November 22, 2008

Kebudayaan Timor

Pulau Timor sebagian masuk wilayah negara kita (bagian barat sampai 114º - 125º bujur timur), sebagian lagi masuk wilayah Negara Portugal, merupakan suatu daratan yang pada umumnya terdiri dari padang-padang sabana dan steppa yang luas dengan disana-sini deretan-deretan bukit dan gunung-gunung dengan hutan-hutan primer dan sekunder. Dari gunung-gunung itu mengalir banyak sungai kecil yang memotong-motong padang-padang sabana dan steppa tadi. Karena letaknya dekat dengan Australia, maka Timor sangat terpengaruh angin kering yang dengan kencangnya menghembus dari benua itu, dan yang menyebabkan musim kemarau yang sangat kering dengan perbedaan suhu yang sangat besar antara siang dan malam. Pada musim itu pemandangan di Pulau Timor tampak kering dan berdebu, dengan disana-sini ternak yang kepayahan atau mati karena kepanasan dan kehausan. Sebaliknya, pada musim hujan angin basah menghembus dari penjuru barat dan mengubah dataran Timor menjadi suatu daerah dengan banyak hujan dan dengan sungai-sungai deras yang meluap dan menyebabkan benjir dimana-mana.
Penduduk Pulau Timor, baik yang tinggal di wilayah Indonesia, maupun wilayah Portugis, terdiri dari beberapa suku-bangsa khusus yang berbeda karena bahasa dan beberapa unsur dalam adat istiadat serta sistem kemasyarakatannya. Demikian mereka membedaan antara orang Roti, orang Helon, orang Atoni, orang Belu, orang Kamak, orang Marae, dan orang Kupang.
Orang Roti atau Rote. Orang Roti mendiami pulau Roti dan beberapa pulau kecil di sekelilingnya, yang letaknya di sebelah barat-daya dari pulau Timor. Luas pulau Roti kira-kira 1200 Km2 dan pada tahun 1953 pulau itu didiami oleh 67.000 orang. Disamping orang-orang Roti yang berdiam di pulau Roti, ada juga orang-orang pulau Roti yang bermigrasi ke daratan pulau Timor dan mendiami daerah-daerah yang terletak di bagian yang paling barat dari pulau Timor memanjang dari bagian utara ke bagian yang paling selatan. Disamping itu ada juga yang bermigrasi dan menetap di daerah pedalaman pulau Timor dan mendiami daerah di sebelah barat daya kota Soe. Orang Soe memiliki ciri-ciri tubuh yang mirip dengan orang Belu, hanya pada yang pertama unsur-unsur raas melayu tampak lebih menonjol. Disamping itu juga terlihat adanya persamaan-persamaan tertentu dalam bahasa orang Roti dengan orang Belu.
Orang Helon. Orang Helon mendiami suatu daerah di sekitar kota Kupang, dan pada tahun 1949 berjumlah kira-kira 5.000 orang. Meskipun orang Helon tinggal berdekatan dengan orang Atoni, namun bahasa yang mereka gunakan berbeda. Disamping itu orang Helon juga mendiami daerah-daerah yang terletak di sebelah barat daya kota Kupang, yaitu di sepanjang daerah pantai, di pulau Roti, dan di beberapa pulau kecil di sekitar pulau Roti.
Orang Atoni. Orang Atoni tinggal di daerah pedalaman di pulau Timor yang luasnya kira-kira 11.799 Km2 dan yang bersifat amat kering. Jumlah orang Atoni kira-kira 300.000 orang. Di sebelah barat orang Atoni tinggal orang Helon dan orang Roti, di sebelah utaranya mulai wilayah kekuasaan Portugis, dan di sebelah timurnya tinggal orang Belu, Kemak, dan Maras.
Orang-orang yang tinggal di kota Kupang menyebut orang Atoni itu “orang gunung” atau “orang asli”. Sedangkan orang Atoni sendiri menamakan dirinya sendiri orang Atoni, yang artinya “manusia”. Ciri-ciri tubuh orang Atoni memperlihatkan lebih banyak adanya unsur-unsur Melanesia jika dbandingkan dengan penduduk Timor yang lain. Mereka ini rata-rata bertubuh pendek, ukuran kepalanya brachycephal, berkulit coklat kehitam-hitaman, dan berambut keriting.
Orang Belu. Orang Belu, atau Ema Tetun, sebagaimana mereka menyebut diri mereka, tinggal di daerah yang menyempit dari pulau Timor bagian tengah, dan mendiami daerah ini dari bagian utara sampai dengan bagian selatan. Pada tahun 1955 mereka kira-kira berjumlah 100.000 orang dan bersama-sama dengan orang Kemak dan Maras, oleh orang-orang yang tinggal di kota Kupang dinamakan orang Belu, walaupun antara orang Belu, Kemak, dan Maras ada perbedaan dalam bahasa dan beberapa unsur dalam adat dan sistem masyarakatnya. Orang Belu mempunyai ciri-ciri tubuh yang merupakan campuran antara ciri-ciri tubuh orang Melanesia dan orang melayu, dengan lebih banyak ciri-ciri orang melayunya.
Orang Kemak. Orang Kemak tinggal di bagian utara dari pulau Timor Indonesia yang paling timur, di daerah perbatasan dengan wilayah kekuasaan Timor Portugis. Sebagian besar orang Kemak tinggal di daerah Timor Portugis.
Bahasa Kemak mirip dengan bahasa Buna’ yaitu bahasa yang digunakan oleh orang Marae. Ciri-ciri tubuhnya juga hampir mirip dengan orang-orang Marae, yaitu : ukuran kepalanya kebanyakan doliochocephal, bertubuh tinggi (lebih tinggi dari rata-rata orang Timor lainnya), berkulit coklat kehitam-hitaman, serta berambut keriting.
Orang Marae. Orang Marae tinggal di daerah perbatasan antara Timor Indonesia dengan Timor bagian Portugis.mereka menempati bagian tengah dari pulau Timor dan terus menyebar ke arah selatan, tetapi tidak sampai daerah pantai.seperti halnya dengan orang Belu dan Orang Kemak, sebagian orang Marae juga tinggal di daerah Timor Portugis. Jumlah mereka kira-kira 49.000 orang, sedangkan yang tinggal di daerah Timor Indonesia kira-kira 16.000 orang (tahun 1959). Orang Marae seringkali juga disebut orang Buna’. Nama itu sebenarnya nama dari bahasa yang mereka gunakan.
Orang Kupang. Di kota Kupang dan sekitarnya, tingal sejumlah orang yang terdiri dari atas campuran orang-orang yang berasal dari daerah-daerah Timor sendiri, dan yang berasal dari luar Timor, yaitu orang-orang Cina, Arab, dan orang-orang yang berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia. Ciri-ciri tubuhnya amat sukar ditentukan secara umum karena banyak yang sudah tercampur dalam hubungan perkawinan sejak generasi sebelumnya. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak menggunakan bahasa Indonesia.

BENTUK DESA
Pada zaman dahulu orang Timor membangun desa di tempat terpencil, yang tidak mudah didatangi orang, karena takut serangan mendadak dari musuh. Biasanya desa dibangun di puncak gunung karang dan dikelilingi dengan dinding batu, atau semak berduri.
Desa ini biasanya didiami oleh kelompok kerabat dengan seorang kepalanya sendiri, berjumlah kira-kira 50 - 60 orang. Bila jumlah kelompok menjadi terlalu besar, maka sebagian dari mereka membangun sebuah desa yang baru.
Ada juga desa yang lebih besar, yang didiami sekitar 250 – 500 orang, atau bahkan lebih, misalnya daerah Belu selatan. Hal ini disebabkan tidak mungkin membuat suatu benteng pertahanan desa dengan baik dari keadaan alam dan teritorial yang ada, sehingga keamanan desa dijaga dengan pengelompokan orang yang lebih banyak.
Pemerintahan Belanda, pada permulaan abad ke-20 telah mulai berusaha mempersatukan desa-desa kecil yang letaknya berjauhan dan terpencil, ke dalam suatu desa yang lebih besar. Desa besar ini biasanya didirikan di dekat jalan patroli militer, yang kemudian menjadi jalan raya umum.
Karena usaha ini banyak mengalami kegagalan, maka pejabat-pejabat pemerintahan Belanda sering membakar habis desa-desa yang terpencil, supaya penduduk yang telah dipindahkan ke desa yang lebih besar itu tidak kembali ke desa asalnya. Dengan demikian telah terjadi proses bahwa orang-orang yang berasal dari desa-desa kecil, sekarang tinggal mengelompok dalam desa-desa yang lebih besar, untuk kemudian menyebar ke dalam kelompok-kelompok kecil lagi dengan membangun desa-desa kecil baru yang letaknya berdekatan dengan lading-ladang bertebaran luas di sekitarnya.
Pemerintah Belanda, bersama-sama dengan para raja, kemudian berusaha memecahkan masalah ini, dengan ketentuan bahwa setiap orang dari desa besar yang telah ditentukan, akan memperoleh dengan cuma-cuma tanah seluas tiga hektar, yang terdiri dari tanah seluas satu hektar yang harus ditanami dengan tanaman perdagangan dan dua hektar tanah ladang.
Pemerintah Belanda juga menganjurkan pembangunan rumah-rumah dengan bentuk baru, yaitu persegi panjang di desa-desa baru dengan maksud menjaga kesehatan penduduk. Rumah-rumah lama berbentuk sarang lebah dan dianggap tidak sehat bagi penduduk. Rumah-rumah persegi panjang itu tidak mendapat sambutan yang baik dari penduduk dan hanya sebagian kecil saja yang mengikuti anjuran tersebut.
Pola perkampungan asli dari orang Timor adalah sebuah kelompok padat dari rumah-rumah serta beberapa kandang sapi yang diberi pagar di sekelilingnya. Daerah-daerah ladang milik orang desa tersebut tersebar di sekitarnya. Pada pola perkampungan yang baru rumah-rumah dibangun di tepi jalan secara mamanjang.
Pada zaman dahulu Timor terdiri atas bermacam-macam kerajaan dengan swapraja - swaprajanya, antara lain Kerajaan Kupang (Amarasi, Fatuleu, dan Anfoan), Kerajaan Timor Tengah Selatan (Amanatun, Amanuban, Molo), Kerajaan Timor Tengah Utara (Miomafo, Insana, Beboki), dan Kerajaan Belu.

