November 22, 2008

Kebudayaan Minangkabau

Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabaua yang telah berusia ribuan tahun.
Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Batak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di lokasi menhir berada, seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Menhir yang kemudian berubah fungsi, sebagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama “Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab.
 Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina.
Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi sampai abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi.

 Zaman Minangkabau Timur
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah karena menyesuaikan dengan lingkungan alam, kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.



Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.

 Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka untuk membicarakan masalah perdagangan. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Sewaktu Sultan Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda.
Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dan benteng Belanda di Pulau Cingkuak dari pusat kedudukannya di Bengkulu.
Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. Mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi karena terlibat perang lagi dengan Belanda.
 Pembaharuan oleh Agama Islam
Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga karena terbentur kepentingan perkembangan Politik Cina dan Agama Budha.
Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas mulai datang dari Aceh. Pada waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadi secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat tetapi hanya disekitar istana saja. Ketika orang-orang istana itu sudah tidak ada, hilang pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.
C. IDENTIFIKASI GEOGRAFI DAN BUDAYA
Sumatera Barat berada di bagian barat tengah Pulau Sumatera dengan luas 42.297,30 km² . Provinsi ini memiliki dataran rendah di pantai barat, serta dataran tinggi vulkanik yang dibentuk Bukit Barisan yang membentang dari barat laut ke tenggara. Kepulauan Mentawai yang terletak di Samudera Hindia termasuk dalam provinsi ini. Garis pantai Sumatera Barat seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km.
Propinsi Sumatra Barat terletek di posisi 0°U-102° LS, 98°-102° BT dengan batas-batas :
Utara : Propinsi Sumatera Utara
Barat : Propinsi Riau dan Propinsi Jambi
Selatan : Propinsi Bengkulu
Timur : Samudera Hindia
Danau-danau yang berada di Sumatera Barat adalah Maninjau (99,5 km²), Singkarak (130,1 km²), Diatas (31,5 km²), Dibawah (Dibaruh) (14,0 km²), Talang (5,0 km²)
Beberapa sungai besar di pulau Sumatera yang berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Inderagiri (disebut sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar dan Batang Hari. Semua sungai ini bermuara di pantai timur Sumatera, di provinsi Riau atau Jambi. Sungai-sungai yang bermuara di pantai barat pendek-pendek. Beberapa di antaranya adalah Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan. Gunung-gunung di Sumatera Barat adalah Marapi (2.891 m), Sago (2.271 m), Singgalang (2.877 m), Tandikat (2.438 m), Talakmau (2.912 m), Talang (2.572 m).
1. Keanekaragaman Hayati
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati. Sebagian besar wilayahnya masih merupakan hutan alami dan dilindungi.
Dalam hutan tropis di Sumatera Barat dapat dijumpai berbagai spesies langka, misalnya: Rafflesia arnoldii (bunga terbesar di dunia), Harimau Sumatra, siamang, tapir, rusa, beruang, dan berbagai jenis burung dan kupu-kupu.
Terdapat dua Taman Nasional di provinsi ini, yaitu Taman Nasional Siberut yang terdapat di Pulau Siberut (Kabupaten Mentawai) dan Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional terakhir ini wilayahnya membentang di empat provinsi,antara lain Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatra Selatan.
Selain kedua Taman Nasional tersebut masih ada beberapa cagar alam lainnya: Cagar Alam Rimbo Panti, Cagar Alam Lembah Anai, Cagar Alam Batang Palupuh, Cagar Alam Lembah Harau, dan Cagar Alam Beringin Sakti.
Sumatra Barat juga memiliki beberapa sumber daya alam, antara lain batu bara, batu besi, batu galena, timah hitam, seng, manganase, emas, dan batu kapur.
2. Bahasa dan Agama

Bahasa yang digunakan dalam keseharian ialah bahasa daerah yang meliputi :
 Bahasa Minangkabau
Bahasa Minangkabau memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bukittinggi, dialek Pariaman, dialek Pesisir Selatan dan dialek Payakumbuh.
 Bahasa Batak
Dialek yang digunakan berupa dialek Mandailing, yang biasanya digunakan suku Batak Mandailing di daerah Pasaman.
 Bahasa Mentawai
Bahasa Mentawai yang digunakan oleh penduduk yang bertempat tinggal di daerah Mentawai yang berupa kepulauan dan terletak beberapa puluh kilometer lepas pantai Sumatra Barat.
Mayoritas penduduk Sumatra Barat beragama Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen di Kepulauan Mentawai, serta Hindu dan Buddha yang pada umumnya adalah para pendatang.
3. Musik dan Tarian
Nuansa Minangkabau yang ada di dalam setiap musik Sumatra Barat yang dicampur dengan jenis musik apapun saat ini pasti akan terlihat dari setiap karya lagu yang beredar di masyarakat. Hal ini karena musik Minang bisa diracik (dipadukan) dengan aliran musik jenis apapun sehingga enak didengar dan bisa diterima oleh masyarakat. Unsur musik ini terdiri dari instrumen alat musik tradisional saluang (seruling), bansi (gendang), talempong (gamelan), rabab (biola), dan gandang tabuik (gendang dimainkan untuk memperingati kematian cucu nabi Muhammad).
Musik Minangkabau berupa instrumentalia dan lagu-lagu dari daerah ini pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan dan kecintaan akan kampung halaman yang tinggi ditunjang dengan kebiasaan pergi merantau.
Industri musik di Sumatra Barat semakin berkembang dengan munculnya seniman-seniman Minang yang bisa membaurkan musik modern ke dalam musik tradisional Minangkabau.Perkembangan musik Minang modern di Sumatra Barat sudah dimulai sejak tahun 1950'an ditandai dengan lahirnya Orkes Gumarang. Elly Kasim, Tiar Ramon dan Yan Juneid adalah penyanyi daerah Sumatra Barat yang terkenal di era 1970-an hingga saat ini.
Tari tradisi bersifat klasik yang berasal dari Sumatera Barat yang ditarikan oleh kaum pria dan wanita umumnya memiliki gerakan aktif dinamis namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas. Kekhasan ini terletak pada prinsip tari Minangkabau yang belajar kepada alam. Oleh karena itu, dinamisme gerakan tari-tari tradisi Minang selalu merupakan perlambang dari unsur alam. Pengaruh agama Islam, keunikan adat matrilineal dan kebiasan merantau masyarakatnya juga memberi pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau.
Macam-macam tari tradisional dari Sumatra Barat meliputi:
1. Tari Piring
2. Tari Payung
3. Tari Randai
4. Tari Pasambahan
5. Tari Indang

Seni tari tradisional Pencak Silat dari Minangkabau merupakan penggabungan dari gerakan tari dan seni beladiri khas Minang. Pencak Silat di Minangkabau memiliki beberapa aliran, diantaranya aliran Harimau Kumango. Tarian ini biasanya sudah diajarkan kepada kaum pria di Minangkabau semenjak kecil hingga menginjak usia akil baligh (periode usia 6 hingga 12 tahun) untuk dijadikan bekal merantau.Saat ini seni tari pencak silat sudah mendunia dengan terbentuknya federasi pencak silat sedunia IPSF (International Pencak Silat Federation).
4. Rumah Adat
Rumah adat Sumatra Barat disebut Rumah Gadang. Rumah adat asli setiap tiangnya tidaklah tegak lurus atau horizontal tapi mempunyai kemiringan. Ini disebabkan oleh orang dahulu yang datang dari laut hanya tahu bagai mana membuat kapal. Rancangan kapal inilah yang ditiru dalam membuat rumah. Rumah adat jugat tidak memakai paku tapi memakai pasak kayu. Ini disebabkan daerah Sumatera Barat rawan terhadap gempa, baik vulkanik maupun tektonik. Jika dipasak dengan kayu setiap ada gempa akan semakin kuat mengikatnya. Atapnya dari ijuk. Yang demokrasi, lantainya datar. Kato lantainya tidak semua datar. Jumlah ruangannya 9. ada lumbung padi di depan rumah, biasanya ada 6 n setiap lumbung punya fungsi berbeda. Jumlah gonjongnya harus 5 atau 7.
5. Senjata dan MakananTradisional
Senjata tradisional Sumatra Barat adalah Keris. Keris biasanya dipakai oleh kaum laki-laki dan diletakkan di sebelah depan, saat sekarang hanya dipakai bagi mempelai pria dalam pesta pernikahan. Berbagai jenis tombak, pedang panjang, sumpit juga dipakai oleh raja-raja Minangkabau dalam menjaga diri mereka.
Dalam dunia kuliner, Sumatra Barat terkenal dengan masakan Padang dan restoran Padang. Masakan Padang yang terkenal dengan citarasa yang pedas dapat ditemukan hampir di seluruh penjuru Nusantara, dan dapat ditemukan juga di luar negeri.
Beberapa contoh makanan dari Sumatra Barat yang sangat populer adalah Rendang, Sate Padang, Dendeng Balado, Ayam Pop, Soto Padang, dan Bubur Kampiun
Selain itu, Sumatra Barat juga memiliki ratusan resep, seperti Galamai, Wajik, Kipang Kacang, Bareh Randang, Dakak-dakak, Rakik Maco, Karupuak Balado dan Karupuak Sanjai. Makanan ciri khas masing-masing kota dan kabupaten di Sumatra Barat untuk dijadikan buah tangan (oleh-oleh) adalah: Kota Padang terkenal dengan bengkuang dan karupuak balado, Kota Padang Panjang terkenal dengan sate nya, Kota Bukittinggi dengan karupuak sanjai, Kota Payakumbuh dengan galamai dan bareh rendang, Kabupaten Agam terkenal dengan palai rinuak dan pensi, Kabupaten Pesisir Selatan dengan rakik maco, Kabupaten Tanah Datar dengan lamang Limo Kaum dan dakak-dakak simabua-nya.
D. SISTEM KEKERABATAN
Para ahli hukum menetapkan bahwa sistem kekerabatan pada masyarakat adat Minangkabau yaitu matrilineal. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. Wilken mengemukakan proses dari garis keturunan pada masa pertumbuhannya sebagai berikut:
1. Garis keturunan ibu
2. Garis keturunan ayah
3. Garis keturunan orang tua
Menurut teori evolusi Wilken, garis keturunan ibulah yang dianggap yang tertua dan kemudian garis keturunan ayah, selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan ibunya, tetapi juga garis keturunan ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut teori evolusi ini menitikberatkan terhadap evolusi kehidupan manusia.
Pada masa lalu pergaulan antara laki-laki dan wanita masih bebas artinya belum mengenal norma-norma perkawinan. Mengingat pada kenyataannya yang melahirkan adalah perempuan maka keturunan berdasarkan perempuanlah yang mendapat tempat pertama. Disamping itu lambat laun manusia juga menjadi sadar akan hubungan antara ibu dan anak-anaknya sebagai satu kelompok keluarga karena anak-anak hanya mengenal ibunya dan tidak tahu siapa dan dimana ayahnya. Dalam kelompok keluarga ”ibu dan anak-anaknya" ini, si ibulah yang menjadi Kepala Keluarga.
Dalam kelompok ini mulai berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya harus dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan diluar batas kelompok sendiri yang sekarang disebut dengan "adat eksogami". Artinya perkawinan hanya boleh dilakukan dengan pihak luar, dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok serumpun tidak diperkenankan sepanjang adat.
Kelompok keluarga itu tadi makin lama makin bertambah banyak anggotanya. Karena "garis keturunan" selalu diperhitungkan menurut "Garis Ibu", dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana seperti Wilken disebut masyarakat "matriarchat".
Istilah "matriarchat" yang berarti "ibu yang berkuasa" sudah ditinggalkan. Para ahli sudah tahu bahwa sistem "ibu yang berkuasa" itu tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis matrilinial.
Dalam sistem kekerabatan matrilinial terdapat 3 unsur yang paling dominan yaitu
• Garis keturunan "menurut garis ibu"
• Perkawinan harus dengan kelompok lain diluar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah Eksogami matrilinial
• Ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan dan kesejahteraan keluarga
Sampai saat ini masyarakat Minangkabau masih bertahan dengan garis keturunan ibu dan tidak mengalami evolusi. Disamping itu garis keturunan ibu di Minangkabau erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Seandainya garis keturunan mengalami perubahan maka akan terjadi suatu perubahan dari sendi-sendi adat Minangkabau sendiri. Oleh karena itu, bagi orang Minangkabau garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya.
Sebenarnya garis keturunan yang ditarik dari garis wanita bukan hanya terdapat di Minangkabau saja, melainkan juga di daerah lain pada sejumlah besar suku-suku primitif di Melanesia, Afrika Utara, Afrika Tengah, dan beberapa suku bangsa di India. Malahan ada yang sangat mirip dengan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, yaitu suku Babemba di Rodhesia Utara. Raymond Rifth mengemukakan, mengenai ini sebagai berikut:
Seorang laki-laki termasuk marga ibunya, dan kalau dia bicara tentang kampung asalnya maka dimaksudkannya adalah kampung halaman ibunya dan paman-pamannya dari pihak perempuan dilahirkan. Dia mencari asal usul terutama dari silsilah nenek moyangnya dari pihak perempuan. Bagi seorang laki-laki bangsawan adalah lazim bahwa nenek moyangnya dari pihak perempuan dapat ditunjukkan sampai keturunan yang ketiga belas, sedangkan nenek moyangnya yang laki-laki hanya sampai dua generasi saja. Pergantian kedudukan juga dilakukan menurut garis silsilah ibu. Jabatan kepala suku juga diturunkan kepada anak laki-laki saudara perempuannya.
Banyak ahli barat menulis tentang sistem kekerabatan Minangkabau. Salah seorang dari para ahli tersebut adalah Bronislaw Malinowsky yang mengemukakan sebagai berikut:
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu
2. Suku dibentuk menurut garis ibu
3. Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku
4. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang dipergunakan.
5. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.
7. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri
Apa yang dikemukakannya di atas yang tidak ditemui sekarang adalah pembalasan dendam yang merupakan tata kewajiban seluruh suku, mungkin terjadi pada masa dahulu.
E. SISTEM KEMASYARAKATAN
Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat Minangkabau yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal ini adalah paruik. Setelah masuk islam di Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik adalah jurai.
Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya. Secara garis besar faktor-faktor yang mengikat kaum ini adalah sebagai berikut :
1. Orang Sekaum Seketurunan
Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali darah, bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit dibuktikan. Lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, membuktikan mereka seketurunan masih bisa dicari. Ini biasanya dilakukan untuk menguji ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini dapat dilihat generasi mereka sebelumnya dan sampai sekarang yang ditarik dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum dan juga mengenai sako.


2. Orang Yang Sekaum Sehina Semalu
Anggota yang melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum yang paling terpukul adalah mamak kaum dan kepala waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya. Karena perasaan sehina semalu-cukup mendalam, seluruh anggota selalu mengajak agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa sehina semalu ini, adat mengatakan : “malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak” (malu tak dapat dibagi, suku tidak dapat dianjak), artinya malu seorang malu bersama. Mamak atau wanita-wanita yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini.
3. Orang Yang Sekaum Sepandan Sepekuburan
Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai pandam tempat berkubur khusus bagi anggora kaumnya. Jadi yang dimakamkan di satu pandam adalah orang yang seketurunan atau sekaum. Ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas berkaitan dengan pandam ini. Di Minangkabau tempat memakamkan mayat terdapat beberapa istilah seperti pandam, pekuburan, ustano dan jirek. Kuburan ini merupakan tempat kuburan umum dan disini tidak berlaku seketurunan dan siapa saja atau dari keluarga manapun tidak jadi soal.
Istilah “ustano” mempunyai arti yaitu makam raja-raja dengan keluarganya. Di luar dari itu tidak dibenarkan. Namun dalam kenyataan sehari-hari orang mengacaukan sebutan ustano dengan istana sebagaimana sering kita baca atau dengar. Sedangkan jirek merupakan makam pembesar-pembesar kerajaan pagaruyung dengan keluarganya. Ustano dan jirek ini terdapat di pagaruyung batusangkar.
Untuk mengatakan seseorang itu sekaum, ia merupakan orang asal dalam kampung itu kemudian kaum keluarganya dapat menunjukkan pandamnya. Di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian satu pandam tempat berkubur.
4. Orang Yang Sekaum Seberat Seringan
Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesenang sebagaimana yang dikemukakan dalam adat “kaba baik baimbauan, kaba buruk bahambauan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan). Artinya bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan, berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar buruk dari salah seorang anggota keluarganya tanpa dihimbaukan sebagai contohnya seperti ada kematian atau mala petaka lain yang menimpa.
5. Orang Yang Sekaum Seharta Sepusaka
Adat Minangkabau tidak mengenal harta perseorangan. Harta merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka yang banyak dari sebuah kaum menunjukkan bahwa nenek moyangnya merupakan orang asal di kampung itu sebagai peneruka pertama dan kaum yang mempunyai harta pusaka yang sedikit bisa dianggap orang yang datang kemudian. Oleh sebab itu, di dalam adat sebuah kaum yang banyak memiliki harta tetapi hasil tembilang emas atau dengan cara membeli maka statusnya dalam masyarakat adat tidak sama dengan orang yang mempunyai harta pusaka tinggi (harta pusaka kaum yang banyak). Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang pendatang.
Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap berpegang kepada prinsip “harato salingka kaum, adat salingka nagari” (harta selingkar kaum, adat selingkar nagari).
Selanjutnya garis kekerabatan yang berkaitan dengan kaum ini adalah jurai. Sebuah kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya. Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau mamak rumah. Anggota suatu jurai merupakan satu kaum.
Pecahan dari jurai disebut samande (seibu) yaitu ibu dengan anak-anaknya, sedangkan suami atau orang sumando tidak termasuk orang samande. Orang yang samande diberi “ganggam bauntuk, pagang bamasieng” (genggam yang sudah diperuntukan dan masing-masing sudah diberi pegangan), artinya masing-masing orang yang samande mempunyai bagian atas harta pusaka milik kaumnya. Tetapi mereka hanya diberi hak untuk memungut hasil dan tidak boleh digadaikan apalagi untuk menjual bila tidak semufakat anggota kaum.
F. ADAT PERKAWINAN
Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sesuku menikah meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu sampai sekarang masih tetap kawin dengan orang di luar sukunya (exogami).
Perkawinan merupakan inisiasi kealam baru bagi seorang manusia merupakan perubahan dari tingkat umur, seperti masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke alam dewasa dan kemudian ke jenjang perkawinan.
Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan. Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:
1. Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang laki-laki dan perempuan kawin dengan bebas.
2. Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan segolongan orang perempuan.
3. Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis keturunan perempuan.
4. Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya.
5. Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak mengenal kedua orang tuanya. Bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang belum ada keterangan yang diperoleh bagaimana cara dan prosesnya sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Apakah ada proses perkawinan bebas dan bergerombolan ini dahulunya dan untuk itu tentu perlu penyelidikan dan penelitian khusus.
Dari cerita-cerita yang ada di Minangkabau digambarkan bahwa untuk mencari seorang sumando dipanjang gelanggang dan diadakan sayembara. Perkawinan dengan sayembara ini memperlihatkan cara seorang raja atau bangsawan mencari calon menantu. Hal ini tidak sesuai dengan struktur masyarakat Minangkabau yang tidak mengenal adat raja-raja, dan kemungkinan cerita dalam kaba ini merupakan pengaruh dari luar Minangkabau.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah sebagai berikut:
1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan
Pada masa dahulu bagi seorang mamak merasa malu bila kemenakannya belum juga mendapat jodoh. Sedangkan menurut ukuran sudah sepantasnya untuk kawin, malu bila dikatakan kemenakannya “gadih gadang alun balaki” (gadis besar belum bersuami).
Pada masa dahulu dibenarkan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat gadih gadang alun balaki. Segala daya dan upaya dilkukan demi memperoleh jodoh. Mencari calon suami dari kemenakan dikatakan juga mencari junjungan, untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak terlepas dari alam takambang jadi guru. Ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk membelitkan dirinya. Lazimnya pada masa dahulu si gadis tidak dinyatakan terlebih dahulu apakah ia mau kawin atau tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak.
Hal ini dengan pertimbangan seseorang yang belum kawin masih dianggap belum dewasa. Apalagi pada masa dahulu seorang wanita sudah dicarikan suaminya dalam umur yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15. Bila sudah menjanda baru ditanya pendapatnya, karena sudah dianggap matang untuk melakukan pilihan.
Drs. M. Rajab mengenai inisiatif dari seorang mamak untuk mencari jodoh kemenakannya mengemukakan sebagai berikut: “dalam masyarakat Minangkabau pada masa dahulu inisiatif untuk mengawinkan anak kemenakan datang dari pihak keluarga perempuan, sesuai dengan sistim keibuan yang dipakai. Datuk atau mamaknya atau keduanya pada suatu ketika yang baik dan dalam suasana yang tenang dan resmi, mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah sudah terlintas pada pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi menantunya.”
Dapat disimpulkan antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu baru dibawa kepada anggota kaum yang pantas untuk berunding atau bermusyawarah bersama-sama. Dalam hal ini orang sumando mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan untuk menjajaki keluarga laki-laki yang bakal diharapkan menjadi junjungan kemenakannya.
Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua kaum sangat diharapkan dalam adat, karena pada lahirnya bukan hanya mempertemukan seorang gadis dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal yang tidak diingini, seperti pertengkaran suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala resikonya.
Pada saat sekarang mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau laki-laki, namun jalur adat harus dituruti juga. Bawalah permasalahan kepada mamak atau kaum keluarga, sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila pemuda mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa melibatkan masing-masing anggota keluarga.
2. Calon menantu yang diidamkan
Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu. Yang paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa). Orang ini dalam keluarga laki-laki mamaknya pemangku adat atau penghulu yang disegani dalam masyarakat adat. Kalau dapat calon menantu ini pemangku adat yang berpredikat datuk, serta baik budinya. Tujuannya agar keturunannya nanti anak orang terpandang dan soal pekerjaan dan jaminan ekonomi tidak dipermasalahkan. Setelah islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah orang yang alim serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi seseorang dan anggota kaum pada umumnya.
Karena adanya perubahan sistim nilai yang terjadi maka saat sekarang kecendrungan untuk mencari calon menantu itu adalah orang yang penuh tanggungjawab dan sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, dan tentu saja ketaatannya beragama serta budinya yang baik tetap menjadi ukuran pertimbangan.
Dahulu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan bukan berarti pihak suami tidak bertanggungjawab, melainkan pada waktu itu hasil harta pusaka sawah dan ladang memadai. Tentu penduduk belum sebanyak sekarang jika dibandingkan dengan harta pusaka yang ada.
3. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat.
Merupakan ciri khas juga pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini lain tidak agar hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Secara tersirat ada juga dengan alasan agar harta pusaka dapat dimanfaatkan bersama antara anak dan kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga terdekat ini dalam adat dikatakan juga “kuah tatumpah kanasi, siriah pulang ka gagangnyo” (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).
Malahan pada masa dahulu perkawinan dalam lingkungan sangat diharuskan, dan bila terjadi seorang laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sangsi dalam pergaulan masyarakat adat. Tujuan lain untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama warga nagari. Sangat tidak disenangi bila seorang pemuda telah berhasil dalam kehidupannya dengan baik, tahu-tahu dia kawin diluar kampung atau nagarinya, hal ini dikatakan ibarat “mamaga karambia condong” (memagar kelapa condong), buahnyo jatuah kaparak urang (buah jatuh kekebun orang). Keberhasilan seseorang individu dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari. Oleh sebab itu sudah sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.
4. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah isteri
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan si suamilah yang tinggal di rumah istrinya. Dalam istilah antropologi budaya disebut matrilocal. Mengenai tempat tinggal di rumah istrinya, beberapa ahli mempunyai pendapat lain, seperti Firth mengatakan dengan istilah “uxorilocal” dan Mordock mengatakan “duolocal residence”, hal ini dengan alasan karena masing-masing suami istri tetap tinggal dan punya domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahirannya di garis keturunan masing-masing.
Sayang sekali pendapat di atas tidak menjelaskan pada zaman apa terjadinya hal yang demikian. Pada masa dahulu suami pulang kerumah istrinya pada sore hari dan subuhnya kembali kerumah orang tuanya. Hal ini mungkin terjadi bila terjadi dalam lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari dan asal tidak bersamaan suku. Namun dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah duorocal residence atau dua tempat tinggal bagi seorang suami sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tersebut diatas. Sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau tetap mengatakan bahwa suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.
5. Tali kekerabatan setelah perkawinan
Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat – tali kerabat antara keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, bisan dan menantu.
a. Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya. Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari saudara-saudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak adalah “bakonya”.
b. Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan.
c. Sumando berasal dari bahasa sansekerta yaitu “sandra”, sedangkan dalam bahasa Minangkabau menjadi “sando” dengan sisipan “um” menjadi sumando. Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari.
d. Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya, dia berperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai (pemimpin u/ keluarga suami) dan mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami.
e. Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar, bisan ini dengan “ipa bisan” dan kadang-kadang disambung saja jadi “pabisan”.
Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bagian. Pertama menantu sepanjang syarak. Bagi seorang suami istri dan saudara laki-lakinya. Istri-istri atau suami-suami anaknya merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu sepanjang adat, maksudnya bagi seorang mamak beserta istri dan saudara-saudara laki-lakinya, istri atau suami kemenakan merupakan menantu sepanjang adat.
6. Sumando yang diidamkan
Nilai seorang sumando sekaligus, merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan sosial rumah gadang, karena orang sumando tersebut seorang mamak di rumah gadangnya. Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando itu dalam melakukan perannya, orang Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut:
a. Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya orang sumando hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan tanggungjawab kepada anak istrinya tidak ada.
b. Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi perangai tidak baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti langau hijau suka hinggap di mana-mana dan kemudian terbang meninggalkan bangan (kotoran).
c. Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perangai yang suka memecah belahkan kaum keluarga istrinya, seperti “kacang miang” yang membuat orang gatal-gatal.
d. Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Orang sumando seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum istrinya. Ibarat tikar buruk hanya dipakai kalau betul-betul diperlukan kalau tidak perlu tikar buruk ini tidak dipergunakan.
e. Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah dari pada di luar, suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.
f. Sumando niniak mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang diharapkan oleh keluarga istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang istrinya dia akan bersikap, nan tahu dikieh kato sampai, mengampuangkan nan taserak, mangamehi nan tacicia. (yang tahu dengan kias kata sampai mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus budi bahasanya, suka membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril maupun materil. Demikian pula di rumah gadang kaumnya berfungsi mauleh mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak (mangulas mana yang putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia suka turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota kaumnya.
Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini bagi orang Minangkabau sendiri, terutama bagi laki-laki akan dapat berfikir jenis manakah yang akan dipakainya, seandainya dia kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.
7. Peranan Ibu Dan Bapak dalam Keluarga
Perkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu pengertian keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit yang tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud dengan keluarga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, adalah paruik yang terdiri dari individu-individu yang dikemukakan diatas.
Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan oleh peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah paruiknya.
Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya melainkan sebagai sebutan dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang. Sedangkan untuk wanita keseluruhan orang Minangkabau menyebut perempuan. Perempuan Minangkabau sangat dihormati. Ini dapat dilihat dimana garis keturunan ditarik dari garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita, hasil sawah ladang juga untuk wanita dan lain-lain.
Setelah mulai besar, anggota seluruh rumah gadang adalah keluarga dan merupakan suatu kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama pula terhadap dunia luar yaitu dari orang-orang rumah gadang lainnya.
Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi anak laki-laki tidak dibenarkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman sebaya tidur di surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya banyak diperolehnya di surau ini karena di surau ini bukan hanya para pemuda dan remaja saja yang tinggal tetapi juga anggota keluarga laki-laki yang sekaum dengannya dan belum kawin atau menduda dan umumnya sudah dewasa dari mereka. Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat istiadat dan tempat mendengar kisah-kisah lama bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum tidur mereka juga belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya, baik untuk di kampung maupun persiapan untuk pergi merantau nantinya. Proses sosialisasi anak laki-laki menuju remaja dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan mamak-mamaknya dalam rumah gadang.
Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada disamping ibunya dan perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajari memasak membantu ibunya di dapur, mengurus rumah tangga, menjahit dan menyulam.
Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah gadang istrinya sebagai seorang sumando. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki tersebut hilang kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti biasa sebelum kawin dan boleh beristri dua, atau tiga lagi dan sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh menceraikan istrinya, jika dia atau keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya. Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari suaminya jika dia tidak cinta lagi kepada suaminya atau bilamana pihak keluarganya tidak senang melihat kelakuan menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.
Bila diperhatikan pula ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan bahwa seorang ayah di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam keluarga istrinya termasuk terhadap anak-anaknya sebagaimana dikatakan “sedalam-dalam payo, sahinggo dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga pintu biliak” (sedalam-dalam paya, sehingga dada itik, sebaik-baik orang semenda sehingga pintu bilik). Dikatakan juga, suami ibarat “abu di ateh tunggua” (abu di atas tunggul), datang angin, semuanya berterbangan.
Ada beberapa hal yang mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/istri dan kaum keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris yaitu kehidupan petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk yang masih jarang, harta yang masih luas dan memungkinkan seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan sosial ekonominya. Disamping itu seorang ayah tidak perlu memikirkan tentang biaya pendidikan anak-anaknya karena sekolah formal waktu itu tidak ada. Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.
Bila mamaknya bertani maka kemenakannya dibawa pula bertani, jika mamaknya berdagang maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak menjadi persoalan yang penting tetapi keturunan dan martabat dari pada ayahnya. Demikian pula anak-anak perempuan pendidikannya hanya terbatas dalam lingkungan rumah gadang saja dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan kepada persiapan untuk menempuh jenjang perkawinan. Disamping itu karena interaksi dengan dunia luar belum ada sehingga kemungkinan untuk merubah pola struktur yang telah ada sedikit sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang masa lalu dengan kaca mata sekarang karena ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.
Dalam proses selanjutnya terjadi perubahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya karena berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan merantau dari orang Minangkabau, masuknya pengaruh islam dan pendidikan modern telah membawa perubahan-perubahan cara berfikir dalam hidup berkeluarga dan dalam tanggung jawab terhadap anak istrinya.
Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat kampung yang ditinggalkan selama ini. Dan betapa akrabnya hubungan suami istri beserta anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri kedaerah rantau dan hidup bersama-sama anak-anak merupakan sejarah baru yang selama ini tidak pernah ditemui. Hidup yang bebas dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah membawa gema ke kampung halaman. Bila mendapat rezeki di rantau, si ayah membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk membuktikan keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih ditanah kaum istrinya tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.
Pergeseran peranan mamak kepada ayah dipercepat lagi setelah mantapnya agama islam menjadi anutan masyarakat Minangkabau. Agama islam secara tegas menyatakan bahwa kepala keluarga adalah ayah. Dalam permulaan abad ke XIX pengaruh barat, terutama melalui jalur pendidikan ikut juga memperkuat kedudukan dan peranan ayah ditengah-tengah anak istrinya. Namun demikian bukan berarti bergesernya sistem kekerabatan matrilineal kepada patrilineal.
G. PEMBAGIAN ADAT MINANGKABAU
Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat di kawasan Nusantara ini, adat adalah satu-satunya sistem yang mengatur masyarakat dan pemerintahan, terutama di kerajaan-kerajaan Melayu, Aceh dan sebagainya. Agama Islam pada umumnya terintegrasi dengan adat-adat yang dipakai di kerajaan-kerajaan tersebut.
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-suku lain tetapi dengan beberapa kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang sudah menganut sistem garis keturunan menurut Ibu (matrilinial).
Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat.
Pada tataran konseptional, adat Minang terbagi pada empat kategori:
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat istiadat
Secara legalistik atau kelembagaan, adat Minang dapat dirangkum dalam Limbago nan Sapuluah, yaitu:
1. Cupak nan duo
2. Kato nan ampek
3. Undang nan ampek

Cupak nan Duo ialah Cupak Usali dan Cupak Buatan Kato nan Ampek ialah:
1. Kato Pusako
2. Kato Mupakat
3. Kato Dahulu Batapati
4. Kato Kudian Kato Bacari
Undang nan Ampek ialah:
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang Dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluah
1). Kategori Adat pada Tataran Konseptional
a). Adat yang Sebenarnya Adat
Adat yang sebenar adat tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas. Ia adalah hukum alam itu sendiri. Dalam alam semesta ini tiap sesuatu tentu ada sebabnya.
Sebelum Islam masuk, Adat Minangkabau “bersendi alur dan patut”. Sesudah Islam masuk terjadi perubahan : “Adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah”. Berhubung dengan bergantinya adat maka ada yang mengatakan bahwa Adat yang sebenar adat itu ialah Al Quran dan Hadis.
Bukankah di dalam kitab suci Al Quran terdapat ayat yang mengatakan bahwa banyak ayat-ayat Tuhan terdapat pada alam bagi siapa yang pandai membacanya.
b). Adat yang Teradat
Untuk mengamalkan Adat yang sebenar adat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tentu diperlukan musyawarah-musyawarah. Hasil dari musyawarah- musyawarah itu lahirlah peraturan-peraturan atau konsensus. Misalnya di Silungkang, dahulu sebagai hasil musyawarah tercapai konsensus bahwa wanitanya tak boleh bersuamikan pria luar. Jika ketentuan itu dilanggar tentu ada sanksinya.
Dengan kata lain yang dimaksud dengan Adat yang teradat ialah peraturan-peraturan yang lahir oleh musyawarah dan mufakat atau telah menjadi konsensus masyarakat yang memakainya.
c). Adat yang Diadatkan
Yang dimaksud dengan adat yang diadatkan ialah adat yang telah dijadikan Undang-undang atau hukum yang berlaku. Dalam Undang-undang atau hukum yang berlaku ada yang mengatur hubungan manusia dengan Nagari.
Keharusan setiap orang Minangkabau bersuku – bernagari dan sukunya menurut suku ibu menunjukkan berlakunya sistem matrilinial. Mengenai sistem matrilinial ini ada orang yang mengatakan ia termasuk dalam Adat yang sebenar adat. Padahal sistem matrilinial ini adalah sistem bikinan manusia. Ia pernah tidak ada, kemudian ada dan telah menerima pula sistem patrilinial dari agama Islam, misalnya mengenai pembagian warisan. Kenyataan lain sistem matrilinial itu terus digerogoti misalnya dengan di belakang nama seseorang tidak dicantumkan nama ibunya melainkan nama bapaknya.
Juga di dalam Adat yang diadatkan diatur hubungan manusia dengan manusia. Misalnya soal pewarisan, etika, moral dan nilai-nilai. Panggilan Datuk bagi pria Silungkang yang lebih tua merupakan etika dan nilai sendiri. Di nagari lain menurut Adat yang diadatkan mereka mengenai panggilan pria yang lebih tua yaitu “Uda”, “Ociek”, “Akak”, dan sebagainya.
Contoh undang-undang dalam adat yang diadatkan antara lain Undang-undang Luhak, undang-undang Rantau, undang-undang Nan 20 dan Nan 8 mengenai jenis kejahatan dan Nan 12.
d). Adat Istiadat
Adat istiadat ialah kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat umum. Ia besar karena diambak dan ia tinggi karena dianjung. Yang termasuk dalam Adat istiadat ini ialah hal-hal yang bersifat seremoni, misalnya mengenai upacara perkawinan. Juga termasuk dalam Adat istiadat tingkah laku dalam pergaulan yang bila dilakukan akan dianggap baik.
2). Kategori Adat Secara Lagalistik
a). Cupak nan Duo
Cupak adalah alat takaran. Masih banyak alat takar lain, seperti gantang, taraju, bungka. Maksud alat-alat ini adalah simbol lembaga hukum yang menjadi acuan bagi masayarakat dalam menjalankan dan mengembangkan adatnya. Sebagaimana masyarakat yang sederhana mungkin dapat melaksanakan perdagangan dengan ukuran kira-kira, misalnya menjual beras sekarung, jagung seongook dan seterunsnya, maka masyarakat yang teratur mangharuskan adanya takaran yang pasti, seperti liter, kilogram dan sebagainya. Maka cupak dan gantang, bungka nan piawai, serta taraju nan tak paliang, adalah lambang kateraturan yang diciptakan dengan lembaga adat.
Cupak nan duo dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Cupak Usali
2. Cupak Buatan.
Cupak Usali adalah adat yang baku dan permanen sedang Cupak Buatan adalah adat yang ditetapkan oleh Orang Cerdik Pandai dan Ninik Mamak di nagari-nagari untuk merespon situasi dan perubahan zaman.
b). Kato nan Ampek
Kato adalah salah satu lembaga yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau, tanpa kato, adat Minang kehilangan legitimasinya. Dalam banyak masyarakat dahulu, kekuasaan dan undang-undang dipegang oleh raja karena keturunannya. Dalam masyarakat agamis, kekuasaan disandarkan pada otoritas wahyu, dan dalam masyarakat moderen yang demokratis, hukum didasarkan pada konstitusi dan undang-undang tertulis.
Bagi masyarakat Minang, kesahihan suatu hukum diukur dengan ada tidaknya kato-kato adat yang mendasarinya. Undang-undang dibuat oleh Cerdik Pandai, mufakat dibuat oleh seluruh kaum, hukum diputuskan oleh Penghulu. Akan tetapi landasan dan acuannya adalah kato. Suatu pernyataan atau keputusan haruslah sesuai dengan salah satu dari empat macam kato seperti di bawah ini:
1. Kato Pusako
2. Kato Mufakat
3. Kato dahulu batapati
4. Kato kudian kato bacari
Kato Pusako adalah pepatah petitih dan segala undang-undang adat Minangkabau yang sudah diwarisi turun temurun dan sama di seluruh alam Minangkabau. Kato Pusako ini merupakan acuan tertinggi dan tidak dapat diubah.
Kato Mufakat adalah hasil mufakat kaum dan para penghulu yang harus dipatuhi dan diajalankan bersama-sama. Mufakat di Minangkabau haruslah dengan suara bulat, dan tidak dapat dilakukan voting.
Kato dahulu batapati, artinya keputusan yang sudah diambil dengan suara bulat itu haruslah ditepati dan dilaksanakan.
Kato kudian kato bacari, artinya keputusan itu ada kemungkinan tidak dapat dijalankan karena suatu hal. Dalam hal ini harus dicari pemecahannya, dilakukan musyawarah dan dibuat kesepakatan.
c). Undang nan Ampek
Nenek moyang orang Minangkabau sudah menetapkan Undang-undang yang menjadi dasar pemerintahan adat zaman dahulu. Undang-undang tersebut meliputi:
1. Undang-undang Luhak dan Rantau
2. Undang-undang Nagari
3. Undang-undang dalam Nagari
4. Undang-undang nan Duopuluh
Undang-undang Luhak dan Rantau menyatakan bahwa di daerah Luhak berlaku pemerintahan oleh Penghulu sedang di daerah Rantau berlaku pemerintahan oleh Raja-raja.
Undang-undang Nagari menentukan syarat-syarat pembentukan suatu Nagari. Nagari boleh dibentuk jika sudah terdapat sekurangnya empat suku, yang masing-masing suku itu harus terdiri dari beberapa paruik.
Undang-undang dalam Nagari mengatur hak dan kewajiban penduduk Nagari.
Undang-undang nan Duopuluh adalah undang-undang pidana.
Empat undang-undang inilah pegangan para penghulu dalam menjalankan pemeritahan di nagari-nagari dengan dibantu oleh Manti, Malin dan Dubalang.
3). Adat pada Tataran Praktis
Adat Minangkabau itu kalau dirangkum sebenarnaya dapat disingkat menjadi tiga hal:
a). Pasambahan.
Adat Minang sarat dengan formalitas dan interaksi yang dikemas sedemikian rupa sehingga acara puncaknya tidak sah, tidak valid, jika belum disampaikan dengan bahasa formal yang disebut pasambahan. Acara-acara adat, mulai dari yang simple seperti mamanggia, yaitu menyampaikan undangan untuk menghadiri suatu acara, hingga yang berat seperti pengangkatan seseorang menjadi Pangulu, selalu dilaksanakan dengan sambah-manyambah.
Sambah-manyambah di sini tidak ada hubungannya dengan menyembah Tuhan, dan orang Minang tidak menyembah penghulu atau orang-orang terhormat dalam kaumnya. Melainkan yang dimaksud adalah pasambahan kato. Artinya pihak-pihak yang berbicara atau berdialog mempersembakan kata-katanya dengan penuh hormat, dan dijawab dengan cara yang penuh hormat pula. Untuk itu digunakan suatu varian Bahasa Minang tertentu, yang mempunyai format baku.
Format bahasa pasambahan ini penuh dengan kata-kata klasik, pepatah-petitih dan dapat pula dihiasi pula dengan pantun-pantun. Bahasa pasambahan ini dapat berbeda dalam variasi dan penggunaan kata-katanya. Namun secara umum dapat dikatakan ada suatu format yang standar bagi seluruh Minangkabau.
Terkait dengan pasambahan, adat Minang menuntut bahwa dalam setiap pembicaraan, pihak-pihak yang berbicara ditentukan kedudukannya secara formal, misalanya sebagai tuan rumah, sebagai tamu, sebagai pemohon, atau sebagai yang menerima permohonan.
b). Sirih dan pinang
Sirih dan pinang adalah lambang fromalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkepannya seperti buah pinang, gambir, kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.
Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahan kato.
Sirih dan pinang juga mempunyai makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu atau pada khalayak ramai. Karena itu, helat perkawinan termasuk dalam bab ini.
c). Baso-basi
Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.
Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal, baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
H. SISTEM KEPEMIMPINAN SETELAH ISLAM
Bila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau maka fikirannya akan tertuju bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai berikut :
1. Kepemimpinan ninik mamak
2. Kepemimpinan alim ulama
3. Kepemimpinan cerdik pandai
Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri. Mulanya hanya ada kepemimpinan di bidang adat saja namun kemudian setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau dan akhirnya agama Islam ikut memberi corak terhadap pandangan hidup orang Minangkabau. Dengan kedatangan pengaruh agama Islam lahirlah pimpinan di bidang keagamaan yang disebut alim ulama. Baik karena kenyataan maupun karena diakui, alim ulama diikut sertakan memimpin kesatuan-kesatuan sosial masyarakat di dalam adat. Unsur pimpinan yang ketiga adalah cerdik pandai. Orang cerdik pandai sama lahirnya dengan kepemimpinan ninik mamak dalam arti menjadi penghulu kepala kaum. Orang-orang yang pintar dari sebuah kaum banyak jumlahnya. Pintar dalam pengetahuan adat dan pengetahuan umum lainnya. Mereka inilah yang digolongkan kepada golongan cerdik pandai walaupun mereka tidak pernah menempuh pendidikan sekolah. Dengan kata lain kepemimpinan cerdik pandai ini sudah ada sebelumnya dan tidak benar kalau dikatakan kepemimpinan cerdik pandai muncul setelah adanya pendidikan formal seperti sekarang.
Ketiga corak kepemimpinan tadi mempunyai perbedaan terutama sekali statusnya dalam masyarakat adat. Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan tradisional, dia sesuai dengan pola yang telah digariskan oleh adat. Kepemimpinan secara berkesinambungan dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam kaum masing-masing, suku dan nagari. Seseorang tidak akan dapat berfungsi sebagai ninik mamak dalam masyarakat adat, seandainya tidak mempunyai gelar kebesaran kaum yang diwarisinya.
Kepemimpinan alim ulama dan cerdik pandai dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa membedakan asal usul dan keturunan. Kepemimpinan dan kharisma seorang alim ulama dan cerdik pandai tidak terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu dan malahan peranannya jauh di luar masyarakat nagarinya.
Stratifikasi secara tegas terhadap tiga corak kepemimpinan tersebut sulit dibedakan lantaran ketiga corak kepemimpinan tersebut bisa terdapat pada diri seseorang. Betapa banyaknya sekarang ninik mamak yang juga cerdik pandai serta sebagai alim ulama.
1. Tingkat - Tingkat Kepemimpinan
Dalam membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini tercakup dua hal yang mendasar, yaitu siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Pengertian yang dipimpin dalam adat Minangkabau tidak lain adalah anak kemenakan sendiri dan di sini dapat diterjemahkan sebagai rakyat sedangkan pemimpin adalah ninik mamak atau orang yang berfungsi sebagai pimpinan yang telah digariskan oleh adat.
Untuk membicarakan tingkat-tingkat kepemimpinan ini baik juga dipedomani talibun adat yang artinya ”anak gadis memotong kuku, dikerat dengan pisau siraut, pisau siraut peraut betung tua, betung tua baik untuk lantai, nagari mempunyai empat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua, rumah bertungganai”.
Dari talibun adat di atas yang akan dikemukakan adalah tungganai, suku dan nagari, sedangkan kampung tanpa dikaitkan kesalah satu suku tertentu dan hanyalah mengandung arti teritorial semata-mata.
a) Paruik (perut), tiap suku berbuah paruik dan orang separuik bertali darah. Dahulu orang yang separuik tinggal dalam satu rumah yang disebut dengan rumah gadang. Sebagai pemimpin dari peruik adalah kepala paruik atau disebut juga tungganai. Kepala peruik adalah laki-laki yang tertua dalam paruik tersebut atau laki-laki lain yang dipilih menurut adat yang berlaku. Biasanya kepala paruik inilah yang memakai gelar kebesaran paruik atau sebagai seorang penghulu yang bergelar datuk.
Kedatangan pengaruh islam kemudian istilah paruik ini lebih dikenal dengan sebutan kaum. Kepala paruik ini lebih dikatakan sebagai kepala kaum. Kepala kaum orang yang didahulukan dan ditinggikan oleh anggota kaum. Persoalan yang ada dalam kaum maupun antara satu kaum dengan kaum yang lain menjadi tanggung jawab kepala kaum untuk menyelesaikannya bersama-sama dengan anggota kaum lainnya. Pengawasan terhadap harta pusaka tinggi sebagai milik kaum merupakan tugas dari pada kepala kaum. Menggadai atau menjual harta pusaka harus disepakati anggota kaum dan ketegasan dari kepala kaum dalam mengambil sesuatu keputusan sangat diperlukan sekali dalam permusyawaratan. Orang yang sekaum terdiri atas ibu-ibu dan anak-anaknya yang merupakan samande. Orang yang samande memperoleh bagian dari harta pusaka tinggi milik kaum. Atas harta tersebut hanya diberi hak untuk memungut hasil sedangkan hak milik masih tetap atas nama kaum. Harta ini jika digadaikan harus mendapat persetujuan dari kepala kaum dan anggota kaum yang lainnya.
Apabila sebuah kaum telah berkembang, bagian-bagiannya disebut jurai. Jurai-jurai ini turun dari rumah itu diawasi oleh mamak rumahnya. Mamak rumah ini disebut pula tungganai menurut kebiasaan dalam satu-satu nagari. Jurai-jurai yang ada masih tetap dalam satu kesatuan kaum dan sebagai pimpinannya tetap kepala kaum.
b) Suku, merupakan unit yang mendasar dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Berdasarkan sejarah orang Minangkabau pada mulanya mengenal empat buah suku yaitu koto, piliang, bodi, dan chaniago. Berdasarkan penyelidikan L. C. Westenenk dari empat suku ini telah menjadi 96 suku yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh Minangkabau.
Walaupun sudah banyak pecahan suku namun tetap masuk kepada suku asal, yaitu kepada koto piliang dan bodi chaniago. Di nagari yang mempunyai sistem adat koto piliang kepala-kepala suku dipilih menurut sistem keturunan langsung. Sedangkan di nagari-nagari yang memakai sistem adat bodi chaniago kepala suku di pilih secara demokratis. Penghulu-penghulu suku koto piliang dipimpin oleh seorang penghulu pucuak dan sifatnya turun-temurun. Sedangkan pada bodi chaniago di kepalai oleh penghulu andiko atas pilihan bersama secara demokratis.
Penghulu-penghulu suku yang dipimpin oleh penghulu pucuak atau penghulu andiko mempunyai tanggungjawab keluar dan kedalam terhadap segala permasalahan yang ada dalam sukunya.
Bila terjadi persengketaan antara kaum dengan kaum atau antara suku dengan suku lainnya maka penghulu-penghlu yang sepesukuan turun tangan untuk menyelesaikannya. Demikian pula bila ada permasalahan yang ada permasalah yang patut untuk dibawa ketingkat nagari maka sebagai juru bicaranya adalah kepala suku yaitu penghulu pucuak atau penghulu andiko sesuai dengan sistem adat yang dipakainya. Membawa permasalahan dari tingkat terbawah ketingkat nagari haruslah berjenjang naik sedangkan dari tingkat nagari segala yang harus disampaikan kebawah hendaklah bertangga turun. Kepemimpinan dalam suku harus menanamkan rasa kesatuan dan persatuan, mereka harus sehina semalu karena orang sesuku seketurunan maka dalam soal perkawinan dahulunya dilarang orang kawin sesuku dan bahkan sampai sekarang hal ini pada banyak nagari masih dipegang teguh.
Dahulu orang sepesukuan tinggal dalam daerah yang sama sehingga ada kampung caniago, kampung jambak yang maksudnya orang yang tinggal di kampung tersebut bersuku chaniago atau suku jambak. Penduduk suku mempunyai daerah yang disebut ulayat suku. Ulayat suku meliputi daerah yang telah didiami dan diolah oleh anggota suku ditambah dengan daerah yang belum diolah seperti hutan, bukit dan lain-lain. Ulayat suku yang belum diolah hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan anggota suku. Untuk mengambil kayu bangunan atau hasil lainnya yang berada pada ulayat suku harus setahu penghulu-penghulu suku.
c) Nagari, organisasi politik dan sosial yang tertinggi adalah nagari. Pemerintahan nagari dijalankan oleh sebuah majelis ninik mamak pemangku adat. Mereka bermusyawarah dalam sebuah penghulu yang disebut rapek nagari atau kerapatan adat. Keanggotaan dari kerapatan adat pada sebuah nagari ditentukan oleh adat yang dipakai pada nagari tersebut. Majelis ninik mamak yang duduk sebagai pemimpin nagari punya kekuasaan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hukum adat tidak mengenal pemisahan kekuasaan. Segala persoalan-persoalan yang tidak putus dari tingkat paruik dan suku akan dibawa ke kerapatan ninik mamak nagari. Majelis ninik mamak nagari juga bertanggungjawab terhadap kekayaan nagari yang berupa tanah atau hal ulayat nagari.
Dari uraian di atas kelihatan suatu strata kepemimpinan menurut adat yang kita ambil dalam lingkup nagari sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan, yang memegang peranan dalam kepemimpinan secara adat yang berjenjang naik maupun bertangga turun adalah mamak rumah atau tungganai dengan harta ganggam bauntuak, mamak kepala kaum dengan harta pusaka tinggi kaum, kerapatan ninik mamak yang sesuku dengna harta ulayat suku, majelis kerapatan ninik mamak nagari dengan harta ulayat nagari. Jadi jelas kepemimpinan itu diikuti dengan kekayaannya yang merupakan hak dan tanggungjawab juga.
2. Penghulu
Dalam masyarakat adat minangkabau, penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Mengangkat kebesaran adat dikatakan mengangkat datuk, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “hulu”, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Jadi pengertian penghulu adalah sama dengan pimpinan. Dengan demikian seorang penghulu bisa pula tidak seorang datuk tetapi dia pemimpin.
Sebagai pimpinan, penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku dan nagarinya. Penghulu bertanggungjawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat. Kedudukan penghulu tidak sama dengan kedudukan dan fungsi seorang feodal, penghulu tidak dipusakai oleh anaknya seperti dalam masyarakat feodal melainkan oleh kemenakannya yang bertali darah.
Drs. M. D. Mansoer mengatakan : Seorang penghulu adalah ninggrat jabatan, dengan hak-hak istimewa (prerogatives) yang melekat pada gelar pusaka yang dipakainya sebagai penghulu. Yang diturunkan kepada kemenakan separuik, sekaum atau sepesukuannya dan dipilih sebagai penggantnya, ialah fungsi “ninggrat jabatan dengan hak-hak prerogatives yang inhaerent” pada jabatannya.
Sebagai penghulu ia disebut “datuk”, baik ia sebagai penghulu paruik maupun sebagai panghulu suku. Menurut adat bodi caniago seluruh penghulu sama dan sederajat kedudukannya, semua dinamakan penghulu andiko. Andiko berasal dari kata sansekerta yaitu “andika” yang berarti memerintah. Penghulu seandiko artinya setiap penghulu mempunyai wewenang dan memerintah di dalam sukunya, sampai ke dalam nagari masing-masing.
Menurut Prof. M. Nasroen, penghulu itu digadangkan makonyo gadang.Maksudnya jabatan penghulu itu diperolah oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri. Tingginya dianjung dan besarnya dipelihara, ini maksudnya bahwa sebelum dia diangkat dan memegang jabatan penghulu dia sudah besar dan tinggi juga di dalam kaumnya. Karena kelebihannya ini pilihan jatuh kepada dia.
Penghulu sebagai pemimpin haruslah baalam leba, badado lapang, dengan pengertian haruslah berjiwa besar dan berpandangan luas dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam mencari penyelesaian harus bijaksana dan di umpamakan seperti menarik rambut dalam tepung “ tapuang indak taserak, rambuik indak putuih ”.
Seorang penghulu diibaratkan “ aie janiah, sayak nan landai, bak kayu di tangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya tampak basanda, dahannya tampek bagantuang, buahnya ka dimakan, daunnyo tampek balinduang ”, (air yang jernih sayak yang landai, seperti kayu di tengah padang, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, buahnya untuk dimakan, daunnya tempat berlindung).
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa penghulu sebagai pemimpin, kedudukan dan peranannya sangat besar sekali di tengah-tengah masyarakat. Penghulu dikatakan juga tiang nagari, kuat penghulu maka kuat pulalah nagari.
Dalam memimpin sukunya, penghulu suku dibantu oleh tiga orang pembantu yaitu manti, malin dan dubalang. Manti urusan administrasi, malin urusannya menyangkut bidang keagamaan, dan dubalang dikatakan urang ampek jinih. Menurut Prof. M. Nasroen tugas dari urang nan ampek jinih adalah:
“ penghulu itu adalah sebagai bumi, di atas mana sesuatunya berdiri. Manti adalah sebagai angin yang menyampaikan sesuatunya, malin adalah ibarat air yang menghanyutkan yang kotor. Dubalang adalah sebagai api yang membakar segala kejahatan dan bertindak dengan keras ”.

Tiap jenis berperanan menurut bidang masing-masing, seperti dikatakan penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah di agamo, dubalang taguah di nagari, kato pangulu manyalasai, kato manti kato panghubuang, kato malin kato hakikat, kato dubalang kato mandareh.
a) Syarat-syarat menjadi penghulu
Karena seorang penghulu adalah sebagai pemimpin dalam masyarakat, mulai dari tingkat kaum, suku dan nagari, maka ketentuan untuk menjadi seorang penghulu telah digariskan oleh adat sebagai berikut:
1) Laki-laki
2) Berasal dari orang keturunan yang baik-baik.
3) Kaya akal, budi dan pengetahuan dalam bidang adat.
4) Baligh berakal maksudnya dewasa dan berpendirian teguh serta tegas dalam tiap-tiap tindakan.
5) Adil, maksudnya menempatkan sesuatu pada tempatnya.
6) Arif bijaksana artinya mempunyai perasaan halus, paham akan yang tersirat, pikiran tajam dan cendekia.
7) Siddiq (benar) tidak akan merubah suatu kebenaran.
8) Tabligh maksudnya menyampaikan sesuatu yang baik kepada umum.
9) Amanah (dapat dipercaya)
10) Fathanah (cerdik dan cerdas)
11) Pemurah artinya pemurah pada nasehat, murah pada melarang mudharat.
12) Tulus dan sabar.
b) Prosedur pengangkatan penghulu
Seseorang itu diangkat menjadi penghulu memakai gelar pusaka kaumnya yang telah diwariskan secara turun temurun dan merupakan hasil mufakat kaum. Musyawarah serta mufakat anggota kaum merupakan hasil yang prinsip sebab kalau tidak demikian maka kebesaran kaum tersebut akan tetap terbenam.. Seringkali terjadi hal yang demikian karena tiak ada kesatuan pendapat terutama anggota-anggota keluarga dalam jurai-jurai pada kaum tersebut.
Bila sudah didapat kebulatan suara anggota kaum, maka dibawalah hasil kesepakatan kaum ini ke kerapatan ninik mamak yang sesuku. Seandainya ninik mamak yang sesuku telah menyepakatinya pula maka dibawa ke sidang kerapatan nagari yang juru bicaranya datuk sesuku dari kaum tadi. Kerapatan nagari sifatnya menerima apa yang telah disepakati. Kerapatan nagari harus mengetahui semua calon penghulu baru karena ini nantinya akan dibawa sehilir semudik dalam urusan nagarinya. Prosedur pengangkatan penghulu tiap-tiap nagari bisa saja berbeda sesuai dengan adat salingka nagari, harato salingla kaum, namun prosedur berjenjang naik sampai ketingkat nagari tidak bisa diabaikan karena adat mengatakan maangkek panghulu sakato nagari, maangkek rajo sakato alam.
c) Malewakan penghulu
Malewakan penghulu maksudnya menyampaikan kepada masyarakat ramai mengenai diri seorang yang memakai gelar kebesaran kaumnya. Acara pengangkatan penghulu dan peresmiannya merupakan acara adat terbesar di minangkabau. Besarnya acara ini tergantung pada kemampuan keluarga kaum yang mengadakan acara tersebut. Pada upacara pengangkatan penghulu ini disembelih kerbau. Anak nagari dan penghulu-penghulu dalam nagari diundang pada hari peresmian ini. Upacara peresmian ini adakalanya sampai berhari-hari, ini tergantung kepada kemampuan kaum keluarga yang mengadakan acara tersebut.
Daging kerbau yang dimasak sebagai lauk pauk tidak memakai bumbu masakan biasa tetapi khusus masakan untuk pengangkatan penghulu. Ada yang menyebutnya gulai anyang dan beberapa nagari ada yang menyebutnya gulai kancah, gulai sirah, gulai balado dan lain-lain namun kesemuanya tanpa santan.
Makna tersirat dari kerbau yang disembelih ini adalah “ tanduak ditanam, dagiang dilapah, kuah dikacau ”. Tanduk ditanam punya makna agar penghulu yang diangkat ini membuang sifat-sifat yang buruk yang mungkin melukai orang lain. Daging dilapah maknanya sari daging dimakan dan tulangnya dibuang. Hal ini berarti, bahwa dalam diri seseorang penghulu harus ada sifat-sifat yang baik dan membuang sifat-sifat yang buruk. Kuah dikacau mengibaratkan agar penghulu itu pandai mempergunakan sesuatu menurut sifat dan keadaannya. Gulai kerbau yang dimasak tidak pakai santan mengibaratkan, indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik, artinya seorang penghulu itu kebesarannya bukan lantaran orang lain, melainkan besarnya itu lantaran dari dirinya sendiri.
d) Jenis pengangkatan penghulu
Jenis pengangkatan penghulu ini timbul karena adanya perbedaan pelaksanaan, cara memperoleh dari siapa dan oleh siapa.
Jenis-jenis pengangkatan penghulu, antara lain
1) Mati batungkek budi mati bertongkat budi
Maksudnya bila seseorang penghulu meninggal dunia maka pada hari itu juga dicarikan gantinya. Setelah pemakaman, diumumkan di makam tersebut siapa yang akan menggantikan penghulu yang meninggal tersebut. Syaratnya harus berdasarkan kesepakatan kaum dan disetujui oleh penghulu-penghulu suku dan nagari.
2) Hiduk bakarilahan ada ketentuan dalam adapt
Bahwa gelar pusaka itu dapat digantikan atau diserahkan kepada kemenakan selagi penghulu tersebut masih hidup. Hal ini bisa terjadi bila penghulu itu sudah tua sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya. Ini
dalam pelaksananaanya harus menurut prosedur yang berlaku dan adat setempat jadi bukan selesai pada kaum saja. Pengangkatan penghulu ketika penghulu sebelumnya masih hidup hanya terdapat dalam sistem adat bodi chaniago sedangkan pada adat koto piliang pengganti penghulu bisa dilakukan bila seseorang penghulu itu sudah meninggal dunia .
3) Gadang menyimpang
Hal ini dapat terjadi bila jumlah anggota keluarga dalam sebuah kaum sudah sedemikian besarnya. Untuk kelancaran urusan anak kemenakan maka diangkat seorang penghulu yang gelarnya hampir serupa dengan gelar yang asli jika gelar pusakanya datuk bandaro, maka gelar yang baru datuk bandaro kayo. Kedudukan kedua datuk ini semula tidak sama karena yang baru diangkat ini khusus dalam urusan dalam kaumnya sendiri sedangkan urusan ke luar tetap datuk yang pertama. Namun lama kelamaan mereka semakin menggalang kebersamaan dan pada akhirnya mereka “duduk sama rendah, tegak sama tinggi”.
4) Mangguntiang siba baju
Bila anak kemenakan yang asalnya inggok mancakam, tabang manumpu telah berkembang dan sudah mungkin mengatur kaumnya sendiri maka kaumnya dapat diberi gelar pusaka suku oleh kaum yang menjadi tepatannya. Pengangkatan dan pemberian gelar ini bila gelar pusaka di tempat asalnya tidak diketahui lagi dan sepakat kaum yang ditepati, suku dan nagari. Namun prosedur sepanjang adat tetap berlaku.

I. PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN MINANGKABAU
Masyarakat Minangkabau saat ini sudah tidak tertarik lagi dengan adanya prinsip-prinsip kehidupan yang sifatnya demokratis, egaliter, terbuka, resiprokal, sentrifugal itu, walaupun sebenarnya mereka masih menginginkannya, akan tetapi dunia tersebut terkurung oleh sistem kebudayaan yang lebih dominan dan bertentangan dengan hal-hal diatas.

Poses pengeroposan budaya juga menimpa masyarakat minangkabau. Orang-orang yang melaksanakan acara adat budaya, saat ini hanya melaksanakannya secara seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Apalagi permasalahan wilayah yang tadinya diatur oleh adat dan agama, kini rata-rata telah diambil alih oleh negara dan pemerintahan formal.

Sekarang ini, kecuali dalam kalangan akademik dan intelektual terbatas, tidak terlihat tanda-tanda masyarakat Minangkabau untuk memulihkan setiap adat dan kebudayaan mereka yang telah luntur. Yang terlihat sebaliknya adalah suasana ketakutan, keraguan dan kebimbangan, yang sebagian adalah karena trauma masa lalu. Tapi sebagian juga karena tidak tersedianya wacana budaya berpikir alternatif itu.

Orang Minangkabau sendiri, terutama generasi mudanya, mulai melihat aneh kepada nilai budaya aslinya. Melalui proses pendidikan dengan sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah atau di luar sekalipun, sekarang mereka telah menjadi orang Indonesia tapi dengan konotasi yang seperti itu.

Kini sukar diharapkan mereka yang akan membawakan konsep demokrasi egaliter dengan keterbukaan dan segalanya itu ke dunia luar, ketika mereka sendiri tidak lagi mengenal dan mengerti, apalagi menghayati, sistem budaya itu sendiri.



BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
• Pendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali. Pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut ada yang berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sejarah dan ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari ahli sejarah dan budaya pada umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau
• Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
• Para ahli hukum menetapkan bahwa sistem kekerabatan pada masyarakat adat Minangkabau yaitu matrilineal. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya.
• Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya.
• Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sesuku menikah meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal.
• Bila orang menyebut kepemimpinan Minangkabau maka fikirannya akan tertuju bahwa kepemimpinan masyarakat Minangkabau didasarkan kepada sistem tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejarangan). Tungku tiga sejarangan ini adalah sebagai berikut :
Kepemimpinan ninik mamak
Kepemimpinan alim ulama
Kepemimpinan cerdik pandai
• Poses pengeroposan budaya juga menimpa masyarakat minangkabau. Orang-orang yang melaksanakan acara adat budaya, saat ini hanya melaksanakannya secara seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Apalagi permasalahan wilayah yang tadinya diatur oleh adat dan agama, kini rata-rata telah diambil alih oleh negara dan pemerintahan formal.
B. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, tentu terdapat berbagai macam kesalahan dan kekurangan disana-sini. Pembahasan ini pun kami buat berdasarkan sumber yang terbatas tanpa adanya penelitian secara langsung ke daerah/wilayah yang bersangkutan.
Waktu yang terbatas dan jumlah personal yang kurag memadai juga menjadi kendala bagi kami dalam penyempurnaan makalah ini.Kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan tersebut.
Untuk perbaikan kedepannya, kami menyarankan agar dalam penyusunan makalah yang baik agar penyusun dapat secara langsung terjun kelapangan ke daerah/wilayah dimana adat itu masih diterapkan. Sebagai konsekuensi, kita harus mempunyai jumlah personal dan waktu yang memadai untuk pelaksanaan di lapangan.
BAB IV
DAFTAR LAMPIRAN

( Danau Maninjau )

( Istana Basa ) ( Jembatan Akar )







Peta lokasi Sumatera Barat















Pakaian adat Minangkabau Rendang











Rumah Gadang




DAFTAR PUSTAKA

www.cimbuak.net

www.minangkabau.info

www.wikipedia.co.id




0 komentar: