November 22, 2008

Kebudayaan Sunda

Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu Bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan berasal dari tempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Secara kultural daerah Pasundan itu di sebelah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatasan bahasa. Akan tetapi di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-kampung yang menggunakan bahasa Sunda, separti di Kabupaten Brebes, Tegal dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di daerah Lampung, Sumatra bagian paling Selatan. Di daerah Jawa Barat sendiri, jika kita teliti lebih mendalam lagi, tidak seluruh masyarakatnya menggunakan Bahasa Sunda. Di daerah pantai utara dan di daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa Sunda, sedang di daerah Cirebon Bahasa Sunda lebih banyak dipakai. Di daerah Jakarta dan sekitarnya, masyarakatnya berbahasa Melayu Jakarta.
Dewasa ini Bahasa Sunda dipakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Di pedesaan bahasa pengantar adalah Bahasa Sunda, sedang di kota-kota Bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, di dalam percakapan antara kawan dan kenalan yang akrab dan juga di tempat-tempat umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui bahwa mereka itu menguasai Bahasa Sunda. Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikemukakan bahwa Bahasa Sunda yang murni dan yang halus ada di daerah Priangan, seperti Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi dan Cianjur. Sampai sekarang dialek Cianjur masih dipandang sebagai Bahasa Sunda yang terhalus. Dari Cianjur pula berasal lagu-lagu kecapi-suling Cianjuran. Bahasa Sunda yang dianggap agak kurang halus adalah Bahasa Sunda di dekat pantai Utara, misalnya Banten, Karawang, Bogor dan Cirebon. Bahasa orang Badui yang terdapat di Banten Selatan adalah Bahasa Sunda Kuno. Dalam pemakaian Bahasa Sunda dikenal pembagian atas tiga tingkatan, yaitu Bahasa Sunda lemes, sedang dan kasar. Bahasa Sunda lemes sering digunakan untuk berhubungan dengan orang tua, orang yang dituakan atau orang yang dihormati dan disegani. Bahasa Sunda sedang dipergunakan antara orang yang setaraf, baik dalam usia maupun status sosialnya. Sedang Bahasa Sunda kasar dipergunakan oleh atasan terhadap bawahannya, juga sering digunakan oleh menak terhadap cacah. Terlepas daripada evaluasi emosionel-literer, mengenai adanya Bahasa Sunda yang halus dan yang kurang halus, yang murni atau yang kurang murni, adanya perbedaan itu barangkali dapat diterangkan dari sudut sejarah. Sunda Priangan misalnya pernah mendapat pengaruh kultural dari Mataram Islam. Dalam sejarah abad ke-19 terdapat hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan di Sunda, khususnya di daerah Sumedang, dengan kaum bangsawan di Solo dan Jogjakarta. Di samping itu ada kemungkinan bahwa iklim-iklim lingkungan alam memberikan pengaruh kepada aspek-aspek tertentu dari bahasa.
Pada daerah-daerah percampuran, dimana digunakan Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa, ada kecenderungan pada beberapa keluarga yang menggunakan Bahasa Sunda untuk tidak menyebut dirinya orang Sunda, akan tetapi menyebut dirinya misalnya orang Cirebon atau orang Banten dan menggunakan istilah orang Sunda bagi orang Sunda Priangan. Salah satu keterangan yang didapat mengenai hal ini adalah dari sudut bahasa, yaitu bahwa bahasa di Priangan lebih halus. Akan tetapi dikembalikan pula, bahwa orang Cirebon dan Banten melihatnya dari sudut penyebaran Agama Islam lebih dahulu tersebar di daerah Banten dan Cirebon. Sebaliknya bagi orang Sunda sebagai bahasa-ibunya di manapun ia tinggal adalah orang Sunda.

Sejarah
Catatan sejarah paling lama yang ditemukan mengenai perkataan Sunda telah dijumpai di naskah Kebon kopi 2 yang bertarikh 536 Masehi. Istilah Sunda kemungkinan berasal dari Bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti bersinar, terang atau putih. Dalam Bahasa Jawa kuno (kawi) dan Bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat dan waspada.
Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga lembah Brahmaputra di Assam (India).
Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di Timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda Island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur.
Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan, sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara dan Timor.
Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu maupun keduanya orang Sunda, dimanapun ia atau mereka berada dan dibesarkan.
Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda dalam hidupnya. Dalam konteks ini, istilah Sunda juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di tanah daerah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah, silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri dan saling memelihara dan melindungi). Disamping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap ansor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.

Bahasa
Bahasa Sunda digunakan oleh lebih kurang 27 juta orang dan merupakan bahasa kedua paling banyak digunakan di Indonesia setelah bahasa Jawa. Bahasa ini ditutur oleh mereka di bagian selatan Provinsi Banten dan di kebanyakan tempat di Jawa Barat.
Ada terdapat beberapa dialek dalam bahasa Sunda, dari dialek Sunda-Banten ke dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mencampurkan banyak elemen dari bahasa Jawa. Beberapa dialek yang jelas kedengaran adalah:
1. Banten
2. Bogor
3. Priangan dan
4. Cirebon
Disebabkan pengaruh budaya Jawa semasa pemerintahan Kesultanan Mataram, Bahasa Sunda terutama sekali di kawasan Parahyangan, memiliki beberapa lapisan bermula dengan bahasa paling resmi atau versi “halus”, hingga cara penuturan harian yang dipanggil versi “loma” atau “lancaran”. Namun di kawasan-kawasan pegunungan dan di Banten, versi “loma” paling banyak digunakan tetapi cara penuturan “loma” ini dianggap kasar oleh mereka yang berasal dari Bandung. Di Jawa Barat, Bahasa Sunda banyak digunakan di daerah Cilacap.
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Prasasti dimaksud ditemukan di Kawali Ciamis dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda kuno. Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475). Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapa walr ni siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangedeng di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisesa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala desa. Ayama nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sunggung peninggalan Prabu Raja Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang mensejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda kuno, walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda kuno secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 18. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh Bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:
1. Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang hees tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!).
2. Berbentuk puisi pada 408 berjudul Sewaka Darma (abad ke-16) “Ieu kawih panyaraman, pakawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakeun sang sisya, nu huning Sewaka Darma” (Inilah kidung nasihat, untuk ditembangkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sansekerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda. Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari bahasa arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam) dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam ke dalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosakata Bahasa Arab kian banyak masuk ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman. Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi dan saum misalnya, telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaaraan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan bahasa dan aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di tatar sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu. Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosakata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa. Dengan penggunaan-penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi sosial secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan dikalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan Bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastra WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon. Sejak pertengahan abad ke-19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastra. Pada akhir abad ke-19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan Aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah. Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis Boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda kedalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor. Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaannya dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

Kesusastraan
Di dalam Bahasa Sunda terdapat kesusastraan yang kaya. Bentuk Sastra Sunda yang tertua adalah ceritera-ceritera pantun, yaitu ceritera pahlawan-pahlawan nenek moyang Sunda dalam bentuk puisi diselang-seling oleh prosa berirama seperti bentuk panglipurlara. Tukang-tukang pantun itu mendongengkan ceritera-ceritera pantunnya dengan iringan bunyi kecapi. Ceritera-ceritera itu mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda Purba, zaman Galuh dan Pajajaran dan selalu menyebut nama raja sunda yang terkenal, yaitu Prabu Siliwangi. Bagi orang Sunda ceritera-ceritera pantun itu menduduki tempat yang khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah perasaan kebesaran orang Sunda, yang melihat ceritera sejarah di masa lampau semakin jauh semakin terang, semakin lama semakin terkenang.
Sesudah zaman pantun, dikenal zaman wayang dan wawacan-wawacan sebagai pengaruh dari Mataram Islam, setelah jatuhnya Pajajaran. Ceritera-ceritera wayang kebanyakan berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata, tetapi sekarang sudah banyak sekali variasi-variasi karangan dari ki dalang sendiri. Wayang di Sunda lebih merupakan hiburan dan orang yang menyaksikannya biasanya tidak selalu tertarik oleh lakonnya, melainkan oleh keterampilan sang dalang untuk memainkan wayangnya atau lebih tertarik oleh nyanyian-nyanyian sindennya. Walaupun kebanyakan orang Sunda beragama Islam, mereka memberikan kepada pertunjukkan wayang itu suatu tempat tertentu dalam kebudayaan, karena didalamnya terdapat berbagai unsur kesenian ialah seni satra, seni tembang dan gamelan dan pertunjukkan wayang itu masih sering diadakan di daerah-daerah pedesaan maupun di kota-kota.
Cerita wawacan dalam Bahasa Sunda banyak diambil dari ceritera-ceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan dan ini disebut beluk. Biasanya seseorang membacakan satu kalimat dari wawacan itu berbentuk puisi tembang dari Jawa dan seorang yang lain menyanyikannya. Orang yang membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah atau tidur-tiduran, demikian pula yang mendengarkannya. Beluk itu biasa diperdengarkan sambil menunggui orang yang baru melahirkan. Lamanya hampir semalam suntuk. Sekarang sudah jarang orang memperdengarkan beluk.
Di samping pantun, wayang dan wawacan dalam kesusastraan Sunda terdapat bermacam-macam cerita rakyat seperti: Sangkuriang yaitu cerita tentang terjadinya Gunung Tangkuban Perahu dan Danau Purba di dataran tinggi Bandung, serta varian-variannya mengenai terjadinya beberapa gunung dan danau yang ada di Jawa Barat. Satu macam cerita rakyat di Sunda adalah cerita si Kabayan satu contoh sastra yang dilukiskan sebagai seorang pemalas dan bodoh, akan tetapi sering pula tampak kecerdikannya.
Kesusastraan-Kesusastraan Sunda itu bukan suatu unsur kebudayaan yang hanya dikenal di lingkungan yang kecil saja, akan tetapi dikenal secara luas dalam masyarakat. Dalam pertunjukan reog, permainan yang selalu dapat menyesuaikan dirinya dengan setiap zaman, tampaklah betapa bahasa dan sastra Sunda itu merupakan bagian yang esensial dari kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat.
Di samping Bahasa Sunda sebagai identitas kesundaan, ciri kepribadian orang Sunda yang lain adalah bahwa orang Sunda sangat mencintai dan menghayati keseniannya. Dari bahasa dan keseniannya, Sunda sebagai manusia yang optimis, suka dan mudah gembira, yang memiliki watak terbuka, tetapi yang bersifat terlalu perasa, sehingga tampak sebagai orang yang sedang pundung (sensitif). Tentu gambaran ini sangat bersifat umum.

Desa di Jawa Barat
Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan administratif terkecil yang menempati tingkat yang paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Di samping itu desa juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan hidup yang kecil sifatnya, di suatu wilayah tertentu. Sifat kecilnya itu menyebabkan adanya suatu rangkaian sifat-sifat lain yang khas.
Sebagai suatu kesatuan administratif suatu desa mempunyai suatu sistem pemerintahan desa yang mengurus rumah tangga desa. Di seluruh Jawa Barat sistem pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam beberapa sebutan bagi pejabat-pejabatnya terdapat beberapa perbedaan. Desa Bojongloa misalnya, sebuah desa yang terletak di lereng Gunung Tampomas di sebelah barat Sumedang dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyatnya. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya kuwu didampingi oleh seorang juru tulis, tiga orang kokolot, seorang kulisi, seorang ulu-ulu dan seorang amil dan tiga orang pembina desa (seorang dari angkatan kepolisian dan dua orang dari angkatan darat). Adapun kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan musyawarah dengan warga desa mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan warga desa, mengurus pekerjaan umum seperti jalan dan selokan, serta mengurus harta benda desa. Kokolot berkewajiban menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pihak pamong desa kepada warga desa, yang bertempat tinggal di rukun kampung yang dipimpinnya dan sebaliknya, kokolot juga menyampaikan laporan dan pengaduan dari pihak penduduk kepada pamong desa. Juru tulis berkewajiban mengurus administrasi desa, arsip, daftar hak milik rakyat, pajak dan sebagainya. Ulu-ulu mempunyai tugas mengurus pembagian air dan memelihara selokan-selokan. Amil berkewajiban mengurus pendaftaran kelahiran, kematian, nikah, talak, rujuk, mengucapkan do’a dalam selamatan, mengurus masjid dan langgar, serta memelihara kuburan. Kulisi berkewajiban memelihara keamanan, mengurus pelanggaran dan membantu pembina wilayah dan kepala desa dalam hal keamanan. Dalam bidang keamanan ini diikutsertakan pula anggota hansip. Di daerah Jawa Barat sekarang ini kira-kira terdapat 3.881 buah desa seperti tersebut di atas.
Sebagai suatu kesatuan hidup di suatu wilayah tertentu atau kesatuan yang di dalam ilmu antropologi disebut komuniti (comminity), maka desa asli Jawa itu mempunyai beberapa sifat yang umum. Orang hidup dari pertanian dengan teknologi lama. Karena desa itu jumlah penduduknya untuk sebagian besar lahir di tempat itu dan karena jumlah penduduk desa asli di Jawa Barat itu biasanya tidak melebihi tiga-empat ribu jiwa, maka orang masih saling kenal mengenal dan bergaul sebagai manusia yang saling mengetahui latar belakangnya masing-masing. Kecuali itu karena teknologi dalam kehidupan desa belum maju, maka spesialisasi antara penduduk juga belum luas dan diferensiasi antara penduduk kedalam golongan-golongan juga masih bersifat terbatas.
Sesudah Perang Dunia ke-II dan sesudah Zaman Revolusi, masyarakat desa di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat pada khususnya, telah banyak mengalami perubahan. Isolasi, keseimbangan dan ketenangan sebetulnya telah diterobos oleh pengaruh-pengaruh baru dari luar. Ekonomi, politik dan ideologi modern, administrasi pemerintahan, komunikasi, pendidikan telah menyebabkan suatu lapisan atas, yang terdiri dari para pamong desa, para guru, juru-juru penerang, pegawai-pegawai jawatan, pelajar, anggota TNI, pedagang dan pengusaha, yang semua memiliki orientasi keluar. Sebaliknya ada suatu lapisan bawah, ialah kaum petani, yang jumlahnya besar, kebanyakan masih buta huruf dan dalam cara hidupnya masih tradisionil. Orang lapisan atas mempunyai kecakapan berekonomi berdasarkan prinsip mencari untung, mempunyai hubungan dengan tengkulak dan pedagang besar di kota. Dapat juga dikatakan bahwa pada lapisan atasan desa inilah terpusat segala kekuasaan ekonomi desa dan pada umumnya ikatan golongan atas dan bawah itu berbentuk hutang atau kontrak-kontrak yang tidak menguntungkan lapisan bawah yang lemah ekonominya. Akan tetapi apabila kita selidiki, di Jawa Barat tentunya tidak semua desa mengalami perubahan yang sama. Desa Dukuh yang letaknya terpencil di Garut Selatan misalnya, memperlihatkan betapa kuat masih adat-istiadat itu.
Penduduk Desa Dukuh berjumlah 142 orang yang tinggal dalam rumah sebanyak 42 susunan. Perkawinan di dalam desa sering diadakan antara para warganya, sehingga antara warga desa yang satu dengan yang lain ada hubungan kekerabatan yang erat. Mereka hidup sebagai petani, tidak ada seorangpun yang menjadi pedagang atau pegawai negeri. Penduduk seluruhnya memeluk Agama Islam. Mereka sangat patuh menjalankan syariat agamanya. Tetapi di samping itu merekapun percaya pada makam-makam yang keramat dan pantangan-pantangan adat. Sebuah makam yang dikeramatkan dan menjadi pusat kehidupan kerohanian masyarakat Dukuh adalah makam seorang penyebar Islam Syech Abdul Jalil atau lebih terkenal di kalangan penduduk dengan sebutan Eyang Wali. Adapun pantangan yang dilakukan oleh penduduk Dukuh adalah: larangan menggunakan gergaji besar untuk menggarap bahan bangunan; larangan membuat rumah yang megah melebihi rumah tetangganya; larangan mengapur rumahnya beserta dindingnya; larangan menggunakan atap genting atau sirap; larangan menggunakan pintu dan jendela kaca; larangan menghias dinding dengan gambar-gambaran atau lukisan; memiliki atau mengenakan barang perhiasan dari emas-berlian dan sebagainya. Adapun yang bertanggung jawab atas terpeliharanya makam keramat adalah pekuncen. Ia sekaligus merupakan pengawal dan pelindung dari adat tradisi Dukuh. Ia didampingi oleh para kokolot dukuh yang merupakan Dewan Orang Tua.
Dukuh adalah sebuah desa yang terpencil. Komunikasi dengan kampung-kampung lain adalah sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Letaknya yang jauh dari sungai menyebabkan mereka harus mempertahankan sumber air yang terbatas ada si daerah sekitarnya, terutama di lereng-lereng gunung sebelah atas. Air sumber itu tidak akan mati selama pohon-pohon besar di lereng atas sampai ke puncaknya masih tetap tumbuh. Di samping membutuhkan air, penduduk Dukuh juga membutuhkan kayu untuk membangun dan kayu bakar untuk masak. Kayu-kayu yang baik untuk bahan bangunan adalah kayu yang besar dan tua. Demikian apabila habis ditebang pohon-pohon di bawah, tentulah mereka akan menebangi pohon-pohon besar di puncak bukit. Jika itu dilakukan, maka sumber air akan kering dan ini berarti berakhirnya kehidupan masyarakat di situ. Untuk menjaga agar sumber air tetap ada, maka dibuatlah pantangan-pantangan menebang pohon-pohon, dengan dalih kepercayaan dan dihubungkan dengan makam keramat. Pantangan adalah satu mekanisme sosial yang diberi keramat berdasarkan agama, agar penduduk mematuhi larangan-larangan itu.
Agak berbeda lagi jika kita melihat kepada Desa Pelabuhan, yang juga menjadi ibukota Kecamatan Pelabuhan Ratu dan yang berpenduduk 17.000 orang. Penduduk Desa Pelabuhan Ratu sebagian besar hidup dari menangkap ikan dan sebagian lagi hidup dari pertanian. Berdasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar kaum nelayan di daerah pelabuhan itu adalah orang-orang pendatang dari berbagai daerah di luar Pelabuhan Ratu, maka dapatlah diterima suatu pendapat, bahwa bercocok tanam dan mencari hasil hutan adalah mata pencaharian pokok dari penduduk Pelabuhan Ratu. Bagi penduduk asli itu, menangkap ikan di laut hanya merupakan mata pencaharian sambilan dan musim-musiman saja. Baru kemudian, dengan datangnya orang-orang nelayan itu dari luar daerah Pelabuhan Ratu, penangkapan ikan di laut merupakan mata pencaharian pokok yang baru. Dalam desa seperti Pelabuhan, tentunya struktur masyarakat berbeda lagi.
Berdasarkan fungsinya, penduduk dapat dibagi-bagi menjadi golongan juragan atau majikan, golongan buruh nelayan atau anak-payang. Struktur sosial menunjukkan sedikit banyak adanya diferensiasi tidak mengakibatkan adanya relasi-relasi sosial yang kompleks, baik dalam kelompok nelayan pada khususnya, maupun dalam masyarakat desa pelabuhan pada umumnya. Mayarakat di-organisasi dengan pranata-pranata pemerintahan, agama dan adat yang merupakan kesatuan yang terintegrasikan.

Ekonomi dan Sistem Kemasyarakatan di Jawa Barat
Kehidupan perekonomian di daerah Jawa Barat sudah menjadi semakin kompleks dan mempunyai berbagai macam aspek, sehingga tidak mungkin untuk dapat diuraikan dalam satu bab yang singkat. Sekiranya antropologi-sosial hendak menyoroti kehidupan ekonomi rakyat Jawa Barat, maka ruang lingkup penyelidikan yang paling sesuai adalah hubungan antara ekonomi dan struktur sosial dalam masyarakat Jawa Barat, maka secara garis besar kita dapat menyebut tiga unit sosial yang menjadi pusat kehidupan ekonomi, yaitu kota, desa dan daerah perkebunan.
Dilihat dari sudut kehidupan ekonomi, maka kota-kota merupakan pusat pengambilan bahan-bahan mentah dari daerah-daerah pertanian pedesaan atau merupakan tempat-tempat transit bahan-bahan mentah untuk diteruskan kepada kota-kota yang lebih besar atau kota-kota pelabuhan seperti Jakarta, Cirebon dan Cilacap agar selanjutnya di ekspor ke luar negeri. Dengan perdagangan yang lebih intensif, kota merupakan pusat peredaran uang yang relatif cepat dan dalam volume yang relatif besar. Kehidupan yang kompleks dari kota yang tidak hanya mempunyai aspek ekonomi saja, melainkan mempunyai aspek-aspek politik, sosial dan kebudayaan, mempunyai interdepensi satu sama lain.
Perkebunan-perkebunan terlihat sebagai daerah-daerah dengan ciri-ciri khas di tengah-tengah daerah pertanian rakyat pedesaan. Tanah yang subur dan iklim yang baik menjadikan Jawa Barat salah satu daerah perkebunan yang terpenting di Indonesia. Terutama wilayah Priangan dan Bogor mempunyai daerah-daerah perkebunan yang besar. Jenis perkebunan yang diusahakan di Jawa Barat terutama adalah perkebunan teh, karet, kina, tebu dan kelapa sawit. Dari luas Jawa Barat yang sebesar lebih dari 4.500.000 hektar, lebih dari 500.000 hektar merupakan tanah perkebunan, sedangkan selebihnya adalah tanah sawah dan tanah hutan. Perkebunan-perkebunan di ladang.
Unit ekonomi yang ketiga dan yang terbesar adalah ekonomi pertanian pedesaan, pada umumnya pertanian rakyat pedesaan masih bersifat tradisional. Di Jawa Barat ada dua macam penggarapan tanah pertanian pedesaan, yaitu; (1) bercocok tanam di sawah dan (2) bercocok tanam di sawah harus diperhatikan bahwa ada sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi yang dibangun dan diatur manusia, tetapi ada juga sawah-sawah yang mendapat airnya dari hujan saja, sehingga tergantung kepada alam. Sawah-sawah semacam ini disebut sawah tadah hujan, walaupun di berbagai daerah di Priangan ada sebutan-sebutan lain juga, seperti Di Desa Cikondang, yang terletak 9 Km di sebelah Timur Sumedang misalnya, sawah tadah hujan itu disebut sawah guludug. Sebelum hujan turun, sawah tadah hujan ditanami dengan palawija, seperti ubi jalar, bawang merah, kacang tanah, kacang kedele dan sebagainya.
Sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi, segera sesudah padi dituai, dicangkul atau dibajak. Apabila sawah selesai dibajak, ada pula yang dipakai untuk memelihara ikan. Dalam waktu yang pendek, ikan itu diambil kembali dan dipindahkan ke dalam kolam atau balong. Kemudian sawah ditanami dengan bibit yang sudah disediakan. Apabila padi di sawah sudah menguning, maka seminggu sebelum waktu memotong padi tiba, si pemilik sawah mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Gunanya untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah bermaksud memotong padinya. Tugas candoli adalah menetapkan waktu pemotongan padi. Perhitungan waktu yang baik untuk melakukan pemotongan padi didasarkan atas hari pasaran seperti Kliwon, Manis, Pon dan Wage. Setelah waktu yang ditetapkan untuk memotong padi tiba dan setelah syarat-syarat yang dibutuhkan seperti sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos atau kukus yang berkaki, sebuah nasi tumpeng yang lengkap sudah tersedia, maka kemudian candoli mengucapkan matera, disusul dengan menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin, lalu candoli memotong dan mengetam padi dengan upacara.
Bercocok tanam di ladang masih dilakukan di Jawa Barat bagian Barat Daya, seperti Desa Lamajang misalnya, dimana berladang di tanah kehutanan dilakukan pada waktu tertentu. Hal ini didasarkan pada peraturan-peraturan dari Departemen Kehutanan. Rakyat setempat tidak boleh sekehendak hati bercocok tanam pada tanah milik kehutanan. Prosedurnya biasanya adalah sebagai berikut. Apabila dalam penyelidikan oleh pihak Departemen Kehutanan diketahui bahwa ada sebagian hutan sudah cukup ditebang, maka pihak Departemen Kehutanan menghubungi pamong desa setempat untuk memberitahukan bahwa sebagian kecil hutan di sekitar Lamajang itu akan dibuka. Kemudian pamong desa membentuk panitia yang bertugas mendaftarkan orang-orang yang bermaksud akan bercocok tanam di tanah kehutanan. Panitia juga memberikan penerangan-penerangan tentang aturan-aturan atau cara-cara penebangan dan cara-cara penanaman kembali hutan itu. Dalam ladang tersebut petani menanam padi, jagung, tembakau, kentang, bawang merah, bawang putih. Tidak semua ladang terletak di tanah kehutanan dan caranya tidak selalu tertib.
Pembukaan ladang-ladang dalam hutan secara liar masih terjadi dan kadang-kadang menimbulkan kebakaran yang besar dalam musim-musim kemarau. Pekerjaan di ladang hampir sama dimana-mana, yaitu: membersihkan belukar, menebang pohon-pohon, membakar dahan-dahan dan batang-batang yang telah ditebang, memagari ladang, membangun gubug ladang, menanam, menuai, mengikat padi dan mengangkut padi ke lumbung.
Dalam hal mempelajari ekonomi pertanian di desa, dimana sektor bercocok tanam secara lama masih tetap memegang suatu peranan yang utama, di samping sektor perikanan dan peternakan, harus diperhatikan bahwa para petani itu masih mempunyai suatu hubungan batin yang erat dengan tanah dan sawahnya. Demikian hak milik atas tanah masih merupakan salah satu dari unsur-unsur yang penting dalam hal menentukan kedudukan manusia dalam masyarakat desa.
Di Jawa Barat hak milik perorangan atas tanah (balong) telah ada sejak dahulu kala. Waktu pemerintah kolonial Belanda mengadakan survey mengenai pola-pola hak milik tanah di Jawa dan Madura 100 tahun yang lalu ialah tahun 1869, maka terbukti bahwa di sebagian besar dari desa-desa di Jawa Barat tanah yang merupakan hak milik perseorangan itu adalah jauh lebih luas daripada tanah yang merupakan milik komunal dari desa, sedangkan di sebagian besar dari desa-desa di Jawa Tengah keadaan pada waktu itu justru sebaliknya.
Walaupun demikian, di hampir semua desa di Jawa Barat sampai sekarang masih ada juga tanah milik komunal. Tanah serupa yang disebut tanah titisara, (atau kanomeran di Ciamis dan kasikepan di Cirebon), dulu dibagikan atas keputusan kepala desa kepada orang-orang desa penduduk tetap yang telah berjasa bagi kepentingan umum. Orang-orang serupa itu disebut sikep atau nomer atau cacah dan berhak memakai tanah desa serta menggarapnya sebagai milik sendiri. Mereka dapat membagihasilkan tanah itu dengan orang lain, dapat menyewakannya, bahkan dapat menggadaikan tanah itu tetapi tidak boleh menjualnya. Sekarang hak memakai tanah atas titisara sudah menjadi turun temurun, sehingga perbedaan antara hak itu dengan hak milik perorangan sering sudah sukar untuk ditentukan.
Di samping hak memakai tanah milik komunal bagi para sikep di Jawa Barat ada juga hak makai tanah komunal bagi para pamong desa. Secara adat telah ditetapkan bahwa kepala desa dan lain-lain pamong desa berhak memakai tanah yang khusus disediakan untuk keperluan itu, sebagai balas jasa bagi jerih payahnya untuk mengurus dan mengatur masyarakat desa. Tanah itu biasanya disebut tanah bengkok atau tanah kalungguhan di Ciamis, tanah kajaroan di Banten dan tanah carik di Priangan Timur.
Akhirnya masih ada lagi tanah komunal yang dikhususkan lagi bagi kuncen (penjaga makam keramat) ialah tanah yang disebut tanah awisan, seperti apa yang ada di desa Lamajah, sebuah desa kecil yang terletak kira-kira 32 Km sebelah Selatan Bandung.
Dilihat dari sudut orang yang mengerjakan sawah, dapat dibedakan antara mereka yang memiliki sawah itu sendiri yang cukup luas mereka yang hanya memiliki tanah beberapa petak saja dan hasilnya cukup untuk dimakan sendiri, mereka yang tinggal di tanah orang dan mengerjakan sawah itu, serta buruh tani, yaitu mereka yang tidak mempunyai sawah atau tegalan dan mengerjakannya untuk orang lain dengan membagi hasilnya nanti.
Dalam rangka memperbaiki kehidupan orang tani di desa, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mengatur secara prinsipil tentang status tanah di seluruh Indonesia. Hal itu antara lain mengatur pengertian tentang bumi, air dan ruang angkasa, mengenai hak negara atas tanah, mengenai hak warga negara atas tanah, mengenai fungsi sosial dari semua hak atas tanah, mengenai ketentuan-ketentuan mengatur secara pokok tentang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Proses pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria itu tidak selalu berjalan dengan lancar oleh karena faktor-faktor politik, sosiologi, antropologi dan faktor ekonomi. Dengan sendirinya hukum adat atas tanah mengalami perubahan-perubahan yang memberikan efek lebih lanjut kepada struktur sosial dan ekonomi pedesaan. Perubahan-perubahan dalam bidang hukum adat, strukur sosial desa, perekonomian desa merupakan bagian dari proses modernisasi dan pembangunan yang sekarang sedang terjadi dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.

Kehidupan Keagamaan Orang Sunda
Sebagian besar orang Sunda menganut Agama Islam, hal ini dapat dilihat langsung dari corak kebudayaannya yang mengadopsi sebagian dari Islam. Namun ada juga sebagian kelompok masyarakat (daerah pedesaan) yang masih mempercayai hal-hal yang berbau mistis, dalam hal ini mereka masih pergi ke makam-makam suci untuk meminta restu, meminta berkah (kaul) sebelum melakukan suatu usaha, pesta atau perlawatan.
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai bangsa pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada berbagai rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Sebagaimana Kota Mekah, tempat kelahiran Islam, yang pada saat itu menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan, demikian pula dengan Nusantara, khususnya Malaka merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat yang melakukan hubungan dagang langsung dengan Malaka.
Seperti diisyaratkan Al-qur’an, pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India ada yang sampai kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-tujuh Masehi ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Akan Tetapi, hingga abad ke-12, tidak ditemukan bukti adanya pribumi Indonesia yang beragama Islam di tempat-tempat yang di singgahi pedagang Muslim tersebut.
Baru menjelang abad ke-13, penduduk kepulauan Indonesia banyak yang memeluk Agama Islam. Di Tatar Sunda sendiri, Bratalegawa salah satu putra Raja Mangkubumi Bunisora Suradipati adalah seorang saudagar (pedagang) yang dikenal sebagi tokoh yang pertama kali menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah sehingga ia sering disebut sebagai Haji Purwa. Ia tertarik dan masuk Islam karena perjumpaannya dengan pedagang-pedagang Arab yang kemudian menikah dengan wanita asal Gujarat, yang juga beragama Islam.
Sekembalinya dari Tanah Suci, Bratalegawa kemudian mengajak keluarga (termasuk Raja Prabu Niskala Wastu) dan saudara-saudaranya untuk memeluk Agama Islam. Sekalipun tidak banyak mendapat respons, tetapi Prabu Niskala Wastu mengizinkan Haji Purwa tinggal di sana sehingga tidak heran jika di Cirebon Girang, tempat tinggal Haji Purwa, sejak tahun 1337 Masehi, ajaran Islam sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Agama Islam terus berkembang, apalagi setelah diperkenalkan dan disebarkan oleh Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Djati, pengganti dan keponakan Pangeran Walangsungsang, yang juga memiliki hubungan darah dengan para raja Padjadjaran.
Sunan Gunung Jati-lah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian Banten. Oleh karena kedudukannya sebagai Wali Songo, ia pun mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa seperti Demak dan Pajang. Dari Cirebon Sunan Gunung Djati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (galuh), Sunda Kelapa dan Banten. Atas jasa-jasa Sunan Gunung Djati inilah, Islam kemudian menyebar ke seluruh daerah Tatar Sunda dan selanjutnya menjadi pandangan hidup yang terus-menerus diinternalisasi, dieksternalisasi dan diobjektivasikan, hingga akhirnya membentuk kebudayaan religius, yang khas Tatar Sunda.
Proses Islamisasi masyarakat Sunda lebih bersifat asimilasi budaya antara budaya yang datang (Arab, Persia, India) dengan budaya Sunda itu sendiri. Agama Islam dapat dengan mudah diterima masyarakat Sunda karena karakter Agama Islam yang tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda. Pertama, ajaran Islam yang sederhana mudah diterima oleh kebudayaaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa orang Sunda yang dinamis dan feminis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi 'bungkus' agama Islam adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi orang Sunda. Oleh karena itu, ketika orang Sunda membentuk jati dirinya bersamaan dengan proses islamisasi, agama Islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas mereka.

Sistem Kekerabatan Orang Sunda
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh Agama Islam. Karena Agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama, karena biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang sunda. Perkawinan di tanah Sunda misalnya, dilakukan baik secara adat maupun secara Agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa di dalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama dan adat.
Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan. Dari beberapa desa di sekitar Bandung diperoleh data bahwa dari 360 responden ada 287 (79,8%) yang menyatakan bahwa umur yang sebaiknya untuk menikah adalah antara umur 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat tidak terikat satu sistem tertentu. Hanya yang pasti adalah bahwa perkawinan di dalam keluarga batih dilarang.
Sebelum menentukan seseorang itu untuk diambil menjadi calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak. Penyelidikan itu biasanya dilakukan serapih mungkin dan secara tertutup. Diusahakan agar mendapat menantu yang baik. Menantu yang baik disini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui makna baik, maka kita perlu mengetahui sistem nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya: “Lamun nyiar jodo kudu kukupuna” artinya “jika mencari jodoh, harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya”, baik rupa, kekayaan maupun keturunannya. Atau “Lamun nyiar jodo, kudu kanu sawaja sabeusi”, artinya “mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal”.
Adapun mengenai caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak laki-laki maupun oleh pihak perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius, tetapi sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak. Tempat pembicaraannya juga tidak ditetapkan, dimana saja, kalau kebetulan bertemu, misalnya di pasar, di sawah, di kebun atau di masjid.
Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh orang tua pemuda itu, maka perembukan itu dinamai neundeun omong, artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong sampai nyeureuhan atau melamar terjadilah amat-mengamati selidik-menyelidiki secara sebaik-baiknya. Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak, maka dilakukan pinangan. Pinangan inipun dilakukan dengan tata cara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka diadakan persiapan-persiapan untuk melakukan upacara pernikahan. Setelah tersedia keperluan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan seserahan anak laki-laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggung jawab orang tua perempuan. Pada orang Sunda, upacara pernikahannya sendiri dilakukan sederhana secara agama, tetapi upacara nyawer dan muka panto adalah yang paling menarik dan dinanti. Semua orang gembira dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu.
Di tanah Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga-batih. Keluarga-batih ini terdiri dari suami, isteri dan anak-anak yang didapat dari perkawinan atau adopsi, yang belum kawin. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada prinsipnya adalah neolokal. Hubungan sosial di antara keluarga-batih amat erat. Keluarga–batih merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya ditengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan ditengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga-batih itu sering juga terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan kekurangan perumahan, maka dalam satu rumah tangga sering terdapat lebih dari satu dua keluarga-batih. Kekurangan rumah itu lebih terasa di kota-kota kecil maupun besar. Masalah yang timbul dari mendiami satu rumah-tangga oleh lebih dari satu keluarga-inti adalah hubungan yang menjadi kurang serasi dari pihak kaum wanita yang tiap hari harus bertemu dalam dapur yang sama. Ada kalanya di daerah Pasundan bentuk keluarga menjadi lebih besar karena pihak laki-laki kawin lagi dan menjalankan poligami. Maka terjadilah keluarga poligami, yang terdiri dari dua atau lebih keluarga-inti dengan seorang suami.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kehidupan keluarga-batih di desa-desa masih relatif kompak. Pekerjaan di sawah masih sering dilakukan bersama-sama dengan pembagian kerja yang ada. Hanya keadaan yang tidak aman beberapa tahun yang lalu menyebabkan banyak pemuda meninggalkan daerahnya dan mencari pekerjaan di kota-kota. Sampai sekarang belumlah ada penelitian yang mendalam mengenai komposisi penduduk setelah keadaan aman sekali.
Kecuali keluarga-batih ada pula sekelompok kerabat sekitar keluarga-batih itu yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya dan yang diundang pada perayaan-perayaan penting seperti sunat dan perkawinan atau peristiwa lainnya. Kelompok ini disebut golongan. Pada lapisan yang lebih tinggi dalam masyarakat sunda, warga dari suatu golongan biasanya hidup terpencar di berbagai kota dan daerah, tetapi terhadap diri si individu seorang kerabat dari golongannya yang hidup di lain kota, dapat dianggap olehnya secara potensial sebagai seorang untuk diminta pertolongannya kalau perlu untuk menginap kalau ia kebetulan harus pergi ke kota tadi. Demikian golongan itu merupakan suatu kelompok kekerabatan yang dalam ilmu antropologi secara teknis disebut kindred.
Dalam masyarakat sunda ada pula kelompok yang berupa ambilineal, karena mencakup kerabat sekitar keluarga-batih seorang Ego, tetapi diorientasikan ke arah nenek moyang yang jauh di dalam masa yang lampau. Kelompok ini disebut bondoroyot. Kesadaran akan kesatuan bondoroyot sering diintensifkan dengan beberapa adat pantangan yang wajib dilakukan oleh warga dari suatu bondoroyot.
Mengenai prinsip garis keturunan dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan di Pasundan adalah bersifat bilateral. Yang dimaksud dengan garis keturunan bilateral adalah garis keturunan yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki maupun wanita. Adapun sistem istilah kekerabatan pada orang sunda menunjukkan ciri-ciri bilateral dan generasional. Dilihat dari sudut Ego, orang sunda mengenal istilah-istilah untuk tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah ialah:
Ke atas: Ke bawah:
1. kolot 1. anak
2. embah 2. incu
3. buyut 3. buyut
4. bao 4. bao
5. janggawareng 5. janggawareng
6. udeg-udeg 6. udeg-udeg
7. gantung siwur 7. gantung siwur
Bagi orang Sunda sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak laki-laki tidak berbeda dengan sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak perempuan. Apabila kita melihat istilah kekerabatan orang sunda, maka tampak istilah-istilah yang dipergunakan untuk dua generasi ke atas dan kebawah dilihat dari sudut Ego adalah berbeda, sedangkan sejak generasi ketiga ke atas maupun ke bawah istilahnya sama ialah prinsip polarity diabaikan. Ada benarnya anggapan bahwa dua generasi ke atas dan ke bawah itu masih mempunyai hubungan yang fungsional dalam hubungan kekerabatan, sedang tiga generasi ke atas dan ke bawah hanya mempunyai fungsi tradisional dalam hubungan kekerabatan.

Upacara Adat Sunda
Setiap daerah di Indonesia memiliki suatu tradisi yang sangat dipegang untuk tetap dilestarikan salah satu diantaranya yaitu upacara adat. Dimana keberadaan upacara adat bagi suatu daerah sangatlah sakral dan besifat mewajibkan. Beberapa upacara dalam adat Sunda antara lain:

1. Upacara Seren Taun
Awalnya, Upacara Seren Taun merupakan upacara yang diperingati oleh para penganut Agama Djawa Sunda (ADS). Namun saat ini Upacara Seren Taun tidak hanya menjadi perayaan para pemeluk ADS di daerah Cigugur, Kuningan saja tapi seluruh warga Cigugur. Bahkan ribuan pengunjung yang berasal dari Jakarta, Bandung, dan daerah lain di Indonesia juga ikut menghadiri pelaksanaan upacara ini. Tak jarang para wisatawan asing juga ikut menyaksikan pelaksanaan upacara ini. Upacara Seren Taun telah menjadi aset wisata Jawa Barat.
Upacara ini diadakan pada tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda (kalender Saka). Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang). Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara Seren Taun biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah.
Pada pelaksanaan Upacara Seren Taun, para pengunjung dan wisatawan juga bisa menikmati berbagai pertunjukan kesenian tradisional Jawa Barat yang langka. Misalnya saja pesta Dadung (ritual menghalau hama tanaman), tarian klasik Tayuban, ronggeng gunung dari Ciamis, jentreng tarawangsa dari Sumedang, gending karesmen Lalayang Salaka Domas dari angklung Kanekes Baduy.

2. Pernikahan Adat Sunda
Pernikahan adat Sunda saat ini lebih disederhanakan, sebagai akibat pencampuran dengan ketentuan syariat Islam dan nilai-nilai kepraktisan dimana sang pengantin ingin lebih sederhana dan tidak bertele-tele. Adat yang biasanya dilakukan meliputi: acara pengajian (sehari sebelumnya), acara seren sumeren calon pengantin. Kemudian acara sungkeman, nincak endog (menginjak telur), meuleum harupat (membakar lidi tujuh buah), meupeuskeu kendi (memecahkan kendi), sawer dan ngaleupaskeun kanjut kunang (melepaskan pundi-pundi yang berisi uang logam).
Acara pengajian yang dikaitkan dan menjelang pernikahan tidak dicontohkan oleh Nabi SAW, namun ada beberapa kalangan yang menyatakan bahwa hal itu suatu kebaikan dengan tujuan mendapatkan keberkahan dan ridho Allah SWT yaitu melalui penyampaian do’a.
Siraman, merupakan simbol kesenangan orang tua terhadap anaknya sebagaimana dulu anaknya ketika kecil dimandikan kedua orang tuanya. Pada siraman itu, kedua orang tua menyiramkan air berbau tujuh macam kembang kepada tubuh anaknya. Konon acara siraman itu dilakukan pula terhadap calon pengantin laki-laki di rumahnya. Syariat Islam tidak mengajarkan seperti itu tapi juga tidak ada larangannya. Asalkan pada acara siraman itu, si calon pengantin perempuan tidak menampakkan aurat (sesuai ketentuan agama Islam).
Untuk acara sungkeman yang dilakukan setelah acara akad nikah dilakukan oleh kedua mempelai kepada kedua orang tuanya masing-masing dengan tujuan mohon do’a restu atas akan dimulainya kehidupan bahtera rumah tangga. Sungkeman juga dilakukan kepada nenek dan kakek atau saudaranya masing-masing.
Acara adat saweran yaitu, dua penganten diberi lantunan wejangan yang isinya menyangkut bagaimana hidup yang baik dan kewajiban masing-masing dalam rumah tangga. Setelah diberi lantunan wejangan, kemudian di sawer dengan uang logam, dan beras kuning, oleh orang tuanya.
Nincak endog yaitu memecahkan telur oleh kaki pengantin pria dengan maksud, bahwa pada malam pertamanya itu, ia bersama istrinya akan “memecahkan” yang pertama kali dalam hubungan suami istri. Kemudian acara lainnya yaitu membakar ujung batang lidi (masing-masing panjangnya 20cm) dan telah dibakar, dimasukkan ke air yang terdapat dalam sebuah kendi. Setelah padam kemudian dipotong bagi dua dan lalu dibuang jauh-jauh. Sedangkan kendinya dipecahkan oleh kedua mempelai secara bersama-sama.
Acara terakhir adat Sunda, yaitu “huap lingkung dan huap deudeuh (kasih sayang)”. Artinya, kedua pengantin disuapi oleh kedua orang tuanya masing-masing sebagai tanda kasih sayang orang tua yang terakhir kali. Kemudian masing-masing mempelai saling menyuapi sebagai tanda kasih sayang. Acara huap lingkung diakhiri dengan saling menarik “bakakak” (ayam seutuhnya yang telah dibakar), yang mendapatkan bagian terbanyak konon akan mendapatkan rezeki banyak. Setelah acara adat berakhir maka kedua mempelai beserta keluarganya beristirahat untuk menanti acara resepsi atau walimahan.
Sehari sebelum pernikahan dilaksanakan dapat pula diadakan Upacara Ngeyeuk Seureuh. Pelaksanaan upacara ini antara lain:
1. Diruang tengah dibentangkan sehelai kain sarung poleng (pelekat) atau kasang-jinem, di atasnya diletakan sebuah baki (piring ukuran besar) berisi sirih yang masing-masing masih bertangkai dan yang telah disusun, kapur sirih beberapa bungkus, gambir beberapa buah, tembakau beberapa lempeng, pinang beberapa butir dan yang telah dibelah yang biasanya semua itu dibawa oleh mempelai laki-laki pada saat seserahan.
2. Disamping baki ada sebuah penerangan yang mempunyai tujuh buah sumbu dengan bahan bakarnya minyak kelapa, sebuah bokor yang berisi beras yang telah dicampur kunyit yang telah diiris-iris dan uang logam kecil. Sebutir telur ayam mentah, bunga rampai, sagar kelapa, elekan yaitu pekakas menenun tempat kanteh, air mentah didalam kendi, pakaian wanita, uang recehan, lumpang yang berisi bunga tujuh warna dan sebagainya tergantung kebijaksanaan pemimpin upacara ngeyeuk seureuh.
3. Sebelum upacara di mulai, kemenyan di bakar, biasanya oleh penghulu atau lebe sembari membaca do’a selamat. Kemudian para ibu bekerja melipat sirih dengan cara tertentu.
4. Kemudian barang-barang yang ada di kumpulkan berikut sirih yang telah dilipat dan ditutup oleh baki jika cukup atau kain agar isinya tak terlihat.
5. Kedua mempelai dengan pakaian yang sederhana disuruh duduk berhadapan di antara tumpukan barang–barang tadi.
6. Tukang hias mengambil sebuah alu dengan jampi-jampi tertentu, alu tersebut ditumbukkan ke empat penjuru barang-barang yang telah ditutup tadi.
7. Setelah itu, kedua mempelai di suruh mengambil satu barang masing-masing tanpa dipilih dengan memasukkan tangannya dibawah tutup barang tersebut.
8. Barang yang terambil dipercaya mempunyai pertanda tertentu nantinya apabila mereka sudah resmi menikah dan berumah tangga harus mencari nafkah yang berhubungan dengan barang yang terambil tersebut.
9. Upacara ngeyeuk seureuh ditutup dengan acara penyulutan mercon atau bebeuledugan.
Maksud dan tujuan dari Upacara Ngeyeuk Seureuh ini tidak hanya sekedar untuk menjalankan budaya saja, tetapi di dalamnya juga terdapat banyak makna yang berhubungan dengan masalah hidup berumah tangga agar bisa menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

Rumah Gaya Sunda
Sebagaimana suku bangsa lain di Indonesia, Suku Sunda juga memiliki bentuk rumah adat yang khas dan berbeda dari bentuk rumah adat suku lain di Indonesia. Dalam kebudayaan Sunda terdapat tiga macam bentuk rumah adat, yaitu:

1. Rumah adat Citalang
2. Rumah adat Lengkong
3. Rumah adat Panjalin.
Bentuk rumah merupakan pilihan dan keputusan dari berbagai pertimbangan seperti geografis, iklim, material dan teknologi yang ada, seni, pandangan hidup dan kosmologi berdasarkan sistem kepercayaan yang dianut. Pilihan terhadap suatu bentuk bangunan yang bersifat tetap ini memiliki keunikannya sendiri hingga disebut gaya atau langgam (James C. Snyder, 1991). Ciri-ciri umum suatu gaya dapat dikenali lewat rupa yang terlihat seperti bentuk atap, pemakaian material, arah orientasi, pembagian ruang serta caranya dihubungkan dengan tanah, ornamen dan sebagainya yang semuanya memberi identitas bangunan sekaligus kebudayaan dari komunitas yang menciptakannya. Seperti rumah gaya Sunda yang dibangun terus-menerus pada masanya di Tatar Sunda menjadi tradisi dan identitas rumah Sunda.
Di dalam rumah Sunda dikenal dengan adanya pembedaan ruang untuk fungsi dan pemakai. Pembedaan ruang ini ditentukan oleh nilai yang berlalu termasuk perbedaan peran penghuni yang secara alami dibedakan menurut jender, antara perempuan (ibu) dan laki-laki (ayah). Area depan seperti tepas (teras dan ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) adalah wilayah perempuan. Ruang-ruang umum seperti ruang tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluaga. Meskipun terjadi perubahan pada bentuk dan material bangunan, kondisi pembagian ruang ini masih tampak, di desa-desa ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ada ruang tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan dapur, kamar tidur orang tua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-anak dapat terawasi orangtua.
Ciri yang paling menonjol, atap atau hateup adalah bagian rumah tradisional di negeri ini yang dapat dengan mudah dibedakan dan menjadi ciri paling menonjol. Bentuk hateup (atap) gaya Sunda yang paling sederhana dan banyak dipakai adalah jolopong yang hanya memiliki dua bidang atap berbentuk sama (model pelana). Atap perahu kumureb adalah atap berbentuk trapesium. Beberapa yang unik adalah atap julang ngapak, berdasarkan bentuknya yang mirip seekor burung julang tengah merentangkan sayap seperti yang terdapat di Kampung Naga dan Desa Papandak Paseh Garut (Haryoto Kunto, 1985:271). Tagog anjing atau logo anjing adalah atap bangunan yang bila dilihat dari samping tampak seperti anjing yang berbeda sedikit dengan bentuk badak heuay (badak menguap). Beberapa bentuk atap lainnya tampak relatif sama dengan di tempat lain termasuk dalam penggunaan material alam seperti ijuk atau alang-alang untuk bagian penutup atap. Sementara material yang dipakai bersumber pada ketersediaan di lingkungan yang umumnya berupa batu, kayu dan bambu. Semua rumah gaya Sunda ini berbentuk panggung, memiliki kolong sehingga udara juga mengalir di bawah rumah.
Jenis kayu yang tumbuh di tatar Sunda seperti jeungjing, ki hujan, jati, suren, dan bermacam bambu (bitung, awi tali, bambu hitam) dipakai untuk konstruksi bangunan yang berbeda sesuai dengan sifat material itu. Kayu yang paling kuat tentulah dipakai sebagai bagian konstruksi utama seperti tiang yang menjejak batu tapakan. Sementara untuk pintu selai jati juga menggunakan suren dan jengjen. Untuk dinding digunakan bambu bitung atau bambu tali (awi tali) yang dianyam menjadi bilik.
Sebagai pembentuk rumah, material juga sekaligus pengungkap citra rumah karena paling mudah dikenali. Itulah sebabnya, cara sekarang untuk membuat rumah berciri tradisional ditandai dengan pemakaian material yang dahulu dipakai, misalnya menggunakan ijuk untuk atap dan bilik untuk dinding walaupun hanya untuk membungkus dinding bata. Meskipun demikian, tentu saja material hanyalah media untuk mewujudkan nilai-nilai yang dimiliki dalam hubungannya dengan hunian yang dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kemampuan teknologi yang menyertainya.
Rumah orang Sunda dewasa ini sebagian besar tidak lagi seperti model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material maupun dalam bentuk dan model. Akan tetapi, bila orang Sunda atau yang lain menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya, rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi ada nilai lain yang terkandung yang dalam penerapannya bersifat fleksibel. Apalagi mengingat karakter orang Sunda yang sangat mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan lkaruhun yang satu paket dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup.

Beberapa Contoh Hasil Kesenian Sunda

1. Pencak Silat Cikalong
Bermula dari nama desa Cikalong Kabupaten Cianjur pencak silat Cikalong tumbuh dikenal dan menyebar, penduduk tempatnya menyebutnya ”Maempo Cikalong”. Khususnya di Jawa Barat dan di seluruh Nusantara pada umumnya, hampir seluruh perguruan pencak silat melengkapi teknik perguruannya dengan aliran ini. Daerah Cianjur sudah sejak dahulu terkenal sebagai daerah pengembangan kebudayaan Sunda seperti; musik kecapi, suling Cianjuran, klompen Cianjuran, pakaian moda Cianjuran yang sampai kini dipergunakan dll. Cikal bakal permainan maempo (maen pohok) ini diajarkan oleh keluarga bangsawan Cikalong yang bernama Rd. H. Ibrahim dilahirkan di Cikalong 1816 dan wafat 1906 dimakamkan di desa Majalaya Cikalong Cianjur. Sebelum menunaikan ibadah haji beliau bernama Rd. Djajaperbata yang memiliki ciri-ciri, bertubuh pendek, berbadan lebar, kekar, tangannya lancip, keningnya tidak lebar, berwatak keras dan pemberani. Jika berlatih/menghadapi lawan selalu waspada dan lebih suka menggunakan teknik bertahan. Teknik serangan yang digunakan selalu diawali dengan hindaran lalu dilanjutkan serangan beruntun tangan dan kaki. Beliau tidak saja mahir bermain dengan tangan kosong, melainkan juga dengan senjata gobang menjadi favoritnya. Permainan maempo dalam hidupnya sudah menjadi darah daging yang sukar dipisahkan.


2. Wayang Golek
Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia.
Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi.
Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.
Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memamerkan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut variasi yang sangat menarik.

3. Tari Tradisional
Tarian tradisional Jawa Barat yang terkenal adalah Tari Jaipong. Tari Jaipong sebelumnya merupakan tarian yang sudah modern karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharaan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa macam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti Kendang, Go’ong, Saron, Kecapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau kelompok.
Kehadiran Tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggarap seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Dengan munculnya Tarl Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan dan dimanfaatkan pula oleh pengusaha-pengusaha pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya Kaleran. Ciri khas Jaipongan gaya Kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan (alami/apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukkannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada Seni jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya Kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya Kaleran ini sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinde Tatandakan (seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang (Jabanan) sambil salam temple. Istilah Jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Dewasa ini Tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan Tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan Tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring/terebangan, kacapi jaipong dan hampir semua pertunjukkan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.
Selain Tari Jaipong, Jawa Barat juga memiliki tarian lain seperti Tari Topeng dan Tari Merak. Namun tarian ini kalah pamor jika dibandingkan dengan Tari Jaipong.

4. Musik Daerah Sunda
Dibawah ini salah satu musik/lagu daerah Sunda:
a. Bubuy Bulan
b. Es Lilin
c. Manuk Dadali
d. Tokecang
e. Warung Pojok

5. Alat Musik Tradisional
Alat musik tradisional khas Sunda adalah angklung. Alat musik ini terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. Adapun jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih).
Pada awal kemunculannya 400 tahun silam, angklung dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Namun angklung baru dikenal secara luas oleh masyarakat Sunda ketika masa Kerajaan Sunda. Angklung digunakan sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Angklung sempat dilarang oleh penjajah Belanda karena fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak-anak pada waktu itu.
Asal usul terciptanya angklung sendiri berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Angklung juga dimainkan ketika pesta panen dan seren taun.
Saat ini perkembangan angklung tidak terbatas hanya di tanah Pasundan saja, melainkan telah merambah seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Bahkan pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Jenis-jenis angklung:
1. Angklung Kanekes. Angklung ini terdapat di daerah Kanekes, atau yang lebih kita kenal dengan nama Baduy. Angklung ini dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Sedangkan dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan. Namun sajian hiburan ini hanya diadakan oleh orang-orang Baduy Luar. Angklung kanekes sendiri terdiri dari beberapa jenis, tergantung dari besar kecilnyaukuran angklung, yaitu: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Pembuatan Angklung Kanekes juga tidak sembarangan, hanya ada 3 kampung yang bisa membuatnya, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Bahkan di kampung ini pun tidak semua penduduknya bisa membuat angklung, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual.
2. Angklung Dogdog Lojor. Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Kesenian ini dimainkan pada upacara Seren Taun. Awalnya angklung ini hanya dimainkan pada acara ritual padi. Namun saat ini angklung ini juga digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
3. Angklung Gubrag. Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami musim paceklik.
4. Angklung Badeng. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi.
5. Buncis. Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong.


Makanan Khas Sunda
Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Jawa Barat juga memiliki banyak makanan khas. Makanan-makanan khas Sunda ini bahkan saat ini dapat ditemui di seluruh penjuru nusantara. Contoh makanan khas Sunda adalah:
• Colenak yang bahan bakunya terdiri dari tape/peuyeum yang terbuat singkong yang sudah di ragi kemudian dipanggang, disajikan dengan yang terbuat dari saus gula merah, bisa juga ditambahkan dengan kue serabi.
• Laksa yang bahan bakunya terdiri dari sayur-sayuran seperti tauge, kemangi, oncom, bihun, tahu, kemudian di sajikan dengan kuah santan yang diberi kunyit.
• Combro/Misro; combro artinya oncom dijero (oncom didalam), Misro artinya amis dijero (manis di dalam) yang sebenarnya terbuat dari singkong diparut kemudian diisi dengan oncom pedas atau gula kemudian digoreng dengan bentuk bulat pipih.
• Taoge goreng. Makanan ini terdiri dari taoge segar, mi basah, tahu goreng, saos yang terbuat dari oncom atau tauco yang dicampur dengan cabe merah gilling dan daun bawang, dan ketupat.
Selain makanan-makanan di atas, orang Sunda juga memiliki beberapa makanan khas lain, seperti: bajigur, bandrek, surabi, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, dan ubi cilembu.

Tempat Wisata
Jawa barat memiliki berbagai macam tempat wisata menarik yang layak untuk dikunjungi. Tempat-tempat wisata tersebut antara lain: Kebun Raya Bogor, Taman Bunga Nusantara (Cipanas), Istana Bogor, Taman Buah Mekarsari (Bogor), Taman Safari (Bogor). Selain objek-objek wisata buatan tersebut juga masih banyak objek wisata alam, seperti: Gunung Halimun, perkebunan teh di Puncak (Cianjur), Pantai Pelabuhan Ratu (Sukabumi), Gunung Gede-Pangrango (Bogor), dan masih banyak objek wisata lain yang tersebar diseluruh Jawa Barat.

Senjata Tradisional
Senjata tradisional Sunda adalah kujang. Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Kujang mulai dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan pangiwa, panengen, golongan agamawan, para putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para kokolot. Namun saat ini kujang telah menjadi ciri khas Jawa Barat, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata.

Modernisasi Di Jawa Barat
Dalam bidang sosial kemasyarakatan dalam masyarakat sudah terjadi perubahan-perubahan yang besar, hal ini ditandai dengan timbulnya partai-partai politik di desa yang menimbulkan pengelompokan berdasarkan ideologi modern yang memotong sistem ikatan kekerabatan atau keagamaan. Selain itu dalam faktor pendidikan, kemajuan terjadi secara cepat. Selain itu, masuknya alat-alat telekomunikasi, transportasi dan alat penyiaran lainnya menyebabkan adanya mobilitas dalam masyarakat yang tinggi, sosial dan spiritual.
Perkembangan Budaya Sunda juga mengalami berbagai masalah, seperti banyaknya pertanyaan yang meragukan eksistensi kebudayaan Sunda. Banyak yang mempertanyakan apakah kebudayaan Sunda masih ada. Dan jika memang masih ada, siapakah pemilik kebudayaan Sunda itu sebenarnya. Dilihat dari keberadaan dan eksistensi kebudayaan Sunda itu sendiri wajar saja bila muncul partanyaan itu akhir-akhir ini, karena kebudayaan Sunda akhir-akhir ini memang seperti kehilangan ruhnya, dan tidak jelas arah dan tujuannya. Bahkan kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup lagi ketika harus berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas kebudayaan asing.
Contoh yang paling nyata adalah penggunaan Bahasa Sunda yang semakin jarang dalam kehidupan sehari-hari, bahkan oleh pemiliknya sendiri. Yang lebih memprihatinkan, penggunaan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai sebuah keterbelakangan. Hal ini tentu saja menimbulkan rasa gengsi bagi urang Sunda untuk menggunakan Bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari. Bahkan tidak jarang rasa gengsi ini juga menjangkiti para pakar di bidang Bahasa Sunda. Rasa gengsi itu tidak hanya sekedar untuk menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa dalam percakapan mereka sehari-hari, tapi juga rasa gengsi untuk sekedar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang Bahasa Sunda.
Menurut W.S. Rendra, untuk tetap bisa bertahan dalam era modern dan bersaing dengan kebudayaan asing, kebudayaan daerah haruslah memiliki empat daya hidup. Keempat kemampuan tersebut adalah kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, dan kemampuan regenerasi. Namun seperti yang sudah dipaparkan di atas, kebdayaan Sunda tidak memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Hal tersebut sejalan pula dengan kemampuan mobilitas kebudayaan Sunda. Kemampuan mobilitas kebudayaan Sunda baik secara vertikal maupun horizontal sangat lemah. Hal ini berakibat kurang dikenalnya kebudayaan Sunda, tidak hanya di luar komunitas Sunda, tapi juga di dalam komunitas Sunda itu sendiri.
Kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga tidak kalah memprihatinkan dibanding dua kemampuan lainnya. Jangankan berbicara mengenai paradigma baru kebudayaan Sunda, itikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki selama ini saja dapat dikatakan sangat lemah.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda kurang memiliki ruang untuk melakukan proses itu. Proses regenerasi kebudayaan terjadi dengan tersendat-sendat. Generasi baru seolah-olah tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan diri mereka karena kentalnya senioritas dan jalan pikiran generasi muda tersebut yang terlalu maju, yang terkadang bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ada.
Kebudayaan hedonisme barat juga sedikit banyak telah mempengaruhi kebudayaan Sunda. Hedonisme telah berhasil menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila kewajiban tersebut dilaksanakan. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Berawal dari lemahnya kondisi mutu hidup kebudayaan Sunda, muncul pertanyaan apa yang bisa kita, sebagai generasi muda bangsa ini, lakukan untuk melestarikan kebudayaan Sunda khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya. Hal awal yang bisa kita lakukan dalam melestarikan kebudayaan tersebut adalah dengan mulai mencintainya. Dalam usaha pelestarian ini juga, kita harus memiliki strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji. Selama ini proses pelestarian kebudayaan yang terjadi seperti tidak adanya koordinasi dan pegangan yang jelas. Dasar dari proses pelestarian ini harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Saat ini kebudayaan Sunda seperti dibiarkan berkembang secara liar tanpa ada upaya yang sungguh-sungguh untuk tetap bertahan di tengah era modernisasi, terutama ketika berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang terorganisir dengan rapi dan memiliki kemasan yang lebih menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai.
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan juga ditengarai menjadi salah satu penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda.
Budaya lisan dalam kebudayaan Sunda sebenarnya merupakan budaya yang telah lama akrab dengan komunitas Sunda. Namun, budaya lisan untuk mengemukakan pendapat serta berjiwa besar dalam menghadapi pendapat yang berbeda masih merupakan barang yang amat langka dalam Kebudayaan Sunda. Tradisi lisan Sunda tampaknya baru mampu menghargai komunikasi model monolog dan bukannya dialog. Akibatnya, kemampuan untuk menyampaikan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda dalam kebudayaan Sunda merupakan barang yang teramat mewah. Padahal, untuk mengemukakan pendapat dan menerima pendapat yang berbeda ini menjadi salah satu dasar bagi munculnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan yang berkualitas.

Kampung Sunda
Dalam masyarakat Sunda yang semakin kehilangan jati diri dan kebudayaannya, masih ada sekelompok orang yang tetap memegang teguh adat dan budaya mereka. Kelompok masyarakat ini tinggal di suatu daerah tertentu, yang biasa disebut Kampung Sunda, dan tidak jarang mereka hidup jauh dari peradaban modern, walaupun mereka tetap membuka diri terhadap masyarakat di luar komunitas mereka.
Beberapa Kampung Sunda yang hingga saat ini masih memegeng teguh adat istiadat dan budaya mereka antara lain:

1. Masyarakat Kanekes/Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouni Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut, sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebutkan diri sebagai Urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

a) Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27’’ - 6°30’0’’ LU dan 108°3’9’’ - 106°4’55’’ BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45% yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah) dan tanah campuran (di bagian selatan), suhu rata-rata 20°C.

b) Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

c) Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau Batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu dipertahankan sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimiharja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

d) Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’ atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harfiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering sekali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi Masyarakat Kanekes adalah Arca Domes yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kelima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun dan panen akan berhasil baik. Sebaiknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakat, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Tidak ada patung atau benda apapun yang disembah, bagaimana bisa berkesimpulan bahwa pengaruh Hindu animisme sangat kuat, gusti nu maha suci = tuhan yang maha suci (konsep monoteis), ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, apakah bangsa nusantara adalah bangsa yang sudah cukup maju lalu mengalami kemunduran secara alami (seperti Rome) tetapi dengan kelemahan bukti tulisan-tulisan sejarah yang sangat minimal atau hampir tidak ada, bilapun ada dalam bentuk prasasti para ilmuan salah mengartikan artinya atau salah mengklasifikasikan bahasa atau cara tutur kata yang dimaksud.

e) Kemasyarakatan
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana dan Cikeusik). Ciri khas orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Sedangkan kelompok masyarakat panamping adalah yang dikenal sebagai Baduy Luar yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kudu Ketuk, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas dengan pakaian hitam dan ikat kepala hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes dan pada saat ini wilayah Kanekes dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

f) Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasi sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk kepada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Puun.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah Puun ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan dan Jaro Pamarentah. Jaro Tangtu bertanggungjawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro Dangka bertugas menjaga, mengurus dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan diluar Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang Jaro Tangtu disebut sebagai Jaro dua belas. Pimpinan dari Jaro dua belas ini disebut sebagai Jaro Tanggungan. Adapun Jaro Pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

g) Mata Pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

h) Interaksi Dengan Masyarakat Luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan masyarakat Kanekes ke dalam kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara Seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat). Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa dan juga pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap 1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Ngelepaskeun Japati Wayang Golek


















Pernikahan Adat Sunda









Perkampungan Masyarakat Sunda



0 komentar: