November 22, 2008

Kebudayaan Papua

Provinsi Papua merupakan Provinsi yang paling luas wilayahnya dari seluruh Provinsi di Indonesia. Luas Provinsi Papua ± 410.660 Km2 atau merupakan ± 21% dari luas wilayah Indonesia. Lebih dari 75% masih tertutup oleh hutan-hutan tropis yang lebat, dengan ± 80% penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah pedalaman (bagian tengah Papua). Jumlah penduduk 2,3 Juta Jiwa dengan kepadatan penduduk 5,13 orang per Km2 .Secara geografis berada diantara garis meridian 0’19’ - 10045 LS dan antara garis bujur 1300 45 - 141048 BT yang membentang dari Barat ke Timur dengan silang 110 atau 1.200 Km. Dengan demikian daerah Papua berada didaerah yang beriklim tropis dengan cuaca yang panas dan lembab di daerah pantai, serta cuaca dingin dan bersalju pada bagian yang tertinggi di daerah pegunungan Jayawijaya.

a) Keadaan Iklim
Keadaan iklim di Papua sangat dipengaruhi oleh topografi daerah. Pada saat musim panas di dataran Asia (bulan Maret dan Oktober) Australia mengalami musim dingin, sehingga terjadi tekanan udara dari daerah yang tinggi (Australia) ke daerah yang rendah (Asia) melintasi pulau Papua sehingga terjadi musim kering terutama Papua bagian selatan (Merauke). Sedikitnya pada saat angin berhembus dari Asia ke Australia (bulan Oktober dan Maret) membawa uap air yang menyebabkan musim hujan, terutama Papua bagian utara, dibagian selatan tidak mendapat banyak hujan karena banyak tertampung di bagian utara. Keadaan iklim Papua termasuk iklim tropis, dengan keadaan curah hujan sangat bervariasi terpengaruh oleh lingkungan alam sekitarnya. Curah hujan bervariasi secara lokal, mulai dari 1.500 mm sampai dengan 7.500 mm setahun. Curah hujan di bagian utara dan tengah rata-rata 2000 mm per tahun (hujan sepanjang tahun). Curah hujan di bagian selatan kurang dari 2000 mm per tahun dengan bulan kering rata-rata 7 (tujuh) bulan. Jumlah hari-hari hujan per tahun rata-rata untuk Jayapura 160, Biak 215, Enarotali 250, Manokwari 140 dan Merauke 100.

b) Keadaan Tanah
Luas daerah Papua ± 410.660 Km2, tetapi tanah yang baru dimanfaatkan ± 100.000 Ha. Tanahnya berasal dari batuan Sedimen yang kaya mineral, kapur dan kwarsa. Permukaan tanahnya berbentuk lereng, tebing sehingga sering terjadi erosi.
Sesuai penelitian, tanah di Papua diklasifikasikan ke dalam 10 (sepuluh) jenis tanah utama, yaitu (1) tanah organosol terdapat di pantai utara dan selatan, (2) tanah alluvia juga terdapat di pantai utara dan selatan, dataran pantai, dataran danau, depresi ataupun jalur sungai, (3) tanah litosol terdapat di pegunungan Jayawijaya, (4) tanah hidromorf kelabu terdapat di dataran Merauke, (5) tanah Resina terdapat di hampir seluruh dataran Papua, (6) tanah medeteren merah kuning, (7) tanah latosol terdapat diseluruh dataran Papua terutama zone utara, (8) tanah podsolik merah kuning, (9) tanah podsolik merah kelabu dan (10) tanah podsol terdapat di daerah pegunungan. Tanah yang potensial untuk tanah pertanian antara lain (a) tanah rawa pasang surut luasnya ± 76.553 Km2, (b) tanah kering luasnya ± 58.625 Km2.

c) Keadaan Penduduk
Penduduk asli yang mendiami pulau Papua sebagian besar termasuk ras suku Melanesian, karena ciri-ciri seperti warna kulit, rambut, warna rambut yang sama dengan penduduk asli di bagian utara, tengah dan selatan yang memiliki ciri-ciri tersebut.
Di bagian barat (Sorong dan Fak Fak) penduduk di daerah pantai mempunyai ciri yang sama dengan penduduk di kepulauan Maluku, sedangkan penduduk asli di pedalaman mempunyai persamaan dengan penduduk asli di bagian tengah dan selatan.
Selain penduduk asli di Papua terdapat juga penduduk yang berasal dari daerah-daerah lainnya seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku: yang berada di Papua sebagai Pegawai Negeri, ABRI, Pengusaha, Pedagang, Transmigrasi dan sebagainya, bahkan juga ada yang dari luar Indonesia, misalnya Amerika, Perancis, Jerman dan lain-lain yang berada di Papua sebagai Missionaris dan Turis.

d) Kebudayaan
Penduduk Papua terdiri dari kelompok ethnis (kelompok suku) yang mempunyai keunikan tertentu, seperti bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di Papua terdapat hampir ± 250 macam bahasa sesuai dengan kelompok suku yang berada di daerah ini. tiap kelompok suku mengenal sistem strata (kelas) dalam masyarakat (penduduk). Strata penduduk diklasifikasikan berdasarkan faktor-faktor tertentu seperti keturunan, kekayaan dan sebagainya.
Strata ini diwarisi secara turun temurun dengan nama dan struktur yang berbeda dan tiap suku, dan strata ini dapat mempengaruhi kepemimpinan dalam masyarakat atau Kepemimpinan Seseorang.
Kebudayaan penduduk asli Papua mempunyai persamaan dengan penduduk asli beberapa negara Pasifik Selatan maupun Rumpun Malanesia. Kebudayaan penduduk asli di daerah-daerah pedalaman Papua kebanyakan masih asli (tradisional) dan sulit untuk dilepaskan dan sangat kuat pengaruhnya.
Kebudayaan penduduk asli di daerah pantai sudah mengalami perubahan (walaupun tidak secara keseluruhan). Oleh karena kemudahan dalam transportasi maupun komunikasi, masyarakat di daerah pantai biasanya lebih cepat menerima pengaruh atau perubahan dari luar dengan sendirinya ikut mempengaruhi kebudayaan penduduk daerah setempat.
Beberapa kelompok suku tertentu terutama di daerah-daerah pedalaman (Jayawijaya), Merauke, Yapen Waropen, Paniai dan Kepala Burung), masih tetap mempertahankan kebudayaan aslinya secara utuh dan sulit dipengaruhi kebudayaan luar.
Dalam perkembangannya dewasa ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama dengan adanya misi gereja yang beroperasi di daerah-daerah pedalaman yang akan ikut mempengaruhi kebudayaan.

e) Agama
Dalam hal Kerohanian, sebagian besar penduduk asli Papua telah mempunyai kepercayaan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian ada sebagian dari penduduk terutama yang berada di daerah pedalaman masih menganut faham animisme.
Untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Februari 1855 agama Kristen masuk di Pulau yang dibawa oleh 2 (dua) orang penginjil yaitu Ottow dan Geizler dari Belanda dan Jerman. Sejak itu agama Kristen mulai berkembang ke seluruh. Dengan demikian mayoritas penduduk di Papua memeluk agama Kristen Penduduk di bagian utara, barat dan timur kebanyakan agama Kristen Protestan, sedangkan penduduk bagian selatan dan sebagian pedalaman Enarotali memeluk agama Kristen Katolik.
Selain agama Kristen, sebagian penduduk asli terutama daerah Fak Fak dan kepulauan Raja Ampat Sorong menganut agama Islam.Sekarang ini sesuai perkembangan dan perubahan daerah yang juga membawa perubahan kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Di Papua terdapat agama Kristen, agama Islam dan Hindu Bali serta Budha yang merupakan penganut minoritas.
Agama Islam dan Hindu kebanyakan hanya terdapat di kota sedangkan daerah-daerah pedalaman pada umumnya beragama Kristen. Kerukunan dan toleransi beragama yang cukup baik di kalangan masyarakat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan di bidang keagamaan di daerah ini. Adapun data terakhir yang kami peroleh menyebutkan Protestan (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (23%), Budha (0,13%), Hindu (0,25%), lain-lain (1%).

f) Flora
Dari seluruh daerah Papua ± 75% tanah daratanya ditumbuhi oleh hutan-hutan tropis yang tebal serta mengandung ragam jenis kayu yang terbesar secara heterogen. Sebagian besar dari hutan tersebut sesuai topografi daerah belum pernah dijamah oleh manusia.
Jenis flora di Papua ada persamaan dengan jenis flora di benua Australia. Adapun jenis flora yang terdapat di Papua adalah Auranlaris, Librocolnus, Grevillea, Ebny-dium dan lain-lain.
Sekitar 31 Juta ha di Papua penata gunanya belum ditetapkan secara pasti Hutan lindung diperkirakan seluas ± 12.750.000 ha. Hutan produksi diperkirakan ± 12.858.000 ha. Areal pengawetan dan perlindungan diperkirakan ± 5.000.000 ha. Daerah Inclove diperkirakan ± 114.000 ha, daerah rawa-rawa dan lain-lain diperkirakan ± 2478.000 ha.
Di Papua terdapat flora alam yang pada saat ini sedang dalam pengembangan baik secara nasional maupun internasional yaitu sejenis anggrek yang termasuk di dalam Farmika Orctdacede yang langka di dunia.
Anggrek alam Papua tumbuhnya terbesar dari pantai lautan rawa sampai ke pegunungan. Umumnya hidup sebagai epihite menembel pada pohon-pohon maupun di atas batu-batuan serta di atas tanah, humus di bawah hutan primer.

g) Fauna
Seperti halnya dengan flora, keadaan di Papua pun bermacam-macam dalam dunia hewan misalnya, jenis yang terdapat di Papua tidak sama dengan jenis hewan di daerah-daerah di Indonesia lainnya seperti Kangguru, kasuari, Mambruk dan lalin-lain. Demikian pula sebaliknya jenis hewan tertentu yang terdapat di Indonesia lainnya tidak terdapat di Papua seperti Gajah, Harimau, Orang Utan dan lain-lain.
Fauna di Papua terdapat persamaan dengan fauna di Australia, misalnya Kangguru, Kus-kus dan lain-lain. Burung Cendrawasih merupakan burung yang cantik di dunia dan hanya terdapat di Papua. Selain burung Cendrawasih terdapat jenis burung lainnya seperti Mambruk, Kasuari, Kakauta dan lain-lain yang memberikan corak tersendiri untuk keindahan daerah ini.
Hewan-hewan yang langka dan dilindungi adalah burung Kakatua Putih, Kakatua Hitam, Kasuari, Nuri, Mambruk dan lain-lain yang termasuk burung Cendrawasih. Jenis fauna laut Papua juga banyak dan beraneka ragam, misalnya ikan Cakalang, ikan Hiu, Udang dan sejenis ikan lainnya.

h) Transportasi
Transportasi Udara
Di Papua terdapat 288 landasan udara, masing-masing Kabupaten mempunyai landasan udara. Ada landasan udara yang didarati pesawat besar seperti Jumbo Jet Boing 747 dan DC 9 dan landasan udara di daerah pedalaman didarati oleh pesawat kecil seperti Twin Otter Cessna. Landasan Udara yang besar Frans Kaisepo di Biak, Sentani di Jayapura, Timika dan Merauke dapat disinggahi pesawat dari Jakarta, Surabaya, Makasar-Biak Timika-Jayapura pulang pergi.
Transportasi Laut
Terdapat pelabuhan laut disetiap Kabupaten yang berada dipinggiran laut yang disinggahi kapal Penumpang Ciremai, Dobonsolo, Ngapulu, Dorolonda dan kapal-kapal Niaga Kapal Perintis antar kota dan kecamatan.
Transportasi Darat
Terdapat kendaraan umum, carteran dan semua Kabupaten di Provinsi Papua terdapat jalan darat yang menghubungkan Kecamatan Desa dan Kota.

2.1.2. Identifikasi Kependudukan
Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New Guinea. Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat karena Papua bisa merujuk kepada seluruh pulau Nugini termasuk belahan timur negara tetangga, east New Guinea atau Papua Nugini. Papua Barat adalah sebutan yang lebih disukai para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi 'Papua' sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).
Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan bagian baratnya menjadi Irian Jaya Barat.
Provinsi Papua sendiri terbagi atas 27 kabupaten dan beribukota di Kota Jayapura.
1. Kabupaten Asmat
2. Kabupaten Biak Numfor
3. Kabupaten Boven Digoel
4. Kabupaten Dogiyai
5. Kabupaten Jayapura
6. Kabupaten Jayawijaya
7. Kabupaten Keerom
8. Kabupaten Lanny Jaya
9. Kabupaten Mamberamo Tengah
10. Kabupaten Mappi
11. Kabupaten Merauke
12. Kabupaten Mimika
13. Kabupaten Nabire
14. Kabupaten Nduga Tengah
15. Kabupaten Paniai
16. Kabupaten Pegunungan Bintang
17. Kabupaten Puncak
18. Kabupaten Puncak Jaya
19. Kabupaten Sarmi
20. Kabupaten Supiori
21. Kabupaten Tolikara
22. Kabupaten Waropen
23. Kabupaten Yahukimo
24. Kabupaten Yalimo
25. Kabupaten Yapen Waropen
26. Kabupaten Mamberamo Raya
27. Kota Jayapura
Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat) adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian barat Pulau Irian. Ibukotanya adalah Manokwari. Nama provinsi ini sebelumnya adalah Irian Jaya Barat, yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tanggal 18 April 2007, nama provinsi ini diubah menjadi Papua Barat. Papua Barat dan Papua merupakan provinsi yang memperoleh status otonomi khusus.
Wilayah provinsi ini mencakup kawasan kepala burung pulau Papua dan kepulauan-kepulauan di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi ini dibatasi oleh Samudra Pasifik, bagian barat berbatasan dengan provinsi Maluku Utara dan provinsi Maluku, bagian timur dibatasi oleh Teluk Cenderawasih, selatan dengan Laut Seram dan tenggara berbatasan dengan provinsi Papua.
Provinsi Papua Barat ini meski telah dijadikan provinsi tersendiri, namun tetap mendapat perlakuan khusus sebagaimana provinsi induknya.Provinsi ini juga telah mempunyai KPUD sendiri dan menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya tanggal 5 April 2004.
Provinsi ini mempunyai potensi yang luar biasa, baik itu pertanian, pertambangan, hasil hutan maupun pariwisata. Mutiara dan rumput laut dihasilkan di kabupaten Raja Ampat sedangkan satu-satunya industri tradisional tenun ikat yang disebut kain Timor dihasilkan di kabupaten Sorong Selatan. Sirup pala harum dapat diperoleh di kabupaten Fak-Fak serta beragam potensi lainnya. Selain itu, wisata alam juga menjadi salah satu andalan Irian Jaya Barat, seperti Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang berlokasi di kabupaten Teluk Wondama. Taman Nasional ini membentang dari timur Semenanjung Kwatisore sampai utara Pulau Rumberpon dengan panjang garis pantai 500 km, luas darat mencapai 68.200 ha, luas laut 1.385.300 ha dengan rincian 80.000 ha kawasan terumbu karang dan 12.400 ha lautan.
Disamping itu baru-baru ini, ditemukan sebuah gua yang diklaim sebagai gua terdalam di dunia oleh tim ekspedisi speologi Perancis di kawasan Pegunungan Lina, Kampung Irameba, Distrik Anggi, Kabupaten Manokwari. Gua ini diperkirakan mencapai kedalaman 2000 meter. Kawasan pegunungan di Papua Barat masih menyimpan misteri kekayaan alam yang perlu diungkap.
Adapun kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat adalah :
1. Kabupaten Fak-fak
2. Kabupaten Kaimana
3. Kabupaten Manokwari
4. Kabupaten Raja Ampat
5. Kabupaten Sorong
6. Kabupaten Sorong Selatan
7. Kabupaten Teluk Bintuni
8. Kabupaten Teluk Wondama
9. Kota Sorong
Orang Irian yang mendiami bagian Barat pulau Irian dengan pulau-pulau di sekitarnya yang membentuk propinsi Irian Jaya , sungguhpun menampakkan kesamaan-kesamaan tertentu baik dilihat dari ciri ras (ras Melanesia) maupun dilihat dari kebudayaan teknologinya, namun masing-masing kelompok etnik mempunyai ciri-ciri khas kebudayaan tertentu yang membedakan mereka dari kelompok etnik lainnya. Ciri-ciri khas yang berbeda itulah yang membuat kebudayaan penduduk Irian Jaya beraneka warna. Aneka warna kebudayaan tersebut tercermin di dalam berbagai aspek kebudayaan, misalnya di dalam bidang kebahasaan, di dalam bidang organisasi sosial, di dalam sistem mata pencaharian hidup dan di dalam bidang politik.
Di dalam bidang kebahasaan misalnya, di Irian Jaya sampai kini tercatat kurang lebih 224 bahasa lokal yang diujarkan oleh masing-masing kelompok etnik (Ayamiseba, 1984). Bahasa-bahasa lokal yang berbeda itu oleh ahli-ahli bahasa dikelompokkan ke dalam dua kategori besar. Pertama, adalah bahasa-bahasa lokal yang dikelompokkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia dan kategori kedua adalah bahasa-bahasa yang tidak termasuk bahasa Austronesia (non-Austronesia) yang dinamakan bahasa-bahasa Papua (Ray, 1927:379). Contoh dari masyarakat yang menggunakan bahasa-bahasa kategori pertama, Austronesia, adalah orang Biak, orang Waropen, orang Wandamen dan orang Raja Ampat. Sebaliknya contoh untuk masyarakat yang menggunakan bahasa-bahasa Papua adalah orang Muyu, orang Dani, orang Kapauku dan orang Ayamaru.
Sedikit keterangan mengenai suku-suku yang mendiami Pulau Papua antara lain :
1) Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal dialek, cara hidup, struktur sosial dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu suku Bisman yang berada di antara sungai Sinesty dan sungai Nin serta suku Simai. Ada banyak pertentangan di antara desa berbeda Asmat. Hal yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai Suku Asmat untuk membunuh musuhnya. Ketika musuh dibunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Mereka menyanyikan lagu kematian dan memenggalkan kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago yang dipanggang dan dimakan !...
Sekarang Biasanya, kira-kira 100 sampai 1000 orang hidup di satu kampung. Setiap kampung punya satu rumah Bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah Bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur sendiri. Hari ini, ada kira-kira 70.000 orang Asmat hidup di Indonesia. Mayoritas anak-anak Asmat sedang bersekolah. Suku Asmat dulu menarik sekali dan hidup mereka keras dan primitif karena mereka adalah kanibal. Tetapi, hari ini, mereka menjadi lebih beradab dan mereka hidup bersama dengan orang Indonesia lain. Bahkan ukiran kayu yang dibuat orang Asmat yang terkenal di seluruh dunia.
2) Suku Amungsa adalah wilayah hunian suku Amungme di dataran tinggi Papua, Indonesia. Wilayah Adat Suku Amungme dikenal dengan nama Amungsa. Amungsa sebenarnya berasal dari dua kata "Amung" dan "Sa". Amung artinya bentangan dan sa artinya wilayah. Amungsa artinya bentangan wilayah adat Suku Amungme. Berdasarkan Rapat Luar Biasa LEMASA (Lembaga Adat Suku Amungme), tanggal, 2 - 4 Februari 2007 ditetapkan bahwa Amungsa terdiri dari Timur hingga Barat dan Utara hingga Selatan. Sebelah Timur perbatasan dengan Mbrum Mbram. Mbrum Mbram adalah Amungsa yang perbatasan dengan Suku Nduga. Sedangkan Sebelah Barat perbatasan dengan Janama Tagal. Janama Tagal adalah wilayah yang perbatasan dengan suku Mee atau Paniai. Sebelah Utara perbatasan dengan ulayat Dani dan Damal dan Selatan perbatasan dengan suku Kamoro.
3) Suku Dani adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Wamena, Papua, Indonesia. Suku-suku lain yang terdapat di daerah ini antara lain Yali dan Lani. Suku Yali adalah salah satu suku yang mendiami bagian selatan di antara perbatasan Wamena dan Merauke, sedangkan suku Lani mendiami bagian sebelah barat dari suku Dani. Ketiga suku ini memiliki ciri khas masing-masing baik dari segi budaya, adat istiadat, dan bahasa.
4) Suku Empur adalah suku yang mendiami daerah Kebar dan Saukorem yang letakknya di Pegunungan Tambrauw Timur. Mata pencaharian rata-rata Penduduk di daerah ini adalah Petani. Kebar berada di bawah lembah sehingga sering disebut sebagai Lembah Kebar. Sedangkan Saukorem letaknya di Pesisir Pantai Utara pulai Papua. Kecamatan Kebar dan Kecamatan Saukorem berada di bawah Kabupaten Manokwari.
5) Suku Kamoro adalah salah satu suku yang berada di Papua, tepatnya di wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika Agats sampai Jita. Suku Kamoro terkenal pandai berburu, dan juga terkenal akan ukiran, nyanyian, topeng-topeng roh dan tariannya. Suku Kamoro juga memiliki ritual dimana dibuat gendang yang menggunakan darah.
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain: Ansus, Amungme, Asmat, Ayamaru (mendiami daerah Sorong ), Bauzi, Biak, Dani, Empur (mendiami daerah Kebar dan Amberbaken), Hatam (mendiami daerah Ransiki dan Oransbari), Iha, Kamoro, Mee (mendiami daerah pegunungan Paniai), Meyakh (mendiami Kota Manokwari), Moskona (mendiami daerah Merdei), Nafri, Sentani (mendiami sekitar danau Sentani), Souk (mendiami daerah Anggi dan Menyambouw), Waropen, Wamesa, Muyu, Tobati, Enggros, Korowai, Fuyu.
Topografi Papua sangat bervariasi mulai dari yang sangat tinggi (Puncak Jaya 5.500 m, Puncak Trikora 5.160 m dan Puncak Yamin 5.100) sampai dengan daerah rawa (lembah sungai Digul di selatan dan lembah sungai Mamberamo di sebelah utara).
Secara garis besar topografi di Papua terdiri dari: zone utara, kondisinya mulai dari dataran rendah, dataran tinggi sampai pegunungan dengan beberapa puncak yang cukup tinggi (dataran rendah Mamberamo, pegunungan Arfak): zone tengah (central high land) merupakan rangkaian pegunungan dengan puncak yang diliputi salju dan dataran yang cukup luas (Puncak Jaya, Lembah Jayawijaya); zone selatan, pada umumnya terdiri dari dataran rendah yang sangat luas (dari Teluk Beraur sampai Digul Fly Depression).
Beberapa danau besar dan potensial diantaranya Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Danau Paniai dan Danau Tigi dan Danau Wagete di Kabupaten Paniai, Danau Ayamaru di Kabupaten Sorong, Danau Anggi di kabupaten Monokawari, serta danau-danau kecil lainnya yang terbesar di daerah pedalaman Papua, merupakan potensi yang dikembangkan untuk prasarana perhubungan maupun penyediaan perikanan untuk gizi masyarakat serta pengembangan pariwisata.
Provinsi Papua merupakan wilayah Republik Indonesia yang paling Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea, dan berdekatan dengan benua Australia serta diapit oleh samudra Indonesia dan samudra Pasifik. Dengan demikian Papua mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis baik nasional maupun internasional.

2.1.3. Identifikasi Sejarah
Provinsi Papua yang berada di wilayah salah satu pulau terbesar di dunia, diperkirakan mulai dihuni manusia sejak jaman glasial pertama dan menjadi jembatan bagi kemungkinan terjadinya migrasi manusia dan hewan dari daratan Asia. Di atas peta Pulau Irian tampak sebagai seekor burung raksasa atau ada yang menganggapnya mirip seekor dinosaurus. Empat puluh tujuh persen dari bagian wilayah itu yang berada di bagian barat adalah wilayah Irian sebelah barat, dan lima puluh tiga persen sisanya adalah wilayah sebelah timur, Papua Nugini.
Penduduk pribumi Irian adalah rumpun bangsa Papua-Melanesid yang bermukim di daerah Melanesia yakni sekelompok pulau yang berada di sebelah Timur Laut Australia. Rumpun bangsa Papua-Melanesid yang hidup di Pulau Irian, penduduknya mempunyai ciri-ciri berkulit hitam, rambutnya hitam keriting, muka bulat, hidungnya tinggi serta lebar sering melengkung dan badannya agak besar. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penduduk Irian itu adalah Bangsa Proto-Melanesia yang masuk secara bergelombang ke wilayah itu. Selanjutnya berdatangan pula Bangsa Asia Paleo-Mongoloid dan bangsa-bangsa Negro serta Weddid ke Indonesia.
Dikenalnya Pulau Irian oleh bangsa-bangsa pendatang seperti Cina, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda dapat ditelusuri bahwa sejak abad ke-8 para pelaut dan pedagang Sriwijaya mengenalnya dengan nama Janggi. Sementara itu, pada abad ke-13 para pelaut dan pedagang Cina memberi nama Pulau Irian tersebut dengan Tungki. Masa Kerajaan Majapahit berkuasa pada abad ke-14 dan 15, dinyatakan bahwa Pulau Irian sebagai bagian “wilayah yang kedelapan” dari kerajaan tersebut.
Pada awal abad ke-16, pelaut Portugis Antonio d’Abrau dan Francesco Serano menyebut Pulau Irian itu dengan nama Os Papuas. Sedangkan pelaut Portugis lain menyebut pulau itu Ilha de Papo Ia dan De Jorge de Menetes menamakannya Papua yang dalam Bahasa Melayu berarti rambut keriting. Pada saat itulah nama Papua dikenal diseluruh dunia, bahkan penduduk pribumi telah menerima dengan baik nama tersebut, sebab Papua itu mencerminkan identitas mereka sebagai manusia hitam dan rambut keriting. Sejak saat itu nama Papua terus dipertahankan. Selanjutnya, didalam pembahasan ini akan dipergunakan nama Papua. Secara yuridis nama itu dipakai sejak adanya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Bangsa Eropa yang pertama menginjakkan kakinya di wilayah Papua pada tahun 1528 adalah orang Spanyol yaitu Alvaro de Savedra seorang pimpinan Armada Laut Spanyol. Ia memberi nama pulau itu dengan sebutan Isla del Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Tahun 1545, Inigo Oertis de Retes seorang nahkoda kapal Spanyol singgah di Pulau Biak dan Padaido, karena penduduk pribumi tidak menerima, maka ia singgah lagi di Sungai Mamberamo dan memberi nama Papua itu dengan Nova Guinea atau Nueva Guinea. Nama mi diberikan setelah melihat penduduk setempat yang hampir mirip dengan penduduk Afrika Selatan. Mulai saat itu Inigo Oertis de Retes memproklamirkan Papua itu sebagai milik Kerajaan Spanyol. Tahun 1663 Spanyol meninggalkan Papua setelah Belanda menghambat perdagangan rempah-rempah Spanyol di wilayah itu.
Luiz Vaez de Torres, pelaut spanyol yang tergabung dalam armada Inggris pertama kali melihat Papua dalam perjalanannya tahun 1605 — 1607. Torres menemukan beberapa pulau termasuk Pulau Louissiade di Papua sebelah Timur dan selanjutnya a bermukim dan menguasai wilayah itu. Perang besar yang berkecamuk di Eropa membawa akibat Papua jatuh ke tangan Inggris tahun 1774, yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda. Selanjutnya, tahun 1775 dengan menggunakan kapal La Tartare dengan Nahkoda Kapten Forrest, Inggris berlayar ke Papua bagian barat dan berlabuh di Manokwari di Teluk Doreri untuk mengambil kembali rempah-rempah yang ditinggalkannya itu. Tahun 1793 merupakan tahun yang penting bagi Inggris untuk menguasai dan menjadikan wilayah itu sebagai koloni baru. Atas perintah Gubernur Inggris di Maluku, Inggris muIai mengadakan penjajakan dan membagi garis pulau sekitar Papua serta mendirikan benteng Coronation di Teluk Doreri. Karena adanya tentangan keras dari Kamaludin Syah, Sultan Tidore yang berkuasa atas seluruh wilayah Kesultanan Tidore, tahun 1814 Inggris meninggalkan Papua bagian barat.
Kedatangan Bangsa Belanda ke Papua dimulai pada tahun 1606 melalui sebuah ekspedisi Duyfken yang terdiri dari tiga buah perahu di bawah komandan Wiliam Jansen yang berlayar meninggalkan pantai Utara Jawa singgah di Kepulauan Kai, Aru dan pantai Barat daya Papua. Pada saat itu Belanda hanya mengenal nama Papua untuk wilayah yang telah disinggahi tersebut. Namun sekitar tahun 1770, Belanda mengganti Papua dengan Nieuw Guinea. Nama tersebut merupakan hasil terjemahan dan Nova Guinea atau Nueva Guinea yang diambil dari Bahasa Spanyol. Nama ini dimuat untuk pertama kalinya dalam peta-peta yang dicetak dan diterbitkan oIeh Isaac Tiron. Pada tahun-tahun ke depan, nama Papua dan Nieuw Guinea dipakai bergantian hingga pertengahan abad ke-2O.
Usaha Belanda untuk menjadikan Papua sebagai sebuah koloni, baru terwujud setelah Belanda meresmikan berdirinya benteng pertama di daratan Papua pada tanggaI 24 Agustus 1828. Segera setelah pendirian benteng pertama yang diberi nama Fort Du Bus, hubungan antara pihak Belanda dan penduduk pribumi ditentukan dalam surat-surat perjanjian. Surat perjanjian ini ditandatangani oleh Raja Namatote, Kasa (Raja Lokajihia), Lutu (Orang Kaya di Lobo, Mewara dan Sendawan). Mereka diangkat sebagai kepala di daerah masing¬-masing oleh Belanda dengan diberi surat pengangkatan sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini diangkat pula 28 kepala daerah bawahan. Meskipun daerah Papua sudah sejak tahun 1823 dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dan tanah jajahan Belanda di Kepulauan Nusantara, kekuasaan pemerintah jajahan itu baru sungguh-sungguh terwujud di Papua pada akhir abad ke-l9.
Sebelumnya Belanda kurang memperhatikan daerah ini, karena dinilai kurang memiliki potensi ekonomi yang menguntungkan. Tetapi karena timbulnya pemberontakan pasukan Nuku dan Tidore pada tahun 1870 dan minat bangsa-¬bangsa Eropa lainnya untuk menguasai Papua semakin besar, Belanda menganggapnya sebagai ancaman serius. Pada tahun 1884, Inggris memproklamasikan bagian Tenggara Papua sebagai daerah jajahannya. Pada tahun yang sama, Jerman mengklaim Timur Laut Papua sebagai koloninya. Belanda sendiri tetap mempertahankan wilayah Barat Pulau Papua. Daya tarik pulau ini terletak pada kekayaan alamnya dengan berbagai bahan mentah yang sangat dibutuhkan Eropa untuk memacu industri.
Konfrontasi yang terjadi antara Belanda, Inggris dan Jerman untuk menguasai Papua masih terus berlanjut. Hal tersebut baru dapat diselesaikan setelah dapat ditentukan sebuah batas wilayah jajahan Belanda atas Papua, melalui sebuah pertemuan antara Pemerintah Belanda, Inggris dan Jerman Gravenhage pada tanggal 16 Mei 1895. Penetapan batas antara Belanda, Inggris dan Jerman ini disebabkan karena pemerintah Inggris menguasai wilayah bagian Timur Papua dan Jerman menguasai Wilhelmstad (bagian lain dan Timur Papua), sementara bagian Barat Papua dikuasai oleh Belanda. Garis batas wilayah ini oleh Belanda dinyatakan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie, 1895 No. 220 dan 221.
Tahun 1898 Parlemen Belanda mensyahkan pengeluaran anggaran belanja untuk mendirikan pemerintahan di daerah Papua bagian Barat, supaya dapat dinyatakan bahwa Papua itu sungguh-sungguh merupakan bagian dari kekuasaan Belanda. Selanjutnya Pemerintah Belanda membagi daerah Papua ke dalam dua bagian yang masing-masing dikuasai oleh seorang kontrolir Belanda. Bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Nieuw Guinea, dan bagian barat dan selatan dinamakan Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea. Kedua daerah itu merupakan sub-bagian dan Keresidenan Maluku. Kontrolir penguasa daerah Noord Nieuw Guinea ditempatkan di Manokwani, sedangkan kontrolir penguasa daerah West en Zuid Nieuw Guinea ditempatkan di Fakfak.
Pada awal abad ke-2O kembali terjadi pemisahan daerah Zuid Nieuw Guinea dan daerah West Nieuw Guinea. Bahkan tahun 1901 daerah Zuid Nieuw Guinea dipisah menjadi satu afdeeIing tersendiri, dengan seorang asisten residen sebagai penguasa daerah. Pada tanggal 14 Februari 1902 untuk pertama kali bendera Belanda dinaikkan di muara Sungai Maro, di tempat yang sekarang dikenal sebagai Merauke. Dalam tahun 1904 di Teluk Humboldt ditempatkan pula seorang petugas pemerintahan jajahan Belanda. Tempat kedudukan petugas militer yang mendapat kekuasaan untuk memerintah suatu daerah bagian dan Afdeeling Noord Nieuw Guinea ini adalah perkampungan yang dinamakan Hollandia dan yang sekarang dikenal sebagai Jayapura. Hollandia dijadikan ibukota Onderafdeeling Hollandia, suatu daerah yang baru menjadi penting pada akhir Perang Dunia II.
Papua, terutama daerah Digul, memperoleh tempat yang istimewa dalam gerakan kebangsaan Indonesia ketika daerah ini dipilih oleh orang Belanda sebagai tempat pengasingan kaum nasionalis Indonesia yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah jajahan Hindia-Belanda. Memasuki abad ke-2O kesadaran politik di kalangan rakyat Indonesia makin meluas. Di berbagai daerah terbentuk kesatuan¬kesatuan politik yang ikut serta dalam gerakan menentang kolonialisme. Dalam berbagai kongres, rapat, pertemuan, tulisan dalam majalah, surat kabar dan surat-surat selebaran tampak arus kuat jiwa perjuangan kemerdekaan yang makin lama makin deras dan tegas.
Dalam tahun 1926 pecah suatu pemberontakan terhadap kekuasaan penjajah Belanda. Mula-mula di Banten, lalu meluas di daerah lain di Jawa dan juga menyebar ke Sumatera Barat. Pemberontakan besar yang dipimpin Partai Komunis Indonesia ini berhasil dipadamkan oleh alat-alat kekuasaan pemerintah jajahan. Meskipun orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tahun 1926 dan 1927 adalah orang-orang yang dapat dituntut berdasarkan undang-undang, pemerintah jajahan belum merasa aman. Untuk mencegah timbulnya pemberontakan baru Gubernur Jenderal De Graeff memerintahkan pengasingan secara besar¬besaran dan orang-orang yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Belanda di Kepulauan Indonesia. Sejumlah 1.308 orang ditangkap dan ditempatkan dalam pengasingan tanpa melalui pengadilan.
Dari para pejuang Indonesia yang diasingkan, 823 orang dikirim ke Tanah Merah, wilayah di pedalaman Papua, suatu tempat terpencil yang beriarak 500 kilometer dan daerah pantai selatan di hulu sungam Digul. Tempat ini bisa dikatakan sangat buas dari segi alam, misaInya ancaman dari serangan malaria, tetapi juga adanya serangan penduduk asli untuk mendapatkan kepala manusia dengan jalan mengayau, yang mereka anggap menyimpan kekuatan sakti.
Mereka yang disebut para ‘orang buangan’ itu sebagian diperbolehkan membawa istri dan anak-anak karena mereka dianggap tidak sebagai orang hukuman biasa. Kedudukan daerah Digul dalam pergerakan kebangsaan Indonesia makin istimewa sebagai lambang perlawanan rakyat terhadap kekuasaan penjajah, ketika tempat pengasingan para pemimpin komunis di hulu Sungai Digul juga dijadikan tempat pengasingan para pemimpin gerakan kebangsaan yang tidak tergolong komunis. Dalam bulan November 1934 Tanah Merah juga menjadi tempat pengasingan Sutan Sjahnir, bekas mahasiswa Universitas Leiden yang memimpin kaum Golongan Merdeka sekembalinya ke tanah air. Tiga bulan kemudian menyusul Mohammad Hatta pun dikirim ke daerah pengasingan ini. Dengan demikian daerah Digul dijadikan sebagai tempat pengasingan para pemimpin gerakan kebangsaan Indonesia yang benar-benar dianggap membahayakan kekuasaan penjajah Belanda.
Di Papua gejala kapitalisme modern sebagat pengolahan bahan-bahan mentah bagi kebutuhan industri baru tampak tahun 1931. Kegiatan eksplorasi pertama ditujukan untuk eksplorasi minyak tanah Sejumlah perusahaan besar Belanda, Inggris dan Amerika dalam tahun 1935 menggabungkan modal mereka untuk mendirikan perusahaan NV Nederlandsch Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Usaha-usaha eksplorasi minyak tanah telah membuka mata pencaharian baru bagi banyak orang. Karena tenaga kerja penduduk asli Papua tidak mencukupi, maka tenaga kerja seperti orang Makassar, Bugis, Buton dan akhirnya juga dari Jawa didatangkan.
Usaha untuk membangun industri minyak di Papua mendorong timbulnya kegiatan eksplorasi yang lebih luas. Disamping eksplorasi yang dilakukan oleh satuan patroli militer Belanda ke berbagai daerah pedalaman, perkembangan industri minyak kemudian dapat membiayai berbagai lembaga ilmiah di Negeri Belanda untuk mengirimkan para sarjana berbagai disiplin ilmu seperti zoologi, botani, kehutanan, geologi, antropologi, tetapi juga para tokoh petualang ke berbagai daerah seperti Kepala Burung dan Pegunungan Jaya Wijaya.
Berkali-kali pemerintah Belanda berusaha mengadakan pembagian wilayah Papua, yang memungkinkan pemantapan kekuasaannya melalui pemerintah daerah. Namun usaha pembagian wilayah ke dalam kesatuan-kesatuan daerah administratif selalu terbentur pada kenyataan yang ada, yang pada akhirnya hanya terwujud di atas kertas saja. Pembagian terakhir dan wilayah administratif Papua sebelum perang terjadi pada tahun 1940. Diputuskan bahwa daerah Papua sebagai bagian dan Karesidenan Maluku terdiri dan tiga afdeeling seperti yang telah disebutkan di atas, meliputi sejumlah onderafdeeling yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kontroleur dan di bawahnya terdiri dan satu Bestuurressort di Boven Digul dan empat Bestuurressort di Merauke. Tiga afdeeling ini dikepalai oleh tiga asisten-residen yang masing-masing berkedudukan di Tual, Fakfak dan Manokwani. Ketiganya berada dibawah residen Maluku yang berkedudukan di Ambon.
Ketika Perang Pasifik pecah daerah Papua bagian barat dan utara secara cepat dapat dikuasai oleh militer Jepang. Hal ini dimungkinkan karena pada periode sebelumnya banyak perusahaan Jepang yang beroperasi di daerah ini yang ternyata merupakan jaringan mata-mata Jepang. Selama pendudukan Jepang pada umumnya penduduk Papua berada dalam penderitaan. Di berbagai tempat timbul penlawanan penduduk pribumi yang sering ditindas dengan kejam oleh tentara Jepang. Kekejaman Jepang mendorong rakyat menyambut baik kedatangan pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mac Arthur pada tanggal 22 April 1944. Jayapura sendiri berubah menjadi pangkalan angkatan perang Sekutu. Tetapi tidak lama kemudian kesatuan-kesatuan Sekutu meneruskan serangan ke arah Barat, dan meninggalkan kesatuan Belanda yang ikut mendarat di Jayapura. Para penguasa Belanda selanjutnya menjadikan Jayapura sebagai ibukota Papua.
Setelah dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia tidak pernah berhenti memperjuangankan kemerdekaan Papua dan terus berupaya agar daerah tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI. Hal ini telah tercermin dalam keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Pembukaan UUD 1945 bahwa wilayah Papua adalah hak mutlak wilayah Pemerintah Indonesia karena sesuai dengan batas negara yaitu daerah bekas Hindia Belanda dahulu. Kedudukan Papua terus diperdebatkan antara Indonesia dengan Belanda. Namun dengan kegigihan diplomasi, akhirnya disepakati bahwa Papua akan dibicarakan setahun lagi dan penyerahan seluruh bekas wilayah Hindia Belanda kepada Indonesia akan dilaksanakan pada akhir tahun 1950.
Pada awal tahun 1950, segera setelah pemerintah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda memperkuat kedudukannya di Papua dengan mengangkat S.I.J. van Waardenburg menjadi Gubernur Nederlandsch Nieuw Guinea, yang dibantu oleh tiga orang residen yang ditempatkan di Jayapura, Manokwari dan Merauke. Di Enarotali, di daerah pedalaman sekitar Danau Paniai, ditempatkan seorang controleur yang langsung bertanggungjawab kepada resident di Jayapura. Kemudian pada tahun 1952 diadakan perubahan pembagian wilayah pemerintahan ke dalam empat afdeeling. afdeeling Noord Nieuw Guinea dengan ibukotanya Holandia, afdeeling Zuid Nieuw Guinea dengan ibukota Merauke, afdeeiling Centraal Nieuw Guinea yang ibukotanya belum ditetapkan, afdeeling West Nieuw Guinea dengan ibukota Sorong.
Usaha lain yang dilakukan pemerintah Belanda adalah membentuk Dewan Nieuw Guinea pada tahun 1961. Dalam tahun 1961 juga Gubernur Nederlandsch Nieuw Guinea membentuk Komite Nasional Papua yang terdiri dan 80 orang anggota. Tujuan pembentukan komite ini adalah untuk pembentukan Negara Papua. Usaha ini terus ditentang oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Karena Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan NKRI.
Perundingan-perundingan mengenai kedudukan Papua yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda belum menunjukkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Berulang kali masalah Papua diajukan oleh wakil-wakil Indonesia ke hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, tanpa mengakibatkan perubahan sikap di pihak Belanda. Pemerintah Belanda justru melakukan tindakan penguatan diri di daerah Papua, baik dan segi politik, ekonomi maupun militer. Sementara itu Pemerintah Indonesia berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh kemerdekaan bagi Papua. Hal itu diperkuat dengan penetapan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat. Sejak undang-undang tersebut ditetapkan, selanjutnya nama yang dipakai adalah Irian Barat.
Pada tanggal 19 Desember 1961 pimpinan Republik Indonesia mengubah cara perjuangan pembebasan Irian Barat. Selanjutnya Presiden Soekarno mengumumkan keputusan yang kemudian dikenal dengan Tri Komando Rakyat (TRIKORA). Isinya adalah menggagalkan pembentukan negara boneka Papua, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat dan mempersiapkan diri untuk mobilisasi umum. Disamping itu, Amerika Serikat mendukung tuntutan Indonesia atas Irian Barat. Dengan adanya tuntutan tersebut, Belanda tidak dapat memaksakan kehendak untuk menguasai Irian Barat. Untuk menyelesaikan masalah Irian Barat tersebut akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 dicapai suatu kesepakatan yang dikenal dengan New York Agreement, yang berisi
1. Setelah pengesahan persetujuan antara Indonesia dan Belanda, selambat-lambatnya pada tanggal 1 Oktober 1962 Penguasa/Pemerintah Sementara PBB (United Nations Temporary Executive Authority-UNTEA) akan tiba di Irian Barat untuk melakukan serah terima pemerintahan dari tangan Belanda. Sejak hari itu bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB.
2. Pemerintah Sementara PBB akan memakai tenaga-tenaga Indonesia baik sipil maupun alat-alat keamanan, bersama¬sama dengan alat-alat keamanan putra-putra Irian Barat sendiri dan sisa-sisa pegawai Belanda yang masih diperlukan.
3. Pasukan-pasukan Indonesia yang sudah ada di Irian Barat, tetap tinggal di Irian Barat yang berstatus di bawah kekuasaan Pemerintah Sementara PBB.
4. Angkatan Perang Belanda secara berangsur-angsur dikembalikan. Yang belum pulang, ditempatkan di bawah pengawasan PBB, dan tidak boleh dipakai untuk operasi¬operasi militer.
5. Antara Irian Barat dan daerah Indonesia lainnya berlaku lalu lintas bebas.
6. Tanggal 31 Desember 1962 bendera Indonesia mulai berkibar di samping bendera PBB.
7. Pemulangan anggota-anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai pada tanggal 1 Mei 1963 dan selambat¬lambatnya pada tanggal 1 Mei 1963 Pemerintah RI secara resmi menerima pemerintahan di Irian Barat dar Pemerintah Sementara PBB.
Berdasarkan New York Agreement tersebut, prosedur penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia melalui tiga tahap. Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera Perserikatan Bangsa Bangsa dikibarkan di Irian Barat, berdampingan dengan bendera Belanda, mulai saat itu pemerintah jajahan Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, yang kemudian membentuk pemerintahan sementara yang dinamakan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Pada tanggal 31 Desember 1962 bendera Merah Putih dikibarkan secana resmi di Irian Barat berdampingan dengan bendera Perserikatan Bangsa Bangsa, sedangkan bendera Balanda diturunkan untuk selama-lamanya dan Irian Barat. Pada tanggal 1 Mei 1963 kedaulatan atas Irian Barat sepenuhnya diserahkan kepada pemerintahan Republik Indonesia dan bendera Perserikatan Bangsa Bangsa diturunkan, sejak saat itu UNTEA menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Republik Indonesia.
Setelah kesepakatan itu dipatuhi oleh kedua belah pihak, selanjutnya dilaksanakan pula Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan diadakan pada tahun 1969, tepatnya mulai tanggal 14 Juli — 2 Agustus 1969. Pepera akan dilaksanakan di 8 (delapan) kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Penidi, Fakfak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih dan Jayapura. Hasil dan Pepera menyatakan bahwa rakyat Irian Barat berintegrasi dengan Indonesia.
Pada tahun 1973, nama Irian Barat berubah menjadi Irian Jaya. Perubahan nama tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1973 dan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Provinsi Irian Barat Nomor 1/DPRD/1973. Selanjutnya pada tahun 2001, nama Irian Jaya berubab nama menjadi Papua didasarkan pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2OOO tentang Pengembalian Nama Irian Jaya menjadi Papua.







2.2. MATA PENCAHARIAN

Menurut Koentjaraningrat (1970: iii, iv), masyarakat penduduk Irian Jaya dapat digolongkan dalam tiga tipe masyarakat.:
 Tipe masyarakat pertama adalah penduduk lembah-lembah di Pegunungan Tengah yang hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan-hubungan keluarga luas, dengan jaringan luas dari sistem klen, gabungan klen dan federasi desa yang kompleks. Mata pencaharian hidup yang pokok adalah bercocok tanam ubi dan keladi di ladang-ladang. Teknologi untuk membuat alat-alat hidup mereka masih asal zaman batu, dan hanya dibeberapa tempat mereka berkenalan dengan dunia luar sejak pertengahan tahun 1950-an. Contoh masyarakat tipe ini adalah orang Dani.
 Tipe masyarakat kedua adalah penduduk desa-desa di bagian pedalaman di daerah hulu sungai-sungai, biasanya hidup dalam rumah-rumah besar dalam hubungan keluarga-keluarga luas (rata-rata 10-15 individu). Mata pencaharian mereka adalah meramu sagu dan berburu. Berburu dan mencari ikan di sungai merupakan pekerjaan sambilan. Contoh dari masyarakat ini adalah penduduk danau-danau, Irian Jaya bagian Utara.
 Tipe masyarakat ketiga adalah penduduk desa-desa di hilir dan muara-muara sungai dan penduduk pantai serta penduduk kepulauan. Mereka ini hidup dalam rumah-rumah kecil dalam hubungan keluarga-keluarga batih kecil (rata-rata 4-5 individu) yang bersifat amat individualistis. Mata pencaharian hidupnya adalah meramu sagu, berburu, berkebun dan mencari ikan dipantai atau di laut. Contoh masyarakat ini adalah penduduk Pantai Utara.
Keterangan :
1. Berburu
Banyak jenis binatang yang diburu; khususnya jumlah jenis spesies kecil sangat besar. Binatang buruan yang besar ialah babi dan burung kasuari. Meskipun secara umum binatang-binatang ini penting untuk perburuan, di daerah-daerah yang berpenduduk padat di sekitar Yibi binatang-binatang kecil lebih penting. Di sini jarang ada binatang besar, tetapi di selatan dan di tenggara lebih banyak.
Ada bermacam-macam cara berburu. Cara yang dipilih tergantung dari jenis binatangnya. Babi dan kasuari diburu dengan menggunakan busur dan anak panah. Anjing memainkan peranan penting dalam melacak binatang buruan, lebih-lebih kalau binatang itu sudah terluka. Untuk binatang-binatang seperti itu sering digunakan lubang jebakan, sering diberi bambu-bambu runcing yang ditanam di dasarnya — sehingga akan "memanggang" mangsanya waktu jatuh. Babi juga dijebak, khususnya di tempat orang menokok sagu, kalau diketahui bahwa babi telah memakan sagu yang masih di pohon yang ditebang (pohon yang masih belum diambil sagunya). Jebakan terdiri atas lorong kayu, terbuka di satu sisi. Begitu menyentuh tali, si babi melepaskan sebuah pengumpil yang menurunkan pintu lorong yang terbuka itu sehingga terjebaklah dia.
Binatang-binatang kecil yang diburu meliputi kuskus, biawak, tikus besar dan tikus kecil, kadal dan ular, belalang dan katak, kupu-kupu jenis tertentu, ulat yang terdapat di bagian dalam pohon (seperti ulat sagu), juga burung dan kelelawar. Tikus kecil dan tikus besar, biawak, kuskus, dan burung biasanya juga dibunuh dengan anak panah, tetapi kalau mungkin binatang-binatang itu ditangkap dengan tangan, misalnya tikus kecil di dalam rumah, atau kuskus di pohon. Kalau untuk binatang-binatang kecil itu dibuat jebakan, bentuknya sama dengan yang untuk babi. Sedangkan kadal, ular, belalang, katak dan kelelawar, ulat pohon, dan kupu-kupu ditangkap dengan tangan.
Berburu tidak dilakukan dalam kelompok besar. Cukup sejumlah kecil orang saja, biasanya tetangga, kerabat, misalnya dua orang bersaudara. Penggerebegan atau pengepungan yang melibatkan banyak orang tidak pernah ada karena baik bina-tangnya maupun daerahnya tidak cocok untuk itu.
2. Mencari Ikan
Apabila keadaan sungai mengizinkan, ikan ditangkap dengan menggunakan busur dan anak panah. Untuk keperluan itudigunakan anak panah khusus, yang ujungnya diberi gigi-gigi kayu. Cara lain ialah membendung sungai yang tidak begitu besar ketika permukaan airnya sedang turun dan menguras airnya. Dengan cara itu orang dapat menangkap ikan, udang, dan mung-kin juga kerang.
Kemudian ada bubu. Dari ujung rotan yang berduri merambat dibuatlah sebuah corong, kira-kira 20 cm panjangnya dan lebar 5 cm di ujung. Duri-durinya pada batang-batang yang panjang mengarah ke dalam. Beberapa corong semacam itu dijadikan satu dan ditempatkan di dalam air.
Yang juga penting ialah penggunaan racun yang dapat membius ikan. Akibatnya, ikan-ikan itu muncul ke permukaan dan mengambang sehingga dapat ditangkap.
3. Berkebun dan Meramu sagu
Berkebun memegang peranan penting untuk orang pedalaman Papua. Meskipun sagu itu tersebar di seluruh daerah, hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama di daerah tinggi, yang membentang kira-kira dari Woropko sampai Yibi, sedangkan di sebelah selatan Mindiptana, lahannya lebih luas sehingga sagu lebih berperan sebagai bahan pangan pokok.
Pohon sagu biasanya terdapat di tepi sungai-sungai kecil, di tanah tinggi, pohon sagu juga ditanam di mana palung sungai sering berbatu-batu, serta di punggung-punggung bukit. Tidak banyak tempat yang cocok, jadi pohon sagu memang sedikit jumlahnya. Sering ada perbedaan besar antara tempat yang satu dan yang lain. Terutama di selatan sagu penting dalam menu makanan. Namun, di daerah tinggi, pisang dan umbi-umbian lebih penting daripada sagu. Sagu itu mutlak perlu dalam pesta babi.Sagu hasil tokok diangkut dan sering disimpan di dalam kantong tenunan (yòwòt).
Karena daerah pedalaman itu sama sekali tertutup hutan, bagian-bagian tertentu hutan itu harus ditebangi untuk membuat kebun dengan menggunakan kapak batu. Batang-batang pohon dibiar-kan tumpang tindih tak teratur, semak-semak dibabat dan dibersihkan. Biasanya tidak digunakan api, dan daun-daun dibiarkan membusuk. Warga mengetahui bahwa pembersihan yang terlalu rajin akan lebih cepat membuat tanahnya mati. Ini kelihatan dari apa yang dikatakan guru desa kepada mereka, yang berpegang pada buku (Eropa) dalam mengerjakan tanah kebun sekolah.
Setek-setek ditanam dengan menggunakan tongkat-tongkat sederhana, yang tidak dibuat khusus untuk itu.
Tanaman utama ialah pisang — dalam banyak varietas — dan umbi-umbian. Yang paling penting dari yang terakhir ini ialah ubi (Dioscorea alata), keladi (Colocasia esculenta), dan ubi jalar (Ipomoea batatas). Ada banyak jenis ubi dan ubi keladi, ubi jalar lebih sering ditemukan di daerah tinggi.
Pohon sukun (Artocarpus incisa) adalah pohon buah yang terdapat hampir di setiap kebun. Di daerah selatan pohon ketapang (Terminalia catappa) melimpah, sedangkan di daerah utara lebih banyak terdapat pohon kenari (Canarium vulgare). Buahnya sangat berlemak, dan pada musim tertentu merupakan bagian pokok makanan mereka. Pohon ini juga terdapat di kebun, tetapi tidak sebanyak pohon sukun.
Sayuran juga merupakan bagian menu makanan mereka. Orang Muyu tidak menanamnya di kebun, tetapi mencari varietas-varietas liar — meskipun sayuran juga ditanam. Sayur-sayuran penting ialah daun pohon Gnetum gnemon, ujung daun pakis tertentu (Diplazium esculentum), dan kuntum muda varietas tebu (Saccharum edulae) atau sering mereka sebut tebu ikan. Tebu (Saccharum officinarum) khususnya terdapat di daerah tinggi. Ujung pohon nibung (Caryota rumpfiana) adalah sayuran yang disukai.







2.3. SISTEM KEKERABATAN DAN KEMASYARAKATAN

2.3.1. Sistem kekerabatan
2.3.1.1. Upacara Perkawinan
Adat perkawinan masyarakat papua yang tinggal di pantai utara atau biasa disebut dengan orang Tor atau Bgu berbeda dengan adat perkawinan masyarakat papua yang tinggal di pegunungan Jaya Wijaya yang popular dengan sebutan orang Dani. Oleh karena itu dalam makalah ini akan kami jelaskan satu per satu

a. Adat perkawinan masyarakat Tor atau Bgu
Sistem kekerabatan masyarakat Tor atau Bgu bardasarkan prinsip patrilineal. Suatu klan patrilineal disebut dengan nama fam. Istilah ini dibawa oleh guru-guru dari Ambon yang ditempatkan di Papua, dan adat untuk mengambil nama fam dengan nama Kristen adalah adat yang diperkenalkan gereja untuk demi memudahkan registrasi dalam buku gereja. Sebelum agama Kristen masuk istilah fam tidak dikenal. Waktu orang-orang pantai utara masih tinggal di rawa-rawa dan belum dipaksa pindah ke jalu pantai pasir oleh pemerintah Belanda mereka mengenal adanya kelompok kekerabatan yang disebut auwet. Kelompok kekerabatan auwet ini juga menganut prinsip patrilineal yang dapat dibuktikan dengan adat pengantin baru yang harus tinggal di sekitar pusat kediaman keluarga si suami. Kelompok kekerabatan ini mempunyai nama-nama khusus seperti Sadot, Bagre, Dansidan dan sebagainya.
Walaupun seorang penduduk pantai utara mendapatkan nama fam dari ayahnya tetapi dalam kenyataan banyak unsur–unsur yang menunjukkan system bilateral. Hal ini dapat dilihat dari hukum warisnya. Seseorang mempunyai hak untuk memukul sagu dari dari ayahnya, maupun dari ibunya, artinya ia boleh mengambil sagu di wilayah kerabat ayah maupun kaum ibu. Selain itu seorang wanita yang telah menikah dan diberi mas kawin tidak lagi secara patuh adat tinggal di keluarga suaminya. Ia juga tidak kehilangan hak atas pohon sagu di wilayah sagu di fam asalnya. System ini dikenal dengan nama kwasi patrilineal atau pura-pura patrilineal.
Jika penduduk pantai utara hendak berumah tangga maka suatu syarat yang penting adalah dengan mengumpulkan mas kawin atau krae. Suatu krae terdiri dari rangkaian kerang dengan hiasan kerang besar bundar, sebuah kalung dari rangkaian gigi anjing yang disebut kdarf, ikat pinggang dari manik-manik yang disebut bitem, tali kulit kayu yang disebut weimoki, benda-benda lain adalah piring, perabot dapur, dan bahan makanan terutama makanan kaleng dan sejumlah uang. Untuk mengumpulkan mas kawin ini diperlukan waktu yang lama dan usaha yang berat, penyerahannya sendiri biasanya dilakukan beberapa waktu setelah upacara dan pesta yang khusus. Setelah upacara adat biasanya dilanjutkan dengan upacara perkawinan di gereja tanpa adanya pesta adat khusus. Perkawinan ini biasanya bersifat monogamy walaupun ada beberapa yang melakukan poligami. Hal ini biasa dilakukan apabila sang istri tidak bisa member anak. Tetapi kemudian hal ini banyak berkurang setelah agama Kristen masuk.

b. Adat perkawinan suku Dani
Gadis-gadis Dani menikah pada usia muda (antara 12—18 tahun). Di dalam desa mereka, empat hari sebelum pesta itu saudara gadis itu menyediakan seekor babi untuk saudarinya.
Pernikahan dirayakan di desa mempelai laki-laki. Pemuda-pemuda Dani memiliki kebebasan tertentu dalam memilih pasangan hidup. Pasangan hidup itu harus dicari pada paruhan suku yang lain dan paling bagus pada klen-klen tertentu, yang dalam hal ini saling membantu secara teratur. Di dalam batas-batas tertentu terdapat kebebasan, sekalipun keluarga nanti harus memperhatikannya baik-baik sebelum menetapkan suatu pilihan. Ayah dapat mengajukan lamaran resmi. Tetapi bukan ayah mempelai perempuan, melainkan saudara-saudaranya yang menyampaikan kata-kata penerimaan lamaran itu. Semuanya ini sudah bisa disampaikan sebelum pesta babi. Kira-kira satu bulan sebelum pesta itu keluarga pemuda menghadiahkan beberapa ekor babi kepada saudara gadis itu; babi-babi itu kemudian diteruskan kepada saudara ibu gadis itu. Sisanya akan disembelih pada hari-hari pesta itu.
Sesudah pemimpin pesta menyumpahi babi-babi itu, lalu disembelih. Telinga dan ekor babi itu untuk pemimpin. Babi-babi itu kemudian dimasukkan di dalam lubang-lubang pemasak. Sementara itu di dalam dapur juga orang memanggang daging. Pemimpin mengambil sepotong kecil dan dengan potongan daging itu membuat suatu garis di antara payudara gadis itu. Dia menyebutkan beberapa jenis udang, yang selama pesta itu tidak boleh dimakan oleh gadis itu. Kemudian dengan sebuah batu panas dia menyentuh daging, yang sudah ditentukan untuk gadis itu guna mencegah dia jangan sampai menjadi sakit. Anak-anak gadis mendapat tawaran daging itu dan mereka pun segera memakannya. Lubang pemasak dibuka lalu wanita-wanita dan anak-anak makan daging babi itu. Empat hari kemudian babi-babi disembelih dan dimasak lagi. Persiapan lubang-lubang pemasak, pemanasan batu-batu, pengumpulan sayur-sayuran menimbulkan kesibukan yang menggembirakan bagi kaum pria maupun kaum wanita. Di dalam dapur orang mempersiapkan jala-jala dan tali manik-manik, yang dihadiah-kan oleh keluarga ibu para gadis. Kalau makanan sudah masak maka berlangsunglah penyerahan hadiah-hadiah kepada gadis-gadis itu di halaman di depan rumah kaum pria; hadiah-hadiah itu ditumpangkan di kepala gadis-gadis itu, sampai-sampai mereka seperti tertimbun hadiah-hadiah itu. Sementara mereka berdiri demikian pemimpin mengangkat suatu ratapan perpisahan. Setelah itu gadis-gadis kembali ke dapur, mendapat daging, dan membaginya di antara mereka. Lubang pemasak dibuka. Sebagian dari daging, yang bercucuran tetesan lemak ditaruh di muka gadis-gadis yang duduk berkeliling di dalam dapur. Jala-jala yang dihadiahkan sekarang dipakai untuk menaruh daging, dengan demikian sekaligus juga diminyaki. Daging itu lalu dipotong-potong dan diberi kepada ayah para mempelai perempuan dan para pemberi jala-jala dan pita-pita dengan menyebutkan nama-nama mereka. Menjelang malam hari gadis-gadis itu memakai tali manik-manik yang ketat yang menjadi penutup aurat dan menerima tongkat penggali yang baru. Mulai sekarang mereka disapa dengan perkataan "wanita yang sudah menikah".
Keesokan harinya wanita-wanita muda itu diantar ke luar dari dapur. Orang-orang ramai menertawakan mereka karena cara mereka berjalan yang kaku, akibat pemakaian tutup aurat yang ketat itu. Sekarang orang membuat api baru dengan gesekan, dan lancar atau tidaknya pembuatan api itu akan melambangkan lancar tidaknya jalannya perkawinan yang diselenggarakan itu. Wanita-wanita itu sekarang duduk di dalam dapur sambil bersandar pada dinding dan tidak boleh tertidur supaya jangan memimpikan kematian calon suami mereka. Mereka itu makan banyak daging dan diolesi dengan lemak babi. Selama kejadian-kejadian ini para pria, calon suami mereka, tidak boleh memperlihatkan diri mereka.
Keesokan harinya ibu-ibu mengantar mempelai-mempelai wanita ke tempat tinggal suami-suami mereka. Daging, yang terlebih dahulu dipersembahkan kepada leluhur, dibawa ke tempat tinggal itu dan kemudian si suami akan membagi-bagikannya dan makan bersama istrinya. Sebelum orang meninggalkan tempat tinggal itu pemimpin meminta perhatian; dia menggali sebuah lubang dekat pagar dan menaruh sehelai daun di dalamnya. Lalu semua wanita menjatuhkan tunas-tunas ubi ke daiam lubang itu, yang kemudian ditutup kembali. Arti perbuatan itu terkandung di dalam ibarat ini: Seperti halnya tunas-tunas dan daun dipersatukan dan tetap bersatu demikian pula wanita-wanita dipersatukan dengan pria supaya selanjutnya menghasilkan ubi-ubian untuk dia. Seorang wanita yang sudah tua menusuk sepotong bekas gaun anak perempuan pada sepotong kayu yang runcing, setelah potongan kayu itu diolesi dengan lemak babi dan menariknya di antara lutut wanita-wanita muda. Tongkat ini ditegakkan di atas lubang bersama tunas pisang. Maksudnya dengan ini mau mengatakan, bahwa bagi para mempelai wanita masa gadis mereka kini berlalu dan mulailah hidup mereka sebagai ibu rumah tangga.
Wanita-wanita sendiri berdiri menunggu dengan jala gen-dongan, seolah-olah mereka sedang menggendong anak dengan jala itu. Sekarang mempelai diarak ke rumah ibu suaminya. Beberapa saat kemudian para pengantar kembali ke rumah. Baru beberapa hari kemudian suaminya datang. Mereka duduk bersama-sama, saling memberi makan dan dengan itu terbukalah peluang untuk adanya hubungan yang intim.

2.3.1.2. Upacara Kematian
a. Upacara kematian masyarakat Tor atau Bgu
Masyarakat pantai utara percaya bahwa jiwa orang mati akan (fonggumu/pikiran) melepaskan dari tubuh menjadi roh/kepka secara berangsur-angsur. Dalam proses itu ia masih berada di sekitar rumah tepat tinggalnya. Itulah sebabnya keluarga orang yang meninggal diasingkan dalam rumah supaya tidak menulari masyarakat sekitar dengan nuansa kematian dan kepka dari orang yang meninggal itu. Setelah kepka lepas, maka ia akan pergi kea lam baka yang dipercaya berupa suatu gunung yang bernama gunung Tardongasau.

b. Upacara kematian masyarakat Dani
Kematian seorang anggota masyarakat suku Dani di lembah Baliem, Jayawijaya, menjadi duka buat anggota masyarakat lainnya. Seperti halnya di daerah lain, perlakuan terhadap jenazah, kerap disikapi dengan cara yang khusus. Menurut adat masyarakat suku Dani, jenazah orang yang meninggal tidak dikuburkan, namun dikremasi atau dibakar dengan upacara adat. Upacara adat ini biasanya berlangsung selama 40 hari, yang dilakukan di halaman Sili, atau unit pemukiman masyarakat suku Dani, di depan Pilamo.
Sebelum dibakar famili terdekat memotong jari dan telinga sebagai tanda berkabung, dan nanti dikumpulkan bersama-sama abu jenazah yang dibungkus dengan kulit kayu, kemudian digantung. Pembakaran mayat sampai kini masih berlaku, kecuali mereka yang sudah memeluk agama Kristen tidak melakukan pemotongan jari dan telinga serta penyimpanan abu. Mereka menanam abu jenazah ke dalam lobang yang digali di tempat itu juga dan sekitarnya ditanami bunga-bungaan.

Selama upacara adat ini berlangsung, tepatnya sejak kematian seorang anggota masyarakat suku Dani, sejumlah hewan dikorbankan. Biasanya hewan yang dikorbankan ini adalah babi, atau Wam, dalam bahasa setempat. Hewan ini berasal dari hasil ternak keluarga, dan juga sumbangan sanak keluarga lainnya.
Dari hewan-hewan yang dikorbankan, bagian ekor dan telinganya dipotong dengan sebilah bambu, yang kemudian ditempatkan di dalam Honai, sebagai simbol dari leluhur, yang ada hubungannya dengan sumber kehidupan, kebudayaan, kesuburan dan keselamatan. Sumbangan yang diterima keluarga yang berduka ini selain babi, adalah Su, atau Noken, tas tradisional dari rumput.
Duka menyelimuti keluarga yang ditinggalkan. Hal ini nyata terlihat dari ratap tangis mereka. Tubuh mereka dibaluri dengan tanah liat merah, sebagai tanda duka yang dalam atas berpulangnya orang yang mereka cintai.
Sementara jenazah almarhum tengah dikremasi. Minyak babi, atau Wam Amok, menjadi materi yang harus ada dalam upacara adat pembakaran jenazah ini. Tubuh jenazah penuh dilumuri minyak babi, yang menjadi perlambang penghormatan kepada almarhum, dan juga menjadi hiasan sebagai persiapan masuk ke alam baka. Minyak babi juga dipercaya masyarakat setempat sebagai lambang kesuburan, penghapus dan pembersih segala kesalahan almarhum. Selesai dikremasi abu jenazah dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam labu yang telah disiapkan. Labu inilah yang akan dimakamkan di tempat khusus, yang dipagari.
Menurut kercayaan masyarakat suku Dani, tidak semua anggota masyarakatnya yang meninggal dikremasi. Ada pula yang diawetkan dijadikan mumi. Biasanya hanya orang-orang tertentu yang berhak dimumikan. Seperti orang yang dianggap pahlawan, karena banyak berjasa dalam perang antar suku sepanjang hidupnya. Bisa jadi mereka adalah kepala suku atau panglima perang.
Selama ini di Jayawijaya ditemukan 7 mumi. Satu diantarnya masih dipertahankan keluarganya, dalam arti tidak boleh dilihat orang lain. Sejauh ini masih menjadi rahasia, ramuan yang dipakai untuk mengawetkan jenazah. Pengawetan jenazah ini konon dilakukan kurang lebih 3 bulan pertama setelah kematian, secara terus menerus, dan sepanjang prosesi pengawetan ini, dilakukan upacara adat yang sakral.
Di lembah Baliem, mumi menjadi perlambang penghormatan, demikian pula dengan serangkaian upacara adat bagi anggota masyarakatnya yang meninggal. Masyarakat lembah Baliem, memperlakukan khusus anggota masyarakatnya yang meninggal. Mengantar almarhum menuju keabadian.

2.3.2. Sistem Kemasyarakatan
a. Sistem kemasyarakatan masyarakat Tor atau Bgu
masyarakat Tor atau Bgu mengenal beberapa tokoh adat diantaranya :
1. Dmartemtua atau dmar, tokoh adat ini bertugas memelihara benda-benda suci yang di simpan di dalam nar atau belai-balai keramat dan memimpin upacara-upacara keagamaan yang ada sangkut pautnya dengan pemeliharaan benda-benda suci tersebut.
2. Ondowafi, tokoh adat ini tugasnya mengawasi pembukaan tanah ulayat oleh pengembang menyaksikan transaksi tanah atau hutan–hutan sagu dan sebagainya. Ondowafi sering dianggap sebagai ahli adat dalam desa yang terutama mengetahui riwayat semua tanah yang ada di dalam desa tersebut.
3. Korano, tokoh adat ini dianggap sebagai orang yang bertugas meneruskan perintah dan instruksi dari pemerintah, tokoh adat ini harus bisa membaca dan berpengalaman berhubungan dengan orang luar. Dlam melaksanakan tugasnya korano dibantu oleh beberapa pejabat lain yang yang secara resmi disebut pamong desa. Biasanya ada seorang wakil korano seorang ondowafi, seorang penulis, beberapa orang mandor, seorang guru agama dan wakilnya atau pinetua.
Masyarakat Pantai utara cenderung memiliki sikap individualis dan tidak banyak dijiwai sikap gotong royong karena pada dasarnya sifat dan struktur masyarakat serta hubungan sosial antarmasyarakat tidak banyak membutuhkan sikap gotong royong dan tolong-menolong secara besar-besaran. Hal ini disebabkan oleh kelompok kekerabatan auwet yang merupakan kelompok-kelompok kecil sehingga segala kebutuhan kehidupan masyarakat dapat ditampung dengan system hubungan kekerabatan itu sendiri.

b. Sistem kemasyarakatan masyarakat Dani
Suku Dani tinggal dalam kelompok-kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam sebuah usilimo/sili. Beberapa sili yang berdekatan biasanya memiliki kedekatan hubungan kekerabatan. Kelompok sili yang terbentuk karena hubungan darah atau yang terbentuk atas dasar persatuan teritorial dan politik membentuk kampung.
Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Suku didampingi seorang Panglima Perang. Pentingnya kedudukan Panglima Perang dalam struktur kehidupan masyarakat Dani menunjukkan tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap berbagai gangguan atas ketenteraman yang mereka bina dalam lingkungannya. Ini karena mereka tinggal di daerah hutan dengan tingkat kerawanan yang tinggi. Gangguan itu bisa datang dari binatang buas, bencana alam, atau kelompok manusia lain. Perang (wim abiyokoi) merupakan salah satu wujud tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat hutan Baliem terhadap pelanggaran norma-norma adat suatu suku oleh kelompok lain. Penghargaan yang tinggi terhadap panglima perang yang sudah meninggal dan dipandang berjasa besar diwujudkan dengan mengawetkan jasad mereka dalam bentuk mumi.
Batas teritorial
Batas teritorial permukiman Suku Dani terbagi atas tiga wilayah. Daerah terluar adalah hutan di bawah “kewenangan pengelolaan” suatu suku. Dalam masyarakat Dani, kaum laki-lakilah yang banyak berhubungan dengan keliaran rimba Baliem. Norma-norma adat yang mengatur pengelolaan hutan di wilayah ini misalnya aturan mengenai binatang yang boleh diburu, kayu yang boleh ditebang untuk membuat rumah, larangan membuang sampah dan kotoran apapun di sungai, dan bagian hutan yang boleh dibuka untuk permukiman dan perladangan baru, biasanya dituangkan dalam bentuk mitos-mitos yang dikaitkan dengan hal-hal mistik. Pelanggaran atas zona pengelolaan oleh pihak asing akan dihadapi laki-laki Dani sehingga dapat mengakibatkan perang suku
Batas pengelolaan kedua adalah ladang. Pembukaan hutan menjadi ladang (perubahan hutan liar menjadi lingkungan yang diolah potensinya) adalah tugas kaum pria. Apabila ladang sudah siap ditanami, maka kaum wanita Danilah yang menanam bibit tanaman, seperti hipere (ubi) dan talas. Selanjutnya wanita Dani pula yang memelihara tanaman ladang hingga dapat dipetik hasilnya.
Saat ini sayur mayur banyak ditanam di ladang. Hasilnya sebagian dijual para wanita ke pasar. Pada awalnya kegiatan ini tidak berorientasi pada keuntungan ekonomis, melainkan untuk kepentingan sosialisasi saja. Biasanya hasil ladang ditukar dengan babi. Suku Dani adalah masyarakat subsisten yang menggantungkan kehidupannya pada kekayaan yang diberikan alam di sekitarnya. Kegiatan jual-beli hasil ladang merupakan kegiatan baru masyarakat Dani.



Membangun honei adalah tugas para lelaki Dani. Tugas itu mereka kerjakan secara bergotong royong. Tradisi ini masih hidup hingga saat ini.
Usilimo/sili merupakan zona inti permukiman Dani, yang dihuni oleh sebuah keluarga. Usilimo terbentuk dari hutan yang sudah dibuka, diolah dan ditata menurut jalinan potensi alam dan sosial budaya lokal Tidak sembarang orang dapat memasuki zona ini. Ini terlihat dari pagar kayu rapat berketinggian 8-12 meter yang mengelilingi usilimo (disebut leget). Satu-satunya pintu masuk adalah mokarai. Mokarai berhadapan langsung dengan honei (rumah) kepala keluarga.
Aktifitas-aktifitas berhuni banyak dilakukan di dalam sili. Seperti halnya dalam kegiatan perladangan, pembukaan hutan menjadi sili, membangun rumah (honei) dan fasilitas lainnya, serta penjagaannya dilakukan oleh kaum pria. Kegiatan domestik dan hubungan-hubungan intern keluarga menyangkut kegiatan penumbuh-kembangan generasi, banyak dilakukan oleh kaum ibu yang notabene lebih memiliki kepekaan perasaan dibandingkan kaum pria. Tampaknya leget sebagai penanda fisik yang sangat tegas dan kuat pada usilimo juga merupakan salah satu bentuk kewaspadaan Suku Dani terhadap gangguan pihak asing atas ketenteraman seluruh anggota keluarga. Meskipun sehari-hari para wanita bekerja di ladang di luar batas usilimo, tetapi mereka masih dalam lingkup penjagaan prajurit-prajurit Dani.

2.3.3. Sistem Kepercayaan
a. Sistem kepercayaan masyarakat Papua sebelum Kedatangan Agama Kristen
Sebelum kedatangan Agama Kristen masyarakat Papua pada umumnya menganut animisme dan dinamisme. Hal ini terlihat dari kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat pantai utara seperti kepercayaan terhadap roh leluhur, kepercayaan akan adanya roh baik maupun jahat di hutan, rawa-rawa, laut, dan sungai selain itu mereka percaya akan adanya buaya jadi-jadian, hantu kayu, dan sebagainya.
Contoh lain adalah masyarakat Suku Dani yang amat memuja leluhurnya, kerap menyimpan benda-benda yang sarat akan nilai magis, suci dan keramat. Benda seperti batu keramat, atau kaneke, kalung berharga, untaian kerang, yang disebut Jetak Eken, atau Walimo Eken, dan Mikhak, serta jimat pribadi seperti senjata, biasanya disimpan di tempat khusus. Tempat ini biasanya berupa lemari kayu kecil yang ditutup dengan daun-daunan, dan diletakkan di dinding belakang rumah.
b. Penyebaran Agama Kristen Protestan dan Katolik serta peningkatan pendidikan
Upaya pertama orang Belanda untuk menyebarkan agama Kristen Protestan di Papua sudah dimulai tahun 1855, dan kemudian berpusat di Manokwari tahun 1872. Namun baru pada awal abad ke-2O ada kemajuan yang cukup berarti.Penyebaran agama Kristen Protestan terutama dilakukan di daerah pantai utara Papua oleh Utrechtsche Zen dings vereniging dan kemudian oieh Zending der Nederlands Hervormde Kerk, aktivitas dan Zending der Nederlands Hervormde Kerk itu mula¬mula di Pulau Yapen dan pulau-pulau diTeluk Cenderawasih lainnya, di daerah Kepala Burung bagian barat, diKepulauan Raja Ampat, Pulau Wakde yang berhadapan dengan Sarmi dan dari sana ke seluruh daerah pantai utara dan ke Genyem.
Setelah Perang Dunia II jumlah pendeta pribumi mulail bertambah, dan dalam tahun 1956 Gereja Kristen Papua menjadi suatu organisasi yang mandiri. Berbeda dengan daerah Papua bagian utara yang didominasi oleh agama Kristen Protestan, bagian selatanpenyebaran agama Nasrani didominasi oleh para pendeta Katolik. Upaya pertama orang Belanda untuk menyebarkan agama Katolik diawali dalam tahun 1894. Kemudian tahun 1905 organisasi penyebaran agama Katolik yang bernama Misionarissen van het Heilige Hart membuka pusat penyebaran agama di Merauke. Tahun 1936 kegiatan penyebaran agama Katolik juga mulai dilakukan di daerah-daerah bagian utara. Dalam tahun yang sama penyebaran agama Katolik dari Ordo Fransiskan mendirikan pusat penyiaran di Manokwari.
Berdampingan dengan peningkatan kegiatan penyebaran agama Kristen Protestan dan Katolik, upaya pendidikan formal dan pelayanan kesehatan pun mulai dikembangkan. Sekolah¬sekolah guru yang pertama didirikan di daerah Teluk Cenderawasih oleh kelompok zending Kristen Protestan, dengan guru-guru yang berasal dan Ambon dan Sangir. Sedangkan kaum terpelajar yang pertama di Irian Jaya memang berasal dan Biak.
Pengadaan sekolah-sekolah Katolik dimulai di daerah sekitar Merauke dan daerah suku bangsa Muyu sejak tahun 1923, dan kurang lebih satu dasawarsa kemudian, yaitu dalam tahun 1934, sudah ada 107 sekolah Katolik yang tersebar di Irian Jaya Selatan, di Agats dan Mimika.




2.4. PRODUK BUDAYA



2.4.1. RUMAH ADAT
a. HONAI
Umumnya yang terjadi dalam masyarakat sebuah rumah diisi oleh ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Mereka berkumpul bersama dan saling berbagi kasih di bawah satu atap. Namun, kelaziman ini justru dipandang asing bagi masyarakat suku Amungme ataupun suku Dani. Mereka tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak tinggal dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.
Pada masyarakat komunal, rumah punya dimensi sebagai suatu bentuk kekerabatan kecil. Oleh sebab itu sili terdiri atas beberapa keluarga yang tinggal dalam beberapa honai dan dibatasi oleh pagar yang terbuat dari bilah-bilah papan dengan satu pintu atau gapura. Bangunan-bangunan itu terletak di tepi menempel pada pagar sehingga terdapat tanah lapang di tengah sili yang juga digunakan sebagai tempat bakar batu. Antar-sili bisa berjarak 5 - 15 kilometer. Umumnya dalam satu sili terdiri atas satu pilamo (honai laki-laki), beberapa ebey (honai perempuan), hunu (rumah persegi panjang yang berfungsi sebagai dapur), wamai (kandang babi), dan kadang-kadang pilamo adat sebagai tempat menyimpan apwarek (benda-benda keramat).
Honai, bangunan berbentuk silinder diperuntukkan sebagai tempat ngeriung (di lantai bawah) dan tidur (di lantai atas). Berpintu satu dan memiliki perapian di tengah-tengah sebagai penghangat ruangan. Baik lantai atas maupun bawah ketinggiannya tidak sampai setinggi orang sehingga penghuni dewasa harus berjalan dengan membungkuk. Untuk menuju lantai atas disediakan tangga. Satu-satunya penerangan hanyalah bara perapian
.
Pilamo letaknya berhadapan langsung dengan gapura sili. Honai ini merupakan bangunan terbesar dalam sebuah sili. Penghuninya adalah para lelaki dewasa. Anak-anak masih tinggal di honai perempuan, bercampur dengan ibu mereka. Seperangkat senjata diletakkan di depan pintu.
Ebey bentuknya lebih kecil dibandingkan dengan pilamo, letaknya di kiri-kanan pilamo dan berhadapan langsung dengan hunu. Penghuninya para wanita dan anak-anak yang masih bergantung kepada asuhan ibunya.
Honai adat tidak selalu ada di setiap sili. Bangunan pelengkap ini berfungsi sebagai tempat menyimpan apwarek milik suku atau sub suku penghuni sili. Apwarek ini bisa berupa potongan rambut, jari, telinga, ataupun senjata yang menyebabkan meninggalnya salah seorang kerabat dalam suatu perang suku. Letaknya berdekatan dengan honai laki-laki, umumnya di samping agak menjorok ke halaman.
Bentuk bulat honai dimaksudkan untuk menahan terpaan angin yang kencang dan gempa yang sering menimpa daerah Jayawijaya.


b. KARIWARI

Rumah adat Kariwari merupakan bangunan di atas tiang, karena dibangun di atas danau. Konstruksi bangunannya sangat sederhana, hanya mempergunakan tali-tali pengikat dari rotan dan aslinya atap terbuat dari kulit pohon nibung. Bentuk atap adalah limas bersegi banyak, biasanya bersegi 8 dan biasanya di bagian atas terdapat keratan. Besar kecilnya bangunan tergantung pada pengaruh ondoafi atau kepala adat yang bersangkutan.
Bangunan rumah terdiri dari 2 lantai atau tiga lantai, yang masing-masing mempunyai fungsi sebagai berikut:
• Lantai Pertama : Untuk tempat musyawarah yang dipimpin oleh kepala adat atau ondoafi. Selain itu juga sebagi tempat untuk melatih mental maupun fisik para pemuda yang menginjak dewasa, dan dianggap sudah mampu berperang. Mereka diberi pelajaran untuk hidup sesuai adat yang berlaku, serta kuat mental. Di tengah rumah terdapat tiang bergantung ke atas yang berfungsi untuk mengantungkan benda-benda suci untuk upacara menyembah roh-roh halus. Juga digantung tengkorak manusia yang dibunuh pada waktu perang suku. Pemuda yang menginjak dewasa diharuskan tinggal di bangunan ini untuk beberapa waktu, sebaliknya wanita dan anak dilarang memasuki bangunan ini.
• Lantai Kedua : Dipergunakan untuk tempat bermusyawarah yang bersifat rahasia, dimana orang-orang tertentu saja yang ikut dalam musyawarah.
• Lantai Teratas : Dipergunakan untuk penyimpanan pusaka-pusaka yang paling keramat seperti seruling suci, kelambut, patung, kendi pusaka dan karang pusaka.
Seluruh ruangan Kariwari diberi ragam hias berupa lukisan-lukisan serta ukiran-ukiran maupun patung-patung. Selain itu, juga digantungkan benda-benda seperti tengkorak dan rahang babi, kanguru, punggung penyu, taring-taring babi, busur dan anak panah, gelang-gelang rotan dan kayu besar yang berukir disebut TOR yakni tongkat pemukul lesung pada waktu menari. Patung manusia berupa dua patung pria dengan alat kelamin, dan patung-patung lainnya berupa patung-patung binatang tertentu seperti ikan buaya, burung dan babi. Patung-patung yang ada di dalam ruangan Kariwari melambangkan nenek moyang, dan sekaligus sebagai alat untuk mendatangkan roh nenek moyang pada waktu upacara pemujaan. Karena itu pada patung ini dipahatkan pula apa yang menjadi kesenangan nenek moyang sehingga roh tersebut akan datang dan masuk ke dalam patung tersebut. Jadi patung ini disembah karena di dalamnya ada roh nenek moyang. Sedangkan ukiran-ukiran maupun lukisan-lukisan selalu berhubungan dengan kepercayaan dan ceritera, mitos tentang asal mula penduduk Irian Jaya, misalnya mitos tentang udara dan rubis yakni bapak dan ibu yang cantik.
Di muka bangunan Kariwari terdapat sebidang para-para terbuat dari kayu bulat, dipergunakan untuk rapat atau pertemuan yang berhubungan dengan adat, juga pesta-pesta adat diselenggarakan disini.

2.4.2. BUSANA TRADISIONAL








Pakaian tradisional pria Pakaian tradisional wanita




Busana tradisional masyarakat Papua dibagi menjadi 2:
a. Busana Tradisional Asmat
Wilayah pantai (Selatan) Irian Jaya didiami sukubangsa Muyu, Marind, Asmat, dan Mimika. Suku bangsa Asmat adalah suku bangsa terbesar di antara suku-suku bangsa lainnya di bagian selatan Irian, bahkan di kawasan propinsi Irian Jaya. Mereka bermukim di daerah rawa yang sangat luas. Daerah persebarannya meliputi Kecamatan Agats, Sawa Erma, Atsy, dan Pantai Kasuari. Seperti halnya sukusuku bangsa lainnya, masyarakat Asmat merancang dan mengembangkan berbagai jenis busana dan tata rias untuk dipakai sehari-hari maupun untuk keperluan upacara adat.
Jenis atau ragam busana Asmat tidaklah banyak. Sejauh ini yang ditemukan hanya yang berupa "rok mini" dan cawat sebagai penutup aurat kaum lelaki dan perempuan. Laki-laki Asmat biasanya memakai pummi semacam rok mini yang dibuat dari anyaman daun sagu. Rumbai-rumbai pummi dilepas begitu saja hingga terurai di sekeliling pinggul dan paha. Penahan pummi adalah asenem, ikat pinggang dari anyaman rotan. Sedangkan kaum perempuannya memakai tok, semacam cawat atau celana dalam. Tok adalah pummi yang rumbai-rumbai bagian depannya dikumpulkan lalu ditarik ke bagian belakang pinggul melalui celah paha sehingga menyerupai cawat. Untuk menutup payudara, wanita Asmat membuat semacam kutang dari anyaman daun sagu muda yang disebut peni atau samsur. Tali pengikatnya dibuat dari akar pandan, disebut tali bow. Dan peni, dahulu, hanya dipakai oleh istri panglima perang.
Busana dan tata rias yang dikenakan juga menunjukkan status sosial maupun jenis kelamin. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin banyak ragam rias yang dikenakannya, dan masing-masing aksesori itu memiliki makna simbolik.
Rambut orang Asmat pada umumnya keriting atau bergelombang. Ketika menginginkan rambutnya nampak lurus, mereka menjalinnya hingga bisa "berdiri". Menjalin rambut ini disebut wi atau owusapor dan biasanya dilakukan pria remaja. Pada rambut diselipkan hiasan yang disebut sokmet, bulu bangau yang diikatkan pada lidi, panjangnya kira-kira 30 cm. Hingga sekarang, sokmet masih dipakai pria Asmat, tanpa membedakan status sosial, terutama ketika mereka berada di dalam jew (rumah panjang).
Masyarakat Asmat juga menciptakan semacam topi berbentuk kopiyah/peci/songkok yang terbuka bagian atasnya yang dibuat dari bulu kuskus. Topi ini disebut juprew, biasanya diimbuh hiasan beberapa tangkai sokmet. Ada juga penutup kepala yang dibuat dari anyaman daun sagu dan akar kayu. Topi ini disebut kasuomer dan kerap dihiasi bitwan (kulit kerang). Tali penahan agar kasuomer tidak jatuh dibuat dari jalinan daun sagu muda, disebut wisaper, yang supaya nampak indah dihias bulu burung cendrawasih (jabopan).
Aksesori lainnya yang sangat khas adalah subang penghias telinga, subang penghias hidung, kalung, dan gelang yang dipakai pada lengan, pergelangan tangan, dan pangkal betis. Subang penghias telinga disebut jemcankan yang dibuat dari kayu fum atau dari semacam manik-manik biji tumbuhan dek atau omdu atau tisen.
Masyarakat Asmat, pun kebanyakan masyarakat asli Irian Jaya, konon, sangat mengagumi burung kakatua raja lantaran satwa ini nampak elok dan gagah. Maka untuk bisa tampil segagah burung yang elok itu mereka, terutama kaum lelaki, melubangi cuping tengah hidung mereka dan "menyumpalnya" dengan aksesori berupa benda yang terkadang berukuran lebih besar daripada lubang hidung, agar ujung hidung tertarik sehingga mancung dan melengkung seperti paruh kakatua raja. Kaum wanita Asmat, terutama istri panglima perang dan para tetua adat, menggunakan gulungan daun sagu atau daun nipah yang disebut bi awok sebagai penghias hidung mereka. Sedangkan para lelaki memakai bipane, aksesori yang dibuat dari kulit siput/ kerang yang dibentuk mirip bulan sabit atau ada juga yang menyerupai misai panjang gergulung. Bipane biasanya dipakai oleh panglima perang, pemukul tifa, penyanyi, dan kepala-kepala tungku (kepala keluarga luas).
Sebagai kalung, terutama saat melaksanakan upacara adat, kaum wanita dan lelaki Asmat memakai tisen pe, yang dibuat dari biji tumbuhan tisen. Atau pomak camkan yang dibuat dari anyaman daun sagu muda yang biasa dipakai saat pesta ulat sagu dan upacara patung mbis (patung leluhur). Kalung lainnya adalah juwursis (juwur = anjing), untaian gigi taring anjing yang dikombinasikan dengan taring babi hutan. Juwursis biasanya dipakai oleh panglima perang, pemimpin tungku (keluarga luas), penyanyi, dan pemukul tifa. Pada kebudayaan Asmat, juwursis merupakan benda yang bernilai tinggi, sehingga seringkali digunakan sebagai mas kawin seperti halnya kapak batu.
Sof betan atau sinenke adalah gelang untuk pangkal lengan dari anyaman rotan. Yang dikenakan pada pergelangan tangan, dari bahan yang sama, disebut betan. Sedangkan yang dipakai pada pangkal lutut dinamakan barok, dan diberi hiasan bulu burung kakatua atau burung bangau yang disebut panicep solme. Dulunya barok hanya dipakai oleh panglima perang, tapi sekarang dipakai juga oleh para tetua adat. Ada pula o effo yakni ekor babi hutan yang dililitkan di bagian pangkal tangan. Wanita yang mengenakan benda ini adalah istri dari orang yang gemar berburu babi hutan. 0 effo juga dipakai sebagai cerminan perasaan sukacita, sehingga bila saat berduka benda ini tidak ditampilkan. Ekor babi untuk o effo harus berasal dari babi hutan yang terkena perangkap (siso), bukan hasil buruan dengan bantuan anjing atau tombak.
Benda pakai yang juga kerap dijadikan pelengkap penampilan adalah noken, sejenis tas yang disandang di leher laki-laki atau di kening perempuan. Noken dibuat dari anyaman daun pandan dan pada salah satu sisinya diberi hiasan bulu sayap burung kakak tua atau bulu sayap burung bangau. Noken yang polos tanpa hiasan dipakai oleh wanita dan laki-laki kebanyakan sedangkan yang dibubuhi hiasan, biasanya dipakai oleh panglima perang, kepala adat, pemukul tifa, dan penyanyi pengiring upacara.
Sebagai masyarakat peramu yang hidup dari berburu, masyarakat Asmat, dituntut untuk mahir menggunakan senjata: pisau, panah, dan tombak. Begitu pentingnya fungsi senjata-bagi lelaki Asmat sehingga bukan hanya dipakai sebagai peralatan berburu belaka tapi juga sebagai alat pelengkap penampilan agar nampak berwibawa. Senjata yang hampir selalu disandang sebagai aksesori pada pelbagai upacara adat ialah pisuwe, semacam pisau belati dibuat dari tulang kering burung kasuari yang salah satu ujungnya diruncingkan dan pangkalnya dihias oleh bulu-bulu halus burung kasuari. Senjata ini diselipkan pada sinenke, dan biasanya disandang oleh panglima perang.
Senjata lainnya adalah tombak. Masyarakat Asmat mengenal beberapa jenis tombak dan masingmasing dinamai sesuai dengan bahannya. Tombak yang pertama kali digunakan dibuat dari kayu nibung yang dinamai ocan atau kamen. Tombak kayu besi dinamai viwu, dan tombak logam besi disebut frin. Ada juga jenis tombak khusus untuk berburu buaya, disebut vom. Kemudian panah yang disebut ces atau jimar. Busurnya dibuat dari jenis kayu bakau, panjangnya sekitar 1,5 meter. Anak panahnya agak beragam, yang dibuat dari kayu keras disebut fir, sowen, fum, dari bambu dinamai firokom, yang dari besi dikenal sebagai sok.
Dan, yang tak boleh dilupakan adalah wasse mbi, yakni rias tubuh berupa gambar corak hias garis sejajar atau liris yang sangat ekspresif di sekujur tubuh terutama saat melaksanakan upacara adat. Komposisi warna merah, putih, hitam, dan hijau tampil kuat pada latar kulit yang hitam berkilat. Warna merah berasal dari tanah merah yang diperoleh dari pegunungan Lorentz. Warna putih didapat dengan cara membakar kulit siput, kemudian ditumbuk hingga halus dan dicampur dengan air. Warna hitam dari arang pembakaran, sedangkan warna hijau dari dedaunan.

b. Busana Tradisional Masyarakat Dani
Istilah "Dani" digunakan oleh ekspedisi Sterling tahun 1926, sedangkan sebelumnya disebut "Ndani". Istilah "Ndani" berasal dari kata "Lani" yang digunakan oleh penduduk lembah Baliem Utara dan Barat, yakni masyarakat Moni dan Damal untuk menunjukkan suku tetangganya (masyarakat Dani). Secara etnis masyarakat Dani dikenal dalam dua kelompok yaitu Wita dan Waya. Masyarakat Dani sendiri menamakan dirinya "Nit Baliemege", artinya "Kami orang Baliem".



Busana Adat Masyarakat Dani
Ada beberapa jenis busana dan tata rias Masyarakat Dani yang sangat khas bila dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya di Irian Jaya, di antaranya koteka (holim), yokal dan sali.
• Koteka (Holim)

Koteka atau disebut juga holim adalah pakaian laki-laki masyarakat Dani dan Ekari. Busana penutup alat kelamin pria ini dibuat dari kalabasah, sejenis labu Cina. Buah labu yang sudah tua, dipetik lalu dikeringkan di perapian. Setelah kering, isi buah labu dikeluarkan, dikorek dengan kayu yang diruncingkan, kemudian dibersihkan. Setelah itu buah labu kembali dikeringkan di sekitar perapian. Ketika dikenakan, agar tidak jatuh, penutup kelamin pria ini diikatkan ke seputar pinggang dengan tali halus yang biasanya berwarna hitam. Ada dua ukuran koteka yakni holim kecil (halus) dan holim pendek besar.
Jenis koteka kecil terdapat di daerah lembah Baliem, terutama di Kecamatan Wamena Kota, Kecamatan Asologaima dan Kecamatan Kurulu. Ukuran bagian bawahnya sedang dan atasnya runcing. Kadang-kadang bagian ujungnya diberi hiasan bulu burung atau bulu ayam hutan. Hiasan itu untuk menimbulkan daya tarik bagi kaum perempuan. Jenis holim ini halus, berwarna kuning kemerah-merahan.
Sebagian masyarakat Dani mengenakan koteka yang ukurannya pendek dan besar. Kalabasah yang berdiameter relatif besar itu dipotong hampir setengahnya sehingga ujungnya bolong (terbuka) yang ketika dipakai biasanya bolong itu ditutup dengan daun. Banyak kemudian yang menambahkan semacam sekat di antara pangkal dan ujung "selongsong" koteka bolong itu untuk tempat menyimpan benda-benda yang dianggap keramat atau bendabenda yang dianggap bernilai tinggi, misalnya "uang merah" (eka merah). Sedangkan jenis holim besar terdapat di lembah Baliem, Ilaga, Tiom, Yalimo, Apalahapsili, Welarak, Kosarek, dan Oholim.
Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya koteka, menandakan bahwa pemakainya adalah "pria sejati". Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka, belum pernah melakukan persebadanan. Miring ke samping kanan: simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. "Kanan" menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memimpin, dan pengayom rakyat. Miring ke samping kiri: bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur).
Holim sebagai pakaian sehari-hari digunakan dalam seluruh kegiatan keseharian, seperti waktu mengerjakan ladang, saat berada di honai, ketika berternak babi. Dalam perkembangannya fungsi dan kegunaan holim mulai digantikan dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari tekstil. Namun dalam kegiatan tertentu, upacara adat misalnya, mereka menggunakan holim sebagai pakaian adat sekaligus sebagai perlengkapan upacara.
• Yokal
Sejenis rok wanita masyarakat Dani yang dibuat dari serat tali hutan (tumbuhan rambat) yang dipintal dengan rapi, disebut yokal. Biasanya yokal berwarna hitam, kuning, dan kemerah-merahan. Bahan pewarna tersebut didapat dari getah kulit atau bunga anggrek. Yokal biasanya dikenakan oleh wanita dewasa yang sudah menikah.
Yokal digunakan sehari-hari untuk melakukan pelbagai pekerjaan, seperti mengerjakan kebun, menyiapkan makanan, memelihara babi, mengasuh anak, menjual hasil pertanian, bepergian, termasuk saat mengikuti upacara adat. Yokal melambangkan wanita pemakainya sudah tidak gadis lagi atau wanita yang telah menikah.
Yokal dibuat dari kulit kayu wam. Kulit kayu tersebut dikelupas dari batangnya, diambil seratnya kemudian dikeringkan pada perapian atau dijemur pada panas matahari. Selanjutnya dipintal dan dirajut menjadi rok. Diwarnai dengan getah kulit atau bunga anggrek. Pekerjaan ini biasanya dilakukan wanita dewasa.

• Sali
Pakaian sehari-hari anak gadis masyarakat Dani adalah sali yang dibuat dari bahan serat kem atau dari sejenis daun pandan. Seperti proses membuat yokal, bahan tersebut dijemur atau diasapi, setelah kering dianyam pada seutas tali sepanjang seputar pinggang. Sali dipakai dengan cara melilitkannya ke seputar pinggang dan menyimpulkan kedua ujung tali penahannya pada bagian perut (pusar). Sali dipakai sehari-hari oleh anak gadis, misalnya saat ke ladang, ke sekolah, ke gereja. Sali mengisyaratkan pemakainya masih gadis.

Tata Rias Masyarakat Dani
Yang lebih banyak merias diri pada masyarakat Dani adalah kaum laki-laki. Pada tubuh para lelaki nampak lebih banyak aksesori ketimbang yang dikenakan para perempuan. Konon, karena para lelakilah yang lebih kerap tampil ketika harus berinteraksi dengan masyarakat di luar kelompoknya. Oleh karena itu aksesori yang digunakan mengandung makna simbolik sekaligus menunjukkan identitas pemakai maupun masyarakatnya.
Aksesori yang dikenakan para wanita Dani, sehari-hari atau saat upacara adat, antara lain: sekan yaitu gelang yang dibuat dari rotan, dikenakan pada lengan maupun pergelangan tangan. Noken (su labak yapma) yaitu sejenis tas dibuat dari serat kulit kayu yang dianyam menyerupai karung. Biasanya seorang wanita Dani mengenakan sejumlah noken yang digantungkan pada kening dan berjuntai ke punggungnya hingga menutup bagian pinggul. Selain sebagai aksesori, noken berfungsi untuk menyimpan dan mengangkut bahan makanan, gendongan bayi, juga untuk membawa babi. Sedemikian besar fungsinya, sehingga seorang wanita Dani biasanya membawa beberapa noken dengan isi yang berlainan. Noken juga dipercaya sebagai simbol kehidupan dan kesuburan.
Perlengkapan merias diri kaum lelaki masyarakat Dani yang dikenakan saat upacara dan aktivitas sehari-hari lainnya, antara lain: swesi, sejenis topi berbentuk bulat dibuat dari bulu burung. Siluki inon, topi dari bulu kuskus warna hitam, yang melambangkan kemahiran berburu dan keberanian. Sekan, gelang anyaman rotan yang dipakai pada lengan maupun pergelangan tangan. Walimo yaitu hiasan dada, dibuat dari anyaman serat kulit kayu yang ketika dikenakan akan nampak seperti dasi. Pada sepenuh permukaan walimo ditempelkan, berderet-deret dan disusun rapi, puluhan rumah siput kecil yang dianggap mampu mendatangkan kekuatan gaib. Benda laut ini didatangkan ke daerah pegunungan melalui sistem barter. Wam maik adalah aksesori dengan bahan taring babi. Dibuat berupa untaian sebagai kalung, atau dibentuk menjadi pipih dan diselipkan pada cuping hidung bagian tengah yang dilubangi sehingga mirip seperti misai panjang. Akseori ini biasanya warisan turun-temurun dari nenek moyang. Ngisi adalah rambut yang dianyam rapi dan dilumuri dengan lemak babi. Ngisi mengisyaratkan pemuda yang telah siap untuk menikah. Wali moken sebutan untuk kulit kerang yang diikat hingga seolah menempel pada dahi seorang laki-laki. Banyaknya kulit kerang menunjukkan jumlah musuh yang dibunuhnya dalam perang suku. Cipat, kalung berupa tali penangkal guna-guna. Wayeske, anak panah dan busur, senjata ampuh pria sejati Dani. Mul, semacam "baju besi" dibuat dari serat rotan yang dianyam rapat sehingga berfungsi sebagai perisai dari tusukan anak panah dan tombak. Sege adalah tombak panjang yang melambangkan pria sejati.

2.4.3. TARIAN ADAT
Lewat tarian upaya menumbuhkembangkan semangat nasionalisme dan kebangsaan dapat dilakukan yang juga merupakan suatu bentuk keseriusan mempertahankan nilai - nilai kultural dan budaya masyarakat di tengah gencarnya arus globalisasi saat ini. Papua memiliki beberapa tarian adat, diantaranya:
a. Tarian Yosim Pancar atau Yospan
Yospan merupakan salah satu tarian adat irian jaya, yospan juga merupakan tarian adat yang sering dipakai dalam kondisi-kondisi penting. yospan juga merupakan tarian persahabatan masyarakat papua. Dalam pementasan yosim, yang berasal dari Yapen-Waropen, para penari juga mengajak serta warga lainnya untuk hanyut dalam lagu-lagu yang dibawakan kelompok penyanyi berikut pemegang perangkat musiknya.
Perangkat musik yang digunakan sangat sederhana, terdiri dari cuku lele dan gitar yang merupakan alat musik dari luar Papua. Juga ada alat yang berfungsi sebagai bas dengan tiga tali. Talinya biasa dibuat dari lintingan serat sejenis daun pandan yang banyak ditemui di hutan-hutan daerah pesisir Papua.
Selain itu, ada alat musik yang disebut kalabasa. Alat ini terbuat dari labu yang dikeringkan kemudian diisi dengan manik atau batu kecil.


b. Tarian Perang
Tarian perang sering digunakan apabila ada upacara-upacara adat tertentu. Dalam tarian ini, para penari membawa senjata busur dan anak panah. Tubuh penari laki-laki dirias dengan relief fas-fas karerin (lukisan relief) asal wilayah kebudayaan Teluk Sarera. Wajahnya dirias dengan kapur putih dan ramuan alam berwarna merah. Sementara penari wanita mengenakan rok rumput yang terbuat dari umbut daun-daun rumbia (sagu).
Penari pria memperagakan penculik gadis yang bersama-sama teman-teman tengah berada di ladang umbi jalar. Kabar pun tersiar ke desa. Lalu, datanglah bala bantuan menyerang suku kelompok pria.
Mereka saling melepaskan panah dan banyak jatuh korban. Mereka ingin anak gadisnya dikembalikan. Tapi tak kunjung tiba. Akhirnya lahir penyesalan dan pimpinan kepala suku yang dalam bahasa Mee disebut Tonowi bersepakat untuk berdamai.
Gerakan tari yang hanya bertumpuh pada kaki, pekikan histeris diiringi tabuhan tifa (gendang), iringan gitar dan tiupan Tabura (alat musik dari kerang laut).
Tari perang itu, kata Ketua Dewan Kesenian Nabire, Agust Totago sebenarnya kisah tentang kepala suku (Tonowi-bahasa Ekari) yang saling mempertahankan harkat dan martabat kaum perempuan. Perang selalu mengakibatkan jatuh korban. Penyesalan terjadi dan diakhiri dengan pesta bakar batu. Di saat itu, ribuan ternak babi harus disembelih untuk dimasak dan makan bersama. Perang usai dan kehidupan kembali penuh damai dan persaudaraan.
c. Tarian Gatsi
Tarian gatsi adalah tarian adat suku marind yang merupakan suku asli kota merauke. tarian ini biasanya digunakan pada acara-acara tertentu seperti upacara-upacara adat maupun acara-acara penting lainnya. Alat yang biasanya dipakai megiringi tarian ini adalah Tifa, Jukulele.
d. Tarian Lemon Nipis
Tarian Lemon Nipis adalah tarian pergaulan yang terdapat di daerah Sami dan sekitarnya hingga ke Jayapura.
e. Sekise
Di kawasan pegunungan tengah Papua, seperti di daerah Wamena dan sekitarnya, ada pula yang disebut Sekise yang juga merupakan tarian pergaulan di Papua.
f. Tari Ular

Tari Ular adalah tarian yang dilakukan oleh warga Pigapu yang merupakan penghormatan -- bukan pemujaan -- terhadap leluhur yang menurunkan sejarah asal-usul warga Pigapu. Oleh karena itu, masyarakat Pigapu menganggap tarian ini sakral dan keramat. Banyak syarat yang diberlakukan di sepanjang proses berlangsungnya pergelaran tari ini. Termasuk di antaranya tidak sembarang orang boleh turut ambil bagian dalam kegiatan tertentu pada proses awal hingga berakhirnya tarian ini.
Mengapa ular yang dipilih?
Hal ini karena dahulu ada leluhur orang Pigapu bernama Mapuru Puau. Pada masa kecilnya, kehidupan Mapuru Puau sungguh menyedihkan. Ia kerap kelaparan dan untuk makan harus menunggu belas kasihan orang lain. Untunglah banyak warga desanya yang menyayangi Mapuru Puau.
Tanpa menyebutkan keadaan hidupnya saat beranjak remaja dan dewasa, kisah hidup Mapuru Puau lalu melompat ke saat ia telah beristri. Seperti keluarga-keluarga Komoro lainnya, Mapuru Puau dan istrinya kerap pergi ke hutan untuk memangkur sagu. Suatu hari ketika keduanya sedang memangkur sagu, Mapuru Puau terpisah dari istrinya karena ia ditangkap oleh seekor ular yang amat besar. Ular itu melilit tubuhnya. Sang ular berjanji akan melepaskan lilitannya bila Mapuru Puau bersedia tidak menyantap suatu jenis ikan seumur hidupnya.
Mapuru Puau akhirnya dibebaskan oleh ular dan kembali ke istri dan kampungnya. Namun sayang, suatu kali ia lupa akan janjinya kepada ular dan melanggar pantangan tersebut. Akibatnya ia pun meninggal.
Menurut kepala suku masyarakat Komoro di Pigapu, Yohannes Mapareyau, Mapuru sebetulnya tidak meninggal melainkan menghilang di suatu tempat yang kini persisnya berada di tepi jalan aspal yang menghubungkan Mapuru Jaya dan Timika. Lokasinya ditandai dengan undak-undakan semen dari tepi jalan tersebut.
Di tempat sejarah -- begitu tempat hilangnya Mapuru Puau ini biasa disebut -- itulah Yohanes datang menghadap leluhurnya. Ia meminta izin dan memohon keselamatan kepada leluhur agar Tari Ular yang digelar tiga hari lagi berlangsung lancar tanpa aral melintang. Yohannes menyampaikan permohonannya dengan suara lantang kepada Mapuru Puau yang diyakini berada di suatu tempat di hutan di seberang kali yang ada di hadapannya.
Prosesi yang dilakukan keesokan harinya adalah mencari kayu untuk patung ular yang akan dibawa dalam tarian. Mereka yang boleh mengambil kayu dan mengukirnya hanyalah orang-orang yang dipercaya sebagai pemegang adat. Dalam hal ini, pemegang adat adalah keturunan langsung Mapuru Puau. Bila hal ini dilanggar, pelakunya bisa jatuh sakit atau mengalami kesusahan dalam hidupnya. Rombongan pencari kayu patung pada hari itu dipimpin oleh Liborius yang mengaku sebagai keturunan ke-12 Mapuru Puau.
Lokasi pohon yang dituju tidak jauh, masih di wilayah hutan Pigapu sendiri. Kayu yang akan diambil adalah Kaukurako, sejenis kayu ringan yang berwarna putih. Sebelum Liborius menebang, ia meletakkan tembakau dan daun sirih sebagai semacam persembahan bagi leluhur. Dengan suara lirih, ia menjelaskan maksud kedatangannya kali itu. Dari pohon setinggi kurang lebih 10 meter, kayu yang diambil untuk patung hanya sekitar 1,5 meter saja.

Merakit ular
Pengukiran kayu menjadi patung ular kali ini berlangsung di rumah panggung besar, tempat pusat kegiatan Kamoro Kakuru biasa berlangsung. Saat patung ular itu dibuat, masyarakat diizinkan menyaksikannya. Bahkan pada saat bersamaan, di rumah panggung itu, sejumlah pengukir Komoro di Pigapu mempertunjukkan keahlian mengukir mereka. Kanisius Tarsisius Maneyau membuat perisai sementara Yosep Moyap membuat tongkat. Di sisi lain, istri Yosep, Pan Gratia, asyik menganyam tikar.
Liborius membentuk kepala ular dengan bantuan adik dan keponakan-keponakannya. Mereka saling berbagi tugas. Ada yang memotong-motong kawat (dari jeruji payung rusak) untuk gigi, mengeluarkan bubuk elektrolit hitam dari batu baterai untuk mewarnai tubuh ular, ada pula yang memotong bagian positif baterai untuk dijadikan mata sang ular.
Di sisi lain, tampak kesibukan orang-orang yang menjahit dan menyambung karung-karung plastik. Karung ini akan dibentuk menjadi selongsong tubuh ular setelah diisi dengan serpihan kayu gergajian.
Bila bagian-bagian tubuh ular bisa dipasang atau dirakit beberapa hari sebelum tarian dipertunjukkan, tidak demikian halnya dengan bagian mata ular. Bagian ini justru dipasang paling akhir, beberapa saat menjelang pergelaran tari. "Mata melambangkan kehidupan," jelas Liborius. Ketika mata dipasang ke patung ular, roh ular itu diyakini akan hidup dan mengikuti warga.
Karena tarian baru digelar dua hari kemudian, patung ular tanpa mata ini disimpan lebih dulu. Penyimpanan dilakukan oleh pemegang adat saja.




Hari keramaian
Pergelaran tarian khusus atau ritual tertentu merupakan salah satu saat bagi warga setempat untuk mengenakan pakaian-pakaian tradisional serta hiasan khas mereka. Bukan saja para penari yang hadir di tempat acara melainkan juga warga yang sekadar menonton. Di berbagai penjuru dekat lokasi rumah besar, tampak sejumlah warga masih asyik menghias diri. Kaum perempuan berkumpul dengan sesamanya, begitu pula dengan kaum lelaki. Satu sama lain tak segan saling membantu rekannya berhias.
Jangan bayangkan aksesori mereka diperoleh dari tempat-tempat khusus. Bahan-bahan aksesori itu justru bisa didapatkan dengan mudah dari alam di sekitar mereka. Mereka sama sekali tidak perlu membelinya, dan mampu membuat sendiri semuanya.
Hiasan kepala dari bulu burung kasuari dan cendrawasih, misalnya, berasal dari burung yang berhasil mereka tangkap sendiri. Hiasan lainnya berupa kain aneka corak yang digunakan sebagai hiasan cawat, cawat/bawahan dari daun sagu yang telah dikeringkan, serta janur daun sagu yang dililitkan di kepala, tangan maupun kaki. Tak ketinggalan, sajah dan bagian tubuh lainnya dilumuri kapur putih dan tanah merah. Tidak ada arti khusus dari hiasan-hiasan tersebut.
Untuk kaum perempuan, mereka tak lupa memanfaatkan bunga warna cerah yang ditemui di tepi jalan saat menuju lokasi tarian. Warna merah bunga sepatu ini tampak kontras saat menjadi hiasan di rambut mereka.
Sebelumnya, sebagai tanda di situ ada acara, seseorang meniup sepotong buluh yang mengeluarkan suara lenguhan keras. Mbiti, demikian nama alat itu, memang serbaguna. Selain mengundang kehadiran warga, mbiti kerap dipakai orang-orang yang pergi ke hutan untuk memanggil anggota keluarga mereka pulang karena sore telah tiba.
Sesaat menjelang tarian, Liborius memasuki kamar penyimpanan patung ular untuk memasangkan bagian matanya. Di luar rumah panggung, tifa ditabuh bertalu-talu diiringi pekikan berirama. Kaum perempuan mulai mendekati lokasi sambil menari. Kedua kaki mereka digerakkan ke kiri ke kanan sesuai irama tifa.
Saat ular dikeluarkan, sosoknya sekilas seperti hidup. Warna hitam sisiknya terlihat begitu mengilat. Lidah merah yang terbuat dari pita plastik merah tampak menjulur dari mulut ular. Suasana berubah senyap. Bahkan sayup-sayup terdengar suara perempuan menangis. "Dia teringat pada penderitaan Mapuru Puau saat tersiksa oleh belitan ular," bisik Yohannes saat melihat warganya sedang mengucurkan air mata itu.
Hanya pemegang adat yang boleh membawa ular tersebut. Selanjutnya, tarian ular yang digelar menggambarkan sejarah orang Pigapu.
Orang Pigapu meyakini merekalah pemilik sejarah terbesar dan, terlengkap mengenai asal-usul mereka. Meski demikian, pada kunjungan ke Desa Kaugapu di Kecamatan Mapuru Jaya beberapa hari sebelumnya, kami menemukan adanya keyakinan serupa bahwa warga desa itu juga keturunan Mapuru Puau.
Setelah tarian selesai dipertontonkan, ular itu disimpan kembali. Menurut adat orang Pigapu, patung ular yang pernah dimainkan tidak boleh disimpan selamanya. Tubuh ular kemudian dipreteli hingga sosoknya sebagai ular tak bersisa lagi.
Keesokan harinya, Liborius datang mengambil ular, mengambil matanya lalu menguburkan tak jauh dari tempat acara tarian dipergelarkan kemarin. Tak lupa ia kembali memasukkan tembakau bersama potongan tubuh ular sebelum menguburnya. Ia kemudian membaca doa pengantar roh supaya kembali ke rumahnya semula di tempat sejarah.

2.4.4. UKIRAN ASMAT

Asmat terkenal dengan seni ukirnya baik didalam negeri maupun diluar negeri. Ukiran Asmat mempunyai arti tersendiri karena simbol ukiran mengandung motip-motip yang menggambarkan rupa manusia. Disamping itu fungsi simbol dikatikan dengan kepercayaan roh-roh nenek moyang dan mempunyai pengaruh dalam kehidupan manusia. Ada beberapa fungsi dari ukiran orang Asmat, antara lain :
- Melambangkan kehadiran roh-roh nenek moyang
- Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia
- Sebagai suatu lambang kepercayaan (motif manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lain)
- Sebagai lambang keindahan yang mempengaruhi sikap keluarga dan masyarakat.
- Sebagai gambaran ingatan kepada nenek moyang.
Fungsi-fungsi simbol yang disebut diatas adalah unsur-unsur dalam ukiran orang Asmat yang ditambah dengan psikologi agama. Disamping itu orang Asmat juga mengukir topeng-topeng untuk diletakkan pada acara-acara pesta khusus. Tujuan dari ukiran orang Asmat adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai suatu kebutuhan pokok manusia sehingga kelihatan lebih detail bahwa tujuan terakhir mereka adalah kelanjutan dari hidup dan kebahagiaan manusia. Ini adalah suatu motivasi dasar bagi orang-orang Asmat untuk mengukir, karena seni mengukir diperlakukan untuk mengisi kebahagiaan hidup manusia.
Asmat : adalah berasal dari kata AS AKAT, yang menurut orang Asmat: MANUSIA EBTUL. Ada mengatakan bahwa ASMAT berasal dari kata OSAMAT yang berarti MANUSIA DARI POHON. Lain lagi dari suku tetangganya di bagian barat yaitu Suku Mimika yang menyebutkan orang ASMAT: �MANUE� yang berarti MANUSIA UNTUK DIMAKAN atau PEMAKAN MANUSIA. Orang Asmat memiliki seni budaya yang unik dan sangat tinggi nilainya, antara lain :
a. Seni ukir
b. Seni tari
c. Kerajinan tangan seperti: noken-noken, pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu.
d. Upacara-upacara adat seperti:
• Pesta pembuatan Patung MBIS (MBIS yaitu patung orang atau leluhur yang telah meninggal dunia)
• Pesta EMAK-Cem (Emak yaitu Rumah Tulang) yang merupakan upacara Inisiasi.
• Pesta Ulat Sagu, dll.
Yang mempunyai ini adalah untuk menghormati dan memenuhi keinginan arwah dan para leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal dunia.
Untuk mencapai Asmat harus melalui pesawat udara berukuran kecil seperti Twin Otter atau juga dengan kapal carteran dari kota Merauke. Di Asmat setiap wisatawan yang datang berkunjung senantiasa disambut dengan gembira dan dengan upacara adat.
2.4.5. UKIRAN KAMORO
Ukir-ukiran adalah salah satu bentuk karya seni yang dibuat oleh bangsa Kamoro yang mulai mendapat tempat di hati para pencinta keindahan budaya adat. Tidak hanya pada benda-benda yang diperlukan untuk acara-acara ritual mereka, berbagai ukiran itu juga hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka. Karena itu, ukiran Kamoro dapat dipilah berdasarkan beberapa kategori.
Ukiran yang boleh dibilang berukuran paling besar adalah mbitoro. Ini adalah ukiran berupa tiang besar yang tingginya bisa mencapai 10 meter. Bahan mbitoro memang diambil dari pohon besar. Bagian akarnya diukir sebagai bagian atas patung, sedangkan ujung batang nantinya ditanam ke tanah. Ukiran pada mbitoro biasanya memuat wajah manusia penting yang belum lama meninggal. Jumlah wajah yang diukir bisa 1-3 orang. Mbitoro yang kami temui di Desa Kaugapu, Kecamatan Mapuru Jaya, melukiskan wajah Paulus Kapirapu, kepala suku desa itu yang meninggal sekitar 2 tahun silam. Mbitoro juga dihiasi ukiran hewan legendaris dalam sejarah bangsa mereka serta motif-motif simbolis seperti mata yang merupakan lambang kehidupan. Mbitoro biasanya ditegakkan di bagian depan rumah adat yang khusus dibangun saat berlangsung pesta inisiasi anak-anak Kamoro (karapao). Mbitoro diukir agar roh orang yang wajahnya diukir bisa mengikuti upacara karapao atau ritual lainnya.
Ukiran lainnya adalah yamate (perisai). Perisai yang diukir saat ini tidak lagi fungsional sebagai tameng untuk menangkal serangan senjata musuh. Yamate berubah menjadi benda dekoratif karena ukirannya tembus dari bagian depan ke belakang.
Bangsa Komoro juga membuat wemawe, ukiran manusia, menggambarkan tentang nenek moyang mereka. Ciri khas wemawe Kamoro adalah ukiran berupa manusia dalam posisi siku berada di atas lutut, dan wajah-wajah dengan potong dagu kubistis.
Eme, atau alat musik tifa yang dekat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Kamoro juga tak luput dari hiasan ukiran. Gendang orang Kamoro ini berbentuk seperti jam pasir dengan bagian tengah yang mengecil dan salah satu ujungnya ditutup dengan kulit biawak. Kulit gendang kemudian dipulas getah damar di beberapa titik untuk mengukur suara gendang yang dinginkan. Agar gendang bersuara lebih nyaring, bagian kulit dipanaskan hingga kulit biawak tertarik kencang.
Yang menjadi pembeda suatu tifa adalah pegangannya. Selain keindahan motif ukiran di bagian tubuh tifa, ukiran di bagian ini amat diperhatikan oleh mereka yang tahu seni gendang Komoro. Bentuk pegangan berbeda-beda, mulai dari bentuk manusia hingga hewan. Gendang terbaik terbuat dari kayu besi yang padat. Ukurannya mulai dari sekitar 60 cm hingga lebih dari 1 meter. Meski saat ini telah tersedia lem kuat buatan pabrik, orang Kamoro masih sering menggunakan lem tradisional berupa hasil remasan buah mangi-mangi. Jangan terkejut bila sewaktu-waktu Anda mengetahui kulit tifa itu terbuat dari darah pengukirnya. Bagi orang Kamoro, darah manusia adalah lem dengan daya rekat paling hebat.
Jenis ukiran lain yang belakangan hadir adalah otekapai (tongkat). Menurut Kal Muller, ukiran pada tongkat baru muncul sekitar tiga perempat abad silam. Di sinilah bisa ditemukan motif maupun pola khas orang Kamoro.
Karya seni lain yang kerap digunakan dalam upacara ritual yang sudah hampir terlupakan adalah mbikao (topeng). Karya yang tidak diukir ini berupa topeng besar yang dikenakan di atas kepala dan pundak saat upacara ritual berlangsung. Tujuan utama pembuatan mbikao adalah untuk menimbulkan rasa takut, terutama terhadap musuh. Mbikao terbuat dari jalinan kepingan kulit pohon kembang sepatu dan rotan. Terbuat dalam berbagai bentuk, mbikao dianggap Kal sebagai bentuk paling menakjubkan dari karya Kamoro.
Hasil seni ukir juga terdapat dalam peralatan rumah tangga dan kebutuhan hidup sehari-hari bangsa Kamoro, misalnya pada perahu serta dayungnya. Yang menarik, dayung yang digunakan untuk kaum lelaki dan perempuan berbeda karena cara mendayung mereka yang berbeda. Dayung untuk kaum perempuan diukir pada bagian cembungnya, sementara untuk kaum lelaki, ukiran berada di bagian cekung.
Menarik pula bila kita sempat menyimak kerajinan anyaman yang dibuat oleh kaum ibu. Maria, istri Sekretaris Desa Pigapu, mengatakan dulu anak perempuan di sukunya tidak diizinkan menikah sebelum terampil menganyam. Namun, tradisi ini telah terkikis habis dan anak-anak perempuan kini bebas untuk menikah tanpa diembel-embeli syarat tertentu.
Anyaman mereka ada yang halus dan ada pula yang kasar. Anyaman kasar biasanya muncul saat membuat tikar alas tidur mereka. Sedangkan anyaman yang lebih halus biasa dibuat sebagai benda-benda kerajinan untuk dijual seperti tas atau keranjang. Agar lebih menarik lagi, anyaman halus ini mereka imbuhi hiasan bulu burung kasuari yang berwarna hitam serta bulu-bulu burung berwarna lainnya.

2.4.6. SENJATA TRADISIONAL
a. Tombak

Lembing yang dipakai khusus pada upacara. Di berbagai titik lembing bagian tangkainya terdapat hiasan berupa ukir-ukiran dengan motif yang diulangi terus menerus. Di sekitar tangkai bagian tengah bentuk tangkai agak melebar menyerupai daun dayung dengan beberapa ukir-ukiran ajour motif yang diulangi terus menerus seakan-akan tercermin pada porosnya. Lembing pada bagian paling bawah dan paling lebar dikitari bahan logam yang mungkin diaplikasi di kemudian hari.


b. Panah

Busur terbuat dari kayu tua serta seperangkat panah berjumlah sebelas. Di antaranya terdapat dua panah dengan mata panah terbuat dari bambu. Yang lain terbuat dari kayu dan berpengait-pengait kecil. Beberapa batang panah didekorasi.

c. Pisau belati
Pisau belati terbuat dari tulang berukiran pola geometris. Pada ujung tulang terdapat jala yang dirajut dengan untai-untai biji-bijian yang dicantolkan kepadanya. Pada setiap ujung untai terdapat rumbai-rumbai terbuat dari bulu kasuari.
















2.4.7. ALAT MUSIK TRADISIONAL
a. Gendang/tifa

Gendang berbentuk jam pasir terbuat dari kayu. Ada yang dari kayu yang berwarna hitam, kayu berwarna merah kecoklatan, kayu berwarna tua, kayu berwarna muda, ada juga yang dari sebilah kayu utuh. Bagian pegangan gendang dibentuk ukiran sosok manusia yang seakan-akan memeluk gendang dengan semua anggota badannya. Kepala manusia tidak ada. Semua anggota badan manusia tersebut dihiasi dengan ukir-ukiran bermotif. Oleh si penderma pernah dipasang ulang kulit baru dari kulit lembut dan di berbagai tempat lain dipasang anyaman tali raffia.

b. Harpa mulut

Harpa mulut terbuat dari bahan bambu. Dibuat dua lubang irisan sepanjang sepotong batang bambu sampai di bagian simpulnya. Lubang irisan di tengah adalah yang terpendek dan tersempit. Bagian sisi harpa yang tersempit digulung dengan tali serat, mungkin serat kulit kayu, agar keseluruhan alat tetap utuh tak berantakan. Pada sisi harpa yang terlebar terpasang seutas tali pendek untuk menghasilkan nada-nada bervariasi. Harpa mulut ditempatkan di mulut dan harus ditiup untuk menghasilkan bunyi. Di masa lampau fungsi sebuah harpa mulut adalah untuk memberitahukan kepada seorang gadis bahwa dia sedang digemari.

c. Snelhoorn

Snelhoorn' terbuat dari tangkai bambu yang tebal, dengan dua ujung lancip di bagian bawahnya. Seluruh bagian 'terompet' dihiasi motif timbul. 'Snelhoorn' di masa lampau digunakan untuk menakuti musuh. Setelah dihapusnya 'perjalanan mengayau 'snelhoorn' digunakan sebagai peralatan pada tari-tarian.


2.4.8. MAKANAN KHAS

Papeda atau bubur sagu, merupakan makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua. Makanan ini terdapat di hampir semua daerah di Maluku dan Papua.
Papeda dibuat dari tepung sagu. Pembuatnya para penduduk di pedalaman Papua. Tepung sagu dibuat dengan cara menokok batang sagu. Pohon yang bagus untuk dibuat sagu adalah pohon yang berumur antara tiga hingga lima tahun.
Mula-mula pokok sagu dipotong. Lalu bonggolnya diperas hingga sari patinya keluar. Dari sari pati ini diperoleh tepung sagu murni yang siap diolah. Tepung sagu kemudian disimpan di dalam alat yang disebut tumang.
Papeda biasanya disantap bersama kuah kuning, yang terbuat dari ikan tongkol atau ikan mubara dan dibumbui kunyit dan jeruk nipis.

2.4.9. KAPAK BATU

Kapak batu adalah alat yang untuk sekarang ini mungkin menjadi barang aneh, tapi itu adalah alat nenek moyang bangsa di pedalaman papua untuk menebang dan membelah kayu, dengan alat ini mereka bisa membuat rumah-Honai, pagar untuk kebun, kayu bakar dan juga untuk memotong daging.

2.4.10. POTONG JARI

Salah satu budaya yang terdapat di Papua adalah potong jari. Potong jari ini biasanya di lakukan saat keluarga atau kerabat terdekat mereka meninggal, biasanya anak, orangtua dan saudara kandung. Itu adalah suatu cara yang ditunjukkan oleh mereka untuk mengungkapkan kasih sayang dan kepedihannya. Rasa sakit saat memotong jari itu dirasakan sama seperti saat sakit yang mereka rasakan saat kehilangan orang yang paling mereka sayangi.

2.4.11. TUSUK HIDUNG

Tusuk hidung untuk kami laki-laki Wamena adalah simbol laki-laki, hiasan di hidung ini merupakan simbol-simbol kejantanan bagi kami. Biasanya hidung yang sudah berlubang akan memudahkan untuk melengketkan taring babi disebelah kiri dan kanan. Hal itu adalah simbol keberanian bagi kami laki-laki Wamena.


2.4.12. BAKAR BATU

Bahan makanan yang biasa dimasak oleh masyarakat Papua adalah wam (babi), Hipere (ubi jalar), dan sayur-sayuran. Mereka biasanya melakukannya bersama-sama satu kampung, dalam kampong Honai. Akan tetapi cara masaknya tidak seperti cara masak biasa yang menggunakan kompor atau di tungku biasa. Mereka memasak dengan menggunakan batu, sehingga disebut “Bakar Batu”. Caranya sangat sederhana, pertama-tama dipilih batu kali yang bulat-bulat terus tumpuk dalam satu lubang berukuran 1 x 1 meter. Kemudian bakar batunya menggunakan kayu dan rumput-rumput sampai merah menyala sekitar 4-5 jam. Lalu setelah batu panas taruh daging babi yang sudah di potong diatasnya, terus tutup dengan sayur-sayuran dan ubi-ubian. Makanan ini akan masak dari panas batu yang dibakar, makanya disebut "Bakar Batu".
Biasanya untuk acara-acara adat tertentu seperti adat marind, sagu diolah menjadi sagu ZEP. Sagu Zep adalah sagu yang dibakar dan ditutupi dengan beberapa lembar daun pisang dan beberapa daging babi,rusa atau saham yang sudah dibersihkan dan dipotong-potong terlebih dulu.


2.4.13. Lagu Daerah Papua
a. Yamko Rambe Yamko
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Hongke hongke hongke riro
b. Apuse
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Arafabye aswarakwar
Arafabye aswarakwar

2.3.14. Cerita Rakyat Papua
1.) Memecah Matahari
Sinopsis :
Di timur provinsi Papua ada sebuah kepulauan kecil yg sangat aneh. Pulau itu selalu diliputi kegelapan, cahaya matahari tidak sanggup menembus pulau itu. Matahari tidak melintas di atas kepala tetapi di seberang langit. Penduduk melihat matahari hanya sebentar, karena setelah itu tenggelam. Dengan demikian terang sangat pendek dan kegelapan seperti malam sangat panjang. Disana tinggal seorang pemuda bernama Rangga. Rangga tidak sabar untuk menghadapi suasana gelap. Dia ingin mengubah suasana kegelapan yg selama ini menyelimuti desanya.Dalam hatinya sering muncul pertanyaan, Mengapa matahari bersinar sangat singkat? Rangga pun mengajak para pemuda di desa itu untuk melaksanakan niat memecah matahari. “Teman-teman, kita harus berusaha untuk membuat pulau kita ini menjadi terang,” kata Rangga pada para pemuda di desanya. “Ini sudah takdir Rangga, kita tidak bisa mengubahnya karena ini adalah keadaan alam yg mesti kita terima,” jawab para pemuda itu. Tapi ada beberapa orang pemuda yg akhirnya mendekati Rangga dan bertanya, “Jelaskanlah pada kami gagasanmu yg sesungguhnya, Rangga.”“Aku ingin memecah matahari. Sekarang yg kita perlukan adalah mencari lembing ajaib untuk memecah matahari,” jawab Rangga dengan lantang. Mendengar jawaban Rangga yg lantang dan penuh keyakinan, maka beberapa pemuda itu pun mulai terpengaruh dan bersedia ikut bersama Rangga pergi mencari lembing ajaib. Rangga dan beberapa pemuda tadi berusaha mendapatkan lembing ajaib dengan cara berpuasa dan bersemedi di dalam hutan. Hari demi hari mereka lalui, tapi para pemuda itu tidak tahan akan rasa lapar dan banyaknya godaan yg mereka temui ketika bertapa dan berpuasa. Akhirnya hanya tinggal Rangga sendiri saja yg terus melanjutkan pertapaannya. Pada hari ketujuh bersemedi, tiba-tiba muncul di hadapan Rangga seorang peri yg cantik. Tangannya membawa sebuah lembing panjang sambil mendekati Rangga. “Hai Rangga, apa yg kalian cari di dalam hutan ini?”. “Aku sedang bersemedi untuk mendapatkan lembing ajaib untuk memecah matahari supaya pulau tempatku tinggal tidak lagi diliputi kegelapan,” jawab Rangga. “Inilah lembing ajaib yg kamu cari. Terimalah ini. Jangan mundur selangkah pun bila maksudmu belum terlaksana. Bawalah lembing ajaib ini, namun ini baru langkah awal bagimu untuk mendapatkan lembing ajaib yg sesungguhnya karena lembing ajaib yg sesungguhnya di miliki oleh Si Pencuri Ulung,” ujar peri tersebut “Pencuri Ulung?”, tanya Rangga kebingungan. “Ya, Pencuri Ulung adalah makhluk jahat yg suka mencuri hasil sadapan Nira dari pohon kalian,” ujar peri itu lagi. Pada waktu yg telah ditentukan, semua penduduk bersiap-siap untuk menangkap Si Pencuri Ulung. Ketika makhluk jahat yg mengerikan itu muncul, para penduduk itu lari ketakutan. Hanya Rangga sendiri yg dengan gagah berani menancapkan lembing ajaib di perut si Pencuri Ulung. Perlahan-lahan si Pencuri Ulung pun berubah menjadi lembing ajaib yg sesungguhnya. Para penduduk bergembira ria, mereka mengucapkan terima kasih kepada Rangga karena berhasil menghentikan pencuri Nira. Setelah mendapatkan kedua lembing ajaib, akhirnya Rangga bersama dengan beberapa orang pemuda pergi naik perahu menuju langit sebelah timur tempat matahari terbit dengan satu tujuan yakni memecah matahari. Dengan kedua lembing ajaib di tangannya Rangga berteriak menantang matahari untuk muncul.
Matahari yg dinantikan itupun muncul perlahan. Setelah hampir separuh matahari itu muncul, Rangga dibantu oleh para pemuda mulai bersiap-siap untuk memecahkannya. Tangan Rangga sudah menggenggam kedua batang lembing ajaib. Ketika matahari sudah terbit secara utuh, Rangga segera melemparkan kedua lembing ajaib ke arah matahari dan tertancap persis di tengah bulatan matahari!. Tubuh matahari itu bergumpal. Gumpalan yg besar menjadi bulan dan gumpalan yg kecil menjadi bintang yg bertebaran di langit. Semua menjadi penerang di waktu malam hari. Tugas maha besar telah selesai. Matahari telah pecah menjadi berkeping-keping. Mulai saat itu pada malam hari tidak ada lagi gelap gulita di pulau tempat Rangga tinggal karena sudah disinari remang-remang dari bulan dan bintang yg bergelantungan di langit.

2.) Manarmakeri
Mite Manarmakeri memunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang ajaib, dan tokohnya (Manarmakeri) adalah Dewa. Mite ini telah tersebar di seluruh tanah Papua sejak dulu. Ada sebuah keyakinan dari masyarakat penutur mite ini bahwa sepetri janjinya, Manarmakeri akan kembali suatu saat. Sampai hari ini, masih dinantikan kedatangan Manarmakeri di daerah penutur cerita maupun di seluruh Papua.
Cerita serupa yang tergolong mite terdapat di tiap suku di tanah Papua. Cerita-cerita ini membuat rakyat Papua tetap eksis untuk hidup di tengah berbagai persoalan dengan harapan bahwa janji-janji tokoh dalam mite di setiap daerah yang menjanjikan hari baru (Papua Baru) itu, suatu saat nanti akan terjadi.
Sinopsis :
Lelaki tua itu bernama Manarmakeri. Ia berasal dari kampung Sopen daerah Biak Numfor Papua. Tubuh Manarmakeri penuh dengan kudis. Suatu ketika, dia membuat kebun di atas bukit di belakang kampung Sopen, tepatnya di Yamnaibori. Kebun itu ditanami dengan tanaman keladi, ubi jalar, labu dan berbagai tanaman lainnya. Manarmakeri mengelilingi kebunnya dengan pagar untuk menghindari serbuan dari babi hutan.
Suatu pagi yang cerah, Manarmakeri pergi ke kebun. Sesampai di kebun Manarmakeri terkejut melihat tanamannya yang habis dimakan babi hutan. Ia memeriksa pagar dan ternyata, tidak ada tanda-tanda masuk. "Dari mana binatang itu masuk ya. Pagar masih utuh," kata Manarmakeri terheran-heran. Manarmakeri memutuskan untuk menjaga kebunnya pada malam hari. Hari sudah malam Manarmakeri bersiap-siap dengan makbak (tombak nibun) pada tempat yang tersembunyi di pinggir kebun. Tiba-tiba seekor babi hutan muncul di tengah kebun. Dengan penuh kemarahan dan keheranan Manarmakeri melemparkan makbaknya ke arah babi hutan yang sedang asyik makan tanaman. Seketika terdengar suara gaduh disusul jeritan kesakitan babi hutan itu " Ae, ae......yamnai.... (aduh... saya berhenti...). Lalu babi hutan itu menghilang secara tiba-tiba bersama makbak yang tertancap di badannya.
Keesokan harinya Manarmakeri mengikuti jejak babi hutan itu melalui darah yang menetes sepanjang jalan setapak. Akhirnya dia tiba pada sebuah goa di tengah hutan. Manarmakeri memasuki goa itu dan dia melihat makbaknya bersandar di dinding dengan keadaan utuh dan bersih. Ketika menoleh ke kiri dan ke kanan terdengarlah suara yang "menegurnya". "Siapakah engkau dan mau ke mana? Apa yang kau cari di sini? Bawalah makbakmu dan keluar membelakangi saya." "Bagaimana saya harus berjalan?" tanya Manarmakeri. "Kerjakanlah apa yang aku perintahkan kalau tidak kau akan jatuh," jawab suara itu.
Sebelum dia melakukan perintahnya, suara berkata lagi, "Apakah engkau mengenali mereka?" Tiba-tiba tabir matanya terbuka dan terlihat sebuah kampung yang bersih, indah, banyak penduduk, dan terang. Rupanya di sana tidak ada kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, peperangan, dan penuh kebebasan.
"Waktumu belum tiba untuk mendiami tempat ini, sebab kamu masih berada dalam dunia sasar (semu). Kampung yang kamu lihat ini adalah tempat "koreri". Bawalah makbak itu dan kembalikan ke tempatmu," kata perintah suara itu. Lalu dengan penuh penasaran Manarmakeri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kampungnya. Di kediamannya ia merenungkan rahasia koreri. Koreri adalah saat manusia mengalami kehidupan baru yaitu kehidupan yang penuh kebebasan dan kebahagiaan.
Keesokan harinya Manarmakeri mendengar, anak Mananwir (kepala kampung) menemukan seekor Manswar (kasuari) tua bersama seorang gadis yang cantik di suatu tanjung. Burung kasuari duduk di dalam laut dan membiarkan ikan-ikan kecil mendekat pada bulunya, kemudian kasuari itu kembali ke tepi pantai lalu menggoyangkan badannya sehingga ikan-ikan berjatuhan di atas pasir. Kemudian seorang gadis muncul tiba-tiba dari balik belukar dan memungut ikan-ikan tersebut dan memasukannya ke dalam inawen (sejenis keranjang). Kemudian gadis kecil itu naik di atas punggung Manswar dan mereka berdua menghilang.
Anak Mananwir terpesona melihat gadis canitik yang aneh itu. Ia menceritakan kejadian itu sekaligus keinginannya untuk mengawini gadis cantik itu kepada ayahnya. Lalu ayahnya mengajak seluruh penduduk kampung Sopen untuk membantu mencari dan menangkap Manswar tua bersama gadis cantik yang sedang bersembunyi di sekitar tanjung, tidak jauh dari kampung Sopen.
Semua laki-laki yang kuat di seluruh kampung Sopen berkumpul di rumah Mananwir untuk menerima amanat untuk segera menangkap kedua makhluk aneh itu. Mananwir berjanji, "Bagi yang berhasil menangkap gadis jelita itu dan membawa pulang ke rumah saya, maka ia berhak mengawini anak perempuan saya yang bungsu". Mendengar janji itu, para pemuda segera membentuk pasukan pengepung.
Dengan semangat yang menggebu-gebu, pasukan pengepung meninggalkan kampung Sopen menuju tanjung tempat persembunyian kasuari dan gadis itu. Mereka mengepung tanjung itu lalu dengan sorak-sorai mempersempit lingkaran, namun perhitungan mereka meleset. Kasuari tua itu berhasil meloloskan diri bersama si gadis jelita.
Usaha penangkapan pada hari pertama gagal. Pasukan kembali ke kampung. Mereka berkumpul kembali dan merencanakan taktik baru untuk mengepung dan menangkap gadis itu. Keesokan harinya, pasukan mengepung tanjung itu dengan taktik yang baru, namun usahanya gagal seperti pada hari pertama. Kini mereka berkumpul di rumsram (rumah tempat berkumpul kaum pria) untuk evaluasi kegagalan dan merencanakan cara penangkapan pada hari berikutnya. Secara kebetulan si lelaki tua (Mananarmekeri) itu lewat di depan para pemuda yang duduk di rumsram. "Oi, para pemuda, kalian sedang bicara apa?"
Beberapa dari mereka menjelaskan tentang usaha yang sedang mereka lakukan. Mendengar hal itu, Manarmakeri menawarkan dirinya untuk ikut mencari. Namun tawaran itu justru menjadi lelucon para pemuda. "Kami yang muda dan kuat saja tidak berhasil mengepung dan menangkap kasuari serta gadis itu, apalagi kamu yang penuh kudis dan kaskado ini ... ," kata salah satu pemuda. Ada juga menghina Manarmakeri, "Cis, sedangkan kami yang muda dan kuat tidak sanggup, apalagi kau orang tua yang sudah korengan, lebih baik pakailah waktumu untuk mengusir lalat dan mengupas koreng dari badanmu itu." Mendengar kata-kata yang menyakitkan itu, Manarmakeri membatalkan tawarannya untuk ikut pada hari ketiga. Ia ingin melihat apa hasil dari usaha pengepungan pada hari itu. Usaha pengepungan hari ketiga masih belum membuahkan hasil. Anak Mananwir terus merindukan gadis itu. Mukanya makin murung dan putus asa menyaksikaan kegagalan demi kegagalan yang dialami pasukan itu. Melihat anak kepala kampung itu, para pemuda mulai merasa malu. Kini mereka kehabisan taktik untuk menangkap gadis itu.
Kini satu-satunya jalan bagi para pemuda adalah harus meminta bantuan kepada orang hobatan untuk menemukan suatu cara mistik yang dapat mengalahkan kekuatan kedua makhluk itu. Namun salah satu pemuda mengusulkan untuk mencoba yang terakhir kalinya. Untuk kesempatan ini tanpa basa-basi dan tawar-menawar, Manarmakeri ikut mengambil bagian dalam usaha pengepungan pada hari keempat itu. Seluruh pasukan sudah disusun atas beberapa lapisan lalu melingkari tanjung. Kini tidak ada celah lagi untuk melewati sesuatu. Mananarmakeri mengambil tempat pada daerah bakau yang penuh lumpur.
Pengepungan dan gemuruh sorak serta pekikan dari pasukan pengepung terdengar. Kasuari dan gadis jelita merasa benar-benar terjepit. Tidak ada jalan lain, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri mereka yaitu melalui daerah bakau penuh lumpur yang pasti tidak diawasi para pemuda. Secara diam-diam kasuari itu melewati daerah lumpur itu, namun sial. Kakinya tertahan oleh lumpur dan memperlambat larinya. Manarmakeri yang sudah sembunyi di tempat itu dengan mudah saja mengejar dan menangkap sang gadis dari punggung Manswar dan memeluknya dengan sekuat tenaga sehingga tidak sempat lagi meloloskan diri. Sedangkan Manswar itu sempat meloloskan dirinya ke hutan. Sejak kejadian itu di Biak tidak ada lagi burung Manswar (kasuari) sampai saat ini.
Dengan penuh semangat Manarmakeri membawa gadis jelita itu kepada Mananwir Sopen. Namun, sebagai hadiah bukan anak bungsu yang dijanjikan sebelumnya, tetapi seekor babi. Dia menerima hadiah itu dengan tenang, lalu menyerahkannya kepada saudara-saudaranya untuk bakar batu (barapen). Manarmakeri memperbolehkan mereka untuk mengambil kayu bakar, keladi, daun pisang serta sayuran di kebun miliknya, Yamnaibori. Mereka membuat barapen di hutan dekat kebun Manarmakeri. Setelah selesai masak, babi beserta sayur dibagi-bagikan kepada seluruh sanak saudara di kampung Sopen. Harapan Manarmakeri untuk mendapatkan daging yang bagus, tinggal harapan. Dia (Manarmakeri) hanya diberikan tulang kepala yang sudah tidak ada daging.
"Kenapa saudara-saudara saya sendiri memperlakukan saya seperti ini. Mereka tidak menghargai saya sebagai manusia. Saya sudah membantu kepala kampung menangkap putri kasuari. Hadiahnya bukan anak perempuannya yang bungsu. Diberikan seekor babi. Bukan itu saja. Babi itu sudah diserahkan dengan baik-baik kepada saudara-saudaraku untuk dimasak, bahkan kayu api, keladi sayur yang dimasak itupun diambil dari kebun saya sendiri. Akhirnya, saya diberikan bagian yang tidak pantas." Mananarmakeri merasa benar-benar tidak dihargai sebagai warga kampung Sopen. Akhirnya, Manarmakeri mengambil keputusan untuk untuk meninggalkan kampung yang dicintainya itu.
Maka keesokan harinya, pagi-pagi buta sebelum warga kampung bangun tidur, Manarmakeri menyiapkan perahu kecilnya. Ia tidak lupa membawa dayung, konarem (penimba air) dan tongkatnya. Di tengah perjalanan angin Wambrau (Barat) bertiup dengan kencang dan menyebabkan ombak sehingga ia mendarat di kampung Maundori. Tetapi tidak bisa karena banyak karang. Akhirnya ia mengeluarkan tongkat wasiatnya untuk menggores karang lalu terjadilah suatu terusan.
Melalui terusan itu, ia dapat mendarat. Setelah angin reda ia melanjutkan perjalanannya menyusuri pantai. Ketika mendekati kampung Sorido ia menangkap seekor ikan dan membawanya ke rumah napiremnya (saudara sepupu) yang bernama Padawankan di kampung Mokmer. Ketika ikan dimasak mereka membagi-bagikannya tanpa mengingat istrinya. Istrinya menanyakan bagiannya ternyata telah habis. Istrinya marah dan kemarahannya didengar oleh Manarmakeri. Ia meminta pamit dan pergi ke Meokbundi.
Manarmakeri sampai di Meokbundi. Dia hendak melakukan suatu pekerjaan yang digemarinya, yaitu menyadap nira (saguer kelapa). Ia meminta kelapa kepada penduduk Sokani, tetapi tidak dikasih. Manarmakeri mengambil kelapa yang bertunas dan menanamnya. Kelapa yang ia taman itu pertumbuhannya ajaib. Kelapa itu sudah tumbuh besar dan sudah dapat disadap. Manarmakeri hidup dengan menyadap nira (saguer).
Pada suatu hari ia melihat nira yang ada dipohon itu habis diambil orang. Dia tanya kepada semua orang, namun tidak ada yang mengaku. Terpaksa ia mengintai untuk menangkap pencurinya. Pada malam pertama ia berjaga-jaga di bawah pohon. Keesokan harinya ia melihat nira masih dicuri juga. Untuk malam kedua dibuatnya pora-pora (kaderen) di tengah pohon kelapa lalu dia menjaga. Namun, sama saja pencuri itu masih juga meminum nira itu. Ia terus penasaran dari mana mereka mengambil.
Pada malam ketiga karena penasaran dan marah, ia naik dan duduk bersembunyi di tengah-tengah cabang dan daun kelapa. Sepanjang malam ia berjaga dengan tabah. Menjelang dini hari hari, pencuri turun dari langit menuju puncak pohon kelapa. Manarmakeri menangkap pencuri itu lalu terjadilah suatu pergumulan yang sengit. Dalam pergumulan tersebut ternyata pencuri itu adalah Makmeser atau Sampari (bintang pagi). "Lepaskanlah saya karena hari hampir siang!" kata Sampari. Namun Manarmakeri tidak mau melepaskannya. "Saya tidak akan melepaskanmu sebelum engkau memberikan apa yang kudambakan selama ini, "kata Manarmakeri.
Bintang itu menyebut banyak hal yang ada di dunia ini, tetapi masih ada yang belum disebut sehingga Manarmakeri tetap terdiam dan tidak mau melepaskan bintang itu. "Katakanlah sekarang, apa yang kau kehendaki,' kata Sampari itu, "Berikanlah kepadaku "koreri syeben", pinta Manarmakeri. "Karena matahari terbit permintaanmu aku kabulkan dan sekarang ini koreri telah kau miliki. Bila Insoraki anak gadis panglima Rumbrak pergi ke pantai dan mandi bersama teman-temannya dekatilah lalu petiklah buah bintanggur (buah pohon Mars) dan lemparkan ke laut. Kamu akan melihat sesuatu terjadi pada Insoraki dan itu kejadian koreri," kata Sampari. Setelah beberapa hari berselang dilihatnya beberapa gadis pergi mandi dipantai. Cepat-cepat Manarmakeri pergi dan bersembunyi di balik pohon Mars (bintanggur). Diperhatikannya gadis itu satu demi satu tampaknya olehnya seorang gadis yang tercantik yaitu Insoraki.
Dia memetik buah bintanggur lalu melemparkan ke laut. Buah itu hanyut dan tersentuh pada payudara Insoraki. Insoraki kaget lalu memungut buah itu lalu melemparkanya ke darat. Peristiwa itu terulang sampai tiga kali berturut-turut. Setelah peristiwa itu terjadi Insoraki merasa ada suatu kelainan pada dirinya. Orang tua terkejut karena anak gadisnya hamil. Orang tua Insoraki bertanya kepada penduduk Meokbundi, tetapi seorang tidak mengetahuinya. Insoraki termenung dengan hal yang menimpanya karena ia tidak pernah bergaul dengan laki-laki. Setelah tiba saatnya melahirkan, lahirlah seorang anak laki-laki. Kerana anak itu telah lahir dan dirasa akan membawa perubahan dan kedamaian maka mereka menamakannya Manarbeu (pembawa damai).
Pertumbuhan anak itu semakin besar dan sudah dapat bicara. Setiap ia menangis ia selalu menanyai ayahnya. Pada suatu hari mereka berkumpul dan bermufakat untuk mengadakan Wor (suatu pesta besar). Dengan pesta itu Manarbeu dapat menunjuk siapa bapaknya. Pada hari yang ditentukan para tamu telah tiba dan acara segera dimulai. Insoraki dan anaknya duduk paling depan supaya Manerbeu dapat menentukan bapaknya.
Pada pesta itu mereka mengharuskan para pemuda untuk lewat berjalan di depan Insoraki dan anaknya. Namun tidak seorang pun dikenali oleh Manerbeu. Perarakan terakhir Manarmakeri adalah khusus untuk orang tua. Manarmakri mengantre pada bagian terakhir. Manarmakeri penuh kudis dan di tanganya memegang tongkat dan setangkai daun untuk pengusir lalat. Ketika ia lewat di depan ibu dan anak itu, Manerbeu langsung menunjuk Manarmakeri dan berkata, "Ibu itu bapak saya!"
Ketika anak itu ingin memeluk ayahnya, Insoraki menahannya karena jijik pada tubuh Manarmakeri yang penuh kudis itu. Manarbeu berhasil lari dari pegangan ibunya dan bertemu dengan ayahnya. Karena, Manarmakeri dihina dan diusir oleh warga, maka mereka pergi meninggalkan kampung itu. Akhirnya, Insoraki ikut dan pergi bersama-sama dengan Manarmakeri menuju ke arah barat.
Dalam perjalanannya ke Barat itu, Manarbeu tiba-tiba ingin bermain pasir di sebuah pulau dengan pasir putih yang tiba-tiba muncul. Setelah Manarbeu puas bermain, mereka berlayar terus meninggal pulau Yapen menyisi pulau Supiori yang makin lama makin jauh menuju ke barat. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba muncul sebuah pulau kecil di atas permukaan laut dan makin lama makin besar. Ternyata pulau itu lebih dari pulau yang baru saja ditinggalkan dan tidak bergunung. Perahu karures dari Manarmakeri berlayar menyusuri pantai pulau itu sampai pada suatu pulau kecil dan Manarbeu kembali berhasrat untuk bermain pasir di pulau kecil itu. Karena dia terus merengek untuk bermain, terpaksa perahu didaratkan dan Manarbeu boleh bermain-main di atas pasir itu.
Perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di pulau besar itu ternyata belum didiami oleh manusia. Manarmakeri mengambil empat batang lidi yang ditancapkan di atas pasir dan kemudian dia mengucapkan mantera-manteranya. Setelah membaca mantera, keempat lidi itu berubah menjadi empat suku asli pulau itu yang kemudian di kenal sebagai Pulau Numfor . Manarmakeri memperingatkan mereka agar bila dari antara mereka meninggal tidak boleh ditangisi karena mereka akan dibangkitkan. Apabila mereka mematuhi permintaan itu, maka mereka akan hidup dalam ketenteraman, kedamaian dan berkelimpahan.
Dalam kenyataannya mereka tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh Manarmakeri. Ketika dari antara mereka meninggal, mereka tangisi dia. Hal itu benar-benar membuat Manarmakeri kecewa. Bukan hanya itu, ketika mereka kekurangan bahan makanan mereka berlayar ke pulau Yapen dan menukarkan ikan dengan sagu yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang perintahkan oleh Manarmakeri. Kejadian itu membuar dia kecewa dan merasa keberadaannya di daerah itu tidak dihargai. Dia mengingat kembali pengalamannya di kampung Sopen, kemudian di pulau Meobundi, di kampung Krawi dan terakhir di Numfor.
Manarmakeri tidak betah tinggal di daerah itu. Dia mengambil keputusan untuk pergi dari orang-orang dan negerinya sendiri untuk mencari tempat yang aman dan tenang. Dia pergi meninggalkan tempat itu ke suatu tempat yang penuh ketenangan dan kedamaian. Dia memperoleh rahasia hidup abadi yang ingin ia sumbangkan kepada sesamanya manusia tetapi tidak mau dimengerti untuk itu dia pergi. Dia pergi untuk suatu ketika kembali membawa suatu kehidupan baru berkelimpahan dan penuh kedamaian abadi seperti janji kibaran sampari (bintang kejora). Dia sempat meninggalkan beberapa pesan kepada warganya supaya jangan suka membunuh, jangan suka mencuri hak milik orang lain, dan menyiapkan rumah yang besar untuk menampung kekayaan yang akan datang dari sebelah barat.
Setelah berpesan demikian Manarmakeri bersama istrinya Insoraki naik perahu untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun anaknya Manarbeu terlihat masih asyik bermain pasir putih yang indah. Ketika Manarmakeri memintanya untuk naik ke perahu Manarbeu tidak mau. Dia asyik bermain seakan-akan pasir adalah teman seumurnya sampai dia tidak mau meninggalkannya. Untuk mengakali anaknya Manarmakeri melemparkan sepotong kayu yang kemudian berubah menjadi seekor ular bisa. Melihat ular itu, Manarbeu takut dan segera naik ke perahu. Sejak itu ular bisa tersebut berkembang menjadi baik di pulau Numfor dan hingga kini pulau itu dikenal sebagai pulau yang penuh dengan ular bisa.
Untuk kesekian kalinya Manarmakeri harus meninggalkan rakyatnya. Perahu segera bertolak meninggalkan pulau Numfor menuju ke sebelah Barat. Ia menyebrangi selat dan lautan menyusuri pantai di pulau-pulau. Manarmakeri pernah singgah di sekelompok pulau yang kini dikenal sebagai kepulauan Raja Ampat. Setelah beberapa lama tinggal dan menyebarkan pengajarannnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju ke barat. Sejak keberangkatan hingga kini ia belum kembali. Menurut pesan yang ditinggalkan, ia akan kembali pada suatu saat dengan membawa kedamaian, harta benda serta makanan yang berkelimpahan. "Saat saya kembali, sampari akan berkibar-kibar dari ujung pulau hingga ke ujung pulau di atas tanah ini."

2.4.15. KEBUDAYAAN PAPUA SAAT INI

1. Kebudayaan Papua Hadapi Masalah Pewarisan
Menurut Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, menyatakan bahwa kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua. Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global.
Selain itu, masih banyak potensi budaya yang belum tergali karena mayoritas penduduk Papua tinggal di kampung-kampung di pedalaman. Harus dipikirkan, format baru pengembangan budaya yang tak terkikis oleh perkembangan zaman.

2. Sejumlah Bahasa Adat di Papua Terancam Punah
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Papua, Domingus Rumbewas, mengatakan bahasa adat di Papua terancam punah. Sebab anak muda di Papua cenderung enggan menggunakan bahasa adat.
Bahkan yang lebih parah lagi, bahasa adat di salah satu suku, diperkirakan 30 tahun lagi punah.
Selain itu, bahasa adat juga terancam dengan adanya kawin campur. Warga suku asli memiih kawin dengan pendatang atau dengan warga suku lain. Akibatnya, penggunaan bahasa asli menjadi berkurang.
Namun sampai saat ini Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, mengaku belum menerima laporan adanya bahasa adat Papua yang punah.Saat ini, ada sekitar 250 bahasa adat yang terdaftar di pemerintah Papua. Masih ada juga sekitar 50 bahasa adat yang belum terdaftar. Tiap suku memiliki bahasa yang berbeda.
Pemeliharaan dan pengembangan bahasa adat di Papua tak mudah. Diperlukan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk menjaga kelestarian bahasa adat. Terdapat faktor-faktor yang bisa menghambat penggunaan bahasa adat. Yang terutama adalah banyaknya warga dusun yang hijrah ke kota. Kebanyakan di antaranya adalah anak muda. Sehingga kebanyakan orang tua saja yang tinggal di desa.

3. Seni dan Tradisi Asli Papua Tidak Berkembang
Menurut Ketua Forum Komunikasi Seni Papua, Donatus Meiwend, Seni dan tradisi asli Papua tidak pernah berkembang karena tidak dapat dukungan dari pemerintah daerah setempat. Sementara itu, pengembangan kreativitas seni tidak berjalan sesuai tuntutan pasar dan perkembangan seni modern. Padahal, seni Papua memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan dapat dipasarkan di dalam maupun di luar negeri.
Para seniman ini menilai seni dan tradisi tua di Papua sudah terpuruk karena kurang dapat perhatian dari pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Papua sangat kaya dengan aneka budaya dan tradisi tua, mulai dari daerah pesisir pantai sampai ke daerah pegunungan. Tetapi, hingga saat ini seni dan tradisi asli Papua ini tidak dikembangkan menjadi aset daerah yang dapat memberi sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, dan kesejahteraan masyarakat Papua termasuk para seniman. Papua terdiri dari 312 suku dengan ratusan jenis seni, tradisi, dan budaya yang berbeda-beda. Misalnya, dalam bahasa daerah, lagu daerah, tarian daerah, cerita rakyat, dan pakaian adatnya beragam.



2.4. TEMPAT WISATA DI PAPUA
2.4.1. Potensi Wisata Kota Jayapura

Jayapura adalah ibukota dari Kota Jayapura dan juga sekaligus ibukota Provinsi Papua merupakan Pusat Pemerintahan dengan berbagai kegiatan sosial, politik, kebudayaan maupun pembangunan. Secara geografis kota kayapura terletak di bagian utara Provinsi Papua pada 1°28'26" - 36°58'82" LS dan 137°24'10" - 141°0'10"BT.
Topografinya juga sangat unik dengan pusat kota yang melingkar mengikuti garis pantai dan jalan-jalan kota yang naik turun menyisir lereng-lerang bukit.

MONUMEN PENDARATAN SEKUTU

Tugu ini didirikan untuk mengenang Pendaratan tentara Sekutu Pada Tanggal 22 April 1944 di Pantai Hamadi dibawah pimpinan Jenderal Douglas Mac Arthur




MONUMEN PEPERA
Dibangun untuk memperingati Delklarasi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969,untuk menentukan keinginan rakyat Papua bergabung dengan indonesia. Pemungutan suara dilaksanakan 6 tahun setelah PBB menyerahkan Papua ke Indonesia. Monumen ini berada di APO, pos tentara sekutu yang pertama, 500 m dari pusat kota Jayapura


MONUMEN YOS SUDARSO

Monumen ini dibangun untuk mengenang jasa Komodor Yos Sudarso yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Lat Arafuru tahun 1962, dalam rangka operasi pembebasan Irian Barat. Monumen ini terletak di Taman Imbi Pusat Kota Jayapura.



DANAU SENTANI

Danau Sentani merupakan danau alam dengan pulau-pulau yang berbukit-bukit di tengah-tengah danau. Luas danau adalah 3,63 hektar dengan ketinggian 75 m di atas permukaan air laut. Di lokasi ini terdapat pemandangan alam yang indah dengan beberapa tempat pemancingan yang dilengkapi pondok-pondok yang berbentuk panggung. Di sini banyak ditemukan ikan-ikan yang masih segar.
Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian memancing selain menjual berbagai ukiran tradisional dari kayu. Danau ini merupakan tempat yang sangat bagus untuk berenang, bersampan, memancing, bermain ski air dan melakukan beberapa olah raga air lainnya. Para pengunjung juga bisa menyaksikan seni tari tradisional pada acara festival atau pada hari-hari perayaan. Danau Sentani terletak di Kecamatan Sentani, 20 kilometer di sebelah barat kota Jayapura, dapat dijangksau dengan berbagai macam sarana transportasi dalam waktu 20 menit. Angkutan umum yang dapat digunakan yaitu jalur Abepura-Sentani.


PANTAI AMAI

Pantai Amai merupakan pantai berpasir putih yang indah. Banyak wisatawan yang datang mengunjungi pantai ini untuk berekreasi dan berenang. Pantai ini terletak di desa Waija, Kecamatan Depapre, sekitar 65 kilometer di sebelah barat kota Jayapura. Lokasi ini bisa dijangkau dengan berbagai sarana transportasi dalam waktu 75 menit. Jika menggunakan angkutan umum bisa memakai jalur Pasar Sentani-Depapre kemudian dilanjutkan dengan menyewa perahu jonson.
SITUS PURBAKALA MEGALITIK





Objek wisata ini berupa batu besar yang menggambarkan motif gaya Sentani dan dipercayai masih mengandung kekuatan supranatural. Selain mengunjungi situs purbakala ini, para wisatawan juga dapat menikmati pemandangan menarik Danau Sentani dan kegiatan-kegiatan masyarakat Doyo Lama. Objek wisata ini terletak di desa Doyo Lama, kecamatan Sentani, sekitar 45 kilometer di sebelah barat kota Jayapura dan dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan dalam waktu 40 menit. Jalur angkutan umum yang bisa digunakan yaitu Pasar Sentani-Doyo.

PENINGGALAN PERANG DUNIA II
Tanki-tanki ini memiliki nilai sejarah. Pada masa Perang Dunia II, tanki ini berfungsi sebagai tempat penampungan bahan bakar. Sampai saat ini masih tersisa 19 tanki dalam kondisi baik yang terdapat di desa Waija, kecamatan Depapre. Tempat ini menarik untuk dikunjungi karena keindahan pemandangan Teluk Yotefa dimana orang-orang dapat berenang di tempat ini. Berlokasi di 63 kilometer sebelah barat kota Jayapura, tempat ini dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan dalam waktu 60 menit. Jika menggunakan angkutan umum maka jalur yang bisa digunakan yaitu Pasar Sentani – Depapre.
RUMAH ADAT
Bangunan ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sentani yang dibangun dengan model rumah panggung tanpa dinding-dinding atau kamar-kamar dan banyak dihiasi ukiran tradisional. Rumah ini berfungsi sebagai tempat pertemuan dan kegiatan-kegiatan adat lainnya. Rumah ini dibangun di atas panggung mencerminkan masyarakat Sentani yang bermukim di sekitar Danau Sentani. Rumah tradisional ini terletak 45 kilometer di sebelah barat kota Jayapura dan dapat dijangkau dengan berbagai macam kendaraan dalam waktu 2,5 jam
TELUK YOUTEFA
Sebuah teluk dengan panorama yang sangat indah. Teluk ini secara resmi memang sangat indah, namun mempunyai arti khusus dalam Perang Dunia II, baik segi tentara Jepang maupun tentara Sekutu dan Amerika Serikat, karena letak teluk ini sangat strategis. Pada tanggal 19 April 1942 bala tentera Jepang masuk di Teluk Yotefa dan mendarat di PIM dan Abe pantai. Dengan diyakininya, bahwa letak Hollanda sangat strategis, maka Jepang melabuhkan dua buah kapal perang beserta marinirnya di Teluk Yotefa pada 6 Mei 1942.
Diteluk ini masih terdapat peninggalan sejarah Perang Dunia II berupa bangkai-bangkai kapal Jepang maupun Sekutu yang tenggelam, sedang di Abe Pantai dibangun sebuah tugu peringatan Pendaratan tentara Jepang. Ternyata teluk yang terlindung ini menjadikan Hollandia sebagai tumpuan pertahanan Jepang. Begitu pula Perbekalan yang dimiliki Jepang di Hollandia diakui sekutu sebagai satu-satunya pusat Perbekalan yang terbesar dan terkuat oleh bala tentara Jepang di seluruh wilayah Pasifik.
PANTAI BASE G
Pantai yang indah membentang disepanjang Samudera Pasifik. Pasoirnya putih dan airnya yang jernih menjadikan pantai ini ideal bagi penggemar renang mandi di sinar matahari. Tempat ini pada saat diduduki tentara Sekutu dijadikan sebagai Basis G. Pantai ini dapat dicapai dengan berbagai jenis kendaraan.
PENANGKARAN BUAYA
Penangkaran buaya ini terletak di daerah Entrop wilayah kecamatan Jayapura Selatan 5 Km dari kota Jayapura. Entrop adalah nama orang Belanda yang pertama kalinya tinggal di tempat ini. sekitar 500 meter dari jalan raya Abepura terdapat penangkaran buaya dalam berbagai jenis ukuran dengan jumlah ribuan ekor. Sering dikunjungi oleh masyarakat kota Jayapura maupun wisatawan dan dapat dicapai dengan jenis kendaraan.

TOKO SOUVENIR
Disini terdapat banyak macam ukiran khas Papua yang dapat dibeli. Terletak di Pasir Hamadi, 4 Km dari pusat kota Jayapura ke arah selatan yang ditempuh dengan semua jenis kendaraan.
MUSEUM PROVINSI PAPUA
Luas areal museum sekitar 2,63 Ha. Museum Papua ini dibangun pada tahun 1983 dengan arsitektur bangunan bergaya Papua. Bangunan yang terdapat adalah bangunan utama 850 m2 dan perpustakaan 506 m2. Koleksi museum sebagian besar merupakan benda-benda etnografis seperti perlengkapan upacara, teknologi tradisional, peralatan seniman, keramik dan patung, juga terdapat berbagai macam buku-buku perpustakaan, berlokasi di desa Waena Museum ini berjarak sekitar 17 Km dari Kota Jayapura dan ditempun dengan semua jenis kendaraan.


2.4.2. Potensi Wisata Kabupaten Merauke

Kabupaten Merauke dengan ibukotanya Merauke, terletak di sebelah selatan Papua dan di paling timur Nusantara, berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea. Lebih dari 75% wilayahnya masih tertutup hutan tropis yang lebat dan rawa sagu serta hutan peralihan hutan tropis ke savana yang bertajuk hijau dengan beranekaragam jenis flora dan fauna yang terkandung didalamnya.
Di Kabupaten Merauke terdapat bandar udara yang didarati pesawat besar dari Jakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain. Terdapat juga pelabuhan laut yang disinggahi kapal-kapal besar dari Batam, Jakarta, Surabaya. Kapal kecil beroperasi untuk melayani pelayaran di Kabupaten lain di Papua

WASUR

Wasur adalah Taman Nasional yang dilindungi luasnya 413.810ha. Didalamnya terdapat berbagai jenis flora dan fauna seperti : Hutan Sabana, Hutan Belantara, Semak Belukar, Anggrek, Rawa-rawa, Bunga Bakung, Teratai juga hewan seperti Kanguru, Rusa, Babi, Buaya, Biawak, Ular, Burung Kasuari, Pelikan, Kokaburas, Cenderawasih, Elang, Bangau, Kakatua, Mambruk, Dll. Tercatat saat ini 239 jenis dan 164 jenis yang dilindungi. Jarak Tempuh dari Kota Merauke bervariasi antara 60/90 menit tergantung jarak arah yang ditempuh.


MUSAMUS
Rumah semut terdapat disepanjang jalan menuju Taman Nasional Wasur. Rumah semut menjadi istimewa karena dibangun oleh semut selama bertahun-tahun hingga mencapai 3-4 m. Musamus menjadi simbol semangat bagi masyarakat Merauke.




TUGU LB. MOERDANI
Tugu ini dibangun untuk mengenang pendaratan misi terjun payung yang dipimpin oleh LB. Moerdani untuk membebaskan Irian Barat pada tanggal 4 Juni 1962 (Trikora). Terletak sekitar 5 Km dari Kota Merauke.



2.4.3. Potensi Wisata Kabupaten Sarmi

Kabupaten Sarmi dengan ibukotanya Sarmi berkedudukan di Sebelah utara pulau Papua, adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Pesisir Pantai dengan pusat Pemerintahan di Daerah Pegunungan. Sebagian besar penduduk wilayah Sarmi tinggal didaerah yang masih tergenang air di daerah pantai.
Sebagai Kabupaten baru, saat ini Sarmi sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur berupa jalan, bandara, jembatam, perkantoran pemerintahan dan rumah bantuan untuk rakyat.
Transportasi ke Kabupaten dapat ditempuh melalui kapal-kapal perintis dari Jayapura, Serui dan Biak, atau dapat juga ditempuh dengan menggunakan pesawat kecil twin otter dari Jayapura

MONUMEN YAMAGATA

Monumen ini dibangun oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Yamagata Jepang, sebagai tanda perdamaian dan persahabatan atas terjadinya perang Dunia II. Banyak dikunjungi oleh wisatawan Jepang. Terletak dipusat kota, bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau dengan Kendaraan



2.4.4. Potensi Wisata Kabupaten Mimika

Mimika adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua dengan pusat Pemerintahannya di Mimika memiliki kondisi alam yang unik dengan dataran tinggi yang berbukit terjal dan berjurang tajam, serta salah satu puncak gunung yaitu Puncak Jaya yang selalu tertutup es adalah salah satu diantara tiga salju abadi diwilayah equator dunia. Sementara dataran rendahnya masih hutan lebat dan berawa.
Penduduk asli kabupataen MIMIKA terdiri dari suku-suku besar yaitu kelompok suku Amungme yang bermukim di daerah pegunungan dan kelompok suku Kamoro di Dataran Rendah/ pantai.
Sarana transportasi didukung oleh adanya Bandar Udara Internasional yang melayani penerbangan dari Australia, Jakarta, Surabaya, Makassar dan lain-lain. Untuk melayani penerbangan antar kabupaten digunakan pesawat kecil jenis twin otter selain kapal penumpang milik PELNI.

SUKU KAMORO









Orang Kamoro pandai berburu juga lihai membuat karya ukir kayu dan aneka topeng roh yang dipamerkan dan dijual selain nyanyian dan tarian tradisional. Kelompok Suku Kamoro juga mempunyai ritual pembuatan genderang yang menggunakan Darah

GUNUNG GRASBERG

Gunung Grasberg dan Gunung Erstberg. Kedua gunung ini kaya akan mineral tambang. Hasil tambang utamanya adalah tembaga dan emas yang kini dikelola oleh PT. Freeport Indonesia.

2.4.5. Potensi Wisata Kabupaten Nabire

Kabupaten Nabire Terletak di Kawasan Teluk Cenderawasih . Kabupaten ini memiliki posisi yang sangat strategis bagi lalu lintas perdagangan dan transportasi baik lewat laut maupun udara.
Kabupaten Nabire saat ini memiliki Bandar Udara,namun saat ini hanya bisa didarati pesawat kecil jenis Twin Otter ke Biak,Merauke dan daerah pedalaman. Selain transportasi udara Kabupaten Nabire juga bisa ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal besar yang berlayar sampai ke pulau Jawa.

TUGU SELAMAT DATANG

Terletak tepat di depan Bandara Nabire,melambangkan ucapan selamat datang masyarakat Nabire kepada para tamu yang datang.





TUGU LEPAS LANDAS

Tugu ini tingginya sekitar 10 m, terletak di pusat kota, tepatnya dipersimpangan jalan Pepera dan jalan merdeka di depan Kantor Bupati, Tugu ini melambangkan 25 tahun Rencana PembangunaNasional ke-2 yang mau lepas landas pada tahun 1994
MATA AIR PANAS
Kurang lebih 24 Km ke sebelah timur kota Nabire dengan jalan raya menuju pelabuhan laut Samabusa. Anda dapat melihat sebuah mata air dengan airnya yang panas yang keluar dari dalam perut bumi. Panasnya 750 sampai 800C. Karena letaknya dekat pantai maka Anda dapat mencapainya dengan melalui laut atau jalan darat.

TAMAN LAUT TELUK CENDERAWASIH
Taman Laut Teluk Cenderawasih memiliki pantai dengan hamparan pasir ± 30 pulau-pulau lepas pantai, batu karang bercabang dan masih banyak yang lain. Kurang lebih 130 jenis karang terdapat di laut ini. pantai ini panorama alamnya yang indah membentang bermil-mil jaunya.

PANTAI WAHARIO
Kurang lebih 11 Km sebelah timur Kota Nabire, terdapat sebuah obyek wisata pantai bernama WAHARIO. Pantai ini banyak dikunjungi oleh masyarakat kota Nabire tertama di hari-hari minggu dan hari-hari libur. Pantai ini pasirnya putih dan airnya jernih. Mernaik sekali untuk berenang dan berjemur badan di sinar matahari. Pantai ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dan roda dua kurang lebih 15 menit.

PULAU PEPAYA
Ini adalah salah satu pulau dari pulau-pulau lepas pantai yang bernama Pulau Pepaya yang dapat dijangkau dengan menggunakan perahu motor selama ± 15 menit dari kota kecamatan Kwatisore. Pulau ini dihuni oleh ratusan ribu burung kelelawar dengan pantainya indah dan lautnya sangat jernih.


PANTAI NUSI
Pantai ini disebut Pantai Nusi karena letaknya berhadapan dengan pulau Nusi. Pantainya indah dengan airnya jernih membuat masyarakat dari kota Nabire ingin berekreasi ke tempat ini untuk berenang dan melepas lelah pada hari-hari minggu dan hari-hari libur lainnya. Tempat ini dicapai dalam waktu ± satu jam dari Kota Nabire dengan semua jenis kendaraan.


2.4.6. Potensi Wisata Kabupatan Jayawijaya

Kabupaten Jayawijaya Berada di Pedalaman Papua dengan Ibukotanya Wamena, terletak dalam sebuah lembah indah dengan nama Lembah Baliem Terbentang sepanjang 80 Km dari ujung ke ujung dengan lebar kurang dari 20 Km, Dikelilingi oleh pegunungan dan rimbunnya hutan, terbentang bagaikan taman yang terpelihara, Lekukan gunung dan honai, rumah tradisional hampir seluruhnya terisolasi dari duania tetapi masih dapat di jangkau dengan pesawat udara lebih kurang 40 menit dari Bandara Sentani.
Penduduk asli lembah Baliem adalah suku Dani yang terkenal sebagai petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang bianatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Setelah Bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama katolik masuk dan daerah ini berkembang.
Sarana Penghubung dari Kota Wamena ke Kabupaten dan Distrik Lain adalah lewat transportasi udara. Beberapa kota kecamatan di Daerah ini sudah dapat dihubungkan dengan jalan darat dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat

Festival Lembah Baliem

Festival Lembah Baliem Dilaksanakan Oleh Suku-Suku di Wamena menyongsong hari besar 17 Agustus yang ditetapkan sebagai Event Pariwisata Setiap Tahun di Lembah Baliem dengan Dukungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya


Atraksi Bakar Batu
Merupakan Budaya dan Tradisi masyrakata Baliem. Dalam event ini ditampilkan makanan tradisional bagi wisatawan karena hal tersebut merupakan suatu realita hidup komunitas masyarakat pribumi ( Suku Dani ) di Wilayah Lembah Baliem




Atraksi Panah Babi
Memperlihatkan cara berburu dengan menggunakan panah. Setelah dipanah hasil buruan diikat untuk dimasak/ dipanggang di dalam tanah yang biasa di sebut bakar batu atau dalam bahasa setempat di sebut " SNI HELEP "





JEMBATAN GANTUNG KALI BALIEM
Jembatan ini pertama kali dibuat dengan cara tradisional oleh masyarakat setempat dengan bahan tali rotan kini dimodifikasi dengan bahan yang dibuat dari kawat baja, merupakan jembatan penyeberangan bagi masyarakat di bagian utara Sungai Baliem.Jembatan ini terletak di Desa Wesaput 2 km dari Kota Wamena dan dapat dicapai dengan kendaraan. Panjang jembatan ini ± 90 meter.
PATUNG HUKUMIAREK
Patung Hukuiarek dijadikan sebagai patung perdamaian. Hukumiarek adalah nama salah satu Kepala Suku di Wamena yang menjadi korban akibat perang suku. Patung ini dibangun untuk mengingatkan kepada masyarakat Wamena agar tidak terjadi lagi perang suku antara sesama suku serta memohon untuk senantiasa menjaga dan memelihara perdamaian.

MUSEUM PILAMO
Museum ini dibangun oleh pemerintahan daerah Kabupaten Jayawijaya untuk menyimpan benda-benda budaya seperti; alat- alat perang dari suku-suku di Wamena yang disebut Awarek dan benda-benda lainnya. Pilamo dibangun dengan bentuk tradisional (benuk honay) di Desa Wesaput tidak jauh dari kota Wamena dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan.

RUMAH TRADISIONAL
Ini adalah sebuah p e r k a m p u n g an tradisional di Wamena dengan rumah-rumah yang dibuat bernbentuk bulat beratap ilalang dan dindingnya dibuat dari kayu tanpa jendela.Rumah seperi ini disebut Honelamo dengan bahasa daerah.

MUMMY
Mumy adalah manusia yang telah meninggal dunia dan jenasahnya diawetkan dengan ramuan tradisional mumi ini memiliki nilai historis dan religius karena berasal dari kepala suku atau Pemimpin Perang. ada 3 Mumy yang dapat dilihat
antara lain :
1. Mumy aikima ± 350 thn terdapat di Aikama 8.3 km dari Wamena
2. Mumy Jiwika berumur 300 th berlokasi di Jiwika 15,5 km dari Wamena
3. Mumy Pumo, berumur 250 Th berada di Pumo/Wogi di Asologaima 32.6 Km dari Wamena






2.4.7. Potensi Wisata Kabupaten Asmat
Kabupaten Asmat yang beribukota di Agats berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, kabupaten Boven Digul, Laut Arafura dan Kabupaten Mimika. Jalan-jalan dikota berupa panggung kayu sehingga tiap kawasan ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau dengan sepeda. Untuk mencapai Asmat bisa menggunakan pesawat udara berukuran kecil seperti Twin otter dari Timika atau Merauke, juga bisa ditempuh dengan kapal penumpang yakni KM. Kalimutu dan kapal-kapal kecil lainnya dari Merauke atau Timika.
Asmat terkenal dengan seni ukirnya baik didalam negeri maupun diluar negeri. Ukiran Asmat mempunyai arti tersendiri karena mempunyai fungsi simbol yang dikaitkan dengan kepercayaan roh-roh nenek moyang dan mempunyai pengaruh dalam kehidupan manusia.
MUSEUM KEBUDAYAAN & KEMAJUAN


Terletak sekitar 2 km dari pusat kota, terdapat segala macam hasil kerajinan suku asmat berupa ukiran, lukisan, aksesoris, alat dayung, alat musik dan binatang-binatang yang diawetkan.

2.4.8. Potensi Wisata Kabupaten Yapen

Kabupaten Yapen waropen terletak di Teluk Cenderawasih tepatnya di Pulau Yapen dengan ibukota Serui. Sebagian Besar kawasan ini ditutupi oleh hutan-hutan tropis. Dari ratusan spesies anggrek yang tumbuh di Papua banyak yang terdapat di Pulau Yapen, Burung Cenderawasih,Kakatua hitam, Ayam hutan, Nuri, Mambruk, Biawak, Penyu Belimbing dan lain-lain dapat ditemui disini.
Untuk mencapai Yapen dapat ditempuh melalui laut dengan kapal besar dari Pulau jawa dan Sulawesi serta kapal ferry dari Biak dan Nabire. Sedangkan transportasi udara dapat menggunakan pesawat kecil jenis Twin Otter dari Biak.

TUGU PERJUANGAN

Merupakan lambang perjuangan rakyat Serui dalam melawan Integrasi Sekutu terhadap Republik. Teletak di Jantung Kota Serui




MONUMEN SAM RATULANGI

Merupakan bekas rumah yang dihuni DR. Sam Ratulangi pada saat diasingkan oleh Belanda. Terletak di Pusat Kota Serui

TUGU SALIB

Tugu ini didirikan untuk mengenang pertama kalinya agama Kristen Protestan masuk ke Serui. Terletak sekitar 2 Km dari pusat kota dan dapat ditempuh dengan berbagai macam kendaraan maupun dengan berjalan kaki.




BARAWAI
Desa Barawai Kecamatan Yapen Waropen dapat dicapai kurang lebih 4 jam dari Kota Serui dengan taksi laut, panorama alam dan pantainya sangat indah. Disini Anda melakukan kegiatan tracking (mendaki) melewati daerah hutan lindung menyaksikan keindahan alam flora dan fauna, terutama Anda menyaksikan dari dekat burung-burung Cenderawasih yang sedang Bermain di alam habitatnya baik pada pagi hari dan sore hari. Apabila anda datang ke tempat ini, anda akan disambut dengan tarian ada oleh masyarakat setempat dan dapat dipandu melihat kehidupan burung Cenderawasih dari dekat.

HUTAN LINDUNG
Lokasi ini berada di sepanjang Kecamatan Yapen Angkaisera dan Yapen Timur. Jarak 2-3 jam dengan kendaraan, disini Anda bisa tracking sambil menyaksikan berbagai jenis flora dan fauna, gunung, lembah dan sungai.

PANTAI MARIADEI
Pantai ini dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dan roda dua atau dengan berjalan kaki dalam waktu 15 menit dari Kota Serui. Pantai ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Kota Serui pada hari minggu dan hari-hari libur lainnya. Yang paling menarik adalah menyaksikan indahnya matahari terbenam di sore hari.
TELAGA BIRU SARWONDORI
Di tempat ini terdapat dua Telaga berwarna biru dengan panorama yang sangat indah letaknya di desa Sarowondori ± 5 km dari kota Serui. Di sini dibangun sebuah objek wisata yang ramai dikunjungi oleh masyarakat kota Serui pada hari Minggu dan hari-hari libur lainnya. Selain sebagai objek wisata juga tersedia rumah-rumah untuk tempat istirahat melepas lelah sambil bermalam. Objek wisata ini dikelola oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Yapen Waropen di Serui.

TARIAN TRADISIONAL
Ini adalah satu tarian tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di kabupaten ini.






2.4.9. Potensi Wisata Kabupaten Biak Numfor

Kabupaten Biak Numfor dengan ibukotanya Biak terletak di bagian utara Provinsi Papua terdiri dari 3 pulau besar yaitu, Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor serta puluhan pulau-pulau lainnya. Kabupaten Biak Numfor kaya akan sejarah perang duia ke II dan keindahan alam lautnya yangindah dengan pantai-pantainya yang berpasir putih.
Transportasi di Biak didukung oelh Bandar Udara bertaraf Internasional " Frans Kaisepo " yang melayani pesawat-pesawat besar dari Jakarta, Surabaya,Makassar dan lain-lain. Terdapat pula pelabuhan laut yang disinggahi kapal-kapal besar dari Batam, Jakarta, Surabaya. Kapal kecil beroperasi untuk melayani perjalanan ke kabupaten-kabupaten lain di Papua.

GOA JEPANG








Nama asli goa ini adalah ABYAU BINSAR, menurut bahasa Biak. Pada masa perang Dunia II, goa ini disebut Goa Jepang karena pada masa itu tentara Jepang menggunakannya sebagai pusat logistik dan pusat persembunyian. Kurang lebih 5000 tentara Jepang terperangkap dan mati di dalamnya akibat serangan mendadak tentara sekutu. Goa ini banyak dikunjungi wisatawan manca negara terutama dari Jepang. Letaknya di Desa Sumberker Kecamatan Biak Kota. Kurang lebih 15 menit dari Kota Biak dan dapat di tempuh dengan segala Jenis Kendaraan.

MONUMEN PERANG DUNIA II








Monumen ini dibangun oleh Pemerintah Jepang di Desa Parai dengan menyimpan sejumlah tulang-tulang dari bala tentara Jepang yang tewas pada Perang Dunia II. Lokasi ini dipilih karena pada tahun 1942 - 1944 tempat ini digunakan sebagai Pusat Perdagangan Pemerintah Jepang selain sebagai basis pertahanan. Untuk mencapai monumen ini dibutuhkan waktu ± 15 menit dari kota Biak

WISATA BAHARI
Biak Numfor berada dalam teluk Cendrawasih dan dikelilingi oleh lautan dan pulau-pulau yang kaya akan berbagai jenis biota laut, seperti ikan dan karang yang berwarna warni.
Tempat-tempat penyelaman (Diving) berada di panjang gugusan kepulauan Padaido yang ditempuh dengan motor laut dan juga terdapat beberapa lokasi selam lainnya seperti di pulau rani, pulau Insum babi pulau Mapia, setiap pulau ini dikelilingi oleh pantai berpasir putih yang indah panorama alamnya dengan perkampungan nelayan.
Terdapat karang laut yang sangat indah di tepat ini seperti karang gua, karang lunak, karang keras, karang kipas dengan corak warna yang indah dan juga ikan badut, ikan tongkol raksasa, ikan pari Rajawali, kepiting, kerang-kerangan, belut, lar laut tak Beracun, ikan hiu.
TAMAN BURUNG & ANGGREK
Di kawasan ini Anda melihat berbagai jenis burung terdapat di Provinsi Papua seperti Cendrawasih dan berbagai jenis bunga anggrek yang jarang dan spesifik dari daratan Provinsi Papua.




AIR TERJUN
Air terjun yang indah dengan sebuah Telaga kecil yang sangat dingin sangat cocok untuk berenang dan bersantai, terletak di Warsa Biak Utara ± 2 jam dari Kota Biak.


PANTAI AGGADUBER
Pantai ini terletak di bagian Timur Kota Biak jarak tempuh 32 Km dengan kendaraan. Pantai ini sangat menarik, karena pasirnya putih, air bersih dan panorama alamnya sangat indah dan berhadapan dengan laut Pasifik.

MUSEUM CENDRAWASIH
Museum ini terdiri dari jalan Sisingamangaraja dengan gaya arsitektur tradisional Suku Biak (RUMSRAM) dan digunakan sebagai museum sejarah dan peninggalan kebudayaan. Dalam museum ini disimpan bekas alat-alat perang pada masa Perang Dunia II dan benda-benda budaya dari Suku Biak Numfor, Museum ini terletak di kota Biak kurang lebih 10 menit dari Kota Biak dan dapat dicapai dengan segala jenis kendaraan.
2.4.10. Potensi Wisata Kabupaten Manokwari

Kabupaten Manolwaro terdiri dari 12 Kecamatan dan 132 Desa. Kabupaten Manokwari sering juga disebut kota buah-buahan karena disini tanahnya sangat subur untuk berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Penduduk Asli Kabupaten Manokwari terdiri dari beberapa suku seperti Suku, Sough, Suku Karon, Suku Hatam, Suku Meyeh dan Suku Wamesa, Suku-suku ini mempunyai budaya yang unik dan berbeda.

PEGUNUNGAN ARFAK
Suatu kawasan cagar alam yang dilindungi, bagi setiap pengunjung yang datang ke pegunungan Arfak benar-benar merasa puas, karena dapat menikmati panorama alamnya yang indah sejuk seperti hutan.
Lembah , sungai. Perkampungan tradisional dan kehidupan masyarakat yang masih seperti zaman batu, yang paling menarik disini adalah terdapat sekoitar 320 jenis burung, 110 jenis mamalia dan 323 jenis kupu-kupu.

PANTAI PASIR PUTIH
Terletak sekitar 5 km dari pusat Kota Manokwari dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dan roda dua dengan waktu 15 menit Pantai ini sangat nyaman untuk rekreasi berenang, jemur panas, pasirnya putih dan berombak kecil.


PANTAI AMBAN
Terletak 4 km dari Kota Manokwari dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Pantai Amban pasirnya berwarna hitam dengan deburan ombak yang menawan jika Anda ingin menyaksikan keindahan terbitannya matahari di ufuk tumur, Anda datang melihatnya disini.
DANAU ANGGI
Danau Anggi luasnya 2.000 ha artinya sangat jernih. Terletak di Kecmatan Anggi, kira-kira 30 menit dari Kota Manokawri dengan pesawat udara jenis Cessna dan Twin Otter.

TAMAN LAUT
Kawasan ini memiliki pulau-pulau yang panorama alamnya sangat indah dan tenang di pulau-pulau in ada masyarakat nelayan dengan perkampungan tradisional. Di beberapa pulau ini terdapat hamparan terumbu karang dengan jenis-jenis biota lautnya dari cocok untuk kegiatan selam.

CAGAR ALAM PEGUNUNGAN WONDIWOY
Cagar alam ini memiliki 147 species burung dan berbagai jenis glora dan fauna lainnya. Terletak di sepanjang Jaziriah Wasior 142.173,94 km dengan luas 73.022 ha. Dari cagar alam ini dapat dinikmati panorama alam Teluk Wandamen dan Teluk Cenderawasih yang sangat indah. Dapat dicapai dengan pesawat udara jenis Cessna dan Twin Otter waktu tempuh ± 20 menit dari kota Manokwari.
Bentuknya unik dibangun di atas tiang-tiang penyangga yang sangat banyak sehingga dinamakan rumah seribu kaki. Dindingnya terbuat dari kulit kayu sedangkan atapnya dari daun pandan penghuninya terdiri dari 4 sampai 5 keluarga (25-30 orang). Rumah-rumah tradisional Suku Arfak ini di pedalaman Manokwari, Kecamatan Kebar, Anggi dan Merday.

HUTAN WISATA GUNUNG MEJA
Dari kejauhan gunung ini membentuk seperti meja terletak kira0kira 2 km dari Kota Manokwari dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Areal gunung meja merupakan Hutan yang sangat ideal untuk olahraga hiking, piknik keluarga serta penelitian. Di kawasan hutan wisata ini dibangun Tugu Jepang yang merupakan monumen peringatan Pendaratan tentara Jepang divisi 221 dan 222 di Manokwari pada waktu Perang Dunia II dari lokasi ini dapat menikmati pemandangan Kota Manokwari.

TUGU DI PULAU MANSINAM
Pulau Mansinam terletak di teluk Doreri merupakan salah satu obyek wisata sejarah, karena di tempat inilah dibangun sebuah monumen untuk memperingati pertama kali masuknya Injil di Papua oleh dua Misionaris berkebangsaan Jerman bernama Ottow dan Geisler pada tanggal 5 Februari 1855. Ditempat ini juga terdapat sebuah sumur tua dari dua Misionaris tersebut.
Pulau ini didukung oleh keindahan taman laut dengan pantainya berpasir putih mengandung banyak wisatawan berkunjung ke tempat ini. setiap tahun tepatnya tanggal 5 Februari umat Kristiani di Provinsi Papua menyelenggarakan Wisata Rohani di pulau ini untuk memperingati hari masuknya Injil.

TARIAN TRADISIONAL
Di Manokawri terdapat berbagai jenis tarian dan upacara-upacara adat dari suku-suku yang ada baik suku-suku di pedalaman dan pesisir pantai selalu ditampilkan pada acara-acara seperti penyambutan kelahiran anak, peminangan, upacara pernikahan.Upacara pengangkatan dan penobatan kpeala suku dan juga pada festifal dan hiburan umum.
CENDERAMATA
Hasil-hasil Kerajinan rakyat seperti Lukisan, ukiran, Anyaman yang merupakan cenderamata dapat dibeli pada beberapa toko cenderamata dan sanggar Kerajinan rakyat di Kota Manokwari.



2.4.11. Potensi Wisata Kabupaten Fak-fak

Kabupaten Fak-fak berada di Selatan Provinsi Papua dan memanjang 750 Km dengan luas 50.592 Km2 . Kabupaten Fak-Fak dengan ibu Kota Fak-Fak sering disebut Kota Plaa, karena daerah ini subur akan pohon pala dan terletak pada posisi 131030 sampai 1380 Bujur Timur.

IKAN DUYUNG
Ikan Duyung ini dipelihara oleh seorang warga Desa Kita Fak-Fak dari sejak kecil dan kini beratnya 400 kg dan panjang 2.90 meter. Jarak tempuh ke tempat ini ± 25 meinti dari kota Fak-Fakt dengan menggunakan segala jenis kendaraan.





TRACKING FAK-FAK KOKAS
Route Fak-Fak � Kayumi � Ubari � Kokas
Sepanjang jalan Anda menikmati panorama alam yang indah dan sejuk, melewati gunung dan lembah. Selama dalam perjalanan anda jalan diiringi kicauan berbagai jenis burung yang menghiasi hutan rimba. Anda berjalan ± 20 Km dalam waktu 4 jam tiba di Kayumi dan berbagai jenis Anggrek dari utara hutan lindung, Anda melanjutkan perjalanan ke Ubadari, dari Buadari Anda menumpang taksi sungai (long boat) menyusuri sungai dengan air yang tenang, panorama alam yang indah, sejuk dan dihibur kicauan burung-burung dari pepohonan yang ada di pinggiran sungai, dan anda akan melewati perkampungan tradisional Patimbaruk dan tiba di Kokas.

KOKAS
Kokas adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Fak-Fak terletak di Teluk Bintuni.
Di Kokas Anda dapat beristirahat di sebuah home stay milik masyarakat setempat.
Di Kokas Anda dapat melihat peninggalan Perang Dunia II seperti meriam, bom dan peralatan perang lainnya dan sebuah goa yang dijadikan sebagai tempat pertahanan oleh Dai Nippong yang dipimpin oleh Panglima Serebo Taco. Panjang Goa ini ± 285 meter, tinggi ± 2.5 meter dan lebar 3 meter.

TAPAK TANGAN
Disini terdapat sebuah gambar berupa Tapak Tangan manusia yang menempel atau terlukis pada tebing batu yang oleh masyarakat setempat menamakan Tapak Tangan Berdarah karena warnanya merah darah.
Tempat ini pernah didatangi oleh ilmuan untuk meneliti tentang kapan dan bagaimana hal ini terjadi.

KAIMANA
Kaimana merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Fak-Fak, yang panorama alamnya sangat indah dan menarik. Untuk menyaksikan keindahan saat matahari tenggelam dapat dilakukan disini karena letaknya di tepi pantai. Cuaca di Kaimana menjadi warna merah jingga di kala matahari hendak terbenam dengan cahayanya yang memantul di permukaan laut membuat kota Kaimana menjadi indah dan menarik. Selain pemandangan yang memikat tersebut, juga dapat mengunjungi obyek-obyek wisata lainnya seperti relief-relief kerajaan kuno, beberapa gua dan kerangka burung Garuda (jenis yang sangat langka) di Lobo. Di gunung Karanjen Lobo dapat dijumpai sebuah tugu yang disebut �FORT DU BUS�, yang didirkan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1838. daerah ini dapat dicapai dengan pesawat terbang seperti Twin Otter milik Merpati Nusantara Airways (MNA) atau jenis pesawat pribadi yang lainnya. Selain itu dapat juga dicapai melalui laut dari pantai selatan Papua atau Pulau Maluku.









2.5.12. Potensi Wisata Kabupaten Sorong

Kabupaten Sorong tertelak di bagian Barat Provinsi Papua dengan luas ± 176.000 Km2 pada ketinggian 0-75 m dari permukaan laut. Sorong sering dinamakan Kota Minyak karena disini terdapat sumber minyak terbesar di Indonesia Timur, memiliki sumber daya alam yang cukup baik dan menawarkan investor guna menanamkan modalnya di berbagai sektor salah satunya Pariwisata.

PAKET WISATA SELAM
Wisata selam khususnya di Kabupaten Sorong menawarkan paket wisata yang menarik untuk menyelam selama 2 sampai dengan 3 minggu. Daerah-daerah penyelaman ini memiliki panorama alam yang masih asli dan belum terjamah oleh tangan manusia.
Di daerah Kepulauan Raja Ampat sampai kepulauan Jefman terlihat keindahan alam yang unik dan beragam dengan jenis karang yang indah dan menarik serta terdapat bangkai-bangkai kapal sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II mulai dari wilayahnya Manokwari sampai dengan kepulauan Raja Ampat (Sorong). Selain itu ada juga paket wisata lainnya seperti wisata budaya dengan perkampungan penduduk yang asli dan menelusuri hutan dengan menyaksikan air terjun, mendaki gunung serta menikmati pemandangan disekitarnya. Pemandangan lain yang dinikmati adalah pesisir pantai yang putih dengan bunga-bunga anggrek yang tumbuh di sepanjang pantai serta berbagai jenis burung seperti burung Cenderawasih, Nuri, Kakatua, Elang Bakau Putih, dll.

PANTAI TANJUNG KASUARI
Obyek wisatawan ini jarak tempuh 7 km dari kota Sorong dengan semua jenis kendaraan. Pantai ini pasirnya putih dengan airnya yang bergelombang kecil, alamnya sejuk indah dan disepanjang pantai terdapat pohon kelapa, cocok untuk rekreasi pantai, snorking, perahu layar, berjemur panas. Pantai ini ramai dikunjungi oleh masyarakat kota Sorong.

BASE CAMPS
1. Kepulauan Mansoer
Mempunyai pantai yang landai serta pemandangan laut yang indah dengan berbagai ragam bunga karang lunak, karang keras, ikan-ikan dalam kelompok besar, bara-bara kuda, ikan hiu dan jenis species lainnya.
2. Kepulauan Wai dan Teluk bay dilokasi ini ditemukan bangkai kapal laut dan pesawat terbang peninggalan Perang Dunia II
Jarak tempuh ± 30-60 menit dari Kota Sorong dengan speed boat.

PULAU BATANTA
Terletak di Kecamatan Salawati, jarak tempuh 2 jam dari kota Sorong. Panorama alamnya sangat indah, pantai dengan pasirnya yang putih dan airnya jernih.

BAB. III
PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI

3.1. Kondisi Papua Saat Ini
Papua merupakan sebuah propinsi yang memiliki potensi kekayaan alam luar biasa besarnya. Tetapi mengapa papua selama ini diidentikkan dengan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan? Tidakkah dengan potensi yang ada seharusnya masyarakat papua bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik dari sekarang? Seberapakah tertinggalnya papua dibandingkan dengan daerah yang lain? Dan apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin ada di benak masyarakat Indonesia atas kondisi di papua saat ini. Keadaan propinsi yang dahulu bernama irian jaya ini sangat ironi, dimana di satu sisi memiliki potensi alam yang besar dan di sisi lain kualitas kehidupan masyarakat yang masih memprihatinkan. Semua model pembangunan telah diterapkan pemerintah di bumi papua untuk mengubah kehidupan masyarakat ke arah perbaikan yang lebih maju, tetapi tidak maju-maju juga.
Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat, dan selama itu pula terjadi kekeliruan dalam penerapan model pembangunan di papua. Hal tersebut dikarenakan keadaan papua dalam kondisi dilemmatis, di mana pada satu sisi, prinsip otonomi khusus dengan kemandiriannya harus dikompetisikan dengan kemajuan global, sementara di sisi lain masyarakat di Tanah Papua saat ini umumnya masih terkondisikan dalam tingkat produktivitas rendah dan kalah bersaing. Sebagaimana diketahui bahwa kemajuan dunia dewasa ini telah mengindikasikan beberapa faktor seperti: rotasi perkembangan teknologi dengan rentang waktu pendek, teknologi informasi canggih, perdagangan bebas, primary service, good governence, high cempetition. Indikasi tersebut seringkali menjadi dasar acuan kebijakan pembangunan yang dipercepat. Padahal, memacu pertumbuhan dengan memanfaatkan nilai-nilai dari luar, jelas memliki beberapa dampak yang buruk terhadap masyarakat papua.
Sementara itu, ketika pembangunan diidentikkan dengan modernisasi, menimbulkan pola-pola pengembangan yang cenderung bersifat memaksa dan berimplikasi pada tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi. Akibatnya, banyak nilai-nilai tradisional yang memiliki potensi riil untuk mendorong pengembangan masyarakat menjadi terasa asing dan kehilangan daya rekatnya. Selain itu juga menghasilkan konglomerasi di satu pihak dan kemiskinan di pihak lain. Sesungguhnya, konsepsi pembangunan tersebut tidaklah sebatas dari pertumbuhan atau modernisasi dengan parameter ekonomi serta kemajuan fisik dan material semata, melainkan lebih dari itu diperlukan aspek-aspek non material yang mencakup pembentukan dan pengembangan keseluruhan sikap-sikap sosial dalam masyarakat.
Issu-issu utama pembangunan di Papua, telah lama menjadi perhatian publik, baik pemerintah maupun masyarakat. Di pihak masyarakat, issu-issu tersebut telah menjadi arena perjuangan dalam rangka menemukan suatu kondisi yang lebih baik di semua aspek kehidupan, sementara itu di pihak Pemerintah, issu-issu tersebut telah disetting sebagai agenda pembangunan dalam berbagai kebijakan, strategi dan program-program pembangunan tahunannya. Adapun issu-issu pembangunan tersebut meliputi semua bidang dan sektor yang pada dasarnya masih tertinggal dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Tetapi sejumlah issu strategis penting selama 5(lima) tahun terakhir ini adalah :
1. Sumberdaya Manusia : berdasarkan laporan Pemerintah Provinsi Papua (2004) bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi dihadapkan pada persaingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.
2. Pemberdayaan Ekonomi Daerah : Memperhatikan struktur ekonomi Papua dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, nampak didominasi sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, serta sektor perdagangan dan jasa. Sementara sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB sangat kecil. Menurut hasil penelitian UNDP bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (2005), diperkirakan masih terdapat 41,80% penduduk yang dikategorikan sebagai kelompok miskin di Papua, dan angka ini sedikit menurun pada tahun 2003 yaitu 39,02 %. Bila dibandingkan dengan angka nasional, Papua masih tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Toli-kara memiliki persentase penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah pantai seperti Asmat, Keerom, Boven Digoel dan Sarmi. Demikian halnya dengan Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Merauke sebagai kabupaten induknya, tidak ada perbedaan yang jauh dalam hal persentase penduduk miskin. Data yang dikeluarkan oleh Bappenas (2004) dan Susenas (2004) menunjukkan bahwa per-sentase penduduk miskin Papua, menurun dari 41,80 pada 2002 menjadi 39,02 pada tahun 2003. Tetapi jika dibandingkan dengan persentase tingkat nasional, kemiskinan di Papua tergolong tinggi.
3. Infrastruktur : Prasarana jalan dan transportasi di Papua adalah salah faktor penyebab utama dari ketertinggalan. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan atau peningkatan jalan darat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan penting. Teristimewa untuk tiga kabupaten, Paniai, Tolikara dan Boven Digoel yang memiliki lebih dari 35 kampungnya hanya dapat dijangkau oleh angkutan udara. Keadaan ini mengakibatkan kampung-kampung tersebut secara relatif masih terisolasi. Penambahan jaringan listrik dan kapasitasnya juga menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kabupaten Paniai dan Sarmi kurang dari 3% penduduknya yang menikmati fasilitas listrik. Ada empat kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara dan Boven Digoel yang tidak mengelola sampah dan sanitasi air kotor di daerahnya. Keadaan ini apabila dibiarkan, pada saatnya nanti akan menjadi permasalahan serius di empat kabupaten tersebut. Karena sampah dan sanitasi air kotor yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan air bersih juga menjadi hal yang mendesak di lima kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara, Boven Digoel dan Asmat. Karena situasi, kondisi dan lingkungannya, kelima kabupaten tersebut, sulit mendapatkan air sumur yang memenuhi standar minimal air bersih. Bahkan khusus untuk daerah Asmat tidak mungkin membuat sumur untuk air minum. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan. Kabupaten Paniai, Sarmi, Keerom dan Tolikara, juga membutuhkan peningkatan pelayanan listrik, jaringan dan kapasitasnya. Kurang dari 3% rumah tangga yang mendapatkan pelayanan listrik. Bahkan di Tolikara, belum ada kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara).
4. Pemerintahan : Di bidang ini, nampak terlihat masih adanya kendala serius, terutama dalam hal : justifikasi hukum pemerintahan serta kapasitas dan kinerja orga-nisasi pemerintahan. Kerangka pemerintahan dalam konteks otonomi khusus menjadi kabur, karena belum jelasnya perangkat pemerintahan yang seharusnya diberlakukan, sementara itu kapasitas dan kinerja organisasinya menjadi lemah oleh karena: (a) Semua daerah baik yang lama maupun yang baru dimekarkan telah membentuk dinas-dinas yang terkait dengan sektor tersebut; (b) Pelaksanaan fungsi dan tugas dinas-dinas di daerah pemekaran sudah berjalan namun belum optimal karena pada tahun-tahun awal perhatian pemerintah sebagian besar pada penyediaan prasarana dan sarana fisik kantor. (c) Masih banyak pegawai dari dinas-dinas di daerah pemekaran meninggalkan tugas dan tinggal di kota-kota.
Bertitik tolak pada kondisi potensi dan permasalahan, maka kebijakan pemba-ngunan ditempuh dengan 4(empat) pendekatan, yaitu : (a) Mikro spasial vs Makro sektoral. Keserasian pendekatan kawasan yang bertumpu pada aspek manusia (mikro) dan pen-dekatan pertumbuhan yang bertumpu pada sektor potensial (makro); (b) Kesejahteraan dan ketenteraman. Keserasian proses pembangunan dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketenteraman lahir dan bathin yang dinamis dalam massyarakat; (c) TigaTungku. Keserasian pendekatan pembangunan di mana dalam proses pembangunan melibatkan peran aktif tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah secara serasi, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing melalui kemitraan dengan pola pendampingan, pembimbingan dan perlindungan kepada masyarakat sebagai wujud nyata pemerintahan yang baik (good governance) ; (d) Wawasan Lingkungan. Keserasian pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup, di mana semua kegiatan pembangunan harus dikaji dampaknya.
Secara khusus, kebijakan pembangunan di Provinsi Papua dititik beratkan pada 4 program prioritas utama, yaitu :
1. Pendidikan : diarahkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar mampu merubah sikap, orientasi dan pola pikir untuk bertindak secara profesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Dalam era otonomi khusus, proses pendidikan memperhatikan keragaman kebutuhan daerah dengan memperbesar muatan lokal. Meng-upayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan sesuai dengan karakteristik spesifik Papua, seperti pendidikan berpola asrama. Peningkatan mutu pendidikan Adapun jabaran kebijakan menjadi kegiatan dititik beratkan pada pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan yang bertujuan untuk menjangkau dan menyerap penduduk usia sekolah serta meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM agar menguasai Ipteks, merubah sikap dan pola pikir untuk bertindak pro-fesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi serta mampu mengelola potensi sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraannya.
2. Kesehatan : diarahkan pada peningkatan mutu lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja, pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan.
3. Ekonomi Kerakyatan. Diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Pember-dayaan ekonomi rakyat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat agar mampu mengolah dan mengelola sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Di dalam Renstra telah dituangkan bahwa pertanian merupakan salah satu sektor yang akan terus dipacu pengembangannya. Kebijakannya diarahkan pada sektor : pertanian, perikanan dan kelautan, serta kehutanan.
4. Infrastruktur. Dalam rangka pembangunan prasarana dan Sarana, kebijakan diarahkan pada pembangunan dan peningkatan infrastuktur pemerintahan, ekonomi dan Pelayanan Publik de-ngan tujuan untuk mendukung pe-ngembangan wilayah, terutama wi-layah yang belum tersentuh pem-bangunan, pusat-pusat pemerintahan, kawasan pengembangan ekonomi rakyat dan kawasan-kawasan tumbuh cepat. Pembangunan infrastruktur di-harapkan dapat meningkatkan pelayanan pemerintahan serta mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat di suatu kawasan dan sekitarnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan, memberikan akses bagi masyarakat pedesaan untuk berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar arus barang dan jasa, serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan pokok lainnya. Di sektor perhubungan, sejumlah kegiatan diarahkan untuk : (a) Mengembangkan sistim transportasi laut, darat dan udara terutama menuntaskan pembangunan ruas jalan strategis antar kabupaten-kota. (b) Mengembangkan sistim angkutan umum melalui penyediaan kapal penumpang perintis dan jasa transportasi laut lainnya sebagai penghubung antar pulau. (c) Mengembangkan dan membangun jaringan jalan antar desa/kampung. (d) Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi untuk mendukung pembangunan Kota Kabupaten.
Gagalnya suatu paradigma menerangkan fenomena atau gejala alam (dan atau gejala sosial) yang merupakan suatu realitas baru, disebabkan adanya "unsur" baru yang sebelumnya tidak diprediksi keberadaannya sewaktu paradigma itu disusun. Oleh karena itu, upaya pertama yang perlu dilakukan dalam penyempur-naan atau penyusunan paradigma adalah penemukenalan unsur-unsur dimaksud. Dikaitkan dengan kondisi Papua, penyusunan dan perumusan wacana kemandirian lokal sebagai suatu alternatif pendekatan atau paradigma baru pembangunan dilakukan dengan bertitik tolak pada upaya penemukenalan "unsur" yang menjadi penyebab kegagalan pendekatan pemba-ngunan yang lama. Pendekatan pembangunan yang dikenal dan dikembangkan oleh para pakar dan praktisi pembangunan cukup mewarnai dinamika pembangunan di Tanah Papua selama ini, sebut saja teori modernisasi, teori ketergantungan, teori artikulasi, dan teori sistem dunia. Penerapan teori-teori tersebut ternyata tidak secara rigit dianut, melainkan kombisasi antar teori yang melahirkan suatu paradigma pembangungan yang sangat variatif dan terkadang menjadi tidak jelas. Contoh : antara paradigma pertumbuhan dan paradigma pemerataan yang di dalamnya menyertakan pula konsep pembangunan berwawasan lingkungan, pembangunan manusia seutuhnya, dan pembangunan berkelanjutan.
1. Paradigma Pembangunan Era Sentralistis
Pada era sentralistis - ketika itu Papua masih disebut Irian Jaya – paradigma pembangunan yang diterapkan nampak merupakan kombinasi teori yang dikenal sebagaimana diutarakan sebelumnya, lebih dominan pada paradigma pertumbuhan menurut teori modernisasi. Hal ini jelas nampak pada posisi hubungan Jakarta-Papua, di mana hampir seluruh ide, konsep, rencana, dan petunjuk pelaksanaan pembangunan dilakukan secara terpusat yang mengandalkan prinsip tricle down effect. Walau paradigma tersebut diselingi dengan paradigma pemerataan dan keadilan, tetapi tak cukup memberi warna pada seluruh tahapan pembangunan di Papua.
Secara umum, konsep pembangunan yang diterapkan berdasar pada para-digma itu adalah membagi Tanah Papua ke dalam beberapa wilayah “pusat pertumbuhan”. Ketika itu terdapat 4 pusat pertumbuhan. Konsep ini, kemudian ternyata menimbulkan kesenjangan yang kian menganga antara daerah pusat pertumbuhan yang dipercepat dengan daerah-daerah pinggiran dan hinterland yang hanya memperoleh efek minimal saja. Konsep tersebut dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan jangka panjang, yang selanjutnya dioperasionalkan dalam REPELITADA dan APBD dan menggunakan mekanisme UDKP dan Rakorbang. Dalam bidang pendidikan, ditandai dengan kebijakan dan strategi “percepatan” kualitas dengan standar yang ditentukan di Jakarta berdasarkan prinsip sama bagi semua Maka berlakulah kurikulum nasional pada semua jenjang pendidikan hingga 70 % dari seluruh muatan kurikulum. Alokasi pembiayaan, personalia, dan sarana manajemen lainnya, serta penetapan program pembangunan di bidang pendidikan di desain bukan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula halnya di bidang lainnya, termasuk di bidang ekonomi. Skala pembangunan ekonomi di Papua, ketika itu termasuk yang terkecil dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia. Sektor pertambangan dan migas yang menjadi andalan kekayaan Papua dikuasai oleh Jakarta dan dikembalikan ke Papua hanya dalam jumlah yang kecil (maksimal 30 % saja dari keuntungan yang diterima oleh Negara). Di bidang kependudukan, atas dasar pemerataan penduduk semata tanpa memperhatikan aspek kualitasnya, Pemerintah Pusat mengirim transmigran dalam jumlah besar ke Papua. Pemerintah dan masyarakat Papua tinggal menerima saja tanpa dilibatkan secara serius dalam perencanaannya.
Pada era pembangunan ini, juga diterapkan paradigma pemerataan yang didasarkan pada teori artikulasi, di mana melalui berbagai program pembangunan di kampung-kampung ditempuh dengan menggunakan strategi “pengelompokan masyarakat”. Muncullah berbagai simpul-simpul kecil pembangunan di desa-desa, seperti : KSM, POKMAS, dll. Yang dimaksudkan agar masyarakat dapat secara bersama-sama dalam kelompoknya mendesain rencana kebutuhannya sendiri dengan cara produksi bersama-sama. Sebutlah misalnya : Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), JPS, dan Pengembangan Kawasan Terpadu, Program BANGDES, dengan pola pendampingan. Program ini dilakukan pada skala mikro-spasial tetapi dirancang dengan skala-makro oleh pemerintah.
Bagi Papua, serangkaian fakta-fakta tersebut justru hanya menciptakan ketergan-tungan abadi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang mendasari penyelenggaraan Pemerintahan daerah tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen menggeser kewenangan itu dari Jakarta ke Papua. Faktanya, dalam segala hal, tugas Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota hanya sebatas mengusulkan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang dibentuk di Papua pada 1976, tidak dapat berperan sebagai institusi fungsional, sebab perannya selama ini kurang jelas baik sebagai koordinator pembangunan maupun sebagai pengendali pemba-ngunan. Karena ketidak jelasan tersebut, maka seringkali Bappeda justru bertindak sebagai pelaksana pembangunan.
Beberapa sinyalemen tentang kegagalan pembangunan di Papua ketika itu adalah bentuk ekspresi dari penyesalan terhadap perlakuan kebijakan pemerintah pusat di Papua yang ternyata hanya menimbulkan deviasi terhadap sasaran yang ingin dicapai. Penyebabnya jelas, faktor-faktor struktural sebagai faktor ikutan dari teori modernisasi dengan paradigma pertumbuhannya, mencakup : masalah alokasi anggaran yang tidak tepat waktu sesuai dengan desakan kebutuhan masyarakat, mekanisme top-down yang lebih dominan, serta disiplinisasi pada mekanisme aturan perencanaan yang berlaku, ukuran keberhasilan yang digunakan kurang tepat.
2. Paradigma Pembangunan Era Otonomi Daerah
Bahwa reformasi nasional telah melahirkan beberapa perubahan mendasar hingga ke Tanah Papua. Dimulai dengan pergeseran kewanangan dari Jakarta ke daerah-daerah dalam konteks desentralisasi pemerintahan melalui undang-undang Nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 tahun 1999. Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah bahwa Pemerintah Kabupaten/kota di Tanah Papua mulai memiliki kewenangannya sendiri untuk membangun daerahnya masing-masing, kecuali dalam 6 hal yaitu: luar negeri, pertahanan, moneter, kehakiman, agama, dan lain-lain.
Era ini ditandai dengan semakin menumpuknya masalah-masalah pemba-ngunan yang ditimbulkan oleh kondisi masa lalu. Satu-persatu masalah mencuat. Di lain pihak, pemerintah tidak cukup stabil dalam menjalankan roda peme-rintahan dan mendesain rencana pembangunannya. Krisis di Tanah Papua yang sudah terjadi sejak lama kemudian berlanjut. Sejumlah peristiwa politik yang tidak menguntungkan telah turut mempengaruhi kinerja pembangunan yang memang sudah terseok-seok itu. Praktis, laju pembangunan di era ini berjalan perlahan tanpa tenaga. Para pihak lebih banyak disibukkan dalam pembenahan masalah politik dan penyesuaian kebijakan baru serta penataan kembali organisasi pemerintahan dan rencana pembangunan daerah.
Munculnya kesadaran baru bagi masyarakat di Tanah Papua, seolah meng-giring pemerintahan dan pembangunan ke arah perubahan yang sangat drastis. Dalam usianya yang hanya kurang dari 4 tahun, era otonomi daerah hanya melahirkan sejumlah icon baru pembangunan, seperti : kian menebalnya sikap emosional yang melahirkan istilah “putra daerah”, “menjadi tuan di negeri sendiri”, yang bersamaan dengan meningkatnya tekanan sebagian kelompok masyarakat yang ingin merdeka. Kebijakan pemerintah daerah untuk menjustifikasi hal tersebut bersifat protektif. Artinya, bahwa pembangunan di Tanah Papua harus memberikan prioritas pada Orang Papua. Hal ini disadari benar bahwa selama Pemerintahan Orde Baru pada era pembangunan sentralistis, Orang Papua kurang dihiraukan sebagai obyek utama pembangunan. Sejumlah kemajuan yang diperoleh pada era ini adalah mengurangi jumlah pengangguran dengan melakukan rek-ruitmen Pegawai Negeri Sipil baru lebih dari 3.000 orang dalam 3 tahapan yang di-dominasi oleh orang-orang Papua. Selain itu, dilakukan pula penyesuaian struktur organisasi dan promosi jabatan bagi Orang Papua di semua eselon penting. Juga, diperoleh kemajuan dari aspek pemberdayaan institusi kemasyarakatan. Seiring dengan era reformasi institusi kemasyarakatan menjadi tumbuh dan berkembang kuat untuk menjadi mitra kerja pemerintah dalam pembangunan.
Sangat disayangkan, karena dalam kurun waktu itu belum dapat dilakukan perluasan lapangan kerja di luar sektor pemerintahan. Hal ini lebih disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu : minimnya kualitas sumberdaya manusia, dan faktor permodalan usaha lokal yang masih terbatas. Kebijakan rekruitmen dan promosi di dalam birokrasi pemerintahan kurang memperhatikan aapek kualitasnya. Hubungan-hubungan kerja ke-dinas-an berkembang menjadi negatif ke arah primordialisme sempit. Munculnya fenomena baru yang cenderung tidak efisien dalam pembangunan, serta pertumbuhan institusi sosial kemasyarakatan menjadi tidak terkendalikan dengan baik.
Sisi positif dari kelahiran kesadaran baru itu adalah semakin menguatnya visi bersama menuju ke kemandirian lokal dalam konteks NKRI. Maksudnya adalah bahwa mulai disadari kelemahan sumberdaya manusia ditengah-tengah kekuatan sumberdaya alam yang berlimpah. Pembangunan di semua bidang dan sektor tidak optimal dan hanya melahirkan ketidak percayaan rakyat pada pemerintah. Tingkat pendidikan rendah, derajat kesehatan masyarakat rendah, tingkat kemiskinan rakyat amat parah, infrastuktur serba tak berkecukupan. Apa yang salah ? Demikian pertanyaan yang seringkali timbul dalam berbagai wacana pembangunan di daerah ini. Gagasan kemudian bergulir untuk memotong ketergantungan dari Pemerintah Pusat dan mulai pro-aktif melakukan pemberdayaan masyarakat di semua aspek kehidupan.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan tidak lagi menjadi primadona. Tetapi yang dikedepankan adalah paradigma pemerataan pembangunan yang manusiawi dan berwawasan lingkungan. Periodisasi era yang singkat ini hanya dapat menghasilkan suatu kerangka pembangunan berbasis “kemandirian” yang meletakkan dasar-dasar pokok bagi kelanjutannya di era berikutnya. Paradigma yang dikembangkan masih berkutat pada teori modernisasi, tetapi lebih mengedepankan teori weber tentang etika protestan, teori McLelland tentang N-Ach, dan teori Inkeles tentang pembangunan berwajah manusiawi. Mulailah dikedepankan ekonomi kerakyatan, dimana seluruh aspek perekonomian daerah mulai dirancang dari masyarakat hingga ke tingkat makro. Penerapan strategi ekonomi kerakyatan di masa lalu hanyalah bersifat semu dan setengah hati saja, karena sama sekali tidak membantu rakyat miskin. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dimulai dari jenjang pendidikan dasar dengan pola asrama dan melakukan mengkaderan melalui pengembangan kerjasama pendidikan dengan institusi pendidikan yang sudah maju di dalam dan di luar negeri. Selain itu institusi birokrasi mulai memperjelas visi dan misi pembangunan yang diembannya masing-masing, serta membangun jaringan kemitraan dengan berbagai stakeholders.
Oleh karena sebagian besar penduduk Papua bermukim di kawasan perdesan itu, relatif masih membutuhkan bimbingan, maka pola pendampingan dijadikan pola pemberdayaan sangat relevan, dengan melibatkan peran para tokoh pem-baharu di Kampung, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan LSM. Dalam penerapannya, pola pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan masyarakat di kawasan perkotaan tidak dipersamakan, karena selain karak-teristik sosial-ekonominya berbeda, kehadiran varian-varian kekuatan institusi masyarakat di kedua kawasan itu menunjukkan identitasnya masing-masing.
Pola pembangunan masyarakat di kawasan perdesaan dan pedalaman memerlukan pendekatan situasional yang sesuai dengan tatanan budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Konsep trickle down effect, spread effect, serta security approach tidak digunakan lagi secara efektif, melainkan mengedepankan konsep ekonomi kerakyatan yang sungguh-sungguh memihak kepada masyarakat melalui pemberian akses yang tinggi bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian proses pembangunan. Titik tolaknya pada prinsip pembangunan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, mekanisme bottom-up terus didorong dengan prasyarat adanya upaya peningkatan kemampuan masyarakat dan perangkat pemerintahan Kampung/kota dan Distrik secara bertahap dan berkesinambungan serta realokasi anggaran pembangunan kawasan perdesaan dan perkotaan yang memadai sesuai dengan tingkat kebutuhannya.
3. Paradigma Pembangunan Era Otonomi Khusus
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 menjadi acuan utama paradigma baru bagi kelanjutan proses pembangunan di Papua. Undang-undang ini tidak saja menegaskan kembali kewenangan berotonomi sebagaimana undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tetapi juga diberi label “khusus”. Kekhususan dimaksud dicirikan oleh karakteristik lokal yang beraras “budaya” dan “format peme-rintahan”. Orientasi pembangunan pada era ini, pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari desain pembangunan pada era sebelumnya yang telah dikerangkakan dalam perspektif otonomi dan kemandirian. Dengan semakin menguatnya kesadaran akan ketertinggalan di berbagai aspek pembangunan, maka kebijakan, strategi, dan program pembangunan semakin diintensifkan. Hal ini didukun dengan adanya tambahan alokasi pembiayaan, dana OTSUS selain DAU/DAK. Kebijakan pengelolaan dana otonomi khusus, ditetapkan berdasarkan pada tuntutan kebutuhan pembangunan di tiap Kabupaten/Kota di Papua dalam bentuk program prioritas yang dipertajam.
Beberapa hal penting yang masih menjadi kendala serius dalam rangka keber-lanjutan pembangunan pada era ini adalah : Pertama, adanya pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2000. Peristiwa ini telah menimbulkan pengaruh besar terhadap stabilitas keamanan di Provinsi Papua serta menguras tenaga, pikiran, dan biaya yang tidak sedikit dalam upaya penyelesaiannya. Tetapi hingga kini belum juga dapat dituntaskan. Kedua, struktur dan kinerja birokrasi masih saja belum dapat dituntaskan, terkait dengan belum terbentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketiga, belum adanya kerangka acuan pembangunan yang disepakati berdasarkan jiwa otonomi khusus dan Keempat, intensitas masalah politik yang makin meninggi.
Memasuki tahun keempat pelaksanaan otonomi khusus Papua, walaupun terdapat kendala-kendala serius yang menyertainya, namun telah dicapai kemajuan-kemajuan berarti, terutama dalam 4(empat) bidang prioritas pembangunan, yaitu : pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur. Sejumlah indikasi yang dijadikan ukuran adalah : Pertama, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, mencapai 4,5 % dengan PDRB mencapai 8,13 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa program prioritas dapat menggerakkan roda perekonomian Papua dan dapat membantu pembentukan modal masyarakat. Program peningkatan ketahanan pangan dan program pengem-bangan argribisnis telah mampu meningkatkan produktivitas, perluasan areal tanam dan pengembangan teknologi, pengembangan usaha untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, dan penggalakan kembali perkoperasian rakyat. Kedua, di sektor pendidikan, meningkatnya orang Papua yang telah terdidik hingga pada jenjang doktor, meningkatnya angka partisipasi sekolah (APK & APM) bagi SD, SLTP, dan SMU/ SMK, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga guru di berbagai jenjang pendidikan, serta semakin memadainya prasarana dan sarana pendidikan. Ketiga, di sektor kesehatan, menurunkan angka kematgian bayi menjadi 80/1000, meningkatnya kualitas gizi penduduk, mening-katnya upaya penanggulangan penyakit sehingga menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatnya mutu dan jumlah tenaga medis dan paramedis, serta semakin tersebarnya pusat-pusat layanan kesehatan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Hal-hal yang masih dalam upaya penanggulangan serius dan berkelanjutan adalah HIV/Aids di mana Papua termasuk yang paling beresiko di Indonesia serta penanggulangan penyakit malaria. Keempat, di sektor infrastruktur, telah berhasil menambah ruas jalan hingga 811,998 km dan penanganan jembatan 512 meter di berbagai daerah kabupaten/kota, pembangunan bandar udara sentani, sorong, mimika, dan beberapa daerah lain, penambahan sarana trasnporasi darat, laut/sungai, dan udara.
Paradigma pembangunan yang diafiliasikan adalah meneruskan paradigma yang diterapkan pada era sebelumnya (era otonomi daerah), dengan kombinasi pendekatan yang lebih sarat pada pemberdayaan masyarakat. Program-program pembangunan yang dicapai tersebut, mulai memberikan ruang yang luas kepada masyarakat sejak proses perencanaan hingga monitoringnya. Masyarakat telah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi dan menentukan sendiri kebutuhannya. Beberapa mekanisme pendekatan yang di-gunakan hingga saat ini, antara lain RPJMK (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung/Keluharan), Program pengembangan distrik, dan Program pemberdayaan Kampung/Kelurahan, yang semuanya bertumpu dari masyarakat. Pola pendampingan dan pelibatan stakeholders dalam hal ini adalah sesuatu yang disyaratkan.
Pola pendekatan pembangunan yang demikian itu menjustifikasi pemba-ngunan yang berpusat pada rakyat, sekaligus memotong ketergantungan masya-rakat kampung/kelurahan pada pemerintahan tingkat atasnya. Dalam jangka panjang, dapat menghapuskan kategori : pusat, pheriferi, hinterland, atau daerah pusat, daerah semi-pinggrian, daerah pinggiran, dan enclave, tetapi berubah menjadi semuanya pusat, masyarakat sebagai pusat pembangunan. Juga, dapat berarti me-reduksi pendekatan tricle-down karena faktanya sungguh-sungguh bottom-up bukan lagi top down di kampung/kelurahan. Sangat disayangkan, karena seiring dengan keberhasilan tersebut aspek pembiayaannya masih menjadi wewenang dan tang-gung jawab kabupaten/kota. Walaupun ditengarai akan memunculkan sentralisasi baru di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, tetapi argumen yang diajukan cukup beralasan karena memang untuk kondisi saat ini, masyarakat kampung dan distrik masih dipandang tidak cukup cakap dalam mengelola aspek pembiayaannya.
Memasuki Tahun Pertama pasca terbentuknya DPRP (Dewan perwakilan rakyat Papua) dan MRP (Majelids Rakyat Papua), ada angin segar bagi perubahan pendekatan pembangunan yang lebih mengedepankan aspek-aspek kebutuhan lokalitas. Pendekatan pengelolaan pembangunan berbasis pada perencanaan pem-bangunan jangka panjang (PPJP), perencanaan pembangunan jangka menengah (PPJM), dan Perencanaan Pembangunan Jangka Pendek – Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) telah menjadi bagian dari kerangka dasar skenario memajukan masyarakat di Tanah Papua, seiring dengan semangat desentralisasi yang sedang bergulir saat ini. Pendekatan pengelolaan pembangunan ini, diharap-kan dapat mengoptimalkan segenap potensi daerah ke arah peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara merata. Agar pembangunan daerah dapat berjalan seiring dan bahkan mampu menciptakan sinergi antara sesamanya, diperlukan adanya visi dan misi yang jelas dan dapat dioperasionalkan oleh seluruh perangkat pemerintahan dan komponen masyarakat.
Model pengelolaan pembangunan tersebut, akan memberikan peluang untuk memanfaatkan potensi Tanah Papua seoptimal mungkin. Dalam kerangka itulah, diperlukan suatu sistematisasi rencana pembangunan yang dipedomani oleh semua pihak. Rencana pembangunan merupakan hasil konsensus antara aktor-aktor pembangunan seperti Pemerintah Provinsi Papua beserta seluruh komponen masyarakatnya yang terdiri atas kelompok swasta dan lapisan masyarakat lainnya. Karenanya, perencanaan harus memuat komitmen yang kuat bagi kemajuan masyarakat dan daerah ini sesuai ketersediaan daya dukung sumberdaya pemba-ngunan yang tersusun berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan dan mengacu pada visi dan misi Pemerintah Provinsi Papua.
Pada konteks itulah, maka guna mewujudkan tujuan pembangunan di Tanah Papua, telah dirancang secara sistematis dalam suatu dokumen rencana pembangunan yang integratif dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran dari Visi, Misi Kepala Daerah yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, program-program pembangunan dan kegiatan pokok, sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, termaktub kehendak pelimpahan kewenangan kepada daerah otonom. Sementara itu, Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 antara lain memuat pasal-pasal yang menekankan urgensi kewenangan memajukan orang Papua. Maka, disusunlah dokumen RPJP (rencana pembangunan jangka Panjang) Papua 2005-2020 dan akan disusul dengan penyusunan Rencana pembangunan Jangka Menengah pasca Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2005-2010 yang antara lain memuat kebijakan umum pembangunan, kebijakan keuangan, dan program pembangunan yang ditumpukan pada sasaran utamanya di bidang-bidang : pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan infrastruktur, dan dengan memperhatikan perkembangan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Hal yang sama kini sedang digalakan di semua kabupaten/kota se Papua yang difasilitasi oleh UNDP (United Nation Development Programme), dibantu oleh beberapa LSM Lokal dan Universitas Cenderawasih.

3.2. Pengaruh Modernisasi Terhadap Kebudayaan Papua

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar untuk diubah. Dengan demikian budaya menurut bahasa sehari-harinya adalah suatu kebiasaan, adat istiadat dan suatu kegiatan manusia yang dilakukan secara terus-menerus tanpa hentinya sampai kapanpun yang intinya hal ini dilakukan dalam jangka yang panjang.
Manusia dan budaya tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan erat. Dengan adanya manusia maka dengan mudah suatu budaya terbentuk. Terbentuk yang dimaksudkan disini adalah manusia menetapkan ciri-ciri, kegiatan-kegiatan dan objek-objek budayanya secara sendiri. Sebaliknya dengan adanya suatu budaya maka dengan mudah juga sekelompok manusia terbentuk dan terdidik mengikuti setiap komponen-komponen kebudayaan yang telah ditetapkannya sejak awal saat hal itu dibuat Budaya dalam proses pengembangan selalu mengikat siapapun baik anak-anak, para pemuda-pemudi maupun para orang tua. Dengan adanya suatu budaya maka setiap manusia yang hidup disuatu daerah tertentu selalu dituntut untuk selalu mematuhi, mentaati dan menjalankan setiap budaya yang telah ditetapkannya.
Dalam kehidupan individu maupun kehdupan berkelompok budaya sangat berguna diantaranya budaya dapat menyadarkan kita siapa diri kita yang sebenarnya, budaya dapat membuat kehidupan disuatu tempat lebih baik dan juga budaya dapat mengharumkan nama baik suatu tempat atau suatu daerah agar lebih dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat ditempat lain. Jadi dengan hadirnya budaya disuatu tempat dapat mengubah segalanya. Mustahil suatu tempat bisa berubah dan maju kalau saja di tempat tersebut tidak dikenal yang namanya budaya.
Budaya tidak selamanya baik karena ada juga budaya yang buruk. Budaya yang baik selalu membawah kita kepada berbagai hal yang menyenangkan diantaranya membawah kita kepada kesusksesan, membawah kita kepada penerimaan (baik penerimaan dari orang yang ada didalam negeri sendiri maupun orang yang berada diluar negeri) dan keberhasilan. Budaya yang buruk selalu membawah kita kepada berbagai hal yang tidak kita inginkan, diantaranya akan membuat nama baik daerah, tempat maupun negara kita rusak atau tercoreng dan membawah kita kepada kegagalan yang akhir-akhirnya membawah kita kepada kehancuran.
Dalam kehidupan yang berbudaya kita perlu mengetahui berapa macam budaya yang ada pada kita agar kita tidak salah pemahaman maupun penafsiran dalam penerapnnya dikehdupan kita. Budaya menurut penulis sendiri dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu budaya natural dan budaya terapan. Kedua budaya inilah yang akan diulas dalam pembahasan kali ini. Penjelasan mengenai budaya natural akan dijelaskan lebih dulu kemudian selanjutanya akan diulas mengenai budaya terapan.
Budaya natural adalah suatu kebiasaan, corak, adat istiadat manusia yang telah lama dilaksanakan secara terus-menerus disuatu daerah atau kawasan tertentu. Bisa juga budaya natural disimpulkan sebagai suatu budaya alami atau budaya murni yang telah berkembang dan bertumbuh disuatu daerah tertentu sejak adanya manusia. Budaya natural atau budaya alami telah cukup lama berkembang dalam kehidupan setiap masyarakat sehingga budaya tersebut sangat sukar untuk dilupkan maupun diubah. Bahkan banyak orang beranggapan khusunya mereka yang hidup masih serba tradisional bawah budaya natural yang mengatur tata cara hidup, kebebasan dan tingkah laku mereka. Padahal tidak sebagaimana zaman serba modern ini telah ditetapkan berbagai macam peraturan serta ganjaran-ganjarannya yang intinya membuat masyarakat lebih terarah tujuan hidupnya.
Negara kita negara Indonesia tercinta ini memiliki berbagai keanekaragaman budaya natural sebagaimana bisa diketahui dengan adanya motto “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya ”berbeda-beda tetapi satu”. Dengan pernyataan seperti ini bisa dilihat kalau bangsa kita memiliki berbagai keanekaragaman budaya natural yang berbeda-beda. Jumlah kepulauan Indonesia yang kira-kira mencapai 17.608 menandakan kekayaan budaya itu sangat nyata dan ada. Kekayaan budaya Indonesia yang sangat banyak dan bermacam-macam menjadikan negara Indoenesia sebagai salah satu negara yang ditakuti dan disegani khususnya dalam unsur kebudayaan.
Kekayaan budaya natural di negara kita dapat dilihat dari Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan dengan puluhan bahkan ratusan cagar budayanya yang semuanya berbeda dan unik. Kemudian dengan perbedaan dan keunikan ini menjadikan setiap daerah maupun setiap pulau yang ada disegani dan dihormati. Secara khusus Pulau Papua juga memiliki berbagai keanekaragaman budaya yang menjadikan Pulau Papua sebagai salah satu daerah yang disegani dan dihormati dalam unsur kebudayaan diseluruh Indonesia maupun dunia.
Pada kesempatan kali ini penulis akan bahas panjang lebar mengenai Budaya Papua yang ada. Dengan pembahasan ini diharapkan dapat menambah wawasan maupun pemahaman tentang budaya Papua. Kita kembali ke konteks awal yang mengatakan bahawa dengan adanya suatu budaya haruslah ada manusia karena keduanya saling berkaitan erat. Di papua berdasarkan letak geografisnya dibedakan menjadikan dua tempat yang pertama kawasan pesisir pantai yang didiami oleh masyarakat pantai atau yang biasa disebut dengan panggilan orang pantai dan yang kedua daerah pegunungan yang didiami oleh masyarakat gunung atau yang biasa dipanggil dengan orang gunung.
Berdasarkan tempat hidupnya orang pantai didiami oleh berbagai macam suku beberapa diantaranya adalah (Suku Biak, Suku Serui, Suku Asmat, Suku Sarmi) dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan orang gunung, dari berbagai suku yang mendiami pegunungan beberapa diantaranya adalah (Suku Moni. Suku Dani, Suku Ekari, Suku Nduga, Suku Holani dan masih banyak lagi). Baik suku-suku yang mendiami pesisir pantai maupun suku-suku yang mendiami kawasan pegunungan memilki berbagai kesamaan budaya.
Beberapa hal yang membuat kesamaan budaya mereka baik budaya orang pantai maupun budaya orang gunung adalah karena faktor tempat tinggal. Seperti orang pantai hidup didaerah pesisir pantai dan orang gunung hidup didaerah dataran pegunungan. Faktor alam seperti orang pantai hidup daerah yang suhunya tidak terlalu dingin sedangkan orang gunung hidup didaerah pegunungan yang suhunya sangat dingin. Faktor pangan atau makanan yang dikonsumsi, seperti orang pantai dengan makanan pokok sagu, papeda dan ikan sedangkan orang gunung dengan makanan pokok ubi , keladi dan pisang. Dengan berbagai kesamaan tadi membuat tali persaudaraan mereka semakin erat dan kuat walaupun mereka hidup dengan jarak daerah yang berjauhan, memilki marga atau fam yang berlainan dan memilki garis keturunan dan nenek moyang yang berbeda pula.
Dari sekian banyak budaya yang ada baik budaya dari orang pantai maupun budaya dari orang gunung memilki perbedaan. Perbedaan itu sebagaimana telah dikemukakan tadi dikarenakan letak geografis antara pantai dan gunung yang sangat berbeda. Dari sekian banyak budaya yang ada dua diantaranya akan dijelaskan pada pembahasan kali ini.
1. Budaya tari-tarian
Masyarakat pantai memilki bebagai macam budaya tari-tarian yang biasa mereka sebut dengan istilah Yosim Pancar (YOSPAN), yang didalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak seperti ; (tari gale-gale, tari balada cendrawasih, tari pacul tiga, tari seka) dan tarian sajojo dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan tarian yang biasa dibawakan oleh masyarakat pegunungan yaitu tarian panah.
Tarian yang dibawahkan oleh masyarakt pantai maupun masyarakt pegunungan pada intinya dimainkan atau diperankan dalam berbagai kesempatan yang sama seperti; dalam penyambutan tamu terhormat, dalam penyambutan para turis asing dan yang paling sering dimainkan adalah dalam upacara adat. Khususnya tarian panah biasanya dimainkan atau dibawakan oleh masyarakat pegunungan dalam acara pesta bakar batu atau yang biasa disebut dengan barapen oleh masyarakt pantai. Tarian ini dibawakan oleh para pemuda yang gagah perkasa dan berani.
Dengan budaya tarian Yospan maupun budaya tarian panah yang unik, kaya dan indah tersebut para orang tua sejak dahulu berharap budaya yang telah mereka wariskan kepada generasi berikut tidak luntur, tidak tegelam dan tidak terkubur oleh berbagai perkembangan zaman yang kian hari kian bertambah maju. Para pendahulu yaitu para orang tua berharap juga budaya tari-tarian yang telah mereka ciptakan dengan bebagai gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan oleh generasi berikutnya. Mereka juga berharap dengan tidak adanya mereka budaya Papua yang kaya tersebut semakin maju, semakin dikenal baik oleh orang dikalangan dalam negeri sendiri maupun dikenal dikalngan luar negeri dan juga semakin berkembang kearah yang lebih baik yang intinya dapat tetap mengakat derajat, martabat dan harkat orang Papua.
Namun semua harapan tinggalah harapan karena sebagaimana budaya tarian yang dulunya para orang tua agungkan, sanjung dan hormati telah dilupakan secepatnya oleh para generasi berikutnya. Masuknya berbagai budaya tarian baru dari dunia barat membuat para putra-putri Papua lupa dengan budaya tari-tarian sesungguhnya yang telah cukup lama mendarah daging dalam kehidupan mereka. Berbagai tarian yang masuk dan berkembang dari dunia barat diantaranya adalah tarian dancer, tarian too phat, tarian pantomin, tarian paranawe dan tarian lainnya yang initnya tarian ini mengarah kepada perkembangan dunia. Dengan memerankan tarian dari dunia barat membuat para pemuda-pemudi Papua yang dulunya mengaggungkan dan memuja tarian daerah mereka lupa diri dan besar kepala. Dengan kesombongan mereka membuat nama mereka termasyur dan terkenal padahal dibalik semua ketenaran mereka dengan nyata-nyata telah melanggar berbagai norma adat yang telah cukup lama diatur dan ditetapkan
2. Budaya Perkawinan
perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. Dengan demikian masyarakt Papua baik yang di daerah pantai maupun di daerah pegunggungan menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. Dalam perturan perkawinan yang ditetapkan orang tua dari pihak laki-laki berhak membayar mas kawin sebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita terebut.
Adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin yang harus dibayar seperti; membayar piring gantung atau piring belah, gelang, kain timur (khusus untuk orang di daerah selatan Papua) dan masih banyak lagi. Berbeda dengan permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan diantaranya seperti; kulit bia (sejenis uang yang telah beredar dimasyarakat pegunungan sejak beberapa abad lalu), babi peliharaan, dan lain sebagainya. Dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata sepakat apabila orang tua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang diminta oleh orang tua daripada pihak perempuan.
Sama dengan budaya tarian, budaya perkawinan juga diharapkan dapat berkembang dan bertumbuh di masyarakat umum dengan baik dan benar agar tidak terjadi kepunahan budaya. Namun apa yang terjadi pada zaman yang serba modern dan serba teknologi ini masyarakt Papua terlebih khusus para pemuda-pemudi tidak peduli lagi dengan budaya yang telah ditetapkan sejak lama. Budaya perkawinan yang dipopulerkan sampai saat ini adalah budaya kawin lari. Budaya kawin lari adalah salah satu cara yang dilakukan agar pihak dari pada orang tua laki-laki terhindar dari pembayaran mas kawin. Budaya kawin lari adalah budaya kotor yang berasal dari luar Papua. Budaya kawin lari dulunya bukanlah budaya Papua, namun pengaruh era globalsasi yang kian maju dan modern membuat orang Papua melupakan budaya mereka yang sesunguhnya.
Dengan berkembangnya budaya kawin lari dikalangan masyarakat terutama orang Papua sendiri membuat nilai keaslian budaya Papua yang dulunya sangat dihargai dan dihormati telah luntur begitu saja. Kemudian setelah lunturnya budaya tersebut apakah kita orang Papua masih dikatakan sebagai suatu golongan atau kumpulan masyarakat yang masih menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi budaya kita. Padahal nyata-nyata budaya dari luar telah megotorinya dengan berbagai budaya omong kosong yang tidak benar.
Untuk tetap menjaga, melindungi dan tetap melestarikan warisan kekayaan dari pada leluhur kita haruslah ada tindakan yang diambil supaya budaya tersebut tidak mengalamai kepunahan. Untuk tetap melestarikannya haruslah dibuat berbagai macam kegiatan yang intinya agar memajukan, mengiklankan dan mempopulerkan budaya Papua kepada siapapun baik kepada orang yang didunia barat maupun orang yang berada di dunia timur sendiri.
Banyak kegiatan yang dapat kita laksanakan untuk tetap menjaga budaya Papua yang kaya, tiga diantaranya adalah dengan menampilkan Festival budaya seperti yang dilaksanakan oleh SMA YPPK Adhi Luhur pada saat ini, pentas seni dan tari yang dalam acara ini dipamerkan atau ditunjukan kepada pihak asing maupun kepada pihak dalam sendiri tentang kekayaan tari-tarian Papua dan yang terakhir untuk tetap menjaganya dilaksanakan dengan mensosialisasikannya melalui berbagai media. Dengan melaksanakan berbagai macam hal diatas sedikit menjadikan budaya Papua tetap berkibar dan tetap maju.
Kesadaran masyarakt Papua tentang pentingnya melaksanakan berbagai kegiatan untuk tetap menjaga dan menstabilkan budaya Papua sangat minim. Dan salah satu Kabupaten yang telah menjadi wadah dalam memperkenalkan budaya Papua kepada orang diluar baik kepada para turis maupun kepada para pengunjung adalah Kabupaten Punjak Jaya, tepatnya didaerah Lembah Baliem. Kabupaten Punjak Jaya adalah salah satu Kabupaten yang terletak daerah Pegunungan Tengah. Daerah ini punya suatu budaya atau tradisi yang setiap tahunnya harus dilaksanakan secara terus-menerus yaitu budaya perang. Budaya ini telah dibawahkan sejak 20 tahun kebelakang, pada pementasan budaya perang ini diwajibkan bagi para pemuda yang gagah perkasa untuk ambil bagian didalamnya.(sumber.suara perempuan papua. No. 04. tahun IV, 22-29 Agustus 2007)
Banyak yang diharapkan dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan tersebut, diantaranya agar kedepanya budaya Papua tetap berkibar dan tidak punah dari berbagai gelombang kemajuan dan kemoderenan. Dengan berbagai kegiatan yang dilaksanakan tersebut khususnya para orang tua berharap juga setiap anak-anak mereka bisa semakin mengenal dan menyayangi budaya mereka yang nantinya kedepan diharapkan untuk tetap menjunjung tinggi nilai kebudaan.
Beberapa yang telah dijelaskan diatas merupakan budaya natural sedangkan pada pemabahasan berikut ini akan dijelaskan mengenai budaya terapan. Budaya terapan adalah suatu kebiasaan yang telah lama dilaksanakan dan dilakukan oleh sekelompok orang disuatu tempat yang kemudian menyebar kesuatu daerah yang sama sekali tidak pernah mengenal tentang budaya atau tata cara tersebut. Budaya terapan selalu identik pada tata cara hidup yang telah lama dilakoni dan dijalani. Sama halnya dengan budaya natural budaya terapan juga ada yang baik dan ada juga yang buruk.
Daerah Papua sendiri banyak budaya terapan yang telah merajalela yang semuanya sama sekali tidak pernah dikenalkan oleh para pendahulu terhadap mereka. Dan dengan masuknya berbagai budaya terapan dari luar membuat otak dan pikiran dari pada orang Papua rusak. Dari sekian banyak budaya terapan yang telah merajalela di Papua dua diantaranya adalah budaya korupsi dan budaya minuman keras.

1. Budaya Korupsi
Budaya korupsi adalah salah satu buduya yang telah cukup lama merajalela d Papua. Padahal kalau mau diamati budaya korupsi bukanlah budaya Papua yang sebenarnya. Bukti bawah budaya korupsi bukan merupakan budaya Papua dapat dilihat dari berbagai cara hidup diantaranya adalah kabiasaan masyarakat Papua makan bersama atau yang biasa disebut dengan acara bakar batu. Saat diadakannya bakar batu biasanya seluruh undangan yang datang diwajibkan untuk menikmati hidangan masakan yang ada tanpa membedakan suku, ras, maupun marganya. Dengan kebersamaan seperti ini dapat terlihat kalau sifat keegoisan tidak terlihat pada orang Papua. Kalau begitu budaya korupsi pada awalnya bukanlah budaya Papua yang sesungguhnya tetapi berbagai budaya terapan dari luar yang masuk sehingga semua itu diikuti dan ditiru oleh orang Papua.
Bukti bawah korupsi merupakan suatu budaya dari luar yang terpopuler dapat dilihat dari berbagai macam kasus korupsi yang kian hari kian merajalela. Diantaranya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati Kabupaten Nabire Drs. Anselmus Petrus Youw yang beberapa saat lalu mendapat berbagai dana bantuan saat terjadi gempa bumi. Sebagaimana dana miliaran rupiah yang diberikan untuk dana pembangunan dilenyapkan begitu saja tanpa sepengetahuan. Kemudian dana sama halnya dengan dana Otonomi Khusus (OTSUS) yang menurut situs. (www.provinsipapua.com) sebagaimana dikatakan pada tahun 2006 dan Otsus yang lenyap tanpa sepengetahuan adalah 90% yang hasilnya dipaparkan langsung oleh Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu sendiri pada akhir tahun lalu.
Dengan memperahatikan dua bukti kalau Papua telah terjemus kedalam budaya korupsi yang sebenarnya tidak boleh dilakukan, menjadi pertanyaan buat kita kia-kira salah siapa sehingga budaya korupsi begitu cepat merajalela ke seluruh daerah Papua. Dengan mudah saya akan menjawab semua itu adalah salah dari pada setiap orang yang melanggarnya dan secara garis besar semua itu salah kita sendiri karena kemauaan kita menerima berbagai budaya dari luar.
Melihat berbagai kasus korupsi yang kian hari kian merajalela seiring dengan perkembangan zaman, haruslah ada tindakan yang diambil agar dapat membendung arus korupsi di daerah papua. Berbagai hal yang dapat kita para pelajar lakukan adalah berdoa dan belajar secara sungguh-sungguh agar kedepannya saat kita menjadi seorang pemimpin kejujuran dan kebenaran dalam kepemimpinan kita dapat ditanamkan.

2. Budaya Mengkonsumsi Minuman Keras
Sangat baik kalau kita mengkonsumsi minum-minuman yang dapat memberikan kesehatan dalam kehidupan kita tetapi apa jadinya kalau kita mengkonsumsi berbagai minum-minuman yang mengandung alkohol. Kasus inilah yang telah menjadi budaya dan tradisi di masyarakt Papua. Dulunya minuman yang dianggap minuman keras dan dikonsumsi oleh orang Papua adalah minuman sejenis saguer atau yang biasa mereka sebut dengan minuman bobo. Minuman ini kalau dikonsumsi dapat menggaggu kesehatan namun tidak terlalu berdampak terhadap kesehatan kita.
Tetapi berbeda dengan berbagai minuman keras yang masuk dari luar Papua seperti Mansion House, Bir Bintang, Kawat Duri dan minuman lainnya yang tergolong dalam minuman keras yang dapat mengganggu kesehatan bahkan sampai dapat membuat nyawa seseorang lenyap apabila dikonsumsi terlalu berlebihan. Minuman-minuman keras seperti ini awalnya tidak pernah diketahui oleh orang Papua, namun perkembangan zaman yang kian modern membuat budaya minum khususnya untuk minuman keras telah berkembang luas dikalangan seluruh masyarakat. Bahkan menurut beberapa orang budaya minuman telah dimasukan kedalam layaknya budaya makan-minum di kehidupan sehari-hari.
Bukti kalau budaya minuman keras telah membabi buta di Papua dengan berbagai pengamatan yang betul secara fakta. Seperti kalau diamati khusunya pada malam hari di terminal taman gizi sangat banyak kelalawar malam yang berkeliaran sambil mengahabiskan puluhan bahkan ratusan botol minuman, yang mengkonsumsi minuman tersebut bukan saja kaum pria namun ada juga kaum wanita. Bukan ditaman gizi saja kita dapat menemukan para kelalawar malam namun diberbagi tempat-tempat hiburan seperti cafe bobo (di perempatan nabarua), cafe bunaken (didaerah sanoba), cafe star (didaerah kalibobo) dan masih banyak lagi tempat-tempat hiburan yang tersembunyi.
Dengan banyaknya tempat-tempat hiburan serta taman untuk para kelalawar malam menghabiskan minuman tesebut pasti setiap kita akan bertanya apakah tidak ada langkah yang diambil oleh pemerintah maupun para masyarakt agar hal-hal seperti ini tidak membabi buta terus sampai kepada generasi yang berikutnya. Ada berbagai hal yang dapat kita buat agar budaya minuman tidak merajalela dan berkemabang kemasyarakat umum dengan semaunya diantaranya adalah mengkampanyekan anti minuman keras, mensosialisasikan dampak yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi minuman keras, sosialisasi yang kita lakukan dapat melalu berbagai media seperti media elktronik, media masa dan media lainnya.
Selain melakukan kegiatan seperti yang telah disebutkan diatas ada satu cara lagi yang paling ampuh agar budaya mengkonsumsi minuman keras bisa hilang bahkan lenyap dari bumi Papua, cara itu adalah dengan membuat suatu Peraturan Daerah (PERDA) yang intinya dalam Perda tersebut berisi penolakan minuman keras. Dalam hal ini yang berperang penting adalah para mahasiswa dan para pelajar baik pelajar dari SD, SMP maupun SMA. Beberapa saat lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan Ketua Koalisi Hak-Hak Suara Mahasiswa Papua beliau adalah saudara Elia Tebay. Dalam perbincangan yang cukup hangat tersebut saya menayakan kepeduliannya terhdap budaya minuman keras yang telah nyata-nyata telah menyebar di Papua. Dengan sedikit wajah yang agak emosi beliau mengatakan kepada saya bawah sangat banyak usaha yang mereka telah lakukan dengan bebagai cara diantaranya adalah melaksankan Jumpa Pers dengan topik pembicaraan menolak ditetapkannya Perda No 6 Tahun 2006 yang isinya mengijinkan peredaran minuman keras. Namun beliau melanjutkan pembicaraanya lagi yang mengatakan bahwa sampai sekarang perhatian Pemerintah terhadap masalah ini masih disebelamatakan.
Dengan ketidakseriusan pemerintah dalam hal-hal seperti ini khususnya untuk kota Nabire apakah kota tempat kita berpijak dan tinggal ini masih bisa aman, tentram dan kondusif dari berbagai hal dan gangguan yang tidak diinginkan. Salah satu daerah yang perlu kita contohi khususnya dalam hal penolakan minuman keras adalah kota Manokwari. Daerah ini karena dipimpin oleh seorang yang takut akan Tuhan sehingga pada saat ini berbagai Perda tentang penolakan minuman keras diberlakukan kemudian berbagai operasi dijalankan yang intinya menolak masuknya minuman keras dari daerah luar. Menggunakan berbagai cara seperti itu membuat saat ini kota Manokwari dikenal sebagai salah satu kota yang paling aman, tentram dan kondusif di Provinsi Papua.
Penguraian singkat tentang budaya natural maupun budaya terapan melalui lembaran kertas ini diharapkan khususnya untuk para pemuda-pemudi yang masih dibangku pendidikan agar tetap setia dan rela mempertahankan kebudayaan yang telah dianut dan diterapkan. Kita sebagai orang berpendidikan pasti tahu mana hal yang baik dan mana hal yang jahat, dengan demikian mari kita sama-sama tetap menjaga dan memajukan apabila kita nilai budaya yang kita miliki adalah budaya yang benar kemudian mari kita buang jauh-jauh dan musnahkan apabila budaya yang telah kita anut dan lestarikan sejak lama adalah budaya yang salah dan tidak benar. Bukti besar yang dapat terlihat kalau kita mencintai dan menghormati ciptaan Tuhan adalah menjaga dan melestarikan kebudayaan yang kita miliki.

3.3. Beberapa Isu Penting Terkait dengan Papua :
1. Pepera 1969 (Penentuan Pendapat Rakyat)
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah sebagai hasil pelaksanaan dari New York Agreement pada tahun 1962. Seluruh perencanaan sampai dengan pelaksanaan PEPERA itu sudah direncanakan oleh Pemerintah RI di Jakarta, tanpa sepengetahuan DMP ada orang Papua Barat yang diikutsertakan dalam
perencanaan pelaksanaan tersebut. Setelah itu datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Kota Baru / Jayapura sekarang) dan kemudian didampingi oleh beberapa anggota DPRGR Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se-Papua Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan teknis-teknis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara perorangan. Nanti apa saja yang menyangkut bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkan konsep-konsepnya dan saudara-saudara tinggal baca saja dan bagi yang tidak bisa baca-tulis nanti dihafal, sehingga tidak lupa dan untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera) kemudian diasramakan. Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain.
Semuanya harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia". Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten menunjuk anggota DMPnya sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah Jakarta. Rincian anggota DMP sebagai berikut :

1) Kabupaten Merauke : 175
2) Kabupaten Jayawijaya : 175
3) Kabupaten Paniai : 175
4) Kabupaten Fakfak : 75
5) Kabupaten Manokwari : 75
6) Kabupaten Sorong : 110
7)KabupatenTelukCenderawasih : 130
8) Kabupaten Jayapura : 110
_____+
Jumlah : 1.025

Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di setiap kabupaten. Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga jumlah 1.025 orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga bangsa pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi pegawai negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi status yang sama dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota DMP. Sorong, Manokwari, Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai daerah rawan. Menjelang Juli 1969 telah didropping pasukan untuk mengawasi jalannya PEPERA:
1. Kopasanda (sekarang Kopassus).
*Kopassus sekarang kembali berada di Papua Barat untuk mencoba membasmi para gerilyawan OPM, melakukan teror terhadap penduduk dan membackup berbagai perusahaan yang beroperasi di daerah ini.
2. Riders (Baret Merah) pasukan berani mati.
Kedua jenis pasukan ini bersama polisi sipil dan polisi militer menyamar dengan berpakaian preman. PEPERA bukan dilaksanakan oleh sipil, melainkan oleh militer yang menyamar sebagai orang sipil. Keadaan telah diarahkan sedemikian rupa sehingga DMP tidak dapat berbuat banyak, kecuali takluk. Banyak orang diarestasikan tanpa alasan, diculik dan dibunuh. Kalau ada kesalahpahaman dengan tetangga yang asal Indonesia langsung dipolitisir sebagai anti pemerintah dan ini berakibatkan arestasi dan eksekusi. Mereka semua takut ditembak dan harus berkata apa saja yang diinginkan oleh ABRI. Mereka ditodong dan diindoktrinasi dengan berbagai macam konsep. Mereka dipaksa menandatangani berbagai formulir dengan segudang pertanyaan dan pernyataan. Kadang-kadang tandatangan mereka juga dipalsukan demi kepentingan ABRI dan pemerintah kolonial baru, Republik Indonesia. Seluruh keadaan sudah disetel sehingga mereka hanya merupakan boneka yang diatasnamakan. Lebih kejam lagi, orang Papua Barat dianggap bodoh, buta huruf, terbatas pendidikan, dan lain sebagainya. Skenario drama politik telah disusun hanya untuk memenangkan Republik Indonesia.


Beberapa anggota DMP dikejar dan ditangkap oleh anggota Riders yang dikomandani oleh Letnan Satu, Hatta Abad. Mereka, antara lain: Andi Ibo (pegawai PEMDA Tk. II Jayawijaya di Wamena), Yos Sokoi (Mantri kesehatan Ondoapo), Demi Wambrauw (pegawai Dinas Koperasi Tk. II Jayawijaya), Womsiwor (pegawai Dinas Koperasi Tk. II Jayawi- jaya), Nauw (pegawai PENSIP Wamena), Woyowai Nimbrot, dan lain lain. Seluruhnya berjumlah 76 orang. Mereka ditangkap, dimasukkan ke sel dan dianiaya. Semua dipaksa mengakui negara RI sebagai negara mereka. Setiap anggota DMP dihadiahkan Radio SANYO buatan Jepang, 1 set gergaji, 1 buah sekap serta dijanjikan akan diberi uang. Tahun 1976 kami diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp. 200.000,- (dua ratus ribu). Kemudian tahun 1992 pada saat PEMILU kami, bekas anggota DMP, diberikan uang Rp. 150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyar yang dikirim dari Jakarta untuk bekas anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para pejabat tinggi yang ditugaskan dari Jakarta.

Sekitar tiga per empat anggota DMP dari Jayawijaya buta huruf. Di dalam honai (rumah tradisional di Wamena) mereka ini dipaksa setiap hari untuk menghafal pernyataan kebulatan tekad. Semua anggota DMP dari tiap KPS (daerah kecamatan waktu itu) dikumpulkan di Wamena hingga saat pelaksanaan PEPERA. Itulah sekilas gambaran proses pelaksanaan PEPERA di Irian Barat pada tahun 1969 yang penuh intimidasi, tekanan, tipu daya dan manipulasi. Dewasa ini orang Papua Barat telah tersisih dan miskin di atas kekayaan mereka. Setiap orang Papua Barat yang mencoba memprotes tindakan pemerintah Indonesia langsung saja diberi stempel OPM, ditangkap dan dibunuh. Praktek demikian masih terus berlanjut sampai saat ini. Menjelang pelaksanaan PEPERA banyak sekali putra-putri terbaik dari Wamena daerah diculik dan dibunuh. Mahasiswa UNCEN (Universitas Cenderawasih), pelajar sekolah lanjutan umum dan kejuruan menjadi sasaran intimidasi atau teror sepanjang 1 Mei 1963 hingga selesai PEPERA 1969. Setelah PEPERA bekas anggota DMP pun tetap diawasi oleh ABRI.

2. Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Nama Organisasi Papua Merdeka atau OPM adalah nama yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada setiap organisasi atau faksi baik di Irian Jaya maupun diluar negeri yang dipimpin oleh putra-putra Irian Jaya pro-Papua Barat dengan tujuan untuk memisahkan atau memerdekakan Irian Jaya (West Papua) lepas dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Nama OPM pertama kali diperkenalkan di Manokwari pada tahun 1964 yaitu pada saat penangkapan pimpinan "Organisasi dan Perjuangan menuju Kemerdekaan Papua" Terianus Aronggear (SE) dan kawan-kawannya oleh pihak keamanan dan mengajukan mereka kedepan pengadilan. Nama itu juga semakin populer yaitu pada saat meletusnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh Permenas Ferry Awom pada tahun 1965 di Manokwari, serta berbagai pemberontakan atau aksi militer sporadis lainnya diberbagai wilayah di Irian Jaya. Dalam proses pemeriksaan baik oleh militer polisi dan jaksa, para pemimpin pemberontakan menerima baik nama OPM yang diberikan oleh para pemeriksa (Pemerintah Indonesia) sebab menurut mereka nama itu tepat, singkat, mudah diingat dan dipopulerkan bila dibandingkan dengan nama Organisasi yang mereka bentuk dan berikan itu panjang serta sulit diingat.
OPM itu lahir dan tumbuh di Irian Jaya yang pada awalnya terdiri dari 2 (dua) faksi utama yaitu organisasi atau faksi yang didirikan oleh Aser Demotekay pada tahun 1963 di Jayapura dan bergerak dibawah tanah. Faksi ini menempuh jalan kooperasi dengan pemerintah Indonesia serta mengaitkan perjuangannya dengan gerakan Cargo yang bercirikan spiritual yaitu campuran antara agama adat/gerakan Cargo dan agama Kristen. Organisasi ini muncul ke permukaan pada tahun 1970 setelah selesai PEPERA dan terus aktif membina para pengikutnya di Kabupaten Jayapura terutama di kecamatan-kecamatan pantai timur, pantai barat, Depapre dan Genyem. Salah satu anak binaan Aser Demotekay adalah Jacob Pray.
Menurut pengakuan Aser Domotekay, bentuk perjuangan yang dilakukan untuk mencapai kemerdekaan Papua atau Irian Jaya adalah kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Ia meminta kepada pemerintah Indonesia untuk menyerahkan kemerdekaan kepada Irian Jaya sesuai dengan Janji Alkitab, Janji Leluhur dan Janji tanah ini bahwa bangsa terakhir yang terbentuk dan menuju akhir jaman adalah bangsa Papua. Dalam pembinaan massa pengikutnya, ia selalu memberikan pengarahan yang berkaitan dengan agama, adat istiadat/gerakan Cargo adat dan melarang tindakan Radikal dalam mencapai tujuan kemerdekaan Papua. Untuk mendukung aktivitasnya maka ia menulis beberapa artikel Rohani dengan menyisipkan pesan-pesan politik didalamnya. Organisasi ini tidak diberikan nama dengan tegas tapi merupakan usaha persiapan bagi kemerdekaan Papua Barat (West Papua) yang diketuai oleh Aser Demotekay, dan seorang pembantu umum. Untuk kepentingan keamanan, maka nama dari anggota organisasi lainnya tidak diungkapkan. Dalam petualangannya, Aser Demotekay yang adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil daerah Propinsi Irian Jaya beberapa kali harus berurusan dengan pihak keamanan yaitu ditahan dan diinterogasi, serta selalu mengaku akan perbuatannya yang dilakukan sendiri.
Secara organisasi kegiatan OPM pimpinan Aser Demotekay ini merupakan kegiatan Cargo Cults versi baru dan sangat tergantung pada Aser Demotekay sendiri apalagi dengan semakin tuanya Aser Demotekay sedang proses kaderisasi tidak dilakukan. Aktivitas OPM pimpinan Aser Demotekay ini tidak efektif apalagi tidak radikal, walaupun Jacob Pray dalam kondisi-kondisi tertentu harus memilih jalan yang radikal untuk melindungi diri serta mewujudkan keinginannya. Organisasi ini tidak mempunyai suatu perencanaan yang matang program-program apa yang harus dilakukan baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Adapun kegiatan yang dilakukan selama ini hanya berupa pengarahan-pengarahan, penyampaian pesan-pesan serta harapan dan dilakukan secara temporer saja sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa wilayah kabupaten Jayapura merupakan wilayah operasi militer pada tahun-tahun 1970 hingga kini. Jadi bila rakyat dikampung-kampung mengalami hal-hal yang kurang baik dari pihak militer, maka Aser Demotekay selalu mengirim pesan agar rakyat selalu bersabar dalam menghadapi penderitaan itu sebab penderitaan itu sebentar saja dan segera akan berakhir sesuai dengan waktu Tuhan yang kian mendekat dan menuju pada kemerdekaan Papua.
Aser Demotekay juga dalam aktivitasnya tidak lepas dari bagaimana berusaha untuk berkomunikasi dengan Jacob Pray mulai dari pedalaman Irian Jaya hingga ke luar negeri. Bentuk komunikasi yang dilakukan adalah dengan mengirimkan surat melalui kurir melintasi perbatasan untuk menginformasikan berbagai peristiwa dan keadaan yang terjadi di Irian Jaya pada umumnya dan khususnya keadaan di Jayapura.
Aser Demotekay mendirikan atau membuat aktivitas ini atas 2 (dua) alasan pokok, yaitu:
1. Menurut pesan-pesan spiritual bahwa pada masa mendatang Irian Jaya harus mencapai kemerdekaannya sebagai bangsa yang terakhir dan menuju kepada akhir dari jaman ini.
2. Bahwa sebagai bangsa Papua yang persoalannya dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan bangsa Papua itu sendiri adalah tidak Adil, maka bansa Papua harus diberikan kesempatan untuk merdeka lepas dari Indonesia dan untuk itu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia. Makna melibatkan bangsa Papua adalah dengan melibatkan anggota Nieuw Guinea Raad sebagai wakil bangsa Papua.
Faksi yang kedua didirikan di Manokwari pada tahun 1964 dibawah pimpinan Terianus Aronggear (SE) yang pada mulanya bergerak dibawah tanah untuk menyusun kekuatan melawan pemerintah Indonesia baik secara politik maupun secara fisik bersenjata. Kegiatan ini diberi nama "Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat", yang kemudian lebih dikenal dengan nama OPM.
Sebagai ketua umum organisasi tersebut, Terianus Aronggear (SE) menyusun suatu dokumen perjuangan yang ingin diselundupkan ke badan PBB di New York untuk menanyakan tentang status Irian Jaya dan meminta meninjau kembali persetujuan New York 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dinilai tidak adil sebab tidak melibatkan wakil bangsa Papua dalam perundingan itu sebagai pihak yang dipersengketakan. Juga dokumen itu berisi suatu rancangan tentang kemerdekaan Negara Papua Barat dengan susunan Kabinetnya. Rancangan Kabinet dan dokumen yang disusun untuk dikirim ke PBB itu terlebih dahulu dikirim ke Negeri Belanda untuk mendapatkan persetujuan dari markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe dan tokoh-tokoh Papua lainnya di Negeri Belanda seperti: A. J. F. Marey, Ben Tanggahma, Saul Hindom, Fred Korwa, James Manusawai, B. Kafiar, Semuel Asmuruf dan lain-lain serta Herman Womsiwor yang berdomisili di Jepang. Namun sebelum dokumen itu diserahkan Terianus Aronggear (SE) kepada Hendrik Joku di Jayapura untuk selanjutnya diselundupkan keluar negeri melalui perbatasan ke Papua New Guinea, Terianus Aronggear (SE) ditangkap di Biak pada tanggal 12 Mei 1965. Ia dikirim kembali ke Manokwari lalu dimasukan kedalam sel tahanan dan mengalami proses pemeriksaan oleh pihak keamanan. Melalui pemeriksaan tersebut maka seluruh dokumen disita, kegiatan ini terbongkar dan penangkapan terhadap para anggota organisasi dilakukan. Hendrik Joku, setelah mendengar berita tentang tertangkapnya Terianus Aronggear (SE), melarikan diri ke Papua New Guinea dan menginformasikan berita itu ke Negeri Belanda kepada Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe. Dokumen itu antara lain juga berisi permintaan agar PBB segera membuka sidang umum agar membahas kembali masalah Irian Jaya, dan menyetujui dan mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat (West Papua) sebagai suatu bangsa dan Negara yang berdaulat yang berdiri sendiri.
Setelah Terianus Aronggera (SE) dan kawan-kawannya Horota, Taran, Watofa tertangkap maka Permenas Ferry Awom dan kawan-kawannya yang bekas PVK melakukan suatu pemberontakan bersenjata di Manokwari secara besar-besaran dengan mulai menyerang kaserme/asrama militer (ex. PVK) di Arfai pada tanggal 28 Juli 1965. Kegiatan pemberontakan yang dilakukan OPM itu menimbulkan berbagai gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di wilayah Irian Jaya dan juga ikut mengacaukan keadaan sehingga pada masa Acub Zainal menjadi Panglima Komando Daerah Militer (KODAM) XVII Cenderawasih yang ke-V pada tahun 1970-1973 mengubah dan memberikan nama Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Gerakan Pengacau Liar (GPL) kepada OPM.
Menurut Victor Kaisiepo, OPM itu lahir dari faksi perjuangan yang ada dan dibentuk di Irian Jaya/Papua Barat. Faksi-faksi itulah yang mengirimkan berita/informasi kepada pemimpin Papua yang memilih ikut Belanda ke negeri Belanda agar sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat. Semula Markus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe ragu-ragu terhadap perjuangan untuk kemerdekaan Papua. Namun setelah mendapatkan informasi tentang perjuangan di Irian Jaya, maka mereka mulai menyusun rencana perjuangan baik politik maupun militer untuk mendukung aktivitas atau perjuangan kemerdekaan di Irian Jaya yang dilakukan oleh OPM. Mereka juga memutuskan untuk menggunakan nama OPM sebagai suatu nama kesatuan dalam perjuangan Bangsa Papua Barat (West Papua).
Jelaslah bahwa OPM itu lahir dan dibentuk di Irian Jaya, dikenal dan disebarkan khususnya oleh faksi pimpinan Terianus Aronggera (SE) di Manokwari. Jadi dapat dikatakan bahwa fakta tentang lahirnya OPM itu sudah terungkap sehingga menghilangkan berbagai spekulasi selama ini. Berbagai spekulasi yang muncul selama ini misalnya oleh pemerintah Indonesia bahwa OPM itu dibentuk oleh Belanda dengan tokoh-tokohnya yakni Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe dan kawan-kawan. Atau OPM itu lahir di pedalaman Irian Jaya melalui berbagai kegiatan pemberontakan.
Mengenai Bendera, OPM dipimpin Terianus Aronggera (SE) tetap menggunakan bendera Papua rancangan Mr. De Rijke yang dikibarkan pertama kali pada tanggal 1 November 1961 sedangkan OPM pimpinan Aser Demotekay merancang suatu bendera baru.
Menurut Dinas Sejarah Militer Kodam XVII Cenderawasih, ada lima sebab yang menyebabkan pemberontakan OPM, yaitu:
1. Aspek Politik
o Pada masa pemerintahan Belanda, pemerintah Belanda menjanjikan kepada rakyat Papua untuk mendirikan suatu negara (boneka) Papua yang terlepas dari negara Republik Indonesia. Beberapa pemimpin putra daerah yang pro-Belanda mengharapkan akan mendapatkan kedudukan yang baik dalam negara Papua tersebut. Janji pemerintah Belanda itu tidak dapat direalisir sebab Irian Jaya harus diserahkan kepada Indonesia melalui perjanjian New York 1962. Walaupun dalam perjanjian itu terdapat pasal tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, namun pelaksanaannya diserahkan kepada Indoenesia dan disaksikan oleh pejabat PBB. Apalagi pada tahun 1965 menyatakan keluar dari PBB, sehingga dukungan dari PBB tidak dapat diharapkan lagi.
2. Aspek Ekonomis
o Pada tahun 1964, serta tahun-tahun 1965 dan 1966, keadaan ekonomi di Indonesia pada umumnya sangat buruk, dan memberikan pengaruh yang sangat terasa di Irian Jaya. Penyaluran barang-barang kebutuhan pangan dan sandang ke Irian Jaya macet dan sering terlambat ditambah pula dengan tindakan para petugas Republik Indonesia di Irian Jaya yang memborong barang-barang yang ada di toko dan mengirimnya ke luar Irian Jaya untuk memperkaya diri masing-masing. Akibatnya Irian Jaya mengalami kekurangan pangan dan sandang. Kondisi yang demikian ini tidak pernah dialami oleh rakyat Irian Jaya pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
3. Aspek Psikologis
o Rakyat Irian Jaya pada umumnya berpendidikan kurang atau rendah diwilayah pesisir pantai dan di wilayah pedalaman tidak berpendidikan, sehingga mereka kurang berpikir secara kritis. Hal ini menyebabkan mereka mudah dipengaruhi. Mereka lebih banyak dipengaruhi emosi daripada pikiran yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan. Bila suatu janji itu tidak ditepati maka sikap mereka akan berubah sama sekali. Misalnya sebagai bukti dalam hal ini adalah Mayor Tituler Lodwijk Mandatjan yang menyingkir 2 (dua) kali ke pedalaman Manokwari tetapi kembali lagi dan mengaku taat kepada pemerintah Indonesia.
4. Aspek Sosial
o Pada masa Belanda para pejabat pemerintah lokal di Irian Jaya pada umumnya diangkat dari kalangan kepala suku (dibanding dengan di Jawa dimana Belanda mengangkat pegawai dari golongan Priyayi). Kalau mereka itu memberontak maka mereka akan mendapat dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana yang genting pada kepala suku itu harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Misalnya, Lodwijk Mandatjan.
5. Aspek Ideologis
o Di kalangan rakyat Irian Jaya hidup suatu kepercayaan tentang seorang pemimpin besar sebagai Ratu Adil yang mampu membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik atau makmur. Gerakan ini di Biak disebut gerakan Koreri (Heilstaat) atau Manseren Manggundi. Kepercayaan ini yang memberikan motivasi bagi pemberontakan yang dipimpin oleh M. Awom di Biak, dimana M. Awom dianggap sebagai pimpinan besar menyerupai Nabi Musa yang oleh para pengikutnya dianggap Sakti.
Selanjutnya berdasarkan dengan hasil wawancara dengan beberapa tokoh OPM baik didalam dan diluar Negeri maka diperoleh sebab-sebab pemberontakan sebagai berikut:
• Rasa Nasionalisme Papua, senasib dan seperjuangan untuk berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negara Papua Barat (West Papua).
• Hendak meningkatkan dan mewujudkan janji Belanda yang tidak sempat direalisir akibat Integrasi dengan Indonesia secara Paksa dan Tidak Adil.
• Persetujuan politik antara Belanda dan Indonesia yang melahirkan perjanjian New York 1962 itu tidak melibatkan bangsa Papua (Wakilnya) sebagai bangsa dan tanah air yang dipersengketakan.
• Latar belakang sejarah yang berbeda antara rakyat Papua Barat dan bangsa Indonesia.
• Masih terdapat perbedaan Sosial, Ekonomi dan Politik antara bangsa Papua dan Bangsa Indonesia.
• Tereksploitasi hasil dari Papua Barat yang dilakukan secara besar-besaran untuk bangsa Indonesia, sedangkan rakyat Papua Barat tetap miskin dan terbelakang.
• Tekanan terhadap rakyat Papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak awal Integrasi hingga saat ini.
• Hendak mewujudkan cita-cita dari gerakan Cargo, yaitu suatu bangsa dan Papua Barat yang Makmur di akhir Jaman.
Dari berbagai alasan atau sebab-sebab pemberontakan OPM sebagaimana diuraikan diatas, maka disimpulkan bahwa pemberontakan OPM di Irian Jaya terjadi karena "Ketidakpuasan terhadap keadaan, kekecewaan, dan telah tumbuh suatu kesadaran Nasionalisme Papua Barat".
Ketidakpuasan terhadap keadaan ekonomi yang buruk pada awal integrasi dan terutama pada tahun-tahun 1964 , 1965 dan 1966 dan juga terhadap sikap aparat pemerintah dan Keamanan yang tidak terpuji. Juga tidak puas terhadap sikap memandang rendah atau sikap menghina orang Irian yang sering sengaja ataupun tidak sengaja menggeneralisir keadaan suatu suku dengan suku-suku lainnya seperti: Pakai Koteka`, "masih biadab", "Goblok, Jorok", dan lain sebagainya dimana pada masa pemerintahan Belanda ungkapan-ungkapan demikian tidak pernah atau dengan mudah diucapkan kepada orang Irian.

3. PT. Freeport McMoran
Di ketinggian 4200 m di tanah Papua, Freeport McMoran (FM), perusahaan induk PT. Freeport Indonesia mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.
Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$.
Berdasarkan laporan pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM di Indonesia mencapai 2 milyar dollar. Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan penyumbang emas nomor 2 kepada industri emas di Amerika Serikat setelah Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. Keuntungan tahunan ini, tentu jauh lebih kecil pendapatan selama 37 tahun Freeport beroperasi di Indonesia.
Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah). Demikian Freeport juga mengklaim dirinya sebagai penyumbang pajak terbesar di Indonesia yang tidak jelas berapa jumlahnya. Menurut dugaan, pajak yang disumbang PT. Freeport Indonesia mencapai 2 trilyun rupiah (kurang dari 1% anggaran negara). Pertanyaan yang patut dimunculkan, apakah Freeport menjadi amat berharga dibanding ratusan juta pembayar pajak lainnya yang sebenarnya adalah warga yang patut dilayani negara? Atau dengan menjadi pembayar pajak terbesar, PT Freeport sebetulnya sudah “membeli” negara dengan hanya menyumbang kurang dari 1% anggaran negara? Bagaimana dengan agregat pembayar pajak yang lain?
Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai.
Biaya yang dikeluarkan Freeport untuk mengatasi persoalan lingkungan berkisar antara 60¬70 juta dollar per tahunnya mulai dari tahun 2002. Total biaya yang telah dikeluarkan Freeport selama 3 tahun untuk urusan lingkungan sekitar 139 juta dollar atau setara dengan 6 kali lipat anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Di dalam laporan resmi tahunannya, Freeport McMoran menuliskan bahwa dirinya membiayai dukungan uang sejumlah 6.9 juta dollar pada tahun 2004, lalu 5.9 juta dollar tahun 2003 dan 5.6 juta dollar tahun 2002 kepada pihak keamanan resmi pemerintah Indonesia (TNI). Pernyataan Freeport McMoran dalam membiayai TNI bukan hanya dilaporkan pada tahun 2005. Hampir setiap tahun, Freeport McMoran selalu melaporkan bahwa dirinya membiayai TNI untuk melindungi keamanan.
The Grasberg mine has been designated by the Government of Indonesia as one of Indonesia’s vital national assets. This designation results in the military’s playing a significant role in protecting the area of our operations. The Government of Indonesia is responsible for employing police and military personnel and directing their operations....
Diterangkan pula dalam laporan tahunan kepada pemegang saham (Form 10-K), bahwa sesuai dengan kontrak karya, Pemerintah Indonesia wajib melindungi operasi PT Freeport yang merupakan objek vital. Karena alasan minimnya dana pemerintah untuk membiayai personil, PT Freeport menyediakan fasilitas kepada aparat negara untuk melindungi operasi, fasilitas, dan personil PT. Freeport Indonesia. Berikut kutipan laporan tersebut:
From the outset of PT Freeport Indonesia’s operations, the government has looked to PT Freeport Indonesia to provide logistical and infrastructure support and assistance for these necessary services because of the limited resources of the Indonesian government and the remote location of and lack of development in Papua. PT Freeport Indonesia’s financial support for the Indonesian government security institutions assigned to the operations area represents a prudent response to its requirements to protect its workforce and property, better ensuring that personnel are properly fed and lodged, and have the logistical resources to patrol PT Freeport Indonesia’s roads and secure its operating area. In addition, provision of such support and oversight is consistent with PT Freeport Indonesia’s obligations under the Contract of Work, reflects our philosophy of responsible corporate citizenship, and is in keeping with our commitment to pursue practices that will promote human rights, which include our endorsement of the joint U.S. State Department-British Foreign Office Voluntary Principles on Human Rights and Security.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah TNI berhak menerima uang dari perusahaan yang secara jelas disebutkan untuk menjaga keamanan perusahaan? Kedua, apakah tindakan memberi uang kepada alat negara secara langsung adalah tindakan yang benar secara hukum? Ketiga, apakah ini adalah bukti bahwa TNI di Timika bekerja untuk melindungi kepentingan PT Freeport Indonesia? Keempat, apakah ini adalah bukti keterlibatan Freeport dalam memicu terjadinya pelanggaran HAM berat di wilayah Timika seperti yang sudah terjadi selama puluhan tahun sejak Freeport mendaratkan cakarnya di Tembagapura?
Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya mereka yang tinggal di Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya pada tahun 2004 hanya mendapat rangking Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300an lebih kabupaten di Indonesia. Hampir 70% penduduknya tidak mendapatkan akses terhadap air yang aman, dan 35.2% penduduknya tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Selain itu, lebih dari 25% balita juga tetap memiliki potensi kurang gizi.
Jumlah orang miskin di tiga kabupaten tersebut, mencapai lebih dari 50 % total penduduk. Artinya, pemerataan kesejahteraan tidak terjadi. Meskipun pengangguran terbuka rendah, tetapi secara keseluruhan pendapatan masyarakat setempat mengalami kesenjangan. Boleh jadi kesenjangan yang muncul antara para pendatang dan penduduk asli yang tidak mampu bersaing di tanahnya sendiri. Boleh jadi pula, angka prosentase yang menunjukkan kemiskinan, seperti akses terhadap air bersih, kurang gizi, akses terhadap sarana kesehatan mengandung bias rasisme. Artinya, kemiskinan dihadapi oleh penduduk asli dan bukan pendatang.

4. Buah Merah (red fruit)
Buah merah (Pandanus conoideus) atau yang dikenal luas di Wamena dengan nama tawi / sauk ekendi adalah tanaman asli Papua yang tumbuh di dataran rendah (40 m dpl) sampai dataran tinggi (2.000 m dpl). Namun populasi terbanyak terdapat di dataran dengan ketinggian 1.200 hingga 2.000 m dpl. Buah merah biasa tumbuh bergerombol dalam satu area, jarang tumbuh menyendiri. Buah merah tumbuh di daerah dengan suhu di bawah 17 derajat Celcius dengan curah hujan rata-rata 186 mm per bulan dan jumlah penyinaran matahari 57% dan tekanan udara rata-rata 896 mb. Tanaman Buah Merah termasuk tanaman keluarga pandan-pandanan dgn pohon menyerupai pandan, namun tinggi tanaman dapat mencapai 16m dengan tinggi batang bebas cabang sendiri setinggi 5 sampai 8 m yang diperkokoh akar-akar tunjang pada batang sebelah bawah. Kultivar buah berbentuk lonjong dgn kuncup tertutup daun buah. Buah Merah sendiri panjang buahnya mencapai 55 cm, diameter 10-15 cm, dan bobot 2-3 kg. Warnanya saat matang berwarna merah maroon terang. Walau sebenarnya ada jenis tanaman ini yg berbuah berwarna coklat dan coklat-kekuningan. Budidaya tanaman dipelopori oleh seorang warga lokal Nicolaas Maniagasi sejak tahun 1983, dan atas jerih payahnya tersebut mendapatkan penghargaan lingkungan hidup Kehati Award 2002. Buah merah sudah secara turun-temurun dikonsumsi oleh masyarakat Papua sebagai penambah energi dan daya tahan tubuh.
Kehebatan buah merah mulai terkuak setelah seorang peneliti dari Universitas Cendrawasih, Drs. I Made Budi MSi, pada akhir tahun 2004 lalu mengungkapkan secara ilmiah tentang khasiat pengobatan dan kandungan gizi yang luar biasa yang dikandung dalam buah ini. Sebagai ahli gizi dan dosen Universitas Cendrawasih beliau sempat mengamati secara seksama kebiasaan masyarakat tradisional di Wamena, Timika dan desa-desa kawasan pegunungan Jayawijaya yang mengonsumsi buah merah sebagai obat cacing, penyakit kebutaan, dan penyakit kulit.Menurutnya, buah ini mengandung zat-zat alami yang dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan proses metabolisme. Diantaranya adalah karotenoid, betakaroten, alfa tokoferol, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan dekanoat, omega 3 dan omega 9 yang berperan sebagai senyawa anti radikal bebas pengendali beragam penyakit seperti kanker, hipertensi, paru - paru dan infeksi. Selain itu, buah merah mengandung banyak kalori untuk menambah energi, kalsium, serat, protein, vitamin B1, vitamin C dan nialin.Kandungan kalorinya tinggi, mencapai 400 kilo kalori /100 gram daging buah. Tak heran jika setelah meminumnya orang akan merasa bugar dan nafsu makan meningkat.
Adapun yang diminum dari buah merah ini adalah dalam bentuk saripati. bentuknya seperti minyak goreng, hanya saja berwarna merah kental dan berbau seperti wijen. Antioksidan di dalam buah merah (kandungan rata-rata) : Karoten (12.000 ppm) , Betakaroten (700 ppm) dan Tokoferol (11.000 ppm). Kandungan gizi buah merah antara lain memiliki antioksidan tinggi (karoten, tokoferol), asam lemak didominasi tidak jenuh, mineral makro dan mikro sangat tinggi khususnya kalsium serta Fe. Hampir 85 persen terdiri dari Omega 3, Omega 9 dan Omega 6. Ketiga Omega ini sangat penting peranannya dalam meningkatkan kekebalan tubuh, kecerdasan, dan perbaikan sel rusak.



BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebudayaan Papua sama seperti kebudayaan lain yang menyusun dan memperkaya khasanah Kebudayaan Indonesia. Sehingga sudah sepatutnya kita menghargai, menghormati serta memberikan kedudukan yang sama kepada saudara-saudara kita yang ada di Papua apapun keadaan mereka sekarang. Sama seperti yang lain, Kebudayaan Papua mempunyai kekurangan dan kelebihan yang harus dapat kita terima, karena tanpa saudara-saudara kita yang ada di Papua bangsa ini tidak bisa seperti yang sekarang. Oleh karena itu, sesungguhnya tidaklah cukup apabila kita ingin memahami kebudayaan Papua dalam waktu yang singkat tetapi diperlukan waktu yang cukup lama dan mendalam. Meskipun demikian, hal itu tidak menyurutkan usaha kami untuk menyediakan berbagai pengetahuan seputar kebudayaan Papua.
Secara khusus pula makalah ini kami buat untuk teman-teman di lingkungan Kampus STAN yang tertarik dengan kebudayaan Papua serta bagi yang tidak memiliki latar belakang kebudayaan Papua untuk menambah pengetahuan sekaligus sebagai bekal bagi teman-teman di lingkungan kerja nanti, supaya kita dapat berkomunikasi lintas budaya. Dan akhirnya, sesungguhnya makalah ini jauh dari lengkap dan mendalam mengenai kebudayaan Papua Kami meminta maaf apabila di dalam makalah ini ada pernyataan yang kurang berkenan di hati teman-teman. Terima kasih.

3.2 Saran
Kebudayaan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Kebudayaan merupakan hasil karya, karsa, dan cipta manusia yang menghasilkan produk-produk budaya yang indah. Walaupun kebudayaan di negara kita, Indonesia, mempunyai kebudayaan yang plural, namun tak semestinya kita menginterpretasikan kebudayaan itu sebagai perbedaan yang buruk.



DAFTAR PUSTAKA

http:// rudy_rapang@yahoo.com
http://infopapua.com
http://id.wikipedia.org
http://www.tamanmini.com
http://www.suarapembaruan.com
http://www.balipos.com
http://www.indonesia.go.id
Dinas Pariwisata Propinsi Papua
http://students.ukdw.ac.id
http://www.papua.go.id
http://www.papuapost.com
http://www.warispapua.org
http://www.walhi.or.id.
Koentjaraningrat, 2002, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)







1 komentar:

bocah mengatakan...

sekedar meluruskan salah kaprah yang terjadi. MUSAMUS yang banyak dikenal sebagai 'rumah semut' sebenarnya adalah rumah RAYAP (termites)

selengkapnya dapat dilihat di http://b0cah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=693&Itemid=44 , semoga bermanfaat