KERAJAAN AMANATUN
Kerajaan Amanatun (Onam) merupakan salah satu kerajaan tua yang ada di Timor, terletak di pulau Timor bagian barat, wilayah Indonesia dan merupakan kerajaan tua. Di era kemerdekaan kerajaan Amanatun bersama kerajaan Molo (Oenam) dan kerajaan Amanuban (Banam) membentuk kabupaten Timor Tengah Selatan (dalam bahasa Belanda disebut Zuid Midden Timor) dengan ibu kota SoE - provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1920 kota SoE ditetapkan menjadi ibukota Zuid Midden Timor (Timor Tengah Selatan) atas kesepakatan bersama dari ketiga Raja yakni Raja Lay Akun Oematan sebagai Raja Molo, Raja Pae Nope sebagai Raja Amanuban dan Raja Kolo Banunaek sebagai Raja Amanatun.
Nama kota SoE sendiri sudah mulai dikenal pada tahun ±1905/1906 oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda Kerajaan Amanuban dan Kerajaan Amanatun pernah berkantor bersama di Niki-niki. Hal ini disebabkan karena belum adanya jalan ke wilayah Amanatun dan Belanda takut ke sana. Jauh sebelum datangnya bangsa Portugis dan Belanda di Indonesia maka kerajaan Amanatun sudah ada dan mempunyai pemerintahan sendiri yang asli.
Arsip sejarah
Tercatat dalam arsip kuno Portugis Summaria relaçam do Que Obrerao os relegiozas dan ordem dos pregadores bahwa pada tahun 1641 ketika bangsa Portugis dan bala tentaranya dari Larantuka, Flores tiba di kerajaan Amanatun/Tun Am maka seorang paderi bernama Frey Lucas da Cruz berhasil membaptiskan (mengkristenkan) seorang raja Amanatun/Usif dengan ibunya di Amanatun. Pada waktu itu bala tentara Portugal dipimpin oleh Capitao mor Francisco Fernandes.
Data tentang pemimpin orang Portugis Hitam (Topass) dari keluarga Hornay dan da Costa diceritakan pernah mempunyai hubungan dengan Amanatun hingga tahun 1749. Ketika Malaka jatuh ketangan Portugis pada tahun 1511, kemudian baru pada tahun 1920 bangsa Portugis tiba di Pulau Timor namun mereka tidak tidak menetap tetapi hanya menyinggahi saja. Di tahun 1669 Raja Amanatun berhubungan dengan fettor Sonbai Kecil, Ama Tomnanu yang merupakan sekutu VOC/Belanda dan dijelaskan bahwa Raja Amanatun ingin bertemu dan berbicara langsung dengan VOC/Belanda, karena Raja Amanatun telah menerima bendera VOC/Belanda yang dibawa oleh Verheyden kira-kira tahun 1655. Raja Amanatun menginginkan supaya pertemuan itu dilangsungkan di pantai Selatan Fatu Mean / Amanatun, tetapi pihak VOC menolak dan tidak menyetujui permintaan ini dengan alasan keamanan.
Pada waktu terjadi perang Penfui pada tanggal 11 Nopember 1749 maka kerajaan Amantun menjadi sekutu Portugis. Salah satu alasan terjadi perang Penfui karena para Raja yang pro kepada Portugis tidak menghendaki adanya pembagian wilayah di Timor khususnya wilayah Timor Barat antara Belanda dengan Portugis, karena akan berakibat kepada semakin jauhnya jarak yang harus ditempuh ke Gereja Noemuti kalau raja-raja ini ingin untuk beribadah ( kalau ingin membawa hulu hasil ke gereja Katolik).
Dikenal dalam sumber-sumber kuno menyebutkan bahwa pada tahun 1711 pemimimpin Toppas Dominggus da Costa bersama Dom Francisco de Taenube telah terjadi pertengkaran dengan Raja Dom Pedro atau Raja Tomenu Sonbay dari Oenam berhubungan dengan gereja Abi dan gereja Musi.Sedangkan Raja Sonbai Kecil padawaktu itu adalah Bawwo Leu tahun 1717
Disebut kerajaan Amanatun kerena Rajanya yakni Banunaek yang bernama lengkap Raja Tnai Pah Banunaek) badannya emas dan semua peralatannya juga terbuat dari emas. Amanatun terdiri dari dua suku kata yaitu Ama dan Mnatu. "Ama" berarti "Bapak" dan "Mnatu" berarti "emas". Jadi Amanatun berarti Bapak Emas. Raja Amanatun yakni Banunaek tetap menetap di Tun Am, sedangkan Liuray kemudian ke bagian Timur pulau Timor ( matahari terbit) dan kemudian dikenal dengan Raja Belu, sedangkan Sonbay ke bagian barat pulau Timor ( matahari terbenam )dan kemudian dikenal dengan Raja Molo / Oenam.
Adapun tuturan adat mengenainya adalah Lai Mea Lai Moe Neki Neo Fanu Tun Am Onam Liurai - Sonbai - Banunaek - Uis Neno. Ibu kota kerajaan Amantun di Nunkolo. Nunkolo menjadi ibukota kerajaan Amanatun ketika Raja Tsu Pah Banunaek menjadi Raja Amanatun.
Pada 27 agustus 1943 dicatat oleh dr P Middelkoop bahwa Pada waktu Raja Kolo Banunaek sedang memerintah kerajaan Amanatun terjadi gerakan Roh Kudus pertama di Nunkolo, peristiwa ini kemudian terjadi lagi pada tanggal 17,19, 21-23, Oktober 1943. Dalam catatannya ini di sebutkan bahwa ada manifestasi Roh Kudus yang telah terjadi terhadap orang-orang kristen yang berada di Nunkolo pusat kerajaan Amanatun ini. Peristiwa serupa ini kemudian berulang lagi kedua kalinya pada september 1965 di Kota SoE.
Pada waktu Raja Muti Banunaek II diasingkan ke Flores maka oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan perpindahan batas kerajaan yang sudah ditetapkan oleh Raja Liurai ( Belu) dengan Raja Banunaek ( Amanatun). Adapun perpindahan tersebut pada Juni 1917 dimana terjadi perpindahan batas antara kedua kerajaan tua ini yaitu perpindahan bats dari Betun ke We Baria Mata ( Malaka). Pertimbangan batas ini sebagai reaksi balas dendam pemerintah kolonial Belanda terhadap Raja Amanatun karena gugurnya tentara Belanda saat melakukan infasi ke Amanatun.
Struktur kerajaan
Kerajaan Amanatun/Onam mempunyai empat orang fettor yaitu Fettor Noebana (Santean), Fettor Noebone (Sahan), Fettor Noemanumuti (Put'ain) dan fettor Noebokong (Anas) . Adapun nama pemimpin dari keempat fettor ini adalah fettor Nokas memimpin kefetoran noe Bana, Fettor Kobi Nitibani memimpin kefetoran noe Bone, Fettor Fai memimpin kefetoran noe Manu muti , dan fettor Nenometa memimpin kefetoran noe Bo kong. Di bawah fettor-fettor ini ada temukung-temukung besar dan temukung kecil yang diangkat oleh Raja. Setiap temukung memimpin kelompok-kelompok masyarakat biasa (to aana) atau biasa disebut juga dengan kolo manu. Suku yang paling besar di dalam kerajaan Amanatun adalah suku Missa. ( Missa Moen Nima Nas Fua Fanu ).Fatu Kanaf dari suku Missa adalah Fatu Lunu.
Pada era kekuasaan pada tahun 1900 Raja Muti Banunaek (Raja Muti Banunaek II) maka tercatat temukung besar Kokoi adalah Nau Missa, sedangkan temukung besar Fenun adalah Seo Missa A"aat, Temukung besar Oi Lette adalah Noni Neno Mataus. Sedangkan Fettor Noe Bokong / Toin adalah Kolo Nenometan dan fetor Santian adalah Seki Nokas.
Atas kehendak dari Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek) maka Oinlasi kemudian pada tahun 1951 dipilih dan ditetapkan menjadi ibukota dan pusat pemerintahan swapraja Amanatun dengan pertimbangan aksesibilitas dengan kota SoE. Kota Oinlasi 46 km letaknya dari Kota SoE dan hingga kini menjadi ibu kota kecamatan Amanatun Selatan.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia maka Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek kemudian menjadi Kepala Daerah Swapraja Amanatun. Yang menjadi Kepala Daerah Swapraja adalah Raja, sedangkan kalau Rajanya sudah wafat maka diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Swapraja dari keturunan bangsawan tetapi dia bukan seorang Raja. Raja Lodoweyk.Lourens.Don.Louis.Banunaek bersama dengan Raja-Raja di Nusa Tenggara Timur lainya tergabung didalam Dewan Raja-Raja ikut berperan penting dalam pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur dimana sebelumnya wilayah ini termasuk Propinsi Sunda Kecil.
Adapun istilah penggunaan kata swapraja mulai dikenal sejak mulai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, sedangkan dalam pasal 18 UUD 1945 kerajaan-kerajaan ini ditulis dengan Zelfbestuur Landschappen. Kekuasaan Raja - Raja diseluruh wilayah Indonesia dihapus berdasarkan keluarnya Undang Undang Nomer 18 Tahun 1965 tentang penghapusan swapraja di seluruh wilayah Indonesia.
Keluarga
Adapun Raja Amanatun Loit Banunaek kemudian digantikan oleh Putranya sendiri yang bernama Raja Muti Banunaek yang kemudian dikenal dengan nama Raja Muti Banunaek ke II. Raja Muti Banunaek II adalah putra pertama dari Raja Loit Banunaek.Ibunda dari Raja Muti Banunaek II berasal dari suku Missa yang adalah permaisuri dari Raja Loit Banunaek.Raja Loit Banunaek juga mempunyai banyak kato (Isteri, dan tercatat bahwa ada dua orang kato / isteri dari berasal dari suku Missa.
Permaisuri (kato) dari Raja Muti Banunaaek II bernama Kato bi Sopo Lassa, sedangkan Raja Kolo Banunaek (Raja Abraham Zacharias Banunaek) mempunyai permaisuri (Kato Naek) bernama bi Teni Tobe Misa dan mempunyai seorang putri tunggal bernama Fetnai Naek bi Loit Banunaek. Makam ( Son Nate) dari permaisuri kato bi Teni Tobe Missa di Oinlasi ibukota kecamatan Amanatun Selatan. Raja Kolo Banunaek atau Raja Abraham Zacharias Banunaek mempunyai banyak selir dan gundik-gundik dan mereka selalu berada didalam istana Raja Kolo Banunaek untuk melayani hingga sekarang di Nunkolo, ( Sonaf Pub Kollo Hae Malunat).Selain dari gundik-gundik dan selir-selir dari raja Kolo Banunaek yang berada didalam sonaf Nunkolo (Istana Raja) juga terdapat banyak pelayan dan hamba-hamba (ate-ate) yang selalu berada dan melayani didalam istana dari Raja Kolo Banunaek di Nunkolo, dan hingga kini keturunan dari hamba (ate-ate) ini masih tetap berada disekitar lingkungan sonaf Nunkolo hingga saat ini. Raja Kolo Banunaek pernah berpindah agama dari Kristen Katolik menjadi Protestan dan hingga wafatnya Raja Kolo Banunaek tetap memeluk agama Kristen Protestan.Raja Kolo Banunaek juga pernah di SoE kampung Amanatun dan membuat Sonaf / Istana di sini. Raja Kolo Banunaek juga sering dsebut dengan sebutan Usi Pina Nunkolo. Pada waktu Raja Kolo Banunaek wafat maka jenasa dari Raja Kolo Banunaek diasapi dengan cendana lebih dari tujuh bulan didalam lopo / Bnao Nunkolo dan kemudian dimakamkan.
Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek mempunyai seorang permaisuri / Kato yang bernama Kato Fransina Afliana Banunaek-Nope (Funan Nope). Kato ini adalah anak pertama dari Raja Amanuban Raja Johan Paulus Nope. Raja L.L.D.L.Banunaek menikah secara kristen dengan permaisurinya di Niki-niki pada tahun 1964.Kemudian Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja L.L.D.L.Banunaek) ini mempunyai seorang putra tunggal bernama Raja Muda Don Yesriel Yohan Kusa Banunaek (Usif Kusa Banunaek), "Dalam tradisi budaya kerajaan / tradisi usif-usif di Timor secara umum biasa dikatakan dalam tuturan adat bahwa besi tapan mau man mof nain mas nesan nabalah". . Makam (son nain) dari Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek dan permaisurinya di Oinlasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.Pada waktu Raja lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek berkuasa di kerajaan Amanatun maka tercatat dalam sejarah di arsip negara bahwa yang menjadi countorleur di Zuid Midden Timor / Timor Tengah Selatan adalah Tuan Frans Van Donggen.
Raja-raja Amanatun
Nama enam raja terakhir yang pernah memerintah di kerajaan Amanatun/Onam adalah sebagai berikut:
14. Raja Bnao Banunaek V (Raja Bnao Nunkolo)
15. Raja Kusat Muti (Raja Muti Banunaek I) ± 1832
16. Raja Loit Banunaek ± 1899
17. Raja Muti Banunaek II . . . - 1915. Ia diasingkan ke Ende, Flores pada 1915 oleh pemerintah kolonial Belanda karena Raja Muti II tidak mau takluk kepada Belanda. Raja Muti Banunaek II mangkat di Ende Flores ± September/Oktober 1918) . Makamnya tidak diketahui.Raja Muti Banunaek II sejak diasingkan oleh Belanda hingga wafatnya tidak kembali lagi ke tanah Timor ( Amanatun).Ketika Belanda hendak menaklukan Kerajaan Amanatun yang dipimpin oleh Raja Muti Banunaek II [[Kategori:]]tahun ± 1911 maka pasukan tentara Belanda yang sedang menuju ke wilayah Amanatun dihadang oleh Panglima Perang / Meo Naek dari kerajaan Amanatun yang bernama Meo Seki Tafuli. Komendan tentara Belanda di tembak mati oleh Meo Seki Tafuli dari jarak yang cukup jauh dari benteng Meo Seki Tafuli sebelumnya diucapkan kata-kata keramat ( fanu). Komendan Belanda yang tewas ini kemudian oleh rakyat Amanatun disebut MIN FAFI hingga sekarang.
18. Raja Abraham Zacharias Banunaek (Raja Kolo Banunaek (1920-1946) , mangkat 1964. Makam atau son nain di Nunkolo.
19. Raja Lodoweyk Lourens Don Louis Banunaek (Raja Laka Banunaek) 1946-1965, lahir : Nunkolo, tanggal 18 Agustus 1925.Mangkat 26 April 1990 di Sonaf Amanuban di Niki-niki. Makam atau son nain di Oinlasi.

MATA PENCAHARIAN
Terdapat beragam bentuk mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat Timor. Seperti dalam hal pertanian, dimana mata pencaharian dari sebagian besar orang Timor yang bermukim di daerah pedesaan adalah bercocok tanam di lading. Namun suatu terkecualian yakni pada daerah Belu Selatan, dimana orang di daerah tersebut sudah mulai mengusahakan sawah. Jenis tanaman yang ditanam di ladang adalah jagung, yang merupakan makanan pokok, padi darat, ubi kayu, keladi, labu, sayur-sayuran, dan ada juga yang menanam kacang hijau, jeruk, kopi, tembakau, bawang, dan kedelai.
Tanah yang akan dijadikan lading biasanya ada dua macam yakni tanah hutan dan tanah datar yang berumput. Untuk tanah hutan, penggarapannya dilakukan dengan menebang pohon-pohon serta membersihkan semak-semak belukar, lalu membakarnya. Kemudian setelah itu, lalu digarap dengan cangkkul maupun membajaknya. Sebidang tanah lading biasanya bias ditanami secara terus menerus selama dua tahun sampai dengan lima tahun.
Bila sebidang tanah telah dipilih untukk dijadikan ladang, maka pekerjaan penggarapan biasanya dilakukan oleh satu keluarga-batih, kadang-kadang dibantu oleh beberapa keluarga-batih yang lain, yang masih mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Kemudian bila keluarga-batih yang telah membantu tadi membutuhkan pertolongan untuk pekerjaan yang serupa, maka ia wajib untuk menolongnya. Begitu pula halnya pada waktu panen.
Bila tanah telah dikerjakan, maka bibit tanaman mulai disebarkan pada permullaan musim hujan yakni biasanya pada bulan November sampai Desember. Pekerjaan lelaki biasanya adalah membersihkan dan membakar hutan, atau mengerjakan tanah, membuat pagar, menyiangi tanaman. Sedangkan pekerjaan si istri adalah menanami bibit tanaman kadang-kadang dengan bantuan suaminya, serta menuai hasil tanaman.
Suatu keluarga-batih dengan menggunakan alat yang sederhana, yaitu sebuah tongkat yang ujungnya diberi berlapis besi yang runcing dan tajam, serta sebuah parang, biasanya dapat mengerjakan sebidang tanah rumput yang luasnya antara satu sampai dengan dua setengah hektar. Sedangkan penerjaan pada tanah hutan atau bekas hutan bisa lebih luas lagi dikarenakan pekerjaan pembukaan lahannya jauh lebih mudah daripada pengerjaan tanah-tanah bekas lading yang gundul atau yang berupa padang alag-alang atau semak berduri.
Selain bercocok tanam, mata pencaharian masyarakat Timor yang utama adalah dalam bidang peternakan. Ternak yang dipelihara diantaranya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, babi dan ternak unggas. Sebelum kedatangan orang Belanda ke timor, peternakan memang sudah ada, namun tidak mempunyai arti ekonomis yang berarti. Sapi, yang merupakan ternak yang paling banyak dipelihara oleh orang Timor pada masa sekarang, baru dimasukkan ke Timor pada tahu 1912 oleh pemerintah Belanda, dengan maksud untuk menambah bahan makanan bagi penduduk Timor dan juga bagi penduduk pulau Jawa.
Selama beberapa tahun jumlah sapi yang berkembang biak telah meningkat dengan pesat dan jumlahnya melebihi jumlah ternak-ternak lain. Ternak yang didapat oleh sebuah rumah tangga, dianggap sebagai milik bersama suami istri. Jika si suami meninggal dunia, maka hak untuk memiliki dan memelihara jatuh ke tangan si istri dan kemudian diwariskan kepada anak laki-lakinya yang telah dewasa. Tetapi bila tidak ada anak laki-laki, maka ternak tersebut diwariskan kepada saudara laki-laki ayah atau anak laki-laki dari saudara perempuannya. Ahli-ahli waris memelihara ternak tersebut, tetapi saudara laki-laki, saudara laki-laki ayah, dan saudara-saudara sepupu dari pihak ayah, mempunyai hak atas ternak tersebut bila mereka membutuhkannya untuk membayar mas kawin. Wanita-wanita yang belum menikah sangat jarang bisa memiliki atau mewarisi ternak, sedangkan anak laki-laki yang belum menikah bisa mewarisinya. Jika seorang anak laki-laki memperoleh ternak dari saudaranya, ia tidak boleh menyerahkan ternak itu kepada orang lain.
Mata pencaharian yang lain yang cukup penting terutama untuk masyarakat timor yang tinggal didaerah pantai, adalah menangkap ikan-ikan kecil, mencari kerang dan tripang. Pada waktu-waktu menjelang dan selama musim kemarau, bilamana air sungai menjadi kering, banyak orang-orang menangkap ikan di sungai-sungai dengan cara membendungnya dan kemudian mengeringkannya, atau dengan menggunakan sejenis serok. Orang Timor tidak melakukan penagkapan ikan dengan perahu ditengah laut.
Orang Timor juga membuat berbagai kerajinan tangan, dan yang terutama adalah menenun kain dan menganyam keranjang-keranjang. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh para wanita. Kemudian ada juga kerajinan mengukir serta kerajinan untuk membuat benda benda perak. Sebagian masyarakat Timor juga berprofesi sebagai pengambil nira pohon lontar. Pohon lontar ini di ambil niranya untuk dijadikan minuman ataupun dijadikan gula. Secara tradisional pekerjaan menyadap nira lontar merupakan tugas kaum dewasa sampai tua. Tetapi perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh pekerjaan dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam 03.30, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk (bangun hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat duduk).
Lebih khusus lagi penduduk Timor dari Sabu mempunyai tradisi tersendiri berkaitan dengan mata pencaharian. Secara umum orang Sabu mengenal dua musim, kemarau yang disebut Waru Wadu dan musim hujan atau Waru Jelai. Di antara kedua musim itu ada musim peralihannya. Dalam masing-Masing musim ada beberapa upacara yang berhubungan dengan mata pencaharian.
Dalam musim Waru Wadu atau kemarau, dikenal upacara
(1) memanggil nira;
(2) memasak gula lontar;
(3) memberangkatkan perahu lontar.
Sebelum memasuki musim berikutnya/hujan ada upacara peralihan musim terinci atas
(1) memisahkan kedua musim;
(2) menolak kekuatan gaib/bala;
Dan pada musim waru jelai atau musim penghujan dapat diadakan tiga upacara:
(1) pembersihan ladang dan minta hujan;
(2) upacara menanam dan
(3) upacara sesudah panen.
Dan yang terakhir adalah perdagangan. Perdagangan biasanya berpusat di pasar-pasar yang ada di desa yang cukup besar, yang diadakan setiap minggu sekali. Para pedagang dari setiap daerah di sekitar desa yang sedang berhari pasar turut juga hadir untuk menjajakan barang dagangan mereka. Barang-barang yang di perjual belikan kebanyakan adalah bahan keperluan sehari-hari. Namun ternak, khususnya sapi dan kerbau sering juga di perdagangkan di pasar dalam jumlah yang besar.

SISTEM KEKERABATAN
Perkawinan yang terjadi antara seorang pemuda dan seorang anak putri saudara laki-laki ibu merupakan pola perkawinan yang paling disukai oleh orang Timor, walaupun seorang pemuda dapat menikah dengan wanita manapun.Pemilihan jodoh dalam perkawinan erat hubungannya dengan jumlah mas kawin yang harus diayarkan oleh kerabat pemuda kepada kerabat wanita. Perkawinan dari kerabat yang pada angkatan sebelumnya pernah ada hubungan perkawinan akan dianggap sebagai penguatan tali hubungan yang pernah ada sehingga mas kawin yang harus dibayar oleh kerabat pemuda kepada kerabat gadis tidak perlu terlalu besar harganya.
Mas kawin biasanya dibayar berangsur-angsur sehingga penerimaan keanggotaan dari si istri dan anak-anaknya ke dalam klen si suami adalah secara berangsur-angsur pula. Bila mas kawin yang sudah dibayarkan telah dianggap lunas, maka si istri dianggap telah menjadi anggota klen si suami dan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu antara lain mengikuti upacara-upacara keagamaan dalam klen suaminya. Ada juga kebiasaan untuk tidak menerima pelunasan harta mas kawin yang terakhir, misalnya di daerah Swapraja Amarasi, dimana angsuran mas kawin yang terakhir ditolak oleh kerabat-kerabat dari klen si istri supaya tetap dapat mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam klen asalnya.
Mas kawin yang diserahkan oleh kerabat si pemuda terdiri atas pring-piring dari emas atau perak, kadang-kadang disertai dengan sejumlah ternak. Sebagai imbalannya, kerabat si gadis menyerahkan selimut-selimut atau pakaian-pakaian kepada kerabat si pemuda. Pada orang Marae, mas kawin yang pertama kali dibayarkan oleh pihak pemuda kepada pihak wanita berupa sebuah piring dari emas atau perak, yang dimaksudkan sebagai tanda pertunangan. Sebaliknya, pihak wanita menyerahkan sebuah selimut kepada pihak pemuda. Tahap kedua adalah pengesahan perkawinan yang dinamakan mugen gotui (pembangunan jiwa orang mati). Pada upacara itu masing-masing pihak mengundang roh nenek moyangnya untuk menyaksikan perkawinan itu., dan pihak pemuda menyerahkan sebuah piring emas dan sebuah piring perak, sedangkan wanita menyerahkan sehelai selimut dan seekor babi. Setelah upacara ini selesai, maka perkawinan dianggap sah.
Pengantin baru biasannya tinggal untuk sementara di tempat kediaman si isteri (uxorilokal), keadaan ini bisa berlangsung antara satu minggu sampai beberapa tahun lamanya dan selama itu suami biasanya membantu pekerjaan dalam rumah tangga mertuanya baru kemudian mereka pindah ke tempat tinggal kerabat si suami (virilokal). Walaupun demikian, kadang-kadang ada juga suami yang lalu terus menetap secara uxorilokal bergantung terhadap kebutuhan keluarga, keikhlasan perseorangan ataupun karena alasan-alasan ekonomi.
Tiap-tiap orang Timor menjadi anggota dari sesuatu klen tertentu yang patrilineal. Satu desa biasanya didiami oleh beberapa rupa klen, sedangkan satu klen biasanya mempunyai warganya di beberapa desa. Di samping klen patrilineal, ada juga klen matrilineal seperti di Wehali, Suai, di daerah Belu bagian selatan.
Klen-klen yang ada dalam suatu daerah Swapraja, pada masa yang lalu dapat digolongkan ke dalam tiga lapisan, yaitu usif (bangsawan), tob (orang biasa) dan ate (budak). Golongan ate sekarang tidak ada lagi, jumlah klen bangsawan amat sedikit dan sebagian besar dari penduduk termasuk klen-klen biasa. Kewargaan di dalam satu klen menentukan status seseorang di dalam masyarakat, walaupun di beberapa daerah telah terjadi pergesaran dari klen-klen biasa menjadi klen bangsawan.
Di samping penggolongan seperti tersebut di atas, maka penduduk di desa Timor masih bisa lagi digolongkan ke dalam orang-orang yang dianggap sebagai pemilik desa dan orang yang dianggap sebagai bukan pemilik desa. Pada orang Atoni, golongan pemilik desa ini dinamakan kuantif, sedangkan golongan bukan pemilik desa dinamakan atoin asaot (golongan orang-orang yang datang dari desa lain dan kawin dengan wanita dari desa tersebut) dan golongan ketiga dinamakan atoin anaot (orang pengembara).
Golongan kuantif, terdiri dari orang-orang yang menjadi keturunan dari orang yang dianggap sebagai pendiri desa, merekalah yang menguasai tanah. Datuk-datuk dari klen ini mempunyai kekuasaan yang besar dalam segala hal yang berhubungan dengan desa mereka. Golongan kedua ialah golongan atoin asaot, terdiri dari orang-orang yang datang kemudian untuk menetap di desa tersebut. Juga semua laki-laki di desa tersebut secara matrilineal termasuk golongan ini. Hubungan antara golongan pertama dengan golongan kedua dapat disamakan dengan hubungan antara golongan pemberi istri dengan golongan penerima istri. Seorang datuk dari golongan aoiin asaot tidak boleh memegang sesuatu jabatan yang mempunyai kekuasaan seperti misalnya menjadi kepala desa, jabatan mana hanya diperuntukan bagi orang-orang klen kuantif. Namun seorang datuk dari atoin asaot tak dapat juga menjaga kedudukan terhormat karena kepribadiannya yang besar.
Akhirnya, golongan ketiga terdiri dari orang-orang yang secara perseorangan atau secara berkelompok pidah dari suatu desa asal ke desa yang lain. Golongan ini oleh orang Atoni dianggap sebagai golongan yang paling rendah kedudukannya dan sama sekali tidak mempunyai hak untuk memegang suatu jabatan di dalam desa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang telah meninggalkan desa asal mereka karena sesuatu pertengkaran atau karena dicurigai sebagai pencuri atau tukang tenung. Orang-orang dari atoin anaot ini dapat meninggikan derajatnya yaitu menjadi atoin asaot dengan cara kawin dengan salah seorang wanita dari desa yang didatangi, atau dengan cara mengawinkan anak-anak mereka dengan anak-anak perempuan dari desa tersebut.

SISTEM KEMASYARAKATAN
Pada zaman Belanda, pulau Timor bagian Indonesia, terbagi atas beberapa kesatuan pemerintahan lokal yang dinamakan vorstendom (kerajaan). Kesatuan-kesatuan pemerintahan tersebut adalah diantaranya: kupang, Timor Tengah bagian Selatan, Timor Tengah bagian Utara dan Belu. Kelompok-kelompok pemerintahan lokal ini mempunyai beberapa kerajaan lokal yang berada dibawah kekuasaan secara administratif. Kerajaan-kerajaan lokal ini, masing-masing dibagi lagi atas beberapa daerah kekuasaan administratif yang lebih kecil lagi, bernama kefettoran, yang dikepalai oleh seorang fettor. Dibawah kefettoran ini, ada desa-desa atau ketemukungan yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang dinamakan Temukung.
Pada pemerintahan Indonesia, pembagian secara administratif diatas masih tetap berlaku dan belum dirobah; hanya saja istilahnya dirobah, seperti vorstendom menjadi kabupaten, swapraja menjadi distrik, dan kefettoran disamakan dengan kecamatan. Sebuah ketemukungan biasanya terdiri atas sebuah desa induk dengan beberapa desa pedukung lainnya, yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Kadan ada juga desa kecil yang letaknya jauh dari desa induk,dengan wilayah dan tanah pertanian dari desa lain diantaranya.
Jabatan-jabatan di dalam desa, termasuk jabatan kepala desa, di pegang oleh orang-orang dari klen-klen tertentu. Tugas seorang kepala desa pada saat ini adalah mengumpulkan pajak, membagi-bagikan tanah untuk berladang, mempertahankan tata tertib dan melaksanakan instruksi-instriksi pemerintah serta perintah dari fettor dan raja. Kepala desa menjalankan pengadilan menurut hukum adat, melaporkan peristiwa-peristiwa hukum perdata dan hukum pidana kepada fettor, melaporkan pelanggaran-pelanggaran kepada fettor, dan polisi setempat, dan mewakili desanya dalam hubungan dengan desa-desa lain.
Menurut data dari salah satu desa di swapraja amarasi (suku bangsa atoni), yakni desa Soba, yang terdiri dari beberapa anak desa, digolongkan kedalam beberapa kelompok yang dikepalai oleh amnais ko’u (amnasit besar), dan amnais ana’ (amnasit kecil). Mereka bertugas membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan mereka tidak mendapat gaji dari pemerintah. Penunjukan kepala desa adalah oleh fettor, sedangkan penunjukan amnasit besar dan amnasit kecil adalah oleh kepala desa. Kepala desa, amnasit besar dan amnasit kecil di tunjuk dari antara orang-orang yang berasal dari klen pemilik desa.
Sistem Kemasyarakatan Orang Rote
Sebagian besar penduduk yang mendiami pulau/kabupaten Rote Ndao menurut tradisi tertua adalah suku-suku kecil Rote Nes, Bara Nes, Keo Nes, Pilo Nes, dan Fole Nes. Suku-suku tersebut mendiami wilayah kestuan adat yang disebut Nusak. Semua Nusak yang ada dipulau Rote Ndao tersebut kemudian disatukan dalam wilayah kecamatan.
Strata sosial terdapat pada setiap leo. Lapisan paling atas yaitu mane leo (leo mane). Yang menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang merupakan jabatan kehormatan untuk keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya spiritual, sedangkan fetor untuk urusan duniawi.
Filosofi kehidupan orang Rote yakni mao tua do lefe bafi yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari mengiris tuak dan memelihara babi. Dan memang secara tradisonal orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak. Dengan demikian pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.

Sistem kemasyarakatan Orang Sabu
Penduduk Sabu terdiri dari kesatuan klen yang disebut sebagai Udu (kelompok patrinial) yang mendiami beberapa lokasi tempat tinggal antara lain de Seba, Menia, LiaE, Mesara, Dimu dan Raijua. Masing-masing Udu sebagi suatu klen atau sub udu yang disebut Karego.
Tentang pola perkampungan orang Sabu tidak bisa terlepas dari pemberian makna pulaunya sendiri atau Rai Hawu. Rai Hawu dibayangkan sebagi suatu makluk hidup yang membujur kepalanya di barat dan ekornya di timur. Maha yang letaknya disebelah barat adalah kepala haba dan LiaE di tengah adalah dada dan perut. Sedangkan Dimu di timur merupakan ekor. Pulau itu juga dibayangkan sebagai perahu, bagian Barat Sawu yaitu Mahara yang berbukit dan berpegunungan, digolongkan sebagai anjungan tanah (duru rai) sedangkan dimu yang lebih datar dan rendah dianggap buritannya ( wui rai).
Orang Sabu mengenal hari-hari dalam satu minggu, misalnya hari Senin Lodo Anni), Selasa (Lodo Due), Rabu ( Lodo Talhu), Kamis (Lodo Appa), Jumat (Lodo Lammi), Sabtu (Lodo Anna), Minggu (Lodo Pidu).Konsep hari ini (Lodo ne), hari yang akan datng (Lodo de), besok (Barri rai). Hari-hari tersebut membentuk satu minggu kemudian 4 atau 5 minggu membentuk satu bulan (waru) dan 12 bulan membentuk satu tahun (tou).
Sistem Kemasyarakatan di Timor Tengah Selatan
Penduduk asli Timor Tengah Selatan merupakan suku bangsa dawan. Dalam masyarakat Dawan umumnya pemukiman mulai dari pola keluarga inti/batih yang terdiri dari bapak, ibu, dan anakyang disebut ume. Ume yang ada bakal membentuk klen kecil yang disebut Pulunes atau Kuanes dan ada klen besar Kanaf.
Ume sebagai keluarga inti tinggal di rumah pemukiman tradisional yaitu Lopo dan Ume. Lopo adalah lambang rumah untuk pria dan Ume untuk perempuan. Umumnya mata pencaharian masyarakat TTS adalah pertanian dan peternakan, seperti menanam jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan dan sedikit pertanian padi. Peternakan sapi, babi, dan kambing.
Sistem Kemasyarakatan Timor Tengah Utara
Pelapisan sosial dalam masyarakat Timor Tengah Utara terdiri atas tiga bagian yaitu:
(1). Usif (golongan bangsawan/raja)
(2). Amaf (pembantu raja)
(3). To (golongan bawah/rakyat)
Raja pada umumnya sebagai pemilik tanah yang menerima upeti dari tanahnya, dan tugas menarik upeti dilakukan oleh Moen Leun Aoin Leun, seterusnya diserahkan kepada Amaf Terlihat satu konsep yang menunjukan bahwa lapisan raja/bangsawan. Tidak langsung berhubungan dengan golongan To, oleh karena Usif memanfaatkan para pembantu Moen danAmaf untuk urusan pemeritahannya.
Sistem Kemasyarakatan Orang Belu (Atambua)
Masyarakat Belu yang terdiri dari beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya sendiri. Sebagai contoh masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku MaraE. Pemegang kekuasaan berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan tertinggi yaitu Ema Nain yang tinggal di Uma Lor atau Uma Manaran, mereka adalah raja. Lapisan berikutnya masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah raja) yaitu Ema Dato, kemudian lapisan menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan hanya membayar upeti dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan menengah disebut Ema Ata (hamba).Pada masyarakat Marae lapisan sosial tertinggi disebut Loro.

RELIGI
Agama asli orang Timor berpusat kepada suatu kepercayaan akan adanya dewa langit Uis Neno yang dainggap pencipta alam dan pemelihara kehidupan di dunia. Upacara yang ditujukan kepada Uis Neno terutama bermaksud untuk meminta hujan, sinar matahari atau untuk mendapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan.
Orang Timor juga ercaya kepada Uis Afu, Dewa Bumi, yang dianggap sebagai sebagai dewi Uis Neo. Upacara yng ditujukan kepadanya adalah meminta berkah bagi kesuburan tanah yang sedang ditanami.
Disamping itu, orang Timor juga mempercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat tertentu di hutan-hutan, mata air, sungai dan di pohon tertentu. Makhluk-makhluk halus tersebut bisa bersifat baik dan jahat, dan dianggap sebagai pemilik dan penjaga tempat yang sedang didiaminya. Orang melakukan upacara san sajian pada saat-saat tertentu guna memuaskan makhluk-makhluk tersebut. Upacara semacam ini dipimpin oleh pejabat desa yang merupakan ahli-ahli adat tanah dan yang dinamakan tobe. Kemudian mereka juga percaya kepada roh-roh nenek moyang, seperti makhluk-makhluk halus lainnya mereka mempunyai pengaruh yang luas kepada jalan hidup manusia. Berbagia melapetaka dianggap sebagai tindakan dari makhluk-makhluk alus tersebut terhadap manusia yang telah lalai untuk melakukan uoacara sajian untuk makhluk halus tersebut.
Bila ada malapetaka, maka seorang dukun dapat dipanggil untuk mencoba menemukan sumber dari malapetaka itu dan kemudian berusaha untuk menolaknya dengan menggunakan obat-obatan dan mantera yang dianggap sanggup mengusir makhluk-makhluk halus itu. Seorang dukun dalam pekerjaannya, dibantu oleh makhluk halus tertentu yang akan memerangi makhluk halus yang telah merugikan manusia. Di samping itu, ada juga mahkluk halus yang bisa disuruh-suruh oleh dukun-dukun ahli tertentu untuk merugikan manusia lain. Hanya dukun-dukunlah yang bisa dan sanggup untuk melawan kekuatan-kekuatan sihir yang berasal dari seorang dukun yang lain.
Meskipun agama Kristen sekarang secara formal telah diterima dan dipeluk oleh sebagian besar dari penduduk Timor, naming sebagian besar dari mereka masih percaya akan adanya dewa-dewa, makhluk-makhluk halus, roh nenek moyang dan percaya akan ilmu sihir.
Dalam usahanya untuk meniadaka kepercayaan tersebut, para pendeta agama Kristen melawan pengaruh dari upacara-upacara yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa dalam lingkaran hidup individu, upacara-upacara nonodi dalam klen-klen, kepercayaan terhadap makhluk halus dan sihir. Benda-benda nono misalnya harus dirusak oleh keluarga-keluarga pada wakru memasuki agama Kristen secara resmi, dan segala upacara yang berhubungan dengan peristiwa pada lingkaran hidup individu harus digabungkan dengan upacara-upacara yang ada di dalam agama Kristen, kecuali itu sebutan Uis Neno ddipergunakan untuk menerjemahkan perkataan Tuhan yang terdapat dalam Kitab Injil.
Usaha-usaha lain dari para pendeta penyebar agama Kristen di Timor adalah menerjemahkan Kitab Injil Perjanjian Baru, mereka juga mengusahakan agar penyelengaraan upacara-upacara keagamaan dipusatkan di gereja-gereja dan tidak lagi di rumah-rumah atau di tempat keramat, tetapi karena rumah bagi orang Timor masih dianggap sebagai pusat dari sebagian besar dari upacara-upacara keagamaannya, maka para pendeta dan guru-guru agama sering mengunjungi rumah-rumah untuk melakukan upacara keagamaan. Di samping itu, Gereja Protestan mengakui perkawinan yang diselenggarakan secara adat. Hanya mereka yang menjadi pegawai negeri sering merasa terpaksa untuk kawin secara Kristen resmi di depan seorang pegawai catatan sipil, dan seorang pendeta.

PRODUK BUDAYA
Masyarakat Timor mempunyai corak kebudayaan yang beraneka ragam. Hal ini salah satunya disebabkan karena keberadaan beragam sub suku bangsa dalam masyarakat Timor. Di Timor terdapat perbedaan antara orang Rote, orang Helon, orang Atoni, orang Sabu, orang Belu, orang Kamak, dan orang Marae.
Termasuk dalam upacara dan ritual keagamaan maupun pernikahan, orang Timor mempunyai cara yang berbeda – beda. Berikut kami sajikan beberapa produk budaya yang dimiliki oleh masyarakat Timor sebagai salah satu bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

UPACARA PERKAWINAN
Jenis-jenis perkawinan yang terdapat pada masyarakat Timor yaitu :
(1) Membayar belis kontan, didahului dengan meminang.
Peminangan secara tradisional dapat dilakukan kepada seorang perempuan yang masih kanak-kanak kurang-lebih berusia 6 tahun. Itulah sebabnya di Timor dikenal istri rumah, ketika perempuan itu telah masuk usia kawin, maka urusan perkawinan dapat dilaksanakan.
(2) Perkawinan dengan pembayaran belis diutang
Perkawinan ini terjadi manakala sang pria tidak bisa membayar belis sebesar belis Ibu dari anak perempuan yang dipinang sehingga keluarga lelaki harus memberikan panjar belis semampunya. Utang ini harus dicicil dengan sang lelaki tinggal dan mengabdi bekerja di rumah wanita. Hutang belis ini dengan sendirinya akan hilang jika salah seorang dari suami istri itu meninggal dunia. Tentang harta kekayaan dan anak-anak tetap menjadi milik sang suami.
(3) Perkawinan bertukar atau Gayel Golal
Jenis gayel golal adalah proses yang mengijinkan bagi setiap suku untuk dapat bertukar dari sedikitnya 4 keluarga besar. Artinya keempat klen itu harus dapat mengatur utang yang telah dijanjikan orang tua mereka sebelumnya dengan saling memberikan anak gadis dan menerima lelaki sebagai suami. Asas ini berlaku dalam skema perkawinan:




Dalam gambar 1 berlaku perkawinan Asymetris connubium, suku A sebagai pemberi wanita dan suku B penerima wanita tidak boleh sebaliknya. Hubungan suku D dan C Seperti hubungan A dan B.
Dalam gambar 2 terjadi perkawinan menurut apa yang disebut dengan symetris connubium, terjadi perkawinan timbal balik/saling bertukar memberi anak gadis dan menerima lelaki.
(4) Perkawinan Gere Uma (lari bersama)
Perkawinan ini terjadi berrawal seorang pria melarikan wanita bebas yang telah menjadi istri rumah orang (wanita yang telah dibelis sejak kecil). Alasan kawin lari karena orang tua tidak menyetujui perkawinan itu. Biasanya pria membawa lari kerumahnya. Ada satu kelasiman sebagai upaya meminta perlindungan, maka lelaki dan wanita berlindung di kediaman kepala suku untuk kemudian menikah (bubiring). Biasanya setelah kepala suku memanggil orang tua kedua belah pihak dan mengatur tata cara pembayaran belis dan perkawinan secara damai. Karena anak wanita dibawah lari lelaki, maka belisnya sangat besar ditambah tebus malu.
(5) Perkawinan Untu.
Jenis perkawinan ini sama dengan perkawinan Sororat dan levirat. Diperkenankan (sororat) artinya jika sang istri meninggal dunia, maka suami dapat mengawini kakak atau adik dari sang istri, dan sebaliknya jika sang suami yang meninggal dunia, janda tersebut dapat menikahi dengan kakak ataupun adik drai sang suami yang telah pergi.

UPACARA PERKAWINAN ADAT ROTE
Perkawinan dalam adat masyarakat Rote Ndao ada ungkapan dalam kalimat-kalimat ; idufula tangga bunak do mata pao pidu pila (melambangkan kecantikan seorang wanita berhidung putih, berkulit terang, rambut seperti mayang padi, betis seperti telur burung).
Gadis yang dipilih harus pintar menenun sarung lambing mampu berumah tangga, mengurus sendiri dalam ungkapan; lima boa nee feo, do biti boa manu tolok. Wanita itu juga harus memiliki sifat sosial terhadap semua orang, pandai menghemat mengatur uang tercermin dalam ungkapan; sudi babauk do heu dedenak.
Ada ungkapan untuk mencari istri yaitu;
Tu titino (Kawin selidiki baik-baik)
Sao mamete (Kawin harus diteliti)
Tu sangga duduak (Kawin untuk mecari pikiran yang sama)
Sao sangga safik (Kawin untuk menyatukan hati)
Fo ana tea bae nggi leo (Agar dapat mempersilahkan siri kepada)
Mba ana kula huba babongkik (Kerabat dan handai taulan)

Tahapan perkawinan menurut adat Rote:
(1) Tahap meminang disebut mbotik
(2) Jika diterima masuk tahap kedua perundingan belis
Artinya pembicaraan mengenai mas kawin yang akan diberikan dalam pernikahan. Yang terdiri dari mas kawin yang harus disediakan oleh kerabat si pemuda, yaitu berupa piring emas atau perak, dan kadang disertai sejumlah ternak.
(3) Tahap terang kampung
(4) Tahap pengumpulan belis dilingkungan pria dengan keluarganya yang disebut tuu belis
(5) Pembayaran belis oleh keluarga pria terhadap keluarga wanita
(6) Pengukuhan perkawinan adat atau natudu sasao
(7) Pengantin wanita diantar ke rumah lelaki yang disebut dode.

PERKAWINAN WANITA SABU
Proses pinangan dikalangan masyarakat Sabu dibagi dalam beberapa tahapan yaitu;
(1) Hari bicara atau hari lodo, pada saat rombongan laki - laki bersama juru bicara maemiki beriringi ke rumah wanita dan mulai membicarakan adat yang disebut peli. Utusan laki-laki membawa Rukenana tempat sirih pinang lambang pinangan. Jika keluarga wanita mengambil, maka itu tanda lamaran diterima. Kadang-kadang langsung dibicarakan harga belis yang disebut Kebue.
(2) Pada tahap ini pihak lelaki mengantar Rukenana Ae (sirih pinang besar) dan seekor babi besar ke rumah calon mertua.
(3) Pada tahap ini pihak lelaki mengantar kenoto (seserahan) melalui upacara pemaho ruke nana ae dengan seekor babi dihantar ke rumah mertua perempuan.
(4) Kenoto yang dibawah dibuka (boka kenoto) oleh keluarga perempuan disaksikan oleh semua perempuan yang suku ikut membantu melahirkan gadis itu.
(5) Tahap kelima adalah Nga'a Kebue yaitu acara makan bersama di keluarga laki-laki untuk mengumpulkan kelengkapan belis.
(6) Tahapan keenam keluarga laki-laki menghantar barang-barang belis ke keluarga perempuan.
(7) Keluarga laki-laki membawa gadis dari rumahnya ke rumah laki-laki.
(8) Tahapan berikutnya setelah malam pengantin lelaki dan seluruh keluarganya mengantar mempelai wanita kerumah orang tuanya dan diadakan upacara nuhu amu (memasuki rumah) pada saat ini sang istri secara resmi meninggalkan sukunya.

PERKAWINAN MENURUT ADAT DI BELU
Perkawinan yang melalui jalan perkenalan muda mudi dimulai dengan acara hanimak dan samahare yang dilakukan secara tradisional yaitu :
(1) Perkawinan menurut hubungan/ikatan keluarga (feto sawa uma mane) agar dilakukan terus demi menjaga jangan putusnya ikatan
(2) Husar oan binan oan (wanita lain diluar uma manaran yang telah ditetapkan)
(3) Mencari gadis yang masih perawan yaitu Takan tahan lasilu kane, bua fuan lakuu kane (daun sirih yang belum dipetik dan disentuh, buah pinang yang belum pernah dicubit).
(4) Isin basu foi wai (perkawinan dengan mereka yang sudah menjadi milik umum) dimana pada waktu lalu harga perawannya sudah dibayar oleh pemuda yang pernah menggaulinya.
(5) Isin babila nidin babila, belu hikar kabolai babonu lain babonu dikin babonu lain atau sama dengan daru uma mane keluarga penerima gadis, kawin lagi dengan calon dari klen pemberi gadis (perkawinan sororat).


Tiga jenis perkawinan yang haram yaitu
(1) Feton oan, antara saudara-saudari sekandung, jika terjadi maka ungkapannya: asu mata buta (anjing buta matanya)
(2) Oan susun, bapak dengan anak kandungnya, disebut asu na nikar oan manu nemu nika tolun artinya anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum kembali telurnya.
(3) Oan no inan, anak laki-laki dengan ibunya, (asu sae tetu, asu nador kauk) anjing menaiki loteng, mengotori sarang.

Sangsi yang diperoleh dari perkawinan tersebut diatas ialah pria dan wanita dipaksa menghisap susu babi (fahi ten) dan dikucilkan dari suku (lelen sai)
Perkawinan yang dibenarkan ialah
(1) Nan niti hein feton (anak saudara dikawinkan dengan anak saudari)
(2) Oan nola nikar nian kii baki (anak mengawini bekas istri pamannya)
(3) Baba nola nikar nian uma nain uma ruin (paman mengawini kembali bekas istri keponakannya)

Dipihak lain kadang-kadang perkawinan itu sudah disiapkan dalam urutan proses yang teratur, tetapi bisa terjadi penyimpangan contohnya:
(1) Is no beran makotar no tarein (paksaan pemerkosaan).
(2) Istri orang diganggu maka disebut suit ulun nak balu, tais ninin naksira, sebagian sisir pecah, sepotong kain tercabik.
(3) Sebelum menikah sudah hamil dan diberi tahu, asu oan roan manu oan nakin (anak anjing meraung, anak ayam menciap, sudah hamil baru mengaku).

UPACARA KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
KEHAMILAN DAN KELAHIRAN WANITA TIMOR TENGAH SELATAN
Menurut adat Atoni/Kabupaten Timor Tengah Selatan selama masa kehamilan tetap barada dalam pengawasan dukun amama fenu. Fungsinya sebagai pengurut, mengangkat perut waktu hamil, membantu persalinan. Persalinan umumnya dilakukan di rumah, sesudah pemotongan tali pusat sang bayi, tali pusat itu digantung di atas pohon kusambi.
Sebelum 40 hari setelah kelahiran pada saat sang ibu masih dimandikan dengan air panas, maka ada suatu acara untuk memperkenalkan sang bayi kepada keluarga yaitu Poitan Li Ana dilakukan sesudah dilahirkan satu hari, diiringi dengan sembayang, memercik air pada bayi dan para peserta.
Sebelum memperkenalkan bayi poitan li ana, pantangannya adalah tidak boleh memandang wajah suaminya dan tidak boleh melangkahi puntung api yang terdiri dari tiga batang kayu besar dalam rumah bulat (uma kbu bu). Kalau dilanggar, maka kehamilan berikutnya tidak akan terkendalikan (Nis mese Li Ana) dan turunannya bakal cacat tubuh dan mental.

KEHAMILAN DAN KELAHIRAN WANITA TIMOR TENGAH UTARA
Perawatan selama seorang wanita sedang hamil dilakukan secara intensif sejak 5-6 bulan, apanbila itu anak pertama. Seorang Amama'Fenu (dukun bersalin) yang biasanya ibu yang sudah berusia 50-an tahun ditatapkan sebagai perawatnya. Hal ini berlaku untuk para perempuan yang resmi dinikahkan, tetapi kalau ada yang hamil diluar nikah, maka harus ditelusuri lelaki yang menghamili gadis itu dan setelah membayar Fani Kiut Hau Besi Lal Uki (sejenis denda) barulah wanita hamil itu dibantu oleh Amama'Fenu.
Semasa hamil ia ditabukan dengan beberapa hal antara lain menertawakan orang cacat, makan pisang kembar, tidak boleh keluar pada malam hari. Khusus untuk tabu konsumsi (terlebih pada masa hamil) para wanita dari suku-suku tertentu harus taat pada tabu konsumsi yang ditetapkan oleh suku sebagai totemnya. Suku Funan dengan totem anjing,Suku Falo dan Metkono dengan totem musang, Suku Silab dengan totem ikan, Suku Falioni dengan babi, dan Suku Lake dan Snak dengan Totem buaya.
Anak-anak yang kurang dari satu tahun rambut pada ubun-ubun dapat dicukur oleh pamannya dalam acara Ketu'Nakfunu. Rambut pertama yang dicukur akan diletakan di Uim Le'u (rumah berhala) sebagai tanda ucapan terima kasih dan tanda hormat kepada Usi Neno.

TRADISI ADAT LAINNYA
HAMIS BATAR HATAMA MANAIK
Upacara Hamis Batar merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Belu yang dipimpin oleh tetua adatnya untuk menyambut musim petik jagung atau panen jagung, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta.
Hamis menurut bahasa setempat berarti sukur dan batar berarti jagung. Masyarakat percaya bahwa hasil jagung yang akan mereka peroleh merupakan karunia Sang Pencipta. Rasa syukur ini diwujudkan dengan mempersembahkan jagung yang terbaik hasil panen kepada Yang Maha Kuasa.
Sebelum upacara dimulai para kepala keluarga turun ke kebun masing-masing untuk memetik sebuah jagung termuda dan paling bagus. Setelah itu mereka berkumpul di tempat upacara dan diadakan seleksi jagung yang paling bagus. Jagung yang paling baik kemudian diletakkan di troman (tiang agung) yang terbuat dari tumpukkan batu yang dikelilingi batu-batu kecil untuk meletakkan jagung baik yang lainnya.
Setelah semua batu tertutup oleh jagung muda, Ketua Adat kemudian memimpin doa persembahan jagung kepada Sang Pencipta dan memohon agar jagung yang dipanen bermanfaat. Seusai berdoa, upacara dilanjutkan dengan menyebar jagung-jagung ke seluruh kebun untuk dipersembahkan kepada Penguasa Tanah, Foho Norai, yang telah memberikan tanah dan kesuburan jagung.
Upacara dilanjutkan dengan batar babulun, pencabutan pohon jagung secara utuh, untuk dibawa ke kampung dan diikat pada tiap-tiap kayu tiang agung yang sesuai dengan fungsinya, yaitu karau sarin (untuk beternak sapi), fahi ahuk (untuk beternak babi), dan fatuk (untuk orang-orang tua atau ektua adat).
Seiring dengan upacara tersebut diadakan batar fohon, yaitu acara pemotongan batang buah jagung menjadi 12 potong untuk diserahkan kepada Ketua Adat, dan selanjutnya Ketua Adat menentukan waktu upacara inti.
Upacara inti hamis batar itu sendiri merupakan proses persembahan sesaji/jagung-jagung yang baik yang telah dikupas dan dibakar kemudian dimasukkan kedalam gantang penyimpanan jagung yang disebut hane matan untuk dipersembahkan di tempat-tempat yang dianggap keramat (We Lukik, Rai Bot).
Pada proses pembakaran jagung, api yang digunakan merupakan api khusus yang disebut Tahu Hai yang dibuat oleh ketua adat dengan menggosokkan sepotong batu berwarna merah dengan sepotong besi yang disertai serbuk dari pohon enau. Pembakaran dilakukan dengan tiga buah tungku yang diiringi dengan pembacaan doa oleh ketua adat.
Hatama Manaik
Upacar hatama manaik merupakan pelengkap upacara hatama batar, yaitu proses upacara persembahan jagung muda (manaik) dari masyarakat kepada pemimpin masyarakat/raja sebagai ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas kepemimpinannya. Dalam proses upacara hatama manaik dari awal hingga akhir diatur oleh penghubung raja yang biasa disebut Kaburai.

LASI AN KON AUFNAO AN KON
Upacara menyambut datangnya kelahiran sang bayi disetiap daerah mempunyai ciri khas tersendiri. Demikian juga dengan suku Dawan yang ada di pulau Timor ini. Dalam suku Dawan adat penyambutan sang bayi disebut lasi an kon aufnao an kon, yang artinya mengeluarkan abu dapur/tungku. Maksudnya mengeluarkan bara api dari tungku untuk dipindahkan ke bawah kolong tempat tidur, agar ibu yang habis melahirkan dan bayinya dihangatkan dan tidak merasa kedinginan.
Dimulainya upacara ini ketika sang ibu mau melahirkan anaknya, yang didampingi oleh a mahonet (dukun bersalin), a palolet (dukun yang pandai mengurut dan meramu jamu bersalin), dan a tasat (dukun yang pandai memandikan wanita bersalin dengan ramuan obat-obatan). Sementara itu sang suami dan paman laki-laki dari sang bayi menyiapkan bara api. Kayu yang dipakai untuk membikin bara api bukan sembarang kayu, tetapi harus dari kayu kusambi.
Saat terdengar bayi lahir dan dukun bayi telah mengucapkan kalimat ok'en, artinya persalinan telah selasai dan berlangsung dengan selamat, maka saat itu pula sang suami menyalakan api. Setelah kayu menjadi bara, maka dilakukan ritus kou aufnau atau memindahkan bara api ke kolong tempat tidur sang ibu dan bayinya. Hal ini dilakukan oleh sang suami dan paman dari bayi secara bersama-sama.
Sementara itu untuk menolak bala dan gangguan, tangan sang bayi dililit dengan benang hitam. Sampai hari ke empat sang ibu dan bayinya tidak boleh turun dari tempat tidur. Untuk menyusui bayinya, sang ibu harus diberkati oleh bibi perempuan, yakni bibi perempuan yang biasa menjaga rumah adat. Sang bibi inilah yang menyentuh puting susu sang ibu lalu membersihkan dan meneteskan ke mulut bayi.
Menurut kepercayaan, ari-ari sang bayi harus digantungkan di atas pohon kusambi. Ini dilakukan agar kelak sang bayi memiliki tubuh dan jiwa yang kuat sebagaimana sifat pohon kusambi. Namun kadang-kadang ari-ari tersebut ditanam, tergantung dari situasi.
Pada ari-ari bayi laki-laki, dimasukan sepotong besi, biji jagung, dan padi, tanduk atau bulu binatang, dengan keyakinan agar kelak sang anak menjadi seorang petani dan peternak yang hebat. Sedang ari-ari pada bayi perempuan dimasukan benang agar kelak menjadi seorang penenun yang hebat.
Upacara ini kemudian ditutup dengan suguhan sirih pinang, makanan (tergantung dari kemampuan keluarga), untuk mereka yang telah membantu proses persalinan tersebut. Pada saat itu juga dibicarakan upacara sesudah empat hari kelahiran sang bayi yang disebut napoitan liana.




UPACARA ADAT CUKUR RAMBUT








SIFON (SUNAT LALU KAWINI PEREMPUAN)
Sifon adalah sebuah tradisi lelaki di daerah Timor Barat terutama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Belu merupakan suatu tradisi atau mitos agar lelaki menjadi perkasa dengan meninggalkan luka bagi perempuan termasuk penyakit menular seksual. Di sungai sebuah ritual Sifon dimulai, di Nusa Tenggara Timur. Sifon adalah hubungan badan pasca sunat pada laki-laki.
Sunatnya, tak banyak berbeda dengan sunat di daerah lain, hanya saja biasanya dilakukan secara tradisional di kampung-kampung. Tujuannya juga baik untuk kebersihan dan kesehatan kaum laki-laki namun sesudah sunat tidak diberikan semacam betadin dan obat anti infeksi bila sifon tak dilakukan dipercaya akan mendatangkan bala atau hal-hal yang buruk. Sial yang ada dalam dirinya, kalau itu belum dibuang, istrinya sendiri yang kena.
Sifon masih banyak dijumpai, terutama pada suku Atoni Meto, Amarasi dan Malaka Pulau Timor. Bila sang pemuda tidak melakukan hubungan seks paska sunat atau sifon, mereka takut akan menjadi impoten.
Tradisi itu dimulai dengan pendinginan dan pengakuan dosa atau naketi di sungai yang mengalir. Pasien berendam dalam air di pagi hari. Pelaku sifon harus menyiapkan ayam dan pernak-pernik untuk prosesi sunat yang akan dipimpin dukun sunat atau ahelet.
Sunat kemudian dilakukan dengan menggunakan bilah bambu, pisau atau diikat dengan tali-tali tertentu. Jika sudah selesai, pasien kembali dibawa ke sungai untuk proses penyembuhan. Diperlukan waktu sekitar 1 minggu sampai 10 hari untuk mengeringkan luka sehabis disunat, ketika masih terluka itulah, ritual sifon dilakukan.
Selanjutnya si pasien tidak boleh lagi berhubungan seks dengan perempuan yang dijadikan obyeks sifon seumur hidupnya. Berdasarkan kepercayaan Atoni Meto, perempuan itu sudah menerima panas dari si pasien yang berarti penyakit kelamin. Jika si pria nekad dan berhubungan seks lagi dengan perempuan yang sama, maka penyakitnya akan kembali padanya. Perempuan yang kena sifon juga diyakini kulitnya bersisik dan berbau. Itulah sebabnya mengapa sifon tidak boleh dilakukan dengan istri sendiri. Juga, tidak akan ada lelaki yang mau memperistri perempuan yang menjadi obyek sifon. Sifon juga dipercaya membuat laki-laki awet muda. Hubungan seks pakca sunat ada yang berhenti pada taraf sifon, tapi ada pula melanjutkannya hingga tiga tahap.Hubungan yang kedua bisa disebut waekane atau haukena yaitu menaikan badan untuk memulihkan kebugaran tubuh, hubungan yang ketiga disebut tak nino artinya membuat mengkilat, membuat mulus kembali.
Setelah tahap ini, akan dilakukan pendinginan, baru kemudian boleh berhubungan lagi dengan istrinya. Tak jarang sang istri tahu bahkan memberi izin bagi suaminya melakukan ritual itu. Menurut para istri, jika ritual itu tidak dilakukan, istri akan mendapat bala. Jika seorang pemuda atoni meto tidak melakukan ritual itu maka akan dikucilkan, disindir-sindir dalam upacara adat. Sifon sering dilakukan pada masa panen.

UPACARA FUA PAH
Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan roh yang dilaksanakan di tempat-tempat tertentu seperti di kebun-kebun, gunung-gunung dan bukit-bukit. Uis Pah atau Pah Tuaf adalah makhluk halus yang dianggap merugikan manusia, sehingga sebagian masyarakat Dawan menyebutnya sebagai setan. Uis Pah ini diyakini bertempat tinggal di pohon-pohon, batu-batu besar, sungai-sungai, serta tempat-tempat tertentu di sekitar kediaman manusia. Untuk mengambil hati dan menghindari kemarahan Pah Tuaf, masyarakat Dawan seringkali memberikan berbagai korban persembahan dalam upacara adat yang disebut Fua Pah. Upacara Fua Pah merupakan sebuah tradisi pemujaan kepada Uis Pah (Raja Dunia, Sang Penguasa Tanah dan makhluk di atas alam raya yang dianggap menyimpan kekuatan jahat atau kekuatan setan) dengan cara memberikan sesaji berupa hewan korban. Tradisi pemujaan Fua Pah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Dawan.
Tradisi Fua Pah merupakan sebuah tradisi yang khas dalam alam kebudayaan pertanian tradisional. Ritus pemberian korban sebagai persembahan kepada Uis Pah atau Pah Tuaf itu senantiasa dilaksanakan pada enam tahapan kegiatan pertanian, mulai dari membuka kebun baru sampai dengan tahap menuai, memetik hasil kebun dan mengucapkan syukur kepada Uis Neno atas panen melimpah. Keenam tahap itu adalah:
(1) tahap menebas hutan (lef nono//tafek hau ana)
(2) tahap membakar hutan (polo nopo//sifo nopo)
(3) tahap menanam (lef boen no’o),
(4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e),
(5) tahap panenan perdana (tasana mate),
(6) tahap panenan berakhir (tnibun bola’if ma aen tauf).
Penyair lisan (lasi tonis) dalam masyarakat Dawan diyakini merupakan orang yang diberkati dan memiliki kekuatan magis religius. Dia dipercaya memegang peranan utama dalam segala pelaksanaan upacara adat maupun upacara-upacara formal seremonial lainnya. Di desa-desa hampir di seluruh NTT, sastra (lisan) bukanlah hal yang asing. Mereka yang menguasai, mendengar, memahami, dan menghayati sastra dianggap tinggi kedudukannya. Para lasi tonis sering dilukiskan sebagai orang yang ‘berilmu tinggi’ dan memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat karena menguasai ‘cipta sastra’. Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga daripada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan kebenaran. Sastra lisan telah menjadi perbendaharaan kehidupan rohani masyarakat, khususnya masyarakat yang hidup di pedesaan.
Setiap kali dilakukan upacara ritual persembahan hewan korban kepada Pah Tuaf, masyarakat Dawan sudah memiliki semacam formula mantra yang disiapkan oleh konvensi untuk dipergunakan oleh para lasi tonis-nya.

TRADISI GOTONG ROYONG di TIMOR
Masyarakat Timor, khususnya di daerah Dawan sangat terkenal dengan budaya gotong royongnya. Mereka mengenal tiga jenis kerja gotong royong, yakni: Hone, Meopbua, dan Okomama. Ketiga jenis adat gotong royong ini bersumber dari landasan filsafat hidup orang Dawan yakni ‘Tmeup Tabua Nekaf Mese Ansaof Mese” berarti ‘bekerja sama sehati-sepikiran’. Ungkapan ini dalam praktek merupakan motif dasar yang mengilhami setiap bentuk kerjasama dalam masyarakat Dawan. Konsep ‘bekerjasama sehati-sepikiran’ ini bertujuan mafiti/manpenen, yakni saling meringankan beban. Penekanan kerjasama ini adalah nilai sosial kemanusiaan dan bukan nilai sosial ekonomi (upah).

SENI SASTRA
Karya sastra di Timor paling banyak ditemukan pada masyarakat Dawan. Dalam bidang sastra, penelitian tentang sastra lisan Dawan berhasil mendeskripsikan empat jenis Sastra Lisan Dawan yakni Bonet, Heta, Tonis dan Nu’u. Uraian singkatnya sebagai berikut.
(1) Bonet. Bonet adalah jenis tuturan berirama atau puisi lisan yang seringkali dilagukan. Tuturan membentuk satuan-satuan berupa penggalan yang ditandai dengan jeda. Satuan-satuan ini membentuk bait atau kuplet. Jumlah larik tidak selalu sama. Ciri lainnya adalah pengulangan bentuk. Berdasarkan isi dan fungsinya, Bonet dibedakan atas 4 jenis, yakni: Boennitu (puji-pujian kepada arwah), Boen Ba’e (Puji-pujian dalam suasana ceria: kelahiran olen, menimang anak ko’an, penyambutan tamu futmanu-safemanu), dan nyanyian kerja (Boenmepu).
(2) Heta. Heta juga merupakan sejenis puisi lisan Dawan, yang ditinjau dari segi struktur mirip dengan bonet. Jika bonet termasuk puisi ritual formal yang dinyanyikan dalam upacara adat, maka heta merupakan puisi lisan yang dituturkan dalam suasana santai tanpa dilagukan. Heta terdiri dari teka-teki (Tekab) dan peribahasa.
(3) Tonis. Tonis merupakan ragam bahasa adat, sehingga penuturan tonis selalu dalam rangka adat. Tonis merupakan jenis sastra lisan Dawan yang diungkapkan dalam bentuk bahasa berirama (puisi) yang berbau prosa teratur (prosa lirik). Tonis terjalin dalam bentuk pasangan kata dalam larik dan bait-bait paralel yang berulang secara teratur. Seperti: Auni mnanu//kue mnanu “tombak panjang//kuku panjang” yang mengiaskan pejuang. Berdasarkan isinya, tonis dapat dibedakan atas dua jenis, yakni tonis pah (puisi yang berkaitan dengan leluhur) dan tonis lasi (puisi yang membicarakan masalah-masalah sosial).
(4) Nu’u. Nu’u merupakan jenis prosa rakyat yang dituturkan dalam bahasa sehari-hari. Dalam masyarakat Dawan terdapat dua jenis Nu’u, yakni Nu’u yang hanya boleh dituturkan oleh tonis karena berkaitan dengan kebenaran hukum adat dan kesejarahannya, dan nu’u biasa, yang dituturkan oleh siapa saja, yang biasanya berupa cerita-cerita rakyat.
Dalam masyarakat Dawan dikenal pula bentuk sastra lisan lainnya yakni “nel” yang berupa pantun dan ta’nu’an yakni cerita-cerita dongeng yang biasanya ditujukan untuk anak-anak. Ada tiga jenis nel atau pantun itu, yakni: (a) nel-masi’u (pantun untuk sindir-menyindir), (b) nel ta’tuna kanan (pantun untuk mengungkap asal-usul suatu marga), dan (c) nel ta’tuna pah (yakni pantun untuk mengagungkan kerajaan). Parera juga menyebutkan bahwa syair adat Dawan disebut “takanab” dan penyairnya disebut “mafefa”. Kadang-kadang syair-syair lisan itu disebut juga dengan istilah “lasitonis” dan penyairnya disebut “apiot lasi.” Dalam tulisan ini, akan digunakan istilah “tonis” untuk puisi-puisi atau syair-syair adat dan “lasitonis” untuk penyair lisan (lasi tonis)nya.

TRADISI SIRIH PINANG
Masyarakat Timor juga mengenal adanya tradisi menginang (nyirih) untuk menguatkan gigi mereka. Kotak tempat menyimpan sirih di Timor disebut Oko Mamah dan Aluk. Oko Mamah biasa dipakai oleh para kaum wanita sedangkan Aluk dipakai oleh kaum laku-laki. 'Mamah' sirih pinang sudah menjadi tradisi masyarakat Timor yang tidak diketahui mulai kapan kebiasaan tersebut berlangsung. Tradisi 'mamah' sirih pinang ini juga sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Timor, hampir seluruh acara adat dan acara resmi lain selalu diawali dengan acara makan sirih pinang terlebih dahulu. Ketika tamu baru datang, sebelum minuman dihidangkan biasanya terlebih dahulu disediakan seperangkat sirih pinang di atas meja. Dan konon sebagai tanda bahwa sang tamu menaruh rasa hormat pada tuan rumah, maka sang tamu harus mencicipi sirih pinang tersebut.
Untuk dapat memamah sirih pinang, Orang Timor harus menyiapkan tiga bahan penting yakni buah sirih, buah pinang, dan kapur sirih. Ketiga bahan ini sangat mudah ditemukan di pelosok daratan timor, terlebih buah pinang dan kapurnya. Pohon pinang banyak terdapat di pekarangan penduduk atau di daerah mata air, sedangkan kapur sirih diambil dari bunga karang yang telah mati kemudian dibakar hingga menjadi bubuk kapur.

LAGU TRADISIONAL TIMOR

Tutu Koda
O ina beten melewan lau doan
O ina saren motanan rae lela
Panadi maan tun pulo pai getan
Rawe di maan wulan le mamatan
Mo aman langsung ke nobo taran bala
Kemata lali go ena lalo dang
Naku mo pana di mulo duli tukang
Paten moi betu beri buratu

MAKANAN KHAS TIMOR
JAGUNG BOSE
Merupakan salah satu makanan khas Timor yang dibuat dari jagung. Jagung direbus sampai matang kemudian dicampur kacang nasi dan garam kemudian direbus bersama santan yang kental dan daun pandan.



LAWAR TOMAT
Lawar tomat adalah makanan khas Timor yang dibuat dari campuran cabe rawit, terasi, bawang merah, daun bawang, tomat, minyak kelapa, daun ketumbar, jeruk peruk , dan garam.

TUMIS BUNGA DAN DAUN PEPAYA





RENDANG







SENJATA TRADISIONAL TIMOR
Senjata tradisional masyarakat Timor disebut Subdu atau Sudu, yang bentuknya seperti keris sebagai senjata tikam. Sama halnya dengan keris pada masyarakat Jawa, masyarakat Timor sangat mensakralkan senjata ini.

RUMAH ADAT TIMOR
Rumah adat asli masyarakat Timor yang ada di pedesaan berbnruk seperti sarang lebah, dengan atapnya hampir mencapai tanah. Sebuah rumah biasa dihuni oleh satu keluarga batih, dan di situ mereka makan, tidur, bekerja, dan menerima tamu mereka. Rumah juga tempat para wanita bekerja, yaitu menenun, memasak, dan menyimpan hasil lading mereka. Di samping itu, rumah juga merupakan tempat untuk menjalankan upacara keagamaan asli yang berhubungan dengan klen mereka.
Rumah orang Timor dibuat dari balok kayu untuk tiang – tiangnya, dindingnya terbuat dari bilah bambu tipis, dan atapnya terbuat dari daun rumbia. Sebuah rumah terdiri atas dua bagian, yaitu begian luar yang disebut sulak, dan bagian dalam yang disebut nanan. Bagian luar adalah bagi para tamu yang berkunjung, tempat tidur para tamu, dan tempat bagi para anak laki-laki si penhuni yang sudah dewasa. Bagian dalam adalah tempat bagi keluarga penghuni untuk tidur, makan, dan ju8ga tempat menginap anak perempuan yang sudah kawin kalau ia dating berkunjung. Keluarga yang tidur di bagian dalam dari rumah tidur di atas beberapa balai yang tersedia di situ menurut kedudukannya dalam keluarga tersebut.







Gambar rumah adat Timor beserta konstruksinya

Pada masyarakat Timor Tengah Selatan terdapat sebuah kebiasaan unik yaitu setiap keluarga memiliki dua jenis bangunan rumah. Bangunan pertama tampak lebih modern, berbentuk persegi dan terbuat dari kombinasi batu, papan dan seng. Bangunan kedua tampak seperti jamur merang jika dilihat dari ketinggian. Masyarakat menyebutnya sebagai Rumah Bulat, salah satu rumah adat yang masih dipertahankan.
Arsitektur dan Kegunaan Rumah Bulat
Dinding rumah bulat (umek bubu) melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter. Atapnya yang berbentuk seperti kepala jamur merang terbuat dari rumput alang-alang. Ujung alang-alangnya hampir menyentuh permukaan tanah. Dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu dan bambu. Pintunya setengah lonjong dengan ketinggian kurang satu meter. Untuk masuk orang dewasa harus membungkukkan badan terlebih dahulu. Rumah bulat mampunyai tinggi kurang lebih 3 meter dan mempunyai satu pintu yang cukup kecil dengan tinggi sekitar 0.5 meter dan lebar 0,75 meter.
Rumah bulat digunakan masyarakat untuk menyimpan jagung dengan cara digantung pada penyanggah atap dan dipanaskan dengan bara api agar tidak rusak dan kualitasnya tidak menurun. Selain sebagai lumbung pangan warga di kala musim paceklik, rumah bulat juga difungsikan sebagai dapur (umumnya digunakan kayu bakar) dan tempat penyimpanan perkakas rumah tangga bahkan tempat untuk melahirkan. Dapat dikatakan rumah bulat ini sangat ekonomis, karena digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga.
Dalam adat masyarakat Meto (atoin meto) yang merupakan masyarakat asli Timor Tengah Selatan, rumah bulat diasosiasikan dengan peranan perempuan dan sikap kerendahan hati. Berbeda dengan Lopo, bangunan khas lainnya yang juga terbuat dari bahan dasar rumput alang-alang dan bambu, tak berdinding (terbuka) dan beratap tinggi. Lopo dikaitkan dengan peranan laki-laki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Adat Meto juga menyebutkan bahwa zaman dahulu kala, setiap lelaki penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.
Wanita di Timor Tengah Selatan bahkan melahirkan di rumah bulat dengan proses panggang yang dilakukannya selama 40 hari. Asap memenuhi seluruh ruang dalam rumah bulat. Sebab, kecuali untuk memasak dengan kayu bakar, keluarga ini juga menghangatkan tubuh ibu yang baru saja melahirkan dengan cara membuat bara api dan kemudian meletakkan arang panasnya di bawah kolong tempat tidur ibu yang baru saja melahirkan. Proses melahirkan juga dilakukan di tempat tidur itu.
Proses panggang dipercaya masyarakat menjadi penangkal dari sakit berat. Ada pula ketakutan dari para orang tua: jika proses ini tak dilakukan, kondisi badan anak akan lembek dan tak kuat, bahkan akan menyebabkan kegilaan pada si ibu.
Rumah bulat menjadi ciri khas adat dan budaya orang Timor yang masih dipertahankan sampai saat ini, padahal sebetulnya ia juga sumber persoalan. Sulit menemukan rumah bulat berjendela. Lubang angin pun tidak menjadi pertimbangan dalam membangun rumah bulat. Udara dan sinar matahari hanya bisa menerobos dari lubang-lubang kecil pada dinding-dinding bambu.












Gambar Rumah Adat Masyarakat Timor Tengah Selatan (Rumah Bulat)

INSTRUMEN MUSIK
FOY DOA
Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih.Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran.
Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan , sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan.
Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara. Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti : Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.



FOY PAY
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.

KNOBE KHABETAS
Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari. Merupakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian. Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana).

KNOBE OH
Nama alat musik yang terbuat dari kulit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkal ujung tersebut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.

SUNDING TONGKENG
Nama alat musik tiup ini berhubungan dengan bentuk serta ara memainkannya, yaitu seruas bambu atau buluh yang panjangnya kira-kira 30 cm. Buku salah satu ujung jari dari ruas bambu dibiarkan. Lubang suara berjumlah 6 buah dan bmbu berbuku. Sebagian lubang peniutp dililitkan searik daun tala. Cara memainkan alat musik ini seperti memainkan flute. Karena posisi meniup yang tegak itu orang Manggarai menyebutnya Tongkeng, sedangkan sunding adalah suling., sehingga alat musik ini disebut dengan nama Sunding Tongkeng. Alat musik ini bisanya digunakan pada waktu malam hari sewaktu menjaga babi hutan di kebun. Memainkan alat musik ini tidak ada pantangan, keuali lagu memanggil roh halus yaitu Ratu Dita.

PRERE
Alat bunyi-bunyian ini terbuat dari seruas bambu kecil sekecil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruas bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya. Alat musik ini selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut Prere.

SULING
Umumnya seluruh kabupaten yang ada di Timor memiliki instrumen suling bambu, Kalau di Kabupaten Belu terdapat orkes suling dengan jumlah pemain ( 40 orang. Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass. Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran kecil dan bambu pengatur nada berbentuk besar.
Suling melodi bernada 1 oktaf lebih, suling pengiring bernada 2 oktaf. Dengan demikian untuk meniptakan harmoni atau akord, maka suling alto bernada mi, tenor bernada sol, dan bass bernada do, atau suling alto bernada sol, tenor mi,dan dan bass bernada do.
Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keculi pada suling bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik. Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.

HEO
Alat gesek (heo) terbuat dari kayu dan penggeseknya terbuat dari ekor kuda yang dirangkai menjadi satu ikatan yang diikat pada kayu penggesek yang berbentuk seperti busur. Alat ini mempunyai 4 dawai, dan masing-masing bernama :
- dawai 1 (paling bawah) Tain Mone, artinya tali laki-laki
- dawai 2 Tain Ana, artinya tali ana
- dawai 3 Tain Feto, artinya tali perempuan
- dawai 4 Tain Enf, artinya tali induk
Tali 1 bernada sol, tali 2 bernada re, tali tiga bernada la dan tali 4 bernada do.




LEKO BOKO/ BIJOL
Alat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat. Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter) Nyanyian-nyayian pada masyarakat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semaam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.

SOWITO
Merupakan seruas bambu yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.

REBA
Alat musik ini berdawai tunggal ini, terbuat dari tempurung kelapa/labu hutan sebagai wadah resonansi yang ditutupi dengan kulit kambing yang ditengahnya telah dilubangi. Dawainya terbuat dari benang tenun asli yang telah digosok dengan lilin lebah. Penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang juga telah digosok dengan lilin lebah. Dalam pengembangannya alat ini dari jenis gesek menjadi alat musik petik, yang juga berdawai satu dimodifikasikan menjadi 12 dawai, serta dawainya pun diganti dengan senar plastik. Reba tiruan ini berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu daerah populer.



MENDUT
Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi.
Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m. Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengan batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.

KETADU MARA
Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.

SASANDO
Fungsi musik sasando gong dalam masyarakat pemiliknya sebagi alat musik pengiring tari, menghibur keluarga yang sedang berduka, menghibur keluarga yang sedang mengadakan pesta, dan sebagai hiburan pribadi. Sasando gong yang pentatonis ini mempunyai banyak ragam cara memainkannya, antara lain : Teo renda, Ofalangga, Feto boi, Batu matia, Basili, Lendo Ndao, Hela, Kaka musu, Tai Benu, Ronggeng, Dae muris, Te'o tonak.
Ragam-ragam tersebut sudah merupakan ragam yang baku, namun dengan sedikit perbedaan ini dikarenakan :
(a). Rote terdiri dalam 18 Nusak adat dan terbagi dalam 6 keamatan. Dengan sendirinya setiap nusak mempunyai gaya permainan yang berbeda-beda.
(b). Perbedaan-perbendaan ini dipengaruhi oleh kemampuan musikalis dari masing-masing pemain sasando gong.
(c). Belum adanya sistem notasi musik sasando gong yang baku.
Perkembangan Sansando
Sasando pada mulanya menggunakan tangga nada pentatonis. Diperkirakan akhir abad ke-18 sansando mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman, yaitu menggunakan tangga nada diatonis. Sasando diatonis khusunya berkembang di Kabupaten Kupang.
Jumlah dawai yang digunakan oleh sasando diatonis bervariasi yaitu, 24 dawai, 28 dawai, 30 dawai, 32 dawai, dan 34 dawai. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya yaitu kira-kira 1960 untuk pertam kalinya sasando menggunakan listrik. Ide ini datang dari seorang yang bernama Bapak edu Pah, yaitu salah seorang pakar pemain sasando di Nusa Tenggara Timur.

KERONTANG
Pada jaman lampau wilayah pulau komodo masih berhutan, karena itu masih banyak binatang buas perusak tanaman seperti Kera. Untuk mengusir binatang pengganggu tanaman, terciptalah alat musik ini. Alat musik bunyi-bunyian ini terbuat dari tiga belahan kayu bulat kering yang panjangnya 30 cm. Ketiga belahan kayu ini diletakkan di atas kaki pemain yang sedang duduk dan kemudian dipikul dengan batangan kayu sebesar jari tengah.

LETO
Alat musik ini mirip dengan Totobuang, alat musik dari Maluku. Kemungkinan besar alat musik ini dibawa oleh suku Kera (Keraf) dari Maluku. Terdapat sebuah erita bahwa asal muasal alat musik ini dari seorang anak yang selalu mau mengikuti orang tuanya ke kebun. Setiap hari sang anak selalu menangis, dan ini sangat mengganggu kepergian mereka ke kebun. Untuk mengatasinya sang ayah membuat alat musik ini untuk sang anak.
Permainan Leto ada dua cara, yaitu digantung dan yang lain diletakkan di atas pangkuan. Leto dibuat dari batangan kayu Sukun yang digantung berbentuk bulat dan hati dari kayu tersebut dikeluarkan. Leto yang digantung bernama Letor di Sikka dan yang dipangku bernama Preson di Wulanggintang.

THOBO
Merupakan alat musik tumbuk yang terbuat dari bambu. Seruas Bambu betung yang buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa.

GONG
Gong merupakan alat musik yang umum terdapat pada masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari tembaga, kuningan, atau dari besi. Biasanya digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pesta adat, mengiringi tarian dalam penerimaan tamu dan sebagainya. Perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain antara lain jumlah gong , ukurannya, cara memainkannya, serta penglarasnya. Khusus penglaras umunya berkisar pada laras pelog dan slendro.
Nama-nama gong pada masing-masing daerah tidak sama, untuk jelas lihat ontoh berikut :
a. Gong Sabu
Nama-nama gong sesuai dengan cara menabuhnya, contoh gong pengiring tari Ledo Hawu :
Leko yaitu dua buah gong yang mula-mula ditabuh seara bergantian, Didale ae, Didala Iki, dan Gaha yaitu tiga buah gong yang berukuran agak besar (gong bass) yang juga ditabuh secara bergantian, Wo Peibho Abho yaitu dua buah gong yang ditabuh sebagai pengiring gong Leko, Wo Paheli yaitu dua buah gong yang ditabuh sebagai pengiring Leko dan We Peibho Abho.
b. Gong Alor
Nama-nama gong :
- Kingkang yaitu dua buah gong kecil.
- Dung-dung/kong-kong yaitu dua buah gong sedang.
- Posa yaitu tiga buah gong besar.
c. Gong Dawan
Gong Dawan yang dimaksudkan di sini adalah dari Amanuban tepatnya di Desa Nusa Timor Tengah Selatan. Gong yang digunakan umumnya berjumlah 6 buah. Nama-nama gong :
Tetun yaitu dua buah gong keil, namun apabila dari kedua gong ini hanya dibunyikan salah satunya maka namnya berubah menjadi Toluk, Ote' yaitu dua buah gong sedang. Kedua gong ini dibunyikan dengan penuh perasaan, Kbolo' yaitu dua buah gong besar yang dimainkan dengan tidak terlalu cepat.



TARIAN ADAT

TARI HOPONG
Hopong adalah sebuah upacara tradisional masyarakat Helong yang mengijinkan para petani untuk menuai atau panen di ladang pertanian. Upacara Hopong adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh para petani dalam bentuk doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan nenek moyang.
Upacara Hopong dilakukan pada masa panen disuatu rumah yang ditentukan bersama dan dihadiri oleh tua-tua adat serta lapisan masyarakat. Tarian ini juga menggambarkan kehidupan bersama nilai religius, gotong royong. Musik pengiring gendang, tambur, gong

TARI MANEKAT (TEMPAT SIRI)
Asal tarian : Kabupaten Timor Tengah Selatan
Menurut masyarakat Dawan dalam kehidupan adat istiadatnya sapaan selalu ditandai dengan siri pinang. Siri pinang merupakan lambang penghormatan untuk memberikan harkat dan martabat seseorang.

TARI PEMINANGAN
Asal tarian : Kabupaten Timor Tengah Utara
Tarian ini menggambarkan bentuk peminangan ala orang dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Peminangan dapat juga diartikan sebagai suatu ungkapan perasaan cinta yang tulus.ungkapan kepolosan hati antara sepasang kekasih yang hendak mengikat kasih. Suatu ungkapan bahwa kehadiran dari seseorang diterima dengan sepenuh hati, dengan tangan terbuka. Tarian ini juga melambangkan penyambutan, penghormatan atas kehadiran seorang tamu istimewa yang mendatangi tempat mereka.

TARI LIKURAI
Asal tarian : Kabupaten Belu
Dalam masyarakat Belu tari Likurai merupakan tari yang dibawakan oleh gadis-gadis / ibu-ibu untuk menyambut tamu-tamu terhormat atau pahlawan yang pulang dari medan perang. Konon, ketika para pahlawan yang pulang perang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai bukti keperkasaan) para feto (wanita) cantik atau gadis cantik terutama mereka yang berdarah bangsawan menjemput para pahlawan dengan membawakan tarian Likurai. Likurai itu sendiri dalam bahasa Tetun (suku yang ada di Belu) mempunyai arti mungasai bumi. Liku artinya menguasai, Rai artinya tanah atau bumi. Lambang tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah menguasai atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta.
Tarian adat ini ditarikan oleh feto-feto dengan mempergunakan gendang-gendang kecil yang berbentuk lonjong dan terbuka salah satu sisinya dan dijepit di bawah ketiak sambil dipukul dengan irama gembira serta sambil menari dengan berlenggak-lenggok dan diikuti derap kaki yang cepat sebagai ekspresi kegembiraan dan kebanggaan menyambut kedatangan kembali para pahlawan dari medan perang. Mereka mengacung-acungkan pedang atau parang yang berhias perak. Sementara itu beberapa mane (laki-laki) menyanyikan pantun bersyair keberanian, memuja pahlawan.
Konon kepala musuh yang dipenggal itu dihina oleh para penari dengan menjatuhkan ke tanah. Proses ini merupakan penghinaan resmi kepada musuh. Selain itu para pahlawan tadi diarak ke altar persembahan yang sering disebut Ksadan. Para tua adat telah menunggu di sini dan menjemput para pahlawan sambil mencatat kepala musuh yang dipenggal itu serta menuturkan secara panjang lebar tentang jumlah musuh yang telah ditaklukkan sampai terpenggal kepalanya diperdengarkan kepada khalayak ramai untuk membuktikan keperkasaan suku Tetun.
Pada masa kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau pada upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan, maka terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya.

TARI DODAKADO
Asal tarian : Kabupaten Alor
Tarian yang berasal dari permainan rakyat ini Alor ini menggambarkan keceriaan muda-mudi pada saat acara-acara pesta adat. Yang menarik dari tarian ini adalah ketangkasan muda-mudi dalam berlompat-lompat diatas permainan bambu.

TARI TEOTONA
Asal tarian : Kabupaten Rote Ndao
Tarian ini berasal dari kerajaan Oenale di Rote. Tarian ini termasuk tarian sacral dalam menyambut kaum pria yang kembali dari medan perang. Pria dan wanita bersama-sama menunjukan kegembiraannya dengan menari secara ekspresif.


TARI LEDO HAWU
Asal tarian : Kabupaten Kupang/ Sabu
Tarian ini biasa dibawakan pada saat upacara kematian kepala adat, dengan maksud mengusir setan ditengah jalan, agar perjalanan arwah kehadapan pencipta tidak dihalangi. Istilah lain dari tari ini dapat dikatakan sebagai penyapu ranjau.


TARI PERANG
Merupakan tarian yang menunjukkan sifat-sifat perkotaan dan kepedulian mempermainkan senjata.




TARI BIDU
Tarian Bidu merupakan tarian peninggalan nenek moyang Belu yang pada mulanya digunakan sebagai media perkenalan bagi pemuda dan pemudi. Tarian ini dilaksanakan atas rencana pemuda-pemudi atas persetujuan orang tua masing-masing. Sebelumnya pihak pemuda merencanaan dan membuat perjanjian bersama dalam bahasa adat disebut hameno bidu.
Perjanjian ini kemudian ditepati dan mereka pun berduyun-duyun menuju lokasi yang telah ditentukan, yang ditonton oleh masyarakat sekitar. Para penari Bidu yang terdiri dari pemuda dan pemudi ini pun segera masuk arena untuk menari. Apabila sang pemuda telah menemukan gadis idamannya, maka dalam menari si pemuda mengelilingi si gadis idamannya. Sang gadis pun tahu kalau si pemuda sudah menaruh hati, maka si gadis pura-pura jual mahal. Pada tahap berikutnya sang pemuda sambil menari melambai-lambaikan sapu tangannya ke wajah si gadis dan berusaha meletakkan sapu tangannya ke bahu si gadis.
Jika si gadis itu menyetujuinya, maka sapu tangan itu akan diterimanya dengan baik. Selanjutnya menjelang tarian usai diadakan janji untuk hanimak (suatu proses saling mengenal yang sangat etis, romantis dan berbobot, karena masih dalam pengendalian).
Apabila dialog perjanjian itu belum selesai, akan dilaksanakan setelah tarian usai. Dialog-dialog itu dengan bahasa bersyair, dan bisanya pemudalah yang memulainya.
Setelah proses perjanjian, si pemuda lalu pulang dan mencari teman yang dapat dipercaya untuk kemudian diutus sebagai jembatan untuk menghubungi orang tua gadis dengan kata-kata pemberitahuan bahwa si pemuda mau bertandang ke rumah si gadis.
Bila orang tua gadis setuju, maka si pemuda mulai berdandan dan segera pergi ke rumah si gadis dengan membawa sirih pinang. Kemudian terjadi dialog antara pemuda dan si gadis.
Setelah proses hanimak atau bertandang, pulanglah si pemuda dengan seizin gadis dan orang tuanya. Selanjutnya apabila ada kecocokan, maka hanimak berlanjt terus pada malam-malam berikutnya, dan pada gilirannya terjadilah proses binor yang berarti saling menyimpan barang (tempat sirih, kain selimut, pakaian, foto-foto dan lainnya).
Setelah terjadinya binor, maka orang tua kedua belah pihak bermusyawarah untuk menentukan waktu meminang atau memasukan sirih pinang. Pada saat meminang, pihak laki-laki membawa sirih pinang, sopi (tuak) satu botol, dan ayam satu ekor serta satu ringgit perak dan kain putih kurang lebih satu meter. Barang-barang tersebut dinamakan Mama Lulik (sirih pinang pamali). Kemudian menyusul lagi tahap adat yang disebut Mama Tebes. Dalam acara ini dibahas tentang jadwal perkawinan di gereja.

TARIAN BIDU KIKIT
Kikit, dalam bahasa Tetun berarti Burung Elang. Tarian ini merupakan tarian khas dari salah satu suku di Kabupaten Belu, yakni Suku Kemak yang bermukim di Kabupaten Belu bagian Utara.
Tarian Bidu Kikit terdiri dari beberapa orang, laki-laki dan perempuan yang menggunakan musik pengiring Tihar yang irama pukulannya adalah irama khas likurai. Tarian ini dibawakan oleh tiga penari, yakni satu penari laki-laki yang melambangkan seekor Burung Elang Jantan dan dua orang penari perempuan yang menggambarkan burung elang betina. Tarian ini menggambarkan sekwanan burung elang yang terbang berputar-putar mengintai mangsa, kemudian menukik memburu mangsa. Tarian peninggalan nenek moyang Kabupaten Belu ini merupakan tarian hiburan, dalam berbagai upacara adat, khususnya Suku Kemak.

TARI TEBE
Merupakan tarian yang menggambarkan luapan kegembiraan atas suatu keberhasilan ataupun kemenangan dalam suatu pekerjaan.Tarian ini terdiri dari beberapa orang penari laki-laki dan perempuan yang saling bergandengan membentuk lingkaran sambil menari dan bernyanyi bersahut-sahutan melantunkan syair-syair dan pantun sambil menghentakkan kaki sesuai irama lagu sebagai wujud luapan kegembiraan.
Tarian yang melibatkan orang ini dulu biasanya dilakukan pada malam hari sebagai ungkapan rasa syukur atas terlaksananya suatu pekerjaan, misalnya panen, perkawinan, dan lain-lain. Namun dalam perkembangannya tarian ini akhirnya dapat dilakukan kapan saja, terutama siang hari, bilamana ada acara-acara hiburan atau menyambut para tamu.

PAKAIAN TRADISIONAL
Masyarakat Timor mempunyai beragam bentuk pakaian adat. Hal ini tergantung pada daerah masing – masing. Masing – masing daerah memiliki pakaian tradisional sendiri – sendiri.

PAKAIAN SEHARI-HARI (SABU)
Pakaian pria
Pakaian adat Sabu yang digunakan sehari-hari adalah :
Selimut dan kemeja putih dipakai dengan ikat pinggang dan destar
pengikat kepala tanpa perhiasan.
Sedangkan untuk wanita
adalah sarung diikat/dililit pada pinggang
dengan 2 kali lipatan bersama kebaya tanpa asessoris

PAKAIAN PENGANTIN (SABU)

Pakaian Pengantin Pria
•Selendang yang digunakan pada bahu pria
•Destar pengikat kepala sebagai lambang kebesaran/kehormatan disertai dengan mahkota kepala pria yang terdiri dari tiga tiang terbuat dari emas.
•Kalung mutisalak yaitu sebagai mas kawin dengan liontin gong.
•Sepasang gelang emas
•Ikat pinggang/sabuk yang memiliki 2 kantong pengganti dompet/tas.
•Habas/perhiasan leher terbuat dari emas.

Pakaian pengantin wanita
•Sarung wanita yang diikat bersusun dua pada pinggul dan sedada.
•Pending (ikat pinggang terbuat dari emas)
.Gelang emas dan gading yang dipakai pada upacara adat/perkawinan
•Muti salak/kalung dan liontin dari emas.
•Mahkota kepala wanita dan tusuk konde berbentuk uang koin/sovren/ uang emas pada zaman dahulu.
•Anting/giwang emas bermata putih/berlian.
•Sanggul wanita berbentuk bulat diatas/puncak kepala wanita

PAKAIAN HELONG
Pakaian Pria
Selimut Helong besar diikat pada pinggang ditambah
dengan selimut kecil
• Kemeja pria (baju bodo)
• Destar pengikat kepala
• Muti leher atau habas.

Pakaian wanita
• Sarung diikat pada pinggang ditutup dengan
selendang penutup.
• Pending/ikat pinggang emas
• Kebaya wanita
• Muti salak/muti leher dengan mainan berbentuk bulan
• Perhiasan kepala bulan sabit/bula molik
• Giwang (karabu)
• Pakaian sehari-hari, menggunakan busana yang sama
tanpa perhiasan dan kebaya bagi wanita dibuat dengan
sulaman “ Kutang “.

PAKAIAN ADAT AMARASI
Selimut besar pria diikat pada pinggang ditambah
dengan selimut penutup dan selendang.
Ikat pinggang pria
Kemeja pria (baju bodo)
Kalung habas emas + gong
Muti salak
Ikat kepala/destar dikombinasi dengan
hiasan tiara.
Gelang Timor 2 buah

Pakaian wanita
Sarung diikat pada pinggang
Selendang penutup + pending
Kebaya wanita
Kalung muti salak + habas + gong (liontin)
Hiasan kepala bulan sabit
Tusuk konde koin 3 buah dan sisir emas.
Giwang (karabu)
Gelang kepala ular 2 buah (sepasang)
Pakaian sehari-hari
Pakaian pria dan wanita menggunakan busana yang
sama tanpa asessoris.



PAKAIAN ADAT ROTE
Pakaian adat Rote pada dasarnya sama dengan pakaian adat Helong.
•Selimut Rote besar diikat pada pinggang ditambah dengan selimut kecil
•Kemeja pria (baju bodo)
•Destar pengikat kepala
•Muti leher atau habas.
Di samping beberapa pakaian adat tersebut, di Timor juga dikenal beberapa pakaian adat yang lain.








TIMOR TENGAH SELATAN TIMOR TENGAH UTARA BELU

KAIN TENUN
Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Timor merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.
Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
Kain tenun atau tekstil tradisional dari Timor secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
1). Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)
4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.
9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Timor tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya atau penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat Timor terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya.


Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Timor dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni :
1. Tenun Ikat
Disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Timor, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi.
2. Tenun Buna
Berasal dari Timor Tengah Utara maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai.
3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket
Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Timor terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah marun.
Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Timor telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif.
Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.













CERITA RAKYAT
Ikrar Orang Samoro Dan Buaya
Konon, pada jaman dahulu tersebutlah sebuah kerajaan besar yang bernama Samoro. Sekarang letak kerajaan itu diperkirakan sekitar Soebada. Kerajaan Samoro diperintah oleh seorang raja yang sangat adil dan bijaksana. Hal itu membuat kerajaan Samoro menjadi aman, tenteram dan makmur. Hampir tak pernah terjadi kejahatan di kerajaan Samoro. Semua rakyat selalu mematuhi segala perintah rajanya.
Kerajaan Samoro mempunyai seorang patih yang sangat sakti. Selain memiliki kekebalan tubuh, ia juga mampu berjalan diatas air, berlari secepat kilat, dan mampu melihat segala makhluk halus seperti jin, peri, setan dan sejenisnya. Patih itu bernama Datuk Samoro. Suatu ketika Datuk Samoro diperintahkan oleh baginda raja untuk melamar seorang putri dari kerajaan Wehale. Kerajaan itu letaknya sangat jauh, yaitu di sekitar Kupang sekarang.
Sebagai seorang Patih yang menjunjung tinggi perintah raja, Datuk Samoro beserta beberapa pengawal kemudian berangkat menuju kerajaan Wehale. Setiba di kerajaan Wehale, Datuk Samoro melihat beberapa raja dari kerajaan lain yang sudah tiba lebih dahulu juga dengan maksud melamar putri raja Wehale.
Raja Wehale sebenarnya sangat licik. Ia masih belum rela jika putrinya yang cantik jelita itu diboyong oleh mereka. Maka, ia membuat siasat. Diperintahkannya para juru rias istana untuk merias dayang-dayang istana secantik mungkin yang kemudian ditampilkan di depan para pelamar agar dipilih sesuai dengan pilihan mereka. Beberapa raja mengambil dayang-dayang yang telah dirias untuk dijadikan permaisuri dan langsung dibawa pulang ke kerajaan masing-masing.
Datuk Samoro mengetahui bahwa putri yang ditampilkan di depan para pelamar itu bukan putri raja yang sebenarnya.Ia tak ingin terkecoh dengan tipu muslihat itu. Kemudian, ia melakukan pendekatan pada penjaga-penjaga istana untuk diberitahu, dimana sebenarnya putri raja yang sesungguhnya disembunyikan.
Dengan berbagai cara akhirnya Datuk Samoro dapat mengorek keterangan para penjaga itu, bahwa putri raja kini menyamar dengan berpakaian pelayan yang sedang bekerja di dapur. Setelah mendengar penjelasan dari para penjaga istana, Datuk Samoro langsung menuju ke dapur tempat para pelayan sedang memasak, dan ia mengambil salah satu diantara para pelayan itu.
Raja Wehale menjadi murka melihat perbuatan Datuk Samoro. Ia menuduh patih itu sebagai orang yang telah lancang memasuki dapur istana tanpa minta ijin terlebih dahulu. Dan Datuk Samoro tak dibenarkan menjadi salah satu pelamar diantara raja-raja itu. Sebagai seorang yang mengemban tugas dari rajanya, tentu saja Datuk Samoro tak ingin pulang dengan tangan hampa. Ia berniat melarikan putri raja Wehale. Maksud itu is sampaikan kepada putri raja yang sangat cantik itu.
"Tuan putri, raja kami bermaksud meminang paduka untuk dijadikan sebagai pendamping beliau. Tetapi, kami sangat kecewa dengan tindakan ayahanda tuanku putri yang menipu para pelamar lain denga merias para pelayan. Hamba tak ingin tertipu bagaimana mungkin seorang pelayan akan menjadi seorang permaisuri raja. Bagaimana nanti jika suatu kerajaan dengan seorang raja yang besar didampingi seorang permaisuri yang tidak cakap. Tuanku putri adalah orang yang patut mendampingi raja kami".
"Saya mengerti perasaan Paman. Saya juga tidak setuju dengan perbuatan ayahanda. Lalu apa rencana Paman selanjutnya?" kata putri Raja Wehale.
"Maafkan hamba, Tuan Putri. Malam ini hamba bermaksud membawa lari Tuanku Putri ke kerajaan kami. Apakah Tuan Putri merasa keberatan?" tanya Datuk Samoro.
"Hem, baiklah! Bila itu rencana Paman, aku bersedia Paman boyong. Barangkali dengan perbuatan kita ini, ayahanda akan sadar dari perbuatannya yang keliru itu".
Lewat tengah malam, ketika rakyat Wehale terlelap dari tidurnya, Datuk Samoro dengan menggunakan kesaktiannya dapat melarikan putri Raja Wehale. Gunung dan lembah dilalui tanpa mendapat rintangan. Akhirnya, tibalah rombongan Datuk Samoro di tepi sungai We Nunuk. Ketika mereka hendak menyeberang, tiba-tiba air sungai We Nunuk meluap dan berbuih-buih.
Dari dalam sungai itu muncul buaya-buaya besar dan ganas menghalangi perjalanan Datuk Samoro beserta rombongannya. Sementara Raja Wehali yang memerintahkan para prajuritnya untuk mengejar telah dekat. Dengan kekuatan gaibnya Datuk Samoro berunding dengan buaya-buaya itu, yang memperoleh kesepakatan bahwa buaya-buaya itu dimintai tolong membawa rombongan orang-orang Samoro selamat sampai di seberang.
Dan sebagai imbalannya orang-orang Samoro beserta keturunannya dari abad ke abad berjanji tidak akan berbuat jahat terhadap bangsa buaya dan pantang makan daging buaya. Setelah perjanjian itu mereka sepakati, tiba-tiba langit menjadi gelap. Awan hitam bergulung-gulung disertai angin kencang. Daun-daun beterbangan dihempas angin, pohon-pohon besar bertumbangan. Suara guntur bergemuruh membelah angkasa, seakan jadi saksi sumpah janji mereka. Akhirnya orang-orang Samoro dengan selamat dapat sampai di seberang sungai We Nunuk.
Kemudian muncullah pengejar-pengejar dari kerajaan Wehala. Mereka lengkap membawa senjata untuk bertempur. Dan dengan tenang dan gagah berani terjun ke dalam sungai untuk menyeberang , tanpa melihat bahwa sungai We Nunuk saat itu tengah meluap. Akibatnya, seluruh prajurit itu tewas dimangsa buaya.
Orang-orang Samoro yang menyaksikan peristiwa itu dari seberang sungai menjadi sangat sedih hatinya. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat apa-apa. Takdir tak dapat dihindari. Orang-orang Samoro kemudian mengucapkan terima kasih atas bantuan buaya-buaya tadi dan mereka berjanji akan mematuhi sumpah dan janji yang telah mereka ucapkan.
Karena peristiwa itu, konon sampai sekarang orang-orang Samoro masih menghormati buaya dan tidak berani mengganggunya. Apabila orang-orang Samoro memasuki sebuah danau atau sungai yang ada buayanya. mereka selalu berkata "Leluhur janganlah berbuat jahat" atau "Janganlah menggigit cucu-cucumu" sambil mengikatkan daun palem pada lengan atau kepala mereka. Dengan cara itu, orang-orang Samoro percaya bahwa buaya-buaya akan mengenali mereka dan tidak akan mengganggu.
Cerita ini merupakan mitologi. Beberapa suku yang ada di Timor masih menganggap bahwa leluhur mereka bersahabat dengan buaya. Dan menurut legenda, terjadinya pulau Timor pada mulanya merupakan seekor buaya yang lambat laun berubah menjadi daratan. Daratan itu, konon sebagai wujud balas budi terhadap seorang anak manusia yang telah berjasa menyelamatkan nyawa seekor buaya. Oleh karena itu bila orang Timor berjumpa dengan buaya, mereka akan menyebutnya 'kakek' atau 'leluhur'.

PARIWISATA di TIMOR







Kolam Susuk di Belu Rumah Adat Lorodirma di Desa Sanleo,
Atambua
Kawah Masinlulik di Desa Litamali, Perkampungan Rumah Adat di Desa
Atambua Kamanasa, Atambua





Rumah Adat Matabesi Ksadan Fatulotu

Bukit Jobugujur Bakelin, Desa Fulur
Tempat yang dulunya dipakai untuk upacara Tubila/Solu'a Golu (tempat membagi hasil buruan), Atambua
















































MODERNISASI dan PEMBANGUNAN
Selama ini usaha modernisasi dan pembangunan di Timor masih banyak menemui hambatan, yang disebabkan utamanya oleh 2 hal yaitu:
1. Tanah yang tidak subur, sumber alam yang sedikit, dan iklim kering
2. Susunan masyarakat dan sikap mental orang Timor masih banyak terpengaruh oleh tradisi kuno dan adat feodal sehingga sulit untuk maju.

Kondisi tanah yang tidak subur dan iklim kering membuat Timor menjadi suatu daerah yang tidak cocok untuk pertanian dengan tujuan tidak sekedar untuk konsumsi. Namun masalah ini telah dapat disiasati dengan pemberdayaan Timor sebagai daerah peternakan karena memiliki cukup banyak padang rumput untuk menggembala ternak Usaha peternakan telah ada sejak zaman Belanda, sehingga sudah ada cukup banyak orang Timor yang mempunyai ketrampilan dalam mengurus dan mengembangkan usaha ternak. Sehingga untuk lebih mendukung potensi ini Pemerintah perlu mamberikan bantuan dengan kredit dan pendidikan kepada masyarakat.
Hambatan yang kedua adalah kondisi penduduk Timor. Masyarakat Timor sudah lama hidup terpecah – pecah dan kurang menyadari integritasnya, sehingga hal ini juga meupakan salah satu factor penghambat dalam pelaksanaan pembangunan secara cepat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah pembentukan desa-desa kesatuan yang besar dengan mengumpulkan penduduk dari desa –desa kecil yang masih terpencar. Pembentukan desa diusahakan di daerah yang sesuai untuk menetap dan cocok untuk usaha peternakan maupun bertani dengan lading. Pemerintah juga perlu memberikan bantuan dan insentif dengan pemberian modal dan tanah yang cukup, pembangunan saluran irigasi, dan penyuluhan teknik – teknik usaha yang benar.
Penduduk Timor juga masih sangat dipengaruhi oleh tradisi kuno. Akibatnya seringkali mereka menolak apabila dikenalkan dengan cara hidup yang lebih modern dan sehat karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan tradisi yang telah mereka warisi dari nenek moyang. Misalnya masih banyak masyarakat yang tinggal bahkan melahirkan di rumah bulat, padahal jika dilihat kondisinya rumah bulat sangat tidak layak untuk tempat tinggal dan tidak memenuhi syarat – syarat kesehatan. Dampaknya adalah banyaknya warga masyarakat yang terserang penyakit pernafasan. Tradisi lain yang juga sangat tidak mementingkan aspek kesehatan adalah tradisi sifon. Karena adanya tradisi ini penyebaran penyakit menular seksual di kalangan masyarakat Timor sudah pasti tidak dapat dibendung lagi.
Masyarakat Timor seringkali lebih mempercayai apa kata dukun atau paranormal daripada para ahli atau pemerintah. Misalnya saja hingga sekarang dari pemerintah sering diluncurkan PERDA yang melarang masyarakat untuk menebang pohon. Namun realita yang ada menunjukkan bahwa tidak adanya keperdulian masyarakat terhadap PERDA tersebut.. Namun jika Tokoh atau pemangku adat yang melarang untuk menebang pohon dengan titah bahwa "siapa yang menabang pohon akan disambar petir” maka hal ini adalah tabu bagi masyarakat sehingga masyarakat tidak sedikitpun berani untuk menebang pohon. Realita menunjukkan bahwa jika ada orang yang berani menebang pohon maka jelas akan disambar kilat.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas maka sudah selayaknyalah pemerintah dalam aktivitasnya, untuk melaksanakan kegiatan pembangunan masyarakat adat (khususnya tokoh-tokoh adat) tidak boleh diabaikan peranannya. Karena jika diabaikan oleh pemerintah daerah maka dalam pembangunan akan ada kepincangan. Hal ini penting karena sasaran pembangunan itu sendiri adalah pemberdayaan masyarakat adat .
Dari segi keagamaan, tidak ada hal sekecil apapun yang merusak adat. Artinya agama tidak merusak adat. Jika ada, mungkin oleh kelompok-kelompok karismatik contohnya persekutuan doa dan lain-lain yang sejenis yang merusak adat karena mempunyai pemahaman yang sempit tentang agama dan adat. Antara adat dan agama memiliki kaitan erat.
Contohnya ibadat kampung menggunakan Knit (nafiri) dari tanduk kerbau atau tanduk sapi dan urusan orang mati menggunakan knit juga. Ini adalah adat orang meto yang hingga kini masih dilestarikan di kampung tertentu dan harus dkembangkan secara terus menerus. Penting Bagi Pemerintah daerah bahwa adat harus dikembangkan karena sebagai bagian yang tidak dipisahkan dari kehidupan bangsa dan masyarakat meto di jaman otonomi daerah. Bagi Tokoh agama diminta untuk tidak merusak adat tetapi memanfaatkan adat sebagai pintu pelayanan kepada masyarakat
Bagi Pemangku adat, pemberdayaan masyarakat adat dimanfaatkan agar sejajar dengan komponen yang lain yang ada dalam bangsa ini tapi harus diusahakan agar jangan sampai menggunakan adat untuk kontra dengan pemerintah karena akan merusak adat sendiri.
Identitas diri masyarakat adat harus dipahami sebagai salah satu kekuatan yang akan memdorong (spirit) kelancaran pembangunan. Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan harus menggandeng komponen masyarakat adat. Masyarakat adat harus dipandang sebagai subyek bukan obyek. Otonomi, peranan dan nilai-nilai masyarakat adat akan memperlancar pembangunan apabila digunakan. Sehingga dengan pemberdayaan masyarakat adat diharapkan setiap insentif, pemyuluhan, atau kebijakan yang berkaitan dengan upaya pembangunan di Timor dapat berjalan dengan optimal dan tepat sasaran. Masyarakat Timor juga masih banyak yang masuk dalam golongan buta huruf, sehingga diperlukan langkah pendidikan kepada masyarakat dengan lebih intensif lagi.







0 komentar: