dinding dengan gapura sempit. Di antara komplek bangunan itu terdapat bangunan untuk tidur, satu atau beberapa dapur, lumbung, tempat untuk menerima tamu, dan pura untuk keluarga (sanggah). Seluruh komplek sebagai suatu kesatuan disebut uma. Mengenai letak dari bale, sanggah, dan sebagainya pada umumnya menuruti pola susunan tertentu. Pura keluarga yang dianggap suci terletak di bagian kaja. Sedang tempat kediaman berada pada arah kelod. Bale (bangunan) masing-masing mempunyai nama tersendiri menurut fungsinya dalam adat maupun dalam kebutuhan sehari-hari.

Catatan: Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti ke (arah) laut. Dengan demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan, sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-daerah di bagian selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Arah-arah ini sama baik di Bali Utara maupun Selatan.

Di samping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga. Dimana Kahyangan Tiga ini adalah Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa merupakan tempat berstananya Dewa Brahma yang dimanifestasikan sebagai pencipta. Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu yang dimanisfetasikan sebagai pemelihara dan Pura Dalem yang merupakan berstananya Dewa Çiwa yang dimanifestasikan sebagai pelebur. Biasanya ketiga Pura Kahyangan Tiga tersebut tempatnya dipisahkan satu sama lain. Ada kalanya juga Pura Puseh dan Pura Desa dijadikan satu. Seperti telah diterangkan sebelumnya, konsep mengenai arah adalah amat penting artinya dalam agama orang Bali. Hal yang keramat diletakkan pada arah kaja, dan hal-hal biasa yang tidak keramat diletakkan pada arah kelod. Klasifikasi dualistis ini tercermin pula pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Sedapat mungkin bangunan-bangunan dari desa disesuaikan dengan konsep mengenai arah tadi. Misalnya saja pada arah kaja diletakkan Pura Desa, dan pada arah kelod diletakkan Pura Dalem (pura yang ada hubungannya dengan kuburan dan kematian).

4.2.2. Banjar

Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan oleh kesatuan wilayah. Kesatuan wilayah ini diperkuat oleh kesatuan adat dan budaya. Anggota banjar tidak mutlak dari orang asli di daerah tersebut, tetapi juga orang dari wilayah lain yang kebetulan menetap sementara/seterusnya di wilayah banjar tersebut. Masyarakat tersebut dipersilahkan menjadi anggota banjar jika orang tersebut menghendaki.

Banjar dipimpin oleh seorang kelian banjar dan dibantu oleh beberapa orang sebagai wakil kelian, sinoman dan penyarikan. Adapun tugas dari kelian ini adalah mengurus segala urusan sosial kemasyarakatan. Selain itu kelian juga mengurus urusan agama, adat dan urusan yang bersifat administratif. Bahkan seringkali harus juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Kelian banjar sebagai tetua banjar dipilih langsung oleh para krama (warga) banjar dalam suatu sangkep (pertemuan). Untuk lama masa jabatan tertentu sesuai dengan awig-awig (undang-undang) banjar bersangkutan. Dalam hal ini tiap-tiap banjar memiliki awig-awig yang berbeda sesuai dengan daerah masing-masing banjar.

Untuk mengakomodasikan kegiatannya maka dibangunlah sebuah bangunan yang terbuka yang dikenal dengan nama bale banjar. Bale banjar ini merupakan pusat dari banjar tersebut. Karena fungsinya sebagai pusat maka bale banjar ini biasanya didirikan di tengah-tengah wilayah tersebut. Hal ini dimaksud untuk memudahkan krama banjar. Bale banjar ini biasanya dilengkapi dengan Pura Banjar dan Bale Kukul sebagai tempat untuk menaruh kukul (kentongan). Bale banjar ini juga sebagai bangunan serbaguna untuk menunjang kegiatan umum masyarakat banjar. Seperti olahraga, kesenian hingga agama. Di bale banjar inilah diadakan pertemuan (sangkep) setiap bulan mengevaluasi kegiatan banjar selama sebulan.


4.2.3. Subak

Subak di Bali berdiri seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang kepala sendiri. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga suatu subak itu tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak adalah para pemilik atau penggarp sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua pemilik atau penggarap tadi hidup dalam satu banjar, tetapi di dalam beberapa banjar. Sebaliknya, ada pula warga suatu banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan yang mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tadi itu akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah.

4.2.4. Seka/Sekaha

Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, yaitu organisasi seka. Seka ini bisa didirikan untuk waktu yang lama, bahkan untuk waktu yang meliputi angkatan-angkatan yang turun temurun, tetapi ada pula yang bersifat sementara. Ada seka-seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara yang berkenaan dengan desa misalnya seka baris (perkumpulan tari baris), seka truna (perkumpulan para pemuda), seka daha (perkumpulan gadis-gadis). Seka dalam arti ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara, yaitu seka-seka yang didirikan berdasarkan suatu kebutuhan tertentu, seperti misalnya seka mamula (perkumpulan menanam), seka manyi (perkumpulan menuai), seka gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. Seka-seka seperti ini biasanya juga merupakan perkumpulan-perkumpulan yang terlepas dari organisasi desa dan banjar.

4.3. Gotong Royong

Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat desa di Bali, ada beberapa macam cara dan sistem gotong royong; antara individu dan individu atau antara keluarga dan keluarga. Gotong royong semacam itu disebut nguopin (membantu) dan meliputi berbagai aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Di dalam hal itu ada seorang atau suatu keluarga minta bantuan dari tetangganya atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah digariskan oleh adat dan dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang disumbangkan kepadanya itu dengan bantuan tenaga juga.

Nguopin dalam aktivitas sekitar rumah tangga di kota dan di banyak desa sudah mulai hilang dan mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan karena sistem menyewa sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali lebih murah (karena tidak perlu menyediakan jamuan dan sebagainya). Hanya dalam perayaan dan upacara, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian cara gotong royong nguopin masih banyak diterapkan.

Selain nguopin masih ada cara gotong royong antara seka dengan seka. Cara semacam ini di sebut ngedeng (menarik). Dalam hal ini suatu seka tertentu, misalnya suatu perkumpulan gamelan ‘ditarik’ untuk ikut serta dangan suatu seka lain dalam hal menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.

Terakhir ada suatu sistem gotong royong yang lebih menyerupai sifat kerja bakti untuk keperluan masyarakat atau pemerintah. Hanya di dalam hal ini khusus kerja bakti untuk keperluan agama, seperti misalnya ikut membantu membangun pura atau memperbaiki sebuah pura yang sudah ada. Sistem kerja bakti semacam ini disebut ngayah atau ngayang, bisa merupakan suatu aktivitas yang ramai dan penuh kemeriahan.


5. SISTEM RELIGI


Hindu Dharma adalah agama yang dianut oleh sekitar 95% dari jumlah penduduk Bali, sedangkan 5% sisanya adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup sesuai ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan bathin. Di dalam usaha mencapai tujuan itu, masyarakat Hindu mewujudkannya melalui Tattwa, Susila dan Upacara.

1. Tattwa (filosofi) dibagi menjadi 5 kepercayaan utama yang disebut Panca Çrada atau lima kepercayaan yang mendasar, yaitu percaya kepada adanya:
a. Brahman, yaitu percaya kepada adanya Ida Sang Hyang Widhi Waça atau Tuhan Yang Maha Esa
b. Atman, yaitu percaya akan keberadaan atman (roh)
c. Samsara, yaitu percaya akan adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi
d. Karma Phala, yaitu percaya kepada adanya hukum sebab akibat (setiap orang akan memperoleh balasan atau hasil dari apa yang telah diperbuat olehnya)
e. Moksa, yaitu percaya kepada kemungkinan menyatunya atman dengan Tuhan

2. Susila (etika). Ajaran ini menekankan kepada tiga cara berprilaku yang baik, yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha, yaitu:
a. Manacika Parisudha (berpikir yang baik dan positif)
b. Wacika Parisudha (berkata-kata yang baik dan jujur)
c. Kayika Parisudha (berbuat yang baik)
Di samping itu, ajaran Hindu juga mengharapkan penerapan Tat Wam Asi dalam hidup sehari-hari, yaitu “engkau adalah aku juga” dengan kata lain “kita harus merasakan apa yang dirasakan orang lain”.

3. Upacara (yadnya, korban suci). Upacara ini ditujukan kepada lima aspek:
a. Dewa Yadnya, yaitu kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça, beserta para Dewa (Bathara)
b. Pitra Yadnya, yaitu yang ditujukan kepada roh-roh leluhur (yadnya setelah kematian)
c. Rsi Yadnya, yaitu bagi para Rsi atau orang yang disucikan
d. Manusa Yadnya, yaitu bagi umat manusia dari sejak lahir (bayi dalam kandungan) hingga perkawinan
e. Bhuta Yadnya, yaitu untuk menetralisir pengaruh-pengaruh alam yang negatif termasuk dunia supranatural

Agama Hindu adalah agama yang monotheistik, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau disebut juga sebagai Ida Sang Hyang Widi Waça, Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Cintya. Oleh orang-orang hal ini sering disalah mengerti bahwa Hindu percaya kepada banyak Tuhan. Dewa (Bathara) dalam agama Hindu hanyalah manifestasi dari Tuhan yang Acintya (tidak terpikirkan). Kata Dewa berasal dari Bahasa Sansekerta Div yang berarti sinar suci, Sedangkan Bathara berasal dari Bhatr berarti pelindung. Dewa ataupun Bathara yang sering dimunculkan di Bali adalah Tri Murti yaitu:
a. Brahma, manifestasi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya
b. Wisnu, manifestasi Tuhan sebagai pemelihara ciptaannya
c. Siwa, manifestasi Tuhan sebagai pelebur segala sesuatu setelah situasi, kondisi dan waktunya tiba

Di Bali Pendeta itu umumnya dipilih dari golongan brahmana yang mampu untuk memimpin upacara besar, sedangkan Pemangku bertugas untuk menjaga dan memelihara pura dan dapat memimpin upacara termasuk Panca Yadnya. Kitab suci agama Hindu adalah Weda yang berasal dari India, namun yang sampai di Bali adalah Catur Weda dan Weda Qirah yang hingga saat ini masih dipakai Pemangku atau Pendeta untuk memimpin upacara termasuk di dalam menjalankan kewajibannya. Di samping Weda, dalam ajaran Hindu juga dikenal kitab-kitab Purana, yang membicarakan tentang peranan moralitas, ada juga dalam bentuk Mahacarita sepeti Mahabaratha dan Ramayana, dalam bentuk cerita topeng, drama, opera, ballet dan sebaginya sebagai pengungkapan ajaran agama Hindu. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali adalah kekuatan hidup yang meliputi kekuatan alam Pulau Bali yang sudah menggaung ke segala penjuru dunia.

Bali dengan penduduknya setiap hari menyanyikan lagu kasih sayang yang diperlihatkan dengan beraneka ragam rajutan dan anyaman sesajen terbuat dari daun kelapa muda, berlambang bunga semerbak wangi yang dilakukan hampir di setiap hari. Dengan pengorbanannya selalu memikirkan alam sekitar, menghaturkan sesuatu yang diperoleh kepada Tuhan, dengan harumnya aroma dupa di tangan, membaca mantra suci dengan gerakan tangan penuh makna, memercikkan air suci memohon keselamatan. Dengan prosesinya yang panjang atau dengan sederhana penuh kerendahan hati, gemar bekerja, memberkati anak-anak, memberikan senyum dan lambaian tangan persahabatan selalu dilakukan.

5.1. Tri Hita Karana

Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharma-nya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.

Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
1. Manusia dengan Tuhannya (Parahyangan).
2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan).
3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan).

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut:
1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta Yadnya.
3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
1. Parahyangan
- Di tingkat daerah berupa Pura Kahyangan Jagat
- Di tingkat desa adat berupa Pura Kahyangan Desa atau Kahyangan Tiga
- Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah
2. Pelemahan:
- Di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
- Di tingkat desa adat meliputi asengken bale agung
- Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
3. Pawongan:
- Di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
- Di tingkat desa adat meliputi krama desa adat
- Di tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga

Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.

5.2. Panca Yadnya

Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang diperlukan adanya persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama Yadnya. Disini terdapat lima yadnya yang selanjutnya dikenal dengan istilah Panca Yadnya yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas. Adapun pembagiannya dari yadnya-yadnya tersebut adalah sebagai berikut:

5.2.1. Dewa Yadnya

Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci).

Contoh Dewa Yadnya: menyelenggarakan upacara piodalan dimasing-masing Desa Adat yang ada di Bali. Melaksanakan persembahyangan di pura dan melaksanakan upacara melasti (pembersihan patung dewa-dewa ke pantai) yang biasanya dilakukan sebelum perayaan hari raya Nyepi. Upacara keagamaan di Bali disesuaikan dengan masing-masing Desa Adat (desa kala patra) masing-masing daerah

5.2.2. Pitra Yadnya

Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada roh-roh suci dan leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara jenazah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.

Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
- Berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
- Berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
- Berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

Contoh Pitra Yadnya adalah upacara ngaben.

5.2.2.1. Ngaben

Kematian, bagi masyarakat Bali tak bisa lepas dari upacara adat ngaben. Kematian bagi orang Bali adalah kembalinya manusia kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta: pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa) sesuai dengan ajaran Hindu Bali. Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atman (roh). Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atman-nya tidak. Ngaben adalah upacara penyucian atman (roh), fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll. Namun cenderung disetujui pendapat bahwa ngaben berasal dari kata ngapen (ng + api + an = ngapian > ngapen > ngaben). Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atman/roh.

Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat Peristiwa Bom Bali I dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dengan mengambil sekepal tanah di lokasi meninggalnya kemudian dibakar.

Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda.

Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik (dewasa) untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap.

Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh. Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan (setra) desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah Tuhan.

Sesampainya di kuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari klan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengan menggunakan api kongkrit. Zaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam.

Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut (atau sungai), karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngaben-nya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya meninggal.

Sebenarnya ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben di Bali. Masing-masing desa adat di Bali memiliki awig-awig (undang-undang) tersendiri tentang tata cara melaksanakan upacara ngaben. Umumnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ngaben Niri
2. Ngaben Ngamasa

Ngaben Niri artinya melaksanakan upacara ngaben sendiri (Niri = diri = sendiri). Dalam hal ini berarti bahwa keluarga duka dapat melaksanakan upacara ngaben pada waktu tertentu, sesuai dengan keinginannya. Banjar adat tidak mencampuri waktu pelaksanaannya, tetapi hanya memberi bantuan tenaga dan materi (dikenal dengan sebutan patus banjar), sesuai ketentuan awig-awig yang berlaku. Patus banjar, baik berupa tenaga maupun materi, jumlahnya tidak seberapa, dibandingkan dengan jumlah tenaga dan materi yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan rangkaian upacara ngaben. Bahkan ada kalanya sama sekali tidak mendapatkan bantuan banjar. Oleh karena itu, ngaben niri juga dilaksanakan oleh keluarga keturunan bangsawan. Terlepas dari ini, lahir sebagai seorang bangsawan, terbilang relatif berat.

Ngaben Ngamasa berarti melaksanakan upacara ngaben secara terjadwal, sesuai situasi dan kondisi yang dianggap baik bagi mereka yang akan melaksanakan upacara ngaben. Istilah lain ngaben ngamasa adalah ngaben ngerit, ngaben massal, atau ngaben bersama. Upacara ngaben ngamasa dilaksanakan dengan maksud menghemat biaya dan waktu, tanpa mengurangi makna pelaksanaan upacara ngaben. Cara pelaksanaan ngaben ngamasa ada dua.

Pertama, ngaben ngemasa dilaksanakan dengan cara yang persis sama dengan ngaben niri. Cuma waktunya bersamaan. Keuntungannya, pelaksanaan upacara ngaben dengan mudah dapat diketahui, jauh hari sebelum puncak acara, sehingga segala aktivitas yang terkait dengan upacara tersebut dapat dijadwalkan. Kelemahannya, warga banjar yang diharapkan memberi bantuan menjadi bingung dan kacau. Mereka dituntut harus pintar membagi waktu agar dapat memberi bantuan kepada sebanyak mungkin warga yang kebetulan melaksanakan upacara ngaben. Untuk memudahkan, biasanya anggota banjar dibagi sesuai dengan jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben. Konsekuensinya, kalau jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben sedikit dan anggota anggota banjar lumayan banyak, maka masing-masing warga yang ngaben mendapatkan bantuan banjar yang lumayan banyak juga. Sebaliknya kalau warga yang ngaben banyak sedangkan jumlah warga banjar sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan bantuan banjar dalam jumlah terbatas. Kesulitan lainnya, ada hubungan dengan bantuan materi (patus) kepada warga yang melaksanakan upacara ngaben. Masing-masing warga akan mengeluarkan patus sesuai dengan jumlah warga yang ngaben. Kalau kewajiban patus senilai Rp 25.000, dan jumlah warga yang ngaben 30 orang, maka masing-masing warga banjar akan mengeluarkan patus sekitar 750.000. Jumlah ini tidak dapat dianggap enteng.

Kedua, ngaben ngamasa dilaksanakan dengan cara ‘satu untuk semua’. Artinya, upacara ngaben dilaksanakan pada waktu, tempat, cara dan oleh panitia yang sama. Sarana dan prasarana upacaranya dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan semangat satu untuk semua. Unsur tertentu dari upacara yang sama sekali tidak mungkin untuk disatukan, barulah dibuat oleh masing-masing anggota. Pelaksanaan upacara ngaben seperti ini dikenal dengan sebutan ngaben bersama. Di Desa Pakraman Celuk, Sukawati, ngaben ngamasa dengan cara ‘satu untuk semua’ ini dikenal dengan istilah ngaben kinembulan.

Ada yang berpendapat bahwa ngaben kinembulan ini akan menjadi pilihan terbaik untuk pelaksanaan upacara ngaben masa depan. Sebabnya, antara lain:
1. Biaya yang disiapkan oleh warga yang akan melaksanakan upacara ngaben relatif lebih kecil, karena sebagian besar sarana dan prasarana ngaben dibuat satu untuk semua.
2. Biaya bagi warga masyarakat yang lainnya (patus) juga kecil, karena kewajiban mengeluarkan (patus) juga dirancang hanya satu untuk semua.
3. Dapat menghemat waktu dan tenaga, karena segala bantuan tenaga diatur oleh panitia banjar dengan pola satu untuk semua.
4. Tidak menganggu warga yang bekerja di instansi pemerintah atau swasta, karena lebih mudah mengatur waktu, termasuk memohon cuti.
5. Upacara ngaben memerlukan sarana tumbuh-tumbuhan (kelapa, pisang, bambu, dan lainnya) yang lumayan banyak. Dengan ngaben ngamasa atau kinembulan, lebih memungkinkan bagi tumbuh-tumbuhan untuk hidup dan berkembang secara wajar dan sehat, sebelum mereka harus turut ‘berkorban’ demi kepentingan upacara ngaben.

Ngaben kinembulan mengandung beberapa kelemahan, antara lain: Pertama, sulit dilaksanakan di desa adat yang termasuk desa pakraman nyatur (terdiri dari empat kasta), dan belum ada persepsi yang sama mengenai perbedaan kasta, sehingga satu golongan merasa sebagai golongan bangsawan yang berkedudukan tinggi dan harus dihormati dan golongan lainnya dianggap sebagai rakyat biasa (panjak), berkedudukan rendah dan harus menghormati golongan bangsawan. Oleh karena itu maka kasta tertentu yang merasa berkedudukan lebih tinggi dari kasta yang lainnya, tidak rela bergerak seiring dan sejalan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi atas dasar semangat ‘satu untuk semua’ pada waktu melaksanakan upacara ngaben. Kedua, masih ada anggapan bahwa melaksanakan upacara ngaben merupakan satu-satunya cara untuk melaksanakan Pitra Yadnya dalam arti ‘membayar hutang’ kepada leluhur. Anggapan ini menyebabkan banyak orang yang rela melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran, dengan cara menjual harta warisan yang berupa tanah. Mereka yang masih yakin akan hal ini menganggap melaksanakan upacara ngaben dengan cara kinembulan atau ‘satu untuk semua’, sebagai sesuatu yang lebih rendah maknanya dibandingkan dengan ngaben niri.

5.2.3. Manusa Yadnya

Manusa Yadnya adalah suatu persembahan suci yang tulus ikhlas demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah desa kala patra (tempat-waktu-keadaan) sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat.

Jenis-jenis Manusa Yadnya berdasarkan urutan pelaksanaannya:
1. Magedong-gedongan
2. Upacara kelahiran
3. Upacara kepus puser
4. Upacara nglepas hawon
5. Upacara kambuhan
6. Upacara nelu bulanin
7. Upacara otonan
8. Upacara ngempugin
9. Upacara makupak
10. Upacara rajaswala
11. Upacara mepandes
12. Upacara pawiwahan

5.2.3.1. Magedong-gedongan

Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari, tidak harus persis karena dapat disesuaikan dengan hari baik (dewasa). Upacara magedong-gedongan dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggah (semacam pura kecil yang ada pada setiap rumah). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. lstri yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Sang istri menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bambu runcing.
4. Sang suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing sang istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab.

5.2.3.2. Upacara Kelahiran

Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si bayi di dunia. Upacara kelahiran dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah dan dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atman/roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA.
3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Proses selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.

5.2.3.3. Upacara Kepus Puser

Upacara ini dilakukan pada saat puser bayi lepas, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam ketupat kukur (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.

5.2.3.4. Upacara Nglepas Hawon

Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut upacara ngelepas hawon. Si bayi biasanya baru diberi nama demikian pula sang catur sanak (saudara keempat yang dipercaya ikut menemani kelahiran si bayi) setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati. Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si bayi. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.

5.2.3.5. Upacara Kambuhan

Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk upacara yang lebih besar si bayi terlebih dahulu di-lukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
3. Si bayi beserta kedua orangtuanya natab di sanggah kamulan.

5.2.3.6. Upacara Nelu Bulanin

Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon (1 bulan = 35 hari). Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara otonan (210 hari kelahiran bayi). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pendeta memohon tirta panglukatan.
2. Pendeta melakukan pemujaan, memerciki tirta (air suci) pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut di-parisudha dengan diperciki tirta.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh orangtuanya.
5. Si bayi diberikan tirta pengening (tirta amertha) kemudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

5.2.3.7. Upacara Otonan

Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Selanjutnya dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Semakin dewasa, semakin sederhana pula sarana upacaranya. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pendeta sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya.
2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya dan penghormatan terhadap leluhur.
3. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pada otonan pertama kali, untuk otonan selanjutnya tidak dilakukan.
4. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.

5.2.3.8. Upacara Ngempugin

Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab mohon keselamatan.
3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

5.2.3.9. Upacara Mekupak

Upacara ini dilakukan pada saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Upacara ini dapat pula disatukan dengan otonan berikutnya.

5.2.3.10. Upacara Rajaswala

Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama. Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah daha) ini. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

5.2.3.11. Upacara Mepandes

Upacara mepandes atau potong gigi ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu (enam musuh yang ada dalam diri manusia) yang ada pada diri si anak. Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirta pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh sangging (yang bertugas memotong gigi) dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kemudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

5.2.3.12. Upacara Pawiwahan

Yang dimaksud upacara pawiwahan adalah upacara pernikahan. Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.

Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.

Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

Menurut UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut mekala-kalaan (natab banten), biasanya di-puput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah karena merupakan titik sentral kekuatan Kala Bhucari sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata kala yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam sebel kandel.

Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (daiwi sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.

Peralatan upacara mekala-kalaan:

Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Ida Sang Hyang Widhi Waça, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Ida Sang Hyang Widhi Waça dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Ida Sang Hyang Widhi Waça dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

Tegen-tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil-alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Perangkat tegen-tegenan:
- Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan dharma.
- Periuk simbol windhu.
- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
- Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.

Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.


Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

Sapu Lidi (3 tangkai)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.

Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian. Telor bebek merupakan simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan angelus wimoha yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra. Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.

5.2.4. Resi Yadnya

Resi Yadnya adalah suatu upacara yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3. Menghaturkan/memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.


5.2.4.1. Mawinten

Mawinten asal katanya dalam Bahasa Kawi, mawa artinya bersinar-sinar dan inten artinya intan (permata). Jadi orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang kemilau karena lahir bathinnya sudah disucikan. Pada dasarnya semua orang terutama yang akan mengakhiri masa Grahasta (pensiun) perlu mawinten dengan tujuan mensucikan diri menjelang pulang ke sunia-loka. Pada akhirnya manusia Hindu setelah meninggal dunia dan di-aben, diwinten dengan upacara Askara. Mereka yang wajib mawinten karena profesinya antara lain: pemangku, dalang, undagi, tukang banten, sangging, dll.

Tingkat pawintenan ada tiga menurut besar/kecilnya upacara pawintenan yaitu:
1. Pawintenan dengan ayaban saraswati termasuk yang paling sederhana.
2. Pawintenan dengan ayaban bebangkit untuk yang medium, dan
3. Pawintenan dengan ayaban catur yang paling utama.

Pawintenan dengan ayaban saraswati adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan; pawintenan tingkat ini untuk para brahmacari misalnya yang belajar agama, yang senang gegitaan, pegawai kantor agama, dll.

Pawintenan dengan ayaban bebangkit adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia; pawintenan tingkat ini untuk para undagi, sangging, tukang banten, dll.

Pawintenan dengan ayaban catur adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa: Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa; pawintenan tingkat ini untuk para pemangku, dalang, pinandita, dll.

Mereka yang sudah mawinten wajib menggelar brata, tapa, yoga, samadi. Makin tinggi tingkat pawintenan-nya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, samadi-nya. Brata adalah pengekangan hawa nafsu panca indra; Tapa adalah pengendalian diri agar selalu dalam jalur Dharma. Yoga adalah senantiasa memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri secara total pada kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Waça.

5.2.5. Bhuta Yadnya

Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Waça. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Contoh lain dari Bhuta Yadnya adalah segehan.


5.2.5.1. Segehan

Tak hanya vertikal ke atas persembahan manusia Hindu ditujukan. Ke bawah pun dilakukan dalam wujud segehan. Satu di antara sekian jenis segehan itu ada diwujudkan seperti manusia. Manusia dalam upayanya mengucap syukur selalu melakukan persembahan. Dalam persembahan tersebut, nasi menjadi satu komponen penting. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan nama pada bebantenan Bali.

Selain berwujud tumpeng, nasi juga dipakai untuk membuat berbagai segehan yang dihaturkan di pertiwi. Pada umumnya dihaturkan pada kala bucara-bucari supaya tidak mengganggu. Persembahan itu dihaturkan di bawah yaitu di natar Merajan, rumah serta lebuh. Yang di halaman (natar) rumah ditujukan kepada Sang Kala Bucari. Selain itu, karena di natar rumah ditanam I Catur Sanak yaitu Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh Nyom, sebagai tanda manusia memberikan perhatian pada saudara empat-nya karena telah memberikan perlindungan, baik secara sekala maupun niskala.

Selanjutnya di natar sanggah pamerajan ditujukan kepada Sang Bhuta Bucari. Lantas yang terakhir di depan pintu keluar (lebuh) ditujukan kepada Sang Durgha Bucari. Karena tempat masegeh ada tiga, maka jenis segehan itu pun ada tiga. Jenis segeh itu yaitu segehan pat (4) dihaturkan di natar rumah, segehan lima (5) di natar merajan dan segehan sia (9) di lebuh. Ketiga jenis segehan tersebut termasuk segehan umum yang dihaturkan oleh umat Hindu. Sedangkan segehan wong-wongan (ada juga yang menyebut nasi wong-wongan) hanya dihaturkan orang yang nyungsung ataupun memiliki sakit tertentu. Jenis segehan ini dibentuk menyerupai wujud manusia, lengkap dengan kepala, leher, badan, tangan, dan kaki. Tapi, ada juga hanya mengambil bentuk bagian tubuh manusia saja, seperti dada dan rusuk (nasi tangkah-iga).

5.3. Hari Raya di Bali

Setiap pura di Bali baik yang besar maupun kecil termasuk pura keluarga memiliki hari tertentu untuk upacara piodalannya. Piodalan itu dirayakan setiap 210 hari menurut kalender Bali. Karena demikian banyaknya pura di Bali, sehingga hampir setiap hari ada saja upacara piodalan yang berlangsung. Di samping itu ada juga hari raya yang berlangsung serempak di seluruh Bali seperti Galungan, Kuningan, Nyepi dan Saraswati.

5.3.1. Galungan dan Kuningan

Hari Raya Galungan jatuh pada hari Budha (Rabu) Kliwon Dungulan, kemudian disusul oleh Hari Raya Kuningan setelah sepuluh hari.

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Zaman Jenggala) pada abad ke-11 di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam pararaton zaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke-16, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang. Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Namun tidak berarti bahwa dunia ini lahir pada hari Budha Kliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan). Tuhan sebagai pencipta dipuji dan dipuja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah-tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada sebuah tugu di merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga kemudian digantungkan pula hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Terakhir diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Disebutkan dalam pustaka-pustaka Hindu bahwa dalam rangkaian peringatan Galungan, sejak hari Minggu (tiga hari sebelum Galungan) umat Hindu didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Mereka adalah simbol angkara. Jadi dalam hal ini umat Hindu berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi simbol keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma.

Kemudian pada hari Saniscara (Sabtu) Keliwon Wuku Kuningan, adalah Hari Raya Kuningan. Ini adalah hari raya khusus, dimana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih umat Hindu menerima anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa berupa bahan-bahan sandang dan pangan. Sedangkan di pedesaan biasanya ada beberapa Barong ngelawang diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan.

5.3.2. Siwaratri

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Waça dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri. Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa jagra (tidak tidur), upawasa (puasa makan/minum) dan monabrata (tidak berbicara). Siwaratri juga disebut hari suci pajagran.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Bhatara Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan. Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Bhatara Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Bhatara Siwa tepat di saat beliau beryoga.

Bhatara Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Bhatara Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat Bhatara Yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara surga yang dikirim oleh Bhatara Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Bhatara Yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Bhatara Siwa sudah terlanjur ’sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, melakukan intervensi pada keputusan Bhatara Yama.

5.3.3. Nyepi

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Çaka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (bulan mati kesembilan) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta (air kehidupan). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buana Alit (diri manusia) dan Buana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya:

Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti
Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi lima warna berjumlah 9 paket beserta lauk pauknya, seperti ayam berbulu brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu manusia.

Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pratima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai.

Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut Catur Brata Penyepian dan terdiri dari:
- Amati Geni (tidak menggunakan dan/atau menghidupkan api)
- Amati Karya (tidak bekerja)
- Amati Lelungan (tidak bepergian/keluar rumah)
- Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang)

Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak diwujudkan dengan matekep guwungan (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa, upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru pun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.

Ngembak Geni
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Çaka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal ping pisan (satu) sasih kedasa (kesepuluh). Pada hari inilah Tahun Baru Çaka tersebut dimulai. Umat Hindu seling mengunjungi keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan satu sama lain.

5.3.4. Saraswati

Hari Raya Saraswati diperingati sebagai hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati (ilmu pengetahuan). Hari raya ini diperingati setiap hari Saniscara (Sabtu) Umanis Wuku Watugunung.

Dewi Saraswati merupakan sakti (istri) dari Dewa Brahma. Dewi Saraswati adalah Dewi Ilmu Pengetahuan yang merupakan pelindung/pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, manusia menjadi beradab dan berkebudayaan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan-tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Tangan yang lain memegang Wina (alat musik sejenis rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan yaitu burung besar serupa angsa, tetapi dapat terbang tinggi.

Pada hari raya Saraswati, semua pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai. Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan tidak boleh melewati tengah hari. Selain itu dilakukan juga persembahyangan pada hari raya Saraswati untuk memuja Dewi Saraswati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa).

Di Bali, persembahyangan Saraswati biasanya didominasi oleh para penuntut ilmu yaitu siswa, mahasiswa dan instansi pendidikan serta instansi pemerintahan. Khusus untuk daerah Denpasar, pura yang biasanya paling ramai adalah dijadikan tempat bersembahyang adalah Pura Jagatnata yang terletak di pusat kota Denpasar. Di pagi hari para generasi muda terutama siswa akan berbondong-bondong menuju sekolah masing-masing untuk bersembahyang bersama kemudian dilanjutkan Pura Jagatnata. Dari pagi hari sampai malam harinya tetap saja masih ada yang datang ke Pura Jagatnata, bahkan di malam harinya biasanya sampai terjadi antrian dan berdesak-desakan untuk masuk ke pura.

Perayaan Saraswati juga dilakukan dengan Mesambang Semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati. Banyak kelompok Dharma Gita atau Pesantian yang biasanya melakukan semadhi, membaca pustaka-pustaka, atau melakukan Dharma Gita atau kekawin di tempat-tempat suci, pura atau merajan. Untuk generasi muda, banyak yang begadang di pantai, bersama teman-temannya. Mereka begadang sampai pagi. Namun muncul kesan negatif dari hal ini yaitu generasi muda terutama para siswa yang masih duduk di bangku sekolah menggunakan kesempatan ini untuk berpacaran.

Keesokan harinya, dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni di pagi buta membasuh muka dengan air kumkuman (air kembang). Setelah melakukan upacara dan semadhi di malam hari, masyarakat akan beramai-ramai menuju pantai dan melakukan Banyu Pinaruh serta mandi di pantai. Pantai yang paling ramai dikunjungi biasanya pantai Sanur.


6. PRODUK BUDAYA


6.1. Seni Drama dan Tari

Drama dan tari tidak dapat dipisahkan. Keduanya seperti dua warna permukaan daun sirih, sama-sama mengandung rasa dan aroma yang tidak berbeda. Budaya Bali memiliki banyak sekali ragam kesenian Drama dan Tari. Drama dan tari penuh dengan simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan alam lain dan mimpi-mimpi. Hanya peradaban manusia yang mengerti arti simbol. Simbolisme yang digambarkan oleh para seniman drama dan tari di Bali sangat komunikatif. Tidak hanya menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman yang mudah dicerna tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Drama dan tari tidak hanya menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga menghubungkan alam sekala dan niskala manusia secara harmonis dan estetis. Mengalir terus dipenuhi dengan inovasi baru yang tak pernah terbendung.

6.1.1. Tari Kekebyaran

Tari Kekebyaran meliputi berbagai jenis tarian tunggal, duet, trio, kelompok dan sendratari. Tari-tari ini dikelompokan sebagai Kekebyaran bukan hanya karena diiringi dengan gamelan Gong Kebyar, namun karena gerakannya yang dinamis dan bernafas kebyar. Oleh sebab itu, dalam kelompok ini terdapat Tari Lepas dan Sendra Tari. Tari Lepas adalah tari-tarian yang jangka waktu pentasnya relatif pendek, tidak berkaitan (terlepas-lepas) antara yang satu dengan lainnya, baik yang bercerita maupun tanpa cerita. Sendra Tari adalah sejumlah seni drama tari-tarian berlakon, yang berjangka waktu pentas relatif lebih panjang, dan dimainkan oleh lebih banyak orang.

6.1.1.1. Tari Lepas

Kelompok tari lepas adalah karya cipta profan yang biasanya dikhususkan untuk pertunjukan singkat namun menawan. Cerita dalam seni drama ini tidak saling berkaitan (terlepas-lepas) satu sama lain. Titik beratnya adalah perpaduan keindahan gerak, gamelan pengiring dan busana dan emosi tema yang diperagakannya.

Beberapa contoh tari lepas:

- Merak
- Sekarjagat
- Magoak-goakan
- Pendet
- Puspawresti
- Kebyar Duduk
- Nelayan
- Angkeran
- Panji Semirang
- Mregapati
- Trunajaya
- Oleg Tambulilingan
- Cilinaya
- Kupu-kupu
- Baris “Papotetan”
- Wiranata
- Wirayudha
- Cendrawasih
- Gelatik
- Manukrawa
- Senapati Abhimayu
- Rarad
- Sekar Ibing
- Dharma Putri
- Gopala
- Makepung
- Baris (Tunggal)
- Tenun
- Yudhapati
- Siwa Nataraja
- Tani
- Jaran Teji
- Garuda Wisnu
- Blibis
- Saraswati
- Baris Bandana Manggala Yuda

6.1.1.2. Sendratari

Di samping tari-tarian lepas, sejak sekitar tahun 1960 para pencipta tari di Bali juga telah menghasilkan sejumlah Seni Drama Tari (Sendratari). Sendratari pada hakekatnya adalah hasil kreativitas para seniman modern melalui pengolahan kembali elemen-elemen seni dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah ada. Sebagaimana halnya di Jawa di mana sendratari dibentuk oleh unsur-unsur Wayang Wong dan Wayang Kulit, di Bali sendratari di bentuk dengan memadukan unsur-unsur Pewayangan, Pegambuhan, Pelegongan dan Kekebyaran.

Para ahli dan pengamat seni di Bali sepakat bahwa pencipta sendratari pertama adalah I Wayan Beratha, guru tari dan tabuh pada Konservatori Karawitan (Kokar) Bali di Denpasar (kemudian berubah SMKI dan sekarang menjadi SMK Negeri 3 Sukawati).

Pertumbuhan sendratari di Bali, diawali dengan karya yang menampilkan lakon dari cerita rakyat Bali - Jayaprana. Beberapa tahun kemudian, muncul sendratari-sendratari yang melakonkan babad/sejarah Bali, serta cerita-cerita rakyat dari luar namun cukup dikenal di kalangan masyarakat Bali. Kelahiran tarian berlakon atau dramatari modern ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari kalangan masyarakat luas. Kenyataan ini mendorong I Wayan Beratha untuk menciptakan sendratari lainnya.

Sendratari kedua yang diciptakannya adalah Sendratari Ramayana yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1965 pada hari ulang tahun yang ke-5 Kokar Bali di Denpasar. Dalam kedua sendratari ini (Jayaprana dan Ramayana), I Wayan Beratha masih tetap konsisten dengan konsepnya semula, yaitu menyajikan sebuah cerita atau lakon melalui tari dan karawitan. Walaupun antawacana atau narasi sudah dimasukkan kedalam kedua sendratari ini, peranan narasi masih sebatas memberikan penekanan dramatik bagi adegan-adegan yang terjadi di atas pentas. Disampaikan oleh seorang dalang, dari luar panggung, antawacana masih bersifat pendukung yang tidak terlalu dominan. Dominasi antawacana dalam sendratari Bali mulai tampak kurang sejak pertengahan tahun 1970.

Pada tahun 1978, panitia Festival Gang Kebyar se-Bali mengharuskan setiap wakil dari Kabupaten se-Bali untuk menampilkan sebuah sendratari yang durasinya tidak lebih dari 60 menit. Ketika itu lahir delapan buah sendratari pendek dengan jumlah pelaku utamanya antara 10 sampai dengan 15 orang penari. Yang menarik adalah bahwa dalam semua sendratari yang ditampilkan pada festival ini peranan dalang nampak dominan, bahkan melebihi dari apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Berdasarkan jumlah penarinya, sendratari yang ada di Bali kiranya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sendratari kecil (pada umumnya dibawakan oleh 10 sampai 25 orang penari,seperti yang terjadi antara tahun 1960 sampai 1970) dan sendratari kolosal atau besar (pada umumnya melibatkan antara 50 sampai 150 orang penari, seperti yang terjadi pada sendratari-sendratari yang ditampilkan dalam arena PKB).

Berdasarkan sumber lakonnya, sendratari Bali dapat dibagi kedalam 3 kelompok:
Babad dan Cerita Rakyat
- Jayaprana
- Rajapala
- Sampik Ingtai
- Arya Bebed
- Kebo Iwa
Ramayana
- Ramayana Kecil
- Ramayana Besar (Kolosal)
Mahabarata
- Mahabarata Kecil (sang Kaca)
- Narakesuma
- Mahabarata Besar (Kolosal)


6.1.2. Tari Baris

Sebagai tarian upacara, sesuai dengan namanya "Baris" yang berasal dari kata bebaris yang dapat diartikan pasukan maka tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan prajurit. Tari ini merupakan tarian kelompok yang dibawakan oleh pria, umumnya ditarikan oleh 8 sampai lebih dari 40 penari dengan gerakan yang lincah cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar dan Gong Gede. Setiap jenis, kelompok penarinya membawa senjata, perlengkapan upacara dan kostum dengan warna yang berbeda, yang kemudian menjadi nama dari jenis- jenis tari Baris yang ada.

Tari-tarian Baris yang masih ada di Bali antara lain:

Baris Katekok Jago
Baris yang membawa senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya berwarna hitam dan putih) dan berbusana loreng hitam putih ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben). Umumnya ada di daerah Badung dan Kodya Denpasar. Sedang tarian Baris sejenis di Buleleng disebut Baris Bedug dan di Gianyar disebut Baris Poleng.

Baris Tumbak
Baris yang membawa senjata tombak dan berbusana awiran berlapis-lapis ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya, banyak dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.

Baris Dadap
Baris yang membawa senjata dapdap (semacam perisai), gerakannya lebih lembut dari jenis-jenis tari Baris lainnya dan penarinya menari sambil menyayikan tembang berlaras slendro dengan diiringi gamelan angklung yang juga berlaras slendro dan ditarikan dalam upacara Dewa Yanya kecuali di daerah Tabanan ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya, banyak dijumpai di daerah Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.

Baris Presi
Para penari baris ini membawa senjata keris, dan sejenis perisai yang dinamakan presi. Diadakan dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya. Banyak dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.


Baris Pendet
Tari baris yang para penarinya tampil tanpa membawa senjata perang melainkan sesaji (canang sari), ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya. Di desa Tanjung Bungkak (Denpasar) penari baris ini membawa canang yang disebut canang oyod dan pada bagian akhir tariannya, para penari menari menggunakan kipas sambil "ma-aras-arasan" atau bersuka ria.

Baris Bajra
Baris yang membawa senjata gada dengan ujungnya berbentuk bajra (seperti gada Bhima) dan ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya serta dapat dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.

Baris Tamiang
Baris yang membawa senjata keris dan perisai yang dinamakan tamiang, dapat dijumpai di daerah Badung.

Baris Kupu-kupu
Sesuai dengan temanya, tari Baris ini melukiskan kehidupan binatang kupu-kupu dan penarinya mengenakan sayap kupu-kupu, gerakannya lincah dan dinamis menirukan gerak-gerik kupu-kupu. Hingga kini tari ini ada di desa Renon dan Lebah (Denpasar).

Baris Bedil
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa imitasi senapan berlaras panjang (bedil) terbuat dari kayu, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Klungkung, Bangli dan Badung.

Baris Cina
Tari Baris ini diduga mendapat pengaruh budaya Cina, keunikannya terlihat dari tata busana (celana panjang dengan baju lengan panjang, selempang kain sarung, bertopi, berkacamata hitam serta memakai senjata pedang), geraknya (mengambil gerakan pencak silat), dan iringannya (gamelan Gong Bheri yaitu Gong tanpa moncol). Tarian ini menggambarkan pasukan juragan asal tanah Jawa yang datang ke Bali. Tarian ini ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di desa Renon dan Belanjong, Sanur (Denpasar).

Baris Cendekan
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata tombak yang pendek (cendek), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya.

Baris Panah
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata panah dan ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya, terdapat di daerah Buleleng dan di Bangli.

Baris Jangkang
Baris ini ditarikan oleh penari-penari yang membawa senjata tombak panjang, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Klungkung (Nusa Penida).


Baris Gayung
Baris ini ditarikan oleh sekelompok penari yang terdiri dari para pemangku dengan membawa gayung atau cantil (alat untuk membawa air suci), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar serta Badung.

Baris Demang
Ditarikan oleh sekelompok penari yang menggambarkan tokoh Demang (salah satu dari tokoh Pagambuhan) dalam drama tari klasik Gambuh dengan senjatanya pedang, tumbak, panah dan lain-lainnya. Tari Baris ini terdapat di daerah Buleleng.

Baris Cerekuak
Tarian yang menggambarkan gerak-gerik sekelompok burung air (cerekuak) ketika mencari kekasihnya, burung manuk dewata. Para penarinya memakai busana babuletan (kain yang dicawatkan sampai di atas lutut) dengan hiasan dari daun- daunan pada sekujur tubuh dan kepala, hanya ditampilkan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dengan Gamelan pengiringnya Batel Gaguntangan. Tarian baris tersebut terdapat di daerah Tabanan.

Baris Mamedi
Tarian ini menggambarkan sekelompok roh halus (mamedi) yang hidup ditempat angker seperti kuburan, para penarinya memakai busana yang terbuat dari dedaunan dan ranting yang diambil dari kuburan. Gamelan pengiring tarinya gamelan Balaganjur. Tarian diselenggarakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan terdapat di daerah Tabanan.

Baris Katujeng
Tari ini menggambarkan sekelompok roh halus yang hidup di tempat angker yang dimaksudkan sebagai tari pengantar atman orang yang meninggal menuju sorga, dibawakan oleh sekelompok penari yang mengenakan busana dari dedaunan. Tari baris ini dipertunjukan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben).

Baris Gowak
Tarian yang melukiskan peperangan antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan sekelompok burung gagak pembawa kematian, di mana beberapa pasang penarinya memerankan prajurit Tegal Badeng dan yang lainnya sebagai sekelompok burung gagak dengan kostum yang memakai sayap. Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat desa Selulung, Kintamani (Bangli) dan terdapat dalam Upacara Dewa Yadnya.

Baris Omang
Tari Baris yang mempergunakan senjata tombak tetapi gerakannya perlahan-lahan seperti jalannya siput (Omang), menggambarkan pertempuran antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan pasukan Guwak (burung gagak). Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat Selulung (Kintamani - Bangli, dan terdapat dalam upacara Dewa Yadnya.

Baris Jojor
Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa senjata Jojor (tombak bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa Yadnya dan ada di daerah Buleleng, Bangli dan Karangasem.


Baris Tengklong
Tari yang dibawakan oleh sekelompok penari dengan senjata pedang, gerakannya dinamis, perkasa dan mendekati gerakan pencak silat. Khusus ditampilkan dalam upacara di Pura Penambangan Badung, tepatnya di desa Pamedilan, Kodya Denpasar.

Baris Kelemet
Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari yang memerankan para nelayan, dengan senjata semacam dayung dan menggambarkan orang naik sampan di laut untuk menangkap ikan, tari ini ada dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Badung.

6.1.3. Drama Gong

Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Diakui oleh penciptanya bahwa Drama Gong yang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama tari tradisional Bali seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni campuran) modern.

Unsur-unsur teater modern yang dikawinkan dalam Drama Gong antara lain:
- tata dekorasi
- penggunaan sound efect
- akting
- tata busana

Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik".

Adalah I Gusti Bagus Nyoman Panji yang kemudian memberikan nama baru (Drama Gong) kepada kesenian ini berdasarkan dua unsur baku (drama dan gamelan gong) dari kesenian ini. Patut dicatat bahwa sebelum munculnya Drama Gong di Bali telah ada Drama Janger, sebuah kesenian drama yang menjadi bagian dari pertunjukan tari Janger. Dalam banyak hal, drama Janger sangat mirip dengan Sandiwara atau Stambul yang ada dan populer sekitar tahun 1950.

Drama Gong adalah sebuah drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita-cerita romantis seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtai dan kisah sejenis lainnya termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali. Dalam membawakan lakon ini, para pemain Drama Gong tidak menari melainkan berakting secara realistis dengan dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.


Para pemeran penting dari Drama Gong adalah:
- Raja manis
- Raja buduh
- Putri manis
- Putri buduh
- Raja tua
- Permaisuri
- Dayang-dayang
- Patih keras
- Patih tua
- Dua pasang punakawan

Para pemain mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar. Masyarakat Bali mementaskan Drama Gong untuk keperluan yang kaitannya dengan upacara adat dan agama maupun kepentingan kegiatan sosial. Walaupun demikian, Drama Gong termasuk kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan. Kesenian Drama Gong inilah yang memulai tradisi pertunjukan berkarcis di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial. Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun 1970. Pada masa itu kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya yang mulai kegandrungan Drama Gong. Panggung-panggung besar yang tadinya menjadi langganan Arja tiba-tiba diambil alih oleh Drama Gong. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah sekaa Drama Gong yang masih aktif.

Sekaa-sekaa Drama Gong yang dimaksud antara lain adalah:
- Drama Gong Bintang Bali Timur
- Drama Gong Duta Budaya Bali
- Drama Gong Dewan Kesenian
- Drama Gong Dwipa Sancaya
- dan lain-lain

Terakhir muncul Drama Gong Reformasi yang didukung oleh para bintang Drama Gong dari berbagai daerah di Bali.

6.1.4. Drama Klasik

Drama Klasik pada dasarnya adalah suatu bentuk seni drama yang menyajikan lakon-lakon klasik terutama dari kisah pewayangan. Berbeda dengan yang terjadi dalam Drama Gong, dalam Drama Klasik faktor iringan tidak begitu mengikat dan dalam banyak hal gamelan dimainkan sekedar hanya sebagai ilustrasi yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan ketika terjadi peralihan adegan. Pemusik tidak ditampilkan di pentas melainkan disembunyikan dibalik layar. Lakon dan dialog - dialog dalam Drama Klasik dituangkan kedalam sebuah skenario yang disusun oleh seorang sutradara. Di dalam membawakan lakon, para pemain berakting secara realistis dengan dialog berbahasa Indonesia gaya sandiwara atau bahasa Bali, dengan mengenakan busana yang dirancang mendekati busana pewayangan.

Seni drama modern ini diciptakan oleh seorang tokoh drama asal Badung, Ida Bagus Anom Ranuara, melalui sanggar teater yang dipimpinnya yaitu Sanggar Mini Badung. Kreasi ini muncul menjelang akhir tahun 1970 yang kehadirannya banyak didorong oleh TVRI Denpasar. Penampilan Drama Klasik karya Anom Ranuara sebagian besar melalui tayangan layar kaca. Satu aspek penting yang membedakan drama ini dengan Drama Gong adalah tidak adanya peran Punakawan untuk menterjemahkan dialog para pemeran utama. Set dekorasi dan properti panggung yang realistis menjadi salah satu kekuatan dari Drama Klasik ini. Disamping itu durasi pementasan dari Drama Klasik relatif singkat yaitu sekitar 2 jam, dibandingkan dengan Drama Gong yang bisa dipentaskan semalam suntuk.

6.1.5. Barong

Tarian ini merupakan peninggalan kebudayaan Pra-Hindu yang menggunakan boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan magis.

Topeng Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon, selalu diawali dengan pertunjukan pembuka, yang diiringi dengan gamelan yang berbeda-beda seperti Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Babarongan, dan Gamelan Batel.

Beberapa jenis Barong yang hingga kini masih ada di Bali adalah sebagai berikut:

6.1.5.1. Barong Ket

Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.

Untuk menarikannya Barong ini diusung oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk/Juru Bapang, satu penari di bagian kepala dan yang lainnya di bagian pantat dan ekornya. Tari Barong Keket ini melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang merupakan paduan yang selalu berlawanan (rwa bhineda). Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.

6.1.5.2. Barong Landung

Barong ini mula-mula dipakai untuk mengelabui barisan makhluk halus ganas yang menebar segala bencana penyakit dan marabahaya ke perkampungan penduduk Bali. Makhluk-makhluk halus tersebut dipercaya sebagai anak buah dan hulubalang Ratu Gede Mecaling yang menyeberangi lautan dari Nusa Penida. Oleh seorang pendeta sakti, kemudian penduduk disarankan untuk membuat patung yang mirip sang majikan, tinggi besar, hitam dan bertaring, dan diberi nama Jero Gede Mecaling, atau Ratu Mecaling. Karena itu masyarakat segera membuat tiruan Jero Gede Mecaling dan mengaraknya berkeliling kampung untuk membuat para makhluk halus itu takut dan menyingkir. Sirnalah segala macam penderitaan yang menghantui penduduk selama ini. Untuk penghormatan kepada tiruan Jero Gede, dibuatlah pasangannya yang biasa dipanggil Jero Luh. Kedua Barong Landung itu sering dihibur, diajak berjalan-jalan dan dibuatkan keramaian supaya bisa menari dan bersenang-senang.

Tinggi Barong Landung itu kira-kira dua kali ukuran manusia. Orang yang memperagakannya mendapat penglihatan melalui celah-celah yang dianyam di bagian perut sang Barong.

Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang lebih lengkap dari pada yang hanya sepasang saja, tetapi ada yang diberi peran seperti Mantri, Galuh, Limbur dan sebagainya. Mereka dipakai sebagai anggota dalam pementasan yang membawakan lakon Arja (terutama didaerah Badung) dan diiringi dengan gamelan Batel.

6.1.5.3. Barong Gajah

Barong ini menyerupai gajah, ditarikan oleh dua orang dan termasuk jenis barong yang langka sehingga dikeramatkan warga masyarakat pengemongnya. Dipentaskannya secara berkeliling desa (ngelelawang) tanpa membawakan lakon dan diiringi dengan gamelan batel/tetamburan. Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.

6.1.5.4. Barong Macan

Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor macan dan termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan masyarakat Bali. Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan gamelan batel.

6.1.5.5. Barong Asu

Barong ini menyerupai anjing (asu) dan termasuk jenis Barong yang langka, hanya terdapat di beberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu tanpa lakon dengan diiringi gamelan batel/tetamburan atau Balaganjur.

6.1.5.6. Barong Brutuk

Tarian yang langka, menggambarkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan dan mengenakan busana yang terbuat dari daun pisang kering (keraras), memakai topeng dari batok kelapa, setiap orang membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura, diiringi dengan gamelan Balaganjur/Babonangan. Barong ini terdapat di daerah Trunyan-Kintamani (Bangli).

6.1.5.7. Barong Kadingkling

Barong ini disebut juga Barong Blasblasan, pementasannya secara ngelelawang, para penarinya hanya mengenakan topeng Wayang Wong dengan lakon cuplikan-cuplikan dari cerita Ramayana terutama adegan perang dan setiap tokoh dimainkan oleh satu orang penari yang masih anak-anak, dipentaskan pada hari-hari Raya Galungan maupun Kuningan diiringi dengan gamelan batel dan ada pula yang semacam babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.

6.1.6. Tari Sanghyang

Tari Sanghyang adalah tari sakral, yang terdapat dalam rangkaian sebuah upacara adat suci. Sampai saat ini, tari Sanghyang tidak diadakan sekedar sebagai sebuah tontonan. Tari Sanghyang merupakan tari kerauhan (trance) karena kemasukan roh (bidadari khayangan dan binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan, monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya). Tari ini adalah warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya, yaitu dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat dengan alam gaib. Tarian ini dibawakan oleh penari putri maupun putra dengan iringan paduan suara pria dan wanita yang menyanyikan tembang-tembang pemujaan. Di daerah Sukawati-Gianyar, tari ini juga diiringi dengan Gamelan Palegongan.

Di dalam Tarian ini selalu ada tiga unsur penting yaitu asap/api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka).

Penyelenggaraannya melalui tiga tahap penting yaitu:
- Nusdus (upacara penyucian medium dengan asap/api)
- Masolah (penari yang sudah kemasukan roh mulai menari)
- Ngalinggihang (mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya untuk kembali ke asalnya)

Beberapa jenis tari Sanghyang yang hingga kini masih ada di Bali, antara lain:

6.1.6.1. Sanghyang Dedari

Sebagaimana namanya, tari Sanghyang Dedari ini termasuk tarian sakral yang tidak untuk dipertontonkan sebagai fungsi pertunjukan, tetapi hanya diselenggarakan dalam rangkaian upacara suci. Tarian ini dilakukan oleh sepasang gadis cilik yang belum akil balig. Sebelum menari, kedua gadis tadi diupacarai untuk memohon datangnya sang Dedari ke dalam badan kasar mereka. Prosesi diiringi dengan paduan suara gending sanghyang yang dilakukan oleh kelompok paduan suara wanita dan pria. Kedua gadis itu kemudian pingsan, tanda bahwa roh dedari telah merasukinya.

Kemudian beberapa orang membangunkan dan memasangkan hiasan kepalanya, kedua gadis dalam keadaan tidak sadar, dibawa ke tempat menari. Di tempat menari, kedua gadis kecil itu diberdirikan di atas pundak dua orang pria yang kuat. Dengan iringan gamelan Palegongan, kedua penari menari-nari di atas pundak si pemikul yang berjalan berkeliling pentas. Gerakan tarian yang dilakukan mirip dengan tari Legong. Selama tarian berlangsung, mata kedua gadis itu tetap tertutup rapat. Menari di atas bahu seseorang tanpa terjatuh, tidak mungkin dilakukan oleh gadis-gadis cilik dalam keadaan sadar, apalagi biasanya si gadis belum pernah belajar menari sebelumnya. Sungguh menakjubkan.

Tarian suci ini diadakan dalam upacara memohon keselamatan dari bencana atau wabah penyakit yang menyerang suatu desa.

Tarian ini terdapat di daerah Badung, Gianyar, dan Bangli.

6.1.6.2. Sanghyang Jaran

Ditarikan oleh seorang pria atau seorang pemangku yang mengendarai sebuah kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah daun kelapa. Penarinya kerasukan roh kuda tunggangan dewata dari khayangan, diiringi dengan nyanyian paduan suara yang melagukan gending sanghyang, berkeliling sambil memejamkan mata, berjalan dan berlari-kecil dengan kaki telanjang, menginjak-injak bara api batok kelapa yang dihamparkan di tengah arena.

Tari ini diselenggarakan pada saat-saat prihatin, misalnya terjadi wabah penyakit atau kejadian lain yang meresahkan masyarakat, dan terdapat di daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Bangli.

6.1.6.3. Sanghyang Deling

Ditarikan oleh sepasang gadis cilik yang belum akil balig yang kemasukan roh Dewa Wisnu/Dewi Sri (Dewi Kesuburan). Masing-masing penari memegang sebatang pohon yang dihubungkan dengan seutas benang di mana digantungkan dua buah boneka kecil (deling) yang dibuat dari daun lontar. Gerakan cepat dari deling tersebut menandakan penarinya telah kemasukan roh, kemudian mereka diusung oleh dua orang pengusung diiringi dengan nyanyian paduan suara gending sanghyang, kadang-kadang diiringi juga oleh gamelan. Tarian ini terdapat di daerah Kintamani (Bangli).

6.1.6.4. Sanghyang Sampat

Ditarikan oleh seorang gadis yang telah kemasukan roh halus dengan perantara sapu lidi (sampat) yang digerak-gerakkan secara bebas ke kiri dan ke kanan. Ada pula tarian sejenis yang perantaranya sepotong bambu maka disebut tari Sanghyang Bungbung.


6.1.6.5. Sanghyang Bojog

Penarinya adalah seorang pria dengan busana seperti seekor kera (bojog) dan diiringi dengan nyanyian paduan suara gending Sanghyang. Sebelum dimulai, penarinya melalui tahapan pemanggilan roh kera. Setelah kemasukan, penari akan melompat ke atas pohon dan menirukan tingkah laku seekor kera. Seringkali gerakan yang dilakukan adalah gerakan yang mustahil atau sangat sulit dilakukan oleh manusia yang sadar diri. Pada akhir tarian, penarinya disadarkan dengan memercikkan air suci (tirta). Tarian ini terdapat di daerah Duda (Karangasem).

6.1.6.6. Sanghyang Celeng

Penarinya adalah seorang pria dengan busana terbuat dari ijuk, seperti seekor babi, dan diiringi dengan nyanyian paduan suara Gending Sanghyang yang sakral. Melalui tahap nusdus, roh babi didatangkan, dan dimasukkan ke dalam kesadaran si penari. Setelah kemasukan, penari akan merangkak berkeliling, menirukan tingkah laku seekor babi (masolah). Pada akhir tarian, penarinya disadarkan (ngalinggihang) dengan memercikkan air suci (tirta). Tarian ini terdapat di daerah Duda (Karangasem).

6.1.7. Joged

Merupakan tari pergaulan yang sangat populer di Bali, tari ini memiliki pola gerak yang agak bebas, lincah dan dinamis, yang diambil dari Legong maupun Kekebyaran dan dibawakan secara improvisatif. Biasanya dipentaskan pada musim sehabis panen, hari raya, dan hari penting lainnya. Tari joged ini merupakan tarian berpasangan, laki-laki dan perempuan dengan mengundang partisipasi penonton.

Semua tari Joged (kecuali Joged Pingitan yang memakai lakon Calonarang), selalu ada bagian paibing-ibingannya yaitu tarian bermesraan. Diawali dengan penari joged memilih (nyawat) penonton laki-laki yang diajak menari bersama-sama di atas pentas. Sebagai sebuah kesenian rakyat, tari joged diiringi dengan barungan gamelan yang didominir oleh instrumen-instrumen bambu. Di daerah Tista, Tabanan ada sejenis tari Joged yang mendekati Legong Kraton yang disebut Leko, dan di Bongan Gede, Karangasem terdapat tari Joged yang dianggap sakral yang dinamakan Joged Bisama.

Tari Joged mempunyai banyak macam, antara lain:


6.1.7.1. Joged Bumbung



Tari joged yang diiringi dengan gamelan tingklik bambu berlaras Slendro yang disebut Grantang atau Gamelan Gegrantangan. Tarian ini muncul pada tahun 1946 di Bali Utara dan kini Joged Bumbung dapat dijumpai hampir di semua desa dan merupakan jenis tari joged yang paling populer di Bali.



6.1.7.2. Joged Pingitan

Jenis joged yang dalam pementasannya membawakan suatu lakon dan diiringi dengan gamelan tingklik bambu yang berlaras Pelog, yang disebut Gamelan Joged Pingitan. Disebut Joged Pingitan karena di dalam pementasan tarian ini ada bagian-bagian yang dilarang (dipingit) yaitu pengibing hanya bisa menari untuk dapat mengimbangi gerak tari yang ditimbulkan oleh penari joged dan tidak boleh menyentuh penarinya. Repertoir yang biasa dijadikan suatu lakon adalah kisah Prabu Lasem dan di beberapa tempat ada juga yang mengambil cerita Calonarang. Berdasarkan data-data yang ada, joged ini muncul di Bali sekitar tahun 1884. Semula adalah tarian hiburan bagi raja yang konon penari-penarinya adalah para selir.

6.1.7.3. Joged Gebyog

Jenis tari joged yang diiringi dengan bumbung gebyog yang ritmis berlaras Slendro dan hanya terdapat didaerah Bali bagian barat (daerah Jembrana).

6.1.7.4. Joged Gandrung

Merupakan tari pergaulan yang penarinya laki-laki berhias dan berpakaian wanita, serta diiringi dengan seperangkat Gamelan Tingklik yang terbuat dari bambu yang berlaras pelog. Semula penari Gandrung ini lelaki muda usia berparas tampan namun sekarang Gandrung sudah ditarikan oleh penari wanita. Gandrung hanya dapat diketemukan di beberapa desa di Gianyar, Badung dan Denpasar.

6.1.8. Legong

Sebuah tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari Gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya luwes atau elastis dan kemudian diartikan sebagai gerakan lemah gemulai (tari). Selanjutnya kata tersebut di atas dikombinasikan dengan kata "gong" yang artinya gamelan, sehingga menjadi "Legong" yang mengandung arti gerakan yang sangat terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Sebutan Legong Kraton adalah merupakan perkembangannya kemudian. Adakalanya tarian ini dibawakan oleh dua orang gadis atau lebih dengan menampilkan tokoh Condong sebagai pembukaan dimulainya tari Legong ini, tetapi ada kalanya pula tari Legong ini dibawakan satu atau dua pasang penari tanpa menampilkan tokoh Condong lebih dahulu. Ciri khas tari Legong ini adalah pemakaian kipas para penarinya kecuali Condong.

Gamelan yang dipakai mengiringi tari Legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Lakon yang biasa dipakai dalam Legong ini kebanyakan bersumber pada:
- Cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem
- Cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa)
- Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa)
- Kuntul (kisah burung)
- Sudarsana (semacam Calonarang)
- Palayon
- Chandrakanta dan lain sebagainya.

Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari:
- Papeson
- Pangawak
- Pengecet
- Pakaad

Beberapa daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya:
- Di desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir).
- Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.

Daerah-daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali adalah:
- Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar)
- Binoh dan Kuta (Badung)
- Kelandis (Denpasar)
- Tista (Tabanan)

6.1.9. Arja

Nama Arja di duga berasal dari kata Reja (bahasa sansekerta) yang berarti keindahan. Arja adalah semacam opera khas Bali, merupakan sebuah dramatari yang dialognya ditembangkan secara macapat. Dramatari Arja ini adalah salah satu kesenian yang sangat digemari di kalangan masyarakat.

Arja diperkirakan muncul pada tahun 1820an, pada masa pemerintahan raja Klungkung I Dewa Agung Sakti. Tiga fase penting dalam perkembangan Arja adalah:
- Munculnya Arja Doyong (Arja tanpa iringan gamelan, dimainkan oleh satu orang).
- Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang).
- Arja Gede (yang dibawakan oleh antara 10 sampai 15 pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada sekarang).

Gamelan yang biasa dipakai mengiringi Arja disebut Gaguntangan yang bersuara lirih dan merdu sehingga dapat menambah keindahan tembang yang dilantunkan oleh para penari.

Sumber lakon Arja yang utama adalah cerita Panji (Malat), kemudian lahirlah sejumlah cerita seperti Bandasura, Pakang Raras, Linggar Petak, I Godogan, Cipta Kelangen, Made Umbara, Cilinaya dan Dempu Awang yang dikenal secara luas oleh masyarakat.

Arja juga menampilkan lakon-lakon dari cerita rakyat seperti Jayaprana, Sampik Ingtai, Basur dan Cupak Grantang serta beberapa lakon yang diangkat dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon apapun yang dibawakan Arja selalu menampilkan tokoh-tokoh utama yang meliputi Inya, Galuh, Desak (Desak Rai), Limbur, Liku, Panasar, Mantri Manis, Mantri Buduh dan dua pasang punakawan atau Panasar kakak beradik yang masing - masing terdiri dari Punta dan Kartala. Hampir semua daerah di Bali masih memiliki grup-grup Arja yang masih aktif.

Menjelang berakhirnya abad ke-20 lahir Arja Muani, pemainnya semua pria, sebagian memerankan wanita. Arja ini disambut dengan sangat antusias oleh masyarakat karena menghadirkan komedi segar.

6.1.10. Topeng

Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain dan bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.

Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng bungkulan (yang menutup seluruh muka penari), topeng sibakan (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng sibakan memakai dialog berbahasa kawi dan Bali.

Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan – yang lebih tua, dan Cenikan – yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat).


Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali adalah:
- Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir diseluruh Bali.
- Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon.
- Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.

6.1.11. Gambuh

Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.

Diperkirakan Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.

Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya.

Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.

Gambuh yang masih aktif hingga kini terdapat di desa:
- Batuan (Gianyar)
- Padang Aji dan Budakeling (Karangasem)
- Tumbak Bayuh (Badung)
- Pedungan (Denpasar)
- Apit Yeh (Tabanan)
- Anturan dan Naga Sepeha (Buleleng)

6.1.12. Calonarang

Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa/Pangleyakan dan Panengen. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa Timur) pada abad ke-19. Cerita lain yang juga sering ditampilkan dalam drama tari ini adalah cerita Basur, sebuah cerita rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Bali. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai pertunjukan adu kekebalan (batin).

Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid). Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Karena pagelaran dramatari ini selalu melibatkan Barong Ket maka Calonarang sering disamakan dengan Barong Ket. Pertunjukan Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, maupun Gong Kebyar. Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan pohon pepaya.

6.1.13. Cak

Dramatari Cak adalah sebuah dramatari Bali yang penarinya berkisar antara 50 sampai 150 orang penari yang sebagian besar adalah pria, mereka menari dengan membuat paduan suara, "cak, cak, cak" yang irama ditata sedemikian rupa, sehingga menghasilkan suatu paduan yang sangat harmonis, diselingi dengan beberapa aksen dan ucapan-ucapan lainnya.

Semula cak ini adalah bagian dari pada Tari Sanghyang, namun semenjak kira-kira tahun 1930an memisahkan diri dan menjadi suatu bentuk pertunjukan menyendiri dengan mengambil lakon Ramayana.

Busana khas dari Cak ini adalah busana "babuletan" (kain yang dipakai secara dicawatkan), memakai kampuh poleng (putih hitam). Lampu untuk pertunjukan Cak dinamakan "panyembeyan" yang ditata sedemikian rupa berbentuk candi-candian.

6.1.14. Jauk

Tarian bertopeng yang menggambarkan seorang raja raksasa yang sedang berkelana. Penarinya adalah pria, mengenakan busana yang terdiri dari awiran yang berlapis-lapis, ditambah dengan gelungan jauk dan kaos tangan yang berkuku panjang. Tarian ini lebih bersifat improvisasi dengan struktur koreografi yang fleksible.

Jenis tari Jauk ini antara lain:
- Jauk Keras (Jauk Enggang)
- Jauk Manis (Jauk Longgor)




6.1.15. Rejang


Tarian yang memiliki gerak tari yang sederhana dan lemah gemulai, ditarikan oleh penari putri (pilihan maupun campuran dari berbagai usia) yang dilakukan secara berkelompok atau massal di halaman pura pada saat berlangsungnya suatu upacara. Bisa diiringi dengan gamelan Gong Kebyar atau Gong Gede.

Tari Rejang ini, oleh masyarakat Bali dibagi dalam beberapa jenis berdasarkan status sosial penarinya (Rejang Deha: ditarikan oleh remaja putri), cara menarikannya (Rejang Renteng: ditarikan dengan saling memegang selendang), tema dan perlengkapan tarinya terutama hiasan kepalanya (Rejang Oyopadi, Rejang Galuh, Rejang Dewa, dll).

Di desa Tenganan, dalam upacara "Aci Kasa" ditarikan tari Rejang Palak, Rejang Mombongin, Rejang Makitut dan Rejang Dewa yang diiringi dengan gamelan Selonding yang masing-masing tarian Rejang tersebut dapat dilihat perbedaannya dari simbol-simbol dan benda sakral yang dibawa penarinya, pola geraknya, cara menarikannya dan tata busananya.

6.1.16. Pendet



Tari putri yang memiliki pola gerak yang lebih dinamis dari tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan, ditampilkan setelah tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan dan perlengkapan sesajen lainnya.

6.1.17. Janger

Merupakan jenis tarian pergaulan, terutama bagi muda mudi, yang sangat populer di Bali yang dilakukan oleh sekitar 10 pasang muda-mudi. Selama tarian berlangsung kelompok penari wanita (Janger) dan kelompok penari pria (Kecak) menari dan bernyanyi bersahut-sahutan. Pada umumnya lagu-lagunya bersifat gembira sesuai dengan alam kehidupan mereka. Gamelan yang biasa dipakai mengiringi tari Janger disebut Batel (Tetamburan) yang dilengkapi dengan sepasang gender wayang. Munculnya Janger di Bali diduga sekitar abad ke-20, merupakan perkembangan dari tari sanghyang. Jika kecak merupakan perkembangan dari paduan suara pria, sedangkan jangernya merupakan perkembangan dari paduan suara wanita.

Lakon yang dibawakan dalam Janger antara lain: Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan lain sebagainya. Tari Janger dapat dijumpai hampir di seluruh daerah Bali, masing-masing daerah mempunyai variasi tersendiri sesuai dengan selera masyarakat setempat.

- Di daerah Tabanan tari Janger biasa dilengkapi dengan penampilan peran Dag (seorang berpakaian seperti jenderal tentara Belanda dengan gerak-gerak improvisasi yang kadang-kadang memberi komando kepada penari Janger maupun Kecak).
- Di desa Metra (Bangli) terdapat tari Janger yang pada akhir pertunjukannya para penarinya selalu kerauhan
- Di desa Sibang (Badung) terdapat tari Janger yang diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar yang oleh masyarakat setempat menamakannya Janger Gong.

Sekaa Janger yang kini masih aktif antara lain Janger Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).

6.1.18. Prembon

Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada. Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai Prembon.

Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942, atas prakarsa para seniman dari Badung: I Nyoman Kaler dan dari Gianyar: I Wayan Griya dan I Made Kredek.

Ketika pertama kali diciptakan Prembon lahir dari penggabungan seni Patopengan dan Paarjaan. Lakon yang ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah lainnya sebagaimana halnya dramatari Topeng sedangkan gamelan pengiringnya adalah Gamelan Gong Kebyar.

Di daerah Gianyar, Prembon yang banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetanrian.

6.1.19. Makare-karean

Disebut juga dengan tari Perang Pandan, merupakan salah satu tarian ketangkasan yang melibatkan para pemuda, dengan memakai kostum upacara adat, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tari ini ditampilkan dalam upacara adat di desa Tenganan.

Yang menarik, meskipun nampaknya luka-luka yang ditimbulkan oleh senjata pandan berduri itu cukup parah, namun para penarinya tidak merasakan kesakitan. Pada akhir prosesi, luka-luka itu disembuhkan dengan menyiramkan air suci.

6.1.20. Abuang

Abuang atau Mabuang merupakan tari hiburan dalam upacara penyimpanan Bhatara Bagus Selonding atau disebut upacara ngalemekin, yang ditampilkan sehari setelah upacara tersebut dan tari ini terdapat di desa Tenganan.

6.1.21. Gebug Ende

Tarian rakyat yang merupakan tari adu ketangkasan yang dibawakan oleh kaum pria, masing-masing penari membawa tongkat rotan dan sebuah perisai (tameng/ende) yang berfungsi sebagai pelindung dari serangan lawan. Tarian ini dimaksudkan sebagai tarian untuk memohon hujan, dan terdapat di daerah Karangasem.

6.1.22. Mresi

Tarian ini dibawakan oleh penari putra yang belum menikah, gerakan tarinya sangat sederhana namun berwibawa dengan keris sebagai senjata, mereka menari secara berpasangan dan berkelompok diiringi dengan gamelan Selonding. Busana yang dikenakan adalah busana upacara adat, tarian ini terdapat di desa Tenganan.

6.1.23. Tari Kontemporer

Salah satu tarian kreasi baru yang mempunyai ungkapan artistik yang bebas, muncul sejak makin maraknya pertumbuhan tari-tarian Bali kreasi baru di awal tahun 1970. Di dalam tarian baru ini elemen-elemen seni klasik/ tradisional Bali dipergunakan secara bebas dan kreatif, sesuai rasa estetik individu penatanya.

Kreativitas seperti ini melahirkan garapan tari baru yang inovatif yang menawarkan gagasan atau nafas-nafas baru yang dapat dikelompokkan sebagai tari Bali modern.

Beberapa contoh tarian kontemporer:

6.1.23.1. Cak Rina

Salah satu garapan tari yang mengawali munculnya tari Kontemporer Bali modern adalah Cak Tarian Rina, karya Sardono W. Kusumo di Banjar Teges Kanginan Gianyar pada tahun 1972. Ketika itu Sardono dan sejumlah seniman muda dari Taman Ismail Marzuki Jakarta memasukkan ide-ide gerak dan cerita baru (Subali-Sugriwa) ke dalam Cak ini. Lampu-lampu cak yang berbentuk piramid diganti dengan obor-obor yang dapat dibawa bergerak oleh para pemain, sementara pola kakilitan cak masih tetap dipertahankan. Di dalam beberapa bagian dari adegan Cak Rina ini muncul anak-anak menari, sebagian ada yang telanjang yang kemudian menjadikan pagelaran ini sebuah kontroversi dan karya ini nyaris ditolak oleh para pengamat seni di Bali.

Dua tahun kemudian Sardono menggarap Calonarang di desa Krambitan (Tabanan Bali) yang melahirkan Dongeng dari Dirah. Berbeda dengan tarian Cak Rina, Dongeng dari Dirah berhasil menarik perhatian masyarakat setempat dan memperoleh kesuksesan besar di Paris. Dengan suksesnya ini, kemarahan masyarakat Bali terhadap Sardono atas Cak Rina-nya nampak agak mengendor dan diam-diam beberapa pengamat seni di daerah ini mulai mengagumi karya seniman kelahiran Surakarta ini.

Mulai diterimanya garapan tari kontemporer seperti ini oleh kalangan penonton dan masyarakat setempat merupakan angin sejuk bagi pertumbuhan tari Kontemporer di Bali. Ada sedikitnya 3 buah garapan tari Bali Kontemporer yang patut diketengahkan sebagai bukti munculnya kreasi tari yang sudah mempunyai 'jarak' artistik yang cukup jauh dengan tradisi yang melahirkannya, dan yang mencoba memasukkan unsur-unsur budaya global. Ketiga garapan modern yang dimaksud adalah Setan Bercanda (1976) dan Barong-Barongan (1985) yang keduanya merupakan karya I Wayan Dibia dan tari Ngelawang atau "Barong Nglawang" karya I Ketut Suteja.

6.1.23.2. Cak Subali Sugriwa

Dramatari yang berpangkal pada dramatari Cak ini ciptaan I Wayan Dibia bersama mahasiswa dan dosen ASTI Denpasar. Cak baru yang diciptakan pada tahun 1976 ini sudah tampil beberapa kali di arena Pekan Kesenian Bali, dan pada acara pagelaran lainnya, baik yang bertaraf nasional maupun internasional, di dalam maupun di luar negeri. Yang tidak kalah menariknya adalah pengaruh Cak ini sudah nampak pada pertunjukan akhir-akhir ini. Pola-pola gerak, teknik kakilitan suara cak, dan konfigurasi cak Subali dan Sugriwa kini sudah muncul ke dalam pertunjukan Cak futuristik.

Cak Subali-Sugriwa adalah sebuah garapan baru yang melakonkan pertempuran Subali dan Sugriwa. Adapun lakon yang dibawakan berjudul Kuntir yang mengisahkan perselisihan antara Subali dan Sugriwa. Kisah ini diawali dengan kedatangan Hyang Indra ke tempat Subali dan Sugriwa bersemedi. Hyang Indra meminta kedua putra Resi Gotama ini untuk membunuh Raksasa Lembu Sura dan Mahisa Sura. Jika mereka berhasil, beliau akan memberikan hadiah seorang putri cantik bernama Dewi Tara. Demi ketentraman Khayangan, Subali dan Sugriwa menyatakan kesanggupannya. Ketika Subali masuk istana goa untuk menyerang kedua raksasa ini, ia meminta Sugriwa menutup goa dengan sebuah batu besar, agar kedua raksasa itu tidak melarikan diri. Namun ketika cairan merah dan putihpun keluar dari dalam goa yang ditafsirkan oleh Sugriwa bahwa kakaknya sudah mati terbunuh.

Kisah selanjutnya dari lakon Kuntir ini adalah sama dengan yang terjadi dalam cerita Kiskenda Kanda. Sementara teknik kakilitan suara "cak cak cak" masih dipergunakan di dalam cak modern ini, formasi lingkaran berlapis-lapis mengelilingi lampu, seperti yang dilakukan kepada cak "tradisional", ditiadakan atau dikurangi. Para penari cak disebarkan di sekitar stage untuk membuat berbagai macam konfigurasi seperti gunung, batu-batuan tempat bertapanya Subali dan Sugriwa, goa, pepohonan, dan lain-lainnya sesuai dengan kebutuhan dekorasi cerita. Perubahan mendasar yang terjadi dalam cak ini adalah dalam hal gerak. Dalam cak ini semua penari bergerak secara aktif, secara berkelompok maupun perorangan. Ada bagian-bagian koreografi di mana penari berguling-guling di lantai atau berlari berhamburan sambil mengeluarkan suara menjerit atau ketawa-ketawa kecil secara tidak beraturan. Kadang kala ada gerak yang dilakukan secara cepat, dan ada juga secara lambat (slow motion). Lampu cak yang berbentuk piramid diganti dengan obor-obor yang dibawa oleh para penari.

Pada bagian akhir, perang antara Subali dan Sugriwa dilakukan di atas pundak orang-orang, dan mayat Subali dibungkus kain putih dan diusung keluar seperti yang terjadi dalam upacara kematian orang Bali.

6.1.23.3. Setan Bercanda

Tari ini menggambarkan sekelompok setan anak buah Ratu Gede Macaling yang menari-nari keriangan di tengah malam untuk menyebarkan wabah penyakit. Ditarikan oleh antara 5-6 orang penari pria yang bertelanjang dada dan berbusana daun-daunan, Setan Bercanda diiringi dengan musik yang sangat sederhana dari batu-batuan, pecahan bambu dan sepasang gangsa dari gamelan angklung. Embryo dari pada tarian ini adalah tari "Wabah" yang disajikan I Wayan Dibia pada ujian komposisi modern untuk ujian tingkat Seniman Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta pada 1974. Setan Bercanda pernah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan di antara para pemerhati seni di Bali. Pada tahun 1978, setelah tarian ini ditayangkan di televisi, sebagai bagian dari acara Bhinneka Tunggal Ika bingkisan TVRI Denpasar, muncul berbagai kritik pedas melalui suara pembaca Bali Post, sementara ada juga yang menyambutnya dengan nada positif.

Walaupun tarian ini sesungguhnya masih bersumber pada berbagai jenis tarian tradisional Bali seperti tari Baris Ketujeng, Baris Memedi dan Sanghyang Jaran. Karena wajah dan penampilannya yang masih aneh, tak urung kreasi ini dituding sebagai kreasi yang dapat merusak kelestarian seni tradisi (budaya Bali).

Setelah bencana Setan Bercanda ini, untuk beberapa waktu penciptaan tari-tarian Bali kontemporer nampak menurun bahkan terhenti. Hal ini terbukti dari tidak munculnya tarian-tarian aneh hingga tahun 1984. Polemik yang berkepanjangan dan kritik-kritik pedas yang ditujukan kepada Setan Bercanda-nya Dibia nampaknya membuat para koreografer muda menjadi sedikit ketakutan untuk membuat garapan tari aneh.

6.1.23.4. Barong Barongan

Pada tahun 1985, setelah kembali dari Amerika (UCLA), I Wayan Dibia menciptakan sebuah garapan baru yang diberi nama Barong-barongan. Garapan ini menggambarkan sekelompok remaja, putra putri yang menari sambil menirukan gerak-gerik Barong Ket. Tari ini lahir dari sebuah pengalaman pribadi dari penciptanya (sebagai penari Barong Ket). Barong-barongan diiringi dengan musik yang sangat sederhana dari batu dan pecah-pecahan bambu yang dimainkan secara kakilitan, cengceng dan sebuah tingklik bambu. Barong-barongan pernah ditampilkan baik dalam pagelaran bertaraf lokal maupun internasional.

Pada tahun 1985 Barong-barongan ditampilkan di PKB tahun 1985, pada tahun 1986 ia juga ditampilkan sebagai salah satu mata acara tari dan musik Bali dari STSI Denpasar ke Hongkong, pada tahun 1990 dimasukkan dalam garapan Body Tjak, dan tahun 1994 ditampilkan di Tanz '94 sebagai pemegang posisi ke 7 dalam Internationales Tanz-Festival.

6.1.23.5. Ngelawang

Pada tahun 1992 I Ketut Suteja, dosen STSI Denpasar, menampilkan sebuah garapan tari kontemporer yang diberi nama Ngelawang. Tari ini banyak diilhami oleh tari Barong Ket yang tidak asing lagi bagi masyarakat Bali. Ngelawang (dari kata lawang yang artinya pintu) adalah sebuah istilah dalam bahasa Bali yang berarti pertunjukan yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain, atau dari satu desa ke desa yang lain. Pertunjukan seperti ini biasa dilakukan pada waktu hari-hari raya besar seperti Galungan dan Kuningan. Di tempat-tempat tertentu ngelawang juga diadakan apabila disuatu desa terjadi wabah penyakit.

Dalam garapan ngelawang-nya ini Suteja memasukan ide yang kedua; ngelawang untuk mengusir roh-roh jahat. Dalam garapan ini juga Suteja memasukan cukup banyak gerak-gerak baru yang penuh vitalitas dan memakai gamelan Balaganjur untuk mengiringi garapan ini. Ngelawang ditarikan oleh 8 orang penari yang terdiri dari 4 orang penari putra dan 4 orang penari putri. Di dalam tarian ini ditampilkan 2 buah barong buntut (hanya bagian depan dari barong ket) dan sebuah punggalan (topeng) barong ket. Oleh karena begitu dominannya bentuk barong di dalam garapan ini, maka garapan ini juga disebut sebagai "Barong Ngelawang".

Sejak tahun 1992 para pencipta tari di Bali telah berhasil menciptakan beberapa karya penting walaupun pementasannya mungkin hanya dilakukan satu kali. Di antara garapan-garapan tari Kontemporer yang dimaksud adalah Cak Seni Rupa Lata Mahosadhi (1995) dan Ruwatan Bumi (1997), kedua hasil karya Nyoman Erawan, dan Ramwana: Ketika Rama Menjadi Rahwana (1999) karya I Wayan Dibia. Garapan-garapan ini menawarkan beberapa hal baru yang terlihat dalam tema, elemen pertunjukannya dan tata pementasannya. Cak Seni Rupa Erawan menyajikan tafsiran baru terhadap kisah Lata Mahosadhi dan permainan warna-warna cair. Ruwatan Bumi menawarkan tema ruwatan diri yang dilakukan terhadap penciptanya sendiri (Erawan) yang digundul dalam pertunjukan ini. Ram-wana menawarkan interpretasi baru terhadap kisah Ramayana yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik pada tahun 1999. Dalam karya Erawan dan Dibia ini dilibatkan pembacaan puisi dan seni rupa instalasi di alam terbuka.

6.2. Wayang Kulit

Wayang Kulit, seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya, adalah salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering mempergelarkan Wayang Kulit dalam kaitan dengan upacara agama Hindu, upacara adat Bali, maupun sebagai hiburan semata.

Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke-9. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 (896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang.

Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang pria.

Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi: dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125-130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).

Wayang Kulit Bali terdiri dari dua jenis, yaitu:

6.2.1. Wayang Lemah

Dipentaskan pada umumnya siang hari (lemah) dan dilihat dari fungsinya adalah termasuk kesenian pelengkap upacara keagamaan. Di beberapa tempat disebut dengan Wayang Gedog.

Wayang ini dipentaskan tanpa menggunakan layar atau kelir, dan lampu blencong. Dalam memainkan wayangnya, dalang menyandarkan wayang-wayang pada seutas benang putih (benang tukelan) sepanjang sekitar setengah sampai satu meter yang diikat pada batang kayu dapdap yang dipancangkan pada batang pisang di kedua sisi dalang.

Gamelan pengiringnya adalah gender wayang yang berlaras slendro (lima nada). Wayang upacara ini, pementasannya sangat tergantung pada waktu pelaksanaan upacara keagamaan yang diiringinya, sehingga dapat dipentaskan pada siang hari, sore ataupun malam hari.

Pendukung pertunjukan ini adalah yang paling kecil, 3 sampai 5 orang yang terdiri dari seorang dalang dan satu atau dua pasang penabuh gender wayang. Sebagai kesenian upacara, pertunjukan wayang lemah biasanya mengambil tempat di sekitar tempat upacara dengan tidak mempergunakan panggung pementasan khusus.

Lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita Mahabrata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan upacara yang diiringinya. Jangka waktu pementasan Wayang Lemah pada umumnya singkat, sekitar 1 sampai 2 jam.

6.2.2. Wayang Peteng

Sesuai dengan namanya, Wayang Peteng dipentaskan pada malam hari (peteng berarti malam) secara terbuka untuk umumnya, sebagai sajian hiburan.

Walaupun demikian, ada jenis Wayang yang identik penampilannya, hanya saja waktu penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu upacara keseluruhan.

Wayang Peteng terdiri dari beberapa jenis, di antaranya:

6.2.2.1. Wayang Parwa

Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang membawakan lakon-lakon yang bersumber dari wiracarita Mahabrata yang juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa. Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang paling populer dan terdapat di seluruh Bali. Wayang Parwa dipentaskan pada malam hari, dengan memakai kelir dan lampu blencong dan diiringi dengan Gamelan Gender Wayang.

Walaupun demikian, ada jenis Wayang Parwa yang waktu penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu upacara keseluruhan.

Wayang Parwa dipentaskan dalam kaitannya dengan berbagai jenis upacara adat dan agama walaupun pertunjukannya sendiri berfungsi sebagai hiburan yang bersifat sekuler. Dalam pertunjukannya, dalang Wayang Parwa bisa saja mengambil lakon dari cerita Bharata Yudha atau bagian lain dari cerita Mahabharata. Oleh sebab itu jumlah lakon Wayang Parwa adalah paling banyak.

Di antara lakon-lakon yang umum dipakai, yang diambil dari kisah Bharata Yudha adalah:
- Gugurnya Bisma
- Gugurnya Drona
- Gugurnya Abhimanyu
- Gugurnya Karna
- Gugurnya Salya
- Gugurnya Jaya-drata

Lakon-lakon terkenal sebelum Bharata Yudha misalnya:
- Sayembara Dewi Amba
- Pendawa-Korawa Aguru
- Pendawa-Korawa Berjudi
- Sayembara Drupadi
- Lahirnya Gatut Kaca
- Aswameda Yadnya
- Kresna Duta
- Matinya Supala

Wayang Parwa biasanya didukung oleh sekitar 7 orang yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 4 orang penabuh gender wayang (yang memainkan sepasang pemade dan sepasang kantilan). Durasi pementasannya berkisar antara 3 sampai 4 jam.

6.2.2.2. Wayang Ramayana

Adalah wayang kulit yang membawa lakon-lakon dari wiracarita Ramayana. Wayang ini dipentaskan pada malam hari, memakai kelir dan lampu blencong, dengan diiringi gamelan batel pewayangan berlaras slendro lima nada yang energik dan dinamis. Wayang Ramayana biasanya dipentaskan sebagai sajian seni hiburan yang bersifat sekuler. Dalam pertunjukannya, dalang wayang Ramayana pada umumnya mementaskan lakon dari bagian Kiskenda Kanda sampai dengan Uttara Kanda.

Lakon-lakon wayang Ramayana yang biasa disajikan antara lain:
- Perang Subali Sugriwa
- Karebut Kumbakarna
- Anggada Lina
- Meganada Antaka
- Katundung Hanoman
- Kabiseka Anggada
- Anoman Watugangga
- Rama Hilang

Salah satu ciri khas dari pertunjukan Wayang Ramayana adalah penampilan pasukan keranya (palawaga) dengan pola gerak dan iringan musiknya yang berbeda-beda. Wayang Ramayana didukung oleh sekitar 14 (empat belas) orang yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 11-12 orang penabuh Gamelan Batel Pawayangan yang mengiringi. Durasi pementasan wayang ini berkisar antara 3 sampai 4 jam.

6.2.2.3. Wayang Gambuh

Adalah salah satu jenis wayang Bali yang langka, pada dasarnya adalah pertunjukan Wayang Kulit yang melakonkan ceritera Malat, seperti wayang panji yang ada di Jawa.

Karena lakon dan pola acuan pertunjukan adalah Dramatari Gambuh, maka dalam banyak hal wayang Gambuh merupakan pementasan Gambuh melalui wayang kulit. Tokoh-tokoh yang ditampilkan ditransfer dari tokoh-tokoh Pegambuhan, demikian pula gamelan pengiring dan bentuk ucapan-ucapannya.

Konon perangkat wayang Gambuh yang kini tersimpan di Blahbatuh adalah pemberian dari raja Mengwi yang bergelar I Gusti Agung Sakti Blambangan, yang membawa wayang dari tanah Jawa (Blambangan) setelah menaklukan raja Blambangan sekitar tahun 1634.

6.2.2.4. Wayang Calonarang

Wayang Calonarang juga sering disebut sebagai wayang Leyak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari ceritera Calonarang. Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan, wayang Calonarang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (Wayang Parwa).

Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 9 orang penabuh.

Diantara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Calonarang ini adalah:
- Katundung Ratnamangali
- Bahula Duta
- Pangesengan Beringin

Kekhasan pertunjukan wayang Calonarang terletak pada tarian sisiya-nya dengan teknik permainan ngalinting dan adegan ngundang-ngundang di mana sang dalang membeberkan atau menyebutkan nama-nama mereka yang mempraktekkan pangiwa. Hingga kini wayang Calonarang masih ada di beberapa Kabupaten di Bali walaupun popularitasnya masih di bawah wayang Parwa.

6.2.2.5. Wayang Cupak

Wayang Cupak termasuk wayang kulit Bali yang sangat langka, adalah pertunjukan wayang kulit yang melakonkan cerita Cupak Grantang yang mengisahkan perjalanan hidup dari dua putra Bhatara Brahma yang sangat berbeda wataknya.

Bentuk pertunjukan wayang ini tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Bali lainnya hanya saja tokoh-tokoh utamanya terbatas pada Cupak dan Grantang, Men Bekung dan suaminya Pan Bekung, Raksasa Benaru, Galuh Daha, Prabu Gobagwesi, dan lain sebagainya.

Pertunjukan wayang Cupak pada dasarnya masih tetap berpegang kepada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (wayang Parwa).

Pagelaran Wayang Cupak melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 9 orang penabuh gamelan batel gender wayang.

Di antara lakon-lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan wayang Cupak, adalah:
- Matinya Raksasa Benaru
- Cupak Dadi Ratu
- Cupak Nyuti Rupa (Cupak ke sorga)

Kekhasan pertunjukan wayang Cupak ini terasa pada seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat (ginada) dan penampilan tokoh-tokoh Bondres yang sangat ditonjolkan. Wayang Cupak sangat populer di daerah Kabupaten Tabanan.

6.2.2.6. Wayang Sasak

Di Karangasem terdapat wayang kulit bernafaskan budaya Islam dari kelompok suku Sasak (Lombok Barat) yang disebut Wayang Sasak. Wayang yang mengambil lakon-lakon dari cerita Islam, khususnya dari Serat Menak ini, belakangan ini sudah sangat jarang dipentaskan karena para pelakunya terutama dalangnya yang sudah tiada.

Wayang Sasak dalam banyak hal merupakan perpaduan unsur-unsur seni budaya Bali dengan Sasak. Walaupun lakon yang dibawakan adalah cerita Islam, bahasa yang dipakai terdiri dari bahasa Kawi, Bali dan Sasak. Gamelan pengiringnya, seperti yang terlihat dalam Festival Wayang Walter Spies tahun 1996, adalah ensambel kecil yang terdiri dari:
- sebuah suling
- sebuah pleret
- sepasang kendang
- sebuah kempul
- tawa-tawa
- cengceng kecil

Gamelan seperti ini banyak persamaannya dengan gamelan Arja atau Pagambuhan Bali. Tata penyajian Wayang Sasak sama dengan Wayang Kulit Bali; penonton menyaksikan bayangan wayang dari balik kelir (bukan dari sisi dalang).

6.2.2.7 Wayang Arja

Adalah sebuah ciptaan baru yang diciptakan pada tahun 1975 oleh dalang I Made Sidja dari desa Bona, atas dorongan almarhum I Ketut Rindha. Permunculan wayang ini banyak dirangsang oleh kondisi kehidupan Dramatari Arja yang ketika itu memprihatinkan, didesak oleh Drama Gong. Walaupun masih tetap mempertahankan pola pertunjukan wayang tradisional Bali, Wayang Arja menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita Panji (Malat).

Dalam wayang ini plot dramatik disusun hampir sama dengan yang terdapat di dalam Dramatari Arja. Oleh sebab itu pertunjukan Wayang Arja berkesan pagelaran Arja dalam bentuk Wayang Kulit. Pertunjukan Wayang Arja melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 9 orang penabuh Gamelan Gaguntangan yang berlaras pelog dan slendro.

Di antara lakon-lakon yang biasa ditampilkan adalah:
- Waringin Kencana
- Klimun Ilang Srepet Teka
- Pakang Raras
- Banda Kencana

Kekhasan pertunjukan Wayang Arja terasa pada seni suara vokalnya yang memakai tembang-tembang macapat yang biasa dipergunakan dalam pertunjukan Dramatari Arja. Juga, bentuk wayangnya menirukan tokoh-tokoh utama dalam Arja dengan segala atributnya. Wayang Arja kurang begitu populer di Bali, walaupun dalang yang biasa membawakan wayang ini terdapat hampir di seluruh Bali.

6.2.2.8. Wayang Tantri

Wayang Tantri adalah wayang kreasi baru. Walaupun struktur pertunjukan, bentuk-bentuk wayangnya dan dialognya masih tetap mengacu kepada wayang tradisional Bali (kecuali figur-figur binatangnya).

Lakon yang dibawakan adalah cerita Ni Diah Tantri dan cerita-cerita mengenai kehidupan binatang lainnya. Wayang ini pertama kali diciptakan pada tahun 1981 oleh I Made Persib, mahasiswa jurusan Seni Pedalangan pada Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, sebagai sebuah garapan pakeliran baru untuk ditampilkan pada Festival Seni Institut Kesenian Indonesia (IKI) di Bandung.

Waktu itu Made Persib memilik lakon "Pedanda Baka" atau "Cangak Maketu". Dua tahun kemudian, dengan penafsiran dan penggarapan yang lebih kaya, didukung ketrampilan teknik yang lebih matang, dalang kondang I Wayan Wija dari Banjar Babakan Sukawati mementaskan Wayang Tantri versi baru yang diiringi dengan gamelan batel Semar Pagulingan yang berlaras pelog. Jumlah pemain Wayang Tantri hampir sama dengan Wayang Ramayana.

Selain seorang dalang dengan dua orang pembantunya, dalam rombongan Wayang Tantri ini juga ada sekitar 13 orang penabuh gamelan yang memainkan 4 gender rambat, 2 kendang, 1 kajar, 1 klenang, 1 kempur dan kemong, 1 cengceng dan beberapa buah suling. Munculnya wayang Tantri ini tentu saja semakin memperkaya dan menyemarakkan seni pewayangan Bali. Namun yang lebih penting untuk dicatat adalah bahwa wayang Tantri membawa inovasi penting terutama dalam seni musik wayang yang selama ini didominir oleh musik-musik berlaras slendro. Juga cukup menonjol adalah penampilan figur-figur binatang dengan gerak-geriknya yang mendekati kenyataan.

6.2.2.9. Wayang Babad

Wayang Babad adalah wayang kulit kreasi baru Bali yang paling muda dan oleh sebab itu masih mencari-cari identitas diri. Walaupun struktur pertunjukan bentuk-bentuk wayangnya dan dialognya masih tetap mengacu kepada pola wayang tradisional Bali, kecuali figur- figur bondresnya, lakon yang dibawakan adalah cerita sejarah Bali atau Babad, sumber lakon dari dramatari Topeng Bali.

Wayang ini pertama kali diciptakan dan dipentaskan pada tahun 1988 oleh I Gusti Ngurah Serama Semadi sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan program Seniman pada jurusan Pedalangan STSI Denpasar. Konon penciptaan Wayang Babad ini mendapat inspirasi dari pagelaran Wayang Topeng oleh dalang I Made Sidja dari desa Bona. Tahun 1995 I Ketut Agus Supartha, mementaskan wayang sejenis dengan penafsiran, penataan dan pengembangan pementasan yang lebih kaya. Sementara lakon yang dibawakan masih bersumber pada cerita Babad, dalang Ketut Partha tampil dengan gamelan Semar Pagulingan yang berlaras pelog. Pada tahun 1966, Ketut Ciptadi juga menampilkan Wayang Babad sebagai tugas akhirnya dalam menyelesaikan program Sarjana (S1) pada jurusan Pedalangan di STSI Denpasar. Jumlah pemain Wayang Babad hampir sama dengan wayang Tantri, 17 (tujuhbelas) orang, yaitu: 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, dan 14 orang penabuh gamelan Semar Pagulingan yang sudah dimodifikasikan untuk pementasan wayang kulit, tanpa trompong dan pengurangan instrumen lain.

Munculnya Wayang Babad, di samping memperkaya dan menyemarakkan seni perwayangan Bali, juga membawa inovasi penting terutama dalam lakon. Dengan Wayang Babad masyarakat Bali dapat menyaksikan kisah perjalanan para leluhur melalui pertunjukan wayang.

6.2.2.10. Wayang Wong

Wayang Wong pada dasarnya adalah seni pertunjukan topeng dan perwayangan dengan pelaku-pelaku manusia atau orang (wong). Dalam membawakan tokoh-tokoh yang dimainkan, semua penari berdialog, semua tokoh utama memakai bahasa Kawi sedangkan para punakawan memakai bahasa Bali. Pada beberapa bagian pertunjukan, para penari juga menyanyi dengan menampilkan bait-bait penting dari Kakawin.

Di Bali ada dua Jenis Wayang Wong, yaitu Wayang Wong Ramayana, dan Wayang Wong Parwa. Wayang Wong Ramayana kemudian disebut Wayang Wong saja, ialah dramatari perwayangan yang hanya mengambil lakon dari wiracarita Ramayana. Hampir semua penari mengenakan topeng. Diiringi dengan gamelan Batel Wayang yang berlaras Slendro.

Terdapat di desa-desa:
- Mas, Telepud, Den Tiyis (Gianyar)
- Marga, Apuan, Tunjuk, Klating (Tabanan)
- Sulahan (Bangli)
- Wates Tengah (Karangasem)
- Bualu (Badung)
- Prancak, Batuagung (Jembrana)

Wayang Wong Parwa yang biasa disebut Parwa yakni dramatari wayang wong yang mengambil lakon wiracarita Mahabrata (Asta Dasa Parwa). Para penarinya umumnya tidak mengenakan topeng, kecuali para punakawan, seperti Malen, Merdah, Sangut, Delem. Diiringi gamelan Batel Wayang yang berlaras Slendro. Parwa terdapat di desa-desa:
- Sukawati, Teges, Pujung (Gianyar)
- Blahkiuh (Badung).

6.3. Seni Tembang

Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi empat kelompok:
1. Gegendingan
2. Sekar Alit
3. Sekar Madya
4. Sekar Agung

6.3.1. Gegendingan

Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.

Ada tiga jenis gegendingan:

6.3.1.1. Gending Rare

Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira.

Biasanya tiap lagu dilengkapi (atau sebagai pelengkap dari) sebuah permainan (dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat (gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak terlalu diikat oleh hukum/uger-uger seperti guru lagu atau padalingsa. Beberapa contoh dari Gending Rare ini antara lain:
- Meong-meong
- Juru Pencar
- Ongkek-ongkek Ongke
- Indang-indang Sidi
- Galang Bulan
- Ucung-ucung Semanggi
- Pul Sinoge

Pada jenis gending ini, ada yang seluruh baitnya merupakan isi, dan ada pula yang mengandung bait- bait sampiran bahkan ada yang hanya berupa sampiran tanpa isi yang jelas artinya.

6.3.1.2. Gending Jejangeran

Gending Jejangeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan bersama-sama saling sahut-menyahut antara kelompok satu dengan yang lain. Ada yang menjadi janger (kelompok putri) ada yang menjadi kecak (kelompok putra). Lama kelamaan Gending Jejangeran ini dinyanyikan juga oleh orang-orang dewasa di dalam tontonan dengan jalan memberi variasi gerak-gerik atau variasi lakon (lelampahan). Beberapa contoh dari Gending Jejangeran ini antara lain:
- Putri Ayu
- Siap Sangkur
- Mejejangeran

6.3.1.3. Gending Sanghyang

Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) Sanghyang-Sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan jaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang, yang meliputi tarian Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat dan sebagainya. Sistem atau ortenan tembang-tembang ini sama dengan gending-gending rare lainnya, pengertian yang dihasilkan dari isi gending ini sering abstrak, dan tidak menentu karena sulit dicerna. Ini sesuai dengan kaidah gegendingan yang tidak menuntut pengertian yang utuh dan runtut seperti halnya Tembang Macapat. Beberapa contoh dari Gending Sanghyang ini antara lain:
- Puspa Panganjali
- Kukus Arum
- Suaran Kumbang

6.3.2. Sekar Alit

Berbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat), kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat oleh hukum padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger (peraturan) yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).

Adapun jenis-jenis tembang macapat (pupuh) yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat, di antaranya adalah:
- Pupuh Sinom, contohnya: Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Sinom Dingdong, Sinom Sasak, Sinom Lawe, Sinom Genjek dan Sinom Silir.
- Pupuh Ginada, contohnya: Ginada Basur, Ginada Linggar Petak, Ginada Jayapura, Ginada Bagus Umbara, Ginada Candrawati dan Ginada Eman-eman/Bungkling.
- Pupuh Durma, contohnya: Durma Lumrah dan Durma Lawe.
- Pupuh Dangdang, contohnya: Dangdang Gula
- Pupuh Pangkur, contohnya: Pangkur Lumrah dan Pangkur Jawa/Kakidungan
- Pupuh Ginanti, contohnya: Ginanti Lumrah dan Ginanti Pangalang
- Pupuh Semarandana, contohnya: Semarandana Lumrah dan Semarandana Mendut
- Pupuh Pucung
- Pupuh Megatruh
- Pupuh Gambuh
- Pupuh Demung
- Pupuh Adri

Masing-masing pupuh yang tersebut di atas mengandung suasana kejiwaan yang berbeda-beda. Suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut sangat berguna untuk mengungkapkan suatu suasana dramatik dari suatu cerita/lakon. Secara umum hubungan antara suasana dengan jenis pupuh dapat dilukiskan sebagai di bawah ini:

Suasana Jenis Pupuh
Aman, tenang, tentram Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati, dll
Gembira, riang, meriah Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatruh, dll
Sedih, kecewa, tertekan Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-eman, Maskumambang, Demung, dll
Marah, tegang, kroda Durma dan Sinom Lumrah

Sekalipun demikian, pengaruh dari si penyanyi yang membawakan pupuh tersebut dapat mengubah suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut. Perlu pula diketahui bahwa kelompok tembang ini disebut pupuh adalah berdasarkan bagan atau kerangka lagu yang ada pada masing-masing pupuh ini. Berdasarkan isi atau cerita yang diungkapkan, jenis tembang ini juga di sebut guritan menurut cerita yang dikandungnya. Guritan Basur berarti tembang macapat yang mengungkapkan cerita Basur. Begitu pula halnya Guritan Jayaprana, Sampik, Linggarpetak dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai dalam kelompok tembang macapat ini adalah bahasa Kawi (Jawa Kuno) dan bahasa Bali. Berdasarkan hukum padalingsa-nya tembang-tembang macapat Bali ini dapat disusun seperti tabel berikut ini:

Nama Pupuh Jumlah suku kata dan huruf hidup akhir pada setiap baris kalimat tembang beserta nomor barisnya
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sinom 8a 8i 8a 8i 8i 8u/o 8a 8i 12a
Ginada 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a
Pucung 4u 8u 6a 8i 12a
Maskumambang 4a 8i 6a 8i 8a
Ginanti 8u 8i 8a 8i 8a 8i
Durma 12a 8i 8a 8a 8i 5a 8i
Pangkur 8a 12i 8u 8a 12u 8a 8i
Semarandana 8i 8a 8o 8a 8a 8u 8a
Mijil 10i 6o 4e 10e 8i 6i 8u
Magatruh 12u 8i 8u 8i 8o
Demung 12a 8i 8u 8i 8a 8u 8a 8i 8a 8u
Dangdang 14a 14e 8u 8i 8a 8u 12a 8i 8a
Adri 12u 8i 8i 12u 8u 8a/e 8u 8a 8a

6.3.3. Sekar Madya

Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh guru lagu maupun padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti:
- Pangawit (pembuka)
- Pamawak (bagian yang pendek)
- Panama (bagian yang panjang)
- Pangawak (bagian utama dari tembang)

Tembang-tembang yang tergolong dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah kidung atau kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari pangawit, panama dan pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.

Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog saih pitu (pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/tengahan. Modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan. Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain:
- Aji Kembang
- Kaki tua
- Sidapaksa
- Ranggadoja
- Rangga Lawe
- Pamancangah
- Wargasari
- Pararaton
- Dewaruci
- Sudamala
- Alis-alis Ijo
- Bhrahmana sang Uttpati
- Caruk
- Bhuksah

Selain kidung,ada pula jenis tembang lain yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni wilet dengan jenis-jenisnya antara lain:
- Mayura
- Jayendria
- Manjangan Sluwang
- Silih-asih
- Sih Tan Pegat

6.3.4. Sekar Agung

Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi penggunaan bahasanya, kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan tersendiri. Ada dugaan bahwa kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Di dalam kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:
- Pengawit/penyemak (pembukaan)
- Panampi/pangisep
- Pangumbang
- Pamalet Kakawin (dilakukan dengan diselingi terjemahannya)

Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti:
- Aswalalita
- Wasantatilaka
- Tanukerti
- Sardulawikradita
- Watapatia Wangeasta
- Wirat
- Çekarini
- Girisa
- Prtiwitala
- Puspitagra
- Saronca

Di samping tembang-tembang di atas masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang bertembang. Jenis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:
- Sasonggaan (kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa)
- Bladbadan (kalimat yang mengandung arti kiasan)
- Wawangsalan (kalimat bersajak)
- Sasawangan (kalimat perbandingan)
- Papindaan (kalimat perbandingan)
- Tandak (kalimat yang dilagukan melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya)
- Pangalang (tembang pendahuluan)
- Sasendon (semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama)

Untuk dapat menyanyi dengan baik seorang penembang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Suara harus bagus dan tahu pengolahannya
- Nafas panjang serta tahu mengaturnya
- Mengerti masalah laras (selendro dan pelog)
- Mengerti tetabuhan dan menguasai perihal matra
- Tahu hukum/uger-uger yang ada pada masing-masing kelompok tembang
- Memahami seni sastra

6.4. Seni Karawitan

Seni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional. Di Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya. Berikut ini beberapa contoh instrumen dalam seni karawitan:


Angklung



Gender


Gangsa Kantilan


Gangsa Pamade


Gangsa Ugal


Jegogan



Gong Pulu


Cengceng


Ricik

Trompong


Kajar


Kempli


Ketuk


Reong



Kemong


Tawa-tawa


Kempur, Babende, Gong



Kendang


Suling


Tingklik


Rebab


Genggong


Rebana


Gong Beri


Gentorag



Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar:

6.4.1. Gamelan Wayah

Gamelan Wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominasi oleh alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang. Kalaupun ada kendang, dapat dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.

Beberapa gamelan golongan tua antara lain:

6.4.1.1. Angklung

Gamelan Angklung adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Dibentuk oleh alat-alat gamelan yang relatif kecil dan ringan (sehingga mudah dimainkan sambil berprosesi). Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada. Berdasarkan konteks penggunaaan gamelan ini, serta materi tabuh yang dibawakan angklung dapat dibedakan menjadi:
- Angklung klasik/tradisional, dimainkan untuk mengiringi upacara (tanpa tari-tarian).
- Angklung kebyar, dimainkan untuk mengiringi pagelaran tari maupun drama.

Satu barung gamelan angklung bisa berperan keduanya, karena seringkali mempergunakan alat-alat gamelan dan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat luas gamelan ini dikenal sebagai pengiring upacara-upacara Pitra Yadnya (ngaben). Di sekitar kota Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi dengan gamelan angklung. menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) dan upacara lainnya.

Instrumentasi Gamelan angklung terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
6-8 pasang yang terdiri dari sepasang jegogan, jublag dan selebihnya pamade dan kantilan
3-4 pencon reyong, untuk Angklung Kebyar mempergunakan 12 pencon
2 buah kendang kecil untuk angklung klasik dan kendang besar angklung kebyar
1 buah tawa -tawa
1 buah kempur kecuali angklung kebyar mempergunakan gong

Nama-nama tabuh yang umum dikenal di kalangan pemain angklung antara lain:
- Asep Menyan
- Capung Manjus
- Capung Ngumbang
- Dongkang Menek Biu
- Guwak Maling Taluh
- Sekar Jepun
- Berong
- Sekar Ulat
- Glagah Katununan
- Jaran Sirig
- Kupu-kupu Tarum
- Meong Magarong
- Pipis Samas
- Sekar Sandat
- Cecek Magelut

Sedang tabuh-tabuh Angklung Kebyar sama dengan yang dipakai dalam Gong Kebyar.

6.4.1.2. Balaganjur
1.
Balaganjur adalah pengiring prosesi yang paling umum dikenal di Bali. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap prosesi membawa sesajen ke pura, atau melasti (mensucikan pusaka/pratima), atau upacara ngaben akan diiringi oleh barungan yang sangat dinamis dan bersemangat.


Balaganjur yang tergolong barungan madya ini dibentuk oleh instrumen-instrumen seperti:
Jumlah Satuan Instrumen
6-12 pasang cengceng kopyak
2 buah kendang cedugan (lanang dan wadon)
1 buah kajar
1 buah kempli
2 buah gong besar
1 buah kempur
1 buah pamade

Barungan ini ada kalanya dilengkapi dengan sebuah tawa-tawa. Sementara cengceng dimainkan secara kakilitan atau cecandatan, dengan pola ritme yang bervariasi dari pukulan besik atau negteg pukulan telu dan nenem di mana masing-masing terdiri dari pukulan polos (sejalan dengan mat), sangsih (disela-sela mat), dan sanglot (di antaranya). Reyong menjadi satu-satunya kelompok instrumen pembawa melodi. Sebagaimana halnya cengceng, reyong juga dimainkan dalam balaganjur terdiri dari gilak yang dimainkan dalam tempo cepat atau sedang dan pelan.


6.4.1.3. Bebonangan

Gamelan Bebonangan seringkali dibaurkan dengan Balaganjur. Sungguhpun sama-sama merupakan barungan untuk mengiringi prosesi dan sama-sama berlaras pelog, Bebonangan yang termasuk barungan alit mempunyai instrumentasi yang relatif lebih sederhana daripada Balaganjur. Instrumen-instrumen yang membentuk barungan Bebonangan sebagian besar berbentuk pencon seperti reyong (yang dilepaskan dari plawah-nya), kemong dan kempur. Adakalanya barungan ini melibatkan dua buah kendang (lanang dan wadon), namun bisa pula hanya dengan 1 buah kendang saja. Begitu juga cengceng yang dipakai dalam barungan ini pada umumnya lebih kecil dari pada yang dipakai dalam Balaganjur.

Tabuh-tabuh yang dimainkan pada umumnya berupa gilak atau gagilakan. Pembawa melodi utama dalam barungan ini adalah reyong yang dimainkan secara kakilitan. Di daerah Bali Utara dan Timur, gamelan bebonangan dimainkan untuk mengiringi upacara korban ke laut atau upacara penguburan jenazah.

6.4.1.4. Gambang

Gamelan Gambang adalah salah satu jenis gamelan langka dan sakral, termasuk barungan alit yang dimainkan hanya untuk mengiringi upacara keagamaan. Di Bali Tengah dan Selatan gamelan ini dimainkan untuk mengiringi upacara ngaben (Pitra Yadnya), sementara di Bali Timur (Karangasem dan sekitarnya) Gambang juga dimainkan dalam kaitan upacara odalan di pura-pura (Dewa Yadnya).

Gambar Gamelan Gambang terdapat pada relief candi Penataran, Jawa Timur (abad XV) dan istilah gambang disebut-sebut dalam cerita Malat dari zaman Majapahit akhir. Hal ini menunjukan bahwa Gamelan Gambang sudah cukup tua umurnya. Walaupun demikian, kapan munculnya Gambang di Bali, atau adakah Gambang yang disebut dalam Malat sama dengan Gamelan Gambang yang kita lihat di Bali sekarang ini nampaknya masih perlu penelitian yang lebih mendalam.

Gamelan Gambang, berlaras pelog (tujuh nada), dibentuk oleh 6 buah instrumen berbilah. Yang paling dominan adalah 4 buah instrumen berbilah bambu yang dinamakan gambang yang terdiri dari (yang paling kecil ke yang paling besar) pametit, panganter, panyelad, pamero dan pangumbang. Setiap instrumen dimainkan oleh seorang penabuh yang mempergunakan sepasang panggul bercabang dua untuk memainkan pukulan kotekan atau ubit-ubitan, dan sekali-kali pukulan tunggal atau kaklenyongan. Instrumen lainnya adalah 2 tungguh saron krawang yang terdiri dari saron besar (demung) dan kecil (penerus atau kantil), kedua saron biasanya dimainkan oleh seorang penabuh dengan pola pukulan tunggal kaklenyongan.

Daerah-daerah yang dipandang sebagai desanya Gambang di Bali antara lain:
- Tenganan, Bebandem (Karangsem)
- Singapadu, Saba, Blahbatuh (Gianyar)
- Kesiut (Tabanan)
- Kerobokan, Sempidi (Badung)

6.4.1.5. Caruk

Caruk termasuk jenis gamelan langka, termasuk barungan alit, adalah gamelan sejenis gambang yang dibentuk oleh 2 gambang berukuran kecil (caruk) dan 1 buah saron. Melihat dari instrumentasinya, dengan jumlah 3 orang pemain. Caruk pada dasarnya adalah gamelan gambang yang diperkecil. Gamelan ini juga tergolong gamelan sakral yang dimainkan hanya dalam kaitan dengan upacara ngaben (Pitra Yadnya) dengan jenis tabuh yang hampir sama dengan gamelan gambang. Kini caruk sudah semakin langka hanya dengan beberapa buah sekaa di daerah Karangasem, Gianyar, Tabanan dan Badung yang masih aktif memainkan gamelan ini.

6.4.1.6. Gender Wayang

Gender Wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan pewayangan (Wayang Kulit dan Wayang Wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada agak besar) dan sepasang kantilan (nada agak kecil). Keempat gender, masing-masing berbilah sepuluh (dua oktaf) yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul.

Gender wayang ini juga dipakai untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya (potong gigi) dan upacara Pitra Yadnya (ngaben). Untuk kedua upacaranya ini, dan untuk mengiringi pertunjukan wayang lemah (tanpa kelir), hanya sepasang gender yang dipergunakan.

Untuk upacara ngaben 2 gender dipasang di kedua sisi bade (pengusung mayat) dan dimainkan sepanjang jalan menuju kuburan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit Ramayana, wayang wong Ramayana maupun Mahabharata (Parwa), 2 pasang gender ini dilengkapi dengan sepasang kendang kecil, sepasang cengceng kecil, sebuah kajar, klenang dan instrumen-instrumen lainnya, sehingga melahirkan sebuah barungan yang disebut gamelan Batel Gender Wayang.

Pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai sejumlah tabuh yang berdasarkan fungsinya. Tabuh-tabuh yang dimaksud antara lain:
- Pategak (pembukaan) yang merupakan tabuh instrumentalia
- Tabuh pamungkah (gending-gending untuk mengiringi dalang melakukan puja mantra persembahan, membuka kotak wayang)
- Tabuh patangkilan (gending untuk mengiringi adegan pertemuan/persidangan)
- Tabuh angkat-angkatan (gending untuk mengiringi adegan sibuk seperti keberangkatan laskar perang dan perjalanan)
- Tabuh rebong (gending untuk mengiringi adegan roman)
- Tabuh tangis (gending untuk mengiringi suasana sedih)
- Tabuh batel (gending untuk mengiringi adegan perang)
- Tabuh panyudamalan (gending khusus untuk mengiringi upacara pangruwatan)

6.4.1.7. Genggong

Genggong juga termasuk gamelan langka dan barungan alit, adalah gamelan yang instrumen utamanya genggong yang terbuat dari pelepah enau. Desa yang telah memiliki tradisi genggong yang kuat adalah Batuan (Gianyar). Di sini genggong dimainkan sebagai pengiring tari, yaitu tari kodok dan sebagai sajian musik instrumental. Barungan gamelan genggong biasanya terdiri dari 4 - 6 buah genggong, 2 buah suling, sepasang kendang kecil, klenang dan sebuah gong pulu (guntang). Kesederhanaan bentuk dan musik yang ditimbulkan oleh barungan ini mengingatkan kita kepada musik dari kalangan masyarakat petani.

Genggong pada umumnya hanya memainkan lagu-lagu yang berlaras Slendro. Untuk membunyikannya, genggong dipegang dengan tangan kiri dan menempelkannya ke bibir. Tangan kanan memetik ‘lidah’-nya dengan jalan menarik tali benang yang diikatkan pada ujungnya. Perubahan nada dalam melodi genggong dilakukan dengan mengolah posisi atau merubah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator. Teknik permainan genggong yang khas adalah ngoncang dan ngongkek-nya (menirukan suara katak).

6.4.1.8. Gong Beri

Gong Beri termasuk barungan alit adalah gamelan langka dan sakral. Hingga kini Gong Beri masih dipelihara dengan baik oleh warga masyarakat desa Renon, Sanur di Denpasar. Gamelan ini biasanya dimainkan untuk mengiringi tari Baris Cina. Istilah Beri sering disebut-sebut di dalam kakawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam Prasasti Blanjong, terdapat istilah Bheri yang juga berarti alat perang. Gong dibuat dari krawang dan diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson.

Gong yang ada dalam barungan ini mempunyai banyak persamaan dengan nekara bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng (Gianyar). Berbeda dengan instrumen gong lainnya, gong pada gamelan Gong Beri tidak memakai pencon, seperti gong Cina.

Barungan Gong Beri terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
2 buah gong (bor dan ber)
1 buah klenteng
1 buah kendang bedug
1 buah sungu (kerang besar)
1 buah suling kecil
1 buah tawa-tawa
1 buah gong besar (tak bermoncol)
1 pangkon cengceng

Gending-gending yang biasa dimainkan adalah:
- Gending Pategak
- Gending Baris Ireng (baris hitam)
- Gending Baris Petak (baris putih)


6.4.1.9. Gong Luwang

Gong Luwang adalah gamelan langka yang pada umumnya dipergunakan untuk mengiringi upacara kematian (ngaben). Gamelan yang berlaras pelog (tujuh nada) dan merupakan barungan madya ini, yang barungannya lebih kecil dari pada Gong Kebyar, termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang dimainkan untuk mengiringi suatu pertunjukan tari atau drama. Kalaupun Gong Luwang dimainkan di atas pentas, seperti dalam pagelaran dramatari Calonarang, barungan ini hanya dipakai untuk mengiringi adegan memandikan mayat atau mandusin watangan.

Ada 8 atau 9 macam instrumen yang membentuk barungan gamelan Gong Luwang dengan jumlah penabuh antara 16 (enam belas) sampai 20 (duapuluh) orang.

Instrumentasi gamelan gong Luwang adalah:
Jumlah Satuan Instrumen
1 buah saron cenik
1 buah saron gede
2 buah jegogan
1 buah trompong
2 buah gong ageng
1 buah kempur
2-4 pasang cengceng kopyak
2 buah gambang bambu (saron)
2 buah kendang

Tabuh yang biasa dimainkan antara lain:
- Labda
- Ginada
- Lilit
- Manukaba
- Tabuh Wargasari
- Panji Cenik (dari tabuh Gambang)

Tabuh-tabuh Gong Luwang sangat melodis yang diwarnai oleh perpaduan ubit-ubitan reyong dan gambang yang khas yang diberi aksentuasi oleh saron dan jegogan. Peranan kendang sangat kecil karena suara kendang hanya terdengar mendekati jatuhnya gong untuk menandakan akhir dari suatu bagian komposisi. Hingga dewasa ini Gong Luwang masih hidup di desa Singapadu (Gianyar), Tangkas (Klungkung), Kerobokan (Badung) dan Kesiut (Tabanan) SMKI Bali dan STSI Denpasar juga memiliki masing-masing memiliki 1 barung gamelan Gong Luwang.

6.4.1.10. Selonding

Gamelan Selonding yang terbuat dari besi ini berlaras pelog tujuh nada ini tergolong barungan alit yang langka dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa Tenganan Pegringsingan dan Bongaya (kabupaten Karangasem). Gamelan ini dimainkan untuk mengiringi berbagai upaya adat Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan untuk mengiringi tari Abuang, Perang Pandan (Makare-karean) dan lain-lain.

Di kalangan masyarakat Tenganan Pagringsingan gamelan Selonding diberi nama Bhatara Bagus Selonding. Sejarah munculnya Selonding dikaitkan dengan sebuah mitologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu orang-orang Tenganan mendengar suara gemuruh dari angkasa yang datang secara bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun di Bongaya (sebelah timur laut Tenganan) dan pada gelombang kedua suara itu turun didaerah Tenganan Pagringsingan. Setelah hilangnya suara itu diketemukan gamelan Selonding (yang berjumlah tiga bilah). Bilah-bilah itu kemudian dikembangkan sehingga menjadi gamelan Selonding seperti sekarang.

Di Tenganan gamelan Selonding terdiri dari:
Jumlah Satuan Ciri-ciri Instrumen
8 tungguh berisi 40 buah bilah
6 tungguh masing-masing berisi 4 buah bilah
2 tungguh berisikan 8 buah bilah.

Team Survey Konservatori Karawitan Bali mencatat bahwa instrumentasi dari gamelan
Selonding di Tenganan meliputi:
Jumlah Satuan Instrumen
2 tungguh gong
2 tungguh kempul
1 tungguh peenem
1 tungguh petuduh
1 tungguh nyongyong alit
1 tungguh nyongyong ageng









Tabuh-tabuh yang dimainkan dengan patet yang berbeda-beda, dapat dikelompokkan menjadi:
1. Gending-gending Geguron (lagu-lagu upacara sakral) dengan tabuh-tabuh yang diberi nama:
- Ranggatating
- Kulkul Badung
- Patet Puja Semara
- Kebogerit
- Dewa
- Blegude (Penutup Upacara)
- Ranggawuni (untuk menyimpan Bhatara Bagus Selonding).
2. Gending-gending Pategak (sebelum upacara dimulai) terdiri dari:
- Tabuh sekar Gadung
- Nyangnyangan
- Rejang Gucek
- Rejang Ileh
3. Gending-gending untuk mengiringi tari (Rejang dan Kare-karean atau perang Pandan) terdiri dari:
- Gending Rejang
- Rejang Dauh Tukad
- Duren Ijo
- Lente
- Embung Kelor
- Kare-kare

Ada pula sejumlah gending Selonding yang diperkirakan berasal dari gamelan Gambang, yaitu:
- Pamungkah
- Selambur
- Kesumba
- Pangus
- Malat
- Puh Raras Tanjung
- Puh Orangkamal

6.4.2. Gamelan Madya

Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan barungan gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam barungan ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting.

Beberapa contoh gamelan madya antara lain:

6.4.2.1. Gamelan Batel Barong

Gamelan Batel Barong adalah sebuah barung alit yang dipakai mengiringi tari Barong Landung atau Barong Bangkal. Dalam banyak hal barungan ini merupakan pengiring prosesi, karena dimainkan sambil berjalan.

Batel Barong dibentuk oleh sejumlah alat musik pukul seperti:
Jumlah Satuan Instrumen
2 buah kendang kecil
1 buah kajar
1 buah kempur
1 buah kleneng
1 buah kemong
1 pangkon ricik

Agak berbeda dengan barungan gamelan Bali lainnya, Batel Barong tidak mempergunakan instrumen pembawa melodi. Oleh karena itu musik yang ditampilkan cenderung ritmis dan dinamis.

6.4.2.2. Bebarongan

Gamelan Bebarongan ini dalam Catur Muni-Muni disebut dengan Semara Ngadeg, adalah barungan madya yang berlaras pelog (lima nada), dipakai mengiringi dramatari Barong Ket. Gamelan ini memiliki instrumen yang tidak jauh berbeda dengan gamelan Palegongan. Belakangan ini dengan semakin populernya Gong Kebyar, semakin banyaknya masyarakat yang mengiringi tari Barong dengan Gong Kebyar.

Ada satu perbedaan penting antara gamelan Bebarongan dengan Palegongan. Perbedaan ini menyangkut sistem atau pola permainan teknik kendang bahwa gamelan Bebarongan memakai kendang cedugan (kendang dengan alat pemukul/panggul).

Dilihat dari segi jenis tabuh gamelan Bebarongan memakai:
- Gilak
- Bapang
- Omang
- Gegaboran
- Batel
- Biakala
- Tunjang

Karena gamelan ini merupakan bagian dari pertunjukan Barong Ket, gamelan Bebarongan bisa didapat di desa-desa yang memiliki tradisi Barong Ket yang kuat, seperti:
- Jumpai (Klungkung)
- Batubulan, Singapadu, Pejeng (Gianyar)
- Sanur (Denpasar)
- Kuta, Sading (Badung)

6.4.2.3. Gamelan Joged Pingitan

Gamelan Joged Pingitan, dalam Catur Muni-muni disebut dengan Semara Palinggian adalah pengiring tari Joged Pingitan. Barungannya pada umumnya terdiri dari alat-alat berbilah dari bambu berlaras pelog (lima nada). Untuk memainkan instrumen-instrumen ini penabuhnya mempergunakan 2 panggul dengan teknik kakilitan atau kotekan.


Gamelan Joged Pingitan yang kini masih ada di beberapa tempat di Bali terdiri dari:

Jumlah Satuan Instrumen
1 pasang rindik besar (pangugal)
1 pasang rindik barangan, masing-masing berbilah 14 atau 15
1 pasang jegogan
1 buah kemplung
1 buah kendang kekrumpungan
1 buah kajar
1 buah kemodong
1-2 buah suling

Adapun tabuh-tabuh yang biasa dimainkan meliputi:
- Bapang Gede
- Condong dan Legong
- Pacalonarangan
- Gandrangan

Dari tabuh-tabuh ini, Gandrangan adalah yang paling meriah karena bisa ditarikan secara bebas dan improvisasi. Tabuh-tabuh lain cenderung formal seperti yang terdapat dalam Legong Kraton. Joged Pingitan yang masih aktif antara lain terdapat di daerah Gianyar, Badung dan Denpasar.

6.4.2.4. Gamelan Penggambuhan

Gamelan yang dalam lontar Aji Gurnita disebut sebagai gamelan Melad perana, adalah gamelan pengiring dramatari Gambuh. Gamelan Penggambuhan termasuk barungan madya dan hingga kini dianggap sebagai salah satu sumber terpenting dari semua bentuk seni tabuh yang muncul di Bali setelah abad XV. Gending-gending Gambuh yang melodis dan ritmis merupakan tabuh-tabuh yang bernafaskan tari dari pada hanya bersifat tabuh instrumental.

Tabuh Penggambuhan pada umumnya berkesan formal, karena adanya berbagai aturan yang membedakan satu jenis lagu dengan yang lainnya, dan adanya patet yang mengatur susunan nada-nada. Karena gending-gending Gambuh adalah terkait dengan tarian, maka kebanyakan komposisi lagunya mengikuti pola tari yang diiringi. Gending-gending Gambuh disesuaikan dengan tarian yang mengiringi, setiap jenis tarian mempunyai gending, melodi dan patet tersendiri sesuai dengan perwatakannya.

Dalam pertunjukan Gambuh seringkali tampil seorang juru tandak (penyanyi tunggal laki-laki) yang menyanyikan kalimat-kalimat berbahasa Kawi mengikuti irama maupun melodi gamelan untuk menghidupkan berbagai perubahan suasana dramatik dari lakon yang dimainkan. Kadang-kadang juru tandak memberikan terjemahan terhadap dialog tertentu kedalam bahasa Bali agar penonton dapat mengikuti jalannya lakon.


Instrumentasi gamelan Penggambuhan terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
2-6 buah suling bambu sepanjang 1 meter dan memakai enam lubang nada
1-2 buah rebab
1 buah kempur
2 buah kendang kecil (lanang wadon)
1 pangkon ricik (cengceng kecil)
1 pasang kangsi (cengceng yang bertangkai)
1 buah gentorag (pohon genta)

Suling dan rebab adalah instrumen penting dalam Penggambuhan yang merupakan instrumen pemimpin dan pemangku melodi. Gamelan Penggambuhan berlaras pelog, tepatnya Pelog Saih Pitu (tujuh nada).

Tabuh-tabuh yang dimainkan memakai 5 patetan/tetakep, yaitu:
- Selisir
- Baro
- Tembang
- Sunaren
- Lebeng

Di antara tabuh-tabuh yang berupa tabuh Pategak (tabuh yang bukan pengiring tari) dan tabuh Paigelan (tabuh pengiring tari atau drama) yang terdiri dari antara lain:
- Batel
- Bapang
- Tabuh telu

6.4.2.5. Gong Gede

Gong Gede juga termasuk barungan ageng namun langka, karena hanya ada di beberapa daerah saja. Gamelan Gong Gede yang terlihat memakai sedikitnya 30 (tigapuluh) macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng kopyak adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40-50 orang pemain. Gamelan yang bersuara agung ini dipakai untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan klasik yang cenderung formal namun tetap dinamis, dimainkan untuk mengiringi upacara-upacara besar di pura-pura (Dewa Yadnya), termasuk mengiringi tari upacara seperti Baris, Topeng, Rejang, Pendet dan lain-lain.

Beberapa upacara besar yang dilaksanakan oleh kalangan warga puri keturunan raja-raja zaman dahulu juga diiringi dengan gamelan Gong Gede. Akhir-akhir ini Gamelan Gong Gede juga ditampilkan sebagai pengiring upacara formal tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan untuk mengiringi Sendratari.

Gong Gede berlaras Pelog lima nada, dengan patutan atau patet tembang, dengan instrumentasi yang meliputi (sesuai yang ada di Kintamani dan STSI Denpasar):
Jumlah Satuan Instrumen
1 tungguh trompong barangan (lebih kecil daripada trompong gede)
1 buah reong dengan 12 pencon
4 buah gangsa jongkok besar (demung)
4 buah gangsa jongkok pemade
4 buah gangsa jongkok kantilan
4 buah penyacah
4 buah calung
4 buah jegogan
1 pangkon kempyung (dua buah pencon)
1 buah kempli
2 buah gong ageng (lanang wadon)
1 buah kempur
1 buah bende
2 buah kendang (lanang wadon)
4-6 pasang cengceng kopyak
2 buah kendang
1 buah gentorag

Sesuai dengan fungsinya sebagai pengiring upacara agama di pura-pura, pengiring tari-tarian upacara dan pengiring upacara istana, Gong Gede memiliki sejumlah tabuh-tabuh pategak dan iringan tari. Tabuh-tabuh pategak yang dimainkan meliputi:
- Semaradana
- Jagul
- Segara Madu
- Lasem
- Bandasura

Sekar Gong Gede yang hingga kini masih aktif terdapat di desa Batur, Susut, Sulahan (Bangli), Puri Pemecutan (Denpasar), Tampaksiring dan Puri Agung Gianyar (Gianyar), baik SMKI (sekarang SMKN 3 Sukawati) dan STSI Denpasar, masing-masing juga memiliki satu barung Gong Gede.

6.4.2.6. Gamelan Pelegongan

Dalam Catur Muni-muni gamelan ini disebut dengan Semara Petangian. Gamelan Pelegongan adalah barungan madya berlaras pelog (lima nada) yang konon dikembangkan dari Gamelan Gambuh dan Semar Pagulingan. Barungan ini dipergunakan untuk mengiringi tari Legong Kraton, sebuah tarian klasik yang diduga mendapat pengaruh tari Sanghyang dan Gambuh.

Secara fisik gamelan Pelegongan adalah Semar Pagulingan tanpa trompong. Gamelan Pelegongan milik STSI Denpasar terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
1 pasang gender rambat
1 pasang gender barungan, masing-masing berbilah 14 (empat belas)
1 pasang jegogan
1 pasang jublag
4 pasang penyacah
2 pasang pemade
2 pasang gangsa jongkok pemade
2 pasang gangsa jongkok kantilan, masing-masing berbilah 5
1 pangkon ricik
1 buah kajar
1 buah kleneng
1 buah kemong
1 pasang kendang krumpungan (lanang wadon)
1 buah rebab
1-3 buah suling

Mengenai tabuh-tabuh Pelegongan sebagaimana disebutkan dalam Lontar Aji Gurnita berada di antara tabuh-tabuh gamelan Bebarongan, Joged Pingitan dan Semar Pagulingan. Memang pada kenyataannya kini iringan tari Legong masih memakai tabuh-tabuh Bebarongan (Calonarang) dan Semar Pagulingan. Gending-gending Palegongan yang umumnya dimainkan antara lain:
- Lasem
- Pelayon
- Candra Kanta
- Kuntir
- Kuntul
- Jobog
- Guak Macok
- Semaradana

Nama-nama ini ada sesuai dengan koreografi tari Legong Kraton itu sendiri. Beberapa jenis tabuh lepas yang masih banyak dimainkan adalah:
- Tangis
- Gadung Melati
- Raja Cina
- Karang Olang

Dalam penyajiannya tabuh-tabuh di atas diikat oleh struktur yang sudah baku yang terdiri dari:

- Pengalih/Gaginem
- Pengawit
- Pengawak
- Pengecet
- Lelonggoran
- Pemalpal
- Pekaad


Inti dari gending-gending Palegongan adalah pada Pangawak dan Pengecet. Selebihnya tergantung dari tema yang dimainkan.

6.4.2.7. Semar Pagulingan

Gamelan yang dalam lontar Catur Muni-muni disebut dengan gamelan Semara Aturu ini adalah barungan madya, yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja pada zaman dahulu. Karena kemerduan suaranya, gamelan Semar Pagulingan (semar=semara, pagulingan=peraduan) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan ke peraduan (tidur). Kini gamelan ini bisa dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi tari-tarian/teater.

Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pagulingan; yang berlaras pelog 7 nada dan yang berlaras pelog 5 nada. Kedua jenis Semar Pagulingan secara fisik lebih kecil dari barungan Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya. Gangsa dan trompongnya yang lebih kecil dari pada yang ada dalam Gong Kebyar. Instrumentasi gamelan Semar Pagulingan (milik STSI Denpasar) meliputi:
Jumlah Satuan Instrumen
1 buah trompong dengan 12 pencon
2 buah gender rambat berbilah 14
2 buah gangsa barungan berbilah 14
2 tungguh gangsa gantungan pemade
2 tungguh gangsa gantungan kantil
2 tungguh jegogan
2 tungguh jublag, masing-masing berbilah 7
2 buah kendang kecil
2 buah kajar
2 buah kleneng
1 buah kempur (gong kecil)
1 pangkon ricik
1 buah gentorag
1-2 buah rebab
1-2 buah suling

Instrumen yang memegang peranan penting dalam barungan ini adalah trompong yang merupakan pemangku melodi. Trompong mengganti peran suling dalam Panggambuhan, dalam hal memainkan melodi dengan dibantu oleh rebab, suling, gender rambat dan gangsa barangan. Sebagai pengisi irama adalah Jublag dan jegogan masing-masing sebagai pemangku lagu, sementara kendang merupakan instrumen yang memimpin perubahan dinamika tabuh. Gending-gending Semar Pagulingan banyak mengambil gending-gending Panggambuhan. Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gamelan Semar Pagulingan adalah:
- Sumerta (Denpasar)
- Kamasan (Klungkung)
- Teges, Peliatan (Gianyar)

6.4.3. Gamelan Anyar

Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan permainan kendang.

6.4.3.1. Adi Merdangga

Adi Merdangga adalah sebuah gamelan baru yang merupakan pengembangan dari Balaganjur, gamelan pengiring prosesi tradisional yang biasa dimainkan sambil berjalan. Beberapa alat musiknya dimasalkan dan beberapa teknik pukulannya diperkaya dengan meminjam motif-motif drumband (marching band) modern. Perpaduan seperti ini membuat Adi Merdangga juga disebut drum band tradisional. Gamelan yang baru muncul pada tahun 1984 ini dinamakan Adi Merdangga (Adi = Besar, Merdangga = Kendang), karena di dalam barungan ini dipergunakan puluhan kendang, suatu kebiasaan yang tidak pernah terjadi di dalam barungan gamelan Bali manapun. Adalah kreativitas para dosen dan mahasiswa STSI Denpasar yang telah menghasilkan gamelan baru ini yang kemudian juga ditiru oleh beberapa kabupaten di Bali.

Teknik permainan Adi Merdangga masih tetap mempertahankan pola-pola kakilitan cengceng, reyong dan kendang, seperti yang terdapat dalam Balaganjur. Komposisi musik yang dimainkan masih berkisar pada tabuh Gagilakan dalam tempo cepat dan pelan. Yang baru adalah pukulan rampak ala drum band modern yang diselipkan di sela-sela kakilitan tradisional yang melibatkan kendang, cengceng dan reyong. Juga merupakan gagasan baru dalam Adi Merdangga pemain melodi tidak lagi terbatas pada instrumen pencon (reyong) melainkan sudah ditambah dengan beberapa buah suling. Ada dua jenis langkah pengembangan yang terjadi di dalam Adi Merdangga, penambahan alat-alat gamelan dan memasukan gerak tari ke dalam barungan gamelan. Di samping penambahan kendang, cengceng kopyak (cengceng besar) didua atau tiga kali lipatkan dari jumlah yang biasa (6-10 pasang) dan pemasukan instrumen trompong serta beberapa buah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda (besar dan kecil).

Sebagai bagian dari barungan ini adalah sejumlah penari putra dan putri pembawa alat-alat seperti tombak dan kipas, yang pada bagian-bagian tertentu dari komposisi musik tampil dengan gerakan tarinya yang dinamis dan ekspresif. Untuk mengimbangi para penari semua pemain gamelan juga bergerak mengikuti pola koreografi yang telah ditentukan. Beberapa penabuh Balaganjur tradisional yang mengenakan busana tradisional madya, penabuh Adi Merdangga menggunakan busana khusus yang terdiri dari celana ketat berwarna hitam kain prada, baju rompi, udeng dengan riasan muka seperlunya. Semuanya ini menunjukan bahwa Adi Merdangga adalah suatu bentuk musik dan tari yang dilakukan sambil berjalan (berpawai).

Sebagai barungan gamelan yang masih relatif muda, keberadaannya Adi Merdangga sudah diakui oleh masyarakat Bali. Hal ini dapat dilihat dari penampilan kesenian kolosal ini pada beberapa peristiwa penting seperti dalam Sea Games XIV di Jakarta, Upacara pembukaan World Tourist Organization, Pembukaan Grand Bali Beach Hotel, di samping penampilannya pada setiap pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB). Yang lebih menarik untuk dicatat, tehnik-tehnik dan pola permainan Adi Merdangga yang bersumber pada Balaganjur tradisional kini sudah banyak diserap kembali oleh para pemain gamelan tradisional itu untuk memperkaya Balaganjur mereka.

6.4.3.2. Bumbung Gebyog

Bumbung Gebyog adalah barungan gamelan alit, yang juga berasal dari Jembrana, yang terbuat dari bambu. Gebyog merupakan musik masyarakat tani yang sangat sederhana bentuknya yang biasanya dimainkan pada waktu musim habis panen, oleh sekelompok ibu-ibu untuk mengungkapkan rasa gembira mereka.

Barungan ini dibentuk oleh antara 8 sampai 12 (dua belas) Bumbung Gebyog, tanpa nada pasti, yang dimainkan oleh pemain wanita. Setiap orang pemain memegang sebuah bumbung dan membunyikan instrumennya dengan membenturkan pangkal bumbung pada sebuah alas dari kayu dalam pola kotekan yang lazim disebut oncang-oncangan. Pola kotekan ini meniru pukulan menumbuk padi, atau membuat tepung beras yang juga merupakan kegiatan sehari-hari wanita desa. Gebyog juga dimainkan untuk mengiringi tarian semacam tari Joged Bumbung.

6.4.3.3. Gamelan Bumbang

Bumbang adalah sebuah barungan bambu yang masih relatif sangat muda usianya. Barungan gamelan yang mirip tektekan ini adalah ciptaan I Nyoman Rembang seorang ahli karawitan yang juga pembuat gamelan Bali, pada tahun 1982. Meskipun baru melalui beberapa penampilannya di Pesta Kesenian Bali maupun di TVRI, Bumbang sudah semakin dikenal oleh kalangan masyarakat luas Bali.

Instrumen pokok dari gamelan bumbang adalah alat-alat musik pukul berbentuk setengah kulkul (grantang) yang terbuat dari bambu. Ada sedikitnya 40 orang pemusik (laki-laki) memainkan gamelan ini, setiap orang membawa 1 sampai 2 buah bumbang. Sedikit berbeda dengan Tektekan yang lebih mengutamakan permainan ritme dalam bentuk kakilitan, bumbang menonjolkan kakilitan dan permainan melodi. Hal ini dimungkinkan karena bumbang terdiri dari alat-alat musik pukul yang teratur nada-nadanya.

Berdasarkan ukurannya instrumennya bumbang dapat dibedakan menjadi 3 kelompok:
- Bumbang Pangede atau Jegogan (mempunyai ukuran paling besar dengan nada paling rendah)
- Bumbang Madya atau Pemade (mempunyai ukuran sedang dengan nada satu oktaf di atas bumbang gede)
- Bumbang Alit atau Kantilan (mempunyai ukuran paling kecil dengan nada yang tinggi melengking)

Melengkapi barungan ini adalah:
- Sepasang kendang ukuran menengah
- Sepasang cengceng kecil (ricik)
- Sebuah Gong Pulu yang berbentuk bilahan
- Sebuah Gong (bermoncong) berukuran menengah
- Beberapa buah suling bambu

Keunikan dari gamelan bumbang adalah kemampuannya membawakan lagu-lagu atau komposisi musik yang diambil dari berbagai jenis seni pertunjukan, baik lagu-lagu yang ber-laras pelog maupun slendro. Sistem nada setiap 1 buah memiliki nada tersendiri memungkinkan barungan ini memainkan lagu-lagu dari laras yang berbeda-beda.

6.4.3.4. Gamelan Geguntangan

Gamelan Geguntangan adalah barungan baru yang juga disebut sebagai gamelan Arja atau Paarjaan. Gamelan ini adalah pengiring pertunjukan dramatari Arja yang diperkirakan muncul pada permulaan abad XX. Sesuai dengan bentuk Arja yang lebih mengutamakan tembang dan melodrama, maka diperlukan musik pengiring yang suaranya tidak terlalu keras, sehingga tidak sampai mengurangi keindahan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan para penari. Melibatkan antara 10 sampai 12 orang penabuh, gamelan ini termasuk barungan kecil. Instrumen guntang merupakan alat musik penting, di samping suling dan kendang dalam barungan ini.

Instrumentasi dari gamelan Geguntangan adalah:
Jumlah Satuan Instrumen
2 buah kendang kekrumpungan (kecil)
1 buah guntang kecil
1 buah guntang besar (guntang kempur)
1 buah kajar
1 buah kleneng
1 pangkon ricik
1 buah tawa-tawa
1-6 buah suling (hanya salah satu saja terbuat dari besi)

Pada mulanya Arja hanya menggunakan gamelan Geguntangan, namun kira-kira sejak beberapa tahun dalam perkembangan selanjutnya Arja diiringi dengan gamelan gong. Ide semacam ini sudah sejak lama dipraktekkan oleh Sekaa Gong Sengguan Gianyar yang setia mengiringi tari-tarian sejenis Arja atau Prembon dari Puri Gianyar. Namun pemakaian Gong Kebyar sebagai iringan Arja dipopulerkan oleh keluarga Kesenian Bali RRI Stasiun Denpasar dengan Arjanya yang mempergunakan lakon Godongan, Pakang Raras dan lain-lain.

Geguntangan adalah satu-satunya barungan gamelan Bali yang memakai 2 macam laras Slendro dan Pelog mengikuti laras tembang yang diiringinya. Perubahan laras dilakukan oleh pemain suling, satu-satunya instrumen pembawa melodi, dengan jalan merubah sistem tutupan (tatekep). Seperti halnya tabuh-tabuh gamelan pengiring tari, drama lainnya dan jenis-jenis tabuh Paigelan.


Tabuh Pategak seringkali diambil dari lagu-lagu Pegambuhan seperti:
- Pangecet
- Sekar Eled
- Pangecet Subandar
- Tetabuhan Janger

Tabuh Paigelan masih bisa dikelompok lagi menjadi:
- Tabuh Papeson (mengiringi tari pembukaan setiap karakter)
- Tabuh Panyarita (mengiringi adegan berdialog)
- Tabuh Pakaad (mengiringi seseorang atau sekelompok karakter meninggalkan pentas atau melakukan perjalanan)

6.4.3.5. Gamelan Genta Pinara Pitu

Gamelan Genta Pinara Pitu juga merupakan barungan yang masih relatif baru di dalam jajaran gamelan Bali, Gamelan Genta Pinara Pitu (Genta dibagi tujuh) adalah pengembangan dari pada Gamelan Semar Pagulingan tujuh nada. Pembaharuan yang terjadi dalam gamelan ini adalah pemakaian dua oktaf pelog tujuh nada di dalam 1 instrumen. Pada Semar Pagulingan tradisional satu instrumen hanya mempergunakan 1 oktaf pelog tujuh nada. Gamelan ini adalah ciptaan dari I Wayan Beratha seorang tokoh karawitan dan ahli pembuat gamelan Bali. Gamelan ini diperkenalkan pada tahun 1985, modifikasi dari penciptaan alat gamelan seperti ini adalah untuk menciptakan barungan gamelan yang bisa memainkan lagu-lagu kakebyaran dan gending-gending Semar Pagulingan. Penggunaan gamelan ini tidak terbatas pada pertunjukan tari dan drama saja, karena Gamelan Genta Pinara Pitu juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara keagamaan. Instrumen dari gamelan ini tidak jauh berbeda dengan Gamelan Semar Pagulingan (panca nada) tradisional.

Instrumen-instrumen penting yang berperan di dalamnya adalah:
- Gangsa (Jegogan, Jublag, Pemade, dan Kantil)
- Sepasang kendang
- Gong
- Kempur
- Kemong
- Kajar
- Cengceng
- Beberapa suling bambu
- Rebab

Instrumen terompong pada saat-saat tertentu juga berfungsi sebagai reyong tergantung dari komposisi musik yang dimainkan. Berbeda dengan Gamelan Semaradana, Genta Pinara Pitu nampaknya kurang berkembang. Sejak pertama kali diciptakan tahun 1986, atas pesanan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, gamelan ini kurang diminati oleh para pemain di desa, karena teknik memainkan gamelan ini tidak mudah.


6.4.3.6. Gamelan Gong Kebyar

Gong Kebyar adalah sebuah barungan baru. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini (Kebyar yang bermakna cepat, tiba-tiba dan keras) gamelan ini menghasilkan musik-musik keras dan dinamis. Gamelan ini dipakai untuk mengiringi tari-tarian atau memainkan tabuh-tabuhan instrumental. Secara fisik Gong Kebyar adalah pengembangan kemudian dari Gong Gede dengan pengurangan peranan, atau pengurangan beberapa buah instrumennya. Misalnya saja peranan trompong dalam Gong Gebyar dikurangi, bahkan pada tabuh-tabuh tertentu tidak dipakai sama sekali, gangsa jongkok-nya yang berbilah 5 dirubah menjadi gangsa gantung berbilah 9 atau 10. Cengceng kopyak yang terdiri dari 4 sampai 6 pasang dirubah menjadi 1 atau 2 set cengceng kecil. Kendang yang semula dimainkan dengan memakai panggul diganti dengan pukulan tangan.

Secara konsep Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang, Gong Gede dan Pelegongan. Rasa-rasa musikal maupun pola pukulan instrumen Gong Kebyar ada kalanya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gedeyang kokoh atau Pelegonganyang melodis. Pola gagineman Gender Wayang, pola gegambangan dan pukulan kaklenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar. Gamelan Gong Kebyar adalah produk kebudayaan Bali modern. Barungan ini diperkirakan muncul di Singaraja pada tahun 1915. Desa yang sebut-sebut sebagai asal pemunculan Gong Kebyar adalah Jagaraga (Buleleng) yang juga memulai tradisi Tari Kebyar. Ada juga informasi lain yang menyebutkan bahwa Gong Kebyar muncul pertama kali di desa Bungkulan (Buleleng). Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Mario dari Tabanan yang menciptakan sebuah tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.

Gong Kebyar berlaras pelog lima nada dan kebanyakan instrumennya memiliki 10 sampai 12 nada, karena konstruksi instrumennya yang lebih ringan jika dibandingkan dengan Gong Gede. Tabuh-tabuh Gong Kebyar lebih lincah dengan komposisi yang lebih bebas, hanya pada bagian-bagian tertentu saja hukum-hukum tabuh klasik masih dipergunakan, seperti Tabuh Pisan, Tabuh Dua, Tabuh Telu dan sebagainya.

Lagu-lagunya seringkali merupakan penggarapan kembali terhadap bentuk-bentuk (repertoire) tabuh klasik dengan mengubah komposisinya, melodi, tempo dan ornamentasi melodi. Matra tidak lagi selamanya ajeg, pola ritme ganjil muncul di beberapa bagian komposisi tabuh.

Barungan Gong Kebyar bisa diklasifikasikan menjadi 3 :
- Utama = Yang besar dan lengkap
- Madya = Yang semi lengkap
- Nista = Yang sederhana


Barungan yang utama terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
10 buah gangsa berbilah (terdiri dari 2 giying/ gal, 4 pemade, 4 kantilan)
2 buah jegogan berbilah 5 - 6
2 buah jublag atau calung berbilah 5 - 7
1 tungguh reyong berpencon 12
1 tungguh terompong berpecon 10
2 buah kendang besar (lanang dan wadon) yang dilengkapi dengan 2 buah kendang kecil
1 pangkon cengceng
1 buah kajar
2 buah gong besar (lanang dan wadon)
1 buah kemong (gong kecil)
1 buah babende (gong kecil bermoncong pipih)
1 buah kempli (semacam kajar)
1-3 buah suling bambu
1 buah rebab

6.4.3.7. Gamelan Janger

Janger yang merupakan tari pergaulan muda mudi ditarikan oleh para remaja sebanyak 20 sampai 24 orang. Gamelan yang mengiringinya terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
1 buah gender wayang
1 pasang kendang kekrumpungan (kecil)
1 buah tawa-tawa
1 buah kajar
1 buah rebana (yang kadang kala digantikan dengan gong pulu)
1 buah kleneng
1 pangkon ricik
1-3 buah suling

Walaupun Gender Wayang berlaras slendro (lima nada), Gamelan Janger berlaras slendro dan pelog. Untuk mengiringi lagu-lagu berlaras pelog biasanya Gender Wayang tidak dipergunakan dan pimpinan melodi akan diambil alih oleh suling. Akhir-akhir ini Gamelan Semar Pagulingan juga dipakai untuk mengiringi pertunjukan Janger.

6.4.3.8. Gamelan Joged Bumbung

Gamelan ini termasuk barungan madya, yaitu sebuah barungan gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi tari Joged Bumbung, sebuah tari pergaulan di Bali yang dibawakan oleh seorang penari remaja putri yang pada bagian tarinya mengundang penonton untuk menari bersama (ngibing).

Gamelan Joged Bumbung sering kali juga disebut gamelan gegrantangan, karena instrumen pokoknya terdiri dari tingklik bambu berbentuk gerantang (semacam tabung). Gamelan ini berlaras slendro lima nada (sama seperti gender wayang) dan untuk memainkan instrumen gerantang penabuh memakai 2 panggul, yang kanan memainkan kakembangan (ornamentasi), sedangkan yang kiri memainkan melodi pokok.

Instrumentasi gamelan Joged Bumbung pada umumnya terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
4 buah gerantang besar
4 buah gerantang kecil
1 buah gong kemodong
1 buah kleneng
1 pangkon ricik
1 buah kendang (berukuran sedang)
1 buah tawa-tawa
3-4 buah suling

Di beberapa tempat gamelan Joged Bumbung juga di lengkapi dengan beberapa Kepyak (sepasang tabung bambu yang pecah) dan juga reyong. Mengenai repertoire Gamelan Joged Bumbung diambil dari lagu-lagu rakyat, tabuh-tabuh Gong Kebyar, lagu-lagu Pop dan Gegandrangan (pengiring tarian bersama antara penari dan pengibing).

6.4.3.9. Gamelan Manik-asanti

Gamelan Manikasanti (manik=permata, santi=damai) ini adalah barungan termuda, dan satu-satunya di Bali, yang diciptakan oleh I Wayan Sinti, guru SMKN 3 Sukawati pada tahun 1994. Secara fisik gamelan ini merupakan perpaduan antara Palegongan dan Semar Pagulingan, memadukan berbagai saih dan patutan yang ada dalam karawitan Bali seperti:
- Gong Gede
- Gong Luwang
- Semar Pagulingan
- Palegongan
- Angklung
- Gong Kebyar
- Bebarongan
- Selonding

Dengan fleksibilitas tangga nada yang dimiliki oleh barungan ini maka gamelan ini dapat memainkan lagu-lagu dari hampir semua gamelan Bali, bukan saja dalam 7 nada melainkan meliputi ke 14 saih yang ada.

Barungan ini terdapat di Banjar Dauh Kutuh, Desa Ubung Kaja, Kodya Denpasar, desa kelahiran I Wayan Sinti. Instrumentasi dari gamelan yang tergolong barungan ageng ini hampir sama dengan Gong Kebyar dengan tambahan beberapa gangsa jongkok. Uniknya adalah gangsa-gangsa gantungnya yaitu gender rambat, ugal, pemade dan kantil, berbilah/bernada 11, trompong-nya 14 pencon dan reyong-nya 15 pencon.

Catatan: Gangsa Jongkok adalah gangsa yang bilah-bilahnya bertumpu (cushioned) pada tungguh-nya (badan/chasis resonansi gangsa). Sedangkan gangsa gantung adalah gangsa yang bilah-bilahnya digantung (suspended) menggunakan seutas tali regang yang ditumpu oleh beberapa penggantung untuk menjaga jarak layangnya di atas tungguh. Gaung dari getaran gangsa gantung lebih panjang dari pada gangsa jongkok karena getaran bilahnya tidak segera diredam dalam posisinya yang tergantung bebas.

6.4.3.10. Gamelan Semaradana

Gamelan Semaradana adalah sebuah bariungan gamelan baru yang pada hakekatnya merupakan suatu pengembangan dari gamelan Gong Kebyar dan Semar Pagulingan (sapta nada). Sistem pengaturan nada dari gamelan ini terutama dari kelompok gangsa, menunjukan adanya penggabungan ide dari kedua barungan gamelan tersebut di atas. Gamelan ini adalah ciptaan dari I Wayan Beratha seorang tokoh karawitan sekaligus pembuat gamelan Bali.

Gamelan ini diperkenalkan pada tahun 1988. Motivasi dari penciptaan alat-alat gamelan seperti ini adalah menciptakan barungan gamelan yang bisa memainkan lagu-lagu kakebyaran dan gending-gending Semar Pagulingan. Penggunaan gamelan ini tidak terbatas pada pertunjukan tari dan drama saja, gamelan Semaradana juga bisa dipakai untuk mengiringi upacara keagamaan. Instrumen dari gamelan Semaradana ini tidak jauh berbeda dengan gamelan Gong Kebyar.

Instrumen-instrumen penting yang berperan di dalamnya adalah:
- gangsa, (jegogan, jublag, pemade dan kantil)
- sepasang kendang
- gong kempur
- kemong
- kajar
- reyong
- cengceng
- suling bambu
- rebab

Sejak pertama kali diciptakan, gamelan Semaradana sudah semakin tersebar ke berbagai desa di Bali, bahkan sampai ke luar negeri. Para pemakai gamelan ini merasa bahwa gamelan ini sangat fleksibel, walaupun memainkannya diperlukan teknik khusus.

6.4.3.11. Gong Suling

Gamelan Gong Suling adalah barungan gamelan yang didominir oleh alat-alat tiup suling bambu yang didukung oleh instrumen-instrumen lainnya. Gamelan yang berlaras pelog lima nada ini diperkirakan muncul sekitar tahun 1950.

Gong Suling pada hakekatnya merupakan pengembangan dari Gong Kebyar, tabuh-tabuh yang dibawakan hampir semuanya berasal dari Gong Kakebyaran, hanya saja pembawa melodinya tidak lagi gangsa yang terbuat dari krawang melainkan sejumlah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda.

Ada sedikitnya 30 suling di dalam barungan ini. Tingkatan tinggi rendah nadanya meniru tingkatan bunyi gangsa dalam Gong Kebyar. Lebih dari itu fungsi dari masing-masing instrumen juga disusun seperti Gong Kebyar, ada suling yang berfungsi sebagai jegogan, jublag, ugal, pemiade dan kantil.

Melengkapi barungan ini adalah:
Jumlah Satuan Instrumen
2 buah kendang
1 buah kajar
1 buah kemong
1 buah kempur
1 pangkon ricik

Gong Suling yang pada hakekatnya barungan suling bambu yang memainkan tabuh-tabuh kebyar biasanya dipentaskan sebagai tabuh-tabuh instrumen dan sebagai iringan tari atau drama.
6.4.3.12. Jegog

Barungan ini termasuk gamelan madya yang terdapat hanya didaerah Kabupaten Jembrana. Jegog adalah barungan gamelan berlaras pelog (empat nada) yang terdiri dari instrumen berbentuk tabung bambu. Semula gamelan ini hanya dipakai untuk memainkan musik-musik instrumental dan pengiring pencak silat. Belakangan ini jegog juga dipakai untuk mengiringi tari-tarian Kebyar dan Drama Gong. Bagi masyarakat Jembrana pertunjukan jegog yang paling berkesan adalah jegog yang dilakukan pada hari-hari raya tertentu atau sehabis musim panen.

Ada 11 tungguh instrumen dalam barungan ini meliputi:
Jumlah Satuan Instrumen
3 tungguh instrumen barongan
3 tungguh kancilan
2 tungguh kentrungan
3 tungguh suwir
2 tungguh undir
1 tungguh jegogan, masing-masing 8 bilah/tabung

Jegogan adalah instrumen terbesar dalam barungan ini yang memberikan suara berkualitas gong.


Untuk mengiringi tari-tarian barungan ini dilengkapi dengan beberapa instrumen lain, yaitu:
Jumlah Satuan Instrumen
2 buah kendang gupakan
1 buah kajar
1 buah tawa-tawa
1 buah cengceng
1 buah suling
1 buah rebana

Untuk memainkan instrumen bilah (pemade dan kantil) penabuh mempergunakan 2 panggul, seperti dalam Gender Wayang. Penabuh Jegogan (instrumen paling besar) hanya mempergunakan sebuah panggul (seperti panggul gong). Teknik kotekan sangat dominan dalam pertunjukan gamelan Jegog.

6.4.3.13. Kendang Mabarung

Gamelan ini termasuk barungan langka yang terdapat di daerah Jembrana, daerah asal gamelan Jegog dan Gebyog. Ada yang berpendapat bahwa Kendang Mabarung adalah gemelan Angklung yang memakai kendang besar atau kendang barung. Akan tetapi karena peranan kendang besar sangat menonjol dalam pertunjukan, maka penamaan terhadap barungan ini menjadi terfokus kepada kendang.

Instrumen pokok dalam barungan ini adalah dua kendang raksasa yang panjangnya sekitar 3 meter dengan garis tengah sekitar 1 meter. Musik yang ditimbulkan cenderung berkesan ritmis, karena pukulan kendang itu sendiri mempunyai pola ritme yang bermacam-macam. Pembawa melodi dalam barungan ini adalah instrumen angklung yang berlaras pelog empat nada sama seperti laras Jegog. Penabuh Kendang Mabarung adalah 2 orang, masing-masing memukul 1 sisi kendang dengan alat pemukul. Teknik pukulannya adalah kotekan yang dilakukan secara imbal. Kendang Mabarung sering ditampilkan untuk mengiringi perlombaan Makepung, kadangkala untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya.

6.4.3.14. Okokan/Grumbungan

Okokan adalah instrumen semacam bel berukuran raksasa yang dibuat dari kayu yang dijadikan alat komunikasi oleh kelompok masyarakat di desa-desa terpencil. Instrumen yang sama, namun dengan ukuran yang lebih kecil disebut kroncongan yang biasa dipasang di atas pohon untuk mengusir binatang--binatang perusak tanaman kelapa, sebagai kalung ternak (sapi maupun kerbau).

Atas prakarsa masyarakat Baturiti (kabupaten Tabanan) dan Tegalalang (Kabupaten Gianyar) di mana terdapat cukup banyak instrumen okokan, alat-alat bunyi ini ditata menjadi sebuah barungan yang disebut Okokan atau Grumbungan.

Ada sedikitnya 30 buah okokan dalam barungan ini. Ada sejumlah pemain yang memainkan sebuah okokan secara lepas-lepas dan ada pula setiap dua orang merangkai 2 alat menjadi satu unit yang diusung oleh dua orang. Penabuh yang sekaligus pengusung mengambil posisi dibelakang okokan dan membunyikannya dengan cara mengocoknya. Selain okokan dalam barungan ini juga dimasukkan dua buah kendang, 1 buah kajar dan sejumlah instrumen pukul lainnya. Musik yang ditimbulkan barungan berukuran besar ini sangat ritmis dan bersuasana magis. Sejak permulaan Pekan Kesenian Bali, Okokan selalu ditampilkan dalam acara pawai pembukaan pada pesta budaya tahunan ini.

6.4.3.15. Tektekan

Adalah sebuah barungan gamelan yang relatif masih baru yang muncul di daerah Tabanan. Di desa Kerambitan, telah lama berlangsung suatu tradisi arak-arakan mengelilingi desa untuk mengusir roh-roh jahat yang dianggap mengganggu kehidupan masyarakat. Arak-arakan seperti ini biasa dilakukan saat desa terserang wabah penyakit. Instrumen baku dari barungan ini, yang melibatkan sedikitnya 50 orang penabuh laki-laki, adalah sebuah kentongan atau kulkul dari bambu. Masing-masing penabuh memegang sebuah kentongan dengan ukuran berbeda-beda dan memainkan instrumen mereka dengan pola kakilitan seperti ritme cak atau cengceng kopyak dalam Balaganjur. Selain kulkul, barungan ini juga dilengkapi dengan gong, tawa-tawa, sebuah kemong, beberapa buah suling dan sepasang kendang.

Gamelan ini kini menjadi bagian dari pertunjukan Calonarang. Bagi masyarakat luas Tektekan adalah pertunjukan Calonarang dari Tabanan yang terkenal dengan demonstrasi kekebalan. Pada bagian akhir pertunjukan pemain rangda ditikam beramai-ramai oleh penari keris (dan juga oleh penonton). Dalam masa dua puluh tahun belakangan ini Tektekan telah menjadi salah satu acara yang digemari oleh wisatawan

6.4.4. Perkembangan Karawitan Bali

Dalam periode tahun 1970 sampai dengan 1990-an, seni karawitan Bali mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Kemajuan seni karawitan Bali pada waktu itu memperlihatkan dua sisi yang menarik dan sangat menentukan masa depan dari seni karawitan di daerah ini.

Di satu sisi telah terjadi penyebaran gamelan keseluruh Bali, bahkan keluar daerah serta keluar negeri. Kondisi ini diikuti oleh munculnya komposisi-komposisi karawitan baru yang semakin rumit dengan teknik permainan yang semakin kompleks.

Di sisi lain terlihat terjadinya perubahan ekspresi musikal dan pembaruan gaya-gaya musik lokal. Di Bali dewasa ini hampir setiap desa telah memiliki gamelan. Banyak desa bahkan memiliki 2-3 barungan gamelan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jenis gamelan yang paling baik perkembangannya adalah Gong Kebyar. Kiranya hal ini disebabkan oleh keberadaan daripada barungan gamelan ini yang serba guna dan yang paling sesuai dengan selera masyarakat banyak terutama kalangan generasi muda.

Ada beberapa contoh yang dapat dijadikan bukti terhadap perkembangan Gong Kebyar ini. Di Desa Singapadu sebuah desa di Kabupaten Gianyar misalnya, hingga sekitar akhir tahun 1960 hanya ada 1 barung Gong Kebyar dan 7 barung gamelan Geguntangan atau Paarjan. Dua puluh tahun kemudian di desa yang terdiri dari 13 banjar dinas ini telah ada 6 barung Gong Kebyar dan 2 barung Geguntangan. Jumlah ini masih perlu ditambah 2 barung Gong Kebyar yang dimiliki oleh sanggar atau sekaa pribadi. Di kota-kota besar diluar Bali seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta juga telah berdiri grup musik dan gamelan Bali. Dapat dipastikan bahwa gamelan yang dimiliki oleh group-group ini adalah gamelan Gong Kebyar.

Di tingkat Internasional, gamelan Bali (Gong Kebyar, Semar Pagulingan dan Gender Wayang) sudah tersebar ke Eropa, Jerman, Australia, Jepang, Canada, India dan mungkin yang terbanyak ke Amerika Serikat. Walaupun kebanyakan dari barungan gamelan Bali ini ditempatkan di perwakilan RI, ataupun universitas-universitas, semakin banyak grup-grup swasta dan perorangan yang memiliki gamelan sendiri. Group Sekar Jaya El Ceritto, California, Giri Mekar di Woodstock, New York (keduanya di Amerika Serikat), dan group Sekar Jepun di Tokyo Jepang adalah beberapa group kesenian asing yang hingga kini masih aktif. Menjadi semakin kompleksnya komposisi gamelan Bali yang diwarnai dengan melodi serta teknik cecadetan yang semakin rumit.

Belakangan ini muncul komposisi-komposisi musik baru yang menampilkan melodi yang lincah dan mempergunakan banyak nada. Hal ini sangat berbeda dengan gending-gending dari masa lampau yang melodi-melodinya sangat sederhana, mempergunakan beberapa nada saja dan berisikan banyak pengulangan. Pola-pola cecadetan yang muncul belakangan ini sudah banyak memakai pola ritme/hitungan tidak ajeg seperti tiga, lima atau tujuh.

Dalam komposisi lama, dalam gender wayang sekalipun pola ritme/hitungan ajeg sangat dominan. Perubahan ini juga diikuti oleh masuknya jenis pukulan rampak dan keras, yang datangnya secara tiba- tiba seperti yang terjadi pada Gong Kebyar. Tambah lagi ekspresi musikal hampir semua gamelan Bali menjadi ngebyar (meniru Gong Kebyar). Nampaknya perubahan ini besar kaitannya dengan adanya pengaruh gamelan Gong Kebyar.

Kecenderungan yang lain adalah pengembangan barungan dengan cara menambah beberapa instrumen baru. Gejala ini yang terlihat dalam pengembangan gamelan Geguntangan, munculnya Adi Merdangga dan gamelan pengiring sendratari. Hal ini kiranya berkaitan dengan munculnya stage-stage pementasan besar dengan penonton yang berada jauh dari arena pentas (tempat menari). Agar musik dapat didengar oleh penonton yang berada di kejauhan ini, maka penambahan instrumen menjadi perlu selain menggunakan sistem amplifikasi. Misalnya saja pada tahun 1970, gamelan Geguntangan adalah suatu barungan kecil yang menimbulkan suara lembut merdu. Kini Geguntangan sudah dilengkapi dengan beberapa buah kulkul, dengan beberapa instrumen bilah seperti cuing dan lain-lain. Ada kecenderungan bahwa perkembangan seni Karawitan Bali lebih didominir oleh gaya Bali Selatan.

Seni Karawitan sebagaimana halnya kesenian Bali lainnya, juga meliputi dua gaya daerah: Bali Utara dan Bali Selatan. Perbedaan antara kedua gaya ini tampak jelas dalam tempo, dinamika dan ornamentasi dari pada tabuh- tabuh dari masing-masing gaya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk tempo tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih cepat dari yang di Bali Selatan. Hal ini juga menyangkut masalah dinamika di mana tanjakan dan penurunan tempo musik Bali Utara lebih tajam daripada Bali Selatan. Namun demikian, ornamentasi tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih rumit daripada Bali Selatan. Akhir-akhir ini tabuh-tabuh gaya Bali Utara terasa semakin jarang kedengarannya, sebaliknya tabuh-tabuh Bali Selatan semakin keras gemanya. Semua yang sudah diuraikan di atas mengisyaratkan kemajuan karawitan Bali baik secara kuantitas maupun kualitas. Ada kecendrungan bahwa di masa yang akan datang seni karawitan Bali, khususnya instrumental yang didominir oleh gamelan Gong Kebyar dan ekspresi ngebyar akan masuk ke jenis-jenis gamelan non-kebyar. Sementara karawitan gaya Bali Utara dan Selatan akan berbaur menjadi satu (mengingat pemusik kedua daerah budaya ini sudah semakin luluh), gamelan klasik seperti Semar Pagulingan nampaknya akan bangkit kembali.

Di masa yang akan datang, bentuk-bentuk seni karawitan dan barungan gamelan Bali baru akan terus bermunculan. Adanya "ebiasaan di kalangan seniman Bali untuk terus mencoba, mencari dan menggali ide-ide baru, baik dari dalam seni budaya tradisi mereka maupun dari unsur luar yang senafas, sangat memungkinkan akan terwujudnya perkembangan seni karawitan Bali yang lebih baik di masa yang akan datang.

6.4.5. Karawitan Kontemporer

Tahun 1970 adalah saat masa penting dalam sejarah perkembangan seni karawitan Bali. Pada waktu itu muncul garapan karawitan kontemporer Bali, garapan karawitan modern yang eksperimental sifatnya namun masih bersumber dan berakar pada musik tradisi.

Awal pertumbuhan karawitan kontemporer Bali ditandai oleh garapan musik berjudul Gema Eka Dasa Rudra karya I Nyoman Astita pada tahun 1979. Dalam garapan karawitan ini Astita mencoba menuangkan interpretasinya terhadap suasana musikal dari serangkaian upacara ritual dalam karya agung Eka Dasa Rudra di Besakih tahun 1978. Barungan gamelan yang dijadikan dasar adalah Semar Pagulingan yang dikembangkan dengan jalan menambah beberapa buah gong dan kempul, cengceng kopyak, kentungan (alat menumbuk padi), kulkul (kentongan), serta sapu lidi. Dengan alat-alat ini Astita menyajikan sedikitnya 5 warna musik Bali : Semar Pagulingan, Gong Kebyar, Balaganjur, Angklung dan Gong Beri untuk melukiskan jalannya upacara Eka Dasa Rudra.

Di samping memadukan alat-alat gamelan dengan alat-alat yang non gamelan, Gema Eka Dasa Rudra lahir dengan menawarkan dua gagasan baru.
- Pertama, dalam garapan dilakukan beberapa perubahan patet gending dan merangkai lagu-lagu yang berlaras pelog dengan slendro. Struktur nada gamelan Semar Pagulingan Saih Pitu memungkinkan untuk melakukan semuanya ini. Oleh karena itu dalam kreasi musik ini ada lagu-lagu yang dimainkan dalam patet selisir, patet tembung dan lain-lainnya. Laras Slendro muncul ketika diperdengarkan lagu-lagu gamelan Angklung dan laras Pelog terdengar pada waktu Balaganjur dan Kakebyaran.
- Kedua, sepanjang perjalanan musik Gema Eka Dasa Rudra ini para pemain menabuh atau menyanyi sambil menari. Dengan gerak-gerak yang sederhana, para penabuh mencoba untuk menvisualkan beberapa aktivitas yang terjadi dalam upacara Eka Dasa Rudra yang sesungguhnya. Dengan demikian Gema Eka Dasa Rudra menjadi sebuah sajian musik yang sifatnya audio-visual yang menarik untuk dilihat dan didengar.

Munculnya Gema Eka Dasa Rudra yang dipersiapkan untuk Festifal Komponis Muda di TIM Jakarta ini mendapat sambutan positif dari kalangan pengamat dan budayawan Bali, sehingga merangsang tumbuhnya karya-karya karawitan kontemporer lainnya. Di antara karya-karya penting yang muncul sesudahnya adalah:
- Uma Sadina oleh Nyoman Astita
- Trompong Beruk oleh Wayan Rai S
- Sumpah Palapa oleh Nyoman Windha
- Kosong oleh Ketut Gede Astawa

Kehadiran karya-karya ini membuat semakin semaraknya kehidupan seni karawitan kontemporer di daerah Bali.

6.5. Pesta Kesenian Bali

Pesta Kesenian Bali diselenggarakan sebagai upaya persembahan karya cipta seni terbaik masyarakat. Bilapun kini masyarakat berkeinginan memilih antara kesenian dan kerajinan, profan dan sekular, pesanan dan kreativitas murni masyarakat Bali, semua itu mereka kerjakan dengan semangat ‘persembahan’. Perbedaan itu tidak akan mengurangi hakekat berkesenian. Kegiatan berkesenian didasari oleh motivasi sebagai persembahan yang terbaik dan spirit dalam segala aktivitas masyarakat Bali

Seni yang ditampilkan adalah persembahan dan karya cipta yang dihasilkan juga sebagai persembahan. Hal ini yang masih dijadikan. Persembahan seni dan karya cipta mengandung makna pembebasan yang iklas yang dalam ajaran Hindu sering disebut dengan yadnya. Yadnya yang dipersembahkan melalui seni dan karya cipta menjadikan hasil ciptaannya sebagai persembahan terbaik, maka sedapat mungkin seseorang seniman tidak akan mempersembahkan miliknya atau karyanya yang paling jelek atau seadanya, apalagi persembahan itu berupa seni dan karya cipta yang terlahir dari budi daya sebagai hulu cinta kasih dan peradaban rohani seni masyarakat.

Pesta Kesenian Bali merupakan media dan sarana untuk menggali dan melestarikan seni budaya serta meningkatkan kesejahteraan. Penggalian dan pelestarian seni budaya meliputi filosofi, nilai-nilai luhur dan universal, konsep-konsep dasar, warisan budaya baik benda atau bukan benda yang bernilai sejarah tinggi, ilmu pengetahuan dan seni sebagai representasi peradaban serta pengembangan kesenian melalui kreasi, inovasi, adaptasi budaya dengan harapan agar tetap hidup dan ajeg berjcelanjutan dalam konteks perubahan waktu dan jaman serta dalam lingkungan yang selalu berubah.

Menampung hasil karya cipta, seni dan aspirasi berkesenian baik kesenian hasil rekonstruksi, seni hasil inovasi, atraksi kesenian serta apresiasi seni dan budaya masyarakat, maka Pemerintah Propinsi Bali, sejak tahun 1979, oleh Almarhum Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menggagas dan memprakarsai suatu wadah pesta rakyat, yang sampai sekarang disebut Pesta Kesenian Bali (PKB), yang pertama kalinya di gelar.

Dasar Penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali adalah Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 07 Tahun 1986 tentang Pesta Kesenian Bali. Pesta Kesenian Bali yang digelar pertama kali pada tahun 1979, berlangsung kurang lebih 2 bulan tepatnya dari tanggal 20 Juni 1979 sampai 23 Agustus 1979, dan setiap tahun telah memberikan kesempatan untuk menampilkan karya-karya seni terbaik, sebagai wahana pembinaan, pelestarian dan pengembangan seni budaya masyarakat. Pelestarian seni budaya dengan menampilkan kesenian-kesenian klasik yang sudah hampir punah dan terpendam di masyarakat. Melalui Pesta Kesenian Bali, memotivasi masyarakat untuk menggali, menemukan dan menampilkan kepada masyarakat pada pesta rakyat ini. Penyelenggaraan PKB dari tahun ketahun telah memberikan nuansa tersendiri bagi keajegan seni budaya Bali dengan menampilkan thema yang selalu berbeda-beda. Kiranya cara berkesenian masyarakat Bali yang dipersembahkan kedalam wadah Pests Kesenian Bali, setiap tahunnya juga berbeda-beda.

Dalam sejarah perjalanan pesta seni rakyat yang akbar ini pada umumnya selalu dibuka oleh pejabat tinggi negara. Hanya pada PKB yang pertama kali tahun 1979 dibuka oleh Almarhum Prof DR. Ida Bagus Mantra yang saat itu menjabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali sekaligus sebagai penggagas PKB. Selebihnya pembukaan PKB dilaksanakan oleh Menteri, Wakil Presiden, Presiden dan Ibu Negara.

6.6. Rumah Tradisional

6.6.1. Metodologi Arsitektur Bali

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedanda atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura.

Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.

6.6.2. Hirarki Pola Ruang Rumah Tinggal

Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakan satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan barat.

Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali:
1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kaluh kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.

6.6.3. Teknik Konstruksi dan Material

Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama.

Nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bila dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.

Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.

Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

Sistem konstruksi yang lain adalah system kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2x3 kolom. Bale tiang sangga adalah sebuah bale dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3x3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3x4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2x8 atau 2x12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.

6.7. Pura

Pura adalah tempat beribadah bagi umat Hindu Bali. Arsitektur pura juga merujuk pada asta kosala-kosali. Pura-pura pada zaman dahulu kala dibangun di kaki gunung, karena orang Bali percaya bahwa gunung terutama gunung Agung adalah pusat dunia. Di puncaknya adalah tempat ber-stana¬-nya Bhatara Siwa. Contoh pura yang terkenal di Bali adalah Pura Besakih dan Pura Tanah Lot.

6.7.1. Pura Besakih

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan Pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.

Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Ida Hyang Widhi Waça agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di Pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.

Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten/sesaji)

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (konon ke gunung Raung di Jawa Timur). Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Ida Hyang Widhi Waça bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Ida Hyang Widhi Waça, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten/sesajen) selengkapnya diperciki tirta pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.





1. Pura Pesimpangan
2. Pura Dalem Puri
3. Pura Manik Mas
4. Pura Bangun Sakti
5. Pura Ulun Kulkul
6. Pura Merajan Selonding
7. Pura Goa
8. Pura Banua
9. Pura Merajan Kanginan
10. Pura Hyang Haluh (Jenggala)
11. Pura Basukihan
12. Pura Penataran Agung
13. Pura Batu Madeg
14. Pura Batu Kiduling Kreteg
15. Pura Gelap
16. Pura Pengubengan
17. Pura Batu Tirtha
18. Pura Batu Peninjoan
19. Komplek Pedarman


6.7.2. Pura Tanah Lot
Tanah Lot merupakan obyek wisata yang sangat terkenal, hampir setiap wisatawan yang liburan ke Bali pasti menyempatkan diri menikmati obyek wisata ini. Tanah Lot terletak di desa Beraban, kecamatan Kediri, kabupaten Tabanan, di barat daya pulau Bali, kira-kira 30 menit dari Kuta. Di Tanah Lot terdapat dua pura, Pura Tanah Lot yang terletak diatas sebuah batu karang besar yang berada di tengah pantai. Di sebelahnya terdapat satu pura lagi yang terletak diatas tebing yang menjorok ke laut (mirip pura Uluwatu). Pura Tanah Lot termasuk pura Sad Kahyangan yaitu pura-pura yang menjadi sendi untuk menjaga keasrian dan keselamatan pulau Bali.

Menurut legenda, pura Tanah Lot dibangun oleh seorang Brahmana suci yang bernama Danghyang Nirartha atau disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra pada abad ke 16, beliau datang ke Bali untuk menyebarkan dan menguatkan ajaran agama Hindu. Danghyang Nirartha juga meninggalkan selendangnya yang menjadi sebuah ular penjaga pura Tanah Lot. Ular ini masih ada sampai sekarang dan dipercaya dapat memberikan keselamatan dan mengabulkan doa orang yang menyentuhnya. Selain pura Tanah Lot, ada beberapa pura Sad Kahyangan lain yang dibangun oleh Danghyang Nirartha selama pengembaraannya di Bali, misalnya Pura Petitenget, Pura Uluwatu dan lainnya. Dipercaya Danghyang Nirartha akhirnya “Moksa” (meninggal tanpa jasad) di Pura Uluwatu.

Selain terdapat ular yang hingga saat ini masih menjadi kepercayaan penduduk setempat, hal fenomenal lainnya adalah terdapat sumber air tawar di sisi utara Pura Tanah Lot padahal Pura ini terletak di atas pantai. Air suci ini disebut Tirta Pabersihan, banyak umat dan pengunjung yang menggunakan air ini untuk penyucian secara niskala.

Tanah Lot terkenal dengan pemandangannya yang indah, bila cuaca baik, kita dapat melihat matahari tenggelam (sunset) yang sangat indah, ketika sang Surya tenggelam di kaki cakrawala, sungguh pemandangan yang dapat membuat mata berhenti berkedip. Dijalan menuju pantai Tanah Lot banyak dijumpai penunjang pariwisata seperti hotel, restaurant, art shop, dan lainnya. Waktu yang baik untuk berkunjung kesana adalah pukul 16:00, jadi kita dapat melihat-lihat pemandangan dengan tebing yang curam, pura Tanah Lot yang mengagumkan, dan pemandangan pantai sambil menunggu sunset. Pada bulan-bulan ini, sunset biasanya terjadi sekitar pukul 18:30.

Seperti pura lainnya, pura Tanah Lot juga memiliki odalan (hari raya) yang dirayakan setiap 210 hari sekali, yaitu setiap “Buda Cemeng Langkir”, berdekatan dengan hari raya Galungan dan Kuningan. Pada saat odalan, seluruh umat Hindu dari segala penjuru Bali akan datang untuk bersembahyang, begitu juga wisatawan akan banyak yang datang untuk menyaksikan upacara dan keindahan Tanah Lot, akan tetapi wisatawan tidak diijinkan untuk memasuki bagian utama (”Utama Mandala”) pura Tanah Lot, kecuali yang masuk untuk bersembahyang. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kesucian pura Tanah Lot.

6.8. Bahasa Bali

Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya.

Bahasa Bali dalam keluarga bahasa Austronesia sering ditengarai paling dekat berkerabat dengan bahasa Jawa. Namun hal ini tidaklah begitu. Bahasa Bali paling dekat dengan bahasa Sasak dan beberapa bahasa di pulau Sumbawa bagian barat. Kemiripannya dengan bahasa Jawa hanya karena pengaruh kosakata atas bahasa Jawa karena aktivitas kolonisasi Jawa pada masa lampau, terutama pada abad ke-14 Masehi. Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi. Bahkan dalam keluarga Austronesia, secara fonologis bahasa Bali lebih mirip bahasa Melayu daripada bahasa Jawa. Namun fonem /r/ pada posisi akhir dalam bahasa Melayu, seringkali menjadi /h/ pada bahasa Bali.

Bahasa Bali banyak terpengaruh bahasa Jawa, terutama bahasa Jawa Kuna dan lewat bahasa Jawa ini, juga bahasa Sansekerta. Kemiripan dengan bahasa Jawa terutama terlihat dari tingkat-tingkat bahasa yang terdapat dalam bahasa Bali yang mirip dengan bahasa Jawa. Maka tak mengherankanlah jika bahasa Bali halus yang disebut basa Bali Alus Mider mirip dengan bahasa Jawa Krama.


6.9. Aksara Bali

Sangatlah beruntung Bali, karena tak cuma memiliki tradisi bahasa lisan, melainkan juga memiliki tradisi aksara. Sungguh tidak banyak bahasa-bahasa di dunia yang memiliki tradisi aksara. Bahasa-bahasa di bagian timur Indonesia misalnya, lebih banyak tidak memiliki tradisi aksara.

Cukup panjang, memang, perjalanan sejarah bahasa dan aksara Bali. Malah, perkembangan aksara Bali hingga seperti sekarang telah melalui proses keterpengaruhan dari bahasa lain khususnya bahasa Jawa Kuno.

Penelitian yang pernah dilakukan memberikan dugaan kuat aksara Bali berkembang dari huruf Pallawa yang dikenal dengan nama huruf Bali Kuno. Huruf ini berkembang pada sekitar abad ke-9 sampai abad ke-10 dan terus mengalir sampai kini. Sistem yang digunakan yakni sistem silabik. Artinya, satu tanda mewakili satu suku kata yang diambil dari huruf awal suku kata yang diambil dari huruf awal suku kata dimaksud. Tiap suku kata dibentuk dari satu konsonan dan satu vokal.

Dr. Rudolf Gorris menemukan bahwa bahasa Bali Kuna dominan digunakan dalam prasasti-prasasti periode awal zaman Bali Kuna. Sedikitnya ada 33 prasasti yang menggunakan bahasa Bali Kuna. Setelah masa pemerintahan Raja Udayana Gunapriyadharmapatni (989-1011) mulailah digunakan bahasa dan aksara Jawa Kuna. Tatkala masuk pengaruh Majapahit, bahasa Kawi-Bali pun mulai digunakan, terutama di naskah-naskah lontar.

Huruf-Huruf Konsonan Utama



Bentuk Huruf-Huruf Konsonan Lain



Vowel dan Tanda Baca Lain



Angka


6.10. Pakaian Adat Bali



Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
- Udeng (ikat kepala)
- Kain kampuh
- Umpal (selendang pengikat)
- Kain wastra (kemben)
- Sabuk
- Keris
- Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas, dan alas kaki sebagai pelengkap.




Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
- Gelung (sanggul)
- Sesenteng (kemben songket)
- Kain wastra
- Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
- Selendang songket bahu ke bawah
- Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
- Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki sebagai pelengkap.



6.11. Makanan Khas Bali

Makanan Utama

- Ayam/bebek betutu
- Babi guling
- Bandot
- Be kokak mekuah
- Be pasih mesambel matah
- Berengkes
- Cerancam
- Grangasem
- Jejeruk
- Jukut ares
- Jukut urab
- Komoh
- Lawar
- Nasi bubuh
- Nasi kuning bali
- Nasi tepeng
- Nasi yasa
- Penyon
- Sate kablet
- Sate languan
- Sate lembat
- Sate lilit
- Sate pentul
- Sate penyu
- Sate tusuk
- Serapah
- Serombotan
- Timbungan
- Tum
- Urutan


Jajanan

- Bubuh sagu
- Bubuh sumsum
- Bubuh tuak
- Jaja abug
- Jaja bantal
- Jaja batun duren
- Jaja begina
- Jaja bendu
- Jaja bikang
- Jaja cerorot
- Jaja godoh
- Jaja iwel
- Jaja jongkok
- Jaja ketimus
- Jaja klepon
- Jaja lak-lak
- Jaja reta
- Jaja sabun
- Jaja saga
- Jaja sengait
- Jaja sumping
- Jaja tain buati
- Jaja ongol-ongol
- Jaja uli misi tape
- Jaja wajik
- Rujak bulung
- Rujak kuah pindang
- Rujak manis
- Rujak tibah


6.12. Senjata Tradisional


- Keris
- Tombak
- Tiuk
- Taji
- Kandik
- Caluk
- Arit
- Udud
- Gelewang
- Trisula
- Panah
- Penampad
- Garot
- Tulud
- Kis-Kis
- Anggapan
- Berang
- Blakas
- Pengiris


6.13. Produk Budaya Lain

Sesungguhnya terdapat masih banyak lagi adat budaya yang khas dari orang Bali. Diantaranya yang cukup terkenal adalah tradisi Med-Medan dan penggunaan Kain Poleng. Dua produk budaya ini bukanlah yang terakhir karena masih banyak produk budaya Bali yang tidak sempat kami bahas.

6.13.1. Med-Medan

Tradisi unik yang hingga kini tetap bertahan di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan adalah med-medan. Med-medan berasal dari kata omed-omedan yang artinya saling tarik. Tradisi ini rutin dilangsungkan pada Ngembak Geni (sehari setelah Hari Raya Nyepi).

Sebelum med-medan dimulai, anggota sekaa teruna melakukan persembahyangan bersama di Pura Banjar Kaja dipimpin pemangku setempat. Acara diawali dengan pementasan tarian barong bangkal di lokasi med-medan (tepatnya di jalan raya jurusan Sesetan-Kota Denpasar atau di depan Balai Banjar Kaja, Sesetan). Selanjutnya puluhan anggota sekaa teruna yang sudah mengenakan pakaian adat madya membagi diri. Anggota laki-laki berada di kiri (utara jalan) dan perempuan berada di kanan (selatan).

Ketika aba-aba dimulai, masing-masing kelompok berlarian melintasi lokasi lawan jenis. Air PAM pun dikucurkan oleh anggota krama banjar ke tubuh mereka dengan menggunakan ember dan selang. Dalam keadaan basah kuyup mereka ‘mengunggulkan’ salah satu anggotanya untuk dihadap-hadapkan dengan anggota lawan jenis. Tarik-tarikan pun terjadi. Anggota laki-laki memegang tubuh sang perempuan, sehingga terjadi saling omed (saling tarik). Demikianlah seterusnya hingga semua kebagian.

Lalu, bagaimana tradisi ini bisa terjadi? Kelian Banjar Kaja Kelurahan Sesetan Denpasar Selatan Pasek Nyoman Adnyana didampingi Pemangku Gede Banjar Kaja Sesetan Wayan Suadi mengatakan, med-medan dulunya hanyalah sebuah kebiasaan. Tetapi belakangan oleh krama Banjar Kaja Sesetan dijadikan acara yang sakral. Munculnya med-medan bermula dari sembuhnya seorang sesepuh Puri Oka Sesetan, AA Made Raka dari suatu penyakit. Kapan itu terjadi, tak disebutkan secara pasti.

Oleh karena menderita sakit, tokoh puri itu tidak menginginkan adanya keramaian (med-medan) di hari raya Nyepi. Tetapi krama banjar memberanikan diri membuatnya dengan segala risiko. Mendengar adanya keramaian, AA Made Raka berusaha mendatanginya. Tetapi aneh, sakit yang dideritanya sembuh seketika setelah menyaksikan acara tersebut. Dari situ muncul upaya tetap melaksanakan tradisi tersebut di Hari Raya Nyepi.

Belakangan, tepatnya pada zaman Belanda, med-medan sempat dilarang. Kendati demikian tidak menyurutkan krama untuk tetap melanjutkan tradisi unik tersebut. Kegiatan pun lantas dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi. Dulu, med-medan dilangsungkan pada Hari Raya Nyepi. Tetapi sejak tahun 1979 agar tidak mengganggu pelaksanaan catur brata penyepian, med-medan akhirnya dilaksanakan pada Ngembak Geni.

Dikatakan, med-medan juga sempat ditiadakan karena ada penyimpangan berupa adegan ciuman. Tetapi peristiwa aneh pun terjadi. Sepasang babi yang tidak diketahui asal-muasalnya berkelahi di halaman Pura Banjar. Darah babi pun berceceran di mana-mana. Warga banjar yang melihat kejadian itu sertamerta melerainya, tetapi tak berhasil. Akhirnya, ada bawos agar med-medan tetap dilangsungkan. Begitu tradisi itu dilangsungkan, kedua ekor babi itu menghilang tanpa jejak. Darah yang tadinya terlihat membasahi tanah, hilang seketika. Sejak itulah krama tidak berani lagi meniadakan med-medan sehingga lestari sampai sekarang.


6.13.2. Kain Poleng



Sering terlihat bahwa orang Bali melilitkan kain poleng (kain berwarna hitam-putih) pada tugu di persimpangan jalan, patung, bahkan pohon-pohon besar. Maksud dan tujuan dari pemberian kain poleng tersebut adalah sebagai penetralisir kekuatan-kekuatan negatif yang berasal dari bhuta-bhuta (makhluk-makhluk rendahan yang tidak nampak). Kain poleng juga terkadang berfungsi untuk memberikan kesan tenget (angker) pada suatu tempat agar orang-orang yang melintasi daerah tersebut menaruh hormat karena tempat itu ‘ada penunggunya’. Biasanya orang Bali yang tempat tinggalnya dekat dengan daerah yang diberi kain poleng akan menghaturkan sesajen, yang dimaksudkan agar bhuta-bhuta itu tidak mengganggu kehidupan manusia.

7. TRUNYAN


Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.

Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.

Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata taru dan menyan berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.

Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.

Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.

Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
2. Dikubur/dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.

Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat beberapa jenis kuburan yaitu:
1. Sema wayah, diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah.
2. Sema bantas, diperuntukkan untuk dengan penguburan.
3. Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.

Asal muasal daerah ini juga cukup unik. Ceritanya, di daerah ini konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan bau sangat harum. Bau harum itu ceritanya mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk mendatangi sumber bau. Beliau akhirnya bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang berburu.

Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan.

Keunikan Trunyan lainnya adalah peninggalan purbakala. Prasasti Trunyan tahun saka 813 (891 masehi) menyebutkan keberadaan sebuah pura yang bernama Pura Turun Hyang. Di pura tersebut terdapat bangunan suci meru yang bertumpang tujuh. Dan di dalam meru tersebut tersimpan sebuah arca Batu Megalitik setinggi kurang lebih 4 meter yang oleh masyarakat Trunyan sangat disakralkan. Arca tersebut juga dikenal dengan sebutan Arca Da Tonta.

8. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI


Hampir tidak ada wilayah dan komunitas Nusantara yang tidak tersentuh arus globalisasi dan modernisasi. Begitu pula dengan Bali. Daerah ini sangat intens memperoleh peluang dan menerima dampak globalisasi dan modernisasi. Di samping mengusung sains, teknologi, dan informasi, globalisasi dan modernisasi juga menggandeng kapitalisme, materialisme, pragmatisme sampai dengan terorisme. Krisis modernitas yang sangat kasat mata adalah rapuhnya moral, menguatnya konsumerisme, merebaknya fragmentasi sosial, konflik kekerasan yang cenderung mengarah ke dehumanisasi. Kapital sosial, legal dan kultural publik mendapat ancaman yang serius.

Sementara, makin berkelanjutannya kemiskinan moral, lunturnya etika publik, lemahnya logika massa, biasnya wibawa hukum, kuatnya hedonisme, dan lemahnya kendali agama merupakan fakta sosial tentang dehumanisasi. Perilaku korupsi berkelanjutan, demo tiada batas, perebutan sumber daya, isu money politics, pluralitas partai tanpa perekat wawasan kebangsaan, konflik separatisme merupakan benih gerak ke arah khaostik negara.

Gerak modernisasi masyarakat Nusantara, termasuk Bali adalah bergesernya paradigma sosial dari komunitas mekanik ke organik, kecenderungan meluasnya spesialisasi networking dan interdependensi, serta meningkatnya kepadatan populasi dan pluralitas. Dalam perspektif mentalitas; mental menerabas, sikap instan, menyepelekan mutu, menjauhi disiplin dan menafikan etos kerja, merupakan kondisi aktual dan profil sebagian besar masyarakat negara ini. Kondisi empiris ini menjadi masalah besar dalam upaya membangun sinergi kebudayaan, agama dan sains yang berorientasi kualitas.

Contoh konkret terjadinya pengikisan budaya adalah banyaknya masyarakat Bali yang tidak mengenal lagi budayanya dengan baik. Bahkan sejak kecil mereka seperti kehilangan budaya mereka. Tidak sedikit diantara anak-anak Bali tersebut yang tidak mengenal lagi cerita rakyat. Posisi Ni Tuung Kuning, Rare Angon, dan I Siap Badeng kini telah digantikan oleh Doraemon, Sinchan, Sailormoon, Batman dan rupa-rupa tokoh kartun lainnya yang seluruhnya merupakan produk impor. Padahal di dalam beragam cerita rakyat tersebut mengandung banyak sekali nilai-nilai luhur kemanusiaan yang diyakini mampu menghaluskan budi pekerti anak-anak Bali yang belum tentu terkandung dalam cerita impor yang tidak sejalan dengan budaya Bali. Bahkan, tak jarang isi buku itu justru menyesatkan dan membuat generasi muda kehilangan pijakan sebagai manusia Bali dan membuat semakin berjaraknya masyarakat Bali dengan seni budayanya yang adiluhung.

Nasib yang sama juga menimpa permainan tradisional Bali. Goak Maling Taluh, Meong-meongan dan Teng, Teng, Nyer. Permainan sederhana yang dinyakini mampu meneguhkan jiwa sportivitas anak-anak Bali itu kini sudah tidak ada lagi yang melirik. Saat ini, anak-anak Bali lebih merasa betah duduk berjam-jam di depan perangkat elektronik bernama playstation lengkap dengan beragam menu permainan beraroma kekerasan. Mereka pun tak perlu lagi bersosialisasi dengan rekan-rekan sebaya lantaran semua permainan itu bisa dilakoni seorang sendiri. Tanpa disengaja, ragam permainan berbasis teknologi canggih itu pun menggiring anak-anak Bali menjadi pribadi yang individualis, agresif dan egois.

Keterasingan dengan permainan rakyat asli Bali tidak hanya terjadi pada anak-anak di kawasan perkotaan saja tapi juga merambah anak-anak di pedesaan. Padahal permainan rakyat tersebut mengandung nilai nilai positif. Pertama, dengan mengenal permainan rakyat itu, anak-anak akan tergugah untuk lebih menghargai, menghayati dan membanggakan seni budaya yang dimilikinya. Sebab, permainan rakyat itu merupakan budaya lokal yang boleh jadi tidak ada di daerah/negara lainnya. Kedua, permainan rakyat juga sangat konstruktif dalam pengembangan kepribadian anak-anak. Permainan rakyat tersebut akan memupuk jiwa kebersamaan anak-anak karena permainan rakyat itu cenderung bersifat kolektif atau harus dilakukan oleh banyak orang. Di sini, anak-anak dituntut bisa berinteraksi dan bekerja sama dengan rekan sebayanya. Permainan rakyat ini juga merupakan media pembelajaran yang efektif bagi anak-anak untuk belajar berdemokrasi, menghargai kesepakatan bersama dan berani mengeluarkan pendapat. Dalam permainan rakyat, anak-anak dididik untuk bersikap jujur dan sportif karena permainan rakyat seringkali berakhir dengan predikat kalah dan menang. Selain itu, permainan rakyat juga sangat relevan untuk mendidik anak-anak menjadi insan yang taat hukum mengingat di dalam permainan rakyat itu ada sejumlah rambu-rambu atau peraturan yang wajib ditaati di mana peraturan itu disusun oleh mereka sendiri berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat dalam permainan tersebut.

Ragam permainan rakyat Bali juga mengandung unsur keindahan. Di samping menghayati betapa nikmatnya bermain, kerapkali anak-anak juga menikmati indahnya lagu dan tari-tarian karena sebagian permainan rakyat Bali juga disertai dengan gerak tari dan lagu-lagu. Apalagi jika permainan itu diiringi dengan gamelan sederhana seperti rindik bambu sehingga nuansa estetisnya makin mencuat.

Globalisasi tidak hanya berpengaruh kepada kehidupan budaya masyarakat Bali, tapi juga berdampak pada lingkungan Bali. Pembangunan sebagai dampak komersialisasi dari industri pariwisata, yang lebih banyak terfokus pada pembangunan fisik dan infrastruktur, tanpa disertai oleh pembangunan lingkungan yang berkelanjutan, banyaknya lahan di Bali yang mengalami kerusakan atau mengalami konversi dari sawah dan kebun menjadi hotel, resort dan villa, terjadinya abrasi pantai yang terus menerus, kerusakan terumbu karang, belum lagi tingginya polusi di banyak kota di Bali akibat meningkatnya jumlah kendaraan bermotor.

Untuk mengantisipasi kerusakan alam yang terjadi, Bali tetap bertahan dengan menjalankan ajaran agamanya yang tidak lepas dari filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana mengandung arti tiga penyebab kesejahteraan. Kesejahteraan dapat dicapai melalui hubungan yang harmoni antara ketiga elemen yaitu antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan) dan manusia dengan alam sekitar (palemahan). Bagi masyarakat Bali, Tri Hita Karana mempunyai makna yang mendalam dimana ada konsep kepemilikan yang saling terkait di antara ketiga elemen. Bila manusia merasa memiliki planet bumi ini, maka ia akan bertanggung jawab dalam melestarikannya dan berhenti bermusuhan satu dengan lainnya. Industrialisasi telah menyebabkan individualisme dan bila dihadapkan pada suatu tanggung jawab, orang akan cenderung bertanya mengapa saya yang harus melakukannya. Tri Hita Karana mempunyai konsep yang berbeda, mengapa bukan saya? Setiap individu harus ambil bagian dalam menjaga keharmonisan di antara sesama dan alamnya. Dengan demikian industrialisasi dapat terus berjalan, dengan memperhatikan lingkungan sekitar. Contoh yang mudah adalah memikirkan pembuangan limbah yang memenuhi kaidah amdal sewaktu membangun sarana fisik seperti hotel atau pabrik misalnya.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah juga tidak jarang menimbulkan masalah tersendiri. Pesatnya pembangunan yang terjadi di Bali telah menjadi magnet raksasa yang mampu menarik para pendatang. Pembangunan yang terjadi di Bali harusnya mampu diterjemahkan secara benar oleh pemerintah, apakah itu merupakan pembangunan Bali atau pembangunan di Bali.

Pembangunan Bali lebih menitikberatkan pada membangun Bali dengan memprioritaskan potensi dan sumber daya Bali. Modal, tenaga kerja maupun sumber produksi lainnya dengan memanfaatkan sumber lokal. Dengan demikian berbagai piranti untuk mendukung pemanfaatan sumber daya lokal diciptakan, dikondisikan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal. Model ini membawa konsekuensi bahwa hasil-hasil pembangunan Bali benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat Bali, dinikmati oleh sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Hal ini akan memberikan multiplier effect di daerah Bali, pelipatgandaan pendapatan, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan sarana lainnya akan terjadi di Bali dan oleh masyarakat Bali. Sementara itu, pembangunan di Bali memang banyak aktivitas dan kegiatan ekonomi dilakukan di Bali, namun sarana dan prasarana produksi tidak tertutup kemungkinannya sebagian besar berasal dari luar daerah. Modal, tenaga kerja serta sarana produksi lainnya dibawa dari luar daerah. Dengan demikian aktivitas ekonomi kelihatan tinggi di Bali, tetapi multiplier efect serta pelipatgandaanya akan terjadi di luar daerah Bali. Jika kondisi ini terjadi maka tidak salah orang mengatakan bahwa masyarakat Bali hanya sebagai penonton terhadap glamornya aktivitas ekonomi di Bali.

Dan semoga saja pembangunan dan modernisasi yang terjadi di Bali tidak menjadikan masyarakat Bali kehilangan tradisinya dan menempatkan masyarakat Bali hanya sebagai sebutan semata tanpa adat dan budaya.

0 komentar: